You are on page 1of 33

Awal mula Berdiri Kesultanan Aceh.

Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang dalam
masa keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran
pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di
nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam
dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya,
seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan
Indrapura (Indrapuri).

Sultan Ali Mughayat mendirikan Kesultanan Aceh pada tahun 1496 yang pada mulanya kerajaan ini
berdiri atas wilayah kerajaan lamuri. Pemerintahaan kesultanan Aceh kemudian menundukan dan
menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya
pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan
Aru.

Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orang
kaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri
Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan
harta kerajaan pada pengikutnya. pengantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian
karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raya dan orangkaya
menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada
1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan
dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya
dirasakan pada sultan berikutnya.

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan
Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh
menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh
melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal
perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka
dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh
menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan
perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga
banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van
Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
Kemunduran
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan
Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak,
Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda.
Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

Diplomat Aceh ke Penang. Duduk : Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan).
Sekitar tahun 1870an. Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani
hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat
kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-
belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa
harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero
pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa
elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki
bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di
pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan
dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk.
Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan
dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan
hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan
Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang
terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan
Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang
pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol)
dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan
antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh.
Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak
mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan
armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu.
Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas,
tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.

Daftar Sultan Aceh


Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah
berganti sultan hingga tiga puluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa
di Kesultanan Aceh Darussalam :
Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
Sulthan Muda (1575)
Sulthan Sri Alam (1575-1576)
Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
( Catatan : Sulthan Aceh Ke-29 dan 31 adalah orang yang sama )

Kebudayaan
Arsitektur

Gunongan dan Kandang (Makam) Sultan Iskandar Tsani.

Tidak banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud
Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya
yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Kraton Meuligoe yang digunakan
sebagai Pedopo Gubernur Aceh. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang
karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini
bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh -
Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara
lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Pinto Khop, Leusong dan Gunongan beserta Taman
Ghairah yang luas dipusat Kota Banda Aceh.

Kesusateraan

Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat.
Hikayat yang terkenal diantaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem
Dagang dalam settingan penyerbuan Malaka oleh Angkatan Laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Bhikayat
Malem Diwa, hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, hikayat Pocut Muhammad,
hikayat Perang Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah Abdullah Hadat dan hikayat Prang Sabi. [12]
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (taman para raja) karya
Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Taj al-salatin (1603), Sulalat al-Salatin (1612), dan Hikayat Aceh
(1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan
karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala
Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung
Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.

Karya Agama

Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tengga.
Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil,
karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang
menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27
kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama
terlengkap dalam bahasa melayu.

kerajaan islam di riau dan jambi


1. Sejarah
a. Kerajaan Pekantua (1380-1505)
Pada awalnya, Kerajaan Pelalawan bernama Kerajaan Pekantua, karena dibangun di daerah bernama Pematang Tuo.
Sekarang masuk Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan. Setelah berhasil membangun kerajaan,
raja pertama Pekantua, Maharaja Indera (1380-1420), membangun Candi Hyang di Bukit Tuo (sekarang wilayah
Pematang Buluh atau Pematang Lubuk Emas) sebagai wujud rasa syukur.
Banyaknya barang dagangan yang dihasilkan, terutama hasil hutan, menjadikan Kerajaan Pekantua semakin
terkenal, dan secara perlahan mulai menjadi pesaing bandar terpenting di Selat Malaka saat itu, yakni Malaka. Oleh
karenanya, Raja Malaka, Sultan Mansyur Syah (1459-1477), berhasrat menguasai Kerajaan Pekantua, sebagai
bagian rencana memperkokoh kekuasaan di pesisir timur Sumatera. Di bawah pimpinan Panglima Sri Nara Diraja,
Malaka berhasil mengalahkan Pekantua.
Setelah mangkat, secara berturut-turut ia digantikan oleh Maharaja Pura (1420-1445), Maharaja Laka (1445-1460),
Maharaja Sysya (1460-1480), dan Maharaja Jaya (1480-1505). Maharaja Jaya adalah raja terakhir Pekantua era pra
Islam. Setelah era ini, Pekantua berganti nama menjadi Pekantua Kampar.
b. Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)
Setelah mengalahkan Pekantua, Sultan Mansyur Syah kemudian mengangkat Munawar Syah sebagai Raja Pekantua,
yang berkuasa pada tahun 1505-1511. Pada upacara penabalan raja, nama Kerajaan Pekantua diubah menjadi
Kerajaan Pekantua Kampar.
Sejak saat itulah Islam berkembang di Kerajaan Pekantua Kampar. Setelah mangkat, Sultan Munawar Syah diganti
putranya, Raja Abdullah (1511-1515). Pada masa yang hampir bersamaan, di Malaka Sultan Mansyur Syah
mangkat, dan secara berurutan digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah I, kemudian Sultan Mahmud Syah I.
Sekitar tahun 1511, Malaka diserang Portugis. Hal ini menyebabkan Sultan Mahmud Syah I menyingkir ke Muar,
lalu ke Bintan. Pada tahun 1526, Sultan Mahmud Syah I sampai di Kerajaan Pekantua Kampar.
Tertangkapnya Raja Abdullah saat membantu Malaka melawan Portugis, menyebabkan beliau diasingkan ke Gowa.
Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan di Pekantua Kampar. Sultan Mahmud Syah I yang tiba di
Pekantua Kampar pada tahun 1526 langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528). Setelah
mangkat, ia digantikan oleh putranya hasil pernikahan dengan Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar Sultan
Alauddin Riayat Syah II (1528-1530).
Tak lama kemudian, Sultan Alauddin Riayat Syah II meninggalkan Pekantua Kampar menuju Tanah Semenanjung
dan mendirikan negeri Kuala Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu (ibu kota Pekantua Kampar), beliau
menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua Kampar, bernama Tun Perkasa (1530-1551) bergelar Raja Muda
Tun Perkasa. Setelah itu, ia digantikan oleh Tun Hitam (1551-1575) dan kemudian Tun Megat (1575-1590).
Saat dipimpin Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar), Kerajaan
Johor berkembang pesat. Tun Megat merasa sudah seharusnya mengirim utusan ke Johor untuk meminta salah
seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II menjadi Raja Pekantua Kampar.
Setelah mufakat dengan orang-orang Besar Pekantua Kampar, maka dikirim utusan ke Johor, yang terdiri dari Batin
Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan Raja
Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat. Ia lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya
bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar tahun 1590, Raja Abdurrahman
dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar bergelar Maharaja Dinda (1590-1630). Tun Megat yang sebelumnya
berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan
kakeknya, Tun Perkasa.
Setelah mangkat, Maharaja Dinda secara berturut-turut digantikan oleh Maharaja Lela I, bergelar Maharaja Lela
Utama (1630-1650), Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675), dan kemudian Maharaja Lela Utama (1675-1686).
c. Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)
Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini
dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri. Setelah mangkat, Maharaja Lela Utama digantikan oleh putranya, Maharaja
Wangsa Jaya (1686-1691).
Pada masa pemerintahan Maharaja Wangsa Jaya, banyak wilayah Tanjung Negeri yang diserang wabah penyakit,
sehingga membawa banyak korban jiwa rakyatnya. Meskipun demikian, para pembesar kerajaan belum mau
memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri. Maharaja Wangsa Jaya mangkat dan digantikan oleh putranya,
Maharaja Muda Lela (1691-1720). Pada masa ini, keinginan untuk memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung
Negeri belum juga disepakati para pembesar kerajaan. Meski demikian, perdagangan dengan Kuantan dan negeri-
negeri lain terus berjalan, terutama melalui Sungai Nilo.
d. Kerajaan Pelalawan (1725-1946)
Setelah mangkat, Maharaja Muda Lela digantikan putranya, Maharaja Dinda II (1720-1750).Pada masa ini diperoleh
kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan ke tempat yang oleh Maharaja Lela Utama
pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) sebagai pusat kerajaan, yaitu di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai
Kampar, jauh di hilir Sungai Nilo.
Sekitar tahun 1725, dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Dalam
upacara adat kerajaan itulah, Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, kerajaan berganti
nama menjadi Kerajaan “Pelalawan”, yang berarti tempat lalauan atau tempat yang sudah ditandai/dicadangkan.
Sejak itu, nama Kerajaan Pekantua Kampar tidak dipakai lagi, dan digantikan dengan nama “Pelalawan”. Setelah
mangkat, Maharaja Dinda II digantikan oleh putranya, Maharaja Lela Bungsu (1750-1775).
Terjadinya pertikaian berkepanjangan di Johor menyebabkan Kerajaan Pelalawan melepaskan diri dari kekuasaan
Johor. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa, penguasa Kerajaan Johor bukan lagi keturunan Sultan Alauddin
Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar keempat. Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali yang berkuasa di
Siak (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kerajaan Siak sebagai Yang Dipertuan, mengingat
beliau adalah pewaris Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Syah II, Raja Johor. Maharaja Lela II menolaknya, dan
memicu serangan Siak ke Pelalawan pada tahun 1797 dan 1798.
Serangan pertama yang dipimpin oleh Sayid Syihabuddin dapat dipatahkan. Sedangkan serangan kedua yang
dipimpin oleh Sayid Abdurrahman, adik Sultan Syarif Ali, berhasil menaklukkan Kerajaan Pelalawan. Meskipun
demikian, karena merasa seketurunan dari silsilah Johor, Sultan Sayid Abdurrahman melakukan ikatan
persaudaraan Begito (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, Raja Pelalawan. Maharaja Lela
II kemudian diangkat menjadi Orang Besar Kerajaan Pelalawan dengan gelar Datuk Engku Raja Lela Putera. Sayid
Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi Raja Pelalawan dengan gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-
1822). Sejak saat itu, Kerajaan Pelalawan dipimpin oleh raja-raja keturunan Sayid Abdurrahman, saudara kandung
Syarif Ali, Sultan Siak, sampai dengan Raja Pelalawan terakhir.
2. Silsilah
Berikut ini urutan penguasa di Pelalawan, sejak era pra Islam hingga era Islam:
a. Kerajaan Pekantua (1380-1505)

1. Maharaja Indera (1380-1420)


2. Maharaja Pura (1420-1445)
3. Maharaja Laka (1445-1460)
4. Maharaja Sysya (1460-1480)
5. Maharaja Jaya (1480-1505).
b. Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)
1. Munawar Syah (1505-1511)
2. Raja Abdullah (1511-1515)
3. Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
4. Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
5. Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
6. Tun Hitam (1551-1575)
7. Tun Megat (1575-1590)
8. Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
9. Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
10. Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).
c. Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)
1. Maharaja Lela Utama (1675-1686)
2. Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691)
3. Maharaja Muda Lela (1691-1720)
4. Maharaja Dinda II (1720-1725).
d. Kerajaan Pelalawan (1725-1946)
1. Maharaja Dinda II/Maharaja Dinda Perkasa/Maharaja Lela Dipati (1725-1750)
2. Maharaja Lela Bungsu (1750-1775)
3. Maharaja Lela II (1775-1798)
4. Sayid Abdurrahman/Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822)
5. Syarif Hasyim (1822-1828)
6. Syarif Ismail (1828-1844)
7. Syarif Hamid (1844-1866)
8. Syarif Jafar (1866-1872)
9. Syarif Abubakar (1872-1886)
10. Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 )
11. Syarif Hasyim II (1892-1930)
12. Tengku Sayid Osman/Pemangku Sultan (1930-1940)
13. Syarif Harun/Tengku Sayid Harun (1940-1946).
3. Periode Pemerintahan
Periode pemerintahan di Pelalawan dibagi menjadi dua: periode pra Islam dan pasca Islam. Pada era pra Islam,
kerajaan ini masih bernama Pekantua. Sementara pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama, dari Pekantua
Kampar, kemudianTanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan. Kerajaan ini eksis dari tahun 1380 hingga 1946.
4. Wilayah Kekuasaan.
Wilayah kerajaan ini mencakup daerah yang tidak terlalu luas, hanya Pelalawan dan sekitarnya.
5. Struktur Pemerintahan
Raja merupakan pimpinan tertinggi di kerajaan ini. Dalam menjalankan tugasnya, raja dibantu oleh Mangkubumi,
dan beberapa Orang Besar yang mengepalai daerah tertentu dalam wilayah Kerajaan Pelalawan.

2.Kerajaan Siak
Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat
Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di
Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.

Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi
daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada
yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil
laut.

Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama,
istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam
perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.

Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan
Abdul Jalil Riayat Syah.

Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan
Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil
Riayat Syah.

Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang
saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing
pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan
dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya
kerajaan Siak di Buantan.

Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota
Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa
pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak
dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan
Siak terakhir.

Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada
tahun 1889 ? 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah
Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889.

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa
itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku
Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis
Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif
Kasim II).

Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah
putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan
bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu
Gulden.

Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan
mangkat di Rumbai pada tahun 1968.

Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua
Tengku Maharatu.

Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan
Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya
disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.

Berikut adalah daftar sultan-sultan yang pernah memerintah di Kerajaan Siak Sri Indrapura.

1. Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I (1725-1746)


2. Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah II (1746-1765)
3. Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1766)
4. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780)
5. Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782)
6. Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (17821784)
7. Sultan Assaidis Asyarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi (1784-1810)
8. Sultan Asyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1815)
9. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1815-1854)
10. Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I (Syarif Kasyim I, 1864-1889)
11. Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908)
12. Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalif Syaifudin I (Syarif Kasyim II), (1915-1949)
Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah
Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah
menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999

3.Kerajaan Tambusai
Sejarah / History Tambusai

Historically, the area Rokan Hulu was known as Rantau Rokan or Luhak Rokan Hulu, because it is an area of
the Minangkabau People in West Sumatra
Before independence, during the Dutch colonial period, Rokan Huluregion was divided into two areas:
– Rokan Kanan region, consisting of the Kingdoms of Tambusai,Rambah and Kepenuhan.
– Rokan Kiri region, consisting of the Kingdoms of Rokan IV Koto, Kunto Darussalam as well
as some villages of Siak.
Kingdoms above are now known as Lima Lukah.
In 1905, the kingdoms, mentioned above, made an agreement with the Dutch. Kingdoms with the status of
“Landschap” were founded. Any rules of the rulers of the kingdoms needed approval of the Netherlands.

Dahulunya, daerah Rokan Hulu dikenal dengan nama Rantau Rokan atau Luhak Rokan Hulu, karena
merupakan daerah tempat perantauan suku Minangkabau yang ada di daerah Sumatera Barat
Sebelum kemerdekaan yakni pada masa penjajahan Belanda, wilayah Rokan Hulu terbagi atas dua daerah:
– wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah dan Kerajaan Kepenuhan.
– wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta beberapa
kampung dari Kerajaan Siak (Kewalian negeri Tandun dan kewalian Kabun)

Kerajaan-kerajaan di atas sekarang dikenal dengan sebutan Lima Lukah.


Pada tahun 1905, kerajaan-kerajaan di atas mengikat perjanjian dengan pihak Belanda. Diakuilah berdirinya
kerajaan-kerajaan tersebut sebagai landscape. Setiap peraturan yang dibuat kerajaan mendapat pengesahan dari
pihak Belanda.
Sumber: link
———————————————————————————————————————-
Daftar Raja / list of kings

Raja I. Sultan Mahyudin Gelar Mohamad Kahar (850-951M)


Raja II. Sultan Zainal
Raja III. Sultan Ahmad
Raja IV. Sultan Abdullah
Raja V. Sultan Syaifuddin
Raja VI. Sultan Abdurahaman
Raja VII. Sultan Duli Yang Dipertuan Tua
Raja VIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja IX. Sultan Duli Yang Dipertuan Saidi Muhamil
Raja X. Sultan Duli Yang Dipertuan Sakti
Raja XI. Sultan Duli Yang Dipertuan Ngagap
Raja XII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja XIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Djumadil Alam (Abdul Hamid)
Raja XIV. Sultan Duli Yang Dipertuan Besar
1864-1887: Raja XV. Sultan Abdul Wahid
1887-1916: Raja XVI.Sultan Zainal Abidin
1916: Raja XVII. Sultan Ahmad (Glr T. Muhamad Silung 1916)
Raja XVIII. Yang Dipertuan Tengku Muhammad Yudo
Raja XIX. Tengku Ilyas Gelar Tengku Sulung.

Sumber / Source: link

(Disusun dari sumber tertulis Terombo Siri pegangan Raja Tambusai dalam memimpin kerajaan, disimpan
oleh Haji Tengku Ilyas, Gelar Tengku Sulung Raja Tambusai XIX).
Raja I s.d ke-4 kedudukan di Karang Besar, Raja ke-5 Pindah ke Tambusai lalu ke Dalu-dalu, pada masa Raja
VII Sultan Yang Dipertuan Tua dibentuklah Datuk Non Berempat: Datuk Bendaharo, Datuk Rangkayo
Maharajo, Datuk Paduko Sumarajo, Datuk Paduko Majolelo
Raja XV Sultan Abdul Wahid, mendirikan Istana darurat di Rantau Binuang, setelah di nobatkan Sultan
Mohammad Zainal Abidin sebagai raja XVI Tambusai berkedudukan di Istana II di Rantau Kasai.

4.Kerajaan Kandis,
Kerajaan ini merupakan kerajaan tertua yang ada di Indonesia, berdiri pada abad pertama Masehi.Lebih tua
dari kerajaan Kutai yang berdiri pada abad ke-5 Masehi. Kerajaan ini konon terletak di tengah-tengah pulau
sumatera. Meskipun telah ditemukan beberapa bukti kuat untuk membuktikan eksistensi kerajaan ini,
pemerintah belum berani untuk memasukkan materi Kerajaan Kandis ke kurikulum pembahasan mata
pelajaran sejarah baik dari SD sampai SMA.

Alexander The Great sering dikaitkan dengan sejarah pendirian kerajaan ini. Ia sering kita dengar dengan nama
Zulqarnaen, sang penakluk dari timur. Pada suatu masa di pengembaraan penaklukannya, ia singgah di sebuah
pulau yang sekarang kita kenal dengan nama Sumatera. Di sini ia menikah dengan seorang wanita pribumi dan
dikaruniai 2 orang putra. Kedua putranya inilah yang seanjutnya bertahta di Indonesia.

Kerajaan kandis berbentuk lingkaran bertingkat, mirip seperti deskripsi kota Atlantis. Terdapat dua teori yang
menjelaskan fenomena ini. Yang pertama, Kota Atlantis yang merupakan misteri kuno global sebenarnya
adalah kerajaan Kandis yang berada di Indonesia. Kedua, sang Zulqarnaen (Alexander The Great)
menceritakan pengalaman perjalanannya ke kota Atlantis kepada Ke-dua putranya. Lalu kedua putra
Alexander merealisasikan apa yang telah di ceritakan oleh ayah mereka.

Dalam mencukupi kebutuhan ekonomi-nya, kerajaan Kandis membuka sebuah tambang emas yang disebut
dengan tambang titah, karena dibuat berdasarkan titah (perintah) raja. Sampai saat ini kita masih dapat
menyaksikan bekas dari tambang tersebut, dan merupakan salah satu bukti sejarah tertua di Indonesia.

Bagaimanapun juga, keberadaan Kerajaan Kandis masih memerlukan penelitian lebih lanjut serta penemuan
berbagai artefak yang dapat menguatkan posisinya. Sehingga pemerintah akan mempertimbangkan bahwa
kerajaan ini layak untuk dimasukkan ke dalam materi pembelajaran sejarah seluruh siswa Indonesia.
5.Kerajaan Indragiri
Indragiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu �Indra� yang berarti mahligai dan �Giri� yang berarti kedudukan
yang tinggi atau negeri, sehingga kata indragiri diartikan sebagai Kerajaan Negeri Mahligai Kerajaan Indragiri
diperintah langsung dari Kerajaan Malaka pada masa Raja Iskandar yang bergelar Narasinga I. Pada generasi Raja
yang ke 4 (empat) barulah istana Kesultanan Indragiri didirikan oleh Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin
Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II beristerikan Putri Dang Purnama, bersamaan
didirikannya Rumah Tinggi di Kampung Dagang Adapun Silsilah dari Kerajaan ini sebagai berikut :

1. Raja Kecik Mambang alias Raja Merlang I. Memerintah pada tahun 1298 - 1337 M, beliau adalah Sultan Indragiri
pertama yang merupakan Putra Mahkota dari Kerajaan Melaka

2. Raja Iskandar alias Nara Singa I. Memerintah pada tahun 1337 - 1400 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua

3. Raja Merlang II bergelar Sultan Jamalluddin Inayatsya. Memerintah pada tahun 1400 - 1473 M dan merupakan
Sultan Indragiri ke tiga.

4. Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II. Memerintah
pada tahun 1473 - 1452 M dan merupakan Sultan Indragiri ke empat, dimakamkan di Pekan Tua / Kota Lama.

5. Sultan Usulluddin Hasansyah. Memerintah pada tahun 1532 - 1557 M dan merupakan Sultan Indragiri ke lima.

6. Raja Ahmad bergelar Sultan Mohamadsyah. Memerintah pada tahun 1557 - 1599 M dan merupakan Sultan
Indragiri ke enam.

7. Raja Jamalluddin bergelar Sultan Jammalludin Keramatsyah. Memerintah pada tahun 1559 - 1658 M dan
merupakan Sultan Indragiri ke tujuh.

8. Sultan Jamalluddin Suleimansyah. Memerintah pada tahun 1658 - 1669 M dan merupakan Sultan Indragiri ke
delapan.

9. Sultan Jamalluddin Mudoyatsyah. Memerintah pada tahun 1669 - 1676 M dan merupakan Sultan Indragiri ke
Sembilan.

10. Sultan Usulluddin Ahmadsyah. Memerintah pada tahun 1676 - 1687 M dan merupakan Sultan Indragiri ke
sepuluh.

11. Sultan Abdul Jalilsyah. Memerintah pada tahun 1687 - 1700 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sebelas.
12. Sultan Mansyursyah. Memerintah pada tahun 1700 - 1704 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua belas.

13. Sultan Modamadsyah. Memerintah pada tahun 1704 - 1707 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tiga belas.

14. Sultan Musafarsyah. Memerintah pada tahun 1707 - 1715 M dan merupakan Sultan Indragiri ke empat belas.

15. Raja Ali bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri. Pada awalnya beliau merupakan Mangkubumi Indragiri
kemudian menjadi Sultan Indragiri ke lima belas yang memerintah pada tahun 1715 - 1735 M dan dimakamkan di
Kota Lama.

16. Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah. Memerintah pada tahun 1735 - 1765 M dan merupakan
Sultan Indragiri enam belas. Dimakamkan di Kampung Tambak sebelah hilir Kota Rengat.

17. Raja Kecik Besar bergelar Sultan Sunan. Memerintah pada tahun 1765 - 1784 M dan merupakan Sultan Indragiri
ke tujuh belas. Dimakamkan di Mesjid Daik Riau

18. Sultan Ibrahim. Memerintah pada tahun 1784 - 1815 M dan merupakan Sultan Indragiri ke delapan belas. Beliau
adalah yang mendirikan kota Rengat dan pernah ikut dalam perang Teluk Ketapang untuk merebut kota melaka dari
tangan Belanda pada tanggal 18 Juni 1784. Dimakamkan di Mesjid Raya Rengat

19. Raja Mun bergelar Sultan Mun Bungsu. Memerintah pada tahun 1815 - 1827 M dan merupakan Sultan Indragiri
ke sembilan belas, beliau pernah bertapa di puncak Gunung Daik.
20. Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal. Memerintah pada tahun 1827 - 1838 M dan merupakan
Sultan Indragiri ke dua puluh.

21. Raja Said bergelar Sultan Said Modoyatsyah. Memerintah pada tahun 1838 - 1876 M dan merupakan Sultan
Indragiri ke dua puluh satu.

22. Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah. Memerintah pada tahun 1876 M - hanya seminggu naik tahta kerajaan
kemudian meninggal dunia karena sakit dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh dua.

23. Tengku Husin alias Tengku Bujang bergelar Sultan Husinsyah. Memerintah pada tahun 1877 - 1883M dan
merupakan Sultan Indragiri ke dua tiga. Dimakamkan di Raja Pura ( Japura)

24. Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah. Memerintah pada tahun 1887 - 1902 M dan merupakan Sultan
Indragiri ke dua puluh empat. Dimakamkan di Mesjid Raya Rengat

25. Raja Uwok. Sebagai Raja Muda Indragiri, memangku pada tahun 1902 - 1912 M.

26. Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah. Memerintah pada tahun 1912 - 1963 M dan merupakan Sultan
Indragiri ke dua puluh lima. Oleh T.N.I diberikan pangkat Mayor Honorair TNI dengan surat penetapan Panglima
T.N.I No. 228/PLM/Pers/1947 tanggal 11 Desember 1947.
SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE SUMATRA SELATAN
Fase-fase Masuk dan berkembangnya Islam diwilayah Nusantara

Fase pertama : Awal masuknya pendatang Islam

Fase ini (abad ke 1 - ke 4 H) merupakan fase pertama proses kedatangan Isalam di Indonesia dengan
kehadiran para pedagang Islam yang singgah diberbagai pelabuhan di Sumatera, yang dapat dicatat
hanya berdasarkan sumber-sumber asing. Kapal-kapal daganag Islam sudah mulai berlayar kewilayah
Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7 M. Literatur Arab sangat kaya akan sumber berita tentang
perjalanan mereka ke Asia Tenggara.

Fase kedua : Permukiman Masyarakat Islam di Sumatera dan Jawa

Di Leran (Gresik)terdapat sebuah batu nisan Fatimah binti Maimun yang wafat Tahun 475 H atau 1082
M. dan makam-makan yang ditemukan bersamaan dengan Ftaimah binti maimun menunjukkan pola
gaya hias makam dari dari abad ke-16 M. mungkin dalam kurun waktu abad ke 1 – ke 4 H terdapat
hubungan perkawinan antara pedagang dengan masyarakat muslim asing yang menikah
denganpenduduk setempat sehingga menjadikan mereka masuk islam baik sebagai istrinya maupun
keluarganya.

Fase ketiga : Berdirinya kerajaan Islam dan Perkembangan Islam hingga Abad 16 Masehi

Untuk memberikan data lebih jelas adanya kerajaan samudera pasai. Makam tersebut menyebutkan
Malik as saleh wafat bualn Ramadhan 696 H. Nama Malik as saleh dianggap sebagi raja pertama
kerajaan samudera pasai berdasarkan hikayat raja-raja pasai dan juga sejarah Melayu.

Fase keempat : perkembangan Islam di Nusantara (Abad 16 M) dan Abad-abad berikutnya.

Pengaruh perkembangan penyebaran agama yang berpusat di pasai-Aceh kepesisir Sumatera dan
semenanjung malaka serta dari Demak dan Gresik ke Banjarmasin dan Lombok terbukti dengan
ditemukannya bentuk-bentuk makam, terutama batu nisannya.

Yang agak lambat menerima perkembangan islam selain Daerah yang telah disebutkan diatas, ialah
daerah Sulawesi seperti daerah Buton da Salayar berdasarkan tradisi setempat telah menerima
pengaruh Islam dari ternate pada pertengahan abad ke 16 M, namun bukti lebih nyata perkembangan
Islam di Sulawesi ialah ketika raja Gowa yang pertama masuk Islam dapat dianggap sebagai titik penting.

Masuk dan berkembangnya Islam di Sumatera Selatan

Berdasarkan pendapat Sayid Naguib Al-atas, kedua tempat ditepi Selat Malaka pada permulaan
Abad ke 7 H yang menjadi tempat singgah para musafir yang beragama Islam dan diterima dengan baik
oleh penguasa setempat yang belum beragama Islam ialah Palembang dan Kedah. Dengan demikian jika
kita mengikuti pendapat tadi maka pada permulaan Hijriah atau abad ke 7 M di Palembang sudah ada
masyarakat Islam yang oleh penguasa setempat telah diterima dengan baik dan dapat menjalankan
ibadat menurut agama Islam.
2. MASUKNYA ISLAM KE SUMATERA SELATAN

Ahmad Mansyur Suryanegara

Masuk Agam Islam ke Sumatera Selatan

Sriwijaya sebagai kerajaan maritime yang memiliki daerah pengaruh yang luas diluar wilayah
Indonesia sekarang. Selain itu letak wilayah sriwijaya yang memiliki cirri geostrategic di persimpangan
jalan laut perdagangan antara Timur Tengah dan china, menjadikan sriwijaya dikenal dan dituliskan
dalam sejarah kedua wilayah tersebut.

Kenyataan sejarah saat perkembangan Sriwijaya tidak dapat lepas dari kaitannya dengan
suasana dunia perdagangan internasional saat itu, saat majunya pengaruh Sriwijaya, kondisi di Timur
Tengah sedang berkembang ajaran Islam. Perdagangan laut yang melewatinya baik dari Cina maupun
dari Timur Tengah atau sebaliknya, tentu perlu singgah dahulu ke Sriwijaya, Persinggahan inilah yang
memungkinkan terjadinya agama Islam mulai masuk ke Sriwijaya atau Sumatera Selatan.

Penguasaan jalan perdagangan laut oleh bangsa arab jauh lebih maju disbanding bangsa barat.
Saat itu bangsa Arab telah menguasai jalan laut melalui Samudra India yang mereka namakan sebagai
Samudra Persia. Sejak pra islam Teluk Persia dengan pelabuhannya Siraf dan Basra sebagai pusat
perdagangan antara Asia, Afrika, dengan Timur Tengah. Setelah berkembangnya agama Islam, Irak
dengan Bagdadnya merupakan pusat politik dan perdagangan, terutama pada masa Khalifah dinasti
Abasiyah (750-1268). Sekitar adab ke 10 M navigasi perdagangan sampai ke Korea dan Jepang.

Sumber perdagangan ini menyebutkan bahwa dalam perjalanannya ke Negara-negara Timur


jauh atau Jepang dan China serta korea tidak lepas pula mengadakan hubungan dagang dengan
Sriwijaya atau disebutnya dengan Zabaj, dari Sriwijaya ini mereka memperoleh antara lain barang
dagangan Timah.kedudukan sriwijaya sebagai kerajaan yang memiliki Bandar perdagangan yang sangat
strategis, baru berkurang nilainya.

Dari gambaran kekuasaan Sriwijaya dapatlah kita mengerti bahwa perdagangan laut yang
melewatinya baik dari China ke Timur Tengah atau sebaliknya tentu perlu singah terlebih dahulu ke
Sriwijaya. Persinggahan inilah yang memungkinkan terjadinya agama Islam mulai masuk ke Sriwijaya
atau Sumatra Selatan.

Pada abad ke -7 terjalin perdagangan antara khalifah di Timur Tengah dengan raja-raja di di
Indonesia, khususnya Sumatra selatan pada masa Sriwijaya. Sistem penyebaran Islam yang tidak
mengenal misionnaris dan tidak adanya system pemaksaan melalui peperangan, tetapi hanya melalui
perdagangan.

3. MASUK DAN BERKEMBANGNYA AGAMA ISLAM PADA ZAMAN KESULTANAN PALEMBANG : SUATU
ANALISIS

Setelah sriwijaya mulai pudar dikaki langit keruntuhannya, hadir bangsa portugis di Malaka pada
tahun 1511 dan timbulnya revolusi kraton Demak, maka setapak demi setapak agama Islam
dikembangkan oleh para mubaligh pribumi yang berasal dari Demak, Banten, Jambi dan Palembang,
perkembangan agama itu lebih intensif setelah kesultanan Palembang mengakui Islam sebagai agama
resmi dalam abad ke 17. Islam juga menjadi agama seluruh penduduk pusat kerajaan, karena pada
umumnya dinegeri kita ini agama raja adalah agama rakyat.

Islam dan jalan dagang Tradisional

Jalan dagang dunia via Selat Malaka merupakan jalur pelayaran dan perdagangan internasional
yang sangat penting waktu itu, Pulau Bangka dijadikan langkah pertama dalam perjuangan mendirikan
titik tumpu kuasa pengontrol lalu lintas pelayaranyang pada abad ke 10 m masih tetap memegang
peranan penting didaerah perairan asia Tenggara.

Jalan dagang Tradisional yang terbentang antara Laut Merah-India-Selat Malaka-Daratan


Tiongkok. Merupakan benang emas yang halusdi sepanjang pantai dalam wilayah kepulauan Nusantara..
Karena didorong oleh keinginan individu muslim untuk menyebarkan agama itu ke Timur , di samping
motif politik ekonomi yang menguasainya dan akan memperoleh pahala yang besar, jalan dagang itu
pulalah yang membantu penyebaran Agama Islam di Nusantara, Besar kemungkinan agama itu telah
dibawa oleh pedagang-pedagang muslim pada abad pertama Hijriah, karena orang-orang Arab sendiri
jauh sebelum Islam telah melakukan pelayaran yang Luas ke Timur.

Diperkirakan pedagang-pedagang muslim mendatnagi daerah Sumatra Selatan antara abad ke 9


dan ke 10 M. diperkirakan pula jumlah pedagang muslim sangat terbatas dan belum lagi mencapai
daerah uluan. Kurangnya fasilitas sulitnya hubungan antara kota Bandar dengan daerah Uluan yang
terisolasi dan masih berdaulatnya Sriwijaya sebagai pendukung agama Budha, merupak factor yang
sangat menentukan ruang gerak mereka untuk mencapai daerah pedalaman.

Kesultanan Palembang dan Abd Al-Samad Al-Palimbani

Intensitas penyebaran Islam didaerah ini sangat tergantung naik-turunnya kerajaan-kerajaan


Hindu di Jawa islam sebagai suatu ideologi setapak demi setapak menulari kota-kota Bandar disepanjang
jalan dagang tradisional. Bahkan pada akhir abad ke 12 M ia telah memperoleh tempat berpijak do
Perlak (Samudra Pasai).

Setelah kerajaan sriwijaya sirna dan dan longgarnya hubungan kekuasaan Majapahit atas daerah
ini, Palembang sebagia tanah asal Raden Patah, memulai berkembang menjadi pusat tenaga ekspansi
baru dengan Islam sebagai motor pendorong yang kuat.

Tahun 1443 M Majapahit yang telah lumpuh dari dalam, masih sempat menempatkan wakilnya
di K’Ukang (Palembang) yaitu seorang adipati bernama Ario Damar alias Swan Liong. Menurut Babat
Tanah Djawi. Ario Damar pernah mendapat hadiah seorang putri Cina muslim yang sedang hamil dari
raja Brawijaya VII.Pada tahun 1453 M putri itu melahirkan seorang putra yang dikenal dengan Raden
Patah (Jin Boen). Tokoh Ario Damar bukanlah Ario Damar yang pernah ikut dalam ekspedisi Gajah
Madha ke Bali Tahun 1343 walaupun kedua orang tersebut ada hubungan geneologis. Kemungkinan
nama itu merupakan nama ideal bagi penguasa-penguasa Jawa didaerah ini, mengingat daerah ini
banyak menghasilkan getah dammar yang sekarang melekat pada nama satu dusun didaerah Ogan
Komering Ilir bernama Pedamaran.
Apabila kita meneriam teori ini maka dalam sejarah penyebaran agama Islam didaerah
Nusantara ini terutama di Jawa dan di Palembang, merupakan fenomena kultural dalam penyebaran
agama islam dikalangan keluarga istana setelah munculnya kerajaan Demak di Jawa.

Sejarah penyebaran agama islam pada hari-hari pertama didaerah ini menunjukkan adanya
hubungan yang erat dengan sejarah hidup dan perjuangan seseorang yang lazim disebut Kyai/Guru
ngaji. Salah satu kyai yang terkenal didaerah ini dan memiliki reputasi internasional adalah Abd al-Samad
sal-palimbani.

Seperti putra yang berasal dari Palembang dan pernah bertahun-tahun di Mekkah mempelajari
agama Islam yang pada akhir abad ke-18 M kembali ke tempat kelahirannya dengan membawa mutiara
baru dalam agama islam. Mutiara baru itu adalah suatu cara mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa.

Banyak jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa , tetapi
dengan melakukan ratib samad (berzikir) setelah sholat lima waktu, dianggap jalan yang praktis san
pintas untuk sampai pada tujuan akhir dari hidup ini.dengan berzikir diharapkan agar dapat
menempatkan rohani mereka dalam mancapai ma’rifat (pengetahuan) tertinggi. Dalm kondisi fisik yang
digerakkan secara rutin tanpa terisi makanan yang makin lama makin kehilangan daya raasa, manusia
akan melupakan segala-galanya kecuali Allah semata-mata.

4. BEBERAPA ASPEK PERKEMBANGAN ISLAM DI SUMATRA SELATAN

Tingkat perkembangan Islam didaerah, yang kini bernama Provinsi Sumatera Selatan ini,

Pertama, Islam diawal abad 19 itu telah merupakan agama resmi yang harus ds dipelihara oleh struktur
kekuasaan, maka kelihatanlah bahwa peranan Birokrat agama tidak saja terdapat di kerajaan, tetapi juga
ditingkat marga dan bahkan ditingkat dusun.

Kedua, jarak yang cukup lebar antara stuktur kekuasaan,yang didasarkan atas keinginan mengadakan
adaptasi ajaran agama dengan system yang telah ada, dengan pola perilaku pribadi memang masih jauh.
Demikina dengan halnya pada golongan priyayi dan tak jauh bedanya dengan golongan rakyat biasa.

Ketiga, tradisi keratin melayu-Jawa yang mementingkan ilmu agama dan sastra juga berkembang dipusat
kerajaan. Maka dibawah naungan para sultan, ulama dan pengarang baik keturunan asing atau pribumi,
menghasilkan karya sastra dan uraian keagamaan tentang akhlak, tauhid, dan syariah yang sayangnya
barulah akhir-akhir ini saja mulai diperhatikan.

Kemungkinan Palembang sebagai pusat Islam di bagian Selatan pulau emas ini ialah bukan saja
karena reputasinya sebagai pusat pergudangan yang banyak dikunjungi oleh pedagang Arab/Islam pada
abad-abad kejayaan Sriwijaya. Kalau demikian berarti pengislaman Palembang telah lebih awal darp
pada Sulawesi Selatan. Barulah diawal abad ke-17 M Sulawesi Selatan resmi menganut Islam.tak lam
kemudian “Perang Islam” dilancarkan oleh Gowa-Talo kekerajaan-kerajaan tetangga. Kemudian raja
bone yang menrima Islam dari Makassar (Gowa/Talo) menjalankan “Reformasi puritan” yang cukup
radikal.
Kesultanan adalah suatu Islamdom, suatu pusat kekuasaan yang dengan sadar melibatkan diri
pada tradisi dan ajaran Islam. Setidaknya secara formal kesultanan adalah suatu wadah yang lebih
membuka kemungkinan bagi berlanjutnya proses Islamisasi internal, bukalah terlalu mengherankan jika
islamdom tersebut juga berusaha memperkuat wadah tersebut dengan berbagai institusional seperti
kedudukan kepenghuluan dan manifestasi simbolik. Maka masjid besar Palembang diawal abad ke 19
dianggap oleh par pelapor Belanda sebagai salah satu bangunan terindah di Hindia Belanda.

5. SEJARAH KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM DAN BEBERAPA ASPEK HUKUMNYA

H. M. Ali Amin

Pendahuluan

Sejarah kerajaan/kesultanan Palembang terjadi dalam abad ke 17 M dan ke 18 M sampai


dengan permulaan abad ke 19 M. tempatnya adalah dikota Palembang dan sekitarnya, baik disebelah
hilir Sungai Musi termasuk Pulau Musi dan anak-anak sungainya, yang dikenal dengan nama Batanghari
Sembilan.

Kota Palembang didirikan pada tanggal 17 bulan Juni tahun 683, penanggalan ini berdasarkan bunyi
tulisan dan perhitungan dari penaggalan tahun Caka, yang terdapat pada prasasti yang ditemukan di
Bukit Kampung 35 Ilir Kecamatan Ilir Barat II sekarang. Tanggal tersebutyang merupakan hasil diskusi
penelitian. Ditetapkan sebagai hari lahir kotamadya Palembang dengan SK Walikota Kepala Daerah
Tingkat II Kota madya Palembang tanggal 6 Mei 1972 No./57/Um.Wk/72.

Pergolakan politik di Jawa pada tahun 1478 M menumbuhkan kerajaan Demak sebagi penerus
dari kerajaan majapahit yang mempunyai dasar keislaman pendirinya adalah Raden Patah. Raden patah
ketika mudanya memperoleh pendidikan yang berlatar belakang kebangsaan dan politik.

Sedangkan masuknya Islam di Jawa banyak dihubungkan dengan kedatangan dari Maulana
Malik Ibrahim yang menetap di Gresik dan meninggal dunia disana pada tahun 1419. Menurut K.H
Saifuddin Zuhri “Masyarakat Islam terbentuk dibeberapa tempat pada umumnya terletak didaerah
pantai. Didaerah-daerah yang tidak terjangkau oleh kekuasaan Sriwijaya seperti Aceh lebih mudah
membentuk masyarakat Islam dari pada daerah lainnya. Didaerah-daerah dimana kekuasaan Sriwijaya
para mubaligh Islam bersikap lebih luwes mereka sangat toleran tetapi tidak mengorbankan prinsip”

Pandangan menyeluruh tentang kesultanan Palembang Darussalam

Asal-usul Sultan-sultan Palembang

Palembang menjadi daerah taklukan dari majapahit. Salah seorang Adipati Majapahit yang
berkuasa di Palembang adalah Ario Damar putra dari prabu brawijaya. Srikertawijaya. Ario Damar ini
kemudian beristrikan Putri Campa, bekas istri dari Prabu Wijay, sri kerta bumi dengan membawa anak,
Raden Patah. Raden Patah lahir di lembang pada tahun 1455 dan dibesarkan oleh ayah tirinya Ario
Damar. Raden Patah inilah yang menjadi pendiri kerajaan Demak pada tahun 1478.

Hubungan Palembang dengan kerajaan-kerajaan di Jawa, dimana Palembang mengakui atau


berada dibawah kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut, yang berlangsung selama abad ke 15 M hingga
pertengahan 17 M sejak majapahit, Demak-Panjang sampai dengan mataram. Dalam hubungan ini tidak
luput dari peraturan-peraturan atau kewajiban-kewajiban untuk dating menghadap raja (seba) sebagai
bukti loyalitas,menghantarkan upeti kepada raja dan memberikan bantuan yang diperlukan dalam
peperangan.

Kesultanan Palembang Darussalam Berdiri Sendiri

Dalam sejarah kerajaan Mataram nampaksekali bahwa hubungan antara pusat dan daerah tidak
selalu barjalan baik. Sebagaimana pengalaman-pengalaman dari penguasa-penguasa Palembang prs
kesultanan yang mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dalam hubungan dengan kerajaan
mataram , juga Kyai Mas Endi, Pangeran Ario Kesumo Abdurrohim, sesudah menggantikan kedudukan
kakaknya. Pangeran Sedo Ing Rajek sebagai penguasa dari mataram di Palembang mengalami hal yang
sama dimana beliau dalam tahun1668 mengirim utusan Mataram, tetapi digolak oleh Amangkurat I.
Dengan perkembangan keadaanmaka beliau melepaskan ikatan dengan Mataram. Maka menjadilah
Palembang berdiri sendiri sebagai Kesultanan Palembang Darussalam.

Penggantian Sultan-sultan

Sebagai kerajaan yang raja-rajanya berasal dari Jawa dan statusnya semula sebagai penguasa-
penguasa dari daerah perlindungan-perlindungan (protektorat) dari kerajaan Demak-Pajang dan
Mataram adalah wajar bahkan dalam prosedur penggantian tahta kesultanan diikuti tradisi yang berlaku
dikerajaan-kerajaan di Jawa. Menurut tradisi ini sebagai penganti raja dinobatkan putra sulung ini
dikarenakan sesuatu sebab tidak dapat diangkat, maka adiknya yang laki-laki tunggal itu akan dijuluk
sebagai pengganti. Jika tidak ada akan ditunjuk putra laki-laki yang sulung dari istri lain.

Pemerintahan, Ekonomi dan Politik

Pemerintahan :

Wilayah kesultanan Palembang Darussalam kira-kira meliputi wilayah keresidenan Palembang


dulu pada waktu pemerintahan Belanda dtambah dengan Daerah Rejang-Ampat-Petulai (Lebong) dan
Belalau disebelah Selatan dari Danau Ranau.

Pusat pemerintahan kesultanan berada dikota Palembang dimana pemerintahan dikendalikan oleh
putra mahkota yang juga menjadi penasihat sultan langsung, wakil dan pengganti . kemudian struktur
pemerintahan dibawahnya dapat disimpulkan dari uraian-uraian buku P. de Roo de Faille “Lukisan
tentang ibu kota Palembang ”, ada uraian tentang empat mancanegara sebagi pembesar-pembesar
Negara. Sebagai berikut :

1. Pepatih (rijksbestuurder), namanya pangeran Natadiraja yang memegang seluruh urusan kerajaan
baik diibu kota maupun di daerah hulu sungai (pedalaman). Ia adalah mancanegara yang pertama
menjalankan hokum adat didalam negri Palembang serta jajahannya.

2. Nata agama. kepala alim ulama yang mengadili hal-hal sesuai dengan hukum-hukum agama.

3. Kyai Tumenggung Karta, yang di dalam segala hal merupakan tangan kanan dari pepatih, terutama
diserahi pengadilan hakim dan pembesar utama di Palembang.
4. Pangeran Citra. Yang juga termasuk mancanegara, kepala dari yang disebut pengalasan, yaitu polisi
bersenjata dari raja yang diserahi tugas pelaksanaan hukuman-hukuman mati.

Penduduk kota Palembang dapat dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu :

1. Priyayi adalah turunan raja-raja atau kaum ningrat, kedudukan ini diperoleh karena kelahiran dan atas
perkenan Sultan.

2. Dalam golongan rakyat ada orang-orang miji sama kedudukannya dengan yang dipedalaman disebut
mata gawe, dengan pengecualian, bahwa mereka tidak dikenakan pajak atau mereka tidak menfhasilkan
pajak.

Ekonomi

Perekonomian kesultanan Palembang sesuai dengan letaknya, sangat dipengaruhi oleh


perdagangan luar dan dalam negri. Hasil-hasil dari berbagai perusahaan dapat disinggahi oleh kapal-
kapal luar negri. Sedangkan system perairan dengan sungai-sungai memungkinkan pengangkutan
barang-barang yang sangat lancer.

Perdagangan diadakan dipulau Jawa, Lingga, Riau, Singapura, Pulau Penang, Malaka, negeri Siam
dan negri Cina, disamping itu dari pulau-pulau lainnya dating juga perahu-perahu membawa dan
mengambil barang-barang dagangan.

Hasil-hasil kesultanan Palembang dan yang diekspor adalah rotan ikat, dammar, kapur barus,
kemenyan, kayu lako, lilin, gading, dan pasir emas. Komoditi lain adalah hasil pertambangan timah.

Politik

Politik dalam negri yang dijalankan dikesultanan selama berdirinya kurang lebih 50 tahun
membuktikan telah berhasil menciptakan organisasi pemerintahan yang cukup stabil, dimana
ketentraman dan keamanan bagi penduduk dan perdaganagan yang cukup memadai terpelihara dengan
baik.

Hubungan dengan Negara-negara tetangga umumnya terpelihara dengan baik. Hanya ada satu
kali perang dengan Banten sewaktu prakesultanan dalam tahun 1596, yang berlatar belakang pertikaian
ekonomi untuk memperebutkan pangkalan perdagangan di Selat Malaka.

Yang mendapat tantangan berat adalah politik dari kesultanan Palembang Darussalam dalam
menghadapi pihak imoperialisme dan kolonialis dari Eropa (Belanda dan Inggris) yang dengan kelebihan
teknologinya terutama dalam alat perangnya dan kelicikan dalm politiknya, banyak mendatangkan
kerugian kepada kesultanan hingga mengakibatkan berakhirnya eksistensi kesultanan itu sendiri.

Beberapa aspek hukum

Hukum adat

Sejak masa pra-kesultanan didaerah Palembang khususnya dipedalaman sesuai dengan


perkembangan etnologis pada setiap kelompok manusia yang hidup bersama terdapat peraturan
pergaulan yang disebut adat. Dalam adat ini ada kaidah-kaidah yang tidak memberi akibat hokum,
misalnya kaidah yang menetukan, bahkan jikalau orang mengadakan perayaan perkawinan.

Hukum Islam

Mengenai pengaruh diambil dari agama Islam khususnya dipedalaman dapat diambil beberapa
keterangan dari buku J.W.van Royen yang berjudul De Palembangsche Marga en Haar Grond en
Waterrechten, antara lain sebelum kedatangan Islam dalamkehidupan beragama banyak dilakukan
pemujaan nenek moyang. Untuk mengenang mereka diadakan pemujaan dirumah-rumah nenek
moyang yang kecil-kecil, sedangkan tiap tahun kuburan mereka dibersihkan dan di mana disampaikan
persembahan.

Perkembangan Islam di Palembang

Islam masuk ke negeri Palembang dari Demak dalam tahun 1440 M. ketika ibu Raden Patah
dikirim kesana dari Majapahit. Adipati Majapahit saat itu adalah Ario Damar yang telah lama memeluk
agama Islam secara diam-diam, sehingga ibu tirinya diperlakukannya menurut cara yang sesuai dengan
ajaran Islam.

Perkembangan Islam di Palembang dalam abad ke-18 merupakan kelanjutan dari arus
perkembangan Islam di Aceh yang dalam paroan kedua abad ke-17 M digerakkan oleh Syeikh Abd al-
Rauf Singkil, setelah paham wujudiyah yang dulu berpengaruh di sana dipatahlan oleh Syeikh Nuruddin
ar-Raniri.

Masuknya islam ke Bangka

Masuknnya islam ke Bangka diperkirakan pada pertengahan abad ke 15 dari Malaka dan dibawa
oleh pedagang-pedagang Islam yang sekaligus menempatkan dirinya sebagai mubaligh, akulturasi antar
Islam dengan agama-agama sebelumnya seperti Budha dan Hindu dan juga animism dan dinamisme
tidak dapat dihindarkan dalam perkembangan Islam di Bangka seperti sekarang.

Kedatangan Belanda di Bangka disambut dengan perang grilya halnini terutama disebabkan para
pemimpinnya adalah ulama-ulama yang sudah disinari nur islam sehingga perlawanan berlangsung
dalam waktu yang cukup lama.

Masuknya Islam di Bangka berbea dengan masuknya Islam di Palembang karena Islam masuk ke
Bangka lewat para pedagang dari Malaka yang singgah di pulau Bangka.

Jelas sekali bahwa dalam buku ini di bahas secara detail mengenai masuknya Islam di Sumatra Selatan,
agama islam masuk dan berkembang berlangsung sejak zaman kekuasaan Dapunta Hyang Sriwijaya
yaitu pertama Hijriah atau bersamaan dengan awal abad ke 7 M. agama Islam masuk dan berkembang di
daerah Sumatra Selatan melalui proses secara damai dan dengan jalan berangsur-angsur. Masuk dan
berkembnagnya Agama Islam dibawa langsung oleh orang-orang Srab Muslim, terutama akibat
pertentangan antara kelompok Bani ummayah dan Bani Abbasiyyah denagn kelompok Allawiyyin,
disamping itu ada juga mubaligh-mubaligh dari Iran dan India tetapi tidak mungkin mengatasi pengaruh
orang Arab baik dari segi jumlah maupun kualitas. Dari awal kedatangannya Islam di Daerah Sumatra
Selatan beraliran mazhad Syafi’I dan kecil sekali pengaruh aliran lain seperti aliran Syi’ah.

Kelebihan lain dari buku ini yaitu di mana penulis juga memberikan data berupa gambar
sehingga membuat si pembaca lebih mengerti secara jelas, Jadi, pembaca tidak merasa bosan kala
membaca buku ini.

Namun, di sisi kekurangan pada buku ini, penulis dalam menceritakan masuk dan
berkembangnya Islam di Sumatra Selatan menurut banyak pendapat para tokoh sehingga pembaca tidak
dapat memahami pendapat yang terlalu banyak.

Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan


Pagaruyung – Sumatera Barat
Ditulis pada 4 Juni 2014
Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Pagaruyung. Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan
Islam Melayu yang pernah berdiri di provinsi Sumatera Barat. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo
yang ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari (Nagari adalah pembagian
wilayah administratif sesudah kecamatan di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Istilah nagari
menggantikan istilah desa, yang digunakan di provinsi lain di Indonesia.) yang bernama Pagaruyung,
dan juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung, yaitu
pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan
Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri
Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl ‘Ālam.
Kerajaan ini mengalami keruntuhan pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian
antara Kaum Adat dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada
dalam pengawasan Belanda.

Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Kerajaan Malayapura. Dalam prasasti Amoghapasa
disebutkan bawah kerajaan Malayapara dipimpin oleh Adityawarman yang mengukuhkan dirinya
sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Kerajaan kerajaan lain yang juga masuk dalam
wilayah Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah yang
ditaklukan Adityawarman.

Sejarah Pendirian
Sejarah berdirinya kerajaan Pagaruyung belum dapat diketahui dengan pasti dikarenakan sumber
sejarah yang tidak begitu jelas. Dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada
yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika
menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas
menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan
bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan
Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.

Menurut sumber tertulis dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian
belakang Arca Amoghapasa disebutkan bahwa pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan
diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang
terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti
yang disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang
menaklukkan Bali dan Palembang, pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman
memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan


pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi
yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya,
sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada
kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi
tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan
adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan
tersebut.

Awalnya Majapahit mengirim Adityawarman ke sumatera untuk menundukkan daerah daerah


penting disana dan menjadi raja bawahan (uparaja) dari kekuasaaan Majapahit. Namun dari prasasti-
prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang
berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah
mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.

Sepeninggalan Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk


menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran
dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan
demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara
Jawa berhasil dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem
politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan
Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem
administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).

Pengaruh Hindu-Budha
Prasasti Adityawarman

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13, yaitu
dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa
pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman
diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya. Hal ini dapat
dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat
pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang
termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).
Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran
Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari
Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun
1377 tentang adanya utusan San-fo-ts’i kepada Kaisar Cina yang meminta permohonan pengakuan
sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts’i.
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama
Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan kawasan
percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan
Adityawarman. Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa
sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dariSinghasari.

Pengaruh Islam
Perkembangan agama Islam setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama
yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada
masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis oleh
Tomé Pires antara tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang
telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.

Masuk dan berkembangnya Islam di Pagaruyung kira-kira pada abad ke-16 melalui para musafir dan
guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang
terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah
ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17,
Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam
tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam
mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah
adat Minangkabau yang terkenal: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yang artinya
adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-
Qur’an. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih
dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama
Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda
melibatkan diri dalam peperangan ini.

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan
ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan
dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata
Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kataqaum
jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat adat juga muncul
istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu’alim) yang merupakan pengganti dari istilah-
istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris


Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh, dan
mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun
sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak terhadap
gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja
Pagaruyungmengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan
sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada. Selanjutnya VOC melalui seorang
regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai
ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan
Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta
memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan
emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah
meninggal dunia tahun 1674 dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.

Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,
melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir
dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu
pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal
tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung.
Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke
Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan
pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda
walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris. Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai
Padang untuk sementara waktu, dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan
selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang. Menurut Marsden tanah
Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau
disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.
Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu
bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas,
sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian setelah pihak
Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum
pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.

Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda ada di
pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat
Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles
mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri
dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan mengalami pembakaran akibat
peperangan yang terjadi. Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814,
maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali
pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada
tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun
raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan
Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk
pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Dalam beberapa
perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan
Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari
ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.
Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda,
dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi
Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan
Tangkal Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,
beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama
dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu
dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Akibat
dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada
pemerintah Belanda. Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada
tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam
Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja
terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung,
namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya
mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar. Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan
dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda
dari negerinya.

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan Kaum
Padri dengan kiriman tentara dari Jawa,Madura, Bugis dan Ambon. Namun ambisi kolonial Belanda
tampaknya membuat kaum adat dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan
bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam
Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia
dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan
Mangga Dua.

Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada
kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung
diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan. Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di
Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan,
dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih
keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris. Sementara setelah
berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk
memberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya
setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda, hal
ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain
masalah cultuurstelsel.

Wilayah Kekuasaan
Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental, tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman
Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan
Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari
catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari tanah
Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun
belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan
oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan
berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan Tambo
(legenda adat) berbahasa Minang ini:

Dari Sikilang Aia Bangih

Hingga Taratak Aia Hitam

Dari Durian Ditakuak Rajo

Hingga Sialang Balantak Basi

Sistem pemerintahan

Aparat pemerintahan

Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan
yang ada di Majapahit masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur
kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah ada pada masyarakat
setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah
oleh Datuk setempat.

Setelah masuknya Islam, Raja Alam yang berkedudukan di Pagaruyung melaksanakan tugas
pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Adat yang
berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka
bertiga disebut Rajo Tigo Selo, artinya tiga orang raja yang “bersila” atau bertahta. Raja Adat
memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila
ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan
untuk mereka dalam bahasa Minang adalah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di
Minangkabau menggunakan sistem patrilineal berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan suku
yang masih tetap pada sistem matrilineal.

Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang disebut Basa Ampek Balai,
artinya “empat menteri utama”. Mereka adalah:
Bandaro yang berkedudukan di Sungai Tarab.

Makhudum yang berkedudukan di Sumanik.

Indomo yang berkedudukan di Suruaso.

Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh.

Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang berkedudukan di Padang Ganting masuk
menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga
syariah agama.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu
tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang disebut rantau masing-masing pembesar
tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat
Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di
Semenanjung Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.

Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang
menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan
Tujuah. Mereka terdiri dari:

Pamuncak Koto Piliang


Perdamaian Koto Piliang

Pasak Kungkuang Koto Piliang

Harimau Campo Koto Piliang

Camin Taruih Koto Piliang

Cumati Koto Piliang

Gajah Tongga Koto Piliang

Pemerintahan Darek dan Rantau

Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah Minangkabau
dalam darek (land) dan rantau (sea/coast), walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera
seperti Jambi dan Palembang disebutkan telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.

Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan satuan wilayah otonom
pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas
dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya
sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah
persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu,
dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada
masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadiKoto, dari
Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan
Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi
Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya
setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.

Darek

Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo, yaitu
LuhakTak nan Data, belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah).
Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang
mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota
suku, dan warga nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut.
Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat, setelah
dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap
dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah dan penentu batas wilayah.

Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh membuat peraturan dan
memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam
Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan.
Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir
timur) danRantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah
barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan penduduk
Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan.
Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek
Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah
kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelarsultan.
Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Besar.
Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) dipimpin oleh
Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja
Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang
masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah

Airhaji

Bungo Pasang atau Painan Banda Salido

Kambang

Palangai

Lakitan

Tapan

Tarusan

Batang Kapeh

Ampek Baleh Koto Kabupaten Mukomuko


Limo Koto Kabupaten Mukomuko

Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak
Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto),
dan Muko-muko (Limo Koto).

Maksut singkretisme

Sinkretisme adalah suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran
agama atau kepercayaan. Pada sinkretismeterjadi proses pencampuradukkan berbagai unsur
aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk
mencari keserasian, keseimbangan.

Mengapa pembangunan terusan Gomati dianggap mempunyai nilai ekonomis


tinggi

Jawaban:
pembangunan terusan Gomati dianggap mempunyai nilai ekonomis tinggi
karena: digunakan masyarakat kala itu sebagai sarana transportasi yang dari
pegunungan untuk menuju ke pusat kerajaan. Sungai tersebut menjadi jalur
transportasi perdagangan dari pelabuhan pantai utara Jawa Barat dengan kerajaan
Tarumanegara hingga ke daerah pedalaman. Sungai itu berguna sebagai jalur untuk
menyalurkan komoditi barang perdagangan yang akan dikirim di pelabuhan. Barang
komoditi tersebut salah satunya yaitu gerabah dari India dan cengkeh

Sungai merupakan sumber kehidupan. Sungai berfungsi sebagai tempat strategis untuk
meletakkan sebuah catatan berupa prasasti agar bisa diketahui banyak orang bahwa
wilayah tersebut merupakan kekuasaan dari Raja Purnawarman dari Tarumanegara.
hampir semua prasasti dari kerajaan Tarumanegara ditemukan di tepi sungai.

Pembahasan:
Masa kerajaan Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan Hindu paling awal dalam
sejarah Indonesia. Dalam prasati mengenai kerajaan Tarumanegara terdapat berita
mengenai proyek drainase air Sungai Chandrabhaga dengan perintah Rajadirajaguru,
dan juga proyek air Sungai Gomati atas perintah Raja Purnawarman pada tahun ke 22
pemerintahannya.

Prasasti Tugu ialah prasasti dengan tulisan paling panjang yang dikeluarkan oleh Sri
Maharaja Purnawarman. Prasasti ini dikeluarkan pada masa pemerintahan
Purnnawarmman pada tahun ke-22 sehubungan dengan peristiwa peresmian (selesai
dibangunnya) saluran sungai Gomati dan Candrabhaga. Dalam prasasti ditulis dengan
bahasa Sanskerta yang akurat dengan huruf Pallawa yang indah dan cukup bisa
dimengerti dari latar belakang keluarganya. Dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa
Jayasinghawarman, pendiri Tarumanagara meninggal pada tahun 382 M, dan
dimakamkan di tepi Sungai Gomati.

Kerajaan Tarumanegara berkembang antara tahun 400-600 M. Menurut prasasti, raja


yang memerintah Tarumanegara yang paling terkenal ialah Raja Purnawarman. Pada
saat itu, wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara menurut prasasti Tugu meliputi
hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor, dan
Cirebon. Raja Purnawarman sendiri terkenal sebagai seorang raja yang arif dan
bijaksana.

Kebijakan dari Raja Purnawarman yaitu ketika pada tahun ke-22 pemerintahannya,
atau tepatnya pada tahun 417 Purnawarman meminta rakyat untuk menggali Sungai
Gomati sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km) yang dikerjakan dalam waktu 21 hari.
Penggalian Sungai Gomati tersebut untuk menghindari bencana alam berupa banjir di
aliran Sungai Chandrabhaga yang sering terjadi pada masa pemerintahannya,
sekaligus untuk mengatasi kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.

Penggalian Sungai Gomati merupakan bukti bahwa Purnawarman memiliki sifat peduli
kepada rakyatn yang dicintainya.. Penggalian sungai tersebut dilakukan oleh rakyat
secarasukarela dan rasa senang hati. Pada akhir penggalian sungai Gomati, Raja
Purnawarman kemudian memberikan hadiah berupa 100 ekor sapi kepada para
pendeta. (Lt)

You might also like