Professional Documents
Culture Documents
Ganguan pernapasan suatu komplikasi yang sering kita temui pada paksa anestesi. Komplikasi bisa
terjadi setelah ekstubasi seperti : karena pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan
Komplikasi pernapasan paksa anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia. Gejala
komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan
dengan baik. Kebrhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan
tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. (7, 13).
A. Ekstubasi
B. Tujuan Ekstubasi
2. Untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan resiko setelah ekstubasi. (9)
C. Kriteria Ekstubasi
3. PaO2 diatas 80 mm Hg
D. Pelaksanaan Ekstubasi
obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah adequate. Melakukan pembersihan
mulut sebaiknya dengan kateter yang steril. Walaupun diperlukan untuk membersihkan
trachea atau faring dari sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus
menerus bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan,
sebaiknya diberikan oksigen. Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu
dilakukan ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka. Pipa
pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring.
muka bila perlu rongga mulut dilakukan pembersihan kembali. Sebelum dan sesudah
ektubasi untuk menghindari spsme laring., ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi
Napas sudah baik. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi dapat
dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah spontan. Spasme
laring dan batuk dapat dikurangi dengan memberikan lidokain 50 100 mg IV (intra
kebanyakan disebabkan oleh balon pada pipa endotrakheal besar, atau sulit dikempiskan,
pasien mngigit pipa endotrakheal. Ekstubasi jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini
disebabkan adanya gangguan pernapasan yang tidak adequate atau pernapasan susah
dikontrol dengan menggunakan sungkup muka pada pembedahan penuh ekstubasi napas.
Pasien dengan lambung penuh ekstubasi dilakukan apabila pasien sudah bangun atau
pipa hendaknya jangan dicabut sampai penderita sudah yakin baik, baru ke ruang pulih
E. Pengisapan Trakhea
terdengar adanya bunyi yang ditimbulkan oleh retensi sekret dan tidak dapat dibersihkan
dengan batuk. Pengisapan trachea sebaiknya tidak dilakukan sebagai pencegahan atau
secara rutin. Hal ini menyebabkan iritasi mekanisme oleh kateter selama pengisapan
trachea, serta dapat pula menyebabkan trauma pernapasan, dan hal ini merupakan
predisposisi untuk terjadinya infeksi. Selain itu pengisapan trachea atau karina oleh
kateter dapat menimbulkan reflek vagal, dapat berupa bradikardi dan hipotensi.
Pengisapan trachea juga dapat menimbulkan hipoksemia karena aspirasi gas pada paru-
paruyang menyebabkan penutupan small air way kolapnya dan alveoli. Hipoksemia selama
F. Penyulit Ekstubasi
2. Aspirasi
1. Sakit tenggorokan
G. Penilaian Hipoksemia
Hipoksemia paksa bedah yang terjadi pada pasien angat sulit terdiagnosa atau
dinilai secara klinik. Terutama sionosis sukar diketahui dan tidak mungkin menilai
kuantitasnya.
Takhicardi sulit dipakai sebagai indicator dari hipoksia, irama pernapasan yang dalam
tidaak seluruhnya dapat membantu, pernapasan yang lambat dan dangkal dapat mengakibatkan
depresi pusat pernapasan oleh narkotik, dari frekuensi tidak bisa sebagai jaminan untuk
mengetahui hipoksemia pada masa pembedahan pengukuran oksigen arteri dapat dipercaya
untuk mengetahui keadaan dan nilai status hipoksia. Dengan menggunakan monitor pulse
pada fase awal paksa bedah. Penilaian dari analisa gas darah juga diperlukan dan mungkin lebih
tepat pemerriksaannya pada fase lanjut, nilai dari analisa tersebut sebagai gambaran klinik
prediksi pemeriksaan dimana pulse oksimeter yang menetap. Standar analisa gas darah selama
anestesi jangan dijadikan patokan pada paksa anestesi,d an pemeriksaan gas darah sebainya
dilakukan di ruang pulih. Dengan penggunaan pulse oksimeter sangat mudah utnuk mengetahui
pembuluh darah tepi secara elektro-fotometrii. Pengindera alat ini biasanya diletakkan pada jari
atau daun telinga. Prinsip dasar kerja alat ini adalah membandingkan penyerapan cahaya yang
memiliki panjang gelombang tertentu oleh HbO 2 dengan Hb total (HbO2 + Hb). Pada alat ini
digunakan cahaya dengan dua panjang gelombang yang berbeda, yaitu dengan panjang
gelombang dimana molekul HbO2 dan Hb mempunyai nilai penyerapan yang sama (850 nm) dan
cahaya dengan panjang gelombang dimana molekul HbO 2 dan Hb mempunyai nilai selisih
penyerapan terbesar (660 nm) dimana perbandingan nilai penyerapan oleh dua molekul ini
diketahui. Pada pulseoksimeter peneyrapan cahaya yang dipancarkan ini disebabkan oleh dua
unsure yaitu jaringan ketebalan (ketebalan dan pigmentasi) yang merupakan komponen statis
darah arterial yang berdenyut merupakan komponen pisatil. Rangkaian elektronik pada alat ini
dirancang utnuk mampu membedakan antara cahaya yang diserap oleh komponen statis dengan
cahaya yang diserap oleh komponen pulsatil, pada kedua panjang gelombang diatas dan hanya
komponen pulsatil yang ditampilkan oleh alat ini. Perbandingan komponen pulsatil pada kedua
panjang gelombang cahaya diatas dibandignkan secara imperis dengan pemriksaan SaO 2 yang
dilakukan secara invasif sehingga nilai SaO2 pada pulse oksimeter tidak memerlukan kalibrasi. (8,
25)
respon cepat mampu menilai keutuhan penyaluran oksigen mulai dari sumbernya sampai
jaringan dan tidak dipengaruhi oelh pigmentasi kulit selain dari pada itu ia memiliki
ketepatan yang cukup tinggi. Kekurangannya adalah pengukuran yang tidak tepat apabila
perfusi jaringan rendah, adanya cahaya luar yang ikut terukur, adanya gerakan tubuh,
adanya figmen dalam darah misalnya metelin biru dan bilirubin, kadar met-Hb dan karbo
Hb yang tingi : selain dari pada itu karena bentuk kurva disosiasi oksigen maka perubahan
PaO2 yagn besar hanya sedikit merubah SaO2 selama PaO2 berada diatas 75 mmHg dan
apabila PaO2 berada dibawah 75 mmHg perubahan PaO2 yang besar, secara kasar dapat
dipegang sebagai patokan pada SaO2 90% - 75% maka PaO2 SaO2 30. (4)
terjadi perubahan saturasi selama pemulihan dan kejadian hipoksemia dapat ditegakkan
secara dini, pada paska bedah sampai beberapa hari setelah pembedahan. (1, 6, 23, 26)
Hipoksemia paska bedah dapat di difinisikan penurunan kadar oksigen dalam darah
setelah pembedahan dimana SaO2 kurang dari 90%. Pada keadaan tersebut terjadi hipoksi
jaringan. Hal ini merupakan komplikasi yang serius pada paska bedah setelah anestesi umum.
Fase awal terjadi dimana setelah obat anestesi dihentikan sampai dikirim keruang pulih
dan fase lanjut dimana terjadi satu minggu setelah pembedahan. (12)
Masalah pernapasan harus dilihat terlebih dahulu, guna mencegah komplikasi yang
serius, terutama pada keadan obesitas, pasien dengan usia lanjut, perokok, dan pasien dengan
penyakit kardiovaskuler.
1. Obesitas
Pasien dengan obesitas sering terjadi kesulitan selama pembedahan dan paska
bedah (Schwartz 1995) diperkirakan sulit mengatur jalan napas, begitu juga dalam
kejadiannya pada paska bedah (Marshell and Melville 1972), Couture et al 1970),
penutupan jalan napas dan sakit otot (Alexander et al 1973). Pada paska bedah dengan
Perawatan pasien selama pemulihan sampai beberapa hari paska bedah perlu
dianjurkan secara terus menerus untuk memantau pasien, dengan memeprhatikan jalan
pergerakan dioafragma pada apsien dengan berat badan < 100 kg. Tetapi hendaknya
dianjurkan bernapas secara teratur bila ada hipoksemia ringan pada fase awal paska bedah
dan perawatan yang intensif. Penggunaan morfin dan atropin yang terus menerus dapat
2. Umur
Meningkatnya usia cenderung mudah terjadi penutupan jalan napas dan terjadi
perubahan pada muskuloskeletal. PaO2 cenderung menurun menjadi < 8,4 kPa pada usia
70 tahun. (Marshall and Millar 1965, Jones 1982) hal ini juga berhubungan dengan
adanya penyakit kardiovaskuler, oleh karena edema paru dan pneumoni. Terjadinya
3. Perokok
Terjadinya komplikasi paska bedah terhadap paru pada pasien perokok cenderung
meningkat (Morton 1984). Perubahan pada paru (jalan napas, penurunan volume, FRC)
(Borrow et al 1977, Buist et al 1981) hal ini terlihat pada psien perokok. Pada pra bedah
dianjurkan untuk berhenti merokok guna mengembalikan fungsi paru secara perlahan.
Bronchorea sering terjadi dua sampai tiga hari setelah dihentikan merokok sehingga batuk
dengan obtruksi kronis jalan napas (Geribeldi et al 1981). Fisioterapi dan bronhodilator
bersama dengan obat mukolotik yang digunakan pada pra bedah dapat menghasilkan
keadaan yang optimum. Banyaknya sekret pada pasien bronchitis kronis berhubungan
dengan menyempitnya jalan napas sehingga terjadi atelektasis. Tetapi dengan epgnobatan
kardiopulmunum akibat skunder dari penyakit kronik seperti bronchitis, episema, obesitas
terapi oksigen untuk menghindari sianosis dan juga pada penggunaan ventilator.
Vasodilator seperti nitroprusside dan netrogliserin serta diuretic dapat digunakan apabila
Pada bedah efektif apabila terdapat infeksi jalan napas hendaknya ditunda terlebih
dahulu, sebab dapat meningkatkan resiko paska bedah. Radang faring dan laring akut
akan meningkatkan sensitifitas sehingga cederung terjadi spasme laring. Gangguan filtrasi
nasal dan reflek jalan napas terhadap kotorran yang masuk akan terganggu selama
dilakukan pembersihan jalan napas, dan hal itu juga bisa dikarenakan gangguan mokolitik
juga bisa disebabkan dehidrasi, obat atropin dan pengaruh penggunaan konsentrasi
Infeksi pernapasan yang kronis pad apra bedah perlu dilakukan pengobatan
penting (Brendly et al 1982, Gothart and Branthwaite 1982). Secara umum meliputi PaO 2
dimana lebih penting dari epngingkatan nilai PaO2 terutama selama pembedahan
torakotomi. Gangguan fungsi paru akibat suatu penyakit, dapat merubah nilai yang dapat
Pada pasien yang mempunyai resiko, hendaknya pengukuran fungsi paru harus
selalu dilakukan seperti table 1 apabila dicurigai mempunyai kelainan fungsi paru guna
Table 1.1 Laboratory abnormalities that correlate with hign risk caused by
pulmonary dysfunction.
Fuction Value
Maximum voluntary ventilation (MVV) < 50% predicted or < 50 /1/min
ECG bnormal
Pa O2 < 55
Pada masa ini terjadinya hipoksemia suatu hal yang umum terjadi, yang dapat
Pada paskka bedah mekanisme ventilasi abnormal sering terjadi dan dapat menimbulkan
hipoksemia yang ditandai dengan penurunan VC dan FRC. FRC normal kembali pada
minggu pertama sampai minggu kedua dan untuk VC setelah minggu ke tiga paska bedah.
Pembedahan daerah abdormal dan dada, rasa sakit, cenderung menurunkan pergerakan
dada. Rasa sakit jikga tidak ditanggulangi akan menurunkan FRC, dan hal tersebut bisa
juga disebabkan oleh menyempitnya jalan napas serta pada pasuien yang tidak bisa batuk
dimana hal tersebut akan menyebabkan retensi sekret dan atelektasisi. (24)
Gangguan mekanika pertukaran gas pada fase lanjut paska bedah sulit diketahui,
menimbulkan komplikasi, depresi napas, seprti morfin dapat menimbulkan depresi napas
melebihi 7 jam, edangkan fentanil tidak, tetapi pernah dilaporkan dapt terjadi depresi
setelah pemberian intrevena hal ini disebabkan meningkatnya kadar obat dalam plasma
karena efek dari Biphassic, sehingga pemberian kedua utnuk fentanil dapat
menimbulkan respon terhadap pernapasan seperti hiperkarbia secara menetap dan lama.
Pemberian barkotik intratekal dan epidural bisa terjadi depresi napas karena migrasi obat
melalui cairan serebrospinalis, hal itu juga bisa meibulkan kolap kardiovaskuler dan
koma. Utnuk mengembalikan efek ini dapat diberikan nalokson. Sehingga akhir-akhir ini
paska bedah fase lanjut perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya hipoksemia. (14, 17,
23)
Dengan adanya pulse oksimeter hal ini memungkinkan untuk memonitor saturasi
oksigen secara terus menerus selama 2 6 hari pada paska bedah juga berukuran bidal
volume, frekuensi napas dan analisa gas darah. Umumnya serangan hipoksemia terjadi
pada malam hari, dimana pasien sedang tidur yangberkisar 40 detik. Serangan apneo
bisa disebabkan secara sentral atau karena sumbatan jalan napas, dan hal ini lebih sering
terjadi. Sebaiknya dilakukan kontrol pernapsan jika hal itu terjadi dan umumnya sering
menimbulkan depresi napas jika obat nerkotik yang telah diebrikan mempunyai efek yang
Terapi Oksigen
menit, jika oksigen yang diberikan kurang dari 100% cenderung bisa terjadi
hipoksemia pada fase awal paska bedah dan pemberian oksigen dilakukan secara
terus menerus. Selama pengiriman pasien dari kamar operasi ke ruang pulih dan juga
berada selama diruang pulih harus dilakukan monitoring saturasi utnuk mengetahui
adanya hipksemia. Cara epnggunaaan pulse oksimeter harus diketahui oelh perawat
yang berada diruang pulih dan harus berpengalaman. Jika diduga pasien mempunyai
resiko, monitor dilakukan secara terus menrrus dengan pulse oksimeter dan hal ini
Setelah pasien boleh keluar dari ruang pulih, 24 jam pertama harus diberikan
analisa gas darah, atau dilakukan monitor dengan pulse oksimeter. Jika terjadi
hipoksemia yang menetap dilakukan terapi oksigen. Pemberian terapi oksigen yang
pengiriman pasien, selama berada di ruang pulih, bisa lewat kanula hidung 3 4
liter/menit, dengan konsentrasi oksigen < 50% tetapi cara ini tidak stabil. Jika
penggunaan oksigen lama, konsentrasi sebaiknya < 50% dan hal ini masih dapat
diadaptasi tanpa menimbulkan efek yang erius, asalkan oksigen yang dihisap tetap
steril. (26)
Pemberian oksigen > 30% tidak diperlukan, sebab bisa memnimbulkan
gangguan filtrasi udara pada hidung sehingga bisa terjhadi atelektasis, dan terjadi
penurunan hipoksik paru karena vasokontriksi vena paru. Konsentrasi oksigen yang
tinggi diperlukan apabila terjadi hipksemia, tetapi perlu juga dipertimbangkan karena
efek pemebrian oksigen dengan konsentrasi tinggi dapat dterjadi pulmonary shunt.
Tetapi jika terjadi keadaan yang membahayakan pada pasien, terapi oksigen
Perbaikan hypoventilasi
hipoksemia harus dihindarkan. Penyebab lain dari hipoksemia, bisa secara sentral atau
diebabkan oleh pelemas otot dan hal ini harus ditanggulangi. Neostigmin tidak perlu
Ventilasi mekanik harus diberikan jika efek pelemas otot masih ada, tetapi jika
terjadi potensiasi oleh penyebab lainnya, maka hal tersebut harus diperbaiki sebelum
memberikan obat.
jika pasien sudah baik, dilakukan perubahan posisi berbaring ke posisi duduk dengna
tujuan mengembangkan volume paru dan PaO2. Jika terjadi hipoksemia karena
ekpirasi, dan akhir-akhir ini spirometry dan IPPB di Amerika sering digunakan tanpa
Tetapi penggunaaan alat tersebut keadaan yang lebih buruk. Penggunaan CPAP dsan
sungkup muka dapat meningkatkan FRC, tetapi hal tersebut pada pasien dengan
dilakukan oleh oran gyang berpengalaman dan pelaksanaannya pada pasien yang
sudah bangun dan kooperatif, serta tidak dianjurkan pada pasien fase awal paska
bedah. (6)
Oksigen Delivery
menurunkan PaO2. Pada paska bedah penurunan CO2 karena hipovolemia, aritmia
jantung, depresi jantung dan peningkatan tahanan perifer, semua itu harus
pasien yang menggigil, penurunan kesadaran dan penyebab lainnya jika terjadi
PERAWATAN JENASAH
1. Pengertian
2. Indikasi
Perawatan jenasah dimulai setelah dokter menyatakan kematian pasien. Jika pasien
meninggal karena kekerasan atau dicurigai akibat kriminalitas, perawatan jenasah dilakukan setelah
pemeriksaan medis lengkap melalui autopsy.
3. Tujuan
4. Sasaran
5. Tenaga
6. Kelengkapan sarana
A. Sarana Medis
Kasa/Verban secukupnya
Pads
Kapas secukupnya
Bengkok 1 buah
Troli
Pengganjal dagu
Label identifikasi
Sabun
Handuk
Selimut mandi
Kain kafan
Daftar barang berharga
Peniti
Sisir
Baju bersih
e. Perawatan jenasah
Memeriksa kembali Kasa/Verban, Sarung tangan bersih, Pads, Kapas secukupnya, Plastik
jenasah/pembungkus jenasah, Plester penahan untuk menutup luka (bila ada luka), Bengkok 1 buah,
diatas troli bagian atas.
b. Bila menggunakan baju lengan panjang maka lengan baju dilipat sampai di atas siku.
Menyingsingkan lengan baju yang panjang sampai atas mata siku lengan.
Jika menggunakan cincin, jam tangan lepaskan cincin dan jam tangan ke dalam saku.
a). Meletakkan sarung tangan steril pada posisi yang sedikit lebih tinggi dari tangan 15 cm dari ujung
jari tangan jika tangan lurus disamping badan.
b). Membuka bungkus sarung tangan dengan hati-hati dan jaga agar tidak terkontaminasi.
c). Mengatur agar posisi jari sarung tangan mengarah ke depan pembungkus.
f). Memasangkan sarung tangan pada tangan dominan, pastikan sarung tangan tidak menyentuh bagian
yang tidak steril.
g). Dengan menggunakan tangan yang sudah terpasang sarung tangan, mengambil sarung tangan
berikutnya dengan memasukan empat jari ke dalam lipatan sarung tangan yang terlipat pada bagian
pergelangan.
h). Memasang sarung tangan pada tangan nondominan dengan hati-hati dengan tidak menyentuh
bagian yang tidak steril.
i). Menarik sarung tangan kedua pada tangan yang non dominan. Jangan biarkan jari-jari tangan dominan
menyentuh bagian tangan yang non dominan yang masih terbuka.
j). Menyesuaikan sarung tangan yang telah terpasang dengan merekatkan kedua tangan.
k). Melepas sarung tangan setelah selesai melakukan tindakan keperawatan dengan tangan dominan
sehingga bagian dalam sarung tangan berada diluar. Kemudian genggam sarung tangan yang sudah
terlepas tadi dengan tangan nondominan, lalu lepas sarung tangan nondominan sehingga sarung
tangan dominan yang digenggam tadi tergulung di dalam sarung tangan nondominan.
e. Perawatan Jenasah
b) Atur lingkungan sekitar tempat tidur. Bila kematian terjadi pada unit multi bed, jaga privasi pasien
yang lain, tutup koridor, cuci tangan.
c) Tinggikan tempat tidur untuk memudahkan kerja dan atur dalam posisi datar.
e) Tutup mata, dapat menggunakan kapas yang secara perlahan ditutupkan pada kelopak mata dan
plester jika mata tidak tertutup
f) Luruskan badan, dengan lengan menyilang tubuh pada pergelangan tangan dan menyilang abdomen.
Atau telapak tangan menghadap kebawah.
g) Ambilo gigi palsu jika diperlukan dan tutup mulut. Jika mulut tetap tidak mau tertutup, tempatkan
gulungan handukdi bawah dagu agar mulut tertutup. Tempatkan bantal di bawah kepala.
h) Lepaskan perhiasan dan barang berharga dihadapan keluarga. Pada umumnya, semua cincin, gelang,
kalung dll di lepas dan ditempatkan pada tas plastic tempat barang berharga. Termasuk kaca mata,
kartu, surat, kunci, barang religi. Beri label identitas.
i) Jaga keamanan barang berharga klien. Ikuti peraturan RS untuk disposisi (penyerahan) barang
barharga. Jangan meninggalkan barang berharga. Tempatkan dikantor perawat sampai dapat
disimpan ditempat yang lebih aman atau diserahka pada keluarga. Jika memungkinkan, keluarga
dianjurkan untuk membawa pulang semua barang milik milik klien sebelum klien meninggal.
j) Bersihkan badan. Dengan menggunakan air bersih, bersihkan area tubuh yang terdapat kotoran
seperti darah, feces, atau muntahan. Jika kotoran terjadi pada area rectum, uretra atau vagina,
letakan kassa untuk menutup tiap lubang dan rekatkan dengan plester untuk mencegah pengeluaran
lebih lanjut.
Setelah kematian, spingter otot relaks, menyebabkan incontinensia feces dan urin.
k) Rapikan rambut dengan sisir rambut.
l) Rawat drainage dan tube yang lain. Jika akan dilakukan autopsy, tube pada umumnya dibiarkan pada
badan, ambil botol drainage atau bag dari tube dan tekuk tube, ketika dilakukan autopsy, tube
diambil. Pastikan balon sudah dikempiskan sehingga tidak melukai jaringan tubuh selama
pengambilan.
m) Ganti balutan bila ada balutan. Balutan yang koyor harus diganti dengan yang bersih. Bekas plester
dihilangkan dengan bensin atau loarutan yang lain yang sesuai dengan peraturan RS.
n) Pakaikan pakaian yang bersih untuk diperlihatkan pada keluarga. Jika keluarga meminta untuk
melihat jenasah, tempatkan pada posisi tidur, supinasi, mata tertutup, lengan menyilang di
abdomen. Rapikan tempat tidur kembali.
o) Beri label identifikasi pada jenasah. Label identitas dengan nama, umur, dan jenis kelamin, tanggal,
no RS, nomor kamar dan nama dokter. Sesuai dengan peraturan RS, ikatan label identitas pada
pergelangan tangan atau pergelangan kaki atau plester label pada dada depan pasien.
p) Letakan jenasah pada kain kafan sesuai dengan peraturan RS. Ikatkan kasa/verbanatau pengikat yang
lain dibawah dagu dan sekitar kepala untuk menjaga agar dagu tetap tertutup. Kemudian, ikat
pergelangan tangan bersama menyilangkan diatas abdomen untuk menjaga lengan dari jatuh dari
brankar ketika jenasah diangkut kekamar jenasah. Letakan jenasah pada kain kafan. Lipat bagian 1
sudut kebawah menutup kepala, diikuti bagian sudut ke 2 keatas menutup kaki. Lipat bagian sudut 3
dan 4. Peniti atau plester diperlukan untuk menjaga kain kafan pada tempatnya.
q) Beri label pada bagian luar. Tandai identifikasi di penitikan pada bagian luar kain kafan.
r) Pindahkan jenasah ke kamar jenasah. Pindahkan jenasah secara perlahan ke brankar. Tutup jenasah
dengan kain. Kemudian ikat dengan pengikat brankar pada bagian dada dan lutut. Pengikat untuk
mencegahjenasah jatuh, tapi tidak boleh terlalu kuat sehingga dapat menyebabkan lecet.
t) Dokumentasikan prosedur. Pada catatan perawatan, catat waktu dan tanggal jenasah diantar
kekamar jenasah. Lakukan pencatatan apakah barang berharga disimpan atau diserahkan pada
keluarga.
Berikan barang-barang milik klien pada keluarga klien atau bawa barang tersebut kekamar jenasah.
Jika perhiasan atau uang diberikan pada keluarga, pastikan ada petugas/ perawat lain yang
menemani. Minta tanda tangan dari anggota keluarga yang sudah dewasa untuk verifikasi
penerimaan barang-barang berharga atau status dimana perhiasan masih ada pasien.
Berikan support emosional kepada keluarga yang ditinggalkan dan teman dan kepada klien lain yang
sekamar.
Mengangkat jjenasah dilakukan secara perlahan untuk mencegah lecet dan kerusakan kulit.
Poskan Komentar
A. Definisi
Penggantian darah atau tranfusi darah adalah suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah
seperti plasma, sel darah merah kemasan atau trombosit melalui IV. Meskipun tranfusi darah penting
untuk mengembalikan homeostasis, tranfusi darah dapat membahayakan. Banyak komplikasi dapat
ditimbulkan oleh terapi komponen darah, contohnya reaksi hemolitik akut yang kemungkinan
mematikan, penularan penyakit infeksi dan reaksi demam. Kebanyakan reaksi tranfusi yang
mengancam hidup diakibatkan oleh identifikasi pasien yang tidak benar atau pembuatan label darah
atau komponen darah yang tidak akurat, menyebabkan pemberian darah yang inkompatibel.
Pemantauan pasien yang menerima darah dan komponen darah dan pemberian produk-produk ini
adalah tanggung jawab keperawatan. Perawat bertanggung jawab untuk mengkaji sebelum dan
selama tranfusi yang dilakukan. Apabila klien sudah terpasang selang IV, perawat harus mengkaji
tempat insersi untuk melihat tanda infeksi atau infilrasi.
Perawat harus memastikan bahwa kateter yang dipakai klien menggunakan kateter ukuran besar (18-
19). Komponen darah harus diberikan oleh personel yang kompeten, berpengalaman dan sesuai
dengan prosedur yang berlaku.
B. Tujuan
Darah tersusun dari beberapa unsur yang mempunyai peran utama dalam terapi tranfusi darah.
Komponen ini meliputi antigen, antibody, tipe Rh, dan antigen HLA. Antigen adalah zat yang
mendatangkan respon imun spesifik bila terjadi kontak dengan benda asing. Sistem imun tubuh
berespon dengan memproduksi antibody untuk memusnahkan penyerang. Reaksi Antigen (Ag) dan
Antibodi (AB) ini diperlihatkan dengan aglutinasi atau hemolisis. Antibodi dalam serum berespon
terhadap antigen penyerang dengan mengelompokkan sel-sel darah merah bersama-sama dan
menjadikan mereka tidak efektif atau memusnahkan sel darah merah. Sistem penggolongan darah
didasarkan pada reaksi Ag-AB yang menentukan kompabilitas darah.
Golongan darah yang paling penting untuk tranfusi darah ialah sistem ABO, yang meliputi golongan
berikut: A, B, O, AB. Penetapan penggolongan darah didasarkan pada ada tidaknya antigen sel darah
merah A dan B. Individu-individu dengan golongan darah A mempunyai antigen A yang terdapat pada
sel darah merah; individu dengan golongan darah B mempunyai antigen B, dan individu dengan
golongan darah O tidak mempunyai kedua antigen tersebut.
Aglutinin, atau antibody yang bekerja melawan antigen A dan B, disebut agglutinin anti A dan
agglutinin anti B. Aglutinin ini terjadi secara alami. Individu dengan golongan darah A
memproduksi aglutinin anti B di dalam plasmanya secara alami. Begitu juga dengan individu dengan
golongan darah B, akan memproduksi agglutinin anti A di dalam plasma secara alami. Individu
dengan golongan darah O secara alami memproduksi kedua aglutinin tersebut, inilah sebabnya
individu dengan golongan darah O disebut sebagai donor universal. Individu golongan AB juga
menghasilkan antibodi AB, oleh karena itu individu dengan golongan AB disebut resipien universal.
Bila darah yang ditranfusikan tidak sesuai, maka akan timbul reaksi tranfusi.
Setelah system ABO, tipe Rh merupakan kelompok antigen sel darah merah dengan kepentingan
klinis besar. Tidak seperti anti-A dan anti-B, yang terjadi pada individu normal dan tidak diimunisasi,
antibody Rh tidak terbentuk tanpa stimulasi imunisasi. Individu dengan antibodi D disebut Rh positif,
sedangkan yang tidak memiliki antibodi D disebut Rh negatif, tidak menjadi soal apakah ada antibodi
Rh lainnya. Antibody D dapat menyebabkan destruksi sel darah merah, seperti dalam kasus reaksi
tranfusi hemolitik lambat.
System HLA merupakan komponen berikutnya untuk dipertimbangkan dalam pemberian tranfusi.
System HLA didasarkan pada antigen yang terdapat dalam leukosit, trombosit dan sel-sel lainnya.
Penggolongan dan pencocoksilangan HLA kadang-kadang diperlukan sebelum tranfusi trombosit
diulangi.
D. Indikasi
Tranfusi darah lengkap hanya untuk mengatasi perdarahan akut dan masif, meningkatkan dan
mempertahankan proses pembekuan. Darah lengkap diberikan dengan golongan ABO dan Rh yang
diketahui. Infuskan selama 2 sampai 3 jam, maksimum 4 jam/unit. Dosis pada pediatrik rata-rata 20
ml/kg, diikuti dengan volume yang diperlukan untuk stabilisasi. Bisanya tersedia dalam volume 400-
500 ml dengan masa hidup 21 hari. Hindari memberikan tranfusi saat klien tidak dapat menoleransi
masalah sirkulasi. Hangatkan darah jika akan diberikan dalam jumlah besar.
Indikasi:
1. Penggantian volume pada pasien dengan syok hemoragi, trauma atau luka bakar
2. Klien dengan perdarahan masif dan telah kehilangan lebih dari 25 persen dari volume darah total
Komponen ini mengandung sel darah merah, SDP, dan trombosit karena sebagian plasma telah
dihilangkan (80 %). Tersedia volume 250 ml. Diberikan selama 2 sampai 4 jam, dengan golongan
darah ABO dan Rh yang diketahui. Hindari menggunakan komponen ini untuk anemia yang
mendapat terapi nutrisi dan obat. Masa hidup komponen ini 21 hari.
Indikasi :
Komponen ini terdiri dari darah lengkap dengan isi seperti RBCs, plasma dihilangkan 80 % , biasanya
tersedia dalam volume 150 ml. Dalam pemberian perlu diketahui golongan darah ABO dan sistem Rh.
Apabila diresepkan berikan dipenhidramin. Berikan antipiretik, karena komponen ini bisa
menyebabkan demam dan dingin. Untuk pencegahan infeksi, berikan tranfusi dan disambung dengan
antibiotik.
Indikasi :
1. Pasien sepsis yang tidak berespon dengan antibiotik (khususnya untuk pasien dengan kultur darah
positif, demam persisten /38,3 C dan granulositopenia)
Indikasi:
Platelet/trombosit
Komponen ini biasanya digunakan untuk mengobati kelainan perdarahan atau jumlah trombosit yang
rendah. Volume bervariasi biasanya 35-50 ml/unit, untuk pemberian biasanya memerlukan beberapa
kantong. Komponen ini diberikan secara cepat. Hindari pemberian trombosit jika klien sedang
demam.
Klien dengan riwayat reaksi tranfusi trombosit, berikan premedikasi antipiretik dan antihistamin.
Shelf life umumnya 6 sampai 72 jam tergantung pada kebijakan
pusat di mana trombosit tersebut didapatkan. Periksa hitung trombosit pada 1 dan 24 jam setelah
pemberian.
Indikasi:
Komponen ini digunakan untuk memperbaiki dan menjaga volume akibat kehilangan darah akut.
Komponen ini mengandung semua faktor pembekuan darah (factor V, VIII, dan IX). Pemberian
dilakukan secara cepat, pada pemberian FFP dalam jumlah besar diperlukan koreksi adanya
hypokalsemia, karena asam sitrat dalam FFP mengikat kalsium. Shelf life 12 bulan jika dibekukan dan
6 jam jika sudah mencair. Perlu dilakukan pencocokan golongan darah ABO dan system Rh.
Indikasi:
Komponen ini terdiri dari plasma protein, digunakan sebagai ekspander darah dan pengganti protein.
Komponen ini dapat diberikan melalui piggybag. Volume yang diberikan bervariasi tergantung
kebutuhan pasien. Hindarkan untuk mencampur albumin dengan protein hydrolysate dan larutan
alkohol.
Indikasi :
1. Pasien yang mengalami syok karena luka bakar, trauma, pembedahan atau infeksi
2. Terapi hyponatremi
Pediatrik
1. Pada anak-anak, 50 ml darah pertama harus diinfuskan lebih dari 30 menit.
Bila tidak ada reaksi terjadi, kecepatan aliran ditingkatkan dengan sesuai untuk menginfuskan sisa
275 ml lebih dari periode 2 jam
2. Darah untuk bayi baru lahir dicocok silangkan dengan serum ibu karena mungkin mempunyai antibody
lebih dari bayi tersebut dan memungkinkan identifikasi yang lebih mudah tentang inkompabilitas
3. Dosis untuk anak-anak bervariasi menurut umur dan berat badan (hitung dosis dalam milliliter per
kilogram berat badan)
4. Tranfusi sel darah merah memerlukan waktu infus yang ketat (untuk mempermudah deteksi dini reaksi
hemolitik yang mungkin terjadi)
7. Gunakan vena umbilikalis pada bayi baru lahir sebagai tempat akses vena
8. Tranfusi pada bayi baru lahir hanya boleh dilakukan oleh perawat atau dokter yang kompeten dan
berpengalaman (prosedur ini memerlukan ketrampilan tingkat tinggi)
Gerontik
1. Riwayat sebelumnya (anemia dengan gagal sumsum tulang, anemia yang berhubungan dengan
keganasan, perdarahan gastrointestinal kronik, gagal ginjal kronik)
3. Defisit sensori dapat terjadi (konsultasikan dengan rekam medik atau anggota keluarga terhadap reaksi
tranfusi darah sebelumnya)
5. Integritas vena mungkin melemah, pastikan kepatenan kateter atau jarum sebelum melakukan tranfusi
Alergi
Penyebab:
Anaphilaksis (dingin, bengkak pada wajah, edema laring, pruritus, urtikaria, wheezing), demam,
nausea dan vomit, dyspnea, nyeri dada, cardiac arrest, kolaps sirkulasi
Intervensi:
5. Monitor reaksi anafilaksis dan jika diindikasikan berikan epineprin dan kortikosteroid
afilaksis
Penyebab:
Pemberian protein IgA ke resipien penderita defisiensi IgA yang telah membentuk antibodi IgA
Gejala:
Tidak ada demam, syok, distress pernafasan (mengi, sianosis), mual, hipotensi, kram abdomen,
terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa milliliter darah atau plasma.
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
Pencegahan:
Tranfusikan sel darah merah (SDM) yang sudah diproses dengan memisahkan plasma dari SDM
tersebut, gunakan darah dari donor yang menderita defesiensi IgA.
Sepsis
Penyebab:
Gejala:
Menggigil, demam, muntah, diare, penurunan tekanan darah yang mencolok, syok
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
Pencegahan:
Urtikaria
Penyebab:
Gejala:
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
4. Tranfusi bisa dimulai lagi jika demam dan gejala pulmonal tidak ada lagi
Pencegahan:
Kelebihan sirkulasi
Penyebab:
Volume darah atau komponen darah yang berlebihan atau diberikan terlalu cepat
Gejala:
Dyspnea, dada seperti tertekan, batuk kering, gelisah, sakit kepala hebat, nadi, tekanan darah dan
pernafasan meningkat, tekanan vena sentral dan vena jugularis meningkat
Intervensi:
Pencegahan:
Kecepatan pemberian darah atau komponen darah disesuaikan dengan kondisi klien, berikan
komponen SDM bukan darah lengkap, apabila diprogramkan minimalkan pemberian normal saline
yang dipergunakan untuk menjaga kepatenan IV
Hemolitik
Penyebab:
Antibody dalam plasma resipien bereaksi dengan antigen dalam SDM donor, resipien menjadi tersensitisasi
terhadap antigen SDM asing yang bukan dalam system ABO
Gejala:
Cemas, nadi, pernafasan dan suhu meningkat, tekanan darah menurun, dyspnea, mual dan muntah,
menggigil, hemoglobinemia, hemoglobinuria, perdarahan abnormal, oliguria, nyeri punggung, syok,
ikterus ringan. Hemolitik akut terjadi bila sedikitnya 10-15 ml darah yang tidak kompatibel telah
diinfuskan, sedangkan reaksi hemolitik lambat dapat terjadi 2 hari atau lebih setelah tranfusi.
Intervensi:
2. Hentikan tranfusi
6. Untuk hemolitik lambat, karena terjadi setelah tranfusi, pantau pemeriksaan darah untuk anemia yang
berlanjut
Pencegahan:
Identifikasi klien dengan teliti saat sample darah diambil untuk ditetapkan golongannya dan saat darah
diberikan untuk tranfusi (penyebab paling sering karena salah mengidentifikasi).
Demam Non-Hemolitik
Penyebab:
Antibody anti-HLA resipien bereaksi dengan antigen leukosit dan trombosit yang
ditranfusikan.
Gejala:
Demam, flushing, menggigil, tidak ada hemolisis SDM, nyeri lumbal, malaise,
sakit kepala
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
Pencegahan:
Hiperkalemia
Penyebab:
Gejala:
Serangan dalam beberapa menit, EKG berubah, gelombang T meninggi dan QRS
melebar, kelemahan ekstremitas, nyeri abdominal
Hipokalemia
Penyebab:
Berhubungan dengan alkalosis metabolik yang diindikasi oleh sitrat tetapi dapat
dipengaruhi oleh alkalosis respiratorik
Gejala:
Serangan bertahap, EKG berubah, gelombang T mendatar, segmen ST depresi,
poliuria, kelemahan otot, bising usus menurun
Hipotermia
Penyebab:
Pemberian komponen darah yang dingin dengan cepat atau bila darah dingin diberikan melalui
kateter vena sentral.
Gejala:
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
5. Periksa EKG
AIDS
Penyebab:
Gejala:
Demam, keringat malam, letih, berat badan menurun, adenopati, lesi kulit
seropositif terhadap virus HIV
Kontaminasi bakteri
Penyebab:
Kontaminasi pada saat penyumbangan atau persiapan, bakteri endotoksin melepaskan endotoksin.
Gejala:
Cytomegalovirus (CMV)
Virus CMV dapat berada pada orang dewasa yang sehat. Pasien-pasien dengan imunosupresi berisiko tinggi
tertular CMV
Gejala:
Hepatitis
Hepatitis A dan hepatitis B jarang, penyakit hati kronik lebih umum dengan Hepatitis C daripada
hepatitis B
Gejala:
Terjadi dalam dalam beberapa minggu sampai bulan setelah tranfusi, mual,
muntah, ikterus, malaise, kadar enzim hati tinggi
Penyebab:
Gejala:
Demam, ruam kulit, diare, infeksi, gangguan fungsi hati (jaundice, supresi
sumsum tulang)
Intervensi:
Pencegahan;
Berikan darah yang tidak diradiasi jika diprogramkan, berikan darah yang telah
dicuci dengan saline jika diprogramkan
2. Beritahu dokter
4. Periksa semua label, formulir, dan identifikasi pasien untuk menentukan apakah pasien menerima
darah atau komponen darah yang benar
5. Segera laporkan reaksi tranfusi yang dicurigai pada petugas bank darah
6. Kirimkan sample darah yang diperlukan ke bank darah sesegera mungkin, bersama-sama dengan
kantong darah yang telah dihentikan, set pemberian, larutan IV yang diberikan, dan semua formulir
dan label yang berhubungan.
K. Persiapan Pasien
2. Jelaskan kemungkinan reaksi tranfusi darah yang keungkinan terjadi dan pentingnya melaporkan reaksi
dengan cepat kepada perawat atau dokter
3. Jelaskan kemungkinan reaksi lambat yang mungkin terjadi, anjurkan untuk segera melapor apabila
reaksi terjadi
4. Apabila klien sudah dipasang infus, cek apakah set infusnya bisa digunakan untuk pemberian tranfusi
5. Apabila klien belum dipasang infus, lakukan pemasangan dan berikan normal saline terlebih dahulu
7. Kapas alkohol
10. Stetoskope
11. Termometer
13. Bengkok
B. Prosedur kerja
1. Baca status dan data klien untuk memastikan program tranfusi darah
4. Cuci tangan
10. Minta klien untuk melaporkan apabila menggigil, sakit kepala, gatal-gatal, atau
ruam dengan segera
17. Lakukan pemasangan infuse, apabila belum terpasang dengan menggunakan kateter berukuran besar
( 18 atau 19 G), apabila sudah terpasang cek apakah set yang ada bisa digunakan untuk pemberian
tranfusi dan cek kepatenan vena
18. Gunakan selang infus yang memiliki filter di dalam selang (apabila selang infus masih menggunakan
selang infuse yang kecil, ganti dengan selang infus untuk tranfusi yang ukurannya lebih besar)
19. Gantungkan botol normal saline untuk diberikan setelah pemberian darah selesai
20. Ikuti protokol lembaga dalam mendapatkan produk darah dari bank darah. Minta darah pada saat
Anda siap menggunakannya.
21. Bersama seorang perawat lainnya yang telah memiliki lisensi, identifikasi produk darah yang akan
dimasukkan (periksa etiket kompabilitas yang menempel pada kantong darah dan informasi pada
kantong tersebut; untuk darah lengkap, periksa golongan darah ABO dan tipe Rh yang terdapat pada
catatan klien; periksa kembali kesesuaian produk darah yang akan diberikan dengan resep dokter;
periksa data kadaluarsa pada kantong darah; inspeksi darah untuk melihat adanya bekuan darah;
tanyakan nama klien dan periksa tanda pengenal yang dimiliki klien)
22. Mulai pemberian tranfusi darah (sebelum darah diberikan, berikan dahulu larutan normal saline;
mulai berikan tranfusi secara perlahan diawali dengan pengisian filter di dalam selang; atur
kecepatan sampai 2 ml/menit untuk 15 menit pertama dan tetaplah bersama klien. Apabila perawat
menjumpai adanya reaksi, segera hentikan tranfusi, bilas selang dengan normal saline, laporkan pada
dokter dan beritahu bank darah)
23. Monitor tanda vital (ukur setiap 5 menit pada 15 menit pertama, selanjutnya disesuaikan dengan
kebijakan lembaga)
25. Pertahankan kecepatan infus yang diprogramkan dengan menggunakanpompa, jika perlu
33. Catat pemberian darah atau produk darah yang diberikan dan respon klien terhadap terapi darah
pada status kesehatan klien
34. Setelah tranfusi selesai, kembalikan kantong darah serta selang ke bank darah
1 komentar:
1.
tambahkan daftar pustaka, akan lebih oke lagi tuh tulisan nya.. jadi rujukan nya jelas
dan dapat
Kita sering melihat di televisi, ketika ada orang yang tenggelam atau kecelakaan atau mengalami serangan
jantung, tiba-tiba orang lain yang melihat langsung menggenjot dada dan memberikan nafas buatan mulut ke
mulut. Hal ini mungkin tidak ada di Indonesia, orang yang tenggelam bukan malah diberikan nafas buatan akan
tetapi malah memukul perut untuk dikeluarkan airnya.
Tindakan seperti diatas, diluar negeri adalah hal yang umum dan sering dilakukan, karna sebagian besar
penduduk disana sudah diberi pendidikan untuk melakukan tindakan nafas buatan serta indikasi kapan tindakan
tersebut dibutuhkan.
Nafas Buatan disebut juga Resusitasi Jantung Paru atau Bantuan Hidup Dasar atau CPR (CardioPulmonary
Resuscitation), merupakan suatu tindakan kegawatan sederhana tanpa menggunakan alat bertujuan
menyelamatkan nyawa seseorang dalam waktu yang sangat singkat (Rahmad, 2009).
Prinsip utamanya adalah, orang yang tidak bernafas dan atau jantungnya tidak berdetak (Henti Jantung)
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan dari korban/pasien. Henti
napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar. Henti napas dapat terjadi pada
keadaan:
Tenggelam
Overdosis obat-obatan
Tersengat listrik
Tersambar petir
Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih
dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan napas
akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.
2. Henti jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi darah. Henti sirkulasi ini akan
dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-
sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.
Jika Kita Bertemu Dengan Orang Seperti Diatas, Apa Yang Kita Lakukan ?
Ada dua prinsip penting, yaitu pertama jika kita bertemu dengan orang seperti diatas, jangan lupa untuk
memanggil bantuan, karna RJP hanyalah tindakan pertolongan partama yang selanjutnya perlu tindakan medis,
yang kedua pastikan kondisinya memang sesuai dengan kriteria RJP melalui pemeriksaan primer.
See Picture :
(Skema RJP)
Pemeriksaan Primer
Prinsip pemeriksaan primer adalah bantuan napas dan bantuan sirkulasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah
tindakan survei primer dirumuskan dengan abjad A, B, C, yaitu :
Sebelum melakukan tahapan A (airway), harus terlebih dahulu dilakukan prosedur awal pada korban/pasien,
yaitu :
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong harus melakukan upaya agar dapat
memastikan kesadaran korban/pasien, dapat dengan cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban/pasien
dengan lembut dan mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau Pak
!!! / Bu!!! / Mas!!! /Mbak !!!.
3. Meminta pertolongan.
Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera minta bantuan dengan cara
berteriak Tolong !!! untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis yang lebih lanjut.
Untuk melakukan tindakan RJP yang efektif, korban/pasien harus dalam posisi terlentang dan berada pada
permukaan yang rata dan keras. jika korban ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi
korban ke posisi terlentang. Ingat! penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala,
leher dan bahu digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban harus dipertahankan
pada posisi horisontal dengan alas tidur yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.
See Picture:
Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan melakukkan tindakan :
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda asing. Jika
terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari
telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat
dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger,
dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk Pada mulut korban.
b) Membuka jalan napas
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak sadar tonus
otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab
sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara Tengadah kepala
topang dagu (Head tild chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula (Rahang Bawah).
Prinsipnya adalah memberikan 2 kali ventilasi sebelum kompresi dan memberikan 2 kali ventilasi per 10 detik
pada saat setelah kompresi. Terdiri dari 2 tahap :
Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke
hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas
sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 2 detik dan volume
udara yang dihembuskan adalah 7000 1000 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat
mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar tercapai
volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 17%. Penolong juga harus
memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.
o Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang tepat dan efektif untuk memberikan
udara ke paru-paru korban/pasien. Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus
mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban
dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup
lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung.
Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700 1000 ml (10 ml/kg). Volume udara
yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga
terjadi distensi lambung.
o Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya pada Trismus
atau dimana mulut korban mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong
harus menutup mulut korban/pasien.
o Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit.
Bila pasien mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.
Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher
korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan
leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1 2 cm raba
dengan lembut selama 5 10 detik.
Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan
manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/pasien. Jika tidak bernapas lakukan
bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.
2. Memberikan bantuan sirkulasi.
Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan sirkulasi atau yang
disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
o Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan atau kiri sehingga
bertemu dengan tulang dada (sternum).
o Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari ke atas. Daerah tersebut
merupakan tempat untuk meletakan tangan penolong dalam memberikan bantuan sirkulasi.
o Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan di atas telapak
tangan yang lainnya, hindari jari-jari tangan menyentuh dinding dada korban/pasien, jari-jari tangan
dapat diluruskan atau menyilang.
o Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban dengan tenaga dari berat
badannya secara teratur sebanyak 30 kali (dalam 15 detik = 30 kali kompresi) dengan kedalaman
penekanan berkisar antara 1.5 2 inci (3,8 5 cm).
o Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan mengembang kembali ke
posisi semula setiap kali melakukan kompresi dada. Selang waktu yang dipergunakan untuk
melepaskan kompresi harus sama dengan pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).
o Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi tangan pada saat
melepaskan kompresi.
o Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 : 2 (Tiap 15 detik = 30 kompresi dan 2 kali
tiupan nafas), dilakukan baik oleh 1 atau 2 penolong.
Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60 80 mmHg, dan diastolik
yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah jantung normal. Selang
waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan
sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.
1. Penilaian korban
Tentukan kesadaran korban/pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut dan mantap), jika tidak sadar,
maka
o Posisikan korban/pasien
4. Pernapasan (BREATHING)
Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau tidak pernapasan korban/pasien.
5. Jika korban/pasien dewasa tidak sadar dengan napas spontan, serta tidak ada trauma leher (trauma tulang
belakang) posisikan korban pada posisi mantap (Recovery positiotion), dengan tetap menjaga jalan napas tetap
terbuka.
6. Jika korban/pasien dewasa tidak sadar dan tidak bernapas, lakukkan bantuan napas. Di Amerika serikat dan di
negara lainnya dilakukan bantuan napas awal sebanyak 2 kali, sedangkan di Eropa, Australia, New Zealand
diberikan 5 kali. Jika pemberian napas awal terdapat kesulitan, dapat dicoba dengan membetulkan posisi kepala
korban/pasien, atau ternyata tidak bisa juga maka dilakukan :
Untuk orang awam dapat dilanjutkan dengan kompresi dada sebanyak 30 kali dan 2 kali ventilasi, setiap kali
membuka jalan napas untuk menghembuskan napas, sambil mencari benda yang menyumbat di jalan napas,
jika terlihat usahakan dikeluarkan.
Untuk petugas kesehatan yang terlatih dilakukan manajemen obstruksi jalan napas oleh benda asing.
Setelah memberikan napas 12 kali (1 menit), nilai kembali tanda-tanda adanya sirkulasi dengan meraba arteri
karotis, bila nadi ada cek napas, jika tidak bernapas lanjutkan kembali bantuan napas.
7. Sirkulasi (CIRCULATION)
Periksa tanda-tanda adanya sirkulasi setelah memberikan 2 kali bantuan pernapasan dengan cara melihat
ada tidaknva pernapasan spontan, batuk atau pergerakan. Untuk petugas kesehatan terlatih hendaknya
memeriksa denyut nadi pada arteri Karotis.
1. jika ada tanda-tanda sirkulasi, dan ada denyut nadi tidak dilakukan kompresi dada, hanya menilai
pernapasan korban/pasien (ada atau tidak ada pernapasan)
2. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, denvut nadi tidak ada lakukan kompresi dada
o Letakkan kembali telapak tangan pada posisi yang tepat dan mulai kembali kompresi 30 kali
tiap 10 detik.
o Lakukan 4 siklus secara lengkap (30 kompresi dan 2 kali bantuan pernapasan)
8. Penilaian Ulang
Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian korban dievaluasi kembali,
Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap
Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas sebanyak 10 12 kali permenit dan monitor nadi
setiap saat.
Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan napas tetap terbuka
kemudian korban/pasien ditidurkan pada posisi sisi mantap.
Poskan Komentar
1. Pengertian
2. Tujuan
3. Prosedur Kerja
a. Persiapan Alat
7. Sarung tangan
8. Bak instrumen
9. Kasa
10. Bengkok
b. Persiapan Pasien
a. Posisi miring
c. Cara Kerja
6. Sebelum menghisap lendir pada pasien, cobakan lebih dahulu untuk air bersih yang
tersedia
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea, orang awam sering sebut sebagai
selang nafas, ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira pada
pertengahan antara pita suara dan bifurkasio trakea.
Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu disiapkan yang
disingkat dengan STATICS.
1. S = Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung
sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam
laringoskop:
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada laringoskop
harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
2. T = Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea mengantar gas
anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran
diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil,
dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang
melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi
dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa
menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat
membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal tube tidak
memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses
bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis
kranii.
Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas lateks,
dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan
memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa
secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman
pipa.
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea disesuaikan dengan
besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang
pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah
umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil
makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa
tanpa balon (cuf). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring
di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran
udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak
berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi
tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optik
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan balon
lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon
sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis
mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan
dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau
dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn atau tanpa cuf. Ukuran
penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan diameter
dalam pipa (mm) = 4 + umur (tahun).
Size Size
PLAIN CUFFED
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya
2.5 mm 4.5 mm dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini.
Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan
3.0 mm 5.0 mm
kondritis bahkan stenosis subglotis.
3.5 mm 5.5 mm
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan
4.0 mm 6.0 mm adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma
dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-
4.5 mm 6.5 mm 2 minggu. Akan tetapi pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi
intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih nyaman dan diberi
7.0 mm
kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan lebih dini.
7.5 mm
8.0 mm
8.5 mm
9.0 mm
3. A = Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan napas yaitu pipa mulut-
faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi
untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
4. T = Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
5. I = Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
6. C = Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask ataupun
peralatan anestesia.
7. S = Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.
Kontraindikasi
a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit
untuk dilakukan intubasi.
b. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi, penanganan jalan nafas jangka
panjang, mempermudah proses weaning ventilator.
Penyulit IntubasiTrakea
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang dijumpai.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut
Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan menurut Cormack dan Lehanne kesulitan
intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.
2. Mandibula menonjol
Indikasi Intubasi
Intubasi Orotrakeal
4. Intubasi orotrakeal juga dilakukan sebagai prosedur tindakan bedah, seperti bedah kepala-leher,
intratorak, dan lainnya.
Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi
maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang
digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas
menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk
intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis.
Kontraindikasi dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya
pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.
Teknik Intubasi
Intubasi Orotrakeal
Intubasi orotrakeal biasanya menggunakan laringoskop dengan dua jenis blade yang paling
umum digunakan, yaitu Macintosh dan Miller. Blade Macintosh berbentuk lengkung. Ujungnya
dimasukkan ke dalam Valekula (celah antara pangkal lidah dan permukaan faring dari epiglotis).
Pemakaian blade Macintosh ini memungkinkan insersi pipa endotrakeal lebih mudah dan dengan
risiko trauma minimal pada epiglotis. Ukuran pada blade Macintosh pun beragam dari nomor 1
hingga nomor 4. Untuk dewasa, pada umumnya digunakan ukuran nomor 3.
Sedangkan blade Miller berbentuk lurus, dan ujungnya berada tepat di bawah permukaan
laringeal dari epiglotis. Epiglotis kemudian diangkat untuk melihat pita suara. Kelebihan dari blade
Miller ini adalah anestesiologis dapat melihat dengan jelas terbukanya epoglotis, namun di sisi lain
jalur oro-hipofaring lebih sempit. Ukuran bervariasi dari nomor 0 hingga nomor 4, dengan ukuran
yang paling umum digunakan untuk dewasa berkisar antara nomor 2 atau 3.
Pasien diposisikan dalam posisi sniffing, dimana oksiput diangkat atau dielevasi dengan
bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan leher dalam posisi ekstensi. Biasanya posisi seperti ini
akan memperluas pandangan laringoskopik. Sedangkan posisi leher fleksi mempersulit dalam pasien
membuka mulut.
Gambar 8. Sniffing Position
Laringoskop dipegang tangan kiri pada sambungan antara handle dan blade. Setelah
memastikan mulut pasien terbuka dengan teknik cross finger dari jari tangan kanan, laringoskop
dimasukkan ke sisi kanan mulut pasien sambil menyingkirkan lidah ke sisi kiri. Bibir dan gigi pasien
tidak boleh terjepit oleh blade. Blade kemudian diangkat sehingga terlihat epiglotis terbuka.
Laringoskop harus diangkat, bukan didorong ke depan agar kerusakan pada gigi maupun gusi pada
rahang atas dapat dihindari.
Ukuran pipa endotrakeal (endotracheal tube / ETT) bergantung pada usia pasien, bentuk
badan, dan jenis operasi yang akan dilakukan. ETT dengan ukuran 7.0 mm digunakan untuk hampir
seluruh wanita, sedangkan ukuran 8.0 pada umumnya digunkan pada pria. ETT dipegang dengan
tangan kanan seperti memegang pensil lalu dimasukkan melalui sisi kanan rongga mulut kemudian
masuk ke pita suara. Bila epiglotis terlihat tidak membuka dengan baik, penting untuk menjadikan
epiglotis sebagai landasan dan segera masukkan ETT di bawahnya lalu masuk ke trakea. Tekanan
eksternal pada krikoid maupun kartilago tiroid dapat membantu memperjelas pandangan
anestesiologis. Ujung proksimal dari balon ETT ditempatkan di bawah pita suara, lalu balon
dikembangkan dengan udara positif dengan tekanan 20-30 cmH 2O.
Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima area, yaitu kedua apeks
paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara napas terdengar hanya pada salah satu sisi paru
saja, maka diperkirakan telah terjadi intubasi endobronkial dan ETT harus ditarik perlahan hingga
suara napas terdengar simetris di lapangan paru kanan dan kiri. ETT kemudian difiksasi segera
dengan menggunakan plester.
Gambar 9. Intubasi Orotrakeal
Intubasi Nasotrakeal
Anestesia topikal dan vasokonstriksi pada mukosa hidung dapat diperoleh dengan
mengaplikasikan campuran antara 3% lidokain dan 0.25% phenylephrine. Pada umumnya, ukuran
ETT 6.0 hingga 6.5 mm digunakan pada hampir semua wanita, sedangkan untuk laki-laki digunakan
ETT dengan ukuran 7.0 hingga 7.5 mm. Setelah ETT melewati rongga hidung kemudian ke faring, pipa
ETT masuk ke glotis yang telah membuka. Intubasi dapat dilakukan dengan bantuan laringoskop atau
fiberoptik bronkoskop, atau dengan forsep Magill.
Komplikasi yang dapat terjadi hampir sama seperti yang terjadi pada intubasi orotrakeal.
Namun ada sedikit penambahan seperti terjadinya epistaksis dan diseksi submukosa. Bila
dibandingkan dengan intubasi orotrakeal, intubasi nasotrakeal dihubungkan dengan peningkatan
insidensi dari sinusitis dan bakteremia.
Komplikasi
Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik anestesi dan
perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman dan
teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan napas yang diinginkan,
misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang
cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.
Faktor pasien
1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki laring dan
trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas.
2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat menimbulkan kesulitan
saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama
intubasi.
1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi krisis yang
dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya komplikasi selama tatalaksana
jalan napas
2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien dan peralatan
yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.
1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang maksimal pada
bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi pada bagian tersebut
tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut.
4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik berupa etilen
glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan tekanan yang
rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian yang tidak tepat.
Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan ventilasi dengan
sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan melakukan intubasi dan kegagalan
intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada
pasien apnoe karena proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian
atau hipoksia otak. Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam
keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation (CVCI).
Diposkan oleh Chassink Kodokz di 12.54 PM
Tujuan :
Untuk menegakkan patensi jalan napas
Indikasi
1. Kebutuhan akan ventilasi mekanik
2. Kebutuhan akan hiegine pulmoner
3. Kumungkinan aspirasi
4. Kemungkinan obstruksi jalan napas bagian atas
5. Pemberian anastesi
Kontraindikasi :
Tidak ada kontraindikasi yang absolut ; namun demikian edema jalan napas bagian atas yang
buruk / fraktur dari wajah dan leher dapat memungkinkan dilakukannya intubasi.
Kemungkinan komplikasi :
1. Memar, laserasi, dan abrasi
2. Perdarahn hidung (dengan intubasi nasotrakeal)
3. Obstruksi jalan napas (herniasi manset, tube kaku)
4. Sinusitis (dengan nasotrakeal tube)
5. Ruptur trakeal
6. Fistula trakeoesofageal.
7. Muntah dengan aspirasi, gigi copot atau rusak
8. Distrimia jantung.
Peralatan :
2. Stylet (sejenis kawat yangdimasukkan kedalam kateter atau kanula dan menjaga
kanula tersebut agar tetap kaku/tegak)
6. Spuit 10 cc
8. Resusitasi bag dengan adafter dan masker yang dihubungkan dengan tabung oksigen
dan flowmeter.
14. Restrain.
Prosedur :
1. Ingatkan ahli terapi pernapaan, dan siapkan alat ventilator atau set oksigen seperti
yang dianjurkan oleh dokter.
2. Jelaskan prosedur pada pasien, jika mungkin. Pasang restrain jika diperlukan.
5. Periksa untuk meyakinkan bahwa peralatan penghisap (suction) dan ambubag sudah
tersedia dan berfungsi dengan baik, hubungkan ujung penghisap Yankauer dan
sumbernya.
6. Jika pasien tidak dalam monitor jantung, hubungkan pada monitor atau EKG.
7. Pidahkan alas kepala dan tempatka pasien sedekat mungkin dengan bagian atas
tempat tidur. Pasien harus dalam posisi sniffing, leher dalam keadaan fleksi dengan
kepala ekstensi. Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan 2-4 inchi alas kepala di
leher belakang bagian bawah.
8. Tanyakan pada dokter tipe pisau operasi yang harus disiapkan dan ukuran dari ET
tube yang akan digunakan.
9. Hubungkan mata pisau operasi pada laringoskop, dan periksa bola lampu untuk
mendapatkan penerangan yang cukup.
12. Masukkan stylet ke dalam tube, yakinkan untuk tidak menonjol keluar dari ujung ET
tube.
15. Observasi dan berikandukungan pada pasien. Pertahankan terapi intravena dan awasi
adanya disritmia.
16. Berikan tekanan pada krikoid selama intubasi endotrakeal untuk melindungi
regurgitasi isilambung. Temukan kartilago krikoid dengan menekan raba tepat
dibawah kartilago tiroid (adam apple). Bagian inferior yang menonjol ke arah
kartilago adalah krikoid kartilago. Berikan tekanan pada bagian anterolateral dari
kartilago tepat sebelah lateral dari garis tengah, gunakan ibu jari dan jari telunjuk.
Pertahankan tekanan sampai manset endotrakeal dikembangkan.
17. Setelah ET tube pada tempatnya, kembangkan manset dengan isi yang minimal
sebagai berikut : Selama inspirasi (bag resusitasi manual / ventilator), masukan
dengan perlahan udara ke garis manset. Tahan manset yang sudah dikembangkan
selama siklus ekspirasi --> Ulangi dengan perlahan pengembangan manset selama
siklus inspirasi tambahan --> Akhiri mengembangkan manset bila kebocoran sudah
terhenti.
19. Untuk memeriksa posisi ET tube, ventilasi dengan bag dan lakukan auskultasi bunyi
napas. Observasi penyimpangan bilateral dada.
20. Fiksasi ETT pada tempatnya dengan langkah sebagai berikut: Bagi pasien dengan
intubasi oral yang bergigi lengmanset, ( jika jalan napas oral-faringeal yang
digunakan, ini harus dipendekkan sehinggga tidak masuk kedalam faring posterior)
--> Bagi dua lembar plester, sebuah dengan panjang hampir 20-24 cm dan yang lain
sekitar 14-16 cm (cukup untuk mengelilingi kepala pasien dan melingkari sekitar ETT
beberapa waktu) --> Letakkkan plester dengan panjang 20-24 cm pada daerah yang
rata, tegakkan sisinya keatas, dan balikkan kearah plester dengan panjang 14-16 cm
--> Oleskan kapur harus pada daerah sekitar mulut --> Tempatkan plester disamping
leher pasien -- > Letakkan satu ujung plester menyilang diatas bibir, kemudian
ujungnya mengitari ETT pada titik kearah mulut --> Letakkan ujung yang lain
dibawah bibir bawah menyilang dagu, kemudian ujungnya mengitari ETT pada titik
masuk ke mulut --> Lakukan auskultasi dada bilateral.
Tindak lanjut
1. Pastikan bahwa ETT telah terfiksasi dengan baik dan pasien mendapatkan ventilasi yang
adekuat.
2. Kaji sumber oksigen atau ventilator.
3. Instruksikan untuk melakukan rontgen dada portable untuk memeriksa letak ETT
4. Yakinkan dan beri srasa nyaman pasien.
Sumber :
1) Apabila yang bersangkutan sedang bekerja di Luar negeri, maka pengurusan STR sbb:
a) Fotocopy ijazah yang dilegalisir cap basah : sekolah perawat kesehatan/ DIII Keperawatan/
DIV keperawatan/ S1 keperawatan + profesi ners / S2 Keperawatan + ners spesialis
b) Pas Foto 4x6 dengan background merah
c) Fotocopy passport
d) Surat yang menyatakan bahwa Bapak sedang bekerja di Luar negeri dr instansi setempat
e) Surat rekomendasi dari Pusrengun BPPSDM Kesehatan Kemenkes RI (mohon kirim
berkas terlebih dahulu ke Pusrengun) dengan alamat: Jalan. Hang Jebat III Blok F3
Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
2) Apabila yang bersangkutan akan bekerja di luar negeri dan tidak butuh segera STR mohon
diajukan ke MTKP setempat. Jika STR dibutuhkan mendesak maka diperbolehkan
mengajukan ke MTKI dengan persyaratan dan prosedur sesuai dengan nomer 1 di atas.
untuk hal-hal yang tidak jelas, silahkan ditanyakan langsung ke sekretariat MTKI dengan
alamat :
Jalan Hang Jebat III Blok F3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan
No. Tlp: 021-72800743
Salam PPNI,
* NB :
1. Lulusan Baru (Mulai Agustus 2013) harus melampirkan sertifikat Uji Kompetensi
2. Untuk Lulusan Baru langsung ke MTKP Jawa Timur (tanpa rekomendasi PPNI Jawa
Timur)
3. Lulusan Luar Jawa Timur wajib melampirkan SK (Surat Keputusan / Surat Kontrak Kerja)
>>Bukan Surat Keterangan
4. Untuk Pengajuan Surat Rekomendasi PPNI Jawa Timur & MTKP Jawa Timur bisa
dikolektif (Untuk Pengajuan STR ke P2T harus yang bersangkutan)
--------------------------------------------------------------------------------------
* NB :
- Perpanjangan bisa mulai diajukan 2 (dua) bulan sebelum masa berlaku habis.
- Bagi yang telat / melewati masa berlaku, pemohon wajib minta rekomendasi PPNI Jawa
Timur & MTKP Jawa Timur.
untuk mendapatkan STR, perawat harus memiliki ijazah dan sertifikat kompetensi. Dan Ijazah serta sertifikat kompetensi tersebut diberikan kepada peserta
didik setelah dinyatakan lulus ujian
program pendidikan dan uji kompetensi.
Ijazah dikeluarkan oleh perguruan tinggi bidang kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh MTKI.
Sertifikat kompetensi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun.
Sesuai dengan Permenkes 1796 tahun 2011, Sertifikat kompetensi yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang melalui partisipasi tenaga kesehatan
dalam kegiatan
pendidikan dan/atau pelatihan serta kegiatan ilmiah lainnya sesuai dengan bidang tugasnya atau profesinya.Perolehan Satuan Kredit Profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
harus mencapai minimal 25 (dua puluh lima) Satuan Kredit Profesi selama 5 (lima) tahun.
Tetapi di awal penerbitan STR, sesuai dengan Permenkes 1796, juga di putuskan bahwa perawat yang Lulusan sebelum tahun 2012, maka dilakukan Pemutihan
STR, yaitu tidak dilakukan Uji kompetensi untuk mendapatkan STR, tetapi cukup dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut :
Surat Tanda Registrasi yang disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan ang telah memiliki sertifikat
kompetensi. dengan STR, maka perawat dapat melakukan aktivitas pelayanan kesehatan.
untuk mendapatkan STR, perawat harus memiliki ijazah dan sertifikat kompetensi. Dan Ijazah serta sertifikat kompetensi tersebut diberikan kepada peserta didik
setelah dinyatakan lulus ujian
program pendidikan dan uji kompetensi.
Ijazah dikeluarkan oleh perguruan tinggi bidang kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh MTKI.
Sertifikat kompetensi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun.
Sesuai dengan Permenkes 1796 tahun 2011, Sertifikat kompetensi yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang melalui partisipasi tenaga kesehatan
dalam kegiatan
pendidikan dan/atau pelatihan serta kegiatan ilmiah lainnya sesuai dengan bidang tugasnya atau profesinya.Perolehan Satuan Kredit Profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
harus mencapai minimal 25 (dua puluh lima) Satuan Kredit Profesi selama 5 (lima) tahun.
Tetapi di awal penerbitan STR, sesuai dengan Permenkes 1796, juga di putuskan bahwa perawat yang Lulusan sebelum tahun 2012, maka dilakukan Pemutihan
STR, yaitu tidak dilakukan Uji kompetensi untuk mendapatkan STR, tetapi cukup dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut :
2. No Keanggotaan PPNI akan diregistrasi ulang setiap tanggal 1 30 Januari setiap awal tahun.
4. Bagi Anggota yang tidak melakukan registrasi ulang tersebut, maka status keanggotaannya akan menjadi anggota pasif.
5. Bila sampai tanggal 30 maret Anggota tetap tidak melakukan registrasi ulang, maka status keanggotaan akan dihapus dari simk ppni
Detail mengenai Design dan Aturan KTA, bisa di download dilink berikut : DESIGN KTA
1. Segala bentuk rekomendasi hanya akan diberikan PPNI kepada perawat yang terdaftar secara benar sebagai anggota PPNI
2. SKP yang diperoleh anggota PPNI dari setiap kegiatan pelatihan, seminar ataupun yang lainnya, akan teradministrasi secara otomatis di database SIMK PPNI
dan akan berguna untuk melakukan perpanjangan STR.
3. Bila tidak terdaftar sebagai anggota PPNI, maka secara sistem, SKP yang diperoleh perawat tersebut tidak akan terdata didatabase SIMK PPNI. dan secara
administrasi, SKP tersebut tidak akan berguna.
4. PPNI HANYA AKAN MEMBERIKAN REKOMENDASI PERPANJANGAN STR BAGI ANGGOTANYA SAJA. jadi pastikan bahwa anda terdaftar secara
benar sebagai anggota PPNI.
Keanggotaan Kami
MEKANISME PENDAFTARAN ANGGOTA
Secara mendasar, walaupun anggota melakukan pedaftaran secara online di portal simk , tetapi sebenarnya anggota melakukan pendaftaran di
wilayah/kabupaten tempat kerja / tempat tinggalnya.
2. Setelah calon anggota mendaftar, maka selanjutnya calon anggota melakukan pembayaran iuran keanggotaan kepada pengurus komisariat/kabupaten kota
3. Selanjutnya, pengurus kabupaten kota WAJIB menyetorkan pembayaran iuran keanggotaan ke pengurus PPNI Propinsi dan pengurus PPNI Pusat
4. Pengurus kabupaten kota wajib mengirimkan bukti penyetoran iuran keanggotaan anggotanya ke pengurus PPNI Propinsi dan Pengurus PPNIPusat sebagai
dasar Pengurus PPNI propinsi dan PPNI Pusat melakukan verifikasi iuran keanggotaan.
5. Bila PPNI pusat sudah menerima bukti setoran atas iuran keanggotaan dari pengurus PPNI kabupaten, maka bagian SIM Keanggotaan PPNI akan melakukan
verifikasi data dan secara komputerisasi, no keanggotaan akan muncul.
6. Bila no keanggotaan telah didapat, calon anggota sudah secara resmi menjadi anggota PPNI
7. Anggota dapat menggunakan no anggota untuk melakukan Log in dengan password standar yang diberikan oleh system
9. Selanjutnya anggota juga bisa mengecek berapa jumlah SKP yang telah diperolehnya.
Keanggotaan PPNI