You are on page 1of 11

REFERAT

PENANGANAN SINDROMA POLIKISTIK OVARIUM

Pembimbing :
dr. Hushat Pritalianto, Sp.OG

Disusun oleh :
Darayani Amalia
1102013070

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT DR. DRAJAT PRAWIRANEGARA SERANG
2017
Hipotalamus dan hipofisis berperan penting dalam pengendalian perkembangan gonad
dan fungsi reproduksi. Fungsi gonad pada wanita secara langsung dikontrol oleh hormon-
hormon gonadotropik hipofisis anterior, follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH). Kedua hormon ini, pada gilirannya, diatur oleh gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) hipotalamus yang sekresinya pulsatif serta efek umpan-balik hormon-
hormon gonad. Sedangkan ovarium sebagai organ reproduksi primer wanita melakukan tugas
ganda, yaitu menghasilkan ovum dan menghasilkan hormon-hormon seks wanita seperti
estrogen dan progesterone. Kedua hormon ini bekerja bersama untuk mendorong fertilisasi
ovum dan untuk mempersiapkan sistem reproduksi wanita untuk kehamilan.
Selama fase folikel (paruh pertama siklus ovarium), folikel ovarium mengeluarkan
estrogen di bawah pengaruh FSH, LH, dan estrogen itu sendiri. Kadar estrogen yang rendah
tetapi harus meningkat tersebut menghambat sekresi FSH, yang menurun selama bagian
terakhir fase folikel, dan secara inkomplit menekan sekresi LH yang terus meningkat selama
fase folikel. Pada saat pengeluaran estrogen mencapai puncaknya, kadar estrogen yang tinggi
memicu lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus. Lonjakan LH, menyebabakan ovulasi
yang matang. Sekresi estrogen merosot sewaktu folikel mati pada ovulasi.

Gambar 1. Kontrol lonjakan LH pada saat ovulasi

Tahap-tahap awal pertumbuhan folikel pra-antrum dan pematangan oosit tidak


memerlukan stimulasi gonadotropik, namun bantuan hormon diperlukan untuk membentuk
antrum, perkembangan folikel lebih lanjut, dan sekresi estrogen. Estrogen, FSH, dan LH
semuanya diperlukan.
Pembentukan antrum diinduksi oleh FSH. Baik FSH maupun estrogen merangsang
proliferasi sel-sel granulosa. Baik FSH maupun LH diperlukan untuk sintesis dan sekresi
estrogen oleh folikel. Baik sel granulosa maupun sel teka berpartipasi dalam pembentukan
estrogen. Perubahan kolesterol menjadi estrogen memerlukan sejumlah langkah berurutan,
dengan langkah terakhir adalah perubahan androgen menjadi estrogen. Sel-sel teka banyak
menghasilkan androgen tetapi kapasitas mereka mengubah androgen menjadi estrogen
terbatas. Sel-sel granulosa, dipihak lain mudah mengubah androgen menjadi estrogen tetapi
tidak mampu membuat androgen sendiri. LH bekerja pada sel-sel teka untuk merangsang
pembentukan androgen, sementara FSH bekerja pada sel-sel granulosa untuk meningkatkan
perubahan androgen teka menjadi estrogen. Karena kadar basal FSH yang rendah sudah cukup
untuk mendorong perubahan menjadi estrogen ini, kecepatan sekresi estrogen oleh folikel
terutama bergantung pada kadar LH dalam darah, yang terus meningkat selama fase folikel.
Selain itu, sewaktu folikel terus tumbuh, estrogen yang dihasilkan juga meningkat karena
bertambahnya jumlah sel folikel penghasil estrogen.

Gambar 2. Pembentukan androgen oleh sel-sel teka folikel ovarium

Sindroma ovarium polikistik (SPOK) menyebabkan 5%-10% wanita usia reproduksi


menjadi infertil. Pada akhir-akhir ini semakin jelas bahwa SOPK bukan hanya penyebab
tersering kerjadian ovulasi dan hirsutisme namun juga berhubungan dengan gangguan
metabolism yang memiliki pengaruh dalam kesehatan wanita. Sejak dikemukan oleh stein dan
Leventhal pada tahun 1935, pada mulanya diterangkan bahwa SOPK merupakan suatu
kumpulan gejala yang terdiri dari amenorrhea, haid yang tidak teratur, infertile, hirsutisme dan
obesitas. Belakangan diketahui bahwa wanita dengan siklus haid yang regular dengan keadaan
hiperandrogen dengan atau tanpa ovarium polikistik juga dapat menderita SOPK. Selain itu
pada beberapa wanita dengan sindroma ini dapat menderita ovarium polikistik tanpa tanda-
tanda klinis hiperandrogen namun terdapat bukti adanya disfungsi ovarium.
Definisi klinis dari sindrom ovarium polikistik yang diterima secara luas adalah suatu
kelainan pada wanita yang ditandai dengan adanya hiperandrogenisme dengan anovulasi
kronik yang saling berhubungan dan tidak disertai dengan kelainan pada kelenjar adrenal
maupun kelenjar hipofisis. Hiperandrogenisme merupakan suatu keadaan di mana secara klinis
didapatkan adanya hirsutisme, jerawat dan kebotakan dengan disertai peningkatan konsentrasi
androgen terutama testosteron dan androstenedion. Obesitas juga dijumpai pada 50-60%
penderita sindrom ini. Pengukuran obesitas dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT),
yaitu berat badan/(tinggi badan)2 >25 kg/m2.(4) Ciri-ciri ini berhubungan dengan hipersekresi
dari luteinizing hormone (LH) dan androgen dengan konsentrasi serum follicle stimulating
hormone (FSH) yang rendah atau normal. Penyebab sindrom ini tidak jelas, akan tetapi terdapat
bukti adanya kelainan genetik yang kemungkinan diwariskan oleh ibu atau ayah, atau mungkin
keduanya. Gen tersebut bertanggung jawab atas terjadinya resistensi insulin dan
hiperandrogenisme pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik.

PATOGENESA
Patogenesa SOPK kurang jelas diketahui, namun diduga bahwa defek primer
kemungkinan karena adanya resistensi insulin yang menyebabkan hyperinsulinemia.
Konsentrasi insulin dan LH didalam sirkulasi secara umum akan menungkat. Sel theca yang
membungkus folikel dan memproduksi androgen yang nantinya akan dikonversi menjadi
estrogen didalam ovarium menjadi sangat aktif dan responsive terhadap stimulasi LH. Sel theca
akan lebih besar dan akan menghasilkan androgen lebih banyak. Sel-sel theca yang hiperaktif
ini akan terhalang maturasinya sehingga akan menyebabkan sel-sel granulosa tidak aktif dan
aktifititas aromatisasinya menjadi minimal. Akibat ketidak matangan folikerl-folikel tersebut
maka terjadi pembentukan kista-kista dengan diameter antara 2-6 mm dan masa aktif folikel
akan memanjang, sehingga akan terbentuk folikel-folikel baru sebelum folikel yang lain mati.
Folikel-folikel tersebut akan berbentuk seperti kista yang dilapisi oleh sel-sel theca yang
hiperplastik yang mengalami luteinisasi sebagai respon peningkatan kadar LH.
GAMBARAN KLINIS
Tanda dan gejala klinis SOPK didapat dari keluhan utama pasien maupun dari
pemeriksaan klinis.
Keadaan hiperandrogen memiliki tanda-tanda seperti hirsutisme, timbulnya jerawar
bahkan dapat timbul pola alopesia seperti laki-laki. Hirsutisme didefinisikan sebagai suatu
keadaan munculnya bulu-bulu kasar pada wanita seperti pola pertumbuhan pada laki-laki
seperti diatas bibir, dagu, dada, abdomen bagian atas maupun dipunggung. Keadaan anovulasi
kronis ditandai adanya gangguan haid seperti amenorrhea, oligomenorrhea, perdarahan uterus
disfungsional dan akan menimbulkan infertilitas.
Selain itu akhir-akhir ini dalam mengevaluasi seorang pasien dengan kemungkinan
SOPK penting juga dijajaki tentang kemungkinan adanya tanda-tanda resistensi insulin.
Obesitas merupakan kunci adanya sindroma resistensi insulin. Dari pemeriksaan klinis tanda
adanya resistensi insulin didapati adanya acanthosis nigricans.

DIAGNOSIS
Diagnosis SOPK berdasarkan kombinasi kriteria klinis, sonografi dan biokimia. Pada
wanita yang menderita amenorrhea, kemungkinan timbulnya SOPK bila didapati satu atau
lebih gambaran berikut:
1. Adanya ovarium polikistik pada pemeriksaan sonografi
2. Hirsutisme
3. Hiperandrogenisme
Pada wanita dengan siklus haid yang normal adanya OPK pada pemeriksaan sonografi
menunjukkan adanya hirsutisme yang disebabkan oleh karena factor ovarium.
Kriteria Diagnostik Sindroma Resistensi Insulin
Adanya 3 atau lebih keadaan berikut:
Lingkar pinggang > 88 cm
Kadar trigliserida >= 150 mg/dl
Kadar HDL kolesterol < 50 mg/dl
Tekanan Darah >= 130/85 mmHg
Kadar gula darah puasa >= 110 mg/dl
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Sonografi
Pemeriksaan sonografi pelvis akan sangat mendukung untuk menegakkan diagnose
SOPK. Jumlah folikel dan volume ovarium penting dalam pemeriksaan sonografi. Adam dkk
menetapkan kriteris SOPK secara sonografi adalah dengan adanya kista folikel >= 10 buah
dengan diameter 2 8 mm dengan stroma yang tebal. Jonard dkk mengajukan kriteria SOPK
secara sonografi dengan adanya peningkatan luas ovarium (> 5,5 cm2) atau dengan volume
ovarium > 11 ml dana tau adanya folikel >= buah dengan diameter 2 9 mm. kriteria yang
diajukan oleh Jonard dkk ini memiliki spesifitas 99% dan sensitivitas 75% untuk mendiagnosa
SOPK secara sonografi.

Pemeriksaan Hormonal
Pemeriksaan hormonal pada penderita SOPK memperlihatkan beberapa kelainan
endokrin. Beberapa hormon yang perlu diperiksa:
1. Nisbah luteinizing hormone/follicle stimulating hormone: Nisbah >= 2,0
menunjukkan adanya suatu SOPK
2. Kadar 17-hydroxyprogesteron: ladar >= 200 ng/dl mengkonfirmasikan
diagnosis SOPK.
3. Testosterone: kadar testosterone <= 150 ng/dl banyak didapati pada penderita
SOPK.
4. Dehydorepiandrosterone-sulfate (DHEAS): kadar DHEAS akan normal atau
sedikit meningkat pada penderita SOPK.
5. Prolactin: lima sampai 30% pasien SOPK dilaporkan mengalami
hiperprolaktinemia ringan.
6. Kadar gula darah puasa/rasio insulin: <7,0 pada orang dewasa menunjukkan
adanya resistensi insulin. < 4,5 pada pasien SOPK yang obesitas, euglikemia.

TATALAKSANA
Pada sindrom ovarium polikistik, perkembangan folikel dan ovulasi terganggu
sehingga terjadi infertilitas. Antiestrogen dalam hal ini klomifen sitrat paling banyak dipakai
merupakan pilihan pertama untuk mengindukasi ovulasi. Strukturnya yang mirip dengan
estrogen menyebabkan klomifen sitrat mampu berikatan dengan reseptor estrogen dan
mempengaruhi aktivitas hipotalamus, sehingga meskipun kadar estrogen dalam darah
meningkat, tetapi karena kapasitas reseptor estrogen menurun maka sekresi GnRH meningkat.
Rangsangan GnRH dalam lingkungan estrogen yang tinggi menyebabkan kelenjar hipofise
lebih peka terurama dalam mensekresi FSH. Kebanyakan wanita infertil dengan sindrom ini
(63%-95%) mengalami ovulasi dengan klomifen sitrat. Persentase yang tinggi ini tergantung
pada penggunaan dosis progresif sampai terjadinya ovulasi. Jangka waktu pemberiannya tidak
boleh lebih dari 6 bulan karena berpotensi meningkatkan risiko kanker ovarium. Walaupun
pemberian klomifen sitrat dapat menyebabkan ovulasi tetapi tidak memperbesar kemungkinan
terjadinya konsepsi. Sehingga apabila pasien gagal hamil dengan terapi ini maka dicoba terapi
dengan menggunakan human menopausal gonadotropine (hMG) atau human follicle
stimulating hormone (hFSH) yang telah dimurnikan. Hormon-hormon ini merangsang ovarium
untuk menghasilkan ovum. Tetapi pemberiannya membutuhkan monitoring yang intensif
untuk mengurangi angka kejadian kehamilan multipel dan sindrom hiperstimulasi ovarium.
Kecenderungan tersebut menyebabkan preparat ini diberikan dalam dosis rendah dengan akibat
pencapaian angka kehamilan juga lebih rendah yaitu hanya 36% setiap siklus.
Penatalaksanaan infertilitas untuk dapat mengembalikan fungsi reproduksi pada wanita
ini juga dapat dilakukan secara operatif. Prosedur reseksi baji pada ovarium efektif
menurunkan produksi LH dan androgen. Menstruasi yang teratur didapatkan pada 75% pasien
dengan angka kehamilan mencapai 60%. Tetapi prosedur ini menyebabkan komplikasi berupa
perlekatan di sekitar daerah pelvis pada sekitar 30% pasien, sehingga sekarang dilakukan
dengan teknik elektrokauter secara laparoskopik yang tidak terlalu invasif. Meskipun dapat
membantu regulasi menstruasi dan terjadinya ovulasi, komplikasi perlekatan harus
dipertimbangkan karena kemungkinan untuk menjadi hamil berkurang di samping efek dari
prosedur ini hanya jangka pendek.
Untuk pasien yang tidak ingin hamil dapat menggunakan pil kontrasepsi kombinasi
untuk mengatur siklus menstruasi. Keuntungan dari terapi ini adalah adanya komponen
progesteron yang dapat menyebabkan supresi sekresi LH sehingga berkurangnya produksi
androgen dari ovarium dan komponen estrogen yang meningkatkan produksi SHBG sehingga
konsentrasi testosteron bebas dapat menurun dan akhirnya dapat juga memperbaiki hirsutisme
dan masalah kulit yang disebabkan oleh hiperandrogenisme. Selain itu dapat mengurangi
keluhan dismenorea, perdarahan uterus disfungsional dan angka kejadian penyakit radang
panggul serta menurunkan kemungkinan terkena kanker endometrium dan kanker ovarium.
Meskipun demikian pil kontrasepsi kombinasi dapat menyebabkan eksaserbasi resistensi
insulin dan meningkatkan kadar trigliserida sehingga dapat memperbesar risiko penyakit
kardiovaskuler dan diabetes.
Pada keadaan hiperandrogenisme, hirsutisme merupakan masalah yang sering
dikeluhkan oleh pasien. Jika tidak terlalu banyak dan terlokalisasi, maka dapat lebih mudah
dihilangkan secara mekanik. Tetapi jika cara tersebut tidak efektif, dapat diberikan terapi
antiandrogen. Yang banyak dipakai adalah siprosteron asetat, yang merupakan progestin
sintetik. Jika dikombinasikan dengan etinilestradiol dapat dipakai sebagai kontrasepsi dan
memperbaiki siklus mestruasi. Alternatif lain adalah spironolakton dengan mekanisme kerja
meningkatkan katabolisme androgen di mana testosteron diubah menjadi estradiol. Tetapi
spironolakton sering menyebabkan siklus menstruasi yang tidak teratur sehingga harus
dikombinasi dengan kontrasepsi oral dosis rendah. Semua terapi untuk hirsutisme
membutuhkan waktu 8-18 bulan sebelum responnya dapat terlihat, yaitu pertumbuhan rambut
menjadi labih lambat. Saat ini dengan elektrolisis, rambut yang tumbuh berlebihan dapat
dihilangkan secara permanen. Untuk kelainan kulit seperti dermatitis seboroik, hidradenitis
supuratif dan peradangan kulit lain dapat diobati dengan antibiotika spektrum luas atau dengan
kombinasi antiandrogen dan derivat asam retinoid.
Penurunan berat badan juga perlu dilakukan oleh pasien sindrom ovarium polikistik
yang sebagian besar memang mengalami obesitas. Faktor obesitas ini menjadi penyebab
kegagalan pemicuan ovulasi dengan klomifen sitrat. Makin tinggi berat badan penderita maka
diperlukan dosis klomifen sitrat yang lebih tinggi. Dengan penurunan berat badan maka siklus
menstruasi menjadi teratur, ovulasi dapat terjadi secara spontan dan dapat mengurangi kejadian
resistensi insulin. Cara yang dipakai biasanya kombinasi diet, olahraga dan pemberian obat-
obat yang memperbaiki sensitifitas jaringan terhadap insulin seperti metformin dan troglitazon.
Jadi sebaiknya usaha ini dilakukan bersamaan dengan terapi yang lain karena dapat
memperbaiki kelainan metabolik pada sindrom ini.
Pada saat ini terapi alternatif yang lebih sering digunakan untuk sindrom ovarium
polikistik adalah dengan senyawa sensitisasi insulin yaitu metformin dan troglitazon. Dengan
terapi ini diharapkan sensitifitas tubuh terhadap insulin meningkat, sehingga dapat
memperbaiki kelainan hormonal yang berhubungan dengan sindrom ini. Selain itu juga dapat
menurunkan berat badan dengan cara memperbaiki metabolisme gula di perifer, meningkatkan
penggunaan glukosa oleh usus dan menekan oksidasi asam lemak. Pada percobaan, diberikan
metformin dan plasebo selama 4 sampai 8 minggu pada pasien sindrom ovarium polikistik
dengan obesitas dan hiperinsulinemia. Pada 2 bulan pertama pemakaian metformin, pemulihan
sudah terlihat jelas. Didapatkan penurunan sekresi insulin pada pasien yang menggunakan
metformin. Konsentrasi testosteron bebas menurun sebagai akibat berkurangnya produksi
testosteron dan meningkatnya SHBG. Metformin paling sering digunakan pada pasien non
insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) karena tidak menyebabkan hipoglikemi.
Beberapa pasien dapat menurunkan berat badan dan perbaikan tekanan darah serta kadar lemak
darahnya. Selain itu pasien dapat menstruasi dan menjadi hamil pada saat menggunakannya.
Efek samping yang paling sering adalah keluhan gastrointestinal.(5,8,12,14,15) Obat lain yang
dapat dipakai adalah troglitazon, tetapi pemakaiannya harus diikuti dengan tes fungsi hati
secara berkala karena berpotensi menyebabkan kerusakan hati. Keunggulan dari terapi ini
adalah dapat mencegah perkembangan penyakit yang dapat menyerang penderita seperti
diabetes melitus, hipertensi dan penyakit jantung koroner.
Bagi wanita yang belum ingin memiliki anak, cukup diobati dengan pil kontrasepsi
kombinasi oral, yang di Indonesia terkenal dengan sebutan pil KB. Pil KB yang sering
digunakan adalah jenis pil kombinasi yang mengandung estrogen dan progesterone sintesik.
Penggunaan pil KB ini bertujuan untuk menekan fungsi ovarium, sehingga sekresi hormone
testonteron menurun. Komponen estrogen yang terdapat dalam pil kontrasepsi akan memicu
terjadinya produksi SHBG di hati. Hormon SHBG yang tinggi tersebut akan mengikat lebih
banyak lagi testosteron di dalam darah. Komponen progesteron yang terdapat dalam pil
kontrasepsi akan mencegah terjadinya hiperplasia endometrium. Pada wanita dengan gejala
dan tanda hirsutisme, lebih dianjurkan pemberian pil kontrasepsi yang mengandung hormon
antiandrogen siproteron asetat (SPA); siproteron asetat dapat juga diberikan tidak dalam bentuk
pil kombinasi. Siproteron asetat termasuk jenis hormon progestogen alamiah yang sangat kuat
efek antiandrogeniknya. Namun, di negara seperti Indonesia, kaum perempuan masih
menganggap bahwa pil kontrasepsi banyak efek sampingnya sehingga penggunaannya kurang
disukai.
Pengobatan utama pada semua wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang
kegemukan adalah menurunkan berat badan. Dengan cara yang sederhana ini kadang-kadang
proses ovulasi dapat terjadi secara spontan. Bila dengan menurunkan berat badan tetap tidak
terjadi proses ovulasi, perlu diberi obat-obat pemicu ovulasi, seperti klomifen sitrat, atau FSH
murni. Pada semua wanita yang ingin mempunyai anak, pengobatannya adalah pemberian
obat-obat pemicu proses ovulasi. Namun, selama kadar LH masih tinggi, akan sangat sulit
terjadi proses ovulasi, apalagi kehamilan. Dewasa ini, mulai dicoba pengobatan sindrom
ovarium polikistik dengan analog gonadotropin-releasing hormone (GnRH).10 Cara ini adalah
cara pengobatan yang dapat menekan tingginya kadar LH dalam waktu relatif cepat. Selain itu,
pemberian analog GnRH menekan fungsi ovarium dengan kuat sehingga produksi testosteron
di ovarium tertekan. Keuntungan lain penggunaan GnRH analog adalah bahwa hormon ini
tidak begitu kuat menekan pengeluaran FSH (follicle-stimulating hormone) dan sintesis
prolaktin. FSH sangat dibutuhkan untuk pematangan folikel di ovarium, sedangkan prolaktin
dibutuhkan untuk membantu sintesis progesteron di korpus luteum. Penurunan kadar
progesteron darah yang signifi kan sering menyebabkan terjadinya keguguran (abortus). Tidak
dijumpai adanya perbedaan angka kejadian kehamilan yang bermakna pada semua jenis
pengobatan yang diuraikan di atas.
Tindakan pembedahan atau operatif berupa eksisi baji sudah mulai ditinggalkan dan
diganti dengan tindakan elektrodiatermi pada setiap folikel yang terlihat (drilling). Cara ini
dapat dilakukan dengan teknik laparoskopi.
Namun, dalam konteks terjadinya proses kehamilan, ternyata tidak dijumpai perbedaan
bermakna antara penggunaan obat-obat pemicu proses ovulasi maupun penggunaan analog
GnRH. Tindakan drilling pada ovarium perempuan dengan sindrom ovarium polikistik ini
mulai diperdebatkan di kalangan ahli. Banyak dilaporkan kasus menopause dini akibat
kerusakan folikel saat tindakan drilling. Karena itu, perlu kehati-hatian dan kompetensi
operator yang cukup dalam melakukan tindakan drilling ini. Cara lain untuk menekan produksi
testosteron di folikel-folikel kecil ialah dengan memberikan preparat analog GnRH yang
mempunyai efek sangat kuat menekan sintesis testosteron dan hampir tidak pernah
menyebabkan komplikasi klinis berupa menopause dini. Seorang perempuan yang didiagnosis
mengalami menopause dini sudah pasti akan sulit mendapatkan keturunan. Perempuan tersebut
juga harus diberi terapi sulih hormon jangka panjang, dengan risiko kanker payudara.
DAFTAR PUSTAKA

Maharani L, Wratsangka R. Sindrom ovarium polikistik: permasalahan dan


penatalaksanaannya. J Kedokter Trisakti: September-Desember 2002, Vol.21 No.3
Baziad A. Sindrom Ovarium Polikistik dan Penggunaan Analog GnRH. CDK-196/
vol.39 no.8, th 2012
Ahmed, M.I. Naltrexone treatment in clomiphene resistant woman with polycystic
ovary syndrome. Human reproduction 2008; 23(11):2564-2569.
Sherwood, Lauralee .Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC. 2001
Aida, hanjalic-beck. et all. Metformin versus acarbose therapy in patients with
polycystic ovary syndrome (PCOS): a prospective randomised double-blind study.
Gynecological Endocrinology. 2010; 26(9): 690697

You might also like