You are on page 1of 4

Amanat Ketua Umum PBNU pada Peringatan Hari Santri

Tanggal 22 Oktober 2017

Assalamualaikum wrwb.
Bismillahirrohmanirrohim Alhamdulillahirobbilaalamiin.
Allohumma sholli wasalim ala sayyidina wamaulana Muhammad
Waala alihi washohbihi ajmain, amma badu.

Hari ini tahun ketiga Keluarga Besar Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat
Indonesia memperingati Hari Santri. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri tanggal 22 Oktober 2015 yang
bertepatan dengan tanggal 9 Muharram 1437 Hijriyah merupakan bukti
pengakuan negara atas jasa para ulama dan santri dalam perjuangan merebut,
mengawal, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. Pengakuan terhadap
kiprah ulama dan santri tidak lepas dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan
Hadlaratus Syeikh KH. Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, pada 22
Oktober 1945. Di hadapan konsul-konsul Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-
Madura, bertempat di Kantor Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama di Jl. Boeboetan
VI/2 Soerabaja, Fatwa Resolusi Jihad NU digaungkan dengan pidato Hadlaratus
Syeikh yang menggetarkan:

..Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ain (jang haroes
dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak,
bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari
tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada
diloear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifayah (jang
tjoekoep kalaoe dikerdjakan sebagian sadja).
Tanpa Resolusi Jihad NU dan pidato Hadlaratus Syeikh yang menggetarkan ini,
tidak akan pernah ada peristiwa 10 November di Surabaya yang kelak
diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Kiprah santri teruji dalam mengokohkan pilar-pilar NKRI berdasarkan


Pancasila yang bersendikan Bhinneka Tunggal Ika. Santri berdiri di garda depan
membentengi NKRI dari berbagai ancaman. Pada 1936, sebelum Indonesia
merdeka, kaum santri menyatakan Nusantara sebagai Drus Salm. Pernyataan
ini adalah legitimasi fikih berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila. Tahun 1945,
kaum santri setuju menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi
persatuan dan kesatuan bangsa. Tahun 1953, kaum santri memberi gelar
Presiden Indonesia, Ir. Soekarno, sebagai Waliyyul Amri ad-Dlarri bis
Syaukah, pemimpin sah yang harus ditaati dan menyebut para pemberontak
DI/TII sebagai bughat yang harus diperangi. Tahun 1965, kaum santri berdiri di
garda depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme. Tahun 1983/1984,
kaum santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam
kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan bahwa NKRI sudah final
sebagai konsensus nasional (muhadah wathaniyyah). Selepas Reformasi,
kaum santri menjadi bandul kekuataan moderat sehingga perubahan konstitusi
tidak melenceng dari khittah 1945 bahwa NKRI adalah negara-bangsabukan
negara agama,bukan negara sukuyang mengakui seluruh warga negara
memiliki hak dan kewajiban yang sama, tanpa diskriminasi berdasarkan suku,
ras, agama, dan golongan.
Kenyataan ini perlu diungkapkan untuk menginsyafkan semua pihak, termasuk
kaum santri sendiri, tentang saham mereka yang besar dalam berdiri dan
tegaknya NKRI. Tanpa kiprah kaum santri, dengan sikap-sikap sosialnya yang
moderat (tawassuth), toleran (tasmuh), proporsional (tawzun), lurus (itidl),
dan wajar (iqtishd), NKRI belum tentu eksis sampai sekarang. Negeri-negeri
Muslim di Timur Tengah dan Afrika sekarang remuk dan porak poranda karena
ekstremisme dan ketiadaan komunitas penyangga aliran Islam wasathiyyah.

Momentum Hari Santri hari ini perlu ditransformasikan menjadi gerakan


penguatan paham kebangsaan yang bersintesis dengan keagamaan. Spirit
nasionalisme bagian dari iman (Hubbul wathon minal iman) perlu terus
digelorakan di tengah arus ideologi fundamentalisme agama yang
mempertentangkan Islam dan nasionalisme. Islam dan ajarannya tidak bisa
dilaksanakan tanpa tanah air. Mencintai agama mustahil tanpa berpijak di atas
tanah air, karena itu Islam harus bersanding dengan paham kebangsaan. Hari
Santri juga harus digunakan sebagai revitalisasi etos moral kesederhaan,
asketisme, dan spiritualisme yang melekat sebagai karakter kaum santri. Etos ini
penting di tengah merebaknya korupsi dan narkoba yang mengancam masa
depan bangsa. Korupsi dan narkoba adalah turunan dari materialisme dan
hedonisme, paham kebendaan yang mengagungkan uang dan kenikmatan semu.
Singkatnya, santri harus siap mengemban amanah, yaitu amanah kalimatul haq.
Berani mengatakan iya terhadap kebenaran walaupun semua orang
mengatakan tidak dan sanggup menyatakan tidak pada kebatilan walaupun
semua orang mengatakan iya. Itulah karakter dasar santri yang bumi, langit
dan gunung tidak berani memikulnya, sebagaimana ditegaskan dalam Al-
Quran Surat Al-Ahzaab ayat 72.
Hari ini santri jugahidup di tengah dunia digital yang tidak bisa dihindari.
Internet adalah bingkisan kecil dari kemajuan nalar yang menghubungkan
manusia sejagat dalam dunia maya. Ia punya aspek manfaat dan mudharat yang
sama-sama besar. Internet telah digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan
kebaikan dan dakwah Islam, tetapi juga digunakan untuk merusak harga diri dan
martabat seseorang dengan fitnah dan berita hoaks. Santri perlu memperalat
teknologi informasi sebagai media dakwah dan sarana menyebarkan kebaikan
dan kemaslahatan serta mereduksi penggunaannya yang tidak sejalan dengan
upaya untuk menjaga agama, jiwa, nalar, harta, keluarga, dan martabat
seseorang. Kaidah fikih: al-muhfadhah ala-l qadmis shlih wa-l akhdzu bi-l
jaddi-l ashlah senantiasa relevan sebagai bekal kaum santri menghadapi
tantangan zaman yang terus berubah.

Selamat Hari Santri 2017. Santri kuat, NKRI hebat.

Wallohulmuwafiq ila aq wamitthoriq.


Wassalamualaikum wrwb

Jakarta, 22 Oktober 2017

Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA.


Ketua Umum

You might also like