You are on page 1of 8

Ilmu Penyakit Infeksius II

Avian Encephalomyelitis

ANGGI ANGGRAINI ULFA

NIM. 1402101010123

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

BANDA ACEH

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih karena atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Salawat beriring salam penulis
sampaikan kepada nabi Muhammad SAW, yang telah mengarahkan manusia kejalan yang benar.

Penulisan karya ilmiah yang berjudul Avian Encephalomyelitis ini merupakan tugas
yang diajukan dosen untuk mata kuliah Ilmu Penyakit Infeksius II

Penulis tentunya menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga tulisan ini akan
sempurna nantinya. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

Banda Aceh, 01 Oktober 2017

Penulis

(Anggi Anggraini Ulfa)


Morfologi

Avian encephalomyelitis (AE) adalah penyakit virus yang dapat menginfeksi ayam,
terutama pada ayam muda, burung, dan kalkun yang ditandai dengan terganggunya sistem saraf
pusat. Partikel virus AE memiliki diameter 24-32 nm, dan tidak beramplop. Masa inkubasi virus
ini lebih dari 10 hari sejak virus itu masuk ke dalam tubuh ayam.Angka morbiditas penyakit ini
termasuk tinggi, yaitu dapat mencapi 60%, sedangkan angka mortalitasnya secara keseluruha
dapat mencapai 25-50%.

Berdasarkan komposisi proteinnya, AE paling erat kaitannya dengan virus hepatitis A


(HAV). AE termasuk anggota keluarga Picornaviridae, yang dikelompokkan menjadi enam
genus yaitu, Enterovirus, Rhinovirus, Cardiovirus, Aphthovirus, Hepatovirus, dan Parechovirus.
Anggota keluarga Picornaviridae terdiri dari genom RNA bereputasi positif kecil yang memiliki
nilai lebih dari 9,23 nukleotida tidak termasuk ekor poli (A), jenis virus yang mampu
menginfeksi berbagai spesies vertebrata, termasuk burung. Insiden AE selalu disertai dengan
penurunan drastis produksi telur pada ayam petelur dan peningkatan morbiditas dan mortalitas
mencapai hingga 80%. Infeksi AE juga dapat meningkatkan kerentanan unggas terhadap agen
infeksi lainnya, oleh karena itu, sangat berbahaya, terutama di lapisan komersial dan industri
broiler.
Epidemiologi

Penyakit AE di lapangan masih belum tinggi, bisa dilihat pada Tabel. Wilayah yang
dilaporkan pernah terjadi serangan pun baru meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan. Meski begitu kita tetap harus waspada karena dari data
ini kita tahu bahwa ayam umur muda sangat rentan terserang AE.

Gejala Klinis dan Patogenesa

AE menghadirkan sindrom yang menarik. Secara alami terjadi Ring wabah, saat anak
ayam berumur 1-2 minggu, meski anak ayam yang terkena telah diamati pada saat bersamaan
menetas. Anak ayam yang terkena dampak, pertama-tama menunjukkan ekspresi mata yang agak
kusam, diikuti oleh ataksia progresif dari inkoordinasi otot, yang dapat dideteksi dengan mudah
dengan melatih anak-anak ayam. Sebagian ataksia tumbuh lebih jelas, dan anak ayam
menunjukkan kecenderungan untuk duduk di atas hocks mereka. Beberapa mungkin menolak
untuk bergerak atau mungkin berjalan di atas hocks dan shanks mereka. Guncangan halus kepala
dan leher bisa menjadi nyata, yang membedakannya yaitu besarnya frekuensi guncangannya.
Gejala lainnya yaitu dapat menyebabkan tremor, yang mungkin berlanjut untuk periode
variabel dan berulang pada interval tidak teratur. Ataksia biasanya berlangsung lama karena anak
ayam tidak mampu bergerak, dan akhirnya dapa menyebabkan kematian. Beberapa anak ayam
dengan tanda AE yang pasti dapat bertahan dan tumbuh hingga dewasa, dan dalam beberapa
kasus, tanda-tanda dapat hilang secara perlahan. Korban selamat kemudian dapat
mengembangkan kebutaan dari kegelapan yang menyebabkan perubahan warna kebiru-biruan ke
lensa mata.

Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari AE yaitu Newcastle (ND), Marek, Ricketsia, kekurangan vitamin
B1 dan B2, Aspergillosis, Salmonellosis, Coccidiosis. , Omphalitis, dan Mycoplasmosis.

Diagnosa

Diagnosis penyakit ini masih membingungkan, dan tes serologis tidak menunjukkan
perbedaan antara berbagai jenis isolat AE. Berbagai metode diagnostik telah dikembangkan
untuk mendiagnosis AE, yang mencakup isolasi AE dengan menggunakan inokulasi intraserebral
ke ayam umur tua, inokulasi dan perambatan ke dalam telur unggas embrio (kantung kuning
telur).
Diagnosis serologis juga telah dikembangkan seperti uji hemaglutinasi (HA), fisi
komplemen pelengkap (CF), antibodi fluoresensi tidak langsung, ELISA, VN, dan presipitasi gel
agar-agar (AGP). Uji serologis ELISA untuk mendeteksi antibodi terhadap AE pada serum ayam
rentan terhadap kesalahan akibat kesalahan penanganan sampel darah, seperti penanganan panas,
pembekuan berulang dan pencairan dan tingkat keparahan hemolisis sehingga dapat
mempengaruhi hasil ELISA. Pada umumnya penyakit unggas yang umum dan berpengaruh
secara ekonomi, seperti bronchitis menular, anemia ayam dan AE, ELISA yang tersedia secara
komersial secara rutin digunakan sebagai alat diagnostik untuk menentukan apakah seekor
burung atau kawanan telah terkena PPP, CAV, atau AEV. Selain itu, probe DNA digoksigenin
non-radioaktif yang cepat digunakan untuk mendeteksi AEV Probe ini dihibridkan secara khusus
dengan fragmen DNA gen VP-1 dengan tingkat sensitivitas sekecil 10 pg fragmen DNA yang
ditargetkan. Namun, diagnostik ini masih memiliki kelemahan dan kekurangan, yaitu
membutuhkan waktu yang lama dan tenaga laboratorium yang terampil, cross-reaction, false
positive atau false negative, kurang sensitif dan mahal.

Diagnosis AE rutin yang dilakukan di laboratorium adalah tes serologis, dengan


menggunakan uji HA, uji HI, dan uji CF (CFT) untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
protein hemaglutinin. Tes laboratorium lainnya adalah tes AGP. Metode serologis kurang efektif
pada unggas karena unggas sering terinfeksi oleh virus lain yang memiliki protein sama.
Beberapa virus sering ditemukan memiliki beberapa serotipe dan genotipe sehingga sensitivitas
dan spesifisitas tes ini rendah. Metode diagnostik lainnya secara rutin dilakukan dengan isolasi
virus dari telur ayam embrio.

Meskipun uji serologis dan isolasi virus dari telur ayam embrio memiliki spesifisitas dan
sensitivitas yang tinggi, mereka memiliki beberapa kekurangan, seperti membutuhkan waktu
lama, membutuhkan fasilitas laboratorium modern, membutuhkan sumber daya manusia yang
terampil, dan biaya tinggi. Metode diagnostik berbasis molekuler memiliki beberapa keunggulan
dalam hal cepat, sensitivitas dan spesifisitas untuk mendiagnosis penyakit virus.
Patologi Anatomi

Dilihat dari perubahan patologi anatomi tidak ditemukan adanya perubahan yang khas.
Hanya saja terdapat warna atau area keputihan pada dinding otot ventrikulus akibat infiltrasi sel
limfosit.

Perubahan pada otak dapat dilihat melalui histopatologi dengan ditemukannya


perivascular cuffing (akumulasi limfosit atau sel plasma dalam massa padat di sekitar pembuluh
darah yang mengindikasikan peradangan atau reaksi imun-red), degenerasi sel saraf dan hy-
perplasi (perbanyakan sel) folikel limfoid pada organ visceral (organ dalam) tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Haryanto1, A.. R. Ermawati1, V. Wati, S. H. Irianingsih and N. Wijayanti. 2016. Analysis of


viral protein-2 encoding gene of avian encephalomyelitis virus from field specimens in
Central Java region, Indonesia. Journal Veterinary World, EISSN: 2231-0916

Ingram, D. R., D. L. Miller, C. A. Baldwin, J. Turco, and J. M. Lockhart. 2015. Serologic Survey
Of Wild Turkeys (Meleagris Gallopavo) And Evidence Of Exposure To Avian
Encephalomyelitis Virus In Georgia And Florida, USA. Journal of Wildlife Diseases,
51(2), 2015, pp. 374379

Liu, D. 2016. Molecular Detection Of Animal Viral Pathogens. Francies: CRC Press

You might also like