You are on page 1of 16

1 Latar Belakang Masalah

Perubahan sosial yang dialami anggota masyarakat untuk meninggalkan unsur-unsur budaya dan sistem
sosial yang lama menjadi yang baru terjadi akibat sifat budaya massa yang kontemporer. Munculnya
kebudayaan secara instan sesuai dengan minat yang diinginkan oleh masyarakat pada waktu
tertentu dengan mengikuti gelombang perubahan yang tengah terjadi di dalam masyarakat yang
melingkupinya. Oleh sebab itu, perubahan sosial yang terjadi dapat memberikan perubahan pola pikir
masyarakat, perilaku masyarakat, dan budaya materi yang digunakan masyarakat. Perbedaan antara
perubahan sosial dengan perubahan budaya tergantung dari adanya perbedaan atas pengertian tentang
masyarakat dan kebudayaan itu sendiri.

Menurut Taylor, kebudayaan adalah suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum adat istiadat, dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga
masyarakat, setiap perubahan-perubahan kebudayaan merupakan perubahan dari unsur-unsur
tersebut. Di dalam kehidupan sehari-hari, perubahan-perubahan masyarakat antara perubahan sosial
dengan perubahan kebudayaan sangat sulit dipisahkan. Tidak ada masyarakat di dunia yang tidak
memiliki kebudayaan, sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam kehidupan
masyarakat. Kebudayaan itu mencakup segenap cara berpikir dan bertingkah laku, yang timbul karena
interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolis dan bukan
karena warisan yang berdasarkan keturunan (Davis, 1960).[1] Oleh sebab itu, perubahan sosial dan
kebudayaan memiliki satu aspek yang sama yaitu keduanya saling berhubungan dengan suatu
penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya.[2] Tetapi masih saja sulit untuk meletakkan zona pemisah antara perubahan sosial
dengan kebudayaan. Kedua gejala tersebut dapat ditemukan diantara hubungan timbal balik sebagai
sebab dan akibat.

Perubahan masyarakat yang juga mempengaruhi perubahan kebudayaan bisa disebabkan karena suatu
hal yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan, ada faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat
sebagai pengganti faktor yang sudah ada sebelumnya. Atau perubahan terjadi karena adanya faktor
keterpaksaan masyarakat untuk menyesuaikan faktor yang sudah lama dengan faktor-faktor lain yang
sudah mengalami perubahaan terlebih dahulu.

Media massa merupakan institusi yang menghubungkan seluruh unsur masyarakat satu dengan lainnya
melalui produk media massa yang dihasilkan. Kehidupan masyarakat kota yang tidak saling mengenal
jika melakukan interaksi satu sama lainnya didasari oleh kepentingan dan kebutuhan yang dilandasi
pada hubungan yang sekunder. Sehingga lahirlah media massa yang merupakan kebutuhan masyarakat
perkotaan untuk saling berinteraksi satu dengan lainnya. Media massa berupaya menyesuaikan berbagai
produk tayangannya terhadap khalayak yang sifatnya heterogen dan berasal dari sosio-ekonomi,
kultural, dan lainnya. Produk tayangan media massa ditampilkan sedemikian rupa sehingga mampu
diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Kebutuhan masyarakat akan informasi tidak hanya dari dalam
negeri saja melainkan dari berbagai negara. Oleh sebab itu, media massa berusaha memberikan pilihan
yang memuaskan bagi para khalayak.

Budaya massa diproduksi dengan tujuan untuk menarik sebanyak mungkin khalayaknya. Kebudayaan
dalam masyakarat tidak hanya sampai di budaya massa saja melainkan khalayak membutuhkan budaya
populer seiring berkembangnya kemajuan teknologi yang semakin menguasai manusia. Budaya populer
lahir karena perkembangan kebudayaan lebih banyak menyajikan dari sisi hiburan seperti film, buku,
dan televisi. Budaya populer menjadi bagian dari budaya elite dalam masyarakat tertentu seperti
menggunakan kendaraan pribadi kelas atas, mengikuti perkembangan fashion, atau yang disebut
dengan dunia sosialita.

Namun, Allan Bloom menjelaskan bahwa kebudayaan baru merusak kebudayaan tradisional yang sudah
berkembang terlebih dahulu. Anehnya kebudayaan populer lebih banyak berpengaruh kepada kelompok
kaum muda dan menjadi pusat ideologi masyarakat dan kebudayaan, padahal budaya populer terus
menjadi kontradiksi dan perdebatan antara kaum konservatif dan neokonservatif (Ben Agger, 1992; 28).

Berdasarkan uraian ini, tim penulis pun menyusun makalah ini agar dapat menelusuri lebih jauh
mengenai perkembangan budaya massa dan budaya populer yang menguasai manusia dan memberikan
kritik serta solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat luas khususnya di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, penulis akan mengajukan rumusan masalah sebagai berikut yaitu:

a. Budaya populer apa yang muncul di masyarakat, sehingga berkembang menjadi budaya massa?
b. Bagaimana budaya massa yang berkembang lewat tayangan di media mass serta dampaknya? (YKS,
Fesbuker, Dahsyat, Inbox, dan lain-lain)

Bagaimana budaya massa yang berkembang dari segi gaya hidup masyarakat modern, misalnya: tren
fashion, makanan fast food, gadget?

d. Bagaimana seharusnya peran dari seluruh lapisan masyarakat dalam menangani dampak negatif yang
ditimbulkan oleh budaya massa?

1.3 Teori dan Konsep

Menurut Dennis McQuail (1994; 31), kata massa berdasarkan sejarah mempunyai dua makna,
yaitu positif dan negatif. Makna negatifnya adalah berkaitan dengan kerumunan (mob), atau orang
banyak yang tidak teratur, bebal, tidak memiliki budaya, kecakapan dan rasionalitas. Makna positif, yaitu
massa memiliki arti kekuatan dan solidaritas di kalangan kelas pekerja biasa saat mencapai tujuan
kolektif. Sedangkan, menurut Burhan Bungin, massa merupakan kumpulan orang banyak yang
mengabaikan keberadaan individualitas/kesadaran diri, tidak terorganisir, komposisi dan batas wilayah
senantiasa berubah, heterogen, serta dapat dikooptasi untuk melakukan satu tindakan (Bungin, 2006).

Istilah massa dalam sosiologi berarti kelompok manusia yang tidak bisa dipisahkan, bahkan seperti
kerumunan yang bersifat sementara atau instan. Identitas seseorang biasanya tenggelam atau tidak
mengenal keberadaan individualitasnya. Masing-masing dari mereka akan mudah sekali meniru tingkah
laku orang lain yang berkelompok atau kerumunan.

Menurut Blumer (1939) dalam McQuail (2002:41), secara umum pengertian massa ditandai dengan:

Kurang memiliki kesadaran diri,


Kurang memiliki identitas diri,

Tidak mampu bergerak secara serentak dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan tertentu,

Massa ditandai oleh kompisisi yang selalu berubah dan berada dalam batas wilayah yang selalu berubah
pula,

Massa tidak bertindak dengan dirinya sendiri, tetapi dikooptaso untuk melakukan suatu tindakan, dan

Meski anggotanya heterogen, dan dari semua lapisan sosial, massa selalu bersikap sama dan berbuat
sesuai dengan persepsi orang yang akan mengkooptasi mereka.

Budaya massa merupakan produk kebudayaan yang secara terus-menerus direproduksi sekaligus
dikonsumsi secara massal, sehingga industri yang tercipta dari budaya massa ini berorientasi pada
penciptaan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya pada khalayak konsumen. Munculnya
budaya tersebut akibat dari massifikasi industrialisasi dan komersialisasi yang berorientasi pada
keuntungan sebesar-besarnya untuk kaum konglomerat media. Budaya massa juga diartikan sebagai
perilaku konsumerisme. Konsumerisme yang berwujud kesenangan universal ini bersifat sementara
yang mengacu pada produk budaya seperti trend dan mode yang sedang diminati oleh pasar. Dalam
pembentukan budaya massa, komunikasi massa memiliki peranan yang penting dan efektif untuk
mempengaruhi perilaku dan homogenitas budaya di dalam masyarakat. Komunikasi massa tersebut
dijadikan sebagai wadah untuk pemasaran dan sasaran iklan. Selain itu, produk budaya semakin
dikembangkan dan direkontruksi sesuai dengan selera dan citra rasa agar memunculkan minat
masyarakat terhadapnya.

Ciri-ciri dari budaya massa (Burhan Bungin,2009: 77-78):

Nontradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya populer. acara-acara
infotainment atau hiburan.

Budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak merucut di tingkat elite,
namun apabila ada elite yang terlibat dalam proses ini maka itu bagian dari basis massa itu sendiri.

Budaya massa juga memproduksi seperti infotainment yang merupakan produk pemberitaan yang
diperuntukan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat memanfaatkannya sebagai hiburan
umum.

Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa. Budaya
tradisional dapat menjadi budaya popular apabila menjadi budaya massa.

Budaya massa yang diproduksi oleh media massa membutuhkan biaya cukup besar karena dana yang
besar harus menghasilkan keuntungan untuk kontinuitas budaya massa itu sendiri. Oleh karena
itu, budaya massa diproduksi secara komersial agar tidak saja menjadi jaminan keberlangsungan sebuah
kegiatan budaya massa namun juga menghasilkan keuntungan bagi modal yang diinvestasikan pada
kegiatan tersebut.

Budaya massa juga diproduksi secara eksklusif menggunakan simbo-simbol kelas sehingga terkesan
diperuntukan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas, dan tertutup. Syarat utama dari
eksklusifitas budaya massa ini adalah keterbukaan dan ketersediaan terlibat dalam perubahan budaya
secara massal.

Pada awalnya, budaya massa mengartikan bahwa kebudayaan milik kaum mayoritas yang tidak
berbudaya dan tidak berpendidikan, seperti kelas pekerja dan kaum miskin yang disebut juga
mass atau masse.

Dahulu budaya massa dikatakan sebagai simbol kedaulatan kultural dari orang-orang yang tidak terdidik.
Namun, ada istilah lain yang berlawanan dengan istilah masse kultur yaitu istilah high-mass culture yang
berarti kebudayaan tinggi atau kebudayaan elit. Disebut kebudayaan elit karena istilah ini digunakan
untuk menyebut atau mengacu kepada kaum terpelajar dan kelas menengah ke atas. Kaum elit tersebut
memilih produk kesenian dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pikiran dan perasaan mereka
kepada pilihan jenis produk simbolik yang bernilai tinggi. Contohnya kendaraan pribadi yang mewah,
fashion, dan gaya hidup kelas tinggi.

Kebudayaan elit mempunyai sistem nilai dan evaluasi yang berbeda. Budaya elit lebih dilihat sebagai
hasil produksi elite, terkontrol, dan secara estetis ternilai dan mempunyai standar yang ketat tidak
tergantung pada konsumen produk mereka. Hasil budaya massa dibuat secara massif demi kepentingan
pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim,
praktis, dan heterogen.

Budaya massa ini sebagai akibat dari kritik atas budaya tradisional, dimana budaya tradisional ini muncul
dan berasal dari masyarakat itu sendiri dan tidak terikat atau tergantung pada media massa. Budaya
tradisional itu sendiri terbangun dari proses adaptasi dari interaksi kelas elit masyarakat dalam hal
estetika yang sangat mengagungkan kesusatraan dan tradisi keilmuan.

Media massa adalah institusi yang menghubungkan seluruh unsur masyarakat satu dengan lainnya
dengan memulai produk media massa yang dihasilkan. Secara spesifik institusi media massa adalah:

Sebagai saluran produksi dan distribusi konten simbolis,


Sebagai institusi publik yang bekerja sesuai aturan yang ada,

Keikutsertaan baik sebagai pengirim atau penerima adalah sukarela,

Menggunakan standar profesional dan birokrasi, dan

Media sebagai perpaduan antara kebebasan dan kekuasaan.

Dalam media massa membutuhkan persyaratan tertentu bagi penggunanya seperti:

Orang harus bisa membaca, sebelum mengkonsumsi surat kabar atau majalah,

Orang harus memiliki pesawat radio atau televisi, bila akan mengikuti siarannya, atau punya uang untuk
beli karcis bila akan menonton film, dan

Kebiasaan memanfaatkan media ( media habit).

Untuk menjadi khalayak media massa, maka ketiganya perlu dimiliki atau dilakukan. Apabila tidak, maka
mereka tidak bisa menjadi khalayak media massa atau masyarakat media.

Kebutuhan khalayak massa yang heterogen diikuti dengan kepentingan komersial media yang kini masuk
sebagai industri yang membutuhkan dana besar melalui iklannya. Budaya massa terbentuk karena:

Tuntutan industri kepada pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tempo singkat. Maka si
pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tempo singkat, tak sempat lagi berpikir, dan
dengan secepatnya menyelesaikan karyanya. Mereka memiliki target produksi yang harus dicapai dalam
waktu tertentu.

Massa budaya cenderung latah menyulap atau meniru segala sesuatu yang sedang naik daun atau
laris, sehingga media berlomba untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Budaya populer merupakan refleksi dari budaya tradisional yang dihadirkan kembali oleh masyarakat
dengan cara yang berbeda di era modern. Budaya populer berkaitan dengan budaya massa yang
memiliki banyak pendukung yang sifatnya temporer. Di dalam budaya tradisional, terdapat suatu
budaya yang hanya dapat dimiliki oleh kalangan tertentu saja, sehingga kalangan yang lain tidak
mendapat kesempatan untuk menikmatinya. Budaya populer justru memberikan kesempatan kepada
seluruh lapisan masyarakat untuk dapat menikmati dan menyaksikan budaya tersebut di media massa.

Menurut William kata pop diambil dari kata populer. Terhadap istilah ini Williams memberikan
empat makna yakni:
Banyak disukai orang;

Jenis kerja rendahan;

Karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; dan

Budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.

Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu budaya
dan populer. Kebudayaan pop terutama adalah kebudayaan yang diproduksi secara komersial dan
tidak ada alasan untuk berpikir bahwa tampaknya ia akan berubah di masa yang akan datang. Namun,
dinyatakan bahwa audiens budaya populer menciptakan makna mereka sendiri melalui teks kebudayaan
populer dan melahirkan kompetensi kultural dan sumber daya diskursif mereka sendiri. Kebudayaan
populer dipandang sebagai makna dan praktik yang dihasilkan oleh audiens populer pada
saat di konsumsi dan bagaimana budaya populer tersebut digunakan. Argumen-argumen ini
menunjukan adanya pengulangan pertanyaan tradisional tentang bagaimana industri kebudayaan
memalingkan orang pada komoditas yang mengabdi kepada kepentingannya dan bagaimana orang
mengalihkan produk industri menjadi kebudayaan populer yang mengabdi kepada kepentingannya
(Chris Barker, 2004).

Ciri-ciri budaya populer diantaranya sebagai berikut:

Tren, sebuah budaya yang menjadi trend dan diikuti atau disukai banyak orang berpotensi menjadi
budaya populer;

Keseragaman bentuk, sebuah ciptaan manusia yang menjadi tren akhirnya diikuti oleh banyak penjiplak.
Karya tersebut dapat menjadi pionir bagi karya-karya lain yang berciri sama;

Adaptabilitas, sebuah budaya populer mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah
pada tren;

Durabilitas, sebuah budaya populer akan dilihat berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir
budaya populer yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang kemudian muncul tidak dapat
menyaingi keunikan dirinya, akan bertahan-seperti merek Coca-cola yang sudah ada berpuluh-puluh
tahun; dan

Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya populer berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi
industri yang mendukungnya.

Menurut Ben Agger, sebuah budaya yang akan masuk dunia hiburan maka budaya itu umumnya
menempatkan unsur popular sebagai unsur utamanya. Budaya itu akan memperoleh
kekuatannya disaat media massa digunakan sebagai alat penyebaran pengaruh di masyarakat
(dalam Burhan Bungin,2009:100).

Pemikiran tentang budaya popular juga menurut Ben Agger, dapat dikelompokan menjadi yaitu:

Budaya dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari
kejenuhan kerja sepanjang hari.

Kebudayaan popular menhancurkan kebudayaan tradisional.

Kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi kapitalis Marx.

Kebudayaan popular merupakan budaya yang menetes dari atas.

Budaya populer selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya populer
lebih banyak menonjolkan sisi hiburan. Menurut Richard Dyer (Simon During, 1993; 271-272), hiburan
merupakan kebutuhan pribadi masyarakat yang telah dipengaruhi oleh struktur kapitalis. Hiburan juga
merupakan respons emosi jiwa dan perkembangan implikasi emosi diri yang menandakan bahwa
keinginan manusia harus dipenuhi oleh pihak media massa.

Prinsip yang menonjol dalam hiburan adalah kesenangan yang tertanam dan menjelma dalam
kehidupan manusia, sehingga akan menjelma kembali membentuk budaya manusia. Kesenangan
tersebut menjadi tertanam menjadi kebutuhan manusia yang lebih besar. Manusia dibuat manja dan
terbiasa dengan kehidupan yang serba mengagumkan sehingga manusia terbawa ke dalam dunia yang
serba tipuan.

Di negara kapitalisme, hiburan dan budaya telah menjelma menjadi sebuah industri. Theodore Adorno
dan Max Horkheimer mengatakan budaya industri adalah media tipuan. Dunia hiburan telah menjadi
sebuah proses reproduksi kepuasan manusia dalam media tipuan. Sangat sulit hingga hampir tidak ada
lagi batas pemisah antara kehidupan nyata dengan dunia yang digambarkan dalam media massa karena
alat industri dirancang sehebat mungkin dengan tampilan yang sempurna sehingga tidak
terkesan imaginatif (Simon During,1993; 31).

Dalam budaya hiburan, makna bisa saja terlepas dari nilai sebuah benda, dan nilai menjadi begitu tidak
penting disaat berhadapan dengan makna benda tersebut.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Budaya populer yang berkembang menjadi Budaya Massa

Populer, dalam konteks suatu budaya di dalam masyarakat, dilihat oleh kebanyakan orang
sebagai suatu hal yang baru, menghibur, inovatif, dan sebagainya. Dalam konteks masyarakat
Indonesia, hampir semua hal yang mendukung keberlangsungan hidup manusia mengalami
perkembangan dan inovasi. Dari waktu ke waktu, selalu ada hal yang diminati oleh masyarakat. Media
massa membidik kaum muda dan kalangan menengah kebawah. Alasannya, kaum muda dan kelas sosial
menengah kebawah memiliki animo tinggi terhadap perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Mereka
cukup aktif dalam memberikan respon, bahkan menciptakan inovasi kembali. Jika dilihat, massa
memang cukup aktif dalam memberikan respon tayangan televisi. Saat ini masyarakat kalangan
manapun bisa hadir langsung di studio televisi, memberi komentar langsung lewat sosial media, dan
lain-lain. Namun, dibalik itu semua, massa sebenarnya pasif, karena media telah membentuk imajinasi
yang dapat menyetir pikiran khalayaknya.

Dalam makalah ini, akan dibahas beberapa contoh budaya massa yang berkembang di Indonesia,
antara lain:

a.1. Menjamurnya tayangan-tayangan yang kurang mendidik tapi dapat menghibur orang dari kalangan
tertentu seperti: YKS, Pesbukers.
a.2. Penyebab, proses, dan dampak budaya masa dari segi gaya hidup (lifestyle), dalam hal makanan
cepat saji, teknologi, fashion.

a.3. Peran lapisan masyarakat dalam menangani dampak negative yang ditimbulkan oleh budaya massa.

B. Fenomena tayangan Indonesia

Budaya hiburan yang saat ini sedang populer di masyarakat Indonesia adalah tayangan yang
banyak mengandung lelucon, musik dangdut, artis dan aktor komedian, bintang tamu yang sedang naik
daun, dan sebagainya. Contoh tayangan Indonesia yang sedang menjamur adalah YKS (Yuk Keep Smile)
di Trans 7, Pesbukers di ANTV dan Show Imah di Trans TV. Kemiripan konten yang dapat diamati dari
ketiga acara ini adalah sama-sama menampilkan suatu ikon untuk menampilkan lelucon dalam
membawakan acara, bintang tamu yang beragam, kontroversial, iringan musik dangdut, goyangan
dangdut, dan candaan yang konyol bahkan kelewat batas.

Pemicu menjamurnya acara ini adalah, kebangkitan musik dangdut, yang awalnya dianggap musik
murahan, di populerkan kembali oleh suatu ikon masa kini, seperti Soimah, Cesar, Saskia Gotik, dan Julia
Perez, sehingga membuat musik dangdut kembali hidup. Tentunya, ikon yang mempopulerkan nya tidak
berdiri sendiri. Media massa segera menangkap animo masyarakat terutama kaum muda dan kelas
sosial menengah kebawah, lalu mengemas budaya populer musik dangdut, dengan unsur hiburan lalu
dibawakan oleh pembawa acara yang biasa melontarkan lelucon. Rating Pesbukers tinggi karena
memakai pembawa acara yang sama dengan acara Dahsyat (RCTI), disertai dengan musik dangdut, dan
candaan oleh host-nya. Sempat menuai kritik dan kecaman dari Komisi Penyiaran Indonesia, lantaran
menampilan candaan yang tidak pantas, tidak membuat media lain urung dalam membuat tayangan
dengan konten serupa. Alasannya adalah massa sudah terlanjur kenal dengan artisnya. Unsur hiburan
musik dangdut yang ditampilkan penyanyi seksi, juga dapat menyedot perhatian khalayak. Oleh karena
tayangan dari sejumlah media televisi yang menyiarkan program Pesbukers, YKS, Show Imah,
terbentuklah budaya massa yang memiliki identitas senang dengan hiburan dangdut, goyangan
senonoh, candaan yang kurang bermutu (menampilkan permainan yang sedikit mengandung unsur
bullying).

C. Budaya massa dari sisi Gaya Hidup

1. Makanan Cepat Saji dan Makanan Tradisional-Populer

Makanan merupakan salah satu unsur budaya. Umumnya restoran cepat saji, menyajikan makanan
yang sama setiap harinya. Menu dari tiap restoran juga memiliki kemiripan satu dengan yang lainnya.
Restoran cepat saji merupakan produsen budaya massa. Media adalah agen yang mempopulerkan
makanan cepat saji seperti fried chicken, burger, kentang goreng, sup krim, soda, ice cream float, dan
sebagainya. Media massa, agen periklanan, serta produsen restoran cepat saji membuat strategi
periklanan sedemikian rupa agar tercipta konsep, bahwa makanan cepat saji identik dengan praktis,
mengenyangkan, simbol makanan berkelas, namun tetap bisa dinikmati siapa saja. Dampaknya adalah,
timbul budaya massa yang cenderung praktis karena mengonsumsi makanan cepat saji, dibanding
makanan olahan yang bergizi. Hal ini juga berkaitan dengan status sosial. Media sudah
berhasil menaikan mobilitas sosial masyarakat dengan cara membentuk image, mempersuasi, hingga
membuat perubahan sikap masyarakat, yang menunjukan kenaikan daya beli khalayak.

Terlepas dari peran media massa yang mempopulerkan kepraktisan restoran cepat saji, masih ada
makanan tradisional yang masih populer di masa kini. Contohnya: Masakan Padang, gado-gado, rujak,
dan sejumlah makanan lain yang masih lekat citarasanya dengan masyarakat Indonesia. Masakan ini
merupakan folk culture yang berkembang menjadi popular culture.

2. Teknologi

Derasnya perkembangan teknologi menciptakan budaya massa yang konsumtif. Produsen dan
vendor berlomba-lomba membuat perangkat yang memudahkan mobilitas masyarakat. Dalam kurun
enam bulan, khalayak sudah diperkenalkan dengan jenis perangkat baru, dengan inovasi dari perangkat
sebelumnya. Seperti halnya restoran cepat saji, lewat media massa-lah produsen teknologi membentuk
konsep megenai sebuah perangkat yang indentik dengan calon pembelinya. Misalnya, produk Apple
keluaran terbaru, iPhone 5, mencitrakan ekslusivitas pemiliknya, menciptakan kemudahan menjangkau
dunia hanya melalui genggaman tangan. Desain dibuat lebih elegan, dengan fitur yang lebih mutakhir
dibanding iPhone sebelumnya. Tentunya ada sejumlah nominal yang harus dibayarkan untuk membeli
sebuah prestise lewat benda keluaran Apple tersebut. Bila iPhone mencitrakan hal yang ekslusif, tapi
segmentasinya hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas. Vendor smartphone asal China dan Korea
Selatan, menawarkan perangkat yang lebih ekonomis dan bisa dijangkau oleh kalangan menengah
kebawah, tanpa harus tertinggal zaman dengan terus memakai teknologi lama. Pada akhirnya,
terciptalah kesamaan sikap dan tindakan masyarakat berlomba untuk memiliki sebuah ponsel pintar
demi sebuah peningkatan status dan kelas sosial. Budaya massa, yang tercipta adalah konsumerisme.
Dampaknya yang ditimbulkan dapat berupa kesenjangan sosial dan kriminalitas.

3. Tren, mode, dan mall

Masyarakat Indonesia mulai mengadaptasi mode dari luar negeri. Lewat media massa, kita
mengenal bagaimana cara budaya barat berpakaian untuk gaya formal dan non-formal. Misalnya,
menggunakan blazer untuk acara resmi, jins untuk bersantai. Demikian pula, tren mode yang berasal
dari Korea telah mempengaruhi cara berpakaian khususnya remaja dan pemuda. Realita budaya yang
dibentuk oleh media massa lewat K-Pop, Girl Band, film serial, membuat khalayak Indonesia meniru
gaya berpakaian pemuda pemudi dari Negeri Ginseng itu. Pada akhirnya, budaya massa yang tercermin
adalah, budaya masyarakat yang hanya menjadi follower tren internasional.

Budaya nasional masih tetap eksis, namun media massa menampilkan mode tradisional biasanya
untuk acara khusus, misalnya kebaya pengantin, kebaya sarimbit. Kebaya adalah simbol budaya
tradisonal, namun masih tetap populer di masa kini bila pemakaiannya sesuai dengan situasi dan
kondisi. Berpakaian kebaya di acara khusus bisa dikatakan sebagai budaya massa (budaya tradisional
yang tetap populer di masyarakat)

Mall, sedianya bukan hanya tempat untuk berbelanja. Berbagai konsep yang dibuat oleh
pengembang mall serta jumlah nya yang kian banyak, membuat citra kepada khalayak bahwa mall
adalah sebuah gaya hidup untuk bersantai, rileks, menjalin kebersamaan dengan teman.

D. Kritik dan Solusi

Budaya massa merupakan hasil dari budaya populer dan konstruksi industri. Proses dari produksi
itu sendiri kebanyakan manipulatif dan berorientasi pada profit. Budaya massa identik dengan
penurunan nilai budaya, yang tadinya heterogen, menjadi homogen. Kritik bermunculan lantaran tidak
setuju dengan pernyataan bahwa budaya massa selalu muncul dari budaya populer yang bertujuan
komersial.

Budaya massa baik yang bertujuan komersial maupun tidak, akan selalu menimbulkan pengaruh
kepada khalayak. Pengaruh yang ditimbulkan bisa serempak, maupun bertahap. Misalnya, pengaruh
tayangan hiburan di malam hari, membuat masyarakat meniru candaan yang kurang pantas, yang
dilontarkan oleh pembawa acara. Bisa juga, masyarakat cenderung menjadi konsumeris, hedonis,
menyukai hal praktis dan mengabaikan sebuah proses pembelajaran.

Solusi primer yang bisa diterapkan adalah dengan mengoptimalkan fungsi dunia pendidikan
memperdalam materi budi pekerti, pembinaan karakter, yang menjadi tameng untuk melindungi
masyarakat kaum muda dari pengaruh tayangan yang tidak bermutu. Masyarakat, terutama kaum muda
yang dididik dengan baik dan benar, lewat cara apapun (iklan layanan masyarakat, nasehat guru,
orangtua, kerabat, dll) niscaya akan meminimalisir peniruan budaya massa yang negatif, sebab mereka
paham mana yang baik untuk dilakukan, dan yang tidak baik. Masyarakat yang kurang mendapat
arahan, sudah tentu akan menirukan budaya hasil konstruksi media massa.

Mempertegas peran agen-agen yang menjadi filter media massa, seperti editor, Komisi Penyiaran
Indonesia, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan lain-lain. Mereka berfugsi untuk mengawasi,
mengoreksi, memberi peringatan kepada media massa yang tayangannya dianggap tidak etis dan
melanggar aturan.

BAB III

KESIMPULAN

Pada hakikatnya manusia pasti memiliki apa yang disebut kebudayaan, namun pada kenyataannya tidak
ada kebudayaan yang tidak mempengaruhi pola perilaku masyakarat yang menganut budaya tersebut.
Karena budaya mencakup keseluruhan dari cara berfikir dan bertingkah laku masyarakat. Seiring
berjalannya waktu, di dalam kehidupan sehari-sehari ada banyaknya perubahan yang terjadi di
masyarakat. Baik perubahan sosial maupun perubahan kebudayaan. Budaya tersebut seakan telah
mengalami metamorfosa yang awalnya bersifat budaya tradisional berubah menjadi budaya modern
(budaya massa budaya popular).

Hal ini terjadi akibat pemikiran masyarakat tentang suatu hal (kebudayaan tradisional) yang dianggap
sudah tidak lagi memuaskan dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi. kebudayaan
yang masuk tidak sepenuhnya baik untuk masyarakat sebab budaya baru merusak kebudayaan
tradisional yang sudah berkembang lebih dulu. Selain itu budaya massa merupakan budaya yang
tercipta semata-mata karena industri yang mementingkan keuntungan sebesar-besarnya dari khalayak
konsumen untuk kaum konglomerat media.

Sedangkan untuk budaya popular, budaya popular merupakan refleksi dari budaya tradisional yang
kemudian di hadirkan kembali oleh masyarakat dengan cara berbeda di era modern. Jika dahulu di
budaya tradisional terdapat suatu budaya yang hanya dapat dimiliki oleh kalangan tertentu, budaya
popular justru memberikan kesempatan untuk seluruh lapisan masyarakat untuk dapat menikmati dan
menyaksikan budaya tersebut di media massa. Budaya popular sifatnya selalu berubah dan lebih banyak
menonjolkan sisi hiburan.

Akan tetapi kesenangan yang menjelma dalam kehidupan manusia begitu kuat justru semata-mata
hanya akan membuat masyarakat menjadi tertagih untuk mendapatkan kesenangan secara terus
menerus dan terlena kepada sesuatu yang bersifat semu dan tidak informatif. Sikap ketagihan inilah
yang memaksa media massa untuk terus menerus menayangkan tayangan hiburan yang sesuai
keinginan khalayak masyarakat (budaya popular).

DAFTAR PUSTAKA

Burhan, Bungin. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di
Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media. 2007.

Zulkarimien, Nasution. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Universitas Terbuka. 2003.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2012.

http://setabasri01.blogspot.com/2012/04/budaya-massa-di-indonesia.html?m=1

http://jega-a-fib11.web.unair.ac.id/artikel_detail-60280-Tugas%20PKBU-
Budaya%20Massa%20dan%20Budaya%20Populer.html

Budaya Massa dan Budaya Populer


[1] Kingsley Davis,Human Society, cetakan ke-13, The Macmillan, hlm. 622, 623.

[2] Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Yayasan Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), hlm. XVIII

Dengan dosen: Pak Iding R. Hasan

You might also like