Professional Documents
Culture Documents
MODUL VI
6.1 Pendahuluan
Ambang adalah salah satu bangunan air yang dapat digunakan untuk
menaikkan tinggi muka air serta menentukan debit air. Dalam merancang
bangunan air, kita perlu mengetahui sifat-sifat atau karakteristik aliran air yang
melewatinya. Pengetahuan ini diperlukan untuk membuat bangunan air yang akan
sangat berguna dalam pendistribusian air maupun pengaturan sungai. Aliran yang
ditinjau dalam ambang merupakan aliran berubah tiba-tiba.
Terdapat perbedaan bentuk fisik antara ambang lebar dan ambang tajam
sehingga memengaruhi jatuhnya aliran. Pada ambang lebar, air akan jauh lebih
lunak dari ambang tajam untuk tinggi dan lebar ambang yang sama. Karakteristik
yang melalui ambang dibedakan menjadi beberapa tipe sebagai berikut.
1. Keadaan loncat
Keadaan loncat adalah tinggi muka air di hulu saluran tidak dipengaruhi
oleh tinggi muka air di hilir saluran.
2. Keadaan peralihan
Keadaan peralihan adalah tinggi muka air di hulu saluran mulai
dipengaruhi oleh tinggi muka air di hilir saluran.
3. Keadaan tenggelam
Keadaan tenggelam adalah tinggi muka air di hulu saluran dipengaruhi
olehh tinggi muka air di hilir saluran.
7. Pompa air
𝑃1 𝑣1 2 𝑃2 𝑣2 2
+ + 𝑧1 = + + 𝑧2
𝛾𝑎𝑖𝑟 2𝑔 𝛾𝑎𝑖𝑟 2𝑔
𝑃1 𝑣1 2 𝑃2 𝑣2 2
+ = +
𝛾𝑎𝑖𝑟 2𝑔 𝛾𝑎𝑖𝑟 2𝑔
𝑃1 − 𝑃2 𝑣2 2 − 𝑣1 2
= ......... (1)
𝛾𝑎𝑖𝑟 2𝑔
Diketahui :
𝑃1 − 𝑃2 = 12,6𝛾𝑤 ∆ℎ … … . . (2)
12,6𝛾𝑤 ∆ℎ 𝑣2 2 − 𝑣1 2
=
𝛾𝑤 2𝑔
Persamaan Kontinuitas
𝐴1 𝑣1 = 𝐴2 𝑣2
1 1
𝜋𝐷1 2 𝑣1 = 𝜋𝐷2 2 𝑣2
4 4
𝐷1 2
𝑣2 = ( ) 𝑣1 .......(4)
𝐷 2
𝐷1 4
12,6 . 2𝑔 . ∆ℎ = ( ) 𝑣1 2 − 𝑣1 2
𝐷2
𝐷 4
12,6 . 2𝑔 . ∆ℎ = [(𝐷1 ) − 1] 𝑣1 2
2
Diketahui :
Q = 𝐴1 𝑣1
Q = 171,8085 𝜋∆ℎ0,5
Untuk saluran persegi panjang dengan lebar konstan, energi khas dapat
ditulis dalam debit per satuan lebar :
𝑄 𝑣𝑦𝑙
q= = = 𝑣𝑦
𝑏 𝐿
Maka,
𝑞2
E=Y+
2𝑔𝑌 2
𝑑𝐸 𝑞2 𝑣2
=1− = 1 −
𝑑𝑌 2𝑔𝑌3 𝑔𝑌
Bilangan Froude
𝑣2 𝑑𝐸 𝑑𝐸
Fr = √ maka 𝑑𝑌 = 1 − 𝐹𝑟 2 = 1 − 𝐹𝑟 2 ............. (1)
𝑔𝑌 𝑑𝑌
Energi Total:
𝑣2
𝐻 = 𝐸 + 𝑧 = 𝑌 − 𝑔𝑌 + 𝑧 (konstan)
Diferensial terhadap X:
𝑑𝐸 𝑑𝑍 𝑑𝐸 𝑑𝑌 𝑑𝑍
+ 𝑑𝑋 = 0 ↔ 𝑑𝑌 . 𝑑𝑋 + 𝑑𝑋 = 0 ................... (2)
𝑑𝑋
𝑑𝑌 𝑑𝑍
(1 − 𝐹𝑟 2 ) + 𝑑𝑋 = 0 ...................(3)
𝑑𝑋
Dimana:
𝑑𝑍
= kenaikan / penurunan dasar saluran
𝑑𝑋
𝑑𝑌
= kenaikan / penurunan muka air
𝑑𝑋
𝑑𝑍
Karena terjadi kenaikan dasar saluran (ambang) maka 𝑑𝑋 > 0. Jadi
𝑑𝑌 𝑑𝑌
(1 − 𝐹𝑟 2 ) < 0. Bila aliran subkritis 𝐹𝑟 < 1, 𝑑𝑋 < 0 ting gi aliran di atas
𝑑𝑋
ambang berkurang. Setelah itu tinggi dasar saluran akan tetap atau konstan,
𝑑𝑍
yang berarti 𝑑𝑋 = 0, sehingga:
𝑑𝑌
(1 − 𝐹𝑟 2 ) = 0
𝑑𝑋
Oleh karena itu kemungkinan terjadi adalah:
(1 − 𝐹𝑟 2 ) = 0 atau Fr =1
Hal ini berarti di atas ambang akan terjadi aliran kritis. Pada aliran kritis
𝑑𝐸
terjadi E minimum atau = 0. Maka menurut persamaan (1):
𝑑𝑌
𝑑𝐸 𝑣2
= 1− 𝑔𝑌 = 0
𝑑𝑌
𝑄 = √𝑔. 𝐿. 𝐻𝑒 3/2
Dari eksperimen, harga Q merupakan kelipatan harga di atas, maka:
𝑄 = 𝐶𝑑. √𝑔. 𝐿. 𝐻𝑒 3/2
𝑄
𝐶=
𝐿. 𝐻𝑒 3/2
Q = debit yang melalui ambang
C = koefisien pengaliran
L = lebar saluran
He = tinggi muka air di hulu diukur dari bidang atas ambang saat
loncat
1. Tempatkan pelimpah pada kait pengunci yang ada di dasar saluran dan
pastikan dia terkunci dengan baik di atas dasar saluran.
1. Tempatkan pelimpah pada kait pengunci yang ada di dasar saluran dan
pastikan dia terkunci dengan baik di atas dasar saluran.
3. Setelah kondisi aliran stabil, ukur dan catat besarnya nilai Q dan H
untuk setiap pertambahan tinggi muka air kira-kira 10 mm, tinggi H
diukur dengan meteran taraf.
5. Hentikan aliran air dan setelah aliran berhenti melalui mercu, ukurlah
elevasi beberapa titik di sebelah hulu pelimpah dan tentukan bacaan
garis acuan air.
a. Ambang Lebar
a. Ambang Tipis
6.7 Perhitungan
6.8 Analisis
Pada grafik di atas, dapat dilihat profil aliran air pada ambang lebar dan
ambang tajam. Pada grafik terlihat aliran air pada keadaan loncat akan mengalami
kenaikan ketinggian setelah jatuh dari ambang. Hal ini karena pada saat jatuh dari
ambang, energi potensial aliran menurun, dan energi potensial yang hilang
tersebut digantikan oleh energi kinetik. Namun setelah 8jatuh dari ambang, aliran
air tersebut mengembalikan energi potensialnya dengan merubah energi kinetik
yang ada, sehingga tinggi muka air bertambah.
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa nilai He2, baik pada ambang lebar
maupun ambang tajam, memiliki nilai positif dan nilai negatif, sedangkan He1
memiliki nilai yang selalu positif. Nilai He1 yang selalu positif menunjukkan
bahwa He1, selalu lebih tinggi daripada tinggi ambang. Nilai He2 yang negatif
menunjukkan bahwa besarnya He2, tidak melebihi tinggi ambang, atau dengan
kata lain, tinggi muka air di hilir lebih rendah daripada ambang.
Pada keadaan loncat, nilai He2 positif, karena nilai He2 di dapat dari He2 =
tinggi ambang – Y2, dan pada keadaan loncat, Y2 lebih kecil dari tinggi ambang
sehingga nilai He2 positif. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan tinggi muka air di
hulu tidak dipengaruhi oleh tinggi muka air di hilir. Pada keadaan peralihan, nilai
He2 mendekati nol karena ketinggian air di hilir sudah mendekati tinggi ambang.
Pada keaadaan peralihan, nilai He1 mengalami kenaikan karena muka air di hulu
mulai dipengaruhi tinggi muka air di hilir saluran. Pada keadaan tenggelam, nilai
He2, negatif sedangkan He1 konstan. Hal ini disebabkan karena nilai He2 didapat
dari rumus He2 = tinggi ambang – Y2 dan pada keadaan tenggelam, Y2 lebih besar
dari tinggi ambang sehingga He2 bernilai negatif. Pada keadaan ini, ketinggian
muka air di hulu dipengaruhi oleh ketinggian muka air di hilir ambang.
6.8.3 He1 vs Q
Dari grafik di atas dapat dilihat hubungan antara tinggi muka air di atas
ambang (He1), baik pada ambang tajam maupun ambang lebar, dengan debit air
yang mengalir (Q). Hubungan antara He1 dan Q adalah berbanding lurus, dimana
nilai Q akan bertambah ketika nilai He1 bertambah. Hal ini sesuai dengan
persamaan Q = C . L . He3/2 , yaitu dimana semakin besar nilai Q maka semakin
besar juga nilai He1. Hal ini disebabkan karena ketika Q besar, air yang mengalir
di hulu ambang juga akan deras dan menyebabkan volume air di hulu meningkat,
sehingga air di hulu akan cepat naik dan menyebabkan ketinggian air di hulu
menjadi besar juga.
6.8.4 He1 vs C
Dari grafik dapat dilihat hubungan antara tinggi muka air di atas ambang
(He1) dengan koefisien pengaliran (C). Pada ambang lebar, nilai C yang didapat
bervariasi, berkisar 2,2-9,3, sedangkan nilai C yang diperoleh dari ambang tajam
berkisar 6,3-10. Karena C merupakan koefisien pengaliran, seharusnya nilai C
konstan, atau mendekati konstan. Tetapi seperti yang terlihat pada grafik He1 vs C
pada ambang lebar, nilai C bervariasi dan tidak konstan. Hal ini dikarenakan niali
C merupakan koefisien pengaliran yang nilainya konstan untuk masing-masing
nilai He, sehingga menyebabkan nilai C akan berbedan untuk nilai He yang
berbeda.
6.8.5 Q vs C
Dari grafik dapat dilihat hubungan antara debit air yang mengalir (Q)
dengan koefisien pengaliran (C). Pada grafik ambang lebar ambang lebar maupun
tajam terlihat nilai C tersebar dengan nilai yang berbeda-beda. Karena C
merupakan koefisien pengaliran, seharusnya C nilainya konstan. Namun, seperti
yang terlihat pada kedua grafik diatas, nilai C bervariasi dan tidak konstan. Hal ini
dikarenakan nilai C merupakan koefisien pengaliran yang nilainya konstan untuk
masing-masing nilai Q, sehingga menyebabkan nilai C akan berbeda untuk nilai Q
yang berbeda.
6.9 Kesimpulan
a. Dari hasil percobaan dan pertimbangan yang telah dilakukan didapat hasil
sebagai berikut :
Ambang Lebar
1) Tinggi H (m)
H1=0,0119 m
H2=0,0108 m
H3=0,099 m
2) Debit Aliran (Q)
Q1= 6,3x10-4 m3/s
Q2= 2,1x10-3 m3/s
Q3= 6,4x10-3 m3/s
3) Koefisien Debit
Cd1= 3,93
Cd2= 35
Cd3= 2,461
Ambang Tipis
4) Tinggi H (m)
H1=0,090 m
H2=0,071 m
H3=0,074 m
5) Debit Aliran (Q)
Q1= 1,8x10-3 m3/s
Q2= 5,9x10-3 m3/s
Q3= 7,5x10-3 m3/s
6) Koefisien Debit
Cd1= 2,4x10-5
Cd2= 1,1x10-4
Cd3= 1,3x10-4
b. Dari hubungan Q dan H dapat terlihat bahwa semakin besar nilai Q maka
semakin besar pula nilai H. Sehingga dapat disimpulkan semakin besar
nilai debit maka semakin besar ketinggiannya.
6.10 Saran
a. Sebaiknya pengambilan debit air dilakukan dari debit kecil ke debit
besar agar memudahkan untuk mengatur debit yang akan digunakan,
karena jika dilakukan dari debit besar ke debit kecil, aliran cenderung
tidak stabil.
b. Sebaiknya sebelum melakukan percobaan, keadaan awal alat
diperhatikan dengan lebih seksama, terutama ketika melakukan
kalibrasi alat. Hal ini agar data yang diperoleh dapat lebih presisi.
c. Sebaiknya percobaan ini dilakukan dengan rentang debit yang tidak
terlalu lebar dan acak, agar dapat meminimalisir ketidaktelitian
sehingga data yang diperoleh bisa lebih akurat.