You are on page 1of 12

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.

1, Januari 2011

KONTROL GEOLOGI DAN ANALISIS KUALITAS BATUBARA


DAERAH BEANHAS DAN SEKITARNYA KECAMATAN MUARA
WAHAU KABUAPATEN KUTAI TIMUR PROPINSI KALIMANTAN TIMUR
INDONESIA

Budi Prayitno

Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

Abstract
Research in area Beanhas district and Muara Wahau Regency, East
kalimans Province, Indonesia. geology area entered into Formasi Wahau in
northern kutai basin that formed in last Oligosen to early Miocene with
superficial sea deposition to land deposition (S Supriatna and HZ.Abidin
,1995). Based on this field observation result is carrier coal formation that
insert in sandstone and claystone formation. Structural pattern which
expanded is large fold structure with direction fold almost approach North
South. Fold structure consist Sinklin A, Antiklin A, and Sinklin B. Result fold
classification in district Upright Horizontal Fold type (Fluety, 1964). Based
on data subsurface and is supported data laboratory, so dispersion quality
relative spread at every sub- coal bearing strata that own upward direction
below 4810-5519 Cal / g become 5060 5699 Cal / g with followed ash
decrease of rate 4,17% become 3,02%. Coal rank district including inside
lignite type

Abstrak
Penelitian berada di daerah Beanhas dan sekitarnya kecamatan Muara
Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur, Indonesia.
Geologi daerah penelitian termasuk dalam Formasi Wahau pada Cekungan
Kutai bagian utara yang terbentuk pada Kala Oligosen Akhir Miosen Awal
dengan lingkungan pengendapan laut dangkal - darat (S. Supriatna dan
H.Z.Abidin,1995). Berdasarkan hasil pengamatan lapangan formasi ini
merupakan formasi pembawa batubara pada satuan batupasir Wahau dan
satuan batulempung Wahau. Pola struktur yang berkembang adalah struktur
lipatan besar dengan arah sumbu lipatan hampir mendekati Utara Selatan.
Struktur lipatan berupa Sinklin A, Antiklin A, dan Sinklin B. Hasil klasifikasi
lipatan pada daerah penelitian menunjukan tipe lipatan Upright Horizontal
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

Fold (Fluety, 1964). Berdasar data bawah permukaan serta didukung data
laboratorium, maka sebaran kualitas relatif merata pada setiap sub-lapisan
batubara yang memiliki kecenderungan meningkat kearah bawah yaitu
4810-5519 Cal/g menjadi 5060 5699 Cal/g dengan diikuti penurunan kadar
abu yaitu 4,17% menjadi 3,02%. Melihat ciri fisik,rank batubara daerah
penelitian termasuk kedalam jenis lignit.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

LATAR BELAKANG
Penelitian dalam explorasi ini adalah untuk mencari informasi sebaran
kualitas dan kendali geologi sebagai kontrol kualitas batubara formasi
Wahau.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukan dan informasi sekitar
keberadaan lapisan batubara serta penyebaran kualitas batubara sehingga
di harapkan penelitian ini dapat digunakan oleh perusahaan maupun
kalangan mahasiswa sebagai acuan explorasi lanjut dan penelitian lebih
detail.
Penelitian berdasarkan metode pemetaan permukaan dan unsur
pengukuran berupa pengumpulan data geologi, penentuan lokasi
pengamatan, pengukuran kedudukan lapisan batuan, pengamatan struktur
geologi, struktur sedimen, sampling batuan, diskripsi batuan dan
dokumentasi.

KONDISI UMUM DAN GEOLOGI


Hasil pembagian fisiografi cekungan Kutai ( Supriatna dan Rustandi 1986 )
secara lateral membagi Cekungan Kutai menjadi tiga zona fisiografi, yaitu :
Cekungan Kutai bagian Barat merupakan daerah rendahan yang sebagian
besar tertutup rawa, danau dan alluvial. Pegunungan bergelombang
Antiklinorium Samarinda dan Delta Mahakam yang berada pada bagian
Timur hasil akumulasi sedimen yang berasal dari proses erosional pada
zona rawa dan pegunungan bergelombang Antiklinorium Samarinda.
Daerah Muara Wahau dan sekitarnya terbentuk oleh tiga bentukan asal
yaitu Denudesional, Struktural dan Alluvial yang masing masing
membentuk satuan geomorfik dengan kondisi batuan dan topografi yang
berbeda - beda. Morfologi punggung perbukitan terkikis, Morfologi
perbukitan yang memanjang berarah relatif Utara Selatan, dan Morfologi
dataran aluvial, tubuh sungai, dan rawa merupakan hasil dari masing
masing bentukan asal diatas.
Formasi pembawa batubara. Dari tua ke muda adalah Satuan batupasir
Wahau, Satuan batulempung Wahau dan Satuan endapan Alluvial.
Kedudukan lapisan Satuan batupasir mempunyai arah umum N 335 E N
010 E dan kemiringan batuan landai 20 - 24 . Sisipan Batubara pada
satuan batupasir menunjukan warna coklat kehitaman hitam, gores coklat
kehitaman hitam, keras kekerasan sedang, pecahan uneven fracture,
kilap kusam sub- vitruoes, secara spot terdapat banyak fragmen damar
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

dan sesekali singkapan batubara menunjukan struktur kayu (Woddy


Structure). Sumber bahan satuan batupasir ini diperkirakan hasil dari
aktifitas gunungapi Jelai yang mengasilkan breksi aneka bahan, dan adanya
intrusi kecil andesit dan diorite yang menerobos batuan berumur tua.
Kehadiran batupasir tufaan dan sisipan tufa memperkuat bahwa selama
proses pengendapan satuan batupasir Formasi Wahau diiringi dengan
aktifitas gunungapi Jelai yang berada di sebelah Utara daerah penelitian.
Satuan batupasir Wahau diendapkan pada Kala Oligosen Miosen Awal.
Sedangkan pada satuan batulempung mempunyai kedudukan lapisan
dengan arah umum N 335 E N 010 E kemiringan lapisan landai yaitu 15
- 20 , sifat kimia tidak bereaksi dengan HCL. Pengendapan rawa yang
masih berhubungan dengan kondisi marine secara local menyebabkan
terbentuknya akumulasi formasi pembawa batubara yang berukuran halus
yaitu satuan batulempung Wahau dengan sisipan lapisan batubara yang
mengandung kadar sulfur tinggi (pada tempat yang masih berasosiasi
dengan kondisi marine) dan dengan ketebalan lapisan batubara yang
semakin intensif kearah atas. Kondisi ini membuktikan saat pengendapan
berlansung pengaruh arus berkurang atau bahkan mendekati tenang. Pada
saat yang bersamaan diperkirakan kegiatan gunungapi Jelai berhenti seiring
dengan berkurangnya sisipan tufa kearah atas. Pada kondisi tersebut bisa
jelaskan juga bahwa setelah pengendapan satuan batulempung Formasi
Wahau terhenti pada kala Miosen Awal, kemudian diperkirakan pada kala
Mio Pliosen terjadi gaya tektonik dengan rezim kompresi dengan arah
gaya relatife Timurlaut Baratdaya yang mengakibatkan kedua satuan
Formasi Wahau terlipat yang menghasilkan bentukan sinklin dan antiklin
besar dengan arah sumbu lipatan Baratlaut Utara Tenggara Selatan.
Struktur lipatan tersebut tertera dalam peta geologi yaitu sinklin A, Antiklin A
dan Sinklin B.
Pada kondisi selanjutnya proses eksogen lebih berperan yakni proses
pelapukan dan erosi yang membentuk kondisi morfologi sekarang. Hal ini
ditunjukan dengan diendapkannya satuan pasir krikilan/ alluvial yang
menumpang secara tidak selaras pada satuan batulempung dengan kontak
ketidakselarasan bersudut yaitu pengendapan pada bidang miring akibat
proses erosi.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

Gambar 1. Stratigrafi daerah Muara Wahau dan sekitarnya

ANALISIS KUALITAS BATUBARA


Kelembaban / Total Moisture
Hasil analisis kelembaban sub-lapisan upper berkisar antara 40,09 46,65
% dan sub lapisan lower berkisar antara 43,13 50,42 %. Analisis
kelembaban ini termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai rata-rata
kelembaban mencapai 43,60 % dan 45,28 %. Kelembaban di sebabkan oleh
kandungan air bawaan yang terdapat dalam batubara pada saat batubara
terbentuk dan atau pasca batubara terbentuk ( air yang menempel pada
permukaan butir batubara). Ketebalan lapisan penutup batubara
(overburden) juga mempengaruhi kelembaban dari lapisan batubara, lapisan
penutup yang tipis menyebabkan batubara mudah terkena pengaruh iklim
dari luar. Inerburden dibangun oleh litologi pasir yang memperkuat bukti
tingginya nilai kelembaban, litologi pasir adalah litologi yaitu litologi yang
dengan mudah menuruskan aliran fluida pada lapisan dibawahnya. Pada
kondisi tertentu aliran fluida akan mempengaruhi nilai kelembaban lapisan
batubara.
Kandungan Inherent Moisture
Kandungan inherent moisture merupakan kelembaban batubara yang di
sebabkan oleh fluida yang bersifat senyawa atau factor. Nilai kandungan
inherent moisture ini sedikit di pengaruhi oleh ketebalan lapisan inerburden,
tetapi lebih di pengaruhi pada saat batubara masih berupa gelly. Hasil
analisis proksimat kandungan inherent moisture termasuk dalam kategori
cukup tinggi yaitu berkisar antara 12,9 17,44 % pada sub-lapisan upper
dan 13,15 19,31% Melihat angka kandungan inherent moisture secara
keseluruhan maka nilai kandungan inherent moisture memiliki
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

kecenderungan menurun factor bawah yang mengikuti peningkatan nilai


kalori kearah bawah.
Kandungan Abu (Ash)
Nilai rata rata kandungan abu mencapai 4,17 % dan 3,02 %. Kisaran
kadar abu masing masing sub lapisan upper dan sub-lapisan lower adalah
2,17 7,30 % dan 2,19 4,26 %. Beberapa faktor yang mempengaruhi
tingginya kandungan abu adalah adanya pengotor bawaan yang terkandung
di dalam batubara pada saat batubara terbentuk, terbentuknya sub-lapisan
upper dan sub-lapisan lower dengan tebal 0.90 m 10.45 m merupakan
faktor penyebab tingginya kandungan abu. Perbedaan kondisi lingkungan
pengendapan, pada kandungan abu relatife rendah sedang lapisan
batubara terendapkan di lingkungan rawa basah dalam kondisi tenang di
bawah permukaan air, kondisi reduksi di lingkungan tertutup sehingga
pengaruh distribusi dari tempat lain kecil. Sedangkan pada lapisan batubara
yang memiliki kandungan abu yang relatife tinggi dari pada sekitarnya di
sebabkan oleh lingkungan pengendapan yang dipengaruhi kondisi oksidasi
dan erosi yang berkembang bersamaan dengan pengendapan batubara
yang juga mengendapkan matrial non batubara. Mencermati nilai
kandungan abu, maka kecenderungan nilai abu menurun kearah bawah di
ikuti dengan peningkatan nilai kalori yaitu 4810 5519 cal/g menjadi 5060
5699 cal/g. Hal ini tidak sesuai pada sebuah prinsip bahwa meningkatnya
nilai kalori akan selalu diikuti oleh kenaikan kandungan abu. Kemungkinan
ini terjadi karena diakibatkan oleh tingginya moisture content baik yang
bersifat air external maupun air internal sehingga pada saat batubara
mengalami panas hasil overburden pressure, devolatisation/proses
pelepasan zat terbang dari lapisan batubara kurang berjalan dengan
sempurna. Selain itu lapisan batulempung juga mempengaruhi proses
devolatisation tidak berjalan dengan sempurna, devolatisation akan berjalan
efektif pada lapisan yang mempunyai porositas baik dan bersifat permeable.
Kandungan Volatile Matter
Kandungan volatile metter menunjukan nilai rata- rata yang tergolong tinggi
yaitu berkisar antara 42,33 % pada sub-lapisan upper dan 42,39% pada
sub-lapisan lower. Volatile Matter berkaitan dengan proses pembatubaraan
akibat adanya overburden pressure, kandungan air dalam batubara akan
berkurang, sedangkan apabila semakin mengecilnya kandungan air,
kalorofik akan meningkat, pada saat yang bersamaan batubara akan
mengalami devolatisation. Tingginya nilai volatile matter pada daerah
penelitian lebih disebabkan oleh lapisan inerburden diatas lapisan batubara
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

yang bersifat impermeable/batulempung, sehingga proses devolatisation


tidak berjalan efektif.
Kandungan Sulfur
Penambahan kadar sulfur akan lebih banyak terjadi pada batubara yang di
atasnya berasosiasi dengan kondisi marine Kandungan kadar sulfur
memberikan nilai rata rata yang rendah < 0,55% (Smyth, 1984). Hasil
analisa rata rata hanya mencapai 0,17 % pada sub-lapisan upper dan 0,15
% pada sub-lapisan lower. Kandungan kadar sulfur berturut turut sub-
lapisan upper dan sub-lapisan lower memberikan angka yang berkisar
antara 0,12 0,31 % dan 0,10 0,22. Lingkungan pengendapan daerah
penelitian adalah Transitional Lower Delta Plain pada lingkungan ini masih
berasosiasi dengan kondisi marine. Hal tersebut di buktikan dengan melihat
roof dari lapisan batubara berupa batulempung sehingga dapat di
asumsikan pembentukan pyrite berkembang baik pada rawa yang
mengalami transgresi segera setelah akumulasi gambut. Menurut Caruccio,
1997 (dalam Bambang Kuncoro, 1996) maka kandungan sulfur yang hadir
sebagai 7actor pada daerah penelitian adalah pyrite yang membentuk
butiran euhedral (> 25 mikron) dan pyirit yang membentuk lembaran pada
cleat/ rekahan.
Kandungan karbon
Didenifisikan sebagai matrial yang tersusun setelah berkurangnya moisture,
volatile matter dan ash. Kandungan karbon sebanding dengan kandungan
nilai kalori, semakin besar kandungan karbon maka akan di ikuti dengan
kenaikan nilai kalori. Kandungan karbon tertambat mempunyai kisaran nilai
rata rata 37,61 % untuk sub-lapisan upper dan 39,12 % pada sub-lapisan
lower. Mencermati angka kandungan karbon, maka kandungan karbon
mempunyai kecenderungan meningkat kearah bawah dan 7actor7i
menyebar merata pada setiap sub lapisan.
Nilai Kalori
Nilai kalori dipengaruhi oleh banyak factor, tetapi faktor yang paling utama
adalah control lingkungan pengendapaan dan pengaruh struktur geologi
yang berkerja pada daerah tersebut setelah pengendapan lapisan batubara
terhenti. Berdasarkan hasil surve lapangan dan hasil analisa core batubara
sering dijumpai adanya amber. Amber merupakan matrial yang ada pada
tubuh batubara yang berwarna kuning keemasan, coklat, dan merah
kekuningan. Penelitian laboratorium oleh Thiessen, 1925 menjelaskan
bahwa lapisan lilin, minyak dan damar tidak akan musnah oleh organisme.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

Kehadiran amber/ resinus merupakan hasil 8actor8ism tumbuhan. Resinit


dalam batubara tidak hanya berasal dari dammar tapi juga dari hasil
pengeluaran tertentu seperti esensial minyak yang terjadi pada daun. Amber
memiliki sifat mudah terbakar dan tahan terhadap pembusukan. Dari sifat
tersebut maka di asumsikan dapat meningkatkan nilai kalori pada batubara.
Faktor geologi pun memberikan kontribusinya, sebaran lapisan batubara
secara keseluruhan menempati struktur lipatan berupa sinklin dan antiklin
dengan tegasan utama berarah Baratdaya Timurlaut. Pada kondisi ini,
kegiatan struktur geologi diprediksi terjadi tidak lama setelah pengendapan
terhenti yang mengakibatkan adanya tekanan dan temperature bertambah.
Selain itu 8actor inilah yang menyebabkan sebagian tubuh lapisan batubara
terangkat kepermukaan.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

KESIMPULAN
1. Pembentukan geomorfologi daerah Beanhas di control oleh 3 faktor utama yaitu
resistensi batuan, pembentukan struktur geologi dan iklim dareah penelitian.
2. Daerah penelitian dibentuk oleh formasi pembawa batubara berupa satuan
batupasir, satuan batulempung dan endapan alluvial. Lapisan batubara
menempati di setiap satuan batuan sebagai sisipan yang relative menerus dan
tebal sangat tebal.
3. Struktur geologi yang terbentuk terjadi tidak lama setelah pengendapan
berhenti pada kala Mio Pliosen tektonik dengan rezim kompresi dengan arah
gaya relatife Timurlaut Baratdaya.
4. Nilai kalori dipengaruhi oleh banyak factor, tetapi factor yang paling utama
adalah lingkungan pengendapaan dan pengaruh struktur geologi yang berkerja
pada daerah tersebut setelah pengendapan lapisan batubara terhenti.

DAFTAR PUSTAKA
Allen G.P and J.L.C. Chambers. 1998. Sedimentation in The Modern Delta And
Miocene Mahakam Delta. Proceedings Annual Convention of IPA, Jakarta.
Diessel C.F.K., 1992 , Coal Bearing Depositional Systems, Springer-Verlag, Berlin.
Kuncoro Prasongko, B., 1996, Model Pengendapan Batubara Untuk
Menunjang Eksplorasi Dan Perencanaan Penambangan, Program
Pascasarjana, ITB, Bandung.
Sungkowo, Andi. dan Sastroprawiro, Suroso; 2001, Diktat Kuliah Geomorfologi,
Jurusan Teknik Geologi UPN Veteran, Yogyakarta.
Supriyatna, S; A. Sumartadipura & H.Z. Abidin., 1995, Peta Geologi Lembar
Muaratewe, Kalimantan Tengah, Skala 1:250.000. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

Peta cropline Batubara


PENAMPANG SUMUR BOR SEARAH DIP LINE C - C
SKALA 1 : 12.500
H:V=1:1

375 m Antiklin A 375 m

Sinklin A Sinklin B
250 250

TB - C04 TB - C05 TB - C11 TB - C12


Simpel Splitting
125 125
C Lapisan Seam B - Upper Lapisan Seam A
L ap C
0 Lapisan Seam B - Lower isa
nS per 0
eam -Up
Lapisan Seam C - Upper Lap Lapisan Seam B-Upper mC
isa C -U Sea er
La pisan Seam C - Lower nS pp is an ow
eam er Lap m C-L
C -L a
Lapisan Seam B-Lower n Se -125
-125 ow
er isa
La p
N079E N259E

PENAMPANG SUMUR BOR SEARAH DIP LINE 10 - 10


Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

SKALA 1 : 12.500
H:V=1:1

375 m 375 m
Antiklin A

250 250
Sinklin A Sinklin B
TB - 10B TB - 10C TB - 10D TB - 10F La TB - 10G TB - 10H TB - 10I
pis
an
Lapisan Seam A Lapisan Seam A S
125 La ea 125
Lapisan Seam A pper La pis m
B- U p is an A
m an Sea Lapi san
10 Sea wer L ap Se m Sea
is an -Lo is am B- m B-U
Lap an B Up ppe r m B-U pper 10
mB La S ea - Lo pe
r Lapi san Sea
Sea La p L ap isan Seam B-Upper
Lapisan Seam B-Upper san pi sa i sa n m CU we r Lap isan
S eam B - Low
Lapi n S Se a - 1 er
0 ea m Lapisan S eam B-Lower 0
m CL Lapisa n Se am C-U pper
Lapisan Seam B-Lower D
-U -1
Lapisan Seam C-Upper pp Lapisan Sea
er m CL - 1 CL - 1
Lapisan Seam C-Lower Lapisan Seam
Lapis an Se am D -U pper
Lapisan Seam D-Lower 125
-125

N079E N259E

You might also like