You are on page 1of 23

Awal Mula Terjadinya Pawukon (zodiak Jawa)

Dikisahkan ketika batara Wisnu sedang


bercengkrama di negara Mendang, ia terpikat
oleh seorang putri cantik yang kemudian
diambil sebagai istri. Batara Wisnu tidak tahu
bahwa Putri Mendang yang ia nikahi adalah
putri simpanan batara Guru ayahnya, yang
rencananya akan dibawa naik ke Suralaya.
Tentu saja hal tersebut membuat batara Guru
murka, dan memerintahkan sanghyang Narada menjatuhkan murkanya dan mengambil alih
keratonnya. Batara Wisnu merasa bersalah, ia meninggalkan negaranya dan isterinya yang sedang
mengandung dan pergi bertapa di hutan di bawah pohon beringin berjajar tujuh.

Tersebutlah di negara Gilingwesi, yang menjadi raja bernama prabu Watu-Gunung. Istrinya dua,
yang pertama bernama dewi Sinta yang ke dua dewi Landep. Dari rahim Dewi Sinta lahirlah 27
anak laki-laki yaitu : Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Wariagung, Julungwangi, Sungsang,
Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujud, Pahang, Kuru Welut, Marakeh, Tambir,
Medangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prabangkat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dukut.
Sedangkan dari rahim dewi Landep tidak satupun anak dilahirkan.

Pada saat itu Negara Gilingwesi sedang paceklik, mengalami masa sulit. Harga kebutuhan pokok
melambung tinggi sehingga tak terjangkau. Di mana-mana terjadi bencana dan kerusakan
lingkungan. banyak rakyat kecil yang sengsara. Sering terjadi gerhana Matahari dan gerhana Bulan,
hujan salah musim, gempa bumi sehari tujuh kali. Itu semua menjadi tanda bahwa tidak lama lagi
negara Gilingwesi akan mengalami
kerusakan hebat.

Prabu Watu-Ggunung sedih melihat


kesengsaraan rakyatnya. Adakah
kesalahan besar pada diriku? Menurut
kepercayaan yang ada jika sang raja
melakukan dosa atau kesalahan yang
besar negara dan raktyanya akan ikut
menanggung kutukan. Namun pertanyaan
Prabu Watu-Gunung tidak mudah untuk
dijawab.

Pada suatu sore, Prabu Watu-Gunung


tiduran di balai panjang, kepalanya
berbantal paha dewi Sinta istrinya. Ketika
tangan Sang Dewi membelai rambut Sang
Prabu, terkejutlah ia melihat luka di kepala Prabu Watu-Gunung. Dewi Sinta bertanya kepada
suaminya, dengan suara yang bergetar dan dalam.
Kanda Prabu, mengapa ada luka di kepala? Berceritalah Kakanda, aku sangat ingin
mengetahuinya.
Prabu Watu-Gunung menceritakan masa kecilnya, ketika ia ribut meminta enthong (alat untuk
mengaduk nasi yang dibuat dari kayu) yang sedang dipakai ibunya mendinginkan nasi, sehingga
diantara ibu dan anak itu saling tarik menarik enthong. Si ibu marah, dengan spontan memukulkan
enthong tersebut pada kepala Watu-Gunung hingga berdarah. Watu-Gunung menangis. Tangisnya
tidak semata-mata rasa perih karena kulit kepalanya sobek sehingga darah keluar bercampur
keringat. Namun hatinyalah yang pedih, karena gara-gara enthong, ibunya yang selama ini ia
jadikan sumber kasih sayang begitu tega mencelakai dirinya. Bocah kecil berusia sekitar 6 tahun
tersebut lari meninggalkan rumah. Walaupun tidak mempunyai tujuan, ia tidak berniat pulang,
karena di rumah sudah tidak ada lagi cinta yang tulus dari seorang ibu.
Sampai sekarang aku tidak pernah berusaha mencari kabar tentang ibuku, apakah masih hidup
ataukah sudah meninggal. Jika masih hidup pun sudah tidak ada lagi cinta yang mengalir di sana.

Mendengar cerita sang Prabu, naluri sebagai seorang ibu terpukul karenanya. Dewi Sinta teringat
anaknya yang pergi dan tidak pernah pulang, karena hal yang sama seperti yang dialami Watu-
Gunung.. Perasaannya semakin kuat mengatakan bahwa anak di pukul dengan enthong puluhan
tahun lalu itu adalah prabu Watu-Gunung, yang sekarang menjadi suaminya.
Dewi Sinta tak kuasa menahan kesadarannya, ia terjatuh tak sadarkan diri. Prabu Watu-Gunung
terkejut penuh keheranan, Apakah penuturan masa kecilnya telah menyinggung perasaannya? Atau
ada penyakit tertentu yang menyebabkan istrinya dengan tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri?
Tak tergambarkan seberapa besar dan dalam kesedihan dan rasa sesal dewi Sinta, karena Prabu
Watu-Gunung yang menjadi suaminya dan telah memberikan benih untuk 27 anaknya, adalah
anaknya sendiri.
Oh Dewa hukuman apakah yang patut ditimpakan kepada kami berdua atas dosa besar ini? apakah
dosa ini pula yang menyebabkan negara Gilingwesi mendapat kutukan?
Semenjak kejadian itu, dewi Sinta, tidak banyak bicara, wajahnya murung. Pelayanan prabu Watu-
Gunung dan dewi Landep tidak mampu mengurangi kesedihnnya.
Ia tidak akan membuka aib ini kepada siapapun termasuk kepada suaminya yang juga anaknya.
Diam-diam ia berusaha mencari jalan agar lepas dari Sang Prabu. Entah apa yang menyebabkan
tiba-tiba dewi Sinta mempunyai rekadaya untuk menyingkirkan sang Prabu dari muka bumi.
Pada suatu waktu yang dianggap baik, dewi Sinta
mengungkapkan maksudnya kepada prabu Watu-Gunung
demikian. Jika keluhuran Sang Prabu akan
menjadi sempurna, hendaknya sang prabu memperistri
bidadari Suralaya. Pikir dewi Sinta jika Prabu
Watu-Gunung melamar bidadari Suralaya, pasti akan
terjadi perang, dan Sang Prabu akan gugur berhadapan dengan
para dewa. Itulah jalan yang dapat melepaskan dari
suaminya yang juga anaknya dan sekaligus mengubur aib dalam hidupnya..

Prabu Watu-Gunung menyambut saran isterinya dengan penuh semangat. Maka demi maksud
tersebut, sang prabu segera memerintahkan kepada para punggawa dan keduapuluh tujuh anaknya
untuk menghimpun pasukannya masing-masing. Segera setelah ribuan pasukan selesai disiapkan,
berangkatlah prabu Watu-Gunung ke Suralaya memenuhi saran isterinya, untuk melamar bidadari.
Ketika Batara Guru mendengar bahwa Raja Gilingwesi akan naik ke Suralaya, segera memanggil
para dewa. Ditawarkan kepada mereka siapakah yang berani menghadapi Prabu Watu-Gunung,
namun tidak ada satu pun diantara para dewa yang berani. Sanghyang Narada menyarankan agar
Batara Guru memanggil Batara Wisnu, putranya, dan dijanjikan, jika mampu mengalahkan Prabu
Watu-Gunung kesalahannya dimaafkan dan dosanya dihapuskan. Batara Guru menerima saran
tersebut, maka diutuslah Sanghyang Narada turun ke bumi menemui Batara Wisnu yang sedang
bertapa di bawah pohon beringin tujuh. Kesepakatan didapat, bahwa Batara Wisnu sanggup
menghadapi Raja Gilingwesi, tetapi ia mohon diijinkan kembali kenegaranya untuk menemui
istrinya yang waktu dirinya diusir atas perintah Batara Guru isterinya sedang mengandung. Waktu
itu, sebelum Batara Wisnu meninggalkan istrinya, ia berpesan:
Jika nanti anak tersebut lahir laki-laki, berilah nama Srigati.
Tentunya jika anak tersebut selamat sekarang telah menjadi jejaka, karena belasan tahun sudah
Batara Wisnu bertapa. Betapa gembiranya Batara Wisnu mendapatkan anak dan istrinya dalam
keadaan baik dan sehat. Setelah sejenak mereka saling melepas rindu, batara Wisnu
memberitahukan bahwa dirinya tidak bisa berlama-lama karena harus segera ke Suralaya, ada
perintah mendesak dari Batara Guru untuk menghadapi Raja Gilingwesi. Bambang Srigati
menyatakan diri ingin ikut ayahnya ke Suralaya, namun Batara Wisnu tidak memperbolehkan.
Dengan berat hati batara Wisnu pamit meninggalkan istri dan anaknya, menemui Sanghyang
Narada di bawah tujuh pohon beringin. raden Srigati yang ditinggal tersebut menyusul ayahnya.
Sesampainya di beringin tujuh, ia duduk di belakang Sanghyang Narada. Setelah mengetahui
putranya menyusul, Batara Wisnu berkeinginan mengajak Raden Srigati ke Suralaya. Tetapi
Sanghyang Narada tidak memperbolehkan, dikhawatirkan dapat membangunkan murkanya Batara
Guru. Akhirnya Srigati ditinggal di bawah beringin tuju. namun secara diam-diam Raden Srigati
mengikuti perjalanan Sanghyang Narada dan Batara Wisnu.
Setelah sampai di Suralaya dan menghadap Batara Guru, tiba-tiba Raden Srigati telah duduk
dibelakang ayahandanya. Ketika melihat ada pemuda tampan, Batara Guru bertanya kepada
Sanghyang Narada, siapakah anak muda tampan tersebut. Sanghyang Narada memberitahukan
bahwa ia anak Batara Wisnu yang lahir dari rahim putri di Mendang.
Mendengar jawaban Sanghyang Narada, Batara Guru sangat murka, ia berdiri dan meninggalkan
tempat duduknya. Melihat gelagat yang tidak baik, Sanghyang Narada menyusul Batara Guru.
Perintah baru dititahkan, Sanghyang Narada, diminta untuk membunuh Raden Srigati, sebagai
tumbal negara, dan memerintahkan batara Wisnu segera menghadang musuh.
Namun sebelum perintah Batara Guru itu terlaksana, diluar terdengar suara gemuruh bersamaan
datangnya musuh. Batara Guru gemetar ketakutan, minta pertimbangan kepada Sanghyang Narada,
bagaimana sebaiknya. Sanghyang Narada menyarankan agara batara Guru membatalkan niatnya
untuk membunuh Raden Srigati. Karena hal tersebut akan membuat Batara Wisnu tidak mau
perang menghadang musuh, dengan demikian musuh akan dengan leluasa dapat merusak Suralaya.
Batara Guru menuruti saran Sanghyang Narada, dan memutuskan tidak jadi membunuh Raden
Srigati. dan segera memerintahkan Batara Wisnu untuk menghadapi musuh.
Batara Wisnu bersama dengan anaknya keluar dari tempat para dewa untuk menghadapi raja
Gilingwesi. Setelah berhadap-hadapan dengan prabu Watu-Gunung, sang raja menawarkan perang
dengan cara cangkriman (teka-teki). Jika Batara Wisnu dapat menebak cangkrimannya, Prabu
Watu-Gunung dengan sukarela menyediakan diri untuk dibunuh. Tetapi jika Batara Wisnu tidak
dapat menebak cangkriman, para dewa di Suralaya segera menyerah, dan menyerahkan para
bidadari untuk diambil isteri.
Batara Wisnu menuruti apa yang di kehendaki Prabu Watu-Gunung. Maka sang raja membeberkan
cangkrimannya. Ada sebuah pohon kecil tetapi buahnya besar dan ada pohon besar tetapi buahnya
kecil, pohon apakah itu? Cangkriman tersebut di tebak oleh Batara Wisnu. Bahwa pohon yang kecil
besar buahnya adalah pohon semangka. Sedangkan pohon yang besar kecil buahnya adalah pohon
beringin. Sang raja tidak mampu berkata-kata, seperti janjinya ia menyerahkan dirinya. Batara
Wisnu melepaskan senjata Cakra, dan Prabu Watu-Gunung tewas di medan perang. Balatentara
yang berjumlah besar melarikan diri meninggalkan Suralaya.
Sepeninggalnya prabu Watu-Gunung, Dewi Sinta menangis berkepanjangan, hatinya sangat
bersedih. Dampak dari kesedihan Dewi Sinta para dewa di Suralaya gelisah hatinya, mengalami
situasi yang tidak menyenangkan. Dan hal tersebut bakal mendatangkan huru-hara besar. Batara
Guru bertanya kepada Sanghyang Narada, apa yang menyebabkan gara-gara ini. Sanghyang Narada
memberitahukan bahwa penyebabnya adalah menangisnya Dewi Sinta karena bersedih atas
meninggalnya Prabu Watu-Gunung. Batara Guru lalu memerintahkan kepada Sanghyang Narada
untuk turun menemui Dewi Sinta agar mau menghentikan tangisnya, dan dijanjikan dalam tiga hari
Prabu Watu-Gunung akan dihidupkan lagi, dan menjadi raja kembali di Negara Giling-Wesi. karena
janji itu Dewi Sinta menghetikan tangisnya, dan saat itu juga sasana di Suralaya menjadi tenang
kembali.
Namun setelah sampai tiga hari, Prabu Watu-Gunung tidak kelihatan datang, Dewi Sinta nangis
kembali, dan mendatangkan kegelisahan dan kekacauan yang lebih besar di Suralaya. Batara Guru
bertanya lagi kepada Sanghyang Narada apa penyebabnya gara-gara ini. Sanghyang Narada berkata
bahwa gara-gara ini disebabkan oleh hal yang sama yaitu tangis Dewi Sinta, kareana sudah tiga hari
Prabu Watu-Gunung belum kembali ke negara Gilingwesi.
Kemudian Batara Guru memerintahkan Sanghyang Narada, untuk menghidupkan Prabu Watu-
Gunung, serta mengembalikan di negara Gilingwesi.
Setelah Prabu Watu-Gunung dihidupkan oleh Sanghyang Narada, disuruh kembali di Gilingwesi, ia
tidak mau, dikarenakan sudah kerasan di surga. Bahkan Prabu Watu-Gunung memohon agar kedua
isterinya dan ke 27 anak di angkat ke surga, menjadi satu dengannya. Guru mengabulkan
permohonan tersebut, serta memerintahkan agar mengangkat isteri dan anak Prabu Watu-Gunung
ke surga.
Proses pengangkatan dua isteri serta 27 anak Prabu Watu-Gunung ke surga dilakukan satu persatu
pada setiap minggu. Inilah permulaan adanya 30 wuku yang dijadikan dasar perhitungan Pawukon
atau zodiak Jawa.
Seperti yang telah dijanjikan Batara Guru kepada Prabu Watu-Gunung bahwa dua isterinya dan 27
anaknya akan diangkat ke surga. Proses pengangkatannya dilaksanakan pada setiap minggu.
Diurutkan mulai dari isterinya yaitu Dewi Sinta dan Dewi Landep, kemudian anak-anaknya. mulai
dari anak yang sulung dan disusul adik-adiknya.
Perlu diketahui bahwa setiap tahun Dewi Sinta melahirkan anak laki-laki kembar hingga sampai 13
kali. Sedangkan anak laki-laki yang lahir ke 14 tidak kembar. Nama-nama isteri dan anak Prabu
Watugunug itulah yang kemudian dijadian nama wuku yang berjumlah 30. Karena proses
pengangkatan ke surga setiap minggu, maka setiap satu wuku berumur 7 hari, dimulai dari hari
minggu hingga hari Sabtu, sehingga satu putaran keseluruhan wuku atau pawukon = 30 x 7 hari =
210 hari.

Pengetahuan mengenai wuku-wuku disebut Pawukon, yang di dalamnya membeberkan pengaruh


baik dan pengaruh buruk bagi seseorang yang dilahirkan pada wuku yang bersangkutan. Watak
tabiat dari masing-masing wuku tersebut dipengaruhi oleh dewa yang menaunginya, serta atribut
yang dibawanya. Atribut tersebut seperti misalnya: burung, kayu pohon dan yang lain.

Siapa sesungguhnya Watugunung? Dalam sejumlah


lontar, Watugunung disebut sebagai seorang yang kuat
dan sakti. Dalam lontar Medang Kemulan,
Watugunung diceritakan sebagai putra dari Dewi
Sintakasih, permaisuri Kerajaan Kundadwipa.
Disebutkan Raja Danghyang Kulagiri yang memerintah di
Kundadwipa. Raja ini mempunyai dua istri yakni
Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Suatu ketika
Danghyang Kulagiri sedang bertapa di Gunung Semeru.
Sementara istrinya, Dewi Sintakasih sedang mengandung.
Semakin hari perut Dewi Sintakasih semakin membesar. Akhirnya Dewi Sintakasih dan Dewi
Sanjiwartia memutuskan untuk menyusul Danghyang Kulagiri ke Gunung Semeru. Ternyata dalam
perjalanan menuju puncak gunung, Dewi Sintakasih melahirkan tepat di atas batu besar yang datar.
Sang bayi yang dilahirkan terjatuh. Namun anehnya, sang putra tidak apa-apa, malah batunya
terbelah menjadi dua.
Atas anugerah Dewa Brahma, bayi Dewi Sintakasih itu diberi nama I Watu Gunung. Dewa Brahma
bersabda Watu Gunung akan menjadi orang sakti dan terkenal serta tidak akan mati terbunuh oleh
Dewa, Danawa, Detya, Asura maupun manusia. Ia tidak akan mati di malam hari, di siang hari, di
alam bawah atau di alam atas serta tak akan mati oleh segala jenis senjata. Namun, Dewa Brahma
memberitahu rahasia, Watuy Gunung hanya akan mati di tangan Dewa Wisnu.
Watu Gunung kecil tumbuh terlalu pesat. Nafsu makannya sangat besar hingga membuatnya ibunya
kewalahan. Suatu hari, Watu Gunung meminta makan dan ibunya tidak mampu menahan emosi
langsung memukul kepala anaknya dengan sendok nasi hingga terluka dan berdarah.

Karena dipukul Watu Gunung minggat dari istana


menuju Gunung Himalaya. Di gunung ini ia menjadi
perampok. Lantaran kesaktiannya, tidak ada
yang bisa melawannya. Raja Giriswara yang menguasai
wilayah itu mendengar cerita soal Watu Gunung lalu
menyerangnya. Namun, serangan itu bisa
dipatahkan. Malah sebaliknya, Watu Gunung membunuh
Raja Giriswara lalu menguasai kerajaannya. Sesudahnya,
Watu Gunung menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya. Ada 27 kerajaan yang berhasil
ditaklukkannya.
Kini tinggal kerajaan Kundadwipa yang belum ditaklukkannya. Di sana berkuasa dua raja
perempuan bernama Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia yang tidak lain ibunya sendiri.
Akhirnya, kerajaan ini pun bisa ditaklukkan dan keduanya dinikahi.

Saat berkasih-kasihan, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia sedang mencari kutu di kepala
Watugunung. Saat itulah dilihat ada luka di kepala Watugunung. Dewi Sintakasih pun sadar itu
adalah putranya. Saat bersamaan terjadilah gempa bumi yang dahsyat. Dewa Siwa yang tahu gempa
bumi itu diakibatkan adanya seorang manusia mengawini ibunya sendiri lalu mengutuk
Watugunung akan mati di tangan Dewa Wisnu.
Dewi Sintakasih teringat akan rahasia yang diberikan Dewa Brahma bahwa anaknya akan mati di
tangan Dewa Wisnu. Dewi Sintakasih yang sedang hamil pun mengatakan dirinya ngidam dan
meminta Watugunung untuk menjadikan Dewi Sri, istri Dewa Wisnu sebagai madu.
Watugunung pun menemui Dewa Wisnu dan menyampaikan maksudnya. Terang saja Dewa Wisnu
murka. Terjadilah kemudian pertempuran yang hebat antara Wisnu dan Watugunung. Dewa Wisnu
menjelma menjadi kurma (kura-kura) dan berhasil mengalahkan Watugunung. Saat dia dikalahkan
itu dinamai Watugunung Runtuh.
Dari kisah ini kemudian lahir 30 wuku. Wuku pertama yakni Sinta dan Landep yang diambil dari
nama ibunya, Dewi Sinta dan Sanjiwartia. Wuku terakhir adalah nama Watugunung sendiri. 27
nama wuku lainnya diambil dari nama kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan Watugunung. (b.)
Cerita Watu Gunung dalam Lontar Medangkemulan dan Lontar Medan Kamulan
2:21 AM
Epos
HINDUALUKTA-- Pernah mendengar sebutan Watugunung atau Watu Gunung. Kalau orang yang
suka baca cerpen pasti sudah pernah dengan. Dalam lontar medangkemulan disebutkan bahwa
Watugunung memiliki wuku dengan urip 8 dan bilangan 30. (lontar medangkemulan adalah salah
satu acuan lontar dalam perhitungan kalender Bali).
Diceritakan bahwa Watugunung merupakan anak raja Kundadwipa yang bernama Dang Hyang
Kulagiri dan ibunya bernama Dewi Sintakasih. Kisah cerita watu gunung berawal dari Sang Raja
Dang Hyang Kulagiri berkata kepada kedua istrinya, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia, bahwa
dirinya akan pergi ke Gunung sumeru untuk menjalankan tapa.
Maka dari itu, dia berpesan kepada kedua istrinya menjaga diri dan merestui kepergianya. Setelah
cukup lama pergi Dewi Sintakasih sudah hamil tua dan akan segera melahirkan. Akhirnnya Dewi
Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia memutusakan untuk mencari suaminya ke gunung Sumeru.
Setelah lama berjalan maka tibalah mereka ke lereng Gunung Sumeru. Tak lama kemudian perut
Dewi Sintakasih sakit. Di atas batu yang datar dan lebar, keduanya melepaskan lelahnya. Tak lama
kemudian Dewi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki dan pecahlah batu tersebut karena tertimpa
badan si bayi. Melihat kejadian itu Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia sangat sedih.
Ketika itu juga turunlah Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya
mereka bersedih. Sang Dewi menghormat sambil menjawab; "Ya, yang terhormat batara, hambamu
ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak hamba baru mulai hamil hingga
sekarang. Sampai kelahiran putra hamba ini belum juga beliau datang (kembali), itulah sebabnya
hambamu ini bersedih hati," kata sang dewi.
Itulah ungkapan kesedihan kedua dewi tersebut kepada Ida Hyang Padmayoni yang disebut sebagai
Dewa Brahma. Mendengar cerita kedua putri tersebut Dewa Brahman sangat bahagia dan
mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat
tidak terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun
pada siang hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali Dewa
Wisnu.
Di waktu yang sama pun Dewa Brahman memberi bayi tersebut nama I Watugunung. "Dan karena
bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama I Watugunung."
Usai itu Dewa Brahma kembali ke Kahyangan yang disebut Brahma Loka. Setelah itu sang dewi
keduanya ke kraton dengan memangku seorang putra. Tersebutlah bayi itu mengalami
pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan meladeni bayinya untuk
memberi makan karena bayinya makan amat kuat. Melihat kejadiaan itu, kedua sang Dewi sangat
heran.
Sering satu kali masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali makan tanpa ada sisanya. Hal
tersebut akhirnya berlangsung terus menerus hingga suatu hari ibunya sedang memasak di dapur,
datanglah sang Watugunung mendekati ibunya seraya minta nasi untuk dimakan.
"Anakku bersabarlah menunggu sementara ini nasinya belum masak," kata sanng ibu.
Mendengar kata sang ibu, Watugunung tidak menghiraukan dan melahan mendesak supaya cepat-
cepat memberikan nasi karena perutnya sudah lapar. Karena tidak tahan ketika itu pula sang
Watugunung mengambil dengan sendiri tanpa bantuan ibunya, dan langsung nasi yang sedang
dimasak itu disantapnya sampai habis tidak menghiraukan sudah matang atau belum.
Melihat ketidaksopanan putranya, ibunya menjadi sangat marah dan langsung mengambil sodo
(siut) dan memukul putranya tepat di kepalanya sampai berlumuran darah, sang Watugunung
menangis terisak-isak menahan luka yang diderita. Akibat dari hal itu, Watugunung meninggalkan
kraton karena saking krodha dengan marahnya menuju gunung Emalaya.
Diceritakan dalaam perjalanan, Watugunung berbuat seenaknya. Ketika lapar merampok makanan
rakyat dan langsung dimakannya. Meliahat kejadian itu, masyarakat di lereng Gunung Emalaya
merasa sangat heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan dari
penduduk sekitar.
Kejadian itu terus terjadi samapi mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena
penduduk merasa kewalahan akhirnya masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara. Mendengar
laporan itu raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu juga memerintahkan rakyatnya
untuk menghabisi sang Watugunung.
Mendapat perintah dari sang raja, seluruh lapisan kekuatan daerah itu menyerang sang
Watugunung dengan merebutnya dan memukul dengan bermacam-macam senjata. Namun sayang
seluruh serangan dan seluruh senjata penyerang tidak ada yang mempan. Watugunung makin
mengada ada.
Dia terus mengobrak-abrik dan menyerangnya, menghancurkan kelompok penyerang yang hebat
itu. Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari terbirit-birit untuk menyelamatkan jiwanya dari
kepungan Watugunung. Raja kemudian bertambah emosi mendengar kejadian itu.
Akhirnya sang raja memutuskan untuk maju ke medan perang. Terjadilah perang tanding antara
raja Giriswara dengan Watugunung, yang sama-sama hebat dan sakti dalam peperangan. Setelah
berlangsung 7 hari, Raja Giriswara gugur dikalahkan Watugunung, sehingga raja Giriswara tunduk
dan menghormat kepada sang Watugunung.
Watugunung melanjutkan serangan mengarah ke kerajaan Pasutranu yang rajanya bernama Prabu
Kuladewa. Karena serangan yang dilakukan Watugunung rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka
terjadilah pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya dengan pertempuran di kerajaan Girisrawa.
Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung. Hingga akhirnya mereka lari
tunggang langgang menyelamatkan jiwanya masing-masing.
Raja Kuladewa pun dapat dilenyapkan Watugunung. Setelah itu, maka selanjutnya menyerang raja
Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja Sunsang dan yang lainnya
dengan mudah dapat ditundukkan. Daru 27 kerajaan semuanya dengan mudah dikalahkan.
Semuerhadap Watugunung. Kesaktian ini diperolehnya pada saat lahirnya di kaki Gunung Sumeru
dari Sang Hyang Padmayoni. Setelah 150 tahun sang Watugunung memerintah daerah jajahannya.
Suatu saat Watu Gunung kemudia bertanya kepada para raja yang telah di taklukan.
"Hai para raja apakah ada raja yang hebat lagi yang belum aku tundukkan?"
Para raja kemudian menjawab:
"Daulat tuanku maha raja Girisila Emalaya, masih ada dua orang raja lagi yang belum tuanku
tundukkan yaitu keduanya perempuan yang amat rupawan bertahta di negara Kundadwipa yang
sangat diagungkan oleh rakyatnya dan dihormatinya. Jika tuanku dapat mengalahkannya kedua
raja itu sangat patut untuk dijadikan permaisuri tuanku raja," kata para raja.
Mendengar keterangan dari para raja itu, Maharaja Girisila memerintahkan kepada rakyatnya
supaya mempersiapkan diri lengkap dengan persenjataan guna menyerang kerajaan Kundadwipa.
Berita ini, kemudian didengar kerajaan Kundadwipa maka dari itu rakyat Kundadwipa bersiap-siap
untuk menyambut tamu yang tak diundang itu.
Pada saat terjadinya pertempuran yang sengit, seram sampai aliran darah dari para korban
menganak sungai. Perwira yang gagah berani sama-sama tidak ada yang mau menyerah pantang
mundur. Korban dari kedua belah pihak makin banyak.
Akhirnya pihak Kundadwipa pun gugur dalam pertempuran. Kedua raja perempuan itu dikawini,
karena lupa padahal itu adalah ibunya sendiri. Setelah lama bersuami istri, sang Watugunung
menyuruh kedua permaisurinya untuk mencari kutu di kepala suaminya.
Dalam perkerjaan memburu kutu itu terjadilah gempa bumi, hujan dengan lebatnya disertai angin
dan disambung oleh petir yang mengguntur di langit. Para dewa sangat khawatir melihat peristiwa
itu.
Para dewa menghadap ke Dewa Siwa dan bertanya?
"Haturnya yang mulia batara Siwa apakah sebabnya terjadi gerakan-gerakan alam yang hebat
seperti sekarang ini?"
Dewa Siva kemudian menjawab:
"Kemungkinan besar ada manusia yang berbuat tidak sesuai dengan perikemanusiaan, tidak sesuai
dengan tata susila, membenarkan yang tidak benar berlaku seperti binatang," kata Dewa Siwa
kepada para Dewa.
Dewa Siwa segera memanggil pendeta para dewa yaitu Bhagawan Narada (Rsi Priarana) agar
segera menyelidiki perbuatan manusia di dunia yang menyebabkan gerak alam yang dasyat ini.
Dang Hyang Narada turun menyelidiki perbuatan manusia di dunia ini.
Dan terungkalah sang Watugunung sedang asyiknya berkutu dengan kedua istrinya. Dang Hyang
Narada kembali ke Siwa Loka (Swah Loka). Melaporkan kejadian itu kepada Dewa Siwa.
"Yang mulia Dewa Siwa kami datang dari dunia melaporkan hasil dari penyelidikan yang
kami lakukan dengan sangat teliti ternyata memang memang ada manusia berbuat yang tidak
memenuhi tata susila kemanusiaan yaitu sang Watugunung mengambil kedua ibunya dipakai istri".
Dewa Siwa kemudian bertutur dengan kemarahan dan langsung mengutuk Watu Gunung: "Hai kau
sang Watugunung semoga engkau mati dibunuh Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) karena
perbuatan yang sangat dursila itu yaitu mengambil ibu kandung dipakai sebagai permaisuri
(memperistri ibu kandung), "mengambil babu sodaran, mengambil tumin temen, kewaulan, babu
dimisan, keponakan ring nyama, rerama ringmisan, suta sodaran dan cucu".
Dari semua ungkapan diatas merupakan larangan, tidak boleh dijadikan istri. Bila ada manusia yang
melakukan hal itu, patut dibuang ke laut, dan jiwanya supaya disiksa oleh rakyat batara Yama pada
alam neraka (Bhur Loka). Jika kelak menjelma agar dalam kehidupannya selamanya menderita
kesengsaraan.
Itulah kutuk Sang Hyang Tri Purusa di saat kemarahnya memuncak:
Diceritakan selanjutnya suatu hari sang Watugunung melakukan pemburuan kutu yang dilakukan
oleh kedua istrinya. Tiba-tiba kedua istrinya tercengang seketika, karena melihat bekas luka pada
kepala yang sedang dielus-elusnya itu. Teringatlah sang Dewi dengan perbuatannya yang terdahulu
yaitu memukul kepala putranya dengan sodo (siut) sehingga menimbulkan luka di kepala putranya
demikian pertimbangan di dalam hati, beliau tidak dapat berbuat apa-apa hanya diam tercengang,
bahwa yang dipakai suami adalah anaknya sendiri.
Percakapan yang tadi ribut dangan seketika menjadi hening. Watugunung kemudian bertanya
kepada kedua permaisurinya:
"Hai adinda kenapa diam seketika apa yang menyebabkan coba jelaskan supaya kakanda
mengetahui hal itu,"
Dengan terdiam sejenak, dadanya merasa sesak, sang Dewi kemudian menjawab.
"Ampun tuanku raja, adapun yang menyebabkan kami berdiam karena karena kami ngerempini
(ngidam),"
Watugunung balik bertanya:
"Bagaimana adinda mengidam? Apa yang adinda idamkan katakanlah?"
Sang Putri kemudian bertanya:
"Suamiku yang terhormat, kami mengingini seorang pembantu yang tidak boleh lain daripada
permaisuri Sang Hyang Wisnu".
Sang raja kemudian bertanya: "Istriku aku tidak mengetahui tempat Sang Hyang Wisnu, apakah
dinda berdua mengetahuinya?
Dewi Menjawab; "Oh tempat Sang Hyang Wisnu ada di bawah tanah."
Raja menjawab; "Ya kalau demikian kanda bersedia untuk mencarinya."
Watugunung mulai memusatkan pikirannya (angrana sika) dengan mantap, sehingga dengan
kekuatan batinnya tanah (bumi) ini pecah sampai pada lapis yang ketujuh. Kemudian ia turun dan
diambut langsung Aribuana.
Aribuana bertanya "Apa maksud kedatanganmu? mohon dijelaskan".
Watugunung menjawab:
"Aum Batara, kedatanganku kemari, sebab berita yang kudengar di dunia, bahwa Batara adalah
yang amat pengasih, apa saja yang diminta oleh manusia Batara izinkan,"
"Apa yang kau sebutkan itu memang benar" ujar Sang Hyang Wisnu.
Watu Gunung kemudian melotarkan satu permintaan. "Jika engkau memang mencintai diriku, saya
mohon permaisuri Hyang Wisnu bagaimana engkau izinkan bukan, katakanlah segera?"
Wisnu Menjawab "Oh permintaanmu bukan perilaku manusia, permintaanmu tidak benar, tidak
boleh meminta istriku cobalah minta yang lainnya, tentu aku akan penuhi, kehebatan, senjata dan
lain-lainnya,"
Watu Gunung kemudian berkata:
"Jika demikian halnya Dewa Wisnu berbohong tidak menepati (tidak setia) kepada ucapan
namanya, oh janganlah mengaku pada sadhu dharma (beriman dan saleh), kamu berikan atau tidak,
kalau kamu berikan istrimu engkau selamat, kalau tidak engkau izinkan berbahayalah engkau,"
Kata watu Gunung dengan kemarahan.
Wisnu kemudian menjawab "Aum, seperti apa yang kamu katakan, kalau aku tidak izinkan,
bagaimana kehendakmu cobalah bilang".
Watu Gunung: "Kalau Batara tidak izinkan, marilah segera kita berperang. Apakah kamu berani?
katakan," kata Watu Gunung dengan kata-kata kasar di puncak kemarahan.
Begitu pula Hyang Wisnu (sangat marah) dan menjawab:
"Kalau benar seperti apa yang kamu katakan, aku betul-betul tidak memenuhi permintaan, karena
apa yang kamu katakan hal itu tidak benar (tidak wajar)".
Maka terjadilah pertempuran yang amat dasyat saling kejar mengejar, tusuk menusuk, pukul
memukul dengan garangnya. Tujuh puluh yuga lamanya Sang Hyang Wisnu berperang melawan
sang Watugunung, seribu kepalanya, dua ribu tangannya, dua ribu kakinya, matanya seperti
bintang, amat menakutkan, rupanya seperti api berkobar-kobar menyala.
Hyang Wisnu memurti (membesar wujudnya) beliau berupa kurma, berlidah cakra, bertaring tajam
(suligi), atau (berbelai) bajra yang amat utama, amat dasyat wujut kura-kura itu, besar badannya.
Akibat Watugunung tidak dapat dikalahkan atas sabda Brahman yakni tidak bisa dibunuh dewa,
tidak terkalahkan oleh manusia, tak dikalahkan oleh bhuta, pisaca, tidak mati dibawah maupun di
atas, tidak mati oleh raksasa dan detya yaksa sura. Maka berubahlah Hyang Wisnu menjadi
Badawang (Kurma), yang amat menakutkan, barulah beliau berperang.
Akibat dari peperangan tersebut, gelombang laut yang murka, bergetarlah dunia ini, sehingga
menyebabkan para dewa sibuk bertanya. Siwa pun berkata kepada para dewa:
"Hai anakku semua, apakah kiranya yang terjadi sehingga terjadi getaran-getaran yang hebat"
Katakanlah?
Bhagawan Narada muncul dan menjawab;
"Seperti apa yang batara katakan, hal itu terjadi karena ada manusia yang congkak berbuat yang
tidak wajar, tidak lain manusia itu adalah si Watugunung, minta permaisuri dari Sang Hyang
Wisnu, itulah yang menyebabkan terjadinya pertempuran, karena perbuatan si Watugunung amat
berdosa".
Mendengar Ucapan Narada Batara Sangkara mengeluarkan kutukan terhadap Watu Gunung:
"Jah tah smat, semoga si Watugunung mati, karena perilakunya yang amat berdosa mau
memperistri dari salah seorang dewa, terus-menerus sampai pada penjelmaan kelak kemudian hari
terbunuh oleh kebesaran Hyang Ari," itulah kutuknya.
Selanjutnya dikatakan bahwah pertempuran terus menerus hingga Hyang Ari berhadapan dengan
si Watugunung, lalu keluarlah api yang amat hebat dari kurma perwujudan Hyang Wisnu,
disemburlah si Watugunung, dibelit oleh bajra ditikam dengan cakra (senjata dewa Visnu). Dan
akhirnya si Watu Gunung dapat ditaklukan.
Dengan senjatah Dewa Visnu yang tembus dada, Watu Gunung Bersabda: "Ih Hyang Wisnu
sekarang matilah aku dengan marahnya lalu mengatakan, aku tidak akan henti-hentinya
bermusuhan dengan dirimu, sampai kepada penjelmaanku yang ketujuh aku tidak akan melupakan
hal ini,"
Dewa Visnu menjawab: "Benar katamu itu, tetapi dimanakah engkau akan menjelma? Katakanlah!"
Watugunung menjawab: "aku akan menjelma di Lengka dengan nama Dasasia dan sebaliknya
menanyakan kepada Hyang Wisnu di mana akan menjelma nanti?"
Visnu Kemudian bersabda; "Ih Watugunung, kalau demikian katamu aku akan menjelma di
Yodyapura; pada maharaja Dasaratha dan setiap kali aku lahir, selalu dapat membunuh dirimu!"
Usai mengeluarkan kata-kata tersebut akhirnya meninggallah Watugunung.
Itulah Cerita yang dimuat dalam Lontar Medangkamulan lembar 1a 9b.
Versi berbeda kisah Watu Gunung yang pernah termuat dalam majalah Bhagawanagara, (dari
lontar Medan Kamulan).
Diceritakan:
Istri Watugunung keduanya minta permaisuri sang Hyang Wisnu sebagai pembatunya (babu),
dengan segera sang Watugunung mengutus sang Warigadian ke Surga, membawa surat ke hadapan
Hyang Ari (Dewa Wisnu). Mendapat Surat itu, Dewa Wisnu sangat marah.dan langsung menantang
sang Watugunung untuk bertempur.
Mendengar perkataan tersebut, Watugunung menjadi marah, dan memerintahkan memukul
kentongan, rakyatnya semua berkumpul lengkap dengan senjata, segera menyerbu ke surga.
Terjadilah perang antara kedua pihak, sampai Sang Hyang Wisnu merasa tertekan karena serangan
dari pasukan Watugunung.
Terjadilah pertempuran yang sangat dasyat bunuh membunuh antara kedua pihak, sampai Sang
Hyang Wisnu merasa tertekan karena serangan dari pasukan Watugunung.
Watugunung sedang berada di tempat tidur disertai oleh kedua orang permaisurinya. Istri sang
Watugunung menanyakan kejadian peperangan yang telah terjadi.
Watu gunung kemudian menjawab:
"Janganlah adikku berdua memberitahu kepada orang lain (awywa wera), kesaktianku ini tidak
akan dapat dikalahkan oleh para dewa, bhuta, danawa, kala, raksasa, manusia. Namun ada yang
dapat mengalahkan, jika ada orang sakti (nara wisesa) berwujud kurma (empas/badawang),
berkuku yang kuat itulah yang dapat membunuh diriku,"
Percakapan tersebut sampai di telinga Bhagawan Lumanglang dan segera kembali ke surga,
menghadap Dewa Wisnu seraya memberitahukan keadaan Watugunung. Besok paginya sekitar
pukul 9 (dawuh tiga), Dewa Wisnu sudah berwujud kurma, berkepala seribu, kuku tanganya sangat
panjang dan sangat kuat, segera berangkat untuk bertempur melawan sang Watugunung.
Hari itu juga adalah hari Redite Kliwon. Setelah sekian lama bertempur akhirnya Watugunung
dapat ditundukkan dan tergeletak di tanah (mrecapada). Maka dari itu, disebut Watugunung mati
terbunuh oleh Batara Wisnu. Hari itupun diberinama "Candung Watang", dan esoknya hari
Anggara Pahingnya mayatnya ditarik-tarik oleh Sang Lumanglang, sehingga hari itu disebut hari
paid-paidan.
Hari Budha Pon datanglah Bhagawan Budha, sang Watugunung dihidupkan kembali, tetapi hanya
satu dauh, kemudian dibunuh kembali oleh Batara Wisnu, hari itu disebut Budha Urip. Kemudian
Hari Wrhaspati datanglah Bhagawan Wrhaspati dengan rasa kasihan benar kepada Watugunung,
sehingga dihidupkan kembali tetapi sebentar, kemudian dibunuh kembali oleh Hyang Wisnu, hari
itu disebut Panetan.
Hari sukra Kliwon, Dewa Siwa mengetahui bahwa Watugunung mati dan turunlah beliau
untuk menghidupkan kembali Watugunung, harinya disebut dengan Pangredanan. Saat itu juga
Batara Wisnu ingin membunuhnya lagi namun dicegah oleh Dewa Siwa dan berkata
"Hai anakku, janganlah hendaknya sang Watugunung dibunuh, biarkanlah untuk hari-
hari selanjutnya supaya diingat orang sebagai bahan pertimbangan atau perbandingan."
Batara Wisnu kemudian menjawab:
"Yang Watugunung amat besar dosanya, mengawini orang yang sudah bersuami dan memperistri
ibunya sendiri. Dikemudian hari tidak boleh orang yang sudah bersuami dan memperistri ibunya
sendiri."
Kemudia Dewa Wisnu kembali mengutuk Watugunung
"Tiap-tiap enam bulan engkau runtuh (jatuh),"
Watugunung kemudian menjawab;
"Baiklah hamba menuruti sabda tuanku, hamba mohon apabila hamba jatuh di darat hendaknya
turun hujan dan bila hamba jatuh di laut supaya hari panas terik, agar hamba tidak kedinginan."
Dewa Visnu pun mengabulkan semua permohonan Watugunung serta rakyat sang Watugunung
serta pada Dewa yang menjadi korban dalam pertempuran itu dihidupkan kembali. Itulah
cerita Mitologi Hindu Dharma, Watugunung menjadi terbawah dan terakhir dari pawukon, yang
juga disebutkan Hari Raya Saraswati sebagai perayaan ilmu pengetahuan yang dirayakan pada
wuku watugunung.

SEJARAH WUKU
Sejarah WUKU
Wuku adalah perlambang dari sifat-sifat manusia yang dilahirkan pada hari-hari tertentu seperti
layaknya horoskop atau perbintangan yang kita kenal. Adapun maksud dan tujuan diciptakan wuku
oleh para leluhur Jawa, adalah untuk mengetahui karakter manusia pada sisi kebaikkan dan
keburukkannya, saat-saat sialnya, dan doa penangkal dan keselamatannya.
Adapun sejarah asal-usulnya wuku yang berjumlah 30 macam sebagai berikut :
Di ceritakan ada dua putri bersaudara yang bernama dewi Shinta dan dewi Landep, dua-duanya
diperistri oleh seorang pandita yang bernama Resi Gana., Resi Gana ini adalah putra dari Bethara
Temburu dalam ceritanya dalam memperistri dua putri tersebut, Resi Gana belum mendapatkan
putra dan cintanya dikarenakan usianya yang sudah tua serta buruk rupa, pada suatu malam
karena cinta kasihnya pada salah satu istrinya ( Dewi shinta ) sang Resi mendapatkan kekecewaan
karena perilaku sang Dewi Shinta tersebut.
Sehingga menyebabkan sang Resi menjadi muksa ( menghilang secara gaib ). Pada saat itu sang
Resi sempat mengucap / bersabda kepada Dewi Shinta Pada suatu kelak nanti wiji yang tertanam
dalam rahimnya akan menghasilkan anak laki-laki agar diberi nama Raden Watu Gunung .
Singkat cerita Dewi Shinta akhirnya hamil dan mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi
nama seprti sabda tersebut, sang bayi menjelang akhir dewasa nafsu makannya luar biasa / tidak
lumrah seperti bayi-bayi yang lain, hingga pada sutau saat ketika Dewi Shinta menanak nasi Raden
Watu Gunung mengis sesengguhan, saking kesalnya Dewi Shinta memukul dengan entong ( sendok
nasi ) kemudian Watu Gunung kecewa sekali lalu pergi tanpa pamit.
Setelah selesai menanak nasi Dewi Shinta mencari putranya, akan tetapi tidak pernah ketemu.
Saking susah hatinya Dewi Shinta dibantu Dewi Landep bertapa di pedepokan ( rumahnya ) dalam
pertapaannya akhirnya dua putri tersebut mendapatkan kesaktian yang luar biasa, sehingga
banyak pandita-pandita yang lain banyak belajar ilmu dan ingin melamarnya. Tetapi semuanya
ditolak, bahkan ada seorang resi yang sangat sakti pun yaitu Resi Tama bahkan ingin memaksanya
untuk memperistrinya. Hal ini mengakibatkan dua putri tersebut lari tunggang langgang, inipun
masih dikejar resi Tama. Para Pandita yang lain mendaptkan kabar ini akhirnya berbalik menjadi
belas kasihan dan akhirnya memburu sang Resi Tama. Dalam peperangan sang Resi Tama dapat
mengalahkan semua resi-resi tersebut, bahkan terus mengejar dua putri tersebut sampai ke negara
Medangkamulan dengan rajanya Manuk Madewa yang masih berdarah betara Brahma, dengan
patihnya berjuluk Patih Citro Dana. Di negara inipun sang Prabu Manuk Madewa juga kasamaran
terhadap kecantikan kedua putri tersebut. Sang Putri agaknya mau dengan syarat : Bisa
mengalahkan sang Resi Tama yang mengejar-ngejar tersebut akhirnya dikerahkan bala tentara
untuk memerangi sang resi Tama dibawah pimpinan patih Citra Dana, namun dalam peperangan
tersebut prajurit dari negeri Medang Kamulam kocar-kacir.
Diceritakan Raden Watu Gunung setelah terpukul oleh entong ( sendok makan ) tersebut sampai di
hutan Selo Gringging, luka dikepala akibat pukulan ibunya akhirnya sembuh sendiri dan berbekas.
Pada suatu saat Raden Watu Gunung bertemu dengan masyarakat di sekitar hutan tersebut yang
sedang mengadakan kendurian atau keselamatan, Raden Watu Gunung ikut dalam selamtan
tersebut namun banyak melahap makanan yang disajikan diluar batas kewajaran. Sehingga
mengakibatkan kemarahan masyarakat akhirnya dianiaya berramai-ramai, dalam penganiayaan
tersebut ternyata Raden Watu Gunung tidak merasakan kesakitan bahkan terus melahap makanan
yang tersaji, hal ini mengakibatkan keheranan masyarakat yang akhirnya malah sang Raden Watu
Gunung dijadikan Raja diwilayah tersebut, bahkan dibuatkan keraton dan diangkat raja dengan
gelar Prabu Watu Gunung. Pada suatu ketika sang Prabu mendengar cerita bahwa di negara
Medang Kamulan terjadi peperangan yang disebabkan seorang Resi Tama sedang memperebutkan
dua orang putri yang cantik jelita, sehingga Prabu Watu Gunung pun ingin ikut
memperrebutkannya. Akhirnya Prabu Watu Gunung bertolak ke negara Medang Kamulan lalu
berhadapan langsung dengan sang Resi Tama. Bahkan akhirnya dapat mengalahkan Resi Tama.
Namun ketika Resi Tama dapat dikalahkan Raden Watu Gunung, yang terdengar kabar di istana
Medang Kamulan adalah patihnya yang bernama Citra Dana dalam perjalanannya menuju ke istana
sang patih tersebut dielu-elukan, bahkan sang Prabu Manuk Madewa ikut membangga-banggakan
atas kesaktian patihnya. Hal ini terdengar oleh Prabu Watu Gunung, yang menyebabkan
kekecewaannya.
Singkat cerita terjadi peperangan lagi antara Prabu Watu Gunung dengan Prabu Manuk Madewa
yang akhirnya Prabu Manuk Madewa tewas. Dan akhirnya menjadi raja di Medang Kamulan yang
kemudian kerajaan tersebut diganti nama negara Giling Wesi, bahkan dua orang putri tersebut
diangkat sebagai permaisurinya. Diceritakan lagi setelah menjadi istri sang Prabu Watu Gunung,
dewi Shinta melahirkan putra yang selalu kembar sampai 13 kali ( kecuali yang nomor 14 )
sehingga jumlah putra sang prabu 27 :
1. Raden Wukir kembar dengan Raden Kurantil
2. Raden Tolu kembar dengan Raden Gumbreg
3. Raden Warigalit kembar dengan Raden Warigagung
4. Raden Djulungwangi kembar dengan Reden Sungsang
5. Raden Galungan kembar dengan Raden Kuningan
6. Raden Langkir kembar dengan Raden Mandasija
7. Radem Djulungpujud kembar dengan Raden Pahang
8. Kuruwelut kembar dengan Raden Marakeh
9. Raden Tambir kembar dengan Raden Madangkongan
10. Maktal kembar dengan Raden Wuje
11. Raden Manail kembar dengan Raden Prangbakat
12. Raden Bala kembar dengan Raden Wugu
13. Raden Wajang kembar dengan Raden Kuwalu
14. Raden Dukut tidak kembar
Singkat cerita pada suatu ketika Dewi Shinta diperintahkan untuk mencari kutu di kepala Sang
Prabu Watu Gunung, betapa terkejutnya sang Dewi Shinta melihat bekas luka kepala sang prabu,
yang mengingatkan kejadian putranya di waktu dulu, sang prabu bahkan sempat menceritakan asal
mualasan luka tersebut, yang ternyata Dewi Shinta adalah ibunya sendiri terjadilah keharuan yang
luar biasa, betapa berat cobaan hidup ini, dan betapa memalukan kejadian ini.
Sehingga diniatkan jangan sampai rahasia ini diketahui orang lain, sambil menangis Dewi Shinta
berkata Sababing Karuna Ajalaran Saking Kepengine Duwe Maru Widodari Kahyangan yang
artinya tangisnya dikarenakan keinginan untuk mengawinkan anaknya dengan sang bidadari
kahyangan. Dikarenakan keterlanjuran cintanya pada sang dewi Shinta sang Prabu mengumpulkan
semua putranya dan memerintahkan prabu Raden Prangbakat untuk naik ke kahyangan bertemu
dengan Bathara Guru lalu memohon seorang bidadari bernama Dewi Sri untuk diperistri sang
Prabu dengan cara tebak-tebakan.
Diceritakan di kahyangan: Djunggring Salaka Sang Hyang Guru : Resi Narada didatangi oleh Raden
Prangbakat atas pesan bapaknya : dengan membawa dua buah ayam peking dimana Bathara wisnu
(putra Bathara Guru) dipersilahkan menebak mana yang jantan dan mana yang betina. Bathara
Wisnu menjawab yang betina adalah yang bertelinga bolong dan yang jantan yang bertelinga
mampat. Namun dalam ceritanya di kahyangan niat Watu Gunung dianggap merusak tatanan
wilayah kahyangan kemudian Bathara Wisnu memimpin untuk (Ngluruk)-mendatangi sang Prabu
di Gilingwesi akhirnya terjadilah peperangan para dewa dengan sang prabu didahului dengan
perang putra-putra sang prabu yang dikepung oleh pasukan para dewa.
Dalam peperangan tersebut yang dipimpin oleh Prabu Watu Gunung sendiri ternyata sulit
dikalahkan. Akhirnya Bathara Wisnu mencari tahu kelemahan sang prabu dari putranya sendiri
yaitu Raden Srigati yang kemudian Raden Srigati mengutus Wil Awuk sebagai mata-mata untuk
mengetahui kelemahan Watu Gunung. Wil Awuk merubah dirinya menjadi ular kecil (ulo kisi)
diceritakan Wil Awuk berhasil masuk ke tempat pelaminan sang prabu yang pada saat itu sedang
menceritakan tentang kesaktiannya kepada sang Dewi Shinta yang disana sempat diceritakan
tentang rahasia kelemahan sang prabu dimana hari naasnya jatuh pada hari anggara kasih jam 12
siang (bedug awan) yaitu pada hari yang sama saat kelahiran Raden Galungan yang juga bersamaan
saat Watu Gunung mengalahkan Prabu Manuk Madewa. Kelemahan ini akhirnya digunakan oleh
Bathara Wisnu untuk menumpas kerajaan Gilingwesi dan akhirnya tumpaslah sudah kerajaan
tersebut.
Pada akhirnya diceritakan Dewi Shinta dan Dewi Landep masih hidup dan menangis memohon
Sang Hyang Jagad Noto untuk memohon keadilan kemudian turunlah Resi Narada diutus untuk
memberitahukan sebab musababnya yang ternyata disebabkan kesalahannya sendiri yaitu
memberitahukan kelemannya kepada Sang Dewi Shinta dimana terdengar oleh Wil Awuk.
Sebagai gantinya sang dewi akan dikabulkan permintaannya asalkan tidak meminta hidupnya
kembali sang Watu Gunung besarta putranya sedangkan permintaan sang dewi Shinta hanya ingin
Watu Gunung dan semua putranya dimaafkan kesalahannya dan masuk surga bersama-sama
dengan dewi Landep. Permohonan ini dipenuhi oleh Sang Hyang Jagad dimana urut-urutan masuk
surga adalah :
1. Dewi Shinta
2. Dewi Landep
Kemudian diikuti ke-27 putranya yang terakhir Watu Gunung (no 30) oleh Bathara Wisnu ke tiga
puluh nama tersebut dijadikan dasar perhitungan Wuku.
Wuku
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Wuku adalah bagian dari suatu siklus dalam penanggalan Jawa dan Bali yang berumur tujuh hari
(satu pekan). Siklus wuku berumur 30 pekan (210 hari), dan masing-masing wuku memiliki nama
tersendiri. Perhitungan wuku (bahasa Jawa: pawukon) masih digunakan di Bali dan Jawa, terutama
untuk menentukan "hari baik" dan "hari buruk" serta terkait dengan weton.
Ide dasar perhitungan menurut wuku adalah bertemunya dua hari dalam sistem pancawara
(pasaran) dan saptawara (pekan) menjadi satu. Sistem pancawara atau pasaran terdiri dari lima
hari, sedangkan sistem saptawara terdiri dari tujuh hari. Dalam satu wuku, pertemuan antara hari
pasaran dan hari pekan sudah pasti, misalkan hari Sabtu Pon terjadi dalam wuku Wugu. Menurut
kepercayaan tradisional orang Bali dan Jawa, semua hari-hari ini memiliki makna khusus.
Sejarah
Perhitungan pawukon atau wuku biasanya orang jawa menyebutnya, termasuk dalam perhitungan
Primbon Jawa dan sangat dibutuhkan dalam setiap almanak Jawa dimasa lalu maupun masa
sekarang; ibaratnya almanak jawa tanpa pawukon seperti sayur tanpa garam rasanya hambar atau
cemplang orang jawa bilang.[butuh rujukan]
Para leluhur orang jawa zaman dulu dalam menghitung primbon dengan bermacam-macam cara,
termasuk salah satunya pawukon yang dirasa sangat perlu. Perhitungan ini digunakan untuk
menjauhkan diri dari segala malapetaka atau sangkala (kala), serta untuk mendekatkan pada
keselamatan, dan nyatanya memang semua orang membutuhkan hal yang demikian ini. Sampai
dengan sekarang perhitungan primbon Jawa masih digunakan olah orang jawa, walaupun sudah
tidak banyak yang paham apa itu pawukon atau wuku.[butuh rujukan]
Daftar wuku
Nama-nama wuku yang tiga puluh didasarkan pada suatu kisah mengenai suatu kerajaan yang
dipimpin oleh Prabu Watugunung. Raja ini beristri Sinta dan memiliki 28 putra. Nama-nama semua
tokoh inilah yang menjadi nama-nama setiap wuku. Setiap wuku dijaga oleh seorang dewa
pelindung, memiliki pohon simbolik, hewan simbolik, tipe rumah (gedhong), candra ("penciri"),
perlambang (dinyatakan dalam suatu peribahasa), ruwatan-nya (sedekah untuk menolak bala),
kala sial (sengkala bilahi, situasi yang membawa petaka), dan dunung (arah mata angin yang
membawa sial).
1. Sinta - Batara Yama (Ahad Pahing - Sabtu Pon)
2. Landep - Batara Mahadewa (Ahad Wage - Sabtu Kliwon)
3. Wukir, Ukir1 - Batara Mahayakti (Ahad Legi - Sabtu Pahing)
4. Kurantil, Kulantir1 - Batara Langsur (Ahad Pon - Sabtu Wage)
5. Tolu, Tulu1 - Batara Bayu (Ahad Kliwon - Sabtu Legi)
6. Gumbreg - Batara Candra (Ahad Pahing - Sabtu Pon)
7. Warigalit, Wariga1 - Batara Asmara (Ahad Wage - Sabtu Kliwon)
8. Warigagung, Warigadian1 - Batara Maharesi (Ahad Legi - Sabtu Pahing)
9. Julungwangi, Julangwangi1 - Batara Sambu (Ahad Pon - Sabtu Wage)
10. Sungsang - Batara Gana Ganesa (Ahad Kliwon - Sabtu Legi)
11. Galungan, Dungulan1 - Batara Kamajaya (Ahad Pahing - Sabtu Pon)
12. Kuningan - Batara Indra. (Ahad Wage - Sabtu Kliwon) Pada minggu ini jatuh hari raya
Kuningan pada hari Sabtu-Kliwon.
13. Langkir - Batara Kala (Ahad Legi - Sabtu Pahing)
14. Mandasiya, Medangsia1 - Batara Brahma (Ahad Pon - Sabtu Wage)
15. Julungpujut, Pujut1 - Batara Guritna (Ahad Kliwon - Sabtu Legi)
16. Pahang - Batara Tantra (Ahad Pahing - Sabtu Pon)
17. Kuruwelut, Krulut1 - Batara Wisnu (Ahad Wage - Sabtu Kliwon)
18. Marakeh, Merakih1 - Batara Suranggana (Ahad Legi - Sabtu Pahing)
19. Tambir - Batara Siwa (Ahad Pon - Sabtu Wage)
20. Medangkungan - Batara Basuki (Ahad Kliwon - Sabtu Legi)
21. Maktal - Batara Sakri (Ahad Pahing - Sabtu Pon)
22. Wuye, Uye1 - Batara Kowera (Ahad Wage - Sabtu Kliwon)
23. Manahil, Menail1 - Batara Citragotra (Ahad Legi - Sabtu Pahing)
24. Prangbakat - Batara Bisma (Ahad Pon - Sabtu Wage)
25. Bala - Batara Durga (Ahad Kliwon - Sabtu Legi)
26. Wugu, Ugu1 - Batara Singajanma (Ahad Pahing - Sabtu Pon)
27. Wayang - Batara Sri (Ahad Wage - Sabtu Kliwon)
28. Kulawu, Kelawu1 - Batara Sadana (Ahad Legi - Sabtu Pahing)
29. Dukut - Batara Sakri. Pada minggu ini jatuh hari Anggara Kasih pada hari Selasa Kliwon
yang dianggap keramat oleh orang Jawa. (Ahad Pon - Sabtu Wage)
30. Watugunung - Batara Anantaboga. (Ahad Kliwon - Sabtu Legi) Dalam minggu ini jatuh hari
Jumat Kliwon yang dianggap keramat oleh orang Jawa dan hari Saraswati yang dianggap
suci oleh orang Bali.
1Nama alternatif, biasanya yang dipakai di Bali. Apabila dilihat biasanya hanya ejaannya saja yang
agak berbeda.
RAMALAN RONGGO WARSITO
Watak dino Kelahiran:
Ahad-tegese samuwo-watake kaku,tegelan
Senin-tegese samudono-watake pantes sembarang
gawe
Selasa-tegese sujono-watake ora percayan
Rabu-tegese sembodo-watake sumbut tindak tanduke
Kamis-tegese suroso-watake seneng ngrasakne disek
Jumat-tegese suci-watake pantes sembarang gawe
Sabtu-tegese klingking-watake rumongso unggul diri
songong
Watak Pasaran Kelahiran:
Pahing = kuncoro = ilmune gampang kondang
Pon = pamer = gampang pamer
Wage = kaku atine = sugetan
Kliwon = seneng gawe boso
Legi = Sugetan,Rantepan = gampang Nesu Gampang
lileh

You might also like