Professional Documents
Culture Documents
Dalam bab ini akan dijelaskan secara singkat berbagai domain dari fungsi
kognitif, evaluasi neuropsikologisnya, dan berbagai sindroma gangguan kognitif.
Hal tersebut lebih ditujukan untuk kepentingan praktik klinis neurolog, bukannya
untuk kepentingan neuropsikolog akademisi.
Selain itu terdapat beberapa bentuk tes neuropsikologis yang sering dikenal
sebagai uji neurolopsikologis yang dilakukan pada tatanan rawat tirah baring
bedside neuropsychological tests dimana pelaksanaannya harus dibedakan
dengan uji formal dan dari sini dapat diperoleh manfaat diagnostik (Griffiths &
Welch, 2003). Lebih lanjut, terbagai berbagai test batteries yang dapat dilakukan
dalam jangka waktu 10-30 menit, yang tidak hanya mencakup penilaian atas
fungsi kognitif saja, melainkan juga mencakup penilaian fungsional, behavioral,
dan global (Burns et al., 1999, 2004). Meskipun keringkasan berbagai uji tersebut
membuat mereka secara klinis dapat diaplikasikan, terdapat beberapa kekurangan
yang harus diketahui dan diperhatikan oleh para klinisi dan neurolog: skor mentah
yang diturunkan dari beberapa uji bukan menunjukkan diagnosis atas suatu
kondisi, meskipun keberadaannya dapat meningkatkan kemungkinan ke arah
diagnosis dari penyakit tertentu. Selain itu, juga diketahui dan ditemukan
terjadinya inkongruensi atau anomali dalam bidang medikolegal dalam
pelaksanaan uji-uji tersebut (Trimble, 2004).
Yang juga perlu diperhatikan bahwa ketika dilakukan evaluasi terhadap kelainan
kognitif, terutama yang melibatkan gangguan memori, berupa keberadaan
anamnesis riwayat kolateral yang adekuat yang diperoleh dari keluarga, teman,
atau perawat menjadi salah satu subyek yang vital dalam evaluasi tersebut
(Tierney et al., 1996; Jorm, 1997; Carr et al., 2000; Shulman &Feinstein, 2003),
bahkan pada stadium awitan terjadinya penyakit (Isella et al., 2006). Bahkan
observasi sederhana seperti pasien yang mendatangi klinik dengan sendirinya
padahal telah diinstruksikan untuk diantar dan ditemani oleh seorang anggota
keluarga atau teman memiliki relevansi diagnostik, yang menandakan terjadinya
suatu derajat kelainan kognitif pada pasien (Larner, 2005).
The Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan salah satu instrumen yang
paling umum digunakan untuk memonitor derajat kesadaran (Teasdale & Jennett,
1974). Pertamanya GCS diperkenalkan untuk menilai derajat keparahan cedera
kepala, dimana selanjutnya dapat digunakan untuk berbagai situasi klinis lainnya
(seperti, delirium, stroke, dsb), meskipun validitas penggunaannya pada beberapa
kondisi perlu dikonfirmasi kembali. Pada pasien individual, penggunaan
komponen-komponen individual dari GCS (response eye, verbal, motor, EVM)
seringkali lebih berguna dibandingkan dengan skor hasil penjumlahannya (nilai
maksimal 15). Skor GCS 15/15 tidak menjamin keberadaan atensi/perhatian yang
intak/utuh, karena defisit-defisit yang terjadi dapat terjadi dengan tidak terlalu
kentara, sehingga kedepannya masih diperlukan pelaksanaan tes yang digunakan
untuk menilai fungsi atensi yang dilakukan sebelum pelaksanaan pemeriksaan
dengan menggunakan instrumen-instrumen neuropsikologis lainnya.
Terdapat beberapa uji non verbal yang menjadi bagian dalam intelektual
umum, diantaranya the Progressive Matrices yang disampaikan oleh Raven (1938,
1958). Selain itu, terdapat beberapa tes lain yang dapat digunakan untuk menilai
fungsi kognitif umum berupa beberapa neuropsychological batteries penilaian
yang dilakukan atas tingkatan intelegensi premorbid pasien (Strauss et al., 2006).
1.3 Memori
Memori merupakan suatu bagian dari fungsi kognitif yang terdistribusi dan tidak
seragam. Dalam kata lain, pembagian subdivisi dari fungsi memori dapat
diketahui dengan jelas, dimana dalam pembagian tersebut turut melibatkan
berbagai struktur dan substrat anatomis.
Terdapat banyak jenis tes yang dapat digunakan untuk penilaian memori
(Strauss et al., 2006). The Wechsler Memory Scale, yang sekarang ini telah
diterbitkan dalam edisi ke-3 (WMS-III), merupakan sebuah battery testing yang
digunakan untuk menguji dan menilai memori deklaratif auditorik dan visual dan
memori kerja. Beberapa tes spesifik lainnya yang digunakan untuk menilai
memori episodik diantaranya berupa the Buschke Selective Reminding Test
(Buschke & Fuld, 1974), the California Verbal Learning Test (Delis et al., 2000),
the Hopkins Verbal Learning Test (Brandt, 1991; Shapiro et al., 1999), the
Camden Recognition Memory Test and the Topographical Recognition Memory
Test (Warrington, 1984, 1996), dan the Rey Auditory Verbal Learning Test.
Metode recall of the ReyOsterrieth Complex Figure juga dapat digunakan
sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui status memori visual. Memori
retrograde dapat diperiksa dengan menggunakan the Autobiographical Memory
Interview (Kopelman et al., 1989), yang didalamnya terdapat komponen informasi
semantik personal dan peristiwa-peristiwa autobiografis yang dapat ditanyakan
pada pasien, meskipun sebenarnya penggunaannya sendiri dapat mengaburkan
derajat dan perluasan amnesia retrograde yang sebenarnya terjadi, pola missing
islands of memory loss yang terjadi pada pasien-pasien ini umumnya berbeda-
beda antar tiap pasien. Pemeriksaan berupa the Famous Faces Test dapat
digunakan untuk mempelajari dan menilai remote memory (Hodges et al., 1993).
Integritas jejaring semantik, termasuk memori semantik dapat diperiksa dengan
menggunakan tes yang dikenal sebagai category/semantic) fluency tests (lihat
Bagian 1.7). Pembacaan daftar kata yang memiliki pengucapan yang ireguler yang
berhubungan dengan pengejaan dapat menyebabkan munculnya disleksia (surface
dyslexia/regularization errors) pada pasien-pasien yang mengalami gangguan
akses atau kerusakan pada jejaring semantik. Beberapa tes lain yang digunakan
untuk menilai jejaring semantik asosiatif berupa the Pyramids and Palm Trees
Test (Howard & Patterson, 1992). Terdapat sebuah semantic memory test battery
yang didalamnya menyertakan subtes yang ditujukan untuk menilai kategori
kelancaran, penamaan, penamaan hingga deskripsi, dan mencocokkan gambar
dengan kata sebagai respons dari kata yang telah diucapkan (Hodges et al.,
1992a,b).
1.4 Bahasa
Terdapat beberapa tes bahasa yang tersedia (Lezak et al., 2004; Strauss et
al., 2006). Diantaranya terdapat sejumlah Comprehensive Batteries tests, seperti
the Boston Diagnostic Aphasia Examination (BDAE: Goodglass & Kaplan,
1983), the Western Aphasia Battery (WAB: Shewan & Kertesz, 1980), the
Psycholinguistic Assessment of Language Processing in Aphasia (PALPA: Kay et
al., 1992), dan the Comprehensive Aphasia Test (Swinburn et al., 2004). Beberapa
tes yang lebih spesifik, berupa the Graded Naming Test (McKenna &Warrington,
1980, 1983) dan the Boston NamingTest (Kaplan et al., 2001).
Defisit yang terjadi pada tingkatan pemrosesan sensorik yang lebih tinggi (higher-
order deficits of sensory processing) yang tidak dapat digolongkan ke dalam
gangguan perhatian, penurunan intelektual, atau kegagalan dalam pengenalan
stimulus (anomia), dikenal dengan istilah agnosia, yakni sebuah istilah yang
pertama kali dicetuskan penggunaannya oleh Sigmund Freud (1891) dimana
makna sebenarnya dari istilah tersebut adalah tidak tahu atau ketidaktahuan.
Lissauer (1890; diterjemahkan oleh Shallice & Jackson, 1988), speaking of
Seelenblindheit, menyatakan bahwa arti dari istilah tersebut sebagai soul-
blindness atau secara teknis memiliki arti sebagai psychic blindness, temuan
tersebut memberikan penjelasan atas perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara
defisit aperseptif (apperceptive deficits) dan dan defisit asosiatif (associative
deficits): dimana pada jenis gangguan yang pertama terjadi sebuah defek pada
pemrosesan perseptual kompleks yang memiliki tingkatan lebih tinggi (defect of
higher-order complex perceptual processing), sedangkan pada kelainan yang
selanjutnya (defisit asosiatif) ditemukan keutuhan/persepsi yang masih intak,
meskipun dijumpai terjadinya defek pada kemampuan. Beberapa deskripsi
terdahulu melaporkan terjadinya defek agnosik pada beberapa kasus (Meyer,
1974). Perdebatan terus berlanjut terutama mengenai jenis-jenis agnosia,
meskipun secara klinis dapat dibedakan menjadi agnosia aperseptif atau asosiatif
(Farah, 1995).
1.6 Praksis
Apraxia, gangguan yang terjadi pada praksis, merupakan gangguan yang terjadi
pada kontrol motorik (higher-level motor control) akuisita yang menyebabkan
terjadinya gangguan pada kemampuan motorik volunter (Grafton,2003; Heilman
& Gonzalez Rothi, 2003; Leiguarda,2005), dimana istilah apraksia didefinisikan
dan dihubungkan dengan lesi-lesi yang terjadi pada hemisfer kiri oleh Liepmann
(1900). Gangguan ini seharusnya tidak dijelaskan dengan menggunakan beberapa
istilah yang ditemukan pada lower-motordeficits, seperti piramidal,
ekstrapiramidal, serebelar, atau disfungsi sensoris. Sebagai contoh, sebuah defisit
yang dikenal sebagai apraksia kontruksional (constructional apraxia atau
dressing apraxia akan jelas lebih baik apabila ditetapkan sebagai defisit
visuoperseptal dan/atau defisit visuospasial.
Bagaimana klinisi yang masih dalam tahap belajar, yang mungkin tidak terbiasa
atau tidak pernah mendapat pelatihan neuropsikologis, dan dalam jangka waktu
yang terbatas dapat menilai fungsi kognitif pasien ketika sedang di bangsal,
disamping pasien tirah baring yang dirinya dan/atau keluarganya mengeluhkan
kemungkinan terjadinya gangguan kognitif. Para praktisioner yang bergerak
dalam tatanan pelayanan kesehatan primer dapat menggunakan observasi klinis
sederhana guna mengetahui, atau setidaknya mencurigai diagnosis ke arah
terjadinya demensia: usia pasien dan anamnesis riwayat penyakit pasien juga
merupakan beberapa faktor yang penting dalam diagnosis demensia (Fisher &
Larner, 2006). Para praktisioner yang bergerak pada tatanan pelayanan kesehatan
sekunder dapat menggunakan tes-tes sederhana yang digunakan untuk penilaian
awal kondisi pasien-pasien tirah baring yang mengeluhkan terjadinya keluhan
terkait gangguan kognitif. (Tatanan tirah baring atau bedside tests sebenarnya
merupakan bukan merupakan lokasi yang ideal untuk dilakukannya tes-tes
neuropsikologis, yang disebabkan oleh faktor keramaian di bangsal, pengunjung,
dan kemungkinan interupsi yang berasal dari berbagai faktor lain). Terdapat
sejumlah instrumen (Burns et al., 1999, 2006), beberapa diantaranya telah
digunakan secara luas dan didiskusikan secara singkat dalam bab ini. Berbagai tes
tersebut dapat dikategorikan sebagai uji sederhana simple atau kompleks
complex; atau sebagai versi mini, implikasi kondisi dan performans pasien
dalam waktu 10 menit atau kurang, atau midi, yang rata-rata dapat dilakukan
dengan baik dalam kisaran waktu 15-30 menit saja. Battery tests yang
memerlukan waktu pelaksanaan hingga 45-60 menit atau lebih tidak akan
didiskusikan dalam bab ini, karena penggunaannya yang kurang sesuai dengan
kondisi yang terjadi pada tatanan praktis klinis dan lebih sesuai bila dilakukan
dalam ruangan klinik neurolog dan keterbatasan waktu yang dimiliki. Berbagai uji
diatas umumnya menitik beratkan pada kejadian penyakit Alzheimer (AD), karena
penyakit ini merupakan penyebab terjadinya demensia yang paling umum, selain
itu berbagai tes tersebut juga menitikberatkan terhadap deteksi defisit memori.
Sehingga, berbagai instrumen tes tersebut mungkin bersifat suboptimal apabila
digunakan untuk mendeteksi berbagai gangguan yang memiliki gejala-gejala
gangguan kognitif non memori yang kentara dan/atau gangguan behavioral.
Metodologi standar yang digunakan untuk mengevaluasi skrining dan uji
diagnostik untuk demensia telah disusun secara spesifik sesuai dengan reliabilitas
dan validitas yang dimiliki masing-masing tes (Gifford & Cummings, 1999), dan
tetap sesuai dan memperhatikan kaidah-kaidah kedokteran evidence-based
diagnosis (Qizilbash, 2002). Sensitivitas dan spesifitas tes yang digunakan
setidaknya > 0,8 dan besaran nilai prediktif positif (positive predictive value)
harus mendekati 0,9, dengan kriteria rekomendasi untuk penanda biologis
molekuler (molecular biomarkers) untuk AD (Ronald and Nancy Reagan
Research Institute of the Alzheimers Association dan the National Institute on
Aging, 1998), tampaknya telah menjadi atribut/syarat minimal yang sesuai untuk
penilaian demensia yang dilakukan dalam tatanan tirah baring. Likelihood ratios,
the ratio of pretestto post-test odds dan nilai diagnostic gain, hendaknya
mendekati kisaran > 10 atau < 0,1, dimana apabila diperoleh nilai yang mendekati
kisaran tersebut, maka uji yang bersangkutan memiliki nilai diagnostic gain yang
besar (Deeks & Altman, 2004). Plot kurva receiver operating characteristic
(ROC) yang dibuat juga tidak buruk (Hanley &McNeil, 1982, 1983), dengan area
under the curve (AUC); merupakan salah satu pengukuran yang digunakan untuk
mengetahui keakuratan diagnostik, >0,80, sedangkan nilai AUC = 0,5
mengindikasikan bahwa tes tersebut tidak memiliki informasi added information
dan AUC + 1 mengindikasikan bahwa tes tersebut dapat memberikan diskriminasi
yang baik. Diagnostic odds ratio, yang merupakan salah satu indikator
pengukuran (summary measure) dari test diagnostic performance, harus berada
dalam kisaran yang cukup besar.
Untuk kasus demensia yang telah berprogresi menuju stadium yang lebih
berat, dapat digunakan sejumlah instrumen berikut:
Beberapa tes yang digunakan untuk menilai dan mengukur fungsi global,
behavioral, dan kegiatan sehari-hari (activities of daily living; ADL) dapat
digunakan dalam penilaian gangguan kognitif pasien (Burns et al., 1999, 2006;
McKeith, 1999). Meskipun tidak dibahas secara lebih lanjut, terdapat beberapa tes
yang paling sering digunakan untuk mengukur fungsi global, diantaranya the
Functional Assessment Staging (FAST: Reisberg, 1988) dan the Clinicians
Interview-Based Impression of Change (CIBIC, atau CIBICif Bila turut
disertakan input yang diperoleh dari perawat pasien). The Neuropsychiatric
Inventory (NPI) diperkirakan menjadi salah satu modalitas pengukuran fungsi
behavioral yang paling sering digunakan pada pasien-pasien demensia
(Cummings et al., 1994). Berikut sejumlah skala pengukuran ADL yang paling
popular: the Alzheimers Disease Cooperative Study Activities of Daily Living
Scale (ADCS-ADL), the Instrumental Activities of Daily Living (IADL) Scale
(Lawton &Brody, 1969), the Functional Activities Questionnaire (FAQ: Pfeffer et
al., 1982), the Bristol Activitiesof Daily Living Scale (Bucks et al., 1996), dan the
Activities of Daily Living Questionnaire (Johnson et al., 2004). Inklusi
(penyertaan) pengukuran fungsi global, behavioral, dan skala pengukuran ADL
merupakan hal yang wajib dalam pelaksanaan tial klinis obat (clinical drug trials)
pada kasus-kasus demensia, sedangkan penilaian farmakoekonomik dan skala
pengukuran kualitas hidup juga direkomendasikan pelaksanaannya.
Baru-baru ini, sebuah versi revisi dari ACE, ACE-R, telah dipublikasikan
(Mioshi et al., 2006), dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik yang
menggunakan populasi dari sebuah rumah sakit terpilih. Hasil tersebut telah
direplikasi dalam sebuah penelitian pragmatis pada populasi klinis yang tidak
terpilih (AUC [area under curve]0.95; 95% CI 0.900.99), namun dengan saran
untuk memakai nilai cut off yang lebih rendah, karena dalam praktik klinis
keseharian diperbolehkan tidak memakai kriteria eksklusi dan tidak memiliki
populasi yang sebelumnya dipilih sebagai populasi normal (Larner, 2007b).
1.8.5 DemTect
DemTect merupakan tes untuk demensia yang terdiri dari 5 subset yaitu:
repetisi dari 10 daftar kata, transkode angka, uji kefasihan berbicara semantik,
menghitung mundur, dan keterlambatan mengingat 10 daftar kata sebelumnya.
Skor mentah ditransformasi untuk mendapatkan skor akhir, dengan nilai
maksimum 18, yang tidak bergantung pada usia dan tingkat pendidikan, dengan
klasifikasi yaitu: suspek demensia (skor 8); kerusakan kognitif ringan (9-12),
dan sesuai dengan umur (13-18) (Kalbet eta al., 2004). Dalam penelitian indeks
mengenai sensitivitas dan spesifisitas dari demensia Alzheimer dilaporkan
memiliki nilai sebesar 100% dan 92% secara berurutan, dan dalam sebuah studi
validasi (n 38) dengan memakai gambaran 18FDG-PET memiliki nilai area
dibawah kurva ROC (AUC) sebesar 0,85 (95% CI 0.730.97: Scheurich et al.,
2005). Dalam klinik yang dimiliki peneliti, sebuah penelitian pada 111 pasien
yang dirujuk, 52% diantaranya menunjukkan sindrom demensia, dengan
sensitivitas dan spesifisitas untuk demensia sebesar 85% dan 72%, nilai AUC
sebesar 0,87 (95% CI 0.800.93: Larner 2006, 2007). Penggunaan DemTect juga
telah dilaporkan dalam CADASIL, sebuah demensia subkorteks (Hennerici et al.,
2006).
The Mattis Dementia Rating Scale (DRS: Mattis, 1976, 1992) dan
suksesornya yaitu DRS-2, terdiri atas beberapa macam subset (perhatian/atensi,
inisiasi, konstruksi, konseptualisasi, memori) untuk memberikan pengukuran
global bagi demensia (dengan skor 0-144) dan memerlukan waktu sebanyak 30
menit. Data normatif tersedia (Lucas et al., 1998). DRS berguna untuk mendeteksi
kerusakan kognitif dan bersifat sensitif untuk demensia tahap awal. Penilaian
terhadap rentang kemampuan kognitif menunjukkan bahwa DRS dapat
bermanfaat dalam pelacakan longitudinal terhadap perubahan kognitif. Lebih
lanjut lagi, DRS didesain untuk membantu dalam menegakkan diagnosa banding
sindrom demensia (e.g. Rosser & Hodges, 1994; Donnelly & Grohman, 1999;
Lukatela et al., 2000). Uji tersebut dilaporkan dapat membedakan penyakit
subkorteks dari demensia Alzheimer (Bak et al., 2005).
Demensia tipe ke-2 yang berbeda dengan demensia tipe-1 tidak memiliki
tanda kerusakan korteks seperti pada amnesia, dimana munculnya kerusakan
fungsi kontrol kemampuan eksekutif saja sudah cukup untuk menimbulkan
disabilitas/kecacatan (Royall, 2006). Kriteria diagnosa lain yang membingungkan
yaitu kriteria untuk sindrom dengan pelabelan demensia, seperti pada diagnosa
demensia frontotemporal, yang memang tidak memenuhi kriteria demensia pada
tahap awal, karena perubahan yang terjadi melibatkan disfungsi korteks frontal
(fungsi eksekutif) dan merupakan perubahan perilaku yang bersifat non-kognitif
(Mendez et al., 2006). Kebingungan juga dapat terjadi dalam membedakan
demensia dengan kerusakan kognitif ringan (MCI).
Tambahan
Pada bab selanjutnya, defisit pada berbagai domain kognitif yang telah
didiskusikan pada bab ini yang berhasil diamati dari gangguan neurologis, akan
dibicarakan. Defisit tersebut dapat bersifat lokal ataupun tersebar, atau bagian dari
jenis kerusakan yang lebih luas yang semakin mendekat ke arah diagnosis
demensia. Banyak keluhan mengenai memori klinis yang terjadi di klinik, namun
setelah dilakukan evaluasi yang hati-hati secara klinis dan neuropsikologis serta
berdasarkan gambaran pada foto, ternyata tidak membuktikan adanya gangguan
neurologis yang mendasari. Individu seperti dalam kasus tersebut, memenuhi
persentase sekitar 50% dari pasien yang berhasil ditemukan pada praktik klinik
(Larner, 2005), terkadang disebut sebagai kerusakan memori yang bersifat
subjektif murni, yang menimbulkan tantangan diagnostik. Beberapa, dapat
mencerminkan adanya misdiagnosa dari penyakit neurodegeneratif yang insipien
(kerusakan kognitif ringan / MCI); sementara itu, pasien lainnya kemungkinan
memang memiliki gangguan afektif primer, gangguan terkait tidur, masalah
dengan penyalahgunaan obat-obatan, atau kombinasi dari kesemuanya. Kasus lain
mungkin berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif terkait fisiologis usia.
Jika keraguan masih tetap dirasakan, pasien tersebut sebaiknya dimonitor untuk
penilaian yang bersifat longitudinal.