You are on page 1of 11

Amal Baik Orang Kafir

Kafir artinya orang yang tidak beriman kepada Allah dan seluruh petunjuk-Nya.
Petunjuk Allah itu meliputi i’tiqad (keyakinan) dan syariat (tuntunan amal). Jikapun
ada yang percaya kepada Allah tapi tak mau mengakui satu saja dari petunjuk-Nya yang
telah diketahui secara pasti dalam agama ini maka dia tetap dikatakan kafir.

Ada orang yang kafir setelah beriman dan ini yang biasa disebut murtad, ada pula
yang memang belum pernah beriman kepada Allah maupun Rasulullah Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam, inilah yang disebut kafir asli yang kemudian istilahnya
diperhalus menjadi non muslim.
Secara ukhrawi keduanya punya hukum yang sama di sisi Allah, tapi secara
duniawi keduanya punya perlakuan hukum yang berbeda. Islam menolerir kafir asli yang
bisa dijadikan ahli dzimmah ataupun mu’ahad, tapi untuk yang murtad maka hukum
Islam padanya hanyalah tobat kembali ke Islam atau mati. Itupun tak gampang
menetapkan seseorang murtad, harus dilakukan pihak berwenang dengan syarat dan
ketentuan yang ketat.
Belakangan ada orang kafir asli yang mencoba mengambil hati ummat Islam
dengan membayar zakat, menyerahkan hewan kurban dan lain-lain. Mungkin ada yang
bertanya-tanya, adakah amalnya ini diterima?

Amal Kafir Tidak Diterima di Akhirat Bila Mati dalam Keadaan Kafir
Dalil-dalil untuk hal ini adalah:
1.Firman Allah:

َ ‫صابَتْ َح ْر‬
‫ث‬ َ َ ‫ون فِي َه ِذ ِه ا ْل َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َك َمث َ ِل ِريحٍ فِي َها ِص ٌّر أ‬ َ ُ‫َمث َ ُل َما يُ ْن ِفق‬
َ ‫س ُه ْم يَ ْظ ِل ُم‬
‫ون‬ َ ُ‫َّللاُ َولَ ِك ْن أ َ ْنف‬
‫س ُه ْم فَأ َ ْهلَ َكتْهُ َو َما َظلَ َم ُه ُم ه‬
َ ُ‫قَ ْو ٍم َظلَ ُموا أ َ ْنف‬
“Perumpamaan yang mereka infaqkan dalam kehidupan dunia ini seperti angin yang
membawa hawa amat dingin yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri
sendiri sehingga memusnahkan tanaman itu. Allah sama sekali tidak menzalimi
mereka, tapi mereka sendirilah yang zalim.”
(Qs. Ali Imran : 117).
Abu Ja’far Ath-Thabari menerangkan, “Perumpamaan apa yang mereka infakkan
atau yang disedekahkan oleh orang kafir ini dari hartanya sendiri yang dia sumbangkan
dalam rangka mendekatkan diri kepada tuhannya, padahal dia ingkar akan keesaan
Allah serta mendustakan kerasulan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Maka semua
itu tidak akan bermanfaat lantaran kekafiran itu. Dia akan lenyap begitu saja saat
dibutuhkan, hilang padahal telah banyak harapan yang ia sematkan pada sumbangan
tersebut……..”[1]
Al-Qurthubi mengatakan, “Makna ayat ini adalah perumpamaan sumbangan orang
kafir dalam hal kebatilan dan kemusnahannya serta unusualnya seperti tanaman yang
terkena angin dingin atau api yang membakarnya sehingga musnah. Akibatnya, sang
pemilik tak bisa memanfaatkannya sedikitpun, padahal dia telah berharap-harap akan
manfaat dan kegunaan tanaman tersebut.”[2]

2. Firman Allah Ta’ala:

َ ‫س ِر‬
‫ين‬ َ ‫ان فَقَ ْد َح ِب َط‬
ِ ‫ع َملُهُ َو ُه َو ِفي ْاْلَ ِخ َر ِة ِم َن ا ْل َخا‬ ِ ْ ‫َو َم ْن يَ ْكفُ ْر ِب‬
ِ ‫اْلي َم‬
“Maka siapa yang kafir terhadap keimanan maka terhapuslah amalnya dan dia di
akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-Maidah : 5).
Ath-Thabari menyebutkan beberapa riwayat dari para ulama salaf di kalangan
sahabat dan tabi’in bahwa maksud ayat ini adalah mereka yang kufur kepada Allah
dengan tidak mau melaksanakan perintahnya. Mereka itulah yang terhapus amalnya.
Jadi, kafir pada keimanan berarti kafir kepada Allah dan tak mengakui keesaan-Nya.[3]
Al-Baidhawi juga menafsirkan iman dalam ayat ini,
“Maksud iman di sini adalah syariat Islam, dan yang dimaksud kafir di sini adalah yang
tak mau melaksanakannya.”[4]
Hal senada juga diungkapkan oleh Al-Qasimi dalam Mahasin At-Ta`wil 4/60.
Apalagi rangkaian ayat ini menyebut ahli kitab yang meski telah beriman kepada
kitab-kitab mereka, tapi mereka tidak beriman kepada apa yang diturunkan kepada
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dan itulah yang membuat mereka mendapat
cap kafir, sehingga amal-amal merekapun tak berguna di akhirat nanti. Sebagaimana
disebutkan oleh Al-Qurthubi bahwa ketika kebolehan menikahi wanita ahli kitab turun
maka para wanita ahli kitabpun mengatakan, “Sekiranya Allah tidak ridha dengan
agama kami niscaya Dia tidak akan membolehkan kalian menikahi kami”, maka turunlah
ayat, “Siapa yang kafir terhadap keimanan…..” Artinya kafir terhadap apa yang
diturunkan kepada Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.[5]
Dengan demikian, setiap orang kafir yang tak mau masuk ke dalam Islam, maka
otomatis dia enggan menjalankan perintah agama dan meninggalkan larangan agama
dan itulah kekafiran yang membuat amal baiknya selama di dunia menjadi sia-sia.

3.Firman Allah Ta’ala:

‫الري ُح ِفي يَ ْو ٍم‬ ِ ‫شتَدهتْ ِب ِه‬ ْ ‫ِين َكفَ ُروا ِب َر ِب ِه ْم أ َ ْع َمالُ ُه ْم ك ََر َما ٍد ا‬َ ‫َمث َ ُل الهذ‬
‫علَى ش َْيءٍ ذَ ِلكَ ُه َو ال ه‬
‫ض ََل ُل ا ْلبَ ِعي ُد‬ َ ‫سبُوا‬ َ ‫ون ِم هما َك‬ َ ‫ف ََل يَ ْقد ُِر‬
ٍ ‫َاص‬
ِ ‫ع‬
“Perumpamaan orang-orang yang kafir terhadap Tuhan mereka, amal mereka seperti
abu yang ditiup angin kencang di hari yang berbadai. Mereka tak mampu mengambil
manfaat sedikitpun dari apa yang mereka lakukan. Itulah kesesatan yang jauh.”
(Qs. Ibrahim : 18).
Abu Ja’far Ath-Thabari menerangkan ayat ini:
“Ini adalah perumpamaan yang Allah buat menggambarkan amal orang-orang kafir. Di
hari kiamat nanti, amal mereka di dunia yang mereka sangka dipersembahkan untuk
Allah tak ubahnya seperti abu yang diterbangkan angin di hari berbadai. Angin itu
menghilangkannya tak berbekas. Begitulah amalan orang kafir di hari kiamat nanti.
Mereka tak mendapatkan apapun manfaat dari amal itu yang mereka bisa bawa ke
hadapan Allah demi menyelamatkan mereka dari azab-Nya. Sebab, mereka melakukan
itu bukan tulus karena Allah, tapi juga menyertakan niat untuk berhala dan patung.”[6]
Syekh Muhammad Amin Asy-Syinqithi juga menjelaskan,
“Demikian pula amalan kafir seperti menyambung silaturrahim, memuliakan tamu,
menyelamatkan kesusahan orang lain, baktinya kepada kedua orang tua dan lain-lain
semua dibatalkan oleh kekafiran. Kekafiran itulah yang memusnahkan amal tersebut
sebagaimana angin menerbangkan debu tadi.”[7]
Saya (Anshari) katakan, Dengan demikian kekafiran itu merupakan penghapus
amal dengan sendirinya. Sebagaimana firman Allah yang lain yaitu surah Al-Maidah ayat
5 di atas.
Agar amal itu tak terhapus maka kekafiran itu yang harus dihapus dengan cara masuk
ke dalam Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan konsekuensinya
sebelum ajal menjemput.

4. Firman Allah Ta’ala:

ُ‫ظ ْمآَنُ َما ًء َحتهى إِذَا َجا َءه‬‫سبُهُ ال ه‬


َ ‫ب ِب ِقيعَ ٍة يَ ْح‬
ٍ ‫س َرا‬ َ ‫ِين َكفَ ُروا أ َ ْع َمالُ ُه ْم َك‬
َ ‫َوالهذ‬
‫ب‬
ِ ‫سا‬ َ ‫س ِري ُع ا ْل ِح‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللاَ ِع ْن َد ُه فَ َوفها ُه ِح‬
‫سابَهُ َو ه‬ ‫ش ْيئ ًا َو َو َج َد ه‬ َ ‫لَ ْم يَ ِج ْد ُه‬
“Dan orang-orang yang kafir itu amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar,
dimana orang haus akan mengiranya sebagai air, tapi saat didatangi ternyata tak ada
apa-apa. Dia hanya mendapati Allah di sisi-Nya yang menunaikan perhitungan amalnya,
dan Allah itu maha cepat perhitungan-Nya.”
(Qs. An-Nuur : 39).

Kata ( َ ‫َّللاَ ِع ْن َدهُ فَ َوفهاهُ ِح‬


ُ‫سابَه‬ ‫ ) َو َو َج َد ه‬menurut Prof Dr Wahbah Az-Zuhaili
adalah mendapat azab Allah yang memang dijanjikan kepada orang kafir itu dan dengan
itulah Allah membalas amal mereka di dunia.[8] Demikian pula yang dikatakan oleh As-
Samarqandi dalam tafsirnya Bahrul Ulum, “Ini adalah perumpamaan terhadap amal-
amal kafir yang secara kasat mata terlihat sebagai ketaatan, maka Allah mengabarkan
bahwa tidak ada pahala yang mereka dapatkan dari itu.”[9]
Ibnu Katsirpun menjelaskan bahwa orang kafir ini mengira bahwa amal mereka
akan menghasilkan sesuatu tapi setelah dihisab oleh Allah di hari kiamat ternyata tak
ada yang diterima, baik karena ketidakikhlasan maupun karena tidak melalui jalur
syariat.[10]
5. Firman Allah Ta’ala:

ً ُ ‫ع َم ٍل فَ َجعَ ْلنَاهُ َهبَا ًء َم ْنث‬


‫ورا‬ َ ‫َوقَد ِْمنَا إِلَى َما ع َِملُوا ِم ْن‬
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan lalu kami jadikan amal itu bagai
debu yang beterbangan.”
(Qs. Al-Furqan : 23).
Ayat ini menjelaskan amalan orang kafir di akhirat bagaikan debu beterbangan,
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
“Ini adalah hari kiamat, ketika Allah menghisab amalan para hamba berupa amal baik
maupun amal buruk. Allah mengabarkan bahwa kaum musyrikin tersebut tidak akan
mendapat apapun dari amal mereka. Mereka mengira bahwa amal itu akan
menyelamatkan mereka. Itu karena mereka kehilangan syarat syar’i diterimanya amal
yaitu ikhlas dan mengikuti syariat Allah. Setiap amal yang tidak diikhlaskan karena Allah
dan bukan berdasarkan syariat yang diridhai maka dia batil. Amalan orang-orang kafir
tidak lepas dari kedua kemungkinan ini atau bahkan keduanya sekaligus maka itu lebih
jauh lagi untuk diterima.”[11]

6. Hadits dari Aisyah yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

‫ فَ َه ْل‬، َ‫ط ِع ُم ْال ِم ْس ِكين‬


ْ ُ‫ َوي‬،‫الر ِح َم‬
َّ ‫ص ُل‬ ِ ‫عانَ َكانَ فِي ْال َجا ِه ِليَّ ِة َي‬ َ ‫ اب ُْن ُج ْد‬،ِ‫سو َل هللا‬
ُ ‫َيا َر‬
ِ ‫ب ا ْغ ِف ْر ِلي َخ ِطيئَتِي يَ ْو َم الد‬
‫ِين‬ ِ ‫ َر‬:‫ إِنههُ لَ ْم يَقُ ْل يَ ْو ًما‬،ُ‫ " ََل يَ ْنفَعُه‬:‫اك نَافِعُهُ؟ قَا َل‬َ َ‫ذ‬
"
“Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an itu di masa jahiliyyah biasa menyambung silaturrahim,
memberi makan orang miskin, apakah itu akan bermanfaat untuknya?”
Rasulullah menjawab, “Tidak wahai Aisyah, karena dia belum pernah seharipun
mengucapkan, “Tuhanku, ampuni kesalahanku di hari pembalasan.”
(HR. Muslim, no. 214, Ahmad, no. 24621 dan 24892).
Abdullah bin Jud’an terkenal akan kedermawanannya di masa jahiliyyah, tapi dia
mati dalam keadaan musyrik, sehingga amal-amal baiknya selama di dunia tak bisa
menyelamatkannya dari azab Allah di hari pembalasan.
An-Nawawi memberi penjelasan hadits ini menukil perkataan Al-Qadhi Iyadh,
“Telah terjadi ijmak bahwa amal orang kafir itu tidak berguna bagi mereka dan mereka
tak diganjar pahala karenanya baik berupa kenikmatan maupun keringanan hukuman,
hanya saja sebagian mereka lebih pedih siksanya dibanding yang lain tergantung
kejahatan yang telah mereka lakukan.”[12]

Amal Baik Kafir Dibalas Allah Di Dunia

Allah maha adil, sehingga apapun kebaikan seseorang akan dibalas Allah sesuai
keadilan-Nya. Diantara keadilan Allah itu adalah memberikan jatah balasan amal baik
seorang kafir di kehidupan dunia.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

‫ يُ ْع َطى ِب َها ِفي ال ُّد ْنيَا َويُ ْج َزى ِب َها ِفي‬،ً‫سنَة‬ َ ‫ِإ هن هللاَ ََل يَ ْظ ِل ُم ُم ْؤ ِمنًا َح‬
‫ َحتهى إِذَا‬،‫ّلِل فِي ال ُّد ْنيَا‬ َ ‫ َوأ َ هما ا ْلكَافِ ُر فَيُ ْطعَ ُم ِب َح‬،‫ْاْل ِخ َر ِة‬
ِ ‫سنَا‬
ِ ‫ت َما ع َِم َل ِب َها ِ ه‬
‫سنَةٌ يُ ْج َزى ِب َها‬ َ ‫أ َ ْف‬
َ ‫ لَ ْم تَك ُْن لَهُ َح‬،‫ضى ِإلَى ْاْل ِخ َر ِة‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan menzalimi orang mukmin, dia akan diberikan (balasan)
di dunia dan diganjar lagi di akhirat. Sedangkan orang kafir maka akan diberikan di
dunia atas amal baik yang dia lakukan karena Allah, hingga nanti di akhirat dia tak lagi
menyisakan kebaikan yang akan diganjar.”
(HR. Muslim, no. 2808).
An-Nawawi menjelaskan point bahasan kita dari hadits ini:

‫اب لَهُ فِي ْاْل ِخ َرةِ َو ََل‬


َ ‫علَى ُك ْف ِر ِه ََل ثَ َو‬ َ ‫علَى أ َ َّن ْال َكافِ َر الَّذِي َم‬
َ ‫ات‬ َ ‫أَ ْج َم َع ْالعُلَ َما ُء‬
‫ص َّر َح فِي َهذَا‬ َ ‫َّللاِ ت َ َعالَى َو‬
َّ ‫ع َم ِل ِه فِي الدُّ ْن َيا ُمتَقَ ِربًا إِ َلى‬
َ ‫ش ْيءٍ ِم ْن‬ َ ‫يُ َجازَ ى فِي َها ِب‬
ْ َ‫ت أ‬
‫ي بِ َما فَ َعلَهُ ُمتَقَ ِربًا ِب ِه ِإلَى‬ َ ‫ع ِملَهُ ِمنَ ْال َح‬
ِ ‫سنَا‬ َ ‫ط َع َم فِي الدُّ ْنيَا ِب َما‬ْ ُ‫ث ِبأ َ ْن ي‬
ِ ‫ْال َحدِي‬
‫الض َيافَ ِة‬ ِ ْ‫صدَقَ ِة َو ْال ِعت‬
ِ ‫ق َو‬ َّ ‫صلَ ِة‬
َّ ‫الر ِح ِم َوال‬ ِ ‫َّللاِ تَ َعالَى ِم َّما ََل َي ْفتَ ِق ُر‬
ِ ‫ص َّحتُهُ ِإلَى النِيَّ ِة َك‬ َّ
ِ ‫َوتَ ْس ِهي ِل ْال َخي َْرا‬
‫ت‬
“Para ulama telah sepakat bahwa orang kafir yang mati dalam kekafirannya tidak
mendapat pahala di akhirat, dan di sana dia tak mendapat balasan apapun dari amalnya
di dunia ini yang dia persembahkan untuk Allah Ta’ala. Dalam hadits ini jelas bahwa dia
akan diberi makanan di dunia atas dasar amal baiknya itu yang dia niatkan sebagai
pendekatan diri kepada Allah Ta’ala yang memang tak diperlukan niat, misalnya
silaturahim, sedekah, membebaskan buda, memuliakan tamu dan mempermudah jalan
kebajikan.”
(Syarh Shahih Muslim, jilid 17 hal. 150, terbitan Dar Ihya` At-Turats Al’-Arabi).

Jika Kafir Masuk Islam Maka Amal Baiknya Di Kala Kafir Dipulihkan

Ini berdasarkan hadits Hakim bin Hizam yang diriwayatkan oleh Muslim dengan
empat jalur semua bermuara pada Urwah bin Zubair, salah satunya dengan redaksi:

‫سو َل‬ ُ ‫ي َر‬ْ َ ‫ أ‬:‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو ِل هللا‬ ُ ‫ أَنَّهُ قَا َل ِل َر‬،ُ‫ أ َ ْخ َب َره‬،‫يم بْنَ ِحزَ ٍام‬َ ‫أَ َّن َح ِك‬
ِ ‫ أَ ْو‬،ٍ‫عتَاقَة‬
‫صلَ ِة‬ َ ‫ أَ ْو‬،ٍ‫صدَقَة‬ َ ‫ ِم ْن‬،‫ث ِب َها فِي ْال َجا ِه ِليَّ ِة‬ ُ َّ‫ورا ُك ْنتُ أَتَ َحن‬ ً ‫ْت أ ُ ُم‬
َ ‫ أَ َرأَي‬،ِ‫هللا‬
ْ َ‫علَى َما أ‬
َ‫سلَ ْفت‬ ْ َ ‫ «أ‬:‫سلَّ َم‬
َ َ‫سلَ ْمت‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ أَ ِفي َها أَ ْج ٌر؟ فَقَا َل َر‬،‫َر ِح ٍم‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬
»‫ِم ْن َخ ْي ٍر‬
“Bahwa Hakim bin Hizam mengabarkan kepadanya (Urwah) bahwa dia berkata kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu
tentang amal ibadah yang aku lakukan di masa jahiliyyah berupa sedekah, pembebasab
budak, silaturrahim, apakah semua itu mendapat pahala?”
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda padanya, “Kamu masuk Islam di
atas amal kebaikan yang telah kau lakukan sebelumnya.”
(HR. Muslim, no. 123, Ahmad, no. 15319).
Ada beberapa penjelasan berbeda di kalangan para ulama terhadap hadits ini.
An-Nawawi merajihkan penjelasan Ibnu Baththal dan beberapa ulama peneliti lainnya
bahwa bila orang kafir pernah berbuat kebajikan semasa kafirnya lalu dia masuk Islam
dan mati dalam keadaan Islam maka amal kebajikannya yang lalu akan dihitung dan
diberi pahala dengan keislamannya. Ini diperkuat pula oleh hadits Abu Sa’id Al-Khudri
yang disebut Al-Bukhari dalam shahihnya secara ta’liq dari Malik, dan dikeluarkan oleh
An-Nasa`iy dalam Sunannya:

،‫َان أ َ ْزلَفَ َها‬ َ ‫َّللاُ لَهُ ُك هل َح‬


َ ‫سنَ ٍة ك‬ ‫ب ه‬ َ َ ‫ َكت‬،ُ‫س ََل ُمه‬ ْ ‫س َن ِإ‬ ْ َ ‫ِإذَا أ‬
ُ ‫سلَ َم ا ْلعَ ْب ُد فَ َح‬
ُ‫سنَة‬َ ‫ ا ْل َح‬،‫اص‬ُ ‫ص‬ َ ‫ ث ُ هم ك‬،‫َان أ َ ْزلَفَ َها‬
َ ‫َان بَ ْع َد ذَ ِلكَ ا ْل ِق‬ َ ‫ع ْنهُ ُك ُّل‬
َ ‫س ِيئ َ ٍة ك‬ َ ْ‫َو ُم ِحيَت‬
ُ‫َّللا‬ َ ‫س ِيئَةُ ِب ِمثْ ِل َها إِ هَل أ َ ْن يَت َ َج‬
‫او َز ه‬ َ ‫ِبعَش َْر ِة أ َ ْمثَا ِل َها ِإلَى‬
ٍ ‫س ْب ِع ِمائ َ ِة ِض ْع‬
‫ َوال ه‬،‫ف‬
‫ع ْن َها‬
َ ‫ع هَز َو َج هل‬
“Jika seseorang masuk Islam lalu keislamannya menjadi baik maka Allah akan
menuliskan setiap kebajikan yang telah dia lakukan dahulu untuknya dan menghapus
setiap kesalahan yang pernah dia lakukan. Setelah itu adalah qisas (balasan amal
secara normal dalam Islam –penerj), satu kebaikan diganjar sepuluh kali lipat sampai
tujuh ratus kali lipat, sedangkan keburukan akan diganjar sepadan saja, kecuali kalau
Allah Azza wa Jalla mau memaafkannya.”
(HR. An-Nasa`iy, no. 4998, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, Al-Baihaqi dalam Syu’ab
Al-Iman no. 24 dan 25, dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no.
247).

Apakah Azab Kafir Di Akhirat Diperingan Lantaran Amal Baiknya Di Dunia?


Ada sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-
Kabir:
‫ َحدَّثَنَا َح َّجا ُج‬، ‫اق‬ُ ‫سةَ ْال َو َّر‬
َ َ‫ع ْنب‬
َ ‫سي ِْن ب ِْن‬َ ‫ َحدَّثَنَا َح َّماد ُ ب ُْن ْال ُح‬، ‫ي‬ ُّ ‫صدَقَةَ ْالبَ ْغدَا ِد‬
َ ‫َحدَّثَنَا أ َ ْح َمد ُ ب ُْن ُم َح َّم ِد ب ِْن‬
َ ، َ‫ع ْلقَ َمة‬
‫ع ْن‬ َ ‫ع ْن‬َ ، ‫يم‬ َ ‫ع ْن ِإب َْرا ِه‬
َ ،‫ش‬ ُ ‫ َحدَّث َ ِني األ َ ْع َم‬، ‫ي‬ ُّ ‫ب ْال ِع ْج ِل‬ٍ َّ‫طي‬َ ‫ َحدَّثَنَا ْالقَا ِس ُم ب ُْن ُم‬، ‫صي ٍْر‬ َ ُ‫ب ُْن ن‬
، ‫ش ًحا‬ ْ ‫ج َر‬ ُ ‫س ا ْل ُم ْؤ ِم ِن تَ ْخ ُر‬ َ ‫ إِ هن نَ ْف‬: ‫صلَّى ََّّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ قَا َل‬، ِ‫ع ْب ِد هللا‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬ َ

‫ َو ِإ هن ا ْل ُم ْؤ ِم َن لَيَ ْع َم ُل ا ْل َخ ِطيئ ََة‬، ‫س ا ْل ِح َم ِار‬ ُ ‫ج نَ ْف‬ ُ ‫س ا ْلكَافِ ِر تَسِي ُل َك َما تَ ْخ ُر‬ َ ‫َوإِ هن نَ ْف‬
َ ُ‫سنَةَ فَي‬
‫س هه ُل‬ َ ‫ َو ِإ هن ا ْلكَافِ َر لَيَ ْع َم ُل ا ْل َح‬، ‫ت ِليُ َكفه َر ِب َها‬ِ ‫علَ ْي ِه ِع ْن َد ا ْل َم ْو‬
َ ‫ش هد ُد ِب َها‬ َ ُ‫فَي‬
.‫ت ِليُ ْج َزى ِب َها‬ ِ ‫علَ ْي ِه ِع ْن َد ا ْل َم ْو‬
َ
“Ahmad bin Muhammad bin Shadaqah Al-Baghdadi menceritakan kepada kami, Hammad
bin Husain bin Anbasah Al-Warraq menceritakan kepada kami, Hajjaj bin Nushair
menceritakan kepada kami, Al-Qasim bin Muthayyab Al-Ijli menceritakan kepada kami,
Al-A’masy menceritakan kepada kami, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang
berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya jiwa seorang mukmin itu keluar dalam keadaan berkeringat, sementara
orang kafir jiwanya keluar mengalir layaknya keledai.
Orang mukmin akan melakukan kesalahan sehingga itu menyebabkan dia merasa berat
saat sakaratul maut agar menjadi penghapus kesalahan itu, sedangkan orang kafir akan
melakukan amal baik dan itu membuatnya mudah dalam sakaratul maut sebagai
ganjaran amal baiknya itu.”
Dalam sanad Ath-Thabarani ini ada Al-Qasim bin Muthayyab yang dianggap
matruk oleh Ibnu Hibban, dan Ibnu Hajar mengatakannya, “Padanya ada sedikit
kelemahan”, serta Al-Haitsami mengatakannya dhaif.[13]
Juga ada Hajjaj bin Nushair yang dikatakan oleh Al-Hafizh dhaif, menerima
talqinan orang. Abu Daud mengatakan, “Mereka meninggalkan haditsnya”, Al-Bukhari
mengatakan, “Mereka tak berkomentar tentangnya”, An-Nasa`iy dan Ad-Daraqtuhni
mengatakannya dhaif, begitu pula Abu Hatim.”[14]
Tapi ada riwayat yang shahih secara mauquf hanya sampai perkataan Ibnu Mas’ud
yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah dalam mushannaf mereka
masing-masing.
Berikut saya pilihkan redaksi Ibnu Abi Syaibah:
ِ ‫علَ ْي ِه ِع ْندَ ْال َم ْو‬
‫ت‬ َ ُ‫شدَّد‬َ ُ‫س ِيئَةَ فَي‬ ُ ‫ َو ِإنَّهُ َي ُك‬,‫س ْال ُمؤْ ِم ِن تَ ْخ ُر ُج َر ْش ًحا‬
َ ‫ون قَ ْد‬
َّ ‫ع ِم َل ال‬ َ ‫ِإ َّن نَ ْف‬
ِ ‫س ْال ِح َم‬
,‫ار‬ ِ َ‫س ْال َكافِ ِر أ ِو ْالف‬
ُ ‫اج ِر لَت َ ْخ ُر ُج ِم ْن ِش ْدقِ ِه َك َما ت َ ْخ ُر ُج نَ ْف‬ َ ‫ َو ِإ َّن نَ ْف‬,‫ِليَ ُكونَ بِ َها‬
ِ ‫علَ ْي ِه ِع ْندَ ْال َم ْو‬
.‫ت ِليَ ُكونَ بِ َها‬ َ ‫ع ِم َل ْال َح‬
َ ‫سنَةَ فَيُ َه َّو ُن‬ َ ‫َو ِإنَّهُ َي ُكو ُن قَ ْد‬
“Jiwa mukmin itu akan keluar dalam keadaan berkeringat, dan dia kadang melakukan
amal buruk dan itu membuatnya berat saat mati sebagai balasannya, sedangkan nyawa
kafir atau fajir itu keluar dari sudut mulutnya sebagaimana keluarnya nyawa keledai.
Kadang dia melakukan amal baik dan dengan itu diperinganlah kematiannya sebagai
balasan (kebaikan tersebut).”
Ini bisa dihukumi marfu’ karena tidak mungkin diucapkan Ibnu Mas’ud atas dasar
pendapatnya sendiri kalau dia tidak mengambilnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam.
Dengan demikian benarlah bahwa orang kafir itu kadang ringan saat dicabut
nyawanya lantaran amal baiknya di dunia, dan itulah balasannya yang disegerakan
untuknya sehingga dia tidak lagi menerima balasannya di akhirat. Wallahu a’lam.
Adapun riwayat bahwa Abu Thalib diperingan siksanya di akhirat, maka para
ulama yang berpendapat bahwa siksaan orang kafir tidak diperingan mengatakan itu
khusus untuk Abu Thalib semata karena dia diberi syafaat oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.
Sedangkan riwayat bahwa Abu Lahab diberi keringanan siksa lantaran
memerdekakan Tsuwaibah setelah menyusui Rasulullah, maka riwayat itu lemah tak
bisa dijadikan hujjah. Wallahu a’lam bis Shawab.

Anshari Taslim
28 September 2015.

[1] Tafsir Ath-Thabari 7/134. Redaksinya:


‫شبَهُ ما يتصدق به الكافر من ماله‪ ،‬فيعطيه من يعطيه على وجه القُربة إلى ربه‬
‫شبَهُ ما ينفق الذين كفروا‪ ،‬أي‪َ :‬‬
‫َ‬
‫وهو لوحدانية هللا جاحد‪ ،‬ولمحمد صلى هللا عليه وسلم مكذب‪ ،‬في أن ذلك غير نافعه مع كفره‪ ،‬وأنه مضمحل‬
‫عند حاجته إليه‪ ،‬ذاهبٌ بعد الذي كان يرجو من عائدة نفعه عليه‬
‫‪[2] Tafsir‬‬ ‫‪Al-Qurthubi 4/178. Redaksinya:‬‬
‫ومعنى اْلية ‪ :‬مثل نفقة الكافرين في بطالنها وذهابها وعدم منفعتها كمثل زرع أصابه ريح باردة أو نار‬
‫فأحرقته وأهلكته ‪ ،‬فلم ينتفع أصحابه بشيء بعد ما كانوا يرجون فائدته ونفعه‪.‬‬
‫‪[3] Lihat Tafsir Ath-Thabari 9/593-594.‬‬
‫‪[4] Tafsir Al-Baidhawi 2/48:‬‬
‫اإلسالم وبالكفر إنكاره واَلمتناع عنه ‪.‬‬
‫باإليمان شرائع ِ‬
‫يريد ِ‬
‫‪[5] Lihat Tafsir Al-Qurthubi 6/79.‬‬
‫‪[6] Tafsir Ath-Thabari 16/553-554:‬‬
‫وهذا مث ٌل ضربه هللا ألعمال الكفار فقال‪َ :‬مث َ ُل أعمال الذين كفروا يوم القيامة ‪ ،‬التي كانوا يعملونها في‬
‫يوم ريح عاصفٍ ‪ ،‬فنسفته وذهبت‬ ‫الدنيا يزع ُمون أنهم يريدون هللا بها ‪َ ،‬مث َ ُل رما ٍد عصفت الريح عليه في ِ‬
‫به ‪ ،‬فكذلك أعمال أهل الكفر به يوم القيامة ‪َ ،‬ل يجدون منها شيئًا ينفعهم عند هللا فينجيهم من عذابه ‪،‬‬
‫صا ‪ ،‬بل كانوا يشركون فيها األوثان واألصنام ‪.‬‬ ‫ألنهم لم يكونوا يعملونها هلل خال ً‬
‫]‪[7‬‬ ‫‪Adhwa` Al-Bayan 2/245:‬‬
‫ب‪َ ،‬وبِ ِر ْال َوا ِلدَي ِْن‪َ ،‬ونَحْ ِو ذَلِكَ يُب ِْطلُ َها‬
‫ع ِن ْال َم ْك ُرو ِ‬ ‫ْف‪َ ،‬والت َّ ْن ِف ِ‬
‫يس َ‬ ‫ت ْاأل َ ْر َح ِام‪َ ،‬وقِ َرى ال َّ‬
‫ضي ِ‬ ‫ص َال ِ‬‫ار َك ِ‬‫فَ َكذَلِكَ أ َ ْع َما ُل ْال ُكفَّ ِ‬
‫طيِ ُر تِ ْلكَ ِ‬
‫الري ُح ذَلِكَ َّ‬
‫الر َمادَ‪.‬‬ ‫ْال ُك ْف ُر َويُ ْذ ِهبُ َها‪َ ،‬ك َما ت ُ َ‬
‫‪[8] At-Tafsir Al-Munir 18/258‬‬
‫)‪[9] Tafsir As-Samarqandi (Bahrul Ulum‬‬ ‫‪3/220.‬‬
‫‪[10] Tafsir Ibnu Katsir 3/486-487.‬‬
‫‪[11] Tafsir Ibnu Katsir 3/513:‬‬
‫وهذا يوم القيامة‪ ،‬حين يحاسب هللا العباد على ما عملوه من خير وشر‪ ،‬فأخبر أنه َل يتحصل لهؤَلء المشركين من األعمال ‪-‬التي‬
‫ظنوا أنها منجاة لهم ‪ -‬شيء؛ وذلك ألنها فقدت الشرط الشرعي‪ ،‬إما اإلخالص فيها‪ ،‬وإما المتابعة لشرع هللا‪ .‬فكل عمل َل يكون‬
‫خالصا وعلى الشريعة المرضية‪ ،‬فهو باطل‪ .‬فأعمال الكفار َل تخلو من واحد من هذين‪ ،‬وقد تجمعهما معا‪ ،‬فتكون أبعد من القبول‬
‫حينئذ‬
‫‪[12] Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 3/87.‬‬
‫‪[13] Lihat Mizan Al-I’tidal 3/380, At-Taqrib 2/17, no. 6174, Majma’ Az-Zawa`id 3/70, no. 3929.‬‬
‫‪[14] Al-Mizan 1/465, At-Taqrib 1/136, no. 1259.‬‬

You might also like