You are on page 1of 24

ACARA I

KARBOHIDRAT

A. Tujuan
Tujuan praktikum Kimia Pangan Acara I Karbohidrat adalah:
1. Mengetahui pengaruh asam dan alkali terhadap sukrosa.
2. Mengetahui pengaruh asam dan alkali terhadap glukosa.
3. Mengetahui kenampakan granula pati tepung maizena dan tepung
tapioka pada beberapa suhu.
B. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Teori
Gelatinisasi pati merupakan proses transisi fisik bersifat
endotermis yang merusak keteraturan molekuler granula dan
melibatkan proses pembengkakakan granula, pelelehan kristal,
hilangnya sifat birefringence, dan pelarutan pati (Syamsir dkk., 2010).
Pati dalam tanaman mempunyai bentuk granula (butiran) yang
berbeda-beda. Pati dimasukkan ke dalam air dingin, dan air yang
terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar 30%. Peningkatan
volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55oC-65oC
merupakan pembengkakakan granula pati yang dapat kembali ke
kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkan dan tidak
dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut
dengan gelatinisasi (Risnoyatiningsih, 2011).
Gelatinisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor
tersebut antara lain adanya garam akan menunda waktu terjadinya
gelatinisasi. Faktor lainnya adalah jumlah fraksi amilosa-amilopektin.
Selain itu waktu dan suhu juga berpengaruh pada gelatinisasi. Struktur
amilopektin, komposisi pati, dan arsitektur granula juga
mempengaruhi gelatinisasi. Pati ketika dipanaskan bersama air
berlebih di atas suhu gelatinisasinya, granula pati yang memiliki
kandungan amilopektin lebih tinggi akan membengkak lebih besar
dibandingkan dengan yang memiliki kandungan yang lebih rendah.
Jenis tepung yang berbeda memiliki distribusi partikel yang berbeda.
Ukuran partikel yang semakin besar maka luas permukaannya semakin
kecil, sehingga air memerlukan waktu yang lebih lama untuk
diabsorpsi ke dalam partikel pati. Sebaliknya, ukuran partikel yang
lebih kecil akan meningkatkan laju hidrasi tepung
(Imanningsih, 2012).
Gelatinisasi terjadi karena adanya proses pemecahan bentuk
kristalin granula pati, yaitu pecahnya ikatan hidrogen yang berfungsi
untuk mempertahankan struktur dan integritas pati. Kerusakan ini
dapat menyebabkan setiap lapisan permukaan molekulnya dapat
menyerap air atau larut dan bereaksi dengan bahan lain, dan kondisinya
tidak dapat kembali seperti semula. Gelatinisasi diawali dengan adanya
air yang secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam
granula, kemudian granula mengembang dengan cepat dan akhirnya
kehilangan sifat birefringence-nya dan bila suhu tetap naik maka
molekul-molekul pati terdifusi keluar granula (Uhi, 2006).
Suhu gelatinisasi merupakan suhu yang dibutuhkan pati agar
granula pati membengkak dan viskositas meningkat
(Imanningsih, 2012). Suhu gelatinisasi tiap jenis bahan makanan
berbeda-beda. Namun demikian suhu gelatinisasi dapat diketahui
dengan pengukuran menggunakan alat viskosimeter. Pada percobaan
kali ini sampel yang digunakan adalah tepung tapioka dengan suhu
gelatinisasi antara 52oC-64oC (Winarno, 2004). Pati yang dipanaskan
di atas suhu gelatinisasinya hanya akan melemahkan ikatan
hidrogennya tetapi tidak mempengaruhi ikatan silangnya sehingga
proses ikatan silang ini akan menghasilkan viskositas yang tinggi
(Munarso dkk., 2004).
Hidrolisa asam juga dapat dikenal dengan nama hidrolisa secara
non enzimatik. Hidrolisa ini menggunakan asam sebagai katalisnya,
biasanya yang dipakai adalah asam kuat, misalnya HCl. Hidrolisis
sukrosa menjadi gula penyusunnya dengan katalis asam sangat tepat
dilakukan (Risnoyatiningsih, 2011). Hidrolisis sukrosa akan optimal
pada range pH 3,0 5,0. Menurut penelitian, pH paling optimal
dilakukannya hidrolisis adalah 4,5. Di atas pH tersebut tidak akan
terjadi hidrolisis. Jikapun terjadi tidak akan maksimal seperti pada pH
optimal (Awwalurrizki dan Putra, 2008).
Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari
lima atau enam atom C. Monosakarida yang mengandung satu gugus
aldehid disebut aldosa, sedangkan yang mengandung satu gugus keton
disebut ketosa (Winarno, 2004). Monosakarida dapat pula diartikan
sebagai jenis karbohidrat sederhana yang terdiri dari 1 gugus cincin.
Glukosa merupakan salah satu contoh monosakarida yang banyak
terdapat dalam sel tubuh manusia selain fruktosa dan galaktosa
(Irawan, 2007).
Monosakarida pada umumnya cepat dan mudah untuk diserap
oleh dinding usus kecil manusia seperti D-glukosa, D-galaktosa, dan
D-fruktosa. Monosakarida lain yang mempunyai BM sama atau lebih
kecil seperti D-mannosa, L-arabinosa, dan L-sorbosa hanya sebagian
kecil saja yang terserap. Pada heksosa seperti glukosa terdapat empat
atom karbon yang simetrik (mengikat keempat gugus yang berlainan),
yaitu pada posisi nomor 2, 3, 4, dan 5. Setiap karbon mengikat 4 atom
atau gugus yang berbeda. Dengan demikian molekul heksosa tersebut
mempunyai jumlah isomer 2n = 24 = 16 (Winarno, 2004).
Monosakarida dalam suasana basa akan mengalami dekomposisi yang
menyebabkan terjadinya pencoklatan non enzimatis. Pencoklatan non
enzimatis merupakan reaksi yang terjadi pada gula pereduksi dengan
gugus amina primer pada suhu tertentu (Sumaryati, 2010).
Disakarida memiliki karakteristik salah satunya adalah semua
jenisnya akan cenderung meningkatkan kecepatan dengan
molaritasnya. Selain itu disakarida terbukti menunjukkan interaksi
solute-solute (terlarut-terlarut). Pada disakarida kecepatan interaksinya
cepat karena sensitivitas molaritasnya. Maltosa mempunyai interaksi
solute-solvent yang sangat kuat di antara tiga disakarida yang ada.
Sedangkan laktosa mempunyai interaksi solute-solute yang paling kuat
(Nithiyanantham and Palaniappan, 2013). Disakarida juga penting
dimana disakarida merupakan produk dari aktivitas enzimatis.
Contohnya disakarida dibentuk akibat aktivitas enzim heparinase dan
enzim amilase pankreatik (Sunyoung et al., 2012).
Disakarida merupakan oligosakarida yang terdiri dari dua
molekul. Oligosakarida sendiri merupakan polimer dengan derajat
polimerisasi 2 sampai 10 dan biasanya bersifat larut dalam air
(Winarno, 2004). Disakarida juga merupakan jenis karbohidrat yang
banyak dikonsumsi oleh manusia di dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap molekul disakarida akan terbentuk dari dua gabungan molekul
monosakarida. Contoh disakarida yang umum digunakan dalam
konsumsi sehari-hari adalah sukrosa yang terbentuk dari gabungan 1
molekul glukosa dan fruktosa. Contoh lainnya adalah laktosa, laktosa
terbentuk dari gabungan 1 molekul glukosa dan galaktosa
(Irawan, 2007).
2. Tinjauan Teori
Glukosa merupakan salah satu contoh monosakarida yang
banyak terdapat di dalam sel tubuh manusia selain fruktosa dan
galaktosa. Monosakarida merupakan jenis karbohidrat sederhana yang
terdiri dari 1 gugus cincin. Glukosa dalam industry pangan lebih
dikenal dengan nama dekstrosa atau gula anggur. Di alam, glukosa
banyak terkandung di dalam buah-buahan, sayuran, dan juga sirup
jagung (Irawan, 2007). Karbohidrat dapat mengalami perubahan
komponen jika bahan makanan disimpan dalam waktu yang lama.
Perubahan tersebut antara lain terjadinya hidrolisis pati karena
aktivitas enzim amilase. Selain it karbohidrat mengalami kekurangan
gula akibat pernafasan. Terbentuk pula bau asam dan bau apek dari
karbohidrat karena kegiatan mikroorganisme. Efek lain adalah
terjadinya reaksi kecoklatan bukan karena enzim (pencoklatan non
enzimatik) (Buckle et al., 2010).
Sukrosa merupakan oligosakarida yang mempunyai peran
penting dalam pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu, bit,
siwalan, dan kelapa kopyor. Untuk industri-industri makanan biasanya
digunakan sukrosa dalam bentuk kristal halus atau kasar dan dalam
jumlah yang banyak dipergunakan dalam bentuk cairan sukrosa
(sirup). Pada pembuatan sirup, gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam
air dan dipanaskan. Sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan
fruktosa, yang disebut gula invert. Sukrosa bukan merupakan gula
pereduksi atau non pereduksi karena tidak memiliki gugus karbonil
bebas di dalamnya (Winarno, 2004).
Penetralan merupakan suatu reaksi antara asam dengan basa,
sehingga menghasilkan suatu senyawa yang netral. Natrium bikarbonat
dapat menetralkan karena natrium merupakan senyawa logam alkali
yang mudah sekali melepaskan elektronnya sehingga bermuatan positif
sedangkan bikarbonat (HCO3) merupakan ion yang mudah
terhidrolisis. Ion bikarbonat dalam air akan lepas menjadi CO2 dan
H2O. keduanya merupakan senyawa sisa asam lemah, sehingga dalam
air mengalami hidrolisis. Natrium bikarbonat berbentuk serbuk kering
berwarna putih. Jika dilarutkan dalam air timbul gelembung-
gelembung udara yaitu CO2 sehingga digunakan untuk membuat
minuman penyegar (soft drink) (Winarni dkk., 2010).
Butiran pati sama sekali tidak larut dalam air dingin dan pada
pemanasan butiran pati tiba-tiba mulai menggembung pada suhu
penggelatinan. Pada titik ini bias ganda optik hilang dan menunjukkan
hilannya kekristalan. Umumnya pati dengan butiran besar
menggembung pada suhu lebih rendah daripada pati berbutir kecil.
Suhu penggembungan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu pH,
laju pemanasan, praperlakuan, adanya garam dan gula. Bermacam-
macam ukuran dari granula pati yang teratur paling panjang sumbunya
sekitar 0,0002 cm sampai 0,015 cm. Jika suspensi pati dalam air
dipanaskan terjadi difusi air pada dinding granula dan menyebabkan
pengembangan. Pengembangan ini terjadi pada suhu 60oC sampai
85oC, volume pada granula meningkat pada pemanasan setelah 5 menit
dan suspensi akan menjadi sangat kental. Pada pemanasan di atas
temperatur ini granula pati membuka dan membentuk gel dari pati di
dalam air (Chandra dkk., 2013).
Pati merupakan senyawa kompleks penyusun karbohidrat. Pati
tersusun atas rangkaian unit-unit gula (glukosa) yang terdiri dari fraksi
rantai bercabang, amilopektin, dan fraksi rantai lurus, amilosa. Ikatan
pada amilosa adalah 1,4-D-glukopiranosida sedangkan pada
amilopektin terdapat tambahan rantai cabang dengan ikatan 1,6-D-
glukopiranosida (Muchtadi dkk., 2010).
Pati tapioka banyak digunakan pada berbagai industri dan
aplikasi makanan. Hal ini termasuk pengentalan dan pembuatan gel.
Akan tetapi pemanfaatannya belum cukup optimal. Pati tapioka
biasanya digunakan dengan menambahkan senyawa kimia lain atau
dikombinasikan dengan bahan lain sehingga meningkatkan nilai fungsi
dari pati tapioka tersebut (Babic et al., 2006).
Tapioka merupakan pati yang diambil dari ubi kayu dan
dimanfaatkan sebagai bahan pangan atau bahan pembantu industri non
pangan. Namun, pemanfaatan tapioka asli ini masih sangat terbatas
karena sifat fisik dan kimia tapioka yang kurang umum untuk
digunakan secara luas. Nilai ekonomi tapioka akan lebih tinggi jika
sifat-sifatnya dimodifikasi melalui perlakuan fisik, kimia, atau
kombinasi keduanya. Tapioka memiliki komposisi kimia pati 73,3-
84,9%, lemak0,08-1,54%, protein 0,03-0,60% dan abu 0,02-0,33%.
Pati dari tapioka terdiri atas 17% amilosa dan 83% amilopektin.
Granula pati tapioka berbentuk semibulat dengan salah stu bagian
ujungnya mengerucut dengan ukuran 5-35 mikrometer. Suhu
gelatinisasinya berkisar antara 52-64oC, kristalisasi 38%, kekuatan
mengembang 42%, dan kelarutan 31%. Kekuatan mengembang dan
kelarutan tapioka lebih kecil dibandingkan pati kentang, tetapi lebih
besar daripati jagung. Menurut Wurzburg suhu gelatinisasi tapioka
antara 58,5-70,0oC, bergantung pada varietas ubi kayu yang digunakan
untuk memproduksi tapioka. Tapioka mempunyai karakteristik yang
spesifik terkait dengan suhu gelatinisasi, kemampuan mengembang
(swelling powe), dan kelarutan dibandingkan dengan pati lainnya.
Tapioka mempunyai karakteristik gel yang cukup kuat dan transparan
yang sangat mendukung sebagai komponen bahan pengisi serta perekat
(Herawati, 2012).
Cara pembuatan pati tapioka dengan ekstraksi pati dari singkong
yaitu pertama singkong yang akan diekstrak dikupas dan dibersihkan
terlebih dahulu. Kemudian hasil kupasan tersebut dicuci kembali
sebelum direndam dalam air garam 3% selama 1 jam dan kemudian
dicuci kembali dengan menggunakan air. langkah berikutnya adalah
pemarutan singkong tersebut. kemudian ditambahkan air sebesar 9 kali
berat bahan dan disaring dengan menggunakan kain saring. Lalu filtrat
dibiarkan mengendap sampai supernatannya jernih, dan kemudian
supernatannya dibuang. Kemudian endapan dicuci kembali dengan
cara menambahkan air sebanyak 9 kali berat bahan dan diaduk.
Supernatant dibiarkan sampai jernih dan dibuang lagi kemudian
pencucian dilakukan lagi hingga kurang lebih 3 kali pengulangan.
Kemudian endapan dijemur sampai kering lalu digiling dan disaring
(Muchtadi dkk.,2010).
C. Metodologi
1. Alat
a. Tabung reaksi
b. Penangas air
c. Beaker glass
d. Gelas benda
e. Gelas penutup
f. Mikroskop
g. Sendok
h. Pipet volume
i. Pipet tetes
j. Penjepit
k. Pengaduk
2. Bahan
a. Sukrosa
b. Glukosa
c. NaOH 0,1 N
d. HCl 0,1 N
e. Aquades
f. NaHCO3
g. Pereaksi benedict
h. Tepung tapioka
i. Tepung maizena
j. Larutan iod
3. Cara Kerja
a. Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Gula Sederhana
i. Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Sukrosa

2 ml Lar. Sukrosa 5%

Pemasukan dalam 3 tabung


reaksi.

Penambahan 5 ml Penambahan 5 ml Penambahan 5 ml


NaOH 0,1 N HCl 0,1 N dalam aquades dalam
dalam tabung 1. tabung 2. tabung 3.

Pemanasan selama 2-3 menit sampai mendidih (pemanasan 1).

Pengamatan terhadap perubahan warna yang terjadi.

Sejumput NaHCO3 Penambahan pada tabung 2.


kristal

Pemindahan masing-masing 2 ml larutan dalam 3 tabung reaksi baru.

Penambahan pada setiap tabung


3 ml pereaksi lalu pemanasan dalam penangas
Benedict air selama 5 menit
(pemanasan 2).

Pengamatan perubahan warna atau warna endapan.


ii. Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Glukosa

2 ml Glukosa 0,1 M

Pemasukan dalam 3 tabung


reaksi.

Penambahan 2 ml Penambahan 2 ml Penambahan 2 ml


NaOH 0,1 N HCl 0,1 N dalam aquades dalam
dalam tabung 1. tabung 2. tabung 3.

Pemanasan hingga mendidih.

Pengamatan terhadap perubahan warna yang terjadi.


b. Gelatinisasi Pati

Sebanyak sendok tepung tapioka dan tepung


maizena

Dimasukkan dalam 4 beaker glass 100 ml dan ditambahkan


aquades hingga membentuk pasta kental

Beaker 1 Beaker 1 Beaker 1 Beaker 1


ditambah 30 ml ditambah 30 ml ditambah 30 ml ditambah 30 ml
air suhu kamar air suhu 60oC air suhu 75oC air suhu 85oC

Masing-masing diambil 1 tetes dan diratakan pada gelas benda

Larutan iod Diratakan dan ditutup dengan gelas penutup


sebanyak 1 tetes

Diamati di bawah mikroskop perbesaran 10 x 10


D. Pembahasan
Table 1.1 Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Sukrosa
Pemanasan I Pemanasan II
No Kel
Sampel Warna Warna Warna Warna
. .
Awal Akhir Awal Akhir
1
2 Sukrosa Biru Biru
Bening Bening
1. 3 + NaOH Bening Bening
11 0,1 N
14
4
5 Merah
Sukrosa Biru
6 Bening Bening Bata
2. + HCl Bening
12 +
0,1 N
15 Endapan
17
7
Sukrosa Biru Biru
8 Bening Bening
3. + Bening Bening
13
Aquades
16
Sumber: Laporan Sementara
Disakarida merupakan oligosakarida yang terdiri dari dua
molekul monosakarida (Winarno, 2004). Contoh disakarida yang biasa
dijumpai dan dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari adalah sukrosa.
Sukrosa terbentuk dari gabungan 1 molekul glukosa dan 1 molekul
fruktosa. Contoh disakarida yang lain adalah fruktosa. Fruktosa
terbentuk dari gabungan 1 molekul glukosa dan 1 molekul galaktosa
(Irawan, 2007). Salah satu sifat yang dimiliki disakarida yaitu semua
jenisnya akan cenderung meningkatkan kecepatan interaksi sesuai
dengan molaritasnya. Karena mampu meningkatkan kecepatan interaksi
maka diketahui sifat lain dari disakarida adalah larut dalam air.
Disakarida larut dalam air ditunjukkan dengan adanya interaksi solute-
solute (Nithiyanantham and Palaniappan, 2013).
Fungsi penambahan pereaksi Benedict dalam pemanasan kedua
adalah untuk mengetahui adanya gula pereduksi pada sampel. Pada uji
Benedict, pereaksi terdiri dari kupri sulfat, natrium sitrat, dan natrium
karbonat. Disiapkan 5 ml pereaksi Benedict yang kemudian dimasukkan
ke dalam tabung reaksi. Lalu ditambahkan 8 tetes larutan sampel
kemudian tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit.
Munculnya endapan berwarna hijau, kuning, atau merah oranye
menunjukkan adanya gula pereduksi di dalam sampel (Winarno, 2004).
Dalam percobaan yang telah dilakukan, pada tabung 2
ditambahkan sejumput NaHCO3 kristal. Penambahan NaHCO3 berfungsi
untuk menetralkan sampel tabung 2 (NaHCO3 + HCl) sehingga dapat
menghentikan hidrolisis yang terjadi. Penetralan menggunakan NaHCO3
hanya diberikan pada tabung 2 karena pada tabung 2 sukrosa direaksikan
dengan asam yaitu HCl. Pereaksian dengan asam akan mengakibatkan
sakarida mengalami reaksi hidrolisis dengan cepat. Natrium bikarbonat
dapat menetralkan karena natrium merupakan logam alkali yang mudah
sekali melepaskan elektronnya sehingga bermuatan positif. Sedangkan
bikarbonat (HCO3) merupakan ion yang mudah terhidrolisis. Ion
bikarbonat di dalam air akan lepas menjadi CO2 dan H2O. Keduanya
merupakan senyawa sisa asam lemah, sehingga dalam air mengalami
hidrolisis (Winarni et.al., 2010).
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapat hasil pada
perlakuan 1 (sukrosa + NaOH 0,1 N) yaitu pada pemanasan pertama
warna sampel bening. Kemudian setelah dilakukan pemanasan kedua
menjadi berwarna biru bening. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada
perubahan warna baik dari pemanasan 1 maupun pemanasan 2. Ini
disebabkan disakarida tidak mengalami hidrolisis jika diberi basa.
Disakarida tidak mengalami hidrolisis jika diberi basa karena disakarida
stabil dalam kondisi alkali (basa). Pada percobaan penambahan pereaksi
Benedict berfungsi untuk mengetahui adanya gula pereduksi. Sukrosa
bukan merupakan gula pereduksi. Hal tersebut sesuai dengan teori,
karena yang termasuk dalam gula reduksi adalah monosakarida dan
disakarida kecuali sukrosa (Septiani, 2004). Pada perlakuan 2 (sukrosa
+ HCl 0,1 N) didapatkan hasil yaitu pada pemanasan pertama warna
sampel bening. Kemudian setelah dilakukan pemanasan kedua sampel
menjadi biru bening lalu menjadi merah bata dan terdapat endapan.
Larutan HCl berfungsi sebagai katalisator. Dalam hal ini berfungsi
sebagai katalisator untuk mempercepat terjadinya reaksi hidrolisis
disakarida menjadi monosakarida (Edahwati, 2010). Setelah itu larutan
dinetralkan dengan NaHCO3 dengan tujuan untuk menghentikan
hidrolisis. Hasil sesuai dengan teori, yaitu disakarida tidak stabil saat
bereaksi dengan asam. Timbulnya endapan berwarna hijau, kuning, atau
merah oranye menunjukkan adanya gula pereduksi pada sampel
(Winarno, 2004). Pada penambahan pereaksi Benedict terdapat endapan
dan warna sampel menjadi merah bata yang menunjukkan adanya gula
pereduksi hasil hidrolisis sukrosa. Pada perlakuan 3 (sukrosa + aquades)
didapatkan hasil yaitu pada pemanasan pertama warna sampel bening.
Kemudian setelah dilakukan pemanasan kedua, sampel menjadi
berwarna biru bening. Pada penambahan aquades tidak mengalami
perubahan warna dikarenakan sukrosa tidak mengalami hidrolisis
sehingga pada saat penambahan pereaksi Benedict tidak menunjukkan
adanya gula pereduksi. Pada praktikum yang dilakukan, semua
perlakuan pada sukrosa telah sesuai dengan teori.
Tabel 1.2 Pengaruh Asam dan Alkali terhadap Glukosa
No. Kel. Sampel Warna Awal Warna Akhir
1
2 5 ml Glukosa
3 +
1. Bening Kuning Bening
11 2 ml NaOH 0,1
14 N
17
4
5 5 ml Glukosa
2. 6 + Bening Bening
12 2 ml HCl 0,1 N
15
7
5 ml Glukosa
8
3. + Bening Bening
13
2 ml Aquades
16
Sumber: Laporan Sementara
Monosakarida merupakan suatu molekul yang terdiri dari lima
atau enam atom C (Winarno, 2004). Monosakarida merupakan jenis
karbohidrat yang memiliki 1 gugus cincin (Irawan, 2007). Monosakarida
yang mengandung satu gugus aldehid disebut dengan aldosa, dan
monosakarida yang mengadung satu gugus keton disebut dengan ketosa
(Winarno, 2004). Monosakarida memiliki sifat umum yaitu dapat diserap
dengan cepat dan mudah oleh usus kecil manusia. Monosakarida tersebut
adalah D-glukosa, D-galaktosa, dan D-fruktosa (Winarno, 2004). Sifat lain
dari monosakarida yaitu tidak stabil dalam suasana alkali (basa). Di dalam
suasana basa monosakarida akan mengalami dekomposisi yang
mengakibatkan terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis. Reaksi
pencoklatan non enzimatis ini merupakan reaksi yang terjadi pada gula
pereduksi dengan gugus amina primer pada suhu tertentu
(Sumaryati, 2010).
Berdasarkan praktikum digunakan 3 perlakuan yang berbeda,
yaitu penambahan NaOH, HCl, dan aquades. Dari 3 perlakuan tersebut
didapat hasil pada perlakuan 1 (sukrosa + NaOH 0,1 N) yaitu pada
pemanasan pertama warna sampel bening. Kemudian setelah dilakukan
pemanasan kedua menjadi berwarna kuning bening. Hasil ini
menunjukkan bahwa terjadi perubahan warna pada pemanasan 2. Ini
disebabkan monosakarida tidak stabil dalam kondisi asam. Kondisi yang
tidak stabil ini mengakibatkan monosakarida mengalami dekomposisi.
Pada percobaan penambahan pereaksi Benedict berfungsi untuk
mengetahui adanya gula pereduksi. Glukosa merupakan gula pereduksi.
Hal tersebut sesuai dengan teori, karena yang termasuk dalam gula reduksi
adalah monosakarida dan disakarida kecuali sukrosa (Septiani, 2004).
Pada perlakuan 2 (glukosa + HCl 0,1 N) didapatkan hasil yaitu pada
pemanasan pertama warna sampel bening. Kemudian setelah dilakukan
pemanasan kedua sampel tetap bening. Pada perlakuan 3 (glukosa +
aquades) didapatkan hasil yaitu pada pemanasan pertama warna sampel
bening. Kemudian setelah dilakukan pemanasan kedua, sampel tetap
berwarna bening. Pada penambahan aquades tidak mengalami perubahan
warna dikarenakan sukrosa tidak mengalami hidrolisis sehingga pada saat
penambahan pereaksi Benedict tidak menunjukkan adanya gula pereduksi.
Pada praktikum yang dilakukan, semua perlakuan pada sukrosa telah
sesuai dengan teori.
Tabel 1.3 Gelatinisasi Pati
Kel. Sampel Gambar Keterangan

Granula pati
masih terlihat
Tapioka
1 utuh karena
Suhu Kamar
belum
tergelatinisasi.

Granula pati
masih terlihat
Maizena
2 utuh karena
Suhu Kamar
belum
tergelatinisasi.
Granula pati
masih terlihat
Tapioka
3 utuh karena
Suhu 60oC
belum
tergelatinisasi.

Granula pati
masih terlihat
Maizena
4 utuh karena
Suhu 60oC
belum
tergelatinisasi.

Granula pati
sudah tidak
Tapioka
5 terlihat karena
Suhu 75oC
sudah
tergelatinisasi.

Granula pati
membesar
Maizena
6 karena
Suhu 85oC
menyerap
banyak air.
Granula pati
masih terlihat
Tapioka
7 utuh karena
Suhu 40oC
belum
tergelatinisasi.

Granula pati
Tapioka
8 mulai
Suhu 65oC
tergelatinisasi.

Granula pati
masih terlihat
Maizena
9 utuh karena
Suhu 40oC
belum
tergelatinisasi.

Granula pati
masih terlihat
Maizena
10 utuh karena
Suhu 70oC
belum
tergelatinisasi.

Granula pati
masih terlihat
Tapioka
11 utuh karena
Suhu 50oC
belum
tergelatinisasi.
Granula pati
masih terlihat
Maizena
12 utuh karena
Suhu 50oC
belum
tergelatinisasi.

Granula pati
sudah tidak
Tapioka
13 terlihat karena
Suhu 70oC
sudah
tergelatinisasi.

Granula pati
membesar
Maizena
14 karena
Suhu 80oC
menyerap
banyak air.

Granula pati
sudah tidak
Tapioka
15 terlihat karena
Suhu 80oC
sudah
tergelatinisasi.

Granula pati
sudah tidak
Maizena
16 terlihat karena
Suhu 90oC
sudah
tergelatinisasi.
Granula pati
membesar
Tapioka
17 karena
Suhu 95oC
menyerap
banyak air.

Sumber: Laporan Sementara


Gelatinisasi pati merupakan proses transisi fisik bersifat
endotermis yang merusak keteraturan molekuler granula dan melibatkan
proses pembengkakan granula, pelelehan kristal, hilangnya sifat
birefringence, dan pelarutan pati (Syamsir dkk., 2010). Gelatinisasi terjadi
karena adanya proses pemecahan bentuk kristalin granula pati. Proses
pemecahan bentuk kristalin yaitu pecahnya ikatan hidrogen yang
berfungsi untuk mempertahankan struktur dan integritas pati. Kerusakan
ini dapat menyebabkan setiap lapisan permukaan molekulnya dapat
menyerap air atau larut dan bereaksi dengan bahan lain dan kondisinya
tidak dapat kembali seperti semula. Gelatinisasi dapat terjadi karena
adanya air yang secara perlahan-lahan berimbibisi ke dalam granula,
kemudian granula menggembung dengan cepat dan akhirnya kehilangan
sifat birefringence-nya. Apabila suhu tetap naik maka molekul-molekul
pati terdifusi keluar dari granula (Uhi, 2006).
Gelatinisasi pati dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi proses gelatinisasi yaitu adanya garam,
jumlah fraksi amilosa-amilopektin, komposisi pati, bentuk granula, waktu,
suhu, dan pH. Adanya garam akan menghambat terjadinya proses
gelatinisasi (Imanningsih, 2012). Menurut Winarno (2004), suhu
gelatinisasi pati tapioka adalah antara 52oC-64oC dan pada pati maizena
adalah antara 62oC-70oC. Pada pati dengan jenis yang berbeda maka suhu
gelatinisasinya pun akan berbeda. Hal ini disebabkan setiap jenis pati
memiliki jumlah fraksi amilosa-amilopektin, komposisi pati, dan bentuk
granula yang berbeda-beda (Imanningsih, 2012).
Berdasarkan hasil pengamatan dalam praktikum, pada perlakuan
pati tapioka ditambah air dengan suhu kamar, ukuran granulanya kecil-
kecil dan masih rapat susunannya. Pada suhu 60oC granula pati tapioka
mulai tampak membesar, lebih renggang susunannya, dan beberapa sudah
ada yang tergelatinisasi. Hal ini disebabkan karena pada saat pemanasan
molekul pati/ granula mulai menyerap air, sehingga ukurannya menjadi
lebih besar. Pada suhu 75oC granula pati tapioka sudah pecah. Pada suhu
ini pati telah tergelatinisasi, di mana penyerapan air oleh granula pati
sangat banyak sehingga menyebabkan pecahnya granula pati tersebut.
Dengan demikian bentuk granulanya menjadi tidak beraturan. Sedangkan
pada perlakuan pati maizena ditambah air dengan suhu kamar, ukuran
granulanya kecil-kecil dan masih rapat susunannya. Pada suhu 60oC
granula pati maizena mulai tampak membesar dan lebih renggang
susunannya. Hal ini disebabkan karena pada saat pemanasan molekul pati/
granula mulai menyerap air, sehingga ukurannya menjadi lebih besar.
Pada suhu 80oC granula pati maizena mulai pecah. Pada suhu ini granula
pati tapioka tampak sangat tidak beraturan, ukuran lebih besar dan sudah
tidak berwujud seperti semula. Hal ini karena hampir semua granula pati
pecah (tergelatinisasi) akibat pemanasan yang tinggi. Hal ini sudah sesuai
dengan teori menurut Winarno (2004).
E. Kesimpulan
Bedasarkan praktikum Kimia Pangan Acara I Karbohidrat dapat
disimpulkan:
1. Disakarida stabil pada suasana alkali (basa) dan tidak stabil pada
suasana asam karena pada suasana asam disakarida akan mengalami
hidrolisis menjadi komposisi gula yang lebih sederhana.
2. Monosakarida stabil pada suasana asam dan tidak stabil pada suasana
alkali (basa) karena akan mengalami reaksi pencoklatan non enzimatis.
3. Gelatinisasi pati merupakan proses transisi fisik bersifat endotermis
yang merusak keteraturan molekuler granula dan melibatkan proses
pembengkakan granula, pelelehan kristal, hilangnya sifat
birefringence, dan pelarutan pati.
4. Suhu gelatinisasi pati tapioka adalah antara 52oC-64oC dan pada pati
maizena adalah antara 62oC-70oC.
DAFTAR PUSTAKA

Awwalurrizki, N., Surya Rosa Putra. 2008. Hidrolisis Sukrosa dengan Enzim
Invertase untuk Produksi Etanol menggunakan Zymomonas mobilis.
Prosiding Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh November.
Babic, Jurilav., Drago Subaric, Durdica Ackar, Vlasta Pilizota, Mirela
Kopjar, Nela Nedictiban. 2006. Effects of Pectin and Carrageenan
on Thermophysical and Rheological Properties of Tapioca Starch.
Journal of Food Science Vol. 24. No. 6.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, M. Wootton. 2010. Ilmu Pangan.
UI-Press: Jakarta.
Chandra, A., Hie Maria Inggrid, Verawati. 2013. Pengaruh pH dan Jenis
Pelarut pada Perolehan dan Karakterisasi Pati dari Biji Alpukat.
Jurnal Kimia Vol. 1. No. 1.
Edahwati, Luluk. 2010. Perpindahan Massa Karbohidrat menjadi Glukosa
dari Buah Kersen dengan Proses Hidrolisis. Jurnal Penelitian Ilmu
Teknik Vol. 10. No. 1.
Herawati, Henny. 2012. Teknologi Proses Produksi Food Ingredient dari
Tapioka Termodifikasi. Juranl Litbang Pertanian. Vol. 31. No. 2.
Halaman 68-73.
Imanningsih, Nelis. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-
Tepungan untuk Pendugaan Sifat Pemasakan. Penelitian Gizi
Makan. Vol. 35. No. 1. Halaman 13-19.
Irawan, M. Anwari. 2007. Karbohidrat. Polton Sports Science &
Performance Lab. Vol. 3. No. 3.
Muchtadi, Tien R., Sugiyono, Fitriyono Ayustaningwarno. 2010. Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta: Bogor.
Munarso, S. Joni., D. Muchtadi, D. Fardiaz, R. Syarief. 2004. Perubahan
Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tepung Beras Akibat Proses
Modifikasi Ikat-Silang. Jurnal Pascapanen. Vol. 1. No. 1.
Nithiyanantham, S., L. Palaniappan. 2013. Physicochemical Studies on Some
Disaccharides (Sucrose, Lactose, Maltose) in Aqueous Media at
298,15 K. Chemical Science Transactions. Vol. 2. No. 1.
Risnoyatinigsih, Sri. 2011. Hidrolisis Pati Ubi Jalar Kuning menjadi
Glukosa Secara Enzimatis. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 5. No. 2.
Halaman 417-419.
Septiani, Y., Tjahjadi Purwoko, Artini Pangastuti. 2004. Kadar Karbohidrat,
Lemak, dan Protein pada Kecap dan Tempe. Jurnal Bioteknologi
Vol. 1. No. 2.
Sumaryati, Enny. 2010. Pembuatan Leather Mengkudu (Morinda cintrifolia)
Kajian Lama Perendaman dan Konsentrasi Larutan Kapur
terhadap Kualitas Leather Mengkudu yang Dihasilkan. Fakultas
Pertanian Universitas Widyagama Malang.
Sunyoung, L., Stephen J. Valentine, James P. Riley, David E. Clemmer.
2012. Analyzing a Mixture of Disaccharides by IMS-VUVPD-MS.
International Journal of Mass Spectrometry.
Syamsir, Bvira., Purwiyatno Hariyadi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Feri
Kusnandar. 2012. Pengaruh Proses Heat-Moisture Treatment
(HMT) terhadap Karakteristik Fisikokimia Pati. Jurnal Teknologi
dan Industri Pangan. Vol. 23. No. 1. Halaman 100-101.
Uhi, Harry T. 2006. Pemanfaatan Gelatin Tepung Sagu (Metroxylon sago)
sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Jurnal Ilmu Ternak. Vol.
6. No. 2. Halaman 109.
Winarni, W. S., Sri Martini. 2010. Penetralan dan Adsorbsi Minyak Goreng
Bekas menjadi Minyak Goreng Layak Konsumsi. Jurnal Kimia Vol.
8. No. 1.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.

You might also like