You are on page 1of 112

PEDOMAN

TATALAKSANA CEDERA OTAK  


 
(Guideline for Management of Traumatic Brain Injury)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Editor:    
                             Joni  Wahyuhadi  
                                                                                                 Wihasto  Suryaningtyas  
                                                                                                 Rahadian  Indarto  Susilo  
                                                                                                 Muhammad  Faris  
                                                                                                 Tedy  Apriawan  
 
 
Tim Neurotrauma
RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya, 2014
Tim Neurotrauma dan Kontributor
Prof. Dr. dr. Abdul Hafid Bajamal, SpBS
Prof. Dr. dr. Nancy Margarita Rahatta, SpAn. KIC
Dr. dr. M. Arifin Parenrengi, SpBS
Dr. dr. Agus Turchan, SpBS
Dr. dr. Hamzah, SpAn. KNA
Dr. dr. Joni Wahyuhadi, SpBS
dr. Eko Agus Subagio, SpBS
dr. Wihasto Suryaningtyas, SpBS
dr. Rahadian Indarto Susilo, SpBS
dr. Muhammad Faris, SpBS
dr. Achmad Fahmi, SpBS
dr. Nur Setiyawan Suroto, SpBS
dr. Irwan Barlian Immadoel Haq, SpBS
dr. Tedy Apriawan, SpBS
dr. Alfan Syah Putra Nasution
dr. Yusuf Hermawan
dr. Mohammad Kamil
dr. Geizar Arsika Ramadhana
dr. Yusnita Rahman
dr. Fendi Fatkhurrohman Gozi
dr. Mochamad Rizki Yulianto
dr. Yudhistira Kaysa Karim
dr. Adi Wismayasa
dr. Gibran Aditiara Wibawa
dr. Fatkhul Adhiatmadja
dr. Krisna Tsaniadi Prihastomo
dr. Wisnu Baskoro

Sekretariat Neurotrauma:
SMF/ Departemen Ilmu Bedah Saraf
RSU dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga
Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 – 8
Surabaya
Telp: 031-5501325/ 5501304
Fax: 031-5025188
e-mail: nssbaya@gmail.com
SAMBUTAN
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr. SOETOMO, SURABAYA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat


dan rahmat Nya, Tim Neurotrauma RSUD Dr. Soetomo –
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya,
dapat menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera
Otak” edisi kedua tahun 2014.

Penyusunan buku pedoman ini adalah langkah maju


untuk menjawab tantangan di bidang pelayanan,
pendidikan, penelitian dan pengembangan. Di bidang
pelayanan, pedoman ini dapat dimanfaatkan di setiap
institusi yang berhubungan dengan penanganan cedera
otak, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan
dan menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat
cedera otak.

Rumah sakit dr. Soetomo selain memberikan pelayanan kepada masyarakat luas,
juga merupakan tempat pendidikan baik bagi tenaga medis maupun paramedis,
mulai dari jenjang diploma hingga spesialisasi. Besar harapan kami bagi seluruh
peserta didik untuk dapat memanfaatkan pedoman ini dengan baik sehingga proses
pendidikan dapat berjalan sinergis dengan pelayanan yang prima.

Pedoman ini berdasar evidence base medicine dan disusun sedemikian rupa
sehingga memberi peluang besar untuk pengembangan dan penelitian lebih lanjut.
Beberapa fenomena kasus cedera otak masih mengundang pertanyaan yang saat ini
belum semuanya terjawab dengan jelas.

Kami berharap hasil kerja kerja keras ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi
para klinisi yang memberi pelayanan, para konsultan, dan peserta didik dokter
spesialis, dokter muda serta paramedis dalam memberikan pelayanan terbaik dan
kemajuan di masa mendatang.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Direktur
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya

dr. Dodo Anondo, MPH


SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
AIRLANGGA SURABAYA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas


berkat rahmat-Nya Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo –
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya dapat
menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak”,
edisi kedua yang disusun berdasarkan Evidence Base
Medicine (EBM).

Pesatnya kemajuan ilmu dan tehnologi di bidang ilmu


kedokteran, membawa perubahan yang mendasar pada
pelayanan dan pendidikan khususnya bidang bedah syaraf.
Cedera Otak adalah salah satu kasus emergency bidang
bedah syaraf yang membutuhkan penanganan yang cepat,
tepat, dan akurat.

Pelayanan yang bermutu, yang didukung dengan pedoman baku yang ilmiah,
merupakan bagian dari proses pendidikan yang sangat bermanfaat bukan hanya
bagi pasien tetapi juga bagi peserta didik. Dalam sinergisme sistim pelayanan dan
pendidikan yang terpadu ini, dipastikan akan muncul hal baru yang memberi lahan
bagi pengembangan dan penelitian terutama di bidang neurotrauma.

Besar harapan saya bahwa buku pedoman ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh mahasiswa kedokteran, dokter, peserta didik pendidikan spesialis, dokter
spesialis, perawat, peserta didik keperawatan dan semua pihak yang terkait dalam
proses pelayanan dan pendidikan. Pengembangan dan penyempurnaan ilmu yang
telah ada selalu saya harapkan dan saya dukung untuk memperluas khazanah dan
wawasan keilmuan.

Kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan dan menerbitkan buku
pedoman ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya.
Semoga bermanfaat dan terus berupaya mengembangkan keilmuan yang dimiliki
demi kemanusiaan. Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., M.Sc., Sp. PD-KEMD FINASIM


KATA PENGANTAR

Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian
para dokter, khususnya yang berkecimpung dalam bidang neurotrauma dan
perawatan gawat darurat.

Problem utama pada cedera otak adalah tingginya angka kecacatan dan kematian.
Angka kematian di RSUD,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 %
sampai 12 % keadaan ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri
yaitu antara 3-8 %. Hal yang mengembirakan angka mortalitas ini terus menurun
dari tahun ke tahun dan pada tahun 2013 sebesar 3 %. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah, cedera otak banyak terjadi pada usia produktif yang tentu akan
sangat mempengaruhi produktfitas dan kemajuan bangsa.

Upanya memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan pengetahuan serta


ketrampilan bagi para klinisi, sejawat dokter bedah saraf di pusat pelayanan
kesehatan di daerah dan para peserta didik program spesialis bedah umum, bedah
saraf, saraf dan anestesi serta para dokter muda dan tenaga para medis, maka kami
susun buku pedoman ini yang berbasis ilmiah, dengan sistematika yang mudah
dipahami. Buku ini dapat sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang cepat
dan tepat pada saat yang tepat dalam menangani penderita cedera otak. Kecepatan
dan ketepatan adalah faktor utama untuk menurunkan angka kecacatan dan
kematian akiba cedera pada susunan saraf.

Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah dan rahmadNYA sehingga tujuan mulya
penyusunan pedoman ini dapat tercapai dan dapat memberikan manfaat demi
kemanusiaan.

Ketua Tim Neurotrauma


RSUD.Dr.Soetomo-FK.Unair Surabaya.

Prof. Dr. Abdul Hafid Bajamal, dr., Sp.BS.


DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM NEUROTRAUMA


SAMBUTAN
Direktur RSU. Dr Soetomo Surabaya
Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
I. PENDAHULUAN 1
II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN 3
III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM (GENERAL MEASURES) 6
III.1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage 6
III.2. Langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat 6
III.2.1 Perlindungan Umum (General precaution) 6
III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas 8
III.2.3 Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak 8
III.3 Survey Sekunder 9
III.3.1 Anamnesis 9
III.3.2 Pemeriksaan Fisik Umum 9
III.3.3 Pemeriksaan Neurologis 10
III.4 Observasi 11
III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala 11
III.6 Pemeriksaan CT Scan 12
III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit 12
III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala 13
III.9 Lembar Pesanan Saat Pulang 13
III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif ( ROI) 13
III.11 Kriteria Masuk Ruang High Care Unit ( HCU ) / Ruang F1 14
IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA KEPALA 15
IV.1. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Ringan 15
IV.2. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Sedang 16
IV.3. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Berat 17
V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA 18
V.1. Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang 18
V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol dan Hipertonik Saline 22
V.3. Rekomendasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pemasangan Kateter 26
Ventrikel
V.4. Rekomendasi Penggunaan Analgetik 28
V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid 31
V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer 33
V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi 37
V.8. Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Suppresor Agent 40
V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline 42
V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam 44
V.11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptide 47
V.12. Rekomendasi Penggunaan sel punca (Stem Cell) 49
VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN 50
(GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT)

VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH) 50


VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH) 52
VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak 56
VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior 58
VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii 60
VI.6. Rekomendasi Pembedahan Pada Diffuse Axonal Injury (DAI) 63
VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL (GUIDELINE FOR 65
INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND TREATMENT)
VII.1. Indikasi Pemasangan Alat Pantau Tekanan Intrakranial – ventrikulostomi 65
VII.2. Manajemen Tekanan Intrakranial 66
VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIKA PADA ANAK 72
VIII.1. Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi 72
VIII.2. Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial 75
VIII.3. Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat 80
VIII.4. Penggunaan Terapi Hyperosmolar untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial 83
VIII.5. Peran Pengeluaran LCS pada Pengendalian TIK 87
VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB 89
VIII.7. Pembedahan untuk Hipertensi Intrakranial pada Pediatri 91
IX. CEDERA OTAK TERKAIT OLAHRAGA 99
IX. PENUTUP 103

Cover dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd
edition. McGraw-Hill. New York, 1996
DAFTAR SINGKATAN
 
CBF : Cerebral Blood Flow
CMRO2 : Cerebral Metabolic Rate of O2
COB : Cedera Otak Berat
COR : Cedera Otak Ringan
COS : Cedera Otak Sedang
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
CSF : Cerebro Spinal Fluid
CSS : Cairan Serebro Spinal
CT Scan : Computed Tomography Scanning
EDH : Epidural Hematoma
EVD : External Ventricular Drainage
GCS : Glasgow Coma Scale
HCU : High Care Unit
ICP : Intracranial Pressure
IRD : Instalasi Rawat Darurat
KRS : Keluar Rumah Sakit
LCT : Long Chain Triglycerides
LCU : Low Care Unit
MAP : Main Arterial Pressure
MCT : Medium Chain Triglycerides
MRS : Masuk Rumah Sakit
NSAID : Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs
PPI : Proton Pump Inhibitor
RCT : Randomized Control Trial
ROI : Ruang Observasi Intensif
SDH : Sub Dural Hematoma
SRMD : Stress Related Mucosa Damage
TBI : Traumatic Brain Injury
TIK : Tekanan Intra Kranial
AAN : American Academy of Neurology
I. PENDAHULUAN

Cedera otak masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah saraf,
dan di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian dan
biaya tinggi. Perkembangan pengetahuan mengenai patofisiologi dan tatalaksana
cedera otak, sangat pesat pada dekade terakhir ini. Salah satu konsep sentral yang
didasarkan pada penelitian laboratorium, klinis dan biomolekuler serta genetika,
bahwa kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat terjadinya impak cedera,
melainkan berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya. Kerusakan sistim
syaraf dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien terhadap cedera. Perkembangan
patofisiologi ini memacu berkembang metode penanganan yang komprehensif,
metode neurorestorasi dan rehabilitasi, dalam rangka meningkatkan outcome dari
pasien cedera otak.

Cedera otak atau sering disebut neurotrama, masih merupakan masalah yang serius
di RSUD dr Soetomo. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr.
Sutomo sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2013, didapatkan data:

Data Penderita Cedera Otak RSU Dr. Soetomo


Th. 2002 - 2013
Tahun Ʃ penderita Ʃ penderita Total % Total kematian %
CO COB Kematian COB
2002 2005 455 225 11.22 169 37.14
2003 1910 467 210 10.99 127 27.19
2004 1621 275 134 8.27 81 29.45
2005 1670 199 103 6.17 65 32.66
2006 1588 195 98 6.17 49 25.13
2007 1231 159 75 6.09 30 18.85
2008 1339 196 81 6.05 38 19.34
2009 1487 209 76 5.11 29 13.87
2010 916 126 123 13.4 98 77.7
2011 1050 145 124 11.8 96 66.2
2012 1026 173 106 9.96 72 41.6
2013 1411 166 101 7.1 80 48.1

• Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara
6,171 % hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar
literatur internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %.

1
• Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera otak berat masih
tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan
menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu 22 %.
• Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien
cedera otak yang datang ke IRD.

Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan cedera otak di RSU Dr.
Soetomo menunjukkan bahwa cedera otak memerlukan penanganan yang
komprehensif. Prehospital care dan Hospital care merupakan faktor yang sangat
penting untuk dibenahi dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan morbiditas dan
mortalitas.
Pembenahan Hospital Care meliputi:
1. Pembenahan tatalaksana, dengan cara:
a. Pembuatan guideline yang merupakan pedoman praktek kedokteran
(PPK) yang juga berisi algoritma tatalaksana cedera otak.
b. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (provider)
c. Pemenuhan sarana dan prasarana gawat darurat
d. Pemenuhan sarana dan prasarana perawatan high care unit (HCU)
e. Penelitian dan pengembangan klinis dan laboratoris
2. Pembenahan tatalaksana Pre-Hospital care, dengan cara:
a. Sosialisasi Guideline
b. Peningkatan sistem rujukan
c. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dengan cara
pendidikan berkelanjutan.
3. Kerjasama dengan pusat neurotrauma lain
4. Evaluasi berkala

Target pencapaian adalah menurunnya mortalitas dan morbiditas sebesar 1% per


tahun di RSUD Dr. Sutomo, sehingga pada lima tahun pertama tercapai angka
morbiditas dan mortalitas yang sama dengan pusat neurotrauma internasional.
Langkah awal adalah tersusunnya pedoman ini.

2
II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN

Proses pembuatan guideline atau Pedoman Praktek klinik cedera otak, diawali pada
tahun 2004 di SMF/ Lab. Bedah Saraf RSUD Dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga
dengan membentuk tim neurotrauma yang terdiri dari para ahli bedah saraf,
anestesi, peserta didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis di Instalasi
Rawat Darurat dan Instalasi Rawat Inap Bedah. Tim neurotrauma melakukan
pengumpulan data, identifikasi masalah, opini, pengalaman praktis dan studi
literatur serta penelitian yang berkaitan dengan cedera otak.

Pedoman ini terdiri dari dua bagian besa, yaitu algoritma tatalaksana cedera otak
di RSUD Dr. Soetomo dan rekomendasi untuk perawatan dan terapi baik dengan
intervensi pembedahan maupun tanpa pembedahan.

Pembuatan pedoman ini berdasarkan evidence based medicine dengan membagi


tingkat terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori rekomendasi yaitu A, B dan C
(Adelson 2003; Mod. SIGN / Scottish Intercollegiate Guideline Network 2011) :
A. Didapat dari level pembuktian klas I, adalah metode terapi atau
intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat
prospektif randomized controlled trial (RCT) atau meta analisis dari
penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan gold standard
atau standard (high degree of clinical certainty).
B. Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau
intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat
analisis baik prospektif maupun retrospektif (studi observasional,
kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode ini merupakan
guideline (moderate clinical certainty).
C. Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau
intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif,
serial case, dari data registrasi pasien, laporan kasus, review kasus,
dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode ini merupakan
option (unclear clinical certainty).

3
Level of Evidence (pembuktian klas)

Mod. SIGN ( Scottish Intercollegiate Guideline Network ) 2011


No level of Evidence finding
Evidence
1. I-a Evidence diperoleh berdasar hasil metaanalisis atau
sistemik review dari berbagai uji klinik acak dengan
kontrol/kelola (randomized controlled trials Study / RCT)
2. I -b Evidence berasal dari minimal satu uji klinik acak dengan
kontrol/kelola ( RCT)
3. II - a Evidence berasal dari paling sedikit satu uji klinik dengan
pembanding, tapi tanpa randomisasi
4. II - b Evidence berasal dari paling sedikit satu hasil penelitian
dengan rancangan quasi-eksperimental
5. III Evidence berasal dari penelitian deskriptif non
eksperimental (studi komparatif, korelasi dan studi kasus)
6. IV Evidence berasal dari laporan komite ahli atau opini,
maupun pengalaman klinik ahli yang diakui.

KLASIFIKASI REKOMENDASI ( EBM-HTA ) Adelson, 2003 :


(Diagnostik maupun Tindakan)
1. Gold Standard (High degree of clinical certainty) > ( I-a, I-B )
Rekomendasi : A
2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-a, II-b)
Rekomendasi : B
3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV )
Rekomendasi : C

4
Sistematika penulisan dan isi dari pedoman adalah sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kondisi di RSUD Dr. Soetomo sebagai rumah sakit tersier tipe A pendidikan.
Diharapkan secara mudah para klinisi, konsultan, peserta didik program dokter
spesialis dan mahasiswa kedokteran serta paramedis dapat menggunakannya.

Acuan dan rekomendasi yang disarankan, diperoleh dari penelitian klinis dan
laboratorium serta eksplorasi jurnal atau referensi, sehingga sangat mungkin
berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian
pendukung sehingga dihasilkan acuan dan rekomendasi dengan tingkat kepercayaan
klinis (clinical certainty) yang lebih tinggi.

Editor

5
III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM ( GENERAL MEASURES )

III. 1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage IRD


Triage atau penapisan, bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label
sesuai kegawatan. Semua pasien cedera otak segera dikonsultasikankan pada
dokter jaga bedah saraf.

III.2. Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat


1. General precaution
2. Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation)
3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik seluruh organ)
4. Pemeriksaan neurologis
5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan
6. Menentukan diagnosis pasti
7. Menentukan tatalaksana

III.2.1. Perlindungan Umum (General precaution )


Perlindungan umum (General precaution) terdiri dari :
a. Informed to Consent dan Informed Consent
b. Perlindungan diri
No Jenis Perlindungan
1. Mencuci tangan dengan antiseptik
- setelah terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda
yang terkontaminasi
- segera setelah melepas sarung tangan
- diantara pemeriksaan 2 pasien yang berbeda
2. Pemakaian sarung tangan
- jika akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau
benda – benda yang terkontaminasi
- jika bersentuhan dengan mukosa atau kulit yang tidak intak
3. Pemakaian Masker, dan goggles
- untuk melindungi mukosa mata, hidung dan mulut ketika akan
berhadapan dengan darah atau cairan tubuh
4. Pemakaian Jubah Pelindung ( gowns)
- untuk melindungi kulit dari darah atau cairan tubuh
6
- mencegah pakaian terkena kotoran selama prosedur pemeriksaan
yang melibatkan kontak dengan darah dan cairan tubuh
5. Linen
- hindari kontak kulit dan mukosa dengan linen kotor yang
terkontaminasi
- jangan mencuci linen kotor di daerah perawatan pasien
6. Alat perawatan pasien
- hindari kontak kulit dan mukosa dengan alat yang telah
terkontaminasi dan jangan sampai mengenai baju yang dipakai
serta lingkungan sekitarnya
- alat yang telah dipakai harus dicuci sebelum digunakan kembali
7. Kebersihan lingkungan
- area perawatan pasien harus dibersihkan secara rutin dengan
menggunakan desinfektan
8. Benda tajam
- jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan
- jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya
- jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum
bekas dengan tangan
- buang benda tajam di dalam kontainer anti tembus.
10. Resusitasi pasien
- hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece,
resusitation bags, atau alat bantu ventilasi lain.
11. Penempatan pasien
- pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan
ditempatkan pada ruangan khusus
Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( Dikutip dari Guidelines for Healthcare Facilities
with Limited Resources )

c. Persiapan alat dan sarana pelayanan

Sebelum melakukan tindakan maka dokter bertanggung jawab dalam kelengkapan


dan keberfungsian dari alat dan sarana kesehatan yang diperlukan dalam tindakan
yang akan dilakukan. Sebelum melakukan tindakan medik maka dokter yang akan
melakukan tindakan harus melakukan persiapan dan mejamin bahwa alat dan
sarana yang akan dipakai lengkap dan terjamin keselamatannya.

7
III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas

Pemeriksaan Evaluasi Perhatikan, catat, dan


perbaiki
A. Airway Patensi saluran napas ? Obstruksi ?
Suara tambahan ?
B. Breathing Apakah oksigenasi Rate dan depth
Efektif…. ? Gerakan dada
Air entry
Sianosis
C. Circulation Apakah perfusi Pulse rate dan volume
Adekuat …..? Warna kulit
Capilarry return
Perdarahan
Tekanan darah
D. Disability Apakah ada kecacatan Tingkat kesadaran-
( status neurologis ) neurologis …? menggunakan sistem
GCS atau AVPU.
Pupil (besar, bentuk,
reflek cahaya,
bandingkan kanan-kiri)
E. Exposure Cedera organ lain… ? Jejas, deformitas, dan
(buka seluruh pakaian) gerakan ekstremitas.
Evaluasi respon terhadap
perintah atau rangsang
nyeri
Tabel 3.2 Survei Primer Pasien cedera otak

III.2.3. Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak


1. Penanganan cedera otak primer
2. Mencegah dan menamgani cedera otak sekunder
3. Optimalisasi metabolisme otak
4. Rehabilitasi
8
III.3. Survey Sekunder
III.3.1 Anamnesis
Informasi yang diperlukan adalah:
– Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
– Keluhan utama
– Mekanisma trauma
– Waktu dan perjalanan trauma
– Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
– Amnesia retrograde atau antegrade
– Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang,
vertigo
– Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala
– Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala,
hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah
III.3.2 Pemeriksaan fisik Umum
Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta
pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:
– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,
– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)
Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah:
1. Pemeriksaan kepala
Mencari tanda :
a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka,
luka tembus dan benda asing.
b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill
hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan
otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis
auditorius.
c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima
orbita dan fraktur mandibula
d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan
bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.

9
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis
2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.
Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan
cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status
motorik, sensorik, dan autonomik.

III.3. 3 Pemeriksaan Neurologis


Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :
a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).
Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC
diklasifikasikan:
GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR)
GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS)
GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB)
b. Saraf kranial, terutama:
• Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya,
reflek konsensuil à bandingkan kanan-kiri
• Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.
c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal
detachment.
d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari
tanda lateralisasi.
e. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek
tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani.

10
III.4 Observasi
Menggunakan lembar observasi umum ( tanda vital: tensi, nadi, pernafasan,
dan suhu) dan lembar observasi neurologis khusus bedah saraf. Contoh lembar
observasi neurologis sebagai berikut:

Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat
kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5
menunjukkan bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan
penanganan yang kurang tepat

III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala


Indikasi pemeriksaan foto polos kepala :
1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Gejala neurologis fokal
4. Jejas pada kulit kepala

11
5. Kecurigaan luka tembus
6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba
8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak
9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko :
benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia > 50
tahun.

III.6. Pemeriksaan CT Scan


Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala :
1. GCS< 13 setelah resusitasi.
2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis,
kejang.
3. Nyeri kepala, muntah yang menetap
4. Terdapat tanda fokal neurologis
5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur
6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
7. Evaluasi pasca operasi
8. pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ )
9. Indikasi sosial

III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit


Pasien cedera kepala akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai
berikut:
1. Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran
2. Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan
muntah
3. Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi
4. Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus
5. Fraktur tengkorak
6. CT scan abnormal

12
7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah
sakit
8. Umur pasien diatas 50 tahun
9. Anak-anak
10. Indikasi sosial

III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala


Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan pesan :
- Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan
- Tidak ada gejala neurologis
- Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang
- Tak ada fraktur kepala atau basis kranii
- Ada yang mengawasi di rumah
- Tempat tinggal dalam kota

III.9 Lembar Pesanan saat Pulang


Pasien cedera kepala yang pulang diberi lembar peringatan. Harap segera
dibawa ke IRD bila :
- Muntah makin sering
- Nyeri kepala atau vertigo memberat
- Gelisah atau kesadaran menurun
- Kejang
- Kelumpuhan anggota gerak

III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif (ROI)


Kriteria pasien cedera otak yang memerlukan perawatan di ROI :
- GCS < 8
- GCS < 13 dg tanda TIK tinggi
- GCS < 15 dengan lateralisasi
- GCS < 15 dengan Hemodinamik tidak stabil.
- Cedera kepala dengan defisit neurologis belum indikasi tindakan
operasi.

13
- Pasien pasca operasi
Kriteria pasien pindah dari ROI ke Ruang HCU / F1
- pasien cedera kepala yang tidak memerlukan ventilator dan
transportable ( layak transport ).
- Telah dilakukan koordinasi dengan ruang HCU / F1

III.11 Kriteria masuk Ruang High Care Unit (HCU) / Ruang F1


- Pasien dengan CT scan abnormal yang belum indikasi operasi
- Pasien COR dan COS yang tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan
memerlukan observasi ketat.
- Pasien yang memerlukan perawatan dengan observasi ketat paska
pindah dari ICU/ROI IRD.

14
IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA OTAK

IV.1 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Ringan

Pasien

IRD 1. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC)


2. Anamnesis, fisik diagnostik
3. Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi
4. Pemeriksaan lab : DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi
5. Tx. Simtomatik + Antibiotik sesuai indikasi
6. Lapor jaga bedah saraf

• Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam


(anak < 2 tahun: D5 0.25 NS)
MRS di ruang • Puasa 6 jam
OPERASI
HCU - F • Obat simptomatik IV atau supp
• Observasi ketat sebagai pasien cidera
otak
• Catat keadaan vital dan neurologis bila
akan dikirim ke ruangan perawatan
ICU - ROI • Serah terima penderita serta informasi
lengkap keadaan penderita

VS. Stabil
Neurologis Stabil Cepat
memburuk

R. Perawatan ( LCU )

Resusitasi + Rediagnosis

KRS
ICU ROI - 1 Operasi

15
IV.2 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Sedang

Penderita

• Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang


collar brace
IRD • Lapor jaga bedah saraf
• Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya
• Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA, cross match)
• Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam
• Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis
• Obat simptomatik IV atau supp
• Bila telah stabil à CT scan kepala, foto leher lat, thorak
foto AP Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi
• Pasang kateter, evaluasi produksi urine

Operatif ICU-ROI MRS di ruang HCU - F

Membaik Memburuk

• Stabilisasi + Resusitasi
VS. Stabil
• Rediagnosis cito
Neurologis Stabil

ICU - ROI Operasi


Ruang
Perawatan (LCU)

16
IV.3 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Berat

Penderita • Resusitasi airway, breathing dan sirkulasi


• Bersihkan lendir, benda asing, jawthrust bila perlu, kepala tidak
boleh hiperextensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau
nasofaring tube bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut
dilakukan cricothyrotomi dan persiapan intubasi atau tracheostomi
• Intubasi + kontrol ventilasi ( PCO2 35 – 40 mmhg,, PaO2 : 80 – 200
atau Spo2 >97 % ), pasang pipa lambung
• Pasang collar brace
IRD • Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda-
tanda pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa..
• Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau
darah). Cari penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg.
• Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal
ginjal dan atau gagal jantung, à manitol 20% 200 ml bolus dalam
20 menit atau 5 ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/ kgBB dalam 20 menit
setiap 6 jam, jaga osmolalitas darah < 320 mOsm.
• Bila kejang : Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah hingga
kejang berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin
Lapor jaga bedah saraf bolus10-18 mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 20 ml iv pelan,
dilanjutkan 8 mg/kgBB
• Bila telah stabil Infus cairan isotonis (NaCl 0,9 %)
1,5 ml/kgBB/jam pertahankan euvolume,pemasangan CVP atas
indikasi.
. Pemeriksaan lab à DL, BGA, GDA, cross match
• Anamnesis à pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intake
terakhir, alergi
• Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
• Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi
• Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine
• Tanda vital stabil à CT scan kepala, foto leher lat, thorak fot AP,
• Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi
• Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaan
reflek oculocephalik
• Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan <15 mmhg.atau<22 cm
H2O pada pasien yang tidak ada indikasi operasi lesi intrakranial.
Bila ada lesi intrakranial indikasi operasi, ICP monitor dipasang
bersamaan saat operasi emergensi

• Bila keadaan fungsi vital telah stabil


Operasi • Catat keadaan terakhir sebelum dikirim ke ruangan ICU
• Lakukan serah terima secara lengkap ( keadaan penderita,
obat-obatan yang diberikan dan rencana perawatan)

MRS di ICU -ROI R. HCU - F R. Perawatan (LCU)

17
V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA

V.1 Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline 1) Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama
pasca trauma. Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin
dan levetiracetam.
2) Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin
dilakukan setelah 7 hari pasca trauma karena tidak
menurunkan resiko kejang fase lanjut pasca trauma.
3) Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang
fase dini pasca trauma
Option :-

Penjelasan Rekomendasi :
Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang
pasca trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi.
Diperbolehkan untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap
terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma
(early type) pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca
trauma. Fenitoin atau Carbamazepin terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe
dini oleh karena pada fase ini belum terbentuk fokus epilepsi. Penelitian Torbic tahun
2013 tentang levetiracetam sebagai obat anti epilepsi terbaru menunjukkan bahwa
levetiracetam memiliki efikasi yang sebanding dengan fenitoin sebagai profilaksis
kejang pasca trauma dan dibandingkan fenitoin, levetiracetam memiliki efek
samping yang lebih sedikit.
Kriteria pasien risiko tinggi kejang pasca trauma:
1. GCS ≤ 10
2. Immediate seizures
3. Kontusio kortikal
4. Fraktur linier
5. Penetrating Head Injury

18
6. Fraktur depresi
7. Alkoholik kronis
8. Post traumatic Amnesia> 30 menit
9. Epidural, subdural, atau intracerebral hematom
10. Defisit neurologis fokal
11. Usia ≥ 65 tahun atau ≤15 tahun

Dosis dan cara pemberian : Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk


menurunkan resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading
segera setelah trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kgBB dalam 100 cc
NS 0,9% dengan kecepatan infus maksimum 50 mg/menit.Pada pasien pediatri dosis
loading fenitoin yang direkomendasikan 10-20 mg/kgBB, diikuti dosis rumatan 5
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10
mg/kgBB/hari untuk mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml.
Pengobatan profilaksis dengan levetiracetam dilakukan dengan cara pemberian dosis
500 mg setiap 12 jam selama 7 hari setelah cedera otak tanpa pemberian loading
dose.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi Penilaian TP/DR Kesimpulan
1 Temkin Penelitian II/B Fenitoin hanya efektif untuk
et al., 1990 randomized double mencegah kejang dini pasca
blind untuk trauma
mengetahui
efektifitas
pemberian feniotin
untuk mencegah
kejang pasca
trauma
2 Golden N, Penelitian II/B Faktor resiko terjadinya epilepsi
1996 retrospektif dengan pasca trauma dini:
rancangan case -usia < 15 tahun

19
control study untuk -fraktur depress
mengetahui -lesi intrakranial
pengaruh faktor -defisit neurologis fokal
risiko terhadap
angka kejadian
epilepsi pasca
trauma dini
3 Annegers Penelitian II/B Faktor resiko yang signifikan:
et al., 1998 retrospektif untuk - subdural hematom
mengetahui - skull factures
karakteristik cedera - amnesia lebih dari satu hari
otak yang - usia > 65 tahun
berhubungan
dengan timbulnya
kejang pasca
trauma
4 Temkin Penelitian II/B Tidak didapatkan perbedaan
et al., 1999 randomized double- yang signifikan untuk terjadinya
blind untuk kejang pasca trauma lanjut
mengetahui pada pasien yang mendapatkan
efektifitas fenitoin terapi fenitoin selama 1 minggu
yang diberikan dibandingkan dengan yang
selama 1 minggu mendapatkan terapi asam
dibandingkan asam valproat selama 1 atau 6 bulan
valproat yang
diberikan selama 1
atau 6 bulan sebagai
profilaksis kejang
pasca trauma
5 Chang SB, Meta analisis II/B Pengobatan profilaksis dengan
Lowenstein beberapa penelitian Fenitoin, dimulai dengan dosis
DH, 2003 level l,ll untuk loading segera setelah trauma

20
mengetahui peranan efektif menurunkan resiko
profilaksis obat anti kejang dini pasca trauma.
epilepsi pada Profilaksis tidak efektif untuk
penderita cedera kejang fase lanjut. Faktor resiko
otak berat terjadinya kejang :
cedera otak berat, amnesia atau
tidak sadar berkepanjangan,
hematom intrakranial atau
kontusio serebri, dan fraktur
depress.
6 Torbic H Meta analisis II/B Profilaksis anti kejang efektif
et al., 2013 penelitian level I diberikan pada 1 minggu
dan II untuk pertama pasca trauma.
mengetahui Alternatif obat yang efektif
efektivitas obat- adalah phenytoin dan
obatan anti kejang levetiracetam.
dan faktor risikonya
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Algattas H and Huang JH. Traumatic brain injury pathophysiology and
treatments: early, intermediate and late phases post injury. Int. J. Mol.
Sci. 2014, 15, 309-41; doi: 10.3390/ijms 15010309.
Annegers JF et al. A Population Based Study of Seizure After Traumatic Brain
lnjuries. TheNEJM 1998
Chang S, Bemard and Lowenstein H Daniel. Practice parameter: Antiepileptic
drug prophylaxis insevere traumatic brain injury : Report of the Qua|ity
Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology.
Neurotogy 2003; 60:10-6.
Golden N. Pengaruh Faktor Resiko terhadap Angka Kejadian Epilepsi Pasca
Trauma Dini di RSUD Dr Soetomo. Karya Tulis Akhir PPDS I llmu Bedah
Saraf, Lab AJPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1996

21
Temkin et al. A randomized double blind study of phenytoin for prevention of
post traumaticseizures. The NEJM 1990; 323 :497-502.
Temkin et al. Valproate therapy for prevention of post traumatic seizures: a
randomized trial. J Neurosurg 1999;91:593–600.
Torbic H et al. Use of antiepileptics for seizure prophylaxis after traumatic
brain injury. Am J Health-Syst Pharm. 2013; 70:759-66

V2. Rekomendasi penggunaan manitol dan Sodium Laktat Hipertonis


Standard Terapi dengan menggunakan larutan sodium laktat hiperosmolar
lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan dengan
manitol
Guideline Manitol membantu menurunkan TIK pada pasien COB.
Pemberian secara bolus dengan dosis 0,25–1 gr/kgBB lebih
dianjurkan dibandingkan pemberian secara terus menerus
Option 1) Pemberian manitol dapat dilakukan sebelum pemasangan
ICP Monitor jika didapatkan tanda-tanda herniasi
transtentorial atau terjadi penurunan kesadaran yang
progresif. Serum osmolaritas harus dibawah 320 mmol/l
untuk mencegah terjadinya gagal ginjal. Pasien harus
dipertahankan dalam kondisi euvolemia dan dipasang
katater urine untuk memonitor produksi urine.
2) Terapi dengan menggunakan larutan sodium laktat
hiperosmolar lebih efektif dalam menurunkan TIK bila
dibandingkan dengan manitol

Penjelasan Rekomendasi :
Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat
menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan Intra vaskular (TIK
me↓→ CBF dan CPP me↑). Manitol secara bermakna menurunkan mortalitas COB
tipe “non surgical mass lesion” bila tidak ada episode hipotensi atau hipoksia selama
perawatan pada GCS 3–5 atau CT Scan menunjukkan kontusio serebri grade III
Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20%. Manitol diberikan bolus 0,25
– 1 gr/KgBB dalam 10 – 20 menit, setiap 4 – 8 jam. Sebelum memberikan manitol
22
harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit
darah. Penghitungan osmolaritas awal darah dilakukan sebelum pemberian manitol.
Dan harus terpasang foley kateter untuk pengukuran diuresis.
Osmolaritas = 2(Na+ + K+) + Glukosa/18 + BUN/2,8
Dalam menggunakan manitol maka harus dilakukan observasi ketat untuk menjaga
pasien agar tetap dalam keadaan euvolemia dan osmolaritas serum <320 mmol/l.
Euvolemia dipertahankan dengan penggantian volume cairan yang isotonis dan
harus dicegah terjadinya hipotensi (TDS <90 mmHg). Fenomena rebound dapat
dikurangi dengan pemberian bolus, dan penghentian manitol dilakukan secara
bertahap.

Sodium laktat hipertonis diberikan dengan dosis 1,5 ml/KgBB selama 15 menit dalam
setiap kali pemberian. Sodium laktat hipertonis dapat diberikan pada kasus dengan
peningkatan TIK, dengan kondisi hipovolemia atau hipotensi. Sodium laktat dapat
menurunkan TIK dengan jumlah pemberian yang lebih sedikit, penurunan TIK yang
lebih besar dan menurunkan TIK yang lebih cepat.

Komplikasi pemberian hipertonik salin diantaranya adalah rebound edema,


kerusakan BBB, penurunan tingkat kesadaran karena hipernatremia, dan central
pontine myelinolisis (CPM). Sodium laktat hipertonis dapat memberikan keluaran
pasien yang lebih baik dengan indikator Glasgow Outcome Scale, Barthel Index, dan
Karnoffsky Score bila dibandingkan dengan manitol dan dapat diberikan pada pasien
dengan kondisi syok.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Pembuktian (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Mendelow Penilaian pengaruh III/C Terjadi penurunan TlK, dan
et al.,1985 pemberian manitol 20 peningkatan CBF dan CPP
% dengan dosis 0,25 -
0,5g/kg intravena
terhadap TlK. CPP dan
CBF

23
2 Gemma Prospective II/B Hypertonic saline sama
et al., 1997 randomized efektifnya dengan manitol
Clinical study dalam menurunkan edema
membandingkan efek otak selama proses operasi
hypertonic saline 7,5 % bedah saraf
dengan manitol 20 %
3 Balafif F., Studi case control II/B Manitol secara bermakna
Bajamal A.H., Membandingkan antara menurunkan mortalitas COB
1999 pasien COB tipe "non tipe “non surgical mass
surgical mass lession" lession” bila tidak ada episode
yang mendapat hypotension atau hypoksia
manitol secara empiris selama perawatan pada GCS
dengan tanpa manitol. 3-5 atau CT scan
menunjukkan kontusio grade
lll
4 Qureshi Review dari literatur III/C Hipertonik saline
et al., 2000 tentang hipertonik salin menunjukkan efek yang
dalam terapi edema menguntungkan dalam hal
otak dan hipertensi penurunan TIK sekaligus
intrakranial menjaga hemodinamik pada
penelitian klinis dan di
laboratorium
5 Faris M., Penelitian eksperimen I/A Hipertonik sodium laktat dan
Wahyuhadi J., dengan analisis manitol efektif dan aman
2009 komparatif antara dalam pengobatan
pemberian sodium peningkatan TIK. Hipertonik
laktat dengan manitol sodium laktat lebih efektif
dalam menurunkan TIK dibandingkan manitol
6 Ichai C, Prospective open I/A Terapi dengan menggunakan
et al., 2009 randomized study larutan sodium laktat
membandingkan terapi hiperosmolar lebih efektif
sodium laktat dalam menurunkan TIK bila

24
hiperosmolar dengan dibandingkan dengan manitol
manitol dalam
menurunkan TIK pada
kasus cedera otak
7 Ardyansyah A., Penelitian eksperimen I/A Hipertonik natrium laktat
Wahyuhadi J., dengan analisis dapat menurunkan TIK lebih
2011 komparatif antara banyak dan lebih lama
pemberian Hipertonik dibandingkan manitol
natrium laktat dengan
manitol dalam
menurunkan TIK
8 Wakai Randomized control I/A Pemberian manitol lebih baik
et al., 2013 trial dengan pemberian dibandingkan dengan
manitol pada pasien pemberian pentobarbital dan
trauma akut cedera kurang menguntungkan jika
otak sedang dan berat dibandingkan dengan
pemberian cairan hipertonik
saline.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Ardyansah A., Wahyuhadi J., Perbandingan Pemberian Dosis Multipel
Hipertonik Natrium Laktat dan Manitol terhadap Penurunan Tekanan
Intrakranial pada Penderita Cedera Otak Berat tanpa Indikasi Operasi
dengan Tekanan Intrakranial lebih dari 20 mmHg, SMF Bedah Saraf
RSU Dr Soetomo, 2011
Balafif F., Bajamal A.H., Pengaruh Pemberian Mannitol secara empiris pada
penderita cedera otak berat tipe Non Surgical Mass Lession di RS dr.
Soetomo Surabaya. 1999
Faris M. Wahyuhadi J., Perbandingan Pengaruh Pemberian Hipertonik Sodium
Laktat dan Manitol terhadap Progresifitas Penurunan Tekanan
Intrakranial Penderita Cedera Otak Berat Lesi Non Operatif. SMF Bedah
Saraf RSU Dr Soetomo,2009

25
Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Catvi MR, Cipriani A, Garancini
MP. 7.5% Hypertonic saline versus 20% mannitol during elective
neurosurgical supratentorial procedures, J Neurosurg Anesthesiol,
1997;9(4):329 – 34
Ichai C, Armando G, Orban JC, et al. Sodium Lactate versus Mannitol in The
Treatment of Intracranial Hypertensive Episodes in Severe Traumatic
Brain-injured Patients. Intensive Care Med, 200935:471 – 479
Iskandar J. Cedera Kepala. BIP. 2004
Mendelow AD, et al. Effect of mannitol on cerebral blood flow and cerebral
perfusion pressure in human head injury. J Neurosurg 1985;63:43-9
Reilly P, Selladurai B. Initial Management of Head Injury: a Comprehensive
Guide. McGraw Hill, 2007, p177 – 205
Qureshi AI, Suarez JI, Use of hypertonic saline solutions in treatment of
cerebral edema and intracranial hypertension, Crit Care Med,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11008996 2000;28(9):3301-13
Wakai A, McCabe A, Roberts I and Schierhout G. Mannitol for acute traumatic
brain injury. Cochrane Database Syst Rev. Aug 5, 2013

V.3 Rekomendasi penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pemasangan


Kateter Ventrikel
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option 1. Pemberian antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter
ventrikel setiap 5 hari tidak mengurangi resiko infeksi
2. Penggunaan antibiotik lokal maupun sistemik tidak menurunkan
resiko infeksi pada pemasangan kateter ventrikel.

Penjelasan Rekomendasi :
Pada COB karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat pada tindakan
pemasangan ICP monitor, tindakan ventilasi mekanik dsb. Pada umumnya infeksi
ditemukan pada 10 hari pertama setelah pemasangan ventriculostomy. Tidak ada
pengaruh antara kateter yang diganti setiap 5 hari atau tidak. Infeksi memberi
26
pengaruh signifikan terhadap morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap dari
penderita.
Pada pemasangan ICP monitor jangka panjang terjadi kenaikan tingkat infeksi
sampai dengan 27% sedangkan penggunaan ICP monitor jangka pendek belum
terbukti menaikkan resiko morbiditas dan mortalitas. Dari seluruh pasien COB, tidak
ada insiden definitive terhadap infeksi CSF.

Cephalosporin generasi ke 1 dan 2 merupakan jenis antibiotik yang di


rekomendasikan. Pada trauma penetrasi craniocerebral, tidak didapatkan bukti yang
mendukung penggunaan antibiotik profilaksis namun para ahli menyarankan
pemberian antibiotika broad spectrum secara rutin berkaitan dengan beratnya
komplikasi yang mungkin terjadi.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Sunbarg Analisa rertrospektif dari III/C Dari seluruh pasien
et al.,1996 648 pasien yang COB tidak ada insiden
memakai TIK monitor. definitive terhadap
142-nya adalah COB. infeksi CSF.
Tidak ada yang
mendapat antibiotik
profilaksis.

2 Holloway Analisa retrospektif dari III/C 61 pasien dengan


et al.,1996 584 pasien cedera otak venticulostomy
berat berkaitan dengan ditemukan infeksi. Pada
efek penggantian kateter umumnya infeksi
terhadap insiden ditemukan pada 10 hari
terjadinya infeksi pertama setelah
pemasangan
ventriculostomy. Tidak
ada pengaruh antara
27
kateter yang diganti
setiap 5 hari atau tidak.

3 Arabi Analisa terhadap III/C Penggunaan antibiotik


et al., 2005 insidens infeksi lokal maupun sistemik
ventrokulostomy dan tidak menurunkan resiko
evaluasi terhadap faktor infeksi pada
resikonya. pemasangan kateter
ventrikel.

Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Arabi Y, Memish ZA, Balkhy HH, Ventriculostomy-associated infections:
Insidence and risk factors. ,Amj Infect Control 2005;33:137-43.
Holloway KL, Barnes T, Choi S. Ventriculostomy infections: the effect of
monitoring duration and catheter exchange in 584 patients. J
Neurosurg 1996;85:419–24.
Sundbarg G, Nordstrom C-H, Soderstrom S. Complication due to
prolonged ventricular fluid pressure recording. Br. J Neurosurg
1988;2:485–95.
Yuen, ECP.2004. The use of prophylactic antibiotic in trauma. Hong Kong
Journal of Emergency Medicine

V.4 Rekomendasi penggunaan analgetik


Standard : Belum ada data pendukung

Guideline 1. Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien


trauma kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari.
2. Obat-obatan NSAID lainnya seperti ibuprofen dan naproxen bisa
diberikan per-oral.
3. Ketoprofen supp dan acetaminophen supp bermanfaat
mengurangi nyeri pada COR.

28
Option 1. Belum ada data yang tidak membolehkan metamizol diberikan
pada pasien trauma kepala (Insiden agranulocytosis 92% terjadi
pada 2 bulan pertama pemakaian metamizol)
2. Indometasin dapat bermanfaat untuk menurunkan tekanan
intrakranial yang refrakter pada cedera kepala berat.

Penjelasan rekomendasi :
Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan TIK dan harus ditangani. Pada pasien
cedera otak terjadi peningkatan kadar PG dimana PG berperan dalam proses rasa
nyeri. NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen bermanfaat mengurangi
nyeri dengan menghambat sintesa PG melalui blokade enzim Cyclooxigenase (COX).
Acetaminophen bukan termasuk NSAID namun memiliki mekanisme yang sama
dalam menghambat sintesa PG melalui blokade enzim COX. Peningkatan kadar
prostaglandin terjadi pada pasien cedera otak. Namun pemakaian obat NSAID dapat
pula menyebabkan perdarahan saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal.

Indometasin merupakan golongan NSAID yang mempunyai sifat anti inflamasi,


analgesik dan antipiretik melalui efek inhibisi reversibel terhadap enzim COX.
Indometasin dapat berfungsi sebagai terapi alternatif dalam manajemen
peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter pada COB. Namun mekanisme aksi
indometasin dalam menurunkan cerebral blood flow (CBF) dan tekanan intrakranial
masih belum dipahami sepenuhnya.

Ketorolac untuk dewasa diberikan dengan dosis 30 mg intravena dosis tunggal atau
30 mg/6 jam intravena dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Metamizol diberikan
dengan dosis 500-1000mg/6 jam secara peroral, intravena atau perektal.

29
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan

1 Jacobi J Review literatur pada II/B Ketorolac dan


et al., 2002 Medline search 1994-2001 acetaminophen boleh
untuk penyusunan digunakan pada pasien
guideline dengan review trauma kepala
dari metaanalisis dan tabel
evidence

2 Hedenmalm Secara retrospektif III/C Insiden agranulocytosis


K et al., membahas laporan kasus 92% terjadi pada 2 bulan
2002 agranulocytosis akibat pertama pemakaian
pemakaian metamizole metamizole

3 Roberts Review : Peran III/C Indometasin


indometasin pada dipertimbangkan pada
et al., 2002
penanganan cedera kepala penanganan cedera kepala
dengan peningkatan TIK
yang refrakter

4 Prasetya H, eksperimental semu pada II/B Ketoprofen dan


Bajamal pemakaian ketoprofen dan acetaminophen bermanfaat
A.H., 2005 acetaminophen pada COR mengurangi nyeri pada
COR
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Hedenmalm K et al. Agranulocytosis and other blood dyscrasias
associated with dipyrone (metamizole). Eur J Clin Pharmacol
2002;58(4):265-74.
Jacobi J et al. Clinical practice guidelines for the sustained use of sedatives
and analgesics in the critically ill adult. Am J Health Syst Pharm
2002;59(2):150-78

30
Prasetya H, Bajamal A.H. Perbandingan Efek Analgetika antara Pemberian
Paracetamol 650 mg Suppositoria denganKetoprofen 100 mg
Suppositoria terhadap Nyeri Kepala pada Penderita Cedera Otak
Ringan. Karya Akhir, 2005.
Roberts R, Redman J. Indomethacin - A Review of its Role in the Management
of Traumatic Brain Injury. Critical Care and Resuscitation 2002; 4: 271-
280

V.5 Rekomendasi penggunaan kortikosteroid


Standard : Penggunaan glukokortikoid tidak direkomendasikan untuk pasien
dengan COB. Glukokortikoid tidak meningkatkan keluaran dan
menurunkan TIK pada pasien dengan COB
Guideline : Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada pasien memar otak
secara statistik hasil terapi tidak berbeda bermakna
Option : Tidak ada penurunan angka kematian dengan pemberian
metilprednisolon dalam 2 minggu setelah cedera kepala

Penjelasan rekomendasi :
Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak dan kerusakan reseptor
kortikosteroid. Cedera otak juga menyebabkan kenaikan kadar kortikosteroid atau
meningkatkan pemakaian reseptor protein dan karenanya penggunaan kortikosteroid
tidak efektif karena terbatasnya jumlah reseptor protein yang masih ada dan
sebagian reseptor kortikosteroid mengalami kerusakan sehingga pembentukan
lipokortin juga terbatas. Hal ini juga menyebabkan toleransi kortikosteroid
terganggu.

Pada beberapa kasus dilaporkan efek samping penggunaan kortikosteroid yang


terjadi bisa timbul perdarahan gastrointestinal dan infeksi. Karena adanya
peningkatan mortalitas dan manfaat yang kurang pada penggunaan kortikosteroid
dibeberapa penelitian menjadi pertimbangan untuk tidak memberikan kortikosteroid
pada pasien dengan cedera otak.

31
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Kasan U., 1994 Penelitian prospektif II/B Outcome terapi dengan
komparatif penggunaan dan tanpa
dengan dan tanpa kortikosteroid pada
kortikosteroid pada pasien memar otak
pasien cedera otak secara statistik tidak
berbeda bermakna
2 Aiderson P., 1997 Penelitian Randomized I/A Review sistemik pada
Controlled Trials untuk RCT untuk
menilai kuantitas kortikosteroid pada
efektifitas dan cedera otak akut
keamanan tentang menunjukan efek yang
penggunaan tidak jelas
kortikosteroid pada
trauma kepala
3 CRASH trial Penurunan angka III/C Tidak ada penurunan
collaborators, kematian dengan angka kematian
2004 pemberian dengan pemberian
metilprednisolon dalam metilprednisolon dalam
2 minggu setelah 2 minggu setelah
cedera kepala cedera kepala
4. Alderson P., 2005 Penelitian Randomized I/A Penelitian yang
Controlled Trials untuk terbesar menyimpulkan
menilai kuantitas mortalitas dengan
efektifitas dan steroid pada penelitian
keamanan tentang ini menyarankan
penggunaan steroid tidak lagi
kortikosteroid pada digunakan rutin pada
trauma kepala cedera otak
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

32
Referensi
Alderson P, Roberts I. Corticosteroid for acute traumatic brain injury, 2005
CRASH trial collaborators, Effect of intravenous corticosteroids on death
within 14 days in 10 008 adults with clinically significant head injury
(MRC CRASH trial): randomized placebo-controlled trial Lancet 2004;
364: 1321–28
Alderson P. Corticosteroids in acute traumatic brain injury: systemic review of
randomized controlled trials, BMJ 1997.
Kasan U. Penatalaksanaan Penderita Memar Otak Penelitian Prospektif
Komparatif dengan dan tanpa penggunaan Kortikosteroid, disertasi
1994.

V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer


Standard : Baik propofol, midazolam, ataupun kombinasi keduanya dinyatakan
aman untuk pasien dengan trauma kepala.
Guideline 1. Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman dan efektif
untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP.
2. Propofol memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta
memudahkan dalam evaluasi fungsi neurologis secara awal.
3. Dexmedetomidine merupakan sedasi tanpa efek neurologis dan
memberikan efek proteksi pada otak.
Option :-

Penjelasan rekomendasi :
Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera otak,
dapat memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan memastikan
pasien dalam keadaan yang nyaman. Dapat dilihat dalam table di bawah ini, pilihan
yang sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi mekanik. Agent sedasi yang
ideal haruslah (i) menurunkan CMRO2 sekaligus mempertahankan suplai oksigen ke
otak. (ii) menurunkan TIK tanpa menurunkan CPP (iii) memelihara autoregulasi otak
dan reaktifitas vascular terhadap CO2 (iv) memiliki onset yang cepat (v) mudah
dalam pengendalian kedalaman dan durasi sedasinya (vi) memiliki therapeutic

33
window untuk evaluasi status neurologis dan deteksi komplikasi neurologis.
Pemberian sedatif dapat digunakan sebagai tertiary management kontrol TIK.

Propofol loading dose diberikan 1-2 mg/kgBB dan diberi dosis rumatan 1-3
mg/kgBB/jam. Midazolam loading dose diberikan 0,03-0,3mg/kg diberikan dalam 20
menit; dan dosis rumatan 0,03-0,2mg/kg/jam. Penthotal loading dose diberikan 5-
10mg/kg BB diberikan dalam 10 menit, dan di beri dosis rumatan 2-4mg/kgBB/jam.
Phenobarbital: Bolus 2-5 mg/kgBB atau Thiopenthal 2-10 mg/kg BB diikuti infus
siringe pump (0.3-7.5 mg/kgBB/jam) atau thiopental 1-6 mg/kg/hr.
Dexmedetomidine diberikan dengan loading dose 0,5-1 mcg/KgBb selama 10 menit,
diikuti dengan dosis maintanance 0,2-0,3 mcg/KgBb/jam.

Analgesia and sedation strategy in patients with various acute neurological conditions
Head injury, Head injury, Cerebrovascular Hepatic Alcohol
mechanical spontaneus accident encelophaty withdrawl
ventilation, breathing GCS syndrome
GCS ≤ 8 >8
Analgesia Opioids NSAID - - -
Sedation Midazolam Light sedation: Light sedation: Isoflurane for Midazolam
Propofol propofol & propofol & short periods Other
Barbiturates midazolam midazolam benzodiazepines
(Uncontrolled Neuroleptic. Neuroleptic. Clonidine
ICP) Phenothiazine Phenothiazine Neuroleptics
Clomethiazole
Antagonist No No No? Yes Yes
Monitoring Vital functions, Vital functions, Vital functions, Vital functions, Vital functions,
invasive neurologial neurologial neurologial neurological
haemodinamic functions functions functions, liver function.
monitoring, function tests
ICP SjO2
GCS, Glasgow coma score; ICP, intracranial pressure; NSAID, non-steoidal anti-inflamatory drugs;
SjO2, oxygen saturation of the jugular vein.

34
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Sanchez Meneliti safety dan I/A Baik propofol, midazolam,
et al., 1998 efficacy penggunaan ataupun kombinasi keduanya
propofol; midazolam dinyatakan aman untuk pasien
araupun kombinasi dengan trauma kepala.
propofol dan
midazolam pada
pasien trauma kepala
2 Karabinis Meneliti safety dan I/A Waktu pemeriksaan
et al., 2004 efficacy sedasi neurologis lebih cepat dan
berbasis analgesia lebih mudah diprediksi dengan
menggunakan menggunakan ramifentanil
ramifentanil, dibandingkan dengan
kombinasi dengan penggunaan fentanil ataupun
midazolam dan morphin.
propofol
dibandingkan dengsn
fentanil, morphin
kombinasi dengan
midazolam dan
propofol di unit
perawatan neuro-
intensif.
3 Chen HI Meneliti penggunaan III/C Penggunaan barbiturat dapat
et al., 2008 barbiturat terhadap meningkatkan oksigenasi
keadaan intractable jaringan otak pada penderita
peningkatan TIK dengan TIK yang meningkat
ketika penggunaan pasca trauma.
terapi sedasi dan
terapi osmotik gagal.

35
4 Shigemori Pertimbangan II/B Diazepam dapat digunakan
M et al., penggunaan sedasi pada kasus epilepsy tetapi
2012 tidak cocok untuk
mengevaluasi tingkat
kesadaran. Midazolam
mengurangi CBF sehingga
cenderung aman dan efektif
untuk anestesiadan sedasi
pasien dengan peningkatan
ICP. Propofol memberikan
hasil yang baik dalam fungsi
sedasi serta memudahkan
dalam evaluasi fungsi
neurologis secara.
Dexmedetomidine merupakan
sedasi tanpa efek neurologis
dan memberikan efek proteksi
pada otak.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi:
Chen HI, Malhotra NR, Oddo M, Heuer GG, Levine JM, LeRoux PD. Barbiturate
infusion for intractable intracranial hypertension and its effect on brain
oxygenation. Neurosurgery. 2008 Nov;63(5):880-6; discussion 886-7. doi:
10.1227/01.NEU.0000327882.10629.06.
Ederoth P et al. Blood-brain barrier transport of morphine in patients with
severe brain trauma. Br J Clin Pharmacol.2004;57(4):427-35
Karabinis A et al. Safety and efficacy of Analgesia-based regimens in intensive
care unit patients with brain injuries: a randomized, controlled trial. Crit
Care.2004;8(4): 268 - 80.
Rivier MC, Cholero R, and Ravussin P. Sedation and Analgesia for the Brain-
Failure Patient. In: Sedation and Analgesia in the Critically Ill. Ed. By Park
GR and Sladen RN. Blackwell Science 1995. pp 130-144

36
Sanchez-Izquierdo-Riera JA et al. Propofol versus Midazolam: safety and
efficacy for sedating the severe trauma patient. Anesth Analg.
1998;86(6):1219-24.
Shigemori M et al. Guidelines for management severe head injury 2nd Edition.
Guidelines from the guidline committee on the managemnt of severe head
injury in Japan Society of Neurotraumatology. Neurol. Med. Chir (Tokyo)
52, 1 – 30, 2012.

V.7 Rekomendasi pemberian nutrisi


Standard : Pemberian nutrisi dini
Guideline 1. Pemberian nutrisi diberikan secara bertahap dan kebutuhan total
harus tercapai dalam 7 hari setelah trauma.
2. Kebutuhan nutrisi pasien cedera otak yang tidak dilumpuhkan
sebesar 140% dari kebutuhan basal, dan pada pasien yang
dilumpuhkan sebesar 100% dari kebutuhan basal
3. Nutrisi dapat diberikan secara enteral dan parenteral
4. Sedikitnya 15% dari asupan energi harus mengandung protein
5. Pemberian lemak sebaiknya yang merupakan kombinasi Long-
Chain Triglyserides (LCT) dan Medium-Chain Triglyserides (MCT)
Option : Pemberian melalui gastrojejunostomy untuk menghindari masalah
pengosongan lambung dan memudahkan pemberian dan
terhindar dari tercabut saat pasien gelisah karena letaknya yang
jauh dari wajah pasien

Penjelasan Rekomendasi :
Cedera otak meningkatkan respon metabolik dan katabolik tubuh sehingga
membutuhkan nutrisi yang cukup. Disarankan pemberian early feeding yang adekuat
karena memberikan survival dan disability outcome yang lebih baik pada pasien
dengan cedera otak. Belum ada penelitian yang menunjukkan metode pemberian
mana yang paling baik

Dari penelitian diketahui bahwa pemberian kombinasi LCT dan MCT mungkin dapat
memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme protein di viscera pasca
37
trauma. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian late feeding (lebih dari 1 minggu
setelah trauma) berhubungan dengan nitrogen loss yang besar disertai penurunan
berat badan sebesar 15% perminggu. Untuk mencapai pemenuhan nutrisi pada hari
ke-7, maka pemberian nutrisi harus dimulai paling lambat 72 jam setelah trauma
atau cedera.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No. Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1. Calon B Meneliti nilai metabolik MCT II/B MCT memiliki efek
et al.,1990 dan LCT pada penderita menguntungkan
trauma kepala pada metabolisme
protein viseral pasca
trauma
2. Sarafzadeh Mengukur perubahan II/B Hiperventilasi
et al.,2003 metabolik pada penderita memiliki potensi
impending atau manifest terjadinya efek
hypoxia pada pasien cedera samping
otak. Meneliti safety dan metabolisma
efficacy penggunaan propofol cerebral. Keadaan
dan midazolam pada pasien metabolisme cerebral
trauma kepala anaerob tergantung
dari derajat dan
lamanya episode
hipoksik
3. Krakau K Systematic review mengenai I/A Hasil review
et al., 2006 status metabolik dan terapi menunjukkan
nutrisi pada penderita cedera peningkatan
otak sedang – berat metabolic rate,
hiperkatabolisme,
dan intoleransi
gastrointestinal
sampai 2 minggu

38
pasca trauma.
Kecenderungan
morbiditas dan
mortalitas yang lebih
rendah pada
penderita yang
mendapat early
feeding
4. Aaron M. Cook Review artikel III/C Terapi nutrisi
et al., 2008 termasuk pemberian
cairan yang tepat
dan monitoring
elektrolit yang ketat
untuk mencegah
kelebiihan cairan,
elektrolit atau
glukosa yang dapat
merugikan pasien.
5. Roger Hartl Penelitian retrospektif pada III/C Jumlah nutrisi
et al., 2008 pasien dengan cedera otak berhubungan dengan
berat dan pemberian nutrisinya mortalitas.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi:
Aaron M. Cook et al. Nutrition Considerations in Traumatic Brain Injury.2008
Calon B et al. Long-chain versus medium and long-chain triglyceride-based fat
emulsion in parental nutrition of severe head trauma patients.
Infusiontherapie.1990;17(5):246-8.
Krakau K et al. Metabolism and nutrition in patients with moderate and severe
traumatic brain injury:A systemic review. Brain Inj.2006;20(4):345-67.
Roger Hartl et al. Effect of early nutrition on deaths due to severe traumatic
brain injury. 2008

39
Sarrafzadeh AS et al. Metabolic changes during impending and manifest
cerebral hypoxia in traumatic brain injury. Br J Neurosurg. 2003;17 (4)
: 340-6

V.8 Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid


Supresssor Agent
Standard : Pemberian terapi farmakologis profilaksis acid supressive agent
dengan H2 blocker, proton pump inhibitor (PPI), dan gastric
mucosal protector dapat membantu penurunan insiden perdarahan
gastrointestinal dan stress related mucosal damage (SRMD). Proton
pump inhibitor (PPI) lebih dianjurkan karena memiliki karakteristik
cara kerja dan durasi kerja yang lebih baik dibandingkan H2 Blocker
dan gastric mucosal protector
Guideline :-
Option :-

Penjelasan rekomendasi
Pemberian regimen profilaksis Acid suppressor agent dapat menurunkan insiden
perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stress ulcer dengan pengaturan
PH asam lambung. PPI mempunyai keunggulan dibandingkan regimen lainnya
karena site of action memblokade jalur akhir produksi asam lambung dan durasi
kerja yang lebih lama. Dosis anjuran omeprazole 40mg/12jam iv atau 40mg/hari
peroral atau personde (Messori et al., 2000., Michelle et al., David C. Metz, 2005)

Ranitidin diberikan dengan dosis 150 mg/12 jam secara peroral atau personde, 50
mg/6-8 jam secara intravena atau dapat diberikan secara kontinyu intravena
perinfus dengan dosis 6,25 mg/jam. Sedangkan Sucralfat sebagai mucosal protector
diberikan dengan dosis 1 gr/6 jam.

40
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1 S Trippoli, Meta analisis dari I/A Pemberian ranitidine dan
et al., penelitian tentang sucralfat kurang efektif dalam
2000 penggunaan ranitidine pencegahan perdarahan
versus sucralfat dalam gastrointestinal yang
pencegahan stress ulcer disebabkan oleh stress ulcer
2 Michelle Meta analisis dari I/A Pemberian obat profilaksis
E, Allen, Randomized Controlled untuk pencegahan perdarahan
2004 Trials tentang gastrointestinal yang
profilaksis terapi disebabkan oleh stress ulcer
terhadap stress ulcer memberikan hasil yang sedikit
significan dalam menurunkan
insiden perdarahan
gastrointestinal
3 David C. Meta analisis dari I/A Pemberian regimen acid
Metz,2005 Randomized Controlled suppressive agent dapat
Trials tentang mencegah terjadinya SRMD
penggunaan acid dan stress ulcer dengan
suppressive agent untuk menjaga keasaman lambung.
pencegahan SRMD dan
stress ulcer
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
David C. Metz. Preventing the Gastrointestinal Consequences of Stress-
Related Mucosal Disease. Medscape. 2005
Michelle E. Allen; Brian J. Kopp; Brian L. Erstad. American Society of Health-
System Pharmacists. ASHP therapeutic guidelines on stress ulcer
prophylaxis. Am J Health-Syst Pharm. 1999;56:347-79.
S Trippoli, M Valani, M Govini, A Corrado. Bleeding and pneumonia in
intensive care patients given ranitidine and sucralfate for prevention

41
of stress ulcer: meta-analysis of randomized controlled trials. BMJ
2000;321:1103-07

V.9 Rekomendasi penggunaan Citicoline


Standard : Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang
signifikan dibandingkan dengan kelompok placebo
Guideline 1. Pemberian citicolin pada pasien sindroma post concussion,
ditemukan perbaikan memori dan pengurangan gejala-gejala
pasca comotio
2. Penilaian dengan Glasgow Outcome Scale 3 bulan pasca
cedera menunjukkan perbaikan yang bermakna
Option : Pemberian Citicolin pada jangka waktu lama setelah cedera
Otak dapat memberikan peningkatan kemampuan Kognitif

Penjelasan Rekomendasi :
Citicoline (Cytidine 5-diphosphocholine atau CDP-Choline) berfungsi mengaktivasi
biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan metabolise otak
dan menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicolin
juga berfungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K ATPase
serta menghambat enzim phospholipase A2.

Citicolin dapat diberikan pada pasien cedera otak saat setelah kejadian maupun
jangka lama dan hasilnya menunjukkan perbaikan dalam pengurangan gejala
sindroma post concussion, perbaikan Glasgow Outcome Scale dan fungsi kognisinya.
Pemberian dapat diberikan dengan dosis 1 gram/hari baik PO maupun injeksi. Hasil
penelitian :
a) Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang signifikan
dibandingkan dengan kelompok placebo
b) Adanya perbaikan dalam fungsi memori pada pasien dengan pemberian citicolin
dibanding tanpa pemberian obat tersebut

42
a) Adanya perbaikan dalam fungsi motor, kognisi dan psikis serta didapatkan
adanya pemendekan masa waktu rawat inap pada pasien dengan pemberian
citicoline

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penilaian TP/DR Kesimpulan
1 Levin HS, 1991 Penelitian double blind II/B Hasil: adanya perbaikan
placebo-control untuk dalam fungsi memori
menilai efikasi pada pasien dengan
citicoline dengan pemberian citicoline
pemberian 1 gram dibanding dengan tanpa
tablet selama 1 bulan pemberian obat tersebut
pada 14 orang untuk (p<0,02)
pengobatan tanda dan
gejala sindroma post
concussional setelah
cedera otak ringan
dan sedang
2 Calatayud MV, Penelitian single blind II/B Hasil: adanya perbaikan
Perez JB, Aso randomized pada 216 dalam fungsimotor,
Escario J., 1991 pasien cedera otak kognisi dan psikis serta
sedang dan berat didapatkan adanya
yang menerima pemendekan masa
pengobatan citicoline. waktu rawat inap pada
pasien dengan
pemberian citicoline
3 Spiers Laporan kasus 2 III/B Citicoline memberikan
PA,Hochanadel pasien dengan hasil perbaikan fungsi
G, 1999 pemberian citicoline kognisi setelah cedera
selama 1,5 sampai 4 otak sedang dan berat.
tahun setelah cedera
otak

43
4 Zafonte et al, CORBIT (The I/A Citicoline tidak
2009 Citicoline Brain Injury memberikan perbaikan
Treatment), suatu outcome yang signifikan
RCT besar yang dibandingkan dengan
menilai efektifitas kelompok placebo
pemberian citicoline
terhadap outcome
fungsional pasien
dengan cedera kepala
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi:
Levin HS. Treatment of postconcussional symptoms with CDP-coline. J
Neurology Science.103: 539-42, 1991
Maldonado VC ef aI. Effects of CDP-coline on the recovery of patients with
head injury. JNeurology Science. 103: 515-18, 1991
Spiers PA, Hochanadel G: Citicoline for traumatic brain injury: report of two
cases, includingmy own. J lnt Neuropsychol Soc. 5:260-2&+, 1999
Zafonte R, et al. The Citicoline Brain Injury Treatment (COBRIT) Trial. Journal
of Neurotrauma 26:2207–2216 (December 2009)

V.10 Rekomendasi Penggunaan Piracetam


Standard : Belum ada data pendukung
Guideline 1. Pemberian piracetam dengan dosis 24-30 gr/hari secara
bermakna dapat memberikan efek memperbaiki gejala neurologis
pada pasien cedera otak.
2. Setelah pengobatan piracetam 8 minggu dengan dosis 4800 mg
ditemukan pengurangan tanda dan gejala sindroma post
concussional seperti vertigo, sakit kepala, kelelahan, gangguan
kesadaran, peningkatan kerinqat dan gejala lain.
3. Dosis 40-50 mg/kg (1600 – 2400 mg/hari) memberikan hasil yang
positif untuk memperbaiki kondisi pasien yang dapat dilihat pada
parameter kemampuan fungsi kognitif (memori, atensi) dan

44
fungsi koordinasi motorik
Option : Dosis tinggi piracetam (24-30 g/hari) memperbaiki kondisi pasien
jika pengobatan dimulai segera setelah cedera.

Penjelasan Rekomendasi :
Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu katabolisme
oksidatif, meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level cAMP, memperbaiki
metabolisme phospholipid dan bio-sintesis protein. Piracetam juga memperbaiki
fungsi penggunaan oksigen dan glukosa oleh otak serta peningkatan perfusi lokal
→ dapat dilihat pada parameter partial oxygen pressure (oxygen therapy) dan KGD.

Pemakaian piracetam dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun pasca
cedera dengan gejala sindroma post concussion dengan efek memperbaiki gejala
neurologis dan kesadaran. Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak
adalah 24-30 gr/hari baik injeksi maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan
dosis PO 4,8 gr/hari.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Hakkarainen Penelitian double-blind II/B Hasil: setelah pengobatan,
H., Hakamies dengan 60 pasien dengan 8 minggu ditemukan
L., 1978 sindroma post concussion pengurangan tanda dan gejala
yang diberikan selama 2- sindroma post concussion
12 bulan, dengan dosis seperti vertigo, sakit kepala,
4800 mq perhari. kelelahan, gangguan
kesadaran, peningkatan
kerinqat dan gejala lain.
2 Goscinski l, Penelitian prospektif II/B Hasil: Dosis 24-30 g/hari
et al., 1998 kasus-kontrol untuk memberikan hasil yang positif
mengetahui efektifitas untuk memperbaiki kondisi
pemberian piracetam pasien yang dapat dilihat pada
pada 100 pasien cedera parameter: partial oxygen

45
otak sedang dan berat pressure dan kadar gula darah
3 Goscinski l, Penelitian observasional III/C Hasil: dosis tinggi piracetam
et al., 1999 yang dilakukan pada tahun (24-30 g/hari) memperbaiki
1995-1996 dengan jumlah kondisi pasien jika pengobatan
pasien 100 orang untuk dimulai segera setelah cedera.
mengetahui pengaruh
piracetam pada cedera
otak.
4 Zavadenko Penelitian prospektif II/B Hasil: Dosis 40-50 mg/kg
NN, et al., case/control untuk (1600 – 2400 mg/hari)
2008 mengetahui efektifitas memberikan hasil yang positif
pemberian piracetam untuk memperbaiki kondisi
pada 42 pasien trauma pasien yang dapat dilihat pada
kepala tertutup cedera parameter kemampuan fungsi
otak sedang dan berat kognitif (memori, atensi) dan
fungsi koordinasi motorik.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi:
Hakkrainen, H. & Hakamies, L. Piracetam in the treatment of post-
concussional syndrome. Eur Neurol 17, 50-55, 1978
Goscinski l, Sliwonik S, SondejT, KwiatkowskiS, Moskala M, CichonskiJ,
Wegrzyn D, Uhl H, Piracetam in severe cranio-cerebral injuries. Neurol
Neurochir Pol Sep-Oct;32(5):1't 89-97, 1 998
Goscinski l, Moskala M, Cichonski J, Polak J, Krupa M, Sliwonik S, Sondej T,
Clinical observations conceming piracetam treatment of patients after
craniocerebral injury, Przegl Lek;56(2):1 19-20, 1999
Zavadenko NN, Guzilova LS, The consequences of closed traumatic brain
injury and piracetam efficacy in their treatment in adolescents.
Neurosci Behav Physiol; 108(3):43-8, 2008.

46
V11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptida
Standard Belum ada data yang mendukung
Guideline Belum ada data yang mendukung
Option Neuroprotektif pada cedera otak traumatik untuk mencegah dan
mengurangi cedera sekunder, serta meningkatkan proses
pemulihan dari cedera. Neuroprotektif ditargetkan untuk
mengurangi kerusakan otak dan memberikan harapan yang bagus
pada kasus cedera otak dan stroke.

Penjelasan Rekomendasi:
Tujuan utama neuroprotektif pada cedera otak traumatik adalah untuk mencegah
dan mengurangi cedera sekunder, serta pada proses pemulihan dari cedera,
sedangkan tujuan neuroprotektif pada stroke adalah untuk mencegah kematian
saraf di daerah penumbra. Ada mekanisme absolut dan relatif proses
neuroprotektif. Mekanisme relatif meliputi : modulasi saluran kalsium, modulasi
saluran sodium, modulasi antagonis NMDA reseptor, modulasi antagonis GABA
reseptor, antioksidan, anti radikal bebas, adesi molekul, agonis dan antagonis
adenosin. Mekanisme absolut meliputi : faktor neurotropik, neurotrophic factor-like
molecules, sitokin.

Faktor neurotropik berperan dalam : pembangunan ontogenetik yang berperan


dalam kontrol selular proliferasi dan diferensiasi (ekspresi dari fenotipe mediator,
saluran ion, pertumbuhan neurit), promosi kelangsungan hidup neuron (jika ada
tidak merusak agen) sepanjang hidup dan mempertahankan fenotip, meningkatkan
daya tahan sel neuron akibat agen yang merusak (hipoksia, iskemia, hipoglikemia,
eksisitotoksis, zat toksik, dan trauma), serta neuroproteksi, neuroplastisitas dan
aktivitas sinaptik dalam proses belajar

47
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1. Muresanu Review , neuroprotektif III/C Neuroprotektif meningkatkan
et al., 2007 pada cedera otak daya tahan sel neuron akibat
traumatik adalah untuk agen yang merusak
mencegah dan (hipoksia, iskemia,
mengurangi cedera hipoglikemia, eksisitotoksis,
sekunder, serta pada zat toksik, dan trauma)
proses pemulihan dari
cedera.
2. Teasdale, G.M Review, neuroprotektif III/C Konsep neuroproteksi telah
et al., 1997 ditargetkan untuk semakin luas diketahui
mengurangi kerusakan dengan memberikan terapi
otak dan memberikan sedini mungkin dan banyak
harapan yang bagus hal-hal baru yang diketahui
pada kasus cedera berperan dalam mekanisme
otak dan stroke cedera otak dan banyak
dikembangkan secara luas
obat neuroprotektan yang
punya target yang spesifik
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Muresanu FD, et al. Neuroprotection and Neuroplasticity in Craniocerebral
Trauma. Romanian Journal of Neurology 2007. Vol VI, No. 4. Page:
154-165
Teasdale, G.M & Bannan, P. E. 1997. Neuroprotection in Head Injury. In Head
Injury. Pathophysiology and Management of Severe Closed Injury.
Editor : Reilly, P; Bullock, R. Page : 423-436. Chapman & Hall Medicaal.
London. UK

48
V.12 Rekomendasi penggunaan sel punca (Stem Cell)
Terapi sel punca telah mengalami kemajuan signifikan sebagai strategi pengobatan
untuk berbagai penyakit selama dekade terakhir. Cedera otak dapat menyebabkan
kematian sebagian sel otak. Saat ini terdapat beberapa data dari banyak
laboratorium bahwa pengobatan cedera otak (TBI), stroke, perdarahan intraserebral,
cedera tulang belakang, dan penyakit neurodegeneratif menggunakan sel batang
mesenchymal (MSC) menghasilkan manfaat fungsional, meskipun tanpa mengurangi
lesi, menunjukkan bahwa sel-sel ini merangsang pemulihan fungsi dan merombak
cedera jaringan.

Tabel Pembuktian (Evidence) Clinical Trial


No Penulis Deskripsi Kesimpulan
1 Harting, T.M Penelitian Infus intravena sel punca mesenkimal
et al., 2008 prospektif tidak menghasilkan hasil yang signifikan
menggunakan dari sel yang rusak atau proses
hewan coba tikus pemulihan motorik atau fungsi kognitif
sampel.
2 Harting, T.M Penelitian Kombinasi sel punca embrionik
et al., 2009 prospektif pluripotentiality dengan beberapa hasil
menggunakan diferensiasi sel germinal memiliki
hewan coba tikus kerangka kerja konseptual yang baru
untuk perbaikan SSP.
3 Richardson Review Literatur Dengan paradigma baru neurogenesis
R.M et al., endogenik dan transplantasi diferensiasi
2010 NPC memberikan harapan pada terapi
penyakit destruktif SSP seperti TBI dan
SCI.
4 Tajiri N, et al., Experimental Penurunan yang signifikan dari
2014 menggunakan kerusakan dan kehilangan sel dari
hewan coba tikus korteks dan hippocampus pada terapi
Intravenous transplants of human
adipose-derived stem cell
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
49
Referensi
Chopp M., Mahmood A., Lu D., Li Y., Mesenchymal stem cell treatment of
traumatic brain injury. J Neurosurg 110:1186–1188, 2009.,
Departments of Neurology and Neurosurgery, Henry Ford Health
System, Detroit, Michigan
Harting TM., Baumgartner J.E., Worth L.L., Ewing-Cobbs L., Gee A.P., Cell
therapies for traumatic brain injury, Neurosurg Focus 24 (3&4):E17,
2008
Harting TM., Jimenez F., Xue H., Fischer U.M., Baumgartner J., Intravenous
mesenchymal stem cell therapy for traumatic brain injury, J.
Neurosurg. / Volume 110 / Page 1189–1197 / June 2009
Richardson R.M., et all., Stem cell biology in traumatic brain injury: effects of
injury and strategies for repair,. J Neurosurg 112:1125–1138, 2010
Tajiri N, et al. Intravenous transplants of human adipose-derived stem cell
protect the brain from traumatic brain injury-induced
neurodegeneration and motor and cognitive impairments: cell graft
biodistribution and soluble factors in young and aged rats. J Neurosci.
2014 Jan 1;34(1):313-26. doi: 10.1523/JNEUROSCI.2425-13.2014
Vadivelu S., Platik. M.M., Choi L., Lacy M.L., Shah A.R. Multi-germ layer
lineage central nervous system repair:nerve and vascular cell
generation by embryonic stecells transplanted in the injured brain., J
Neurosurg 103:124–135, 2005

VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN


(GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT)
VI.1 Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH)
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option : Pengambilan keputusan operatif atau non operatif berdasarkan
keadaan klinis dan radiologis penderita. Indikasi pembedahan atau
evakuasi massa dilakukan bila terdapat efek massa dan penurunan
fungsi neurologi secara progresif

50
Indikasi pembedahan :
1) Pasien EDH tanpa melihat GCS dengan volume > 30 cc, atau ketebalan > 15
mm, atau pergeseran midline > 5 mm, atau
2) Pasien EDH akut (GCS <9) dan pupil anisokor

Waktu :
Pasien EDH akut dengan koma (GCS < 9) dan pupil anisokor dilakukan cito
pembedahan atau evakuasi
Metode :
Belum ada data yang cukup untuk mendukung satu metode pembedahan,
bagaimanapun juga craniotomy memberikan kemungkinan evakuasi yang lebih baik

Penjelasan Rekomendasi :
Ketebalan, volume hematom, dan midline shift (MLS) struktur pada CT Scan kepala
awal mempengaruhi outcome. CT Scan kepala evaluasi pada pasien non operatif
dilakukan 6-8 jam setelah trauma. pasien EDH dengan volume > 30 cc, atau
ketebalan > 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm tanpa melihat GCS, dilakukan
tindakan pembedahan karena efek massa yang signifikan. Pasien EDH dengan
volume < 30 cc dan GCS < 9 disertai pupil anisokor secepat mungkin dilakukan
tindakan evakuasi. Pasien EDH dengan volume <30 cc, ketebalan <15 mm,
pergeseran midline <5 mm tanpa melihat GCS yang tidak disertai pupil anisokor
dilakukan manajemen non operatif yang agresif.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Mitesh V, 1998 Analisis Retrospektif III/C Pengambilan
terhadap 221 pasien keputusan operatif
EDH atau non operatif
berdasarkan
radiologis dan
keadaan klinis
penderita

51
2 Bullock Manajemen III/C Evakuasi massa bila
et al., 2006 pembedahan ada efek massa
hematoma epidural dan penurunan
fungsi neurologi
secara progresif
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Bullock et al. Surgical management of Acute Epidural Hematomas.
Neurosurgery 2006;58:7-15
Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore,
Maryland, USA.Mitesh V. American Journal of Neuroradiology
1998;20:115-6
Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC
Graw Hill Co. New York.
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw
Hill Co. New York.

VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline 1. Menurunkan TIK dengan drainase LCS transventrikel dan
monitoring TIK, keduanya lebih penting daripada operasi
dekompresi pada SDH tipis (tebal ≤ 10mm)
2. Tidak ada perbedaan bermakna secara statitistik antara tindakan
operasi dan konservatif pada penderita cedera otak berat dengan
hematom subdural akut traumatika tipis.
Option : Indikasi pembedahan pada SDH akut sesuai penjelasan
rekomendasi. Dengan indikasi pembedahan sebagai berikut:

Indikasi pembedahan :
SDH Akut
1) Pasien SDH tanpa melihat GCS :

52
a. Dengan ketebalan > 10 mm
b. Atau midline shift (MLS) > 5 mm pada CT Scan
2) Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
3) Pasien SDH dengan GCS < 9 :
a. Ketebalan SDH < 10 mm dan pergeseran struktur midline, jika
mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat
kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit
b. Dan atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetri atau fixed
c. Dan/atau TIK > 20 mmHg

SDH Kronis
1. Terdapat gejala klinis penurunan kesadaran maupun defisi neurologis fokal atau
kejang
2. Ketebalan lesi > 1cm

Waktu :
Pada pasien SDH akut dengan indikasi pembedahan maka pembedahan dilakukan
secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada
evakuasi hematom.
Metode :
Metode penanganan pasien dengan SDH akut tipis traumatika dengan drainase LCS
transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotomy dekompresi dan
pemasangan drainase LCS transventrikel dilakukan pada penderita dengan indikasi
tertentu.
Penjelasan Rekomendasi :
Penderita COB dengan komplikasi SDH akut merupakan penyebab kematian utama
pada COB dengan lesi massa intrakranial dimana angka kematian mencapai 42%-
90%. Kerusakan otak yang terjadi lebih berat karena mekanisme trauma yang
hebat, kerusakan parenkim otak yang luas dan edema serebral. Secara patofisiologi,
pengaruh cedera otak primer yang terjadi terhadap hasil akhir lebih penting daripada
efek SDH itu sendiri sehingga kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting
daripada tindakan evakuasi hematom.
Tindakan drainase LCS transventrikel lebih baik dibandingkan dengan pembedahan
evakuasi hematom dan dekompresi pada SDH tipis
53
 
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Wilberger Penelitian retrospektif analitik II/B Kemampuan untuk
et al.,1991 untuk mengetahui apakah operasi mengontrol TIK
yang dilakukan kurang dari 4 jam lebih berpengaruh
setelah trauma memberi hasil akhir terhadap hasil akhir
yang lebih baik dibandingkan waktu
pelaksanaan
evakuasi hematom
2 Widodo, Penelitian prospektif eksperimental II/B Tidak ada
Kasan U, untuk mengetahui perbedaan hasil perbedaan
1999 akhir antara tindakan operasi dan bermakna secara
konservatif pada penderita cedera statitistik antara
otak berat dengan hematom tindakan operasi
subdural akut traumatika tipis. dan konservatif
pada penderita
cedera otak berat
dengan hematom
subdural akut
traumatika tipis.
3 Hartanto, Penelitian prospektif analitik II/B Tindakan
Kasan U, evakuasi hematom dan dekompresi pembedahan
2003 dibanding penanganan secara (evakuasi
konservatif pada penderita dengan hematom dan
cedera otak berat dengan dekompresi) lebih
komplikasi hematom subdural baik daripada
kurang dari 1cm dan efek massa penanganan secara
lebih dari 5 mm. konservatif.
4 Thohari K, Studi prospektif observasional II/B Tindakan drainase
Bajamal untuk mengetahui perbedaan CSF transventrikel
A.H., hasil akhir antara tindakan lebih baik
2006 pembedahan evakuasi hematom dibandingkan

54
dan dekompresi dengan drainase dengan
CSF transventrikel pada penderita pembedahan
dengan cedera otak berat dengan evakuasi hematom
komplikasi hematom subdural dan dekompresi.
kurang dari 1 cm dan efek massa
lebih dari 5 mm.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA
Greenberg, MS 2010, Handbook of Neurosurgery, 7th eds, Thieme, New York.
Hartanto RA, Kasan U. Operasi Dekompresi dan Evakuasi hematom subdural
akut tipis pada cedera otakberat. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah
Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUDDr Soetomo. 2003
Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC
Grow Hill Comp, New York.
Palmer JD. Head trauma in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone, New
York 1997. pp. 499-580
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Thohari K., Bajamal A.H., Penatalaksanaan Perdarahan Subdural Akut Tipis
pada Penderita Cedera otak Berat.Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah
Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSU Dr. Soetomo. 2006
Valadka AB, Andrews BT, 2005, Neurotrauma: Evidence-Based Answers to
Common Questions, Thieme, New York, Stuttgart.
Widodo J., Kasan U. Perbandingan tindakan operasi dan konservatif penderita
dengan komplikasihematoma subdural akut traumatika tipis pada cedera
otak berat. Karya Tulis Akhir PPDS IIlmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah
Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1999
Wilberger JE Jr, Harris M, Diamond DL: Acute subdural hematoma: Morbidity,
mortality, andoperative timing. J Neurosurg 1991;74:212-8.

55
VI.3 Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option : Indikasi, waktu dan metode pembedahan

Indikasi pembedahan :
1) Pasien dengan GCS 6-8 dengan perdarahan parenkim otak pada daerah frontal
atau temporal dengan volume perdarahan > 20 cc, dengan pergeseran struktur
midline ≥ 5 mm dan atau kompresi pada sisterna.
2) Perdarahan parenkim otak dengan volume perdarahan > 50 cc
3) Pasien dengan perdarahan parenkim otak dan tanda-tanda deteriorasi neurologis
yang progresif sesuai dengan lesi, hipertensi intrakranial yang refrakter dengan
medikamentosa, atau didapatkan tanda-tanda efek massa pada CT scan.

Waktu dan Metode :


Kraniotomy dan evakuasi lesi massa direkomendasikan pada pasien dengan lesi fokal
dan dengan indikasi pembedahan di atas. Kraniektomy dekompresi bifrontal dalam
48 jam sejak trauma merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan cerebral
edema diffusa dan hipertensi intrakranial membandel dengan pengobatan. Prosedur
dekompresi termasuk dekompresi subtemporal, lobektomi temporal dan kraniektomy
dekompresi hemisfer, merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan
hipertensi intrakranial yang membandel dan trauma parenkimal diffusa dengan klinis
dan radiologis adanya impending herniasi transtentorial

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi TP/DR kesimpulan
1 Soloniuk Manajemen dan indikasi III/C Indikasi operasi dibuat
et al, 1986 operasi ICH trauma berdasarkan data dari
yang ada dan waktu
kapan untuk dilakuan
evakuasi.
2 De Luca Pengalaman pengarang IV/C Operasi dekompresi
et al, 2000 penanganan pasien untuk peningkatan TIK
56
dengan peningkatan harus dilakukan
tekanan intracranial. sesegera mungkin,
sebelum keadaan yang
irrversibel terjadi.
3 Bullock Manajemen bedah pada III/C Evakuasi massa segera
et al., 2006 perdarahan parenkim otak dilakukan bila ada efek
masa dan penurunan
fungsi neurologi progresif
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Bullock et al. Surgical management of posterior fossa mass lesions.
Neurosurgery 2006;58:47– 55.
Cooper PR (ed), 1993, Head Injury, 3rd ed, William & Wilkins Baltimore,
Maryland, USA.
De Luca GP, Volpin L, Fornezza U, et al. The role of decompressive
craniectomy in the treatment of uncontrollable post-traumatic
intracranial hypertension. Acta Neurochir Suppl 2000;76:401-4.
Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 Neurotrauma, MC
Graw Hill Comp, New York.
Palmer JD. Head Trauma in Manual of Neurosurgery Churchill Livingstone,
New York 1997. pp 499-580
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Soloniuk D, Pitts LH, Lovely M, et al. Traumatic intracerebral hematomas:
timing of appearance and indications for operative removal. J Trauma
1986; 26:787-94.
Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed MC Graw
Hill Comp New York.

57
VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option : Indikasi, waktu dan metode pembedahan

Indikasi pembedahan :
1) Pasien dengan efek massa pada CT Scan kepala.
Efek massa ditandai dengan :
a) Kompresi atau obliterasi ventrikel IV
b) Kompresi atau hilangnya sisterna basalis, atau
c) Hidrosefalus obstruktif
2) Pasien dengan defisit neurologis

Waktu :
Pasien dengan indikasi untuk dilakukan pembedahan, evakuasi harus dilakukan
segera bila ada efek masa dan penurunan fungsi neurologi yang progresif dan
penderita dengan GCS > 8 memiliki prognosa / outcome yang lebih baik
Metode :
Kraniektomi suboccipital merupakan metode yang banyak dipakai dan
direkomendasikan untuk evakuasi lesi massa fossa posterior

Penjelasan Rekomendasi :
Trauma yang berakibat lesi massa pada fossa posterior hanya berkisar 3% dari
seluruh cedera otak. Meski demikian sebagian besar pasien dengan lesi massa fossa
posterior didapati dengan penurunan kesadaran yang progresif dikarenakan ruang
fossa posterior yang terbatas dan penekanan langsung pada batang otak.

Tindakan bedah yang tepat dan segera dapat memberikan outcome yang baik.
Terapi konservatif dapat dilakukan secara selektif pada kasus SDH fossa posterior
Pasien dengan perdarahan cerebellum dengan diameter <3cm, atau tidak
didapatkan defisit neurologis namun pada CT Scan terdapat efek massa, dapat
diterapi konservatif dengan observasi ketat dan CT scan serial

58
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Kizikilc Laporan kasus pasien III/C Terapi konservatif
et al., 2003 SDH trauma fosa dapat dilakukan secara
posterior dengan kista selektif pada kasus
arakhnoid SDH fosa posterior
2 Avella Laporan kasus 24 pasien III/C Pada pasien dengan
et al., 2003 SDH trauma fosa GCS > 8 yang segera
posterior dilakukan operasi
memiliki outcome yang
lebih baik
3 Bullock Manajemen bedah lesi III/C Evakuasi massa yang
et al., 2006 massa fosa posterior dari segera bila ada efek
analisa 24 dokumen masa dan penurunan
medline secara review fungsi neurologi
sistematis progresif
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Avella et al. Traumatic Subdural Hematomas of posterior fossa :
Clinicoradiological analysis of 24 patients. 2003.
Bullock et al. Surgical management of Posterior fossa mass lession.
Neurosurgery 2006;58:47-55
Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore,
Maryland, USA
Kizikilc et al. Traumatic Posterior Fossa Subdural Hemorraghe Associated with
an Arachnoid Cyst in a Pediatric Patient. Eur J of Trauma 2003; 29:
242-6
Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC
Graw Hill Co. New York.
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC
Graw Hill Co. New York.

59
VI.5 Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Pemberian antibiotika profilaksis untuk pencegahan meningitis
pada fraktur basis cranii tidak bermakna dibandingkan placebo
Option : Penatalaksanaan Fraktur basis cranii terdiri dari perawatan
konservatif dan atau tindakan pembedahan

Indikasi pembedahan :
1. Kebocoran likuor serebrospinal setelah trauma yang disertai dengan meningitis.
2. Fraktur transversal os petrosus yang melibatkan otic capsule
3. Fraktur tulang temporal disertai kelumpuhan komplit otot – otot wajah
4. Pneumocephalus atau kebocoran LCS lebih dari lima hari

Waktu :
Tidak ada konsensus mengenai waktu pelaksanaan operasi. Rekomendasi terakhir
menyebutkan diharapkan operasi sudah dilaksanakan dalam waktu 5 hari semenjak
LCS fistula diisolasi. Pembedahan secepatnya direkomendasikan untuk mengurangi
insiden infeksi
Metode :
Subtotal petrosectomy yang terdiri dari eksenterasi total dari temporal bone air cell
tracts dan obliterasi dari tuba eustachian. Setelah struktur yang cedera diperbaiki
atau dibebaskan (nervus fasialis, arteri karotis atau otic capsule), kavitas yang
terbentuk diobliterasi dengan graft lemak endogen dan flaps otot temporal.
Tindakan operasi untuk otorrhea meliputi craniotomy fossa media atau fossa
posterior, menelusuri tulang untuk melihat paparan dura yang menutupi tulang
petrosus. Diusahakan melakukan penutupan primer, namun bila tidak
memungkinkan dapat dilakukan graft fascia lata atau graft lemak atau otot untuk
menutupi defek. Tindakan operasi untuk Rhinorrhea disesuaikan dengan lokasi
kebocoran yamg diketahui dengan tindakan diagnostik radiologis.

60
Penjelasan Rekomendasi :
Perawatan konservatif dilaksanakan bila tidak didapatkan kebocoran LCS yang
persisten, fraktur tulang temporal, kelumpuhan otot-otot wajah, kehilangan
pendengaran, atau kebutaan.

Terapi konservatif meliputi pemberian antibiotik empirik intravenous selama 5 hari


untuk memberikan kesempatan penyembuhan robekan dura. Data terakhir
menganjurkan pemberian PNC 1-2 juta unit/hari pada kasus kebocoran LCS. Kultur
nasal dan tenggorokan segera diambil, dan antibiotik yang dipilih sesuai dengan
kultur. Pasien dipertahankan dalam posisi bed rest total dengan elevasi posisi the
head of bed, untuk mengurangi aliran LCS.

Bila kebocoran cairan likuor tidak berkurang dalam waktu 72 jam dengan terapi
konservatif, pemasangan lumbar drain dilakukan untuk mengalirkan 150 ml LCS
perhari selama 3-4 hari. Diversi LCS dari kebocoran dura dapat membantu
penutupan secara spontan.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penilaian TP/DR Kesimpulan

1 Turchan A. Prospektif case II/B Pemberian obat antibiotik


1995 control insiden propilaksis untuk
meningitis pada pencegahan meningitis
pemberian antibiotik pada fraktur dasar
pada fraktur dasar tengkorak tidak
tengkorak bermakna dibandingkan
placebo.
2 Katzen T. Review beberapa III/C Penanganan fraktur dasar
et al., 2007 penelitian tentang tengkorak dapat
fraktur dasar dilakukan dengan
tengkorak konservatif bila tidak
didapatkan indikasi
pembedahan.
61
3 Bachli H, Review beberapa III/C Penanganan pembedahan
et al., 2009 penelitian mengenai dari fraktur basis kranii
tingkat keparahan secara bermakna dapat
dari fraktur basis didasarkan dari tingkat
kranii keparahannya (CMF-ISS)
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Bachli H, et al. Skull base and maxillofacial fractures: Two centre study with
correlation ofclinical findings with a comprehensive craniofacial
classification system. Journal of Cranio-Maxilofacial Surgery. 2009;37:
305-311
Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA.
Greenberg, Mark S. 2010. Handbook of NeuroSurgery 7th Ed. Thieme
Publishers, pp 887-889.
Katzen T., Janahy R, Eby JB, Mathiasen RA., Margulies DM, Shahinian HK.
Craniofacial and Skull Base Trauma. 2007. Available at \AMM/. Skull
Base lnstitute'
Kaye AH. Essential Neurosurgery.Blackwell Publishing, Ltd. Massachusetts.
2005 pp 50-51
Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC
Grow Hill Comp, New York.
Turchan A, Kasan U. Penggunaan Kloksasilin Dibandingkan Plasebo Dalam Hal
Mencegah Komplikasi Meningitis Bakteri Pada Penderita Patah
Tulang Dasar Tengkorak.Laboratorium llmu Bedah RSUD Dr Soetomo.
Fakuhas Kedokteran UniversitasAirlangga. 1995
Wahyuhadi J, dkk. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Tim Neurotrauma
RSUD Dr Soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007,
pp 5, 31-32

62
VI.3 Rekomendasi Pembedahan pada Diffuse Axonal Injury (DAI)
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline 1. Pasien dengan DAI tanpa lesi massa memiliki tekanan
intrakranial yang normal sehingga pemasangan ICP monitor
tidak diperlukan
2. Nimodipine memperbaiki prognosis pasien dengan diffuse
axonal injury dan menurunkan terjadinya vasospasm.
Option :-

Penjelasan Rekomendasi :
Pasien cedera otak berat dengan diffuse axonal injury tanpa lesi massa harus
diintubasi atau ditracheostomy untuk proteksi terhadap jalan nafas, dan diberikan
oksigen dengan monitoring terhadap saturasi oksigen secara berkelanjutan. Pasien
harus mendapatkan support ventilator apabila didapatkan kondisi gagal nafas atau
klinis pasien yang mengalami perburukan. Dapat diberikan sedasi ringan dengan
midazolam i.v tunggal atau kombinasi dengan morphine.
Nimodipine memperbaiki prognosis pasien dengan diffuse axonal injury dan
menurunkan terjadinya vasospasm. Nimodipine diberikan dengan dosis 60 mg setiap
4 jam segera setelah pasien masuk RS

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Farhaoudi M Efek nimodipine pada II/B Nimodipine memperbaiki
et al., 2007 hemodinamik cerebral, prognosis pasien dengan
vasospasm dan prognosis diffuse axonal injury dan
jangka pendek pasien menurunkan terjadinya
dengan diffuse axonal vasospasm.
injury
2 Liew B Keluaran pasien cedera II/B Pasien dengan DAI tanpa
et al., 2009 otak berat dengan diffuse lesi massa memiliki
axonal injury yang diterapi tekanan intrakranial yang
dengan manajemen ICP- normal sehingga
CPP dibandingkan terapi pemasangan ICP monitor
63
konservatif di RS. Sultanah tidak diperlukan bila
Aminah, Johor Bahru dibandingkan dengan
bentuk cedera otak berat
yang lain. Keluaran pasien
dengan diffuse axonal
injury yang diterapi secara
konservatif lebih baik
dalam hal lama rawatan di
RS/ICU dan perbaikan
GCS
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Farhoudi M et all., Effects of nimodipine on cerebral hemodynamics, and
prognosis of diffuse axonal injury patients. Neurosciences 2007; Vol.
12 (4)
Liew B et al., Severe Traumatic Brain Injury: Outcome in Patients withDiffuse
Axonal Injury Managed Conservatively in Hospital Sultanah Aminah,
Johor Bahru – An Observational Study. Med J Malaysia Vol . 64 No. 4
December 2009

64
VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL
(GUIDELINE FOR INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND
TREATMENT )
VII.1 Indikasi pemasangan alat pantau tekanan intrakranial-
Ventrikulostomi
Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20
mmHg atau lebih rendah memberikan outcome yang signifikan
lebih baik dinilai dari status kognitif.
Option : Indikasi dan metode pemasangan ICP monitor

Indikasi :
1. Pemasangan ICP monitor perlu dilakukan pada pasien COB (GCS 3-8 setelah
proses resusitasi) dengan CT Scan kepala abnormal (hematoma, contusio,
edema serebri atau penyempitan sisterna basalis).
2. ICP monitor juga dipasang pada pasien COB dengan CT Scan kepala normal jika
didapatkan 2 atau lebih dari hal berikut :
a. Usia > 40 tahun
b. TDS < 90 mmHg
c. Postural bilateral atau unilateral

Metode:
Metode monitoring TIK adalah melakukan pemasangan drainase intraventrikuler,
dengan lokasi insersi pada titik kocher.

Penjelasan Rekomendasi :
Tujuan utama Intensif Management Protocol adalah untuk memelihara perfusi dan
oksigenasi otak secara adekuat untuk menghindari cedera otak sekunder. Perfusi
otak yang menurun dan outcome yang buruk berhubungan dengan hipotensi
sistemik dan hipertensi intrakranial. Satu-satunya jalan untuk menentukan CPP
adalah dengan memonitor TIK dan tekanan darah sistemik secara kontinyu.

65
Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mm Hg atau
lebih rendah memberikan outcome yang signifikan dinilai dari status kognitif.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Randall M. Monitoring tekanan II/B Pasien dengan cedera kepala
et al., 2012 intrakranial berat dengan tekanan intra
dipertimbangkan kranial 20 mm Hg atau lebih
sebagai terapi standar rendah memberikan outcome
untuk pasien cedera yang signifikan dinilai dari
kepala berat status kognitif.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA.

Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC


Grow Hill Comp, New York.

Palmer JD. HEAD TRAUMA in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone,


New York 1997. pp 499-580
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Randall M, Chesnut, M.D, Temkin N, A trial of Intravranial-Pressure Monitoring
in Traumatic brain injury. J Neurotrauma 2012; 367; 26; 2471-81.
Wilkins RH and Rengachary SS (Eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd Ed MC Graw
Hill Comp New York.

VII.2 Manajemen Tekanan Intra Kranial


Standard : Belum ada data yang mendukung
Guideline : Belum ada data yang mendukung
Option : Beberapa option dalam penanganan ICP

66
Penjelasan rekomendasi :
Pada beberapa jurnal sudah disusun guideline penanganan peningkatan TIK beserta
Beberapa pilihan yang didapatkan dari penelitian.:
• Pemasangan ICP Monitor
• Menjaga CPP>70 mmHg
• Drainase Cairan Serebrospinal(CSF)
• Manitol 0,25 - 1,0 gr/KgBB
• Hyperventilation PaCO2 30-35 mmHg
• Terapi tersier: barbiturat dosis tinggi, hyperventilation PaCo2<30mmHg,
Hypothermia, Decompressive Craniecktomy.

67
Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan I

Pemasangan  
ICP    Monitor  

Menjaga  
CPP>70mmHg  

Hipertensi  TIK  

CT  Scan   Pertahankan  
Manitol  
ulang   terapi  TIK  
0.25-­‐1.0  g/KgBB  

ya tidak
a   Hipertensi  TIK?   j  

Hiperventilasi  sampai  
PaCO2  30-­‐35mmHg  

ya   tidak  
Hipertensi  TIK?  

Terapi  tersier  
penanganan  TIK  

Dikutip dari Guidelines For the Management of Severe Head Injury (Journal of Neurotrauma
November 1996)

68
Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan II

Sedasi  dan  analgesik  

Penggunaan  Ventilator  
(PaCO2  30-­‐35  mmHg,  PEEP  sampai  10  cmH2O)  

Head  Up  30°  dengan  leher  


yang  lurus  
Terapi  Dasar  

Terapi  Lanjutan  

Manitol  

Cairan  hipertonik   THAM  

Drainase  CSF  

Decompressive  Craniectomy  

Koma  dengan  barbiturat  

Dikutip dari Valadka AB, Andrews BT. Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Questions.
2004

69
Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan III

Sedasi  
 

Drainase  CSF  

Manitol  

Mild  Hiperventilasi-­‐  
hipothermi  32  

Hiperventilasi  agresif  

Barbiturat  

Dikutip dari Head Injury Pathofiology and management of Severe Closed Injury,Peter Reilly 1997

70
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No Pengarang Diskripsi TP/DR Kesimpulan
1 Bullock Jalur kritis III/C Sesuai skema I, drainase CSF
et al., 1996 penanganan TIK setelah itu manitol
2 Peter Reilly, Algoritma III/C Skema III,drainase CSF dulu
1997 penanganan TIK baru pemberian manitol
3 Valadka Algoritma III/C Sesuai skema II, pemberian
et al., 2004 penanganan TIK manitol setelah itu drainase
CSF
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi
Bullock RM, Povlishock JT. Guidelines for the management of Severe Head Injury,
Journal of Neurotrauma,November 1996.
Reilly P,Head Injury : Pathophysiology and management of Severe Closed Injury,
1997
Valadka, Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Question,2004

71
VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIK PADA ANAK

VIII.1 Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi

Standard : Belum ada data yang cukup


Guideline : Hipotensi harus segera diatasi dengan cairan resusitasi
Option : Kontrol terhadap jalan nafas harus dilakukan pada anak dengan GCS
≤8

Penjelasan Rekomendasi :
Pada anak, hipotensi didefenisikan sebagai penurunan tekanan darah dibawah 5
persentil sesuai usia atau menunjukkan tanda-tanda syok. Batas bawah TDS
(persentil kelima) sesuai usia dapat diperkirakan dengan formula : 70 mmHg + (2 x
Usia dalam tahun). Oksigenasi dan ventilasi diawasi ketat dengan pulse oxymetri
dan End-tidal CO2 monitoring atau pemeriksaan Gas Darah (BGA) secara berkala.
Hipoksia didefenisikan sebagai : apnea, Cyanosis, PaO2 < 60-65 mmHg, atau
saturasi oksigen 90%. Cyanosis sentral bukan indikator yang awal dan tepat adanya
hipoksia pada anak-anak.

Hipoventilasi didefenisikan sebagai pernafasan yang tidak adekuat sesuai usianya,


pernafasan yang tidak teratur dan dangkal, periode apnea yang sering, atau
didapatkan tanda hiperkarbia. Hipoventilasi adalah indikasi untuk dilakukan kontrol
jalan nafas dan assisted ventilation dengan oksigen 100%.

Pada anak, resusitasi cairan merupakan indikasi bila didapatkan tanda-tanda


penurunan perfusi meskipun tekanan darah sudah adekuat. Syok biasanya tidak
disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, evaluasi adanya cedera spinal atau cedera
lainnya harus dilakukan. Restriksi cairan untuk membatasi edema otak merupakan
kontraindikasi pada penanganan cedera otak. Jika akses vaskuler perifer sulit
didapatkan, infus intraosseus dan obat-obatan harus dilakukan.

Mortalitas pada anak-anak lebih rendah dibandingkan dengan dewasa. Pada anak
hanya hipotensi yang berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi,
72
sedangkan pada dewasa faktor hipotensi dan hipertensi. Hasil akhir yang jelek
berhubungan dengan : GCS < 8, abnormalitas pupil, defisit motorik, hipoksia,
hipotensi dan cedera ekstrakranial. Hipotensi dengan atau tanpa hipoksia
meningkatkan angka mortalitas secara signifikan

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Fisher Penelitian double-blind cross III/C Cairan hipertonis saline
et al, 1992 over membandingkan 3% dapat menurunkan
penggunaan cairan saline TIK dan mengurangi
3% (1025 mOsm/L) dan intervensi yang lain
0,9% (308 mOsm/L) pada ( thiopental dan
anak dengan cedera otak hiperventilasi). Kadar
berat Serum sodium
meningkat sekitar 7
mEq/L setelah
pemberian saline 3%
2 Khanna Studi prospektif tentang III/C Terjadi penurunan yang
et al., 2000 penggunaan cairan signifikan pada TIK dan
hipertonis saline 3% (1025 peningkatan CPP selama
mOsm/L) pemberian cairan saline
3% Timbulnya
hipernatremi dan
hiperosmoler dapat
ditoleransi secara aman
pada pasien anak-anak
3 Peterson Penelitian retrospektif untuk III/C Cairan hipertonis Saline
et al., 2000 mengetahui efek cairan 3%efektif dalam
hipertonis Saline 3% dalam menurunkan TIK
menurunkan TIK
4 Simma Penelitian prospektif random III/C Pasien yang diterapi
et al., 2000 terbuka membandingkan dengan salin hipertonis
penggunaan saline memerlukan intervensi
73
hipertonis (598 mOsm/L) tambahan yang lebih
dengan ringer laktat yang sedikit dibandingkan
diberikan lebih dari 3 hari dengan pemberian
pada 35 anak dengan dengan ringer laktat
cedera otak berat dalam mengatur TIK.
Group dengan
pemberian salin
hipertonis memiliki
waktu tinggal di ICU
lebih singkat,
penggunaan ventilasi
mekanik lebih singkat,
lebih sedikit komplikasi
dibandingkan dengan
penggunaan ringer laktat
5 Sakellaridis Penelitian prospektif untuk II/B Tidak ada perbedaan
et al., 2011 membandingkan efek dari diantara kedua terapi
mannitol dan saline baik dalam hal
hipertonis terhadap penurunan ICP dan
hipertensi intrakranial pada durasi kerjanya
pasien dengan cedera otak
berat
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi :
Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial
pressure in children after head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992;
4 : 4-10
Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment
of severe refractory posttraumatic intracranial hypertension in
pediatric traumatic brain injury. Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151

74
Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al . Prolonged hypernatremia controls elevated
intracranial pressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med
2000; 28 : 1136 -1143
Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and
hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg
2011; 114 : 545-548
Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled
study of fluid management in children with severe head injury :
Lactated Ringer’s solution versus hypertonic saline. Crit Care Med
1998; 26 : 1265-1270

VIII.2 Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial


Standard : Belum ada data yang cukup
Guidelines : Belum ada data yang cukup
Option : ICP Monitor dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan cedera
otak berat

Penjelasan Rekomendasi:
ICP monitor diindikasikan pada penderita COB dengan CT Scan abnormal. Penderita
COB dengan CT Scan normal dipasang ICP monitor bila didapatkan minimal 2 dari
keadaan berikut :
1) Motor posturing
2) Hipotensi sistemik
Fontanela mayor dan atau sutura yang masih terbuka pada bayi tidak dapat
menyingkirkan kemungkinan terjadinya TIK yang tinggi atau menyingkirkan
penggunaan ICP monitor

ICP monitor tidak dianjurkan rutin pada COS dan COR. Belum ada penelitian RCT
untuk mengevaluasi terhadap hasil akhir pengaruh penanganan COB dengan atau
tanpa pemasangan ICP monitor. TIK > 20 mmHg berhubungan dengan peningkatan
resiko kematian. TIK > 35 mmHg dan CPP < 55 mmHg (dewasa) dan 45 mmHg
(anak) merupakan faktor prediktif untuk hasil akhir yang jelek

75
Anak-anak dengan Cedera pada brain stem dengan TIK > 40 mmHg berhubungan
dengan kematian dan vegetative state yang tinggi. Tujuan terapi pasien anak dengan
cedera otak berat adalah normalisasi TIK (< 20 mmHg), optimalisasi CPP dan CBF,
mencegah terjadinya cedera otak sekunder dan menghindari terjadinya komplikasi
berkaitan dengan modalitas terapi yang bervariasi

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Eder Studi retrospektif pada III/C Anak-anak dengan
et al., 2000 anak dengan cedera cedera pada batang otak
otak berat. dan TIK > 40 mm
Membandingkan berhubungan dengan
beberapa faktor dan TIK kematian dan kondisi
monitor terhadap vegetatif yang tinggi.
outcome
2 Peterson Penelitian retrospektif III/C Cairan hipertonis Saline
et al., 2000 untuk mengetahui efek 3% efektif dalam
cairan hipertonis Saline menurunkan TIK.
3% dalam menurunkan
TIK
3 Downard Penelitian retrospektif III/C TIK > 20 mmHg
et al., 2000 pada anak yang berhubungan dengan
dilakukan pemasangan peningkatan resiko
TIK kematian
4 Chambers Penelitian observational III/C TIK > 35 mm
et al., 2001 pada pada anak-anak merupakan prediktif
dan dewasa yang faktor untuk hasil akhir
dilakukan TIK dan CPP yang jelek pada anak
monitor dan dewasa
5 White Penelitian retrospektif III C 14% survivor pada
et al., 2001 dan observasional kelompok 1 dan 41%
terhadap 136 pasien di nonsurvivor pada
NICU dan PICU dengan kelompok 2 memiliki ICP
76
ICP monitor > 20mmHg pada 72 jam
pertama.
ICP pada 6 jam, 12 jam
dan 24 jam pertama
yang rendah
berhubungan secara
signifikan dengan
outcome yang baik.
6 Cruz Penelitian retrospektif III C ICP yang tinggi pada
et al., 2002 mengenai efek dari hari 1-5 pertama,
pemasangan ICP pada berhubungan dengan
pasien pediatric penurunan ekstraksi
oksigen otak dan
prognosis yang buruk.
7 Pfenninger, Penelitian retrospektif III C Hipertensi intrakranial
Santi, 2002 mengenai hubungan sebanding dengan
pengukuran ICP dan prognosis buruk.
monitoring tekanan
vena jugular dengan
outcome pada pasien
pediatric
8 Adelson Penelitian rondomized IIIC ICP > 20 adalah
et al, 2005 controlled trial terapi prediktor buruk untuk
hyptotermi dan prognosis yang paling
normotermi pada terapi sensitif. Rerata ICP yang
peningkatan TIK pada rendah berhubungan
pasien pediatric dengan prognosis yang
baik
9 Wahlstrom
 Penelitian observasional III C Pada penelitian ini tidak
et al, 2005 mengenai terapi terbukti adanya
monitoring ICP hubungan signifikan
menggunakan protokol antara ukuran ICP dan

77
Lund pada pasien outcomen pasien.
pediatri
10 Stiefel M, Penelitian retrospektif III/C Pemasangan monitor
et al, 2006 pada pasien anak-anak PO2jaringan merupakan
yang dilakukan tambahan yang berguna
pemasangan monitor dan aman pada
TIK dan PO2 jaringan pemasangan monitor
TIK
11 Grinkeviciute Penelitian observasional III C Pada penelitian ini tidak
et al, 2008 satu senter mengenai ada perbedaan outcome
hubungan beberapa pada kelompok dengan
terapi TIK tinggi pada tekanan ICP rerata baik
pasien pediatri (22.2mmHg) dan buruk
(24.6mmHg)
12 Jagannathan Penelitian observasional III C Outcome yang baik
et al, 2008 mengenai terapi berhubungan dengan
pemasangan ICP dalam manajemen kenaikan
hubungannya dengan TIK yang baik.
tindakan craniektomy
dekompresi pada pasien
pediatric
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi :
Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate
hypothermia after severe traumatic brain injury in children.
Neurosurgery 2005; 56:740 –754; discussion 740 –754
Chambers IR, Treadwell L, Mendelow AD : Determination of treshold levels of
cerebral perfusionpressure and intracranial pressure in severe brain
injury by using receiver operatingcharacteristic curves : An
observational study in 291 patients. J Neurosurg 2000; 94 :412-416
Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and

78
intracranial hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma:
Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774
–779; discussion 779 –780
Downard C, Hulka F, Mullins R, et al : Relationship of cerebral perfusion
pressure and survival in pediatric brain-injured patients. J Trauma
2000; 49: 654-659
Elder HG, Legat JA, gruber W : Traumatic brain stem lesion in children. Childs
Nerv Syst 2000;16: 21-24
Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial
pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic
brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125
Jagannathan J, Okonkwo DO, Yeoh HK, et al: Long-term outcomes and
prognostic factors in pediatric patients with severe traumatic brain
injury and elevated intracranial pressure. J Neurosurg Pediatr 2008;
2:240 –249
Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls
elevated intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit
Care Med 2000; 28 : 1136 -1143
Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the
results improving? Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120
Stiefel M, Joshua D, Storm P, et al : Brain tissue oxygen monitoring in
pediatric patients with severe traumatic brain injury. J Neurosurg 2006;
105:281-286
White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely head-
injured children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540
Wahlstrom MR, Olivecrona M, Koskinen LO, et al: Severe traumatic brain
injury in pediatric patients: Treatment and outcome using an
intracranial pressure targeted therapy— The Lund concept. Intensive
Care Med 2005; 31:832– 839

79
VIII.3 Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat
Standard : Belum ada data yang cukup
Guidelines : Belum ada data yang cukup
Option 1. Hipertensi intrakranial didefenisikan sebagai peningkatan patologis
pada TIK
2. Tatalaksana segera dimulai bila TIK ≥ 20 mmHg
3. Interpretasi dan terapi hipertensi intrakranial didasarkan pada titik
kritis TIK yang dikaitkan dengan : pemeriksaan klinis, pemantauan
variabel fisiologis misal CPP dan foto serial

Penjelasan Rekomendasi :
Pengaruh hipertensi intrakranial atau peningkatan TIK yang patologis terhadap
outcome COB pada anak-anak berkaitan dengan nilai puncak TIK dan durasi
peningkatan tersebut. Outcome yang jelek bila TIK > 30 mmHg dibandingkan TIK <
20 mmHg. Batas tertentu TIK untuk memulai pengobatan pada anak-anak dengan
COB belum dapat ditegakkan

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Shapiro and Studi prospektif non random III/C Peningkatan TIK >20
Marmarou, menentukan hubungan mmHg berbanding
1982 antara TIK dan PVI (Pressure terbalik dengan PVI
Volume Index) (Pressure Volume
Index)
2 Cho Penelitian retrospektif pada III/C Outcome yang jelek
et al., 1995 shaken baby syndrome pada bila TIK > 30 mmHg
pasien < 2 tahun, yang dibandingkan TIK <
dipasang TIK / operasi. 20 mmHg
3 Sharples Penelitian prospektif. III/C CBF berbanding
et al., 1995 Mengetahui hubungan antara terbalik dengan TIK
CBF dengan TIK

80
4 White Penelitian retrospektif dan III/C 14% survivors dan
et al., 2001 observasional terhadap 136 41% nonsurvivors
pasien di NICU dan PICU memiliki ICP >
dengan ICP monitor 20mmHg pada 72 jam
pertama. ICP pada 6
jam, 12 jam dan 24
jam pertama yang
rendah berhubungan
secara signifikan
dengan outcome yang
baik.

5 Cruz Penelitian prospektif pada III C Rerata ICP 15-21


et al., 2002 terapi monitoring ICP pada mmHg pada hari ke 2-
pasien pediatri. 5 didapatkan pada
kelompok pasien
pasien dengan
outcome yang baik.
Rerata ICP 19-26
mmHg pada hari ke 2-
5 didapatkan pada
kelompok pasien
dengan outcome yang
buruk.
6. Pfenninger, Penelitian retrospektif III C Hipertensi intrakranial
Santi, 2002 mengenai hubungan dengan tinggi > 20
pengukuran ICP dan mmHg sebanding
monitoring tekanan vena dengan prognosis
jugular dengan outcome buruk.
pada pasien pediatric
7 Adelson Penelitian rondomized IIIC Rerata ICP pada
et al., 2005 controlled trial terapi anak-anak dengan

81
hyptotermi dan normotermi prognosis baik (11.9
pada terapi peningkatan TIK + 4.7 mm Hg) vs
pada pasien pediatri prognosis buruk (24.9
+ 26.3 mm Hg).
Ukuran ICP > 20
mmHg sebanding
dengan prognosis
buruk
8 Kan Penelitian prospektif untuk III/C Pasien yang dilakukan
et al., 2006 mengetahui mortalitas dan kraniektomi
morbiditas pada pasien anak- dekompresi hanya
anak dengan cedera otak untuk peningkatan
berat yang dilakukan TIK memiliki
kraniektomi dekompresi mortalitas yang tinggi
9 Grinkeviciute Penelitian observasional satu III C Tidak ada perbedaan
et al., 2008 senter mengenai hubungan outcome pada
beberapa terapi TIK tinggi kelompok dengan
pada pasien pediatri tekanan ICP rerata
baik (22.2mmHg) dan
buruk (24.6mmHg)
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi :
Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate
hypothermia after severe traumatic brain injury in children.
Neurosurgery 2005; 56:740 –754; discussion 740 –754
Cho D, Wang Y, Chi C : Decompressive craniotomy for acute shaken/impact
baby syndrome. Pediatr Neurosurg 1995; 23: 192-198
Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and
intracranial hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma:
Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774
–779; discussion 779 –780

82
Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial
pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic
brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125
Kan P, Amini A, Hansen K, et al : Outcome after decompressive craniectomy
for severe traumatic brain injury in children. Journal Neurosurgery:
Pediatrics 2006; 105:337-342
Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the
results improving? . Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120
Shapiro K, Marmarou A : Clinical applications of the pressure-volume index on
treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819-
825
Sharples PM, Stuart AG, Matthews Ds, et al : Cerebral blood flow and
metabolism in children with severe head injury. Part I : Relation to
age, Glasgow Coma Score, outcome, intracranial pressure, and time
after injury. JNNP 1995; 58 : 145 -152
White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely head-
injured children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540

VIII.4 Penggunaan Terapi Hiperosmolar Untuk Mengendalikan Tekanan


Intrakranial
Standard : Pemberian manitol lebih baik dibandingkan dengan pemberian
pentobarbital dan kurang menguntungkan jika dibandingkan
dengan pemberian cairan hipertonik saline.
Guidelines : Tidak ada perbedaan diantara mannitol dan saline hipertonis
terhadap hipertensi intrakranial pada pasien dengan cedera otak
berat dalam hal penurunan ICP dan durasi kerjanya
Option : Cairan hipertonis NaCl 3% dan manitol dapat digunakan untuk
mengendalikan TIK

Penjelasan Rekomendasi :
Manitol merupakan pilihan dalam manajemen peningkatan TIK dan cedera otak.
Manitol dapat menurunkan TIK melalui 2 mekanisme :

83
1. Menurunkan TIK dengan menaikkan viskositas darah dengan mengurangi
resultante diameter pembuluh darah → Penurunan volume darah otak dan TIK (
bersifat sementara < 75 menit )
2. Efek Osmotik yang berkembang secara perlahan 15-30 menit, mengikuti
pergerakan air secara graduil dari parenkim (ICF) ke sirkulasi (IVF) → efek timbul
sekitar > 6 jam dan memerlukan Blood Brain Barrier yang intak
Manitol efektif dalam dosis bolus antara 0,25 gr/kgBB -1 gr/kgBB. Persyaratan
penggunaan manitol :
1. Euvolemia harus dipertahankan dengan terapi cairan
2. Pemasangan kateter urethra diwajibkan untuk mencegah ruptur buli
3. Osmolalitas serum dipertahankan di bawah 320 mOsm/L

Cairan hipertonis salin 3% efektif dalam menurunkan TIK dan mengurangi intervensi
yang lain ( Thiopental dan hiperventilasi ) → me↓ TIK dan me↑ CPP. Group dengan
pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan
ventilasi mekanik lebih singkat, dan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan
penggunaan RL. Dosis efektif dalam infus kontinyu salin 3% adalah 0,1
ml/kgBB/jam-1,0 ml/kgBB/jam. Osmolalitas serum dipertahankan pada 320 mOsm/L.
Kadar serum sodium meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian salin 3%.
Timbulnya hipernatremia dan hiperosmolar dapat ditoleransi secara aman pada
pasien anak-anak.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Fisher Penelitian double-blind III/C Cairan hipertonis saline
et al., 1992 cross over 3%dapat menurunkan
membandingkan TIK danmengurangi
penggunaan cairan saline intervensi yanglain
3% (1025 mOsm/L) dan (thiopental
0,9% (308 mOsm/L) pada danhiperventilasi).
anak dengan cedera otak Kadar Serum
berat. sodiummeningkat sekitar

84
7 mEq/Lsetelah
pemberian saline3%
2 Khanna Studi prospektif tentang III/C Terjadi penurunan yang
et al., 2000 penggunaan cairan signifikan pada TIK dan
hipertonis saline 3% peningkatan CPP selama
(1025mOsm/L) pemberian cairan saline
3%Timbulnya
hipernatremia dan
hiperosmoler dapat
ditoleransi secara aman
pada pasien anak-anak.
3 Peterson Penelitian retrospektif III/C Cairan hipertonis Saline
et al., 2000 untuk mengetahui efek 3% efektif dalam
cairan hipertonis Saline menurunkanTIK.
3% dalam menurunkan
TIK.
4 Simma Penelitian prospektif III/C Pasien yang diterapi
et al., 2000 random terbuka dengan salin hipertonis
membandingkan memerlukan intervensi
penggunaan saline tambahan yang lebih
hipertonis (598 mOsm/L) sedikit dibandingkan
dengan ringerlaktat yang dengan pemberian
diberikan lebih dari 3 hari dengan ringer laktat
pada 35 anak dengan dalam mengatur TIK.
cedera otak berat Groupdengan pemberian
salin hipertonis memiliki
waktu tinggal di ICU
lebih singkat,
penggunaan ventilasi
mekanik lebih singkat,
lebih sedikit komplikasi
dibandingkan dengan

85
penggunaan ringer laktat
5 Wakai, 2013 Randomized control trial I/A Pemberian manitol lebih
dengan pemberian manitol baik dibandingkan
pada pasien trauma akut dengan pemberian
cedera otak sedang dan pentobarbital dan kurang
berat menguntungkan jika
dibandingkan dengan
pemberian cairan
hipertonik saline.
6 Sakellaridis Penelitian prospektif untuk II/B Tidak ada perbedaan
et al., 2011 membandingkan efek dari diantara kedua terapi
mannitol dan saline baik dalam hal
hipertonis terhadap penurunan ICP dan
hipertensi intrakranial durasi kerjanya
pada pasien dengan
cedera otak berat
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi :
Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial
pressure in childrenafter head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4
: 4-10
Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the
treatment of severerefractory posttraumatic intracranial hypertension in
pediatric traumatic brain injury.Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151
Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls
elevated intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care
Med 2000; 28 : 1136 -1143
Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and
hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg
2011; 114 : 545-548
Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled
study of fluidmanagement in children with severe head injury : Lactated

86
Ringer’s solution versushypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 :
1265-1270

VIII.5 Peran pengeluaran LCS Pada pengendalian TIK


Standard : Belum ada data yang cukup
Guidelines : Drainase cairan serebrospinal (3 ml) secara signifikan mengurangi
ICP dan meningkatkan CPP selama setidaknya 10 menit.
Option : Pengeluaran atau drainase dapat dilakukan melalui kateter
ventrikulostomi atau dikombinasi dengan drainase lumbal

Penjelasan Rekomendasi:
Ditemukan studi kelas III pada anak dengan penggunaan darinase ventrikuler pada
TBI. Sahpiro dan marmarou melakukan studi retrospektif pada anak dengan TBI
berat, didapat score ≤ 8 pada Glasgow Coma Scale (GCS), yang mana semuanya
dilakukan ventrikel drainase. Variabel terukur termasuk TIK, pressure-volume index,
dan angka kematian.

Drainase LCS akan meningkatkan Pressure Volume Index (PVI) dan penurunan TIK,
kematian hanya terjadi pada pasien dengan hipertensi intrakranial tak
terkendali/refrakter. Drainase LCS tidak terbatas dari rute ventrikel. Drainase lumbal
sebagai kombinasi perlu dipertimbangkan pada kasus :
1) Hipertensi intrakranial yang membandel setelah pamasangan kateter
ventrikulostomi yang berfungsi baik,
2) Sisterna basal yang terbuka
3) Dan tidak ada gambaran lesi massa yang besar atau pergeseran kompartemen
pada foto

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Shapiro, Penelitian retrospektif, III/C Drainage meningkatkan
Marmaron, 1982 22 pasien dengan EVD PVI, menurunkan TIK,
ditentukan TIK/PVI kematian hanya pada

87
pasien dengan TIK tak
terkendali
2 Baldwin and laporan serial klinis, lima III/C Tiga dari lima selamat
rekate, 1991- pasien dengan drain setelah penurunan TIK
1992 lumbar
3 Levy Penelitian retrospektif, III/C Penderita dari 16 orang ,
et al., 1995 16 pasien dengan kematian pada dua
lumbar drain pasien dengan TIK tak
terkendali
4 Kerr E Mary, Case control, untuk II/B Drainase cairan
et al., 2001 mengetahui efek serebrospinal (3 ml)
drainase LCS pada ICP secara signifikan
monitor terhadap mengurangi ICP dan
perfusi otak meningkatkan CPP
selama setidaknya 10
menit.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi :
Baldwin HZ, Rekate HL : Preliminary experience wih controlled external
lumbar drainage in diffuse pediatric head injury. Pediatry Neurosurg
1991-2; 17: 115-120
Kerr ME, et al : Dose response to cerebrospinal fluid drainage on cerebral
perfusion in traumatic brain-injured adult, Neurosurg Focus 11
(4):Article 1; 1-6. 2001
Levy DI, Rekate HL, Cherny WB, et al : Controlled lumbar drainage in
pediatric head injury. J Neurosurg 1995; 83 : 452-460.
Shapiro K, Marmarou A : Clinical application of the pressure-volume index on
treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819-
825

88
VIII.6 Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik
dengan COB
Standard : Belum ada data yang cukup
Guidelines : Belum ada data yang cukup
Option : Hiperventilasi ringan atau profilaksis (PaCO2<35 mmHg) harus
dihindari pada anak

Penjelasan Rekomendasi:
Hiperventilasi → Hipocapnia (PaCO2 ↓) → Vasokonstriksi otak → Pe↓ CBF → pe ↓
volume darah otak → pe ↓ TIK. Terapi hiperventilasi menunjukkan keuntungan pada
cedera otak dengan berbagai mekanisme yaitu :
1) Penurunan asidosis otak
2) Peningkatan metabolisme otak
3) Perbaikan tekanan darah dari aliran darah otak
Hiperventilasi → Pe ↓ TIK dan pe ↑ CPP
4) Peningkatan perfusi pada area otak yang iskemia

Hiperventilasi ringan (PaCO2 30-35 mmHg) dapat dipertimbangkan pada kondisi


hipertensi intrakranial yang tidak turun dengan :
1. Sedasi dan analgesia
2. Blokade neuromuskular
3. Pengeluaran LCS
4. Terapi hiperosmolar

Hiperventilasi agresif (PaCO2 < 30 mmHg) dapat dipertimbangkan sebagai terapi


tingkat kedua pada hipertensi intrakranial refrakter. CBF, SaO2 vena jugularis, atau
monitor oksigen jaringan otak dianjurkan untuk membantu mengidentifikasi
terjadinya iskemia pada kondisi ini. Hiperventilasi agresif singkat dapat
dipertimbangkan pada kasus herniasi otak atau penurunan kondisi neurologis.
Hiperventilasi dihubungkan dengan resiko iskemia iatrogenik. Hipocapnia (alkalosis
respiratoris) menimbulkan pergeseran ke kiri dari kurva dissosiasi Hb-O2 →
mengganggu pembawaan oksigen ke jaringan otak yang cedera dan masih intak.

89
Tidak ada bukti bahwa hiperventilasi sedang (PaCO2 25 – 30 mmHg) pada awal
cedera otak dapat menyebabkan iskemia global ataupun regional. Meskipun aman,
Hiperventilasi sementara masih diragukan manfaatnya.

Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)


No Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan
1 Stringer Penelitian serial non II/B Iskemia karena
et al.,1993 randomuntuk pengukuran hiperventilasi terjadi dan
CBF.Diukur TIK, CPP, mempengaruhi jaringan
MAP,ETCO2, XeCT, CBF otak yang cedera dan
masih intak.
2 Skippen Penelitian kohort II/B Bila PaCO2 turun, TIK akan
et al.,1997 prospektif,23 anak dengan turun dan CPP meningkat
cedera otakberat, GCS < 8.
Umur 3 hingga 16 thn,
rata-rata 11 tahun. PaCO2
dipertahankan pada > 35,
25-35 dan < 25torr
3 Diringer Penelitian kohort II/B Hiperventilasi pada awal
et al.,2002 prospektif, 13 pasien cedera otak tidak terbukti
dengan cedera otak berat, menyebabkan iskemia
dibagi dalam 2 grup,
membandingkan grup yang
diterapi dengan
hiperventilasi sedang, dan
berat
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi :
Diringer MN, Videen TO, Yundt K, et al. Regional Cerebrovascular and
Metabolic Effects of Hyperventilation after Severe Traumatic Brain
Injury. J Neurosurg 2002;96:103-108

90
Skippen P, Seear M, Poskitt K, et al. Effect of hyperventilation on regional
cerebral blood flow inhead-injured children. Crit Care Med 1997; 25:
1402-1409
Stringer WA, Hasso AN, Thompson JR, et al. Hyperventialtion-induced
cerebral ischemia inpatients with acute brain lesions : Demonstration by
Xenon -enhanced CT.AJNR 1993;14: 475-484

VIII.7 Pembedahan Untuk Hipertensi Intrakranial Pada Pediatri


Standard : Belum ada data yang cukup
Guidelines : Belum ada data yang cukup
Option 1. Kraniektomy dekompresi perlu dipertimbangkan pada pasien
pediatri dengan:
a. Cedera Otak Berat (COB)
b. Edema serebri (brain swelling)
c. Hipertensi intrakranial yang membandel terhadap terapi
medis intensif
d. COB dengan hipertensi intrakranial yang tampaknya akan
mengalami perbaikan dari cedera otaknya.
2. Kraniektomy dekompresi tampaknya kurang efektif pada pada
pasien cedera otak sekunder yang berat
3. Outcome yang baik dapat diharapkan pada kasus penurunan
GCS sekunder dan atau sindroma herniasi otak yang masih
dalam proses dalam waktu 48 jam pertama setelah cedera
4. Pasien dengan GCS 3 dan tidak membaik adalah kelompok
dengan outcome yang tidak baik

Penjelasan Rekomendasi :
Tindakan pembedahan secara umum bertujuan kontrol terhadap hipertensi
intrakranial yang berat. Tindakan kraniektomy dekompresi untuk kasus traumatic
brain injury pada anak-anak menurunkan TIK secara signifikan (rata-rata
penurunan 9 mmHg). Outcome yang baik didapatkan pada : usia muda, operasi
lebih awal dan TIK tidak pernah > 40 mmHg
91
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No. Penuls Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan
1. Cho et al., 1995 Penelitian retrospektif pada III/C Pasien yang dioperasi
pada anak-anak dengan survivalnya lebih baik
shaken baby syndrome yang dibandingkan yang
dilakukan operasi hanya mendapat
dekompresi atau terapi terapi medis
medis
2. Polin Penelitian case control, 35 III/C Outcome yang baik
et al., 1997 pasien cedera otak berat didapatkan pada usia
yang dilakukan dekompresi muda, operasi lebih
kraniektomi dengan pre dan awal dan TIK tidak
post operatif TIK monitor pernah >40 mmHg
dan terapi medis
3. Taylor Single center PRCT, 27 III/C Kraniotomi
et al., 2001 cedera otak berat pada anak dekompresi secara
dengan hipertensi nyata menurunkan
intrakranial yang membandel TIK dalam 48 jam
dengan terapi medis dan setelah dirandomisasi
drainase ventrikel yang dan hasilnya tidak
dirandom antara bitemporal terlalu bermakna
dekompresi kraniotomi vs terhadap perbaikan
tanpa pembedahan klinis
4. Hejazi Penelitian retrospektif 7 III/C Semua pasien
et al., 2002 kasus serial pada pasien mengalami perbaikan
pediatri yang mengalami komplit pada
brain swelling dengan ICP monitoring selama 8
inisial>45mmHg telah bulan post operasi.
dilakukan craniektomi
dekompresi
5. Figaji Studi pada 5 kasus pasien III/C Semua pasien
et al., 2003 pediatri yang mengalami mengalami perbaikan

92
deteriorisasi neurologis (GCS dan skor GOS 4 – 5
<8) yang dilakukan tindakan pada monitoring14-
craniektomi. 40 bulan.
6. Ruf et al., 2003 Studi kasus serial pada 6 III/C 3 pasien mengalami
kasus dengan skor GCS 3-7, perbaikan komplit, 2
kisaran usia 5-11 tahun yang pasein mengalami
dilakukan craniektomy kecacatan pada
unilateral dan bilateral monitoring selama 6
dekompresi. bulan. ICP post
operasi teregulasi
dibawah 20 mm Hg.
7. Kan et al., 2006 Studi kasus serial pada 6 III/C 5 dari 6 pasien
pasien pediatri dengan meninggal. 3 dari 4
rerata skor GCS 4.6 yang pasien memiliki ICP <
dilakukan craniektomi 20 mmHg
dekompresi.
8. Rutgliano Studi kasus retrospektif pada III/C 5 dari 6 pasien
et al, 2006 6 pasien dengan kisaran usia memiliki ICP tidak
dibawah 20 tahun yang tinggi. 1 pasien
dilakukan craniektomy mengalami kenaikan
dekompresi ICP, setelah
dilakukan operasi
kedua ICP kembali
normal.
9. Skoglund pasien pediatri dengan GCS III/C 3 pasien memiliki
et al., 2006 3-15, riwayat deteriorisasi, skor GOS 5pada
herniasi dan kenaikan ICP monitoring selama 1
yang dilakukan unilateral tahun, 1 pasien
atau bilateral craniektomy dengan GOS 4, 3
dekompresi. pasien dengan GOS 3
dan 1 pasien
meninggal.

93
10. Jagannathan Studi kasus serial pada 23 III/C ICP yang tinggi
et al., 2007 pasien dengan rerata usia sebanding dengan
1.9 tahun yang dilakukan mortalitas,
craniektomy dekompresi didapatkan pula
post cedera kepala. survival rate sebesar
70% dengan
mortalitas terutama
pada pasien dengan
multitrauma.
4. Ellis JA Penelitian retrospektif III/C Internal cranial
et al., 2012 terhadap 10 pasien yang expansion adalah
menjalani operasi internal operasi yang aman
cranial expansion selama 5 dan efektif untuk
tahun pasien dengan
intraserebral
hipertensi yang
refrakter.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research

Referensi:
Cho DY, Wang YC, Chi CS: Decompressive craniotomy for acute
shaken/impact syndrome.Pediatr Neurosurg 1995; 23:192–198
Ellis JA et al. Internal cranial expansion surgery for the treatment of refractory
idiopathic intracranial hypertension. 2012
Figaji AA, Fieggen AG, Peter JC: Early decompressive craniotomy in children
with se- vere traumatic brain injury. Childs Nerv Syst 2003; 19:666 –
673
Hejazi N, Witzmann A, Fae P: Unilateral decompressive craniectomy for
children with severe brain injury. Report of seven cases and review of
the relevant literature. Eur J Pedi- atr 2002; 161:99–104
Jagannathan J, Okonkwo DO, Dumont AS, et al: Outcome following
decompressive craniec- tomy in children with severe traumatic brain

94
injury: A 10-year single-center experience with long-term follow up. J
Neurosurg 2007; 106: 268 –275
Kan P, Amini A, Hansen K, et al: Outcomes after decompressive craniectomy
for severe traumatic brain injury in children. J Neuro- surg 2006;
105:337–342
Polin RS, Shaffrey ME, Bogaev CA, et al: Decompressive bifrontal craniectomy
in the treatment of severe refractory posttraumatic cerebral edema.
Neurosurgery 1997; 41:84–94
Ruf B, Heckmann M, Schroth I, et al: Early decompressive craniectomy and
duraplasty for refractory intracranial hypertension in children: results of
a pilot study. Crit Care 2003; 7:R133–R138
Rutigliano D, Egnor MR, Priebe CJ, et al: Decompressive craniectomy in
pediatric pa- tients with traumatic brain injury with intractable elevated
intracranial pressure. J Pe- diatr Surg 2006; 41:83– 87; discussion 83–
87
Skoglund TS, Eriksson-Ritzen C, Jensen C, et al: Aspects on decompressive
craniectomy in patients with traumatic head injuries. J Neurotrauma
2006; 23:1502–1509
Taylor A, Warwick B, Rosenfeld J, et al: A randomized trial of very early
decompressive craniectomy in children with traumatic brain injury and
sustained intracranial hypertension. Childs Nerv Syst 2001; 17:154–162

Tinjauan antara Cedera Otak Pediatri dan Dewasa :


Perbandingan antara Cedera pada anak dan dewasa menurut “National Pediatric
Trauma Registry” menunjukkan bahwa proporsi anak yang mengalami cedera otak
traumatik lebih besar dibandingkan orang dewasa. Tetapi karena sulitnya untuk
menilai terapi pada anak dengan rentang kelompok umur yang lebar dan perbedaan
tingkat perkembangan pada tiap fase mengakibatkan masih belum banyak penelitian
yang memenuhi syarat untuk dijadikan standard penanganan pada masa akut
hingga rehabilitasi. Karena tidak benar anggapan bahwa “ anak adalah miniatur
orang dewasa”, maka tidaklah tepat untuk menyamakan dan mengaplikasikan begitu
saja literatur penelitian pada orang dewasa atau guideline yang ada untuk orang

95
dewasa pada anak. Usaha-usaha untuk mengenali aspek khusus pada anak dikaji
dan guideline yang disusun adalah sebagai pendamping guideline yang ada untuk
orang dewasa. Guideline yang disusun sebagian besar adalah hasil konsensus
bersama.

Pediatrik atau anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia kurang dari 18 tahun.
Cedera otak traumatik, yang selanjutnya disebut sebagai “cedera otak” saja, adalah
perlukaan primer atau sekunder akibat kejadian trauma pada otak. Cedera otak
akibat penganiayaan (abusive head injury) termasuk didalamnya penganiyaan,
penyiksaan, penelantaran dan shaken baby syndrome dimasukkan juga dalam
kategori cedera otak ini. Cedera akibat trauma kelahiran, tenggelam, dan gangguan
pembuluh darah otak tidak dimasukkan dalam kelompok ini.

Secara epidemiologi, cedera otak pada anak menyebabkan kematian pada 40%
kasus anak usia 1 hingga 4 tahun dan 70% kematian pada anak usia 5 hingga 19
tahun. Pola dan prinsip manajemen cedera kepala pada anak hampir sama dengan
pada orang dewasa tetapi ada perbedaan penting. Ini berhubungan dengan tingkat
perkembangan anak, variasi anatomi terhadap kepala dan pada umumnya dan
respon otak anak terhadap cedera traumatik. Hal-hal yang terkait adalah : pada
anak kecil tidak mungkin melakukan pemeriksaanGCS seperti orang dewasa.
Modifikasi skala yang diadopsi untuk anak kecil dan bayi. Fluktuasi respon lebih
banyak pada anak dan dicatat secara terpisah pada kartu monitoring seringkali
menyesatkan. Seringkali sulit memutuskan apakah ada penurunan kesadaran pada
waktu benturan. Gegar otak bisa sangat singkat dan tidak bisa dinilai dengan
observasi Trauma tumpul pada kepala anak dapat terjadi dalam waktu singkat
dengan perkembangan edema otak akut. Kondisi ini bisa terjadi pada trauma kepala
yang nampaknya terlihat ringan dan diindikasikan dengan penurunan status
kesadaran yang cepat dan dalam.Kondisi ini dapat di diagnosa hanya setelah lesi
masa disingkirkan dengan pemeriksaan CT scan.
Penurunan kesadaran mendadak diikuti kondisi seperti episode bingung menandai
beratnya cedera kepala. Pasien seperti ini harus menjalani CT scan untuk
memastikan tidak ada perdarahan intrakranial. Kejang dini dalam satu jam sejak

96
trauma tidak sama resikonya dengan epilepsi pasca trauma lanjut pada orang
dewasa. Pada umumnya anak anak membaik dan sembuh total setelah serangan,
tidak ada indikasi pemberian anti konvulsan. Tipisnya scalp dan kalvaria pada anak
kecil meningkatkan resiko kerusakan otak oleh penetrasi objek dimana pada orang
dewasa tidak bisa tembus. Beberapa luka tusuk pada kepala anak harus diterapi
seolah-olah telah terjadi trauma langsung pada otak. Luka masuk harus diperiksa
dengan teliti untuk mencari tanda fraktur, keluarnya CSS atau jaringan otak. Jika
masih ragu-ragu, CT scan dapat digunakan untuk menilai luasnya kerusakan pada
sisi itu. Rujukan ke ahli bedah saraf diperlukan untuk memperbaiki kerusakan
tersebut. Fraktur impresi, baik yang sederhana maupun yang komplikata umumnya
berkaitan dengan kerusakan lokal terhadap otak dibawahnya. Energi benturan
secara substansial dapat diserap pada sisi trauma dan efek akselerasi pada otak
diminimalisir. Tidak adanya riwayat hilangnya kesadaran tidak menghilangkan
adanya cedera fokal yang berat. Foto polos kepala, khususnya tangensial view, bisa
menyatakan luasnya cedera tulang walupun CT scan dapat menunjukkan lebih jelas
aspek yang sama, dan ditambah dapat menunjukkan apakah ada atau tidak cedera
otak dibawahnya. Karena elastisitasnya, kalvaria anak kecil dapat mengalami
perubahan bentuk setelah benturan tanpa ada fraktur. Deformitas ini bisa
berhubungan dengan trauma lokal terhadap otak atau trauma pada meningen yang
menghasilkan timbulnya hematom ekstradural. Tidak adanya fraktur tidak
menghilangkan suatu perdarahan tipe ini pada anak. Kehilangan darah adalah
pertimbangan penting sebagai perhatian untuk menilai cedera otak pada anak
termasuk bayi.

Penurunan mendadak volume darah sirkulasi bisa dihasilkan dari perdarahan dari
luka, hematom scalp (sub galeal) dan atau hematom intrakranial. Pada bayi kecil
karena mekanisme kompensasi intrakranial hematom bisa sangat besar. Khususnya
penting untuk menyatakan bahwa tekanan darah bisa dipertahankan sebagai refleksi
peningkatan tekanan intrakranial dan distorsi. Pada pembedahan, tekanan darah
bisaturun dengan cepat. Ini penting pada anak-anak jika merencanakan untuk
melakukan pembedahan sebagai pertimbangan pemberian transfusi darah
segera.Pada kondisi emergensi darah O negatif dapat diberikan. Otak anak kecil

97
kemungkinan besar mengalami edema setelah trauma tumpul dan ini penting sekali
untuk tidak memasukkan cairan berlebihan pada pasien seperti ini. Sebagaimana
pada orang dewasa cairan intravena tidak diperlukan kecuali untuk mengganti
perkiraan kehilangan sesuai indikasi. Edema otak lambat dapat menyebabkan
perubahan yang tidak diduga dan observasi pada anak kecil di rumah sakit selama
24 jam setelah cedera ringan dianjurkan.

Pada bayi, fontanela paling bermanfaat dalam menilai ada atau tidaknya
peningkatan tekanan intrakranial. Adanya perdarahan retina, skull fraktur bilateral
menunjukkan suatu trauma non kecelakaan. Gelisah pada cedera kepala anak kecil
bisa menyulitkan saat CT scan. Pembiusan atau sedasi dapat diberikan pada kondisi
akut.

Rekomendasi atau guideline penatalaksanaan cedera otak berat pada anak sesuai
dengan Guidelines For The Acute Medical Management of Severe Traumatic Brain
Injury in Infants, Children, and Adolescent (Pediatric Critical Care Medicine,
4(3), 2003

(Rainer Gedeit.Head Injury. Pediatrics in Review Vol.22 No.4 April 2001)

98
IX. Cedera otak terkait olahraga
Cedera otak merupakan diagnosis klinis dari cedera kepala dengan gangguan fungsi
neurologis yang dapat berupa gejala akut dari gangguan fungsi kognitif.
Diperkirakan terdapat 1,7 sampai 3,8 juta kerjadian cedera otak tiap tahunnya di AS,
10% nya berhubungan dengan trauma olahraga. Pada umumnya cedera otak dapat
sembuh sendiri dengan perbaikan gejala dalam satu minggu namun dapat juga
terjadinya sequel dari cedera otak dari yang ringan berupa nyeri kepala dan yang
berat sampai meninggal. Diagnosis yang tepat dan pengobatan sesuai dengan
pedoman standar sangat penting ketika merawat atlet yang mengalami cedera otak
dan kemungkinan meningkatnya gangguan jangka panjang.

Conccusion karena trauma olahraga


Gejala dari conccusion karena trauma olahraga diklasifikasikan dalam 4 kelompok :
gangguan fisik, kognitif, emosi, dan gangguan tidur.

Gangguan fisik Gangguan kognitif Gangguan Gangguan tidur


emosi
- Nyeri kepala - Mental “berkabut” Mudah marah Mengantuk
- Mual muntah
- Merasa “lambat” Sedih Tidur lebih lama
- Gangguan
keseimbangan - Susah konsentrasi Lebih emosi Susah tidur
- Mudah lelah dan gugup
- Mudah lupa
- Gangguan visus
- Sensitif dengan - Mengulang

cahaya pertanyaan

- Sensitif dengan bising


- Menjawab
- Mati rasa
pertanyaan dengan
- kesemutan
pelan

99
Derajat concussion berdasarkan system Cantu dan AAN :
Grade Sistem Cantu Sistem AAN
Ringan 1. Amnesia post traumatic < 30 1. Bingung
menit 2. Tidak pernah penurunan
2. Tidak pernah penurunan kesadaran
kesadaran 3. Gejala hilang < 15 menit
Sedang 1. penurunan kesadaran n < 5 menit Seperti diatas namun gejala
atau masih masih ada > 15 menit
2. Amnesia post trauma > 30 menit
Berat 1. penurunan kesadaran ≥ 5 menit Tiap ada penurunan
atau kesadaran
2. Amnesia post trauma ≥ 24 jam

Kontraindikasi untuk kembali bermain olahraga yang memerlukan kontak fisik :


1. Gejala post concussion yang persisten
2. Sisa gejala trauma kepala pada sistem saraf pusat yang menetap ( dementia
organik, hemiplegia, hemianopsia homonym)
3. Hidrosefalus
4. SAH spontan
5. Gejala abnormal dari foramen magnum (malformasi chiari)

Pedoman untuk atlit bisa kembali bermain (AAN guideline)


Grade AAN Rekomendasi penanganan concussion pada olahraga
Ringan • keluar dari kontes
• periksa setiap 5 menit untuk gejala amnesia dan post concussive
• Dimungkinkan bisa kembali bermain jika gejala menghilang dalam
15 menit
Sedang • Keluar dari kontes
• Tidak disarankan kembali bermain pada hari itu
• Periksa secara berkala untuk tanda-tanda berkembangnya
gangguan intrakranial
• Periksa kembali pada hari berikutna

100
• CT atau MRI jika nyeri kepala atau gejala lain memburuk atau
lebih dari 1 minggu
• Latihan kembali setelah 1 minggu bebas gejala
Berat • Transportasi ambulans dari lapangan ke UGD RS jika belum sadar
( pasang stabilisator C-Spine)
• Segera lakukan pemeriksaan neurologi. neuroimaging yang
sesuai
• Dapat kembali ke rumah dengan instruksi “cedera kepala” jika
pada pemeriksaan tidak didapatkan kelainan
• Segera ke RS setiap ada tanda kelainan atau mental status tidak
normal yang berkelanjutan.
• Periksa status neurologi tiap hari sampai semua gejala membaik
atau stabil
• Adanya penurunan kesadaran yang berlangsung lama,
perubahan mental status yang persisten, perburukan gejala post
concussion atau pemeriksaan neurologi yang tidak normalà
evaluasi neurosurgical segera atau transfer ke trauma center.
• Setelah penurunan kesadaran < 1 menit pada concussion derajat
3, jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama satu
minggu
• Setelah penurunan kesadaran > 1 menit pada concussion derajat
3, jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama dua
minggu.
• CT scan atau MRI jika nyeri kepala atau keluhan memberat atau
lebih dari dua minggu.

Concussion berulang pada periode waktu yang pendek merupakan suatu kondisi
yang berpotensi membahayakan. Perlunya pemeriksaan neuroimaging (misal CT
scan) pada atlet dengan gejala yang membaik bersifat kontroversi, dan tergantung
penilaian dari dokter yang menangani. Indikasi pemerikasaan neuroimaging yang
disarankan adalah :
1. Concussion berat

101
2. Gejala yang menetap > 1 minggu, meskipun ringan
3. Sebelum kembali berkompetisi setelah concussion yang kedua dan ketiga pada
musim kompetisi yang sama.

Rekomendasi pada concussion berulang pada satu musim kompetisi


Concussion Panduan sebelum kembali bermain
No Tingkat keparahan
2 Ringan 1 minggu*
Sedang atau Berat 1 bulan* dengan CT scan atau MRI normal †

3 Ringan Disarankan untuk tidak bermain lagi pada musim ini, CT


scan atau MRI†
Sedang Disarankan tidak bermain lagi pada musim ini,dan hindari
2 Berat olahraga yang memerlukan kontak fisik
* tanpa gejala-gejala pada saat istirahat dan aktivitas
† jika didapatkan abnormalitas akut pada CT/MRI: akhiri musim kompetisi.
Pertimbangkan untuk tidak ikut berpartisipasi pada olahraga yang bersifat
kontak fisik

Referensi
Bradley, et al. 2013. Sport related concussion. Division of pediatric sports
medicine rainbow babies and children hospital. Elsevier. Vol 14 : 4
Victoroff, et al. 2012. Diagnosis dan treatment of sport related traumatic brain
injury. Psychiatric annals. 42 : 10
Sahler, et al. 2012. Traumatic brain injury in sports : A review. Hindawi
rehabilitation research and practice.
Greenberg, Mark. 2010. Handbook of neurosurgery 7 ed. Thieme : Hal 850.

102
PENUTUP

Pedoman ini akan selalu dilakukan evaluasi dan secara sistematis dilakukan
penelitian yang mendukung, sehingga mendapat tingkat kepercayaan klinis (clinical
certainty) yang tertinggi yaitu gold standard / standard. Namun, pada dasarnya
pedoman ini sudah dapat digunakan sebagai acuan atau rekomendasi, baik untuk
tatalaksana yang bersifat medik maupun intervensi pembedahan di bidang cedera
otak.

Besar harapan kami untuk menyempurnakan perdoman ini dengan mendapatkan


saran dan kritik yang datang dari manapun dan siapapun terutama yang
berkecimpung pada pelayanan dan pendidikan serta penelitian dibidang
neurotrauma.

Rasanya tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaan selalu menjadi harapan kami
namun berbagai keterbatasan membuat kami tidak dapat menyusun pedoman ini
secara sempurna, sehingga kekurangan dan ketidak sesuaian selalu ada.

103

You might also like