You are on page 1of 8

1.

ACARA MAPPADENDANG (PESTA PANEN ADAT BUGIS) SULAWESI-


SELATAN.
Mappadendang atau yang
lebih dikenal dengan sebutan
pesta tani pada suku bugis
merupakan suatu pesta syukur
atas keberhasilannya dalam
menanam padi kepada yang
maha kuasa. Mappadendang
sendiri merupakan suatu pesta
yang diadaakan dalam rangka
besar-besaran. Yakni acara penumbukan gabah pada lesung dengan tongkat besar sebagai
penumbuknya. Acara mapadendang sendiri juga memiliki nilai magis yang lain. Disebut
juga sebagai pensucian gabah yang dalam artian masih terikat dengan batangnya dan
terhubung dengan tanah menjadi ase (beras) yang nantinya akan menyatu dengan
manusianya. Olehnya perlu dilakukan pensucian agar lebih berberkah.

Acara semacam ini tidak hanya sekedar menumbuk saja. Alur ceritanya bahwa para ibu-
ibu rumah tangga dekat rumah akan diundang lalu mulai menumbuk. Dengan nada dan
tempo yang teratur, ibu-ibu tersebut pun kadang menyanyikan beberapa lagu yang masih
terkait dengan apa yang mereka kerjakan. Sedangkan anak-anak mereka bermain
disamping atau pun dibawah rumah.

Acara adat ini dulu umumnya dilakukan oleh masyarakat-masyarakat di berbagai daerah,
begitu selesai mereka lalu menjemur dibawah terik matahari . kegiatan ini merupakan hal
yang sangat sering dilakukan oleh para petani orang bugis. Dikenal juga Manre ase baru
yang meupakan lanjutan setelah mappadendang.

Mappadendang merupakan upacara syukuran panen padi dan merupakan adat masyarakat
bugis sejak dahulu kala.Biasanya dilaksanakan setelah panen raya biasanya memasuki
musim kemarau pada malam hari saat bulan purnama. Pesta adat itu diselenggarakan
dalam kaitan panen raya atau memasuki musim kemarau. Pada dasarnya mappadendang
berupa bunyi tumbukan alu ke lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk
padiKomponen utama dalam acara ini yaitu 6 perempuan, 3 pria, bilik Baruga, lesung,
alu, dan pakaian tradisional yaitu baju Bodo.

Pakaian yang dikenakan pada saat Mappadendang, Pada saat acara Mappadendang
dimulai penari dan pemain yang akan tampil biasanya mengenakan pakaian adat yang
telah ditentukan :

Bagi wanita diwajibkan untuk memakai baju bodoh


Laki-laki memakai lilit kepala serta berbaju hitam , seluar lutut kemudian melilitkan
kain sarung hitam bercorak
Alat yang digunakan dalam Mappadendang seperti :

Lesung panjangnya berukuran kurang lebih 1,5 meter dan maksimal 3 meter.
Lebarnya 50 cm Bentuk
lesungnya mirip perahu kecil (jolloro; Makassar) namun berbentuk persegi panjang.
Enam batang alat penumbuk yang biasanya terbuat dari kayu yang keras atau pun
bambu berukuran setinggi orang dan ada dua jenis alat penumbuk yang berukuran
pendek, kira-kira panjangnya setengah meter.

Tata Cara Mappadendang, Biasanya Komponen utama dalam MAPPADENDANG terdiri


atas enam perempuan, 4 pria, bilik baruga, lesung, alu, dan pakaian tradisional, baju bodo.
Mappadendang mulanya gadis dan pemuda masyarakat biasa. Para perempuan yang beraksi
dalam bilik baruga disebut pakkindona. Kemudian pria yang menari dan menabur bagian
ujung lesung disebut pakkambona. Bilik baruga terbuat dari bambu, serta memiliki pagar dari
anyaman bambu yang disebut walasoji.

Tujuan Mappadendang

Menyatakan rasa syukur kepada Allah


Menjalin silaturahmi
Hiburan
Biasanya di jadikan ajang oleh muda mudi untuk mencari pasangan
Memupuk rasa kebersamaan

Di Makassar dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka
ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang konon memang
berawal dari aktifitas ini. Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita
pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia
juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia
memperoleh sesuatu untuk dimakan, kata Ali yang seolah ingin menghidupkan kembali
mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang
sangat dihormati

2. UPACARA RAMBU SOLO DI TANA TORAJA

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman


merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa
seseorang, maka biaya upacara pemakamannya
akan semakin mahal. Upacara kematian ini
disebut Rambu Solo. Rambu Solo merupakan
acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja,
karena memakan waktu berhari-hari untuk
merayakannya. Upacara ini biasanya
dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya
membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan.
Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut
kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya
agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah
tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.

Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman
yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan
berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante
biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang
hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang
dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan
ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak
berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-


bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar
keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya
pemakaman.Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-
tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat).
Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang
maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk
melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau.
Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman
yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan
bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal
itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

3. APPABUNTING (UPACARA PERKAWINAN)

Appabunting dalam bahasa Makassar berarti


melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu,
istilah perkawinan dalam bahasa bugis disebut
siala yang berarti saling mengambil satu sama
lain. Dengan demikian perkawinan adalah ikatan
timbale balik antara dua insan yang berlainan
jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan.
Istilah perkawinan dapat juga disebut siabbineng
dari kata bine yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa bugis, kata bine jika mendapat
awalan ma menjadi mabbine berarti menanam benih. Kata bine atau mabbine ini memiliki
kedekatan bunyi dan makna dengan kata baine (istri) atau mabbaine (beristri). Maka dalam
konteks ini, kata siabbineng mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah
tangga.

Menurut pandangan orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua


mempelai dalam hubungan suami istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang
bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi
semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppemabelae atau mendekatkan
yang sudah jauh. Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya
berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi (endogami), terutama di
kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya.

Tahapan-Tahapan Adat Perkawinan Suku Bugis Makassar

Ajagang-jagang/Mamanu-manu : penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon


mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita.
Asuro/Massuro : Acara ini merupakan pinangan secara resmi pihak calon mempelai
pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan
beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.
Appanasa/Patenre : Ada usai acara pinangan, dilakukan appanasa/patenre ada yaitu
menentukan hari pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan. Selain penentuan hari
pernikahan, juga disepakati besarnya mas kawin dan uang belanja. Besarnya mas
kawin dan uang belanja ditentukan menurut golongan atau strata sosial sang gadis dan
kesanggupan pihak keluarga pria.
Appanai Leko Lompo (Erang-erang) : Setelah pinangan diterima secara resmi, maka
dilakukan pertunangan yang disebut Abayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki
mengantarkan passio/passiko atau pattere ada (bugis). Hal ini dianggap sebagai
pengikat dan biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan pasio diiringi dengan
mengantar daun sirih pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan
waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Ada atau
Appanasa.
Abarumbung (mappesau) : Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai
wanita.
Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing) : Kegiatan tata upacara ini terdiri dari
appasili bunting, abubu, dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir
mirip dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai
pembersihan diri lahir dan batin.
Abubu : Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan
pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta assesories
lainnya. Prosesi acara abubu (maceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau
bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini dilakukan oleh Anrong
Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita,
dan supaya hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat
melekat dengan baik.
Appakanre Bunting : Menyuapai calon mempelai dengan makan berupa kue-kue khas
tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru Bayao, Sirikaya, Onde-onde,
Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah
besar yang disebut Bosara Lompo.
Akkorontigi : Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah
ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas Makassar. Acara
Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sacral yang dihadiri oleh seluruh
sanak keluarga (famili) dan undangan.
Assimorong/Menrekawing : Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi
puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria
diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makassar) atau
Menrekawing (Bugis).
Appabajikang Bunting : Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai.
Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam
tradisi bugis-makassar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat.
Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu
kamar mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan
acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di
atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung
sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini
mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita.
Alleka bunting (maolla) : Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu.
Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota
keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. rombongan ini membawa
beberapa hadiah sebagai balasan untuk mempelai pria. mempelai wanita membawa
sarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut
Makkasiwiang.

4. MENRE BOLA BARU (UPACARA ADAT BUGIS NAIK RUMAH)

Dalam budaya masyarakat Bugis ketika


sebuah keluarga akan membangun rumah atau
pindah ke rumah baru terdapat serangkaian
upacara adat yang harus dijalankan, mulai saat
persiapan bahan-bahan untuk membangun rumah,
ketika rumah akan dibangun/didirikan, lalu ketika
rumah tersebut siap untuk ditinggali, bahkan saat
rumah tersebut sudah dihuni. Rangkaian upacara
adat tersebut adalah sebagai berikut :
Tahap Upacara Makkarawa Bola.

Makkarawa Bola terdiri dari dua kata yaitu Makkarawa (memegang) dan Bola
(rumah), jadi makkarawa bola bisa diartikan memegang, mengerjakan, atau membuat
peralatan rumah yang telah direncanakan untuk didirikan dengan maksud untuk memohon
restu kepada Tuhan agar diberikan perlindungan dan keselamatan dalam penyelesaian rumah
yang akan dibangun tersebut. Tempat dan waktu upacara ini diadakan di tempat dimana
bahanbahan itu dikerjakan oleh Panre (tukang) karena bahanbahan itu juga turut
dimintakan doa restu kepada Tuhan. Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada waktu
yang baik dengan petunjuk panrita bola, yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin upacara.

Bahanbahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri atas : ayam dua ekor, dimana ayam ini
harus dipotong karena darahnya diperlukan untuk pelaksanaan upacara kemudian tempurung
kelapa daun waru sekurang kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara makkarawa
bola ini ada tiga, yaitu 1. waktu memulai melicinkan tiang dan peralatannya disebut
makkattang, 2. waktu mengukur dan melobangi tiang dan peralatannya yang disebut mappa,
3. waktu memasang kerangka disebut mappatama areteng.

Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam yang telah disediakan itu
dipotong lalu darahnya disimpan dalam tempurung kelapa yang dilapisi dengan daun waru,
sesudah itu darah ayam itu disapukan pada bahan yang akan dikerjakan. Dimulai pada tiang
pusat, disertai dengan niat agar selama rumah itu dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam
keadaan sehat dan baikbaik, bila saat bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan, maka
cukuplah ayam itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan rumah itu berlangsung
dihidangkan kuekue tradisional seperti : Suwella, Sanggara, Onde-Onde, Rokoroko unti
sering juga disebut doko-doko, Peca Beppa, Barongko dan Beppa loka, dan lain lainnya.

Tahap Upacara Mappatettong Bola (Mendirikan Rumah).

Tujuan upacara ini sebagai permohonan doa restu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar
rumah yang didirikan itu diberkahi dan dilindungi dari pengaruh-pengaruh roh jahat yang
mungkin akan menganggu penghuninya. Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi dimana
rumah itu didirikan, sebagai bentuk penyampaian kepada roh-roh halus penjaga penjaga
tempat itu bahwa orang yang pernah memohon izin pada waktu yang lalu sekarang sudah
datang dan mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan pembangunan rumah baru itu,
maka pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab barzanji.

Adapun bahanbahan dan alatalat kelengkapan upacara itu terdiri tas : ayam bakka dua
ekor, satu jantan dan satu betina. Darah kedua ayam ini diambil untuk disapukan dan
disimpan pada tiang pusat rumah, ini mengandung harapan agar tuan rumah berkembang
terus baik harta maupun keturunannya. Selain itu, Bahanbahan yang ditanam pada tempat
posi bola (pusat atau bagian tengah rumah) dan aliri pakka yang akan didirikan ini terdiri atas
: awali (periuk tanah atau tembikar), sung appe (sudut tikar dari daun lontar), balu mabbulu
(bakul yang baru selesai dianyam), penno-penno (semacam tumbuh-tumbuhan berumbi
seperti bawang), kaluku (kelapa), Golla Cella (gula merah), Aju cenning (kayu manis), dan
buah pala. Kesemua bahan tersebut diatas dikumpul bersama sama dalam kuali lalu ditanam
di tempat dimana direncanakan akan didirikan aliri posi bola itu dengan harapan agar pemilik
rumah bisa hidup bahagia, aman, tenteram, dan serba cukup.

Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula sejumlah bahan bahan yang akan
disimpan di posi bola seperti kain kaci (kain putih) 1 m, diikatkan pada posi bola, padi dua
ikat, golla cella (gula merah), kaluku (kelapa), saji pattapi (nyiru), sanru (sendok sayur), piso
(pisau), pakkerri (kukur kelapa). Bahanbahan ini disimpan diatas disimpan dalam sebuah
balai balai di dekat posi bola. Bahan ini semua mengandung nilai harapan agar kehidupan
dalam rumah itu serba lengkap dan serba cukup. Setelah kesemuanya itu sudah dilaksanakan,
barulah tiba saat Mappanre Aliri, memberi makan orang orang yang bekerja mendirikan
tiang tiang rumah itu. Makanan yangf disajikan terdiri atas sokko (ketan), dan pallise, yang
mengandung harapan agar hidup dalam rumah baru tersebut dapat senantiasa dalam keadaan
cukup. Tahap Upacara Menre Bola Baru (Naik Rumah Baru)

Tujuannya sebagai pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga dan tetangga
sedesa bahwa rumahnya telah selesai dibangun, selain sebagai upacara doa selamat agar
rumah baru itu diberi berkah oleh Tuhan dan dilindungi dari segala macam bencana.
Perlengkapan upacara yang disiapkan adalah dua ekor ayam putih jantan dan betina, loka
(utti) manurung, loka / otti (pisang) panasa (nangka), kaluku (kelapa), golla cella (gula
merah), tebbu (tebu), panreng (nenas) yang sudah tua. Sebelum tuan rumah (suami isteri)
naik ke rumah secara resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan tersebut diatas disimpan di
tempatnya masing masing, yaitu : (1) Loka manurung, kaluku, golla cella, tebu, panreng
dan panasa di tiang posi bola. (2) Loka manurung disimpan di masingmasing tiang sudut
rumah.

Tuan rumah masingmasing membawa seekor ayam putih. Suami membawa ayam
betina dan isteri membawa ayam jantan dengan dibimbing oleh seorang sanro bola atau orang
tertua dari keluarga yang ahli tentang adat berkaitan dengan rumah. Sesampainya diatas
rumah kedua ekor ayam itu dilepaskan, sebelum sampai setahun umur rumah itu, maka ayam
tersebut belum boleh disembelih, karena dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah peserta
upacara hadir diatas rumah maka disuguhkanlah makananmakanan / kuekue seperti
suwella, jompojompo, curu maddingki, lanalana (bedda), kondekonde (umbaumba), sara
semmu, dokodoko, lamelame. Pada malam harinya diadakanlah pembacaan Kitab Barzanji
oleh Imam Kampung, setelah tamu pada malam itu pulang semua, tuan rumah tidur di ruang
depan. Besok malamnya barulah boleh pindah ke ruang tengah tempat yang memang
disediakan untuknya.

Tahap Upacara Maccera Bola.

Setelah rumah itu berumur satu tahun maka diadakanlah lagi upacara yang disebut maccera
bola. Maccera Bola artinya memberi darah kepada rumah itu dan merayakannya. Jadi sama
dengan ulang tahun. Darah yang dipakai maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong
untuk itu, pada waktu menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan mantra, Iyyapa uitta
dara narekko dara manu, artinya nantinya melihat darah bila itu darah ayam. Ini maksudnya
agar rumah terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah sanro (dukun) bola atau tukang rumah
itu sendi

5. ACCERA KALOMPOANG

Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka


peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari upacara ini
adalah allangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan salokoa (mahkota) yang
dibuat pada abad ke-14. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga,
yang kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya.

Kebudayaan Suku Makassar Tak jauh berbeda dengan suku bugis, Suku Makassar
atau Orang Mangasara sebagian besar menetap di daerah Sulawesi Selatan. Selain berprofesi
sebagai pedagang, orang Makassar juga handal berlayar (senang merantau) dan itulah
sebabnya jika suku bangsa ini terdapat juga di luar Indonesia, misalnya di Singapura dan
Malaysia. Suku Makassar ini diakui akan kebudayaannya, dimana kebudayaan mereka tetap
dilestarikan sampai sekarang dan tidak tergerus oleh modernisasi.

Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang diawali dengan
pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para peserta upacara yang dipimpin
oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar). Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti keris,
parang dan mata tombak, pencuciannya diperlakukan secara khusus, yakni digosok dengan
minyak wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya
disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan
syarat harus berpakaian adat Makassar pada saat acara.

You might also like