You are on page 1of 47

Fungsi kognitif, Evaluasi Neuropsikologis, dan Sindroma-

Sindroma Gangguan Kognitif

Dalam bab ini akan dijelaskan secara singkat berbagai domain dari fungsi
kognitif, evaluasi neuropsikologisnya, dan berbagai sindroma gangguan kognitif.
Hal tersebut lebih ditujukan untuk kepentingan praktik klinis neurolog, bukannya
untuk kepentingan neuropsikolog akademisi.

Dengan tanpa harus membahas konsep modular fungsi serebral secara


eksplisit, secara spesifik, otak dapat dibagi menjadi beberapa domain kognitif atau
sistem fungsional (bayangkan otak sebagai sebuah kongres dari berbagai badan
fungsional), yakni, perhatian, memori, bahasa, persepsi, praksis, dan fungsi
eksekutif. Berbagai subdivisi tersebut, keseluruhannya (diharapkan) berfungsi dan
berkerja dalam keteraturan, tidak terisolasi, guna menghasilkan keluaran yang kita
kenal sebagai kesadaran, selanjutnya keberadaan hal tersebut mengarahkan para
klinisi menuju sebuah pendekatan terstruktur yang dapat digunakan untuk
mengetahui penilaian klinis atas fungsi kognitif. Sekarang ini, berkembang sebuah
model yang menjelaskan terdapatnya jejaring neural yang didistribusikan dan
diperagakan dengan menggunakan titik-titik nodal yang memiliki kecenderungan
untuk membentuk fungsi tertentu otak yang lebih terspesialisasi, pemikiran
tersebut menelurkan gagasan yang menyatakan terdapatnya berbagai pusat dalam
otak yang mengatur fungsi-fungsi tertentu (Mesulam, 1990).

Domain-domain neurokognitif tersebut dapat dideskripsikan menjadi


domain-domain yang bersifat terlokalisir (localized), dimana hal tersebut
mengimplikasikan lateralisasi menuju salah satu bagian hemisfer yang
bersangkutan, terjadinya kerusakan fokal pada regio/area tersebut dapat
mengakibatkan gangguan fungsi spesifik; dan domain-domain yang bersifat
terdistribusi (distributed), dimana hal tersebut mengimplikasikan keberadaan
sebuah fungsi yang tak terlokalisir (non-localized function), yang umumnya
melibatkan keterlibatan dari kedua hemisfer dan/atau berbagai struktur
subhemisferik (ganglia basalis, batang otak), dimana kerusakan yang terjadi
secara masif biasanya baru dapat menimbulkan terjadinya gangguan berbagai
fungsi tersebut (Hodges, 1994). Lebih lanjut, domain-domain tersebut akan dibagi
menjadi ke dalam subdivisi yang lebih detail, atau terbagi dalam sejumlah
subsistem atau fungsi-fungsi spesifik yang selanjutnya ketika terjadi kerusakan
tertentu dapat mengalami gangguan secara selektif, dimana hal tersebut
menunjukkan keberadaan substrat-substrat neuropsikologis yang dengan eksplisit
terbagi secara fungsional. Terdapat beberapa tes yang dapat digunakan oleh ahli
neuropsikolog dalam mengevaluasi fungsi kognitif pasien, baik fungsinya secara
global maupun fungsi dari berbagai domain secara individual (Lezak et al., 2004;
Mitrushina et al., 2005, Strauss et al., 2006). Keragaman berbagai tes tersebut
mungkin membingungkan bagi para klinisi non spesialis neurologi. Lebih-lebih,
keragaman berbagai pilihan atas instrumen-instrumen tes yang digunakan dalam
studi-studi yang berbeda dapat mengakibatkan terjadinya kesulitan untuk
dilakukannya perbandingan langsung. Selain itu, tentu saja, harus diperhatikan
bahwa tes neuropsikologis apapun agar dapat memberikan hasil yang valid harus
disesuaikan dengan kondisi sensori, motorik, perseptual, dan kognitif dari pasien
yang akan diperiksa.

Para neuropsikolog menegaskan bahwa diperlukan keberadaan pelatihan bagi para


klinisi umum terkait peresepan dan interpretasi dari berbagai uji neuropsikologis
tersebut. Selain itu, para klinisi neurolog tersebut memiliki dependensi yang tinggi
kepada kolega neuropsikolog lainnya terkait pelaksanaan dan interpretasi dari
berbagai tes formal tersebut

Selain itu terdapat beberapa bentuk tes neuropsikologis yang sering dikenal
sebagai uji neurolopsikologis yang dilakukan pada tatanan rawat tirah baring
bedside neuropsychological tests dimana pelaksanaannya harus dibedakan
dengan uji formal dan dari sini dapat diperoleh manfaat diagnostik (Griffiths &
Welch, 2003). Lebih lanjut, terbagai berbagai test batteries yang dapat dilakukan
dalam jangka waktu 10-30 menit, yang tidak hanya mencakup penilaian atas
fungsi kognitif saja, melainkan juga mencakup penilaian fungsional, behavioral,
dan global (Burns et al., 1999, 2004). Meskipun keringkasan berbagai uji tersebut
membuat mereka secara klinis dapat diaplikasikan, terdapat beberapa kekurangan
yang harus diketahui dan diperhatikan oleh para klinisi dan neurolog: skor mentah
yang diturunkan dari beberapa uji bukan menunjukkan diagnosis atas suatu
kondisi, meskipun keberadaannya dapat meningkatkan kemungkinan ke arah
diagnosis dari penyakit tertentu. Selain itu, juga diketahui dan ditemukan
terjadinya inkongruensi atau anomali dalam bidang medikolegal dalam
pelaksanaan uji-uji tersebut (Trimble, 2004).

Yang juga perlu diperhatikan bahwa ketika dilakukan evaluasi terhadap kelainan
kognitif, terutama yang melibatkan gangguan memori, berupa keberadaan
anamnesis riwayat kolateral yang adekuat yang diperoleh dari keluarga, teman,
atau perawat menjadi salah satu subyek yang vital dalam evaluasi tersebut
(Tierney et al., 1996; Jorm, 1997; Carr et al., 2000; Shulman &Feinstein, 2003),
bahkan pada stadium awitan terjadinya penyakit (Isella et al., 2006). Bahkan
observasi sederhana seperti pasien yang mendatangi klinik dengan sendirinya
padahal telah diinstruksikan untuk diantar dan ditemani oleh seorang anggota
keluarga atau teman memiliki relevansi diagnostik, yang menandakan terjadinya
suatu derajat kelainan kognitif pada pasien (Larner, 2005).

1.1 Perhatian (attention)

Tampaknya sedikit berlebihan untuk mengedepankan bahwa sebelum dibuat


penilaian fungsi kognitif yang lebih tinggi (higher cognitive function), maka
sebelumnya fungsi kognitif yang lebih rendah (lower cognitive function) harus
dipastikan masih intak, dimana dalam hal tersebut diasumsikan bahwa sistem
saraf berkerja sesuai dengan hierarkinya. Guna mencapai kondisi reductio ad
absurdum, tidak diharapkan bahwa pasien koma atau pasien yang sedang tidur
untuk dapat menjalani uji memori dengan baik, meskipun terdapat fungsi memori
yang intak atau mengalami gangguan saat perbaikan dari kondisi koma atau
bangun dari tidur. Sifat alamiah dari kesadaran sendiri telah menjadi perhatian dan
obyek penelitian baik bagi para ahli neurologi maupun para filsuf (e.g. Dennett,
1993; Penrose, 1995; Zeman, 2001, 2002; Libet, 2004). Disosiasi antara
pengaturan kesadaran dan ketiadaan fungsi kognitif dapat terjadi pada beberapa
kondisi, sebagai contoh, sebagaimana yang dijumpai pada pasien-pasien yang
berada dalam status vegetatif (Jennett, 2002).

Gangguan kesadaran yang terjadi memiliki baik dimensi kuantitatif


maupun kualitatif. Sehingga ketika seorang klinisi berbicara mengenai derajat
kesadaran, maka klinisi tersebut dapat saja sedang berbicara terkait keterjagaan
(arousal), kewaspadaan (alertness),atau kesiagaan (vigilance), sehingga terdapat
derajat yang berkesinambungan antara koma dengan compos mentis; dan
intensitas atau kualitas dari kesadaran tersebut, terkait derajat kewaspadaan
subyek terhadap lingkungan, dan kemampuan untuk fokus, mempertahankan, atau
berganti atensi/perhatian. Koma secara sederhana menandakan sebuah derajat
ketidakresponsifan dari seorang pasien yang tidak dapat dirangsang baik dengan
menggunakan stimuli verbal maupun mekanis. Derajat gangguan kesadaran yang
lebih ringan, secara klinis sering dikenal sebagai stupor, torpor, atau obtundation
(meskipun berbagai istilah tersebut tidak memiliki batasan yang jelas, definisi
antar istilah tersebut sering bervariasi antara 1 observer dengan yang lainnya) juga
dapat berpengaruh terhadap penilaian fungsi kognitif yang dilakukan. Terdapat
sejumlah penyebab koma (Plum & Posner, 1980; Young et al., 1998).Terjadinya
derajat gangguan kesadaran tersebut (koma) dapat dengan mudah dikenali secara
klinis, yakni ditandai dengan terjadinya mengantuk, atau kesulitan dalam
perangsangan pasien, meskipun dapat juga sebaliknya, yang dapat termanifestasi
sebagai peningkatan distrakbilitas. Pemahaman terhadap derajat gangguan
kesadaran ini memiliki peranan penting dalam diagnosis delirium (lihat Bagian
1.10), sebagaimana yang tercantum dalam kriteria diagnostik dalam DSM-IV dan
ICD10, meskipun berbagai defisit tersebut terjadi dalam derajat yang lemah dan
tidak dapat diketahui dengan segera pada tatanan tirah baring, sehingga kurang
adekuat untuk mengganggu mekanisme fungsi atensi/perhatian. Defisit atensional
tersebut diperkirakan bertanggung jawab atas gangguan fungsi kognitif yang
terjadi yang kebetulan juga menjadi salah satu varian/fitur diagnosis dari delirium
(Burns et al., 2004; Larner 2004; Inouye,2006).
Atensi (perhatian), atau konsentrasi merupakan bagian dari fungsi kognitif
yang tak seragam dan terdistribusi pada berbagai regio otak. Atensi sering
didefinisikan sebagai komponen kesadaran yang membangkitkan kewaspadaan
tubuh terhadap stimuli sensorik tertentu. Dari sekian jumlah (ratusan) stimuli yang
merangsang domain-domain sensorik, hanya beberapa stimuli saja yang dapat
disadari oleh tubuh manusia, sedangkan sebgaian besar sisanya direspons oleh
tubuh dengan tanpa disadari. Perhatian/atensi manusia bersifat dipaksakan,
selektif dan dihubungkan erat dengan intensi/kesengajaan. Terdapat beberapa
perbedaan antara beberapa tipe mekanisme atensional yang terjadi atas
keberadaan suatu stimuli tertentu; atensi selektif (selective attention) merupakan
sumber atensional yang mengarahkan suatu stimulus tertentu dari berbagai stimuli
yang ada untuk disadari dan direspons oleh tubuh (cocktail party phenomenon);
divided attention mengimplikasikan terjadinya atensi yang diakibatkan oleh
keberadaan stimuli yang berkompetisi. Keberadaan dan peran berbagai struktur
neuroanatomi diperkirakan memiliki peranan penting dalam memediasi terjadinya
atensi tubuh terhadap berbagai stimuli, diantaranya berupa keberadaan reticular
activating system dalam batang otak, thalamus, dan korteks prefrontalis serebri
dari multimodal association type, yang utamanya berlokasi pada hemisfer kanan,
karena kerusakan yang terjadi pada area-area tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan atensi. Jaras-jaras dopaminergik dan kolinergik diperkirakan
menjadi neurotransmiter-neurotransmiter yang berperan penting dalam memediasi
terjadinya atensi (Perry et al., 2002).

The Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan salah satu instrumen yang
paling umum digunakan untuk memonitor derajat kesadaran (Teasdale & Jennett,
1974). Pertamanya GCS diperkenalkan untuk menilai derajat keparahan cedera
kepala, dimana selanjutnya dapat digunakan untuk berbagai situasi klinis lainnya
(seperti, delirium, stroke, dsb), meskipun validitas penggunaannya pada beberapa
kondisi perlu dikonfirmasi kembali. Pada pasien individual, penggunaan
komponen-komponen individual dari GCS (response eye, verbal, motor, EVM)
seringkali lebih berguna dibandingkan dengan skor hasil penjumlahannya (nilai
maksimal 15). Skor GCS 15/15 tidak menjamin keberadaan atensi/perhatian yang
intak/utuh, karena defisit-defisit yang terjadi dapat terjadi dengan tidak terlalu
kentara, sehingga kedepannya masih diperlukan pelaksanaan tes yang digunakan
untuk menilai fungsi atensi yang dilakukan sebelum pelaksanaan pemeriksaan
dengan menggunakan instrumen-instrumen neuropsikologis lainnya.

Terdapat sejumlah tes yang digunakan untuk menilai atensi/perhatian


(Strauss et al., 2006), seperti the Trail Making Test, the Continuous Performance
Test, the Paced Auditory Serial Addition Test (PASAT: Gronwall, 1977), dan the
Symbol Digit Modalities Test. Selain itu, terdapat beberapa tes sederhana yang
dapat dilakukan dalam tatanan tirah baring guna menilai mekanisme atensi pasien,
diantaranya meliputi aspek orientasi tempat dan waktu, hitung deret angka;
penjumlahan dan/atau pengurangan kelipatan angka (juga WAIS-R Digit Span
subtest), meminta pasien untuk menyebutkan bulan atau hari apakah 3 hari yang
lalu, atau menghitung mundur dari 30 hingga 1. Dalam pelaksanaannya perlu
diperhatikan kontrol dari faktor-faktor yang dapat memecah perhatian pasien
(distraktor). Pada tes the Mini-Mental State Examination (lihat Bagian 1.8),
meminta pasien untuk berhitung mundur dengan kelipatan 7 (pengurangan
kelipatan 7 dari 100 93, 86, 79, 72, 65, dst) atau mengeja kata WORLD secara
terbalik merupakan aspek-aspek tes yang digunakan untuk menilai atensi atau
konsentrasi pasien, akan tetapi juga perlu diperhatikan bahwa kegagalan dalam
melaksanakan tugas dalam tes tersebut perlu dipertimbangkan apakah terdapat
faktor lain yang berperan selain keberadaan gangguan atensi saja (misal,pada
pasien-pasien yang memiliki kemampuan aritmetika yang buruk dalam aspek
pengurangan kelipatan 7).

1.2 Intelegensi Umum, IQ

Penilaian neuropsikologis formal yang sering dilakukan seringkali menyertakan


pemeriksaan atas intelegensi umum, yang dilakukan sebelum dilakukannya
penilaian spesifik atas domain-domain individual dari fungsi kognitif. Hal tersebut
diperlukan karena faktor intelegensi umum menyumbang proporsi yang signifikan
atas perbedaan individual (individual differences) diantara skor tes yang diperoleh
pada sekelompok orang (Deary,2001). Fungsi intelektual umum paling sering
dinilai dan diukur dengan menggunakan salah satu dari beberapa the Wechsler
Intelligence Scales, yang paling sering digunakan adalah the Wechsler Adult
Intelligence ScaleRevised (WAIS-R: Wechsler,1981) atau Wechsler Adult
Intelligence ScaleIII (WAIS-III: Wechsler, 1997). (Untuk pasien-pasien anak
tersedia sebuah skala khusus yang dikenal dengan the Wechsler Intelligence Scale
for Children, WISC.) Penilaian ulang dengan menggunakan uji ini perlu
dilakukan secara periodik karena terdapat perubahan kemampuan dari kelompok
normatif yang berasal dari skor terstandar yang diperoleh (Deary, 2001).

Pelaksanaan berbagai tes tersebut dapat berlangsung dalam durasi 2 jam


atau lebih, kadang dapat dilakukan tes yang terbagi dalam beberapa sesi, hal
tersebut dilakukan untuk menghindari kelelahan pada pasien. Subtes yang
dilakukan pada uji ini terbagi dalam 2 kategori, yakni verbal dan aksi
(performans), kategori verbal meliputi pengetahuan umum, perbendaharaan kata,
pemahaman, dan pikiran abstrak verbal (seperti, rentang bilangan, aritmetika,
persamaan), sedangkan kategori aksi meliputi uji yang dilakukan untuk menilai
kemampuan organisasi perseptual, fungsi visuospasial kompleks, dan kecepatan
psikomotorik (seperti, simbol angka, melengkapi dan menyusun gambar, desain
kubus dan balok, penyusunan obyek). Subtes-subtes tersebut dapat memberikan
pemeriksa indeks intelegensi verbal, verbal IQ (VIQ), dan intelegensi performans,
performance IQ (PIQ), dan dapat digunakan sebagai indikator atas keseluruhan
IQ/overall full-scale IQ (FSIQ). Berdasarkan data normatif ekstensif yang
diperoleh dari individu-individu sehat yang bertempat tinggal di Amerika Utara
dan Eropa, pengukuran-pengukuran tersebut memiliki skor rerata 100 dengan
deviasi standar sebesar 15, sehingga 95% individu dari populasi akan dapat
memperoleh kisaran skor dalam jangkauan 70-130. Secara umum, terdapat
korelasi antara VIQ-PIQ, akan tetapi kadang-kadang dijumpai diskrepansi yang
terjadi pada beberapa individu normal. Teori yang menyatakan bahwa VIQPIQ
split dapat digunakan untuk menilai lateralisasi patologi yang terjadi pada otak
(VIQ seringkali ditemukan lebih buruk pada lesi-lesi yang terjadi pada hemisfer
kiri, sedangkan PIQ lebih sering memburuk pada lesi-lesi yang terjadi pada
hemisfer kanan) harus dikaji ulang dengan penuh kehati-hatian (Iverson et al.,
2004).

Untuk penilaian yang dilakukan terhadap individu-individu yang


mengeluhkan terjadinya gangguan kognitif, terutama gangguan memori, penilaian
yang dilakukan dengan menggunakan skor IQ saja tampaknya tidak cukup.
Perubahan skor IQ yang terjadi dapat saja menandakan terjadinya penurunan
kemampuan kognitif, dimana keberadaan skor IQ tersebut berguna untuk menilai
kondisi pasien, hanya saja, terkadang masih jarang pasien-pasien yang memiliki
hasil tes IQ sebelumnya yang dapat digunakan sebagai pembanding. Riwayat
pendidikan dan pekerjaan sebelumnya dapat memberikan petunjuk atas
keberadaan intelegensi premorbid yang telah terjadi sebelumnya, juga dapat
digunakan sebagai prediksi atas subtes verbal yang dilakukan dalam tes WAIS.
Kesulitan tersebut juga diperkirakan dapat dihindari melalui peresepan sebuah tes
yang secara spesifik didesain untuk memperkirakan dan mengetahui besarnya
kemampuan intelektual premorbid; seperti the National Adult Reading Test
(NART: Nelson & Willison, 1991), karena dijumpainya keberadaan overlearned
ability dalam pembacaan serangkaian kata yang memiliki suara pengucapan yang
ireguler atau tidak biasa biasanya dihubungkan dan sering ditemukan terjadi pada
beberapa penyakit neurodegeneratif (terdapat sejumlah pengecualian, diantaranya
pada degenerasi yang terjadi pada lobus frontotemporalis dapat menyebabkan
terjadinya sindroma linguistik, bagian 2.2.2 and 2.2.3). Selanjutnya setelah tes
NART IQ yang dilakukan akan dibandingkan dengan Wechsler FSIQ guna
mengetahui ditemukannya indikasi terjadinya penurunan fungsi intelektual umum
atau masih stabil. Ditemukannya perbedaan skor sebesar 20 poin diperkirakan
signifikan, sedangkan 40 poin tentu saja lebih signifikan lagi.

Terdapat beberapa uji non verbal yang menjadi bagian dalam intelektual
umum, diantaranya the Progressive Matrices yang disampaikan oleh Raven (1938,
1958). Selain itu, terdapat beberapa tes lain yang dapat digunakan untuk menilai
fungsi kognitif umum berupa beberapa neuropsychological batteries penilaian
yang dilakukan atas tingkatan intelegensi premorbid pasien (Strauss et al., 2006).

1.3 Memori

Memori merupakan suatu bagian dari fungsi kognitif yang terdistribusi dan tidak
seragam. Dalam kata lain, pembagian subdivisi dari fungsi memori dapat
diketahui dengan jelas, dimana dalam pembagian tersebut turut melibatkan
berbagai struktur dan substrat anatomis.

Taksonomi memori terkini utamanya menunjukkan pembagian memori


menjadi 2 kelompok utama, yakni memori deklaratif (dikenal sebagai memori
eksplisit atau memori sadar) dan memori non deklaratif (memori implisit,
prosedural, tak sadar). Memori deklaratif atau eksplisit merupakan rekoleksi
pengalaman sebelumnya yang intensional (disengaja) atau terjadi ketika sadar.
Lebih lanjut, memori deklaratif dibagi menjadi memori episodik dan memori
semantik. Memori episodik umumnya berupa memori terkait pengalaman-
pengalaman pribadi, kadang berupa memori autobiografis, terapat keterangan
waktu dan tempat yang spesifik (konteks yang spesifik), sedangkan memori
semantik umumnya berupa fakta, pengetahuan independen dengan berbagai
konteks spesifik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam kehidupan
pasien (Schacter&Tulving, 1994; Hodges&Greene, 1995). Terdapat beberapa tes
yang dapat digunakan untuk menilai bagian spesifik dari memori episodik dan
memori semantik jangka panjang. Yang juga perlu diperhatikan adalah
keberadaan memori anterograde, yang singkatnya disebut sebagai memori baru,
dan memori retrograde, berupa penyimpanan memori sebelum-sebelumnya
(Kapur, 1993, 1997).

Berbeda halnya dengan memori eksplisit, memori implisit umumnya


berupa koleksi dari serangkaian unit memori yang heterogen, diantaranya
kemampuan untuk belajar, meniru, dan mengkondisikan, yang tidak dijumpai
dalam pikiran sadar (Schacter et al., 1993). Dalam praktik klinis, umumnya tidak
lagi dilakukan pemeriksaan atas memori klinis.
Dalam tatanan praktik klinis, observator dan klinisi seringkali menegaskan
permasalahan melalui penggunaan istilah memori jangka pendek dan memori
jangka panjang, dimana kedua istilah tersebut digunakan untuk menyebut
berbagai materi yang baru saja dipelajari atau yang telah lama diketahui oleh
pasien. Pembagian divisi serupa juga masih dijumpai dalam terminologi
profesional, meskipun terdapat pengertian yang berbeda atas kedua istilah tersebut
dalam 2 tatanan yang berbeda tersebut. Pengertian memori jangka pendek dalam
kalangan profesional beranalogi dengan pengertian dari memori kerja (working
memory), dan dikonseptualisasikan sebagai salah satu bagian dari fungsi atensi
(attentional function) (lihat Bagian 1.1). Memori jangka pendek sendiri faktanya
merupakan salah satu bagian dari memori jangka panjang, yang secara spesifik
bertugas dalam mempelajari informasi-informasi baru. Amnesia meupakan sebuah
sindroma berupa gangguan memori dan pembelajaran hal-hal yang baru, yang
biasanya ditandai dengan terjadinya gangguan pada memori anterograde atau
retrograde, akut/transien atau kronis/persisten.

Amnesia anterograde secara klinis bermanifestasi sebagai timbulnya pertanyaan


atas kehidupan sehari-hari yang berulang-ulang, ketidakmampuan dalam
melaksanakan sejumlah tugas sederhana, atau mengulang informasi serupa yang
telah diberikan. Istilah yang dapat digunakan lebih baik untuk menyebutnya
adalah recent and remote memory

Dalam perkembangannya, telah diketahui beberapa substrat anatomis yang


turut terlibat dalam fungsi memori eksplisit, berdasarkan sejumlah studi
eksperimental pada hewan uji dan pasien yang mengalami gangguan memori
akibat terjadinya lesi fokal pada otak yang dapat diketahui melalui pemeriksaan
neuropsikologi dan pencitraan neurologis. Literatur menyebutkan bahwa substrat
anatomis tersebut meliputi kerusakan yang terjadi pada area hipokampus,
diensefalon, frontalis, dan bagian basal otak depan. Beberapa struktur yang
terdapat pada lobus temporalis medial, hipokampus sentral, dan diensefalon yang
melingkupi ventrikel ke-3 diperkirakan memiliki peranan krusial dalam
menyebabkan terjadinya gangguan memori episodik (OKeefe &Nadel, 1978;
Cohen &Eichenbaum, 1993; Zola-Morgan & Squire, 1993). Lesi-lesi yang terjadi
di sepanjang sirkuit tersebut, sebagaimana yang dideskripsikan oleh Papez (area
entorhinal dari girus parahippokampal, perforant and alvear pathways,
hippokampus, fimbria dan forniks, badan mamiliaris, traktus mamilotalamikus,
nuklei thalamikus anterior, kapsula interna, girus cinguli, dan cingulum) dapat
menyebabkan terjadinya baik amnesia anterograde maupun retrograde.
Pengalaman yang terjadi pada seorang pasien yang berinisial HM merupakan
salah satu indikator kunci atas peranan vital yang dimiliki oleh stuktur-struktur
tersebut. Karena epilepsi refrakter yang dialaminya, HM menjalani lobektomi
lobus temporalis media bilateral, yang meliputi pengangkatan amygdala, korteks
entorhinal, gyrus dentatus anterior, hippokampus, dan subikulum, paska operasi
HM mengalami amnesia anterograde, dan amnesia retrograde terkait ingatannya
10 tahun sebelum dilakukannya operasi (Scoville & Milner, 1957). Pasien HM
tersebut selanjutnya di-follow-up selama beberapa tahun kedepan, dimana selama
periode tersebut tidak dijumpai terjadinya perbaikan dari berbagai defisit
neuropsikologis yang dialaminya (Ogden,2005). Hasil serupa juga ditemukan
terjadi pada operasi serupa tapi hanya dilakukan secara unilateral saja (Kapur &
Prevett, 2003). Lesi yang terjadi pada hipokampus dihubungkan dengan terjadinya
amnesia retrograde (Cipolotti et al., 2001). Risiko terjadinya amnesia
dideskripsikan memliki asosiasi dengan lesi-lesi yang terjadi pada basal otak
bagian depan (Damasio et al.,1985) dan yang terjadi pada bagian frontal otak,
yang mana lesi-lesi yang terjadi pada bagian frontal tersebut juga mengakibatkan
terjadinya defek pada memory encoding (Parkin, 1997a).

Terdapat beberapa hal yang diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya


gangguan memori (Kapur,1994; Baddeley et al., 1995; Hodges & Greene,1995;
Parkin, 1997b; Kopelman, 2002; Mega, 2003; Papanicolaou, 2006). Gangguan
memori episodik merupakan salah satu keluhan dan gejala yang paling umum
ditemukan terjadi pada pasien-pasien Alzheimer Disease (AD: lihat Bagian 2.1),
meskipun kadang gangguan memori yang terjadi tersebut tidak selalu tampak,
selain itu juga terdapat berbagai defisit lain yang dapat ditemukan melalui
penilaian klinis atau neuropsikologis yang dilakukan. Untuk alasan tersebut, dan
karena AD merupakan penyebab paling umum dari demensia, penggunaan tes-tes
neuropsikologis (neuropsychological test batteries), terutamabedside tests,
sering diragukan sebagai salah satu modalitas yang digunakan untuk penilaian
memori karena terdapatnya ekslusi relatif dari berbagai domain kognitif yang lain,
seperti fungsi eksekutif, yang menyebabkan kesulitan dalam proses identifikasi
berbagai gangguan neurokognitif lainnya dimana memori bukan merupakan
domain utama yang mengalami defek. Amnesia anterogade juga dapat terjadi
sebagai konsekuensi atas kejadian baik cedera kepala terbuka maupun tertutup
(amnesia post traumatik), sindroma Wernicke Korsakoff (lihat Bagian 8.3.1),
ensefalitis yang disebabkan oleh HSV (Bagian 9.11), ensefalitis limbik yang
disebabkan oleh proses paraneoplastik atau non-paraneoplastik (Bagian 6.12.1 dan
6.12.2), infark otak pada area tertentu (Bagian 3.4), dan tindakan pembedahan
yang dilakukan untuk mengangkat lesi-lesi yang terjadi pada lobus temporalis
atau ventrikel ketiga (bagian 7.2.3). Amnesia transien dapat disebabkan dari
kondisi epileptik (amnesia epileptik transien: Bagian 4.3.1) atau, pada kasus
amnesia global transien yang diperkirakan terjadi akibat etiologi vaskuler (Bagian
3.7.3). Amnesia psikogenik juga dapat dimasukkan sebagai salah satu dari
diagnosis diferensial dari amnesia transien (Pujol &Kopelman, 2003; Butler &
Zeman, 2006). Gradien temporal dari amnesia retrograde juga dapat dijumpai
terjadi pada beberapa kondisi-kondisi ini, tetapi juga dijumpai sejumlah kecil
kasus amnesia retrograde fokal yang disertai dengan terjadinya gangguan memori
berupa amnesia anterograde relatif, kadang terjadi paska cedera kepala atau
ensefalitis (Stuss & Guzman, 1988; Kapur, 1993; Hunkin, 1997; Mackenzie-Ross,
2000; Larner et al., 2004).

Terdapat banyak jenis tes yang dapat digunakan untuk penilaian memori
(Strauss et al., 2006). The Wechsler Memory Scale, yang sekarang ini telah
diterbitkan dalam edisi ke-3 (WMS-III), merupakan sebuah battery testing yang
digunakan untuk menguji dan menilai memori deklaratif auditorik dan visual dan
memori kerja. Beberapa tes spesifik lainnya yang digunakan untuk menilai
memori episodik diantaranya berupa the Buschke Selective Reminding Test
(Buschke & Fuld, 1974), the California Verbal Learning Test (Delis et al., 2000),
the Hopkins Verbal Learning Test (Brandt, 1991; Shapiro et al., 1999), the
Camden Recognition Memory Test and the Topographical Recognition Memory
Test (Warrington, 1984, 1996), dan the Rey Auditory Verbal Learning Test.
Metode recall of the ReyOsterrieth Complex Figure juga dapat digunakan
sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui status memori visual. Memori
retrograde dapat diperiksa dengan menggunakan the Autobiographical Memory
Interview (Kopelman et al., 1989), yang didalamnya terdapat komponen informasi
semantik personal dan peristiwa-peristiwa autobiografis yang dapat ditanyakan
pada pasien, meskipun sebenarnya penggunaannya sendiri dapat mengaburkan
derajat dan perluasan amnesia retrograde yang sebenarnya terjadi, pola missing
islands of memory loss yang terjadi pada pasien-pasien ini umumnya berbeda-
beda antar tiap pasien. Pemeriksaan berupa the Famous Faces Test dapat
digunakan untuk mempelajari dan menilai remote memory (Hodges et al., 1993).
Integritas jejaring semantik, termasuk memori semantik dapat diperiksa dengan
menggunakan tes yang dikenal sebagai category/semantic) fluency tests (lihat
Bagian 1.7). Pembacaan daftar kata yang memiliki pengucapan yang ireguler yang
berhubungan dengan pengejaan dapat menyebabkan munculnya disleksia (surface
dyslexia/regularization errors) pada pasien-pasien yang mengalami gangguan
akses atau kerusakan pada jejaring semantik. Beberapa tes lain yang digunakan
untuk menilai jejaring semantik asosiatif berupa the Pyramids and Palm Trees
Test (Howard & Patterson, 1992). Terdapat sebuah semantic memory test battery
yang didalamnya menyertakan subtes yang ditujukan untuk menilai kategori
kelancaran, penamaan, penamaan hingga deskripsi, dan mencocokkan gambar
dengan kata sebagai respons dari kata yang telah diucapkan (Hodges et al.,
1992a,b).

Dari sekian instrumen tes neuropsikologis bedside yang sering


digunakan (lihat Bagian 1.8), the Mini-Mental State Examination merupakan
salah satu pemeriksaan fungsi memori yang memiliki sifat perfunctory (dimana
pasien diminta menyebutkan 3 nama obyek, seperti, bola, bendera, pohon, dan
setelah beberapa saat pasien diminta kembali mengingat dan menyebutkan nama
ketiga benda yang telah disebutkan tadi. Daftar kata-kata yang lebih panjang
(supraspan) digunakan dalam the DemTect dan the Hopkins Verbal Learning Test,
dimana pada tes yang terakhir disebutkan tersebut, didalamnya turut disertakan
baik aspek recall dan rekognisi (recognition paradigm) yang digunakan untuk
memastikan apakah gangguan yang terjadi disebabkan oleh encoding atau
retrieval defects. Dalam the Addenbrookes Cognitive Examination (ACE) dan
revisinya(ACE-R) ditambahkan 17 nama dan alamat dalam aspek recall, dan
sebuah aspek recognition paradigm pada the ACE-R, dan sebuah aspek
pemeriksaan yang digunakan untuk menilai kelancaran kategori (category
fluency). The Queen Square Screening Test for Cognitive Deficits merupakan
sebuah qualitative story recall test, dan didalamnya juga disertakan gambar-
gambar yang digunakan untuk memeriksa memori visual.

1.4 Bahasa

Berdasarkan sejarahnya, gangguan bahasa menunjukkan keberadaan bukti


unekuivokal yang menyatakan bahwa rusaknya atau hilangnya fungsi otak yang
lebih tinggi (higher brain function) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada
regio otak tertentu, hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan dari hasil kerja
Broca, dan juga Marc Dax yang dilakukan pada pertengahan abad ke-19 (Schiller,
1993). Studi yang dilakukan oleh Wernicke juga memiliki peranan dalam
menentukan substrat-substrat neural yang turut berperan dalam fungsi bahasa,
dimana dari studi tersebut diketahui bahwa bahasa merupakan salah satu fungsi
yang terlokalisir. Setiap mahasiswa kedokteran sekarang ini selayaknya
mengetahui bahwa baik pada sebagian besar manusia, baik pada individu-individu
yang kidal maupun tidak kidal memiliki hemisfer yang dominan, meskipun
terdapat sekitar 30% individu-individu yang kidal dan < 1 % individu yang tidak
kidal memiliki pusat bahasa yang terletak dalam hemisfer non dominannya.
Afasia, merupakan salah satu bentuk gangguan bahasa primer, dan dimana
proses lokalisasi klinis tersebut seringkali hampir serupa dengan beberapa defek
lain yang terjadi, diantaranya dengan defek pada kemampuan membaca (aleksia)
dan menulis (agrafia), dimana semua defek tersebut masih bersifat reversibel,
dapat diperbaiki sesuai dengan batasan tertentu dan derajat kerusakan yang terjadi
(Willmes & Poeck, 1993). Sebagai tambahan atas tipe afasia Broca (ketidak
lancaran, anterior, motorik, ekspresif) dan Wernicke (lancar, posterior, sensorik,
reseptif), terdapat bebarapa perbedaan klinis yang dapat dibedakan dari afasia
konduksi/conduction aphasia (impaired repetition) dan afasia
transkortikal/transcortical aphasias (preserved repetition). Dalam
perkembangannya juga terdapat sebuah klasifikasi afasia yang membagi afasia ke
dalam afasia perisilvian (Broca, Wernicke, konduksi) dan ekstrasilvian.Terdapat
sejumlah buku teks dan perorangan yang mempelajari afasia dan klasifikasinya
(dianataranya, Benson & Ardila, 1996; Brown & Hagoort, 2000; Basso, 2003;
Caplan, 2003; Spreen & Risser, 2003).

Perlu diperhatikan bahwa sebelum dilakukan pemeriksaan neuropsikologis


fungsi bahasa, pasien sebaiknya menjalani pemeriksaan pendengaran (auditorik)
terlebih dahulu, sebagai contoh dengan menggunakan the Token Test (De Renzi &
Faglioni, 1978). Penguasaan terhadap kalimat dapat diketahui dan dinilai dengan
menggunakan the Test for the Reception of Grammar (Bishop, 1983). Afasia
Wernicke umumnya ditandai dengan terjadinya gangguan pada penguasaan
bahasa, meskipun pasien umumnya masih dapat dengan lancar berbicara,
meskipun dalam bicaranya tersebut pasien mengalami kemiskinan isi
pembicaraan, kadang hanya mengeluarkan sekumpulan bunyi dan kata dan frase
yang tidak memiliki arti (afasia jargon). Meskipun afasia tipe Broca seringkali
dicirikan dengan masih terdapatnya penguasaan akan bahasa, faktanya pada afasia
tipe ini tetap terjadi defek sintaks yang kompleks.

Terdapat beberapa tes bahasa yang tersedia (Lezak et al., 2004; Strauss et
al., 2006). Diantaranya terdapat sejumlah Comprehensive Batteries tests, seperti
the Boston Diagnostic Aphasia Examination (BDAE: Goodglass & Kaplan,
1983), the Western Aphasia Battery (WAB: Shewan & Kertesz, 1980), the
Psycholinguistic Assessment of Language Processing in Aphasia (PALPA: Kay et
al., 1992), dan the Comprehensive Aphasia Test (Swinburn et al., 2004). Beberapa
tes yang lebih spesifik, berupa the Graded Naming Test (McKenna &Warrington,
1980, 1983) dan the Boston NamingTest (Kaplan et al., 2001).

Dalam tatanan perawatan tirah baring, pengamatan yang dilakukan klinisi


terhadap keluaran pembicaraan pasien dapat digunakan untuk menentukan
klasifikasi afasia yang terjadi pada pasien secara sederhana, lancar atau tidak
lancar, dan juga dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya parafasia (fonemik
atau semantik) dan neologisme. Klinisi dapat bertanya atau menginstruksikan
pasien untuk bercerita atau melakukan hal-hal tertentu selama anamnesis riwayat
dan melakukan pemeriksaan fisik, sehingga diharapkan tipe afasia yang dialami
oleh pasien dapat diketahui dengan lebih jelas. Penilaian yang dilakukan atas
kemampuan pasien dalam mengulang (repetisi) dapat digunakan untuk
mendiferensiasikan tipe afasia yang terjadi, dimana kemampuan repetisi relatif
tetap baik pada afasia transkortikal atau terganggu pada afasia konduksi.
Kemampuan dalam penamaan memiliki nilai signifikansi yang lebih kecil dalam
menentukan lokalisasi yang terjadi, meskipun terjadinya anomia selayaknya dapat
menjadi penanda atas terjadinya kelainan yang terjadi pada jejaring semantik, baik
berupa degradasi atau keintakan akses jejaring semantik. Selain itu, juga harus
dilakukan pemeriksaan terhadap fungsi membaca dan menulis, bahkan ketika
fungsi bahasa pasien terkesan masih baik dan intak (Benson & Ardila, 1996;
Saver, 2002; Leff, 2004; Larner 2006). Densitas ide yang dijumpai pada hasil
tulisan pasien mencerminkan kemampuan pemrosesan bahasa pasien pada saat itu.

Dari sekian jumlah instrumen tes neuropsikologis bedside yang sering


digunakan (lihat Bagian 1.8), sebagian besar diantaranya juga menitikberatkan
kepada fungsi bahasa, seperti yang dijumpai pada pasien-pasien yang mengalami
gangguan linguistik primer (seperti, demensia semantik, Alzheimer yang disertai
dengan afasia) umumnya mengalami kesulitan atau kemustahilan untuk
menyelesaikan tes tersebut.
1.5 Persepsi

Defisit yang terjadi pada tingkatan pemrosesan sensorik yang lebih tinggi (higher-
order deficits of sensory processing) yang tidak dapat digolongkan ke dalam
gangguan perhatian, penurunan intelektual, atau kegagalan dalam pengenalan
stimulus (anomia), dikenal dengan istilah agnosia, yakni sebuah istilah yang
pertama kali dicetuskan penggunaannya oleh Sigmund Freud (1891) dimana
makna sebenarnya dari istilah tersebut adalah tidak tahu atau ketidaktahuan.
Lissauer (1890; diterjemahkan oleh Shallice & Jackson, 1988), speaking of
Seelenblindheit, menyatakan bahwa arti dari istilah tersebut sebagai soul-
blindness atau secara teknis memiliki arti sebagai psychic blindness, temuan
tersebut memberikan penjelasan atas perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara
defisit aperseptif (apperceptive deficits) dan dan defisit asosiatif (associative
deficits): dimana pada jenis gangguan yang pertama terjadi sebuah defek pada
pemrosesan perseptual kompleks yang memiliki tingkatan lebih tinggi (defect of
higher-order complex perceptual processing), sedangkan pada kelainan yang
selanjutnya (defisit asosiatif) ditemukan keutuhan/persepsi yang masih intak,
meskipun dijumpai terjadinya defek pada kemampuan. Beberapa deskripsi
terdahulu melaporkan terjadinya defek agnosik pada beberapa kasus (Meyer,
1974). Perdebatan terus berlanjut terutama mengenai jenis-jenis agnosia,
meskipun secara klinis dapat dibedakan menjadi agnosia aperseptif atau asosiatif
(Farah, 1995).

Meskipun juga dijelaskan atas keberadaan agnosia auditorik dan taktil,


keduanya tampaknya lebih jarang terjadi dibandingkan dengan kasus agnosia
visual, yang mana telah dipelajari dan diobservasi dengan lebih ekstensif oleh
berbagai ahli (Farah, 1995; Bauer &Demery, 2003; Ghadiali, 2004). Agnosia
visual yang terjadi umumnya relatif bersifat selektif, sebagai contoh
ketidakmampuan seseorang dalam mengenali wajah-wajah manusia yang telah
dikenalnya sebelumnya atau ketidak mampuan dalam mengenali stimuli yang
ekuivalen, dikenal dengan istilah prosopagnosia. Gangguan tersebut dapat terjadi
saat perkembangan/developmental (Nunn et al., 2001; Larner et al., 2003) atau
terjadi secara akuisita, dimana prosopagnosia akuisita terjadi akibat konsekuensi
dari penyakit serebrovaskuler yang mengakibatkan terbentuknya lesi-lesi yang
terdapat pada regio oksipitotemporalis bilateral, akan tetapi, dalam okurensi yang
lebih sedikit, prosopagnosia dapat terjadi sebagai salah satu gejala bawaan dari
penyakit neurodegeneratif yang diderita, kadang isolasi relatif yang terjadi
dihubungkan dengan terjadinya atrofi fokal pada lobus temporalis kanan
(prosopagnosia progresif: Evans et al., 1995). Aleksia murni (pure alexia)
merupakan salah satu agnosia pada kata-kata dimana terjadi gangguan berupa
upaya membaca yang susah payah huruf per huruf hingga dicapai satu identitas
kata, yang terkonseptualisasikan sebagai salah satu konsekuensi atas terjadinya
kerusakan pada regio otak yang mengatur rekognisi keseluruhan kata, yang
diperkirakan berlokasi pada medial lobus oksipitalis kiri dan girus fusiformis
posterior (Leff et al., 2006). Sebuah sindroma yang lebih jarang ditemukan terjadi
berupa pure word deafness yang diperkirakan sebagai salah satu bentuk dari
agnosia auditorik. Agnosia jemari (finger agnosia) merupakan sebuah
ketidakmampuan untuk mengidentifikasikan jari-jari mana sajakah yang telah
disentuh, dimana penderitanya umumnya hanya mengetahui terdapat sebuah jari
saja yang tersentuh tanpa mengetahui jari yang manakah yang disentuh tersebut,
gangguan ini merupakan salah satu bentuk dari agnosia taktil, yang merupakan
salah satu bagian dari sindroma Gertsman (Della Sala & Spinnler, 1994). Hampir
serupa, aleksia Braille yang terjadi dapat merupakan salah satu bentuk dari
agnosia taktil (Larner, 2007).

Keberadaan teori yang menyatakan terdapatnya 2 jalur pemrosesan visual


di dalam otak pertama kali diungkapkan oleh Ungerlieder dan Mishkin (1982),
yakni berupa jaras pemrosesan visual oksipital dorsolateral dan oksipitotemporal
ventromedial (occipitoparietal dorsolateral [where] and occipitotemporal
ventromedial [what] stream). Pada sejumlah kasus yang jarang ditemukan
terjadi, jaras-jaras tersebut akan terpengaruh secara selektif: seperti pada
gangguan jaras sentral, dengan lebih spesifik pada area oksipitalis lateral yang
ditemukan terjadi pada seorang pasien kenamaan yang menderita agnosia visual
yang diakibatkan oleh keracunan karbon monoksida. Pada pasien tersebut
mengalami hilangnya kemampuan identifikasi perseptual atas bentuk dan rupa,
meskipun pasien tersebut masih dapat mengetahui dan mampu membedakan
warna dan detail kecil yang terdapat pada berbagai permukaan (tekstur visual),
dan kemampuan visuomotornya (vision for action) biasanya masih berada dalam
kondisi yang baik/intak (Milner & Goodale, 1995; Goodale &Milner, 2004).
Ataksia optik (optic ataxia) merupakan bentuk gangguan volunter dalam
mempresentasikan target yang telah ditunjuk secara visual, umumnya berupa
misdireksi atau dismetria, temuan tersebut merupakan penanda atas terjadinya lesi
pada jaras dorsal. Mekanisme kerja sistem kontrol visuomotorik tersebut tidak
dapat diketahui selama dalam keadaan sadar (unconscious vision), yang berbeda
dengan identifikasi visual obyek.

Gangguan spesifik berupa ketidakmampuan seseorang dalam melihat


obyek-obyek yang bergerak, akinetopsia atau kasus cerebral visual motion
blindness, dimana pada kasus ini persepsi terhadap atribut visual lainnya, seperti,
warna, bentuk, dan kedalaman masih intak/baik dan kondisi tersebut dihubungkan
dengan terjadinya lesi-lesi selektif yang terjadi pada area V pada korteks visual
(Zihl et al., 1983; Zeki, 1991). Meskipun sangat jarang ditemukan terjadi, kasus-
kasus yang baru disebutkan merupakan penanda atas terdapatnya perbedaan
terkait substrat neuroanatomis pada movement vision, sebagaimana halnya dengan
motion vision yang secara selektif dapat tidak mencapai area skotomatosa
(Riddochs syndrome: Zeki &ffytche, 1998). Terjadinya bentuk kelainan berupa
visual neglect dipertimbangkan sebagai salah satu gangguan perhatian (lihat
Bagian 1.1).

Terdapat beberapa kasus agnosia visual yang dikemukakan oleh De Renzi


(1986). Benson et al. (1988) mengungkapkan sebuah temuan yang menarik
perhatian para klinisi berupa seorang pasien yang mengalami aleksia, agrafia,
agnosia visual, dengan kehadiran atau ketiadaan komponen-komponen yang
ditemukan terjadi pada sindroma Gerstmann, afasia sensorik transkortikal, yang
menariknya fungsi memori pada pasien tersebut masih intak hingga mendekati
akhir kehidupannya, kelainan tersebut disebut sebagai posterior cortical atrophy
(PCA) meskipun dengan ketiadaan data-data neuropsikologis. Hingga sekarang
ini diyakini bahwa sebagian besar dari kasus-kasus tersebut memiliki proses
patologi yang serupa dengan patologi yang terjadi pada penyakit Alzheimer,
sehingga kasus-kasus tersebut diatas sering dikenal sebagai varian aspek visual
dari penyakit Alzheimer (Levine et al., 1993, MCI: Larner, 2004). Terdapat
beberapa proses patologis yang ditemukan pada beberapa kasus PCA (Pantel &
Schroeder, 1996). Kriteria diagnostik untuk PCA juga telah dikembangkan
sekarang ini (Mendezet al., 2002). Gangguan agnosik visual merupakan sebuah
temuan yang sering dijumpai terjadi pada penyakit Alzheimer, meskipun
intensitasnya sendiri tidak lebih kentara dari permasalahan mnemonik (mnemonic
difficulties) yang terjadi pada pasien-pasien tersebut. Berbagai kelainan yang
terjadi pada jalur pemrosesan visual dapat ditemukan terjadi pada pasien-pasien
AD (Cronin-Golomb & Hof, 2004).

Terdapat sejumlah pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji


perseptual visual dan fungsi visokonstruktif secara spesifik (visual perceptual and
visuoconstructive functions) (Strauss et al., 2006). Diantaranya berupa Judgment
of Line Orientation (digunakan untuk mengetahui fungsi lobus oksipitalis kanan);
copy of the ReyOsterrieth Complex Figure (Rey, 1941; Osterrieth,1944;
diterjemahkan oleh Corwin & Bylsma, 1993) atau the Taylor Figure (Taylor,
1969); decoding embedded (Poppelreuter) figures; beberapa test batteries, seperti
the WAIS-R Block Design (konstruksi visuospasial) atau sejumlah dedicated
batteries, seperti the Visual Object and Space Perception Battery
(VOSP:Warrington & James, 1991).

Dari sekian jumlah instrumen yang digunakan dalam tatanan


neuropsikologis (lihat Bagian 1.8), the Mini-Mental State Examination merupakan
salah satu tes yang didalamnya terdapat aspek fungsi visuospasial, dimana dalam
pelaksanaannya pasien diharapkan dapat menyalin sebuah gambar yang terdiri
dari pentagon-pentagon yang berpotongan. Menggambar jam (clock drawing)
sebagai bagian dari penilaian visuospasial juga memerlukan kemampuan otak
yang lebih kompleks. The Queen Square Screening Test for Cognitive Deficits
calls berisi segmen pemeriksaan dimana pasien diminta untuk mengidentifikasi
surat-surat dan gambar-gambar yang terfragmentasi. The Addenbrookes
Cognitive Examination (ACE) juga menambahkan sejumlah aspek dalam
pemeriksaan tersebut berupa wire cube dan clock drawing, sedangkan ACE-R
menambahkan counting dots dan identifikasi terhadap huruf-huruf yang
bersebaran. DemTect spesifik pada tes visuoperseptal dibandingkan dengan tes
transcoding angka.

1.6 Praksis

Apraxia, gangguan yang terjadi pada praksis, merupakan gangguan yang terjadi
pada kontrol motorik (higher-level motor control) akuisita yang menyebabkan
terjadinya gangguan pada kemampuan motorik volunter (Grafton,2003; Heilman
& Gonzalez Rothi, 2003; Leiguarda,2005), dimana istilah apraksia didefinisikan
dan dihubungkan dengan lesi-lesi yang terjadi pada hemisfer kiri oleh Liepmann
(1900). Gangguan ini seharusnya tidak dijelaskan dengan menggunakan beberapa
istilah yang ditemukan pada lower-motordeficits, seperti piramidal,
ekstrapiramidal, serebelar, atau disfungsi sensoris. Sebagai contoh, sebuah defisit
yang dikenal sebagai apraksia kontruksional (constructional apraxia atau
dressing apraxia akan jelas lebih baik apabila ditetapkan sebagai defisit
visuoperseptal dan/atau defisit visuospasial.

Secara tradisional, terdapat sebuah perbedaan yang dapat ditarik dari


apraksia ideasional dan ideomotorik (ideational and ideomotor apraxias),
meskipun keduanya sering ditemukan terjadi pada kasus-kasus kerusakan yang
terjadi pada hemisfer kiri (De Renzi et al., 1968). Apraksia ideomotorik
(ideomotor apraxia) yang terjadi bersamaan dengan afasia Broca dapat
dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari sindroma diskoneksi (disconnection
syndrome) (lihat Bagian 1.12).

Terdapat sejumlah kasus apraksia progresif yang dipelajari dan


dipresentasikan oleh De Renzi (1986). Apraksia dapat menjadi salah satu
fitur/temuan yang terjadi pada pasien-pasien yang menderita penyakit
neurodegeneratif, terutama degenerasi kortikobasalis (lihat Bagian 2.4.3),
meskipun sebenarnya penyakit Alzheimer dapat juga terjadi dengan disertai
terjadinya fenotip yang serupa (atrofi biparietal: Bagian 2.1), bahkan dapat pula
disertai dengan terjadinya alien limb behaviour pada pasien-pasiennya.

Permasalahan praksis dapat diketahui dan dinilai melalui berbagai cara


(Crutch, 2005), diantaranya berupa gesture naming, keputusan dan rekognisi;
gesture to verbal command, to visual or tactile tool; hingga imitation of real atau
nonsense gestures; dan pemilihan peralatan. Selain itu, terdapat sejumlah test
batteries, diantaranya berupa the Florida Apraxia Screening Test-Revised (FAST-
R: Gonzalez Rothiet al., 1997).

1.7 Fungsi Eksekutif, Fungsi Frontal

Istilah fungsi eksekutif digunakan untuk mencakup berbagai kemampuan,


termasuk perumusan tujuan; organisasi, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring
dari urutan tindakan; pemecahan masalah dan pemikiran abstrak. Hal ini juga
tumpang tindih dengan perhatian yang berkelanjutan. Istilah dysexecutive
syndrome dapat digunakan untuk menggambarkan disfungsi pada salah satu atau
semua bidang ini, yang paling sering dikaitkan dengan proses patologis di lobus
frontalis (Filley, 2000; Chayer & Freedman, 2001; Miller & Cummings, 2007).
Karena heterogenitas dari fungsi-fungsi ini, beberapa penulis tidak menyukai
istilah payung dari fungsi eksekutif dan lebih memilih untuk menggambarkan
fungsi spesifik terganggu. Selain itu, kerusakan lobus frontal dapat menyebabkan
fenotipe klinis, dimana perubahan perilaku sering merupakan gambaran yang
paling menonjol. Cedera orbitofrontal dapat menyebabkan disinhibisi, seperti
yang gambarkan oleh Phineas Gage, salah satu pasien yang paling terkenal dalam
sejarah neuropsikologi klinis, yang menunjukkan perubahan perilaku setelah
mengalami cedera lobus frontal (Damasio et al., 1994; Macmillan, 2000; Larner &
Leach, 2002), meskipun pola klinis lainnya dan perubahan kognitif dapat diamati
pada cedera lobus frontal (Loring & Meador, 2006): misalnya sindrom seperti;
apatis (frontal konveksitas) dan rigiditas (frontal medial) juga dijelaskan (Trimble,
1996).
Karena sifat menyeluruh dari konstruksi fungsi eksekutif, tidak ada tes
tunggal yang memadai untuk menilai secara keseluruhan (Goldberg & Bougakov,
2005). Berbagai macam tes yang diketahui sensitif terhadap aspek dari disfungsi
eksekutif juga tersedia. Pada bedside atau di klinik, tes Go-No Go mungkin
diterapkan untuk menilai kegagalan dari hambatan respon atau pembatasan
rangsangan, misalnya meminta pasien untuk menepuk 2 kali sebagai respon dari 1
tepukan yang diberikan oleh pemeriksa, dan 1 kali sebagai respon dari 2 tepukan.
Mengulangi urutan bergantian, misalnya dari gerakan tangan (kepalan-buka
tangan) atau menulis (m n m n m n), dapat digunakan untuk tujuan yang sama.
Tes The Trails A dan B juga memerlukan urutan, huruf atau angka yang harus
diikuti. Interpretasi peribahasa adalah tes bedside yang populer, nyata
menunjukkan masalah lobus frontal. Tes lisan kefasihan verbal atau controlled
oral word association tests (COWAT), dapat dibagi menjadi menguji fonologi,
huruf, atau kefasihan leksikal, seperti FAS tes (dalam 1 menit menyebutkan
sebanyak-banyaknya kata-kata yang berawalan dengan huruf F, lalu menit
berikutnya menyebutkan kata-kata yang berawalan dengan huruf A, menit
berikutnya menyebutkan kata-kata yang berawalan dengan huruf S), dan menguji
semantik atau kategori kefasihan (dalam 1 menit menyebutkan sebanyak-
banyaknya nama binatang, buah-buahan, alat musik, atau kategori apapun dapat
dipilih, selama memungkinkan. Kefasihan huruf telah dicirikan sebagai tes
fleksibilitas mental menilai fungsi eksekutif, yang sangat terganggu (contoh
cacat: Critchley, 1979) pada lesi frontal kiri (tanpa afasia), sedangkan kategori
kefasihan memeriksa integritas jejaring semantik. Desain kefasihan, suatu visual
analog dari kefasihan lisan, mungkin lebih terganggu pada lesi frontal kanan
(Jones-Gotman & Milner, 1977), kefasihan tugas lisan menarik karena singkat (1
menit masing-masing) dan tidak memerlukan peralatan khusus, tetapi
pertimbangan mungkin perlu dilihat dari usia dan pendidikan pasien ketika
mempertimbangkan norma-norma tes (Mathuranath et al, 20030. Tes kefasihan
lisan yang disatukan ke dalam tes baterai seperti Dementia Rating Scale dan
CERAD Battery, seperti Addenbrookes Cognitive Examination, dan mungkin
fasilitas diagnostik pada penyakit Alzheimer dan dementia vaskuler (Cerhan et al.,
2002; Duff Canning et al., 2004).
Mungkin tes yang paling sering digunakan untuk menyelidiki fungsi
eksekutif adalah Stroop Test (Stroop, 1935) dan the Wisconsin Card Sorting Test
(WCST) dan Modified Wisconsin Card Sorting Test (MWCST: Nelson, 1976).
Pada Stroop Test, pasien diminta untuk membaca daftar nama dari warna, dicetak
dalam warna yang berbeda dengan namanya, diikuti dengan menyebutkan warna
dimana setiap nama dicetak, sehingga memiliki hambatan dalam membaca dari
tiap nama warna (yaitu penundaan dari jawaban yang tidak tepat). MWCST
menggunakan 1 set kartu ditandai dengan simbol-simbol bentuk yang berbeda,
warnam dan angka yang mungkin diurutkan dalam berbagai cara. Aturan urutan
diubah oleh pemeriksa tanpa memberitahukan subyek, membutuhkan kemampuan
memecahkan masalah. Kesulitan perubahan kategori adalah khas dari kerusakan
lobus frontal, yang mengarah ke perseverasi dari kategori sebelumnya. Jelas
MWCST, tidak seperti Stroop Test, memancing untuk jawaban baru. MWCST
mungkin tidak spesifik untuk disfungsi lobus frontal, karena pasien dengan lesi
hipokampal mungkin melakukan kesalah perseveratif (Corcoran & Upton, 1993).
Ada banyak tes-tes lainnya menggali fungsi eksekutif, terkadang
bersamaan dengan domain lainnya (Strauss et al, 2006). Ini termasuk Ravens
Progressive Matrices, the Porteus Mazes, the Tower of London Test (Shallice,
1982), the Tower of Hanoi Test, the Trail Making Test (terutama bagian B), the
Halstead-Reitan Category Test, the Weigl Colour Form Sorting Test (Wigl, 1941),
the Cognitive Estimates Test (Shallice & Evans, 1978), dan the Verbal Switching
Test (Warrington, 2000). The Hayling and Brixton Tests untuk melengkapi
kalimat dan antisipasi spasial adalah aturan tes yang mengikuti dan penekanan
lisan dari sebuah jawaban yang lazim (Burgess & Shallice, 1996, 1997). Subtes
WAIS-R tertentu sensitif terhadap aspek eksekutif / fungsi lobus frontalis, seperti
the Similarities tes dari abstraksi lisan dan the Digit Symbol tes dari kecepatan
psikomotor. Tes pengambilan keputusan dan risiko, kemampuan yang mungkin
juga akan mencakup di bawah rubrik fungsi eksekutif (Lehto & Elorinne, 2003)
dan dimediasi oleh korteks prefrontal dan amygdala, termasuk the Iowa Gambling
Test (Bechara et al., 1994) dan the Cambridge Gamble Task (Rogers et al., 1999).
Ada juga tes-tes baterai seperti the Behavioural Assessment of the
Dysexecutive Syndrome (BADS: Wilson et al., 1996) dan the Delis-Kaplan
Executive Function System (D-KEFS: Delis et al., 2001), tapi karena ini
memakan waktu lama untuk dikelola, mereka yang terbaik disediakan untuk
penyelidikan khusus masalah lobus frontal. The Frontal Lobe Personality Change
Questionnaire (FLOPS) dapat digunakan untuk menilai perubahan perilaku dan
termasuk versi penjaga, berguna untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan.
Karena sebagian besar tes fungsi eksekutif menggali perencanaan dan
strategi, dimediasi oleh kortek prefrontal dorsolateral, beberapa pasien dengan
kerusakan eksklusif orbitofrontal, misalnya pada frontal varian frontotemporal
dementia, mungkin dapat menyelesaikan tes ini tanpa kesalahan mencolok.
Dari bedside instrumen tes neuropsikologikal (lihat bagian 1.8), the
Mini-Mental State Examination telah dikritik karena kurangnya penilaian fungsi
eksekutif, satu kekurangan dimana the Addenbrookes Cognitive Examination
berusaha untuk mengatasi dengan menggunakan kata dan kategori tes kefasihan
lisan. Selain itu, subscore tes, the VLOM ratio, telah dilaporkan untuk
membedakan demensia frontotemporal dari penyakit Alzheimer (Mathuranath et
al., 2000), meskipun bukti sebaliknya telah disajikan untuk beberapa parameter ini
(Bier et al., 2004; Larner, 2005; Castiglioni et al., 2006). Baterai lainnya yang
melibatkan fungsi eksekutif termasuk the Frontal Assessment Battery (Dubois et
al., 2000; Slachevsky et al., 2004). The Frontal Behavioural Inventory (Kertesz et
al., 2000), dan the Middelheim Frontality Score (De deyn et al., 2005).
Menggambar jam juga dapat membedakan FTD dari AD, lebih banyak kesalahan
yang dibuat di bagian kedua (Blair et al., 2006).

1.8 Bedside neuropsychological test instruments

Bagaimana klinisi yang masih dalam tahap belajar, yang mungkin tidak terbiasa
atau tidak pernah mendapat pelatihan neuropsikologis, dan dalam jangka waktu
yang terbatas dapat menilai fungsi kognitif pasien ketika sedang di bangsal,
disamping pasien tirah baring yang dirinya dan/atau keluarganya mengeluhkan
kemungkinan terjadinya gangguan kognitif. Para praktisioner yang bergerak
dalam tatanan pelayanan kesehatan primer dapat menggunakan observasi klinis
sederhana guna mengetahui, atau setidaknya mencurigai diagnosis ke arah
terjadinya demensia: usia pasien dan anamnesis riwayat penyakit pasien juga
merupakan beberapa faktor yang penting dalam diagnosis demensia (Fisher &
Larner, 2006). Para praktisioner yang bergerak pada tatanan pelayanan kesehatan
sekunder dapat menggunakan tes-tes sederhana yang digunakan untuk penilaian
awal kondisi pasien-pasien tirah baring yang mengeluhkan terjadinya keluhan
terkait gangguan kognitif. (Tatanan tirah baring atau bedside tests sebenarnya
merupakan bukan merupakan lokasi yang ideal untuk dilakukannya tes-tes
neuropsikologis, yang disebabkan oleh faktor keramaian di bangsal, pengunjung,
dan kemungkinan interupsi yang berasal dari berbagai faktor lain). Terdapat
sejumlah instrumen (Burns et al., 1999, 2006), beberapa diantaranya telah
digunakan secara luas dan didiskusikan secara singkat dalam bab ini. Berbagai tes
tersebut dapat dikategorikan sebagai uji sederhana simple atau kompleks
complex; atau sebagai versi mini, implikasi kondisi dan performans pasien
dalam waktu 10 menit atau kurang, atau midi, yang rata-rata dapat dilakukan
dengan baik dalam kisaran waktu 15-30 menit saja. Battery tests yang
memerlukan waktu pelaksanaan hingga 45-60 menit atau lebih tidak akan
didiskusikan dalam bab ini, karena penggunaannya yang kurang sesuai dengan
kondisi yang terjadi pada tatanan praktis klinis dan lebih sesuai bila dilakukan
dalam ruangan klinik neurolog dan keterbatasan waktu yang dimiliki. Berbagai uji
diatas umumnya menitik beratkan pada kejadian penyakit Alzheimer (AD), karena
penyakit ini merupakan penyebab terjadinya demensia yang paling umum, selain
itu berbagai tes tersebut juga menitikberatkan terhadap deteksi defisit memori.
Sehingga, berbagai instrumen tes tersebut mungkin bersifat suboptimal apabila
digunakan untuk mendeteksi berbagai gangguan yang memiliki gejala-gejala
gangguan kognitif non memori yang kentara dan/atau gangguan behavioral.
Metodologi standar yang digunakan untuk mengevaluasi skrining dan uji
diagnostik untuk demensia telah disusun secara spesifik sesuai dengan reliabilitas
dan validitas yang dimiliki masing-masing tes (Gifford & Cummings, 1999), dan
tetap sesuai dan memperhatikan kaidah-kaidah kedokteran evidence-based
diagnosis (Qizilbash, 2002). Sensitivitas dan spesifitas tes yang digunakan
setidaknya > 0,8 dan besaran nilai prediktif positif (positive predictive value)
harus mendekati 0,9, dengan kriteria rekomendasi untuk penanda biologis
molekuler (molecular biomarkers) untuk AD (Ronald and Nancy Reagan
Research Institute of the Alzheimers Association dan the National Institute on
Aging, 1998), tampaknya telah menjadi atribut/syarat minimal yang sesuai untuk
penilaian demensia yang dilakukan dalam tatanan tirah baring. Likelihood ratios,
the ratio of pretestto post-test odds dan nilai diagnostic gain, hendaknya
mendekati kisaran > 10 atau < 0,1, dimana apabila diperoleh nilai yang mendekati
kisaran tersebut, maka uji yang bersangkutan memiliki nilai diagnostic gain yang
besar (Deeks & Altman, 2004). Plot kurva receiver operating characteristic
(ROC) yang dibuat juga tidak buruk (Hanley &McNeil, 1982, 1983), dengan area
under the curve (AUC); merupakan salah satu pengukuran yang digunakan untuk
mengetahui keakuratan diagnostik, >0,80, sedangkan nilai AUC = 0,5
mengindikasikan bahwa tes tersebut tidak memiliki informasi added information
dan AUC + 1 mengindikasikan bahwa tes tersebut dapat memberikan diskriminasi
yang baik. Diagnostic odds ratio, yang merupakan salah satu indikator
pengukuran (summary measure) dari test diagnostic performance, harus berada
dalam kisaran yang cukup besar.

Terdapat sejumlah tes neuropsikologis bedside, dimana masing-masing


tes tersebut memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing. Sesuai dengan
pedoman yang telah diterbitkan, dalam tatanan perawatan primer
direkomendasikan penggunaan tes kognitif yang formal, selain itu juga dapat
digunakan beberapa clinical judgment (Eccles et al., 1998). Skrining yang
dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, diantaranya berupa the Abbreviated
Mental Test Score (AMTS: Hodkinson, 1972), the 6 Item Cognitive Impairment
Test (6CIT, juga dikenal sebagai the Kingshill Test: Brooke & Bullock, 1999),
GPCOG (Brodaty et al., 2002), Memory Alteration Test (Rami et al., 2007), atau
beberapa bentuk dari clock drawing task juga dapat digunakan. Meskipun
demikian dalam sebuah survey terkini menunjukkan bahwa instrumen-instrumen
uji kognitif diatas jarang digunakan oleh para dokter umum (c. 20%) karena
diakibatkan oleh perujukan pasien-pasien tersebut menuju ke klinik fungsi
kognitif yang memiliki kualitas baik, dan the Mini-Mental State Examination
(MMSE) merupakan instrumen tes neuropsikologis yang paling sering digunakan
(Fisher & Larner, 2007). Meskipun demikian, dalam tatanan pelayanan kesehatan
primer, Wind et al.(1997) mengungkapkan bahwa MMSE memiliki keterbatasan
nilai (limited value) dalam penegakan diagnosis demensia (sensitivitas 0,65,
spesivitas 0,93).

Baik AMTS maupun 6CIT diturunkan dari the Blessed Information


Memory Concentration Test (BIMC:Blessed et al., 1968), berikut terdapat
sejumlah tes yang dapat digunakan, diantaranya:

Cognitive Capacity Screening Examination(CCSE: Jacobs et al., 1977)


Telephone Interview for Cognitive Status (TICS:Brandt et al., 1988)
Short Test of Mental Status (Kokmen et al., 1991)
Wawancara terstruktur atas diagnosis demensia yang disebabkan oleh
penyakit Alzheimer, demensia multi infark, dan demensia yang
diakibatkan oleh berbagai etiologi lainnya
Cognitive Abilities Screening Instrument (CASI:Teng et al., 1994)
Hasegawa Dementia ScaleRevised (HDS-R: Imai& Hasegawa, 1994;
Kim et al., 2005)
Cambridge Cognitive Examination (CAMCOG:Huppert et al., 1995)
7-minute screen (Solomon et al., 1998)
Memory Impairment Screen (Buschke et al., 1999)
Mini-Cog (Borson et al., 2000)
Visual Association Test (Lindeboom et al., 2002)
Kingston Standardized Cognitive Assessment(Hopkins et al., 2004)
TE4D-Cog (Mahoney et al., 2005).

Untuk kasus demensia yang telah berprogresi menuju stadium yang lebih
berat, dapat digunakan sejumlah instrumen berikut:

Severe Impairment Battery (SIB: Saxton & Swihart,1989)


Middlesex Elderly Assessment of Mental State(MEAMS: Golding, 1989)
Severe MMSE (Harrell et al., 2000)
mini-SIB (Qazi et al., 2005).

Selain itu juga tersedia sejumlah tes yang telah terkomputerisasi


(computerized test batteries), seperti the Cambridge Neuropsychological Test
Automated Battery, from which the Paired Associates Learning test (CANTAB-
PAL) dapat bermanfaat dalam deteksi dini dan penegakan diagnosis demensia
(Swainson et al., 2001).

Beberapa tes yang digunakan untuk menilai dan mengukur fungsi global,
behavioral, dan kegiatan sehari-hari (activities of daily living; ADL) dapat
digunakan dalam penilaian gangguan kognitif pasien (Burns et al., 1999, 2006;
McKeith, 1999). Meskipun tidak dibahas secara lebih lanjut, terdapat beberapa tes
yang paling sering digunakan untuk mengukur fungsi global, diantaranya the
Functional Assessment Staging (FAST: Reisberg, 1988) dan the Clinicians
Interview-Based Impression of Change (CIBIC, atau CIBICif Bila turut
disertakan input yang diperoleh dari perawat pasien). The Neuropsychiatric
Inventory (NPI) diperkirakan menjadi salah satu modalitas pengukuran fungsi
behavioral yang paling sering digunakan pada pasien-pasien demensia
(Cummings et al., 1994). Berikut sejumlah skala pengukuran ADL yang paling
popular: the Alzheimers Disease Cooperative Study Activities of Daily Living
Scale (ADCS-ADL), the Instrumental Activities of Daily Living (IADL) Scale
(Lawton &Brody, 1969), the Functional Activities Questionnaire (FAQ: Pfeffer et
al., 1982), the Bristol Activitiesof Daily Living Scale (Bucks et al., 1996), dan the
Activities of Daily Living Questionnaire (Johnson et al., 2004). Inklusi
(penyertaan) pengukuran fungsi global, behavioral, dan skala pengukuran ADL
merupakan hal yang wajib dalam pelaksanaan tial klinis obat (clinical drug trials)
pada kasus-kasus demensia, sedangkan penilaian farmakoekonomik dan skala
pengukuran kualitas hidup juga direkomendasikan pelaksanaannya.

Informant questionnaires juga dapat digunakan untuk memperoleh


informasi dan riwayat yang tidak tercantum dalam rekam medis pasien (pasien
yang datang sendiri ke klinik tanpa disertai dengan keberadaan keluarga,
pengantar, atau teman merupakan salah satu indikator yang menandakan
terjadinya absens akibat demensia yang dialaminya: Larner, 2004, 2005), terutama
guna mengetahui kondisi fungsional premorbid pasien (Jorm, 1997). The
Informant Questionnaire on Cognitive Decline in the Elderly (IQCODE: Jorm
&Jacomb, 1989) merupakan salah satu contoh instrumen tersebut dan juga
dilaporkan bermanfaat dalam penegakan diagnosis MCI (Isella et al., 2006).

1.8.1 Mini-Mental State Examination (MMSE)/ Pemeriksaan kondisi mental

Mini-Mental State Examination (MMSE) pada awalnya didesain untuk


membedakan gangguan organik dari gangguan fungsional pada praktek psikiatri,
dan sebagai ukuran kuantitatif dari gangguan fungsi kognitif yang berguna untuk
memonitor perubahan yang terjadi, namun bukan sebagai alat diagnosis utama
(Folstein et al., 1975). Namun, alat tersebut telah terbukti dapat diterima dan
berguna dalam penilaian status kognitif dalam kedokteran umum dan pasien
dengan keluhan neurologis (Dick et al., 1984; Tangalos et al., 1996) dan telah
menjadi penilaian kognitif yang paling banyak dipakai secara luas. MMSE
memiliki reliabilitas dan konsistensi internal yang baik, meskipun terdapat
perdebatan mengenai skor cut off yang sesuai (Tombaugh & McIntyre, 1992).
Terdapat 2 pengaruh yang dapat ditunjukkan pada skor MMSE yaitu usia pasien
dan usia pendidikan, yang merupakan standar yang dapat menjadi faktor dari cut
off (Crum et al., 1993). MMSE dapat berguna dalam melacak penurunan kognitif
pada demensia Alzheimer (Han et al., 2000), dengan penurunan nilai rata-rata 3
poin tiap tahun, meskipun terdapat variabilitas, beberapa pasien tetap stabil dan
beberapa mengalami perbaikan (Holmes & Lovestone, 2003), yang berarti bahwa
MMSE belum menjadi instrumen ideal untuk menjadi dasar keputusan sebuah
terapi yang akan diberikan, sebagai contoh dalam efikasi tentang inhibitor
kolinesterase (terlepas dari faktor keresahan pasien yang telah diperkirakan
sebagai penyebabnya, maka Sindrom Godot sendiri dapat mempengaruhi
performa dari tes tersebut: Larner & Doran, 2002). Hal lain yang sering
dikeluhkan yaitu waktu yang diperlukan untuk melakukan MMSE terlalu lama
(Tangalos et al., 1996). Baik versi yang diperpanjang (MMSE terstandarisasi
[SMMSE]; MMSE modifikasi [3MSE]) maupun diperpendek telah berkembang
sebagaimana juga versi untuk jenis penyakit yang berat (Harrell et al., 2000).
Salah satu kesulitan dari MMSE yaitu dalam menentukan letak cut off . Untuk
nilai cut off < 24, Kukull et al. (1994) memperoleh sensitivitas senilai 0,63 dan
spesifisitas senilai 0,96 untuk diagnosis demensia Alzheimer pada penelitian
kohort terhadap 133 pasien (80 mengalami demensia, 53 tanpa demensia); dimana
nilai sensitivitas meningkat pada skor cut off yang lebih tinggi, yang secara
mengejutkan menyebabkan munculnya rekomendasi bahwa skor MMSE senilai
26 atau 27 sebaiknya digunakan pada populasi yang menunjukkan adanya gejala
jika tujuannya adalah untuk melewatkan beberapa kasus yang sebenarnya terjadi.
Tangalos et al. (1996) menemukan sensitivitas senilai 0,69 dan spesifisitas senilai
0,99 untuk nilai cut off sebesar 23. Penggunaan skor cut off usia dan pendidikan
secara spesifik memperbaiki sensitivitas menjadi 0,82 dengan spesifisitas yang
tetap. Pada klinik peneliti, 154 pasien secara berurutan, 51% diantaranya memiliki
sindrom demensia, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas untuk skor cut off
MMSE sebesar 27 dan 24 yaitu 0,91, dan 0,70 serta 0,73 dan 0,86 secara
berurutan, sehingga menghasilkan rasio kemungkinan yang bernilai positif dan
negatif yang berurutan, yaitu sebesar 3.04 (2.144.31) dan 0.13 (0.090.18), dan
5.09 (2.908.95) dan 0.32 (0.180.56), (dengan 95% confidence intervals,
metode log). Dalam kasus tersebut, nilai pertengahan untuk MMSE > 27 akan
mengeksklusikan diagnosa demensia dan nilai MMSE < 24 akan menegakkan
diagnosa demensia (Larner, 2005). Nilai odss ratio diagnostik yang merupakan
sebuah ringkasan pengukuran dari performa diagnostik untuk cut off MMSE
sebesar 27 adalah sebesar 23,5.

Sebuah subskor dari MMSE telah terbukti berguna dalam menegakkan


diagnosa banding demensia, khususnya demensia tipe Alzheimer dari demensia
tipe Lewy bodies, berdasarkan kerusakan yang lebih berat pada fungsi
atensi/perhatian dan visuospasial serta memori yang relatif lebih baik pada tipe
Lewy bodies, yang dihitung dengan persamaan ([atensi] [5/3 memori] x
[memori] x [kosntruksi]). Subskor dengan nilai < 5 dilaporkan terjadi dalam
penelitian restrospektif kecil dari kasus demensia Alzheimer dan Lewy bodies
dengan sensitivitas sebesar 0,82 dan spesifisitas 0,81 khusus untuk demensia lewy
bodies (Ala et a.l, 2002). Dalam hal ini, rasio kemungkinan positif yaitu x 45
(kecil) dan rasio kemungkinan negatif yaitu x 0,22 (kecil). Subskor tersebut
belum dirasakan berguna untuk menegakkan diagnosa banding dalam sebuah
penelitian prospektif dengan sampel besar (n 285) yang terdiagnosa secara
klinis dengan penelitian kohort (Larner,2003,2004).

1.8.2. Clock drawing (Tes Menggambar Jam)

Menggambar jam memiliki sejarah panjang sebagai tes untuk kerusakan


fungsi kognitif dan masih tetap populer hingga saat ini (Freedman et al., 1994;
Shulman & Feinstein, 2003). Tes tersebut bermanfaat karena bersifat cepat dan
sederhana, dan dapat menguji cakupan yang luas dari domain kognitif seseorang
(tes penapisan difus) meliputi komprehensi auditori, memori, kemampuan
membuat rencana, kemampuan visuospasial, serta kemampuan motoris. Namun,
masalah berada pada bagian interpretasi dan pemberian skor pada hasil gambaran
jam, untuk dapat memenuhi kriteria kualitatif dan kuantitatif. Kebanyakan sistem
pemberian skor dilaporkan dapat mencapai sensitivitas dan spesifisitas sekitar
0,85. Tes menggambar jam telah diintegrasikan ke dalam penapisan dini lain dan
tes diagnostik seperti CERAD (Morris et al., 1989), CAMCOG (Huppert et al.,
1995), Mini-Cog (Borson et al., 2000), dan ACE (Mathuranath et al., 2000) dan
ACE-R (Mioshi et al., 2006). Tes tersebut dapat mengenali adanya defisiensi pada
banyak tes kognitif lain yang lebih bagus melalui kemampuannya dalam
menginvestigasi fungsi eksekutif (Royall et al., 1998), namun tes tersebut
memiliki keterbatasan dalam mendeteksi demensia ringan. Tes jam berjalan
mundur, dengan menggunakan gambar cerminan dari jam analog normal, dimana
pasien diminta membaca deretan waktu pada jam yang ditunjukkan secara mundur
atau maju. Tes tersebut berfungsi sebagai tes difus, yang membedakan pasien
dengan defisit kognitif fokal dari pasien dengan kerusakan global (demensia:
Larner, 2007).

1.8.3 Queen Square Screening Tests for Cognitive Deficits

Untuk pelatihan neurologikal dari generasi ke generasi di Rumah Sakit Nasional


untuk Neurologi dan Bedah Syaraf di London, the Queen Square Screening Tests
for Cognitive Deficits (QSSTCD), lebih dikenal dengan the green book telah
menjadi standar instrumen tes neuropsikologis tirah baring (Warrington, 1989).
Walaupun secara keseluruhan bersifat kualitatif, ini berguna dalam memberikan
petunjuk untuk menetukan lokasi dari berbagai defisit kognitif.

1.8.4. Addenbrookes Cognitive Examination (ACE) dan Addenbrookes


Cognitive ExaminationRevised (ACE-R)/ Pemeriksaan kognitif
Addenbrookes dan Versi revisi pemeriksaan Addenbrookes

Tes tersebut merupakan bentuk perkembangan dari MMSE yang


mengintegrasikan lebih banyak materi untuk mengenali ke-28 fungsi kognitif
sebagai bentuk pengakuan akan kelemahan MMSE, terutama dalam menguji
fungsi memori, visuospasial dan eksekutif (Mathuranath et al., 2000; Nestor &
Hodges, 2001). ACE secara luas telah diterima dan diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa (Mathuranath et al., 2004; Bier et al., 2005; Larner, 2005, 2006,
2007a; Garcia- Caballero et al., 2006). ACE juga dilaporkan bermanfaat dalam
mendeteksi karakteristik kognitif dari sindrom parkinson atipikal (Bak et al.,
2005a,b) dan dalam membedakan demensia dari gangguan afektif (Dudas et al.,
2005).
Untuk skor cut off ACE dengan nilai 88, dilaporkan nilai sensitivitas
sebesar 0,93 dan spesifisitas sebesar 0,71, sedangkan untuk nilai cut off 83,
sensitivitas bernilai 0,82 dan spesifisitas bernilai 0,96. Hasil tersebut dirangkum
dari penelitian kohort yang meliputi 139 pasien (Mathuranath et al., 2000).
Penelitian oleh Bier et al. (2004) juga mendapatkan hasil sensitivitas tinggi (1,0
dan 0,9 untuk nilai cut off 88 dan 83, secara berurutan) namun spesifisitas yang
lebih rendah (0,46 dan 0,64). Pada klinik yang dimiliki peneliti, dari 154 pasien
yang datang berurutan, 51% diantaranya memiliki sindrom demensia, dengan
sensitivitas dan spesifisitas untuk nilai cut off ACE sebesar 88 adalah 0,97 serta
0,47, dengan 0,92 dan 0,62 untuk nilai cut off ACE sebesar 83, sehingga
memberikan kemungkinan rasio positif dan negatif sebesar 1,83 (1,48-2,26) dan
0,06 (0,05-0,07) serta 2.45 (1.823.29) dan 0.13 (0.100.17), secara berurutan
(dengan 95% confidence interval, metode log). Pada hasil tersebut, nilai ACE
yang > 88 akan mengeksklusikan demensia (Larner, 2005). Odds ratio diagnostik
untuk nilai cut off ACE sebesar 88 adalah 32,9.

Selain terbukti berguna untuk diagnosis awal dari demensia, sebuah


subskor yang diambil dari ACE, yaitu VLOM rasio, dapat dihitung dari skor
subset dengan formula [kefasihan berbahasa verbal]/[orientasi atau keterlambatan
mengingat], dengan tujuan membedakan Demensia Alzheimer (VLOM rasio>3.2)
dengan demensia frontotemporal (VLOM ratio<2.2). Dalam penelitian oleh
(Mathuranath et al., 2000), VLOM rasio>3.2 menunjukkan sensitivitas sebesar
0,75 dan spesifisitas sebesar 0,84 untuk mendiagnosa demensia Alzheimer.
Penguunaan VLOM rasio > 3,2 sebagai penentu diagnosis dari demensia
Alzheimer dikonfirmasi dalam sebuah penelitian kohort namun penelitian tersebut
juga menemukan sensitivitas yang rendah untuk VLOM rasio < 2,2 yang dipakai
menegakkan diagnosa demensia frontotemporal (Bier et al., 2004; Larner, 2005,
2007a).

Baru-baru ini, sebuah versi revisi dari ACE, ACE-R, telah dipublikasikan
(Mioshi et al., 2006), dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik yang
menggunakan populasi dari sebuah rumah sakit terpilih. Hasil tersebut telah
direplikasi dalam sebuah penelitian pragmatis pada populasi klinis yang tidak
terpilih (AUC [area under curve]0.95; 95% CI 0.900.99), namun dengan saran
untuk memakai nilai cut off yang lebih rendah, karena dalam praktik klinis
keseharian diperbolehkan tidak memakai kriteria eksklusi dan tidak memiliki
populasi yang sebelumnya dipilih sebagai populasi normal (Larner, 2007b).

1.8.5 DemTect

DemTect merupakan tes untuk demensia yang terdiri dari 5 subset yaitu:
repetisi dari 10 daftar kata, transkode angka, uji kefasihan berbicara semantik,
menghitung mundur, dan keterlambatan mengingat 10 daftar kata sebelumnya.
Skor mentah ditransformasi untuk mendapatkan skor akhir, dengan nilai
maksimum 18, yang tidak bergantung pada usia dan tingkat pendidikan, dengan
klasifikasi yaitu: suspek demensia (skor 8); kerusakan kognitif ringan (9-12),
dan sesuai dengan umur (13-18) (Kalbet eta al., 2004). Dalam penelitian indeks
mengenai sensitivitas dan spesifisitas dari demensia Alzheimer dilaporkan
memiliki nilai sebesar 100% dan 92% secara berurutan, dan dalam sebuah studi
validasi (n 38) dengan memakai gambaran 18FDG-PET memiliki nilai area
dibawah kurva ROC (AUC) sebesar 0,85 (95% CI 0.730.97: Scheurich et al.,
2005). Dalam klinik yang dimiliki peneliti, sebuah penelitian pada 111 pasien
yang dirujuk, 52% diantaranya menunjukkan sindrom demensia, dengan
sensitivitas dan spesifisitas untuk demensia sebesar 85% dan 72%, nilai AUC
sebesar 0,87 (95% CI 0.800.93: Larner 2006, 2007). Penggunaan DemTect juga
telah dilaporkan dalam CADASIL, sebuah demensia subkorteks (Hennerici et al.,
2006).

1.8.6. Dementia Rating Scale ( DRS)/ Skala Laju Demensia

The Mattis Dementia Rating Scale (DRS: Mattis, 1976, 1992) dan
suksesornya yaitu DRS-2, terdiri atas beberapa macam subset (perhatian/atensi,
inisiasi, konstruksi, konseptualisasi, memori) untuk memberikan pengukuran
global bagi demensia (dengan skor 0-144) dan memerlukan waktu sebanyak 30
menit. Data normatif tersedia (Lucas et al., 1998). DRS berguna untuk mendeteksi
kerusakan kognitif dan bersifat sensitif untuk demensia tahap awal. Penilaian
terhadap rentang kemampuan kognitif menunjukkan bahwa DRS dapat
bermanfaat dalam pelacakan longitudinal terhadap perubahan kognitif. Lebih
lanjut lagi, DRS didesain untuk membantu dalam menegakkan diagnosa banding
sindrom demensia (e.g. Rosser & Hodges, 1994; Donnelly & Grohman, 1999;
Lukatela et al., 2000). Uji tersebut dilaporkan dapat membedakan penyakit
subkorteks dari demensia Alzheimer (Bak et al., 2005).

1.8.7 ADAS-Cog/ Skala penilaian penyakit Alzheimer-Bagian kognitif

The Alzheimers Disease Assessment ScaleCognitive Section (ADAS-


Cog: Rosen et al., 1984) telah menjadi referensi pengukuran yang secara luas
digunakan, sebagai contoh sebagai alat ukur penentu efikasi obat dalam uji klinis.
Memori, atensi, proses belajar, dan orientasi merupakan salah satu diantara
domain yang diperiksa, dengan skor akhir (0-70) yang akan bertambah tinggi
dengan kerusakan yang makin berat. Karena ADAS-Cog membutuhkan waktu
lama untuk dilakukan dibanding dengan MMSE (selama 30-45 menit) sehingga
tidak praktis untuk dipakai dalam praktek klinis sehari-hari.

Sebuah kalkulator untuk mengkonversi skor MMSE ke dalam skor


ADAS-Cog telah tersedia, yang menunjukkan hubungan kuat antara skor ADAS-
Cog dengan MMSE (Doraiswamy et al., 1997).

1.8.8. CERAD Battery/ Konsorsium untuk menegakkan pencatatan penyakit


Alzheimer

The Consortium to Establish a Registry for Alzheimers Disease


(CERAD) battery (Morris et al., 1989) memadukan MMSE dan subset lain seperti
memori, proses menamai, dan kefasihan verbal.

1.8.9 Clinical Dementia Rating (CDR)/ Skala klinis demensia

Meskipun merupakan tahapan pengukuran global,dan bukan instrumen


murni untuk tes neuropsikologis (Hughes et al., 1982; Morris, 1993), instrumen
tersebut dimasukkan karena terkenal dengan kegunaannya dalam mendefinisikan
kerusakan kognitif ringan (MCI). Instrumen tersebut didasarkan pada penilaian
pasien dan wawancara dengan perawat, skala memori, orientasi, penilaian dan
kemampuan memecahkan masalah, hubungan dalam komunitas, rumah dan hobi,
serta kepedulian personal. Sekitar 40 menit diperlukan untuk mengumpulkan
informasi yang diperlukan. Skala terentang dalam nilai 0 hingga 3. Skor CDR
dengan nilai 0,5 diduga berhubungan dengan kerusakan kognitif ringan (MCI).
Skor CDR sebesar 1 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik dalam
mendeteksi demensia (Juva et al., 1995).

1.8.10 Global Deterioration Scale (GDS)/ Skala deteriorasi global.

Sebagaimana CDR, the Global Deterioration Scale (GDS) merupakan


instrumen penilaian untuk kapasitas kognitif dan fungsional meliputi 7 skala poin
(Reisberg et al., 1982). Skor GDS dengan nilai 3 dipakai pada beberapa pusat
kesehatan untuk menegakkan adanya kerusakan kognitif ringan (MCI).

1.8.11 Instrumental Activities of Daily Living (IADL) Scale/ Skala


instrumental untuk aktivitas kehidupan sehari-hari

Semenjak definisi resmi dari demensia tak hanya meliputi kerusakan


kognitif namun juga kerusakan fungsi sosial dan okupasional sebagai akibat
penurunan kognitif, terbentuk suatu perdebatan bahwa skala ADL dapat bertindak
sebagai tes diagnostik independen bagi demensia yang setara dengan tes kognitif
lain. Dalam penelitian epidemiologi, hilangnya aktivitas instrumental tertentu dari
kegitan sehari-hari (seperti penggunaan telepon secara mandiri, kemampuan untuk
bepergian dengan transportasi pribadi maupun umum dan tanggungjawab untuk
masalah pengobatan dan keuangan) telah terbukti bernilai prediktif untuk
tegaknya diagnosa demensia (Barberger- Gateau et al., 1992; De Lepeleire et al.,
2004). Dalam penelitian dengan populasi berbasis klinis, penggunaan
pemeliharaan kesehatan fisik oleh seseorang dan aktivitas instrumental yang
tercantum dalam skala kehidupan sehari-hari dari Lawton and Brody (1969)
memiliki akurasi diagnostik rendah untuk menegakkan demensia (AUC0.75),
secara mendasar disebabkan banyak orang yang melakukan penilaian demensia
memakai kriteria DSM-IV yang berada pada batas tertinggi dari skala tersebut
(Hancock& Larner, 2007).

1.9 Normal aging /Proses penuaan yang normal

Berbagai perubahan pada fungsi neurologi terjadi seiring dengan


peningkatan usia, fungsi motoris, fungsi sensoris, dan kognitif (Larner, 2006;
Peters, 2006). Belum dapat dipastikan bagaimana penurunan keseluruhan poses
tersebut menjelaskan apakah masih berada pada proses penuaan yang normal atau
sudah menceminkan terjadinya penyakit neurologis yang terkait usia. Sebagai
akibatnya, perubahan fisiologis yang tidak dapat dielakkan tersebut, sukar
dibedakan dengan tahap awal gangguan otak patologis yang menyebabkan
kerusakan kognitif.

Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan anatra pengamatan pada


intelegensi yang dimiliki seseorang (crystallized intelligence), yang ditandai
dengan kemampuan praktis untuk memecahkan permasalahan, pengetahuan yang
diperoleh dari pengalaman, dan kosa kata dengan fluid intelligence, yang ditandai
dengan kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan informasi baru,
sebagaimana yang diukur dari kemampuan untuk mencari solusi atas masalah
abstrak dan performa yang cepat (Horn & Cattell, 1967). Crystallized intelligence
dianggap bersifat kumulatif: sebagai contoh yaitu studi longitudinal mengenai
kosa kata, yang tidak menunjukkan penurunan meski pada usia tua. Sebaliknya,
fluid intelligence benar-benar mengalami perubahan seiring dengan usia,
ditunjukkan dengan performa pada tes Ravens Progressive Matrices and Digit
Symbol Substitution yang mengalami penurunan menjelang usia 40 tahun dan
seterusnya secara cepat (Salthouse, 1982).

Terdapat konsensus umum yang mengatakan bahwa penuaan


kemampuan kognitif secara khas meliputi hilangnya kemampuan memproses
kecepatan, fleksibilitas kognitif, dan efisiensi pada memori kerja (perhatian yang
tetap dipertahankan). Dengan kata lain, seseorang akan membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk mempelajari sesuatu yang baru. Domain kognitif seperti akses ke
informasi yang baru saja dipelajari, termasuk jaringan semantik, dan kemampuan
mengingat kembali informasi baru yang tersimpan akan menurun dengan adanya
penuaan yang khas tersebut. Hal tersebut dapat menjadi alasan untuk melakukan
uji pada ke-32 domain fungsi kognitif untuk dipakai sebagai indikator sensitif dari
proses terjadinya sebuah penyakit (Smith & Ivnik, 2003). Kemungkinan untuk
terjadinya penurunan fungsi memori pada proses penuaan normal menempati
urutan kedua setelah penurunan pada kecepatan untuk memproses informasi dan
efisiensi, karena kontrol untuk melakukan pemrosesan kecepatan dapat
meningkatkan atau justru mengeliminasi perbedaan terkait usia dalam performa
memori seseorang, yang berbeda dengan kasus kerusakan memori pada demensia
(Sliwinski et al., 2003).

Penelitian longitudinal mengenai fungsi neuropsikologis pada penduduk


amerika usia tua menunjukkan bahwa terdapat variabilitas pada orang tua dewasa
yang normal antar berbagai kemampuan yang berbeda, dan konsistensi antar
domain yang berbeda yang kurang penting untuk diamati (Smith & Ivnik, 2003).
Perubahan tersebut harus dipertimbangkan dengan baik saat melakukan penilaian
tentang penurunan fungsi kognitif yang didapat, apakah perubahan tersebut
bersifat normal ataukah patologis. Dengan cara seperti itulah standar
neuropsikologis untuk penuaan didefinisikan. Lebih lanjut lagi, standar untuk IQ
semakin meningkat seiring waktu (Deary, 2001). Sepertinya, standar yang
ditetapkan perlu menitikberatkan pada usia untuk mendeteksi adanya kerusakan
kognitif yang terkait dengan penyakit Alzheimer (Sliwinski et al., 2003), dimana
prevalensinya meningkat secara eksponensial seiring denga penambahan usia.
Banyak pengaruh situasional lain juga dapat mempengaruhi hasil tes kognitif,
seperti kelelahan, status emosi, pengobatan yang dilakukan, rasa sakit (Nicholson
et al., 2001), dan stres. Hal tersebut juga perlu diperhitungkan saat
mempertimbangkan hasil dari tes kognitif, karena banyak faktor seperti
pengalaman pendidikan dan latar belakang. Banyak standard juga menitik
beratkan pada budaya. Standar penetapan mengenai sindrom kerusakan kognitif
bila terjadi penurunan fungsi kognitif melebihi usia seseorang, yang merupakan
tanda untuk terjadinya penurunan fungsi kognitif progresif dan merupakan fase
prodromal dari gangguan neurodegeneratif.

1.10 Demensia, Delirium, Depresi

Diagnosa demensia baru-baru ini didasarkan pada dipenuhinya kriteria


diagnosa klinis, sebagai contoh yaitu kriteria klinis yang ada pada Diagnostic and
Statistical Manual (DSM), the International Classification of Diseases (ICD) atau
dedicated criteria for specific dementia subtypes. Sebagai contoh untuk
penegakan diagnosis demensia berdasar DSM-IV (American Psychiatric
Association, 1994), memerlukan dipenuhinya kriteria yang meliputi
perkembangan defisit kognitif multipel, onset bertahap dan progresif, dan bersifat
cukup berat dalam menyebabkan terjadinya kerusakan di bidang pekerjaan dan
fungsi sosial, yang tidak memenuhi kriteria diagnosa penyakit lain. Namun,
penerapan dari kriteria semacam itu pada penelitian kohort dari pasien
menghasilkan beragam perbedaan klasifikasi demensia dari pasien tersebut
dengan perbedaan hingga 10 buah (Erkinjuntti et al., 1997).

Sebuah alasan yang diusulkan untuk variabilitas tersebut yaitu karena


banyak dari kriteria tersebut menitkberatkan pada kerusakan memori saja. Karena
kerusakan memori merupakan karakteristik yang sukar terpisah dari penyakit
Alzheimer, yang merupakan penyebab terbesar dari demensia, sehingga banyak
kriteria diagnostik lain, sebagai contoh untuk demensia vaskular, lebih
menitikberatkan usia sebagai kriteriaanya dibanding tanda klinis lainnya (Bowler
& Hachinski, 2003).

Demensia tipe ke-2 yang berbeda dengan demensia tipe-1 tidak memiliki
tanda kerusakan korteks seperti pada amnesia, dimana munculnya kerusakan
fungsi kontrol kemampuan eksekutif saja sudah cukup untuk menimbulkan
disabilitas/kecacatan (Royall, 2006). Kriteria diagnosa lain yang membingungkan
yaitu kriteria untuk sindrom dengan pelabelan demensia, seperti pada diagnosa
demensia frontotemporal, yang memang tidak memenuhi kriteria demensia pada
tahap awal, karena perubahan yang terjadi melibatkan disfungsi korteks frontal
(fungsi eksekutif) dan merupakan perubahan perilaku yang bersifat non-kognitif
(Mendez et al., 2006). Kebingungan juga dapat terjadi dalam membedakan
demensia dengan kerusakan kognitif ringan (MCI).

Diagnosis lain juga bisa dirancukan dengan demensia, sehingga perlu


untuk mempertimbangkan diagnosa banding dari demensia, yang kebanyakan
merupakan delirium dan depresi. Defisit kognitif, terutama yang bersifat akut
pada orang tua, sebaiknya tidak langsung didiagnosa sebagai demensia kecuali
delirium memang telah disingkirkan, karena kemungkinan kembalinya defisit
kognitif masih memungkinkan dengan koreksi faktor yang mencetuskan
terjadinya delirium. Gejala penurunan kesadaran yang merupakan tanda khas pada
delirium kemungkinan tidak bisa diidentifikasi dengan cukup jelas. Lebih lanjut
lagi, delirium dapat menjadi tanda adanya sindrom demensia (Robertsson et al.,
1998; Rockwood et al., 1999). Dengan kata lain, demensia dapat menjadi faktor
predisposisi untuk delirium, kemungkinan akibat berkurangnya kemampuan otak
dan oleh karenanya otak menjadi kurang adaptif dalam merespon faktor
presipitasi,dimana biasanya disebabkan oleh adanya infeksi dan gangguan
metabolik (Lindesay et al., 2002; Larner, 2004). Sebuah penelitian menemukan
bahwa sekitar pasien demensia pernah mengalami episode demensia selama
perjalanan penyakitnya (Baker et al., 1999). Pedoman untuk pencegahan,
diagnosa dan terapi delirium telah dipublikasikan (sebagai contoh oleh Royal
College of Physicians, 2006).

Beberapa hal perlu dicermati karena demensia dapat dipahami sebagai


sebuah sindrom yang didapat yang meliputi kerusakan pada fungsi kognitif,
sehingga dapat dibayangkan bahwa mekanisme perhatian/atensi dalam demensia
masih normal, yang menjadi pembeda yang jelas antara demensia dan delirium.
Namun mekanisme atensi tersebut kadang tidak normal pada sindrom demensia
(sebagai contoh atensi terbagi dan selektif pada penyakit Alzheimer). Namun,
pada beberapa tipe demensia, perubahan atensi merupakan kunci untuk
menegakkan diagnosa (sebagai contoh pada demensia Lewy bodies).
Gangguan afektif, dalam bentuk depresi, dapat terkait dengan kerusakan
fungsi kognitif. Istilah yang dipakai untuk mendefinisikan entitas klinis tersebut
meliputi pseudodemensia, sindrom depresi demensia, dan depresi terkait disfungsi
kognitif (Kiloh, 1961;Wells, 1979; Roose & Devanand, 1999; Shanmugham &
Alexopoulos, 2005). Untuk lebih meyakinkan apakah manifestasi tertentu
merupakan penurunan kognitif, yang diakibatkan depresi atau berasal dari
gangguan neurodegeneratif yang merupakan tantangan terberat yang dihadapi
para dokter yang berkutat dalam ranah klinis memori (Christensen et al., 1997).
Depresi dapat menjadi bagian integral dari banyak gangguan neurologis, termasuk
sindrom demensia, dan bukan sekedar reaksi dari sebuah diagnosis dan kerusakan
neurologis (Kanner, 2005). Hasil uji neurofisiologis mungkin tidak dapat
membedakannya, meskipun beberapa tes diklaim mampu melakukan pembedaan
(e.g. ACE: Dudas et al., 2005; CANTAB-PAL: Swainson et al., 2001). Sebuah uji
coba empiris mengenai pengobatan dengan antidepresan telah dicoba, namun
perbaikan klinis belum tentu dapat menegakkan diagnosisnya, sehingga monitor
lanjut diperlukan. Penurunan fungsi kognitif yang progresif mungkin juga dapat
menjadi tanda dari schizofrenia (Almeida & Howard, 2005; Al-Uzri et al., 2006;
Morrison et al., 2006).

1.11 Perbandingan Demensia Korteks dan Subkorteks, Demensia Thalamus

Albert et al. (1974), pertama kali menggunakan istilah demensia


subkorteks untuk mendeskripsikan kerusakan fungsi kognitif yang terlihat dalam
kelumpuhan progresif supranuklear yang meliputi: lupa, keterlambatan proses
pikir (bradifrenia), perubahan kepribadian dengan tanda apatis dan depresi, dan
hilangnya kemampuan untuk memanipulasi pengetahuan yang didapatkan. Defisit
tersebut dirasakan peneliti berbeda dari yang terlihat pada kasus demensia
korteks, yaitu penyakit Alzheimer yang meliputi adanya kerusakan fungsi bahasa
(afasia), memori (amnesia), persepsi (agnosia), dan kemampuan memperlajari
gerakan terampil (apraksia). Istilah demensia limbik beberapa kali dipakai untuk
sindrom yang ditandai dengan amnesia dan bukti patologis di sistem limbik
seperti pada penyakit Alzheimer.
Pada tes mengingat memori untuk demensia subkorteks terdapat
ketidakefektifan dalam fungsi mengingat kembali namun kemampuan
mengkonversi bahasa masih baik. Pada demensia korteks kemampuan mengingat
kembali dan mengkonversi informasi yang di dapat keduanya tidak efektif lagi.
Istilah subkorteks dipilih karena kemiripan dari defisit yang terjadi dengan
penyakit lobus bifrontal, juga tercermin dalam defisit emosi dan pergerakan dalam
2 bentuk yaitu: demensia subkorteks yang cenderung berkaitan dengan apatis dan
depresi serta gangguan yang jelas pada tonus otot, postur dan gait, sedangkan
demensia korteks lebih pada terjadinya anosognia kognitif dan disinhibisi tanpa
adanya gangguan pergerakan (Cummings, 1990). Prototipe dari demensia
subkorteks tampaknya terjadi pada penyakit Huntingtons (McHugh & Folstein,
dan penyakit Parkinson (Starkstein & Merello). Telah dihipotesiskan bahwa
ganglia basalis, selain memiliki peran sebagai pengatur gerakan, juga menunjang
mekanisme atensi/perhatian dasar, memfasilitasi sinkronisasi aktivitas korteks
dalam hal seleksi dan promulgasi urutan pikiran seseorang; perhatian yang
terfokus tersebut berbeda dari hasrat, dan kewaspadaan. Kerusakan ganglia basalis
menyebabkan kegagalan sinkronisasi yang bermanifestasi pada abulia dan
bradifrenia (Brown & Marsden, 1998). Demensia yang terkait dengan substansi
putih otak juga dilaporkan terjadi, sebagai contoh. Pada beberapa pasien dengan
sklerosis multipel yang memiliki tanda neuropsikologis yang serupa (Rao, 1996).
Kerusakan kognitif substansi putih telah dicatat secara luas oleh Filley (2001).
Sebuah entitas yang disebut dengan demensia thalamus juga pernah disebutkan
dalam literatur (Stern, 1939), yang merujuk pada kerusakan fungsi kognitif pada
keadaan dengan kerusakan talamus yang selektif. Paling umum akibat lesi
vaskular atau neoplasia, namun kerusakan thalamus yang relatif selektif juga
pernah dilaporkan terjadi. Kemungkinan akibat penyakit prion (Petersen et al.,
1992), seperti insomnia familial yang fatal (Gallassi et al., 1996), meskipun kasus
degenerasi selektif thalamus dengan patologi pada atrofi sistem multipel (Petersen
et al., 1992) atau penyakit motorneuron (Deymeer et al., 1989), atau tanpa bukti
terjadinya penyakit prion (Janssen et al., 2000) telah berhasil dilaporkan. Tanda
neuropsikologis yang muncul dapat meliputi lupa, apatis, dan hipersomnia.
Kerusakan fungsi kognitif juga dapat terjadi pada pasien dengan lesi batang otak
terisolasi akibat proses kerusakan vaskular, inflamasi, infeksi, metabolik (Garrard
et al., 2002).

Bukti mengenai dikotomi antara korteks dan subkorteks telah ramai


diperdebatkan (Brown & Marsden, 1988), dan muncul keberatan terhadap adanya
konsep demensia subkorteks. Area korteks dan subkorteks tidak berfungsi secara
independen namun saling tumpang tindih. Karena substansi putih memiliki fungsi
integratif yang esensial, dimana secara timbal-balik menghubungkan struktur
korteks dan subkorteks, sehingga patologi pada substansi putih dianggap sebagai
akibat diskoneksi fungsional area otak, dan adanya gangguan fungsi otak di lokasi
yang jauh dari lesi (diaschisis) merupakan fenomena yang sepenuhnya diketahui.
Hal tersebut dapat dilihat pada disfungsi lobus frontalis dalam sklerosis multipel
(Foong et al., 1997) dan diduga terjadi pada adrenoleukodistrofi yang terkait gen-
X (Larner, 2003a). Fenotipe klinis yang identik atau serupa dapat berasal dari
patologi yang mempengaruhi baik substansi abu-abu atau substansi putih di
dekatnya (sebagai contoh afasia subkorteks: Benson & Ardila, 1996). Terhadap
argumen tersebut, terdapat sebuah penelitian yang menemukan bahwa lokalisasi
yang salah dari tanda neurologis biasanya menunjukkan adanya kerusakan fungsi
kognitif yang lebih tinggi (misalnya agnosia, dan apatis) namun jarang dilaporkan
(Larner, 2003b, 2005). Apapun hubungan fisiologis yang tepat, tampaknya
terminologi korteks dan subkorteks masih memberikan manfaat klinis dalam
membedakan diagnosa sindrom demensia (Neary & Snowden, 2002; Bak et al.,
2005).

1.12 Sindrom Diskoneksi

Sindrom diskoneksi dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana terdapat


interupsi pada inter dan intra traktus hemisfer otak. Konsep tersebut awalnya
berkembang pada tahun 1890an, namun dimunculkan kembali dan dikembangkan
oleh Norman Geschwind di tahun 1960an (Geschwind, 1965; Absher & Benson,
1993; Catani & ffytche, 2005). Sindrom diskoneksi pada dasarnya merupakan
akibat interupsi pada hubungan dalam corpus callosum atau komisura (sindrom
diskoneksi interhemisfer), atau hubungan di dalam hemisfer (sindrom diskoneksi
intrahemisfer). Bentuk yang lebih awal lebih dapat digambarkan pada pasien yang
telah menjalani pembedahan komisurotomi untuk masalah gangguan kejang yang
sulit dikendalikan dengan pengobatan (Sperry, 1982; Zaidel et al., 2003),
sedangkan bentuk yang kedua dapat digambarkan dalam domain bahasa.
Meskipun lesi yang luas dan iatrogenik (karena pembedahan) merupakan
penyebab jelas dari adanya diskoneksi, diskoneksi fungsional juga dapat berasal
dari gangguan inflamasi dari substansi putih. Demensia callosum juga telah
dirumuskan, yang ditandai dengan diskoneksi pada callosum, sindrom Balint,
gaze apraksia, dan tanda neurobehavioural seperti apatis alternat dan agitasi
(Ghika Schmid et al., 1999).

Dengan adanya diskoneksi interhemisferik yang lengkap, sebagai contoh


dengan adanya tumor atau yang mengikuti pembedahan dari corpus callosum,
pasien yang ditutup matanya dapat menamai objek yang diletakkan pada tangan
sebelah kanannya, namun hal serupa tidak terjadi bila benda tersebut diletakkan di
tangan kiri, dan objek pada lapang pandang sebelah kiri tidak dapat dinamai atau
dicocokkan terhadap objek yang sama di lapang pandang sebelah kanan. Dengan
irisan pada splenium bagian callosum posterior, sebagai contoh pada saat terjadi
oklusi arteri serebri posterior sebelah kiri, pasien tidak mampu membaca atau
menyebutkan warna, karena informasi tidak bisa lewat menuju area bahasa di
belahan otak sebelah kiri. Kemampuan mengkopi kata-kata dan menulis, baik
secara spontan dan didiktekan masih baik, karena informasi dapat melewati
bagian belahan otak kiri depan dari lokasi terjadinya kerusakan (afasia tanpa
agrafia).

Berbagai macam sindrom diskoneksi intrahemisfer telah berhasil


dideskripsikan. Pada afasia konduksi, pasien masih memiliki kemampuan
berbicara dan menulis yang fasih namun parafasik, dengan kerusakan kemampuan
untuk melakukan repetisi disamping kemampuan komprehensi yang relatif normal
terhadap kata yang diucapkan maupun ditulis. Hal tersebut telah dijelaskan secara
tradisional akibat lesi pada fasikulus arkuata/ gyrus supramarginal yang
memutuskan hubungan antara area bahasa sensoris (Wernicke) dengan area
bahasa motoris (Broca). Ideomotor yang terjadi pada afasia Broca merupakan
apraksia pada pergerakan tangan kiri untuk melakukan sesuatu, dihubungkan
dnegan lesi yang memutuskan hubungan antara area korteks motorik di sebelah
anterior dari area korteks primer. Dalam kasus tuli nada murni, pasien mampu
mendengarkan dan mengidentifikasi bunyi non-verbal namun tidak mampu
memahami bahasa pembicaraan, akibat lesi pada substansi putih di bagian lobus
temporalis kiri yang mengakibatkan isolasi area Wernicke dari area korteks
auditori.

Penyakit Alzheimer dapat dilihat sebagai bentuk sindrom diskoneksi


(Lakmache et al., 1998; Delbeuck et al., 2003). Patologi yang terjadi pada
demensia Alzheimer mengisolasi hipokampus dari korteks asosiasi, otak depan
bagian basal, thalamus dan hipotalamus (Hyman et al., 1984). Diskoneksi dari
regio korteks disebabkan oleh lesi pada substansi putih dan atrofi serebri akibat
oklusi pada arteri carotis interna (Yamauchi etal., 1996). Spekulasi mengenai
sindrom delusi yang kemungkinan mewakili sindrom diskoneksi telah dilaporkan
(sebagai contoh Capgras, Cotards).

Tambahan

Pada bab selanjutnya, defisit pada berbagai domain kognitif yang telah
didiskusikan pada bab ini yang berhasil diamati dari gangguan neurologis, akan
dibicarakan. Defisit tersebut dapat bersifat lokal ataupun tersebar, atau bagian dari
jenis kerusakan yang lebih luas yang semakin mendekat ke arah diagnosis
demensia. Banyak keluhan mengenai memori klinis yang terjadi di klinik, namun
setelah dilakukan evaluasi yang hati-hati secara klinis dan neuropsikologis serta
berdasarkan gambaran pada foto, ternyata tidak membuktikan adanya gangguan
neurologis yang mendasari. Individu seperti dalam kasus tersebut, memenuhi
persentase sekitar 50% dari pasien yang berhasil ditemukan pada praktik klinik
(Larner, 2005), terkadang disebut sebagai kerusakan memori yang bersifat
subjektif murni, yang menimbulkan tantangan diagnostik. Beberapa, dapat
mencerminkan adanya misdiagnosa dari penyakit neurodegeneratif yang insipien
(kerusakan kognitif ringan / MCI); sementara itu, pasien lainnya kemungkinan
memang memiliki gangguan afektif primer, gangguan terkait tidur, masalah
dengan penyalahgunaan obat-obatan, atau kombinasi dari kesemuanya. Kasus lain
mungkin berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif terkait fisiologis usia.
Jika keraguan masih tetap dirasakan, pasien tersebut sebaiknya dimonitor untuk
penilaian yang bersifat longitudinal.

You might also like