You are on page 1of 15

ACARA II

KADAR AMILOSA BERAS

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum Teknologi Tepung, Mie dan Pasta Acara II
Kadar Amilosa adalah sebagai berikut:
a. Mahasiswa dapat mengetahui cara pembuatan kurva standar amilosa.
b. Mahasiswa dapat menentukan kadar amilosa tepung ubi ungu, tepung ubi
kuning,, tepung jagung,, tepung beras, tepung tapioka dan tepung terigu.

B. TINJAUAN PUSTAKA
a. Tinjauan Bahan
Tepung terigu adalah bubuk halus yang diperoleh dari pengolahan
biji gandum dan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kue, mie dan
roti. Tepung terigu mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat
kompleks yang tidak larut dalam air. Tepung terigu juga mengandung gluten
yang berperan dalam menentukan kekenyalan makanan yang terbuat dari
bahan terigu. Jenis tepung terigu yaitu tepung berpro tein tinggi (bread
flour) dimana tepung terigu ini mengandung kadar protein tinggi, antara 11-
13%, tepung berprotein sedang/serbaguna (all purpose flour) dimana tepung
terigu ini mengandung kadar protein sedang sekitar 8- 10% dan tepung
berprotein rendah (pastry flour) dimana tepung terigu ini mengandung
protein sekitar 6- 8% (Koswara, 2009).
Tepung terigu memiliki kandungan pati sebesar 65-70%, protein 8-
13%, lemak 0,8-1,5% serta abu dan air masing-masing 0,3-0,6% dan 13-
15,5%. Di antara komponen tersebut yang erat kaitannya dengan sifat khas
mie adalah proteinnya yaitu prolamin (gliadin) dan glutelin (glutenin) yang
digolongkan sebagai protein pembentuk gluten. Tepung terigu kaya akan
kandungan protein. Protein tepung terigu memiliki struktur yang unik.
Apabila terigu dicampur dengan air dalam perbandingan tertentu, maka
protein akan membentuk suatu massa atau adonan koloidal yang plastis
yang dapat menahan gas dan akan membentuk suatu struktur spons bila
dipanggang. Karakteristik tepung terigu ini, yang memungkinkan
pembuatan roti tawar yang lunak tidak dijumpai dalam butir serealia lain
(Handiskawati, 2012).
Tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara
menggiling biji jagung (Zea Mays LINN) yang baik dan bersih. Teknik
penggilingan jagung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penggilingan
kering (dry milling) dan penggilingan basah (wet milling). Metode
penggilingan kering jagung terdiri dari penggilingan pertama (penggilingan
kasar), perendaman dan pencucian untuk memisahkan lembaga, kulit dan
tip cap, kemudian dilakukan penggilingan kedua menggunakan disc mill
(penggiling halus) sehingga dihasilkan tepung jagung. Metode penggilingan
basah menghasilkan empat komponen dasar, yaitu pati, lembaga, serat, dan
protein (Fransisca, 2010).
Zein mempunyai asam amino non polar yang bersifat hidrofob dalam
jumlah yang besar seperti leusin, alanin, dan prolin. Hal ini menyebabkan
zein tidak larut air dan alkohol anhidrous dan larut dalam campuran
keduanya. Zein secara alami berupa campuran protein dengan berat molekul
rat-rata 45.000, tetapi selama proses ekstraksi ikatan rantai polipeptida dapat
putus sehingga dihasilkan produk dengan BM 25 ribu-35 ribu. Pati jagung
tersusun atas 25% amilosa dan 75% amilopektin. Amilosa mendorong
proses mekar sehingga produk yang berasal dari pati-patian beramilopektin
tinggi bersifat porous, ringan, gating, dan mudah patah (Koswara, 2009).
Tapioka adalah nama yang diberikan untuk produk olahan dari akar
ubi kayu (cassava). Pati yang berasal dari akar ubi kayu dan dikeringkan
sebenarnya dikenal dengan banyak nama tergantung pada lokasi
geografisnya. Analisis terhadap akar ubi kayu yang khas
mengidentifikasikan kadar air 70%, pati 24%, serat 2%, protein 1% serta
komponen lain (mineral, lemak, gula) 3%. Tahapan proses yang digunakan
untuk menghasilkan pati tapioka dalam industri adalah pencucian,
pengupasan, pemarutan, ekstraksi, penyaringan halus, separasi,
pembasahan, dan pengering (Hidayat, 2008).
Tepung beras diperoleh dengan menggiling atau menumbuk beras
yang telah direndam (sebentar) dalam air. Tepung beras juga dapat dibeli di
pasaran. Ada perbedaan antara beras biasa dengan beras ketan dalam
penampakannya. Beras biasa mempunyai tekstur yang keras dan transparan,
sedangkan beras ketan lebih rapuh, butirnya lebih besar dan warnanya putih
opak (tidak transparan). Perbedaan lainnya adalah dalam hal bahan yang
menyusun pati. Komponen utama pati beras ketan adalah amilopektin,
sedangkan kadar amilosanya hanya berkisar antara 1 – 2% dari kadar pati
seluruhnya. Beras yang mengandung amilosa lebih besar dari 2% disebut
beras biasa atau bukan beras ketan. Pemasakan akan mengubah sifat beras
ketan menjadi sangat lengket, dan mengkilat. Sifat ini tidak berubah dalam
penyimpanan beberapa jam atau bahkan beberapa hari. Ketan digunakan
sebagai bahan utama kue basah dalam bentuk tepung ketan atau ketan utuh
(Koswara, 2009).
Singkong (Manihot Esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan
utama. Kendala utama pemanfaatan singkong adalah degradasi mikroba
yang cepat setelah panen. Salah satu cara untuk mempertahankan umur
simpan singkong adalah memprosesnya menjadi tepung singkong. Secara
tradisonal tepung singkong dapat diproduksi dengan langkah sebagai
berikut, pertama mengupas singkong diiris tipis kemudian dijemur di
nampan. Setelah singkong kering kemudian digiling menjadi tepung
(Eduardo, 2013).
Jagung adalah biji-bijian sereal yang diproduksi di dunia, menempati
urutan ketiga setelah gandum dan beras. Kandungan nutrisi jagung tidak
kalah jika dibandingkan dengan terigu, bahkan jagung memiliki
keunggulan karena mengandung pangan fungsional seperti serat pangan,
unsur Fe, dan beta-karoten. Jagung biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk
makanan keseharian dan pakan ternak. Berbagai teknologi makanan saat
ini digunakan untuk memproduksi tepung maizena (tepung jagung) dan
makanan jagung (corn meal) (Gwirtz, 2014).
Tepung maizena bisa larut dalam air, tetapi kurang mampu menahan
air. Tepung maizena (tepung jagung) memiliki karakter yang berbeda
dengan tepung terigu. Tepung beras merupakan salah satu pengganti
tepung maizena yang membantu memberi tekstur mudah digigit dan
renyah. Tekstur tepung maizena goreng cenderung lebih renyah dan
mudah patah saat digigit. Namun pemakaian tepung maizena yang
berlebihan akan membuat gorengan terasa keras (Yuyun, 2007).
b. Tinjauan Teori
Amilosa merupakan rantai lurus yang terdiri dari molekul-
molekul glukosa yang berikatan α-(1,4)-D-Glukosa. Amilosa memiliki
berat molekul (BM) yang berbeda untuk setiap jenis pati. Contohnya,
pati kentang memiliki amilosa dengan BM tinggi, sedangkan pati jagung
biasa memiliki amilosa dengan BM sedang dan pati high amilose corn VII
memiliki amilosa dengan derajat polimerisasi yang rendah. Pati adalah
homoglikan yang terdiri dari satu jenis unit D-glukosa yang
dihubungkan dengan ikatan glukosida. Ikatan gukosida stabil pada
kondisi alkali dan dapat dihidrolisis pada kondisi asam. Unit glukosa
pada pati membentuk dua jenis polimer yaitu amilosa dan amilopektin
(Mario, 2012).
Amilosa dan amilopektin adalah dua polimer glukosa dalam granula
pati. Kira-kira, 90% beras giling (bahan kering terdiri dari pati dan makan
serta memasak kualitas beras dipengaruhi oleh karakteristik pati, yang
meliputi konten, suhu gelatinisasi amilosa. Amilosa pada dasarnya berantai
lurus, terdiri dari α-(1,4)-linked unit D-glucopyranosyl sementara
amilopektin bercabang dan terdiri dari α-(1,4)-D glucopyranosyl unit
bercabang pada α-(1,6). Mengukur karakteristik gelatinisasi makanan sangat
relevan dalam pengolahan makanan karena memungkinkan simulasi proses
memasak untuk sifat fungsional (Odenigbo et al., 2013).
Pati adalah cadangan pangan utama pada tanaman dan membentuk
sebagian besar dari asupan kalori harian pada proses diet. Industri pati telah
menjadi bahan baku utama dalam produksi berbagai produk termasuk
bioethanol, coating dan anti-staling agen. Kompleksitas dan keragaman
industri berbasis pati ini dan permintaan untuk produk akhir yang
berkualitas tinggi melalui pengolahan pati yang luas, hanya dapat dipenuhi
melalui penggunaan berbagai pati dan memodifikasi enzim α–glukan (Kelly
et al., 2008).
Pati atau amilum adalah karbohidrat polisakarida yang terdiri dari
sejumlah besar unit glukosa bergabung bersama-sama oleh ikatan
glikosidik. Ini terdiri dari amilosa dan amilopektin seperti makromolekul.
Pati diproduksi oleh semua tanaman hijau sebagai menyimpan energi dan
merupakan sumber energi yang penting bagi manusia. Hal ini ditemukan
dalam kentang, gandum, beras dan makanan lainnya, dan bervariasi dalam
penampilan, tergantung pada sumbernya (Abbas, 2010).
Karakteristik rasio amilosa-amilopektin pati tepung menunjukkan
perbandingan antara proporsi amilosa (polimer pati berantai lurus) dengan
amilopektin (polimer pati berantai lurus dan cabang). Karakteristik rasio
amilosa-amilopektin pati sangat berkaitan dengan bentuk penggunaan
tepung lebih lanjut. Komponen amilosa berkaitan dengan daya serap air
dan kesempurnaan proses gelatinisasi produk, sedangkan komponen
amilopektin sangat menentukan kemampuan daya pengembangan produk.
Semakin tinggi kandungan amilosa maka semakin tinggi daya rehidrasi
produk. (Aliawati, 2003).
Amilosa merupakan homogililikan D-glukos dengan ikatan α-(1,4)
dari struktur cincin piranca, yang membentuk rantai lurus umumnya
dikatakan sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnya amilase dihidrolisa
dengan β -amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh has il hidrolisis
yang sempurna. Amilase menghidrolisis amilosa menjadi unit residu
glukosa dengan memutus ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai
amilosa menghasilkan maltosa. Amilopektin dan amilosa mempunyai sifat
fisik yang berbeda. Amilosa lebih mudah larut dalam air dibandingkan
amilopektin. Bila amilosa direaksikan dengan larutan iod akan membentuk
warna biru tua, sedangkan amilopektin akan membentuk warna merah. Pati
dengan kandungan amilosa tinggi, akan menghasilkan produk yang keras,
pejal, karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Koswara, 2009).
Pati adalah karbohidrat yang terdiri atasamilosa dan amilopektin.
Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α -(1− > 4) unit
glukosa. Derajat polimerisasi amilosa berkisar antara 500 − 6.000 unit
glukosa, bergantung pa-da sumbernya. Amilopektin merupakan polimer α -
(1− > 4) unit glukosa dengan rantai samping α-(1− > 6) unit glukosa.
Dalam suatu molekul pati, ikatan α-(1−>6) unit glukosa ini jumlahnya
sangat sedikit, berkisar antara 4 − 5%. Namun, jumlah molekul dengan
rantai yang bercabang, yaitu amilopektin, sangat banyak dengan derajat
polimerisasi 105 − 3x106 unit glukosa (Herawati, 2010).
Ubi jalar mengandung antara 16 – 40% bahan kering. Dari jumlah
itu 75 – 90% adalah karbohidrat yang mengandung pati, gula, selulosa,
hemiselulosa dan pektin. Pati ubi jalar terdiri dari 60 – 70% amilopektin
dan sisanya amilosa. Kandungan pati, gula, hemiselulosa dan selulosa ubi
jalar segar (% berat kering) adalah 46.2, 22.3, 3.8 dan 2.7, sedangkan
pada ubi jalar yang telah dimasak kandungan komponen-komponen
tersebut berubah menjadi 2.6, 37.6, 1.0 dan 2.5 (Koswara, (2010).
Peranan perbandingan amilosa dan amilopektin terlihat pada
serealia, contohnya pada beras. Semakin kecil kandungan amilosa atau
semakin tinggi kandungan amilopektinnya, semakin lekat nasi tersebut.
Beras ketan praktis tidak ada amilosanya (1-2 %), sedang beras yang
mengandung amilosa lebih besar dari 2 % disebut beras biasa atau beras
bukan ketan. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras (nasi) dapat dibagi
menjadi empat golongan yaitu : (1) beras dengankadar amilosa tinggi 25-
33%; (2) beras dengan kadar amilosa menengah 20-25%; (3) beras dengan
kadar amilosa rendah (9-20%) dan beras dengan kadar amilosa sangat
rendah (<9%) (Munarso, 2004).
Tepung jagung mengandung kadar amilopektin lebih sedikit dari
total kadar pati yaitu 59.33% hingga 64.40%, namun sehingga semakin
tinggi proporsi tepung jagung germinasi maka semakin tinggi kadar amilosa
dalam biskuit. Semakin tinggi kadar amilosa pada produk akan
menghasilkan tekstur yang baik dan daya lebih tahan pecah, namun
sebaliknya pati yang mengandung amilopektin yang lebih tinggi
cenderung menghasilkan produk yang mudah pecah. Beras (nasi) dapat
dibagi menjadi empat golongan berdasarkan kandungan amilosanya, yaitu :
(1) beras dengan kadar amilosa tinggi 25-33%; (2) beras dengan kadar
amilosa menengah 20-25%; (3) beras dengan kadar amilosa rendah (9-20%;
dan beras dengan kadar amilosa sangat rendah (< 9%) (Claudia, 2016).

C. METODOLOGI
1. Alat
a. Kayu penjepit
b. Labu takar 100 ml
c. Neraca analitik
d. Penangas air
e. Pipet volume
f. pro pipet
g. Spektrofotometer
h. Tabung reaksi
i. Vortex
2. Bahan
a. Air mendidih
b. Aquades
c. CH3COOH 1 N
d. Ethanol 95%
e. Larutan iod
f. NaOH 1 N
g. Tepung beras
h. Tepung jagung
i. Tepung tapioka
j. Tepung Terigu
k. Tepung Ubi Kuning
l. Tepung Ubi Ungu

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 2.1 Tabel Kurva Standar
No Konsentrasi (x) Absorbansi (y)
1 0,4 0,099
2 0,8 0,187
3 1,2 0,241
4 1,6 0,356
5 2,0 0,468
Sumber: Laporan Sementara
Dari Tabel 2.1 diatas, dapat dilihat hasil data absorbansi amilosa
murni yaitu pada konsentrasi 0,4 menghasilkan absorbansi 0,099, konsentrasi
0,8 menghasilkan absorbansi 0,187, konsentrasi 1,2 menghasilkan absorbansi
0,241, konsentrasi 1,6 menghasilkan absorbansi 0,356 dan konsentrasi 2,0
menghasilkan absorbansi 0,468. Dari data tersebut, kemudian dapat dibuat
kurva standar. Setelah membuat kurva standar, kenudian dilakukan
perhitungan regresi linear (y = a + bx), sehingga dihasilkan persamaan regresi
linear y = -0,0019 + 0,22675x dimana merupakan hubungan antara nilai x
(konsentrasi larutan amilosa standar) dan y (absorbansi). Dari hubungan
antara nilai x dan y tersebut, dapat diketahui bahwa konsentrasi larutan
amilosa standar berbanding lurus dengan absorbansi. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi konsentrasi amilosa standar pada larutan maka nilai
absorbansinya juga akan semakin besar.
Tabel 2.2 Penentuan Kadar Amilosa
Shift No Kel. Jenis W sampel y y x %
Tepung (mg) Amilosa
1 1 Tepung 103 0,288 0,2900 1,2875 24,9961
A Ubi ungu 0,292
2 2 Tepung 102 0,195 0,1925 0,8573 16,8098
Ubi 0,190
Kuning
3 3 Tepunng 100 0,159 0,1595 0,7118 14,2360
Jagung 0,160
4 1 Tepung 100 0,210 0,2100 0,9345 18,6900
B Beras 0,210
5 2 Tepung 107 0,340 0,3385 1,5012 28,0598
Tapioka 0,337
6 3 Tepung 112 0,272 0,2725 1,2101 21,6089
Terigu 0,273
Sumber : Laporan Sementara
Amilosa adalah homopolimer lurus D-glukosa yang dihubungkan
dengan ikatan a-(1,4) dari cincin piranosa. Amilosa mengandung 250-
2.000 unit glukosa dengan bobot molekul lebih kurang 40.000-340.000.
Molekul amilosa bersifat hidrofilik dan gugusnya bersifat polar. Amilosa
dapat menyerap air sekitar empat kali beratnya. Penyerapan air tersebut
menyebabkan viskositas meningkat. Amilosa mampu membentuk ikatan
kristal karena adanya interaksi molekuler yang kuat. Rantai lurusnya
cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain dan saling berikatan
dengan ikatan hidrogen (Fransisca, 2010).
Amilosa merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus
dan larut dalam air. Umumnya komposisi amilosa sebagai penyusun pati
adalah 15 – 30%. Amilosa terdiri dari satuan glukosa yang bergabung
melalui ikatan (1,4) D-glukosa. Struktur amilosa yang tidak bercabang
menyebabkan amilosa memiliki sifat kristalin. Adanya sifat kristalin pada
amilosa menyebabkan molekul pati menjadi rapuh bila digunakan
sebagai bahan baku pembuatan plastik, sehingga perlu dilakukan pemisahan
antara amilosa dan amilopektin untuk mendapatkan plastik dengan hasil
yang lebih baik (Mario, 2012). Pengukuran kadar amilosa dapat dilakukan
menggunakan pengikatan iodin. Iodin akan terikat pada struktur helix
amilosa yang kemudian akan membentuk warna biru yang diukur
menggunakan spektro-fotometer dan semakin pekat warna biru
menandakan semakin banyak amilosa yang terkandung pada suatu bahan
(Aliawati, 2003).
Menurut Susilawati (2008), kandungan amilosa dan kandungan
komponen non pati sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, kondisi
tempat tumbuh dan umur tanaman. Kadar amilosa menurun seiring dengan
bertambahnya umur panen produk. Penurunan kadar amilosa disebabkan
amilosa yang terkandung di dalam pati tersebut mengalami titik jenuh.
Tingginya kadar amilosa pada tepung karena tepung memiliki kandungan pati
tinggi dan diduga pati tersebut memiliki rantai α 1,4 D-glikosida yang lebih
panjang dibandingkan dengan tepung lainnya. Perbedaan kadar amilosa pada
lokasi yang berbeda berkaitan dengan kadar pati pada kedua lokasi
tersebut. Tinggi rendahnya kadar amilosa dari tepung dipengaruhi oleh rantai
α 1,4 D-glikosida yang terkandungan pati yang ada di dalam tepung
tersebut. Semakin panjang rantai α 1,4 D-glikosida yang terkandung
didalam pati, maka semakin tinggi kadar amilosa yang terkandung
didalamnya. Tingkat konversi pati menjadi glukosa berkorelasi positif
dengan kadar amilosa dan amilopektin dalam pati. Semakin panjang
rantai amilosa, semakin tinggi tingkat konversi pati menjadi glukosa. Pati
dengan amilosa tinggi bersifat lebih stabil dan tidak mudah putus selama
pemanasan.
Fungsi penambahan NaOH adalah untuk memberikan suasana basa
pada uji iodin. Pada uji amilum NaOH berfungsi untuk menghalagi terjadinya
reaksi antara iod dan amilum. Asam asetat 1 N digunakan untuk menurunkan
pH, karena amilosa akan berikatan dengan iodin pada pH rendah (4,5-4,8).
Fungsi etanol 95% adalah untuk melarutkan pati, karena pati bersifat tidak
larut terhadap air (Aliawati, 2003).
Fungsi penambahan larutan iod pada saat pengujian kadar amilosa
yaitu pati akan bereaksi dengan iod dengan adanya iod yang akan membentuk
suatu kompleks yang berwarna biru kuat, yang akan terlihat pada konsentrasi-
konsentrasi iod yang sangat rendah. Kepekaan reaksi warna ini biru akan
terlihat bila konsentrasi iod adalah 2x10-5 M dan konsentrasi iodida lebih
besar daripada 4x10-4 M pada 20oC. Kepekaan warna berkurang dengan
naiknya temperatur larutan (Aliawati, 2003). tulis reaksi kimia yang terjadi!
Kurva standar merupakan standar dari sampel tertentu yang dapat
digunakan sebagai pedoman ataupun acuan untuk sampel tersebut pada
percobaan. Pembuatan kurva standar bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara konsentrasi larutan dengan nilai absorbansinya sehingga konsentrasi
sampel dapat diketahui. Terdapat dua metode untuk membuat kurva standar
yaitu dengan metode grafik dan metode least square (Underwood, 1990).
Kurva standar amilosa dibuat dengan cara 40 mg amilosa dimasukkan ke
dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml ethanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N.
Kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama 7 menit hingga terlarut.
Selanjutnya didinginkan dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml serta
ditambahkan aquades hingga 100 ml. Setelah itu, ambil larutan dan
dimasukkan ke dalam labu takar sebanyak 1, 2, 3, 4 dan 5 ml. Masing-masing
larutan ditambahkan 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ml asam asetat 1 N dan 1 ml
larutan iod. Kemudian larutan diencerkan dengan aquades hingga volume 100
ml, digojog dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang
terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.
Pada uji kadar amilosa ini, tepung yang digunakan adalah tepung ubi
ungu, tepung ubi kuning, tepung jagung, tepung beras, tepung tapioka, dan
tepung terigu. Pengujian kadar amilosa di awali dengan penentuan kurva
y−a
standar, dimana hasil regresi linier yang diperoleh adalah x amilosa = ,
b

dengan r adalah 0,992. Nilai tersebut selanjutnya digunakan untuk


menentukan kadar amilosa dari tiap sampel.
Pada tepung ubi ungu, kadar amilosa yang diperoleh adalah
24,9961%. Menurut Liur (2012), Tepung ubi jalar ungu memiliki amilosa
69,82% dan amilopektin 30,18%. Pada tepung ubi kuning, persen amilosa
yang diperoleh adalah 16,8098. Hasil ini menunjukkan bahwa tepung ubi
ungu kadar amilosanya terlalu rendah sedangkan untuk tepung ubi kuning
persen amilosa yang diperoleh terlalu rendah karena menurut Koswara
(2009), tepung ubi jalar pada umumnya mengandung amilosa dan
amilopektin sebesar 17.7% hingga 20.1% dan 79.9% hingga 82.3% dari
total kadar pati. Menurut Liur (2012), kadar amilosa tapioka adalah 14% dan
amilopektinnya adalah 86%.
Pada tepung beras, kandungan amilosa dari hasil praktikum adalah
18,6900%, hasil yang didapatkan masih terlalu rendah karena menurut
Claudia, (2016). amilosa tertinggi pada beras, adalah sekitar 25-33%.
Sehingga dengan demikian kandungan amilosa pada tepung beras hasil
percobaan, tergolong rendah. Sedangkan kadar amilosa tepung jagung dari
hasil praktikum adalah 14,2360%. Hasil ini juga terlihat sangat rendah,
karena menurut Claudia, (2016), tepung jagung kadar amilosanya lebih tinggi
yaitu 45.60% hingga 40.67%. Pati jagung tersusun atas 25% amilosa dan
75% amilopektin. Amilosa mendorong proses mekar sehingga produk yang
berasal dari pati-patian beramilopektin tinggi bersifat porous, ringan, gating,
dan mudah patah.
Pada tepung tapioka, kandungan amilosa dari hasil praktikum adalah
28,0598%. Menurut Gumilar (2011), tepung tapioka mengandung kadar
amilosa sebanyak 17,41% dan kadar amilopektin sebanyak 82,13%.
Berdasarkan hasil yang didapatkan maka dapat diketahui bahwa kadar amilosa
yang dihasilkan terlalu tinggi. Kandungan amilosa pada tepung terigu dari
hasil praktikum adalah sebesar 21,6089%, kadar amilosa yang didapatkan
masih terlau rendah karena menurut Claudia (2016) kadar amilosa tepung
terigu sebesar 65-70%. Dengan demikian kandungan amilopektin adalah
sekitar 33,64%.
Dengan demikian dari hasil praktikum ini dapat diketahui bahwa
kandungan amilosa terbesar terdapat pada tepung tapioka, dan yang terkecil
adalah pada tepung jagung. Namun demikian kesalahan yang mungkin
terdapat saat praktikum, seperti ketidaktepatan dalam penimbangan bahan,
pemipetan, pengenceran, dan pengamatan absorbansi dapat mempengaruhi
dari hasil praktikum yang diperoleh, sehingga data kadar amilosa yang didapat
kurang sesuai dengan literatur.
E. KESIMPULAN
Dari praktikum Teknologi Tepung, Mie dan Pasta Acara II Kadar
Amilosa yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai
berikut:
1. Amilosa adalah homopolimer lurus D-glukosa yang dihubungkan
dengan ikatan a-(1,4) dari cincin piranosa. Amilosa mengandung 250-
2.000 unit glukosa dengan bobot molekul lebih kurang 40.000-
340.000. Molekul amilosa bersifat hidrofilik dan gugusnya bersifat
polar. Amilosa dapat menyerap air sekitar empat kali beratnya.
2. Persamaan regresi linear kurva standar yaitu y = -0,0019 + 0,22675x dengan
r2 = 0,9922.
3. Urutan % amilosa dari yang paling tinggi adalah tepung tapioka shift A
28,0598%; tepung ubi ungu shift A 24,9961%; tepung terigu shift B
21,6089%, tepung beras shift B 18,6900%; tepung ubi kuing shift A adalah
16,8098%; tepung jagung 14,2360%.
4. Faktor yang mempengaruhi kadar amilosa pada tepung adalah umur panen
produk, bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung, kandungan pati
dan lokasi penanaman atau pertumbuhannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas K.A. 2010. Modified Starches and Their Usages in Selected Food
Products: A Review Study. Journal of Agricultural Science 2 (2).
Aliawati, Gusminar. 2003. Teknik Analisis Kadar Amilosa dalam Beras. Buletin
Teknik Pertanian 8 (2).
Claudia, Jana, Engganeyski, dan Simon Bambang Widjanarko. 2016. Studi Daya
Cerna (In Vitro) Biskuit Tepung Ubi Jalar Kuning dan Tepung Jagung
Germinasi. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 1.
Eduardo, M., U. Svanberg, J. Oliveira and L. Ahrne. 2013. Effect of Cassava
Flour Characteristics on Properties of Cassava-Wheat-Maize Composite
Bread Types. International Journal of Food Science 20 (13): 1-10.
Fransisca. 2010. Formulasi Tepung Bumbu dari Tepung Jagung dan Penentuan
Umur Simpannya dengan Pendekatan Kadar Air Kritis. Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Gumilar, Jajang, Obin Rachmawan dan Winda Nurdyanti. 2011. Kualitas
Fisikokimia Naget Ayam yang Menggunakan Filer Tepung Suweg
(Amorphophallus campanulatus B1). Jurnal Ilmu Ternak 11 (1): 1-5.
Gwirtz, Jeffrey A., dan Maria Nieves Garcia Casal. 2014. Processing maize flour
and corn meal food products. Ann. N.Y. Acad. Sci. 1312 (2014) 66–75.
Handiskawati. 2012. Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu dan Tepung
Bonggol Pisang (Musa Paradisiaca) Terhadap Daya Serap Air dan
Daya Terima Brownies. Program Studi Gizi DIII Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Herawati, Heny. 2010. Potensi Pengembangan Produk Patitahan Cerna Sebagai
Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 30, No.1.
Hidayat, Beni; Nurbani Kalsumdan Surfiana. 2009. Karakterisasi Tepung Ubi
Kayu Modifikasi yang Diproses Menggunakan Metode Pragelatinisasi
Parsial. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian, Volume 14, No 2.
Kelly, Ronan M., Lubert Dijkhuizen and Han Leemhuis. 2008. Starch and α-
Glucan Acting Enzymes, Modulating Their Properties by Directed
Evolution. Journal of Biotechnology 140: 184–193.
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Modifikasi Pati. Ebook Pangan.com.
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Beras. eBookPangan.com.
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Singkong (Teori dan Praktek).
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Koswara, Sutrisno. 2010. Teknologi Pengolahan Umbi‐ Umbian Bagian 6:
Pengolahan Singkong. Southeast Asian Food And Agricultural Science
and Technology (SEAFAST) Center Research and Community Service
Institution Bogor Agricultural University.
Liur, J.; A.F. Musfiroh, M. Mailoa, R. Bremeer, V.P. Bintoro, Kusrahayu. 2012.
Potensi Penerapan Tepung Ubi Jalar dalam Pembuatan Bakso Sapi.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, Vol. 2, No. 1.
Mario P. A. D. R. Boediono. 2012. Pemisahan dan Pencirian Amilosa dan
Amilopektin dari Pati Jagung dan Pati Kentang Pada Berbagai Suhu.
Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor.
Munarso, S. Joni , D. Muchtadi, D. Fardiaz, dan R. Syarief. 2004. Perubahan
Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tepung Berasakibat Proses Modifikasi
Ikat-Silang. J.Pascapanen Vol. 1 No. 1.
Odenigbo, Amaka M., Michael Ngadi, C. Ejebe, C. Nwankpa, N. Danbaba, S.
Ndindeng and J. Manful. 2013. Study on the gelatinization properties and
amylose content of rice varieties from Nigeria and Cameroun.
International Journal of Nutrition and Food Sciences 2(4): 181-186.
Odenigbo, Amaka M., Michael Ngadi, C. Ejebe, C. Nwankpa, N. Danbaba, S.
Ndindeng and J. Manful. 2013. Study on the gelatinization properties and
amylose content of rice varieties from Nigeria and Cameroun.
International Journal of Nutrition and Food Sciences 2(4): 181-186.
Susilawati, Siti Nurdjanah dan Sefanadia Putri. 2008. Karakteristik Sifat Fisik dan
Kimia Ubi Kayu (Manihot Esculenta) Berdasarkan Lokasi Penanaman
dan Umur Panen Berbeda. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian
Volume 13, No. 2.
Underwood, A.L. 1990. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Erlangga.
Jakarta.
Yuyun, A. 2007. Membuat Lauk Crispy. PT Agromedia Pustaka. Jakarta Selatan.

You might also like