You are on page 1of 15

ACARA II

KADAR AMILOSA BERAS

A. TUJUAN
Praktikum Acara II “Kadar Amilosa Beras” bertujuan untuk :
1. Mahasiswa mampu membuat kurva standart amilosa.
2. Mahasiswa mampu mempraktekan dan menentukan kadar amilosa.

B. TINJAUAN PUSTAKA
Ubi (Dioscore alata) termasuk family Dioscoreacees dan genus
Dioscorea. Ubi merupakan tumbuhan merambat yang menghasilkan umbi yang
dapat dimakan dengan bentuk yang bervariasi. Ubi merupakan makanan pokok
yang penting bagi jutaan orang di daerah tropis dan subtropis. Diantara jenis-
jenis ubi terdapat 3 jenis utama yaitu Dioscorea alata, Dioscorea cayenensis
and Dioscorea rotundata. D. alata mempunyai karakteristik akar berbentuk
kotak dengan umbi berbagai bentuk. Sedangkan D. cayenensis mempunyai
karakteristik umbi berwarma kuning dan D. rotundata mempunyai
karakteristik umbi berwarma putih (Emy, 2015).
Ubi jalar merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang dapat
tumbuh dan berkembang di seluruh Indonesia. Kandungan gizi ubi jalar relatif
baik, khususnya sebagai sumber karbohidrat, vitamin dan mineral. Pengolahan
ubi jalar menjadi tepung merupakan salah satu cara pengawetan dan
penghematan ruang penyimpanan. Dalam bentuk tepung ubi jalar lebih
fleksibel untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan maupun non
pangan. Tepung ubi jalar yang merupakan bahan baku industri setengah jadi
dan mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri
pangan yang fungsinya dapat mensubstitusi tepung terigu. Tepung ubi jalar
dapat diproduksi dari berbagai jenis ubi jalar dan akan menghasilkan mutu
produk yang beragam. Salah satu jenis ubi jalar yang sangat terkenal adalah ubi
jalar oranye. Ubi ini memiliki warna oranye muda hingga oranye tua. Warna
kuning atau oranye pada ubi jalar disebabkan oleh adanya senyawa betakaroten

21
yang berfungsi sebagai provitamin A. Ubi jalar oranye mengandung gula yang
tinggi. Daging umbi ubi jalar oranye setelah dimasak memiliki tipe daging
umbi padat, kesat, dan bertekstur pangan baik. Ubi jalar oranye memiliki
kandungan vamin C dan vitamin B juga mengandung betakaroten yang tinggi
dibandingkan ubi jalar putih (Claudia, 2015).
Ubi jalar secara umum berasal dari Selandia Baru, Polinesia, dan
Amerika Tengah. Ubi jalar termasuk tanaman tropis-subtropis dengan daerah
persebaran 30 oLU sampai 30 oLS. Daerah ini meliputi lingkup Indonesia yang
terletak pada 6 oLU sampai 11 oLS, sehingga ubi jalar cocok tumbuh di
Indonesia. Selain itu, kondisi iklim di Indonesia sesuai untuk pertumbuhan ubi
jalar, yaitu curah hujan tinggi (750-1,500 mm/tahun), sinar matahari 11-12
jam/hari, dan kelembaban udara (RH) 50-60% (Rukmana, 1997).
Ubi jalar ungu mengandung vitamin (A, B1, B2, C, dan E), mineral
(kalsium, kalium, magnesium, tembaga, dan seng), serat pangan, serta
karbohidrat bukan serat (Suda, 2003). Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat
dan sumber kalori yang cukup tinggi. Total kandungan antosianin ubi jalar
varietas Ayamurasaki bervariasi pada setiap tanaman, yaitu berkisar antara 20
mg/100 g sampai 924 mg/100 g berat basah (Widjanarko, 2008). Pigmennya
lebih stabil bila dibandingkan antosianin dari sumber lain, seperti kubis merah,
elderberi, bluberi, dan jagung merah (Kano, 2005). Kandungan nutrisi ubi jalar
ungu juga lebih tinggi bila dibandingkan ubi jalar varietas lain, terutama
kandungan lisin, Cu, Mg, K, Zn yang berjumlah rata-rata 20%
(Widjanarko, 2008).
Kandungan air yang tinggi pada ubi jalar dapat dikurangi dengan
mengubahnya menjadi bentuk tepung. Selain mudah dalam proses
penyimpanan, bentuk tepung mempunyai umur simpan yang panjang. Tepung
ubi jalar diperoleh dengan melakukan pembersihan, pengecilan ukuran,
pengeringan, penggilingan, dan pengayakan. Hal (2000) menerangkan berbagai
perlakuan tambahan yang dapat diterapkan dalam pembuatan tepung ubi jalar.
Ubi jalar ditimbang, disortir, dicuci, dan dibersihkan kulitnya. Umbi yang telah
dikupas tersebut diiris dengan ketebalan tertentu atau disawut, lalu direndam

22
dalam larutan pemutih (bleaching), dan dipres untuk menghilangkan kelebihan
air. Perlakuan selanjutnya adalah penataan umbi pada baki dan selanjutnya
dikeringkan. Umbi yang telah kering digiling dan diayak. Kandungan air ubi
jalar yang tinggi menghasilkan rendemen penepungan yang kecil. Woolfe
(1992) yang diacu dalam Hal (2000) menyebutkan rendemen penepungan ubi
jalar di Filipina yaitu 12%-37%.
Jagung merupakan nama umum yang digunakan di Amerika Serikat
untuk menyebut keluarga rumput (Gramineae) dikenal ahli botani sebagai Zea
mays L. Jagung sudah menjadi makanan pokok dalam beberapa generasi besar
di daerah Asia, Utara dan Selatan dari Amerika Asli, pati jagung dapat
digunakan untuk mengentalkan produk makanan seperti saus, puding, dan isian
pie. Apalagi tepung jagung dapat digunakan dalam produk makanan seperti
sup, rebusan dan cabai yang memungkinkan produk dapat diperbaiki
konsistensinya. Pati jagung juga digunakan dalam aplikasi makanan, pati
jagung juga mempunyai fungsional yang menguntungkan dan mampu
meningkatkan sifat makanan (Uthumporn, 2016).
Jagung memiliki kandungan gizi yang cukup baik, sebagai sesama
serelia kandungan karbohidrat pada jagung tidak berbeda dengan padi. Selain
sebagai sumber karbohidrat, jagung juga merupakan sumber protein yang
penting dalam menu masyarakat Indonesia. Kandungan gizi utama jagung
adalah pati (72-73%), dengan nisbah amilosa dan amilopektin 25-30% : 70-
75%, namun pada jagung pulut (waxy maize) 0-7% : 93- 100%. Kadar gula
sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3%.
Protein jagung (8-11%) terdiri atas lima fraksi, yaitu: albumin, globulin,
prolamin, glutelin, dan nitrogen nonprotein (Darmajana, 2010).
Tepung maizena (tepung jagung) memiliki karakter yang berbeda
dengan tepung terigu. Tepung maizena bisa larut dalam air, tetapi kurang
mampu menahan air. Tepung beras merupakan salah satu pengganti tepung
maizena yang membantu memberi tekstur mudah digigit dan renyah. Tekstur
tepung maizena goreng cenderung lebih renyah dan mudah patah saat digigit.

23
Namun pemakaian tepung maizena yang berlebihan akan membuat gorengan
terasa keras (Yuyun, 2007).
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa, dan terdiri
atas amilosa dan amilopektin. Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbi-
umbian, sayuran, mau-pun buah-buahan. Sumber alami pati antara lain adalah
jagung, labu, kentang, ubi jalar, pisang, barley, gandul, beras, sagu, amaranth,
ubi kayu, ganyong, dan sorgum. Pemanfaatan pati asli masih sangat terbatas
karena sifat fisik dan kimianya kurang sesuai untuk digunakan secara luas.
Oleh karena itu, pati akan meningkat nilai ekonominya jika dimodifikasi sifat-
sifatnya melalui perlakuan fisik, kimia, atau kombinasi keduanya
(Herawati, 2010).
Granula pati tersusun dari dua jenis pati yaitu amilosa dan amilopektin.
Struktur amilopektin membentuk seperti klaster dimana rantai A terkait pada
rantai B dan rantai B terkait dengan rantai B lainnya tergantung pada panjang
rantainya. Sebanyak 80-90% jumlah rantai amilopektin terletak pada klaster
sedangkan hanya 10-20% terlibat dalam pembentukan koneksi-inter-kluster.
Amilopektin berantai pendek dapat membentuk double helix dan menyusun
daerah kristalin dalam granula pati sedangkan titik-titik percabangan
amilopektin menyusun daerah amorf. Amilosa berada baik pada daerah
kristalin maupun amorf, tetapi sebagian besar berada di daerah amorf
(Faridah, 2010).
Penetapan kadar amilosa ini merupakan seleksi awal untuk
memperkirakan tekstur nasinya. Sifat tekstur nasi dapat dilihat dari
perbandingan antara kadar amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa ini sangat
mempengaruhi tekstur nasi. Kadar amilosa lebih banyak menentukan sifat
tekstur nasi daripada sifat-sifat fisik lainnya, seperti suhu gelatinasi dan gel
konsistensi. Kadar amilosa dalam beras berkisar 1-37%. Berdasarkan kadar
amilosa, beras diklasifikasikan menjadi ketan atau beras beramilosa sangat
rendah (< 10%), beras beramilosa rendah (10-20%), beras beramilosa sedang
(20- 24%), dan beras beramilosa tinggi (> 25%). Beras yang berkadar amilosa
rendah bila dimasak menghasilkan nasi yang lengket, mengkilap, tidak

24
mengembang, dan tetap menggumpal setelah dingin. Beras yang berkadar
amilosa tinggi bila dimasak nasinya tidak lengket, dapat mengembang, dan
menjadi keras jika sudah dingin, sedangkan beras beramilosa sedang umumnya
mempunyai tekstur nasi pulen (Aliawati, 2003).
Kandungan amilosa dalam bahan pangan dapat ditentukan berdasarkan
pada kemampuannya untuk bereaksi dengan senyawa iodine menghasilkan
kompleks berwarna biru. Intensitas warna biru ini akan berbeda tergantung
pada kadar amilosa dalam bahan pangan dan dapat ditentukan secara
spektrofotometri. Sedangkan kandungan amilopektin dapat ditentukan sebagai
selisih antara kandungan pati dengan amilosa. Itensitas warna biru diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm dan konsentrasi
amilosa ditentukan dari kurva standartlarutan amilosa (Andarwulan, 2011).

C. METODOLOGI
1. Alat
a. Waterbath
b. Spektrofotometer
c. Tabung reaksi
d. Kompor listrik
e. Pipet
f. Labu takar
2. Bahan
a. Tepung jagung
b. Tepung ubi ungu
c. Tepung ubi kuning
d. Larutan iod
e. Asam asetat
f. Larutan NaOH 1 N
g. Etanol 95%

25
3. Cara Kerja
a. Pembuatan kurva standar amilosa
40 mg amilosa murni

1 ml ethanol 95%
Pemasukan kedalam tabung reaksi
dan 9 ml NAoH 1N

Pemanasan dalam air mendidih selama 5-10


menit

Pendinginan

Aquades hinga
Pemindahan campuran ke labu takar 100 ml
tanda tera

Pempipetan larutan campuran kedalam labu


takar masing-masing 1, 2, 3, 4 dan 5 ml

2 ml lar. iod dan Penambahan masing-masing sebanyak 0,2; 0,4;


as. asetat 1N 0,6; 0,8 dan 1 ml

Air Penambahan hingga tanda tera

Penggojogan dan pembiaran selama 20 menit

Pengukuran absorbansi pada panjang


gelombang 625 nm

Gambar 2.1 Pembuatan Kurva Standar Amilosa

26
b. Penentuan kadar amilosa
100 mg bahan

1 ml ethanol 95%
Pemasukan kedalam tabung reaksi
dan 9 ml NAoH 1N

Pemanasan dalam air mendidih selama 5-10


menit

Pendinginan

Aquades hinga
Pemindahan campuran ke labu takar 100 ml
tanda tera

5 ml larutan Pempipetan kedalam labu takar 100 ml

2 ml lar. iod dan


Penambahan kedalam labu takar 100 ml
as. asetat 1N

Penggojogan dan pembiaran selama 20 menit

Pengukuran absorbansi pada panjang


gelombang 625 nm

Gambar 2.2 Penentuan Kadar Amilosa

27
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2.1 Absorbansi dan Konsentrasi Larutan Amilosa Standar.
mL Larutan Konsentrasi (mL) ᵧ
A°( )
1 0,4 0,099
2 0,8 0,187
3 1,2 0,241
4 1,6 0,356
5 2,0 0,468
Sumber : Laporan Sementara
Dari Tabel 2.1 diatas, dapat dilihat hasil data absorbansi amilosa murni
yaitu pada konsentrasi 0,4 menghasilkan absorbansi 0,099 Å, konsentrasi 0,8
menghasilkan absorbansi 0,187 Å, konsentrasi 1,2 menghasilkan absorbansi
0,241 Å, konsentrasi 1,6 menghasilkan absorbansi 0,356 Å dan konsentrasi 2,0
menghasilkan absorbansi 0,468 Å. Dari data tersebut, kemudian dapat dibuat
kurva standar. Setelah membuat kurva standar, dapat dilakukan perhitungan
regresi linear (y = a + bx), sehingga dihasilkan persamaan regresi linear y = -
0,0019 + 0,2268x dengan r2 = 0,9844 dimana merupakan hubungan antara nilai
x (konsentrasi larutan amilosa standar) dan y (absorbansi) serta r2 menunjukkan
keakuratan. Dari hubungan antara nilai x dan y tersebut, dapat diketahui bahwa
konsentrasi larutan amilosa standar berbanding lurus dengan absorbansi. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi amilosa standar pada
larutan maka nilai absorbansinya juga akan semakin besar.

28
Tabel 2.2 Penentuan Kadar Amilosa.

Shift No Kel
Jenis
Tepung
W
Sampel ᵧ ᵧ x %Amilosa
rata-rata
Tepung 0,288
1 1 Ubi 103 mg 0,2900 1,2875 24,9961
Ungu 0,292
Tepung 0,195
A
2 2 Ubi 102 mg 0,1925 0,8573 16,8098
Kuning 0,190
Tepung 0,159
3 3 100 mg 0,1595 0,7118 14,2360
Jagung 0,160
Tepung 0,210
4 1 Ubi 100 mg 0,2100 0,9345 18,6900
Ungu 0,210
Tepung 0,340
B
5 2 Ubi 107 mg 0,3385 1,5012 28,0598
Kuning 0,337
Tepung 0,272
6 3 112 mg 0,2725 1,2101 21,6089
Jagung 0,273
Sumber : Laporan Sementara.
Pati adalah karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan amilopektin.
Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-(1−> 4) unit
glukosa. Derajat polimerisasi amilosa berkisar antara 500−6.000 unit glukosa,
bergantung pada sumbernya. Amilopektin merupakan polimer α-(1−> 4) unit
glukosa dengan rantai samping α-(1−> 6) unit glukosa. Dalam suatu molekul
pati, ikatan α-(1−> 6) unit glukosa ini jumlahnya sangat sedikit, berkisar antara
4−5%. Namun, jumlah molekul dengan rantai yang bercabang, yaitu
amilopektin, sangat banyak dengan derajat polimerisasi 105 − 3x106 unit
glukosa (Jacobs, 1998). Prinsip uji amilosa yaitu jika dalam bahan pangan
terdapat kandungan amilosa maka akan bereaksi dengan penambahan senyawa
iodine menghasilkan kompleks berwarna biru. Intensitas warna biru ini akan
berbeda tergantung pada kadar amilosa dalam bahan pangan dan dapat
ditentukan secara spektrofotometri. Sedangkan kandungan amilopektin dapat
ditentukan sebagai selisih antara kandungan pati dengan amilosa. Itensitas
warna biru diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm
dan konsentrasi amilosa ditentukan dari kurva standart larutan amilosa.

29
Perhitungan dalam menentukan berat pati dalam contoh diperoleh dengan
mengalikan berat glukosa dengan 0,9. Angka 0,9 adalah faktor konversi untuk
pembentukan glukosa dari hidrolisa pati. (Andarwulan, 2011). Dalam
aplikasinya, amilosa banyak digunakan sebagai bahan pangan karena
mempunyai sifat dapat memberi efek keras (pera) dalam bahan pangan,
misalnya dalam pemasakan nasi. Kadar amilosa mempengaruhi sifat
fisikokimia beras dan dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat kepulenan
serta kelengketan nasi yang dihasilkan. Kandungan amilosa mempunyai
korelasi positif dengan jumlah penyerapan air dan pengembangan volume nasi
selama pemasakan. Jadi, apabila kandungan amilosa di dalam beras banyak
maka beras tersebut apabila dimasak mudah mengembang
(Masniawati, 2013).
Faktor yang mempengaruhi kadar amilosa pada tepung tapioka, tepung
beras dan tepung jagung adalah umur panen produk. Kadar amilosa menurun
seiring dengan bertambahnya umur panen produk. Penurunan kadar amilosa
disebabkan amilosa yang terkandung di dalam pati tersebut mengalami titik
jenuh. Tingginya kadar amilosa pada tepung karena tepung memiliki
kandungan pati tinggi dan diduga pati tersebut memiliki rantai α 1,4 D-
glikosida yang lebih panjang dibandingkan dengan tepung lainnya. Semakin
panjang rantai α 1,4 D-glikosida yang terkandung di dalam pati, maka semakin
tinggi kadar amilosa yang terkandung di dalamnya. Selain itu perbedaan kadar
amilosa pada tepung juga tergantung pada bahan yang digunakan dalam
pembuatan tepung, kandungan pati dan lokasi penanaman atau
pertumbuhannya (Susilawati, 2008).
Penambahan ethanol 95% diawal pembuatan larutan bertujuan untuk
melarutkan komponen pati hal ini sama dengan tujuan penambahan NaOH
yang juga dimaksudkan untuk melarutkan pati, mengkondisikan larutan tetap
bersifat basa, dikarenakan larutan pati cenderung bersifat basa (Teja, 2008).
Fungsi penambahan larutan iod pada saat pengujian kadar amilosa yaitu pati
akan bereaksi dengan iod yang akan membentuk suatu kompleks yang
berwarna biru. Amilosa akan memberikan warna biru dengan penambahan

30
larutan iod sedangkan amilopektin membentuk suatu produk yang berwarna
ungu-merah (Masniawati, 2013). Sedangkan penambahan asam asetat
ditujukan untuk mengkondisikan larutan agar bersifat asam mencapai pH 4,5-
4,8 karena amilosa akan berikatan dengan iod sebagai indicator terjadi bila
suasana larutan bersifat asam (Juliano, 1979).
Kurva standar amilosa dibuat dengan cara 40 mg amilosa dimasukkan
ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml ethanol 95% dan 9 ml NaOH 1
N. Kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama 7 menit hingga terlarut.
Selanjutnya didinginkan dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml serta
ditambahkan aquades hingga 100 ml. Setelah itu, ambil larutan dan
dimasukkan ke dalam labu takar sebanyak 1, 2, 3, 4 dan 5 ml. Masing-masing
larutan ditambahkan 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ml asam asetat 1 N dan 1 ml
larutan iod. Kemudian larutan diencerkan dengan aquades hingga volume 100
ml, digojog dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang
terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.
Dari Tabel 2.2 di atas, dapat dilihat hasil pengamatan kadar amilosa.
Terdapat 3 sampel diantaranya tepung ubi ungu, tepung ubi kuning dan tepung
jagung dan dilaksanakan 2 shift A dan B. Pada shift A sampel tepung ubi ungu
dengan berat awal sampel 103 mg didapatkan % amilosa sebesar 24,9961 %.
Pada sampel tepung ubi kuning dengan berat awal sampel 102 mg didapatkan
% amilosa sebesar 16,8098 %. Pada sampel tepung jagung dengan berat awal
sampel 100 mg didapatkan % amilosa sebesar 14,2360 %. Pada shift B sampel
tepung ubi ungu dengan berat awal sampel 100 mg didapatkan % amilosa
sebesar 18,6900. Pada sampel tepung ubi kuning dengan berat awal sampel 107
mg didapatkan % amilosa sebesar 28,0598. Pada sampel tepung jagung dengan
berat awal sampel 112 mg didapatkan % amilosa sebesar 21,6089 %.

31
E. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum Acara II, “Kadar Amilosa Beras” dapat ditarik
kesimpulan :
1. Pada konsentrasi 0,4 menghasilkan absorbansi 0,099 Å, konsentrasi 0,8
menghasilkan absorbansi 0,187 Å, konsentrasi 1,2 menghasilkan absorbansi
0,241 Å, konsentrasi 1,6 menghasilkan absorbansi 0,356 Å dan konsentrasi
2,0 menghasilkan absorbansi 0,468 Å.
2. Pada shift A sampel tepung ubi ungu dengan berat awal sampel 103 mg
didapatkan % amilosa sebesar 24,9961 %. Pada sampel tepung ubi kuning
dengan berat awal sampel 102 mg didapatkan % amilosa sebesar 16,8098
%. Pada sampel tepung jagung dengan berat awal sampel 100 mg
didapatkan % amilosa sebesar 14,2360 %.
3. Pada shift B sampel tepung ubi ungu dengan berat awal sampel 100 mg
didapatkan % amilosa sebesar 18,6900. Pada sampel tepung ubi kuning
dengan berat awal sampel 107 mg didapatkan % amilosa sebesar 28,0598.
Pada sampel tepung jagung dengan berat awal sampel 112 mg didapatkan %
amilosa sebesar 21,6089 %.

32
DAFTAR PUSTAKA

Aliawati, Gusminar. 2003. Teknik Analisis Kadar Amilosa dalam Beras. Buletin
Teknik Pertanian, Vol. 8, No. 2: 82-84.
Andarwulan, N., F. Kusnandar, dan D. Herawati. 2011. Analisis Pangan.
PT Dian Rakyat. Jakarta.
Andarwulan. 2011. Analisis Pangan. Dian Rakyat. Jakarta
Claudia, Ricca., Estiasih, Teti., Ningtyas, Dian Widya dan Endrika Widyastuti.
2015. PENGEMBANGAN BISKUIT DARI TEPUNG UBI JALAR
ORANYE (Ipomoea batatas L.) DAN TEPUNG JAGUNG (Zea mays)
FERMENTASI : KAJIAN PUSTAKA. Jurnal Pangan dan Agroindustri, Vol.
3, No. 4: 1589-1595.
Darmajana, Doddy A. 2010. Upaya Mempertahankan Derajat Putih Pati Jagung
Dengan Proses Perendaman Dalam Natrium Bisulfit. Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia
untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia ISSN 1693 – 4393.
Emy, Njoh Ellong., C, Billard., D, Pétro., S, Adenet and Rochefort K. 2015.
Physicochemical, Nutritional And Sensorial Qualities Of Boutou Yam
(Dioscorea alata) Varieties. Journal of Experimental Biology and
Agricultural Sciences, Vol. 3, No. 2: 139-140.
Faridah, Didah Nur, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan dan Titi Candra Sunarti.
2010. Perubahan Struktur Pati Garut (Marantha arundinaceae) sebagai
Akibat Modifikasi Hidrolisis Asam, Pemotongan Titik Percabangan dan
Siklus Pemanasan-Pendinginan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan,
Vol. 21, No. 2: 135-145.
Hal, M. van. 2000. Quality of sweetpotato flour during processing and storage.
Food Rev. Int. Vol. 16, No. 1: 1-37.
Herawati, Heny. 2011. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna sebagai
Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 30, No. 1: 31-39.
Jacobs, H. and J.A. Delcour. 1998. Hydrothermal modifications of granular
starch with retention of the granular structure: Review. J. Agric. Food
Chem. 46(8): 2895−2905.
Juliano, B O. 1979. Amylose In Rice Chemical Aspect Of Rice Grain Quality.
Journal of IRRI Los Banos 02(12): 1-13.
Kano, M., Takayanagi, T., Harada, K., Makino, K., dan Ishikawa, F. 2005.
Antioxidative activity of anthocyanins from purple sweet potato Ipomoea
batatas cultivar Ayamurasaki. J. Biosci, Biotecnol, Biochem. Vol. 69, No.
5: 979-988.
Masniawati, A., Eva Johannes, Andi Ilham Latunra dan Novitas Paelongan.
Karakteristik Sifat Fisikokimia Beras Merah pada Beberapa Sentra

33
Produksi Beras di Sulawesi Selatan. Artikel Publikasi Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar Budidaya dan Pascapanen. Kanisius, Yogyakarta.
Suda, I., Oki, T., Masuda, M., Kobayashi, M., Nishiba, Y., dan Furuta, S. 2003.
Review: physiological functionality of purple-fleshed sweet potatoes
containing anthocyanins and their utilization in foods. J. Agricultural RQ.
Vol. 37, No. 3: 167–173.
Susilawati, Siti Nurdjanah dan Sefanadia Putri. 2008. Karakteristik Sifat Fisik dan
Kimia Ubi Kayu (Manihot esculenta) Berdasarkan Lokasi Penanaman dan
Umur Panen Berbeda. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian 13
(2): 12-20.
Teja, Albert W., Ignatius Sindi P., Aning Ayucitra, Laurentia E. K. Setiawan.
2008. Karakteristik Pati Sagu Dengan Metode Modifikasi Asetilasi Dan
Cross-Linking. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Uthumporn, U., Nadiah, N. I., Koh, W. Y., Zaibunnisa, A. H. and Azwan, L.
2016. Effect of microwave heating on corn flour and rice flour in water
suspension. International Food Research Journal, Vol. 23, No. 6: 2493-
2503.
Widjanarko, S. 2008. Efek Pengolahan Terhadap Komposisi Kimia dan Fisik Ubi
Jalar Ungu dan Kuning. Jakarta.
Woolfe, J. A. 1992. Sweetpotato an untapped food resource. Cambridge
University Press, New York.
Yuyun. 2007. Membuat Lauk Crispy. PT Agromedia Pustaka. Jakarta Selatan.

34
LAMPIRAN
Perhitungan Absorbansi :
Y= a+bx
Y= -1,9 X 103 + 0,22675
R=0,9922
Perhitungan X Amilosa :
y−a
X Amilosa = b
0,2900+1,9 x 10−3
= 0.22675
0,2900+0,0019
= 0.22675

=1,2875
Perhitungan % Amilosa :
X.Fp
%amilosa = x100%
w
100
1,2875.
5
= x100%
103 mg

=24,9961

35

You might also like