You are on page 1of 62

EKSTUBASI (PENGELUARAN PIPA ENDOTRAKEAL)

Ganguan pernapasan suatu komplikasi yang sering kita temui pada paksa anestesi. Komplikasi bisa

terjadi setelah ekstubasi seperti : karena pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan

napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring.

Komplikasi pernapasan paksa anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia. Gejala

komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan

dengan baik. Kebrhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan

tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. (7, 13).

A. Ekstubasi

Definisi ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah dilakukkan intubasi.

B. Tujuan Ekstubasi

1. Untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak menimbulkan trauma.

2. Untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan resiko setelah ekstubasi. (9)

C. Kriteria Ekstubasi

Kriteria ekstubasi yang berhasil bila :

1. Vital capacity 10 15 ml/kg BB

2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O

3. PaO2 diatas 80 mm Hg

4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil

5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot


6. reflek jalan napas sudah kembali (batuk, gag) dan penderita sudah sadar penuh. (16)

D. Pelaksanaan Ekstubasi

Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga mulut efek

obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah adequate. Melakukan pembersihan

mulut sebaiknya dengan kateter yang steril. Walaupun diperlukan untuk membersihkan

trachea atau faring dari sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus

menerus bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan,

sebaiknya diberikan oksigen. Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu

dilakukan ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka. Pipa

endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena kateter

pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring.

Sesudah dilakukan ektubasi, pasien hendaknya diberikan oksigen dengan sungkup

muka bila perlu rongga mulut dilakukan pembersihan kembali. Sebelum dan sesudah

ektubasi untuk menghindari spsme laring., ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi

yang dalam atau dimana reflek jalan sudah positif.

Napas sudah baik. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi dapat

dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah spontan. Spasme

laring dan batuk dapat dikurangi dengan memberikan lidokain 50 100 mg IV (intra

vena) satu menit atau dua menit sebelum ektubasi.

Kadang-kadang dalam melakukan ekstubasi terjadi kesukaran, kemungkinan

kebanyakan disebabkan oleh balon pada pipa endotrakheal besar, atau sulit dikempiskan,

pasien mngigit pipa endotrakheal. Ekstubasi jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini

disebabkan adanya gangguan pernapasan yang tidak adequate atau pernapasan susah

dikontrol dengan menggunakan sungkup muka pada pembedahan penuh ekstubasi napas.
Pasien dengan lambung penuh ekstubasi dilakukan apabila pasien sudah bangun atau

dilakukan ekstubasi pada posisi lateral.

Pada pembedahan maxillofacial daerah jalan napas bila perlu dipertimbangkan

untuk melakukan trakheostomy sebelum ekstubasi.

Apabila pasien mengalami gangguan pernapasan atau pernapasan tidak adequate

pipa hendaknya jangan dicabut sampai penderita sudah yakin baik, baru ke ruang pulih

dengan bantuan napas terus menrus secarra mekanik sehingga adequate.

E. Pengisapan Trakhea

Pengisapan orotrakheal atau nasotrakheal hanya dilakukan apabila pada auskultasi

terdengar adanya bunyi yang ditimbulkan oleh retensi sekret dan tidak dapat dibersihkan

dengan batuk. Pengisapan trachea sebaiknya tidak dilakukan sebagai pencegahan atau

secara rutin. Hal ini menyebabkan iritasi mekanisme oleh kateter selama pengisapan

trachea, serta dapat pula menyebabkan trauma pernapasan, dan hal ini merupakan

predisposisi untuk terjadinya infeksi. Selain itu pengisapan trachea atau karina oleh

kateter dapat menimbulkan reflek vagal, dapat berupa bradikardi dan hipotensi.

Pengisapan trachea juga dapat menimbulkan hipoksemia karena aspirasi gas pada paru-

paruyang menyebabkan penutupan small air way kolapnya dan alveoli. Hipoksemia selama

pengisapan trachea dapat dikurangi dengan cara :

1. Pemberian oksigen 100% sebelum pengisapan.

2. Diameter kateter pengisap tidak lebih dari setengah diameter trachea.

3. Lama pengisapan tidak lebih dari 15 detik.

4. Setelah melakukan pengisapan, dilakukan pemompaan secara manual untuk

mengembangkan alveoli kembali. (14)

F. Penyulit Ekstubasi

Hal-hal yang dapat terjadi setelah sektubasi :


1. Spasme laring

2. Aspirasi

3. Edema laring akut karena trauma selam ekstubasi

Penyulit lanut setelah dilakukan ekstubasi :

1. Sakit tenggorokan

2. Stenosis trachea dan trakheomolasia

3. Radang membran laring dan ulserasi

4. Paralisis dan granuloma pita suara

5. Luka pada sarap lidah. (21)

G. Penilaian Hipoksemia

Hipoksemia paksa bedah yang terjadi pada pasien angat sulit terdiagnosa atau

dinilai secara klinik. Terutama sionosis sukar diketahui dan tidak mungkin menilai

kuantitasnya.

Takhicardi sulit dipakai sebagai indicator dari hipoksia, irama pernapasan yang dalam

tidaak seluruhnya dapat membantu, pernapasan yang lambat dan dangkal dapat mengakibatkan

depresi pusat pernapasan oleh narkotik, dari frekuensi tidak bisa sebagai jaminan untuk

mengetahui hipoksemia pada masa pembedahan pengukuran oksigen arteri dapat dipercaya

untuk mengetahui keadaan dan nilai status hipoksia. Dengan menggunakan monitor pulse

oksimeter untuk mengetahui satrurasi oksigen sangat diutamakan penggunaannya terutama

pada fase awal paksa bedah. Penilaian dari analisa gas darah juga diperlukan dan mungkin lebih

tepat pemerriksaannya pada fase lanjut, nilai dari analisa tersebut sebagai gambaran klinik

prediksi pemeriksaan dimana pulse oksimeter yang menetap. Standar analisa gas darah selama

anestesi jangan dijadikan patokan pada paksa anestesi,d an pemeriksaan gas darah sebainya

dilakukan di ruang pulih. Dengan penggunaan pulse oksimeter sangat mudah utnuk mengetahui

hipoksemia secara dini. (2, 15, 22)


Pulse oksimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur kejenuhan HbO 2 pada

pembuluh darah tepi secara elektro-fotometrii. Pengindera alat ini biasanya diletakkan pada jari

atau daun telinga. Prinsip dasar kerja alat ini adalah membandingkan penyerapan cahaya yang

memiliki panjang gelombang tertentu oleh HbO 2 dengan Hb total (HbO2 + Hb). Pada alat ini

digunakan cahaya dengan dua panjang gelombang yang berbeda, yaitu dengan panjang

gelombang dimana molekul HbO2 dan Hb mempunyai nilai penyerapan yang sama (850 nm) dan

cahaya dengan panjang gelombang dimana molekul HbO 2 dan Hb mempunyai nilai selisih

penyerapan terbesar (660 nm) dimana perbandingan nilai penyerapan oleh dua molekul ini

diketahui. Pada pulseoksimeter peneyrapan cahaya yang dipancarkan ini disebabkan oleh dua

unsure yaitu jaringan ketebalan (ketebalan dan pigmentasi) yang merupakan komponen statis

darah arterial yang berdenyut merupakan komponen pisatil. Rangkaian elektronik pada alat ini

dirancang utnuk mampu membedakan antara cahaya yang diserap oleh komponen statis dengan

cahaya yang diserap oleh komponen pulsatil, pada kedua panjang gelombang diatas dan hanya

komponen pulsatil yang ditampilkan oleh alat ini. Perbandingan komponen pulsatil pada kedua

panjang gelombang cahaya diatas dibandignkan secara imperis dengan pemriksaan SaO 2 yang

dilakukan secara invasif sehingga nilai SaO2 pada pulse oksimeter tidak memerlukan kalibrasi. (8,

25)

Pulse oksimeter mempunyai keungulan karena mudah digunakan, non invasive,

respon cepat mampu menilai keutuhan penyaluran oksigen mulai dari sumbernya sampai

jaringan dan tidak dipengaruhi oelh pigmentasi kulit selain dari pada itu ia memiliki

ketepatan yang cukup tinggi. Kekurangannya adalah pengukuran yang tidak tepat apabila

perfusi jaringan rendah, adanya cahaya luar yang ikut terukur, adanya gerakan tubuh,

adanya figmen dalam darah misalnya metelin biru dan bilirubin, kadar met-Hb dan karbo

Hb yang tingi : selain dari pada itu karena bentuk kurva disosiasi oksigen maka perubahan

PaO2 yagn besar hanya sedikit merubah SaO2 selama PaO2 berada diatas 75 mmHg dan
apabila PaO2 berada dibawah 75 mmHg perubahan PaO2 yang besar, secara kasar dapat

dipegang sebagai patokan pada SaO2 90% - 75% maka PaO2 SaO2 30. (4)

Penggunaan pulse oksimeter bermanfaat saat melaksanakan anestesi apabila

terjadi perubahan saturasi selama pemulihan dan kejadian hipoksemia dapat ditegakkan

secara dini, pada paska bedah sampai beberapa hari setelah pembedahan. (1, 6, 23, 26)

Kriteria hipoksemia : saturasi oksigen (SpO2) 86 90% hipoksemia ringan, SpO2

81 85% hipoksemia sedang, SpO2 < 81 hipoksemia berat. (9)

H. Hipoksemia Paska Bedah

Hipoksemia paska bedah dapat di difinisikan penurunan kadar oksigen dalam darah

setelah pembedahan dimana SaO2 kurang dari 90%. Pada keadaan tersebut terjadi hipoksi

jaringan. Hal ini merupakan komplikasi yang serius pada paska bedah setelah anestesi umum.

Pada paska bedah hipoksemia dibagi dua fase:

Fase awal terjadi dimana setelah obat anestesi dihentikan sampai dikirim keruang pulih

dan fase lanjut dimana terjadi satu minggu setelah pembedahan. (12)

FASE AWAL PASKA BEDAH TERJADI HIPOKSEMIA

Masalah pernapasan harus dilihat terlebih dahulu, guna mencegah komplikasi yang

serius, terutama pada keadan obesitas, pasien dengan usia lanjut, perokok, dan pasien dengan

penyakit kardiovaskuler.

1. Obesitas

Pasien dengan obesitas sering terjadi kesulitan selama pembedahan dan paska

bedah (Schwartz 1995) diperkirakan sulit mengatur jalan napas, begitu juga dalam

melakukan intubasi. Dihubngkan dengan penyakit kardiovaskuler, hipoksemia kronis

menyebabkan terjadinya retriksi diafragma dan perubahan FRC (Fungsional Residual


Capasiity) dan VC (Vital Capasity), (Berrera et al 1967) dan hal tersebut bisa meningkat

kejadiannya pada paska bedah (Marshell and Melville 1972), Couture et al 1970),

penutupan jalan napas dan sakit otot (Alexander et al 1973). Pada paska bedah dengan

hipoksemia lebih sering terjadi pada pasien obesitas (Garibeldi et al 1981).

Perawatan pasien selama pemulihan sampai beberapa hari paska bedah perlu

dianjurkan secara terus menerus untuk memantau pasien, dengan memeprhatikan jalan

napas dan pola pernapasan itu sendiri.

Perubahan posisi berbaring ke posisi duduk tidak diperlukan utnuk emngatur

pergerakan dioafragma pada apsien dengan berat badan < 100 kg. Tetapi hendaknya

dianjurkan bernapas secara teratur bila ada hipoksemia ringan pada fase awal paska bedah

dan perawatan yang intensif. Penggunaan morfin dan atropin yang terus menerus dapat

menyebabkan depresi napas dan keekringan.

2. Umur

Meningkatnya usia cenderung mudah terjadi penutupan jalan napas dan terjadi

perubahan pada muskuloskeletal. PaO2 cenderung menurun menjadi < 8,4 kPa pada usia

70 tahun. (Marshall and Millar 1965, Jones 1982) hal ini juga berhubungan dengan

adanya penyakit kardiovaskuler, oleh karena edema paru dan pneumoni. Terjadinya

apneco dan reaksi obat opiat sulit diperkirakan (Arunasalam et al 1983).

3. Perokok

Terjadinya komplikasi paska bedah terhadap paru pada pasien perokok cenderung

meningkat (Morton 1984). Perubahan pada paru (jalan napas, penurunan volume, FRC)

(Borrow et al 1977, Buist et al 1981) hal ini terlihat pada psien perokok. Pada pra bedah

dianjurkan untuk berhenti merokok guna mengembalikan fungsi paru secara perlahan.

Bronchorea sering terjadi dua sampai tiga hari setelah dihentikan merokok sehingga batuk

yang produktif dapat diturunkan.


4. Penyakit Kardiopulmonal

Kecenderungan penyebab terjadinya infeksi paru pada paska bedah berhubungan

dengan obtruksi kronis jalan napas (Geribeldi et al 1981). Fisioterapi dan bronhodilator

bersama dengan obat mukolotik yang digunakan pada pra bedah dapat menghasilkan

keadaan yang optimum. Banyaknya sekret pada pasien bronchitis kronis berhubungan

dengan menyempitnya jalan napas sehingga terjadi atelektasis. Tetapi dengan epgnobatan

yang terus menerus akan dapat dikurangi terjadinya komplikasi. Penyakit

kardiopulmunum akibat skunder dari penyakit kronik seperti bronchitis, episema, obesitas

dan emboli dapat mengakibatkan terjadinya hipoksia (Fisman 1966). Penyempitan

karenaparu akan meningkatkan tahanan vaskuler paru sehingga menurunkan kemampuan

terapi oksigen untuk menghindari sianosis dan juga pada penggunaan ventilator.

Vasodilator seperti nitroprusside dan netrogliserin serta diuretic dapat digunakan apabila

pasien diperkirakan adanya gagal jantung.

Pada bedah efektif apabila terdapat infeksi jalan napas hendaknya ditunda terlebih

dahulu, sebab dapat meningkatkan resiko paska bedah. Radang faring dan laring akut

akan meningkatkan sensitifitas sehingga cederung terjadi spasme laring. Gangguan filtrasi

nasal dan reflek jalan napas terhadap kotorran yang masuk akan terganggu selama

dilakukan pembersihan jalan napas, dan hal itu juga bisa dikarenakan gangguan mokolitik

juga bisa disebabkan dehidrasi, obat atropin dan pengaruh penggunaan konsentrasi

oksigen yang tinggi.

Infeksi pernapasan yang kronis pad apra bedah perlu dilakukan pengobatan

sehingga mencapai kondisi yang optimal, dengan penggunaan antibiotik dapat

menurunkan morbiditas. Kehati-hatian penilaian tentang penilaian pra bedah sangat

penting (Brendly et al 1982, Gothart and Branthwaite 1982). Secara umum meliputi PaO 2

dimana lebih penting dari epngingkatan nilai PaO2 terutama selama pembedahan
torakotomi. Gangguan fungsi paru akibat suatu penyakit, dapat merubah nilai yang dapat

digunakan dalam pengetesan fungsi paru.

Pada pasien yang mempunyai resiko, hendaknya pengukuran fungsi paru harus

selalu dilakukan seperti table 1 apabila dicurigai mempunyai kelainan fungsi paru guna

menghindari komplikasi paska bedah. (17)

Table 1.1 Laboratory abnormalities that correlate with hign risk caused by

pulmonary dysfunction.

Fuction Value
Maximum voluntary ventilation (MVV) < 50% predicted or < 50 /1/min

Pa CO2 .> 45 torr

Forced expiratory volume (FEV1) < 0,5 L

Forced expiratory flow (FVC) 25 75% < 0,66L

Forced vital capacity (FVC) <1L

ECG bnormal

Pa O2 < 55

Maximum expiratory flow rate (MEFR) < 100 L / min

FASE LANJUT PASKA BEDAH TERJADI HIPOKSEMIA

Pada masa ini terjadinya hipoksemia suatu hal yang umum terjadi, yang dapat

disebabkan oelh berbagai factor : mekanisme ventilasi abnormal, gangguan pertukaran

gas dan gangguan pusat pernapasan.

1. Mekanisme Ventilasi Abnormal

Pada paskka bedah mekanisme ventilasi abnormal sering terjadi dan dapat menimbulkan

hipoksemia yang ditandai dengan penurunan VC dan FRC. FRC normal kembali pada

minggu pertama sampai minggu kedua dan untuk VC setelah minggu ke tiga paska bedah.

Pembedahan daerah abdormal dan dada, rasa sakit, cenderung menurunkan pergerakan
dada. Rasa sakit jikga tidak ditanggulangi akan menurunkan FRC, dan hal tersebut bisa

juga disebabkan oleh menyempitnya jalan napas serta pada pasuien yang tidak bisa batuk

dimana hal tersebut akan menyebabkan retensi sekret dan atelektasisi. (24)

2. Gangguan Mekanika Pertukaran Gas

Gangguan mekanika pertukaran gas pada fase lanjut paska bedah sulit diketahui,

sehingga hal ini akan menurunkan FRC.

3. Gangguan Pusat Penapasan

Pemberian narkotik paska bedah untuk mengjhilangkan rasa sakit sering

menimbulkan komplikasi, depresi napas, seprti morfin dapat menimbulkan depresi napas

melebihi 7 jam, edangkan fentanil tidak, tetapi pernah dilaporkan dapt terjadi depresi

setelah pemberian intrevena hal ini disebabkan meningkatnya kadar obat dalam plasma

karena efek dari Biphassic, sehingga pemberian kedua utnuk fentanil dapat

menimbulkan respon terhadap pernapasan seperti hiperkarbia secara menetap dan lama.

Pemberian barkotik intratekal dan epidural bisa terjadi depresi napas karena migrasi obat

melalui cairan serebrospinalis, hal itu juga bisa meibulkan kolap kardiovaskuler dan

koma. Utnuk mengembalikan efek ini dapat diberikan nalokson. Sehingga akhir-akhir ini

paska bedah fase lanjut perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya hipoksemia. (14, 17,

23)

Dengan adanya pulse oksimeter hal ini memungkinkan untuk memonitor saturasi

oksigen secara terus menerus selama 2 6 hari pada paska bedah juga berukuran bidal

volume, frekuensi napas dan analisa gas darah. Umumnya serangan hipoksemia terjadi

pada malam hari, dimana pasien sedang tidur yangberkisar 40 detik. Serangan apneo

bisa disebabkan secara sentral atau karena sumbatan jalan napas, dan hal ini lebih sering

terjadi. Sebaiknya dilakukan kontrol pernapsan jika hal itu terjadi dan umumnya sering

tidak diketahui. (17)


Nalokson sering diberikan bila terjadi depresi napas oleh narkotik. Tetapi bisa

menimbulkan depresi napas jika obat nerkotik yang telah diebrikan mempunyai efek yang

sama dengan nalokson.

a. Penatalaksanaan Hipoksemia Paska Bedah

Terapi Oksigen

Setelah pengakhiran obat anestesi, oksigen harus diberikan 100% selama 10

menit, jika oksigen yang diberikan kurang dari 100% cenderung bisa terjadi

hipoksemia pada fase awal paska bedah dan pemberian oksigen dilakukan secara

terus menerus. Selama pengiriman pasien dari kamar operasi ke ruang pulih dan juga

berada selama diruang pulih harus dilakukan monitoring saturasi utnuk mengetahui

adanya hipksemia. Cara epnggunaaan pulse oksimeter harus diketahui oelh perawat

yang berada diruang pulih dan harus berpengalaman. Jika diduga pasien mempunyai

resiko, monitor dilakukan secara terus menrrus dengan pulse oksimeter dan hal ini

biasanya dijadikan standar perawatan. (5)

Setelah pasien boleh keluar dari ruang pulih, 24 jam pertama harus diberikan

oksigen, tetapi jika pasien mempunyai resiko hipoksemia, hendaknya diberikan

oksigen selama 3 4 nhari serta dilakukan monitor penggunaan oksigen, pemeriksaan

analisa gas darah, atau dilakukan monitor dengan pulse oksimeter. Jika terjadi

hipoksemia yang menetap dilakukan terapi oksigen. Pemberian terapi oksigen yang

tebaik, adalah melalui sungkup muka 4 liter/menit. (Such as MC or Hudson)

pengiriman pasien, selama berada di ruang pulih, bisa lewat kanula hidung 3 4

liter/menit, dengan konsentrasi oksigen < 50% tetapi cara ini tidak stabil. Jika

penggunaan oksigen lama, konsentrasi sebaiknya < 50% dan hal ini masih dapat

diadaptasi tanpa menimbulkan efek yang erius, asalkan oksigen yang dihisap tetap

steril. (26)
Pemberian oksigen > 30% tidak diperlukan, sebab bisa memnimbulkan

gangguan filtrasi udara pada hidung sehingga bisa terjhadi atelektasis, dan terjadi

penurunan hipoksik paru karena vasokontriksi vena paru. Konsentrasi oksigen yang

tinggi diperlukan apabila terjadi hipksemia, tetapi perlu juga dipertimbangkan karena

efek pemebrian oksigen dengan konsentrasi tinggi dapat dterjadi pulmonary shunt.

Tetapi jika terjadi keadaan yang membahayakan pada pasien, terapi oksigen

harus diebrikan terus menerus sebagai tambahan.

Perbaikan hypoventilasi

Paska bedah pernapasan ha4rus dijamin adequate dan spontan, serta

hipoksemia harus dihindarkan. Penyebab lain dari hipoksemia, bisa secara sentral atau

diebabkan oleh pelemas otot dan hal ini harus ditanggulangi. Neostigmin tidak perlu

diebrikan jika pernapasan sudah mulai spontan.

Ventilasi mekanik harus diberikan jika efek pelemas otot masih ada, tetapi jika

terjadi potensiasi oleh penyebab lainnya, maka hal tersebut harus diperbaiki sebelum

memberikan obat.

Meningkatkan volume paru

Tujuan penatalaksanaan hipoksemia paska bedah adalah untuk meingkatkan

FRC dan mencegah atelektasis. Fisioterapi pernapasan paska bedah untuk

mengembangkan ekmampuan fungsi paru. Prosedur sederhana yang dapat digunakan

jika pasien sudah baik, dilakukan perubahan posisi berbaring ke posisi duduk dengna

tujuan mengembangkan volume paru dan PaO2. Jika terjadi hipoksemia karena

kontriksi bronchus hendaknya diebrikan obat teofilin seacara IV. (4, 5)

Berbagaimacam cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan fungsi paru

seperti : Intermittrnt Positive Pressure Breathing (IPPB) dengan sungkup muka,

penggunaan spirometry, fisioterapi pernapasan dan Continue Positive Air Way


Pressure (CPAP).

Spiratory umumnya digunakan utnuk mengukur kemampuan inpirasi dan

ekpirasi, dan akhir-akhir ini spirometry dan IPPB di Amerika sering digunakan tanpa

menimbulkan keadaan yang banyak membahayakan dalam pelaksanaannya. Tujuan

penggunaan spirometry dan IPPB adalah utnuk memperbaiki keadan hipoksemia.

Tetapi penggunaaan alat tersebut keadaan yang lebih buruk. Penggunaan CPAP dsan

sungkup muka dapat meningkatkan FRC, tetapi hal tersebut pada pasien dengan

kondisi lemah cenderung terjadi komplikasi dan teknik penggunaannya harus

dilakukan oleh oran gyang berpengalaman dan pelaksanaannya pada pasien yang

sudah bangun dan kooperatif, serta tidak dianjurkan pada pasien fase awal paska

bedah. (6)

Oksigen Delivery

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa rendahnya oksigen yang diberikan akan

menurunkan PaO2. Pada paska bedah penurunan CO2 karena hipovolemia, aritmia

jantung, depresi jantung dan peningkatan tahanan perifer, semua itu harus

diperhatikan dan diperbaiki sesuai penyebabnya dan juga penatalaksanaan pada

pasien yang menggigil, penurunan kesadaran dan penyebab lainnya jika terjadi

peningkatan kebutuhan oksigen.

Prosedur Perawatan Jenazah

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

PERAWATAN JENASAH

1. Pengertian

Perawatan jenasah adalah perawatan pasien setelah meninggal, perawatan termasuk


menyiapkan jenasah untuk diperlihatkan pada keluarga, transportasi ke kamar jenasah dan
melakukan disposisi (penyerahan) barang-barang milik klien.

2. Indikasi
Perawatan jenasah dimulai setelah dokter menyatakan kematian pasien. Jika pasien
meninggal karena kekerasan atau dicurigai akibat kriminalitas, perawatan jenasah dilakukan setelah
pemeriksaan medis lengkap melalui autopsy.

3. Tujuan

Penghormatan terhadap jenasah

Menjalankan kewajiban hukum fardlu ain. (muslim)

Jenasah dalam keadaan bersih

4. Sasaran

Pasien yang sudah meninggal

5. Tenaga

Dokter, Perawat, Bidan

6. Kelengkapan sarana

A. Sarana Medis

Kasa/Verban secukupnya

Sarung tangan bersih

Pads

Kapas secukupnya

Plastik jenasah/pembungkus jenasah

Plester penahan untuk menutup luka (bila ada luka)

Bengkok 1 buah

Troli

B. Sarana Non Medis

Pengganjal dagu

Label identifikasi

Tas plastic untuk tempat barang-barang klien

Air dalam baskom

Sabun

Handuk

Selimut mandi

Kain kafan
Daftar barang berharga

Peniti

Sisir

Baju bersih

Peralatan ganti balut (jika diperlukan)

7. Prosedur Tetap Pelayanan

a. Mempersiapkan alat dan bahan

b. Meyingsingkan lengan baju seragam yang panjang di atas siku.

c. Melepaskan cincin, jam tangan dan gelang.

d. Memakai sarung tangan

e. Perawatan jenasah

8. STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR

a. Mempersiapkan alat dan bahan

Memeriksa kembali Kasa/Verban, Sarung tangan bersih, Pads, Kapas secukupnya, Plastik
jenasah/pembungkus jenasah, Plester penahan untuk menutup luka (bila ada luka), Bengkok 1 buah,
diatas troli bagian atas.

b. Bila menggunakan baju lengan panjang maka lengan baju dilipat sampai di atas siku.

Menyingsingkan lengan baju yang panjang sampai atas mata siku lengan.

c. Melepaskan cincin, jam tangan dan gelang.

Jika menggunakan cincin, jam tangan lepaskan cincin dan jam tangan ke dalam saku.

d. Memakai sarung tangan

a). Meletakkan sarung tangan steril pada posisi yang sedikit lebih tinggi dari tangan 15 cm dari ujung
jari tangan jika tangan lurus disamping badan.

b). Membuka bungkus sarung tangan dengan hati-hati dan jaga agar tidak terkontaminasi.

c). Mengatur agar posisi jari sarung tangan mengarah ke depan pembungkus.

d). Mengidentifikasi sarung tangan kanan dan kiri.

e). Mengambil sarung tangan dominan dengan tangan nondominan

(pegang pada bagian dalam pergelangan sarung tangan yang terlipat ).

f). Memasangkan sarung tangan pada tangan dominan, pastikan sarung tangan tidak menyentuh bagian
yang tidak steril.
g). Dengan menggunakan tangan yang sudah terpasang sarung tangan, mengambil sarung tangan
berikutnya dengan memasukan empat jari ke dalam lipatan sarung tangan yang terlipat pada bagian
pergelangan.

h). Memasang sarung tangan pada tangan nondominan dengan hati-hati dengan tidak menyentuh
bagian yang tidak steril.

i). Menarik sarung tangan kedua pada tangan yang non dominan. Jangan biarkan jari-jari tangan dominan
menyentuh bagian tangan yang non dominan yang masih terbuka.

j). Menyesuaikan sarung tangan yang telah terpasang dengan merekatkan kedua tangan.

k). Melepas sarung tangan setelah selesai melakukan tindakan keperawatan dengan tangan dominan
sehingga bagian dalam sarung tangan berada diluar. Kemudian genggam sarung tangan yang sudah
terlepas tadi dengan tangan nondominan, lalu lepas sarung tangan nondominan sehingga sarung
tangan dominan yang digenggam tadi tergulung di dalam sarung tangan nondominan.

l). Meletakkan sarung tangan yang telah digunakan ke bengkok

m). Mencuci tangan seperti yang dilakukan diawal tindakan.

e. Perawatan Jenasah

a) Siapkan alat yang diperlukan dan bawa kedalam ruangan

b) Atur lingkungan sekitar tempat tidur. Bila kematian terjadi pada unit multi bed, jaga privasi pasien
yang lain, tutup koridor, cuci tangan.

c) Tinggikan tempat tidur untuk memudahkan kerja dan atur dalam posisi datar.

d) Tempatkan tubuh dalam posisi supinasi

e) Tutup mata, dapat menggunakan kapas yang secara perlahan ditutupkan pada kelopak mata dan
plester jika mata tidak tertutup

f) Luruskan badan, dengan lengan menyilang tubuh pada pergelangan tangan dan menyilang abdomen.
Atau telapak tangan menghadap kebawah.

g) Ambilo gigi palsu jika diperlukan dan tutup mulut. Jika mulut tetap tidak mau tertutup, tempatkan
gulungan handukdi bawah dagu agar mulut tertutup. Tempatkan bantal di bawah kepala.

h) Lepaskan perhiasan dan barang berharga dihadapan keluarga. Pada umumnya, semua cincin, gelang,
kalung dll di lepas dan ditempatkan pada tas plastic tempat barang berharga. Termasuk kaca mata,
kartu, surat, kunci, barang religi. Beri label identitas.

i) Jaga keamanan barang berharga klien. Ikuti peraturan RS untuk disposisi (penyerahan) barang
barharga. Jangan meninggalkan barang berharga. Tempatkan dikantor perawat sampai dapat
disimpan ditempat yang lebih aman atau diserahka pada keluarga. Jika memungkinkan, keluarga
dianjurkan untuk membawa pulang semua barang milik milik klien sebelum klien meninggal.

j) Bersihkan badan. Dengan menggunakan air bersih, bersihkan area tubuh yang terdapat kotoran
seperti darah, feces, atau muntahan. Jika kotoran terjadi pada area rectum, uretra atau vagina,
letakan kassa untuk menutup tiap lubang dan rekatkan dengan plester untuk mencegah pengeluaran
lebih lanjut.

Setelah kematian, spingter otot relaks, menyebabkan incontinensia feces dan urin.
k) Rapikan rambut dengan sisir rambut.

l) Rawat drainage dan tube yang lain. Jika akan dilakukan autopsy, tube pada umumnya dibiarkan pada
badan, ambil botol drainage atau bag dari tube dan tekuk tube, ketika dilakukan autopsy, tube
diambil. Pastikan balon sudah dikempiskan sehingga tidak melukai jaringan tubuh selama
pengambilan.

m) Ganti balutan bila ada balutan. Balutan yang koyor harus diganti dengan yang bersih. Bekas plester
dihilangkan dengan bensin atau loarutan yang lain yang sesuai dengan peraturan RS.

n) Pakaikan pakaian yang bersih untuk diperlihatkan pada keluarga. Jika keluarga meminta untuk
melihat jenasah, tempatkan pada posisi tidur, supinasi, mata tertutup, lengan menyilang di
abdomen. Rapikan tempat tidur kembali.

o) Beri label identifikasi pada jenasah. Label identitas dengan nama, umur, dan jenis kelamin, tanggal,
no RS, nomor kamar dan nama dokter. Sesuai dengan peraturan RS, ikatan label identitas pada
pergelangan tangan atau pergelangan kaki atau plester label pada dada depan pasien.

p) Letakan jenasah pada kain kafan sesuai dengan peraturan RS. Ikatkan kasa/verbanatau pengikat yang
lain dibawah dagu dan sekitar kepala untuk menjaga agar dagu tetap tertutup. Kemudian, ikat
pergelangan tangan bersama menyilangkan diatas abdomen untuk menjaga lengan dari jatuh dari
brankar ketika jenasah diangkut kekamar jenasah. Letakan jenasah pada kain kafan. Lipat bagian 1
sudut kebawah menutup kepala, diikuti bagian sudut ke 2 keatas menutup kaki. Lipat bagian sudut 3
dan 4. Peniti atau plester diperlukan untuk menjaga kain kafan pada tempatnya.

q) Beri label pada bagian luar. Tandai identifikasi di penitikan pada bagian luar kain kafan.

r) Pindahkan jenasah ke kamar jenasah. Pindahkan jenasah secara perlahan ke brankar. Tutup jenasah
dengan kain. Kemudian ikat dengan pengikat brankar pada bagian dada dan lutut. Pengikat untuk
mencegahjenasah jatuh, tapi tidak boleh terlalu kuat sehingga dapat menyebabkan lecet.

s) Bereskan dan bersihkan kamar pasien.

t) Dokumentasikan prosedur. Pada catatan perawatan, catat waktu dan tanggal jenasah diantar
kekamar jenasah. Lakukan pencatatan apakah barang berharga disimpan atau diserahkan pada
keluarga.

Hal yang diperhatikan :

Berikan barang-barang milik klien pada keluarga klien atau bawa barang tersebut kekamar jenasah.
Jika perhiasan atau uang diberikan pada keluarga, pastikan ada petugas/ perawat lain yang
menemani. Minta tanda tangan dari anggota keluarga yang sudah dewasa untuk verifikasi
penerimaan barang-barang berharga atau status dimana perhiasan masih ada pasien.

Berikan support emosional kepada keluarga yang ditinggalkan dan teman dan kepada klien lain yang
sekamar.

Mengangkat jjenasah dilakukan secara perlahan untuk mencegah lecet dan kerusakan kulit.

Diposkan oleh Chassink Kodokz di 10.44 PM

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest


Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Prosedur Tranfusi Darah


Tranfusi Darah

A. Definisi

Penggantian darah atau tranfusi darah adalah suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah
seperti plasma, sel darah merah kemasan atau trombosit melalui IV. Meskipun tranfusi darah penting
untuk mengembalikan homeostasis, tranfusi darah dapat membahayakan. Banyak komplikasi dapat
ditimbulkan oleh terapi komponen darah, contohnya reaksi hemolitik akut yang kemungkinan
mematikan, penularan penyakit infeksi dan reaksi demam. Kebanyakan reaksi tranfusi yang
mengancam hidup diakibatkan oleh identifikasi pasien yang tidak benar atau pembuatan label darah
atau komponen darah yang tidak akurat, menyebabkan pemberian darah yang inkompatibel.
Pemantauan pasien yang menerima darah dan komponen darah dan pemberian produk-produk ini
adalah tanggung jawab keperawatan. Perawat bertanggung jawab untuk mengkaji sebelum dan
selama tranfusi yang dilakukan. Apabila klien sudah terpasang selang IV, perawat harus mengkaji
tempat insersi untuk melihat tanda infeksi atau infilrasi.

Perawat harus memastikan bahwa kateter yang dipakai klien menggunakan kateter ukuran besar (18-
19). Komponen darah harus diberikan oleh personel yang kompeten, berpengalaman dan sesuai
dengan prosedur yang berlaku.

B. Tujuan

1. Meningkatkan volume sirkulasi darah setelah pembedahan, trauma atau


perdarahan

2. Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar


hemoglobin pada klien yang mengalami anemia berat.

3. Memberikan komponen seluler yang terpilih sebagai terapi pengganti


(misal : faktor pembekuan plasma untuk membantu mengontrol
perdarahan pada klien yang menderita hemofilia)

C. Golongan dan Tipe Darah

Darah tersusun dari beberapa unsur yang mempunyai peran utama dalam terapi tranfusi darah.
Komponen ini meliputi antigen, antibody, tipe Rh, dan antigen HLA. Antigen adalah zat yang
mendatangkan respon imun spesifik bila terjadi kontak dengan benda asing. Sistem imun tubuh
berespon dengan memproduksi antibody untuk memusnahkan penyerang. Reaksi Antigen (Ag) dan
Antibodi (AB) ini diperlihatkan dengan aglutinasi atau hemolisis. Antibodi dalam serum berespon
terhadap antigen penyerang dengan mengelompokkan sel-sel darah merah bersama-sama dan
menjadikan mereka tidak efektif atau memusnahkan sel darah merah. Sistem penggolongan darah
didasarkan pada reaksi Ag-AB yang menentukan kompabilitas darah.

Golongan darah yang paling penting untuk tranfusi darah ialah sistem ABO, yang meliputi golongan
berikut: A, B, O, AB. Penetapan penggolongan darah didasarkan pada ada tidaknya antigen sel darah
merah A dan B. Individu-individu dengan golongan darah A mempunyai antigen A yang terdapat pada
sel darah merah; individu dengan golongan darah B mempunyai antigen B, dan individu dengan
golongan darah O tidak mempunyai kedua antigen tersebut.

Aglutinin, atau antibody yang bekerja melawan antigen A dan B, disebut agglutinin anti A dan
agglutinin anti B. Aglutinin ini terjadi secara alami. Individu dengan golongan darah A
memproduksi aglutinin anti B di dalam plasmanya secara alami. Begitu juga dengan individu dengan
golongan darah B, akan memproduksi agglutinin anti A di dalam plasma secara alami. Individu
dengan golongan darah O secara alami memproduksi kedua aglutinin tersebut, inilah sebabnya
individu dengan golongan darah O disebut sebagai donor universal. Individu golongan AB juga
menghasilkan antibodi AB, oleh karena itu individu dengan golongan AB disebut resipien universal.
Bila darah yang ditranfusikan tidak sesuai, maka akan timbul reaksi tranfusi.

Setelah system ABO, tipe Rh merupakan kelompok antigen sel darah merah dengan kepentingan
klinis besar. Tidak seperti anti-A dan anti-B, yang terjadi pada individu normal dan tidak diimunisasi,
antibody Rh tidak terbentuk tanpa stimulasi imunisasi. Individu dengan antibodi D disebut Rh positif,
sedangkan yang tidak memiliki antibodi D disebut Rh negatif, tidak menjadi soal apakah ada antibodi
Rh lainnya. Antibody D dapat menyebabkan destruksi sel darah merah, seperti dalam kasus reaksi
tranfusi hemolitik lambat.

Penggolongan darah mengidentifikasi penggolonga ABO dan Rh dalam donor darah.


Pencocoksilangan (crossmatching) kemudian menentukan kompatibilitas ABO dan Rh adalah penting
dalam pemberian terapi tranfusi darah.

System HLA merupakan komponen berikutnya untuk dipertimbangkan dalam pemberian tranfusi.
System HLA didasarkan pada antigen yang terdapat dalam leukosit, trombosit dan sel-sel lainnya.
Penggolongan dan pencocoksilangan HLA kadang-kadang diperlukan sebelum tranfusi trombosit
diulangi.

D. Indikasi

1. Pasien dengan kehilangan darah dalam jumlah besar (operasi besar,


perdarahan postpartum, kecelakaan, luka bakar hebat, penyakit
kekurangan kadar Hb atau penyakit kelainan darah).

2. Pasien dengan syok hemoragi.

E. Macam-macam Komponen Darah

Darah lengkap (whole blood)

Tranfusi darah lengkap hanya untuk mengatasi perdarahan akut dan masif, meningkatkan dan
mempertahankan proses pembekuan. Darah lengkap diberikan dengan golongan ABO dan Rh yang
diketahui. Infuskan selama 2 sampai 3 jam, maksimum 4 jam/unit. Dosis pada pediatrik rata-rata 20
ml/kg, diikuti dengan volume yang diperlukan untuk stabilisasi. Bisanya tersedia dalam volume 400-
500 ml dengan masa hidup 21 hari. Hindari memberikan tranfusi saat klien tidak dapat menoleransi
masalah sirkulasi. Hangatkan darah jika akan diberikan dalam jumlah besar.

Indikasi:

1. Penggantian volume pada pasien dengan syok hemoragi, trauma atau luka bakar

2. Klien dengan perdarahan masif dan telah kehilangan lebih dari 25 persen dari volume darah total

Packed Red Blood cells (RBCs)

Komponen ini mengandung sel darah merah, SDP, dan trombosit karena sebagian plasma telah
dihilangkan (80 %). Tersedia volume 250 ml. Diberikan selama 2 sampai 4 jam, dengan golongan
darah ABO dan Rh yang diketahui. Hindari menggunakan komponen ini untuk anemia yang
mendapat terapi nutrisi dan obat. Masa hidup komponen ini 21 hari.

Indikasi :

1. Pasien dengan kadar Hb rendah

2. Pasien anemia karena kehilangan darah saat pembedahan

3. Pasien dengan massa sel darah merah rendah

White Blood Cells (WBC atau leukosit)

Komponen ini terdiri dari darah lengkap dengan isi seperti RBCs, plasma dihilangkan 80 % , biasanya
tersedia dalam volume 150 ml. Dalam pemberian perlu diketahui golongan darah ABO dan sistem Rh.
Apabila diresepkan berikan dipenhidramin. Berikan antipiretik, karena komponen ini bisa
menyebabkan demam dan dingin. Untuk pencegahan infeksi, berikan tranfusi dan disambung dengan
antibiotik.

Indikasi :

1. Pasien sepsis yang tidak berespon dengan antibiotik (khususnya untuk pasien dengan kultur darah
positif, demam persisten /38,3 C dan granulositopenia)

Leukosit poor RBCs

Komponen ini sama dengan RBCs, tapi leukosit dihilangkan sampai 95 %,


digunakan bila kelebihan plasma dan antibody tidak dibutuhkan. Komponen ini
tersedia dalam volume 200 ml, waktu pemberian 1 sampai 4 jam.

Indikasi:

1. Pasien dengan penekanan system imun (imunokompromise)

Platelet/trombosit
Komponen ini biasanya digunakan untuk mengobati kelainan perdarahan atau jumlah trombosit yang
rendah. Volume bervariasi biasanya 35-50 ml/unit, untuk pemberian biasanya memerlukan beberapa
kantong. Komponen ini diberikan secara cepat. Hindari pemberian trombosit jika klien sedang
demam.

Klien dengan riwayat reaksi tranfusi trombosit, berikan premedikasi antipiretik dan antihistamin.
Shelf life umumnya 6 sampai 72 jam tergantung pada kebijakan
pusat di mana trombosit tersebut didapatkan. Periksa hitung trombosit pada 1 dan 24 jam setelah
pemberian.

Indikasi:

1. Pasien dengan trombositopenia (karena penurunan trombosit, peningkatan pemecahan trombosit

2. Pasien dengan leukemia dan marrow aplasia

Fresh Frozen Plasma (FFP)

Komponen ini digunakan untuk memperbaiki dan menjaga volume akibat kehilangan darah akut.
Komponen ini mengandung semua faktor pembekuan darah (factor V, VIII, dan IX). Pemberian
dilakukan secara cepat, pada pemberian FFP dalam jumlah besar diperlukan koreksi adanya
hypokalsemia, karena asam sitrat dalam FFP mengikat kalsium. Shelf life 12 bulan jika dibekukan dan
6 jam jika sudah mencair. Perlu dilakukan pencocokan golongan darah ABO dan system Rh.

Indikasi:

1. Pencegahan perdarahan postoperasi dan syok

2. Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi yang tidak bisa ditentukan

3. Klien dengan penyakit hati dan mengalami defisiensi faktor pembekuan.

Albumin 5 % dan albumin 25 %

Komponen ini terdiri dari plasma protein, digunakan sebagai ekspander darah dan pengganti protein.
Komponen ini dapat diberikan melalui piggybag. Volume yang diberikan bervariasi tergantung
kebutuhan pasien. Hindarkan untuk mencampur albumin dengan protein hydrolysate dan larutan
alkohol.

Indikasi :

1. Pasien yang mengalami syok karena luka bakar, trauma, pembedahan atau infeksi

2. Terapi hyponatremi

Pertimbangan Pediatrik dan Gerontik

Pediatrik
1. Pada anak-anak, 50 ml darah pertama harus diinfuskan lebih dari 30 menit.
Bila tidak ada reaksi terjadi, kecepatan aliran ditingkatkan dengan sesuai untuk menginfuskan sisa
275 ml lebih dari periode 2 jam

2. Darah untuk bayi baru lahir dicocok silangkan dengan serum ibu karena mungkin mempunyai antibody
lebih dari bayi tersebut dan memungkinkan identifikasi yang lebih mudah tentang inkompabilitas

3. Dosis untuk anak-anak bervariasi menurut umur dan berat badan (hitung dosis dalam milliliter per
kilogram berat badan)

4. Tranfusi sel darah merah memerlukan waktu infus yang ketat (untuk mempermudah deteksi dini reaksi
hemolitik yang mungkin terjadi)

5. Penggunaan penghangat darah mencegah hipotermi yang menimbulkan disritmia

6. Gunakan pompa infus elektronik untuk memantau dan mengontrol akurasi


kecepatan tetesan

7. Gunakan vena umbilikalis pada bayi baru lahir sebagai tempat akses vena

8. Tranfusi pada bayi baru lahir hanya boleh dilakukan oleh perawat atau dokter yang kompeten dan
berpengalaman (prosedur ini memerlukan ketrampilan tingkat tinggi)

9. Tinjau kembali riwayat tranfusi anak

Gerontik

1. Riwayat sebelumnya (anemia dengan gagal sumsum tulang, anemia yang berhubungan dengan
keganasan, perdarahan gastrointestinal kronik, gagal ginjal kronik)

2. Terdapat kemungkinan bahaya pada jantung, ginjal, dan sistem pernafasan


(atur kecepatan aliran jika klien tidak mampu menoleransi aliran yang telah
ditetapkan), sehingga waktu tranfusi lebih lambat

3. Defisit sensori dapat terjadi (konsultasikan dengan rekam medik atau anggota keluarga terhadap reaksi
tranfusi darah sebelumnya)

4. Premedikasi dapat menyebabkan mengantuk

5. Integritas vena mungkin melemah, pastikan kepatenan kateter atau jarum sebelum melakukan tranfusi

G. Efek samping tranfusi

Alergi

Penyebab:

1. Alergen di dalam darah yang didonorkan

2. Darah hipersensitif terhadap obat tertentu


Gejala:

Anaphilaksis (dingin, bengkak pada wajah, edema laring, pruritus, urtikaria, wheezing), demam,
nausea dan vomit, dyspnea, nyeri dada, cardiac arrest, kolaps sirkulasi

Intervensi:

1. Lambatkan atau hentikan tranfusi

2. Berikkan normal saline

3. Monitor vital sign dan lakukan RJP jika diperlukan

4. Berikan oksigenasi jika diperlukan

5. Monitor reaksi anafilaksis dan jika diindikasikan berikan epineprin dan kortikosteroid

6. Apabila diresepkan, sebelum pemberian tranfusi berikan diphenhidramin

afilaksis

Penyebab:

Pemberian protein IgA ke resipien penderita defisiensi IgA yang telah membentuk antibodi IgA

Gejala:

Tidak ada demam, syok, distress pernafasan (mengi, sianosis), mual, hipotensi, kram abdomen,
terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa milliliter darah atau plasma.

Intervensi:

1. Hentikan tranfusi

2. Lanjutkan pemberian infus normal saline

3. Beritahu dokter dan bank darah

4. Ukur tanda vital tiap 15 menit

5. Berikan ephineprine jika diprogramkan

6. Lakukan resusitasi jantung paru (RJP) jika diperlukan

Pencegahan:

Tranfusikan sel darah merah (SDM) yang sudah diproses dengan memisahkan plasma dari SDM
tersebut, gunakan darah dari donor yang menderita defesiensi IgA.

Sepsis
Penyebab:

Komponen darah yang terkontaminasi oleh bakteri atau endotoksin.

Gejala:

Menggigil, demam, muntah, diare, penurunan tekanan darah yang mencolok, syok

Intervensi:

1. Hentikan tranfusi

2. Ambil kultur darah pasien

3. Pantau tanda vital setiap 15 menit

4. Berikan antibiotik, cairan IV, vasoreseptor dan steroid sesuai program

Pencegahan:

Jaga darah sejak dari donasi sampai pemberian

Urtikaria

Penyebab:

Alergi terhadap produk yang dapat larut dalam plasma donor

Gejala:

Eritema lokal, gatal dan berbintik-bintik, biasanya tanpa demam

Intervensi:

1. Hentikan tranfusi

2. Ukur vital sign tiap 15 menit

3. Berikan antihistamin sesuai program

4. Tranfusi bisa dimulai lagi jika demam dan gejala pulmonal tidak ada lagi

Pencegahan:

Berikan antihistamin sebelum dan selama pemberian tranfusi

Kelebihan sirkulasi

Penyebab:
Volume darah atau komponen darah yang berlebihan atau diberikan terlalu cepat

Gejala:

Dyspnea, dada seperti tertekan, batuk kering, gelisah, sakit kepala hebat, nadi, tekanan darah dan
pernafasan meningkat, tekanan vena sentral dan vena jugularis meningkat

Intervensi:

1. Tinggikan kepala klien

2. Monitor vital sign

3. Perlambat atau hentikan aliran tranfusi sesuai program

4. Berikan morfin, diuretik, dan oksigen sesuai program

Pencegahan:

Kecepatan pemberian darah atau komponen darah disesuaikan dengan kondisi klien, berikan
komponen SDM bukan darah lengkap, apabila diprogramkan minimalkan pemberian normal saline
yang dipergunakan untuk menjaga kepatenan IV

Hemolitik

Penyebab:

Antibody dalam plasma resipien bereaksi dengan antigen dalam SDM donor, resipien menjadi tersensitisasi
terhadap antigen SDM asing yang bukan dalam system ABO

Gejala:

Cemas, nadi, pernafasan dan suhu meningkat, tekanan darah menurun, dyspnea, mual dan muntah,
menggigil, hemoglobinemia, hemoglobinuria, perdarahan abnormal, oliguria, nyeri punggung, syok,
ikterus ringan. Hemolitik akut terjadi bila sedikitnya 10-15 ml darah yang tidak kompatibel telah
diinfuskan, sedangkan reaksi hemolitik lambat dapat terjadi 2 hari atau lebih setelah tranfusi.

Intervensi:

1. Monitor tekanan darah dan pantau adanya syok

2. Hentikan tranfusi

3. Lanjutkan infus normal saline

4. Pantau keluaran urine untuk melihat adanya oliguria

5. Ambil sample darah dan urine

6. Untuk hemolitik lambat, karena terjadi setelah tranfusi, pantau pemeriksaan darah untuk anemia yang
berlanjut
Pencegahan:

Identifikasi klien dengan teliti saat sample darah diambil untuk ditetapkan golongannya dan saat darah
diberikan untuk tranfusi (penyebab paling sering karena salah mengidentifikasi).

Demam Non-Hemolitik

Penyebab:

Antibody anti-HLA resipien bereaksi dengan antigen leukosit dan trombosit yang
ditranfusikan.

Gejala:

Demam, flushing, menggigil, tidak ada hemolisis SDM, nyeri lumbal, malaise,
sakit kepala

Intervensi:

1. Hentikan tranfusi

2. Lanjutkan pemberian normal saline

3. Berikan antipiretik sesuai program

4. Pantau suhu tiap 4 jam

Pencegahan:

Gunakan darah yang mengandung sedikit leukosit (sudah difiltrasi)

Hiperkalemia

Penyebab:

Penyimpanan darah yang lama melepaskan kalium ke dalam plasma sel

Gejala:

Serangan dalam beberapa menit, EKG berubah, gelombang T meninggi dan QRS
melebar, kelemahan ekstremitas, nyeri abdominal

Hipokalemia

Penyebab:

Berhubungan dengan alkalosis metabolik yang diindikasi oleh sitrat tetapi dapat
dipengaruhi oleh alkalosis respiratorik

Gejala:
Serangan bertahap, EKG berubah, gelombang T mendatar, segmen ST depresi,
poliuria, kelemahan otot, bising usus menurun

Hipotermia

Penyebab:

Pemberian komponen darah yang dingin dengan cepat atau bila darah dingin diberikan melalui
kateter vena sentral.

Gejala:

Menggigil, hipotensi, aritmia jantung, henti jantung/cardiac arrest

Intervensi:

1. Hentikan tranfusi

2. Hangatkan pasien dengan selimut

3. Ciptakan lingkungan yang hangat untuk pasien

4. Hangatkan darah sebelum ditranfusikan

5. Periksa EKG

Infeksi yang ditularkan melalui tranfusi

AIDS

Penyebab:

Darah donor HIV seropositif

Gejala:

Demam, keringat malam, letih, berat badan menurun, adenopati, lesi kulit
seropositif terhadap virus HIV

Kontaminasi bakteri

Penyebab:

Kontaminasi pada saat penyumbangan atau persiapan, bakteri endotoksin melepaskan endotoksin.

Gejala:

Serangan dalam 2 jam tranfusi (menggigil, demam, nyeri abdomen, syok,


hipotensi yang nyata

Cytomegalovirus (CMV)
Virus CMV dapat berada pada orang dewasa yang sehat. Pasien-pasien dengan imunosupresi berisiko tinggi
tertular CMV

Gejala:

Letih, lemah, adenopati, demam derajat rendah

Hepatitis
Hepatitis A dan hepatitis B jarang, penyakit hati kronik lebih umum dengan Hepatitis C daripada
hepatitis B

Gejala:

Terjadi dalam dalam beberapa minggu sampai bulan setelah tranfusi, mual,
muntah, ikterus, malaise, kadar enzim hati tinggi

GVHD (Graft versus host desease)

Penyebab:

Limfosit donor yang normal bereproduksi di dalam tubuh resipien yang


mengalami gangguan kekebalan, limfosit menyerang jaringan resipien karena
dianggap sebagai protein asing.

Gejala:

Demam, ruam kulit, diare, infeksi, gangguan fungsi hati (jaundice, supresi
sumsum tulang)

Intervensi:

Berikan metotresat dan kortikosteroid jika diprogramkan

Pencegahan;

Berikan darah yang tidak diradiasi jika diprogramkan, berikan darah yang telah
dicuci dengan saline jika diprogramkan

Manajemen efek tranfusi

Pedoman untuk mengatasi reaksi tranfusi yang dibuat oleh American


Assotiation of Blood Banks adalah:

1. Hentikan tranfusi untuk membatasi jumlah darah yang diinfuskan

2. Beritahu dokter

3. Pertahankan jalur IV tetap terbuka dengan infus normal saline

4. Periksa semua label, formulir, dan identifikasi pasien untuk menentukan apakah pasien menerima
darah atau komponen darah yang benar
5. Segera laporkan reaksi tranfusi yang dicurigai pada petugas bank darah

6. Kirimkan sample darah yang diperlukan ke bank darah sesegera mungkin, bersama-sama dengan
kantong darah yang telah dihentikan, set pemberian, larutan IV yang diberikan, dan semua formulir
dan label yang berhubungan.

7. Kirim sampel lainnya (misal urin)

8. Lengkapi laporan institusi atau formulir reaksi tranfusi yang dicurigai

9. Peralatan yang harus disiapkan (obat-obatan seperti: aminophilin, difenhidramin, hidroklorida,


dopamine, epinefrin, heparin, hidrokortison, furosemid, asetaminofen, aspirin; set oksigenasi; kit
kateter foley; botol kultur darah; cairan IV; selang IV)

J. Hal-hal yang perlu diperhatikan

1. Kondisi pasien sebelum ditranfusi

2. Kecocokan darah yang akan dimasukkan

3. Label darah yang akan dimasukkan

4. Golongan darah klien

5. Periksa warna darah (terjadi gumpalan atau tidak)

6. Homogenitas (darah bercampur semua atau tidak).

K. Persiapan Pasien

1. Jelaskan prosedur dan tujuan tranfusi yang akan dilakukan

2. Jelaskan kemungkinan reaksi tranfusi darah yang keungkinan terjadi dan pentingnya melaporkan reaksi
dengan cepat kepada perawat atau dokter

3. Jelaskan kemungkinan reaksi lambat yang mungkin terjadi, anjurkan untuk segera melapor apabila
reaksi terjadi

4. Apabila klien sudah dipasang infus, cek apakah set infusnya bisa digunakan untuk pemberian tranfusi

5. Apabila klien belum dipasang infus, lakukan pemasangan dan berikan normal saline terlebih dahulu

6. Pastikan golongan darah pasien sudah teridentifikasi


A. Persiapan Alat

1. Set pemberian darah

2. Kateter besar (18 G atau 19 G)

3. Cairan IV normal saline (NaCl 0,9 %)

4. Set infus darah dengan filter

5. Produk darah yang tepat

6. Sarung tangan sekali pakai

7. Kapas alkohol

8. Plester dan gunting

9. Manset tekanan darah

10. Stetoskope

11. Termometer

12. Format persetujuan pemberian tranfusi yang ditandatangani

13. Bengkok

14. Penghangat darah (jika diperlukan)

B. Prosedur kerja

1. Baca status dan data klien untuk memastikan program tranfusi darah

2. Pastikan bahwa klien telah menandatangani format persertujuan tindakan

3. Cek alat-alat yang akan digunakan

4. Cuci tangan

5. Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya

6. Perkenalkan nama perawat

7. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien

8. Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan


9. Kaji pernah tidaknya klien menerima tranfusi sebelumnya dan catat reaksi yang timbul, apabila ada

10. Minta klien untuk melaporkan apabila menggigil, sakit kepala, gatal-gatal, atau
ruam dengan segera

11. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya

12. Tanyakan keluhan klien saat ini

13. Jaga privasi klien

14. Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien

15. Periksa tanda vital klien sebelum memulai tranfusi

16. Kenakan sarung tangan sekali pakai

17. Lakukan pemasangan infuse, apabila belum terpasang dengan menggunakan kateter berukuran besar
( 18 atau 19 G), apabila sudah terpasang cek apakah set yang ada bisa digunakan untuk pemberian
tranfusi dan cek kepatenan vena

18. Gunakan selang infus yang memiliki filter di dalam selang (apabila selang infus masih menggunakan
selang infuse yang kecil, ganti dengan selang infus untuk tranfusi yang ukurannya lebih besar)

19. Gantungkan botol normal saline untuk diberikan setelah pemberian darah selesai

20. Ikuti protokol lembaga dalam mendapatkan produk darah dari bank darah. Minta darah pada saat
Anda siap menggunakannya.

21. Bersama seorang perawat lainnya yang telah memiliki lisensi, identifikasi produk darah yang akan
dimasukkan (periksa etiket kompabilitas yang menempel pada kantong darah dan informasi pada
kantong tersebut; untuk darah lengkap, periksa golongan darah ABO dan tipe Rh yang terdapat pada
catatan klien; periksa kembali kesesuaian produk darah yang akan diberikan dengan resep dokter;
periksa data kadaluarsa pada kantong darah; inspeksi darah untuk melihat adanya bekuan darah;
tanyakan nama klien dan periksa tanda pengenal yang dimiliki klien)

22. Mulai pemberian tranfusi darah (sebelum darah diberikan, berikan dahulu larutan normal saline;
mulai berikan tranfusi secara perlahan diawali dengan pengisian filter di dalam selang; atur
kecepatan sampai 2 ml/menit untuk 15 menit pertama dan tetaplah bersama klien. Apabila perawat
menjumpai adanya reaksi, segera hentikan tranfusi, bilas selang dengan normal saline, laporkan pada
dokter dan beritahu bank darah)

23. Monitor tanda vital (ukur setiap 5 menit pada 15 menit pertama, selanjutnya disesuaikan dengan
kebijakan lembaga)

24. Observasi klien untuk melihat adanya reaksi tranfusi

25. Pertahankan kecepatan infus yang diprogramkan dengan menggunakanpompa, jika perlu

26. Apabila tranfusi sudah selesai, bilas dengan normal saline


27. Bereskan alat, lepas sarung tangan

28. Cuci tangan

29. Kaji respon klien setelah tranfusi diberikan

30. Berikan reinforceament positif pada klien

31. Buat kontrak untuk pertemuan selanjutnya

32. Observasi timbulnya reaksi yang merugikan secara berkelanjutan

33. Catat pemberian darah atau produk darah yang diberikan dan respon klien terhadap terapi darah
pada status kesehatan klien

34. Setelah tranfusi selesai, kembalikan kantong darah serta selang ke bank darah

Diposkan oleh Chassink Kodokz di 12.39 PM

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

1 komentar:

1.

cak Umar14 Juni 2013 01.14

tambahkan daftar pustaka, akan lebih oke lagi tuh tulisan nya.. jadi rujukan nya jelas
dan dapat

Prosedur Tindakan Nafas Buatan (RJP)

Kita sering melihat di televisi, ketika ada orang yang tenggelam atau kecelakaan atau mengalami serangan
jantung, tiba-tiba orang lain yang melihat langsung menggenjot dada dan memberikan nafas buatan mulut ke
mulut. Hal ini mungkin tidak ada di Indonesia, orang yang tenggelam bukan malah diberikan nafas buatan akan
tetapi malah memukul perut untuk dikeluarkan airnya.

Tindakan seperti diatas, diluar negeri adalah hal yang umum dan sering dilakukan, karna sebagian besar
penduduk disana sudah diberi pendidikan untuk melakukan tindakan nafas buatan serta indikasi kapan tindakan
tersebut dibutuhkan.
Nafas Buatan disebut juga Resusitasi Jantung Paru atau Bantuan Hidup Dasar atau CPR (CardioPulmonary
Resuscitation), merupakan suatu tindakan kegawatan sederhana tanpa menggunakan alat bertujuan
menyelamatkan nyawa seseorang dalam waktu yang sangat singkat (Rahmad, 2009).

Saya juga menyediakan modul lengkap di akhir halaman, silahkan di download.

Kapan kita harus mempraktekkan RJP (Resusitasi Jantung Paru) ?

Prinsip utamanya adalah, orang yang tidak bernafas dan atau jantungnya tidak berdetak (Henti Jantung)

1. Orang yang tidak bernafas

Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan dari korban/pasien. Henti
napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar. Henti napas dapat terjadi pada
keadaan:

Tenggelam

Stroke (Mempunyai riwayat hipertensi, trus tiba-tiba jatuh/pingsan)

Obstruksi jalan napas (Kerusakan daerah tenggorokan)

Epiglotitis (Peradangan Pita Suara)

Overdosis obat-obatan

Tersengat listrik

Infark miokard (Serangan Jantung)

Tersambar petir

Koma akibat berbagai macam kasus (Pingsan tanpa penyebab)

Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih
dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan napas
akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.

2. Henti jantung

Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi darah. Henti sirkulasi ini akan
dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-
sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.
Jika Kita Bertemu Dengan Orang Seperti Diatas, Apa Yang Kita Lakukan ?

Ada dua prinsip penting, yaitu pertama jika kita bertemu dengan orang seperti diatas, jangan lupa untuk
memanggil bantuan, karna RJP hanyalah tindakan pertolongan partama yang selanjutnya perlu tindakan medis,
yang kedua pastikan kondisinya memang sesuai dengan kriteria RJP melalui pemeriksaan primer.

See Picture :

(Skema RJP)
Pemeriksaan Primer

Prinsip pemeriksaan primer adalah bantuan napas dan bantuan sirkulasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah
tindakan survei primer dirumuskan dengan abjad A, B, C, yaitu :

A airway (jalan napas)

B breathing (bantuan napas)

C circulation (bantuan sirkulasi)

Sebelum melakukan tahapan A (airway), harus terlebih dahulu dilakukan prosedur awal pada korban/pasien,
yaitu :

1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong

2. Memastikan kesadaran dari korban/pasien.

Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong harus melakukan upaya agar dapat
memastikan kesadaran korban/pasien, dapat dengan cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban/pasien
dengan lembut dan mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau Pak
!!! / Bu!!! / Mas!!! /Mbak !!!.

3. Meminta pertolongan.

Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera minta bantuan dengan cara
berteriak Tolong !!! untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis yang lebih lanjut.

4. Memperbaiki posisi korban/pasien.

Untuk melakukan tindakan RJP yang efektif, korban/pasien harus dalam posisi terlentang dan berada pada
permukaan yang rata dan keras. jika korban ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi
korban ke posisi terlentang. Ingat! penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala,
leher dan bahu digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban harus dipertahankan
pada posisi horisontal dengan alas tidur yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.

5. Mengatur posisi penolong.


Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas dan sirkulasi, penolong tidak
perlu mengubah posisi atau menggerakkan lutut.

See Picture:

(Posisi Penolong Yang Benar)

A. (AIRWAY) Jalan Napas

Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan melakukkan tindakan :

a) Pemeriksaan jalan napas

Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda asing. Jika
terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari
telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat
dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger,
dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk Pada mulut korban.
b) Membuka jalan napas

Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak sadar tonus
otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab
sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara Tengadah kepala
topang dagu (Head tild chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula (Rahang Bawah).

B. (BREATHING) Bantuan napas

Prinsipnya adalah memberikan 2 kali ventilasi sebelum kompresi dan memberikan 2 kali ventilasi per 10 detik
pada saat setelah kompresi. Terdiri dari 2 tahap :

1. Memastikan korban/pasien tidak bernapas.


Dengan cara melihat pergerakan naik turunnya dada, mendengar bunyi napas dan merasakan hembusan
napas korban/pasien. Untuk itu penolong harus mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung korban/pasien,
sambil tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.

2. Memberikan bantuan napas.

Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke
hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas
sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 2 detik dan volume
udara yang dihembuskan adalah 7000 1000 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat
mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar tercapai
volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 17%. Penolong juga harus
memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.

Cara memberikan bantuan pernapasan :

o Mulut ke mulut

Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang tepat dan efektif untuk memberikan
udara ke paru-paru korban/pasien. Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus
mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban
dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup
lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung.
Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700 1000 ml (10 ml/kg). Volume udara
yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga
terjadi distensi lambung.
o Mulut ke hidung

Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya pada Trismus
atau dimana mulut korban mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong
harus menutup mulut korban/pasien.

o Mulut ke Stoma

Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit.
Bila pasien mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.

C. (CIRCULATION) Bantuan sirkulasi

Terdiri dari 2 tahapan :

1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban/pasien.

Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher
korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan
leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1 2 cm raba
dengan lembut selama 5 10 detik.

Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan
manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/pasien. Jika tidak bernapas lakukan
bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.
2. Memberikan bantuan sirkulasi.

Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan sirkulasi atau yang
disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :

o Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan atau kiri sehingga
bertemu dengan tulang dada (sternum).

o Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari ke atas. Daerah tersebut
merupakan tempat untuk meletakan tangan penolong dalam memberikan bantuan sirkulasi.
o Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan di atas telapak
tangan yang lainnya, hindari jari-jari tangan menyentuh dinding dada korban/pasien, jari-jari tangan
dapat diluruskan atau menyilang.

o Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban dengan tenaga dari berat
badannya secara teratur sebanyak 30 kali (dalam 15 detik = 30 kali kompresi) dengan kedalaman
penekanan berkisar antara 1.5 2 inci (3,8 5 cm).

o Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan mengembang kembali ke
posisi semula setiap kali melakukan kompresi dada. Selang waktu yang dipergunakan untuk
melepaskan kompresi harus sama dengan pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).
o Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi tangan pada saat
melepaskan kompresi.

o Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 : 2 (Tiap 15 detik = 30 kompresi dan 2 kali
tiupan nafas), dilakukan baik oleh 1 atau 2 penolong.

Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60 80 mmHg, dan diastolik
yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah jantung normal. Selang
waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan
sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

RINGKASAN MELAKUKAN RJP (RESUSITASI JANTUNG PARU)

Sebagai Ringkasan, Penolong dapat mengikuti urutan sebagai berikut :

1. Penilaian korban

Tentukan kesadaran korban/pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut dan mantap), jika tidak sadar,
maka

2. Minta pertolongan serta aktifkan sistem emergensi

3. Jalan napas (AIRWAY)

o Posisikan korban/pasien

o Buka jalan napas dengan manuver tengadah kepala-topang dagu.

4. Pernapasan (BREATHING)

Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau tidak pernapasan korban/pasien.

5. Jika korban/pasien dewasa tidak sadar dengan napas spontan, serta tidak ada trauma leher (trauma tulang
belakang) posisikan korban pada posisi mantap (Recovery positiotion), dengan tetap menjaga jalan napas tetap
terbuka.

6. Jika korban/pasien dewasa tidak sadar dan tidak bernapas, lakukkan bantuan napas. Di Amerika serikat dan di
negara lainnya dilakukan bantuan napas awal sebanyak 2 kali, sedangkan di Eropa, Australia, New Zealand
diberikan 5 kali. Jika pemberian napas awal terdapat kesulitan, dapat dicoba dengan membetulkan posisi kepala
korban/pasien, atau ternyata tidak bisa juga maka dilakukan :
Untuk orang awam dapat dilanjutkan dengan kompresi dada sebanyak 30 kali dan 2 kali ventilasi, setiap kali
membuka jalan napas untuk menghembuskan napas, sambil mencari benda yang menyumbat di jalan napas,
jika terlihat usahakan dikeluarkan.

Untuk petugas kesehatan yang terlatih dilakukan manajemen obstruksi jalan napas oleh benda asing.

Pastikan dada pasien mengembang pada saat diberikan bantuan pernapasan.

Setelah memberikan napas 12 kali (1 menit), nilai kembali tanda-tanda adanya sirkulasi dengan meraba arteri
karotis, bila nadi ada cek napas, jika tidak bernapas lanjutkan kembali bantuan napas.

7. Sirkulasi (CIRCULATION)

Periksa tanda-tanda adanya sirkulasi setelah memberikan 2 kali bantuan pernapasan dengan cara melihat
ada tidaknva pernapasan spontan, batuk atau pergerakan. Untuk petugas kesehatan terlatih hendaknya
memeriksa denyut nadi pada arteri Karotis.

1. jika ada tanda-tanda sirkulasi, dan ada denyut nadi tidak dilakukan kompresi dada, hanya menilai
pernapasan korban/pasien (ada atau tidak ada pernapasan)

2. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, denvut nadi tidak ada lakukan kompresi dada

o Letakkan telapak tangan pada posisi yang benar

o Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali tiap 10 detik

o Buka jalan napas dan berikan 2 kali bantuan pernapasan.

o Letakkan kembali telapak tangan pada posisi yang tepat dan mulai kembali kompresi 30 kali
tiap 10 detik.

o Lakukan 4 siklus secara lengkap (30 kompresi dan 2 kali bantuan pernapasan)

8. Penilaian Ulang
Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian korban dievaluasi kembali,

Jika tidak ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan

napas dengan rasio 30 : 2.

Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap

Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas sebanyak 10 12 kali permenit dan monitor nadi
setiap saat.
Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan napas tetap terbuka
kemudian korban/pasien ditidurkan pada posisi sisi mantap.

Diposkan oleh Chassink Kodokz di 11.09 PM

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Prosedur Melakukan Suction


Prosedur Kerja Melakukan Suction

1. Pengertian

Tindakan menghisap lendir melalui hidung dan atau mulut.

2. Tujuan

Sebagai acuan penatalaksanaan tindakan penghisapan lendir, mengeluarkan lendir,


melonggarkan jalan nafas

3. Prosedur Kerja

a. Persiapan Alat

Perangkat penghisap lendir meliputi :

1. Mesin penghisap lendir

2. Slang penghisap lendir sesuai kebutuhan

3. Air matang untuk pembilas dalam tempatnya (kom)

4. Cairan desinfektan dalam tempatnya untuk merendam slang

5. Pinset anatomi untuk memegang slang

6. Spatel / sundip lidah yang dibungkus dengan kain kasa

7. Sarung tangan

8. Bak instrumen

9. Kasa

10. Bengkok

b. Persiapan Pasien

1. Bila pasien sadar :

Siapkan dengan posisi setengah duduk


2. Bila pasien tidak sadar :

a. Posisi miring

b. Kepala ekstensi agar penghisap dapat berjalan lancar

c. Cara Kerja

1. Jelasakan pada pasien/ keluarga dan inform concern

2. Alat didekatkan pada pasien dan perawat cuci tangan

3. Perawat memakai sarung tangan

3. Pasien disiapkan sesuai dengan kondisi

4. Slang dipasang pada mesin penghisap lendir

5. Mesin penghisap lendir dihidupkan

6. Sebelum menghisap lendir pada pasien, cobakan lebih dahulu untuk air bersih yang
tersedia

7. Tekan lidah dengan spatel

8. Hisap lendir pasien sampai selesai. Mesin/pesawat dimatikan

9. Bersihkan mulut pasien kasa

10. Membersihakan slang dengan air dalam kom

11. Slang direndam dalam cairan desinfektan yang tersedia

12. Perawat cuci tangan

Diposkan oleh Chassink Kodokz di 10.48 PM

Kirimkan Ini lewat Email

Prosedur Pemasangan ETT ( Intubasi )

Intubasi a.k.a Memasang Selang Nafas (ETT)


Pernah besuk (atau bezuk?) seseorang di ICU? pernah lihat yang namanya selang nafas? nah,
itu yang akan kita bahas sedikit disini.

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea, orang awam sering sebut sebagai
selang nafas, ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira pada
pertengahan antara pita suara dan bifurkasio trakea.

Alat

Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu disiapkan yang
disingkat dengan STATICS.

1. S = Scope

Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung
sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam
laringoskop:

a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.

b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada laringoskop
harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

2. T = Tubes

Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea mengantar gas
anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran
diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil,
dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang
melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi
dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa
menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat
membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.

Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal tube tidak
memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses
bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis
kranii.

Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir

Prematur 2,0-2,5 10 10 cm

Neonatus 2,5-3,5 12 11cm

1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm

-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm

1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm

4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm

6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm

8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm

10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm

12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm

Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm

Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm

*Tersedia dengan atau tanpa cuf

Tabel 1. Pipa Trakea dan peruntukannya

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:

Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + umur (tahun)

Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + umur (tahun)

Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + umur (tahun)


Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan
patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.

Gambar 4. Pipa endotrakea

Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas lateks,
dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan
memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa
secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman
pipa.

Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea disesuaikan dengan
besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang
pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah
umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil
makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa
tanpa balon (cuf). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring
di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran
udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak
berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi
tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optik

Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan balon
lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon
sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis
mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan
dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau
dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn atau tanpa cuf. Ukuran
penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan diameter
dalam pipa (mm) = 4 + umur (tahun).

Size Size
PLAIN CUFFED
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya
2.5 mm 4.5 mm dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini.
Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan
3.0 mm 5.0 mm
kondritis bahkan stenosis subglotis.
3.5 mm 5.5 mm
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan
4.0 mm 6.0 mm adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma
dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-
4.5 mm 6.5 mm 2 minggu. Akan tetapi pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi
intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih nyaman dan diberi
7.0 mm
kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan lebih dini.
7.5 mm

8.0 mm

8.5 mm

9.0 mm
3. A = Airway

Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan napas yaitu pipa mulut-
faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi
untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

4. T = Tape

Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

5. I = Introducer

Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

6. C = Connector

Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask ataupun
peralatan anestesia.

7. S = Suction

Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.
Kontraindikasi

a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit
untuk dilakukan intubasi.

b. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi, penanganan jalan nafas jangka
panjang, mempermudah proses weaning ventilator.

Penyulit IntubasiTrakea

Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang dijumpai.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut
Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan menurut Cormack dan Lehanne kesulitan
intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.

Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi:

1. Leher pendek dan berotot

2. Mandibula menonjol

3. Maksila/gigi depan menonjol

4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)

5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

6. Gerak verteba servikal terbatas.

Indikasi Intubasi

Intubasi Orotrakeal

Intubasi orotrakeal dilakukan pada pasien-pasien:

1. Ancaman atau risiko terjadinya aspirasi yang lebih besar


2. Pemberian bantuan napas dengan menggunakan sungkup sulit dilakukan

3. Ventilasi direncanakan dalam waktu yang lama

4. Intubasi orotrakeal juga dilakukan sebagai prosedur tindakan bedah, seperti bedah kepala-leher,
intratorak, dan lainnya.

Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi
maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang
digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas
menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk
intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis.

Kontraindikasi dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya
pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.

Teknik Intubasi

Intubasi Orotrakeal

Intubasi orotrakeal biasanya menggunakan laringoskop dengan dua jenis blade yang paling
umum digunakan, yaitu Macintosh dan Miller. Blade Macintosh berbentuk lengkung. Ujungnya
dimasukkan ke dalam Valekula (celah antara pangkal lidah dan permukaan faring dari epiglotis).
Pemakaian blade Macintosh ini memungkinkan insersi pipa endotrakeal lebih mudah dan dengan
risiko trauma minimal pada epiglotis. Ukuran pada blade Macintosh pun beragam dari nomor 1
hingga nomor 4. Untuk dewasa, pada umumnya digunakan ukuran nomor 3.

Sedangkan blade Miller berbentuk lurus, dan ujungnya berada tepat di bawah permukaan
laringeal dari epiglotis. Epiglotis kemudian diangkat untuk melihat pita suara. Kelebihan dari blade
Miller ini adalah anestesiologis dapat melihat dengan jelas terbukanya epoglotis, namun di sisi lain
jalur oro-hipofaring lebih sempit. Ukuran bervariasi dari nomor 0 hingga nomor 4, dengan ukuran
yang paling umum digunakan untuk dewasa berkisar antara nomor 2 atau 3.

Pasien diposisikan dalam posisi sniffing, dimana oksiput diangkat atau dielevasi dengan
bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan leher dalam posisi ekstensi. Biasanya posisi seperti ini
akan memperluas pandangan laringoskopik. Sedangkan posisi leher fleksi mempersulit dalam pasien
membuka mulut.
Gambar 8. Sniffing Position

Laringoskop dipegang tangan kiri pada sambungan antara handle dan blade. Setelah
memastikan mulut pasien terbuka dengan teknik cross finger dari jari tangan kanan, laringoskop
dimasukkan ke sisi kanan mulut pasien sambil menyingkirkan lidah ke sisi kiri. Bibir dan gigi pasien
tidak boleh terjepit oleh blade. Blade kemudian diangkat sehingga terlihat epiglotis terbuka.
Laringoskop harus diangkat, bukan didorong ke depan agar kerusakan pada gigi maupun gusi pada
rahang atas dapat dihindari.

Ukuran pipa endotrakeal (endotracheal tube / ETT) bergantung pada usia pasien, bentuk
badan, dan jenis operasi yang akan dilakukan. ETT dengan ukuran 7.0 mm digunakan untuk hampir
seluruh wanita, sedangkan ukuran 8.0 pada umumnya digunkan pada pria. ETT dipegang dengan
tangan kanan seperti memegang pensil lalu dimasukkan melalui sisi kanan rongga mulut kemudian
masuk ke pita suara. Bila epiglotis terlihat tidak membuka dengan baik, penting untuk menjadikan
epiglotis sebagai landasan dan segera masukkan ETT di bawahnya lalu masuk ke trakea. Tekanan
eksternal pada krikoid maupun kartilago tiroid dapat membantu memperjelas pandangan
anestesiologis. Ujung proksimal dari balon ETT ditempatkan di bawah pita suara, lalu balon
dikembangkan dengan udara positif dengan tekanan 20-30 cmH 2O.

Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima area, yaitu kedua apeks
paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara napas terdengar hanya pada salah satu sisi paru
saja, maka diperkirakan telah terjadi intubasi endobronkial dan ETT harus ditarik perlahan hingga
suara napas terdengar simetris di lapangan paru kanan dan kiri. ETT kemudian difiksasi segera
dengan menggunakan plester.
Gambar 9. Intubasi Orotrakeal

Intubasi Nasotrakeal

Anestesia topikal dan vasokonstriksi pada mukosa hidung dapat diperoleh dengan
mengaplikasikan campuran antara 3% lidokain dan 0.25% phenylephrine. Pada umumnya, ukuran
ETT 6.0 hingga 6.5 mm digunakan pada hampir semua wanita, sedangkan untuk laki-laki digunakan
ETT dengan ukuran 7.0 hingga 7.5 mm. Setelah ETT melewati rongga hidung kemudian ke faring, pipa
ETT masuk ke glotis yang telah membuka. Intubasi dapat dilakukan dengan bantuan laringoskop atau
fiberoptik bronkoskop, atau dengan forsep Magill.

Komplikasi yang dapat terjadi hampir sama seperti yang terjadi pada intubasi orotrakeal.
Namun ada sedikit penambahan seperti terjadinya epistaksis dan diseksi submukosa. Bila
dibandingkan dengan intubasi orotrakeal, intubasi nasotrakeal dihubungkan dengan peningkatan
insidensi dari sinusitis dan bakteremia.

Komplikasi

Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik anestesi dan
perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman dan
teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan napas yang diinginkan,
misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang
cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.

Komplikasi yang berhubungan dengan intubasi endotrakeal


Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat dibagi
menjadi:

Faktor pasien

1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki laring dan
trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas.

2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.

3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat menimbulkan kesulitan
saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama
intubasi.

4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.

Faktor yang berhubungan dengan anestesi:

1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi krisis yang
dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya komplikasi selama tatalaksana
jalan napas

2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien dan peralatan
yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.

Faktor yang berhubungan dengan peralatan

1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang maksimal pada
bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi pada bagian tersebut
tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut.

2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.

3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.

4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik berupa etilen
glikol jika waktu pengeringan inadekuat.

5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan tekanan yang
rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian yang tidak tepat.

Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan ventilasi dengan
sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan melakukan intubasi dan kegagalan
intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada
pasien apnoe karena proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian
atau hipoksia otak. Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam
keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation (CVCI).
Diposkan oleh Chassink Kodokz di 12.54 PM

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tujuan :
Untuk menegakkan patensi jalan napas
Indikasi
1. Kebutuhan akan ventilasi mekanik
2. Kebutuhan akan hiegine pulmoner
3. Kumungkinan aspirasi
4. Kemungkinan obstruksi jalan napas bagian atas
5. Pemberian anastesi

Kontraindikasi :
Tidak ada kontraindikasi yang absolut ; namun demikian edema jalan napas bagian atas yang
buruk / fraktur dari wajah dan leher dapat memungkinkan dilakukannya intubasi.

Kemungkinan komplikasi :
1. Memar, laserasi, dan abrasi
2. Perdarahn hidung (dengan intubasi nasotrakeal)
3. Obstruksi jalan napas (herniasi manset, tube kaku)
4. Sinusitis (dengan nasotrakeal tube)
5. Ruptur trakeal
6. Fistula trakeoesofageal.
7. Muntah dengan aspirasi, gigi copot atau rusak
8. Distrimia jantung.

Peralatan :

1. Endotrakeal (ET) tube dalam berbagai ukuran.

2. Stylet (sejenis kawat yangdimasukkan kedalam kateter atau kanula dan menjaga
kanula tersebut agar tetap kaku/tegak)

3. Laringoskop, bengkok dan berujung lurus.

4. Forsep macgill ( hanya untuk intubasi nasotrakeal )

5. Jelli busa 4x4

6. Spuit 10 cc

7. Jalan napas orofaringeal

8. Resusitasi bag dengan adafter dan masker yang dihubungkan dengan tabung oksigen
dan flowmeter.

9. Peralatan penghisap lendir

10. Kanul penghisap dengan sarung tangan.


11. Ujung penghisap tonsil Yankauer.

12. Plester 1 cm.

13. Ventilator atau set oksigen.

14. Restrain.

15. Mesin monitor jantung/ EKG.

16. Peralatan henti jantung.

Prosedur :

1. Ingatkan ahli terapi pernapaan, dan siapkan alat ventilator atau set oksigen seperti
yang dianjurkan oleh dokter.

2. Jelaskan prosedur pada pasien, jika mungkin. Pasang restrain jika diperlukan.

3. Yakinkan bahwa pasien mendapat terapi intravena yang stabil.

4. Tempatkan peralatan henti jantung disi tempat tidur.

5. Periksa untuk meyakinkan bahwa peralatan penghisap (suction) dan ambubag sudah
tersedia dan berfungsi dengan baik, hubungkan ujung penghisap Yankauer dan
sumbernya.

6. Jika pasien tidak dalam monitor jantung, hubungkan pada monitor atau EKG.

7. Pidahkan alas kepala dan tempatka pasien sedekat mungkin dengan bagian atas
tempat tidur. Pasien harus dalam posisi sniffing, leher dalam keadaan fleksi dengan
kepala ekstensi. Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan 2-4 inchi alas kepala di
leher belakang bagian bawah.

8. Tanyakan pada dokter tipe pisau operasi yang harus disiapkan dan ukuran dari ET
tube yang akan digunakan.

9. Hubungkan mata pisau operasi pada laringoskop, dan periksa bola lampu untuk
mendapatkan penerangan yang cukup.

10. Siapkan ET tube, dan kembangkan manset/balonnya untuk mengetahui adanya


kebocoran dan pengembangan yang simetris.

11. Basahi ujung distal dari ET tube dengan jeli anestetik.

12. Masukkan stylet ke dalam tube, yakinkan untuk tidak menonjol keluar dari ujung ET
tube.

13. Persiapkan untuk memberikan obat-obatan intravena (suksinil-kholin atau diazepam).


14. Pegang ET tube dengan bagian probe dan stylet pada tempatnya, laringoskop dengan
mata pisau terpasang, jalan napas orofaringeal ke arah dokter.

15. Observasi dan berikandukungan pada pasien. Pertahankan terapi intravena dan awasi
adanya disritmia.

16. Berikan tekanan pada krikoid selama intubasi endotrakeal untuk melindungi
regurgitasi isilambung. Temukan kartilago krikoid dengan menekan raba tepat
dibawah kartilago tiroid (adam apple). Bagian inferior yang menonjol ke arah
kartilago adalah krikoid kartilago. Berikan tekanan pada bagian anterolateral dari
kartilago tepat sebelah lateral dari garis tengah, gunakan ibu jari dan jari telunjuk.
Pertahankan tekanan sampai manset endotrakeal dikembangkan.

17. Setelah ET tube pada tempatnya, kembangkan manset dengan isi yang minimal
sebagai berikut : Selama inspirasi (bag resusitasi manual / ventilator), masukan
dengan perlahan udara ke garis manset. Tahan manset yang sudah dikembangkan
selama siklus ekspirasi --> Ulangi dengan perlahan pengembangan manset selama
siklus inspirasi tambahan --> Akhiri mengembangkan manset bila kebocoran sudah
terhenti.

18. Lakukan penghisapan dan ventilasi.

19. Untuk memeriksa posisi ET tube, ventilasi dengan bag dan lakukan auskultasi bunyi
napas. Observasi penyimpangan bilateral dada.

20. Fiksasi ETT pada tempatnya dengan langkah sebagai berikut: Bagi pasien dengan
intubasi oral yang bergigi lengmanset, ( jika jalan napas oral-faringeal yang
digunakan, ini harus dipendekkan sehinggga tidak masuk kedalam faring posterior)
--> Bagi dua lembar plester, sebuah dengan panjang hampir 20-24 cm dan yang lain
sekitar 14-16 cm (cukup untuk mengelilingi kepala pasien dan melingkari sekitar ETT
beberapa waktu) --> Letakkkan plester dengan panjang 20-24 cm pada daerah yang
rata, tegakkan sisinya keatas, dan balikkan kearah plester dengan panjang 14-16 cm
--> Oleskan kapur harus pada daerah sekitar mulut --> Tempatkan plester disamping
leher pasien -- > Letakkan satu ujung plester menyilang diatas bibir, kemudian
ujungnya mengitari ETT pada titik kearah mulut --> Letakkan ujung yang lain
dibawah bibir bawah menyilang dagu, kemudian ujungnya mengitari ETT pada titik
masuk ke mulut --> Lakukan auskultasi dada bilateral.

Tindak lanjut
1. Pastikan bahwa ETT telah terfiksasi dengan baik dan pasien mendapatkan ventilasi yang
adekuat.
2. Kaji sumber oksigen atau ventilator.
3. Instruksikan untuk melakukan rontgen dada portable untuk memeriksa letak ETT
4. Yakinkan dan beri srasa nyaman pasien.

Sumber :

ALUR DAN BIAYA PENGURUSAN STR KE MTKI DAN BPPSDM


sesuai dengan kebijakan terbaru tentang pengajuan dan STR dan biayanya, PPNI meneruskan
kebijakan mengenai STR tersebut dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Biaya Pengurusan STR yang dibayarkan ke BPPSDM.

2. Alur Pengurusan STR terbaru


Alur pengurusan STR sesuai dengan kebijakan MTKI terbaru adalah sebagai berikut :
1) Pengajuan berkas persyaratan STR ke PPNI Provinsi
2) PPNI Provinsi menyerahkan berkas persyaratan STR ke MTKP
3) MTKP menginput data dan menverfikasi
4) MTKP mengirim berupa softcopy data dan pas foto saja ke MTKI.
5) MTKI melakukan verifikasi data ulang (yang berupa softocopy) , setelah data diverikasi
softcopy data siap dicetak, ditempel foto, dan disahkan lalu dibuat legalisirnya.
5) STR dan dikirim ke MTKP dan STR diambil di MTKP.
3. Syarat-syarat pengajuan STR
a) Fotocopy ijazah yang dilegalisir cap basah : sekolah perawat kesehatan/ DIII Keperawatan/
DIV keperawatan/ S1 keperawatan + profesi ners / S2 Keperawatan + ners spesialis
b) Pas Foto 4x6 dengan background merah
Untuk Pengajuan STR mulai dari Juni 2013 terkena PNBP sesuai PP.21 . Setiap orang yang
mengurus membayar Rp. 100.000 dan ditransfer ke rekening Pustanserdik. bila masih belum
jelas, silahkan hubungi MTKI terlebih dahulu untuk prosedur lebih jelas dan lengkap (no
telpon ada di bawah)

Khusus untuk pengajuan STR Luar Negeri terbagi menjadi dua:

1) Apabila yang bersangkutan sedang bekerja di Luar negeri, maka pengurusan STR sbb:
a) Fotocopy ijazah yang dilegalisir cap basah : sekolah perawat kesehatan/ DIII Keperawatan/
DIV keperawatan/ S1 keperawatan + profesi ners / S2 Keperawatan + ners spesialis
b) Pas Foto 4x6 dengan background merah
c) Fotocopy passport
d) Surat yang menyatakan bahwa Bapak sedang bekerja di Luar negeri dr instansi setempat
e) Surat rekomendasi dari Pusrengun BPPSDM Kesehatan Kemenkes RI (mohon kirim
berkas terlebih dahulu ke Pusrengun) dengan alamat: Jalan. Hang Jebat III Blok F3
Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
2) Apabila yang bersangkutan akan bekerja di luar negeri dan tidak butuh segera STR mohon
diajukan ke MTKP setempat. Jika STR dibutuhkan mendesak maka diperbolehkan
mengajukan ke MTKI dengan persyaratan dan prosedur sesuai dengan nomer 1 di atas.

untuk hal-hal yang tidak jelas, silahkan ditanyakan langsung ke sekretariat MTKI dengan
alamat :
Jalan Hang Jebat III Blok F3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan
No. Tlp: 021-72800743

Salam PPNI,

Persyaratan Permohonan Surat Tanda Registrasi (STR) Perawat BARU.


1. PPNI Jawa Timur
- Foto Copy Ijasah 1 Lembar (Bagi Lulusan Luar Prov. Jawa Timur harus melampirkan SK
tempat bekerja di wilayah Jawa Timur)

2. MTKP Jawa Timur


- Foto Copy Ijasah 1 Lembar
- Melampirkan Surat Rekomendasi PPNI Jawa Timur

3. UP2T Jatim (Badan Penanaman Modal Pemprov. Jatim)


- Foto Copi Ijazah yang dilegalisir (Institusi Pendidikan)
- Transkrip Nilai Akademik yang dilegalisir (Institusi Pendidikan)
- Foto Copi Lafal Sumpah
- Surat Keterangan berbadan sehat dari Dokter pemerintah
- Pas Photo berwarna Latar Belakang Merah terbaru 3 x 4 = 2 lembar,
4 x 6 = 2 lembar
- Surat Rekomendasi PPNI Prov. Jawa Timur dan MTKP Provinsi Jawa Timur

* NB :
1. Lulusan Baru (Mulai Agustus 2013) harus melampirkan sertifikat Uji Kompetensi
2. Untuk Lulusan Baru langsung ke MTKP Jawa Timur (tanpa rekomendasi PPNI Jawa
Timur)
3. Lulusan Luar Jawa Timur wajib melampirkan SK (Surat Keputusan / Surat Kontrak Kerja)
>>Bukan Surat Keterangan
4. Untuk Pengajuan Surat Rekomendasi PPNI Jawa Timur & MTKP Jawa Timur bisa
dikolektif (Untuk Pengajuan STR ke P2T harus yang bersangkutan)

--------------------------------------------------------------------------------------

Persyaratan Perpanjangan STR :


- SIP / STR Asli
- Foto Copi Ijazah yang dilegalisir (Institusi Pendidikan)
- Transkrip Nilai Akademik yang dilegalisir (Institusi Pendidikan)
- Foto Copi Lafal Sumpah
- Surat Keterangan berbadan sehat dari Dokter pemerintah
- Pas Photo berwarna Latar Belakang Merah terbaru 3 x 4 = 2 lembar,
4 x 6 = 2 lembar

* NB :
- Perpanjangan bisa mulai diajukan 2 (dua) bulan sebelum masa berlaku habis.
- Bagi yang telat / melewati masa berlaku, pemohon wajib minta rekomendasi PPNI Jawa
Timur & MTKP Jawa Timur.

Info Lebih Lanjut Hubungi Sekretariat PPNI Jawa Timur


Ruko Gateway Blok B 25 Waru Sidoarjo
Telp. 031 8546954
Fax. 031 8546955
Email ppni_jatim@yahoo.co.id
Surat Tanda Registrasi yang disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan ang telah memiliki sertifikat
kompetensi. dengan STR, maka perawat dapat melakukan aktivitas pelayanan kesehatan.

untuk mendapatkan STR, perawat harus memiliki ijazah dan sertifikat kompetensi. Dan Ijazah serta sertifikat kompetensi tersebut diberikan kepada peserta
didik setelah dinyatakan lulus ujian
program pendidikan dan uji kompetensi.

Ijazah dikeluarkan oleh perguruan tinggi bidang kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh MTKI.

Sertifikat kompetensi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun.

Sesuai dengan Permenkes 1796 tahun 2011, Sertifikat kompetensi yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang melalui partisipasi tenaga kesehatan
dalam kegiatan
pendidikan dan/atau pelatihan serta kegiatan ilmiah lainnya sesuai dengan bidang tugasnya atau profesinya.Perolehan Satuan Kredit Profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
harus mencapai minimal 25 (dua puluh lima) Satuan Kredit Profesi selama 5 (lima) tahun.

Tetapi di awal penerbitan STR, sesuai dengan Permenkes 1796, juga di putuskan bahwa perawat yang Lulusan sebelum tahun 2012, maka dilakukan Pemutihan
STR, yaitu tidak dilakukan Uji kompetensi untuk mendapatkan STR, tetapi cukup dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut :

1. Ijazah Perawat terakhir (SPK/DIII/Ners/Ners Spesialis)yg dilegalisir : 2 lembar


2. Pas Foto 4x6 latar belakang merah 3 Lembar
3. Pemutihan diajukan langsung ke MTKI secara kolektif oleh Organisasi Profesi / PPNI, Institusi Pelayanan, dan Institusi Pendidikan.

Surat Tanda Registrasi yang disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan ang telah memiliki sertifikat
kompetensi. dengan STR, maka perawat dapat melakukan aktivitas pelayanan kesehatan.

untuk mendapatkan STR, perawat harus memiliki ijazah dan sertifikat kompetensi. Dan Ijazah serta sertifikat kompetensi tersebut diberikan kepada peserta didik
setelah dinyatakan lulus ujian
program pendidikan dan uji kompetensi.

Ijazah dikeluarkan oleh perguruan tinggi bidang kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh MTKI.

Sertifikat kompetensi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun.

Sesuai dengan Permenkes 1796 tahun 2011, Sertifikat kompetensi yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang melalui partisipasi tenaga kesehatan
dalam kegiatan
pendidikan dan/atau pelatihan serta kegiatan ilmiah lainnya sesuai dengan bidang tugasnya atau profesinya.Perolehan Satuan Kredit Profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
harus mencapai minimal 25 (dua puluh lima) Satuan Kredit Profesi selama 5 (lima) tahun.

Tetapi di awal penerbitan STR, sesuai dengan Permenkes 1796, juga di putuskan bahwa perawat yang Lulusan sebelum tahun 2012, maka dilakukan Pemutihan
STR, yaitu tidak dilakukan Uji kompetensi untuk mendapatkan STR, tetapi cukup dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut :

1. Ijazah Perawat terakhir (SPK/DIII/Ners/Ners Spesialis)yg dilegalisir : 2 lembar


2. Pas Foto 4x6 latar belakang merah 3 Lembar
3. Pemutihan diajukan langsung ke MTKI secara kolektif oleh Organisasi Profesi / PPNI, Institusi Pelayanan, dan Institusi Pendidikan.

Detail aturan mengenai STR dapat di download di link berikut

Category: Keanggotaan Kami

KTA dan Registrasi Anggota


1. Masa Berlaku Kartu Tanda Anggota adalah 5 tahun sejak awal mendaftar.

2. No Keanggotaan PPNI akan diregistrasi ulang setiap tanggal 1 30 Januari setiap awal tahun.

3. Registrasi ulang No Keanggotaan dilakukan dengan melakukan pembayaran :


1. Iuran ICN tahunan sebesar Rp. 24.000,-
2. Iuran Keanggotaan tahunan sebesar Rp. 96.000,-
Pembayaran Iuran tersebut dilakukan melalui pengurus komisariat / kabupaten kota

4. Bagi Anggota yang tidak melakukan registrasi ulang tersebut, maka status keanggotaannya akan menjadi anggota pasif.
5. Bila sampai tanggal 30 maret Anggota tetap tidak melakukan registrasi ulang, maka status keanggotaan akan dihapus dari simk ppni

Detail mengenai Design dan Aturan KTA, bisa di download dilink berikut : DESIGN KTA

ANGGOTA PPNI DAN PERHITUNGAN SKP

1. Segala bentuk rekomendasi hanya akan diberikan PPNI kepada perawat yang terdaftar secara benar sebagai anggota PPNI

2. SKP yang diperoleh anggota PPNI dari setiap kegiatan pelatihan, seminar ataupun yang lainnya, akan teradministrasi secara otomatis di database SIMK PPNI
dan akan berguna untuk melakukan perpanjangan STR.

3. Bila tidak terdaftar sebagai anggota PPNI, maka secara sistem, SKP yang diperoleh perawat tersebut tidak akan terdata didatabase SIMK PPNI. dan secara
administrasi, SKP tersebut tidak akan berguna.

4. PPNI HANYA AKAN MEMBERIKAN REKOMENDASI PERPANJANGAN STR BAGI ANGGOTANYA SAJA. jadi pastikan bahwa anda terdaftar secara
benar sebagai anggota PPNI.

Category: Keanggotaan Kami

Keanggotaan Kami
MEKANISME PENDAFTARAN ANGGOTA

Pendaftaran anggota dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu


a. Pendaftaran secara individu melalui portal SIM Keanggotaan online
b. Pendaftaran anggota melalui komisariat terkait

Secara mendasar, walaupun anggota melakukan pedaftaran secara online di portal simk , tetapi sebenarnya anggota melakukan pendaftaran di
wilayah/kabupaten tempat kerja / tempat tinggalnya.

1. Pendaftaran secara individu dilakukan dengan tahapan berikut :


a. Calon anggota membuka http://simk.inna-ppni.or.id
b. Calon anggota selanjutnya dapat membuka menu pendaftaran anggota
c. Lalu akan muncul form yang dapat diisi sesuai dengan data calon anggota

2. Setelah calon anggota mendaftar, maka selanjutnya calon anggota melakukan pembayaran iuran keanggotaan kepada pengurus komisariat/kabupaten kota

3. Selanjutnya, pengurus kabupaten kota WAJIB menyetorkan pembayaran iuran keanggotaan ke pengurus PPNI Propinsi dan pengurus PPNI Pusat

4. Pengurus kabupaten kota wajib mengirimkan bukti penyetoran iuran keanggotaan anggotanya ke pengurus PPNI Propinsi dan Pengurus PPNIPusat sebagai
dasar Pengurus PPNI propinsi dan PPNI Pusat melakukan verifikasi iuran keanggotaan.

5. Bila PPNI pusat sudah menerima bukti setoran atas iuran keanggotaan dari pengurus PPNI kabupaten, maka bagian SIM Keanggotaan PPNI akan melakukan
verifikasi data dan secara komputerisasi, no keanggotaan akan muncul.

6. Bila no keanggotaan telah didapat, calon anggota sudah secara resmi menjadi anggota PPNI

7. Anggota dapat menggunakan no anggota untuk melakukan Log in dengan password standar yang diberikan oleh system

8. Setelah Login, anggota dapat merubah passwordnya.

9. Selanjutnya anggota juga bisa mengecek berapa jumlah SKP yang telah diperolehnya.

10. Anggota dapat melihat informasi detail mengenai :


a. Berita/ News tentang keprofesian
b. Informasi kegiatan ilmiah
c. Informasi lowongan kerja
d. Daftar anggota PPNI di komisariatnya

Category: Keanggotaan Kami

Keanggotaan PPNI

You might also like