You are on page 1of 33

KEPAILITAN

Pengertian Kepailitan
Pailit, berasal dari kata failliet (dalam bahasa Belanda), atau bankrupt, (dalam bahasa
Inggris). Pengertian dari bangkrut atau pailit menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan
Perdagangan antara lain, keadaan dimana seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan
bankrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-
utangnya.
Untuk memberikan kejelasan mengenai definisi dan pengertian kepailitan maka ada
beberapa definisi atau pendapat dari para ahli, yaitu sebagai berikut :
1. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, dalam bukunya Pelajaran Hukum
Indonesia, menyatakan bahwa kepailitan adalah suatu beslah exekutorial yang
dianggap sebagai hak kebendaan seseorang terhadap barang kepunyaan debitur.
2. Kartono, menyatakan bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atasseluruh
kekayaan debitur untuk kepentingan seluruh kreditnya bersama-sama, yang pada
waktu si debitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang
masing-masing kreditur memiliki pada saat itu.
3. Soebekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata, berpendapat bahwa kepailitan
adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua berpiutang secara
adil.
Sedangkan, menurut Pasal 1 angka (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (biasa disebut UU Kepailitan), Kepailitan
adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.
Tujuan dari pernyataan pailit sebenarnya adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan
umum atas kekayaan debitur (segala harta benda disita/dibekukan) untuk kepentingan semua
orang yang mengutangkannya (kreditur). Prinsipnya kepailitan itu adalah suatu usaha
bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil.
Berdasarkan dari definisi tersebut maka terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam
suatu proses kepailitan, yaitu:
1. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-
Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
2. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang
yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
3. Debitur Pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan Putusan
Pengadilan.
4. Kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perorangan yang diangkat oleh
Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitur Pailit di bawah
pengawasan Hakim Pengawas.
Menurut Pasal 55 UU No. 37 Tahun 2004, para kreditur dapat dibagi dalam beberapa
golongan:
1. Golongan Separatisen, yaitu kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, biasanya disebut
kreditur preferen, yaitu para kreditur yang mempunyai hak didahulukan, disebut
demikian karena para kreditur yang telah diberikan hak untuk mengeksekusi sendiri
haknya dan melaksanakan seolah-olah tidak ikut campur. Dalam arti lain, kreditur ini
dapat menyelesaikan secara terpisah di luar urusan kepailitan. Meskipun demikian
untuk melaksanakannya menurut ketentuan undang-undang para kreditur tidak bisa
langsung begitu saja melaksanakannya.
2. Golongan dengan hak Previlege, yaitu orang-orang yang mempunyai tagihan yang
diberikan kedudukan istimewa, sebagai contoh, penjual barang yang belum menerima
bayarannya, mereka ini menerima pelunasan terlebih dulu dari pendapatan penjualan
barang yang bersangkutan setelah itu barulah kreditur lainnya (kreditur konkuren).

Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Hal Kepailitan


Perlindungan hukum yang diberikan Undang-undang kepailitan bagi kreditur salah
satunya adalah dengan adanya actio paulina. Actio Paulina sejak semula telah diatur dalam
Pasal 1341 KUH Perdata, dimana hal ini memberikan hak kepada kreditur untuk mengajukan
pembatalan atas setiap tindakan hukum yang tidak diwajibkan dilakukan oleh debitur, baik
dengan nama apapun yang dapat merugikan kreditur. Ketentuan actio paulina dalam Pasal
1341 KUH Perdata ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang mengatur
prinsip Paritas creditorium. Hal ini karena dengan pasal 1131 KUH Perdata ditentukan
bahwa semua harta kekayaan debitur demi hukum menjadi jaminan atas utang-utang debitur.
Dengan demikian debitur dalam hal ini tidak bebas terhadap harta kekayaan yang dimiliki
ketika memiliki utang kepada pihak kreditur.
Asas-asas Kepailitan
Asas-asas kepailitan diatur dalam penjelasan UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU, yaitu sebagai berikut:
a. Asas Keseimbangan;
Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari
asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah
terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak
jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad
baik.
b. Asas Kelangsungan Usaha;
Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan
debitur yang prospektif dapat dilangsungkan.
c. Asas Keadilan;
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan
mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang
berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-
wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-
masing terhadap debitur, dengan tidak memedulikan kreditur lain.
d. Asas Integrasi;
Asas integrasi dalam undang-undang ini mengadung pengertian bahwa sistem hukum
formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum
perdata dan hukum acara perdata nasional.

Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pailit


Di dalam Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004, ditentukan pihak-pihak yang dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit, yaitu:
1. Debitur itu sendiri;
Seorang debitur mengajukan permohonan pailit atas dirinya sendiri. Jika debitur
masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas
persetujuan suami atau istri yang menjadi pasangannya (Pasal 4 ayat 1).

2. Kreditur;
Kreditur yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debiturnya adalah
kreditur separatis, kreditur preferen, kreditur konkuren.
3. Kejaksaan, apabila menyangkut kepentingan umum;
Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau
kepentingan masyarakat luar, misalnya:
a. Debitur melarikan diri;
b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c. Debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang
menghimpun dana dari masyarakat;
d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat
luas;
e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah
utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
f. Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
4. Apabila Debitur adalah Bank, hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (Pasal 2 ayat
3);
5. Apabila Debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, hanya dapat diajukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengganti dari Badan pengawas Pasar Modal;
(Pasal 2 ayat 4) dan
6. Apabila Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,
atau BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik, hanya dapat diajukan oleh
Menteri Keuangan(Pasal 2 ayat 5).
Berdasarkan Pasal 6 ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004, Panitera wajib menolak
pendaftaran pemohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 3,
ayat 4, dan ayat 5 jika dilakukan tidak sesuai dengan dengan ketentuan dalam ayat-ayat
tersebut.

Permohonan Pernyataan Pailit oleh Debitur Perseroan Terbatas


Direksi dari suatu Perseroan Terbatas diberikan kewenangan oleh Undang-undang
untuk melakukan pengurusan terhadap perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan.
Namun Direksi tidak berwenang untuk mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri
kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan dari RUPS sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 104 UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Syarat Pengajuan Pailit


Syarat utama sebagai dasar hukum yang kuat dalam mengajukan Permohonan
Pernyataan Pailit, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004,
adalah:
1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur; dan
2. Debitur tersebut tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih.
Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004:
Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan,
baik atas permohonannya sendiri maupun atas Permohonan satu atau lebih krediturnya.
Kreditur dalam hal ini adalah kreditur baik konkuren, kreditur separatis maupun
kreditur preferen. Sedangkan utang yang telah jatuh waktu berarti kewajiban untuk
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan
waktu penagihan sesuai perjanjian ataupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis
arbitrase.

Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit


Pihak-pihak yang terlibat di dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit antara
lain:
1. Hakim Pengawas
Hakim pengawas atau Rechter Commisaris (dalam bahasa Belanda), seperti yang
diatur dalam Pasal 65 UU No. 37 Tahun 2004, adalah hakim yang diangkat oleh
Pengadilan untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit.
a. Kalau masalah kepailitannya besar (kakap) dapat diangkat panitia kreditur;
b. Memimpin rapat verifikasi, rapat untuk mengesahkan piutang-piutang.
2. Kurator
Menurut Pasal UU No. 37 Tahun 2004, dijelaskan mengenai;
Tugas Kurator ( Pasal 69), antara lain:
a. Melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit
b. Segala perbuatan kurator tidak harus mendapat persetujuan dari debitur
(meskipun dipersyaratkan)
c. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga (dalam rangka meningkatkan
nilai harta pailit)
d. Kurator itu bisa Balai Harta Peninggalan (BHP), atau kurator lainnya (Pasal 70
Ayat 1)
Yang dapat menjadi kurator adalah (Pasal 70 Ayat 2):
a. Orang perseorangan yang memiliki keahlian khusus untuk itu (mengurus atau
membereskan harta pailit dan berdomisili di wilayah RI)
b. Terdaftar di Departemen Hukum dan Perundang-undangan.
Seorang kurator dapat diganti, Pengadilan dapat mengganti, memanggil,
mendengar kurator, atau mengangkat kurator tambahan (Pasal 71 Ayat 1):
a. Atas permohonan kurator sendiri;
b. Atas permohonan kurator lainnya, jika ada;
c. Usulan hakim pengawas;
d. Atas permintaan debitur pailit;
e. Atas usul kreditur konkuren
Tanggung jawab kurator adalah:
a. Terhadap kesalahan atau kelalaian dalam tugas pengurusan atau pemberesan
yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit (Pasal 72);
b. Kurator yang ditunjuk untuk tugas khusus berdasarkan putusan pernyataan
pailit, berwenang untuk bertindak sendiri sebatas tugasnya ( Pasal 73 Ayat 3);
c. Kurator harus menyampaikan kepada hakim pengawas mengenai keadaan
harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan (Pasal 74 Ayat 1);
d. Upah kurator ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan Menteri
Hukum dan Perundang-undangan.
3. Panitia Kreditur
Dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, pengadilan dapat membentuk
panitia kreditur sementara terdiri dari tiga orang yang dari kreditur yang dikenal
dengan maksud memberikan nasihat kepada kurator.
Setelah pencocokan utang selesai dilakukan, hakim pengawas wajib menawarkan
kepada kreditur untuk membentuk panitia kreditur tetap.

Akibat Kepailitan
Berikut ini adalah akibat dari dijatuhkannya putusan pailit yaitu:
1. Debitur tersebut demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, yang terhitung sejak tanggal Putusan
Pernyataan Pailit diucapkan (Pasal 24 ayat 1UU No. 37 Tahun 2004).
2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya
3. Untuk melindungi kepentingan kreditur, selama putusan atas permohonan pernyataan
pailit belum diucapkan, kreditur dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk:
a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur
b. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur,
menerima pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan kekayaan
debitur (Pasal 10 UU No. 37 Tahun 2004);
Upaya pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini bersifat preventif dan
sementara, dan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan bagi debitur melakukan
tindakan terhadap kekayaannya sehingga dapat merugikan kepentingan kreditur dalam
rangka pelunasan utangnya. Permohonan ini baru dapat dilaksanakan jika dikabulkan
oleh Pengadilan Niaga.
4. Harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar (Pasal 15 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004)
Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat Putusan Pernyataan Pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh Debitur tersebut selama proses kepailitan,
namun tidak berlaku terhadap :
1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitur sehubungan
dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk
kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitur dan
keluarganya, yang terdapat ditempat itu;
2. Segala sesuatu yang diperoleh Debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian
dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan,
sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
3. Uang yang diberikan kepada Debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi
nafkah menurut undang-undang.
Semua perjanjian yang berkaitan dengan pemindahan hak atas tanah, balik nama
kapal, pembebanan hak tanggungan, hipotek, atau jaminan fidusia yang telah
diperjanjikan terlebih dahulu, tidak dapat dilaksanakan setelah Putusan Pernyataan
Pailit diucapkan.
Menurut ketentuan Pasal 37 ayat 1UU No. 37 Tahun 2004, apabila telah terjadi suatu
perjanjian penyerahan barang dagangan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang harus
menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka
perjanjian tersebut menjadi hapus dengan diucapkannya Putusan Pernyataan Pailit, dan
bilamana pihak lawan dirugikan karena adanya penghapusan maka yang bersangkutan dapat
mengajukan diri sebagai kreditur konkuren untuk mendapatkan ganti rugi.
Selanjutnya, akibat dari ditetapkannya Debitur sebagai Debitur Pailit maka selama
Kepailitan, Debitur Pailit tidak boleh meninggalkan domisilinya tanpa izin dari Hakim
pengawas.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)


Upaya yang dapat dilakukan oleh debitur untuk dapat menghindari kepailitan adalah
dengan melakukan upaya yang disebut PKPU.
PKPU hanya dapat diajukan oleh debitur sebelum putusan pernyataan pailit
ditetapkan oleh pengadilan, karena berdasarkan Pasal 229 ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004,
permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu apabila permohonan pernyataan pailit
dan permohonan PKPU sedang diperiksa pada saat yang bersamaan. Dalam PKPU, debitur
masih dapat melakukan pengurusan dan kepemilikan atas harta kekayaannya asalkan hal
tersebut disetujui oleh pengurus sesuai dengan Pasal 240 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004.
Syarat bagi kreditur untuk dapat mengajukan PKPU, menurut Pasal 222 ayat 3 UU
No. 37 Tahun 2004 apabila kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat
melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Berdasarkan isi
Pasal 222 ayat 2 dan 3UU No. 37 Tahun 2004, terdapat perbedaan mengenai syarat dapat
diajukannya PKPU oleh debitur dan oleh kreditur. Bagi debitur untuk dapat mengajukan
PKPU bukan hanya setelah tidak dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya, tetapi juga
apabila debitur memperkirakan tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya itu ketika
nantinya utang-utangn itu jatuh waktu dan dapat ditagih. Sementara bagi kreditur menurut
Pasal 222 ayat 3UU No. 37 Tahun 2004, hanya dapat mengajukan permohonan PKPU apabila
secara nyata debitur tidak lagi membayar piutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat
ditagih.
Menurut Pasal 244 ayat 1, dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246 UU No.
37 Tahun 2004, PKPU tidak berlaku terhadap:
1. Tagihan yang dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan
atas kebendaan lainnya;
2. Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah harus dibayar
dan hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum
dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan
tagihan dengan hak untuk diistimewakan; dan
3. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitur maupun terhadap
seluruh harta debitur yang tidak tercakup pada ayat 1 huruf b.

PKPU Sementara
Sebelum pengadilan niaga memutuskan untuk mengadakan pemberian PKPU tetap,
baik debitur maupun kreditur dapat mengajukan untuk diberikan putusan PKPU sementara
sesuai dengan Pasal 225 ayat 2 dan ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004.
Merupakan kepentingan semua pihak agar pengadilan niaga secepatnya memberikan
PKPU sementara agar segera terjadi keadaan diam (stay atau standstill) sehingga
kesepakatan yang dicapai antara debitur dan para krediturnya tentang rencana perdamaian
betul-betul efektif. Adapun batas waktu bagi pengadilan niaga untuk mengabulkan PKPU
Sementara yaitu tiga hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan tersebut. Dengan
ketentuan Pasal 225 ayat 2 dan ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004 itu, berarti sepanjang debitur
telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 222 dan Pasal 224, pengadilan
dengan sendirinya harus memberikan PKPU Sementara sebelum akhirnya pengadilan
memberikan keputusan mengenai PKPU tetap, yaitu setelah dilakukan pemeriksaan
sebagaimana mestinya.
Putusan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang (PKPU Sementara) yang
dimaksud, menurut Pasal 227 UU No. 37 Tahun 2004 berlaku sejak tanggal putusan
penundaan kewajiban pembayaran utang tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan
tanggal sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat 1 diselenggarakan.
Dari ketentuan Pasal 230 UU No. 37 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa jangka
waktu PKPU Sementara berakhir karena hal-hal sebagai berikut:
1. Kreditur tidak menyetujui pemberian PKPU tetap, atau
2. Pada saat batas waktu perpanjangan PKPU telah sampai, ternyata antara debitur dan
kreditur belum tercapai persetujuan rencana perdamaian.

Persetujuan Permohonan PKPU Tetap


Apabila PKPU tetap disetujui oleh para kreditur, maka penundaan yang diputuskan
oleh pengadilan niaga tidak boleh melebihi 270 hari terhitung sejak putusan PKPU Sementara
diucapkan. Menurut penjelasan Pasal 228 ayat 6 UU No. 37 Tahun 2004, yang berhak untuk
menentukan apakah kepada debitur akan diberikan PKPU tetap adalah kreditur konkuren,
sedangkan pengadilan hanya berwenang menetapkannya berdasarkan persetujuan kreditur
konkuren. Berdasarkan Pasal 229 ayat 2 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan apabila timbul
perselisihan antara pengurus dan para kreditur konkuren tentang hak suara kreditur, maka
penyelesaian atas perselisihan itu harus diputus oleh hakim pengawas. Sejalan dengan ini,
Pasal 229 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 menegaskan bahwa pada hakikatnya PKPU tetap
diberikan oleh para kreditur dan bukan oleh pengadilan niaga. Dengan kata lain, PKPU tetap
diberikan berdasarkan kesepakatan antara debitur dan para krediturnya mengenai rencana
perdamaian yang diajukan oleh kreditur. Pengadilan niaga hanya memberikan putusan
pengesahan atau konfirmasi saja atas kesepakatan antara debitur dan para kreditur konkuren
tersebut. Menurut tujuan Pasal 229 tersebut, tidak dibenarkan bagi pengadilan niaga untuk
mengeluarkan putusan yang tidak sesuai dengan kehendak atau kesepakatan debitur dan para
krediturnya.

Alasan-alasan untuk Pengajuan Permohonan Pengakhiran PKPU


Berdasarkan Pasal 255 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004, permintaan hakim pengawas
atau kreditur untuk mengakhiri PKPU atau apabila pengadilan niaga yang memprakarsai
sendiri penghentian PKPU tersebut, hanya dapat dilakukan dalam hal:
1. Debitur selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, bertindak dengan
itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya;
2. Debitur telah merugikan atau telah mencoba merugikan krediturnya;
3. Debitur melakukan pelanggaran yaitu Selama penundaan kewajiban pembayaran
utang, Debitur tanpa persetujuan pengurus melakukan tindakan kepengurusan atau
kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya (Pasal 240 ayat 1)
4. Debitur lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh
pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan,
atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh pengurus demi
kepentingan harta debitur.
5. Selama waktu PKPU keadaan harta debitur ternyata tidak lagi memungkinkan
dilanjutkannya PKPU atau
6. Keadaan debitur tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap
kreditur pada waktunya.

Putusan PKPU Bersifat Final


Berdasarkan Pasal 235 ayat 1 No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa terhadap
putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.
Menurut Pasal 235 ayat 2 putusan sebagaimana dimaksud ayat 1 tersebut harus diumumkan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226.

Perdamaian
UU No. 37 Tahun 2004 mengenal dua macam perdamaian, yaitu:
1. Perdamaian yang ditawarkan oleh debitur dalam rangka PKPU sebelum debitur
dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.
2. Perdamaian yang ditawarkan oleh debitur kepada para krediturnya setelah debitur
dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.
Berdasarkan Pasal 265 UU No. 37 Tahun 2004 debitur berhak pada waktu
mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran uang atau setelah itu
menawarkan suatu perdamaian kepada kreditur, dengan mengajukan rencana perdamaian
sesuai Pasal 266 ayat 1.
Dari ketentuan Pasal 224 ayat 4, Pasal 265 dan Pasal 266 UU No. 37 Tahun 2004
dapat diketahui bahwa rencana perdamaian dalam rangka PKPU dapat diajukan pada saat-
saat sebagai berikut:
1. Bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU (Pasal 265)
2. Sesudah permohonan PKPU diajukan (Pasal 265), namun rencana itu harus diajukan
sebelum tanggal hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 UU No. 37
Tahun 2004
3. Setelah tanggal hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat 4UU No. 37
Tahun 2004, yaitu selama berlangsungnya PKPU sementara itu, yang tidak boleh
melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari terhitung sejak PKPU sementara ditetapkan
termasuk masa perpanjangannya.
Keadaan di mana yang pailit dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
(niaga maupun komersial) untuk suatu pengunduran umum dari kewajibannya untuk
membayar utang-utangnya dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian, baik
seluruh atau sebagian utang kepada kreditur disebut sebagai keadaan surseance. Sedangkan
keadaan insolventle seperti dimaksud Pasal 290 UU No. 37 Tahun 2004, adalah suatu
keadaan debitur sudah sungguh-sungguh pailit atau tidak mampu lagi untuk membayar utang-
utangnya. Untuk hal ini, kreditur diberi waktu 2 (dua) bulan untuk menggunakan hak
khususnya terhadap keadaaan insolventle tersebut.
Berdasarkan Pasal 281 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004, rencana dapat diterima apabila
disetujui oleh:
1. Persetujuan lebih dari (satu perdua) jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui
atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 268 termasuk kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-
sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang
diakui atau sementara diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam
rapat tersebut, dan
2. Persetujuan lebih dari (satu perdua) jumlah kreditur yang piutangnya dijamin
dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas
kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian
dari seluruh tagihan dari kreditur tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat
tersebut.
Pasal 281 ayat 2 UU No. 37 Tahun 2004, menentukan bahwa kreditur sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 huruf b yang tidak menyetujui rencana perdamaian diberikan
kompensasi sebesar nilai terendah diantara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang
secara langsung dijamin dengan hak agunan atas kebendaan. Penjelasan Pasal 281 ayat 2
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nilai jaminan adalah nilai jaminan yang dapat
dipilih diantara nilai jaminan yang telah ditentukan dalam dokumen jaminan atau nilai objek
jaminan yang ditentukan oleh penilai yang ditunjuk oleh hakim pengawas.

Berlakunya Perdamaian yang Telah Disahkan


Perdamaian yang telah disahkan, menurut Pasal 162 UU No. 37 Tahun 2004 berlaku
bagi semua kreditur yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan, dengan tidak ada
pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak. Bila
perdamaian atau pengesahan perdamaian tersebut ditolak, menurut Pasal 163 UU No. 37
Tahun 2004 debitur pailit tidak dapat lagi menawarkan perdamaian dalam kepailitan tersebut.
Dengan kata lain, perdamaian yang ditawarkan bersifat final. Pasal 164 UU No. 37 Tahun
2004 menentukan, putusan pengesahan perdamaian yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap merupakan alas hak yang dapat dijalankan terhadap debitur dan semua orang yang
menanggung pelaksanaan perdamaian sehubungan dengan piutang yang telah diakui
(guarantor), sejauh tidak dibantah oleh debitur pailit sesuai dengan Pasal 132 sebagaimana
ternuat dalam berita acara rapat pencocokan piutang.

Restrukrurisasi Utang
Kesepakatan antara debitur dan para kreditur mengenai isi rencana perdamaian dapat
mengambil berbagai bentuk restrukturisasi utang yaitu sebagai berikut:
1. Penjadwalan kembali pelunasan utang (rescheduling); termasuk pemberian masa
tenggang (grace period) yang baru atau pemberian moratorium kepada debitur.
2. Persyaratan kembali perjanjian utang (reconditioning).
3. Pengurangan jumlah utang pokok (haircut).
4. Pengurangan atau pembebasan jumlah bunga yang tertunggak, denda, dan biaya-biaya
lain.
5. Penurunan tingkat suku bunga.
6. Pemberian utang baru.
7. Konvensi utang menjadi modal perseroan (debt for equity conversion atau disebut
juga debt equity swap).
8. Penjualan aset yang tidak produktif atau yang tidak langsung diperlukan untuk
kegiatan usaha perusahaan debitur untuk melunasi utang.
9. Bentuk-bentuk lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Upaya Hukum terhadap Keputusan Pailit


Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap Putusan Pernyataan Pailit adalah Kasasi
ke Mahkamah Agung, dan terhadap Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung.

Tanggung Jawab Direksi Ketika Terjadinya Kepailitan Pada Perseroan


Terbatas
Tanggung Jawab Direksi Ketika Terjadinya Kepailitan Pada Perseroan Terbatas
Menurut Doktrin Hukum Perusahaan antara lain :
1. tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan duty to skill and care;
Doktrin fiduciary duty berasal dari sistem hukum common Law yang berasal di Inggris
dan hingga kini mempengaruhi sistem hukum negara-negara bekas jajahannya dan juga
dianut di Amerika Serikat. Karena hubungan hukum antara perseroan dan direksi
didasarkan pada doktrin fiduciary duty, maka berdasarkan doktrin ini maka dalam
menjalankan kepengurusan mempunyai duty of care dan duty of loyality terhadap
perseroan. Doktrin duty of care, mewajibkan direktur dan management untuk
berperilaku hati-hati sebagaimana orang-orang berperilaku dalam situasi yang sama. Jika
direktur melanggar duty of care dan mengakibatkan perusahaan menderita kerugian
financial, maka pengadilan akan memutuskan bahwa direktur dan manajement
bertanggung jawab secara pribadi untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan.
Sebaliknya, jika direksi dan management menyetujui suatu transaksi dengan
mengabaikan duty of care dan transaksi tersebut belum dilakukan maka pengadilan akan
memberlakukan injuction untuk mencegah transaksi tersebut.
Kriteria atau standar kehati-hatian dapat dibagi dalam beberapa macam, yaitu :
a. Standar dasar, bahwa direksi harus bertindak seperti orang biasa yang berhati-hati
dalam situasi yang sama :
Jika seseorang sudah duduk sebagai seorang direksi maka dia dikenai duty of
care, meskipun orang tersebut hanya boneka;
Tanggung jawab atas pelanggaran duty of care hanya diberlakukan jika direktur
melakukan tindakan yang sangat ceroboh atau gross negligence.
b. Standar objektif, artinya direksi yang mempunyai kemampuan dibawah rata-rata
orang biasa dalam posisi direksi harus memenuhi standar rata-rata orang biasa.
Sebaliknya, direksi yang mempunyai keahlian khusus, harus mempergunakan
keahlia khusus tersebut.
c. Menguntungkan keputusan kepada nasihat ahli dan komite. Direksi berhak
mengambil keputusan berdasarkan nasihat ahli dan komite, akan tetapi hal
tersebut harus masuk akal dalam situasi tertentu.
d. Kelalaian yang pasif, direksi tidak bertanggung jawab atas kelalaiannya karena
tidak mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh management dan pegawai.
Akan tetapi jika dia mengetahui fakta yang mengarah kedugaan adanya perbuatan
menyimpang, maka dia tidak dapat menutup mata atas fakta itu. Dalam suatu
perusahaan besar, direksi yang tidak melakukan mekanisme untuk memonitor
suatu perbuatan menyimpang, seperti internal accounting control atau komite
audit, mungkin akan dianggap melanggar duty of care.
e. Sekalipun direksi melanggar duty of care, akan tetapi dia hanya bertanggung
jawab atas kerugian jika perbuatanya merupakan proximate cause atau sebab
terdekat dari timbulnya kerugian.
2. tanggung jawab berdasarkan doktrin manajemen ke dalam (indoor manajement rule);
Doktrin manajemen ke dalam (indoor manajement rule) merupakan doktrin kontemporer
yang mengajarkan bahwa jika pihak yang menjalankan tugas-tugas perusahaan dalam
menjalankan tugas-tugasnya konsisten dengan isi anggaran dasar perseroan,
maka pihak perusahaan terikat dengan pihak ketiga atas segala tindakanyang telah
dilakukan oleh perusahaan tersebut, meskipun dalam menjalankan tugasnya itu,
pihak perusahaan tidak memenuhi ketentuan internal perseroan, dan meskipun
pihak luar perusahaan yang melakukan bisnis dengan perusahaan diasumsi telah
mengetahui dan mempelajari dokumen-dokumen perusahaan yang telah
diumumkan kepada publik, seperti anggaran dasar perseroan . Filosofi adanya
doktrin ini adalah bahwa pihak luar perusahaan yang beriktikad baik tidak dibebani
tanggung jawab terhadap keabsahan internal dari pihak yang mewakili perseroan,
akan tetapi sebaliknya justru pihak direksi perseroanlah yang bertanggung jawab
terhadap keabsahan tindakannya tersebut.
Tanggung jawab direksi berdasarkan doktrin manajemen ke dalam. ini diberi batasan-
batasan antara lain sebagai berikut:
a. pihak yang melakukan kegiatan perseroan memang berwenang
melakukannya;
b. para pihak telah tidak berpegang pada dokumen-dokumen yang dipalsukan;
c. pihak ketiga yang melakukan kegiatan dengan perseroan merupakan pihak
ketiga yang beriktikad baik;
d. pihak ketiga yang melakukan kegiatan dengan perseroan telah melakukan
penyelidikan yang layak terhadap transaksi tersebut.
3. tanggung jawab berdasarkan prinsip ultra vires; dan
Adapun yang dimaksudkan dengan prinsip ultra
vires (pelampauan kewenangan perseroan) adalah suatu prinsip yang
mengatur akibat hukum seandainya ada tindakan direksi untuk dan atas
nama perseroan, tetapi tindakan direksi tersebut sebenarnya melebihi dari apa
yang diatur dalam anggaran dasar perseroan.
Black mengartikan ultra vires sebagai:
"Act beyond the scope of the powers of a corporation, as defined by its charter or
law of state of incorporation. The term has a broad application and includes not
only acts prohibited by the charter, but acts which are in excess of power granted
and not prohibited, and generally applied either when a corporation has no power
whatever to do an act, or when the corporation has the power but exercises it
irregularly.""
Suatu perbuatan dikatakan ultra vires bila dilakukan tanpa we-
wenang(authority) dalam melakukan perbuatan tersebut. Bagi perseroan
perbuatan tersebut adalah ultra vires bila dilakukan di luar atau melampaui wewenang
direksi atau perseroan sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar dan hukum
perusahaan. Doktrin ultra vires berdampak pada perikatan antara perseroan dan
pihak ketiga, di mana transaksi yang dilakukan bersifat ultra vires. Menurut
Chatamarrasjid Ais bahwa suatu transaksi ultra vires adalah tidak sah dan tidak dapat
disahkan kemudian oleh suatu rapat umum pemegang saham (RUPS). Sehingga
perbuatan direksi yangultra vires adalah merupakan tanggung jawab pribadi dari
direksi tersebut.
Fred B.G. Tumbuan mengungkapkan bahwa batas-batas di mana perbuatan direksi
itu merupakan perbuatan ultra vires apabila terpenuhi salah satu atau lebih kriteria
sebagai berikut:
a. perbuatan hukum yang bersangkutan secara tegas dilarang oleh anggaran dasar;
b. dengan memerhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan
tidak dapat dikatakan akan menunjang kegiatan-kegiatan yang disebut dalam
anggaran dasar;
c. dengan memerhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan
tidak dapat diartikan sebagai tertuju kepada kepentingan perseroan terbatas.
4. tanggung jawab berdasarkan prinsip piercieng the corporate veil
Teori dalam hukum perusahaan yang disebut dengan teori Penyingkapan Tirai
Perusahaan (Piercing the Corporate Veil) merupakan topik yang sangat populer
dalam hukum perusahaan , bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan
dalam hukum modern di negara lain. Penerapan prinsip ini mempunyai tujuan utama
yaitu keadilan bagi pihak pihak yang terkait dengan perseroan, baik investor maupun
para pemegang saham.
Kata Piercing the Corporate Veil terdiri dari kata-kata :Pierce: menyobek/ mengoyak/
menembus, dan Veil : kain/ tirai/ kerudung dan Corporate : perusahaan.Karena itu
secara harfiah istilah Piercing the Coorporate Veil berarti menyingkap tirai
perusahaan. Sedang dalam ilmu hukum perusahaan merupakan suatu
prinsip/teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab
ke pundak orang lain, oleh suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh perusahaan
pelaku, tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan
oleh perusahaan pelaku tersebut.
Adapun yang menjadi kriteria dasar universal agar suatu Piercing the Corporate
Veil secara hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut:
a. Terjadinya penipuan;
b. Didapatkan suatu ketidakadilan;
c. Terjadinya suatu penindasan (oppresion);
d. Tidak memenuhi unsur hukum (illegality);
e. Dominasi pemegang saham yang berlebihan;
f. Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya
Pada umumnya prinsip piercing corporate viel diartikan sebagai suatu proses untuk
membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas tindakan
hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku, tanpa mempertimbangkan bahwa
sebenarnya perbuatan tersebut dilakukan oleh/atas nama perseroan pelaku.
Dengan demikian, piercing corporate viel ini pada hakikatnya merupakan
doktrip yang memindahkan tanggung jawab dari perusahaan kepada pemegang
saham, direksi, atau komisaris, dan biasanya doktrin ini bare diterapkan jika ada klaim
dari pihak ketiga kepada perseroan.
Doktrin piercing corporate viel ini juga dianut dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas berkaitan dengan direksi dalam kaitannya dengan prinsippiercing
corporate viel adalah Pasal 60 Ayat (3) dan Ayat (4), Pasal 85, dan Pasal
90 UUPT. Adapun ketentuan Pasal 60 Ayat (3) UUPT menyatakan bahwa dalam hal
dokumen perhitungan tahunan yang disediakan ternyata tidak benar
dan/ataumenyesatkan, anggota direksi dan komisaris secara tanggung
renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan. Sedangkan Pasal 60
Ayat (4) UUPT menyatakan bahwa anggota direksi dan komisaris dibebaskan dari
tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) jika terbukti bahwa
keadaan tersebut bukan karena kesalahannya.
Ketentuan Pasal 80 UUPT menjelaskan lebih lanjut mengenai tanggung jawab
perseroan terbatas terutama sanksi jika direksi melakukan kelalaian dan kesalahan.
Dalam Pasal 80 Ayat (1) UUPT dikatakan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan
iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan
dan usaha perseroan. Sedangkan Pasal 80 . Ayat (2) UUPT menyatakan bahwa
setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadiapabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1). Pasal 80 Ayat (3) UUPT dikatakan bahwa
atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1 / 10 (satu per
sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang
karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.
Rudhi Prasetya menyatakan prinsip kehati-hatian direksi dalam menghindari
kesalahan dan kelaian dengan menjalankan prinsip 'good corporate goverment"."
Dalam kaitan dengan prinsip piercing corporate viel, tanggung jawab direksi bisa
dikurangi dan bahkan dibebaskan jika memenuhi kondisi-kondisi antara lain: tindakan
direksi tersebut dalam rangka menjalankan keputusan RUPS, diterima oleh RUPS
yang dibuat setelah tindakan tersebut, tindakan tersebut bermanfaat bagi perseroan
tanpa melanggar hukum yang berlaku, terhadap direksi diberikan release and
discharge (et quit et de charge) oleh RUPS, mengikuti pendapat dari pihak luar yang
profesional seperti legal opini dari lawyer, financial report dari akuntan, pendapat
tertulis dari appraiser.

Tanggung jawab direksi ketika terjadinya kepailitan pada Perseroan Terbatas menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, adalah dalam hal kepailitan terjadi
karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara
tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari
harta pailit tersebut; sebaliknya anggota direksi tidak bertanggung jawab atas
kepalitan perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) apabila dapat
membuktikan :
1. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
2. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh
tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan;
3. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
4. telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan

Perbandingan Hukum Kepailitan antara Belanda, Amerika dan di Negara


Islam
Hukum Kepailitan di Belanda
Berdasarkan Hukum Kepailitan Belanda setiap debitor dapat dinyatakan pailit
apabila:
1. Debitor bertempat tinggal atau menjalankan bisnis di Belanda.
2. Debitor dapat mengajukan permohonan kepailitan sendiri atau menjadi subjek dari
permohonan yang diajukan oleh kreditor (termasuk juga kantor pajak), atau untuk
alasan kepentingan umum oleh jaksa penuntut umum.
Setiap kreditor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dapat mengajukan
permohonan kepailitan. Ketika persyaratan kepailitan dipenuhi berdasarkan Undang-Undang
Kepailitan Belanda, pengadilan akan menyatakan debitor pailit tanpa memperhatikan proses
peradilan sebelumnya atau proses peradilan yang sama di wilayah lain.
Dalam kaitan dengan yurisdiksi pengadilan, di Belanda tidak ada pengadilan khusus
kepailitan seperti di Indonesia yang menjadi kewenangan pengadilan niaga. Sebagian besar
pengadilan di Belanda mempunyai kamar kepailitan tersendiri yang dipimpin oleh hakim
yang mempunyai pengalaman dalam kasus-kasus insolvensi. Permohonan kepailitan harus
diajukan ke pengadilan dimana debitor bertempat tinggal atau berkedudukan (untuk badan
hukum). Debitor asing yang melakukan bisnis di Belanda dapat dinyatakan pailit oleh
pengadilan yang berada di wilayah kantor utama dari perusahaan asing tersebut.
Pengujian umum pengadilan yang akan dilakukan sebelum menyatakan debitor dalam
keadaan pailit adalah untuk mengetahui apakah fakta-fakta dan keadaan yang ada memenuhi
alat bukti yang cukup untuk menunjukan bahwa debitor sudah berhenti membayar utang-
utangnya. Akan tetapi, bila pemohon adalah kreditur maka pengadilan akan menguji terlebih
dahulu, sebelum pengujian pertama, apakah kreditor berhak mengajukan klaim terhadap
debitor.
Permohonan pailit harus menyatakan fakta-fakta dan keadaan yang menunjukan bukti
yang cukup bahwa debitor telah berhenti membayar utang-utangnya. Ini dianggap sebagai
perkara kepailitan apabila paling tidak ada dua kreditor, salah satu utangnya jatuh tempo dan
dapat ditagih dan yang mana debitor tidak dapat membayar, menolak membayar atau,
sederhananya, tidak membayar. Dan disini perlu ditekankan bahwa secara hukum tidak
dibutuhkan dukungan dari kreditor-kreditor lainnya untuk pengajuan permohonan pailit.
Sebuah debitur dapat dinyatakan pailit ketika:
1. Tidak lagi mampu membayar utang jatuh tempo dan harus dibayar tersebut;
2. Debitur telah berhenti membayar utangnya; dan
3. Kepailitan yang diprakarsai oleh dua atau lebih kreditur.
Dalam putusan kepailitan di pengadilan, hakim akan menunjuk satu atau lebih kurator
dan hakim pengawas, memiliki dampak retroaktif dari jam 00:00 pada tanggal putusan
kepailitan. Sejak saat itu, debitur tidak lagi berwenang untuk menjual asetnya. Selama
kepailitan, ada sita umum yang mencegah kreditur konkuren dan preferen dalam meminta
klaim terhadap aset debitur.
Selain itu, kurator juga dapat menetapkan kerangka waktu dimana aset yang
dijaminkan harus dijual oleh penerima jaminan atau penerima gadai. Kegagalan untuk
melakukannya oleh pihak tersebut akan mengakibatkan hilangnya hak untuk menyita aset:
meskipun penerima jaminan atau penerima gadai memiliki preferensi yang tinggi, mereka
harus berbagi dalam biaya kepailitan.

Hukum Kepailitan di Amerika


Pengajuan permohonan pailit di Amerika Serikat sebagaimana dalam Title II United
States Bankcruptcy Code diatur pada Bab 7, 11, 12, 13 dan 15, titik beratnya ada pada Bab 7
dan 11. Pada Bankcruptcy Code terdapat klasula Insolvent yang mana dalam Bankcruptcy
Code tersebut diartikan antara lain sebagai keadaan keuangan dari debitor yang lebih besar
utangnya daripada asetnya dan dapat dibuktikan dengan Insolvency Test.
Menurut Dictionary Business of Term, Insolvency diartikan :
1. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti
layaknya dalam bisnis; atau
2. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.
Dalam hukum kepailitan di Amerika Serkat dikenal adanya reorganization perusahaan
yang diatur dalam Bab 11 dimana debitur diberi kesempatan untuk melakukan restrukturisasi
perusahaannya maupun restrukturisasi utang-utangnya sehingga dapat tetap eksis sebelum
dinyatakan pailit oleh hakim.
Entitas yang mencari bantuan berdasarkan Kode Bangkrut dapat mengajukan petisi
untuk mendapatkan bantuan berdasarkan beberapa pasal yang berbeda dari Kode Etik ini,
tergantung pada keadaan. Bab 11 berisi sembilan Bab, enam di antaranya memberikan
pengajuan sebuah petisi. Tiga bab lainnya memberikan peraturan yang mengatur kasus
kebangkrutan secara umum. Suatu kasus biasanya mengacu pada Bab di mana permohonan
diajukan. Bab-bab ini dijelaskan di bawah ini.
Bab 7 mengatur tentang Lukuidasi. Likuidasi di bawah pengarsipan Bab 7 adalah
bentuk kebangkrutan yang paling umum. Likuidasi melibatkan penunjukan wali amanat yang
mengumpulkan harta non-bebas dari debitur, menjualnya dan mendistribusikan hasilnya
kepada para kreditur. Karena masing-masing negara membiarkan debitur mempertahankan
properti yang penting, Bab 7 kasus sering merupakan kasus "tidak ada aset", yang berarti
bahwa harta yang bangkrut tidak memiliki aset yang tidak dikecualikan untuk mendanai
distribusi kepada kreditur.
Bab 11, 12, dan 13 mengatur tentang Reorganisasi .Kebangkrutan di bawah Bab 11,
Bab 12, atau Bab 13 adalah reorganisasi yang lebih kompleks dan melibatkan membiarkan
debitur untuk menyimpan sebagian atau seluruh propertinya dan untuk menggunakan laba
masa depan untuk melunasi kreditor. Konsumen biasanya mengajukan Bab 7 atau Bab 13.
Bab 11 pengajuan oleh individu diperbolehkan, namun jarang terjadi. Bab 12 mirip dengan
Bab 13 namun hanya tersedia untuk "petani keluarga" dan "nelayan keluarga" dalam situasi
tertentu. Bab 12 umumnya memiliki persyaratan yang lebih murah untuk debitur daripada
kasus Bab 13 yang sebanding.
Bab 15 mengatur kepailitan lintas batas. Undang-Undang Perlindungan Pencegahan
Kebangkrutan dan Perlindungan Konsumen tahun 2005 menambahkan Bab 15 dan
menangani kebangkrutan lintas batas: perusahaan asing dengan hutang A.S.

Hukum Kepailitan di Negara Islam


Pengertian pailit menurut Hukum Islam adalah orang yang hutangnya lebih banyak
dari hartanya. Apabila seseorang telah habis hartanya dan tidak mampu membayar hutang-
hutangnya, dia disebut sebagai pailit (bangkrut). Menjatuhkan hukum terhadap orang sebagai
tidak mampu bayar hutang, dinamakan taflis (pernyataan bangkrut). Kondisi lanjut atas
kondisi taflis ini adalah adanya pelarangan atau pembekuan harta dan tindakannya yang
disebut dengan al-hajr. Secara etimologi al-hajr (pembekuan) adalah melarang dan
mempersempit. Akal dijuluki Al-Hajru karena pemilik harta membekukan diri dari
melakukan hal-hal yang buruk.
Menurut Hukum Islam hutang seseorang merupakan kewajiban yang tidak akan
pernah gugur kecuali dilunasi baik oleh orang yang berhutang ataupun ahli waris orang yang
berhutang (jika orang yang berhutang telah meningal dunia).
Penetapan seseorang jatuh pailit dan statusnya berada di bawah pengampuan, dengan
syarat:
1. Sebelum seseorang dinyatakan jatuh pailit, para pemberi piutang (kreditor) berhak
melarang orang yang jatuh pailit itu bertindak hukum terhadap sisa hartanya dan
membatalkan seluruh tindakan hukum yang membawa mudharat kepada hak-hak
mereka, seperti mewariskan hartanya, menghadiahkan, dan melakukan
akad mudharabah dengan orang lain. Adapun terhadap tindak hukumnya yang bersifat
jual beli dapat dibenarkan.
2. Persoalan hutang piutang ini tidak diajukan kepada hakim, dan antara orang yang
berhutang dengan orang-orang yang memberi hutang dapat melakukan ash-
shulh (perdamaian). Dalam kaitan ini, orang yang jatuh pailit itu tidak dibolehkan
bertindak hukum yang sifatnya pemindahan hak milik sisa hartanya, seperti wasiat,
hibah, dan kawin. Apabila tercapai perdamaian, maka pemberi hutang berhak
membagi sisa harta orang yang jatuh pailit itu sesuai dengan prosentase piutangnya.
3. Pihak yang memberi hutang mengajukan gugatan (seluruhnya atau sebagiannya)
kepada hakim agar orang yang berhutang itu dinyatakan jatuh pailit, serta mengambil
sisa hartanya untuk membayar hutang-hutangnya. Gugatan yang diajukan itu harus
disertai dengan bukti bahwa hutang orang itu melebihi sisa hartanya dan hutang itu
telah jatuh tempo pembayaran. Apabila ketetapan hakim telah ada yang menyatakan
bahwa orang berhutang itu jatuh pailit, maka orang-orang yang memberi hutang
berhak untuk mengambil sisa harta yang berhutang dan membaginya sesuai dengan
prosentase piutang masing-masing.
Sementara syarat-syarat pengambilan barang itu dari tangan orang yang jatuh pailit
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Utang itu telah jatuh tempo
2. Orang yang pailit itu enggan membayar hutangnya.
3. Barang yang menjadi hutang itu masih utuh di tangan orang pailit itu.
Hak Preferen (Istimewa) juga dikenal dalam perkara kepailitan menurut Hukum
Islam. Kreditur yang diberikan hak berupa hak preferen ialah seorang pedagang yang menjual
barang dagangannya kepada pembeli dengan cara memberikan utang kepada pembeli atau
mengangsur barang tersebut, kemudian pembeli tersebut dalam keadaan bangkrut dan
pedagang (kreditur) tersebut menemukan barangnya masih utuh pada pembeli yang telah
bangkrut, serta ia (kreditur) belum menerima pembayarannya sedikitpun dari pembeli.
Kreditur yang mempunyai hak preferen dalam perkara kepailitan dalam hukum Islam
terbatas hanya hubungan antara penjual dan pembeli (jual beli). Berbeda dengan hukum
positif yang memberikan beberapa kreditur dalam perkara utang piutang dengan hak preferen
antara lain pemegang jaminan kebendaan seperti jaminan gadai, pemegang jaminan hipotik,
pemegang hak tanggungan, pemegang jaminan fidusia, utang pajak, serta upah buruh yang
belum terbayarkan oleh perusahaan yang dalam keadaan pailit.
Apabila penjual mendapatkan barang dagangannya pada pembeli yang telah bangkrut,
maka dia lebih berhak mendapatkan dan mengambilnya dari semua kreditur yang mempunyai
piutang bila didapati banyak kreditur yang mempunyai piutang. Apabila hakim sudah
menyatakan kebangkrutannya, maka salah satu orang yang hutang memperoleh sebanyak
hartanya (membagi harta yang telah dijual kepadanya sejumlah barang tersebut) maka
baginya hak untuk memiliki sebagian.
Nilai barang harus dilihat pada saat diputuskan kepailitannya. Jika nilai tersebut lebih
rendah dari harga semula, maka pemilik barang diharuskan untuk memilih antara mengambil
barang tersebut atau ikut dalam pembagian piutang. Sedang apabila nilainya lebih banyak
atau sama dengan harga semula, maka ia mengambil barang itu sendiri. Pemberi hutang lebih
berhak terhadap harta yang dihutangkan sebagaimana dia lebih berhak dalam masalah jual
beli.
Bila didapati barang tersebut telah berubah sifat, ditambahkan atau dikurangi, maka
dia bukan pemiliknya tetapi menjadi bagian dari para pemilik hutang. Bila Barang tersebut
sifatnya sudah berubah dengan adanya cacat, maka penjual berhak mengambilnya tanpa ganti
rugi kerusakannya. Bila berubah barang tersebut dengan adanya tambahan maka tambahan
tersebut menjadi milik pembeli berdasarkan atas nafkah yang telah dikeluarkannya. Maka
Penjual berhak meminta dikembalikan barang dagangan, bahkan menjadi lebih berhak dari
pemberi hutang lainnya. Bila pembeli meninggal dunia maka pemilik barang lebih berhak
terhadap barang tersebut daripada orang-orang yang memberi hutang lainnya.
KASUS
PT Perindustrian Njonja Meneer

Sejarah dan Pendirian


Ibu Meneer merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Ia menikah dengan pria asal
Surabaya, dan kemudian pindah ke Semarang. Pada masa pendudukan Belanda tahun 1900an,
padamasa-masa penuh keprihatinan dan sulit itu suaminya sakit keras dan berbagai upaya
penyembuhan sia-sia. Ibu Meneer mencoba meramu jamu Jawa yang diajarkan orang tuanya
dan suaminya sembuh. Sejak saat itu, Ibu Meneer lebih giat lagi meramu jamu Jawa untuk
menolong keluarga, tetangga, kerabat maupun masyarakat sekitar yang membutuhkan. Ia
mencantumkan nama dan potretnya pada kemasan jamu yang ia buat dengan maksud
membina hubungan yang lebih akrab dengan masyarakat yang lebih luas. Berbekal perabotan
dapur biasa, usaha keluarga ini terus memperluas penjualan ke kota-kota sekitar.
Pada tahun 1919 atas dorongan keluarga berdirilah Jamu Cap Potret Nyonya Meneer
yang kemudian menjadi cikal bakal salah satu industri jamu terbesar di Indonesia. Selain
mendirikan pabrik, Ny Meneer juga membuka toko di Jalan Pedamaran 92, Semarang.
Perusahaan keluarga ini terus berkembang dengan bantuan anak-anaknya yang mulai besar.
Pada tahun 1940 melalui bantuan putrinya, Nonnie, yang hijrah ke Jakarta, berdirilah
cabang toko Nyonya Meneer, di Jalan Juanda, Pasar Baru, Jakarta.Di tangan Ibu dan anak,
Nyonya Meneer dan Hans Ramana perusahaan berkembang pesat.
Nyonya Meneer meninggal dunia tahun 1978, generasi kedua yaitu anaknya, Hans
Ramana, yang juga mengelola bisnis bersama ibunya meninggal terlebih dahulu pada tahun1
976. Operasional perusahaan kemudian diteruskan oleh generasi ketiga yakni ke lima cucu
Nyonya Meneer.
Namun kelima bersaudara ini kurang serasi dan menjatuhkan pilihan untuk berpisah.
Kini perusahaan murni dimiliki dan dikendalikan salah satu cucu Nyonya Meneer yaitu
Charles Saerang. Sedangkan keempat orang saudaranya dan setelah menerima bagian
masing-masing, memilih untuk berpisah.
Pada tahun 1976 pada usia 24 tahun, Charles diminta ayahnya untuk ikut mengelola
perusahaan keluarganya, PT Nyonya Meneer. Ayahnya kemudian meninggal pada tahun yang
sama. Kematian ayahnya dirahasiakan dari Nyonya Meneer yang saat itu memang sedang
sakit-sakitan, karena khawatir akan mengganggu kesehatannya. Sepeninggalan Nyonya
Meneer pada tahun 1978, bisnis jamu keluarga itu diterpa konflik internal dan selama kurun
waktu 19842000, anak-anak Nyonya Meneer saling berebut kekuasaan, karena Nyonya
Meneer tidak pernah menunjuk penggantinya.
Keluarga keturunan Nyonya Meneer pun terancam pecah dan sempat dibawa ke
pengadilan. Begitu sengitnya pertikaian di tubuh PT Nyonya Meneer, Menaker Cosmas
Batubara saat itu ikut turun tangan, karena pertikaian antar keluarga sampai melibatkan
ribuan pekerja perusahaan itu. Beruntung kisruh bisnis keluarga terselesaikan. Anggota-
anggota keluarga yang lain sepakat menjual kepemilikannya di Nyonya Meneer kepada
Charles.
Pada tahun 1991, setelah setelah penyelesaian konflik, Charles Saerang langsung
menjadi pemilik tunggal dan sekaligus pimpinan.
Di bawah kepemimpinannya, perusahaan jamu keluarga yang telah melewati tiga
generasi itu berkembang pesat. Jumlah karyawan yang tadinya 140 orang menjadi 3.500
orang. Produknya pun kini mencapai 254 merek meliputi danberhasil dipasarkan ke tiga
benua: Asia, Eropa, dan Amerika. Sekitar 80 persen dari produk untuk kepentingan wanita.

Awal Mula Kebangkrutan


11 Maret 2015 merupakan hari yang mengancam roda bisnis industri jamu PT Nyonya
Meneer. Setelah menunggak hutang sebesar Rp 267 milliar kepada para krediturnya,
perusahaan jamu yang berdiri sejak tahun 1919 ini terancam dipailitkan oleh Pengadilan Tata
Niaga Semarang. Kasus bermula dari gugatan yang diajukan oleh PT Nata Meridian
Investara(NMI), distributor resmi Nyonya Meneer. NMI menyatakan Nyonya Meneer
berkewajiban membayar hutang Rp 89 milliar. Juru bicara Nyonya Meneer, Erni
Widyaningrum, mengajukan penawaran penjadualan kembali pembayaran utang dalam tempo
lima tahun. Gugatan dilayangkan karena pihak PT Nyonya Meneer tidak mampu membayar
utangnya kepada PT NMI sebesar Rp 89 miliar. Tak hanya terhadap PT NMI, tunggakan
utang PT Nyonya Meneer juga terjadi kepada 37 kreditur lainnya termasuk Bank Papua
sebesar Rp 45 miliar.
Dari fakta persidangan, total hutang yang harus dilunasi PT Nyonya Meneer kepada
para debiturnya tersebut senilai Rp 267 miliar. Sidang PKPU tersebut akhirnya berujung
perdamaian dengan angka hutang yang harus dibayarkan PT Nyonya Meneer adalah Rp 198
miliar.
Pailitnya Pabrik Jamu 100 Tahun di Indonesia
Tanggal 20 Juni2017 , Hendrianto Bambang Susanto / PEMOHON selaku salah satu
dari 37 Kreditur dengan total Piutang Rp 7.040.970.500 mengajukan surat gugatan kepada
Perusahaan. Adapun isi dari gugatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pembahasan Segi Hukum Diketahui bahwa berdasarkan hasil PKPU sebelumnya
ditentukan Bahwa dalam Putusan Homologasi halaman 12 (dua belas) ditegaskan
untuk jumlah utang di atas Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)sampai dengan
Rp. 35.000.000.000,- (tiga puluh lima milyar rupiah dicicil selama 5 (lima) tahun
dimulai akhir Juli 2015 hingga Juni 2020.
2. Bahwa ternyata TERMOHON / PT. NJONJA MENEER tidak melakukan cicilan
sesuai kesepakatan yang ditetapkan di dalam Proposal, Perdamaian atau didalam
Putusan Homologasi aquo yakni sebesar Rp.7.040.970.500,- (tujuh milyar empat
puluh juta sembilan ratus tujuh puluhribu lima ratus rupiah).
3. Bahwa seharusnya sesuai dengan Putusan Homologasi TERMOHON berkewajiban
untuk melakukan pembayaran / cicilan kepada PEMOHONselama 5 (lima) tahun
yakni di mulai dari akhir Juli 2015 hingga Juni2020, apabila dihitung sejak akhir Juli
2015 hingga diajukannya Permohonan Pembatalan Perdamaian ini, maka
TERMOHON seharusnya sudah melakukan cicilan sebanyak 24 (dua puluh empat)
kali yakni Juli 2015 sampai Mei 2017.
4. Bahwa TERMOHON telah menyerahkan 10 (sepuluh) lembar cek yang kesemuanya
TIDAK DAPAT dicairkan karena REKENING DITUTUP sebagaimana bukti surat
yang dikirimkan oleh TERMOHON kepada PEMOHON tertanggal 15 Juni 2015.
5. Bahwa sebagian Bilyet Giro tersebut telah ditolak oleh Bank Penerbit (PT. Bank
Central Asia Tbk., KCU Solo) dengan alasan saldo tidak cukup.
Menurut Pasal 170 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) menyatakan : Kreditor dapat
menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi
isi perdamaian tersebut. Pasal 291 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa Dalam
putusan Pengadilan yang membatalkan perdamaian, Debitor juga harus dinyatakan pailit.

Namun kuasa hukum Ny. Meneer tidak serta merta menerima gugatan dari pemohon.
Maka mereka menanggapi dengan surat sebagai berikut:
1. Mencermati permohonan PEMOHON dengan seksama, ternyata permohonan yang
diajukan adalah terlalu dini (Prematur), dengan alasan sebagai berikut :
Bahwa Hendrianto mendalilkan PT Ny.Meneer telah lalai memenuhi isi Putusan
Perjanjian Perdamaian (Homologasi) Pengadilan Niaga Semarang Nomor
01/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga Smg karenatidak melakukan cicilan sesuai
kesepakatan yang telah ditetapkan didalam proposal perdamaian atau didalam Putusan
perjanjian perdamaian (homologasi) tersebut yakni sebesar Rp. 7.040.970.500,- (tujuh
miliar empat puluh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu lima ratus rupiah) selama 5
(lima) tahun, terhitung dari akhir Juli 2015 hingga Juni 2020 yang seharusnya
TERMOHON telah melakukan cicilan sebanyak 24 (dua puluh) kali yakni terhitung
dari bulan Juli 2015 hingga bulan Mei 2017adalah tidak benar dan tidak berdasar.
2. Bahwa setelah perjanjian perdamaian (Homologasi) disahkan oleh Pengadilan Niaga
Semarang sebagaimana yang tertuang dalam putusan perdamaian (homologasi) No :
01/Pdt.Sus-PKPU/2015/Pn Niaga.Smg tanggal 08 Juni 2015, TERMOHON telah
melakukan Pembayaran kepada PEMOHON sebesar Rp. 412.094.000,-
3. Bahwa berdasarkan putusan perjanjian perdamaian (homologasi) a quo yang telah
disepakati membayar kewajibannya kepada PEMOHON secara keseluruhan sebesar
Rp. 7.040.970.500,- (tujuh miliar empat puluh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu
lima ratus rupiah) selama (5) lima tahun dengan cara mencicil, yang tidak mutlak
harus mencicil pembayaran tersebut untuk setiap bulannya.
4. Bahwa berdasarkan Putusan Perjanjian Perdamaian (homologasi) aquo TERMOHON
baru dapat dikatakan lalai terhadap kewajibannya kepada PEMOHON sebesar Rp.
7.040.970.500,- (tujuh miliar empat puluh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu lima
ratus rupiah) setelah lewat waktu 5 (lima) tahun yaitu pada akhir bulan Juli 2020
apabila TERMOHON tidak melaksanakan kewajibannya kepada PEMOHON
5. Bahwa dalam Putusan Perjanjian Perdamaian (homologasi) aquo, tidak disebutkan
pula bahwa TERMOHON diharuskan melakukan pembayaran cicilan dengan jumlah
tertentu untuk setiap bulannya kepada PEMOHON, akan tetapi TERMOHON
diharuskan melaksanakan kewajibanya kepada PEMOHON selama lima tahun dengan
cara mencicilnya.
Hal ini sesuai dengan Pasal 170 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa : Pengadilan
berwenang memberikan kelonggaran kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya paling
lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan.
Bahwa oleh karena PT. Ny. Meneer mempunyai itikad baik dan tanggung jawab
dalam menjalankan perjanjian perdamaian tersebut, maka Majelis Hakim Perkara a quo di
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang diminta untuk menolak permohnan
Gugatan Hendrianto.

Pertimbangan Hukum
Dari dua surat yang diajukan oleh Hendrianto maupun Pihak PT Ny.Meneer Pengadilan Negri
Semarang menimbang :
1. Tujuan Hendrianto adalah permohonan pembatalan putusan pengesahan perdamaian
tersebut diatas; Menimbang, bahwa yang menjadi pokok persoalan adalah mengenai
Gugatan Permohonan Pembatalan Putusan Pengesahan Perdamaian (Homologasi)
Nomor 01/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN Niaga Smg tanggal 08 Juni 2015 dengan alasan
Termohon telah lalai memenuhi isi putusan Perdamaian (homologasi) ;
2. Bahwa kasus posisi semula dari adanya Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Semarang Nomor 01/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN Niaga Smg tanggal 08 Juni
2016, dalam perkara antara : PT. Citra Sastra Grafika dan PT. Nata Meridian Investara
terhadap PT. Perindustrian Njonja Meneer atau disingkat PT Njonja Meneer, Bahwa
dalam proses PKPU, PT Njonja Meneer telah mengajukan proposal perdamaian
tanggal 5 Maret 2015, kemudian telah disepakati oleh para Kreditur dan lebih lanjut
mendapat pengesahan (Homologasi), oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Semarang tanggal 01 Juni 2015;
3. Bahwa ternyata pula, Termohon dalam pembayaran dengan menerbitkan Bilyet Giro ,
akan tetapi keseluruhan Bilyet Giro dimaksud ketika dicairkan oleh Pemohon ternyata
diblokir oleh pihak Bank, dengan alas an rekening Termohon telah ditutup;
4. Bahwa terhadap perkara Permohonan Pembatalan Perjanjian Perdamaian, sebelumnya
telah berulang kali diajukan oleh para Kreditur yang lain ke Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Semarang, dengan substansi yang sama, akan tetapi perkara
dimaksud ditolak oleh Majelis Hakim ; dalam perkara-perkara yang telah diajukan
tersebut, Termohon telah mengajukan usulan yang serupa yaitu adanya permohonan
penundaan pembayaran selama 30 (tiga puluh) hari;
5. Bahwa semestinya kalau Termohon konsisten dan beritikad baik untuk memenuhi
kewajibannya, tentunya sudah ada pembayaran yang harus dilakukan kepada para
Kreditor, termasuk kepada Pemohon (sebagai Kreditor), namun hal itu tidak
dilakukan, sehingga membuktikan permohonan Termohon tersebut hanya terkesan
sebatas formalitas untuk menunda kewajiban pembayaran utangnya;

Putusan Pengadilan
Setelah menimbang alasan kedua belah pihak, baik pihak Pemohon danTermohon,
maka Pengadilan Negeri Semarang memutuskan yang pada intinya:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan batal Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Semarang yang dituangkan dalam Putusan
Pengesahan Perdamaian (Homologasi) Nomor 01/Pdt.SusPKPU/2015/PN Niaga Smg
tanggal 08 Juni 2015
3. Menyatakan PT NJONJA MENEER dalam keadaan pailit dengan segala akibat
hukumnya;
4. Mengangkat Hakim Niaga
5. Pengangkatan Kurator
6. Menghukum pembayaran Perkara sebesar Rp 3.111.000,-
Namun karena keputusan ini sangat memberatkan Pihak Ny.Meneer Presiden
Direktur PT Njonya Meneer, Charles Saerang, kaget dan kecewa atas putusan Pengadilan
Negeri Semarang.Ia mengharapkan pengadilan bersikap objektif dengan mempertimbangkan
banyak hal. Pertama, jumlah pekerja Nyonya Meneer yang mencapai ribuan. Kedua,
keinginan perusahaan untuk menunaikan kewajiban.Charles khawatir putusan pailit dari
pengadilan bisa jadi preseden buruk bagi perusahaan yang dikatakan sebenarnya dalam
keadaan sehat.Meski demikian, Saerang akan mematuhi hasil keputusan. Perusahaan akan
mengambil langkah hukum lain menghadapi hasil keputusan Pengadilan Negeri Semarang
seperti Kasasi, Peninjauan Kembali dan lainnya.

Reaksi atas Pailitnya Pabrik Jamu Ny. Meneer


Setelah putusan pailit PT Nyonya Meneer tanggal 3 Agustus 2017, satu bulan
kemudian tepatnya tanggal 5 September 2017 Rachmat Gobel, Bos PT Panasonic Gobel
Indonesia berencana akan menyelamatkan perusahaan jamu PT Nyonya Meneer dari pailit
akibat jeratan utang. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jamu sebagai warisan budaya
nusantara, termasuk perusahaan yang berdiri sejak 1919 itu.Gobel tidak menjawab pasti
mengenai skenario penyelamatan Nyonya Meneer apakah akuisisi penuh atau hanya melunasi
utang dari perusahaan jamu asal Semarang itu.
Kabar terbaru mengenai keputusan Gobel tertanggal 11 September 2017 yaitu Gobel
Internasional mengkaji ulang rencana penyelamatan perusahaan jamu Nyonya Meneer dari
pailit. Pengkajian ulang dilakukan seiring upaya lelang aset Nyonya Meneer oleh Bank
Papua. Gobel perlu mengetahui apakah jika Bank Papua melakukan lelang, nilai PT Nyonya
Menner secara komersil masih menarik. Karena Bank Papua adalah satu-satunya kreditur
separatis atau pemegang jaminan Nyonya Meneer, Bank Papua dikabarkan akan menggelar
lelang atas aset jaminan kredit dengan penawaran tertutup.
.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka dalam hal ini dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Upaya yang dapat dilakukan oleh debitur untuk dapat menghindari kepailitan adalah
dengan melakukan upaya yang disebut PKPU. PKPU hanya dapat diajukan oleh
debitur sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan, karena
berdasarkan Pasal 229 ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004, permohonan PKPU harus
diputuskan terlebih dahulu apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan
PKPU sedang diperiksa pada saat yang bersamaan.
2. Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu
pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada.
Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada
pasal 2 UU No 37 Tahun 2004. Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada
pengadilan melalui panitera. Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada
ketua pengadilan niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak
tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung
sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan pengadilan mempelajari
permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan
kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak permohonan. Tahap putusan
atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau
keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Putusan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan dimana berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya
murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.
3. Upaya hukum dalam perkara kepailitan ada tiga macam upaya hukum yang dapat
dilakukan yakni ; Perlawanan, Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Perlawanan
dalam kepailitan diajukan kepada pengadilan yang menetapkan putusan pernyataan
pailit. Upaya hukum kasasi diajukan ke Mahkamah Agung, dengan demikian terhadap
keputusan pengadilan ditingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding
tetapi langsung dapat dilakukan upaya kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali oleh
Mahkamah Agung terhadap putusan atas permohonan kepailitan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dengan alasan apabila:
a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada
waktu diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan atau;
b. Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.

Saran
Saran yang dapat kami usulkan di dalam makalah ini adalahupaya hukum dilakukan
oleh pihak yang merasa tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama, maka
Mahkamah Agung diharap dapat memutus perkara kasasi maupun peninjauan kembali secara
cepat dan jangan sampai berlarut-larut sehingga secepatnya ada kepastian hukum bagi para
pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
Saliman, Abdul Rasyid, Hermansyah dan Ahmad Jalis. Hukum Bisnis untuk Perusahaan:
Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana, 2005
Hartono, Dedy Tri. (2016).Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-Undang
Kepailitan. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion,Edisi I, Vol 4.
Viktor M. Situmorang, Hendri Soekarso. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rieneka
Cipta, 1994.
Soebekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1994:230.
Peter J.M Declerq, 2002, Netherlands Insolvency Law : The Netherlands Bankruptcy Act and
the Most Important Legal Concepts, The Hague, T.M.C Asser Press, page 63.
Putusan No. 11 /Pdt. Sus- Pailit/2017/PN Niaga Smg Jo. dan No.01/ Pdt. Sus PKPU/ 2015/
PN Niaga Smg, 2017.

You might also like