You are on page 1of 2

AMAL DAN PENERAPANNYA

Amal dalam pengertian bahasa Arab adalah tindakan atau perbuatan. Dalam bahasa Indonesia,
kata amal memiliki arti perbuatan kasih sayang yang dalam bahasa lainya disebut charity atau
charitas. Dimensi amal sebagai tindakan, sangat terkait dengan maksud dari tindakan itu sendiri.
Karena itu amal dalam arti perbuatan sangat tergantung kepada tujuan yang dibawakanya. Inilah
yang dimaksudkan dengan ucapan nabi: “Bahwa perbuatan-perbuatan (manusia) sangat
tergantung kepada niat me-lakukannya (Innama al-a’mal bi al-niyyat)”. Memang ini adalah sikap
tidak rasional, karena dapat saja sebuah amal/perbuatan dibuat tidak membawa hasil apa-apa
alias tidak sesuai dengan niat dan mencapai tujuan yang diinginkan.

Tetapi itulah ajaran agama karena dalam pengertian Islam, “Tuhan memuliakan orang yang
dimauinya dan merendahkan orang yang diingin-kannya (Yu’izza man yas’a wa yudzinu man
ya’sa). Jadi, balasan atas seluruh kegiatan kita berada di tangan Allah, apakah ini tidak berarti
orang lalu menjadi malas melakukan sebuah tindakan, baik untuk dirinya sendiri dan apalagi
untuk kepentingan orang lain. Bukankah secara rasional manusia tidak dapat menentukan sendiri
akibat-akibat perbuatannya? Inilah yang justru merupakan tantangan bagi manusia: Ia tidak
menguasai jalur kehidupan yang diinginkannya atas dasar inilah ia menuntut dari Allah untuk
menghargai amal perbuatanya dengan tidak melanggar hak-hak Allah atas kehidupan itu sendiri.

Masalah klasik antara wewenang Allah dan tuntutan manusia itu oleh paham Ahlus Sunnah wal
Jama’ah dibiarkan tidak dipecahkan guna memberikan tempat bagi hal-hal yang tidak rasional
bagi kehidupan secara umum. Dengan demikian manusia selalu diingatkan bahwa ia bukan
Tuhan dan tidak dapat menentukan segala sesuatu ini juga sesuai dengan ungkapan: “Kita
menginginkan sesuatu dengan Allah juga menginginkannya, tapi Allah memberlakukan apa yang
diinginkan itu” (Nanhnu yurid wa Allahu yurid wa allahu fa’aallun lima yurid)

Karena manusia bukanlah Tuhan, maka dalam pandangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah
keterbatasan itu juga direfleksikan dalam ajaran manusia versus Tuhan, dengan kata lain aliran
tersebut menolak faham “anthroposentrisme” (pandangan bahwa manusia memegang kekuasaan
tertinggi atas dirinya). Hal inilah yang membedakan Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari
faham yang kemudian dijadikan titik sentral dalam pandangan “Barat Modern” itu.

Menurut penulis yang sebenarnya merupakan titik pusat sekularisme, bukannya ajaran
pemisahan agama dari negara (separation of the state from religion). Karena itu pemisahan
agama dari negara bukanlah karena adanya sekularisme -yang menolak agama- melainkan
karena akan tidak adanya pembedaan antara kekuasaan Tuhan dari kekuasaan manusia.

Maka setelah kita ketahui hakikat dari kekuasaan Tuhan yang dipisahkan dari kekuasaan
manusia itu, barulah kita dapat memahami ajaran agama, seperti yang di firmankan Tuhan dalam
ayat suci berikut ini : “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama tidaklah diterima
amal perbuatannya, dan di akhirat ia akan termasuk orang yang merugi“ (Man yabtaqhi qhaira
Al-Islami dinan falan yuqbala minhu wahuwa fi al-dinan falan yuqbala minhu wahuwa fi-
alakhirati min al-khasirin). Tidak diterimanya amal perbuatan seseorang, dalam pandangan Islam
adalah hak Tuhan untuk menetapkannya demikian, tidak berarti amal perbuatan itu tidak ada
maknanya.
Jadi, penerimaan manusia dan penerimaan Tuhan jelas ada bedanya. Sesuatu akan ada artinya
bagi manusia jika perbuatan seseorang dapat diterima oleh sesama manusia. Tetapi penerimaan
itu mempunyai arti manusiawi bukannya ukhrawi. Bahkan perbuatan seorang muslim sekalipun
belum tentu dapat diterima oleh Allah. Karenanya penerimaan Allah itu hanya penting bagi kita
dalam artian keyakinan saja bukan menyangkut hubungan antara sesama manusia.

Prinsip tersebut juga diyakini oleh agama lain, contohnya Konsili Vatikan II yang menyatakan:
“Kami, para Uskup yang berkumpul di Vatikan, menghargai hak setiap orang untuk mencapai
Kebenaran Abadi melalui cara masing-masing, walaupun kami berkeyakinan bahwa Kebenaran
Abadi itu hanya ada di lingkungan Gereja-gereja Katolik Roma”. Sekarang menjadi jelas bahwa
keyakinan merupakan “kebenaran” partikular yang tidak dapat dibagi rata atau diseragamkan
bagi semua orang?

Karena itulah kebenaran partikular tersebut selalu didampingi oleh kebenaran mutlak yang selalu
ada dalam tiap agama. Kebenaran mutlak itu sering kali disebut sebagai kebenaran universal
yang berlaku bagi semua orang dan dengan sendirinya bagi semua agama. Bahwa moralitas yang
“tinggi” seperti contohnya tindakan menjauhi perzinaan selalu terdapat dalam tiap agama.
Karenanya sebagai bagian integral dari keyakinan, tiap-tiap agama melarangnya. Hal itu
menunjukkan adanya kebenaran mutlak yang ada dalam tiap agama. Bahwa tidak semua orang
beragama dapat meng-hindari hal itu, adalah soal lain yang tidak merubah “keaslian” ajaran
agama yang bersangkutan melain-kan menjadi “dosa pribadi” yang harus ditobati dan
memerlukan pengampunan Tuhan.

Jelaslah dengan demikian, tiap agama memiliki dua dimensi kebenaran, yaitu yang terkait
dengan kemampuan seorang pemeluknya untuk melaksanakan ajaran yang dianggap sebagai
kebenaran pertikular, disamping ada sisi lain dari kebenaran yang diyakini, yaitu kebenaran
universal. Ketidak-mampuan memahami hal ini, -dengan menggangap kebenaran universal
hanya terdapat dalam agama sendiri- akan menimbulkan sikap tidak menghormati “kebenaran”
yang dibawakan oleh keyakinan di luar “agama sendiri” itu. Dari sikap tidak memahami
kebenaran universal itu lahirlah sikap merendahkan keyakinan orang lain. Kemudian akan diikuti
oleh sikap membenarkan penggunaan segala cara, untuk “membenarkan” agama sendiri dan
menggangap “salah” semua ajaran lain. Sikap seperti inilah yang melahirkan terorisme atas nama
agama.

Dengan mengetahui hal itu, jelas bahwa tindakan menghadapi terorisme atas nama agama tidak
cukup dilakukan dengan tindakan-tindakan hukum saja. Harus juga dilakukan pendekatan
kultural yang bersifat mendidik dan mencegah langkah-langkah seperti itu. Bukankah sang
teroris melakukan langkah-langkah seperti itu karena tidak mengetahui yang dilakukannya justru
mengingkari hakikat kebenaran yang diyakininya sebagai sesuatu yang mulia dan nantinya
membawakan ridlo Allah. Namun dalam kenyataan kebalikannyalah yang terjadi. Karenanya
marilah kita mendidik kembali orang-orang seperti itu. Mudah dikatakan tetapi sulit
dilaksanakan, bukan?

You might also like