You are on page 1of 6

A.

Peristiwa G30S/PKI
PERISTIWA G30S/PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa pemberontakan yang dilakukan
PKI, bertujuan untuk menyebarkan paham komunis di Indonesia. Pemberontakan ini
menimbulkan banyak korban, dan banyak korban berasal dari para Jendral AD. Gerakan PKI ini
menjadi isu politik untuk menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno kepada
MPRS. Dengan ditolaknya laporan Presiden Soekarno ini, maka Indonesia kembali ke
pemerintahan yang berazaskan kepada pancasila dan UUD 1945.

Sebab-sebab G30S/PKI :
a. PKI merupakan partai terbesar di Indonesia
Dengan melakukan pendekatan kepada kaum berjunis, PKI berhasil menarik anggota cukup
besar, tercatat pada tahun 1965, anggota PKI sudah mencapai 3,5 juta. Hal ini membuat PKI
menjadi partai yang besar dan kuat.
PKI melakukan beberapa cara untuk mengembangkan diri, antara lain :
- Melakukan gerakan gerilia dipedesaan dan melakuan prapaganda-prapaganda
menyesatkan.
- Melakukan gerakan revosioner oleh kaum buruh di perkotaan.
- Membentukan pekerja intensif dikalangan ABRI.
- Menyusup ke berbagai organisasi lain untuk mentransparansikan organisasi PKI.
- Mendekati Presiden Soekarno.
b. Politik luar negeri Indonesia yang lebih condong pada blok timur
Pada masa demokrasi terpimpin, indonesia menganut politik NEFO, sehingga PKI dapat
memperoleh dukungan dari Cina dan Unisoviet.
c. Konsep Naskom (Nasionalis, Agama, Komunis)
Dengan konsep ini, PKI dapat memperkuat kedudukannya di Indonesia, sehingga PKI memiliki
kekuatan yang sangat besar untuk mengadakan aksi kudeta.

Sejarah singkat pemberontakan PKI


PERISTIWA Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau situasi chaos
yang terjadi di Jawa Timur bulan September Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan
diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di
Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri
Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs),
dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era
Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu
tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang
mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku
Orde Lama).

Tawaran bantuan dari Belanda


Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk
menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik
Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera
memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata
Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah
membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak
kepada AS.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai
organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis.
Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI)
juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang
diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi
ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan
kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain
Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto
(Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan
menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung
Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari
Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali
posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan
bergabung dengan Musso, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok
diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan,
bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama,
pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo)
dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh
dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik
dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara
yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan
Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil
Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk
menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden
AS yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu
negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh
ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat
gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir Syarifuddin atau
Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun
Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru terutama di buku-buku pelajaran sejarah
kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI Madiun.

B. Pelaksanaan G30S/PKI
PELAKSANAAN G30S/PKI 1965 Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para
pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto
kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.Tahunya Aidit akan jenis sakitnya
Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu
ketidakpastian di masyarakat. Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU
Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya
merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang
menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang
mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada
namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani
penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa
pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam
rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang
disebut sebagai aksi sepihak dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk
membersihkannya. Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan
Muhammadiya) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat,
Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat
bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30
September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30
September tersebut).

Isu Dewan Jenderal


Pada saat-saat genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal, yang
mengungkapkan bahwa para petinggi Angkatan Darat tidak puas terhadap Soekarno dan berniat
untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno memerintahkan pasukan Cakrabirawa
untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili. Namun secara tak terduga, dalam operasi
penangkapan tersebut para jenderal tersebut terbunuh.

Isu Dokumen Gilchrist


Dokumen Gilchrist diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia, Andrew Gilchrist.
Beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini oleh beberapa
pihak dianggap pemalsuan. Di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, dokumen
ini menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira
Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberi
daftar nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti".

Isu Keterlibatan Soeharto


Menurut isu yang beredar, Soeharto saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima Komando
Strategis Cadangan Angkatan Darat) tidak membawahi pasukan.

Korban
Pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

- Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando


Operasi Tertinggi)
- Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)

- Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang


Perencanaan dan Pembinaan)

- Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)

- Brigjen TNI Donald Issac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)


- Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan
Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu
CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut. Selain itu beberapa orang
lainnya juga turut menjadi korban:

- Bripka Karel Satsuin Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II
dr.J.Leimena)

- Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)


Letkol Sugiyanto Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

You might also like