Professional Documents
Culture Documents
Kewajiban setiap muslim adalah berlomba-lomba mencari keberkahan bulan ini dengan banyak
beramal shalih, agar kita termasuk orang-orang yang dimerdekakan oleh Allah dari api Neraka.
Sungguh sangat merugi orang yang keluar dari bulan Ramadlan dalam keadaan tidak mendapat
ampunan Allah Ta’ala. Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu berkata:
َآم ْي َن ث ُ َّم َرقِ َى الثَّا ِنيَة ِ سلَّ َم َرقِ َى ا ْل ِم ْنبَ َر فَ َل َّما َرقِ َى الد ََّر َجةَ ْاْلُولَى قَا َل َ علَ ْي ِه َو َ ُصلَّى هللا َ أ َ َّن النَّبِ َّي
ت قَا َل َل َّما ٍ آم ْي َن ث َ ََل َث َم َّرا ِ س ِم ْع َناكَ تَقُ ْو ُل َ هللا ِ س ْو َل ُ آم ْي َن فَقَالُوا َيا َر ِ آم ْي َن ث ُ َّم َر ِق َى الثَّا ِلث َ َة فَقَا َل
ِ فَقَا َل
سلَ َخ َ ان فَا ْنَ ض َ ع ْب ٌد أَد َْركَ َر َم َ ش ِق َي َ سلَّ َم فَقَا َل َ ع َل ْي ِه َو
َ ُصلَّى هللا َ َرقِيْتُ الد ََّر َجةَ اْلُولَى َجا َءنِي ِج ْب ِر ْي ُل
ُع ْب ٌد أَد َْركَ َوا ِل َد ْي ِه أ َ ْو أ َ َح َد ُه َما فَ َل ْم يُد ِْخ ََلهُ ا ْل َجنَّةَ فَقُ ْلت
َ ش ِق َي ِ ُِم ْنهُ َولَ ْم يُ ْغفَ ْر لَهُ فَقُ ْلت
َ آم ْي َن ث ُ َّم قَا َل
ِ ُعلَ ْيكَ فَقُ ْلت
.آم ْي َن َ ُع ْب ٌد ذُ ِك ْرتُ ِع ْن َدهُ َولَ ْم ي
َ ص ِ ِّل َ ش ِق َي َ آم ْي َن ث ُ َّم قَا َل
ِ
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam menaiki mimbar, ketika beliau menaiki tangga
yang pertama beliau bersabda, “Aamiin.” Ketika menaiki tangga kedua beliau berucap,
“Aamiin.” Ketika menaiki tangga yang ketiga beliau berucap, “Aamiin.” Para shahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan Aamiin tiga kali.” Beliau bersabda,
“Ketika aku menaiki tangga yang pertama, Jibril ‘alaihissalam datang kepadaku dan berkata,
“Celaka hamba yang mendapati bulan ramadlan, setelah lepas darinya ternyata ia tidak diampuni
dosa-dosanya.” Akupun mengucapkan Aamiin. Kemudian ia berkata, “Celaka hamba yang
mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya namun tidak memasukkannya ke dalam surga.
Akupun mengucapkan Aamiin. Kemudian ia berkata, “Celaka hamba yang disebutkan namamu
di sisinya tetapi ia tidak bershalawat untukmu. Akupun mengucapkan Aamiin. (HR Al Bukhari
dalam Al Adabul Mufrad[1]).
Setiap kita pasti tidak rela bila terkena do’a tersebut, maka tiada jalan kecuali bersungguh-
sungguh menjalani ramadlan dengan banyak beramal shalih.
1. Shaum Ramadlan.
ُ سابًا
غ ِف َر َ ِان ِإي َمانًا َواحْ ت
َ ض َ سلَّ َم َم ْن
َ صا َم َر َم َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا ُ ع َْن أ َ ِبي ُه َر ْي َرةَ قَا َل َقا َل َر
َّ سو ُل
رواه البخاري ومسلم.لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن ذَ ْن ِب ِه
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa
yang berpuasa ramadlan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang
telah lalu”. (HR Bukhari dan Muslim).
Shoum adalah ibadah yang agung di sisi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Pada hari kiamat, shoum akan datang memberikan syafa’at kepada pelakunya. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
ت
ِ ش َه َوا َّ ب َم َن ْعتُهُ ال
َّ ط َعا َم َوال ِِّ الص َيا ُم أ َ ْي َر
ِّ ِ ان ِل ْل َع ْب ِد َي ْو َم ا ْل ِق َيا َم ِة َيقُو ُل ْ الص َيا ُم َوا ْلقُ ْرآ ُن َي
ِ ش َف َع ِّ ِ
ِ َشفَّع
ان َ َ
َ ُش ِفِّ ْعنِي فِي ِه قا َل في َ ْ
َ ش ِفِّ ْعنِي فِي ِه َويَقُو ُل القُ ْرآ ُن َمنَ ْعتُهُ النَّ ْو َم ِباللَّ ْي ِل ف َ
َ ِبالنَّ َه ِار ف
“Shiyam dan al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada hamba pada hari kiamat. Shiyam
berkata,”Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan dan syahwatnya di waktu siang maka
beri aku syafa’at untuknya. Al Qur’an berkata,”Ya Rabb, aku telah mencegahnya tidur di waktu
malam, beri aku syafa’at untuknya.” (HR Ahmad).[2]
Bahkan, orang yang berpuasa akan disediakan pintu khusus ke surga, pintu itu bernama Royyan,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
Namun, berapa banyak orang yang berpuasa akan tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali
menahan haus dan lapar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
Hal itu terjadi karena ia tidak berpuasa dari apa yang Allah haramkan, ia seakan menganggap
bahwa puasa itu hanya menahan diri dari pembatal-pembatal puasa saja, dalam hadits:
Karena hakikat shaoum adalah menahan dari dari segala sesuatu yang tidak bermanfaat untuk
kehidupan akhirat kita, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
الرفَث
َّ الص َيا ُم ِم َن اللَّ ْغ ِو َو ِ الصيَا ُم ِم َن اْل َ ْك ِل َوالش َّْر
ِّ ِ ب إِنَّ َما َ لَ ْي
ِّ ِ س
“Bukanlah shoum itu sebatas menahan diri dari makanan dan minuman, akan tetapi shoum
adalah menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata kotor.” (HR Ibnu Khuzaimah).[5]
Adapun rukun puasa ada dua, pertama adalah niat dan kedua adalah menahan diri dari semua
perkara yang membatalkan puasa seperti makan dan minum dengan sengaja, jima’ di siang hari,
haidl dan nifas, muntah dengan sengaja dan murtad dari agama islam. Kaidah yang hendaknya
kita ketahui adalah bahwa tidak boleh kita mengklaim bahwa sesuatu itu membatalkan puasa
kecuali dengan dalil syari’at yang shahih. Barang siapa yang yang melakukan pembatal-pembatal
puasa dengan sengaja maka tidak bermanfaat baginya qodlo, kewajiban ia adalah bertaubat
kepada Allah. Sedangkan bila ia melakukannya karena udzur maka hendaklah ia mengqodlo.
Adapun syarat-syarat wajibnya puasa ada enam yaitu: Muslim, baligh, berakal, mempunyai
kemampuan untuk berpuasa, muqim tidak safar, dan tidak haidl dan nifas.
2. Qiyam ramadlan.
ُغ ِف َر لَه
ُ سابًا
َ ان ِإي َمانًا َواحْ ِت
َ ضَ سلَّ َم قَا َل َم ْن قَا َم َر َم
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا ُ ع َْن أ َ ِبي ُه َر ْي َرةَأ َ َّن َر
َّ سو َل
رواه البخاري ومسلم.َما تَقَ َّد َم ِم ْن ذَ ْن ِب ِه
Dari abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang
siapa yang qiyamulail di bulan ramadlan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-
dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan muslim).
Qiyam Ramadlan adalah ibadah yang berpahala besar yang senantiasa dirutinkan oleh para
shahabat dan generasi setelahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya
secara berjama’ah selama tiga malam, lalu beliau tinggalkan karena khawatir di wajibkan atas
umatnya. Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dalam mushannafnya (2/264 no 7746) dengan sanad
yang shahih kepada Aisyah rdliyallahu ‘anha, ia berkata:
صلَّى َ اس ث ُ َّم ٌ َس ِج ِد َو َمعَهُ ن ْ ان فِي ا ْل َم َ ض َ شه ِْر َر َم َ سلَّ َم لَ ْيلَةً فِي َ علَ ْي ِه َو
َ ُصلَّى هللا َ ِس ْو ُل هللا ُ صلَّى َر َ
ص َّ غ َ س ِج ُد َحتَّى َ
ْ امتَ َل ا ْل َم َ
ْ الرا ِب َعة َ َ
َّ ت الثَّا ِلثَة أ ْو َ ُ َ َ َ َ
ِ الثَّانِيَة فاجْ ت َ َم َع تِ ْلكَ اللَّ ْي َلة أ ْكث َ َر ِم َن ْاْل ْولَى فلَ َّما كَا َن
ب َما َزا َل ِ طاَّ ع َم ُر ْب ُن ا ْل َخُ صبَ َح قَا َل ْ َ ص ََلةَ فَلَ َّما أ َّ اس يُ َناد ُْونَهُ ال ُ َّبِأ َ ْه ِل ِه فَلَ ْم يَ ْخ ُرجْ إِلَ ْي ِه ْم فَ َجعَ َل الن
شيْتُ أ َ ْن يُ ْكت َ َبِ علَ َّي أ َ ْم ُر ُه ْم َولَ ِك ِنِّ ْي َخ َ ف ُ اس َي ْنت َ ِظ ُر ْونَكَ ا ْل َب ِار َحةَ َيا َر
َ س ْو َل هللاِ قَا َل أ َ َما أَنَّهُ لَ ْم َي ْخ ُ َّالن
.علَ ْي ِه ْمَ
“Suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di bulan Ramadlan di masjid
bersama beberapa orang. Di malam kedua beliau kembali shalat, dan orang-orang yang ikut
shalat lebih banyak dari malam pertama. Ketika di malam ketiga atau keempat, masjid menjadi
penuh sampai-sampai beliau masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar. Maka orang-orang
memanggil beliau, “Shalat !” Di pagi harinya, Umar bin Al Khathab berkata, “Tadi malam
orang-orang menunggumu hai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Perbuatan mereka tidak
tersembunyi bagiku, akan tetapi aku khawatir di wajibkan atas mereka.”
Kemudian beliau tidak qiyam bersama kami sampai tersisa tiga hari bulan Ramadlan, beliau
memanggil istri-istrinya dan keluarganya, beliau pun qiyam dengan kami (di malam 27) hingga
kami khawatir tidak sempat melakukan al falah. Aku berkata: “Apa itu al Falah ?” ia berkata:
“Sahur”. (HR At Tirmidzi, ibnu Majah, ibnu Hibban, ibnu Khuzaimah dan lainnya. At Tirmidzi
berkata: “Hadits hasan shahih”.)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa orang yang qiyam bersama imam sampai selesai, dituliskan
untuknya shalat semalam suntuk. Ini adalah keutamaan yang besar bagi orang yang
melakukannya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah dan para shahabat melakukan
shalat tarawih di awal malam, bukan di akhir malam dan itulah waktu yang paling utama untuk
shalat tarawih.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qiyam ramadlan secara berjama’ah hanya tiga
malam saja karena beliau khawatir di wajibkan atas umatnya. Namun setelah wafat, tidak
mungkin lagi wahyu turun dan tidak mungkin diwajibkan. Oleh karena itu Umar memandang
untuk kembali dilaksanakan qiyam ramadlan dengan satu imam. Imam Al Bukhari meriwayatkan
dalam shahihnya dari Abdurrahman bin Al Qari ia berkata:
ٌ اس أ َ ْو َزا
ع ُ َّس ِج ِد َف ِإذَا الن
ْ ان ِإلَى ا ْل َم َ ض َ ع ْنهُ لَ ْي َلةً فِي َر َم َ ُب َر ِض َي هللا ِ طا َّ ع َم َر ْب ِن ا ْل َخُ َخ َرجْ تُ َم َع
إِنِِّي أ َ َرى لَ ْو:ع َم ُر ُ ط فَقَا َل ُ الر ْه َّ صَلَتِ ِهَ ص ِلِّي ِب َ ُالر ُج ُل فَي
َّ ص ِلِّي َ ُس ِه َوي ِ الر ُج ُل ِلنَ ْف
َّ ص ِلِّي َ ُُمتَفَ ِ ِّرقُ ْو َن ي
ُب ث ُ َّم َخ َرجْ تُ َم َعه ٍ علَى أ ُ َب ِِّي ْب ِن َك ْعَ َان أ َ ْمثَ َل ث ُ َّم ع ََز َم فَ َج َم َع ُه ْم
َ اح ٍد لَك ِ علَى قَ ِار ٍئ َو َ َج َمعْتُ َهؤ َُل ِء
ض ُل َ ع َم ُر نِ ْع َم ا ْلبَ ْدعَةُ َه ِذ ِه َوالَّتِي يَنَا ُم ْو َن
َ ع ْن َها أ َ ْف ُ صَلَ ِة قَ ِارئِ ِه ْم قَا َل
َ صلُّ ْو َن ِب َ ُاس ي ُ َّلَ ْيلَةً أ ُ ْخ َرى َوالن
.ُاس يَقُ ْو ُم ْو َن أ َ َّو َله
ُ ََّان الن َ آخ َر اللَّ ْي ِل َوك ِ ِم َن الَّتِي يَقُ ْو ُم ْو َن يُ ِر ْي ُد
“Aku keluar bersama Umar bin Al Khathab radliyallahu ‘anhu suatu malam di bulan Ramadlan
menuju masjid. Ternyata manusia berpencar pencar; ada yang shalat sendirian, dan ada yang
berjamaah dengan beberapa orang. Umar berkata: “Aku memandang seandainya dikumpulkan
kepada satu imam saja, tampaknya lebih bagus.” Kemudian beliau bertekad kuat melakukannya.
Di malam yang lain, aku keluar bersamanya, sementara manusia shalat berjama’ah dengan imam
mereka. Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Dan waktu yang biasa mereka tidur
padanya lebih baik dari yang mereka bangun padanya[6]”. Maksudnya akhir malam dan dahulu
mereka melakukannya di awal malam.
Perkataan Umar: “Sebaik-baiknya bid’ah”. Maksudnya adalah bid’ah secara bahasa, dan bukan
bid’ah secara istilah. Karena bagaimana mungkin disebut bid’ah secara istilah sementara
perbuatan itu pernah dilakukan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Kemudian
Rasulullah meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya sedangkan kaidah
berkata: “Suatu ibadah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, kemudian ditinggalkan oleh
beliau karena khawatir diwajibkan, maka boleh melakukannya setelah Rasulullah wafat, karena
alasan khawatir diwajibkan telah hilang.
Disunnahkan tidak melebihi sebelas raka’at, karena itu yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk dirinya dan yang paling utama, sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu
‘anha:
Namun apakah boleh melebihi sebelas raka’at? Ini menjadi perselisihan diantara para ulama;
mayoritas ulama salaf dan belakangan berpendapat boleh lebih dari sebelas raka’at, bahkan Al
Qadli ‘Iyadl berkata, “Tidak ada perselisihan diantara ulama bahwa shalat malam tidak ada
batasannya dimana tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena shalat malam adalah termasuk
ketaatan yang apabila bertambah maka bertambah pula pahalanya. Yang menjadi perselisihan
adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan pilihan beliau untuk dirinya
sendiri.”
Pendapat yang penulis pilih adalah pendapat mayoritas ulama yang membolehkan lebih dari
sebelas raka’at, berdasarkan hadits:
Hadits ini mutlak tidak memberikan batasan jumlah, adapun hadis Aisyah di atas tidak dapat
mengkhususkan keumuman hadits ini karena beberapa alasan:
Pertama: Hadits Aisyah itu menceritakan tentang perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
sedangkan perbuatan tidak bisa mengkhususkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
sebagaimana disebutkan dalam kitab ushul fiqih.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan agar shalat malam hanya sebelas
raka’at saja, namun sebatas perbuatan beliau sedangkan semata-mata perbuatan hanya
menghasilkan hukum sunnah.
Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang melebihi sebelas raka’at, oleh karena
itu Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Qiyam Ramadlan tidak ditentukan oleh
Nabi jumlah tertentu, beliau hanya tidak menambah melebihi tiga belas raka’at di bulan
Ramadlan maupun di bulan lainnya… siapa yang meyakini bahwa jumlah qiyam Ramadlan
ditentukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang
maka ia telah salah.”[7]
3. Tadarus Al Qur’an.
Membaca Al Qur’an adalah ibadah yang agung dan dzikir yang paling utama. Al Qur’an akan
memberikan syafa’at kepada setiap orang yang membacanya, sebagaimana dalam hadits:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan pahala yang besar untuk orang yang membaca Al
Qur’an, beliau bersabda:
Bulan Ramadlan adalah bulan Al Qur’an, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di setiap
bulan Ramadlan tadarus Al Qur’an bersama malaikat Jibril ‘alaihissalam. Ibnu Abbas berkata:
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tadarus Al Qur’an bersama
Jibril ‘alaihissalam di malam bulan Ramadlan, ini menunjukkan bahwa waktu yang paling utama
untuk membaca Al Qur’an dan mempelajarinya di bulan Ramadlan adalah di waktu malam. Dan
ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits:
ت
ِ ش َه َوا َّ ب َم َن ْعتُهُ ال
َّ طعَا َم َوال ِِّ الصيَا ُم أ َ ْي َر
ِّ ِ ان ِل ْلعَ ْب ِد يَ ْو َم ا ْل ِق َيا َم ِة يَقُو ُل ِ شفَ َعْ َالصيَا ُم َوا ْلقُ ْرآ ُن ي
ِّ ِ
ِ َشفَّع
ان َ َ
َ ُش ِفِّ ْعنِي فِي ِه قا َل في َ
َ ش ِفِّ ْعنِي فِي ِه َويَقُو ُل ا ْلقُ ْرآ ُن َمنَ ْعتُهُ النَّ ْو َم ِباللَّ ْي ِل ف َ
َ ِبالنَّ َه ِار ف
“Shoum dan Al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat.
Shoum berkata, “Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan dan syahwat di waktu siang,
izinkan aku memberi syafa’at untuknya.” Al Qur’an berkata, “Aku telah mencegahnya tidur di
waktu malam, izinkan aku memberi syafa’at untuknya. Keduanya pun diberi izin untuk memberi
syafa’at.” HR Ahmad dan lainnya.[11]
Hadits ini menunjukkan keutamaan membaca Al Qur’an di bulan Ramadlan, oleh karena itu
dahulu salafushalih lebih banyak menyibukkan dirinya dengan membaca Al Qur’an ketika
datang bulan Ramadlan. Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Dahulu
salafushalih memperbanyak membaca Al Qur’an di bulan Ramadlan, dalam shalat dan dalam
kesempatan lainnya. Imam Az Zuhri rahimahullah apabila telah masuk Ramadlan berkata, “Ia
hanyalah untuk membaca Al Qur’an dan memberi makan.” Imam Malik rahimahullah apabila
telah datang bulan Ramadlan meninggalkan membaca hadits dan majelis-majelis ilmu dan lebih
menyibukkan diri dengan membaca Al Qur’an dari mushhaf. Imam Qatadah biasanya
mengkhatam Al Qur’an di setiap tujuh hari, dan di bulan Ramadlan beliau mengkhatam setiap
tiga hari…[12]
Imam Abdurrazzaq bin Hammam Ash Shan’ani berkata, “Sufyan Ats Tsauri apabila telah masuk
bulan Ramadlan, beliau meninggalkan semua ibadah (yang sunnah) dan bersungguh-sungguh
membaca Al Qur’an. Dan Aisyah radliyallahu ‘anha membaca mushaf di awal siang di bulan
Ramadlan, apabila matahari telah terbit beliapun tidur.”[13]
4. Memperbanyak shodaqoh.
Dalam hadits ibnu Abbas yang telah kita sebutkan tadi disebutkan: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya
di bulan Ramadlan… al hadits.
Hadits tersebut memberikan faidah kepada kita bahwa kedermawanan hendaknya lebih di
tingkatkan lagi di bulan Ramadlan. Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih
meningkatkan kedemawanan di bulan Ramadlan secara khusus?? Al Hafidz ibnu Rajab
menyebutkan banyak faidah mengapa demikian. Beliau berkata, “Meningkatnya kedermawanan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadlan secara khusus memberikan faidah
yang banyak, diantaranya:
Pertama: Bertepatan dengan waktu yang mulia dimana amalan dilipatkan gandakan pahalanya
bila bertepatan dengan waktu yang mulia.
Kedua: Membantu orang-orang yang berpuasa, sholat malam, dan berdzikir dalam ketaatan
mereka, sehingga orang yang membantu itu mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang
yang dibantu. Sebagaimana orang yang memberikan persiapan perang kepada orang lain
mendapat pahala seperti orang yang berperang.
Ketiga: Allah amat dermawan kepada hamba-hamabNya di bulan Ramadlan dengan memberikan
kepada mereka rahmat, ampunan dan kemerdekaan dari api Neraka, terutama di malam lailatul
qodar. Allah merahmati hamba-hambaNya yang kasih sayang, sebagaimana Sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam:
Barang siapa yang dermawan kepada hamba-hamba Allah, maka Allahpun akan dermawan
kepadanya dengan karuniaNya, dan balasan itu sesuai dengan jenis amalan.
Keempat: Menggabungkan puasa dan sedekah adalah sebab yang memasukkan ke dalam surga,
sebagaimana dalam hadits Ali Radliyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ور َها فَقَا َم أَع َْرا ِب ٌّي فَقَا َل ِل َم ْن ِه َيِ ظ ُهُ طونُ َها ِم ْن ُ ُطو ِن َها َوب ُ ُور َها ِم ْن ب ُ ظ ُه ُ غ َرفًا ت ُ َرى ُ ِإ َّن فِي ا ْل َجنَّ ِة
اس نِيَام ُ ََّلِل ِباللَّ ْي ِل َوالن
ِ َّ ِ صلَّى ِّ ِ طعَا َم َوأَدَا َم
َ الصيَا َم َو َّ اب ا ْلك َََل َم َوأ َ ْطعَ َم ال
َ طَ َ َّللاِ قَا َل ِل َم ْن أ
َّ سو َل ُ يَا َر
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang luarnya terlihat dari dalamnya, dan
dalamnya terlihat dari luarnya.” Seorang arab badui berdiri dan berkata, “Untuk siapa wahai
Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Untuk orang yang membaguskan perkatannya, memberi
makan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam karena Allah sementara manusia sedang terlelap
tidur.” HR At Tirmidzi.[15]
Amalan-amalan yang disebutkan dalam hadits ini semuanya ada dalam bulan Ramadlan, maka
terkumpul pada seorang mukmin puasa, qiyamullail, shodaqoh, dan berbicara baik karena orang
yang sedaang berpuasa dilarang melakukan perbuatan sia-sia dan kotor.
Kelima: Menggabungkan antara puasa dan shodaqoh lebih memberikan kekuatan yang lebih
untuk menghapus dosa dan menjauhi api Neraka, terlebih bila ditambah sholat malam. Dalam
hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa puasa adalah
perisai[16]. Beliau juga mengabarkan bahwa shodaqoh itu dapat memadamkan kesalahan
sebagaimana air dapat memadamkan api[17].
Keenam: Orang yang berpuasa tentunya tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, maka
shodaqoh dapat menutupi kekurangan dan kesalahan tersebut, oleh karena itu diwajibkan zakat
fithr di akhir Ramadlan sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan
kata-kata yang kotor.
Faidah lainnya adalah yang disebutkan oleh imam Asy Syafi’i, beliau berkata, “Aku suka bila
seseorang meningkatkan kedermawanan di bulan Ramadlan karena mengikuti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, juga karena kebutuhan manusia kepada perkara yang memperbaiki
kemashlatan mereka, dan karena banyak manusia yang disibukkan dengan berpuasa dari mencari
nafkah.”[18]
ب َوإِ َّن هللاَ يَتَقَبَّلُ َها ِب َي ِم ْي ِن ِه ث ُ َّم يُ َر ِبِّي َها َّ ب َو َل َي ْقبَ ُل هللاُ إِ َّل ال
َ ِّط ِي َ ب
ٍ ِّط ِي ْ صدَّقَ ِبعَ ْد ِل تَ ْم َر ٍة ِم ْن َك
ٍ س َ َ َم ْن ت
.احبِ َها َك َما يُ َربِِّي أ َ َح ُد ُك ْم فَلُ َّوهُ َحتَّى تَك ُْو َن ِمثْ َل ا ْل َجبَ ِل
ِ صَ ِل
“Siapa yang bershodaqoh dengan sebutir kurma dari hasil usaha yang halal, dan Allah tidak
menerima kecuali yang halal, maka Allah akan menerima dengan tangan kananNya, lalu
mengembang biakkannya sebagaimana seseorang dari kamu mengembang biakkan anak kudanya
sehingga menjadi sebesar gunung.” HR Bukhari dan Muslim[19].
Namun hendaknya orang yang ingin bershodaqoh mendahulukan yang wajib sebelum yang
sunnah, karena ia lebih besar pahalanya, sebagaimana dalam hadits:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya agar menyegerakan berbuka puasa,
bahkan menjadikannya sebagai tonggak kebaikan umat islam. Beliau bersabda:
ِّ ِ ارى يُؤ
َخ ُرون َ صَ َّاس ا ْل ِف ْط َر ْل َ َّن ا ْليَ ُهو َد َوالن
ُ َّع َّج َل الن َ لَ يَ َزا ُل ال ِدِّي ُن
َ ظا ِه ًرا َما
“Agama ini senantiasa menang selama manusia bersegera berbuka, karena Yahudi dan Nashrani
mengakhir-akhirkan berbuka puasa.” HR Abu Dawud dan ibnu majah[21].
Yang dimaksud dengan bersegera berbuka puasa adalah bersegera berbuka ketika matahari telah
terbenam walaupun langit masih terlihat terang, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Abi
Aufa radliyallahu ‘anhu berkata:
Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan ta’jil (bersegera berbuka puasa) memberikan kepada
kita banyak faidah, diantaranya:
Pertama: Agama ini akan sentiasa menang selama umat islam menyelisihi kaum ahlul kitab dan
tidak menyerupai mereka dalam seluruh sisi kehidupan.
Kedua: Berpegang kepada islam hendaknya menyeluruh (kaffah), sebagaimana firman Allah
Ta’ala:
س ْل ِم َكافَّة
ِّ ِ يَاأَيُّ َهاالَّ ِذيْنَ َءا َمنُ ْوا ا ْد ُخلُ ْوا فِي ال
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu masuk islam secara kaffah.” (Al Baqarah:
208).
Kita tidak boleh memilah masalah pokok dengan masalah parsial, atau memilah antara cangkang
dan inti, karena sikap seperti ini adalah bid’ah yang diada-adakan di zaman ini. Bila masalah
ta’jil yang banyak diremehkan oleh kaum muslimin ini dianggap sebagai tonggak kejayaan
islam, maka itu menunjukkan bahwa syari’at islam sekecil apapun tidak boleh dianggap remeh,
karena semua itu berasal dari Allah pencipta langit dan bumi.
Setelah menjelaskan keutamaan ta’jil, kita akan menjelaskan adab-adab berbuka puasa yang
hendaknya diperhatikan oleh setiap orang yang berbuka puasa, diantara adabnya adalah:
َ علَى ُر
ٍ طبَا
ت َ َُان يُ ْف ِط ُر قَ ْب َل أ َ ْن ي
َ ص ِلِّ َى َ ك-صلى هللا عليه وسلم- َّللا ُ أ َ َّن َر
ِ َّ سو َل
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab sebelum shalat
(maghrib).” HR Abu Dawud dan lainnya[23].
Di negeri kita ini ada sebuah fenomena yang harus diingatkan, yaitu banyak kaum muslimin
ketika berbuka mereka langsung makan besar sehingga meninggalkan shalat berjama’ah di
masjid, tentunya ini tidak sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagusnya
kita berbuka dahulu dengan kurma lalu pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah, kemudian bila
kita ingin melanjutkan makan, kita lakukan setelah shalat maghrib, agar tidak terluput dari
keutamaan besar shalat berjama’ah di masjid.
Adab Kedua: Berbuka dengan ruthab, bila tidak ada maka dengan kurma, bila tidak ada maka
dengan air.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan agar berbuka dengan kurma, bila tidak ada
maka dengan air. Senbagaimana dalam hadits Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu:
ٌطبَات َ ُت قَ ْب َل أ َ ْن ي
َ ص ِلِّ َى فَ ِإ ْن لَ ْم تَك ُْن ُر َ علَى ُر
ٍ طبَا َ يُ ْف ِط ُر-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا َّ سو ُل ُ َان َرَ ك
. ٍت ِم ْن َماء
ٍ س َوا َ ت فَ ِإ ْن لَ ْم تَك ُْن َح
َ سا َح ٍ فَعَلَى ت َ َم َرا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum shalat
(maghrib), bila ruthab tidak ada beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), bila tidak ada juga
beliau berbuka dengan air.” HR Abu Dawud dan lainnya.
Berbuka dengan ruthab amat bermanfaat untuk kesehatan lambung, terlebih setelah kita menahan
lapar seharian sangat sesuai bila berbuka dengan ruthab atau kurma, agar lambung diperkuat
terlebih dahulu sebelum dimasukkan makanan yang berat, dan khasiat kurma juga banyak
sebagaimana yang disebutkan oleh para ahlinya.
Adab Ketiga: Membaca do’a berbuka puasa.
Ini adalah lafadz yang dibuat-buat dan tidak ada asalnya. Ya, ada riwayat yang menyebutkan,
namun tidak ada tambahan: “wabika aamantu.” Juga tidak ada: “birohmatika yaa
arhamarrahimin.” Yaitu hadits:
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu dawud (2360) dan lainnya, semuanya dari jalan Hushain bin
Abdurrahman dari Mu’adz bin Zahroh. Dan sanad ini mempunyai dua cacat:
Kedua: Mu’adz bin Zahroh ini majhul, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Hushain
ini. Ibnu Abi hatim menyebutkannya dalam kitab Al jarhu watta’dil namun beliau tidak
menyebutkan celaan (jarh) tidak pula pujian (ta’dil).
Namun hadits ini mempunyai syahid dari hadits Anas dan ibnu Abbas. Adapun hadits Anas
diriwayatkan oleh Ath Thbarani dalam Al Mu’jam Ash Shaghier (2/133 no 912) dan Al Ausath
(7549) dari jalan Isma’il bin Amru Al bajali haddatsana Dawud bin Az Zabarqon haddatsana
Syu’bah dari Tsabit Al bunani dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
apabila berbuka mengucapkan: “Bismillah Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.”
Kedua: Dawud bin Az Zabarqon. Al Hafidz ibnu hajar berkata dalam taqribnya: “Matruk dan
dianggap pendusta oleh Al Azdi.”
Adapun hadits ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ad Daroquthni dalam sunannya (2/185 no 26) dan
lainnya dari jalan Abdul Malik bin Harun bin ‘Antaroh dari ayahnya dari kakeknya dari ibnu
Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaibhi wasallam apabila berbuka mengucapkan: “Allahumma
laka shumnaa wa ‘alaa rizqika afthornaa Allahumma taqobbal minna innaka antassami’ul
‘aliim.”
Sanad hadits ini sangat lemah juga, dalam sanadnya terdapat Abdul malik bin Harun, dikatakan
oleh Adz Dzahabi dalam kitab diwan dlu’afa: “tarokuuh (para ulama meninggalkannya), As
Sa’di berkata, “Dajjal.”[25]
Karena dua syahid ini sangat lemah maka tidak dapat menguatkan hadits tersebut. Wallahu
a’lam. Adapun tambahan “wa bika aamantu” dan “birohmatika yaa Arhamarrohimin” adalah
tambahan yang tidak ada asalnya sama sekali. Allahul musta’an.
Memberi makan orang yang berbuka puasa adalah ibadah yang agung, sebagaimana dalam
hadits:
َّ ص ِم ْن أجْ ِر ال
صا ِئ ِم ش َْي ٌء َ ، َان َلهُ ِمثْ ُل أجْ ِر ِه
ُ َغ ْي َر أنَّهُ لَ يُ ْنق َ ك، ً صائِما َّ ََم ْن ف
َ ط َر
“Barang siapa yang memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, maka ia mendapat
seperti pahalanya, akan tetapi pahala orang yang berpuasa tidak berkurang sedikitpun.” HR At
Tirmidzi, ibnu Majah, Ahmad dan lainnya.
8. Sahur.
Sesungguhnya sahur adalah sunnah yang sangat ditekankan, dan ia mempunyai beberapa
keutamaan, yaitu:
Pertama: Sahur adalah makanan yang berkah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang
bersahur, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
َ َ علَى ا ْل ُمت
َ س ِ ِّح ِر
.ين َ ُّصل
َ ون َ َُّللاَ ع ََّز َو َج َّل َو َمَلئِ َكتَهُ ي
َّ إِ َّن
“Sesungguhnya Allah dan malaikatNya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” HR Ath
Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath[27].
Ketiga: Sebagai pembeda antara puasa kaum muslimin dan puasa ahlul kitab.
َّ ب أ َ ْك َلةُ ال
س َحر ِ امنَا َو ِصيَ ِام أ َ ْه ِل ا ْل ِكتَا ْ َف
ِ َص ُل َما بَ ْي َن ِصي
“Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” HR Muslim.
Adab-adab sahur.
Disana ada beberapa adab yang hendaknya kita perhatikan dalam bersahur, yaitu:
Waktu sahur yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak jauh dari waktu fajar,
sebagaimana dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit ia berkata:
ِ ََان بَ ْي َن اْلَذ
ان َّ ث ُ َّم قَا َم إِلَى ال، -صلى هللا عليه وسلم- َِّللا
َ َك ْم ك: ُصَلَ ِة قُ ْلت َّ سو ِل ُ س َّح ْرنَا َم َع َر
َ َت
ً.ِين آ َية
َ قَد ُْر َخ ْمس: ور؟ قَا َلِ س ُحُّ َو َب ْي َن ال
“Kami pernah bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas berkata, “Berapa
jarak waktu antara adzan dan sahur ?” Ia menjawab, “Sekitar membaca 50 ayat.” HR Bukhari
dan Muslim[29].
Dan itulah yan diamalkan oleh para shahabat setelahnya, Amru bin Maimun Al Audi berkata,
“Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling cepat berbuka
dan paling lambat bersahur.”[30] Al hafidz ibnu Hajar ketika menjelaskan bab: “Ta’jil sahur.”
Dalam shahih Bukhari berkata, “Maksudnya mempercepat makan sebagai isyarat bahwa dahulu
sahur itu mendekati terbitnya fajar. Lalu beliau membawakan riwayat Imam Malik dalam
muwatha’nya dari jalan Abdullah bin Abu bakar dari ayahnya berkata, “Dahulu selesai sholat
malam kami bersegera makan sahur karena takut fajar menyingsing.”[31]
Namun di zaman ini kita melihat penyimpangan dari sunnah dalam bersahur, kita melihat mereka
bersahur sekitar jam satu atau jam dua malam. Tentunya fenomena ini sangat tidak sesuai dengan
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat serta para ulama setelahnya.
Hukum imsak.
Ditambah lagi mereka mengada-adakan sebuah perkara baru, yaitu yang disebut dengan imsak,
dengan melarang makan dan minum sekitar 10 menit sebelum fajar dengan alasan kehati-hatian.
Padahal bila kita perhatikan, pengadaan imsak ini bertentangan dengan hadits, kaidah ushul fiqih
dan apa yang difatwakan oleh para ulama.
Adapun hadits, Abu Dawud (no 2352) meriwayatkan dalam sunannya dari jalan Hammad dari
Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
َ َعلَى يَ ِد ِه فََلَ ي
ض ْعهُ َحتَّى يَ ْق ِض َى َحا َجتَهُ ِم ْنه ِ س ِم َع أ َ َح ُد ُك ُم النِِّدَا َء َو
َ اْلنَا ُء َ إِذَا
“Apabila salah seorang dari kamu mendengar adzan sementara gelas masih ada di tangannya,
janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya.”[32]
Dan dalam riwayat Ahmad (2/510) dengan tambahan: “Dan muadzin beradzan ketika fajar telah
menyingsing.” Tambahan ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa adzan yang
dimaksud adalah adzan sebelum fajar.
Hadits ini mengecualikan keumuman ayat dalam surat Al Baqarah: 187 yang artinya: “Makan
dan minumlah sampai menjadi jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar.” Bahkan
sebagian shahabat ada yang berpendapat lebih dari ini, mereka memperbolehkan sahur sampai
fajar benar-benar telah menjadi jelas dan terang, silahkan dirujuk kitab Fathul Bari 4/136-
137[33].
Ketika seseorang ragu apakah telah masuk fajar atau belum, lalu ia makan dan ternyata fajar
telah masuk, maka tidak batal puasanya, karena pada asalnya malam masih ada sampai ada bukti
yang kuat yang menunjukkan bahwa fajar telah menyingsing. Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu
berkata, “Allah menghalalkan makan dan minum sahur selama kamu masih ragu sampai kamu
tidak merasa ragu.” HR Abdurrazzaq[34]. Ibnul Mundzir berkata, “Ini adalah pendapat mayoritas
ulama.”[35] Jadi, kehati-hatian yang diklaim itu sebenarnya adalah was-was yang tidak boleh
kita ikuti.
Adapun fatwa ulama, Al Hafidz ibnu Hajar Al ‘Asqolani rahimahullah berkata, “Termasuk
bid’ah yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua
sebelum fajar menyingsing sekitar sepertiga jam, dan mematikan lampu-lampu untuk dijadikan
tanda haramnya makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Mereka lakukan itu dengan
alasan kehati-hatian dalam ibadah..[36]
Yang terjadi di zaman Al Hafidz tersebut serupa dengan pengadaan imsak di zaman ini, karena
sama-sama beralasan kehati-hatian dalam ibadah. Ya, kehati-hatian dalam beribadah adalah
terpuji selama tidak terjerat dalam was-was dan menyelisihi sunnah.
9. Umrah.
Umrah di bulan Ramadlan mempunyai keistimewaan lebih dibandingkan dengan umroh di bulan
lainnya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Ini tentunya adalah kesempatan yang besar untuk meraih pahala yang besar di sisi Allah,
terutama bagi mereka yang diberikan keluasan harta oleh Allah Subhanahu wata’ala.
10. I’tikaf.
I’tikaf adalah ibadah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
terutama di sepuluh terakhir bulan Ramadlan, Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata:
Waktu i’tikaf yang paling utama adalah sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan sebagaimana
dalam hadits Aisyah radliyallahu ‘anha:
اج ِد
ِ سَ عا ِكفُ ْونَ فِي ْال َم
َ َوأ َ ْنت ُ ْم
“Sementara kalian beri-tikaf di masjid-masjid.” QS Al Baqarah: 187.
Namun para ulama berpendapat apakah yang dimaksud masjid dalam ayat tersebut, sebagian
ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hanya tiga masjid saja, berdasarkan hadits:
Disunnah untuk masuk ke masjid setelah maghrib di tanggal dua puluh Ramadlan, dan masuk ke
tempat i’tikaf setelah shalat fajar tanggal 21 Ramadlan, berdasarkan hadits Aisyah:
Orang yang beri’tikaf hendaklah menjauhi dua perkara yang membatalkan i’tikafnya, yaitu
keluar dari masjid dengan tanpa udzur syar’iy dan berjima’ dengan istri[40]. Dan hendaklah
mereka yang beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan keta’atan seperti shalat, membaca Al
Qur’an, istighfar, dan sebagainya serta tidak dilalaikan dengan sesuatu yang sia-sia.
Zakat fithr adalah kafarat (penebus) bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-
kata yang tidak baik ketika ia berpuasa, ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata:
علَى ا ْل َع ْب ِد
َ ير َ صاعًا ِم ْن
ٍ ش ِع َ صاعًا ِم ْن ت َ ْم ٍر أ َ ْو َ سلَّ َم َزكَاةَ ا ْل ِف ْط ِر
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ ِسو ُل هللا ُ ض َر َ فَ َر
ِ َوأ َ َم َر ِب َها أ َ ْن ت ُ َؤدَّى قَ ْب َل ُخ ُروج, ين ْ ير ِم َن ا ْل ُم
َ س ِل ِم ِ ير َوا ْل َك ِب َّ َوال, َوالذَّك َِر َو ْاْل ُ ْنثَى, َوا ْل ُح ِ ِّر
ِ ص ِغ
َّ اس إِلَى ال
ص ََلة ِ َّالن
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr satu sho’ kurma atau satu sho’
sya’ir (gandum), atas hamba sahaya dan merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan dewasa
dari kaum muslimin, dan beliau memerintahkan agar zakat fithr dibagikan sebelum manusia
keluar menuju sholat.” HR Bukhari dan Muslim[42].
Waktu pembagiannya yang wajib adalah sebelum sholat ‘ied sebagaimana yang ditunjukkan oleh
hadits di atas. Namun diperbolehkan membayarnya sehari atau dua hari sebelum ied, Nafi’
berkata, “Ibnu Umar memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya, dan dahulu
mereka membagikannya sebelum ‘iedul fithr sehari atau dua hari.”[43] Adapun setelah sholat
‘ied maka pelakunya berdosa namun ia tetap wajib mengeluarkannya dengan ijma’ ulama,
karena zakat fithr adalah hak para hamba[44].
Pada asalnya zakat fithr tidak boleh dibayar dengan uang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam hanya mewajibkan zakat fithr dengan satu sho’ dari makanan, padahal di zaman beliau
ada dinar dan dirham. Namun bila keadaannya darurat atau dibutuhkan atau ada kemashlahatan
yang besar maka tidak mengapa dengan uang. Wallahu a’lam.
Adapun mustahiqnya hanya fakir miskin saja, karena zakat fithr termasuk zakat badan bukan
zakat harta, karena dalam hadits ibnu Abbas di atas disebutkan bahwa zakat fithr berfungsi
sebagai pensuci, ini menunjukkan bahwa ia adalah kafarat sehingga lebih serupa dengan
membayar kafarat, sedangkan membayar kafarat itu hanya untuk fakir miskin saja, oleh karena
itu ibnu Abbas menyebutkan bahwa zakat fithr itu sebagai makanan untuk fakir miskin. Dan ini
adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah[45].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa do’a orang yang berpuasa itu
dikabulkan, beliau bersabda:
Ini adalah kesempatan yang baik agar do’a kita diijabah oleh Allah subhanahu wata’ala, maka
hendaklah seorang yang berpuasa banyak disibukkan dengan berdo’a kepada Allah dan juga
berdzikir, agar lisan kita selamat dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan yang sebenarnya bahwa saya akan membereskan secepatnya segala
permasalahan berupa surat2 ,utang piutang dan lain lain yang berkaitan dengan mantan istri
saya yang bernama Vinna Marlianty Binti Ervin. ER yang bertempat tinggal di Jl. Siti Mariah
No.183/86 Rt.10/ Rw.02 Kota Bandung yang telah saya ceraikan sejak hari Minngu Tgl,26
Nop. 2017, Permasalahan2 tersebut adalah sbb :
1.Surat Talak/Cerai Paling lambat 1 (satu) bulan sejak di tanda tanganinya Surat ini
2.Biaya anak kandung saya perbulan paling kecil Rp.500.000,-/tgl,01 dari uang Halal
(Akan diberikan langsung tiap bulan tanpa diminta).
3.Biaya mantan istri saya /bulan selama masa idah tiga kali masa haid QS Al-baqarah 228
4.Pendapatan Harta benda selama menjalin pernikhan berupa TV, Kulkas, Mesin Cuci dan
Mini Compo (Bila Halal).
5.Utang-utang kepada Orang Tua Saya berupa ;
- Biaya untuk Modal (baru nikah) ------------- Rp. 5.000.000,-
- Biaya untuk Modal dagang Pakaian dalam Rp.20.000.000,-
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dan atau
bujukan dari pihak lain, dan dalam keadaan sehat walafiat untuk dapat dipergtanggung
jawabkan
(KOMARA)