You are on page 1of 35

1

BAB I
PENDAHULUAN

Chronic myeloid leukemia (CML) merupakan salah satu tipe kelainan


mieloproliferasi kronik yang berkaitan dengan peningkatan proliferasi sel
granulosit tanpa mengurangi kemampuannya dalam berdiferensiasi. CML ini
menempati kasus terbanyak kedua dari semua tipe leukemia pada orang dewasa,
yaitu sekitar 20%.1
Insidensi CML terjadi antara 1-2 per 100.000 orang. CML dapat menyerang
semua umur tetapi sering ditemukan antara usia 40-60 tahun. Penderita CML pada
usia muda perkembangan penyakitnya akan lebih progresif. NCI (National center
institute) menyatakan bahwa frekuensi CML akan meningkat dengan
bertambahnya umur dimulai dari 1 per 1.000.000 orang pada usia 10 tahun
pertama, 1 per 100.000 orang pada usia 50 tahun dan 1 per 10.000 orang pada usia
80 tahun.2,3
CML adalah salah satu tipe penyakit mieloproliferasi yang dihubungkan
dengan adanya translokasi kromosom yang disebut dengan philadelphia
chromosome. Penyebab translokasi kromosom Philadelphia ini belum diketahui
secara spesifik. Diduga penyebab dari translokasi philadelphia tersebut adalah
radiasi pengion. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan insidensi CML pada
individu yang selamat dari serangan bom atom di Jepang. Insidensi puncak
terjadinya CML dijumpai 5 sampai 12 tahun setelah pajanan radiasi.4
CML dibedakan dari leukemia akut berdasarkan progresinya yang lebih
lambat. Sebaliknya berdasarkan pengobatannya CML lebih sulit diobati daripada
leukemia akut. Gambaran klinis CML antara lain splenomegali, anemia, memar,
demam, epistaksis, menorhagia, gout, nyeri tulang dan gejala-gejala lain yang
berhubungan dengan hipermetabolisme (penurunan berat badan, anoreksia, atau
keringat malam). Sekitar 50% pasien CML didiagnosa secara tidak sengaja dari
pemeriksaan hitung darah rutin. Hal ini terjadi karena pada awal serangan CML
biasanya lamban dan tidak khas. Selain dari gejala-gejala diatas, untuk
mendiagnosa CML diperlukan pemeriksaan hematologi dan molekuler.5
BAB II
LAPORAN KASUS
2

2. 1 Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Umur : 42 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Petani
Alamat : Desa Bukit Balai, Sengeti
Agama : Islam
MRS : 8 November 2015
Tanggal pengambilan CRS : 9 November 2015

2. 2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan Autoanamnesis dan Alloanamnesis.

Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan lemas ± 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 3 hari SMRS, os mengeluh tubuhnya lemas, lemas yang
dirasakan meningkat setiap hari, Os sulit untuk bangun dari tempat tidurnya
sehingga aktivitasnya terbatas. Os juga mengaku mudah lelah sepanjang
hari. Os merasa kepala berputar-putar dan sakit kepala jika os merubah
posisinya dari tidur ke duduk.
Sekitar 7 hari SMRS, os mengeluh nyeri pada seluruh perut, nyeri
yang dirasakan hilang timbul, nyeri timbul mendadak, nyeri berkurang
ketika pasien memiringkan tubuhnya ke kanan, nyeri perut yang dirasakan
tidak berkurang dengan istirahat, dan bertambah sakit bila ditekan. Os juga
merasa perut terasa penuh sejak perutnya membesar, os merasa cepat
kenyang, meskipun makan sedikit, nafsu makan menurun. Riwayat sering
konsumsi obat penghilang nyeri (+), Riwayat minum jamu-jamuan (-).
Os juga mengeluh mencret dengan frekuensi ± 4 kali dalam sehari
sejak 7 hari SMRS, ampas (+), lendir (+), darah (-). Riwayat BAB hitam
(+), BAK tidak ada keluhan.
Awalnya, sekitar tahun 2003, Os mengeluh perutnya semakin lama
semakin membesar pada perut bagian kiri atas, awalnya sebesar kepalan
tangan Os. Sebelumnya os sering merasakan demam yang tidak sembuh-
sembuh selama ± 3 bulan, demam yang dirasakan terus menerus, demam
3

disertai menggigil, demam turun jika diberi obat penurun panas


(paracetamol) lalu demam timbul lagi. Os juga mengaku sering berkeringat
pada malam hari, nafsu makan Os juga menurun, berat badan menurun tapi
tidak diketahui secara pasti berapa kilogram BBnya, muntah (+) isi
muntahan apa yang dimakan. Riwayat batuk lama disangkal. BAB dan BAK
tidak ada keluhan. Lalu Os berobat dan diberitahu bahwa os menderita
leukimia, Os diberikan obat Myleran secara rutin selama ± 1 bulan, setelah
perut Os berangsur kembali mengecil dan keluhan hilang, Os berhenti
minum obat.
Pada tahun 2009 Os kembali masuk rumah sakit dengan keluhan perut
Os semakin lama semakin membesar lagi. Sehingga Os merasa sulit
beraktivitas, selanjutnya Os diberikan obat Cytodrox sehingga perut Os
kembali mengecil.
Tahun 2013 Os kembali masuk rumah sakit dengan keluhan lemas,
mudah lelah, muka pucat, mual, nyeri menelan, giginya sering berdarah dan
mudah luka, dari pemeriksaan menurut Os didapatkan Hb Os turun. Setelah
mendapatkan pengobatan di rumah sakit, keadaan os membaik lalu os
kembali pulang ke rumah, sejak saat itu os menjadi sering keluar masuk
rumah sakit setiap bulan untuk transfusi darah. Awalnya Os transfusi setiap
1 bulan sekali lalu semakin sering menjadi 2 minggu sekali dan saat ini
menjadi 1 minggu sekali.
Pada 1 tahun belakangan ini, os menjalani pengobatan alternatif
dengan mengkonsumsi obat herbal, namun perut Os malah makin
membesar, dan badan terasa semakin lemas. Sekitar 1 bulan yang lalu Os
melakukan pemeriksaan BMP dan BCR-ABL di Rumah Sakit Palembang.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat malaria (+) pada tahun 2002
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat diabetes (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat anggota keluarga mengalami kanker/tumor (-)
- Riwayat anggota keluarga mengalami hipertensi (-)
- Riwayat anggota keluarga mengalami diabetes (-)
4

Riwayat Pekerjaan dan Sosial


Os bekerja sebagai Petani

2. 3 Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Suhu : 36,6oC
d. Nadi : 84 x/menit, reguler, kuat angkat
e. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
f. Pernafasan : irama : reguler
frekuensi : 18x/menit
jenis : abdominotorakal
g. Tinggi badan : 160 cm
h. Berat Badan : 40 Kg

i. Keadaan gizi : = 40/1,62 = 15,62

(underweight)
j. Sianosis : (-)
k. Dispneu : (-)
l. Dehidrasi : (-)
m. Edema umum : (-)
n. Cara berbaring : normal, namun susah untuk duduk

a. Kulit
Warna sawo matang, hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-),
pertumbuhan rambut (+) merata, warna hitam dan tidak mudah dicabut,
keringat/ kelembapan kurang, turgor baik, ikterus (-), lapisan lemak
kurang, edema (-)
b. Kelenjar
Pembesaran kelenjar submandibula (-), submental (-), jugularis superior
(-), jugularis interna (-)
c. Kepala
Normochepal, ekspresi muka normal, simetris, nyeri tekan syaraf (-),
deformitas (-)
d. Mata
konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil
kanan & kiri isokor, d ± 3 mm.
e. Telinga
5

Tidak ada deformitas, fungsi pendengaran baik, serumen (+/+), nyeri (-),
sekret (-/-)
f. Hidung
Deviasi septum (-), napas cuping hidung (-), rinorhea (-), pembesaran
konka (-), perdarahan (-), sumbatan (-), fungsi penciuman baik.
g. Mulut dan faring
Sariawan (-), tonsil T1-T1, gusi berdarah (-), lidah kotor (-), atrofi papil
(-), bau pernapasan khas (-), disfagia (-).
h. Leher
Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5-2cmH2O,
kaku kuduk (-).
i. Toraks
Bentuk : Simetris, normal
Buah dada : Ginekomastia (-/-)
j. Paru-paru
Inspeksi : Simetris, tidak ada gerakan paru yang tertinggal,
otot bantu pernafasan (-), pelebaran sela iga (-), hipertrofi otot pernafasan
(-)
Palpasi : Simetris kanan dan kiri, nyeri tekan (-), vokal
fremitus normal
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
k. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari ICS V linea midclavicula sinistra,
intensitas kuat angkat, thrill (-).
Perkusi :
Batas pinggang jantung: ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas Kiri: ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
l. Abdomen
Inspeksi : Membesar (+), sikatrik (-), pelebaran vena (-)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri lepas (-), hepar teraba 2
jari di bawah arcus costae dan 1 jari di bawah proc.
xiphoideus dengan permukaan rata, tepi tajam, lien teraba
pada schuffner 7, teraba keras dengan permukaan rata.
Perkusi : Pekak : regio hipokondriaka sinistra, hipokondriaka
dextra, lumbal sinistra, umbilical dan iliaca dextra
6

Timpani : regio epigastrium, lumbal dekstra, iliaca


sinistra, suprapubik.
m. Punggung
Inspeksi : simetris, tidak ada gerakan paru yang tertinggal, otot bantu
pernafasan (-), sikatrik (-)
Palpasi : vocal fremitus normal kanan dan kiri, gerakan dinding
punggung simetris
Perkusi : sonor kanan dan kiri
Auskultasi : vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Nyeri ketok CVA : (-/-)
n. Ekstremitas
Superior : deformitas (-), sianosis (-), edem (-), palmar eritem (-),
ujung jari pucat (+/+), nyeri (-), CRT < 2 detik, gerakan keduanya aktif,
reflex fisiologis normal, reflex patologis tidak ada
Inferior : deformitas (-), sianosis (-), pucat (+/+), nyeri (-), edem
(-/-), gerakan keduanya aktif, reflex fisiologis normal, reflex patologis
tidak ada.

2.4 Hasil Laboratorium Sederhana


Hasil pemeriksaan penunjang dari RS Raden Mattaher Jambi
1. Darah Rutin
Jenis Hasil
Normal 8-11-2015 12-11-2015 14-11-2015 18-11-2015
Pemeriksaan
WBC (3,5-10,0 103/mm3) 17,2 6,1 4,6 6,1
RBC (3,80-5,80 106/mm3) 1,65 2,62 1,96 2,53
HGB (11,0-16,5 g/dl) 4,6 7,4 5,6 7
HCT (35,0-50,0 %) 12,9 21 15,4 19,8
PLT (150-390 103/mm3) 190 175 164 150
MCV (80-97 fl) 80 80 78 78
MCH (26,5-33,5 pg) 27,7 28,3 28,7 27,9
MCHC (31,5-35 g/dl) 35,2 35,3 36,6 35,6
RDW (10-15 %) 17,3 16,6 15,6 15,9
MPV (6,5-11 fl) 8,3 9 8,4 9,1
PDW (10-18 L%) 14,9 13,6 11,8 12,2

2. Diff Count
Jenis Hasil
Normal 8-11-2015 12-11-2015 14-11-2015 18-11-2015
Pemeriksaan
LYM (17,0-48,0 %) 57,8 36,3 38,4 42,5
MON (4,0-10,0 H 23,8 29,7 25 33,2
7

%)
(43,0-76,0 L
GRA 18,4 34 36,6 24,3
%)
(1,2-3,2 H
LYM 9,9 2,2 1,7 2,5
103/mm3)
(0,3-0,8 H
MON 4 1,8 1,1 2
103/mm3)
(1,2-6,8 H
GRA 3,3 2,1 1,8 1,6
103/mm3)

Pemeriksaan Hematologi (RSU Palembang 16-10-2015)


Hematologi
- Hb : 7,3 (13,2-17,3 g/dL)
- RBC : 2,67 (4,20-4,87 106/mm3)
- WBC : 17,1 (4,5-11,0 103/mm3)
- Ht : 22 (43-49 %)
- PLT : 125 (150-450 103/µL)
- MCV : 81,6 (85-95 fL)
- MCH : 27 (28-32 pg)
- MCHC : 34 (33-35 g/dL)
- LED : 43 (<15 mm/jam)
- Retikulosit : 0,1 (0,5-1,5 %)

Kimia Klinik Hati


Bilirubin total : 0,61 (0,1-1 mg/dl)
Bilirubin Direk : 0,31 (0-0,2 mg/dl)
Bilirubin Indirek : 0,3 (<0,8 mg/dl)
AST/SGOT : 7 (0-38 U/L)
ALT/SGPT : 13 (0-41 U/L)
Protein Total : 7,7 (6,4-8,3 g/dL)
Albumin : 3,9 (3,5-5 g/dL)
Globulin : 3,8 (2,6-3,6 g/dL)
LDH : 672 (240-480 U/L)

Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Sewaktu : 88 (<200)
Ginjal
Ureum : 24 (16,6-48,5 mg/dL)
Kreatinin : 0,65 (0,5-0,9 mg/dL)
Asam Urat : 7,3 (<8,4 mg/dL)
Elektrolit
Ca : 8,2 (8,8-10,2 mg/dL)
Na : 142 (135-155 mEq/L)
K : 4 (3,5-5,5 mEq/L)
8

Gambaran Darah Tepi (RSU Palembang 16-10-2015)


Eritrosit : normositik, normokrom
Leukosit :Jumlah meningkat, Blast 18%, Mielosit 18%, Metamielosit
8%, Stab 4%, Segmen 18%, Limfosit 32%, Monosit 2%
Trombosit : jumlah menurun, penyebaran merata, bentuk normal
Kesan : gambaran CML  monitor darah tepi
Pemeriksaan Aspirasi Sumsum Tulang (BMP)
(RSU Palembang 20-10-2015)
Pewarnaan : wright Hemosiderin sumsum tulang:
Kepadatan : Hiperceluler Partikel : ada
Megakariosit :- Sel-sel lemak :-
Bentuk promegakariosit : - Proeritroblas :-
Mieloblas : 52 Eritroblas Basofil: -
Progranulosit/Promielosit: 2 Polikromatofilik: 2
Mielosit Basofil :- Asidofilik: 6
Eosinofil: - Megaloblas Basofil: -
Neutrofil: 2 Polikromatofilik:
Metamielosit Basofil: - Asidofilik: 6
Eosinofil: - Limfoblas :
Neutrofil: 7 Limfosit : 14
Inti batang Basofil: - Premonosit :
Eusinofil: - Monosit : 10
Neutrofil: 4 Plasmosit (sel plasma):
Inti segmen Basofil: 73 Histiosit :
Eusinofil: 2 Sel tak dikenal/rusak:
Neutrofil: 25 Sel mitosis :
Giant Metamielosit: Lain-lain (monoblast): 1
Giant stab : Partikel dominan :
Inti segmen 6 : Jumlah sel leukosit :
Inti segmen >6 : M: E ratio : 167:8
Morfologi eritrosit :
Kesan: CML (fase akselerasi)

2.5 Diagnosa Kerja


Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi

2.6 Diagnosis Banding


Anemia CML
- Anemia hemolitik - CML fase kronis
- Anemia penyakit kronis - CML fase krisis blas

2.7 Pemeriksaan yang Dianjurkan


9

- BCR-ABL

2.8 Tatalaksana
1. Non-medikamentosa
- Bed rest
2. Medikamentosa
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit
- Transfusi PRC 3 kolf
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr vial
- Inj. Ketorolac 10mg 2x1 amp
- Inj. Ondansentron 4mg 2x1 amp
PO : Cytodrox 500mg 1x1tab
Ulsafat syrup 3x1C
3. Terapi pembedahan
- Splenectomy

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

2.10 Follow Up Keadaan Pasien


9 November 2015
 S : Lemas (+), mual (+), nyeri perut (+)
 O : TD 100/70 mmHg, RR 22x, N 86x, T 37 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
 P : Post transfusi darah 1 kolf (2)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr vial
Inj. Ketorolac 10mg 2x1 amp
Inj. Ondansentron 4mg 2x1 amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab

10 November 2015
 S : Lemas (+), mual (+), nyeri perut (+)
 O : TD 110/80 mmHg, RR 23x, N 84x, T 36,8 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
 P : Post transfusi darah 1 kolf (3)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
10

Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr vial


Inj. Ketorolac 10mg 2x1 amp
Inj. Ondansentron 4mg 2x1 amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab

11 November 2015
 S : Lemas (+), mual (+), BAB (-)
 O : TD 100/60 mmHg, RR 20x, N 86x, T 37 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
 P : Post transfusi darah 1 kolf (4)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr vial
Inj. Ondansentron 4mg 2x1 amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab

12 November 2015
 S : BAB hitam
 O : TD 100/60 mmHg, RR 20x, N 82x, T 37 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
 P : Post transfusi darah 1 kolf (5)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Kalnex 3x50mg amp
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr vial
Inj. Ondansentron 4mg 2x1 amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab

13 November 2015
 S : BAB hitam
 O : TD 90/60 mmHg, RR 24x, N 82x, T 36,7 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
 P : Post transfusi darah 1 kolf (5)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Kalnex 3x50mg amp
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr vial
Inj. Ondansentron 4mg 2x1 amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab

14 November 2015
11

 S : BAB berdarah
 O : TD 120/80 mmHg, RR 20x, N 80x, T 36,6 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
 P : Post transfusi darah 1 kolf (6)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Kalnex 3x50mg amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab

15 November 2015
 S : BAB berdarah
 O : TD 90/60 mmHg, RR 22x, N 86x, T 36,8 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
 P : Post transfusi darah 1 kolf (7)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Kalnex 3x50mg amp
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab

16 November 2015
 S : BAB berdarah (-)
 O : TD 130/80 mmHg, RR 19x, N 82x, T 36,6 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
 P : IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab

17 November 2015
 S : Nyeri perut, demam
 O : TD 110/60 mmHg, RR 24x, N 82x, T 38 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
 P : Post transfusi darah 1 kolf (8)
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Ulsafat syrup 3x1C
Cytodrox 500mg 1x1tab
Paracetamol 500 mg 3x1 tab (jika demam)

18 November 2015
 S : BAB berdarah (-), sakit perut (+)
 O : TD 100/60 mmHg, RR 20x/i, N 80x/i, T 36,7 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
12

 P : IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i


Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ketorolac 10mg 2x1 amp
Cytodrox 500mg 1x1tab
Ulsafat syrup 3x1C

19 November 2015
 S : Sakit perut (+)
 O : TD 90/70 mmHg, RR 22x, N 88x, T 36,6 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
 P : IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Omeprazole 40mg 2x1 vial
Inj. Ketorolac 10mg 2x1 amp
Cytodrox 500mg 1x1tab
Ulsafat syrup 3x1C

20 November 2015
 S : keluhan berkurang
 O : TD 100/60 mmHg, RR 20x, N 80x, T 36,6 ‘C
 A : Anemia normositik normokrom e.c. CML fase akselerasi
 P : Os boleh pulang
Cytodrox 500mg 1x1tab
Ulsafat syrup 3x1C
13

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

ANEMIA
1. Definisi
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya satu atau lebih parameter sel
darah merah, yaitu konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah
merah. Anemia menyebabkan menurunnya kemampuan pengangkutan oksigen
yang fisiologis di dalam darah dan berkurangnya suplai oksigen ke jaringan.6

Tebel 1. Kriteria WHO untuk diagnosis anemia


Umur Kadar Hb (g/dl)
6 bulan - < 5 tahun < 11
≥ 5 thun - 14 tahun < 12
Dewasa laki-laki < 13
Dewasa perempuan (tidak hamil) < 12
Dewasa perempuan (hamil) < 11

Anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah


12 g% pada wanita (WHO). Berdasarkan kriteria WHO yang direvisi/ kriteria
National Cancer Institute, anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 14 g% pada
pria dan di bawah 12 g% pada wanita. Kriteria ini digunakan untuk evaluasi
anemia pada penderita dengan keganasan. Anemia merupakan gejala dan tanda
penyakit tertentu yang harus dicari penyebabnya agar dapat diterapi dengan tepat.7
Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen
yaitu berkurangnya produksi sel darah merah, meningkatnya destruksi sel darah
merah dan kehilangan darah.7

2. Etiologi
Penyebab terjadinya anemia sangat bervariasi, bisa oleh karena gangguan
produksi sel darah merah atau rusaknya jumlah eritrosit yang bermakna. Jika
seseorang terlihat pucat, penting menentukan inti permasalahannya, baik itu disatu
alur sel (misalnya sel darah merah, sel darah putih atau trombosit). Jika dua atau
tiga alur sel terganggu, kemungkinan menunjukkan adanya keterlibatan sumsum
tulang (misalnya leukemia, penyakit metastase, anemia aplastik).6

3. Gejala Klinis
14

Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya
anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia
yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik
untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.7
Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor :
1. Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan
2. Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif)
Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan
mekanisme kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah
jantung pada kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb
turun di bawah 5 g%, pada kadar Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika
terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung yang
mendasarinya. 7
Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat,
fatigue, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung
berdebar, dan roaring in the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul
letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina,
aritmia dan/ atau infark miokard).
Anemia yang disebabkan perdarahan akut berhubungan dengan komplikasi
berkurangnya volume intraseluler dan ekstraseluler. Keadaan ini menimbulkan
gejala mudah lelah, lassitude (tidak bertenaga), dan kram otot. Gejala dapat
berlanjut menjadi postural dizzines, letargi, sinkop, pada keadaan berat dapat
terjadi hipotensi persisten, syok, dan kematian. 7

4. Klasifikasi Anemia

ANEMIA

Gangguan Hasil
Gangguan Gangguan
Produksi Distribusi
(destruksi/Hemolii Aplastik Keganasan
k)

Defisiensi: Thalesemia
Besi Dapat
Asam Folat Sickle sel
Terhentinya mengganggu
Vitamin Anemia
B12 Hemoragik/Perdar proses proses
Defisiensi G6PD
Mineral ahan pembentukan pembentukan,
Protein Reseptor/Ambila Intoksikasi
eritrosit dalam dan
Leukemia Infeksi Kronis
Infeksi SumTul sumsum tulang penghancuran
Reaksi hemolitik
Penyakit Ginjal Kronik dari eritrosit
Hipotiroidism post tanfusi
15

Tanda dan gejala Anemia Anemia Anemia Anemia Anemia


Defisiensi Perdarahan Hemolitik Aplastic Keganasan
Pucat + + + + +
Lemas, lesu, mata + + + + +
berkunang
Sakit kepala + + + + +
Demam - - + + +
BAB terganggu + - + - +
Sering berdebar + -/+ + + +

Icterus - - + - +
Muak muntah -/+ - + - +

Pemeriksaan Fisik Anemia Anemia Anemia Anemia Anemia


Defisiensi Perdarahan Hemolitik Aplastic Keganasan
Kulit Pucat + + + + +
Konjungtiva anemis + + + + +
Skelera Ikterik - - + - +
Atropi papil lidah + - - - -
Pembesaran KGB - - -/+ - +
Hepatomegali - - + - +
Splenomegali - - + - +
Petekie - - + + +
Kuku sendok + - - - -

Pemeriksaan Anemia Anemia Anemia Anemia Anemia


Penunjang Defisiensi Perdarahan Hemolitik Aplastic Keganasan
DL Hb, Ht turun Hb turun Hb turun Pansitopenia Pansitopenia
Apusan darah tepi Besi : Normal Micrositik normokrom Micrositik
hipokrom Normokrom normositer normokrom
mikrositer
Folat, B12:
magrositer
Hitung leukosit Normal Normal Meningkat Normal/ Menurun
Meningkat
Hb analisa Besi: Normal Retikulosit Raikulosit Retikulosit
16

FEP meningkat menurun meninkat


meningkat
CT/BT Normal Normal Meningkat Normal N/turun/tingkat
BNP Besi: Normal Hiperplasia hiposelularitas Bisa
Maturasi sumTul dan hyperplasia,
tertunda, peningkatan maturasi, dll
pewarnaan jaringan
tidak ada besi lemak
As. Folat dan
B12:
Giant steb-
cell
Kadar besi Feritin Normal Normal Normal Dapat
menurun meningkat dan
menurun
Faal Hepar Normal Normal Meningkat Normal Biasanya
meningkat
/metastais
Ronsen Thoraks Normal Normal Normal Normal Metastasis

Tatalaksana Anemia Anemia Anemia Anemia Anemia


Defisiensi Perdarahan Hemolitik Aplastic Keganasan
ADB -Hentikan Sesuai Etiologi -Hindari -Kemoterapi
-Sulfas ferrous perdarahan -Kortiko kontak dengan -Radioterapi
3x10 -Resusitasi Steroid toksin
mg/kg/BB cairan -Splenoktomi -Tranfusi
-Vitamin C -Tranfusi -Imunosupresif -Transplantasi
3x100mg/hari jika Hb< -Tranfusi berkala SumTul
-Tranfusi jika 6g/dl
Hb<6g/dl
-Diit tinggi besi
As.Folat: PO
0,5-1 mg/hari
B12: Parenteral
1mg

5. Diagnosa
Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia :
17

a. Pendekatan kinetik, pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang


berperan dalam turunnya Hb.
b. Pendekatan morfologi, pendekatan ini mengkategorikan anemia
berdasarkan perubahan ukuran eritrosit (Mean corpuscular volume/
MCV) dan respon retikulosit.

Pendekatan kinetik
Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme
independen :
1. Berkurangnya produksi sel darah merah
2. Meningkatnya destruksi sel darah merah
3. Kehilangan darah
Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah
lebih rendah dari destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel
darah merah :
a. Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan
oleh kekurangan diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue)
atau kehilangan darah (defisiensi Fe)
b. Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell
aplasia, mielodisplasia, infiltrasi tumor)
c. Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
d. Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel
darah merah (eritropoietin pada gagal ginjal, hormon tiroid
[hipotiroidisme] dan androgen [hipogonadisme])
e. Anemia penyakit kronis/anemia inflamasi, yaitu anemia
dengan karakteristik berkurangnya Fe yang efektif untuk
eritropoiesis karena berkurangnya absorpsi Fe dari traktus
gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari
makrofag, berkurangnya kadar eritropoietin (relatif) dan
sedikit berkurangnya masa hidup erirosit.

Peningkatan destruksi sel darah merah


Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena
berkurangnya masa hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari).
Pada keadaan normal, umur sel darah merah 110-120 hari. Anemia
hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak dapat mengatasi kebutuhan
18

untuk mengganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang


berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari. 7
Pendekatan morfologi
Penyebab anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel darah
merah pada apusan darah tepi dan parameter automatic cell counter. Sel
darah merah normal mempunyai volume 80-96 femtoliter (1 fL = 10-15
liter) dengan diameter kira-kira 7-8 mikron, sama dengan inti limfosit kecil.
Sel darah merah yang berukuran lebih besar dari inti limfosit kecil pada
apus darah tepi disebut makrositik. Sel darah merah yang berukuran lebih
kecil dari inti limfosit kecil disebut mikrositik. Automatic cell counter
memperkirakan volume sel darah merah dengan sampel jutaan sel darah
merah dengan mengeluarkan angka mean corpuscular volume (MCV) dan
angka dispersi mean tersebut. Angka dispersi tersebut merupakan koefisien
variasi volume sel darah merah atau RBC distribution width (RDW). RDW
normal berkisar antara 11,5-14,5%.7 Peningkatan RDW menunjukkan
adanya variasi ukuran sel. Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia
diklasifikasikan menjadi :
a. Anemia makrositik
Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV
di atas 100 fL. Anemia makrositik dapat disebabkan oleh :
-
Peningkatan retikulosit
Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal
retikulosit. Semua keadaan yang menyebabkan peningkatan
retikulosit akan memberikan gambaran peningkatan MCV
-
Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah
merah (defisiensi folat atau cobalamin, obat-obat yang
mengganggu sintesa asam nukleat: zidovudine, hidroksiurea)
-
Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia,
leukemia akut)
-
Penggunaan alkohol : penyakit hati, hipotiroidisme.

b. Anemia mikrositik
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel
darah merah yang kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia
mikrositik biasanya disertai penurunan hemoglobin dalam eritrosit.
19

Dengan penurunan MCH (mean concentration hemoglobin) dan


MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan
darah tepi. 7 Penyebab anemia mikrositik hipokrom :
-
Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia penyakit
kronis/anemia inflamasi, defisiensi tembaga.
-
Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia
sideroblastik kongenital dan didapat.
-
Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan
hemoglobinopati.

c. Anemia normositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-
100 fL). Keadaan ini dapat disebabkan oleh :
-
Anemia pada penyakit ginjal kronik.
-
Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan
penyakit ginjal kronik.
-
Anemia hemolitik

Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah
merah: Kelainan membran (sferositosis herediter),
kelainan enzim (defi siensi G6PD), kelainan hemoglobin
(penyakit sickle cell).

Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah
merah: imun, autoimun (obat, virus, berhubungan dengan
kelainan limfoid, idiopatik), alloimun (reaksi transfusi
akut dan lambat, anemia hemolitik neonatal),
mikroangiopati (purpura trombositopenia trombotik,
sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat
kimia (bisa ular).7

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium haruslah dilakukan atas indikasi karena
pemeriksaan laboratorium seringkali menyebabkan membengkaknya biaya
pengobatan. Dengan mengurangi jenis pemeriksaan yang tidak diperlukan,
20

biaya dapat dikurangi. Pemilihan jenis pemeriksaan dipilih berdasarkan


seleksi yang rasional menurut protokol yang ada.
Pada pemeriksaan slide darah tepi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis anemia, melalui pemeriksaan ini dapat ditentukan
apakah termasuk anemia hipokromik mikrositik, normositik, makrositik
atau gambaran abnormalitas morfologi lainnya (misalnya sferosit, sickle
cell, sel target).
Mean corpuscular volume (MCV) mengkonfirmasikan temuan pada
apusan mengenai ukuran sel darah merah: mikrositik (< 7 μm), makrositik
(> 8μm) atau normositik (7,2 – 7,9 μm). Jumlah retikulosit dan MCV
membantu dalam mendiagnosis banding anemia. Jumlah retikulosit normal
atau menurun menunjukkan gangguan bentuk sel darah merah, peningkatan
jumlah retikulosit menunjukkan kehilangan darah kronis atau hemolisis.
Red cell distribution width (RDW) dan MCV menunjukkan morfologi
dan klasifikasi anemia. Pada beberapa kasus anemia berulang, diindikasikan
pemeriksaan sumsum tulang, pada apusan sumsum tulang sebaiknya
diwarnai dengan perwarnaan untuk besi agar dapat menilai cadangan besi
dan mendiagnosis adanya anemia sideroblastik.6

Klasifikasi Anemia berdasarkan MCV dan RDW

LEUKEMIA MIELOID KRONIK


CML adalah salah satu bentuk dari leukemia yang ditandai dengan
meningkatnya dan pertumbuhan yang tidak teratur dari sel mieloid di dalam
sumsum tulang dan terakumulasi juga di dalam darah. CML adalah gangguan
pada sumsum tulang dimana terjadi proliferasi dari granulosit yang matur
(neutrofil, eosinofil, dan basofil). CML adalah salah satu tipe penyakit
21

mieloproliferasi yang dihubungkan dengan adanya translokasi kromosom yang


disebut dengan philadelphia chromosome.8
Sejak dahulu, penyakit ini telah diterapi dengan kemoterapi, interferon, dan
transplantasi sumsum tulang, walaupun targeted therapy telah diperkenalkan pada
awal abad 21 secara radikal telah merubah menejemen dari CML
CML disebut juga sebagai chronic granulocytic leukemia adalah gangguan
mieloproliferasi yang ditandai oleh peningkatan proliferasi dari granulosit tanpa
menghilangnya kemampuan granulosit untuk berdiferensiasi. Pada pemeriksaan
darah tepi dijumpai peningkatan jumlah granulosit dan adanya sel-sel imatur
termasuk sel blast.

CML merupakan translokasi dari kromosom 9 dan 22 yang disebut dengan


kromosom Philadelphia. CML dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase, yaitu:

1. Fase kronik, dimana 85% pasien didiagnosa pada fase ini.


2. Fase akselerasi, dan

3. Krisis blast, dimana merupakan tahapan akhir dari perjalanan penyakit


CML, serupa seperti leukemia akut dengan progresifitas yang cepat.8

1. Etiologi

CML lebih sering terjadi pada orang dewasa dan bertanggung jawab hanya
untuk 3% dari kasus leukemia pada masa kanak-kanak. Penyebab dari CML pada
anak-anak belum diketahui. Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor
predisposisi keturunan, juga tidak dijumpai peningkatan resiko terhadap CML
pada gangguan kromosom preleukemik seperti pada anemia Fanconi dan Down
syndrome. Pada kebanyakan kasus, tidak terdapat faktor predisposisi.8
Pada kasus tertentu, hubungan CML dengan paparan radiasi telah
dijelaskan, terutama pada anak umur 5 tahun, seperti yang telah dilaporkan di
Jepang pada saat adanya ledakan hebat pada tahun 1940, juga telah dilaporkan
22

CML terjadi pada anak-anak dengan immunosuppresed, termasuk anak dengan


infeksi HIV, dan imunosupresi pada transplantasi ginjal.8,9

2. Patogenesis

CML adalah malignansi pertama yang dihubungkan dengan gen yang


abnormal, translokasi kromosom tersebut diketahui sebagai Philadelphia
kromosom yang merupakan translokasi kromosom 9 dan 22. Pada CML juga
ditandai oleh hiperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah sel mieloid yang
berdiferensiasi dalam darah dan sumsum tulang.

Kromosom Philadelphia

Pada translokasi ini, bagian dari dua kromosom yaitu kromosom 9 dan 22
berubah tempat. Hasilnya, bagian dari gen BCR (breakpoint cluster region) dari
kromosom 22 bergabung dengan gen ABL pada kromosom 9. Penyatuan
abnormal ini menyebabkan penyatuan protein tyrosine kinase yang meregulasi
proliferasi sel, penurunan sel adherens dan apoptosis. Hal ini karena pada bcr-abl
produk penyatuan gen adalah juga tyrosine kinase.1,8,9
23

Penyatuan protein bcr-abl berinteraksi dengan 3beta (c) subunit reseptor.


Transkrip bcr-abl aktif secara terus-menerus dan tidak membutuhkan aktivasi oleh
protein sel yang lainnya. Bcr-abl mengaktivasi kaskade dari protein yang
mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Kemudian, protein bcr-abl
menghambat perbaikan DNA, menyebabkan instabilitas gen dan menyebabkan sel
dapat berkembang lebih jauh menjadi gen yang abnormal. Tindakan dari protein
bcr-abl adalah penyebab patofisiologi dari CML. Dengan pemahaman tentang
protein bcr-abl dan tindakannya sebagai tyrosine kinase, targeted therapy
dikembangkan yang secara spesifik menghambat aktifitas dari protein bcr-abl.
Inhibitor dari tyrosine kinase dapat menyembuhkan CML, karena bcr-abl tersebut
adalah penyebab dari CML.1,8

3. Klasifikasi

CML sering dibagi menjadi tiga fase berdasarkan karakteristik klinis dan
hasil laboratorium. CML dimulai dengan fase kronik, dan setelah beberapa tahun
berkembang menjadi fase akselerasi dan kemudian menjadi fase krisis blast.
Krisis blast adalah tingkatan akhir dari CML, dan mirip seperti leukemia akut.
Perkembangan dari fase kronik melalui akselerasi dan krisis blast diperoleh
kromosom abnormal yang baru yaitu kromosom philadelphia. Beberapa pasien
datang pada tahap akselerasi ataupun pada tahapan krisis blast pada saat mereka
didiagnosa.8
Fase Kronis
85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase kronik pada saat
mereka didiagnosa dengan CML. Selama fase ini, pasien selalu tidak
mengeluhkan gejala atau hanya ada gejala ringan seperti cepat lelah dan
perut terasa penuh. Lamanya fase kronik bervariasi dan tergantung seberapa
dini penyakit tersebut telah didiagnosa dan terapi yang digunakan pada saat
itu juga. Tanpa adanya pengobatan yang adekuat, penyakit dapat
berkembang menuju ke fase akselerasi.

Fase Akselerasi
24

Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan


abnormalitas sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria diagnosa dimana
fase kronik berubah menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi. Kriteria
yang banyak digunakan adalah kriteria yang digunakan di MD Anderson
Cancer Center dan kriteria dari WHO.

Kriteria WHO untuk mendiagnosa CML, yaitu :

 10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sumsum tulang.


 >20% basofil di dalam darah atau sumsum tulang.

 Trombosit <100.000, tidak berhubungan dengan terapi.

 Trombosit >100.000, tidak respon terhadap terapi.

 Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen yaitu kromosom


philadelphia.

 Splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat.

Pasien diduga berada pada fase akselerasi berdasarkan adanya tanda-


tanda yang telah disebutkan di atas. Fase akselerasi sangat signifikan karena
perubahan menjadi krisis blast berjarak berdekatan.

Krisis blast
Krisis blast adalah fase akhir dari CML, dan gejalanya mirip seperti
leukemia akut, dengan progresifitas yang cepat dan dalam jangka waktu
yang pendek. Krisis blast didiagnosa apabila ada tanda-tanda sebagai
berikut pada pasien CML :

 >20% myeloblasts atau lymphoblasts di dalam darah atau sumsum


tulang.
 Sekelompok besar dari sel blast pada biopsi sumsum tulang.

 Perkembangan dari chloroma.


25

4. Gejala dan Tanda

Umumnya gejala CML biasanya tidak spesifik, gejalamya tergantung dari


progresifitas penyakit yang sesuai dengan fase-fasenya. Gejala CML pada fase
kronik adalah fatigue, malaise dan penurunan berat badan. Abdominal discomfort,
yang disebabkan oleh splenomegali, biasanya juga dijumpai. Gejala biasanya
tidak nyata, dan diagnosis sering ditegakkan bila pemeriksaan darah dilakukan
atas alasan lain. Penderita mungkin datang dengan splenomegali (yang dapat
masif) atau dengan gejala hipermetabolisme termasuk kehilangan berat badan,
anoreksia, dan keringat malam. Gejala leukostasis seperti gangguan penglihatan
atau priapismus, jarang terjadi.1,8
Pasien sering asimptomatik pada saat pemeriksaan, hanya ditemukan
peningkatan leukosit pada pemerikasaan jumlah leukosit dalam pemeriksaan
darah. Pada keadaan ini CML harus dibedakan dari reaksi leukemoid, yang mana
pada pemeriksaan darah tepi memiliki gambaran yang serupa. Gejala dari CML
adalah malaise, demam, gout atau nyeri sendi, meningkatnya kemungkinan
infeksi, anemia, trombositopenia, mudah lebam, dan didapatnya splenomegali
pada pemeriksaan fisik, gejala ini timbul seiring dengan perkembangan
penyakitnya.1,8,9
Gambaran Klinis Diagnosis CML

Umum Jarang
Fatigue Nyeri tulang

Berat badan Perdarahan


turun Demam
Abdominal Berkeringat
discomfort Leukositosis
Gout
Asimptomatik
Spleen Infark

Mayoritas dijumpai splenomegali, penemuan lain biasanya tidak spesifik.


Hepatomegaly teraba (1-2 cm) tetapi hepatomegali hebat dan limfadenopati
sangat tidak umum, kecuali penyakit itu sudah fase lanjut atau blast krisis. Tanda
26

leukositosis (e.g. retinal hemoragik, papil edema, priapismus). Biasanya hanya


kelihatan jika leukosit sangat tinggi (>300×10 9/L). Beberapa laporan menduga
bahwa tanda-tanda CML lebih umum pada anak-anak daripada dewasa.

5. Diagnosis

Diagnosa CML diperoleh berdasarkan pemeriksaan histopatologik darah


tepi dan pemeriksaan sumsum tulang. Kelainan laboratorium biasanya mula-mula
terbatas pada kenaikan hitung leukosit, yang dapat melebihi 100.000/mm 3, dengan
semua bentuk sel mieloid tampak di apus darah. CML sering didapat diagnosanya
berdasarkan pemeriksaan darah, yang mana menunjukkan peningkatan granulosit
dari berbagai jenis, termasuk sel mieloid yang matur. Basofil dan eosinofil
biasanya meningkat. Peningkatan ini dapat menjadi indikasi untuk membedakan
CML dari reaksi leukemoid. Biopsi sumsum tulang sering dilakukan sebagai
evaluasi dari CML. Pada pemeriksaan sumsum tulang CML ditandai dengan
hiperseluler di dalam semua fase. Pada fase kronis terjadi peningkatan terutama
hiperplasia dari sel granulositik.8
Temuan pada apusan darah tepi dan hitung jenis :

-
Leukosit total 20.000-60.000 sel/µL, dengan sedikit peningkatan pada
jumlah basofil dan eosinofil
-
Anemia ringan hingga sedang, biasanya normokromik normositer

-
Trombosit rendah, normal, atau meningkat

-
Leukocyte alkaline phospatase sangat rendah hingga tidak ada

-
Leukoerythroblastosis, dengan sel imatur pada sumsum tulang

-
Sel mieloid muda (mieloblas, mielosit, metamielosit, nucleated RBC)

Temuan pada sumsum tulang :


27

-
Kromosom Ph (kromosom translokasi resiprok diantara kromosom 9
dan 22)
-
Mutasi BCR/ABL

-
Hiperseluler, yang dipenuhi oleh sel mieloid (neutrofil, eosinofil,
basofil) dan sel progenitornya

-
Fibrosis sedang pada retikulin 1

Diagnosa utama dari CML diperoleh dari ditemukannya kromosom


philadelphia. Kromosom abnormal yang khas ini dapat didetekesi dari
pemerikasaan sitogenetik rutin, dengan hibridisasi fluoresen in situ atau dengan
PCR untuk gen bcr-abl yang menyatu.
Terdapat kontroversi terhadap Ph-negatif CML, atau kasus terhadap
kecurigaan CML dimana kromosom philadelphia tidak dapat dideteksi. Banyak
pasien yang faktanya memiliki kromosom abnormal yang kompleks yang
menutupi translokasi kromosom 9 dan kromosom 22, atau mempunyai bukti dari
translokasi oleh FISH atau oleh RT-PCR sehubungan dengan karyotyping rutin
yang normal. 8

6. Terapi

Tujuan dari penatalaksanaan CML adalah :

-
Perbaikan hematologi (darah rutin dan pemeriksaan fisik normal, tidak
ada organomegali)
-
Perbaikan sitogenetik (susunan kromosom normal dengan sel Ph 0%)

-
Perbaikan molekuler (PCR untuk BCR/ABL mRNA negatif) 1

Pada fase kronis CML diterapi dengan inhibitor tyrosine kinase, yang
pertama adalah imatinib mesylate (Gleevec, Glivec). Penggunaan Imatinib telah
disetujui oleh FDA Amerika Serikat dan dikhususkan untuk bcr-abl, yang
mengaktifkan penyatuan protein tyrosine kinase yang disebabkan oleh translokasi
28

kromosom philadelphia. Imatinib ini dapat ditolerir lebih baik dan lebih efektif
dibandingkan terapi sebelumnya. Transplantasi sumsum tulang juga digunakan
sebagai terapi pilihan untuk CML.
Pada sindrom tumor lysis diberikan hidrasi, alkalinisasi, dan allopurinol.
Pada hiperleukositosis pada CML yang ditandai dengan jumlah leukosit
>200.000/mm3 mulai diberikan hydroxyurea 50-75 mg/kgBB/hari. Imatinib mulai
diberikan setelah diagnosis dari Ph-positif CML telah ditegakkan. Bila terdapat
respon yang kurang memuaskan terhadap Imatinib maka digunakan IFN-α atau
IFN-α dan Ara-C 5×106 unit/m2 per hari secara subcutan atau intramuskular.
Hydroxyurea digunakan untuk menurunkan jumlah leukosit menjadi 10.000-
20.000 /mm3 dan dapat diturunkan dosisnya secara bertahap dan tidak dilanjutkan
kembali.
Respon terhadap pengobatan dapat diketahui berdasarkan beberapa kriteria,
diantaranya kriteria secara hematologi. Apabila leukosit kurang dari 9000/mm 3,
tidak dijumpai splenomegali dan morfologi normal maka hal ini menunjukkan
adanya respon pengobatan secara keseluruhan (complete response). Bila leukosit
kurang dari 20.000/mm3, dijumpai splenomegali maka terdapat respon pengobatan
parsial (partial respon). Dikatakan pengobatan gagal apabila leukosit lebih dari
20.000/mm3 dan dijumpai splenomegali. Pada pasien muda atau pasien yang tidak
toleransi atau resistensi terhadap tyrosine kinase inhibitor dapat dilakukan
transplantasi sel induk untuk memberikan hasil yang lebih baik.
Pada fase akselerasi, penyakit ini akan berkembang lebih cepat sehingga
membutuhkan pendekatan yang lebih intensif. Pengobatan pada fase akselerasi
dan fase blast adalah kombinasi obat kemoterapi yang diberikan secara intravena.
Tujuan terapi pada fase ini adalah untuk menghancurkan sel leukemik dan
mengembalikan fungsi sumsum tulang normal lagi, atau untuk mengembalikan
pasien pada fase kronik penyakitnya.8

7. Prognosis

Angka harapan hidup rata-rata pada pasien dengan CML adalah 3-5 tahun
sejak didiagnosis. Akhir-akhir ini, rata-rata angka harapan hidup pada pasien CML
29

mencapai 5 tahun atau lebih (50-60%). Hal ini dapat dicapai jika pasien dapat
didiagnosa lebih awal, pemberian terapi dengan interferon dan transplantasi
sumsum tulang, serta perawatan pasien yang baik. Pasien yang sudah masuk pada
fase blast yang memiliki manifestasi yang mirip dengan leukemia akut,
mempunyai prognosis yang sangat buruk. Pemberian terapi tidak memberikan
hasil yang memuaskan, dan pada umumnya pasien mempunyai angka harapan
hidup antara 3-6 bulan.1
30

BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. H Umur 42 Tahun tinggal di Desa Bukit Balai, Sengeti, masuk tanggal 8
November 2015. Pasien datang dengan keluhan tubuhnya lemas sejak 3 hari
SMRS, lemas yang dirasakan meningkat setiap hari, Os sulit untuk bangun dari
tempat tidurnya sehingga aktivitasnya terbatas. Os juga mengaku mudah lelah
sepanjang hari. Os merasa kepala berputar-putar dan sakit kepala jika os merubah
posisinya dari tidur ke duduk. Keadaan lemas dan lelah merupakan suatu tanda
kelelahan fisik ataupun mental, dan bukan merupakan hal yang spesifik, sehingga
sulit mengidentifikasi penyakit yang mendasari. Keluhan utama ini dapat terjadi
pada penyakit-penyakit : penyebab non-organik, obat-obatan, keganasan, sistem
pernapasan, jantung, hematologik dapat berupa anemia, endokrin, infeksi akut
maupun infeksi kronik.
Pasien juga mengeluh nyeri pada seluruh perut sekitar 7 hari SMRS, nyeri
yang dirasakan hilang timbul, nyeri timbul mendadak, nyeri berkurang ketika
pasien memiringkan tubuhnya ke kanan, nyeri perut yang dirasakan tidak
berkurang dengan istirahat, dan bertambah sakit bila ditekan. Os juga merasa
perut terasa penuh sejak perutnya membesar, os merasa cepat kenyang, meskipun
makan sedikit, nafsu makan menurun. Riwayat sering konsumsi obat penghilang
nyeri (+), Riwayat minum jamu-jamuan (-). Nyeri perut dapat berupa nyeri viseral
maupun parietal. Nyeri perut pada pasien ini berkurang jika memiringkan
tubuhnya ke kanan dan nyeri perut juga berada pada sebelah kiri dan menjalar
keseluruh perut menandakan suatu nyeri viseral pada organ yang berada di daerah
hipokondriaka sinistra.
Awalnya, sekitar tahun 2003, Os mengeluh perutnya semakin lama semakin
membesar pada perut bagian kiri atas, awalnya sebesar kepalan tangan os.
Sebelumnya os sering merasakan demam yang tidak sembuh-sembuh selama ± 3
bulan, demam yang dirasakan terus menerus, demam disertai menggigil, demam
turun jika diberi obat penurun panas lalu demam timbul lagi. Os juga mengaku
sering berkeringat pada malam hari, nafsu makan Os juga menurun, berat badan
menurun, muntah (+) isi muntahan apa yang dimakan. Riwayat batuk lama
31

disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Lalu Os berobat dan diberitahu
bahwa os menderita leukimia, Os diberikan obat Myleran secara rutin selama ± 1
bulan, setelah perut Os berangsur kembali mengecil dan keluhan hilang, Os
berhenti minum obat. Pada tahun 2009 Os kembali masuk rumah sakit dengan
keluhan perut Os semakin lama semakin membesar lagi. Sehingga Os merasa sulit
beraktivitas, selanjutnya Os diberikan obat Citodrop sehingga perut Os kembali
mengecil.
Tahun 2013 Os kembali masuk rumah sakit dengan keluhan lemas, mudah
lelah, muka pucat, mual, nyeri menelan, giginya sering berdarah dan mudah luka,
dari pemeriksaan menurut Os didapatkan Hb Os turun. Setelah mendapatkan
pengobatan di rumah sakit, keadaan os membaik lalu os kembali pulang ke rumah,
sejak saat itu os menjadi sering keluar masuk rumah sakit setiap bulan untuk
transfusi darah. Awalnya Os transfusi setiap 1 bulan sekali lalu semakin sering
menjadi 2 minggu sekali dan saat ini menjadi 1 minggu sekali.
Pada 1 tahun belakangan ini, os menjalani pengobatan alternatif dengan
mengkonsumsi obat herbal, namun perut Os malah makin membesar, dan badan
terasa semakin lemas. Sekitar 1 bulan yang lalu Os melakukan pemeriksaan BMP
dan BCR-ABL di Rumah Sakit Palembang.
Pasien didiagnosis sebagai anemia e.c CML fase akselarasi. Didapatkan
dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya konjungtiva anemis pada kedua mata,
sariawan pada lidah, abdomen yang membesar dengan bising usus meningkat,
nyeri tekan epigastrium (+), lien teraba keras pada schuffner 7 dengan permukaan
licin dan perkusi pekak pada hampir seluruh abdomen. Pada pemeriksaan darah
rutin didapatkan peningkatan jumlah sel darah putih dan RDW serta penurunan sel
darah merah, hemoglobin dan hematokrit. Dari hasil pemeriksaan Aspirasi
Sumsum Tulang didapatkan rasio antara Myeloid dan Eritrosit 167 : 8 dengan
nilai normal 3:1 atau 4:1, pada BMP didapatkan 20% merupakan sel mioblast
sedangkan menurut WHO 10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sumsum
tulang. >20% basofil di dalam darah atau sumsum tulang. Dan pada pasien
disertai juga splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat yang menandakan
CML fase akselarasi. Untuk memastikan lagi didiagnosis, perlu dilakukan
pemeriksaan BCR-ABL. Tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah terapi
32

dengan kemoterapi, antibiotik, analgetik, antiemetik, sukralfat, dan rencana


transfusi darah.
33

BAB V
KESIMPULAN

CML adalah gangguan pada sumsum tulang dimana terjadi proliferasi dari
granulosit yang matur (neutrofil, eosinofil, dan basofil). CML adalah salah satu
tipe penyakit mieloproliferasi yang dihubungkan dengan adanya translokasi
kromosom 9 dan 22 yang disebut dengan philadelphia chromosome.
CML dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase, yaitu fase kronik (85%
pasien didiagnosa pada fase ini), fase akselerasi, dan krisis blast, dimana
merupakan tahapan akhir dari perjalanan penyakit CML. Gambaran klinis CML
antara lain splenomegali, anemia, memar, demam, epistaksis, menorhagia, gout,
nyeri tulang dan gejala-gejala lain yang berhubungan dengan hipermetabolisme
(penurunan berat badan, anoreksia, atau keringat malam)
Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor predisposisi keturunan. Pada
kebanyakan kasus, tidak terdapat faktor predisposisi. Namun pada kasus tertentu,
CML berhubungan dengan paparan radiasi. Pada translokasi kromosom ini,
bagian dari dua kromosom yaitu kromosom 9 dan 22 berubah tempat. Hasilnya,
bagian dari gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22 bergabung
dengan gen ABL pada kromosom 9. Penyatuan abnormal ini menyebabkan
penyatuan protein tyrosine kinase yang meregulasi proliferasi sel.
Diagnosa CML diperoleh berdasarkan pemeriksaan histopatologik darah
tepi dan pemeriksaan sumsum tulang. Diagnosa utama dari CML diperoleh dari
ditemukannya kromosom philadelphia. Pada fase kronis CML diterapi dengan
inhibitor tyrosine kinase. Pengobatan pada fase akselerasi dan fase blast adalah
kombinasi obat kemoterapi yang diberikan secara intravena. Tujuan terapi pada
fase ini adalah untuk menghancurkan sel leukemik dan mengembalikan fungsi
sumsum tulang normal lagi, atau untuk mengembalikan pasien pada fase kronik
penyakitnya.
Akhir-akhir ini, rata-rata angka harapan hidup pada pasien CML mencapai 5
tahun atau lebih (50-60%) yang dapat dicapai jika pasien dapat didiagnosa lebih
awal, pemberian terapi dengan interferon dan transplantasi sumsum tulang, serta
perawatan pasien yang baik. Pasien yang sudah masuk pada fase blast yang
34

memiliki manifestasi yang mirip dengan leukemia akut, mempunyai prognosis


yang sangat buruk. Pemberian terapi tidak memberikan hasil yang memuaskan,
dan pada umumnya pasien mempunyai angka harapan hidup antara 3-6 bulan.
35

DAFTAR PUSTAKA

1. Besa, EC, et al. Chronic myelogenous leukemia. Medscape 2015 Okt 13.
Diunduh dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/199425-
overview. Diakses 10 November 2015
2. Fadjari, H. Leukemia granulositik kronis. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed
4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
3. Fred Hutchinson Cancer Research center. Chronic myeloid leukemia.
Diunduh dari URL: http://www.fhcrc.org/research/disease/cml/. Diakses
tanggal 10 November 2015
4. Guilhot F, Roy L. Chronic myeloid leukemia. In: Textbook of malignant
hematology. New York: Mcgraw Hill 2005.
5. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Ed 4.
Jakarta: EGC; 2005.
6. Rosdiana, N. Pendekatan diagnosa pucat pada anak. MKN 2008 Jun:41(2).
7. Oehadian, A. Pendekatan klinis dan diagnosa anemia. CDK 2012 Agus
6:39(6).
8. Heslop, E. Leukemia myeloid kronik. Dalam nelson ilmu kesehatan anak,
editor: Nelson, Waldo E. Ed 15 vol 3. Jakarta: EGC;2005.
9. Leukaemia Foundation. Chronic myeloid leukaemia (CML). Diunduh dari
URL:http://www.leukaemia.org.au/blood-cancers/leukaemias/chronic-
myeloid-leukaemia-cml. Diakses 10 November 2015.

You might also like