You are on page 1of 14

SISTEMATIKA FILOGENETIK (MOLEKULAR)

Oleh :
Nama : Maria Pricilia Gita Permana Putri
NIM : B1A015068
Rombongan :I
Kelompok :2
Asisten : Khusnul Khotimah

LAPORAN PRAKTIKUM SISTEMATIKA MIKROBA

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistematika memiliki peran sentral di dalam Biologi dalam menyediakan sebuah


perangkat pengetahuan untuk mengkarakterisasi organisme dan sekaligus
merekognisinya dalam rangka memahami keanekaragaman. Secara fundamental,
sistematika bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan keanekaragaman suatu
organisme dan merekonstruksi hubungan kekerabatannya terhadap organisme
lainnya, dan juga mendokumentasikan perubahan-perubahan yang terjadi selama
evolusinya dan merubahnya ke dalam sebuah sistem klasifikasi yang mencerminkan
evolusinya tersebut. Oleh karena itu, salah satu tugas yang penting dari sistematika
adalah merekontruksi hubungan evolusi (evolutionary relationship) dari
kelompok-kelompok organisme biologi (Hillis et al., 1996).
Kekerabatan merupakan salah satu aspek yang dipelajari dalam taksonomi yang
mencakup dua pengertian, yaitu kekerabatan filogenetik dan kekerabatan fenetik.
Kekerabatan filogenetik merupakan kekerabatan yang didasarkan pada hubungan
filogeni antara takson yang satu dengan takson yang lain. Filogenetik merupakan
kajian mengenai hubungan evolusi diantara organisme atau gen dari unit taksonomi,
yang dipelajari menggunakan kombinasi antara biologi molekuler dan teknik
statistik. Pohon filogenetik adalah pendekatan logis untuk menunjukkan hubungan
evolusi antara organisme. Filogenetika diartikan sebagai model untuk
merepresentasikan sekitar hubungan nenek moyang organisme, sekuen molekul atau
keduanya (Brinkman & Leipe, 2001). Salah satu tujuan dari penyusunan filogenetika
adalah untuk mengkonstruksi dengan tepat hubungan antara organisme dan
mengestimasi perbedaan yang terjadi dari satu nenek moyang kepada keturunannya
(Li et al., 1999).
Klasifikasi bakteri secara filogenetik dapat dilakukan melalui analisis taksonomi
molekular (Sembiring, 2003). Data yang digunakan adalah sekuens gen yang
mengkode 16S rRNA (16S rDNA) pada masing-masing strain yang akan
diklasifikasikan. Woese pada tahun 1980-an telah dapat menyimpulkan bahwa
perbandingan filogenetik berdasarkan bagian conserved dari genom lebih stabil
daripada klasifikasi berdasarkan pada sifat-sifat fenotipik (Woese, 1987). Oleh
karena itu, penggunaan molekul rRNA disebarluaskan untuk pembuatan
perbandingan filogenetik, dan gen 16S rRNA (1650 bp) adalah marker yang paling
umum digunakan dalam bidang sistematika mikrobia (Prakash et al., 2007).
Molekul 16S rRNA terdiri atas daerah variabel dan daerah conserved, dan
primer universal untuk amplifikasi gen 16S rRNA biasanya dipilih dari daerah
conserved sedangkan daerah variabel digunakan untuk taksonomi perbandingan.
Langkah awal dalam klasifikasi filogenetik adalah mengisolasi dan memurnikan
DNA kromosomal dari masing-masing strain. Gen 16S rRNA selanjutnya
diamplifikasi dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dari masing-masing
sampel DNA kromosomnya. Hasil amplifikasi tersebut dimurnikan untuk
disekuensing (Prakash et al., 2007).
Analisis filogenetika tidak terlepas dari evolusi biologis. Evolusi adalah proses
gradual, suatu organisme yang memungkinkan spesies sederhana menjadi lebih
komplek melalui akumulasi perubahan dari beberapa generasi. Keturunan akan
mempunyai beberapa perbedaan dari nenek moyangnya sebab sedang berubah dalam
sebuah evolusi (Estabrook, 1984). Sehinnga, dalam mempelajari variasi dan
diferensiasi genetik antar populasi, jarak genetik dapat dihitung dari jumlah
perbedaan basa polimorfik suatu lokus gen masing-masing populasi berdasarkan
urutan DNA (Cavalli-Sforza, 1997).
Konstruksi pohon filogenetika adalah hal yang terpenting dan menarik dalam
studi evolusi. Terdapat beberapa metode untuk mengkonstruksi pohon filogenetika
dari data molekuler (nukleotida atau asam amino). Analisis filogenetika dari keluarga
sekuen nukleotida atau asam amino adalah analisis untuk menentukan bagaimana
keluarga tersebut diturunkan selama proses evolusi. Hubungan evolusi diantara
sekuen digambarkan dengan menempatkan sekuen sebagai cabang luar dari sebuah
pohon. Hubungan cabang pada bagian dalam pohon merefleksikan tingkat dimana
sekuen yang berbeda saling berhubungan. Dua sekuen yang sangat mirip akan
terletak sebagai neighboring outside dari cabang-cabang dan berhubungan dalam
cabang umum (Common branch) (Saitou & Imanishi, 1989).

B. Tujuan

1. Mahasiswa dapat mengetahui cara dan tahapan analisis kekerabatan bakteri


dengan metode taksonomi filogenetik.
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum acara ini yaitu laptop, dan beberapa
software komputer seperti MEGA 7, ClustalX, Phydit, Notepad, Microsoft Excel,
dan Microsoft Word.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah data sekuens 16S rRNA dari
10 strain Enterococcus sp. sebagai in group dan data sekuens Streptomyces pratensis
strain ch24 sebagai out of group yang didownload dari situs NCBI.

B. Metode

1. Koleksi data
Data sekuens 16S rRNA dari 10 strain Enterococcus sp. sebagai in group
dan data sekuens Streptomyces pratensis sebagai out of group yang didownload
dari situs NCBI.
2. Preparasi sekuens 16S rRNA
Data sekuens di atas selanjutnya dicopy ke program Notepad. Data tersebut
berupa text file dan disimpan sebagai file.
3. Alignment sekuens 16S rRNA (ClustalX)
Data sekuens dari masing-masing strain (Cara kerja b) di-load ke dalam
program ClustalX untuk di-align. Alignment bertujuan untuk menata sekuens
agar satu sama lain diletakkan sesuai dengan posisi homologi antar sekuens.
Artinya, daerah homolog harus diletakkan pada posisi yang sama (conserved
region dengan conserved region, variable region dengan variable region).
Dengan alignment antar sekuens gen 16S rRNA dari masing-masing strain dapat
dibandingkan. Semua sekuens yang di-alignment ditata dalam satu file oleh
program ClustalX sebagai output file dalam beberapa pilihan format. Agar file
hasil alignment dapat dibaca oleh program MEGA 7 dan PHYLIP yang
digunakan untuk mengkonstruksi phylogeny tree berdasarkan sekuens tersebut,
maka file ini dibuat dalam format mega (file name.mas). Hal ini dapat dilakukan
dengan memilih format output file pada waktu melakukan alignment dalam
ClustalX. Output file ini disimpan dalam direktori ClustalX (Misal
C:\ClustalX\Azot.phy), sehingga setelah alignment dapat dicari hasil alignment
berupa file yang diberi nama seperti contoh, dalam direktori ClustalX. File ini
selanjutnya digunakan untuk mengkonstruksi phylogeny tree dengan program
MEGA 7 dan PHYLIP.
4. Konstruksi Phylogeny Tree (MEGA 7)
Seluruh sekuens 16S rRNA hasil alignment digunakan untuk
mengkonstruksi phylogeny tree dengan program Mega 7. Program Mega 7
dibuka, pilih alignment, lalu alignment explorer, kemudian pilih retrieve.
Selanjutnya file dengan format .aln hasil dari ClustalX diambil. Klik file, lalu
pilih Export alignment, pilih Mega format, dan di-save. Close, kemudian ketik
16S lalu OK, kemudian no dan pilih close. Selanjutnya muncul perintah
open data in mega? Pilih yes, lalu minimize. Pilih phylogeny, Construct
phylogeny, pilih Neighbor Joining, lalu Test phylogeny, Bootstrap dengan
replikasi 1000. Selanjutnya pilih compute. Hal yang sama dilakukan dengan
menggunakan algoritma Maximum Parsimony.
5. Konstruksi matriks similaritas dan perbedaan nukleotida 16S rRNA
Konstruksi matriks dilakukan dengan menggunakan file yang berisi sekuens
yang sudah di-align yang disimpan dalam format GDE. PHYDIT adalah
program yang digunakan untuk mengkonstruksi matriks similaritas. Untuk
mengoperasikan program Phydit, pertama program dibuka kemudian klik File -
New, klik OK. Akan muncul: No entry to tag ! Data - Import - GDE (NT replace)
(kalau tidak tampak pilih: All file). Selanjutnya klik file name, Open lalu OK.
Pilih Analysis - Sim table: Generating Similarity Table dan klik OK lalu OK.
Akan muncul Similarity Table ! Tabel ini dikopikan ke dalam Ms. Excel agar
mudah dibaca isinya. Matriks similaritas yang telah terkopikan dalam tabel pada
Ms. Excel, untuk presentasi hasil lakukan print out tabel dalam Ms. Excel,
selanjutnya isi tabel tersebut dimasukkan ke dalam tabel yang dibuat dalam Ms.
Word.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Filogeni berasal dari bahasa Yunani yaitu Phylon yang artinya tribe atau clan dan
Genesis yang berarti origin. Filogeni merupakan sejarah mengenai evolusi dari
makhluk hidup yang digambarkan dalam bentuk pohon yang terdapat percabangan.
Percabangan tersebut menggambarkan adanya divergensi. Filogeni secara molekular
menggambarkan hubungan antar organisme berdasarkan susunan gennya dengan
menggunakan sekuens DNA ataupun protein. Adanya ketidaksamaan dari sekuens
genetik menggambarkan hasil divergensi atau adanya evolusi dari organisme tersebut.
Filogenik klasik hanya menggambarkan karakter morfologi dari suatu organisme.
Analisis secara morfologi dapat dilihat dari sekuens DNA, sekuens RNA, dan sekuens
protein (Patwardhan, 2014).
Filogenetika digambarkan sebagai klasifikasi secara taksonomi dari organisme
berdasarkan pada sejarah evolusi mereka, yaitu filogeni mereka dan merupakan
bagian integral dari ilmu pengetahuan yang sistematik dan mempunyai tujuan untuk
menentukan filogeni dari organisme berdasarkan pada karakteristik mereka. Lebih
lanjut filogenetika adalah pusat dari evolusi biologi seperti penyingkatan keseluruhan
paradigma dari bagaimana organisme hidup dan berkembang di alam (Saitou &
Imanishi, 1989).
Analisis filogenetika memiliki kelompok outgroup yang sangat dibutuhkan dan
menyebabkan polarisasi karakter atau ciri, yaitu karakter apomorfik dan plesiomorfik.
Karakter apomorfik adalah karakter yang berubah dan diturunkan dan terdapat pada
ingroup, sedangkan karakter plesiomorfik merupakan karakter primitive yang terdapat
pada outgroup. Karakter sinapomorfik adalah karakter yang diturunkan dan terdapat
pada kelompok monofiletik. Karakter morfologi telah lama digunakan dalam banyak
penelitian filogenetika. Pesatnya perkembangan teknik-teknik di dalam biologi
molekular, menyebabkan penggunaan sekuen DNA dalam penelitian filogenetik telah
meningkat pesat dan telah dilakukan pada semua tingkatan taksonomi, misalnya
famili, marga, dan spesies. Filogenetik molekular mengombinasikan teknik biologi
molekular dengan statistik untuk merekonstruksi hubungan filogenetika (Hillis et al.,
1996).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam filogeni molekular menurut Patwardhan
(2014) diantaranya:
1. Kladogram merupakan pohon filogenetik yang menggambarkan adanya evolusi
dari organisme.
2. Hompolasy merupakan sekuens yang sama akibat hasil konvergensi tetapi tidak
menggambarkan adanya evolusi secara langsung.
3. Internal Transcribed Spacers (ITS) yaitu rRNA akan ditranskripsi menjadi single
transcript oleh ITS ini.
4. Monofiletik yaitu taxa dalam pohon filogenetik mempunyai satu nenek moyang
yang sama.
5. Outgroup suatu taxa yang menjadi karakter pembanding dalam pembuatan pohon
filogenik.
Analisis filogenetika sekuen asam amino dan protein biasanya akan menjadi
wilayah yang penting dalam analisis sekuen. Selain itu, dalam filogenetika dapat
menganalisis perubahan yang terjadi dalam evolusi organisme yang berbeda.
Berdasarkan analisis, sekuen yang mempunyai kedekatan dapat diidentifikasi dengan
menempati cabang yang bertetangga pada pohon. Ketika keluarga gen ditemukan
dalam organisme atau kelompok organisme, hubungan filogenetika diantara gen
dapat memprediksikan kemungkinan yang satu mempunyai fungsi yang ekuivalen.
Prediksi fungsi ini dapat diuji dengan eksperimen genetik. Analisis filogenetika juga
digunakan untuk mengikuti perubahan yang terjadi secara cepat yang mampu
mengubah suatu spesies, seperti virus (Nielsen & Yang, 1998).
Saat ini dikembangkan metode identifikasi berbasis molekuler yang lebih cepat
dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, yaitu dengan analisis
sekuensing gen 16S rRNA (16S ribosomal Ribonucleic acid/Asam ribonukleat
pengkode ribosom 16S, S menyatakan Svedberg, yaitu satuan ukuran ribosom). Gen
16S rRNA juga sering disebut sebagai 16S rDNA (16S ribosomal deoxyribose
nucleatic acid), namun menurut konsensus dari American Society for Microbiology
(ASM), istilah 16S rRNA dinilai lebih tepat (Risnanda, 2011).
Gen pengkode RNA ribosomal (rRNA) adalah gen yang paling lestari
(conserved). Porsi sekuens rDNA dari tiap organisme yang secara genetik berkorelasi
umumnya adalah sama. Oleh karena itu, setiap organisme yang memiliki jarak
kekerabatan tertentu dapat disejajarkan sehingga lebih mudah untuk menentukan
perbedaan dalam sekuens yang menjadi ciri khas organisme tersebut. Daerah yang
lestari ini juga yang menyebabkan gen ini dapat digunakan sebagai primer universal
yang digunakan dalam Polymerase Chain Reaction (PCR) serta dapat ditentukan
urutan nukleotidanya melalui sekuensing. Gen pengkode rRNA digunakan untuk
menentukan taksonomi, filogeni (hubungan evolusi) serta memperkirakan jarak
keragaman antar spesies (rates of species divergence) bakteri (Risnanda, 2011).
Menurut Prakash et al. (2007) Klasifikasi filogenetik dilakukan melalui
konstruksi phylogeny tree. Phylogeny tree yang diperoleh merupakan hasil
klasifikasi yang menunjukkan hubungan filogenetik masing-masing strain bakteri
yang diklasifikasikan. Terdapat empat tahapan dalam mengkonstruksi phylogeny tree
yang didasarkan atas data sekuens 16S rDNA, yaitu :
a. Preparasi sekuens 16S rRNA
b. Aligment sekuens 16S rRNA
c. Konstruksi phylogeny tree
d. Konstruksi matriks similaritas dan perbedaan nukleotida 16S rRNA.
Proses sistematika filogenetik molekular membutuhkan beberapa software
untuk menganalisis data sekuens gen 16S rRNA, diantaranya :
1. MEGA 7 / Phylip
Merupakan program yang digunakan untuk mengkonstruksi Phylogeny tree
sesuai dengan algoritma evolusi sehingga dapat divisualisasikan dengan jelas
(Felsenstein, 1993). Peningkatan besar pada infrastruktur MEGA dan
penambahan sejumlah fungsi baru, akan memungkinkan peneliti melakukan
analisis tambahan dengan lebih mudah. Selain itu, untuk memanfaatkan
kekuatan dalam analisis evolusioner, kode sumber MEGA sudah sepenuhnya
memanfaatkan komputasi 64-bit sumber daya dan memori dalam penanganan
data, pemrosesan file, dan analisis evolusioner Struktur data internal MEGA
telah di-upgrade, dan kode sumber refactored telah diuji secara ekstensif
menggunakan tes otomatis (Kumar et al., 2016).

2. ClustalX
Merupakan program yang diperlukan untuk menata (alignment) data sekuen dari
berbagai strain organisme sehingga dihasilkan pasangan sekuen antar strain
dimana daerah conserved akan mengumpul dan daerah variabel juga saling
mengumpul. Output dari program ini berupa file dalam format .*aln, .*GDE dan
*.phy (Felsentein, 1993).
3. Phydit
Merupakan program yang digunakan untuk mengolah data sekuen yang
kemudian akan di align untuk mendapatkan data berupa matriks similaritas
nukleotida dan perbedaan nukleotida. Matriks yang dihasilkan program Phydit
dapat dilihat di program Notepad dan dipindah dalam program Microsoft Excel
(Chun, 1999).

EC1

EC4

EC3

EC2

EC6

EC9

EC7

EC8

EC5

EC10

SM1
Gambar 3.1 Dendogram Sepuluh Strain Enterococcus sp.
Konstruksi Neighbor-Joining

Berdasarkan dendogram yang ditunjukkan Gambar 3.1, terbentuk enam cluster,


yaitu :
1. Cluster 1: EC1, EC4, dan EC3
2. Cluster 2 : EC2 dan EC6
3. Cluster 3: EC9
4. Cluster 4: EC7 dan EC8
5. Cluster 5: EC5 dan EC10
6. Cluster 6: SM1
Strain EC merupakan in group yang dicari hubungan kekerabatannya, yang
terdiri dari EC1 (Enterococcus rotai strain CCM 4630), EC (Enterococcus hirae
strain ATCC 9790), EC3 (Enterococcus termitis strain LMG 8895). EC4
(Enterococcus silesiacus strain R-23712), EC5 (Enterococcus cecorum strain LMG
12902), EC6 (Enterococcus avium strain ATCC 14025), EC7 (Enterococcus
sulfureus strain LMG 13084), EC8 (Enterococcus saccharolyticus strain LMG
11427), EC9 (Enterococcus dispar strain LMG 13521), dan EC10 (Enterococcus
columbae strain LMG 11740). Sedangkan SM1 merupakan out of group yang
merupakan spesies pembanding. Out of group yang digunakan adalah Streptomyces
pratensis strain ch24. Angka yang berada di setiap nodus, menunjukkan nilai
hubungan kekerabatannya. Semakin besar nilainya, maka hubungan kekerabatannya
semakin dekat. Jika diamati, cluster 1 yang terdiri dari EC1, EC4, dan EC3 memiliki
nilai paling besar yaitu 100%. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa ketiga strain
tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang paling dekat dibandingkan dengan
strain yang lain. Cluster 5 yang terdiri dari EC5 dan EC10 memiliki nilai
kekerabatan 98%. Urutan ketiga ditempati oleh cluster 3 yang terdiri dari EC2 dan
EC6, yang memiliki nilai kekerabatan 96%. Selanjutnya, strain EC1 dan EC4
memiliki nilai kekerabatan 95%. Cluster 1 sampai cluster 4 memiliki nilai
kekerabatan 92%, dilanjutkan cluster 1 sampai cluster 3 yang memiliki nilai
kekerabatan 84%. Lalu, ada cluster 1 dan cluster 2 yang memiliki hubungan
kekerabatan 83%. Nilai kekerabatan yang paling kecil dimiliki oleh cluster 4 yang
terdiri dari strain EC7 dan EC8 dengan nilai 70%. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa strain EC7 dan EC8 memiliki hubungan kekerabatan yang paling jauh. Nilai
kekerabatan didapatkan dari hasil pengulangan Bootstrap dengan replikasi sebanyak
1000 kali. Setelah 1000 kali pengulangan, nilai kekerabatan yang didapatkan selalu
sama.

SM1 EC1 EC2 EC3 EC4 EC5 EC6 EC7 EC8 EC9 EC10

SM1 ---

EC1 80.93 ---

EC2 81.38 97.22 ---

EC3 80.86 99.33 97.42 ---

EC4 80.73 99.93 97.15 99.4 ---

EC5 80.93 94.49 95.67 94.75 94.56 ---

EC6 81.37 96.54 98.77 96.74 96.47 96.43 ---

EC7 81.48 95.74 96.5 96.08 95.81 95.92 96.89 ---


EC8 81.28 96.02 97.02 96.22 96.09 95.92 97.08 97.41 ---

EC9 80.56 95.89 97.42 96.08 95.95 95.48 97.09 96.12 96.9 ---

EC10 80.56 93.42 94.49 93.68 93.49 96.9 95.45 94.29 95.08 94.89 ---
Tabel 3.1 Similaritas Sepuluh Strain Enterococcus sp.

Tabel 3.1 menunjukkan nilai similaritas antar strain. Nilai similaritas yang besar
berkorelasi dengan semakin banyaknya similaritas (kemiripan) yang dimiliki. Strain
EC1 dengan EC4 memiliki nilai similaritas paling besar yaitu 99.93%, dilanjutkan
strain EC3 dengan EC4 yaitu 99.4%, dan strain EC1 dengan EC3 99.33%. Jika
diperhatikan, strain EC1, EC4, dan EC3 merupakan anggota dari cluster 1, dimana
dalam dendogram, cluster 1 memiliki nilai kekerabatan 100%. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa strain dari cluster 1 memiliki similaritas yang besar dan
hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Sesama strain EC yang memiliki nilai
similaritas paling kecil yaitu pada strain EC4 dengan EC10 yaitu 93.49%.
Sedangkan, jika melihat nilai similaritas strain EC dengan SM1, nilai similaritas
paling besar dimiliki oleh SM1 dengan EC7 yaitu 81.48% dan yang paling kecil
dimiliki oleh SM1 dengan EC9 serta EC10 yaitu 80.56%. Dendogram adalah hasil
dari analisis pengklasteran, dimana hasil peleburan yang terjadi pada strain
diidentifikasi dibuat bentuk sederhana dengan cara hierarki, setelah didapatkan
dendogram, dapat ditarik garis di level 70% untuk mendapatkan berapa spesies yang
terwakili setelah dilakukan uji (Sembiring, 2010).

SM
EC1 EC2 EC3 EC4 EC5 EC6 EC7 EC8 EC9 EC10
1

SM 278/14 272/14 277/14 279/14 278/14 271/14 270/14 273/14 284/14 283/14
---
1 58 61 47 48 58 55 58 58 61 56

EC 42/151 10/150 83/150 52/150 64/150 60/150 62/150 99/150


--- 1/1504
1 1 3 6 2 4 8 9 4

EC 39/150 43/151 67/154 19/154 54/154 46/154 40/155 85/154


---
2 9 0 6 4 5 6 0 4

EC 79/150 49/150 59/150 57/150 59/150 95/150


--- 9/1512
3 6 2 4 8 7 4
EC 82/150 53/150 63/150 59/150 61/150 98/150
---
4 7 3 5 9 8 5

EC 55/154 63/154 63/154 70/154 48/154


---
5 2 4 6 7 6

EC 48/154 45/154 45/154 70/154


---
6 1 2 5 0

EC 40/154 60/154 88/154


---
7 5 5 2

EC 48/154 76/154
---
8 7 4

EC 79/154
---
9 5

EC
---
10

Tabel 3.2 Jumlah Perbedaan Nukleotida Sepuluh Strain


Enterococcus sp.

Berdasarkan Tabel 3.2, strain EC4 dan EC1 memiliki perbedaan nukleotida
yang paling sedikit dari semua strain, yaitu hanya 1 nukleotida yang berbeda dari
1504 nukleotida. Hal ini berkaitan dengan semakin sedikit jumlah nukleotida yang
berbeda antar strain, maka similaritasnya semakin banyak dan hubungan
kekerabatannya pun semakin dekat. Selanjutnya, ada strain EC4 dan EC3 yang
memiliki 9 nukleotida yang berbeda dari 1512 nukleotida yang ada, dilanjutkan
strain EC3 dengan EC1 yang hanya memiliki 10 nukleotida dari 1503 nukelotida.
Strain EC10 dengan EC1 memiliki jumlah nukleotida yang paling banyak yaitu 99
dari 1504 nukleotida. Sehingga, kedua strain ini memiliki nilai similaritas yang kecil
dan hubungan kekerabatan yang cukup jauh. Jika dibandingkan dengan strain out of
group (SM1), strain EC7 memiliki jumlah nukleotida yang berbeda paling sedikit
yaitu 270 dari 1458 nukleotida. Sedangkan, strain EC9 memiliki jumlah nukleotida
yang berbeda paling banyak dengan strain SM1, yaitu 284 dari 1461 nukleotida.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil dan pembahasan, yaitu analisis
kekerabatan bakteri dengan metode taksonomi filogenetik dapat dilakukan dengan
mengkonstruksi phylogeny tree yang didasarkan atas data sekuens 16S rDNA, yang
terdiri dari preparasi sekuens 16S rRNA, aligment sekuens 16S rRNA, konstruksi
phylogeny tree, dan konstruksi matriks similaritas dan perbedaan nukleotida 16S
rRNA. Data sekuens 16S rRNA dari 10 strain Enterococcus sp. sebagai in group dan
data sekuens Streptomyces pratensis strain ch24 sebagai out of group. Software yang
digunakan yaitu ClustalX, MEGA 7, dan Phydit. Hasil berupa analisis hubungan
kekerabatan dari dendogram, nilai similaritas dari tabel similaritas, dan jumlah
perbedaan nukelotida antar strain.

B. SARAN

Sebaiknya, jurnal yang digunakan lebih baik jika satu kelompok satu jurnal,
bukan satu orang satu jurnal, agar lebih efisien dalam pengerjaannya dan tidak
memakan waktu yang lama.
DAFTAR REFERENSI

Brinkman, F. & Leipe, D. 2001. Phylogenetic Analysis. In: Bioinformatics: A


Practical Guide to the Analisys of Gene and Protein. USA: John Willey & Sons.
Cavalli-Sforza, L.L. 1997. Genes, Peoples and Languages. Proc. Natl. Acad. Sci.
USA, 94(15): pp.7719 7724.
Chun, J. 1999. Phylogenetic Editor (PHYDIT) Windows Version. New York: New
York Press.
Estabrook, G. 1984. Phylogenetic trees and character-state trees. In: Perspectives on
the Reconstruction Evolutionary History Cladistics. Columbia: Columbia
University Press.
Felsenstein, J.. 1993. Phylogeny Inference Package version 3.5 c .London.
Hillis, D.M., Moritz, C. & Mable, B.K. 1996. Molecular Systematic. 2nd Ed.
Massachusetts: Sinauer Assocites.
Kumar, S., Stecher, G. & Tamura, K. 2016. MEGA7: Molecular Evolutionary
Genetics Analysis Version 7.0 for Bigger Datasets. Molecular Biology and
Evolution, 33(7): pp.18701874.
Li, S., Pearl, D. & Doss, H. 1999. Phylogenetic tree construction using Markov
Chain Monte Carlo. Fred Hutchinson Cancer Research Center Washington.
Journal of Phylogeny, 6(7): pp.12-17.
Nielsen, R. & Yang, Z. 1998. Likehood models for detecting positively selected
amino acid sites and application to the HIV-1 envelope gene. Genetics, 148:
pp.929 936.
Patwardhan. 2014. Phylogenetics & Evolutionary Biology Molecular Markers in
Phylogenetic Studies A Review. J., Phylogen Evolution Biol, 2(2): pp.2-9.
Prakash, O., Verma, M., Sharma, P., Kumar, M., Singh, A., Kumari, H., Jit, S.,
Gupta, S.K., Khanna, M. & Lal, R. 2007. Polyphasic approach of bacterial
taxonomy. London: Chapman & Hall.
Risnanda, T. 2011. Analisis Sekuensing 16S rRNA Di Bidang Mikrobiologi. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, 11(3): ppp.172-177.
Saitou, N. & Imanishi, T. 1989. Relative efficiencies of the Fitch-Margoliash,
Maximum-Parsimony, Maximum-Likehood, Minimum Evolution amd
Neighbor-joining Methods of phylogenetic tree construction in obtaining the
correct tree. Molecular Biology and Evolution, 6(5): pp.514 525.
Sembiring, L. 2010. Sistematika Molekular. Yogyakarta: UGM Press.
Woese, C.R. 1987. Bacterial Evolution. Microbiol Rev, 51: pp.221 271.

You might also like