Dalam upaya revitalisasi kebijakan mendukung diversifikasi pangan dan transformasi
pertanian jangka panjang dijumpai keterkaitan yang sangat erat antara kebijakan dan dasar hukum yang diterbitkan oleh berbagai kelembagaan terkait upaya peningkatan ketahanan pangan nasional, khususnya dalam tubuh internal Kementerian Pertanian, dengan implementasi yang bersifat teknis di lapangan.Keterkaitan tersebut mencakup keterkaitan secara politis dan secara teknis implementatif.Salah satu target yang dicanangkan pemerintah dan sangat bermakna dalam kaitannya dengan penyusunan kebijakan revitalisasi pertanian adalah target pencapaian sasaran diversifikasi produksi dan konsumsi komoditas pertanian.Amanah undang-undang yang sangat bersifat politis sebagai payung pengembangan kebijakan, harus diimplementasikan dengan cara yang sebaik-baiknya, terutama yang berkaitan dengan implementasi program dan kegiatan yang memerlukan dukungan teknis yang didukung strategi implementasi terapan sesuai dengan kondisi setempat. Kebijakan diversifikasi konsumsi pangan utama selain beras pada akhirnya akan bermuara pada kondisi swa-sembada beras yang selama ini selalu diposisikan sebagai pendorong utama dalam meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Dalam kondisi demikian, upaya diversifikasi komoditas dapat meningkatkan posisi dan daya saing komoditas pertanian dengan penyediaan berbagai sumber pangan selain beras. Dalam jangka menengah, strategi diversifikasi ini mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga tani yang berimplikasi pada peningkatan kemandirian pangan, daya beli petani dan masyarakat pedesaan. Kebijakan diversifikasi komoditas pada hakekatnya adalah kebijakan yang berseberangan dengan kebijakan yang terlalu berpihak kepada komoditas beras. Kebijakan yang bias terhadap padi akan mendorong dan meningkatkan penerapan sistem usaha tani padi monokultur. Konsekuensi sistem monokultur padi antara lain adalah menurunkan peran komoditas pangan lain yang sebenarnya memiliki posisi dan status tidak berbeda dengan beras, dan dapat juga menurunkan daya saing komoditas pertanian secara keseluruhan. Konsep diversifikasi dalam kaitannya dengan sistem produksi pangan guna mendukung ketahanan dan kemandirian pangan nasional mencakup aspek yang luas. Upaya diversifikasi komoditas, dalam hal ini meningkatkan keragaman produksi dari komoditas pangan pokok (padi) ke berbagai komoditas pangan, merupakan suatu upaya yang sangat strategis dan mencakup aspek-aspek teknis dan teknologi, sosial- budaya, ekonomi, dan politis. Upaya diversifikasi kegiatan produksi komoditas tanaman pangan dan diversifikasi pangan secara lebih intensif telah dilaksanakan sejak beberapa dekade yang lalu. Upaya diversifikasi, baik diversifikasi usaha, maupun diversifikasi pangan, diterapkan untuk mengurangi resiko usaha dan resiko kekurangan pangan. Pada beberapa kelompok masyarakat, diversifikasi usaha pertanian merupakan kearifan lokal yang telah dilakukan sejak beberapa abad. Pada masa itu, peluang kegagalan bercocok tanam jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi masa ini. Kondisi demikian berdampak sangat besar terhadap pola konsumsi keluarga. Dengan pertimbangan tersebut, diversifikasi pangan dalam bentuk penyesuaian poia konsumsi berkembang di berbagai komunitas petani dan masyarakat pedesaan. Diversifikasi horizontal yang diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia yang mampu meningkatkan pendapatan keluarga tani sangat erat kaitannya dengan kondisi ekosistem lokal dimana keluarga tani melaksanakan kegiatannya. Teknik-teknik budidaya tumpang sari, tanaman sela di lahan perkebunan, surjan, dan Iain-lain, pada umumnya disesuaikan dengan peluang pemasaran produk yang dihasilkan. Dalam kondisi ini, selain pertimbangan ekonomi dan teknis, diperlukan pula dukungan kebijakan dari pemerintah daerah setempat. Dengan demikian, pilihan atas komoditas yang akan dikembangkan dalam sistem usaha tani diversifikasi wilayah harus memperhatikan minat dan tujuan pembangunan wilayah otonom setempat. Sejarah pembangunan pertanian nasional mencatat bahwa program diversifikasi pangan, termasuk program diversifikasi usaha tani, secara politis telah diawali sejak dekade 1960-an ketika program pembangunan limatahun (Pelita-1) dicanangkan. Dekade 2001-2010 menempatkan program diversifikasi secara politis dalam rencana strategis KemeNterian Pertanian. Upaya diversifikasi pangan saat ini dikembangkan sebagai suatu program berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 68/2002 yang mengamanatkan penganekaragaman pangan tanpa mengabaikan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Lebih jauh lagi Perpres No. 22/2009 mengamanatkan percepatan pelaksanaan diversifikasi pangan terkait dengan aspek konsumsi. Operasionalisasi dari Perpres tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT. 140/10/2009 tentang gerakan percepatan penganeka-ragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Dalam ranah operasional, alasan penganekaragaman pangan dan konsumsi pangan antara lain adalah peningkatan konsumsi beras yang disebabkan oleh peningkatan populasi dan tingkat konsumsi yang tinggi, fluktuasi produksi komoditas pangan yang disebabkan oleh perubahan iklim, kebijakan yang tidak mendukung (antara lain kebijakan Raskin), dan pemanfaatan sumber pangan lokal masih sangat rendah. Pengembangan diversifikasi membutuhkan pendekatan simultan implementasi kebijakan pemerintah sebagai dorongan politis (political will), infrastruktur fisik dan kelembagaan petani serta stakeholder pembangunan pertanian lainnya, partisipasi stakeholder pembangunan, dan inovasi teknologi yang sesuai dengan kondisi tekno-sosio-ekonomi spesifik lokasi. Keempat prakondisi ini merupakan faktor kunci keberhasilan program revitalisasi dan diversifikasi pangan nasional. Pergeseran konsumsi beras ke pangan non-beras diharapkan mampu mendorong daya serap pasar terhadap produksi pangan non-beras, yang selanjutnya akan meningkatkan minat petani untuk mengembangkan komoditas pangan non-beras, khususnya pangan lokal.