You are on page 1of 5

Komplians dan efektivitas irigasi dengan salin pada anak

dengan rinosinusitis kronik


Sang Duk Hong1, Joon Ho Kim2, Hyo Yeol Kim1, Min-Seok Jang1, Hun-Jong Dhong1,
Seung-Kyu Chung1
1
Departemen Telinga, Hidung, dan Tenggorokan- Kepala dan Leher, Samsung Medical
Centre, Fakultas Kedokteran Universitas Sungkyunkwan, 50 Irwon-dong, Gangnam-gu,
Seoul 135-710, Korea Selatan
2
Departemen Rinologi, Rumah Sakit THT Hana, Korea selatan

ABSTRAK

Tujuan: Untuk mengevaluasi komplians dengan dan efektivitas irigasi nasal pada anak dengan
rinosinusitis kronis (RSK) dan untuk melihat dampak klinisnya.
Metode: Sebanyak 70 anak dengan RSK refraktori yang resisten terhadap terapi
medikamentosa termasuk antibiotik dan kortikosteroid intranasal menjadi sampel. Kami
mengevaluasi gejala nasal pada pasien dan menghitung skor CT Lund Mackay sebagai
baseline. Seluruh pasien diajarkan tentang irigasi nasal dan meminta untuk melakukan hal
tersebut 1-3 kali per hari. Setelah satu bulan, pasien dievaluasi kembali terhadap komplians
sesuai protokol dan perbaikan RSK dengan menghitung skor gejala dan evaluasi endoskopi.
Pasien diikuti selama minimal dua bulan untuk menilai diperlukannya atau tidak terapi
tambahan lebih lanjut termasuk pembedahan.
Hasil: Usia rata-rata pasien adalah 8.3 tahun dengan interval 4-13 tahun. Rata-rata lamanya
follow-up dengan irigasi salin pada nasal sekitar 6.2 bulan (2-32 bulan). Sebanyak 49 pasien
(63.6%) berhasil melakukan nasal irigasi selama follow-up (komplians baik/ grup KB) dan 28
pasien (36.4%) tidak berhasil melakukan nasal irigasi (komplians jelek/ grup KJ). Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara grup KB dan KJ bila dinilai dari karakteristik klinis dan
baseline skor CT Lund-Mackay. Perbaikan subjektif dan objektif dijumpai pada 36 pasien
(73.5%) pada grup KB dan 14 pasien (50%) pada grup KJ. Pembedahan termasuk pembedahan
sinus endoskopi dan/atau adenoidektomi dilakukan pada 8 pasien (16.3%) pada grup KB dan
12 pasien (42.9%) pada grup KJ. Jumlah terapi pembedahan secara signifikan berbeda diantara
kedua grup (p=0.019)
Kesimpulan: Irigasi nasal pada anak dengan RSK yang lama secara relatif dapat ditoleransi
(63.6%) dan efektif. irigasi nasal dengan saline dapat dipertimbangkan sebagai terapi primer
RSK pada pasien anak-anak.
Keyword: Rinosinusitis, irigasi nasal, anak, komplians, lavase nasal, adenoidektomi.
1. Pendahuluan
Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan salah satu penyebab morbiditas pada populasi
anak [1]. Pemahaman RSK pada anak sudah dimengerti, dan terutama terapi medikamentosa
telah berubah dari pemberian antibiotik oral (jangka pendek) menjadi kortikosteroid topikal
dan irigasi nasal dengan salin [2]. Pembedahan untuk RSK pada anak memiliki sedikit
konsensus, dan tidak ada panduan ilmiah yang tersedia. Walaupun adenoidektomi dengan atau
tanpa pembedahan sinus endoskopi fungsional (PSEF) telah menunjukkan efektivitas pada
pasien anak [3], perhatian berpusat kepada efektivitasnya dan pengaruhnya terhadap
perkembangan skelet fasial, terutama pada anak yang lebih muda[4].
Irigasi nasal telah digunakan sebagai terapi adjuvan untuk kelainan sinonasal (termasuk
RSK akut dan kronik) dan rinitis alergika [5-7]. Efektivitasnya memperbaiki gejala subjektif
telah dipastikan dari studi-studi sebelumnya [7,8]. Namun, efeknya terhadap perkembangan
klinisnya masih belum jelas. Irigasi salin relatif sulit dilakukan pada pasien anak karena
biasanya anak akan mengalami ketakutan selama proses dan meningkatkan kemungkinan
memiliki efek samping seperti efusi telinga tengah dan iritasi nasal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi komplians irigasi nasal dengan salin
dan pengaruhnya terhadap perkembangan klinis pada pasien anak dengan RSK.

2. Materi dan Metode


Penelitian retrospektif case-control dilakukan. Pasien anak ( 13 tahun) yang
engunjungi rumah sakit tersier untuk tatalaksana RSK yang lama dari jaunari 2007 ssampai
juni 2010 diikutsertakan. Persetujuan telah diperoleh dari dewan review institusi pada Samsung
Medical Centre sebelum melakukan penelitian (IRB 2011-04-013). Seluruh pasien yang
diikutsertakan dalam penelitian ini dinyatakan menderita RSK sesuai dengan kriteria diagnosis
American Academy of Otolaryngology and Head and Neck Surgery [9]. Kriteria diagnosis
termasuk lebih dari dua gejala mayor atau satu gejala mayor dengan dua gejala minor selama
12 minggu atau lebih dan memiliki gambaran radiologis (penebalan mukosa dan/atau
kesuraman sinus pada CT-Scan) dan bukti endoskopi (sekret mukopurulen) mendukung
diagnosis. Subjek kemudian diberi tatalaksana dengan 2-4 minggu antibiotik sistemik broad-
spectrum dan/atau kortikosteroid topikal semprot sebelum mengunjungi rumah sakit, dan telah
gagal memperbaiki walaupun dengan tatalaksana medikamentosa.
Informasi berikutnya diperoleh melalui interview medis pada kunjungan pertama:
umur, jenis kelamin, skor awal gejala untuk obstruksi nasal, adanya rinorrhea purulen dan post-
nasal drip, dan komorbid. Subjek kemudian diminta untuk mengatakan gejala subjektif melalui
skor keparahan 1-7 ditemani oleh wali/pengasuh. Adanya alergi dikonfirmasi dengan
menggunakan ImmunoCAP assay (Pharmacia Diagnostics AB, Uppsala, Sweden) untuk semua
pasien.
CT-Scan dilakukan untuk semua pasien RSK yang lama. Tingkat CT kemudian
ditentukan dengan menggunakan skor Lund-Mackay. Rasio adenoid-nasofaring (AN) pada
foto polos X-ray diambil dan ditentukan menggunakan metode Fujioka seperti pada studi lain
[10]: jarak antara titik paling luar kecembungan dari bayangan adenoid dan basis oksiput dibagi
dengan jarak antara sfenobasisoksiput dan bagian posterior ujung dari hard palate.
Setelah konfirmasi diagnosis RSK, seorang dokter (HY Kim) memberikan antibiotik
lini kedua (makrolid dan generasi 3 sefalosporin dengan dosis regular) untuk 2 atau 3 minggu
dan irigasi nasal dengan salin selama dua bulan. Seluruh anak dan pengasuhnya dipertontonkan
video edukasi singkat tentang irigasi nasal pada rawat jalan. Irigasi nasal menggunakan
disposable syringe dengan 50-150ml 0.9% normal salin (0.9gr NaCl dalam 100 mL H2O) untuk
setiap nostril 1-3 kali sehari selama periode ini.
Subjek diikuti dengan interval 1-2 minggu. Setiap kunjungan, subjek dievaluasi untuk
toleransi, teknik irigasi, dan efek samping seperti otalgia, otitis media, iritasi nasal, dan
penyebab lain terhadap diskontinuitas irigasi salin.
Komplians irigasi nasal dievaluasi sebulan setelah kunjungan pertama. Pasien
dikategorikan menjadi dua grup; grup komplians baik (grup KB) yang merupakan pasien
melakukan irigasi nasal minimal sekali sehari selama 4 hari dalam seminggu untuk minimal 4
minggu berurutan secara berhasil, atau grup komplian jelek (grup KJ) yang merupakan pasien
yang tidak bisa melakukan. Perbaikan gejala subjektif dan pemeriksaan endoskopi nasal juga
dilihat. Perbaikan setelah pengobatan didefenisikan sebagai remisi simtomatik ( tidak ada
kongesti nasal, rinorrea, atau post-nasal drip) dan remisi endoskopi ( tidak ada sekret
mukopurulen) pada satu bulan setelah terapi awal. Pasien diikuti selama minimal dua bulan,
informasi terhadap pengobatan selanjutnya termasuk pembedahan juga dikumpulkan.
Adenoidektomi dan/atau pembedahan sinus endoskopi dilakukan pada anak dengan gejala
persisten dan sekret mukopurulen selama periode follow-up. Adenoidektomi merupakan
pembedahan lini pertama pada sebagian besar anak dengan RSK. Anak yang tidak memiliki
hipertrofi adenoid secara signifikan atau memiliki RSK berat dengan masalah anatomis pada
sinus paranasal dilakukan pembedahan sinus endoskopi.
Analsisis statistik dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS (versi 17, Statistical
Package for the Social Science, Chicago, IL, USA). Students t-test dilakukan untuk
membandingkan parameter pada variabel diantara dua grup termasuk usia, frekuensi rinitis
alergi dan asma, rata-rata periode follow-up, Lund-Mckay grading, dan rasio AN. Mann-
Whitney U test dilakukan untuk membandingkan gejala subjektif dari dua grup tersebut.
Analisis X2 dilakukan untuk membandingkan variabel dikotomi diantara dua grup. p-value
<0.05 dipertimbangkan signifikan pada perbandingan.

3. Hasil
Total 77 pasien ikut-serta dalam penelitian ini. Usia rata-rata pasien sekitar 8.3 tahun (
4-13 tahun). Ringkasan demografi pasien dapat dilihat pada tabel 1. Tidak ada perbedaan
signifikan baseline demografi pada pasien termasuk usia, jenis kelamin, durasi rata-rata follow-
up, alergi, dan riwayat asma. Sebanyak 49 pasien (63.6%) masuk ke dalam grup komplian baik
( grup KB) dan 28 sisanya (36.4%) sebagai grup komplians jelek (grup KJ). Gejala awal
(obstruksi nasal, rinorrhea purulen, post-nasal drip atau batuk) tidak dijumpai perbedaan pada
kedua grup. Skor CT Lund-Mckay dan derajat hipertrofi adenoid (rasio AN) juga tidak
dijumpai perbedaan bermakna.
Ketika membandingkan komplians sesuai dengan usia, anak-anak yang berusia diantara
6-8 tahun menunjukkan komplians yang lebih baik dibandingkan anak yang berusia lebih
muda, walaupun tidak dijumpai adanya perbedaan yang signifikan antara kedua grup (Gambar
1). Alasany yang diperoleh untuk memberhentikan irigasi nasal termasuk ketidakpraktisan atau
sulit dilakukan (20/28), otalgia atau rasa penuh ditelinga (2/28), efusi telinga tengah (3/28),
dan efektivitas sedikit (2/28) setelah irigasi menggunakan salin (tabel 2). Sebagian besar pasien
pada grup KJ mengeluhkan bahwa irigasi salin tidak nyaman dan sulit dilakukan secara teratur.
Sebanyak 3 pasien pada grup KJ menderita efusi telinga tengah setelah irigasi dengan salin dan
membaik secara spontan setelah beberapa hari. Ketiga pasien tersebut ternyata memiliki
riwayat otitis media rekuren bahkan sebelum irigasi nasal.
Perbaikan subjektif dan objektif setelah irigasi nasal dijumpai pada 36 pasien (73.5%)
pada grup KB, dan 14 pasien (50.0%) pada grup KJ. Angka perbaikan secara signifikan berbeda
diantara kedua grup (p=0.048, uji chi-square).
Akhirnya, pembedahan termasuk adenoidektomi dan/atau FESS untuk persisten RSK
dilakukan pada 8 pasien (16.3%) pada grup KB ( 1 adenoidektomi dan 7 FESS dengan atau
tanpa adenoidektomi), dan 12 pasien (42.9%) pada grup KJ ( 4 adenoidektomi dan 8 FESS
dengan atau tanpa adenoidektomi). Pada penelitian ini dijumpai perbedaan signifikan diantara
kedua grup (p=0.019, uji chi-square).

4. Diskusi
RSK memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan pada anak [1]. Walaupun terapi utama masih berupa pemberian
antibiotik oral, sejumlah pasien terbukti refraktori terhadap pemberian antibiotik spektrum luas
jangka panjang. Hal tersebut memaksa untuk ditemukannya pengobatan alternatif yang efektif
seperti FESS. Beberapa penelitian menunjukkan adenoidektomi memperbaiki gejala RSK [12].
Banyak uji klinis trial menunjukkan irigasi nasal efektif terhadap anak dengan RSK
akut dan kronis dan juga rinitis alergi [5-7,13], tetapi ada beberapa laporan terhadap komplians
dengan irigasi nasal pada anak dengan RSK. Penelitian ini menunjukkan irigasi nasal dengan
menggunakan normal saline dapat ditoleransi dan efektif untuk manajemen RSK pada anak.
Banyak dokter dan pengasuh mempertimbangkan irigasi nasal sulit untuk dilakukan pada
pasien anak, terutama pada anak berusia sangat muda [14,15], namun pada penelitian ini,
komplians awal dengan irigasi salin dijumpai tinggi sekitar 60%, dan efektivitas irigasi salin
dijumpai baik. Ketika dibandingkan sesuai dengan usia, komplians pada anak yang lebih muda
(4-5 tahun) tidak lebih buruk dibanding yang lebih tua, anak usia sekolah (Gambar 1). Oleh
karena itu, irigasi nasal dapat dilakukan secara efektif bahkan pada anak yang lebih muda. Pada
penelitian ini, anak-anak dengan usia pertengahan (6-8 tahun) menunjukkan komplians yang
paling baik walaupun tanpa bukti statistik yang signfikan. Kami tidak dapat menemukan
alasannya. Namun, kami dapat berasumsi bahwa anak yang sangat muda (dibawah 5 tahun)
mungkin sulit untuk mentoleransi irigasi nasal, dan anak yang lebih tua (diatas 9 tahun)
mungkin suka menolak. Sebaliknya, anak usia pertengahan dapat mentoleransi irigasi lebih
baik dibanding anak usia muda, dan cenderung untuk menuruti orang tua mereka dibanding
anak usia yang lebih tua.
Berbagai studi telah mengevaluasi penggunaan larutan salin pada berbagai tonisitas
yang berbeda. Beberapa menemukan irigasi salin hipertonis merupakan tatalaksana yang
efektif untuk RSK pada anak [7,16]. Pada penelitian kami, penggunaan irigasi salin isotonis
terbukti efektif untuk anak-anak dengan sinusitis kronik. Pada studi terdahulu, penggunaan
saline hipertonis berkaitan dengan efek samping berupa iritasi lokal, dan tidak dijumpai efek
samping signifikan pada grup irigasi nasal dengan salin isotonis. Oleh sebab itu, kami
merekomendasikan penggunaan salin isotonis untuk memperbaiki komplians pada pasien RSK
anak.
Studi sebelumnya juga menemukan bulb syringe dan pot irigasi nasal dijumpai
efektivitasnya sama untuk digunakan sebagai metode pemberian untuk menghilangkan gejala
sinonasal [17]. Pada studi kami, volume laurtan yang lebih banyak (50-150mL) diberikan untuk
setiap nostril pada pasien anak. Studi lain menggambarkan larutan salin isotonis diberikan
secara droplet pada setiap nostril dapat mengurangi gejala, dan pencucian nasal memfasilitasi
drainase nasal dan membersihkan jalan nafas [18,19]. Untuk memperbaiki komplians,penting
untuk mematahkan asumsi oleh orang tua dan dokter bahwa anak tidak akan tidak ingin
melakukan dan tidak bisa mentoleransi irigasi nasal dengan salin. Menurut satu studi komplians
[20], hanya 14% anak yang menerima pengobatan setelah penggunaan pertama, dan 84%
menerima pengobatan setelah lebih dari dua hari. Jadi, dokter harus melakukan percobaan
irigasi berulang. Dan, anak membutuhkan waktu untuk mentoleransi irigasi salin. Kita harus
mengedukasi orang tua bahwa irigasi nasal seharusnya dimulai dengan salin volume sedikit,
dan volume harus ditingkatkan tiap harinya.
Pada studi ini, kami melakukan adenoidektomi sebagai terapi pembedahan lini pertama
karena beberapa studi mengindikasikan adenoidektomi mudah dilakukan, resiko rendah, dan
efektifitasnya dijumpai pada pasien RSK anak [21]. Walaupun korelasi yang kuat anatara
sinusitis pada anak dan hipertrofi adenoid telah terjawab, hal tersebut diyakini bahwa biofilm
yang melapisi jaringan adenoid dapat berhubungan dengan bacterial seeding meatus media
[22].
Studi ini, kami memasukkan pasien anak yang telah melakukan CT-Scan. CT-Scan
tidak dibutuhkan untuk mengkonfirmasi diagnosis atau sebagai alat follow-up terhadap respon
terapi pada RSK. Pada kasus ini, anak-anak yang tidak responsif terhadap terapi jangka panjang
dengan antibiotik oral dan kortikosteroid topikal. Oleh karena itu, penilaian perparahan
penyakit melalui CT-Scan dibutuhkan untuk menentukan terapi selanjutnya termasuk
pembedahan. Selain itu, sebagian pasien anak dirujuk ke fasilitas tersier untuk mencari
informasi tentang terapi pembedahan karena RSK refraktori tersebut.
Bias seleksi berkontribusi terhadap angka perbaikan yang lebih rendah terhadap terapi
obat-obatan dan lebih tinggi pada terapi pembedahan dibandingkan laporan RSK pada anak
sebelumnya [8].
Kesimpulannya, hasil kami menunjukkan bahwa irigasi nasal aman dan efektif
digunakan sebagai terapi adjuvan bahkan pada pasien anak dengan RSK. Dan komplians
(63.6%) relatif lebih tinggi dibanding asumsi orang tua. Kami menyarankan terapi medis
maksimal untuk RSK pada anak seharusnya termasuk tidak hanya penggunaaan antibiotik
sepktrum luas secara tepat dan kortikosteroid topikal namun juga irigasi nasal dengan salin.

Konflik Kepentingan
Tidak ada

Referensi

You might also like