You are on page 1of 10

ACARA II

BIODEGRADABLE FILM

A. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum acara I “Global Migrasi, Gramatur, Densitas dan
Ketahanan Jatuh” adalah sebagai berikut:
1. Membuat biodegradable dari berbagai jenis polimer

B. Tinjauan Pustaka
Biodegradable adalah plastik yang dapat hancur terurai oleh aktivitas
mikroorganisme setelah terpakai dan dibuang ke lingkungan. Jenis
biodegradable film ada yang dapat dimakan (edible), yang sering disebut dengan
edible film. Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi
makanan (coating), atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi sebagai
penahan terhadap transfer massa seperti air, oksigen, dan lemak, atau berfungsi
sebagai pembawa bahan tambahan pangan. Dalam berbagai kasus edible film
dengan sifat mekanik yang baik dapat menggantikan pengemas sintetik
(Estiningtyas, 2010). Menurut Bourtoom (2008), edible film didefinisikan
sebagai lapisan tipis bahan yang dapat dikonsumsi dan menyediakan penghalang
kelembaban, oksigen dan gerakan zat terlarut untuk makanan. Materi yang bisa
menjadi pelapis makanan lengkap atau dapat dibuang sebagai lapisan kontinyu
antara komponen makanan. film dible dapat dibentuk sebagai pelapis makanan
dan film yang berdiri bebas, dan memiliki potensi untuk digunakan dengan
makanan sebagai aroma gas penghalang. owever, informasi teknis masih
diperlukan untuk mengembangkan film untuk makanan diaplikasikan. edible film
dan coating telah menerima banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir
karena keuntungan mereka atas film sintetis.
Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edibble film adalah
protein atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati,
gum (seperti contoh alginat, pektin, dan gum arab), dan pati yang dimodifikasi
secara kimia. Pembentukan film berbahan dasar protein antara lain dapat
menggunakan gelatin, kasein, protein kedelai, protein whey, gluten gandum, dan
protein jagung. Film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai
penghambat perpindahan oksigen, karbondioksida, dan lemak, serta memiliki
karakteristik mekanik yang sangat baik, sehinggga sangat baik digunakan untuk
memperbaiki sfiuktur film agar tidak mudatr hancur (Jaya dan Endang, 2010).
Berbagai jenis polisakarida yang dapat digunakan untuk pembuatan
edible film antara lain selulosa dan turunannya, hasil ekstraksi rumput laut (yaitu
karaginan, alginate, agar dan furcellaran), exudates gum, kitosan, gum hasil
fermentasi mikrobia, dan gum dari biji-bijian. Pembentukan edible film
memerlukan sedikitnya satu komponen yang dapat membentuk sebuah matriks
dengan kontinyuitas yang cukup dan kohesi yang cukup. Derajat atau tingkat
kohesi akan menghasilkan sifat mekanik dan penghambatan film. Umumnya
komponen yang digunakan berupa polimer dengan berat molekul yang tinggi.
Struktur polimer rantai panjang diperlukan untuk menghasilkan matriks film
dengan kekuatan kohesif yang tepat. Kekuatan kohesif film trkait dengan struktur
dan kimia polimer, selain itu juga dipengaruhi oleh terdapatnya bahan aditif
seperti bahan pembentuk ikatan silang (Estiningtyas, 2010).
Stuktur linear amilosa dan struktur bercabang amilopektin ditunjukan
dalam kelakuan mereka yang mengarah pada gelatinisasi pembentukan kristal,
dan kapasitas pembentukan film. Ketika butir-butir pati dipanaskan dalam air,
butir-butir itu mengembang, pecah, dan mengempis, melepaskan amilosa dan
amilopektin. Stuktur bercabang dari rantai amilopektin dalam larutan mempunyai
kecenderungan yang kecil untuk berinteraksi dengan ikatan hidrogen dan sebagai
akibat dari itu, gel-gel dari amilopektin dan filmnya lemah, kohesif dan lentur.
Rantai lurus dari amilosa dalam larutan mempunyai kecenderungan yang besar
untuk berinteraksi dengan ikatan hidrogen dan sebagai akibat dari itu, gel-gel
amilosa dan filmnya lebih keras dan kuat daripada gel-gel amilopektin dan
filmnya. Tingkat kegelapan film dipengaruhi oleh sumber tepungnya. Film
tepung jagung mempunyai kandungan amilosa yang cukup rendah tetapi tingkat
kegelapannya lebih tinggi dari film tepung ubi jalar, hal ini disebabkan perbedaan
yang ada pada profil molekuler amilopektin tepung jagung. Meskipun kandungan
amilosa tepung jagung lebih rendah daripada kandungan amilopektinya namun
dalam hal tekanan saat patah tidak jauh berbeda pada tepung ubi jalar yang
memiliki kandungan amilose cukup tinggi dari tepung jagung (Jaya dan Endang,
2010).
Amilosa dan amilopektin dua polimer glukosa dalam granula pati.
Amilosa pada dasarnya linear, terdiri dari α- (1,4) -D-glucopyranosyl sementara
amilopektin sangat bercabang dan terdiri dari α-(1,4)-D-glucopyranosyl
bergabung melalui α-(1,6)-D-glucopyranosyl. Kira-kira, 90% beras giling (bahan
kering) terdiri dari pati dan makan serta kualitas memasak beras dipengaruhi oleh
karakteristik pati, yang meliputi kandungan amilosa, suhu gelatinisasi. Mengukur
karakteristik gelatinisasi makanan sangat relevan dalam pengolahan makanan
karena memungkinkan simulasi proses memasak untuk sifat fungsional
ditingkatkan. Amilosa cenderung bertindak sebagai menahan diri untuk
gelatinisasi karena berdifusi keluar dari butiran selama pembengkakan, yang
membentuk fase kontinyu (jaringan) di luar butiran (Odenigbo et al, 2013).
Keberadaan air yang berlebihan akan meningkatkan suhu granula pati
yang ditangguhkan dibandingkan suhu gelatinisasi. granula pati kehilangan sifat
birefringence dan kristal sebagai akibat dari pembengkakan bersamaan.
Perubahan ini tidak dapat diubah dan disebut "gelatinisasi". Gelatinisasi adalah
proses pembengkakan granula, diikuti oleh gangguan struktur granula. Dalam hal
ini, hilangnya tatanan kristal dapat diamati dalam bentuk hilangnya difraksi
sinar-X. Beberapa komponen pati (terutama amilosa) pencucian dari granul
sebelum granul pecah. Hal ini terjadi ketika ada peningkatan suhu. Viskositas
mulai meningkat ketika pencapaian suhu gelatinisasi. Fenomena ini (meningkat
viskositas) disebabkan oleh pembengkakan ireversibel pati di dalam air.
fenomena ini dimulai ketika energi molekul air lebih kuat dari energi pati dalam
granula tersebut. Mulai suhu jagung putih gelatinisasi pati berkisar 62-74 ° C
(Aini dan Purwiyatno, 2010).
C. Metodologi
1. Alat
a. Cabinet dryer
b. Gelas backer 250 ml
c. Gelas ukur 100 ml
d. Nampan
e. Neraca analitik
f. Penangas Listrik
g. Pengaduk
h. Termometer
2. Bahan
a. Aquadest
b. Gliserol
c. KCl
d. Tepung komposit
e. Tepung maizena
f. Tepung tapioka

D. Hasil dan Pembahasan


Biodegradable adalah plastik yang dapat hancur terurai oleh aktivitas
mikroorganisme setelah terpakai dan dibuang ke lingkungan. Jenis
biodegradable film ada yang dapat dimakan (edible), yang sering disebut dengan
edible film. Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi
makanan (coating), atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi sebagai
penahan terhadap transfer massa seperti air, oksigen, dan lemak, atau berfungsi
sebagai pembawa bahan tambahan pangan. Dalam berbagai kasus edible film
dengan sifat mekanik yang baik dapat menggantikan pengemas sintetik
(Estiningtyas, 2010).
Menurut Jaya dan Endang (2010), perbedaan antara biodegradable film
dan edible couting/film adalah bila biodegradable film dapat diuraikan oleh
mikroorganisme. Sedangkan edible couting/film, merupakan pembungkus pangan
yang selain dapat diurai oleh mikroorganisme juga dapat dimakan oleh manusia
bersamaan dengan produk yang dikemasnya. Edible film sendiri sebenarnya
termasuk kedalam jenis biodegradable film karena dibuat dari bahan organik
yang juga dapat diuraikan oleh mikroorganisme sehingga memiliki kelebihan
ramah lingkungan. Dalam pembuatan edible couting/film dibutuhkan bahan-
bahan seperti hidrokoloid (protein dan karbohidrat), plasticizer dan aquadest.
Komponen utama penyusun edible couting/film dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Hidrokoloid sering didapatkan dari
protein utuh, selulosa dan turunannya, alginate, pektin dan pati. Dari kelompok
lipida yang sering digunakan adalah lilin asilgliserol dan asam lemak. Sedangkan
yang dimaksud komposit adalah bahan yang didasarkan pada campuran
hidrokoloid dan lipida (Harris, 2001). Menurut Jaya dan Endang (2010),
Kelebihan dari hidrokoloid sebagai bahan pembentukan edible film antara lain
film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai penghambat perpindahan
oksigen, karbondioksida, dan lemak,serta memiliki karakteristik mekanik yang
sangat baik, sehinggga sangat baik digunakan untuk memperbaiki struktur film
agar tidak mudah hancur.
Keuntungan dari polisakarida sebagai bahan pembuatan edible film antara
lain dapat mencegah dehidrasi, oksidasi lemak, dan pencoklatan pada permukaan
serta mengurangi laju respirasi dengan mengontrol komposisi gas CO 2 dan O2
dalam atmosfer internal. Keuntungan lain coating berbahan dasar polisakarida
adalah memperbaiki flavor, tekstur, dan warna, meningkatkan stabilitas selama
penjualan dan penyimpanan, memperbaiki penampilan, dan mengurangi tingkat
kebusukan. Selain keunggulan, edible coating/film dari polisakarida memiliki
kelemahan. Film dari pati, misalnya, mudah rusak/sobek karena resistensinya
yang rendah terhadap air dan mempunyai sifat penghalang yang rendah terhadap
uap air karena sifat hidrofilik dari pati. Sifat mekanik lapisan film dari pati juga
kurang baik karena mempunyai elastisitas yang rendah (Winarti dkk, 2012).
Hidrokoloid adalah senyawa atau zat yang digunakan untuk menstabilkan
emulsi zat padat dan fase cair. Sifat tersebut karena adanya gugus-gugus hidrofil
pada emulsifiernya (Makfoeld dkk, 2002). Interaksi antara amilosa dan
amilopektin dijelaskan oleh Jaya dan Endang (2010), ketika butir-butir pati
dipanaskan dalam air, butir-butir itu mengembang, pecah, dan mengempis,
melepaskan amilosa dan amilopektin. Stuktur bercabang dari rantai amilopektin
dalam larutan mempunyai kecenderungan yang kecil untuk berinteraksi dengan
ikatan hidrogen dan sebagai akibat dari itu, gel-gel dari amilopektin dan filmnya
lemah, kohesif dan lentur. Rantai lurus dari amilosa dalam larutan mempunyai
kecenderungan yang besar untuk berinteraksi dengan ikatan hidrogen dan sebagai
akibat dari itu, gel-gel amilosa dan filmnya lebih keras dan kuat daripada gel-gel
amilopektin dan filmnya. Tingkat kegelapan film dipengaruhi oleh sumber
tepungnya.
Amilosa berpengaruh terhadap kekompakan film. Pati dengan kadar
amilosa yang tinggi menghasilkan edible film yang lentud dan kuat. Hal itu
disebabkan karena struktur amilosa memungkinkan pembentukan ikatan
hiderogen antarmolekul penyusunnya. Selain itu, selama pemanasan mampu
membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat memperangkap air sehingga
menghasilkan gel yang kuat. Sedangkan, amilopektin dalam kandungan pati
berpengaruh terhadap kestabilan dari film yang terbentuk (Yulianti
dan Erliana, 2012).
Penambahan gliserol membuat film lebih mudah dicetak karena gliserol
berfungsi sebagai plasticizer. Selain dapat mengurangi kerapuhan, plasticizer
mampu meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film, terutama jika disimpan
pada suhu rendah. Gliserol efektif sebagai plasticizer karena mampu mengurangi
ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekul sehingga melunakkan struktur
film, meningkatkan mobilitas rantai biopolimer, dan memperbaiki sifat mekanik
film. Gliserol bersifat humektan dan aksi plasticizing gliserol berasal dari
kemampuannya dalam menahan air pada edible coating. Penambahan gliserol
dalam pembuatan edible film akan meningkatkan fleksibilitas dan permeabilitas
film terhadap gas, uap air, dan gas terlarut. Penambahan plasticizer gliserol
berpengaruh terhadap kehalusan permukaan film. Hal ini karena selain sebagai
plasticizer, gliserol juga membantu kelarutan pati sehingga terbentuk ikatan
hidrogen antara gugus OH pati dan gugus OH dari gliserol, yang meningkatkan
sifat mekanik. Bertambahnya jumlah gliserol dalam campuran pati-air
mengurangi nilai tegangan dan perpanjangan (elongation). Kandungan gliserol
yang rendah juga mengurangi kuat tarik edible film (Winarti dkk, 2012).
Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pari ketika
dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin. Tetapi
granula pati dapat mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan
meningkatkan pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati
menyebabkan terjadinya penekanan antara granula pati dengan yang lainnya.
Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible (dapat kembali ke
bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan granula
pati akan bersifat irreversible (tidak dapat kembali). Kondisi pembengkakan
granula pati yang bersifat irreversible ini disebut suhu gelatinisasi. Suhu
gelatinisasi tepung tapioka berada pada kisaran 52-64oC. sedangkan pada tepung
maizena, suhu gelatinisasinya adalah sebesar 62-70oC (Pomeranz, 1991).
Menurut Putra, (2005), gelatinisasi diawali dengan proses yang disebut
retrogradasi yang ditandai dengan pembentukan gel oleh amilopektin secara lebih
lambat dan gel yang terbentuk lebih lunak. Adapun satuan dasar dari pati adalah
anhidroglukosa.
Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti
sosis, buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu,
karena edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen,
karbondioksida dan uap air serta komponen flavor, sehingga mampu
menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk
yang dikemas. Polisakarida seperti pati dapat dijadikan sebagai bahan baku pada
pembuatan edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai
biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat
diperbaharui dan memberikan karakteristik fisik yang baik. Tapioka sering
digunakan sebagai bahan tambahan atau pengisi karena kandungan patinya yang
cukup tinggi (Sinaga dkk, 2013).

E. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum acara II “Biodegradable Film” dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Biodegradable film dari tepung tapioka yang diperoleh hasilnya lebih
lengket dibandingkan dengan biodegradable film dari tepung maizena.
2. Komponen utama penyusun edible couting/film dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit.
3. Penambahan gliserol membuat film lebih mudah dicetak karena gliserol
berfungsi sebagai plasticizer. Selain dapat mengurangi kerapuhan, plasticizer
mampu meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film, terutama jika
disimpan pada suhu rendah.
4. Amilosa berpengaruh terhadap kekompakan film. Pati dengan kadar amilosa
yang tinggi menghasilkan edible film yang lentud dan kuat. Sedangkan,
amilopektin dalam kandungan pati berpengaruh terhadap kestabilan dari film
yang terbentuk

DAFTAR PUSTAKA

Aini, Nur dan Purwiyatno H. 2010. Gelatinization properties of white maize starch
from three varieties of corn subject to oxidized and acetylated-oxidized
modification. International Food Research Journal, Vol. 17, No. 01.

Bourtoom, T. 2008. Review Article Edible films and coatings: characteristics and
properties. International Food Research Journal, Vol. 15, No. 03.

Estiningtyas, Heny Ratri. 2010. Aplikasi Edible Film Maizena dengan Penambahan
Ekstrak Jahe sebagai Antioksidan Aalami pada Coating Sosis Sapi.
Skripsi, Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Harris, Helmi. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film Dari Pati Tapioka
Untuk Pengemas Lempuk. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia, Vol.
03, No. 02.

Jaya, Danang dan Endang Sulistyawati. 2010. Pembuatan Edible Film dari Tepung
Jagung. Eksergi, Vol. 10, No. 02.

Makfoeld, Djarir., Djagal Wiseso Marseno., Pudji Hastuti., Sri Anggrahini., Sri
Raharjo., Sudarmanto Sastrosuwignyo., Suhardi., Soeharsono
Martoharsono., Suwedo Hadiwiyoto dan Tranggono. 2002. Kamus
Istilah Pangan dan Nutrisi. Kanisius. Yogyakarta.

Odenigbo, Amaka M., Michael Ngadi,. Chijioke Ejebe,. Chijioke Nwankpa,.


Nahemiah Danbaba,. Sali Ndindeng dan John Manful. 2013. Study on
the gelatinization properties and amylose content of rice varieties from
Nigeria and Cameroun. International Journal of Nutrition and Food
Science, Vol, 02, No. 01.

Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press, Inc.


New York.

Putra, Fery Surya. 2005. Cara Praktis Pembuatan Pempek Palembang. Kanisius.
Yogyakarta.

Winarti, Christina., Miskiyah, dan Widaningrum. 2012. Teknologi Produksi Dan


Aplikasi Pengemas Edible Antimikroba Berbasis Pati. Jurnal Litbang
Pertanian, Vol. 31, No. 03.

You might also like