You are on page 1of 89

KUALITAS HIDUP PADA REMAJA 3 TAHUN PASCA GEMPA

DI KECAMATAN BAMBANGLIPURO DAN PUNDONG


KABUPATEN BANTUL, YOGYAKARTA

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Derajat Sarjana Keperawatan
Universitas Gadjah Mada

Disusun Oleh:

Lili Apriliani Putri


05/187177/KU/11452

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... ix
INTISARI........................................................................................................... x
ABSTRACT......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 4
E. Keaslian Penelitian ............................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 12
B. Landasan Teori ................................................................................. 28
C. Kerangka Teoritis ............................................................................. 30
D. Kerangka Konsep ............................................................................. 31
E. Pertanyaan Penelitian ....................................................................... 31
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian ....................................................................... 32
B. Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………….. 32
C. Populasi dan Sampel ...……………………………………............. 32
D. Variabel Penelitian ........................................................................... 36
E. Definisi Operasional ......................................................................... 36
F. Instrumen Penelitian ......................................................................... 37
G. Uji Validitas dan Reliabilitas ........................................................... 38
H. Cara Pengumpulan Data .................................................................. 41
I. Jalannya Penelitian ........................................................................... 42
J. Pengolahan dan Analisis Data .......................................................... 43
K. Kelemahan dan Kesulitan Penelitian ................................................ 44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Singkat Lokasi Penelitian ................................................ 46
B. Karakteristik Responden Penelitian .................................................. 47
C. Gambaran Kualitas Hidup Responden .............................................. 49
D. Gambaran Kualitas Hidup Responden Berdasarkan Parameter
Kehilangan ......................................................................................... 57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................................... 68
B. Saran ................................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 70

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kisi-Kisi Kuesioner ............................................................................... 38


Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Kecamatan
Bambanglipuro dan Pundong 2009 ...................................................... 47
Tabel 3. Gambaran dan Uji Chi Square Kualitas Hidup Remaja 3 tahun Pasca
Gempa di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Maret 2009 ...... 49
Tabel 4. Nilai Rata-Rata Masing-Masing Dimensi Kualitas Hidup Remaja Pasca
Gempa di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong 2009 ................... 54
Tabel 5. Perbedaan Nilai Kualitas Hidup Buruk pada Remaja 3 tahun Pasca
Gempa di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Maret 2009 ........ 56
Tabel 6. Gambaran Kualitas Hidup emaja 3 tahun Pasca Gempa di Kecamatan
bambanglipuro dan Pundong Berdasarkan Parameter Kehilangan karena
Gempa, Maret 2009 ............................................................................. 58
Tabel 7. Perbedaan Kualitas Hidup Remaja 3 Tahun Pasca Gempa di Kecamatan
Bambanglipuro dan Pundong Berdasarkan Parameter Dampak
Kehilangan karena Gempa, Maret 2009 .............................................. 60

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Teoritis .............................................................................. 30


Gambar 2. Kerangka Konsep .............................................................................. 31

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Permohonan Menjadi Responden


Lampiran 2. Surat Pernyataan Persetujuan Sebagai Responden
Lampiran 3. Data Responden
Lampiran 4. Kuesioner Kualitas Hidup
Lampiran 5. Surat Izin Uji Kuesioner
Lampiran 6. Surat Permohonan Izin Penelitian (Fakultas Kedokteran)
Lampiran 7. Surat Permohonan Izin Penelitian (Universitas Gadjah Mada)
Lampiran 8. Surat Keterangan/ Ijin (Provinsi DIY)
Lampiran 9. Surat Keterangan/ Izin (Kabupaten Bantul)

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Alloh SWT, dan Salawat serta Salam Penulis

limpahkan untuk Nabi Muhammad SAW. Berkat limpahan Karunia dan Rahmat-

Nya, skripsi yang berjudul “Kualitas Hidup Pada Remaja 3 Tahun Pasca Gempa

di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong Kabupaten Bantul, Yogyakarta” ini

dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat

memperoleh derajat Sarjana Keperawatan pada Program Studi Ilmu Keperawatan

UGM.

Pada kesempatan ini, tidak lupa Penulis sampaikan ucapan terima kasih

sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas

Kedokteran UGM.

2. dr. Titi Savitri Prihatiningsih, M.Med., Ed., Ph.D., selaku Wakil Dekan

Bidang Penelitian Fakultas Kedokteran UGM.

3. Lely Lusmilasari, S.Kp., M.Kes., selaku Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM.

4. Sri Warsini, S.Kep., Ns., selaku Pembimbing I atas bimbingan, saran,

arahan dan dorongan dalam penyususnan skripsi ini.

5. Sri Hartini, S.Kep., Ns., sebagai Pembimbing II atas bimbingan, saran,

dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Fitri Haryanti, S.Kp., M.Kes., selaku Penguji yang telah membantu

memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

vii
7. Seluruh remaja di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong atas

partisipasinya dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat selesai tepat

pada waktunya.

8. Semua pihak yang telah terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan

karena keterbatasan pengetahuan yang ada pada penulis. Oleh karena itu, kritik

dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.

Yogyakarta, 16 April 2009

Penulis

viii
and to every action there is always an equal and opposite or
contrary, reaction
(Isaac Newton)

Lili thanks to :

Alah SWT; Sang Maha Hati, Sang Maha Pengasih dan


Penyayang. Terima kasih atas berjuta kesempatan untuk selalu
menengok ke atas, melihat ke langit demi mensyukuri segala nikmat
dan cobaan yang penuh dengan pelajaran yang sangat berharga.
Terimakasih atas segala pejaman dan keteduhan dalam doa yang
telah membuat diriku bangga dan bahagia hadir sebagai makhluk
Mu di dunia ini.

Keuarga tercinta; Orangtuaku (telapak kaki surgaku), mbak Eri,


Ria, Kiki, Oik, simbah-simbok, atas segala cinta yang tak
terhingga, kasih yang tak berujung dan semangat yang tak pernah
padam.

Teman-temanku; Tiko, Achi, Sita, Linda, Novi bin ensiklopedi,


Zenni bin hiperaktif, Fitri bin revolusi (teman curhat, teman
begadang, dan teman yang mau direpotin padahal sama-sama
repotnya), dan tak lupa semua teman-teman GENOMA.

Guru hidupku; Guru-Guru SD, Guru-Guru SMP, Guru-Guru


TELADAN, Dosen-Dosen PSIK, yang tak lelah mengenalkanku
pada ilmu-ilmu baru.

Buat keluarga kecilku; yang selalu menjaga dan mengingatkanku


untuk selalu
berjalan lurus di Jalan-Nya.

SKRIPSI ini aku persembahkan untuk kalian semua

-Lili Apriliani Putri-

ix
KUALITAS HIDUP PADA REMAJA 3 TAHUN PASCA GEMPA
DI KECAMATAN BAMBANGLIPURO DAN PUNDONG
KABUPATEN BANTUL, YOGYAKARTA

INTISARI

Lili Apriliani Putri1, Sri Warsini2, Sri Hartini2

Latar belakang: Gempa di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 telah menimbulkan
banyak dampak dan banyak korban selamat yang bereaksi secara negatif terhadap
dampak tersebut. Salah satu kelompok umur yang perlu mendapat perhatian adalah
remaja. Hal ini disebabkan banyak respon yang muncul pada remaja pasca gempa baik
reaksi regresif, psikologis, maupun emosional atau perilaku. Oleh karena itu, penting
untuk mengetahui kualitas hidup pada remaja pasca gempa.
Tujuan: Mengetahui kualitas hidup dan membandingkan kualitas hidup remaja pasca
gempa di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong Kabupaten Bantul, Yogyakarta,
berdasarkan parameter dampak kehilangan karena gempa (kecacatan, kehilangan orang
tua, rumah roboh, dan putus sekolah).
Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif eksploratif. Rancangan yang
digunakan adalah cross sectional dengan menggunakan metode kuantitatif. Sampel
penelitian terdiri dari 260 remaja (15-21 tahun). Metode analisis yang digunakan adalah
analisis deskriptif Chi Square Test dan Fisher.
Hasil: Sebanyak 240 responden (92,3%) memiliki kualitas hidup baik dan 20 responden
(7,7%) memiliki kualitas hidup buruk. Skor kualitas hidup remaja yang memiliki dampak
gempa single berbeda dengan yang memiliki dampak gempa multiple (p=0,01).
Perbedaan nilai kualitas hidup pada remaja pasca gempa di Kecamatan Bambanglipuro
dan Pundong didapatkan pada responden berdasar parameter dampak kehilangan karena
gempa berupa kecacatan (p=0,01), kehilangan anggota keluarga (p=0,01), dan putus
sekolah (p=0,01).
Kesimpulan: Sebagian besar responden memiliki kualitas hidup baik. Perbedaan nilai
kualitas hidup didapatkan pada responden dengan kecacatan, kehilangan anggota
keluarga, dan putus sekolah.

Kata kunci: Kualitas Hidup, Remaja, Pasca Gempa

________________________________________________________
1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM
2
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM

x
TEENAGE’S QUALITY OF LIFE 3 YEARS AFTER EARTHQUAKE
IN KECAMATAN BAMBANGLIPURO AND PUNDONG
BANTUL DISTRICT, YOGYAKARTA

ABSTRACT

Lili Apriliani Putri1, Sri Warsini2, Sri Hartini2

Background: Yogyakarta’s earthquake that attack in Mei 27th 2006 had caused a lot of
effect and a lot of survivor reacted negatively to the effect of earthquake. Teenage is one
group of survivors that have to be concerns. It is because they show many responses after
the earthquake such as regressive reaction, psychology, emotional, and behavior disorder.
So that, it is important to know teenagers quality of life after earthquake.
Objective: To know and compare teenagers quality of life 3 years after earthquake in
Kecamatan Bambanglipuro and Pundong, Bantul District, Yogyakarta based on loss
impact parameter because of earthquake (disability, loss of family member, house
collapse, and drop out of school).
Method: This is an explorative descriptive research with cross-sectional research plans
and qualitative method. Respondents are 260 adolescences (15-21 years old). Data were
analyzed by descriptive analysis, Chi Square Test, and Fisher Test.
Results: 240 respondents (92,3%) have a good quality of life and 20 respondents (7,7%)
have a bad quality of life. Teenager’s quality of life score with single loss impact
differences between teenager with multiple loss impact (p=0,01). Quality of life’s score
differences between teenagers in Kecamatan Bambanglipuro and Pundong, Bantul
District, Yogyakarta, is found in respondents with disability (p=0,01), loss of family
member (p=0,01), and drop out of school (p=0,01).
Conclusions: Majority of respondents have a good quality of life. Quality of life’s score
differences is found in respondents with disability, loss of family member, and drop out
of school.

Key word: Quality of life, Teenage, Post Earthquake

1 Student of Nursing Program, Medical Faculty, GMU


2 Lecture of Nursing Program, Medical Faculty, GMU

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut World Health Organization (WHO), bencana adalah hasil dari

terputusnya sistem ekologi yang dapat berupa kerusakan secara mendadak atau

perlahan-lahan atau akibat perbuatan manusia maupun kombinasi perbuatan

manusia dan alam sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan dan

masyarakat yang serius (http://who.com, 2009). Salah satu bencana besar yang

terjadi di Indonesia adalah gempa bumi tektonik pada tanggal 27 Mei 2006 di

Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Berdasarkan laporan Badan Meteorologi dan Geofisika Jakarta, gempa bumi

terjadi pada pukul 05.54 waktu setempat dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter

(Buwono X dkk, 2006). Korban tewas menurut Departemen Sosial Republik

Indonesia pada 29 Mei 2006 pukul 23:30 WIB, berjumlah 5.199 orang dengan

rincian: Bantul 3.082 jiwa, Sleman 184 jiwa, Yogyakarta 164 jiwa, Gunung Kidul

66 jiwa, Kulon Progo 26 jiwa, Klaten 1.667 jiwa, Magelang 1 jiwa, Boyolali 3

jiwa, dan Purworejo 5 jiwa. Sementara korban luka berat tercatat sebanyak 7.519

jiwa dan 3.180 lainnya menderita luka ringan. Kabupaten Bantul merupakan

daerah yang paling parah terkena bencana. Informasi menyebutkan sebanyak

1.907 orang luka parah, 1.769 orang luka ringan dan 9.657 rumah di daerah ini

rusak berat (http://bp.depsos.go.id, 2006).

1
2

Gempa telah menimbulkan banyak korban baik anak-anak, remaja, dewasa,

dan lanjut usia. Penanganan terhadap para korban gempa, terutama remaja, perlu

mendapat perhatian khusus. Hal ini karena masa remaja merupakan periode dari

pertumbuhan dan proses kematangan manusia, pada masa ini terjadi perubahan

yang sangat unik dan berkelanjutan. Perubahan baik fisik, emosi, dan kognitif

yang terjadi akan mempengaruhi status kesehatan dan kualitas hidupnya. Menurut

Armis (2007), bencana dipandang sebagai salah satu faktor pemicu perubahan

lingkungan yang secara ekstrim mempengaruhi kesejahteraan hidup manusia.

Menurut Yamazaki (2000), respon yang muncul pada anak remaja pasca

gempa yaitu: (1) reaksi regresif: siblings untuk mencari perhatian orang tua,

kegagalan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab normal, serta penurunan

prestasi sekolah, (2) reaksi psikologis: sakit kepala, mengeluh sakit dan nyeri

yang tidak jelas, berlebihan makan atau hilang nafsu makan, masalah buang air

besar, gangguan kulit, gangguan tidur termasuk juga tidur yang berlebihan, (3)

reaksi emosional/ perilaku: kehilangan ketertarikan aktivitas dengan kawan

sebaya, penurunan mutu prestasi di sekolah, perilaku kacau, kehilangan

ketertarikan pada hobi dan rekreasi, menarik diri, perlawanan terhadap atoritas,

ketidakmampuan menjalin hubungan dengan saudara kandung dan orang tua,

bersedih atau depresi, dan prilaku antisosial (contohnya mencuri, berbohong, dan

penyalahgunaan obat).

Penulis telah melakukan studi pendahuluan di Kecamatan Bambanglipuro dan

Kecamatan Pundong. Menurut data dari Sub Bidang Kependudukan Kecamatan

Bambanglipuro (Desember, 2007), terdapat 2.974 anak usia remaja (usia 12-18
3

tahun) menjadi korban gempa yang diantaranya terdapat 23 remaja cacat, 23

remaja kehilangan orang tua, 18 remaja putus sekolah dan 181 remaja kehilangan

tempat tinggalnya, sedangkan data dari Sub Bidang Kependudukan Kecamatan

Pundong (Juli, 2007), menyebutkan terdapat 3.350 remaja menjadi korban gempa

yang diantaranya 21 remaja cacat, 27 remaja kehilangan orang tua, 14 remaja

putus sekolah dan 194 remaja kehilangan tempat tinggalnya.

Melihat banyaknya permasalahan yang terjadi pada remaja pasca gempa,

maka secara umum mereka tidak dapat disebut sebagai individu yang sehat. Hal

ini dikarenakan pengertian sehat menurut WHO sendiri adalah keadaan komplit

baik fisik, mental, dan sosial dan tidak hanya terbebas dari penyakit atau

ketidakmampuan (Rapley, 2003). Menurut Joseph & Rao (1999), orang yang

sehat secara umum memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan

dengan orang yang sakit, apalagi yang disertai dengan kecacatan.

Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan didefinisikan sebagai

nilai-nilai yang dianggap penting oleh individu, termasuk hal-hal yang membuat

mereka nyaman dan atau sejahtera, sehingga membuat individu mampu

mempertahankan fungsi fisik, emosi, dan intelektual dalam batas-batas yang

dianggap mencukupi dimana mereka dapat mempertahankan derajat kemampuan

mereka untuk berpartisipasi dalam hal-hal yang dianggap penting didalam

keluarga, tempat bekerja, dan masyarakat sekitarnya (Taher, 2004).

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa banyak permasalahan yang

muncul pada remaja pasca gempa dan penting untuk mengetahui kualitas hidup

pada remaja pasca gempa. Mengingat belum ada penelitian mengenai kualitas
4

hidup pada remaja pasca gempa maka penulis ingin melakukan penelitian

mengenai “Kualitas hidup pada remaja 3 tahun pasca gempa di Kecamatan

Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta”.

B. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah: Bagaimanakah

kualitas hidup pada remaja 3 tahun pasca gempa di Kecamatan Bambanglipuro

dan Pundong, Kabupaten Bantul Yogyakarta.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui kualitas hidup pada remaja 3 tahun pasca gempa di

Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus

Membandingkan kualitas hidup remaja 3 tahun pasca gempa di Kecamatan

Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, berdasarkan

parameter dampak kehilangan karena gempa (kehilangan anggota keluarga,

putus sekolah, kecacatan dan kerusakan tempat tinggal).

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi ilmu pengetahuan


5

Memberikan informasi tentang gambaran kualitas hidup pada remaja 3

tahun pasca gempa di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten

Bantul, Yogyakarta.

2. Bagi institusi pendidikan

Sebagai bahan masukan dalam kegiatan belajar mengajar, khususnya

tentang kualitas hidup pada remaja pasca gempa.

3. Bagi praktisi

a. Departemen Kesehatan

Menjadi bahan pertimbangan dalam membuat program peningkatan

kualitas hidup pada remaja 3 tahun pasca gempa.

b. Tenaga kesehatan

Menjadi bahan pertimbangan dalam meningkatkan kualitas asuhan

keperawatan sehingga terjadi peningkatkan kualitas hidup pada remaja 3

tahun pasca gempa.

c. Peneliti

Meningkatkan pengetahuan mengenai kualitas hidup pada remaja 3 tahun

pasca gempa dan menambah pengalaman dalam melakukan penelitian.

E. Keaslian Penelitian

Sejauh pengetahuan peneliti, belum ada penelitian dalam negeri dan baru

sedikit penelitian yang dilakukan di luar negeri mengenai kualitas hidup anak

pasca gempa. Berikut penelitian yang hampir serupa:


6

1. Tsai KY et. al. (2007), Three-years follow-up study of the relationship

between post traumatic stress symptom and quality of life among earthquake

survivors in Yu_Chi, Taiwan. Hasil penelitian tersebut adalah perkiraan post

traumatic stress symptom (PTSS) 3 tahun setelah gempa menurun dan kualitas

hidup pada kelompok korban yang selamat pasca gempa bervariasi sesuai

dengan perkembangan PTSS mereka.

Perbedaan dan persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang telah

dilakukan terletak pada sampel, variabel, lokasi dan instrumen yang

digunakan. Persamaan sampel dari penelitian ini dengan penelitian yang telah

dilakukan adalah mengguanakan subyek korban selamat pasca gempa.

Perbedaan sampel terletak pada usia subyek yang digunakan. Pada penelitian

tersebut, sampel yang digunakan adalah korban selamat 3 tahun pasca gempa

yang berusia 16 tahun atau lebih (n = 1756), sedangkan pada penelitian yang

telah dilakukan, sampel yang digunakan adalah remaja 3 tahun pasca gempa

dengan usia 12-18 tahun saat terjadi gempa.

Penelitian tersebut terdiri dari dua variabel yaitu post traumatic stress

symptom dan kualitas hidup pada korban selamat pasca gempa. Perbedaannya

adalah, pada penelitian yang telah dilakukan menggunakan satu variabel,

sedangkan persamaannya terletak pada penggunaan variabel kualitas hidup

pada korban selamat pasca gempa. Kelebihan penelitian yang dilakukan

terletak pada analisa data, yaitu peneliti membandingkan kualitas hidup sesuai

dengan karakteristik remaja pasca gempa.


7

Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yu Chi, Taiwan.

Lokasi tersebut berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu di

Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Pada penelitian tersebut menggunakan instrumen Medical Outcome Study

Short From-36 (MOS-SF 36) dan Disaster-Related Psycological Screening

Test (DR PST). Berbeda dengan penelitian tersebut, penelitian yang telah

dilakukan menggunakan instrumen yang dikembangkan dari teori kualitas

hidup pada anak dan remaja yang dibuat sendiri oleh peneliti.

2. Wu HC et. al. (2006), Survey of quality of life and related risk factors for a

Taiwanese village population 3 years post-earthquake. Penelitian tersebut

meneliti tentang kualitas hidup pada korban selamat 3 tahun pasca gempa

yang memiliki gangguan psikiatri. Kesimpulan dari penelitian tersebut

menyebutkan bahwa nilai kualitas hidup pada korban dengan gangguan

psikiatri berupa major depression (MD) dan post traumatic stress disorder

(PTSD) adalah lebih rendah dibandingkan dengan korban gempa dengan

diagnosa gangguan psikiatri yang lain. Masalah ekonomi yang berkepanjangan

juga salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas hidup mereka.

Perbedaan dan persamaan penelitian ini dengan penelitian yang telah

dilakukan terletak pada sampel, variabel, lokasi dan instrumen yang

digunakan. Persamaan sampel dari penelitian tersebut dengan penelitian yang

telah dilakukan adalah mengguanakan subyek korban selamat pasca gempa.

Perbedaan sampel terletak pada usia subyek yang digunakan. Pada penelitian

tersebut, sampel yang digunakan adalah korban selamat 3 tahun pasca gempa
8

yang berusia 16 tahun atau lebih (n = 405), sedangkan pada penelitian yang

telah dilakukan, sampel yang digunakan adalah remaja 3 tahun pasca gempa

dengan usia 12-18 tahun saat terjadi gempa.

Penelitian tersebut terdiri dari dua variabel yaitu kualitas hidup dan faktor

risiko pada korban selamat pasca gempa. Perbedaan terletak pada jumlah

variabel. Penelitian yang telah dilakukan menggunakan satu variabel,

sedangkan persamaannya terletak pada penggunaan variabel kualitas hidup

pada korban selamat pasca gempa. Kelebihan penelitian yang telah dilakukan

terletak pada analisa data, yaitu peneliti membandingkan kualitas hidup sesuai

dengan karakteristik remaja pasca gempa.

Lokasi yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Taiwan.

Lokasi tersebut berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu di

Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Pada penelitian tersebut menggunakan dua instrumen yaitu Medical

Outcome Study Short From-36 (MOS-SF 36) yang kemudian digunakan oleh

asisten terlatih dan Mini-International Neuropsychiatric Interview yang

kemudian digunakan oleh psikiater. Berbeda dengan penelitian tersebut,

penelitian yang penulis lakukan menggunakan instrumen yang dikembangkan

dari teori kualitas hidup pada anak dan remaja yang dibuat sendiri oleh

peneliti.

3. Ceyhan E & Ceyhan AA (2007), Earthquake survivor quality of life and

academic achivement six years after the earthquakes in Marmara, Turkey. Isi

dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa area psikologis dan lingkungan


9

dari kalitas hidup pada kelompok yang selamat dari gempa memiliki kualitas

hidup dan prestasi akademik secara signifikan lebih rendah dari kelompok

yang tidak terpapar gempa.

Perbedaan dan persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang telah

dilakukan oleh peneliti terletak pada sampel, variabel, lokasi dan instrumen

yang digunakan. Persamaan sampel dari penelitian tersebut dengan penelitian

yang telah dilakukan adalah menggunakan subyek korban selamat pasca

gempa. Pada penelitian tersebut, sampel yang digunakan adalah 407

mahasiswa Universitas Turki dengan rincian 201 mahasiswa yang terpapar

gempa dan 206 mahasiswa yang tidak terpapar gempa. Berbeda dengan

sampel penelitian tersebut, penelitian yang telah diakukan menggunakan

sampel remaja 3 tahun pasca gempa dengan usia 12-18 tahun saat terjadi

gempa.

Penelitian tersebut terdiri dari dua variabel yaitu kualitas hidup dan

prestasi akademik pada korban selamat pasca gempa. Perbedaan terletak pada

jumlah variabel. Penelitian yang telah dilakukan menggunakan satu variabel,

sedangkan persamaannya terletak pada penggunaan variabel kualitas hidup

pada korban selamat pasca gempa. Kelebihan penelitian yang telah dilakukan

terletak pada analisa data, yaitu peneliti membandingkan kualitas hidup sesuai

dengan karakteristik remaja pasca gempa.

Lokasi yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah di Marmara,

Turkey. Lokasi tersebut berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan,


10

yaitu di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten Bantul,

Yogyakarta.

Pada penelitian tersebut menggunakan instrumen the World Health

Organisation s QOL (WHOQOL-BREF, TR). Berbeda dengan penelitian

tersebut, penelitian yang telah dilakukan menggunakan instrumen yang

dikembangkan dari teori kualitas hidup pada anak dan remaja yang dibuat

sendiri oleh peneliti.

4. Tan HZ et. al. (2004), The effect of a disastrous flood on th quality of life in

Dongting lake area in China. Pada penelitian tersebut, pengaruh banjir sangat

kuat pada para petani, orang-orang tua, orang-orang yang berkepribadian

tertutup, dan para penduduk yang mengalami kejadian pahit dalam hidupnya.

Sementara itu, dukungan sosial dan kepribadian yang terbuka dapat

menghalangi pengaruh akibat banjir terhadap kualitas hidupnya.

Perbedaan dan persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang telah

dilakukan terletak pada sampel, variabel, lokasi dan instrumen yang

digunakan. Persamaan sampel dari penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan adalah mengguanakan subyek korban selamat pasca banjir. Pada

penelitian tersebut, sampel yang digunakan adalah orang dewasa yang terkena

banjir akibat runtuhnya tanggul dari 18 desa (n = 494), orang dewasa yang

terkena banjir yang menenggelamkan dari 16 desa (n = 473) dan orang dewasa

yang tidak terkena banjir dari 11 desa (n = 773). Berbeda dengan sampel

penelitian tersebut, penelitian yang telah dilakukan menggunakan sampel

remaja 3 tahun pasca gempa dengan usia 12-18 tahun saat terjadi gempa.
11

Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah di China. Lokasi

tersebut berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan nanti yaitu di.

Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Persamaan variabel penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan

adalah menggunaan satu variabel. Perbedaannya adalah pada penelitian

tersebut menggunakan variabel kualitas hidup pada korban banjir tetapi pada

penelitian yang telah dilakukan menggunakan variabel kualitas hidup pada

remaja pasca gempa. Kelebihan penelitian yang telah dilakukan terletak pada

analisa data, yaitu peneliti membandingkan kualitas hidup sesuai dengan

karakteristik remaja pasca gempa.

Pada penelitian tersebut menggunakan instrumen Generic QOL Inventory-

74 (GQOL-74), Social Support Scale, dan pertanyaan-pertanyaan untuk

mengkaji kualitas hidup pada semua partisipan. Berbeda dengan penelitian

tersebut, penelitian yang telah dilakukan menggunakan instrumen yang

dikembangkan dari teori kualitas hidup pada anak dan remaja yang dibuat

sendiri oleh peneliti.


12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Kualitas Hidup

a. Definisi

Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan didefinisikan

sebagai nilai-nilai yang dianggap penting oleh pasien, termasuk hal-hal

yang membuat mereka nyaman dan atau sejahtera, sehingga membuat

pasien mampu mempertahankan fungsi fisik, emosi, dan intelektual dalam

batas-batas yang dianggap mencukupi dimana mereka dapat

mempertahankan derajat kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam

hal-hal yang dianggap penting didalam keluarga, tempat bekerja, dan

masyarakat sekitarnya (Taher, 2004).

Menurut Purnomo (1998), kualitas hidup adalah memberikan

kesempatan untuk dapat hidup nyaman, mempertahankan keadaan

fisiologis sejalan dengan imbangan psikologis di dalam kehidupan sehari-

hari. Kualitas hidup juga didefinisikan sebagai ukuran kebahagiaan dan

kepuasan hidup, keberhasilan mencapai tujuan, dan kegunaan seseorang di

masyarakat (Dedhiya & Kong cit. Murti, 1996).

b. Komponen Kualitas Hidup

Menurut Renwick & Brown (1996), dengan konsep kualitas hidup

sebagai pusat promosi kesehatan, kualitas hidup berdasarkan tiga area

kehidupan manusia yang merupakan dimensi penting dalam pengalaman


13

manusia yang meluputi: being, belonging dan becoming. Ketiga komponen

diatas terjadi akibat adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungan

dimana ia berada.

Being menekankan pada aspek dasar dari siapa manusia sebagai

individu. Physical being menekankan pada kesehatan fisik, mobilitas fisik

dan ketangkasan dalam melakukan kegiatan. Psychological being meliputi

perasaan dan kognitif seseorang serta evaluasi mengenai diri mereka

sendiri, berfokus pada kepercayaan diri, kontrol diri, koping kecemasan

dan sikap positif. Spiritual being terdiri dari nilai dan standar hidup

seseorang, kepercayaan spiritual, pengalaman hidup sehari-hari dan

perayaan (Renwick & Brown, 1996).

Belonging berfokus pada kesesuaian seseorang terhadap

lingkungannya. Physical belonging yaitu mengenai apa yang seseorang

punyai pada lingkungan fisik mereka seperti rumah, tempat kerja, tetangga

dan lain-lain termasuk dengan apa yang mereka rasakan sewaktu berada

dirumah dan lingkungannya, juga mengenai keamanan dan privasi

seseorang. Social belonging berfokus pada hubungan penuh arti dengan

keluarga, teman dan lingkungannya. Community belonging terdiri dari

hubungan yang dipunyai seseorang dengan sumber yang ada termasuk

informasi dan akses terhadap pendapatan, pekerjaan, pendidikan dan

rekreasi, pelayanan sosial dan kesehatan, serta kegiatan masyarakat

(Renwick & Brown, 1996)


14

Becoming berfokus pada aktivitas seseorang untuk mencapai tujuan,

aspirasi, dan harapan. Practical becoming berfokus pada sesuatu yang

nyata, aktifitas yang bisa dilakukan sehari-hari, termasuk pekerjaan rumah,

partisipasi di sekolah atau tempat kerja, perawatan diri, dan pemanfaatan

layanan sosial dan kesehatan. Leisure becoming berhubungan dengan

waktu luang dan aktivitas rekreasi yang dapat meningkatkan kenyamanan

dan menurunkan stress, termasuk aktivitas jangka pendek seperti

bersosialisasi dengan teman, berolahraga, atau dengan aktivitas jangka

panjang seperti berlibur. Growth becoming menekankan kepada aktivitas

yang dapat meningkatkan perkembangan kemampuan dan pengetahuan

seseorang, termasuk mempelajari informasi baru, meningkatkan

kemampuan dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi (Renwick &

Brown, 1996).

c. Dimensi

Menurut Levine & Croog cit. Murti (1996), lima dimensi yang perlu

diukur, baik mengkombinasikan beberapa ataupun menggunakan semua

ketika hendak menilai kualitas hidup adalah:

1) Kinerja dalam memainkan sosial

2) Keadaan fisiologis individu

3) Keadaan emosional individu

4) Fungsi intelektual dan kognitif individu, dan

5) Perasaan sehat dan kepuasan hidup.


15

Disamping pertanyaan tentang kemampuan seseorang untuk

menampilkan dan memperoleh kepuasaan dari peran-peran sosialnya,

sejumlah pertanyaan berkaitan dengan empat dimensi lainnya perlu

dijawab, misalnya:

1) Keadaan fisiologis, yaitu sejauh mana mobilitas seseorang, seberapa

besar ia bebas dari rasa sakit dan gejala-gejala fisik lainnya seperti

kelemahan, limbung, kelelahan, dan kesulitan tidur.

2) Keadaan emosional, yaitu apakah seseorang merasakan kecemasan,

ketakutan, atau kekacauan, dan apakah perasaannya stabil serta

mampukah ia mengendalikan diri.

3) Fungsi-fungsi intelektual dan kognitif, yaitu apakah seseorang

waspada, apakah ingatannya baik, yakinkah ia dengan kemampuan

membuat keputusan, mampukah ia melakukan fungsi-fungsi

intelektual yang dibutuhkan dalam menampilkan peran sosialnya.

4) Perasaan sehat dan kepuasan hidup, yaitu apakah seseorang

meningkahi kesehariannya dengan minat, semangat, dan antusiasisme,

ataukah menghadapi kesehariannya dengan perasaan takut, putus asa,

atau apatis, dan seberapa jauh kepuasan seseorang terhadap berbagai

komponen dalam hidupnya.

Akan tetapi, kelima ukuran-ukuran kualitas hidup di atas tidak dapat

dengan begitu saja diterapkan dalam semua situasi. Ada sejumlah faktor

lainnya yang harus diperhitungkan dalam mengoperasikan kelima dimensi

kualitas hidup di atas, yakni tingkat keparahan dalam perjalanan penyakit


16

yang dialami, karakteristik sosio-demografi individu, dan konteks sosial di

mana individu hidup (Croog & Levine cit. Murti, 1996).

Dalam menentukan tingkat kualitas hidup, terdapat 2 faktor dimensi

yang perlu diperhatikan, yaitu faktor lingkungan dan faktor personal.

Seseorang yang tinggal dalam situasi lingkungan yang tertekan akan

memiliki kualitas hidup yang rendah, tetapi apabila orang tersebut mampu

mengontrol situasi tersebut maka kualitas hidupnya akan mengalami

peningkatan (Taylor, 1995).

d Kualitas Hidup Pada Anak Remaja

Menurut World Health Organization, sehat adalah keadaan lengkap

dari fisik, mental, kesejahteraan sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit/

kelemahan. Definisi dari WHO memberikan perluasan yang penting

tentang pandangan kesehatan, dimana tidak hanya mengerti tentang

indikator somatik, tetapi juga terdiri dari bagaimana perasaan seseorang

secara psikologi dan fisik, serta bagaimana dia berhubungan dengan orang

lain dan pengaturan fungsi pada kehidupan sehari-hari. Pada anak dan

remaja hal tersebut diketahui sebagai kualitas hidup yang berhubungan

dengan kesehatan yang dideskripsikan sebagai bangunan multidimensional

yang meliputi fisik, emosi, mental, sosial, dan komponen kebiasaan dari

kesejahteraan dan fungsi oleh pasien dan atau individu lain (Sieberer &

Bullinger, 2000).

Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan pada remaja

menjadi penting untuk diperhatikan karena masa remaja merupakan


17

periode dari pertumbuhan dan proses kematangan manusia, pada masa ini

terjadi perubahan yang sangat unik dan berkelanjutan. Perubahan baik

fisik, emosi, dan kognitif yang terjadi akan mempengaruhi status

kesehatan dan kualitas hidupnya. Beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi perubahan baik fisik, emosi, dan kognitif meliputi

keluarga, nutrisi, dan lingkungan (Jelliffe, 1970). Menurut Depkes (2005),

anak dan remaja yang sehat baik secara fisik, mental maupun psikososial,

akan menunjukkan tumbuh kembang yang optimal sesuai dengan potensi

yang dimiliki.

Apabila kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan pada

dewasa diterapkan pada anak dan remaja, maka perlu dilakukan adanya

perhitungan (pertimbangan) yaitu meletakkan faktor-faktor yang relevan

untuk mengukur kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan pada

anak dan remaja (Sieberer & Bullinger, 2000).

Menurut Reaburn & Rootman (1996), faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup adalah:

1) Kondisi personal yang meliputi biologis (tubuh, otak, perilaku,

penyakit somatik, kecelakaan), dan psikologis (kebiasaan sehari-hari,

kesadaran, emosi, persepsi, dan pengalaman-pengalaman)

2) Kondisi lingkungan yang meliputi lingkungan rumah, tetangga,

sekolah, tempat bermain dan tempat-tempat lain yang sering

dikunjungi tiap harinya.


18

Menurut Renwick & Brown (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi

kualitas hidup adalah keadaan lingkungan dan personal. Lingkungan

seperti perang, bencana, dan kemiskinan dapat meberikan efek negatif

terhadap kuaitas hidup. Sedangkan keadaan personal yang berpengaruh

terhadap kualitas hidup misalnya kebisaan, kognitif, penyakit, dan emosi.

Menurut Sieberer & Bullinger (2000), kualitas hidup pada anak dan

remaja dibagi dalam lima dimensi yaitu:

1) Dimensi fisik (physical well-being)

Dimensi ini menjelaskan tentang tingkat aktifitas fisik, energi, dan

tingkat kebugaran dari anak atau remaja.

2) Dimensi psikologis

Dimensi ini meliputi tiga fungsi yaitu:

a) Psychological well-being

Dimensi ini mengkaji kesehatan psikologis pada anak atau remaja

yang meliputi emosi positif dan kepuasan terhadap hidup.

b) Moods and emotions

Dimensi ini menggambarkan seberapa banyak anak atau remaja

mengalami mood depresi dan emosi seperti kekhawatiran dan

perasaan stress.

c) Self perception

Dimensi ini menggali persepsi dari anak atau remaja tentang

dirinya. Hal ini meliputi apakah penampilannya dipandang sebagai

hal yang positif atau negatif


19

3) Dimensi otonomi dan keluarga

Dimensi ini meliputi tiga fungsi yaitu:

a) Autonomy

Dimensi ini melihat kesempatan yang diberikan pada anak adan

remaja untuk menciptakan kemampuan sosial dan waktu luangnya.

b) Parents relations and home life

Dimensi ini melihat hubungan antara anak atau remaja dengan

orang tua dan keadaan sekitar rumah anak atau remaja tersebut.

c) Financial resources

Dimensi ini menjelaskan tentang sumber keuangan dari anak atau

remaja.

4) Dimensi sosial (Peers and social support relations, bullying)

Dimensi ini melihat hubungan alami dari seorang anak atau remaja

dengan temannya termasuk penolakan seorang anak oleh temannya

5) Dimensi kognitif (School environment)

Dimensi ini menggali tentang persepsi anak atau remaja tentang

kapasitas mereka terhadap tekanan belajar, konsentrasi dan perasaan

mereka tentang sekolah.

Menurut Ceyhan E & Ceyhan AA (2007), pada penelitiannya tentang

kualitas hidup dan prestasi belajar pada remaja di Turki, 6 tahun pasca

gempa, menunjukkan bahwa kualitas hidup pada kelompok yang selamat

dari gempa memiliki kualitas hidup dan prestasi akademik secara

signifikan lebih rendah dari kelompok yang tidak terpapar gempa. Orang
20

yang sehat secara umum memiliki kualitas hidup yang lebih baik jika

dibandingkan orang yang sakit apalagi yang disertai dengan kecacatan

(Joseph & Rao, 1999).

2. Remaja

a. Definisi

Remaja merupakan suatu tahapa perkembangan antara masa kanak-

kanak dan masa dewasa. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh

para ahli adalah dua belas hingga dua puluh satu tahun (Desmita, 2005).

Anak berdasarkan pembagian yang di lakukan oleh WHO cit. Rukiah

(2006), adalah bayi (0-1 tahun), Toddler (1-3 tahun), prasekolah (3-5

tahun), sekolah (6-12 tahun), remaja (12-21 tahun).

b. Ciri-ci masa remaja

Menurut Hurlock (1990), masa remaja mempunyai cirri-ciri tertentu

yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri

tersebut antara lain:

1) Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang

telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari

satu tahap ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang terjadi sebelumnya

kan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang.

2) Remaja cenderung sangat memperhatikan penampilan dirinya.

Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri

meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik


21

3) Remaja berusaha mandiri. Usaha untuk mandiri secara emosional dari

orang tua dan orang-orang dewasa lain merupakan tugas

perkembangan yang mudah bagi remaja. Remaja lebih banyak berada

di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagi kelompok,

maka dapat dimengerti bahwa pengaruh keberadaan teman-teman

sebanya jauh lebih membuat remaja tenang dari pada pengaruh

keberadaan keluarga.

4) Remaja mulai tertarik dengan lawan jenis

5) Remaja secara universal memiliki minat-minat penting yang

diantaranya adalah rekreasi, minat sosial, minat pribadi, minat

pendidikan, minat pada pekerjaa, minat pada agama, dan minat pada

simbol status.

c. Tugas perkembangan remaja

Menurut Hurlock (1990), berikut merupakan tugas perkembangan

sepanjang rentang kehidupan masa remaja menurut Havighurst:

1) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya

baik pria maupun wanita

2) Mencapai peran social pria dan wanita

3) Menerima keadaan fisiknya dan mengguinakan tubuhnya secara efektif

4) Mengharapkan dan mencapai perilaku social yang bertanggungj jawab

5) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang

dewasa lainnya

6) Mempersiapkan karier ekonomi


22

7) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

8) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis

d. Respon remaja terhadap bencana

Menurut Hanada (1997), gejala dari trauma mental menurut umur yang

muncul pada remaja pasca bencana adalah:

1) Junior High School Children

Pada umumnya muncul penyakit ringan yaitu gejala fisik seperti sakit

kepala, insomnia, dan lain-lain. Reaksi emosional dan perilaku yang

muncul adalah: lebih suka tinggal di dalam ruangan, merasa depresi,

kehilangan ketertarikan bersosialisasi bersama teman-temannya, dan

lain-lain.

2) High School Youth

Anak-anak dalam kelompok usia ini gejala yang muncul seperti halnya

pada dewasa (adults), yaitu:

a) gejala fisik: gangguan berkemih dan buang air besar, sakit kepala,

insomnia, nyeri haid, ketidakteraturan menstruasi, dan lain-lain.

b) masalah emosional: merasa depresi, emotional withdrawal, agresif,

dan lain-lain.

c) masalah perilaku: menurunnya aktivitas, anak tidak mampu

melanjutkan satu tugas, menurunnya jumlah aktivitas, dan teenager

mengurung diri di kamarnya. Merokok, membolos, meminum

alkohol, dan adakalanya konsumsi obat terlarang juga

terobservasi.
23

Menurut Yamazaki (2000), reaksi emosional pada remaja awal

(Preadolescent: Usia 11 sampai 14 tahun) pasca gempa meliputi:

1) reaksi regresif: meningkatnya kompetisi dengan saudara yang lebih

muda (siblings) untuk mencari perhatian orang tua, kegagalan untuk

mengerjakan tugas dan tanggung jawab normal, serta penurunan

prestasi sekolah

2) reaksi psikologis: sakit kepala, mengeluh sakit dan nyeri yang tidak

jelas, berlebihan makan atau hilang nafsu makan, masalah buang air

besar, gangguan kulit, gangguan tidur termasuk juga tidur yang

berlebihan

3) reaksi emosional/ perilaku: kehilangan ketertarikan aktivitas dengan

kawan sebaya, penurunan mutu prestasi di sekolah, perilaku kacau,

kehilangan ketertarikan pada hobi dan rekreasi, menarik diri,

perlawanan terhadap atoritas, ketidakmampuan menjalin hubungan

dengan saudara kandung dan orang tua, bersedih atau depresi, dan

prilaku antisosial (contohnya mencuri, berbohong, penyalah gunaan

obat).

Reaksi pada anak-anak (termasuk didalamnya adalah remaja) terhadap

bencana meliputi cemas dan takut, seperti cemas perpisahan, kegelisahan,

lekas marah, temper, bergantung dan banyak permintaan, gangguan fungsi

tubuh termasuk enuresis, sulit konsentrasi, intellectual problem, menolak

sekolah, guilt, dan kadang mengalami halusinasi visual. Biasanya,

bagaimanapun anak menunjukkan remarkable resilience. Efek yang lebih


24

buruk dari bencana terjadi ketika mereka kehilangan orang tua, ketika

mereka mereflek psycopathologi orang tua mereka, dan ketika terdapat

kecemasan lain yang disebabkan adanya faktor yang melatarbelakangi

(Skeet, 1977).

Menurut Takada & Nakamura (1999), berduka adalah salah satu

reaksi psikologis yang dialami seseorang yang mempunyai pengalaman

kehilangan saat bencana. Perubahan yang berhubungan dengan obyek

yang mereka sayangi mempunyai dampak langsung pada anak dan remaja.

Mereka megalami proses koping dengan distress psikologis karena

kehilangan salah satu obyek kesayangan sebelumnya, dimana dalam waktu

yang sama harus menyesuaikan pada kenyataan baru dan peran baru

setelah ditinggalkan oleh obyek yang disayanginya, misalnya salah satu

anggota keluarganya.

Menurut Takada & Nakamura (1999), masalah pada anak dan remaja

dengan kecacatan yang muncul akibat gempa adalah:

1) Mereka sangat sensitif terhadap perubahan di lingkungan mereka,

mereka mudah menjadi tidak stabil emosinya atau mengalami

kepanikan ketika melihat perubahan pada dirinya.

2) Kehilangan teman, sekolah (dalam artian komusnitas mereka), seperti

kehilangan tempat bermain dan tempat lainnya yang seharusnya

mereka dapat menggunakan energinya, juga dapat meningkatkan stess

mereka. Hal ini adalah bagian yang penting bagi mereka untuk dapat

menggunakan berbagai macam mainan yang menggunakan tubuh


25

mereka akan tetapi range permainan mereka terbatasi oleh

kecacatannya.

3) Penderita cacat dalam kehidupan sehari-harinya juga diperberat dengan

pikiran kekurangan disposable diapers (popok), dan masalah yang

berhubungan dengan diet (misalnya, seorang anak dengan cerebral

palsy mempunyai pantangan makanan dan tidak dapat menerima

beberapa makanan diluar dietnya).

4) Dalam suatu kasus pada individu yang lemah dimana membutuhkan

perawatan medis secara reguler, perubahan yang tiba-tiba dari

lingkungan dapat memperparah kerusakan fisiknya.

Menurut Kusumawati (2008), bencana sering menyebabkan kecacatan

pada korbannya. Kecacatan akibat kecelakaan/ gempa, dapat bersifat

menetap atau sementara dimana mengakibatkan kondisi hilangnya atau

ketidaknormalan psikologis, fisiologis maupun struktur atau fungsi

anatomik. Perasaan yang dirasakan penyandang cacat (terutama pada

anak-anak dan remaja), kecuali tunagrahita meliputi malu, marah dan

jengkel, tidak terima, tidak berdaya/ tidak berarti/ tidak berguna, kecewa

dan sedih, tidak punya harapan, bersalah dan munculnya pertanyaan

kenapa saya. Kecacatan akan membuat penderita mengalami keterbatasan

dalam beraktivitas sehingga kualitas hidupnya mengalami penurunan

(Joseph & Rao, 1998).

Dampak bencana pada anak (termasuk di dalamnya adalah remaja)

relatif permanen dibanding orang dewasa, karena anak-anak umumnya


26

belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengatasi

pencideraan fisik dan emosi yang terjadi karena peristiwa ekstrim

(Sutanto, 2004). Menurut Yusuf (2001), masa anak dan remaja merupakan

periode perkembangan yang cepat dan terjadinya perubahan dalam banyak

aspek perkembangan dimana pengalaman masa kecil mempunyai

pengaruh yang kuat terhadap perkembangan hidup selanjutnya.

3. Bencana

a. Definisi

Menurut WHO, bencana adalah hasil dari terputusnya sistem ekologi

yang dapat berupa kerusakan secara mendadak atau perlahan-lahan atau

akibat perbuatan manusia maupun kombinasi perbuatan manusia dan alam

sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan dan masyarakat yang

serius. Kondisi tersebut membutuhkan pertolongan luar biasa dari luar

daerah tersebut dan bahkan dari dunia internasional (http://who.com).

Menurut Skeet (1977), bencana adalah suatu kejadian yang sangat

besar yang dapat mengakibatkan terganggunya pada pola normal

kehidupan pada suatu masyarakat secara tiba-tiba dan membuat

masyarakat menjadi tidak berdaya dan menderita dan sebagai akibat dari

hal-hal tersebut adalah pentingnya kebutuhan makanan, tempat tinggal,

pakaian, obat-obatan, perlindungan, dan kebutuhan hidup lain yang

menopang.

Salah satu bentuk bencana yang disebabkan oleh alam adalah gempa

(Yamazaki, 2000). Gempa adalah goncangan/ getaran dari tanah yang


27

disebabkan oleh energi yang muncul ke permukaan sehingga dapat

berdampak pada kerusakan bangunan, jatuhnya korban, bahkan ancaman

bencana lain, misalnya tsunami (Carlson et.al., 2004).

b. Dampak Bencana

Menurut Skeet (1977), secara garis besar dampak bencana dibagi

menjadi dua, yaitu :

1) Dampak psikologis

Budaya, agama dan kepercayaan, dan kebijakan politik mempengaruhi

reaksi seseorang dalam menghadapi bencana, tetapi beberapa tanda

disaster syndrom biasanya terdapat pada korban-bencana di manapun.

Respon ini hampir sama dengan keadaan seseorang yang syok karena

kehilangan orang terdekat. Respon pertama adalah sikap penolakan

dan apatis karena menganggap bahwa hanya dia yang menjadi korban.

Keadaan ini kemudian akan terlewati setelah menyadari bahwa banyak

yang menjadi korban.

2) Dampak ekonomis

Dengan adanya bencana banyak sarana-sarana umum yang rusak,

bangunan-bangunan hancur, sumber pendapatan hilang. Belum lagi

untuk pemulihan yang tentu saja tidak sedikit biaya yang dikeluarkan.

Menurut Buwono X et.al. (2006), dampak gempa meliputi:

1) Jatuhnya korban jiwa

2) Kerusakan rumah penduduk, baik rusak ringan, berat, maupun roboh.


28

3) Kerusakan fasilitas umum yaitu berupa bangunan sekolah, puskesmas,

tempat ibadah, jalan, jembatan, dan lain-lain.

4) Gangguan kesehatan yaitu luka-luka yang berlanjut menjadi cacat,

dampak psikologis berupa stress, trauma berkepanjangan, dan lain-

lain.

Departemen Psikiatri RSUP DR Sardjito Yogyakarta (2006),

mengemukakan kerusakan seperti gempa tidak hanya mengakibatkan

masalah fisik, namun juga masalah emosional, ekonomi, sosial, dan

hubungan interpersonal. Gempa menimbulkan trauma psikologis bagi

semua orang yang mengalaminya. Gejala trauma ini dapat dirasakan

segera, beberapa hari, hingga beberapa bulan sesudah terjadinya bencana.

Keadaan ini tentu saja menjadi salah satu hambatan bagi seseorang untuk

berfungsi kembali (menjalankan aktivitas, bekerja, atau pendidikan).

B. Landasan Teori

Bencana adalah hasil dari terputusnya sistem ekologi yang dapat berupa

kerusakan secara mendadak atau perlahan-lahan atau akibat perbuatan manusia

maupun kombinasi perbuatan manusia dan alam sehingga berdampak pada

kerusakan lingkungan dan masyarakat yang serius. Kondisi tersebut

membutuhkan pertolongan luar biasa dari luar daerah tersebut dan bahkan dari

dunia internasional (http://who.com).

Respon individu terhadap bencana mempengaruhi berbagai hal dalam hidup

manusia, antara lain pada hal emosional, fisik, kognitif, dan sosial. Secara umum
29

gempa telah membuat remaja dalam keadaan sakit, baik fisik maupun psikis.

Dampak bencana pada anak (termasuk di dalamnya adalah remaja) relatif

permanen dibanding orang dewasa, karena anak-anak umumnya belum

mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengatasi pencideraan fisik dan

emosi yang terjadi karena peristiwa ekstrim (Sutanto, 2004).

Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan didefinisikan sebagai

nilai-nilai yang dianggap penting oleh individu, termasuk hal-hal yang membuat

mereka nyaman dan atau sejahtera, sehingga membuat individu mampu

mempertahankan fungsi fisik, emosi, dan intelektual dalam batas-batas yang

dianggap mencukupi dimana mereka dapat mempertahankan derajat kemampuan

mereka untuk berpartisipasi dalam hal-hal yang dianggap penting didalam

keluarga, tempat bekerja, dan masyarakat sekitarnya (Taher, 2004). Menurut

Joseph & Rao (1999), orang yang sehat secara umum memiliki kualitas hidup

yang lebih baik jika dibandingkan orang yang sakit apalagi yang disertai dengan

kecacatan.

Kualitas hidup pada anak dan remaja terdiri dari lima dimensi yaitu fungsi

fisik, fungsi emosional, fungsi sosial, fungsi otonomi dan keluarga, dan fungsi

sekolah. Dalam menentukan tingkat kualitas hidup, terdapat 2 faktor dimensi yang

perlu diperhatikan, yaitu faktor lingkungan dan faktor personal. Seseorang yang

tinggal dalam situasi lingkungan yang tertekan akan memiliki kualitas hidup yang

rendah, tetapi apabila orang tersebut mampu mengontrol situasi tersebut maka

kualitas hidupnya akan mengalami peningkatan (Taylor, 1995).


30

C. Kerangka Teoritis

Faktor-faktor yang Dimensi


mempengaruhi: fisik
1. Lingkungan:
a) perang Dimensi
b) bencana psikologis
c) kemiskinan
2. Personal: Dimensi
a) skill Kualitas Hidup otonomi dan
b) kognitif Remaja keluarga
c) penyakit
d) emosi Dimensi
sosial

Dimensi
Bencana (gempa) kognitif

Respon remaja (usia 12-21)


terhadap bencana:

Reaksi Reaksi Reaksi


regresif psikologis emosional

1. siblings untuk 1. sakit kepala 1. kehilangan


mencari 2. mengeluh sakit dan ketertarikan
perhatian orang nyeri yang tidak aktivitas dengan
tua jelas kawan sebaya
2. kegagalan untuk 3. berlebihan makan 2. penurunan mutu
mengerjakan atau hilang nafsu prestasi di sekolah
tugas dan makan 3. perilaku kacau
tanggung jawab 4. masalah buang air 4. kehilangan
normal besar ketertarikan pada
3. penurunan 5. gangguan kulit hobi dan rekreasi
prestasi sekolah 6. gangguan tidur 5. menarik diri,
(termasuk tidur perlawanan
berlebihan) terhadap atoritas

Keterangan: dilakukan penelitian tidak diteliti

Gambar 1. Kerangka Teoritis


31

C. Kerangka Konsep

Remaja pasca gempa


(usia 15-21 tahun)

Kualitas hidup

Dimensi Dimensi Dimensi otonomi dan Dimensi Dimensi


kognitif sosial keluarga psikologis fisik

Gambar 2. Kerangka Konsep

D. Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah kualitas hidup pada remaja 3 tahun pasca gempa di Kecamatan

Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta?


32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif eksploratif. Rancangan

yang digunakan adalah cross sectional dengan menggunakan metode kuantitatif.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu mulai 11 Februari 2009

sampai dengan 04 Maret 2009. Lokasi penelitian yang dipilih yaitu dua dari lima

Kecamatan (Jetis, Bambanglipuro, Pundong, Imogiri, dan Sewon) yang

mengalami kerusakan parah akibat gempa (www.bantulkab.go.id). Kecamatan

Bambanglipuro terdiri dari tiga desa, yaitu Mulyodadi, Sumbermulyo, dan

Sidomulyo, sedangkan Kecamatan Pundong terdiri dari tiga desa yaitu

Panjangrejo, Srihardono, dan Seloharjo.

C. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah semua remaja yang tinggal di Kecamatan

Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sampel pada

penelitian ini adalah remaja yang saat gempa berusia 12-18 tahun dan tinggal di

Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Alasan

mengambil sampel berusia 12-18 tahun adalah karena usia tersebut termasuk

kategori remaja dan saat dilakukan penelitian sampel tersebut berusia 15-21 tahun

dimana usia tersebut masih termasuk dalam rentang usia remaja. Menurut
33

Yamazaki (2000), umumnya dampak bencana pada anak mulai usia 11 tahun

dapat membekas sampai sepuluh tahun kedepan, bahkan sampai anak tersebut

dewasa.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan, jumlah remaja

yang saat gempa berusia 12-18 tahun dan tinggal di wilayah gempa di Kecamatan

Bambanglipuro dan Pundong adalah 6.324 jiwa, dengan rincian di Desa

Mulyodadi terdapat 1.205 remaja, Desa Sumbermulyo 893 remaja, Desa

Sidomulyo 876 remaja, Desa Panjangrejo 1.482 remaja, Desa Srihardono 1.071

remaja, dan Desa Seloharjo 797 remaja. Besarnya sampel dihitung menggunakan

formula Isaac dan Michael seperti berikut:

λ2 .N .P.Q
s=
d 2 ( N − 1) + λ2 .P.Q

Keterangan:

d = Derajat ketepatan yang diinginkan, yaitu 0,05

λ = Standar deviasi normal, sesuai dengan derajat kemaknaan 90%

P = Proporsi untuk sifat tertentu yang diperkirakan terjadi pada populasi,

yaitu 0,05

Q = 1,0 – p

N = Besarnya populasi

s = Besarnya sampel

Setelah dihitung menggunakan formula diatas maka diperoleh jumlah sampel

sebanyak 260 remaja.


34

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster sampling,

proportional sampling, dan purposive sampling. Menurut Notoatmojo (2002),

Cluster sampling adalah teknik menentukan sampel berdasarkan kelompok dan

kelompok yang diambil sebagai sampel terdiri dari unit geografis (desa,

kecamatan, kabupaten, dan sebagainya).

Proportional sampling dalam penelitian ini digunakan setelah dilakukan

cluster sampling agar didapatkan proporsi jumlah sampel tiap wilayah secara

bertahap. Menurut Arikunto (2006), pengambilan sampel secara proportional

merupakan teknik untuk memperoleh sampel yang representatif, pengambilan

subyek dari setiap strata atau setiap wilayah ditentukan seimbang atau sebanding

dengan banyaknya subyek dakam masing-masing strata atau wilayah.

Pengambilan sampel secara purposive dalam penelitian ini digunakan setelah

dilakukan Proportional sampling. Menurut Notoatmojo (2002), purposive

sampling dilakukan berdasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat

oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah

diketahui sebelumnya.

Berikut merupakan perhitungan sampel berdasarkan cluster dan proporsi:

N1
n1 = ×s
N1 + N 2

Keterangan:

n = Besar sampel kecamatan 1

N1 = Besar populasi di kecamatan 1

N2 = Besar populasi di kecamatan 2

s = Besarnya sampel
35

Hasil penghitungan sampel menggunakan formula diatas diperoleh jumlah

sampel di Kecamatan Bambanglipuro adalah 122 remaja dan di Kecamatan

Pundong adalah 138 remaja. Berikut merupakan perhitungan jumlah sampel tiap

desa di tiap kecamatan:

1. Kecamatan Bambanglipuro

1.205
a. Desa Mulyodadi = × 122 = 49
2974

893
b. Desa Sumbermulyo = × 122 = 37
2.974

876
c. Desa Sidomulyo = × 122 = 36
2.974

2. Kecamatan Pundong

1.482
a. Desa Panjangrejo = × 138 = 61
3.350

1.071
b. Desa Srihardono = × 138 = 44
3.350

797
c. Desa Seloharjo = × 138 = 33
3.350

Kriteria sampel yang ditetapkan (kriteria inklusi) adalah:

1. Remaja yang saat gempa berusia 12-18 tahun

2. Remaja yang merasakan bencana gempa pada tanggal 27 Mei 2006

3. Bersedia menjadi responden

Kriteria eksklusi adalah:

1. Anak yang tidak berada di lokasi saat pengambilan data

2. Anak yang sulit diajak komunikasi


36

D. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel tunggal yaitu kualitas hidup

pada remaja 3 tahun pasca gempa.

E. Definisi Operasional

1. Kualitas Hidup

Kualitas hidup didefinisikan sebagai penilaian subjektif remaja terhadap

kesehatan dirinya, baik keadaan fisik, psikologis, sosial, otonomi dan

keluarga, serta kognitifnya pasca gempa. Kualitas hidup dibagi dalam lima

dimensi yaitu:

a. Dimensi fisik

Merupakan dimensi yang diartikan sebagai tingkat aktifitas fisik,

energi, dan tingkat kebugaran dari anak atau remaja pasca gempa.

b. Dimensi psikologis

Merupakan dimensi yang mengkaji kesehatan psikologis pada anak

atau remaja pasca gempa yang meliputi perasaan, kepuasan terhadap

hidup, kekhawatiran, stress, dan persepsi tentang dirinya sendiri.

c. Dimensi otonomi dan keluarga

Merupakan dimensi yang melihat kesempatan yang diberikan pada

anak dan remaja pasca gempa untuk menciptakan kemampuan sosial,

waktu luangnya dan melihat hubungan antara anak atau remaja dengan

orang tua serta keadaan sekitar rumahnya.


37

d. Dimensi sosial

Dimensi ini melihat keadaan hubungan alami dari seorang anak atau

remaja dengan temannya termasuk penolakan seorang anak oleh

temannya.

e. Dimensi kognitif

Dimensi ini menggali tentang persepsi anak atau remaja tentang

kapasitas mereka tekanan saat belajar, konsentrasi dan perasaan mereka

tentang sekolah.

2. Remaja

Remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah remaja yang saat

gempa terjadi berusia 12-18 tahun dan merasakan gempa secara langsung pada

tanggal 27 Mei 2006 di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Bantul,

Yogyakarta. Kelompok usia remaja digolongkan menjadi remaja awal (12-18

tahun) dan remaja akhir (19-21 tahun).

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan adalah instrumen yang dibuat sendiri oleh peneliti

berdasarkan teori kualitas hidup pada anak dan remaja yang dikemukakan oleh

Sieberer & Bullinger (2000). Kuesioner tersebut digunakan untuk mendapatkan

data tentang kualitas hidup remaja pasca gempa. Kualitas hidup yang diukur

meliputi beberapa dimensi yaitu: dimensi fisik, dimensi psikologis, dimensi

otonomi dan keluarga, dimensi sosial, dan dimensi kognitif. Berikut ini kisi-kisi

kuesioner yang digunakan:


38

Tabel 1. Kisi-Kisi Kuesioner


Indikator Favorable Unfavorable Jumlah
Dimensi fisik - 1, 2, 3 3
Dimensi Psikologis 10 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11 8
Dimensi otonomi dan 14, 15, 16, 18 12, 13, 17 7
keluarga
Dimensi sosial 19, 21 20, 22, 23, 24 6
Dimensi kognitif - 25, 26, 27 3
Jumlah 27

Masing-masing skor untuk pertanyaan favorable adalah: tidak pernah = 0,

hampir tidak pernah = 1, kadang-kadang = 2, sering = 3, dan selalu = 4,

sedangkan untuk pertanyaan unfavorable adalah: tidak pernah = 4, hampir tidak

pernah = 3, kadang-kadang = 2, sering = 1, dan selalu = 0. Interpretasi skor untuk

kondisi kualitas hidup ditentukan menggunakan kategorisasi ordinal. Menurut

Azwar (2005), tujuan kategorisasi ini adalah menempatkan individu ke dalam

kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum

berdasar atribut yang diukur. Kontinum ordinal yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah kualitas hidup baik dan buruk. Setiap item dalam instrumen

diberi skor antara 0 sampai 4. Rentang minimum-maksimumnya adalah 27x0 = 0

sampai dengan 27x4 = 108 sehingga kriteria untuk kualitah hidup baik adalah 55-

108 dan untuk kualitas hidup buruk adalah 0-54.

G. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau

kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu

mengukur apa yang diinginkan, dapat mengungkap data dari variabel yang
39

diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan sejauh

mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang validitas

yang dimaksud (Arikunto, 2006).

Uji validitas instrumen dilakukan dengan melakukan analisis butir

menggunakan rumus korelasi product moment dari Pearson (Arikunto,2006)

sebagai berikut:

∑ xy
r xy =
( ∑ x 2 )(∑ y 2 )

Keterangan:

x=X-X

y = Y- Y

X = skor rata-rata dari X

Y = skor rata-rata dari Y

Prosedur untuk analisis butir dapat dilakukan dengan cara

mengkorelasikan skor butir dengan skor total. Skor butir dipandang sebagai

nilai x, dan skor total dipandang sebagai nilai Y. Dengan diperolehnya indeks

validitas setiap butir dapat diketahui dengan pasti butir-butir manakah yang

tidak memenuhi syarat ditinjau dari validitasnya (Arikunto, 2006). Dikatakan

valid untuk 30 responden berdasarkan tabel r product-moment adalah rxy =

0,361.

2. Uji Reliabilitas

Realibilitas menunjukkan bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya

untuk dapat digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut
40

sudah baik (Arikunto, 2006). Uji reliabilitas yang digunakan adalah dengan

menggunakan rumus alpha. Rumus alpha merupakan rumus untuk mencari

realibilitas instrumen yang skornya bukan 1 dan 0. Rumus alpha adalah

sebagai berikut:

∑σ
2
k
r11 = [ ][1 − 2 b ]
(k − 1) σ t

Keterangan:

r11 = reliabilitas instrumen

k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal


2
b = jumlah varians butir
2
1 = varians total

Uji coba kuesioner dilakukan pada tanggal 2 Februari 2009. Sampel yang

diambil berjumlah 30 remaja yang merasakan gempa secara langsung pada

tanggal 27 Mei 2006 di Kecamatan Jetis, Bantul, Yogyakarta.

Pengolahan hasil uji coba kuesioner menggunakan program komputer

dengan hasil, dari 30 pertanyaan yang diajukan, didapat 8 pertanyaan tidak

valid (nomor 7, 10, 12, 16, 17, 18, 24, dan 26) dengan validitas sebesar 0,912.

Peneliti kemudian melakukan modifikasi pertanyaan yang tidak valid, dan

dilakukan uji validitas dan reliabilitas kembali. Uji instrumen yang kedua, dari

30 pertanyaan, didapatkan hasil, 3 pertanyaan tidak valid (nomor 10, 14, 20)

dengan validitas sebesar 0,910. Peneliti kemudian menghapus pertanyaan-

pertanyaan yang tidak valid. Hasil akhir dari uji istrumen dihasilkan 27 jenis
41

pertanyaan valid (rxy 0,361) dan didapat nilai reliabilitas Cronbach s Alpha

sebesar 0,940.

H. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan tiga orang asisten yang

memenuhi kriteria dan telah dilatih sebelumnya. Asisten adalah mahasiswa

Program Studi Ilmu Keperawatan A angkatan 2005 (semester akhir) yang

membantu peneliti dalam pengambilan data. Data diperoleh dengan menggunakan

kuesioner. Peneliti memastikan responden yang diambil dari data remaja

Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong sehingga remaja yang dipilih menjadi

responden telah sesuai dengan kriteria inklusi. Kemudian peneliti melakukan

pendekatan ke organisasi karang-taruna yang ada di kecamatan tersebut sehingga

peneliti dapat mengambil data saat ada perkumpulan (rapat) karang-taruna.

Peneliti kemudian memberi penjelasan kepada responden mengenai maksud dan

tujuan penelitian, serta cara pengisian kuesioner. Pengisian kuesioner dilakukan

secara langsung oleh responden. Setelah lembar kuesioner diisi seluruhnya,

kemudian kuesioner dicek. Jika ditemukan item yang belum terisi maka kuesioner

tersebut dikembalikan lagi kepada responden untuk kemudian dilengkapi dan

setelah selesai kuesioner tersebut segera diambil kembali. Data tersebut kemudian

dianalisis menggunakan komputer.


42

I. Jalannya Penelitian

Tahap-tahap dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tahap persiapan

Diawali dengan studi pendahuluan yang dilanjutkan dengan pembuatan

proposal guna memberikan rencana dan arah penelitian, kemudian proposal

diseminarkan dan dilakukan perbaikan. Setelah proposal disetujui kemudian

dilakukan penjajakan kembali lokasi penelitian, pengurusan ijin pada institusi

yang berwenang, peneliti melakukan sosialisasi pelaksanaan penelitian

kepada para asisten peneliti, terdiri dari penjelasan tujuan dan manfaat

penelitian, cara identifikasi dan pengumpulan data serta tata cara

dokumentasi/pengumpulan data. Sebelum tahap pengumpulan data, dilakukan

ujicoba kuesioner di tempat yang berbeda namun dengan karakteristik yang

hampir sama yaitu di Kecamatan Jetis, Bantul, Yogyakarta.

2. Tahap pelaksanaan

Pada tahap ini diawali dengan melihat data remaja dari Kecamatan

Bambanglipuro dan Pundong, kemudian peneliti melakukan pendekatan ke

organisasi karang-taruna yang ada di kecamatan tersebut sehingga peneliti

dapat mengambil data saat ada perkumpulan (rapat) karang-taruna. Remaja

dimintai persejutuan untuk menjadi responden dan dijelaskan mengenai tujuan

dan jalannya penelitian. Masing-masing responden diukur kualitas hidupnya

dengan cara mengisi kuesioner. Pengisian kuesioner dilakukan secara

langsung oleh responden yang mampu baca tulis serta kondisi fisik yang

memungkinkan. Bagi responden yang tidak mampu, peneliti membacakan


43

kuesioner. Selama pengisian kuesioner, peneliti menunggu sampai responden

selesai. Setelah lembar kuesioner diisi seluruhnya, kemudian kuesioner dicek.

Apabila ditemukan ada item yang belum terisi maka kuesioner tersebut

dikembalikan lagi kepada responden untuk dilengkapi dan setelah selesai

kuesioner tersebut segera diambil kembali.

3. Tahap evaluasi dan pembuatan laporan penelitian.

Pada tahap ini dilakukan pembuatan laporan hasil penelitian, kemudian

dilanjutkan dengan seminar hasil. Setelah seminar hasil, kemudian peneliti

melakukan perbaikan terhadap laporan penelitian, menyusun naskah publikasi,

dan mengumpulkan laporan penelitian pada pihak terkait

J. Pengolahan dan Analisis Data

1. Analisis Deskriptif

Untuk mengetahui besaran kualitas hidup rendah, sedang, dan tinggi, maka

dilakukan perhitungan prosentase dengan kriteria kualitas hidup rendah,

sedang, dan tinggi. Data yang didapat kemudian disajikan dalam tabel

distribusi frekuensi. Rumus perhitungan persentase adalah sebagai berikut:

F
P=
n

Keterangan:

P: persentase

F: frekuensi kejadian yang muncul

n: jumlah sampel
44

2. Komparasi

Untuk melakukan perbandingan kualitas hidup berdasarkan karakteristik

responden maka digunakan uji Chi Square dan uji Fhiser dengan komputer.

K. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian

1. Kesulitan penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa kesulitan, antara lain sebagai

berikut:

a. Saat pengambilan data terdapat jadwal rapat karang taruna yang sama

dalam satu malam (lebih dari satu desa yang mengadakan rapat).

b. Asisten yang diikutkan dalam penelitian ini tidak semua dapat membantu

dikarenakan kesulitan mencocokkan jadwal pengambilan data dengan

kegiatan asisten sendiri. Oleh karena itu pengambilan data banyak

dilakukan oleh peneliti sendiri.

c. Ketidakcocokan jumlah remaja yang cacat, dan putus sekolah yang

tercacat di Kecamatan Bambanglipuro dengan yang ada di lapangan,

sehingga peneliti kesulitan melakukan estimasi jumlah masing-masing

sampel sesuai karakteristik dampak gempa yang akan diambil. Jumlah

yang ada di lapangan jauh lebih kecil dari yang tercacat. Hal ini

disebabkan banyak remaja yang sudah pindah tempat tinggal.

2. Kelemahan Penelitian

Dalam kegiatan penelitian ini terdapat beberapa kelemahan, yaitu sebagai

berikut:
45

a. Variabel-variabel lain seperti dampak gempa berupa stress atau trauma

akibat gempa (post traumatic stress disorder), tingkat ekonomi, dan

keberadaan penyakit yang menyertai responden belum dapat dikendalikan

oleh peneliti.

b. Berdasarkan instrumen yang telah dibuat, pada salah satu karakteristik

dampak gempa tertulis cacat/ terluka. Hal tersebut dikhawatirkan

menimbulkan bias terhadap jumlah responden dengan kecacatan walaupun

peneliti telah memastikan bahwa yang diambil menjadi responden adalah

dengan karakteristik cacat bukan terluka.

c. Instrumen dalam penelitian ini dibuat sendiri oleh peneliti, sehingga

meskipun berdasarkan teori namun peneliti masih memiliki kekurangan

dalam memformulasikan pertanyaan agar dapat dimengerti oleh

responden.

d. Saat pengambilan data di rapat karang taruna, peneliti kurang mampu

mengendalikan responden yang saling bertanya saat proses pengisian

kuesioner.
46

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Singkat Lokasi Penelitian

Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong adalah kecamatan yang terletak di

Kabupaten Bantul Yogyakarta. Kedua kecamatan tersebut merupakan dua dari

lima kecamatan yang terkena dampak gempa paling parah di Kabupaten Bantul

(www.bantulkab.go.id). Data sekunder dari Kecamatan Bambanglipuro dan

Pundong (2007) menunjukkan bahwa jumlah penduduk remaja (usia 12-18 tahun)

di Kecamatan Bambanglipuro sebanyak 2.974 jiwa, sedangkan jumlah remaja di

Kecamatan Pundong adalah 3.350 jiwa.

Menurut Kepala Camat baik di Kecamatan Bambanglipuro maupun

Kecamatan Pundong, pembangunan dan renovasi rumah hampir semuanya telah

selesai, sehingga hampir semua penduduk di kecamatan tersebut sudah tidak

menggunakan tenda atau rumah sementara sebagai tempat tinggalnya. Gedung-

gedung sekolah yang roboh maupun rusak yang terdapat di kedua Kecamatan

tersebut juga sudah selesai direnovasi sehingga kegiatan belajar mengajar sudah

tidak dilaksanakan di tenda-tenda darurat maupun di gedung-gedung sementara.

Menurut data dari Sub Bidang Kependudukan Kecamatan Bambanglipuro

pada bulan Desember 2009, sebagian besar penduduk di Kecamatan

Bambanglipuro memiliki tingkat ekonomi bawah (63%). Sebesar 26% penduduk

dengan tingkat ekonomi menengah dan hanya sebagian kecil yang memiliki

tingkat ekonomi atas (11%). Menurut data dari Sub Bidang Kependudukan
47

Kecamatan Pundong (Januari, 2009), penduduk yang memiliki tingkat ekonomi

atas, menengah dan bawah masing-masing sebesar15%, 40%, dan 45%.

B. Karakteristik Responden Penelitian

Pada penelitian ini, sebanyak 260 remaja dengan rentang usia 15 sampai 21

tahun dimasukkan sebagai responden penelitian. Usia rata-rata responden adalah

16, 44 dengan standar deviasi 1, 364, sedangkan usia remaja terbanyak adalah 16

tahun. Berikut merupakan distribusi frekuensi karakteristik responden:

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Kecamatan


Bambanglipuro dan Pundong, Maret 2009 (n=260)
Bambanglipuro Pundong Total
Karakteristik
f % f % f %
Jenis Kelamin
Laki-laki 48 39,3 46 33,3 94 36,2
Perempuan 74 60,6 92 66,7 166 63,8
Usia Responden
15-18 tahun 113 92,6 122 88,4 235 90,4
18-21 tahun 9 7,4 16 11,6 25 9,6
Pendidikan Terakhir
SD 1 0,8 0 0,0 1 0,4
SLTP 21 17,2 15 10,9 36 13,8
SMU 97 79,5 118 85,5 215 82,7
Perguruan Tinggi 3 2,5 5 3,6 8 3,1
Responden Cacat
Ya 8 6,6 14 10,1 22 8,5
Tidak 114 93,4 124 89,9 238 91,5
Kehilangan Anggota
Keluarga
Ya 10 8,2 15 10,9 25 9,6
Tidak 112 91,8 123 89,1 235 90,4
Rumah Roboh
Ya 76 62,3 112 81,2 188 72,3
Tidak 46 37,7 26 18,8 72 27,7
Putus Sekolah
Ya 10 8,2 6 4,3 16 6,2
Tidak 112 91,8 132 95,7 244 93,8
Jumlah 122 100 138 100 260 100
Sumber: data primer, 2009
48

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa perbandingan jumlah responden

berdasarkan kecamatan tempat tinggal adalah 1:1. Sebagian besar responden baik

di Kecamatan Bambanglipuro maupun Pundong termasuk dalam rentang usia 15-

18 tahun (68,1%) dengan perbandingan total jumlah responden laki-laki dan

perempuan adalah 1 : 2. Tingkat pendidikan terakhir sebagian besar responden

baik di Kecamatan Bambanglipuro maupun Pundong adalah Sekolah Menegah

Umum (82,7 %).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dampak gempa yang dialami

oleh remaja pasca gempa di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong ada empat

macam yaitu kecacatan, kehilangan anggota keluarga, rumah roboh, dan putus

sekolah. Parameter kehilangan karena gempa berupa kecacatan, kehilangan

anggota keluarga, dan rumah roboh lebih banyak didapatkan di Kecamatan

Pundong dari pada di Kecamatan Bambanglipuro. Akan tetapi, untuk parameter

kehilangan karena gempa berupa putus sekolah, lebih banyak didapatkan di

Kecamatan Bambanglipuro dari pada di kecamatan Pundong. Apabila dilihat

secara keseluruhan baik di Kecamatan Bambanglipuro maupun Pundong, dampak

gempa yang terbanyak dan berbeda adalah rumah roboh (72,3%).

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Buwono X et.al. (2006), umumnya dampak gempa terbanyak yang muncul

pada masyarakat di Kabupaten Bantul adalah kerusakan rumah penduduk (baik

rusak ringan, berat, maupun roboh). Selain dampak tersebut, dampak gempa yang

lain meliputi: jatuhnya korban jiwa, kerusakan fasilitas umum (berupa bangunan

sekolah, puskesmas, tempat ibadah, jalan, jembatan, dan lain-lain), dan gangguan
49

kesehatan yaitu luka-luka yang berlanjut menjadi cacat, dampak psikologis berupa

stress, trauma berkepanjangan, dan lain-lain. Akan tetapi, dalam penelitian yang

telah dilakukan, peneliti tidak melakukan penelitian apakah responden masih

mengalami stress akibat gempa (post traumatic stress disorder).

C. Gambaran Kualitas Hidup Responden

1. Distribusi Kualitas Hidup Responden

Gambaran kualitas hidup remaja 3 tahun pasca gempa di Kecamatan

Bambanglipuro dan Pundong adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Gambaran dan Perbedaan Nilai Kualitas Hidup pada Remaja 3 tahun
Pasca Gempa di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Maret
2009 (n=260)
Kualitas Bambanglipuro Pundong Total p
Hidup f % f % f %
Baik 108 41,5 132 50,8 240 92,3 0,031
Buruk 14 5,4 6 2,3 20 7,7
Sumber: data primer, 2009

Berdasarkan tabel di atas, secara keseluruhan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden memiliki kualitas hidup baik (92,3%). Menurut

Dowels & Newell (1996), kualitas hidup seseorang dapat dinilai baik jika

memenuhi kriteria: (1) dapat melakukan semua aktifitas fisik terbanyak yang

berat tanpa keterbatasan yang disebabkan kesehatan; (2) tidak ada masalah

dalam bekerja atau aktivitas keseharian lainnya sebagai akibat masalah

kesehatan fisik; (3) dapat melakukan aktivitas sosial normal tanpa kendala

yang disebabkan masalah fisik dan emosi; (4) tidak ada nyeri atau

keterbatasan akibat nyeri; (5) merasa damai, bahagia dan tenang setiap saat;

(6) tidak ada masalah dalam bekerja atu aktivitas keseharian lainnya sebagai
50

akibat masalah emosi; (7) merasa penuh gairah dan energik setiap saat; (8)

kepercayaan terhadap kesehatan pribadi amat baik.

Keadaan mayoritas responden yang memiliki kualitas hidup baik

kemungkinan karena kejadian gempa sudah berlangsung tiga tahun yang lalu,

sehingga responden sudah tidak mengalami stress atau trauma pasca gempa.

Menurut Tsai KY et. al. (2007), kejadian post traumatic stress symptom

(PTSS) 3 tahun setelah gempa menurun dan kualitas hidup pada kelompok

korban yang selamat pasca gempa sesuai dengan perkembangan PTSS

mereka. Kualitas hidup korban selamat pasca gempa akan semakin membaik

ketika PTSS semakin menurun. Akan tetapi, secara pasti peneliti belum dapat

memastikan apakah responden sudah tidak mengalami stress pasca gempa

dikarenakan peneliti tidak melakukan penelitian tentang faktor tersebut.

Alasan lain adalah kemungkinan responden mampu mengontrol situasi

pasca bencana sehingga dampak bencana tidak menggangu kehidupan mereka.

Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari salah satu anggota Badan

Perwakilan Daerah (BPD) di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong,

diketahui bahwa remaja pasca gempa di Kecamatan Bambanglipuro dan

Pundong banyak melakukan kegiatan seperti pengajian akbar (ke-dua

kecamatan saling bergantian), pelatihan penghilang trauma pasca gempa di

masing-masing kecamatan (bekerja sama dengan Fakultas Psikologi UGM),

aktif menjadi pengurus TPA (Tempat Pendidikan Al-Qur’an), arisan muda-

mudi, dan rapat karang taruna. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat merupakan

kegiatan lama yang diaktifkan kembali atau kegiatan baru yang dilaksanakan
51

pasca gempa. Menurut Hurlock (1990), remaja cenderung bersosialisasi

dengan kelompok primer (kelompok dengan usia sebaya) sehingga mereka

lupa dengan masalah-masalah yang telah lalu dan mulai membentuk cerita

baru.

Menurut Taylor (1995), seseorang yang tinggal dalam situasi lingkungan

yang tertekan akan memiliki kualitas hidup yang rendah, tetapi apabila orang

tersebut mampu mengontrol situasi tersebut maka kualitas hidupnya akan

mengalami peningkatan. Kontrol situasi yang dimaksud dapat berupa koping

positif, keyakinan spiritual, bersosialisasi, mengalihkan perhatian kepada hal-

hal yang menyenangkan, dan terakhir adalah rehabilitasi.

Akan tetapi, hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Wu HC et. al. (2006), sebagian besar kualitas hidup pada

korban selamat 3 tahun pasca gempa di Taiwan adalah buruk terutama yang

memiliki gangguan psikiatri seperti major depression (MD) dan post

traumatic stress disorder (PTSD). Hasil penelitian yang lain menyatakan

bahwa pengaruh bencana (banjir) di China mengakibatkan kualitas hidup para

korban selamat menjadi buruk (Tan HZ et. al., 2004).

Perbedaan hasil penelitian yang didapatkan dengan hasil penelitian oleh

Wu HC et. al. (2006) dan Tan HZ et. al. (2004), kemungkinan karena

masyarakat Bantul yang cepat bangkit. Menurut Buwono X et.al. (2006),

prorgram Yogya Bangkit dalam rangka pemulihan kehidupan masyarakat

Yogyakarta, khususnya di Bantul terasa lebih mudah dilaksanakan karena

masyarakat Bantul memiliki nilai-nilai kultural Masyarakat Jawa yaitu sifat


52

nrimo, saiyeg saeko kapti (menggalang persatuan untuk bangkit sendiri),

gotong-royong, dan rembug desa. Menurut Koentjoro (2006), secara psikologi

social, Masyarakat Jawa menganut konsep Social Loafing dan perilaku

Collective yaitu adanya perasaan senasib sepenanggunagan.

Berdasarkan tabel 3 di atas, apabila dilihat dari nilai kualitas hidup

masing-masing kecamatan, dapat diketahui bahwa jumlah responden yang

memiliki kualitas hidup dengan predikat baik di Kecamatan Pundong lebih

banyak dari pada responden di Kecamatan Bambanglipuro, sedangkan jumlah

responden dengan kualitas hidup buruk di Kecamatan Pundong lebih sedikit

dari pada responden di Kecamatan Bambanglipuro. Peneliti telah melakukan

uji komparasi menggunakan uji Chi Square dan didapatkan nilai p<0,05 yaitu

0,031, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas hidup remaja yang

berada di Kecamatan Pundong berbeda secara bermakna dengan remaja yang

berada di Kecamatan Bambanglipuro.

Alasan yang mendasari temuan kualitas hidup baik di Kecamatan Pundong

lebih banyak dari pada di Kecamatan Bambanglipuro belum diketahui secara

pasti oleh peneliti. Akan tetapi, apabila dilihat dari faktor sumber dukungan

pasca gempa, terdapat perbedaan jumlah dukungan di kedua kecamatan

tersebut. Jumlah dukungan yang dimaksud adalah jumlah instansi, lembaga,

donor atau negara yang memberikan bantuan pasca gempa baik berupa tenda,

bahan pangan, pakaian, tenaga relawan, tenaga kesehatan dan lain-lain.

Berdasarkan keterangan dari salah satu anggota BPD di Kecamatan

Pundong, diketahui bahwa di kecamatan tersebut selain mendapatkan bantuan


53

dari Pemerintah Pusat dan Kabupaten Bantul, juga mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak, yaitu PMI, Universitas Gadjah Madha (UGM), Universitas

Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas

Muhamadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Hasanudin Makasar, Yayasan

Yadika Jakarta, Organisasi Masyarakat, tiga pihak luar negeri (Spanyol, Turki,

Jerman), dan bantuan langsung dari masyarakat umum lainnya. Bantuan

tersebut sudah berdatangan sejak hari pertama pasca gempa, yaitu pada sore

harinya dan berlangsung selama kurang lebih 3 bulan pasca gempa.

Berbeda dengan keadaan di Kecamatan Pundong, berdasarkan keterangan

dari salah satu anggota BPD di Kecamatan Bambanglipuro, masyarakat di

Kecamatan Bambanglipuro baru mendapatkan bantuan pada hari ke dua pasca

gempa dan hanya berlangsung selama kurang lebih 2 bulan pasca gempa.

Dukungan yang didapat di Kecamatan Bambanglipuro pun tak sebanyak

dukungan yang di dapat oleh Kecamatan Pundong. Dukungan yang didapat

selain dari Pemerintah Pusat dan kabupaten Bantul berasal dari PMI, UGM,

UMY, Organisasi Masyarakat, satu pihak luar negeri (Turki), dan bantuan

langsung dari masyarakat umum lainnya.

Besar kemungkinan hal tersebut terjadi karena selain lokasi Kecamatan

Pundong yang mudah dijangkau, yaitu berada di jalan Parangtritis,

Kecamatan Pundong dipandang jauh menarik perhatian pihak lain (instansi/

lembaga/ donor) dari pada Kecamatan Bambanglipuro. Menurut laporan dari

Badan Meteorologi dan Geofisika memastikan bahwa pusat gempa berada di

40 km di selatan Yogyakarta yaitu pada patahan Sungai Opak yang tepat


54

berada di Kecamatan Pundong (Buwono X et.al., 2006). Laporan tersebut

mungkin menimbulkan reaksi oleh banyak pihak untuk berbondong-bondong

memberi dukungan/ bantuan di Kecamatan Pundong.

2. Gambaran Nilai Rata-Rata tiap Dimensi Kualitas Hidup

Berikut merupakan nilai rata-rata tiap dimensi kualitas hidup pada

responden:

Tabel 4. Nilai Rata-Rata Masing-Masing Dimensi Kualitas Hidup Reponden


di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Maret 2009 (n=260)
Nilai Kualitas Hidup
Dimensi Kualitas Hidup
Tertinggi Mean Keterangan
Fisik 12 8,3 Baik
Psikologis 32 16,3 Baik
Otonomi dan Keluarga 28 16,0 Baik
Sosial 24 14,8 Baik
Kognitif 12 5,2 Buruk
Sumber: data primer, 2009

Pada tabel di atas, masing-masing dimensi dikatakan baik apabila nilai

mean setengah kali nilai tertinggi. Apabila nilai mean masing-masing

dimensi kualitas hidup tersebut < setengah nilai tertinggi maka dikatakan

buruk. Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa rata-rata responden dengan

kualitas hidup baik memiliki empat dimensi baik dan hanya satu dimensi yang

dikatakan buruk yaitu pada dimensi kognitif.

Menurut tabel 4, rata-rata responden memiliki keadaan kognitif yang

buruk. Menurut Levine & Croog cit. Murti (1996), maksud dari keadaan

intelektual dan kognitif yaitu apakah seseorang waspada, apakah ingatannya

baik, yakinkah ia dengan kemampuan membuat keputusan, mampukah ia

melakukan fungsi-fungsi intelektual yang dibutuhkan dalam menampilkan

peran sosialnya.
55

Menurut Hanada (1997), gejala trauma yang muncul pada remaja pasca

gempa salah satunya meliputi masalah perilaku kognitif berupa menurunnya

aktivitas, kesulitan mengerjakan tugas, penurunan mutu prestasi di sekolah,

dan sering membolos. Pernyataan Hanada didukung oleh Yamazaki (2000)

yang menyatakan bahwa reaksi regresif berupa perilaku kacau, kegagalan

untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab normal, serta penurunan

prestasi belajar terobservasi pada remaja pasca gempa. Didukung pula oleh

Skett (1977) yang menjelaskan bahwa pada situasi pasca gempa, remaja

cenderung memiliki intellectual probleme, sulit memusatkan perhatian,

menolak sekolah, dan pelupa.

3. Gambaran Kualitas Hidup Buruk Berdasarkan Jumlah Dampak Kehilangan

Dalam penelitian ini, didapatkan data bahwa responden yang memiliki

kualitas hidup buruk mengalami dampak kehilangan karena gempa yang

bervariasi jumlahnya. Responden dikatakan mengalami dampak kehilangan

single apabila responden mengalami satu dampak kehilangan karena gempa,

misalnya kecacatan saja. Responden dikatakan mengalami dampak kehilangan

multiple apabila responden mengalami lebih dari satu dampak kehilangan

karena gempa.

Menurut tabel 5 di bawah ini, dari 20 responden yang memiliki kualitas

hidup buruk, 12 diantaranya memiliki jumlah dampak kehilangan multiple.

Peneliti telah melakukan test normality Shapiro-Wilk dan didapatkan nilai p

pada responden dengan dampak gempa single p = 0,31 (>0,05) dan dampak

gempa multiple 0,19 (>0,05). Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa
56

sebaran skor kualitas hidup buruk yang mengalami dampak gempa single

maupun multiple mempunyai sebaran normal. Oleh karena syarat sebaran data

normal terpenuhi, maka dilakukan unpaired t test.

Berikut merupakan analisa untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai

kualitas hidup buruk berdasarkan dampak kehilangan single dan multiple:

Tabel 5. Perbedaan Nilai Kualitas Hidup Buruk pada remaja Pasca Gempa di
Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong berdasarkan Jumlah
dampak gempa, Maret 2009 (n=20)
Kualitas Hidup Buruk
Jumlah Dampak
Bambanglipuro Pundong p
Kehilangan
f % f %
Single 7 35,0 1 5,0
0,001
Multiple 7 35,0 5 25,0
Sumber: data primer, 2009

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah responden yang

memiliki kualitas hidup buruk baik dengan dampak kehilangan single maupun

multiple di Kecamatan Bambanglipuro lebih banyak di dibandingkan di

Kecamatan Pundong, dengan nilai p = 0,001 (< 0,05). Oleh karena itu, dapat

diambil kesimpulan bahwa nilai kualitas hidup buruk pada remaja yang

memiliki dampak kehilangan single berbeda secara bermakna dengan remaja

yang memiliki dampak kehilangan multiple.

Berdasarkan penelitian Welch (2000), individu yang kehilangan lebih dari

satu fungsi tubuhnya, baik fisik, emosi, sosial atau kognitif akan

mempengaruhi kualitas hidup individu tersebut. Semakin banyak kehilangan

fungsi tubuh maka semakin buruk kualitas hidupnya. Menurut Renwick &

Brown (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup adalah

keadaan lingkungan dan personal. Lingkungan seperti perang, bencana, dan


57

kemiskinan dapat meberikan efek negatif terhadap kualitas hidup. Keadaan

personal yang berpengaruh terhadap kualitas hidup misalnya skill, kognitif,

penyakit, dan emosi. Akan tetapi, untuk faktor-faktor berupa stress atau

trauma akibat gempa (post traumatic stress disorder), tingkat ekonomi, dan

keberadaan penyakit yang menyertai responden belum dapat dikendalikan

oleh peneliti.

D. Gambaran Kualitas Hidup Responden Berdasarkan Parameter Kehilangan

Berikut merupakan gambaran kualitas hidup berdasarkan parameter

kehilangan karena gempa:

Tabel 6. Gambaran Kualitas Hidup Remaja 3 tahun Pasca Gempa di Kecamatan


Bambanglipuro dan Pundong Berdasarkan Parameter Kehilangan
karena Gempa, Maret 2009 (n=260)
Kualitas Hidup
Parameter
Baik Buruk
Kehilangan
Bambanglipuro Pundong Bambanglipuro Pundong
Cacat
Ya 0 11 8 3
Tidak 105 121 9 3
Kehilangan
Anggota Keluarga
Ya 5 11 5 4
Tidak 101 121 11 2
Rumah roboh
Ya 68 107 8 5
Tidak 38 25 8 1
Putus sekolah
Ya 6 0 4 4
Tidak 102 132 10 2
Sumber: data primer, 2009

Menurut tabel di atas, diketahui bahwa tidak terdapat responden dengan

kecacatan yang memiliki kualitas hidup baik di Kecamatan Bambanglipuro, yang

artinya semua responden dengan kecacatan di Kecamatan Bambanglipuro


58

memiliki kualitas hidup yang buruk. Perbandingan jumlah responden di

Kecamatan Pundong dengan kecacatan yang memiliki kualitas hidup baik dan

buruk adalah 2,7 : 1. Hal tersebut menggambarkan bahwa responden dengan

kecacatan di Kecamatan Pundong sebagian besar (78,6%) memiliki kualitas hidup

yang baik.

Pada tabel 7 di atas, perbandingan nilai kualitas hidup baik dan buruk dari

total responden yang mengalami kehilangan anggota keluarga di Kecamatan

Bambanglipuro adalah 1:1, sedangkan di Kecamatan Pundong adalah 2,75:1. Hal

tersebut menggambarkan bahwa responden yang mengalami kehilangan anggota

keluarga di Kecamatan Pundong sebagian besar memiliki kualitas hidup yang

baik.

Berdasarkan tabel 7, diketahui bahwa 4,5% responden di Kecamatan Pundong

yang kehilangan rumah (roboh) memiliki kualitas hidup buruk, sedangkan di

Kecamatan Bambanglipuro terdapat 11,8% responden yang kehilangan rumah

(roboh) memiliki kualitas hidup buruk. Hal tersebut menggambarkan responden

dengan rumah roboh yang memiliki kualitas hidup buruk di Kecamatan

Bambanglipuro jauh lebih besar dibandingkan yang ada di Kecamatan Pundong.

Pada parameter kehilangan berupa putus sekolah dapat diketahui bahwa tidak

terdapat responden di Kecamatan Pundong yang memiliki kualitas hidup baik

yang artinya 100% responden dengan putus sekolah memiliki kualitas hidup

buruk, seadangkan di Kecamatan Bambanglipuro hanya 40% responden yang

memiliki kualitas hidup yang buruk

Berikut tabel uji komparatif kualitas hidup berdasarkan parameter kehilangan:


59

Tabel 8. Perbedaan Kualitas hidup Remaja 3 tahun Pasca gempa di Kecamatan


Bambanglipuro dan Pundong Berdasarkan Parameter Kehilangan karena
Gempa, Maret 2009 (n=260)
Kualitas Hidup
Dampak Gempa p
Baik Buruk
Cacat
Ya 14 8
0,001
Tidak 226 12
Kehilangan anggota keluarga
Ya 18 7
0,001
Tidak 222 13
Rumah roboh
Ya 175 13
0,447
Tidak 65 7
Putus sekolah
Ya 8 8
0,001
Tidak 232 12
Sumber: data primer, 2009

1. Kecacatan

Pada parameter ini, peneliti telah melakukan uji komparasi menggunakan

uji Fisher karena tidak memenuhi syarat dilakukan uji Chi Square yaitu

terdapat 25% jumlah sel yang memiliki nilai expected kurang dari lima.

Berdasarkan tabel 9, pada parameter kehilangan karena gempa berupa

kecacatan, didapatkan nilai p = 0,001 sehingga nilai p < 0,05 yang artinya

terdapat perbedaan kualitas hidup antara responden yang mengalami cacat

karena gempa dan responden yang tidak mengalami cacat karena gempa.

Hasil tersebut sesuai pernyataan Joseph & Rao (1999) yang menyatakan

bahwa kecacatan akan membuat penderita mengalami keterbatasan dalam

beraktivitas sehingga kualitas hidupnya mengalami penurunan. Konstan cit.

Novita (2005) menandai bahwa keterbatasan fisik, pengurangan aktivitas

sehari-hari, dan ketidakmampuan bekerja yang ditimbulkan oleh suatu

penyakit atau kecacatan dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.


60

Penyakit fisik dapat mengancam tingkat kemandirian, kehidupan, konsep

diri, fungsi peran, sumber ekonomi, dan kesejahteraan seseorang yang

menimbulkan tekanan terus menerus yang tidak dapat teratasi sehingga

muncul gejala depresi (Miller, 1995). Menurut Novita (2005), semakin tinggi

depresi seseorang maka nilai kualitas hidupnya akan menurun.

Menurut Soejatiningsih (1995), gempa yang berdampak kecacatan pada

remaja akan mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan

dan mereka berkecenderungan untuk bersifat pasif. Remaja tidak dapat hidup

mandiri ditengah-tengah masyarakat. Remaja hidup di dalam sikap-sikap yang

negatif, penuh prasangka dan rendah diri. Banyak penderita cacat yang

menganggap bahwa keadaan cacat tersebut sebagai pagar tembok yang

merampas remaja dari kehidupan yang nyata pada masyarakat yang normal.

Sesuai dengan pendapat Soejatiningsih, Kusumawati (2008) menyatakan

bahwa bencana sering menyebabkan kecacatan pada korbannya. Kecacatan

akibat kecelakaan/ gempa, dapat bersifat menetap atau sementara dimana

mengakibatkan kondisi hilangnya atau ketidaknormalan psikologis, fisiologis

maupun struktur atau fungsi anatomik. Perasaan yang dirasakan penyandang

cacat (terutama pada anak-anak dan remaja), kecuali tunagrahita meliputi

malu, marah dan jengkel, tidak terima, tidak berdaya/ tidak berarti/ tidak

berguna, kecewa dan sedih, tidak punya harapan, bersalah dan munculnya

pertanyaan kenapa saya.

Keadaan seperti tersebut di atas mungkin dirasakan pula oleh remaja di

Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong yang memiliki kecacatan akibat


61

gempa. Menurut Joseph & Rao (1999), orang yang sehat secara umum

memiliki kualitas hidup yang lebih baik jika dibandingkan orang yang sakit

apalagi yang disertai dengan kecacatan.

Dipandang dari tahap perkembangan dan pertumbuhan responden yang

berada pada tahap remaja, menurut Hurlock (1990), remaja cenderung sangat

memperhatikan penampilan dirinya. Penampilan diri yang berbeda membuat

remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya

tarik fisik. Setiap kecacatan fisik pada remaja merupakan sumber yang

memalukan yang mengakibatkan munculnya perasaan rendah diri. Keadaan

tersebut dapat disebut gangguan fisik yang berdampak pada gangguan

psikologis yang kemudian dapat menurunkan kualitas hidupnya.

Sesuai pendapat Renwick & Brown (1996), berdasarkan teori kualitas

hidup yaitu being, kualitas hidup menekankan pada aspek dasar dari siapa

manusia sebagai individu. Physical being menekankan pada kesehatan fisik,

mobilitas fisik dan ketangkasan dalam melakukan kegiatan. Psychological

being meliputi perasaan dan kognitif seseorang serta evaluasi mengenai diri

mereka sendiri, berfokus pada kepercayaan diri, kontrol diri, koping

kecemasan dan sikap positif. Tidak sempurnanya physical being dan

psychological being dapat dikatakan kualitas hidupnya tidak mencapai pada

derajat yang sempurna.

2. Kehilangan Anggota Keluarga

Pada paremeter kehilangan anggota keluarga yang dimaksudkan adalah

responden kehilangan salah satu atau lebih anggota keluarganya. Dapat berupa
62

kehilangan orang tua, saudara kandung, atau saudara serumah lainnya (paman,

bibi, sepupu, kakek, nenek, dan lain-lain)

Pada parameter ini, peneliti telah melakukan uji komparasi menggunakan

uji Fisher karena tidak memenuhi syarat dilakukan uji Chi Square yaitu

terdapat 25% jumlah sel yang memiliki nilai expected kurang dari lima.

Berdasarkan tabel 9, pada parameter kehilangan karena gempa berupa

kehilangan anggota keluarga, didapatkan nilai p = 0,001 sehingga nilai p <

0,05. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan

nilai kualitas hidup antara remaja yang mengalami kehilangan anggota

keluarga dengan yang tidak mengalami kehilangan anggota keluarga.

Menurut Takada & Nakamura (1999), berduka adalah salah satu reaksi

psikologis yang dialami seseorang yang mempunyai pengalaman kehilangan

saat bencana. Perubahan yang berhubungan dengan obyek yang mereka

sayangi mempunyai dampak langsung pada anak dan remaja. Mereka

megalami proses koping dengan distress psikologis karena kehilangan salah

satu obyek kesayangan sebelumnya, dimana dalam waktu yang sama harus

menyesuaikan pada kenyataan baru dan peran baru setelah ditinggalkan oleh

obyek yang disayanginya, misalnya salah satu anggota keluarganya. Menurut

Skeet (1977), efek yang lebih buruk yang dialami anak dan remaja karena

bencana terjadi ketika mereka kehilangan orang tua mereka.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan tahap perkembangan remaja

menurut Hurlock (1990), masa remaja merupakan awal terbentuknya

kemandirian. Usaha untuk mandiri secara emosional dari orang tua dan orang-
63

orang dewasa lain merupakan tugas perkembangan yang mudah bagi remaja.

Akan tetapi, kemandirian emosi tidaklah sama dengan kemandirian perilaku.

Banyak remaja yang ingin mandiri, juga ingin dan membutuhkan rasa aman

yang diperoleh dari keteregantungan emosi pada orang tua atau orang-orang

dewasa lain. Hal ini terutama menonjol pada remaja yang statusnya dalam

kelompok sebaya tidak meyakinkan atau yang kurang memiliki hubungan

yang akrab dengan anggota kelompok/ teman, (Hurlock1990).

3. Putus Sekolah

Keadaan putus sekolah pasca gempa sebagian besar terjadi ketika akan

melanjutkan ke SMU atau sedang beradada di bangku SMU. Beberapa

responden mengaku merasa keberatan dengan biaya sekolah. Hal ini

disebabkan pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah hanya

berlaku sampai tingkan SLTP, sedangkan tingkat SMA menggunakan biaya

pribadi. Alasan ekonomi menjadi alasan terbanyak yang diakui responden.

Responden mengaku keadaan ekonomi menjadi lebih sulit setelah terjadi

gempa terlebih pada responden yang kehilangan salah satu atau kedua orang

tuanya. Responden memilih berhenti sekolah agar dapat bekerja sehingga

dapat membantu perekonomian keluarga.

Pada parameter ini, peneliti telah melakukan uji komparasi menggunakan

uji Fisher karena tidak memenuhi syarat dilakukan uji Chi Square yaitu

terdapat 25% jumlah sel yang memiliki nilai expected kurang dari lima.

Berdasarkan tabel 9 pada parameter kehilangan karena gempa berupa putus

sekolah didapatkan nilai p = 0,001 sehingga nilai p < 0,05 yang artinya
64

terdapat perbedaan nilai kualitas hidup antara remaja yang mengalami putus

sekolah dan remaja yang tidak mengalami putus sekolah. Hasil penelitian

tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Welch (2000) yang

menyatakan bahwa remaja yang mengalami putus sekolah karena suatu

keadaan yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolahnya,

mempunyai kualitas hidup yang buruk.

Menurut Hurlock (1990), pada umumnya remaja menaruh minat terhadap

pendidikan sebagai salah satu bentuk persamaan sosial dengan teman sebaya

yang berorientasi pada sekolah. Lebih jauh lagi, remaja memandang

pendidikan sebagai batu loncatan untuk masa depannya. Kegagalan

pencapaian pendidikan pada masa remaja dapat menggambarkan kekalahan

dari temannnya.

Remaja yang putus sekolah secara tidak langsung terjadi perubahan dalam

perilaku sosialnya (teman-temannya). Bertambah dan berkurangnya prasangka

dan diskriminasi selama masa remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan

dimana remaja berada dan oleh sikap serta perilaku rekan-rekan dan teman-

teman baiknya. Remaja, sebagai kelompok, cenderung lebih pemilih-milih

dalam memilih rekan dan teman-teman baiknya. Oleh karena itu, remaja yang

tidak memiliki kesaman cenderung kurang disenangi dan didiskriminasikan

dalam pergaulan (Hurlock, 1990).

Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Anverson & Burckh

(1999), remaja yang mengalami putus sekolah akan kehilangan komunitas

sosialnya (teman-teman). Hal ini berdampak pada sikap remaja yang merasa
65

berbeda dengan teman-temannya, merasa putus asa akan masa depannya dan

remaja tersebut tidak mampu menampilkan peran sosialnya. Remaja korban

putus sekolah umumnya menjadi sering menyendiri dan malu untuk bergaul

dengan teman-teman yang lain. Keadaan seperti inilah yang mungkin

mempengaruhi kualitas hidup responden. Sesuai dengan teori community

belonging yang merupakan salah satu dimensi kualitas hidup yang

dikemukankan oleh Renwick & Brown (1996), bahwa community belonging

terdiri dari hubungan yang dipunyai seseorang dengan sumber yang ada

termasuk informasi dan akses terhadap pendapatan, pekerjaan, pendidikan dan

rekreasi, pelayanan sosial dan kesehatan, serta kegiatan di masyarakat.

4. Rumah Roboh

Pada parameter ini, peneliti telah melakukan uji komparasi menggunakan

uji Chi Square dan didapatkan nilai p = 0, 447 sehingga nilai tersebut > 0,05.

Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan

nilai kualitas hidup berdasarkan parameter kehilangan rumah (rumah roboh).

Hasil penelitian tersebut sesuai pernyataan yang dikemukakan oleh Taylor

(1995), seseorang yang tinggal dalam situasi lingkungan yang tertekan akan

memiliki kualitas hidup yang rendah, tetapi apabila orang tersebut mampu

mengontrol situasi tersebut maka kualitas hidupnya akan mengalami

peningkatan. Hal ini mungkin dikarenakan pembangunan rumah yang semula

roboh tidak dirasakan membebani remaja dengan adanya bantuan finansial

dari pemerintah.
66

Menurut Buwono X et. al. (2006), pemerintah bertanggung jawab

memberi bantuan finansial pembangun rumah sebesar Rp 15.000.000,00 untuk

masing-masing keluarga yang rumahnya roboh atau rusak berat akibat gempa

dan ditargetkan satu tahun setelah gempa pembangunan tersebut sudah selesai,

sehingga aktifitas kehidupan masyarakat Bantul tidak terganggu. Menurut Wu

HC et. al. (2006), masalah ekonomi yang berkepanjangan adalah salah satu

faktor penting yang mempengaruhi kualitas hidup korban selamat pasca

gempa, dengan menolong perekonomian mereka secara tidak lansung ikut

meningkatkan kualitas hidupnya.

Pemerintah juga telah bekerjasama dengan pihak luar negeri untuk

pengadaan tenda (sebagai rumah sementara) yang berkualitas dan ditargetkan

masing-masing keluarga mendapatkan satu tenda. Hal ini ditujukan agar

masyarakat Bantul tetap merasa nyaman walaupun bertempat tinggal di dalam

tenda (Buwono X et. al., 2006).

Akan tetapi kondisi tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang

dikemukakan oleh Katada et. al. (2004) yang menyatakan bahwa kualitas

hidup yang muncul sebagai gambaran reaksi anak dan remaja terhadap

bencana juga dipengaruhi oleh perubahan keadaan sekitarnya, termasuk

kebiasaan di dalam kehidupan sehari-hari mereka, yaitu di rumah tempat

mereka tinggal. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Sunaryo (2004)

yang menyatakan bahwa rumah tempat tinggal merupakan lingkungan tempat

tinggal bagi anak dan remaja sekaligus tempat yang mempengaruhi

perkembangan dan perilaku individu tersebut. Perilaku seseorang dapat


67

dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah lingkungan.

Lingkungan sangat berpengaruh karena lingkungan merupakan lahan untuk

perkembangan perilaku. Salah satu bentuk lingkungan yang dimaksud adalah

lingkungan fisik berupa rumah tempat tinggal.

Menurut Kepala Camat baik di Kecamatan Bambanglipuro maupun

Kecamatan Pundong, pembangunan dan renovasi rumah hampir semuanya

telah selesai, sehingga hampir semua penduduk di kecamatan tersebut sudah

tidak menggunakan tenda atau rumah sementara sebagai tempat tinggalnya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa sebagian besar rumah-rumah penduduk di

Kecamatan Bambanglipuro maupun Kecamatan Pundong jauh lebih bagus

apabila dibandingkan dengan rumah sebelum gempa. Rumah yang semula

berdinding tidak permanen (gedeg) kemudian roboh karena gempa, sekarang

telah dibangun menjadi dinding permanen dari semen dan batu-bata.


68

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pada penelitian ini, dari 260 sampel remaja di Kecamatan Bambanglipuro dan

Pundong diperoleh kesimpulan bahwa sebagian besar responden memiliki kualitas

hidup baik pada 3 tahun pasca gempa. Terdapat perbedaan nilai kualitas hidup

pada remaja 3 tahun pasca pasca gempa di Kecamatan Bambanglipuro dan

Pundong yang mengalami dampak kehilangan karena gempa berupa kecacatan,

kehilangan anggota keluarga, dan putus sekolah.

B.Saran

1. Bagi Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong

Perlu dilakukan rekapitulasi ulang data korban selamat pasca gemoa

khususnya remaja yang mengalami kecacatan, kehilangan orang tua, dan putus

sekolah. Hal ini bertujuan agar didapatkan data akurat yang dapat digunakan

sebagai rujukan ke dinas/ lembaga terkait untuk melakukan follow up.

2. Bagi Dinas Sosial

Perlu dilakukan pelatihan ketrampilan atau penyaluran tenaga kerja untuk

remaja pasca gempa yang mengalami kecacatan atau putus sekolah sehingga

remaja tersebut dapat hidup mandiri di tengah-tengah masyarakat.

3. Bagi Dinas Pendidikan

Perlu diberikan beasiswa atau subsidi pendidikan bagi remaja pasca gempa

sehingga tidak menambah daftar remaja pasca gempa yang terputus


69

pendidikannya. Selain hal tersebut, perlu dibuka rogram pendidikan Kejar

Paket bagi remaja putus sekolah.

4. Bagi praktisi

a. Perawat

Perawat lebih meningkatkan pemberian asuhan keperawatan pada

remaja pasca gempa, terutama yang mengalami kecacatan, kehilangan

anggota keluarga, dan putus sekolah sehingga mereka mampu menjalani

kehidupan sehari-hari tanpa terbebani dengan keadaannya.

b. Departemen Kesehatan

Perlu dikembangkan program peningkatan kualitas hidup pada remaja

pasca gempa, terutama yang mengalami kecacatan, kehilangan anggota

keluarga, dan putus sekolah.

5. Bagi institusi pendidikan

Perlu dikembangkan instrumen kualitas hidup yang mengukur secara

spesifik kualitas hidup pada remaja pasca gempa dan dikaji faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup.

6. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diperlukan penelitian lanjutan dengan metode, desain penelitian, dan

variabel yang berbeda. Peneliti selanjutnya diharapkan mempertimbangkan

faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup, antara lain: stress

(misalnya: PTSD), keadaan sosial ekonomi, tahap perkembangan (misalnya

anak-anak, remaja, dewasa).


70

DAFTAR PUSTAKA

Anverson & Burckh. 1999. Conceptualization for adult health care intervention
and research. Journal of Advanced Nursing. 16 (1): 56

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

Armis. 2007. Kedokeran Disaster. Majalah Kedokteran Indonesia. 57 (6).

Azwar, S. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Buwono X, S.S.H., Pramumijoyo, S., Sunarto, Setiawan, B., Koentjoro, Sutaryo,


Dwiyanto, A. 2006. Refleksi Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006. Yogyakarta:
Lembaga Peneliti dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM.

Carlson, D., Plummer, C., Mc Geary, D. 2004. Physical Geologi Earth Revealed.
New York: Mc Graw-Hill.

Ceyhan, E. & Ceyhan, AA. 2007, Earthquake Survivor’ Quality of Life and
Academic Achivement Six Years After the Earthquakes in Marmara,
Turkey. Pubmed. J. 31 (4): 516-29.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pedoman Pelaksanaan


Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. Jakarta:
Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat.

Departemen Psikiatri FK UGM DR Sardjito Yogyakarta Bekerjasama dengan


Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FK UI
Jakarta. 2006. Anak Pasca Bencana. Yogyakarta.

Depsos RI. 2006. Data Korban Gempa per 29 Mei 2006. Available on the internet
at http://www.bp.depsos.go.id.

Desmita, 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Dowels, I. M. & Newell, C., 1996. Measuring Health. Edisi ke-2. Oxford: Oxford
University Press.

Hananda, M. 1997. The Mental Health of Children in the Aftermath of Disaster.


Asian Med. J. 40 (1): 41-45.

Hurlock, E. B. 1990. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
71

Jelliffe, Wpt. 1970. Child Health in Tropic. London: Edward Arnold.

Joseph, A. & Rao, S. 1999. Impact of Leparosy on the Quality of Life. Bulletin of
the World Health Organization. 77 (6).

Kartono, K. 2006. Psikologi Wanita: mengenal Gadis Remaja dan Wanita


Dewasa. Bandung: Mandar Maju.

Katada, N., Katsuta, H., Kosako, Y., Miyake, K., Okada, K. 2004. Children Who
Are Living in A Disaster Area -What Nurses Can Do-. Hyogo: College of
Nursing Art Science.

Koentjoro. 2006. Penanganan Korban Pasca Gempa: Refleksi Gempa Yogyakarta


27 Mei 2006. Yogyakarta: Lembaga Peneliti dan Pengabdian kepada
Masyarakat UGM.

Kusumawati, L. 2008. Hambatan Sikap dan Stigma Penyandang Cacat.


Yogyakarta: Persatuan Penyandang Cacat Indonesia.

Miler, C. A. 1995. Nursing Care of Older Adults: Theoru and Practice 2nd ed.
Pennsylvania: Lippincott.

Murti, B. 1996. Kualitas Hidup, Isu Konseptual dan Pengukuran. Medika. 6 (18):
473-476.

Nasution. 1999. Cooperative learning. Singapore: One Publication.

Notoatmojo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Novita, T. 2005. Hubungan Depresi dengan Kualitas Hidup Penderita Gagal


Jantung di RS DR Sardjito Yogyakarta. PSIK FK UGM: Skripsi.

Purnomo, N. 1998. Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Wanita Lansia.


Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Rapley, M. 2003. Quality of Life Research. London: Sage Publications Ltd.

Reaburn, J.M. & Rootman, I. 1996. Quality of Life and Health Promotion. USA:
Sage Publication: 20-21.

Renwick, R. & Brown, I. 1996. The centre for health promotion s Conceptual
Approaches to Quality of Life: Being, Belonging, and Becoming. In. Quality
of Life in health Promotion and Rehabilitation. USA: Sage Publication.
72

Rukiah. 2006. Gambaran Kebutuhan Psikososial Orang Tua Dengan Anak Balita
yang dirawat di Ruang PICU RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. PSIK FK
UGM: Skripsi.

Sieberer, R. & Bullinger. 2000. Health Related Quality of Life for Children and
Adolencents Available on the internet at http://www.kidscreen.org.

Skeet, M. 1977. Manual for Disaster Relief Work. Eidinburg London & New
York : Churchil Livingstone.

Soejatiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Soemanto, W., 1998. Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.

Subbid Pemberitaan BID. 2008. Kerusakan Akibat Gempa di Kabupaten bantul


Available on the internet at http:// www.bantulkab.go.id.

Sub Bidang Kependudukan Kecamatan Bambanglipuro. 2007. Data Penduduk


Kecamatan Bambanglipuro. Bantul.

Sub Bidang Kependudukan Kecamatan Bambanglipuro. 2009. Data Penduduk


Kecamatan Bambanglipuro. Bantul.

Sub Bidang Kependudukan Kecamatan Pundong. 2007. Data Penduduk


Kecamatan Pundong. Bantul.

Sub Bidang Kependudukan Kecamatan Pundong. 2009. Data Penduduk


Kecamatan Pundong. Bantul.

Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

Sutanto, L. 2004. Efek Trauma Gempa dan Tsunami. Available on the internet at:
http://www.kompascybermedia.co.id/Kesehatan.htm.

Taher, A. 2004. Peran Penilaian Kualitas Hidup dalam Penatalaksanaan Disfungsi


Ereksi. Medika. 1 (XXX): 63-64.

Takada, S., Nakamura, H.1999. Supporting Families with Small Children in


Disaster Situation. Japan: Departement of Pediatrics Kobe Univercity.

Tan HZ, Luo YJ, Won SW, Liu AZ, Li SQ, Yang TB, Sun ZQ. 2004. The Effect
of a Disastrous Flood on the Quality of Life in Dongting Lake Area in China
[abstract]. Pubmed. J. 16 (2): 126-32.
73

Taylor, E. S. 1995. Health Psicology (3rd nd). Singapore: Mc. Grow-Hill.

Tsai KY, Chou P, Chou FH, Su TT, Lin SC, Lu MK, Ou-Yang WC, Su CY, Chao
SS, Huang MW, Wu HC, Sun WJ, Su SF, Chen MC. 2007. Three-Years
Follow-Up Study of the Relationship between Posttraumatic Stress
Symptom And Quality of Life Among Earthquake Survivors in Yu_Chi,
Taiwan [abstract]. Pubmed. J. 41 (1-2): 90-6.

Welch, L. S. (2000). Quality of Life. Available on the internet at


http://www.chcr.brown.edu/pcoc/Quality.htm.

Wu HC, Sun WJ, Su SF, Chen MC. 2006. Survey of Quality of Life and Related
Risk Factors for a Taiwanese Village Population 3 years Post-earthquake.
Medline. 26 (4): 203-12.

WHO. 2009. Environmental and Disaster. Available on the internet at:


http://www.who.com.

Yamazaki, K. 2000. Disaster and the Mental Health of Children. Asian Med. J. 43
(1): 39-49.

Yusuf, S. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.
74

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Lili Apriliani Putri

NIM : 05/187177/KU/11452

adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, UGM

yang akan melakukan penelitian berjudul : Kualitas Hidup Pada Remaja Pasca

Gempa di Kecamatan Bambanglipuro dan Pundong, Kabupaten Bantul,

Yogyakarta. Dengan ini saya mengharapkan kesediaan Anda untuk turut

berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menandatangani lembar persetujuan

dan mengisi pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner.

Setiap pertanyaan yang Anda berikan tidak ada yang salah sepanjang

mencerminkan keadaan Anda yang sebenarnya. Jawaban yang Anda berikan

dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

Demikian permohonan ini saya sampaikan, atas perhatiaan dan partisipasinya,

saya ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 2009

Lili Apriliani Putri

(Peneliti)
75

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN SEBAGAI RESPONDEN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : ____________________________

Umur : ____________________________

Alamat : ____________________________

Setelah mendapat keterangan sepenuhnya dan menyadari tujuan serta

manfaatnya mengenai penelitian yang berjudul “KUALITAS HIDUP PADA

REMAJA PASCA GEMPA DI KECAMATAN BAMBANGLIPURO DAN

PUNDONG, KABUPATEN BANTUL, YOGYAKARTA”, maka Saya dengan

sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian tersebut.

Bantul, …………………..

Yang menyatakan

Responden,

( )
76

DATA RESPONDEN

Petunjuk pengisian:

Isilah titik-titik di bawah ini dan pilihlah salah satu pernyataan yang sesuai dengan

Anda dengan memberi tanda (√ ) pada kotak yang tersedia.

Nama : ……………………………………………………..

Alamat Rumah : ……………………………………………………..

Jenis Kelamin : laki-laki perempuan

Tanggal Lahir : …….................................... Usia: ........................th

Tingkat pendidikan terakhir : SD SLTP SMU

Tidak sekolah

lain-lain (diisi sendiri)...........................

Pengalaman gempa : Boleh memilih lebih dari satu jawaban.

Terluka/ cacat

Kehilangan salah satu anggota keluarga

Tempat tinggal (rumah) roboh

Putus sekolah

Lain-lain (diisi sendiri)………………………….


77

KUESIONER KUALITAS HIDUP

PETUNJUK PENGISIAN

Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang mungkin menjadi masalah untuk Anda

setelah gempa. Seberapa besar masing-masing masalah berikut untuk Anda?

Mohon menjawab pertanyaan dengan memberi tanda (√ ). Tidak ada jawaban

benar dan salah. Apabila Anda tidak mengerti pertanyaannya, silahkan bertanya

untuk meminta bantuan.

Tidak Kadang-
PERTANYAAN Jarang Sering Selalu
Pernah Kadang
1. Setelah gempa, apakah Anda mudah
sakit?
2. Setelah gempa, apakah Anda sering
mengeluh nyeri (nyeri kepala/ nyeri pada
luka/ nyeri perut, dll)?
3. Apakah Anda merasa sulit untuk tidur
jika membayangkan peristiwa gempa?
4. Apakah Anda merasa sedih jika teringat
peristiwa gempa?
5. Apakah Anda merasa takut jika tiba-tiba
terjadi gempa lagi?
6. Akibat gempa, apakah Anda khawatir
dengan masa depan anda?
7. Apakah Anda merasa marah karena
peristiwa gempa yang menimpa anda?
8. Setelah gempa, apakah Anda merasa
kesepian?
9. Apakah Anda takut jika jauh dengan
orang tua?
10. Setelah gempa apakah Anda merasa
bahagia?
11. Apakah Anda menjadi tidak percaya diri
setelah peristiwa gempa?
12. Setelah gempa, apakah Anda ditemani
orang tua Anda jika akan berpergian?
78

13. Setelah peristiwa gempa, apakah Anda


mudah bertengkar dengan orang tua
anda?
14. Setelah peristiwa gempa, apakah Anda
merasa puas dengan uang jajan Anda?
15. Setelah peristiwa gempa, apakah Anda
mempunyai tabungan sendiri?
16. Setelah peristiwa gempa, apakah Anda
memiliki uang untuk membeli sesuatu
yang teman Anda bisa membelinya?
17. Setelah peristiwa gempa, apakah Anda
hanya diperbolehkan bermain di dalam
rumah?
18. Apakah Anda dapat melakukan aktivitas
(seperti mandi, makan, pakai baju) secara
mandiri?
19. Apakah Anda bermain bersama teman-
teman anda?
20. Apakah Anda merasa berbeda dengan
teman-teman yang lain?
21. Apakah Anda melakukan kegiatan
bersama-sama teman Anda (seperti
belajar kelompok/ belanja/ bercerita, dll)?
22. Apakah teman-teman Anda tidak
menginginkan Anda untuk menjadi
temannya?
23. Apakah Anda merasa takut dengan teman
Anda?
24. Apakah teman-teman Anda mengejek
Anda karena peristiwa gempa?
25. Dengan kondisi rumah setelah gempa,
apakah Anda kesusahan mengerjakan
pekerjaan rumah (PR)?
26. Dengan kondisi sekolah Anda setelah
gempa, apakah Anda sulit memahami
pelajaran di kelas?
27. Apakah Anda absen sekolah karena tidak
merasa sehat?

You might also like