Professional Documents
Culture Documents
1/1/2017
2017
[Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary of the
contents of the document. Type the abstract of the document here. The abstract is typically a
short summary of the contents of the document.]
1
Daftar Isi
Judul ................................................................................................................................................. i
Daftar isi.......................................................................................................................................... 1
Bab I ................................................................................................................................................ 4
Pendahuluan .................................................................................................................................... 4
I.1. Latar Belakang ...................................................................................................................... 4
I.2. Rumusan Masalah ................................................................................................................. 5
I.3. Tujuan ................................................................................................................................... 5
I.4. Manfaat ................................................................................................................................. 5
Bab II .............................................................................................................................................. 6
Tinjauan Pustaka ............................................................................................................................. 6
II.1. Lokasi .................................................................................................................................. 6
II.1.1. Definisi Lokasi .............................................................................................................. 6
II.1.2. Teori Lokasi .................................................................................................................. 7
II.2. Bentuk ................................................................................................................................ 10
II.2.1. Definisi Bentuk ........................................................................................................... 10
II.2.2. Ciri-Ciri Visual Bentuk ............................................................................................... 11
II.3. Rumah................................................................................................................................ 12
II.3.1. Definisi Rumah ........................................................................................................... 12
II.3.2. Fungsi Utama Rumah ................................................................................................. 12
II.3.3. Jenis-Jenis Rumah ....................................................................................................... 13
II.3.2. Teori Rumah Panggung Kayu ..................................................................................... 15
a. Bahan-bahan ...................................................................................................................... 17
a. Tahap Persiapan ................................................................................................................. 20
b. Tahap Pengumpulan Bahan ............................................................................................... 21
c. Tahap Pembangunan .......................................................................................................... 22
1. Pembuatan Aliri (Tiang) .................................................................................................... 22
2. Pembuatan Tiang Pakka (Cabang) .................................................................................... 23
3. Pembuatan Parewa Mallepang .......................................................................................... 23
4. Mappattama Aratng dan Patttolo .................................................................................... 23
2
Bab I
Pendahuluan
Menurut Hugo Haring, bentuk dalam arsitektur adalah perwujudan organisasi ruang yang
merupakan hasil dari suatu proses pemikiran. Proses ini didasarkan atas pertimbangan fungsi dan
usaha pernyataan ekspesi (Universitas Gunadarma, 2016). Dengan kata lain, bentuk bangunan
hakikatnya bersumber dari buah pemikiran yang diperoleh dari serangkaian pendekatan.
Pendekatan-pendekatan tersebut mempertimbangkan aspek kegunaan, kekokohan, dan
keindahan. Salah satu pendekatan yang mempengaruhi bentuk bangunan ialah kondisi geografis.
Pendekatan geografis dalam penentuan bentuk bangunan memperhatikan berbagai faktor.
Salah satunya adalah faktor lokasi. Lokasi dapat diartikan sebagai lahan dengan kondisi
permukaan dan ciri-ciri istimewa yang menjadi tempat didirikannya suatu bangunan
(Arimbhawa, 2014). Lokasi seringkali menjadi faktor yang menentukan bentuk suatu bangunan
di mana bangunan mengikuti kondisi lahan guna memperoleh manfaat-manfaat tertentu.
Menurut Kay dan Alder (1999) dalam Rabiatun (2012), wilayah pesisir merupakan suatu
wilayah yang mana terjadi pertemuan antara wilayah laut dan darat, di mana pada daerah
tersebut proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses
dan fungsi kelautan. Kawasan pesisir Pantai Bahari, Kecamatan Bangkala, Jeneponto pada
dasarnya masih memanfaatkan hasil laut berupa rumput laut dan sebagian besar penduduknya
merupakan suku Bugis. Saat ini, Pantai Bahari berada dalam tahap perkembangan yang
dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi, pariwisata, dan akulturasi. Pada kawasan tersebut terdapat
suatu hirarki perbedaan bentuk rumah di mana terjadi perbedaan bentuk pada titik-titik lokasi
tertentu.
merupakan kasus yang unik di mana perbedaan bentuk terjadi pada tititk-titik lokasi tertentu
dalam satu kawasan pesisir. Kasus ini tentu memerlukan telaah yang lebih dalam. Maka
dibuatlah makalah dengan judul, Pengaruh Lokasi Terhadap Bentuk Rumah Permukiman
Pesisir : Studi Kasus Kelurahan Pantai Bahari, Kecamatan Bangkala, Jeneponto.
Adapun rumusan masalah untuk mengetahui korelasi pengaruh lokasi terhadap bentuk rumah di
Kelurahan Pantai Bahari, Jeneponto, adalah sebagai berikut :
Bagaimana kondisi lokasi di Kelurahan Pantai Bahari, Kecamatan Bangkala, Jeneponto?
Bagaimana bentuk-bentuk rumah yang terdapat di Kelurahan Pantai Bahari, Kecamatan
Bangkala, Jeneponto?
Bagaimana korelasi antara pengaruh lokasi terhadap bentuk rumah di Kelurahan Pantai
Bahari, Kecamatan Bangkala, Jeneponto?
Apa saja aspek-aspek dari lokasi yang mempengaruhi bentuk rumah di Kelurahan Pantai
Bahari, Kecamatan Bangkala, Jeneponto?
I.3. Tujuan
I.4. Manfaat
Bab II
Tinjauan Pustaka
II.1. Lokasi
Menurut Macmillan Dictionary, lokasi didefinisikan sebagai tempat atau posisi dimana
seseorang atau sesuatu berada atau terjadi. Lokasi dalam ruang dibedakan menjadi dua jenis
yaitu :
1) Lokasi absolut. Lokasi absolut adalah lokasi yang berkenaan dengan posisi menurut
koordinat garis lintang dan garis bujur (letak astronomis). Lokasi absolut suatu tempat
dapat diamati pada peta. Lokasi absolut keadaannya tetap dan tidak dapat berpindah
letaknya karena berpedoman pada garis astronomis bumi. Pebedaan garis astronomis
menyebabkan perbedaan iklim (garis lintang) dan perbedaan waktu (garis bujur). Contoh
Lokasi Absolut : Indonesia terletak di antara 6o LU - 11o LS sampai 95o BT - 141o BT.
Dari letak absolut (garis astronomis) tersebut dapat dijelaskan bahwa lokasi paling utara
negara Indonesia terletak di 6o LU (Pulau Miangas, Sulawesi Utara), lokasi paling
selatan terletak di 11o LS (Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur).
2) Lokasi relatif. Lokasi relatif adalah lokasi suatu tempat yang bersangkutan terhadap
kondisi wilayah-wilayah lain yang ada di sekitarnya. Lokasi relatif dapat berganti-ganti
sesuai dengan objek yang ada di sekitarnya. Contoh lokasi relatif : Indonesia terletak di
antara 2 benua dan 2 samudera yaitu benua Asia dan Australia, samudra Hindia dan
Pasifik. Letak relatif ini dapat berubah-ubah sesuai dengan sudut pandang penggunanya
karena lokasi relatif digambarkan melalui objek-objek yang dinamai oleh manusia
contohnya nama benua, samudera, pulau, laut dan sebagainya. Contoh lain, Jakarta
berbatasan dengan kabupaten Bekasi di sebelah timur, dengan Kota Tangerang Selatan
7
di sebelah barat dan dengan Kabupaten Bogor di sebelah selatan. (Benny, Suharto, & Si,
n.d.).
Menurut Losch (1967) dalam (Benny et al., n.d.), teori lokasi didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi. Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu
tentang lokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau
pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan. Secara historis, teori lokasi
setidaknya berakar dari lokasi pertanian, analisis market area, lokasi industri, dan central places
(Pinto). Dalam konteks kegiatan usaha, maka permasalahan lokasi akan menyangkut lokasi yang
tepat untuk produksi, penjualan dan area pemasok bahan baku.
Dikutip dari Ron (2011), terdapat beberapa teori lokasi menurut ahli, yakni:
Teori lokasi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order)
kegiatan ekonomi. Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara
geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap
lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (activity). Secara umum, pemilihan
lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktor seperti: bahan baku lokal
(local input); permintaan lokal (local demand); bahan baku yang dapat dipindahkan
(transferred input); dan permintaan luar (outside demand). (Hoover dan Giarratani, 2007)
Von Thunen (1826) mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan
pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von
Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila
makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke
pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara
harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan
yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk
8
membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat
pasar. Hasilnya adalah suatu pola penggunaan lahan berupa diagram cincin.
Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat kota dan
akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota. 3.
Model Teori Lokasi Pertanian Von Thunen membandingkan hubungan antara biaya
produksi, harga pasar dan biaya transportasi. Berikut adalah skema teori tersebut.
Gambar 2.1. Model Teori Lokasi Pertanian Von Thunen (sumber : Radar Planologi, 2015)
Gambar model Von Thunen di atas dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu isolated area
yang terdiri dari dataran yang teratur, yang kedua yaitu kondisi yang telah
dimodifikasi (terdapat sungai yang dapat dilayari). Semua penggunaan tanah pertanian
memaksimalkan produktifitasnya masing-masing, dimana dalam kasus ini bergantung
pada lokasi dari pasar (pusat kota). Banyaknya kegiatan yang berpusat pada kota atau
pusat pasar ini menjadikan kota memiliki nilai yang lebih ekonomis untuk mendapatkan
keuntungan maksimal bagi para pelaku pertanian. Faktor jarak juga menentukan nilai
suatu barang, semakin jauh jarak yang ditempuh oleh para petani maka biaya transportasi
yang dikeluarkan akan semakin meningkat, sehingga para petani akan memilih untuk
menyewa lahan yang lebih dekat dengan pusat pasar atau kota dengan harapan bisa
mendapatkan nilai atau harga barang yang lebih tinggi tanpa harus mengeluarkan biaya
transportasi yang tinggi.
9
Weber (1909) menganalisis tentang lokasi kegiatan industri. Menurut teori Weber
pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan
bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di
mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi
dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang
maksimum. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu
biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Dalam
menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep
segitiga lokasi atau locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk
menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau
pasar, Weber merumuskan indeks material (IM), sedangkan biaya tenaga kerja sebagai
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri dijelaskan Weber dengan
menggunakan sebuah kurva tertutup (closed curve) berupa lingkaran yang dinamakan
isodapan (isodapane).
Teori Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota,
dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem
geometri, di mana angka 3 yang diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat
berarti dan model ini disebut sistem K = 3. Model Christaller menjelaskan model area
perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari setiap
komoditi yang dinamakan range dan threshold.
Teori Lokasi dari August Losch melihat persoalan dari sisi permintaan (pasar), berbeda
dengan Weber yang melihat persoalan dari sisi penawaran (produksi). Losch mengatakan
bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat
digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena
biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung
menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar.
10
Menurut Isard (1956), masalah lokasi merupakan penyeimbangan antara biaya dengan
pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidakpastian yang berbeda-beda. Isard
(1956) menekankan pada faktor-faktor jarak, aksesibilitas, dan keuntungan aglomerasi
sebagai hal yang utama dalam pengambilan keputusan lokasi.
II.2. Bentuk
Suatu perwujudan dari organisasi ruang yang merupakan hasil dari suatu proses
pemikiran. Proses ini didasarkan atas pertimbangan fungsi dan usaha pernyataan
diri/ekspresi (Hugo Haring).
Wujud dari penyelesaian akhir dari konstruksi yang pengertiannya sama (Mies van der
Rohe).
Suatu keseluruhan dari fungsi-fungsi yang bekerja secara bersamaan, yang hasilnya
merupakan susunan benda (Benyamin Handler).
Hasil dipenuhinya syarat-syarat kokoh, guna, dan indah (Vitruvius). (Universitas
Gunadarma, 2016)
Menurut Ching (1996:50,51) dalam Universitas Gunadarma (2016) ciri-ciri visual bentuk
adalah sebagai berikut:
Wujud yaitu ciri-ciri pokok yang menunjukkan bentuk yang merupakan hasil konfigurasi
tertentu dari permukaan-permukaan dan sisi-sisi suatu bentuk.
Dimensi yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Dimensi-dimensi ini menentukan proporsinya,
sedangkan skala ditentukan oleh perbandingan ukuran relatifnya terhadap bentuk-bentuk
lain disekelilingnya.
Warna yaitu corak, intensitas dan nada pada permukaan suatu bentuk, merupakan atribut
yang paling menyolok yang membedakan suatu bentuk terhadap lingkungannya. Warna
juga mempengaruhi bobot visual suatu bentuk.
Tekstur yaitu karakter permukaan suatu bentuk,tekstur mempengaruhi baik perasaan kita
pada waktu menyentuh maupun kualitas pemantulan cahaya menimpa permukaan bentuk
tersebut.
Posisi yaitu letak relative suatu bentuk terhadap suatu lingkungan atau medan visual.
Orientasi yaitu posisi relative suatu bentuk terhadap bidang dasar, arah mata angin, atau
terhadap pandangan seseorang yang melihatnya.
12
Inersia visual yaitu derajat konsentrasi dan stabilitas suatu bentuk, inersia suatu bentuk
tergantung pada geometrid an orientasi relatifnya terhadap bidang dasar dan garis
pandangan kita.
Semua ciri-ciri visual bentuk diatas pada kenyataannya dipengaruhi oleh keadaan
bagaimana kita memandangnya , seperti perspektif/sudut pandang kita, jarak kita terhadap
bentuk tersebut, keadaan pencahayaan, lingkungan visual yang mengelilingi benda tersebut.
Sedangkan Eppi, dkk (1986:52,53) dalam Universitas Gunadarma (2016) menguraikan
bahwa bentuk-bentuk arsitektur memiliki unsur-unsur : garis, lapisan, volume, tekstur, dan
warna. Kombinasi atau perpaduan dari kesemua unsure akan menghasilkan ekspresi bangunan.
Ini menghasilkan suatu pengungkapan maksud dan tujuan bangunan secara menyeluruh.
Dengan melalui uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa kondisi fisik bentuk
menentukan ekspresi bangunan, menghasilkan citra tertentuyang merupakan aspek filosofis
desain yang menentukan kekhasan desain. Dengan demikian bentuk memiliki peran mendasar
dalam setiap keputusan pada proses perancangan arsitektur.
II.3. Rumah
Dikutip dari Haryanto (n.d.), rumah adalah suatu bangunan, tempat manusia tinggal dan
melangsungkan kehidupannya. Di samping itu, rumah juga merupakan tempat berlangsungnya
proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan kepada norma dan adat kebiasaan
yang berlaku di dalam suatu masyarakat. (Sarwono dalam Budihardjo, 1998 : 148).
Dikutip dari Haryanto (n.d.), menurut A.Turner dalam Jenie, (2001 : 45), tiga
fungsi utama yang terkandung dalam sebuah rumah tempat bermukim, yaitu :
tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat memiliki tempat berteduh guna
melindungi diri dari iklim setempat.
2. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk berkembang
dalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi atau fungsi pengemban keluarga.
Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial
dan kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan.
3. Rumah sebagai penunjang rasa aman (security) dalam arti terjaminnya keadaan
keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas
lingkungan perumahan yang ditempati serta jaminan keamanan berupa
kepemilikan rumah dan lahan (the form of tenure).
Dikutip dari Haryanto, (n.d.), menurut Richard Untermann dan Robert Small
(1986), ada beberapa tipe perumahan antara lain:
menampung pengemudi dan jalan masuk dan ruangan bagian dalam untuk kegunaan
tertentu) dan kadang-kadang dibuat dengan suatu kedalaman kira- kira 150 feet. Rumah
kota menawarkan kenyamanan yang tinggi untuk sebuah keluarga tunggal kecuali bila
dibuat tanpa halaman samping.
F. Maisonet (Maisonette)
Adalah sebuah tipe standar dari bangunan berkapasitas tinggi dan bertingkat rendah. Yang
telah sipergunakan secara luas di seluruh dunia. Dikatakan berkepadatan tinggi karena
merupakan suatu penumpukan vertikal maksimum dari sebuah unit berlantai dua di atas
unit bangunan lainnya, dengan dua tahapan tangga untuk lantai utama dari unit yang
terletak lebih atas
1. Asal-usul
Dikutip dari Melayu Online (n.d.), rumah panggung kayu adalah salah satu rumah
tradisional Bugis yang berbentuk persegi empat memanjang ke belakang. Konstruksi bangunan
rumah ini dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga dapat dipindahkan dari satu tempat
ke tempat lain.
Konsep empat persegi panjang ini bermula dari pandangan hidup masyarakat Bugis pada
zaman dahulu tentang bagaimana memahami alam semesta secara universal. Dalam falsafah dan
pandangan hidup mereka terdapat istilah sulapa ppa, yang berarti persegi empat, yaitu sebuah
pandangan dunia empat sisi yang tertujuan untuk mencari kesempurnaan ideal dalam mengenali
dan mengatasi kelemahan manusia (Elizabeth Morrell, 2005: 240). Menurut mereka, segala
sesuatu baru dikatakan sempurna dan lengkap jika memiliki sulapa ppa. Demikian pula
pandangan mereka tentang rumah, yaitu sebuah rumah akan dikatakan bola gnn atau rumah
sempurna jika berbentuk segi empat, yang berarti memiliki empat kesempurnaan.
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang dapat mempengaruhi bentuk
rumah mereka, yang ditandai dengan simbol-simbol khusus. Berdasarkan pelapisan sosial
tersebut, maka bentuk rumah tradisional orang Bugis dikenal dengan istilah Saoraja
(Sallasa) dan Bola. Saoraja berarti rumah besar, yakni rumah yang ditempati oleh keturunan raja
atau kaum bangsawan, sedangkan bola berarti rumah biasa, yakni rumah tempat tinggal bagi
rakyat biasa (Izarwisma Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 24).
16
Dari segi struktur dan konstruksi bangunan, kedua jenis rumah tersebut tidak memiliki
perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran rumah dan status sosial
penghuninya. Pada umumnya, Saoraja lebih besar dan luas daripada Bola yang biasanya ditandai
oleh jumlah tiangnya. Saoraja memiliki 40 48 tiang, sedangkan Bola hanya memiliki 20 30
tiang. Sementara perbedaan status sosial penghuninya dapat dilihat pada bentuk tutup bubungan
atap rumah yang disebut dengan timpak laja. Bangunan Saoraja memiliki timpak laja yang
bertingkat-tingkat yaitu antara 3 - 5 tingkat, sedangkan timpak laja pada bangunan Bola tidak
bertingkat alias polos (Izarwisma, dkk., [ed.], 1985: 27). Semakin banyak jumlah tingkat timpak
laja sebuah Saoraja, semakin tinggi pula status sosial penghuninya.
Gambar 2.2. Tampak laja Soaraja dan Tampak laja Bola Ogi (sumber: Melayu Online,
n.d.)
Rumah bagi orang Bugis tidak sekedar tempat tinggal atau obyek materil yang indah dan
menyenangkan. Menurut Y.B. Mangunwijaya, pendirian rumah tradisional Bugis lebih diarahkan
kepada kelangsungan hidup manusia secara kosmis. Oleh karena itu, konstruksi rumah
tradisional Bugis sangat dipengaruhi oleh pemahaman atas struktur kosmos. Menurut pandangan
hidup masyarakat Bugis zaman dahulu, alam raya (makrokosmos) tersusun atas tiga tingkatan,
yaitu alam atas (botting langik), alam tengah (lino), dan alam bawah (uriliyu). Alam atas adalah
tempat para dewa yang dipimpin oleh satu dewa tertinggi bernama Dewata SeuwaE (Dewa
Tunggal). Alam tengah adalah bumi yang dihuni oleh para wakil dewa tertinggi untuk mengatur
hubungan manusia dengan dewa tertinggi, serta mengatur jalannya tata tertib kosmos. Alam
bawah adalah tempat yang paling dalam yaitu berada di bawah air Berdasarkan pandangan hidup
tersebut, maka konstruksi rumah tradisional Bugis harus terdiri tiga tingkatan,
17
yaitu rakkeang (alam atas), al bola (alam tengah), awa bola (alam bawah), di mana keseluruhan
bagian tersebut masing-masing memiliki fungsi.
Untuk mendirikan rumah adat Bugis, diperlukan peran seorang Sanro Bola atau dukun
rumah. Sanro Bola dianggap menguasai ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah,
mulai dari pemilihan lokasi dan waktu, jenis kayu, arah letak rumah, dan pengerjaan elemen-
elemen atau ornamen bangunan rumah hingga pada konstruksi serta segala pelengkapnya. Selain
itu, Sanro Bola juga mengetahui cara-rara mengusir makhluk-makhluk halus melalui doa dan
mantra-mantra. Menurut keyakinan orang Bugis, kayu yang akan ditebang untuk tiang dan
tempat untuk mendirikan rumah terkadang dihuni oleh makhluk-makhluk halus dan roh-roh
jahat. Oleh karena itu, penghuni rumah harus meminta bimbingan kepada seorang Sanro Bola.
Jika tidak, maka si penghuni rumah kelak akan ditimpa penyakit, malapetaka, atau meninggal
dunia (Nurhayati Djamas, 1998: 74).
a. Bahan-bahan
Ketika hendak mendirikan rumah, orang Bugis selalu selektif dalam memilih bahan atau kayu
yang bermutu dan bernilai filosofi. Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membangun
Rumah Panggung Kayu di antaranya:
18
Aju panasa (kayu nangka). Kayu ini biasanya khusus digunakan untuk tiang pusat rumah
(posi bola).
Aju bitti, aju amara, dan aju jati. Ketiga jenis kayu ini dapat digunakan untuk
keseluruhan tiang, selain tiang pusat rumah. Namun jika menggunakan kayu jati,
jumlahnya harus lebih dari satu, karena kata jati oleh orang Bugis ditafsirkan
sebagai maja ati (berhati jelek atau jahat). Selain itu, banyak orang yang akan iri dan
dengki kepada si pemilik rumah jika menggunakan kayu jati.
Aju ipi, aju seppu, dan batang kelapa. Ketiga jenis kayu ini digunakan untuk arateng,
yaitu balok pipih panjang berderet ke belakang yang berfungsi mengikat tiang pada
bagian tengah rumah. Ketiga jenis kayu ini juga digunakan untuk membuat pattolo
riawa, yaitu balok pipih panjang yang berfungsi mengikat deretan tiang bagian tengah
dari arah kanan ke kiri; dan aju lekke, yaitu balok panjang yang terletak paling atas dan
berfungsi untuk menyangga atau menahan kerangka atap.
Aju tippulu dan batang lontar. Kedua jenis kayu ini digunakan untuk membuat pare,
yaitu balok pipih panjang berderet ke belakang sejajar dengan arateng yang berfungsi
mengikat tiang-tiang sebelah atas. Panjangnya sama dengan panjang aju lekke. Selain itu,
jenis kayu ini juga digunakan untuk membuat pattolo riase/padongko, yaitu balok pipih
panjang yang mengikat ujung tiang bagian atas sejajar dengan pattolo
riawa; dan tanebba, yaitu balok berukuran kecil sebagai dasar dari lantai rumah dan
berfungsi menahan papan yang akan menjadi lantai rumah.
Aju cendana. Jenis kayu ini digunakan untuk membuat barakkapu, yaitu balok kecil yang
merupakan dasar dari lantai rakkeang (loteng).
Bambu, digunakan untuk membuat addeneng (tangga), salima (lantai),
dan rnring (dinding).
Daun rumbia, ijuk, nipah, ilalang, digunakan untuk membuat atap. Ijuk dan nipah
biasanya digunakan khusus untuk Saoraja, sedangkan daun rumbia dan ilalang digunakan
untuk Bola. Dalam perkembangannya, saat ini sudah banyak yang menggunakan seng,
sirap, dan genteng.
19
b. Tenaga
a. Tahap Persiapan
Tahap persiapan mendirikan Rumah Panggung Kayu dimulai dari musyawarah keluarga.
Dalam pertemuan ini dibicarakan mulai dari tipe dan ukuran rumah, waktu dan tempat
mendirikan rumah, bahan dan biaya yang dibutuhkan, hingga ke pembagian tugas (baik tugas
individu maupun berkelompok). Persoalan pertama yang dibicarakan adalah status sosial calon
penghuni rumah, sebab status sosial tersebut sangat menentukan tipe dan bentuk rumah yang
akan dibangun.
Kedua, menentukan ukuran rumah. Sedikitnya ada dua cara untuk menentukan ukuran
rumah, yaitu diukur secara spasial vertikal (tinggi bagian bawah, tengah, dan atas), dan spasial
horizontal (panjang dan lebar). Secara spasial vertikal, ukuran tinggi bagian bawah (kolong) dan
bagian tengah (al bola/badan rumah) diambil dari ukuran tinggi suami penghuni rumah, yaitu
diukur dari ujung kaki hingga telinga dalam posisi berdiri, kemudian diukur dari lantai sampai
mata dalam posisi duduk. Hasil dari kedua pengukuran tersebut kemudian dijumlahkan.
Sementara untuk ukuran bagian atas (puncak rumah) diambil dari seperdua panjang pattolo
riase, lalu ditambah dua jari dari istri penghuni rumah. Misalnya, panjang pattolo riase 7 m,
maka tinggi puncak rumah itu 7/2 + 2 jari istri penghuni rumah. Secara spasial horizontal, ukuran
panjang dan lebar rumah biasanya menggunakan rppa (depa) dan jakka (jengkal) penghuni
rumah.
Ketiga, menentukan waktu. Orang Bugis meyakini bahwa terdapat waktu yang baik dan
buruk dalam memulai sesuatu pekerjaan. Oleh karena itu, pemilihan waktu sangat penting untuk
memastikan hasil positif suatu usaha (Robinson, 2005: 282). Ketika hendak mendirikan rumah,
orang Bugis selalu mencari waktu yang baik, dengan harapan si penghuni rumah akan selamat,
murah rezeki, dan segala yang dicita-citakan akan tercapai. Waktu-waktu yang dianggap baik, di
antaranya mappongngi Arabae (hari Rabu pertama pada setiap bulan), cappu Kammisi (setiap
hari Kamis terakhir setiap bulan). Adapun waktu-waktu yang dianggap buruk, yaitu mula
Kammisi (hari Kamis pertama pada setiap bulan), cappu Araba (hari Rabu terakhir setiap bulan),
hari Senin yang bertepatan hari ke-13 sampai ke-16 setiap bulan, dan uleng taccipi atau bulan
terjepit (bulan yang diapit oleh Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu bulan Zulkaidah).
Menurut Robinson, bulan-bulan yang dianggap buruk dalam penanggalan Islam
adalah Muharram, Raibiul-awal, Jumadil-akhir, dan Syawal (Robinson, 2005: 282).
21
Keempat, menentukan tempat dan arah rumah. Tanda-tanda tanah yang dianggap baik
untuk mendirikan rumah di antaranya memiliki kemiringan (di mana air bisa mengalir), rasanya
kemanis-manisan, dan tidak ditemukan sarang ani-ani (rayap). Setelah itu, tanah tersebut harus
diuji kecocokannya dengan si penghuni rumah, yaitu dengan cara meletakkan sebuah bila (buah
maja) yang berisi air pada tempat di mana akan diletakkannya posi bola selama satu malam. Jika
volume air dalam bila tersebut tidak bertambah, maka itu pertanda baik. Tetapi jika airnya tetap,
maka hal itu berarti tidak baik. Untuk arah rumah, topografi tanah juga sangat menentukan. Bila
tanahnya miring ke utara, maka rumah harus menghadap ke timur dengan pertimbangan
ketentuan adat bahwa air limbah harus mengalir ke kiri. Setelah mendapat pengaruh ajaran
Islam, arah rumah yang paling baik adalah menghadap ke selatan dengan anggapan bahwa
Kabah yang berada di sebelah barat tidak boleh searah dengan kaki pada waktu tidur (Mardanas,
dkk., (ed.), 1985: 73).
tidak bergesekan dengan dahan pohon lain, tidak menindih makhluk hidup (apalagi manusia)
saat kayu itu ditebang, tidak dililit oleh tumbuhan lain, dan tidak dilobangi oleh kumbang.
c. Tahap Pembangunan
Setelah bahan-bahan yang diperlukan terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah
pembuatan kerangka rumah, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu awa bola (bagian bawah), al
bola (bagian tengah), dan rakkeang(loteng). Kerangka rumah merupakan bagian terpenting
karena merupakan bagian yang menentukan kokoh atau tidaknya sebuah Rumah Panggung
Kayu. Bahan untuk bagian bawah meliputi aliri, aratng, pattolo riawa; bagian tengah
meliputi par, tanebba, pattolo riase; dan bagian atas meliputi aju lekk, barakkapu,patteppo
barakkapu, dan aju te. Untuk itu, sebelum dilicinkan dengan menggunakan serut, bahan-bahan
untuk kerangka ini biasanya direndam dalam air sungai atau rawa-rawa dalam waktu berminggu-
minggu, yang dalam istilah Bugis disebut ibellang. Hal ini bertujuan agar bahan-bahan tersebut
menjadi kuat dan padat sehingga tidak mudah dimakan rayap atau serangga lainnya selama
rumah tersebut ditempati.
Gambar 2.3. Kerangka Saoraja tampak dari sebelah kanan (sumber: Melayu Online, n.d.)
kayu yang digunakan tidak boleh asal pilih. Bagian penting lain yang perlu diperhatikan ketika
memilih kayu untuk posi bola adalah pasu, yaitu bekas cabang dari pohon itu. Dalam keyakinan
orang Bugis, pasu tersebut dapat mendatangkan manfaat ataupun malapetaka bagi penghuninya.
Menurut Robinson (2005: 294), sebagian besar pasu mengarah kepada hal-hal negatif yang dapat
mendatangkan malapeta.
Di antara pasu yang mendatangkan manfaat adalah pasu parekkuseng, yang berarti gadis-gadis
di rumah itu mudah mendapat jodoh, dan pasu cabberu (tersenyum), yaitu membuat penghuni
senantiasa bergembira. Adapun pasu yang membawa malapetaka di antaranya: pasu
wuju (mayat), rumah tersebut sering menyebabkan kematian; pasu tomalasa (orang sakit),
menyebabkan penghuni sering sakit; pasu garppu(menghancurkan), menyebabkan tuan rumah
sakit-sakitan; dan pasu panga (pencuri), menyebabkan rumah tersebut dimasuki pencuri
(Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 42).
Mappattama aratng dan patttolo, yaitu merangkai kerangka rumah dengan cara
memasukkan aratng dan pattolo pada tiang-tiang yang telah dilubangi, dan semuanya harus
dimulai dari posi bola. Yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah semua pangkal kayu
untuk aratng harus berada di depan, sedangkan untuk pangkal kayu pattolo harus berada di
samping kanan.
Dapara, yaitu lantai rumah yang biasanya terbuat dari kayu (papan) dan bambu yang
biasa disebut salima (bambu yang telah dibelah kecil-kecil).
Rnring, yaitu dinding yang biasanya terbuat dari kayu atau papan (katabang), bambu
(ddde), dan daun kelapa atau nipah (addada). Menurut tempatnya, rnring dibagi
menjadi empat bagian, yaitu rnring pangolo (dinding
depan), rnring uluang (dinding hulu, terletak di bagian kepala saat tidur), rnring
monri (dinding belakang), dan rnring tamping (dinding hilir, terletak di bagian kaki
saat tidur).
Tang, yaitu pintu yang digunakan sebagai jalan masuk/keluar rumah. Pintu ini menurut
tempatnya terdiri dari dua, yaitu pintu depan dan pintu belakang.
Tellongng, yaitu jendela yang digunakan untuk melihat keluar rumah dan sebagai
ventilasi rumah. Jendela ini terletak pada dinding dan diapit dua buah tiang.
Gambar 2.4. Kerangka Bola Ogi secara spasial vertikal tampak dari depan (sumber :
Melayu Online, n.d.)
Dari ketiga bagian rumah tersebut, al bola atau badan rumah merupakan bagian yang
terpenting dari Rumah Panggung Kayu, karena bagian ini merupakan tempat tinggal dan
melakukan aktivitas sehari-hari. Maka secara spasial horizontal, bagian al bola ini dibagi
berdasarkan lontang atau latt (petak) menjadi tiga bagian, yaitu:
Lontang risaliwng, yaitu bagian depan yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu,
tempat tidur tamu (biasanya dibuatkan sebuah kamar khusus), tempat bermusyawarah,
dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Sebagai tempat
berkomunikasi dengan orang luar, biasanya ruang ini dilengkapi dengan kursi atau sofa
dan perabot rumah tangga. Foto-foto keluarga juga dipajang di ruangan untuk
menambah keindahan dan kenyamanan tamu.
Lontang ritngngah, yaitu ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat tidur kepala
keluarga bersama isteri dan anak-anaknya yang belum dewasa. Ruang ini sifatnya
sangat kekeluargaan karena di ruangan inilah terjadi hubungan sosial antara sesama
anggota keluarga.
Lontang rilalng, yaitu ruang belakang yang berfungsi sebagai tempat tidur anak gadis,
nenek/kakek, atau anggota keluarga yang dianggap perlu perlindungan atau perawatan
dari seluruh keluarga.
27
Selain ketiga bagian atau ruang-ruang tersebut, rumah tradisional Bugis biasanya
ditambahkan ruang khusus, seperti jongke/dapurang (dapur), tamping (serambi), dan lego-
lego (teras). Jongke adalah ruang tambahan khusus yang dibuat untuk tempat memasak, dan
penyimpanan peralatan rumah tangga. Di ruangan ini biasanya juga dibuat sebuah kamar kecil
untuk keluarga. Ruangan ini terletak di bagian belakang rumah induk. Tamping adalah ruang
tambahan di bagian samping kiri dan kanan rumah induk dengan bentuk memanjang ke
belakang, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang atau hasil panen.
Sedangkan lego-lego adalah ruang tambahan yang dibuat di depan rumah induk. Ruang
tambahan ini berfungsi sebagai tempat keluarga bersenda gurau dan tempat duduk tamu sebelum
dipersilakan masuk ke dalam rumah.
Ragam hias fauna yang menonjol pada rumah tradisional Bugis terdapat tiga macam,
yaitu ragam hias ayam jantan, kepala kerbau, dan naga. Ragam hias ayam jantan merupakan
simbol keuletan dan keberanian, sedangkan kepala kerbau adalah simbol kekayaan dan
ketinggian status sosial pemiliknya. Ragam hias kepala kerbau ini biasanya terdapat pada rumah
raja/bangsawan (Saoraja). Adapun ragam hias bentuk naga merupakan simbol wanita yang
28
lemah lembut tapi memiliki kekuatan dahsyat Bentuk ragam hias fauna ini pada umumnya
ditempatkan pada bubungan atap rumah atau timpak laja.
Gambar 2.5. Ragam hias Saoraja dengan corak ayam jantan (sumber: Melayu Online, n.d.)
6. Nilai-Nilai
Nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur Rumah Panggung Kayu di antaranya adalah
nilai falsafah, status sosial, estetika, dan kesatuan hidup keluarga. Nilai yang paling mendasar
pada konstruksi rumah ini adalah nilai falsafah, yaitu pandangan kosmologi orang Bugis yang
menganggap bahwa makrokosmos terdiri atas tiga tingkat. Perwujudan dari pandangan ini dapat
dilihat pada konstruksi bangunan rumahnya yang dipandang sebagai mikrokosmos, yang terdiri
dari tiga tingkat yaitu rakkeang, al bola, dan awa bola. Mereka beranggapan bahwa menjaga
keharmonisan makrokosmos dengan mikrokosmos niscaya akan mendatangkan ketenangan,
kesejahteraan, dan kedamaian.
Nilai status sosial pada bangunan Rumah Panggung Kayu dapat dilihat pada
bentuk timpak laja atau tutup bubungan rumahnya. Bentuk tutup bubungan rumah bangsawan
(Saoraja) bertingkat-tingkat, sedangkan bubungan rumah rakyat biasa (Bola) bentuknya polos.
Perbedaan lain juga dapat dilihat dari bentuk tangga, di mana tangga rumah bangsawan
memiliki luccureng (tempat berpegang), sedangkan tangga rumah orang biasa tidak ada.
Demikian pula pada ukuran rumah, di mana rumah bangsawan umumnya lebih besar daripada
rumah orang biasa. Perbedaan-perbedaan tersebut menunjukkan bahwa di dalam masyarakat
orang Bugis terdapat perbedaan status sosial.
29
Nilai yang tak kalah menariknya dari bangunan Rumah Panggung Kayu ini adalah nilai
estetikanya. Bentuknya persegi empat panjang dan ditopang oleh tiang-tiang yang diatur rapi.
Seluruh sisi-sisinya dibalut dinding-dinding dan dilengkapi dengan jendela, dan bagian atasnya
ditutup dengan atap yang berbentuk prisma. Nilai estetika lainnya terdapat pada kesatuan dan
keserasian pelengkapnya. Hal ini terlihat pada keserasian antara besar tiang dengan
tebal pattolo dan aratng, antara tinggi kolong dengan tinggi dindingnya, maupun keserasian
antara besar badan rumah dengan tinggi puncaknya. Selain itu, rumah tradisional Bugis juga
dilengkapi dengan ragam hias yang meliputi corak alam, flora, dan fauna, yang semuanya
memiliki nilai estetika dan arti simbolik.
Bangunan rumah tradisional Bugis ini juga mengandung nilai kesatuan hidup keluarga,
yaitu kesatuan hidup suami istri dalam berumah tangga. Bagi orang Bugis, sebuah rumah akan
dianggap sempurna jika memiliki dua tiang utama, yaitu tiang posi bola dan
tiang pakka. Tiang posi bola menyimbolkan wanita (ibu rumah tangga) yang bertugas
menyimpan dan mengelola semua nafkah yang diperoleh suami, serta menjaga keharmonisan
keluarga. Sementara tiang pakka sebagai sandaran tangga menyimbolkan laki-laki (kepala rumah
tangga) yang bertugas memikul tanggung jawab keluarga, yakni mencari nafkah. Oleh karena
itu, jika kepala rumah tangga ingin menaikkan atau memasukkan bahan kebutuhan rumah tangga
ke dalam rumah, maka ia harus melalui tangga depan (Melayu Online, n.d.).
Menurut Riaume (n.d.), rumah permanen adalah sebuah bangunan rumah yang di bangun
dengan bahan kuat dan kokoh baik itu untuk pondasi rumah tersebut,tiang-tiang ,dinding maupun
struktur rangka atap.sebagai contoh spesifikasi rumah permanen pada umum nya
1. pondasi rumah permanen yang kuat dan kokoh adalah sebuah pondasi yang di
lengkapi tiang pancang baik itu kayu ,beton maupun baja.dilengkapi dengan pondasi
cakar ayam di bawah,dan pasti nya di lengkapi dengan campuran beton khusus untuk
pondasi.
30
2. tiang-tiang rumah permanen biasa nya di lengkapi besi baja dan beton campuran
dengan spesifikasi khusus,agar tiang tidak mudah retak dan patah.
3. dinding perumahan permanen full beton terdiri dari campuran khusus semen dan batu
bata dan tentu nya menggunakan plester dinding rumah dengan semem khusus
4. rangka atap di rumah permanen rata-rata menggunakan rangka atap baja ringan atau
rangka atap galvalum .
Rumah semi permanen bisa di artikan sebagai sebuah bangunan atau rumah yang di bangun
dengan spesifikasi setengah permanen. Setengah permanen yakni -rumah tersebut memiliki
pondasi yang kuat sama hal nya rumah permanen,dinding beton namum sebagian dari rumah
tersebut terbuat dari bahan yang tidak kuat, seperti masih menggunakan rangka atap kayu. Daya
tahan rangka atap kayu memang kuat, namum tidak untuk jangka waktu yang lama. Seiring
waktu berjalan,rangka atap dari kayu tersebut mudah lapuk dan di serang oleh serangga bubuk
kayu atau rayap.tidak hanya pada rangka saja. Rumah semi permanen biasa juga tidak
menggunakan dinding full beton,terkadang hanya 50% dari bagian dinding menggunakan
tembok,dan sisa nya menggunakan kayu ,rotan maupun bambu. Dari sisi modal yang di perlukan
untuk membangun rumah semi perbedaan lebih sedikit rendah di banding dengan
dengan perumahan permanen. Dari pernjelasan diatas,bisa diambil kesimpulan pengertian rumah
semi permanen adalah sebuah rumah yang sebagian besar bahan digunakan untuk membangun
31
rumah yang kuat layaknya rumah permanen dan sisanya mengunakan bahas biasa-biasa saja.
Oleh karena itu, rumah semi permenan sering diartikan rumah yang tidak kokoh dan mudah di
hancurkan,padahal kenyataannya rumah semi permanen itu cukup kuat dan adalah sebuah rumah
yang memiliki spesifikasi mendekati rumah permanen,hanya saja sebagian bahan di gunakan
berkualitas sedikit rendah (Riaume, n.d.).
II.4. Permukiman
a. Pemukiman darurat
b. Pemukiman tradisional
32
Jenis pemukiman ini biasanya timbul akibat adanya urbanisasi yaitu perpindahan
penduduk dari kampung (pedesaan) ke kota. Umumnya ingin mencari kehidupan yang
lebih baik, mereka bekerja di toko-toko, di restoran-restoran, sebagai pelayan dan lain
lain. sulitnya mencari kerja di kota akibat sangat banyak pencari kerja, sedang tempat
bekerja terbatas, maka banyak diantara mereke manjadi orang gelandangan, Di kota
ummnya sulit mendapatkan tempat tinggal yang layak hal ini karena tidak terjangkau
oelh penghasilan (upah kerja) yang mereka dapatkan setiap hari, akhirnya meraka
membuat gubuk-gubuk sementara (gubuk liar)
Pemukiman semacam ini drencanakan pemerintah dan bekerja sama dengan pihak
swasta. Pembangunan tempat pemukiman ini biasanya dilokasi yang sesuai untuk suatu
33
Selain itu ditempat ini biasanya dilengakapi dengan gedung-gedung sekolah (SD,
SMP, dll) yang dibangun dekat dengan tempat tempat pelayanan masyarakat seperti
poskesdes/puskesmas, pos keamanan kantor pos, pasar dan lain lain.
Untuk di daerah daerah (kota kota ) yang sulit untuk mendapatkan tanah yang
luas untuk perumahan, tetapi kebutuhan akan perumahan cukup banyak, maka
pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta membangun rumah tipe susun atau rumah
susun (rumah bertingkat) seperti terdapat di kota metropolitan DKI Jakarta. Rumah
rumah seperti ini ada yang dapat dibeli secara cicilan atau disewa secara bulanan.
f. Pemukiman Transmigrasi
jenis pemukiman semacam ini di rencanakan oleh pemerintah yaitu suatu daerah
pemukiman yang digunakan untuk tempat penampungan penduduk yang dipindahkan
(ditransmigrasikan) dari suatu daerah yang padat penduduknya ke daerah yang
jarng/kurang penduduknya tapi luas daerahnya (untuk tanah garapan bertani bercocok
tanam dan lain lain) disamping itu jenis pemukiman merupakan tempat pemukiman bagi
orang -orang (penduduk) yang di transmigrasikan akibat di tempat aslinya seiring dilanda
banjir atau seirng mendapat gangguan dari kegiatan gunung berapi. Di tempat ini meraka
telah disediakan rumah, dan tanah garapan untuk bertani 9bercocok tanam) oleh
pemerintah dan diharapkan mereka nasibnya atau penghidupannya akan lebih baik jika
dibandingkan dengan kehidupan di daerah aslinya.
34
II.5. Pesisir
Dikutip dari Nasir (2014), pengertian pesisir menurut UU No. 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
yaitu:
a. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat
dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
b. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
c. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua
ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
d. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya
nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati
meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber
daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan
meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa
lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air
yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang
terdapat di Wilayah Pesisir.
e. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh
12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai
dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
f. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan
bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat.
Pendapat lain disampaikan oleh Departemen Pekerjaan Umum Bidang Cipta karya
tentang karakteristik permukiman nelayan adalah :
a. Merupakan Permukiman yang terdiri atas satuan-satuan perumahan yang memiliki
berbagai sarana dan prasarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan
penghuninya.
b. Berdekatan atau berbatasan langsung dengan perairan, dan memiliki akses yang
tinggi terhadap kawasan perairan.
c. 60% dari jumlah penduduk merupakan nelayan, dan pekerjaan lainnya yang terkait
dengan pengolahan dan penjualan ikan.
d. Memiliki berbagai sarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan
penduduknya sebagai nelayan, khususnya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan
eksplorasi ikan dan pengolahan ikan.
Dalam Syam (2016), wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan
wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan
ekosistem laut yang sangat dinamis dan saling mempengaruhi, wilayah ini sangat intensif
dimanfaatkan untuk kegiatan manusia seperti: permukiman, industri, pelabuhan, pertambakan,
37
dan pariwisata. Peruntukan ini akan berakibat pada peningkatan kebutuhan akan lahan dan
prasarana lainnya, sehingga akan timbul masalah-masalah baru di kawasan pantai. Sejarah awal
keberadaan lingkungan permukiman nelayan dapat dibedakan atas 2 (dua) kronologis, yaitu : 1)
Perkembangan yang dimulai oleh kedatangan sekelompok etnis tertentu di suatu lokasi di pantai,
yang kemudian menetap dan berkembang secara turun-temurun. 2) Perkembangan sebagai
daerah alternatif permukiman, karena peningkatan arus urbanisasi, yang berakibat menjadi
kawasan liar dan kumuh.
tradisional di atas air dipengaruhi oleh empat konsep adaptasi, yaitu 1) konsep adaptasi
lingkungan, 2) konsep adaptasi pengetahuan terhadap alam, 3) konsep adaptasi spiritual dan
ritual, dan 4) konsep adaptasi sistem ekonomi. Menurut Syam (2016), terdapat beberapa aspek-
aspek yang mempengaruhi perubahan bentuk rumah pada rumah permukiman nelayan, yaitu: (1)
perubahan tapak , (2) kebutuhan ruang, (3) penambahan aktivitas, dan (4) transformasi sosial
budaya.
39
Bab III
Metode Penelitian
Lokasi penelitan adalah kawasan pesisir Pantai Bahari, Kecamatan Bangkala, Kabupaten
Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian studi kasus yang menganalisis hubungan
lokasi dan bentuk rumah pada lokasi tertentu.
III.3. Pendekatan
Metode pengumpulan data menggunakan metode observasi dengan format penelitian dan
pengambilan foto sampel di lokasi.
b. Data sekunder
Data ini diperoleh dari pihak lain yang bertujuan untuk melengkapi data primer
Pengolahan dan analisis data dilakukan setelah seluruh data, baik primer dan sekunder,
telah dikumpulkan.
41
Bab IV
Kondisi Eksisting
Gambar 4.1. Letak Lokasi Kelurahan Pantai Bahari, Kecamatan Bangkala, Jeneponto (sumber:
Google Earth, n.d.)
Kelurahan Pantai Bahari terdiri dari beberapa lokasi, seperti jalan utama, jalan
lingkungan, dan pesisir pantai. Keempatnya merupakan lokasi didirikannya rumah pada kawasan
pesisir pada Kelurahan Pantai Bahari yang menjadi objek penelitian.
42
Jalan utama
Pesisir pantai
Jalan lingkungan
Gambar 4.2. Kondisi Lingkungan Pantai Bahari
Berikut adalah sampel bentuk rumah yang terdapat pada keempat lokasi yang berada di
Kelurahan Pantai Bahari.
43
Rumah semi-permanen
Rumah panggung kayu Rumah panggung kayu
Bab V
Analisis
V.1. Analisis Bentuk Rumah pada Beberapa Lokasi Kelurahan Pantai Bahari
Berikut adalah klasifikasi bentuk rumah yang terdapat pada jalan utama, jalan
lingkungan, dan pesisir pantai Kelurahan Pantai Bahari.
Tabel 2. Klasifikasi Bentuk Rumah pada Lokasi Tertentu Kelurahan Bantai Bahari,
Jeneponto (sumber: observasi peneliti)
Pada lokasi jalan utama, sebagian besar bentuk rumah merupakan rumah permanen yang
menggunakan material batu bata untuk dinding. Hal ini ditelaah dari sampel yang mana pada
lokasi tersebut, rumah permanen mendominasi rumah panggung kayu. Pada lokasi jalan
lingkungan, sebagian besar rumah masyarakat masih berbentuk rumah panggung kayu yang
ditinggikan dengan ruang bawah (awa bola) terbuka. Pada lokasi pesisir pantai, bentuk rumah
masyarakat sebagian kecil merupakan rumah darurat dan sebagian besar adalah rumah panggung,
namun memiliki perbedaan dengan bentuk rumah pada jalan lingkungan di mana pada lokasi
pesisir rumah panggung kayu cenderung dibuat rendah, ruang bawah (awa bola) yang tertutup,
dibuat dengan material seadanya, dan tidak terlalu mengutamakan estetika sebagaimana yang
dibangun pada jalan lingkungan dan jalan utama.
Dikutip dari Syam (2016), perubahan laut menjadi permukiman menyebabkan perubahan
mata pencaharian masyarakat nelayan. Awalnya masyarakat tersebut memiliki mata pencaharian
yang relatif sama yaitu terkait pada pantai, kemudian berubah menjadi komunitas yang bermata
45
pencaharian berbeda. Akibatnya terjadi perubahan bentuk dan fungsi rumah sehingga
mempengaruhi tatanan ruang permukimannya. Dalam kaitannya dengan perubahan sosial
masyarakat, Durkheim (Hiller dan Hanson, 1984:18) menjelaskan bahwa masyarakat
berkembang dari kehidupan solidaritas mekanis menjadi solidaritas organis. Solidaritas mekanis
ditandai dengan kehidupan masyarakat yang memiliki kesamaan pekerjaan, sedangkan pada
solidaritas organik tipe masyarakat lebih pluralistik. Solidaritas mekanik membentuk ruang-
ruang yang terpisah dan tersebar, sedangkan solidaritas mekanik membentuk ruang-ruang yang
terintegrasi dan padat. Pada kasus Kelurahan Pantai Bahari, teori tersebut sejalan dengan
perkembangan masyarakat nelayan dari kehidupan solidaritas mekanis menjadi solidaritas
organis. Terdapat pluralisme mata pencaharian pada titik lokasi jalan utama, jalan lingkungan,
dan pesisir di mana pada titik lokasi jalan utama, masyarakat tidak lagi memanfaatkan laut
sebagai mata pencaharian, memiliki profesi beragam mulai dari pegawai BUMN, guru,
pedagang, dll. Pada jalan lingkungan, terdapat bentuk rumah panggung kayu yang terorganisir,
terintegrasi, dan estetik dikarenakan lokasi tersebut pada umumnya ditinggali oleh nelayan
punggawa. Berbeda dengan kedua titik lokasi, bentuk rumah panggung kayu pada lokasi pesisir
umumnya tidak begitu estetik dan hanya memiliki fungsi praktis dikarenakan pada lokasi
tersebut umumnya ditinggali oleh nelayan sawi.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa permukiman nelayan di Kelurahan Pantai Bahari
merupakan permukiman yang terbentuk oleh tradisi dan kebutuhan masyarakat lokal. Tradisi
tersebut tercermin dalam cara bermukim, sehingga terjadi transformasi bentuk rumah berbasis
budaya. Kebutuhan masyarakat lokal juga berpengaruh dari segi mata pencaharian di mana
terdapat transformasi bentuk rumah yang disesuaikan dengan aktivitas ekonomi penghuninya.
Dengan kata lain, elaborasi bentuk sosial dan budaya ke dalam lingkungan, akan mencerminkan
identitas bentuk fisik ruang. Sehingga ruang yang terbentuk akan menunjukkan eksistensi sosial
dan budaya. Transformasi bentuk rumah yang terbentuk mencerminkan nilai-nilai sosial budaya
penghuni rumahnya
46
Berdasarkan Syam (2016) dan hasil penelitian, terdapat beberapa aspek pada lokasi yang
mempengaruhi perubahan bentuk rumah pada rumah permukiman nelayan, yaitu:
a. Perubahan Tapak
Aspek lokasi dan topografi menyebabkan permukiman pesisir membentuk transformasi arah ke
daratan, transformasi arah ke air, transformasi arah sejajar, transformasi di atas air. Lokasi terkait
dengan kesesuain masyarakat pada letak suatu tempat, sedangkan topografi terkait dengan
kesesuaian masyarakat terhadap kondisi suatu tempat. Oleh karena itu, aspek lokasi dan
topografi dapat mempengaruhi cara bermukim masyarakat sehingga berperan dalam
pembentukan permukiman pesisir. Disisi lain, cara bermukim masyarakat juga mengakibatkan
permukiman ini terus berkembang mengisi area laut. Proses ini diikuti oleh reklamasi yang
dilakukan oleh masyarakat setempat. Proses reklamasi menyebabkan berkembangnya rumah-
rumah masyarakat sehingga mengubah laut menjadi ruang-ruang baru. Akibat pengaruh sosial
budaya sehingga ruang-ruang tersebut berubah membentuk permukiman di daratan. Terkait
pengaruh sosial budaya terhadap pembentukan ruang, Lefebvre (1991:96) menjelaskan bahwa
perwujudan manusia dalam membentuk sebuah kehidupan adalah manusia menghasilkan space
dan place untuk ditinggali. Pembentukan sebuah place tidak akan pernah lepas dari norma-norma
dibawa oleh manusia. Akibat laut menjadi darat, para penghuni rumah menambahkan ruang pada
kolong rumahnya yang di sebut awa bola , untuk mewadahi berbagai aktivitas penghuninya.
Rumah-rumah nelayan yang ada di sepanjang pesisir pantai Kelurahan Pantai Bahari, telah
memanfaatkan awa bola sebagai hunian dan ruang transisi setelah beraktivitas melaut.
b. Kebutuhan Ruang
Penambahan jumlah penghuni pada sebuah rumah tangga, merupakan salah satu faktor
penambahan ruang pada ruang bawah rumah (awa bola) . Seperti pada kasus rumah panggung di
pesisir dan jalan lingkungan, bagian bawah rumah dijadikan alternatif untuk tempat tinggal bagi
penghuni rumah yang baru saja menikah, sebelum mereka memiliki rumah sendiri. Karena
bagian atas rumah, sudah tidak ada kamar lagi, maka awa bola difungsikan sebagai tempat
47
tinggal, atas dasar kebutuhan ruang untuk penghuni yang baru, dengan membuat kamar tidur dan
ruang untuk memasak/ruang servis pada awa bola .
c. Penambahan Aktivitas
Di pesisir pantai, ruang pada bawah rumah (awa bola) difungsikan sebagai tempat menyimpan
dan menjemur hasil laut, sehingga dibuat tertutup. Pada jalan lingkungan, tidak terdapat
penambahan aktivitas, sehingga awa bola pada umumnya tidak dibuat tertutup.
Bab VI
Kesimpulan
VI.1. Kesimpulan
2. Bentuk rumah pada 3 lokasi berbeda Kelurahan Pantai Bahari, yakni jalan utama,
jalan lingkungan, dan pesisir pantai memiliki perbedaan. Pada lokasi jalan utama,
sebagian besar bentuk rumah merupakan rumah permanen yang menggunakan
material batu bata untuk dinding. Hal ini ditelaah dari sampel yang mana pada
lokasi tersebut, rumah permanen mendominasi rumah panggung kayu. Pada
lokasi jalan lingkungan, sebagian besar rumah masyarakat masih berbentuk rumah
panggung kayu yang ditinggikan dengan ruang bawah (awa bola) terbuka. Pada
lokasi pesisir pantai, bentuk rumah masyarakat sebagian kecil merupakan rumah
darurat dan sebagian besar adalah rumah panggung, namun memiliki perbedaan
dengan bentuk rumah pada jalan lingkungan di mana pada lokasi pesisir rumah
panggung kayu cenderung dibuat rendah, ruang bawah (awa bola) yang tertutup,
dibuat dengan material seadanya, dan tidak terlalu mengutamakan estetika
sebagaimana yang dibangun pada jalan lingkungan dan jalan utama.
3. Korelasi lokasi terhadap bentuk rumah masyarakat Pantai Bahari sejalan dengan
perkembangan masyarakat nelayan berkembang dari kehidupan solidaritas
mekanis menjadi solidaritas organis. Terdapat pluralisme mata pencaharian pada
ketiga titik lokasi jalan utama, jalan lingkungan, dan pesisir di mana pada lokasi
49
jalan utama, masyarakat tidak lagi memanfaatkan laut sebagai mata pencaharian,
namun memiliki profesi yang beragam. Pada jalan lingkungan, terdapat bentuk
rumah panggung kayu yang terorganisir, terintegrasi, dan estetik dikarenakan
lokasi tersebut pada umumnya ditinggali oleh nelayan punggawa. Berbeda dengan
kedua titik lokasi, bentuk rumah panggung kayu pada lokasi pesisir umumnya
tidak begitu estetik dan hanya memiliki fungsi praktis dikarenakan pada lokasi
tersebut umumnya ditinggali oleh nelayan sawi.
VI. 2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Arimbhawa, Z. (2014). Bentuk Bangunan Dari Pendekatan Lokasi, Lingkungan, dan Struktur.
Universitas Udayana. Retrieved from
https://www.academia.edu/7219918/Bentuk_Bangunan_Dari_Pendekatan_Lokasi_Lingkun
gan_dan_Struktur
Benny, I., Suharto, B., & Si, M. (n.d.). Pentingnya Analisis Lokasi dan Pola Keruangan di dalam
Perencanaan Wilayah dan Kota, 132.
Google Earth. (n.d.). Letak Lokasi Kelurahan Pantai Bahari, Kecamatan Bangkala.
Haryanto, E. S. (n.d.). Rumah Tinggal. ISI Solo. Retrieved from http://eko.dosen.isi-
ska.ac.id/files/2016/12/3-PENGERTIAN-RUMAH-TINGGAL.pdf
Melayu Online. (n.d.). Rumah Panggung Kayu (Rumah Tradisional Bugis Sulawesi Selatan).
Retrieved April 29, 2017, from http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2543/rumah-
panggung-kayu
Nasir, N. (2014). Permukiman Nelayan. Makassar. Retrieved from
https://www.slideshare.net/nurvitafnasir/tinjauan-pustaka-permukiman-nelayan
Rabiatun. (2012). Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Permukiman di Kawasan Pesisir
Kota Medan. Universitas Sumatera Utara. Retrieved from
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../4/Chapter II.pdf
Radar Planologi. (2015). Teori Lokasi Von Thunnen. Retrieved from
http://www.radarplanologi.com/2015/10/teori-lokasi-von-thunen.html
Riaume. (n.d.). pengertian dari rumah permanen dan semi permanen. Retrieved from
https://www.riaume.com/pengertian-dari-rumah-permanen-dan-semi-permanen.html
Ron. (2011). Teori lokasi dari berbagai ahli. Retrieved from http://bang-
ron.blogspot.co.id/2011/01/teori-lokasi-dari-berbagai-ahli.html
Salfa, M. A. (2015). Klasifikasi Permukiman. Retrieved from
https://www.slideshare.net/ElanSalfa/klasifikasi-pemukiman
Syam, S. (2016). Tranformasi Ruang Awa bola Pada Rumah Tradisional. TEMU ILMIAH IPLBI,
1(1), 18. Retrieved from http://eng.unhas.ac.id/arsitektur/files/5821b9dd04487.pdf
Undang-Undang NO. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman. (1992). Undang-
Undang NO. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman. Retrieved from
hukum.jogjakota.go.id/upload/UU Perumahan.doc
Universitas Gunadarma. (2016). Penerapan Pengetahuan Estetika Bentuk Pada Perancangan
Arsitektur. Gunadarma, Jakarta. Retrieved from
elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/estetika/Bab_6.pdf
51