Professional Documents
Culture Documents
GANGGUAN ALZAIMER/DEMENSIA
Keperawatan Komunitas II
Dosen Pembimbing : Ns. Tutur Kardiatun. M. Kep
Di susun oleh
Kelompok 5:
1. Udwan Kurrahman
2. Naila Winarni
3. Sri Juliastuti Utami
4. Eliza Kurniasih
5. Apiana Sumarta
6. Angga Damuri
Prodi S1 Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah
Pontianak
2015/2016
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang Maha Esa atas segala rahmat
dan karunia-Nya serta Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan
besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Gangguan Alzaimer/Demensia.
Penulisan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen
pengampu matakuliah Komunitas II.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data data yang kami peroleh dari buku
panduan, serta informasi dari media massa yang berhubungan dengan Asuhan Keperawatan
Pada Lansia Dengan Gangguan Alzaimer/Demensia.
Kami harap makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan untuk Mahasiswa/i.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Kelompok 5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Alzheimer adalah suatu penyakit degeneratif otak yang progresif, dimana sel-
sel otak rusak dan mati sehingga mengakibatkan gangguan mental berupa kepikunan
(demensia) yaitu terganggunya fungsi-fungsi memori (daya ingat), berbahasa, berpikir dan
berperilaku. Sebagian besar demensia disebabkan oleh penyakit Alzheimer (60%). Demensia
adalah suatu penyakit yang dapat ditatalaksana, dan demensia bukan merupakan bagian
normal dari proses penuaan peningkatan jumlah kasus pada kelompok usia yang lebih muda
(sekitar 40 - 50 tahun).
Penyakit Alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli psikiatri
dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang wanita berumur
51 tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali
ketempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak
koordinasi dan reflek. Pada autopsy tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan
simetris, dan secara mikroskopis tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan
degenerasi neurofibrillary.
Hal-hal yang dianggap dapat melindungi seseorang dari Alzheimer adalah gen APO
E2&3, pendidikan tinggi (aktivitas otak tinggi), pemakaian Estrogen, dan penggunaan obat
anti inflamasi. Meskipun penyebab belum diketahui, namun gangguan mental demensia
(kepikunan) ini telah dapat ditatalaksana dengan baik melalui berbagai upaya.
B. Tujuan
a. Tujuan umum
Tujuan umum penulis dalam menyusun makalah ini adalah untuk mendukung kegiatan
belajar mengajar jurusan keperawatan khususnya pada mata kuliah keperawatan Komunitas II
mengenai Asuhan Keperawatan Klien dengan Alzheimer.
b. Tujuan khusus
Untuk mengetahui definisi alzheimer, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pemeriksaan diagnostik dari alzheimer, penatalaksanaan medis dan asuhan keperawatan klien
dengan alzheimer.
C. RUMUSAN MASALAH
1) Apa definisi alzheimer.
2) Bagaimana etiologi alzheimer.
3) Bagaimana patofisiologi dari alzheimer.
4) Bagaimana gejala klinis dari alzheimer.
5) Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari alzheimer.
6) Bagaimana penatalaksanaan medis dari alzheimer.
7) Bagaimana pencegahan dari alzheimer.
8) Bagaimana kriteria diagnosis dari alzheimer.
9) Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan alzheimer.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Lansia
B. Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang
telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament,
predisposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari
degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan
gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya
defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif
neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh
adanya peningkatan kalsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya
formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana
faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam
kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang
diakibatkan oleh adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolisme
energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang
non spesifik. Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana
faktor lingkungan hanya sebagai pencetus factor genetika.
C. Patofisiologi
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai
pada penyakit Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron
yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein beta-amiloid, bagian
dari suatu protein besar, protein prukesor amiloid (APP). Kerusakan neuron tersebut
terjadi secara primer pada korteks serebri dan mengakibatkan rusaknya ukuran otak.
Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan kerusakan
berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh
darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologik (structural)
dan biokimia pada neuron neuron. Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi
yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi soma dan atau akson dan atau
dendrit.Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris yaitu struktur
intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein tau.
Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat pembentuk
structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen
penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari
protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak dapat
terikat pada mikrotubulus secara bersama sama. Tau yang abnormal terpuntir masuk
ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing masing terluka. Dengan
kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali
tidak berfungsi dan akhirnya diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut
dan berkembangnya neuron yang rusak menyebabkan Alzheimer.
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta)
yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-
beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal
melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan
neuron. APP terbagi menjadi fragmen fragmen oleh protease, salah satunya A-beta,
fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan
tersebut akhirnya bercampur dengan se l sel glia yang akhirnya membentuk fibril
fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi
neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas
sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah
sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor. Selain karena lesi,
perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada AD. Secara neurokimia kelainan
pada otak.
D. Gejala Klinis
Berlangsung lama dan bertahap, sehingga pasien dan keluarga tidak menyadari
secara pasti kapan timbulnya penyakit.
Terjadi pada usia 40-90 tahun.
Tidak ada kelainana sistemik atau penyakit otak lainnya.
Tidak ada gangguan kesadaran.
Perburukan progresif fungsi bahasa, keterampilan motorik dan persepsi.
Riwayat keluarga Alzheimer, parkinson, diabetes melitus, hipertensi dan
kelenjar tiroid (Dr. Sofi Kumala Dewi, dkk, 2008 )
E. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:
a. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi
neuropatologi. Secara umum didapatkan :
atropi yang bilateral, simetris lebih menonjol pada lobus temporoparietal,
anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem
somatosensorik tetap utuh
berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
b. Pemeriksaan Neuropsikologik
Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak
adanya gangguan fungsi kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola
defisit yang terjadi.
Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh
beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan
ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa
F. Tindakan Penanganan/Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab
dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan
hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga.
Pengobatan simptomatik:
1) Inhibitor kolinesterase
Tujuan: Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral
Contoh: fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine), donepezil (Aricept),
galantamin (Razadyne), & rivastigmin
Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama
pemberian berlangsung
ESO: memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan penderita
Alzheimer, mual & muntah, bradikardi, HCl, dan nafsu makan.
2) Thiamin
Pada penderita alzheimer didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase
dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini
disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis.
Contoh: thiamin hydrochloride
Dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral
Tujuan: perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo
selama periode yang sama.
3) Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik.
Tujuan: memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar. Tetapi pemberian 4000
mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang
bermakna.
4) Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan
kerusakan noradrenergik kortikal.
Contoh: klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor
agonis
Dosis : maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu
Tujuan: kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif
5) Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi :
Gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku: Pemberian oral
Haloperiodol 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut
Bila penderita Alzheimer menderita depresi berikan tricyclic anti depresant
(amitryptiline 25-100 mg/hari)
6) Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu substrat endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan
bantuan enzym ALC transferase.
Tujuan : meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.
Dosis:1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan
Efek: memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif
(Yulfran, 2009)
G. Pencegahan
Para ilmuwan berhasil mendeteksi beberapa faktor resiko penyebab
Alzheimer, yaitu : usia lebih dari 65 tahun, faktor keturunan, lingkungan yang
terkontaminasi dengan logam berat, rokok, pestisida, gelombang elektromagnetic,
riwayat trauma kepala yang berat dan penggunaan terapi sulih hormon pada wanita.
Dengan mengetahui faktor resiko di atas dan hasil penelitian yang lain, dianjurkan
beberapa cara untuk mencegah penyakit Alzheimer, di antaranya yaitu :
Bergaya hidup sehat, misalnya dengan rutin berolahraga, tidak merokok
maupun mengkonsumsi alkohol.
Mengkonsumsi sayur dan buah segar. Hal ini penting karena sayur dan buah
segar mengandung antioksidan yang berfungsi untuk mengikat radikal bebas.
Radikal bebas ini yang merusak sel-sel tubuh.
Menjaga kebugaran mental (mental fitness). Istilah ini mungkin masih jarang
terdengar. Cara menjaga kebugaran mental adalah dengan tetap aktif membaca
dan memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan.
H. Kriteria Diagnosis
Terdapat beberapa kriteria untuk diagnosa klinis penyakit Alzheimer, yaitu:
I. Prognosis
Dari pemeriksaan klinis 42 penderita Alzheimer menunjukkan bahwa nilai
prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu :
Derajat beratnya penyakit
Variabilitas gambaran klinis
Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling
mempengaruhi prognostik penderita alzheimer.
J. Komplikasi
Infeksi
Malnutrisi
Kematian.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Adapun pengkajian yang dilakukan pada penyakit Alzheimer
a. Aktifitas istirahat
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum:
Klien dengan penyakit Alzheimer umumnya mengalami penurunan kesadaran
sesuai dengan degenerasi neuron kolinergik dan proses senilisme. Adanya perubahan
pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi, hipotensi, dan penurunan frekuensi
pernafasan
B1 (Breathing)
Gangguan fungsi pernafasan :
Berkaitan dengan hipoventilasi inaktifitas, aspirasi makanan atau saliva dan
berkurangnya fungsi pembersihan saluran nafas.
Inspeksi: di dapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan untuk batuk efektif,
peningkatan produksi sputum, sesak nafas, dan penggunaan otot Bantu nafas.
Palpasi : Traktil premitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, stridor, ronkhi, pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun
yang sering didapatkan pada klien dengan inaktivitas.
B2 (Blood)
Hipotensi postural : berkaitan dengan efek samping pemberian obat dan juga gangguan
pada pengaturan tekanan darah oleh sistem persarafan otonom.
B3 (Brain)
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
dengan pengkajian pada sistem lainnya.
Pengkajian Saraf kranial. Pengkajian saraf ini meliputi pengkajian saraf kranial I-XII :
Saraf I. Biasanya pada klien penyakit alzherimer tidak ada kelaianan fungsi penciuman
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan, yaitu sesuai dengan keadaan
usia lanjut biasanya klien dengan alzheimer mengalami keturunan ketajaman
penglihatan
Saraf III, IV dan VI. Biasanya tidak ditemukan adanya kelainan pada saraf ini
Saraf V. Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada saraf ini.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal
Saraf VIII. Adanya tuli konduktif dan tuli persepsi berhubungan proses senilis serta
penurunan aliran darah regional
Saraf IX dan X. Kesulitan dalam menelan makanan yang berhubungan dengan
perubahan status kognitif
Saraf XI. Tidak atrofi otot strenokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada vasikulasi dan
indera pengecapan normal.
Pengkajian Refleks
Pada tahap lanjut penyakit alzheimer sering mengalami kehilangan refleks postural,
apabila klien mencoba untuk berdiri dengan kepala cenderung ke depan dan berjalan dengan
gaya berjalan seperti didorong. Kesulitan dalam berputar dan hilangnya keseimbangan
(salah satunya ke depan atau ke belakang) dapat menyebabkan klien sering jatuh.
Pengkajian Sistem sensorik
Sesuai barlanjutnya usia, klien dengan penyakit alzheimer mengalami penurunan terhadap
sensasi sensorik secara progresif. Penurunan sensori yang ada merupakan hasil dari
neuropati perifer yang dihubungkan dengan disfungsi kognitif dan persepsi klien secara
umum.
Intervensi
Mandiri
Kolaborasi
Rasional
Mandiri
Kolaborasi
Intervensi
Mandiri
Rasional
Mandiri
Kolaborasi
Intervensi
Mandiri
Kolaborasi
Rasional
Mandiri
Kolaborasi
Intervensi
Mandiri
Kolaborasi :
Mandiri
Kolaborasi :
Intervensi
Mandiri
Mandiri
Intervensi
Mandiri
a) Kaji derajat gangguan kognitif, seperti perubahan orientasi terhadap orang,
tempat waktu, rentang perhatian dan kemampuan berpikir
b) Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang
c) Lakukan pendekatan dengan cara perlahan dan tenang
d) Tatap wajah ketika bercakap-cakap dengan pasien
e) Gunakan kata-kata yang pendek dan kalimat yang sederhana dan berikan instruksi
sederhana. Ulangi instruksi tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Kolaborasi
Rasional
Mandiri
Kolaborasi
mengidentifikasi perubahan
mampu beradaptasi pada perubahan lingkungan dan aktivitas kehidupan sehari-
hari
cemas dan takut berkurang
membuat pernyataan yang psitif tentang lingkungan yang baru.
Intervensi
Mandiri
a) Jalin hubungan saling mendukung dengan klien.
b) Orientasikan pada lingkungan dan rutinitas baru.
c) Kaji tingkat stressor (penyesuaian diri, perkembangan, peran keluarga, akibat
perubahan status kesehatan)
d) Tentukan jadwal aktivitas yang wajar dan masukan dalam kegiatan rutin.
e) Berikan penjelasan dan informasi yang menyenangkan mengenai kegiatan/
peristiwa.
f) Pertahankan keadaan tenang. Tempatkan dalam lingkungan tenang yang
memberikan kesempatan untuk beristirahat
g) Atasi tingkah laku agresif dengan pendekatan yamg tenang.
h) Rujuk ke sumber pendukung perawatan diri
Rasional
Mandiri
Kolaborasi
Kolaborasi
10) Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan emosi (cepat marah,
mudah tersinggung, kurang percaya diri)
Klien mampu berinteraksi dengan orang disekitarnya dengan baik.
Klien tidak memiliki rasa bermusuhan/menyerang orang.
11) Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan sensori, mudah lupa
Klien mendapat diet nutrisi yang seimbang
Mempertahankan/ mendapat kembali BB yang sesuai
Klien dapat mengubah pola asupan yang benar
Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Lumbantobing, Prof.DR.dr.SM. 2006. Kecerdasan Pada Usia Lanjut dan Demensia. Jakarta
: FKUI
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika: Jakarta
Stanley, Mickey & Patricia Gauntlett Beare. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi
2. Jakarta : EGC.