You are on page 1of 7

ACARA II

PENENTUAN PANAS SPESIFIK BAHAN

A. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum acara II Penentuan Panas Spesifik Bahan ini adalah :
a. Mahasiswa mampu memahami salah satu metode penentuan panas spesifik
bahan hasil pertanian.
b. Mahasiswa dapat menentukan besarnya panas spesifik bahan hasil pertanian.
B. Tinjauan Pustaka
a. Tinjauan Bahan
Tepung yang dihasilkan dari beras dapat digunakan sebagai bahan
baku dalam pembuatan kue, roti, makanan bayi dan lain- lain. Mengingat
tingginya tingkat kebutuhan konsumen, maka ketersediaan tepung dalam
jumlah yang cukup besar dengan kualitas yang bagus perlu diupayakan
secara serius. Proses pengolahan padi menjadi tepung menghasikan tepung
beras. Proses ini merupakan usaha pengecilan bentuk (ukuran) dari bentuk
asal berupa beras. Proses ini dapat dilakukan secara tradisional ataupun
secara mekanis menggunakan mesin penggiling. Proses pengolahan tepung
beras dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara kering dan basah. Jika
proses pengoahan tepung menggunakan sistim basah, maka hasil tepung yang
dihasilkan harus dikeringkan kembali. Hal ini penting dilakukan agar tepung
beras yang dihasilkan dapat disimpan lama (Khatir, 2011).
Panas spesifik tepung beras sama dengan panas spesifik tepung padian
(gandum, cantel) yang juga memiliki nilai sama dengan panas spesifik tepung
kering (kanji) sebesar 1.54 kJ/(kg)(°C) = 0.37 kcal/(kg)(°C). Panas spesifik
untuk padipadian lain dapat ditentukan dengan kadar lengas yang berlainan.
Sedangkan panas spesifik bahan kering sayuran dan buah-buahan adalah 0.8-
0.9 kJ/(kg)(°C) dan untuk susu kering kaya lemak adalah 1.8-1.9 kJ/(kg)(°C),
menunjukkan bahwa panas spesifik bahan kering pada bahan yang berlainan
adalah sangat berbeda (Khatir, 2011).
Selain itu, karakteristik tepung beras, diantaranya dilihat dari kadar air
yang dikandungnya. Tepung beras yang terfosforilasi ternyata memiliki kadar
air yang beragam. Kadar air tepung beras biasa umumnya lebih tinggi kadar
air tepung beras terfosforilasi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
perbedaan dalam proses pengeringan awal. Tepung beras biasa dikeringkan
dengan cara dijemur, dimana suhu tidak terkontrol dan tidak kontinyu,
sedangkan tepung beras terfosforilasi dikeringkan dengan oven blower pada
suhu yang terkontrol (450°C) dan berlangsung kontinyu (Khatir, 2011).
b. Tinjauan teori
Sifat fisik bahan makanan berbasis pertanian dapat dikelompokkan
menjadi 5 kategori yaitu sifat termofisik/thermal, meliputi konduktivitas
thermal, kapasitas panas spesifik, titik beku dan besaran besaran termofisik
lainnya yang merupakan fungsi suhu dan komposisi bahan, sifat mekanik
(rheologi dan tekstur), meliputi viskositas, modulus elastis, gaya tekan, dan
sifat bahan makanan cair dan padat, sifat kelistrikan, meliputi konduktivitas
terhadap arus searah berfrekuensi 50 Hz dan permitivitas dielektrik kompleks
pada frekuensi 915 dan 2450 MHz, koefisien difusi dan sifat penjerapan
terhadap air, berkaitan dengan keamanan terhadap aktivitas mikrobiologi,
sifat optik (spektral dan warna). Dalam hal ini, percobaan bertujuan
mengetahui fisik bahan pangan pertanian bersifat termofisik
(Huang dkk, 2004).
Bahan pertanian juga dibutuhkan dalam pengolahan makanan.
Pengolahan makanan melibatkan pemanasan atau pendinginan bahan pangan
berbagai komposisi lebih dari berbagai suhu. Desain optimal proses
membutuhkan pengetahuan tentang sifat teknis bahan makanan termasuk
sifat termal sebagai fungsi dari variabel yang relevan dengan kondisi
pengolahan dan penyimpanan. Panas spesifik (cp) merupakan parameter
penting yang sangat termodinamika digunakan dalam perpindahan panas dan
perhitungan neraca energi. Panas spesifik sensitif terhadap komposisi bahan
tertentu jika memanaskan komponen individu yang berbeda dan interaksi
antar komponen material. Panas spesifik material biasanya meningkat sebagai
fungsi temperatur. Peralatan, waktu, dan tenaga kerja yang terkait dengan
generasi data eksperimen yang akurat untuk membuat basis data yang relevan
dengan pengolahan dan kondisi penyimpanan dapat menjadi substansial
(Huang dkk, 2004).
Cara kerja kalor ialah dengan perpindahan panasnya. Kalor dapat
berpindah dalam tiga cara yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. Perpindahan
kalor secara konduksi lebih cepat dibanding cara konveksi, sedangkan
perpindahan kalor melalui radiasi paling lambat dibanding cara aliran yang
lain. Konduksi kalor biasanya bermedium padat dan perpindahan kalor itu
disebabkan oleh perpindahan tenaga getar atom ke atom tetangganya.
Adapun konveksi kalor biasa terjadi pada medium cair dan udara, yang
dicirikan oleh ikut berpindahnya atom atau molekul pembawa kalor. Jadi
pada konveksi, atom atau molekul itu boleh jadi melakukan gerak translasi,
rotasi, dan vibrasi sekaligus. Perpindahan kalor melalui radiasi tidak
memerlukan medium sehingga peristiwa ini bisa terjadi pada medium udara
atau hampa (Chaidir dkk, 2006).
Perpindahan panas memiliki kemampuan menjadi sangat rendah
dalam mode panas atas, karena untuk membatasi refluks dengan kekuatan
kapiler. Perpindahan kalor pada kondisi tertentu dapat dirumuskan q = M c
∆T, di mana q adalah kalor yang dipindahkan ke benda dengan massa M
(kg/s) dengan kapasitas kalor spesifik c (J/kg. K) untuk menyebabkan
perubahan suhu sebesar ∆T (K). Perpindahan panas terutama dengan
transportasi panas berpengaruh banyak dalam penggabungan yang tidak
terkondensasi gas (Giancoli, 1996).
Sedangkan kalor bahan pertanian memiliki spesifikasi tertentu. Nilai
kalor tergantung pada sifat bahan yang memperngaruhi massa jenisnya.
Sehingga semakin tinggi berat jenis bahan bakar, maka semakin tinggi nilai
kalor yang diperolehnya. Nilai kalor juga akan berpengaruh pada laju
pembakaran pada proses pembakaran, semakin tinggi nilai kalor bakar maka
semakin lambat laju pembakaran pada proses pembakaran (Giancoli, 1996).
Kalor juga dapat menentukan suatu panas spesifik bahan pertanian
(kalor jenis bahan). Panas spesifik (Cp) bahan pangan pertanian merupakan
jumlah panas yang dibutuhkan untuk meningkatkan temperatur satu satuan
kuantitas bahan pangan sebesar satu derajat dikali bobot produk dikali
perubahan temperatur yang diinginkan. Sifat fisik bahan seperti dimensi,
densitas, panas laten, panas jenis serta sifat termal yaitu konduktivitas termal,
difusivitas termal, dan emisivitas termal. Data sifat fisik bahan juga sangat
diperlukan dalam operasi pada industri pengolahan pangan guna
pengembangan model termal untuk mendapatkan hasil yang akurat serta
memprediksi atau mengontrol panas dalam bahan makanan selama proses
pengolahan (Giancoli, 1996).
Untuk menimbulkan kenaikan suhu yang sama dari banyaknya panas
yang diperlukan adalah berbeda-beda dari bahan ke bahan. Misalkan suhu
sebuah benda naik dengan t derajat, sebagai akibat pemberian panas
padanya sebanyak Q, jadi kapasitas panas adalah perbandingan antara
banyaknya panas yang diberikan dengan kenaikan suhu. Kapasitas panas
pada umumnya dinyatakan dengan kalori per derajat Celcius atau Btu per
derajat Fahrenheit. Dalam persamaan terlihat bahwa numerik kapasitas panas
itu sama dengan jumlah panas yang harus diberikan pada benda itu agar
suhunya naik satu derajat. Kapasitas panas jenisnya (specific heat capacity)
didefinisikan sebagai kapasitas panas per satuan massa bahan. Pada
umumnya kapasitas panas jika dinyatakan dengan kalori per gram derajat
Celcius atau Btu per pound derajat Fahrenheit (Suradji, 1998).
Dua bahan yang terbuat dari bahan yang sama memiliki kapasitas
panas yang sebanding dengan massanya. Oleh karena itu, menentukan
kapasitas panas per satuan massanya atau panas spesifik panas c merujuk
kepada massa suatu bahan. Spesifik panas suatu bahan sebenarnya
bergantung pada seberapa besar suhu.
Q = mcT = cm(Tf – Ti)
Dengan panas spesifik air sebagai berikut :

c = 1 cal/g' Co = 1 Btu/lb' FO = 4186.8 J/kg' K


(Halliday et al., 2011).
Karena panas jenis air praktis konstan meliputi jangkauan temperatur
yang lebar, panas jenis sebuah benda dengan mudah dapat diukur dengan
memanaskan benda sampai suatu temperatur tertentu yang mudah diukur,
dengan menempatkannya dalam bejana air yang massa dan temperaturnya
diketahui, dan dengan mengukur temperatur campuran benda dan air
tersebut. Jika sebuah sistem terisolasi dari sekitarnya maka panas yang
keluar dari benda sama dengan panas yang masuk ke air dan wadahnya.
Prosedur ini dinamakan kalorimetri, dan wadah air yang terisolasi
dinamakan kalorimeter. Misalkan m adalah massa benda, c adalah panas
jenis, dan Tio adalah temperatur awal. Jika Tf adalah temperatur akhir benda
dalam bejana air, maka panas yang keluar dari benda adalah

Qkeluar = mc(Tio – Tf)

panas yang diserap oleh air dan wadahnya adalah

Qmasuk = maca(Tf – Tia) + mwcw(Tf – Tia)

karena jumlah panas ini sama, panas jenis c benda dapat dihitung dengan
menuliskan panas yang keluar dari benda sama dengan panas yang masuk air
dan wadahnya.

Qkeluar = Qmasuk
mc(Tio – Tf) = maca(Tf – Tia) + mwcw(Tf – Tia)

(Tipler et al., 1991).

Massa sampel tertentu (m sample) adalah ditetapkan pada suhu awal


ditentukan (T1) dan kemudian ditambahkan dalam bejana adiabatik
(kalorimeter atau Dewer labu) pada suhu awal ditentukan (T2), yang
kapasitas kalorimetrik (C calorimeter) nya harus diketahui. Kemudian,
dicampur dengan massa jenis dari cairan dengan sifat dikenal (air, secara
umum – m air, Cp air) di T2 Setelah kesetimbangan termal (di T3, dimana
T2<T3<T1), Panas spesifik sampel (Cp sample) dengan demikian diperoleh
dari keseimbangan energi menggunakan Persamaan 1:

(Oliveira et al., 2012).


Panas jenis dapat ditentukan dengan metode campuran (method of
mixtures). Metode ini banyak dipakai karena caranya sederhana yaitu
dengan memasukkan bahan yang sudah diketahui masanya (WS) kedalam
kalorimeter berisi air yang sudah diketahui berat (WW) dan kapasitas
panasnya (CW). Pengukuran dengan metode campuran didasarkan pada
hukum keseimbangan panas dalam kalorimeter. Kapasitas panas kalorimeter
(HC) dapat ditentukan dengan mencampur sejumlah air yang berbeda suhu
awalnya dalam kalorimeter hingga dicapai suhu keseimbangan
(Manalu, 2011).
Panas spesifik bahan meningkat dengan semakin besarnya diameter
butiran atau luas permukaan bahan. Kondisi ini disebabkan karena semakin
besar diameter, maka semakin banyak udara yang terkandung pada bahan.
Kondisi ini cukup beralasan karena panas jenis udara jauh lebih besar
dibandingkan panas spesifik bahan (Napitupulu, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Chaidir, Andi., Sugondo dan Aslina Br Ginting. 2006. Karakterisasi Panas Jenis
Zircaloy-4 Sn Rendah (ELS) dengan Variabel Konsentrasi Fe. Jurnal
Teknologi Bahan Nuklir, Vol.2 (1) : 1-2. Batan.Serpong.
Giancoli, Douglas C., 1996. Fisika Jilid 1 Edisi Empat. Erlangga. Jakarta.
Halliday, David., Robert Resnick dan Jearl Walker. 2011. Fundamentals Of Physics
9th Edition. John Wiley & Sons, Inc. Hoboken.
Huang, Rei-May., Wei Hsien Chang, Yung-Ho Chang, dan Cheng Yi-Lii. 1994.
Phase Transition of Rice Starch and Flour Gels. Cereal Chemistry Vol.71,
No.2, Hal. 203.
Khatir, Rita., Ratna, dan Wardani. 2011. Karakteristik Pengeringan Tepung Beras
Menggunakan Alat Pengering Tipe Rak. Jurnal Ilmiah Pendidikan Biologi,
Biologi Edukasi Vol. 3, No. 2, Hal. 1.
Manalu, Lamhot P. dan Wahyu Purwanto. 2011. Penentuan Sifat Termofisik Mahkota
Dewa (Thermal Properties of Phaleria Macrocarpha). Jurnal Sains dan
Teknologi Indonesia Vol. 13, No. 3, Hal.178.
Napitupulu, Farel H. 2006. Pengaruh Nilai Kalor (Heating Value) Suatu Bahan
Bakar Terhadap Perencanaan Volume Ruang Bakar Ketel Uap Berdasarkan
Metode Penentuan Nilai Kalor Bahan Bakar yang Dipergunakan. Jurnal
Sistem Teknik Industri, Vol.7 (1) : 60 – 65. USU. Sumatra Utara.
Oliveira, J. M., Lessio, B. C., Morgante, C. M., Santos, M. M. and Augusto, P. E. D.
2012. Specific Heat (Cp) Of Tropical Fruits: Cajá, Cashew Apple, Cocoa,
Kiwi, Pitanga, Soursop Fruit And Yellow Melon. International Food Research
Journal 19 (3) : 811-814. Unicamp. Brazil
Suradji, 1998. Pengantar Fisika Teknik. UNS Press. Surakarta
Tipler, Paul A. 1991. Fisika untuk Sains dan Teknik. Erlangga. Jakarta.

You might also like