Professional Documents
Culture Documents
Pengertian Kepailitan
Pailit, berasal dari kata failliet (dalam bahasa Belanda), atau bankrupt, (dalam bahasa
Inggris). Pengertian dari bangkrut atau pailit menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan
Perdagangan antara lain, keadaan dimana seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan
bankrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-
utangnya.
Untuk memberikan kejelasan mengenai definisi dan pengertian kepailitan maka ada
beberapa definisi atau pendapat dari para ahli, yaitu sebagai berikut :
1. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, dalam bukunya Pelajaran Hukum
Indonesia, menyatakan bahwa kepailitan adalah suatu beslah exekutorial yang
dianggap sebagai hak kebendaan seseorang terhadap barang kepunyaan debitur.
2. Kartono, menyatakan bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atasseluruh
kekayaan debitur untuk kepentingan seluruh kreditnya bersama-sama, yang pada
waktu si debitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang
masing-masing kreditur memiliki pada saat itu.
3. Soebekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata, berpendapat bahwa kepailitan
adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua berpiutang secara
adil.
Sedangkan, menurut Pasal 1 angka (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (biasa disebut UU Kepailitan), Kepailitan
adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.
Tujuan dari pernyataan pailit sebenarnya adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan
umum atas kekayaan debitur (segala harta benda disita/dibekukan) untuk kepentingan semua
orang yang mengutangkannya (kreditur). Prinsipnya kepailitan itu adalah suatu usaha
bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil.
Berdasarkan dari definisi tersebut maka terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam
suatu proses kepailitan, yaitu:
1. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-
Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
2. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang
yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
3. Debitur Pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan Putusan
Pengadilan.
4. Kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perorangan yang diangkat oleh
Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitur Pailit di bawah
pengawasan Hakim Pengawas.
Menurut Pasal 55 UU No. 37 Tahun 2004, para kreditur dapat dibagi dalam beberapa
golongan:
1. Golongan Separatisen, yaitu kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, biasanya disebut
kreditur preferen, yaitu para kreditur yang mempunyai hak didahulukan, disebut
demikian karena para kreditur yang telah diberikan hak untuk mengeksekusi sendiri
haknya dan melaksanakan seolah-olah tidak ikut campur. Dalam arti lain, kreditur ini
dapat menyelesaikan secara terpisah di luar urusan kepailitan. Meskipun demikian
untuk melaksanakannya menurut ketentuan undang-undang para kreditur tidak bisa
langsung begitu saja melaksanakannya.
2. Golongan dengan hak Previlege, yaitu orang-orang yang mempunyai tagihan yang
diberikan kedudukan istimewa, sebagai contoh, penjual barang yang belum menerima
bayarannya, mereka ini menerima pelunasan terlebih dulu dari pendapatan penjualan
barang yang bersangkutan setelah itu barulah kreditur lainnya (kreditur konkuren).
2. Kreditur;
Kreditur yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debiturnya adalah
kreditur separatis, kreditur preferen, kreditur konkuren.
3. Kejaksaan, apabila menyangkut kepentingan umum;
Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau
kepentingan masyarakat luar, misalnya:
a. Debitur melarikan diri;
b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c. Debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang
menghimpun dana dari masyarakat;
d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat
luas;
e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah
utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
f. Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
4. Apabila Debitur adalah Bank, hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (Pasal 2 ayat
3);
5. Apabila Debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, hanya dapat diajukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengganti dari Badan pengawas Pasar Modal;
(Pasal 2 ayat 4) dan
6. Apabila Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,
atau BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik, hanya dapat diajukan oleh
Menteri Keuangan(Pasal 2 ayat 5).
Berdasarkan Pasal 6 ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004, Panitera wajib menolak
pendaftaran pemohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 3,
ayat 4, dan ayat 5 jika dilakukan tidak sesuai dengan dengan ketentuan dalam ayat-ayat
tersebut.
Akibat Kepailitan
Berikut ini adalah akibat dari dijatuhkannya putusan pailit yaitu:
1. Debitur tersebut demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, yang terhitung sejak tanggal Putusan
Pernyataan Pailit diucapkan (Pasal 24 ayat 1UU No. 37 Tahun 2004).
2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya
3. Untuk melindungi kepentingan kreditur, selama putusan atas permohonan pernyataan
pailit belum diucapkan, kreditur dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk:
a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur
b. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur,
menerima pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan kekayaan
debitur (Pasal 10 UU No. 37 Tahun 2004);
Upaya pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini bersifat preventif dan
sementara, dan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan bagi debitur melakukan
tindakan terhadap kekayaannya sehingga dapat merugikan kepentingan kreditur dalam
rangka pelunasan utangnya. Permohonan ini baru dapat dilaksanakan jika dikabulkan
oleh Pengadilan Niaga.
4. Harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar (Pasal 15 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004)
Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat Putusan Pernyataan Pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh Debitur tersebut selama proses kepailitan,
namun tidak berlaku terhadap :
1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitur sehubungan
dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk
kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitur dan
keluarganya, yang terdapat ditempat itu;
2. Segala sesuatu yang diperoleh Debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian
dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan,
sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
3. Uang yang diberikan kepada Debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi
nafkah menurut undang-undang.
Semua perjanjian yang berkaitan dengan pemindahan hak atas tanah, balik nama
kapal, pembebanan hak tanggungan, hipotek, atau jaminan fidusia yang telah
diperjanjikan terlebih dahulu, tidak dapat dilaksanakan setelah Putusan Pernyataan
Pailit diucapkan.
Menurut ketentuan Pasal 37 ayat 1UU No. 37 Tahun 2004, apabila telah terjadi suatu
perjanjian penyerahan barang dagangan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang harus
menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka
perjanjian tersebut menjadi hapus dengan diucapkannya Putusan Pernyataan Pailit, dan
bilamana pihak lawan dirugikan karena adanya penghapusan maka yang bersangkutan dapat
mengajukan diri sebagai kreditur konkuren untuk mendapatkan ganti rugi.
Selanjutnya, akibat dari ditetapkannya Debitur sebagai Debitur Pailit maka selama
Kepailitan, Debitur Pailit tidak boleh meninggalkan domisilinya tanpa izin dari Hakim
pengawas.
PKPU Sementara
Sebelum pengadilan niaga memutuskan untuk mengadakan pemberian PKPU tetap,
baik debitur maupun kreditur dapat mengajukan untuk diberikan putusan PKPU sementara
sesuai dengan Pasal 225 ayat 2 dan ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004.
Merupakan kepentingan semua pihak agar pengadilan niaga secepatnya memberikan
PKPU sementara agar segera terjadi keadaan diam (stay atau standstill) sehingga
kesepakatan yang dicapai antara debitur dan para krediturnya tentang rencana perdamaian
betul-betul efektif. Adapun batas waktu bagi pengadilan niaga untuk mengabulkan PKPU
Sementara yaitu tiga hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan tersebut. Dengan
ketentuan Pasal 225 ayat 2 dan ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004 itu, berarti sepanjang debitur
telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 222 dan Pasal 224, pengadilan
dengan sendirinya harus memberikan PKPU Sementara sebelum akhirnya pengadilan
memberikan keputusan mengenai PKPU tetap, yaitu setelah dilakukan pemeriksaan
sebagaimana mestinya.
Putusan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang (PKPU Sementara) yang
dimaksud, menurut Pasal 227 UU No. 37 Tahun 2004 berlaku sejak tanggal putusan
penundaan kewajiban pembayaran utang tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan
tanggal sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat 1 diselenggarakan.
Dari ketentuan Pasal 230 UU No. 37 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa jangka
waktu PKPU Sementara berakhir karena hal-hal sebagai berikut:
1. Kreditur tidak menyetujui pemberian PKPU tetap, atau
2. Pada saat batas waktu perpanjangan PKPU telah sampai, ternyata antara debitur dan
kreditur belum tercapai persetujuan rencana perdamaian.
Perdamaian
UU No. 37 Tahun 2004 mengenal dua macam perdamaian, yaitu:
1. Perdamaian yang ditawarkan oleh debitur dalam rangka PKPU sebelum debitur
dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.
2. Perdamaian yang ditawarkan oleh debitur kepada para krediturnya setelah debitur
dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.
Berdasarkan Pasal 265 UU No. 37 Tahun 2004 debitur berhak pada waktu
mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran uang atau setelah itu
menawarkan suatu perdamaian kepada kreditur, dengan mengajukan rencana perdamaian
sesuai Pasal 266 ayat 1.
Dari ketentuan Pasal 224 ayat 4, Pasal 265 dan Pasal 266 UU No. 37 Tahun 2004
dapat diketahui bahwa rencana perdamaian dalam rangka PKPU dapat diajukan pada saat-
saat sebagai berikut:
1. Bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU (Pasal 265)
2. Sesudah permohonan PKPU diajukan (Pasal 265), namun rencana itu harus diajukan
sebelum tanggal hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 UU No. 37
Tahun 2004
3. Setelah tanggal hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat 4UU No. 37
Tahun 2004, yaitu selama berlangsungnya PKPU sementara itu, yang tidak boleh
melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari terhitung sejak PKPU sementara ditetapkan
termasuk masa perpanjangannya.
Keadaan di mana yang pailit dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
(niaga maupun komersial) untuk suatu pengunduran umum dari kewajibannya untuk
membayar utang-utangnya dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian, baik
seluruh atau sebagian utang kepada kreditur disebut sebagai keadaan surseance. Sedangkan
keadaan insolventle seperti dimaksud Pasal 290 UU No. 37 Tahun 2004, adalah suatu
keadaan debitur sudah sungguh-sungguh pailit atau tidak mampu lagi untuk membayar utang-
utangnya. Untuk hal ini, kreditur diberi waktu 2 (dua) bulan untuk menggunakan hak
khususnya terhadap keadaaan insolventle tersebut.
Berdasarkan Pasal 281 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004, rencana dapat diterima apabila
disetujui oleh:
1. Persetujuan lebih dari (satu perdua) jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui
atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 268 termasuk kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-
sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang
diakui atau sementara diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam
rapat tersebut, dan
2. Persetujuan lebih dari (satu perdua) jumlah kreditur yang piutangnya dijamin
dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas
kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian
dari seluruh tagihan dari kreditur tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat
tersebut.
Pasal 281 ayat 2 UU No. 37 Tahun 2004, menentukan bahwa kreditur sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 huruf b yang tidak menyetujui rencana perdamaian diberikan
kompensasi sebesar nilai terendah diantara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang
secara langsung dijamin dengan hak agunan atas kebendaan. Penjelasan Pasal 281 ayat 2
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nilai jaminan adalah nilai jaminan yang dapat
dipilih diantara nilai jaminan yang telah ditentukan dalam dokumen jaminan atau nilai objek
jaminan yang ditentukan oleh penilai yang ditunjuk oleh hakim pengawas.
Restrukrurisasi Utang
Kesepakatan antara debitur dan para kreditur mengenai isi rencana perdamaian dapat
mengambil berbagai bentuk restrukturisasi utang yaitu sebagai berikut:
1. Penjadwalan kembali pelunasan utang (rescheduling); termasuk pemberian masa
tenggang (grace period) yang baru atau pemberian moratorium kepada debitur.
2. Persyaratan kembali perjanjian utang (reconditioning).
3. Pengurangan jumlah utang pokok (haircut).
4. Pengurangan atau pembebasan jumlah bunga yang tertunggak, denda, dan biaya-biaya
lain.
5. Penurunan tingkat suku bunga.
6. Pemberian utang baru.
7. Konvensi utang menjadi modal perseroan (debt for equity conversion atau disebut
juga debt equity swap).
8. Penjualan aset yang tidak produktif atau yang tidak langsung diperlukan untuk
kegiatan usaha perusahaan debitur untuk melunasi utang.
9. Bentuk-bentuk lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Tanggung jawab direksi ketika terjadinya kepailitan pada Perseroan Terbatas menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, adalah dalam hal kepailitan terjadi
karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara
tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari
harta pailit tersebut; sebaliknya anggota direksi tidak bertanggung jawab atas
kepalitan perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) apabila dapat
membuktikan :
1. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
2. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh
tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan;
3. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
4. telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan
Namun kuasa hukum Ny. Meneer tidak serta merta menerima gugatan dari pemohon.
Maka mereka menanggapi dengan surat sebagai berikut:
1. Mencermati permohonan PEMOHON dengan seksama, ternyata permohonan yang
diajukan adalah terlalu dini (Prematur), dengan alasan sebagai berikut :
Bahwa Hendrianto mendalilkan PT Ny.Meneer telah lalai memenuhi isi Putusan
Perjanjian Perdamaian (Homologasi) Pengadilan Niaga Semarang Nomor
01/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga Smg karenatidak melakukan cicilan sesuai
kesepakatan yang telah ditetapkan didalam proposal perdamaian atau didalam Putusan
perjanjian perdamaian (homologasi) tersebut yakni sebesar Rp. 7.040.970.500,- (tujuh
miliar empat puluh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu lima ratus rupiah) selama 5
(lima) tahun, terhitung dari akhir Juli 2015 hingga Juni 2020 yang seharusnya
TERMOHON telah melakukan cicilan sebanyak 24 (dua puluh) kali yakni terhitung
dari bulan Juli 2015 hingga bulan Mei 2017adalah tidak benar dan tidak berdasar.
2. Bahwa setelah perjanjian perdamaian (Homologasi) disahkan oleh Pengadilan Niaga
Semarang sebagaimana yang tertuang dalam putusan perdamaian (homologasi) No :
01/Pdt.Sus-PKPU/2015/Pn Niaga.Smg tanggal 08 Juni 2015, TERMOHON telah
melakukan Pembayaran kepada PEMOHON sebesar Rp. 412.094.000,-
3. Bahwa berdasarkan putusan perjanjian perdamaian (homologasi) a quo yang telah
disepakati membayar kewajibannya kepada PEMOHON secara keseluruhan sebesar
Rp. 7.040.970.500,- (tujuh miliar empat puluh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu
lima ratus rupiah) selama (5) lima tahun dengan cara mencicil, yang tidak mutlak
harus mencicil pembayaran tersebut untuk setiap bulannya.
4. Bahwa berdasarkan Putusan Perjanjian Perdamaian (homologasi) aquo TERMOHON
baru dapat dikatakan lalai terhadap kewajibannya kepada PEMOHON sebesar Rp.
7.040.970.500,- (tujuh miliar empat puluh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu lima
ratus rupiah) setelah lewat waktu 5 (lima) tahun yaitu pada akhir bulan Juli 2020
apabila TERMOHON tidak melaksanakan kewajibannya kepada PEMOHON
5. Bahwa dalam Putusan Perjanjian Perdamaian (homologasi) aquo, tidak disebutkan
pula bahwa TERMOHON diharuskan melakukan pembayaran cicilan dengan jumlah
tertentu untuk setiap bulannya kepada PEMOHON, akan tetapi TERMOHON
diharuskan melaksanakan kewajibanya kepada PEMOHON selama lima tahun dengan
cara mencicilnya.
Hal ini sesuai dengan Pasal 170 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa : Pengadilan
berwenang memberikan kelonggaran kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya paling
lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan.
Bahwa oleh karena PT. Ny. Meneer mempunyai itikad baik dan tanggung jawab
dalam menjalankan perjanjian perdamaian tersebut, maka Majelis Hakim Perkara a quo di
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang diminta untuk menolak permohnan
Gugatan Hendrianto.
Pertimbangan Hukum
Dari dua surat yang diajukan oleh Hendrianto maupun Pihak PT Ny.Meneer Pengadilan Negri
Semarang menimbang :
1. Tujuan Hendrianto adalah permohonan pembatalan putusan pengesahan perdamaian
tersebut diatas; Menimbang, bahwa yang menjadi pokok persoalan adalah mengenai
Gugatan Permohonan Pembatalan Putusan Pengesahan Perdamaian (Homologasi)
Nomor 01/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN Niaga Smg tanggal 08 Juni 2015 dengan alasan
Termohon telah lalai memenuhi isi putusan Perdamaian (homologasi) ;
2. Bahwa kasus posisi semula dari adanya Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Semarang Nomor 01/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN Niaga Smg tanggal 08 Juni
2016, dalam perkara antara : PT. Citra Sastra Grafika dan PT. Nata Meridian Investara
terhadap PT. Perindustrian Njonja Meneer atau disingkat PT Njonja Meneer, Bahwa
dalam proses PKPU, PT Njonja Meneer telah mengajukan proposal perdamaian
tanggal 5 Maret 2015, kemudian telah disepakati oleh para Kreditur dan lebih lanjut
mendapat pengesahan (Homologasi), oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Semarang tanggal 01 Juni 2015;
3. Bahwa ternyata pula, Termohon dalam pembayaran dengan menerbitkan Bilyet Giro ,
akan tetapi keseluruhan Bilyet Giro dimaksud ketika dicairkan oleh Pemohon ternyata
diblokir oleh pihak Bank, dengan alas an rekening Termohon telah ditutup;
4. Bahwa terhadap perkara Permohonan Pembatalan Perjanjian Perdamaian, sebelumnya
telah berulang kali diajukan oleh para Kreditur yang lain ke Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Semarang, dengan substansi yang sama, akan tetapi perkara
dimaksud ditolak oleh Majelis Hakim ; dalam perkara-perkara yang telah diajukan
tersebut, Termohon telah mengajukan usulan yang serupa yaitu adanya permohonan
penundaan pembayaran selama 30 (tiga puluh) hari;
5. Bahwa semestinya kalau Termohon konsisten dan beritikad baik untuk memenuhi
kewajibannya, tentunya sudah ada pembayaran yang harus dilakukan kepada para
Kreditor, termasuk kepada Pemohon (sebagai Kreditor), namun hal itu tidak
dilakukan, sehingga membuktikan permohonan Termohon tersebut hanya terkesan
sebatas formalitas untuk menunda kewajiban pembayaran utangnya;
Putusan Pengadilan
Setelah menimbang alasan kedua belah pihak, baik pihak Pemohon danTermohon,
maka Pengadilan Negeri Semarang memutuskan yang pada intinya:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan batal Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Semarang yang dituangkan dalam Putusan
Pengesahan Perdamaian (Homologasi) Nomor 01/Pdt.SusPKPU/2015/PN Niaga Smg
tanggal 08 Juni 2015
3. Menyatakan PT NJONJA MENEER dalam keadaan pailit dengan segala akibat
hukumnya;
4. Mengangkat Hakim Niaga
5. Pengangkatan Kurator
6. Menghukum pembayaran Perkara sebesar Rp 3.111.000,-
Namun karena keputusan ini sangat memberatkan Pihak Ny.Meneer Presiden
Direktur PT Njonya Meneer, Charles Saerang, kaget dan kecewa atas putusan Pengadilan
Negeri Semarang.Ia mengharapkan pengadilan bersikap objektif dengan mempertimbangkan
banyak hal. Pertama, jumlah pekerja Nyonya Meneer yang mencapai ribuan. Kedua,
keinginan perusahaan untuk menunaikan kewajiban.Charles khawatir putusan pailit dari
pengadilan bisa jadi preseden buruk bagi perusahaan yang dikatakan sebenarnya dalam
keadaan sehat.Meski demikian, Saerang akan mematuhi hasil keputusan. Perusahaan akan
mengambil langkah hukum lain menghadapi hasil keputusan Pengadilan Negeri Semarang
seperti Kasasi, Peninjauan Kembali dan lainnya.
Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka dalam hal ini dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Upaya yang dapat dilakukan oleh debitur untuk dapat menghindari kepailitan adalah
dengan melakukan upaya yang disebut PKPU. PKPU hanya dapat diajukan oleh
debitur sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan, karena
berdasarkan Pasal 229 ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004, permohonan PKPU harus
diputuskan terlebih dahulu apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan
PKPU sedang diperiksa pada saat yang bersamaan.
2. Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu
pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada.
Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada
pasal 2 UU No 37 Tahun 2004. Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada
pengadilan melalui panitera. Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada
ketua pengadilan niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak
tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung
sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan pengadilan mempelajari
permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan
kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak permohonan. Tahap putusan
atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau
keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Putusan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan dimana berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya
murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.
3. Upaya hukum dalam perkara kepailitan ada tiga macam upaya hukum yang dapat
dilakukan yakni ; Perlawanan, Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Perlawanan
dalam kepailitan diajukan kepada pengadilan yang menetapkan putusan pernyataan
pailit. Upaya hukum kasasi diajukan ke Mahkamah Agung, dengan demikian terhadap
keputusan pengadilan ditingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding
tetapi langsung dapat dilakukan upaya kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali oleh
Mahkamah Agung terhadap putusan atas permohonan kepailitan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dengan alasan apabila:
a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada
waktu diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan atau;
b. Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.
Saran
Saran yang dapat kami usulkan di dalam makalah ini adalahupaya hukum dilakukan
oleh pihak yang merasa tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama, maka
Mahkamah Agung diharap dapat memutus perkara kasasi maupun peninjauan kembali secara
cepat dan jangan sampai berlarut-larut sehingga secepatnya ada kepastian hukum bagi para
pihak.
DAFTAR PUSTAKA