You are on page 1of 17

TUGAS JOURNAL READING

Efek Morphine dan Midazolam Terhadap Fungsi Faring, Proteksi Jalan Napas,
Koordinasi Bernapas dan Menelan pada Orang Dewasa Sehat

Pembimbing:
dr. Dudik Haryadi, Sp.An

Disusun oleh:

Meghantari Putri G4A016089


Kartika Kencana Putri G4A016090

KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS JOURNAL READING

Efek Morphine dan Midazolam Terhadap Fungsi Faring, Proteksi Jalan Napas,
Koordinasi Bernapas dan Menelan pada Orang Dewasa Sehat

Disusun oleh:
Meghantari Putri G4A016089
Kartika Kencana Putri G4A016090

diajukan untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian pada SMF Anestesiologi dan
Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal, 2017

Pembimbing,

dr. Dudik Haryadi, Sp.An


NIP. 19570423 198410 1 003
Efek Morphine dan Midazolam Terhadap Fungsi Faring, Proteksi Jalan Napas,
Koordinasi Bernapas dan Menelan pada Orang Dewasa Sehat

Anna I. Hårdemark Cedborg, M.D., Ph.D., Eva Sundman, M.D., Ph.D., Katarina
Bodén, M.D., Ph.D., Hanne Witt Hedström, M.D., Ph.D., Richard Kuylenstierna,
M.D., Ph.D., Olle Ekberg, M.D., Ph.D., Lars I. Eriksson, M.D., Ph.D., F.R.C.A.
(Anesthesiology. 2015; 122:1253-67)

Abstrak

Latar Belakang: Obat yang digunakan untuk sedasi dalam anestesi dan perawatan
intensif dapat menyebabkan disfungsi faring dan peningkatan risiko aspirasi. Dalam
penelitian ini, penulis menyelidiki dampak dosis obat penenang morfin dan
midazolam pada fungsi faring selama menelan dan koordinasi pernapasan dan
menelan.
Metode: Fungsi faring, koordinasi pernapasan dan menelan, dan tingkat sedasi dinilai
oleh manometry, videoradiography, pengukuran aliran udara pernapasan, dan skala
analog visual dalam 32 sukarelawan sehat (usia 19-35 tahun). Setelah rekaman awal,
morfin (0,1 mg / kg) atau midazolam (0,05 mg / kg) diberikan secara intravena
selama 20 menit, diikuti oleh rekaman pada 10 dan 30 menit setelah infus berakhir.
Hasil: disfungsi faring, dilihat sebagai proses menelan yang salah arah atau tidak
lengkap atau dengan penetrasi bolus ke jalan napas, meningkat setelah pemberian
morfin dari 17% menjadi 42 dan 44%. midazolam dapat meningkatkan kejadian
disfungsi faring dari 16-48% dan 59%. Morfin dapat meningkatkan waktu apnea
sebelum menelan, dan midazolam meningkatkan jumlah menelan diikuti oleh
inspirasi.
Kesimpulan: Morfin dan midazolam dengan dosis sedasi berhubungan dengan
peningkatan kejadian disfungsi faring dan diskoordinasi bernapas dan menelan,
proteksi jalan napas yang terganggu dan berpotensi meningkatkan risiko aspirasi
paru.
I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Interaksi antara faring dan pernapasan penting untuk melindungi jalan napas
terhadap aspirasi dan untuk memastikan perjalanan yang aman dari saliva, padatan,
dan cairan dari rongga mulut melalui faring dan selanjutnya ke esofagus. Karena
orofaring dan hipofaring adalah jalur bersama untuk menelan konten lisan dan dihirup
/ udara yang dihembuskan dan bernapas, maka bernapas dan menelan harus
dikoordinasikan secara hati-hati, dan menelan biasanya dimulai selama ekspirasi.
Adanya gangguan pada fungsi faring serta integrasi dari pernapasan dan proses
menelan akan meningkatkan risiko aspirasi. Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa obat-obatan dengan level subanestesi yang biasanya digunakan pada anestesi
(propofol, isoflurane, sevoflurane, dan neuromuscular blocking agents [NMBA])
mengakibatkan disfungsi faring pada orang sehat. Selain itu, nitrous oxide juga bisa
menekan reflek menelan, meningkatkan waktu inisiasi proses menelan dan
menurunkan frekuensi menelan spontan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi efek morfin atau
midazolam pada mekanisme perlindungan jalan napas, yaitu, fungsi faring dan
integrasi dari bernapas dan menelan. Penelitian ini berhipotesis bahwa morfin atau
midazolam pada individu muda yang sehat (1) akan meningkatkan kejadian disfungsi
faring dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya,serta penetrasi dan aspirasi
bolus ke jalan napas dan (2) bahwa morfin dan midazolam berhubungan dengan
pengubahan koordinasi antara bernapas dan menelan dibandingkan dengan
pengukuran sebelumnya. Penelitian ini menggunakan teknik resolusi tinggi dengan
rekaman simultan pola pernapasan dan proses menelan pada faring dengan sampel
orang dewasa muda sehat untuk mengetahui dampak dari morfin dan midazolam pada
fungsi faring dan integrasi antara bernapas dan menelan.
II. METODE

Persetujuan etik dan Studi Populasi


Penelitian ini sesuai dengan standar dari Deklarasi Helsinki dan telah
disetujui oleh Komite Etika Regional Penelitian Manusia di Karolinska Institutet,
Stockholm, Swedia. Tiga puluh delapan relawan dewasa yang sehat termasuk
(perempuan: laki-laki, 20:18) setelah mendapat penjelasan dan persetujuan tertulis.
Ukuran sampel dipilih berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Relawan yang dipilih
adalah relawan yang bebas dari obat, tidak merokok tanpa riwayat disfagia, penyakit
gastroesophageal reflux, atau operasi faring, kerongkongan, atau laring. Penelitian ini
dikelompokkan berkaitan dengan gender untuk mewakili populasi klinis yang relevan
dengan pasien dari kedua jenis kelamin. Data yang diperoleh selama rekaman awal
telah dimasukkan dalam sebuah study radiologi sebelumnya dan study fisiologis.

Respirasi
Sebuah face mask dipasang pada hidung dan mulut tersambung dengan sebuah
breathing circuit (dead space 90 ml) dengan aliran udara segar dengan laju 12 L/min.
Empat pola fase pernapasan, yaitu, inspirasi-ekspirasi-swallow apnea- ekspirasi(E-E),
inspirasi- swallow apnea- ekspirasi (I-E), inspirasi- expirasi- swallow apnea-inspirasi
(E-I), dan inspirasi-swallow apnea-inspirasi (I-I). Respirasi (dua arah aliran gas mulut
dan hidung) dan menelan (faring manometri) direkam secara bersamaan. Sebuah
transduser tekanan nasal tradisional digunakan untuk perbandingan visual fase
pernapasan.

Menelan dan Fungsi Faring-Videoradiography dan faring manometri


Sebuah kateter manometri dengan empat transduser tekanan 2 cm telah masuk
melalui satu lubang hidung sehingga transducer yang paling distal ditempatkan di
Upper Esophageal Sphincter (UES). Catatan dari faring manometri disatukan dengan
gambar fluoroscopic dan direkam secara bersamaan ke sebuah rekaman video
(videoradiography), selama menelan media kontras. Tiga kontras media yang
digunakan untuk menilai tanda-tanda disfungsi faring didefinisikan sebagai: (A)
kebocoran bolus dini dari mulut ke faring, (B) penetrasi dari media kontras ke dalam
ruang depan laring atau trakea, dan (C) retensi media kontras dalam faring setelah
selesai menelan. Setiap proses menelan dianalisa dan dinilai tingkat keparahan dari
disfungsi faring menggunakan 3 metode: (1) derajat disfungsi faring, (2) resiko
aspirasi menggunakan Penetration Aspiration Scale (PAS) dan (3) efisiensi dari
pembersihan bolus menggunakan Vallecuae Residue Scale (VRS) dan pyriform sinus
residu scale (PRS). Perekaman manometry dibuat di dasar lidah (Tongue Base / TB),
di otot konstriktor faring atas dan bawah (Ph Up dan Ph Low) dan UES (Upper
Esophageal Sphinter). Dengan menggunakan videoradiography, titik waktu ketika
kepala bolus melewati arcus faucial anterior ditentukan dan dibandingkan dengan (1)
mulai dari gerakan os. hyoid (inisiasi [ms]) dan (2) ketika ekor bolus mencapai
bawah UES (waktu transit bolus[Ms]. Untuk meminimalkan dosis radiasi terhadap
subjek, proses menelan saliva secara spontan dicatat menggunakan manometri faring
tanpa videoradiography.

Study Protocol
Relawan diperbolehkan memakan makanan padat 6 jam sebelum penelitian dan
meminum cairan 2 jam sebelum penelitian. Kanul intravena diletakkan pada lengan
kanan dan kiri, satu untuk administrasi obat dan satu untuk sampling darah vena.
Relawan diperiksa pada posisi left-lateral dengan kepala diangkat 8°. Relawan dipilih
secara acak untuk menerima obat morfin 0,1mg/kg atau midazolam 0,05mg/kg
dilarutkan dalam 20ml normal saline dan dimasukkan ke dalam infus intravena
selama 20 menit, atau untuk dimasukkan ke dalam kelompok kontrol (tidak menerima
obat). Pencatatan dibuat pada tiga waktu, yaitu pencatatan awal sebelum administrasi
obat, 10 menit setelah infus obat dihentikan, dan 30 menit setelah akhir pemberian
obat. Pada setiap tiga waktu bernapas dan menelan saliva spontan dicatat selama 10
menit ketika relawan istirahat. Hal ini juga diikuti oleh pencatatan dari menelan tiga
bolus 10ml media kontras larut air (Omnipaque 240 mg/ml; Nycomed Imaging,
Norway). Respiratory rate (napas/menit) dan frekuensi menelan spontan (menelan
per menit) dihitung dari catatan istirahat (menggunakan bidirectional gas flow meter
dan manometri faring). Tanda-tanda vital (heart rate, noninvasive blood pressure,
end-tidal carbon dioxide, dan saturasi oksigen perifer) dimonitor secara kontinyu.
Estimasi level sedasi relawan dinilai menggunakan visual analog scale (VAS-
sedation, 0 untuk sedasi maksimal dan 10 untuk tidak ada sedasi). Batuk yang
berhubungan dengan proses menelan dari media kontras dicatat.

Morfin dan Midazolam: Dosis dan Konsentrasi Plasma


Jumlah total obat yang diadministrasikan yaitu morfin sebesar 7.1 ± 1.0 mg (5.4 to
9.4) atau midazolam sebesar 3.4 ± 0.6 mg (2.4 to 4.5). Konsentrasi plasma dari
morfin, morphine-3-glucuronide dan morphine-6-glucuronide, atau midazolam dan 1-
OH-midazolam dinilai pada tiga waktu yaitu (1) segera setelah akhir pemberian obat
(Mo 0min, Mi 0min), (2) 10 menit kemudian (Mo 10min, Mi 10min), dan (3) setelah
30 menit (Mo 30min, Mi 30min).

Analisis Statistik
Derajat fungsi faring dan pola fase-pernapasan adalah outcome primer pada penelitian
ini. Nilai rata-rata didapatkan berdasarkan dua atau tiga pengukuran dari tiga cara
menelan atau bernapas dihitung pada masing-masing relawan dan pada tiga kondisi
(awal Mo 10min/Mi 10min/C 10min, dan Mo 30min/Mi 30min/C 30min). Untuk
analisis mendalam pada koordinasi bernapas dan menelan, menelan dengan fase pola
pernapasan E-E dipilih karena jumlah menelan dengan cara non-E-E terlalu kecil
untuk memungkinkan analisis statistik. Ketika meneliti menelan spontan atau
bernapas saat istirahat, pengukuran dibuat pada swallow E-E yang terdekat dengan
awal, tengah, dan akhir periode pencatatan untuk mencegah bias seleksi. Uji statistik
menggunakan ANOVA dan diikuti dengan mengukur perbandingan Mo10min /
Mi10min /C10min atau Mo30min / Mi30min / C30min dengan baseline. Hasil
disajikan sebagai mean ± SD atau 95% CI. Untuk derajat disfungsi faring (0-100%),
PAS, VRS, PRS, dan VAS-sedasi (10 ke 0) dibuat perbandingan menggunakan uji
Wilcoxon matched-paired test. Persentasi menelan dengan disfungsi faring dianalisis
menggunakan ANOVA. Disini, hasil disajikan sebagai nilai median. Korelasi antara
disfungsi faring dan VAS-sedasi dianalisis dengan Spearman. Nilai P kurang dari 0,05
dianggap signifikan (setelah koreksi P<0,025).
III. HASIL

A. Morfin
1. Disfungsi Faring dan Menelan
Sebanyak 576 manuever menelan dianalisis, terdiri dari 144 proses
menelan media kontras dan 432 proses menelan saliva. Disfungsi faring
dianalisis menggunakan videoradiography pada proses menelan media
kontras. Pada baseline, 17% proses menelan menunjukkan bahwa
setidaknya ada satu kriteria disfungsi faring. Hal ini meningkat secara
signifikan dengan pemberian infus morfin, yaitu menjadi 42% pada menit
ke 10 dan 44% pada menit ke 30. Pada penelitian mendalam tentang
derajat disfungsi faring menunjukkan adanya peningkatan nilai median
dari 0% pada baseline menjadi 6% (P = 0,012) pada Mo 10min dan 11%
(P = 0,018) pada Mo 30min. Analisis proteksi jalan napas menyatakan
bahwa penetrasi media kontras terjadi pada pita suara atau pada tingkat
diatasnya langsung (penetrasi laring), sebaliknya media kontras tidak
pernah ditemukan dibawah pita suara (aspirasi). Terlalu sedikit
kesempatan dari penetrasi bolus laring atau retensi dari bolus setelah
menelan untuk bisa dievaluasi secara statistic mengenai risiko aspirasi
menggunakan PAS dan efisiensi dari pembersihan bolus menggunakan
VRS atau PRS.
2. Skoring Sedasi dan Efek Morfin
Skoring Visual Analog Scale-sedasi menurun dari 9,8 saat baseline
menjadi 5,3 pada pemberian morfin menit ke 10 (P < 0,001) dan menjadi
6,0 pada pemberian morfin menit ke 30 (P < 0,001). Namun, penelitian ini
tidak dapat mendeteksi korelasi antara derajat disfungsi faring dan VAS-
sedasi (P = 0,88). Tidak ada relawan yang mengalami distress atau
discomfort. Dua relawan dilaporkan merasa pusing dan mual setelah
penelitian selesai. Hal ini dikurangi dengan memasukkan nalokson secara
subkutan.

3. Koordinasi Bernapas dan Menelan


Saat baseline, mayoritas proses menelan (97,4%) terjadi selama ekspirasi.
Setelah pemberian infus morfin, frekuensi pola E-I, dimana mengunyah
diikuti oleh inspirasi, menunjukkan kenaikan dari 2,6% menjadi 8,7%
pada pemberian morfin menit ke 10 (P = 0,042). Namun, pada pemberian
morfin menit ke 30 tidak ada perbedaan pada pola fase-pernafasan jika
dibandingkan dengan baseline (E-I 3,4%, P = 0,75). Pola fase respiratori
E-I disajikan dalam 3,0%, 13,4%, dan 3,4% pada menelan saliva spontan
dan 0%, 2,1%, dan 2,1% pada menelan media kontrras, masing-masing
untuk baseline, Mo 10min, dan Mo 30min. Tidak ada proses menelan yang
terjadi selama atau segera setelah fase inspirasi (I-I atau E-I). Morfin tidak
punya efek pada durasi inspirasi sebelum menelan, ekspirasi sebelum
menelan, proses menelan pada faring, postswallow apnea, atau ekspirasi
setelah menelan.
4. Properti Mekanis dan Waktu Menelan pada Faring dan Swallow Apnea
Pada maneuver menelan, baik media kontras dan saliva dengan pola fase-
respiratori E-E tidak dapat mendeteksi efek dari morfin pada perjalanan
waktu gelombang kontraksi muskulus faring. Analisis lebih lanjut pada
tekanan manometrik faring dalam maneuver menelan media kontras,
morfin hanya memiliki efek kecil. Tidak ada efek morfin pada koordinasi
dari relaksasi UES dan aktivitas konstriktor muskulus faring. Pada
pemberian morfin menit ke 10, inisiasi fase faring untuk menelan tidak
berubah jika dibandingkan dengan baseline. Pada media kontras, terjadi
keterlambatan pada pemberian morfin di menit ke 30. Waktu transit bolus
memanjang pada pemberian morfin menit ke 10 dan 30 jika dibandingkan
dengan baseline.
5. Batuk
Dua relawan batuk ketika menelan salah satu dari tiga bolus yang berupa
media kontras saat baseline dan saat pemberian morfin menit ke-10. Salah
satunya batuk lagi pada pemberian morfin menit ke-10. Selain itu, pada
pemberian morfin menit ke-10 di relawan lainnya, salah satu dari proses
menelan diikuti batuk. Disini, penetrasi ke laring terjadi, namun hal ini
tidak berhubungan dengan tanda-tanda dari disfungsi faring. Jumlah total
dari kejadian batuk sangat kecil untuk memungkinkan dilakukannya
analisis statistic.
6. UES
Tidak ada efek dari morfin pada UES resting tension, tekanan relaksasi
residual selama menalan, atau tekanan kontraksi maksimum setelah
menelan baik pada pemberian morfin menit ke-10 ataupun 30. Morfin
mempengaruhi koordinasi antara perubahan tekanan UES dan pernapasan,
ketika kenaikan pada tekanan UES normal terjadi sebelum dimulainya
inspirasi, dan sebuah penurunan tekanan UES terlihat setelah ekspirasi.

B. Midazolam
1. Disfungsi Faring dan Menelan
Pada kelompok midazolam, 144 proses menelan media kontras dan 424
proses menelan air liur spontan dianalisis. Dalam catatan menelan media
kontras pada baseline, 16% menunjukkan disfungsi faring, peningkatan
nyata sebesar 48 dan 59% terjadi pada pemberian midazolam menit ke-10
(Mi 10min) dan 30 (Mi 30min). Selain itu, tingkat disfungsi faring
meningkat dari rata-rata 0% (0 sampai 22%) pada baseline menjadi 17%
(0-56%, P = 0,033) di Mi 10min, yang tidak bermakna secara statistik,
tetapi pada Mi 30min, ada peningkatan yang signifikan secara statistik
yaitu menjadi 22% (0-67%, P = 0,008). Penetrasi media kontras hanya
terjadi pada pita suara atau tepat di atasnya (penetrasi laring). Penetrasi
bolus ke laring terlalu sedikit untuk dapat dianalisis risiko aspirasinya
secara statistic. Namun, retensi dari bolus setelah menelan meningkat
setelah terpapar midazolam. Efisiensi bolus yang dinilai menggunakan
VRS dan PRS mengungkapkan skor yang lebih tinggi di Mi 10min dan Mi
30min dibandingkan dengan nilai baseline. Namun, hal ini tidak bermakna
secara statistik (VRS: baseline, 1,0 [1,0-1,3]; Mi 10min, 1,0 [1,0-2,0]; P =
0,046; Mi 30min, 1,0 [1,0-2,0]; P = 0,030; PRS: baseline, 1.0 [1,0-1,0]; Mi
10min, 1,0 [1,0-2,0]; P = 0,043; Mi 30min, 1,0 [1,0-2,0]; P = 0,028).
2. Skoring Sedasi dan Efek Midazolam
Penelitian ini tidak dapat mendeteksi korelasi antara tingkat disfungsi
faring dan VAS-sedasi (r = 0,19, P = 0,22). VAS-sedasi menurun dari 9,9
(7,0-10,0) pada baseline menjadi 6,0 (0,4-9,8) dan 9,3 (4,2-10,0) di
Mi10min (P <0,001) dan Mi30min (P = 0,005), dan berkorelasi untuk
mengukur konsentrasi obat dalam plasma (r = 0,49, P <0,001). Salah satu
relawan laki-laki memiliki tanda-tanda tidak langsung dari obstruksi jalan
napas sampai dengan 10 s di Mi10min, hal ini ditunjukkan dengan tidak
adanya aliran udara terdeteksi. Subjek bernafas normal kembali setelah
membangkitkan subjek dengan perintah verbal. Oleh karena itu infus
midazolam dihentikan setelah 14 menit, dan dosis total midazolam
diberikan kepada relawan ini berkurang menjadi 0,036 mg / kg. Semua
relawan lainnya bernapas secara spontan tanpa apneu. Selain itu, semua
relawan menyelesaikan semua bagian dari studi, dan tidak ada yang
melaporkan tertekan atau ketidaknyamanan.
3. Koordinasi Bernapas dan Menelan
Pada baseline, 98,5% proses menelan terjadi selama ekspirasi (E-E).
Frekuensi menelan diikuti oleh inspirasi (E-I) meningkat setelah diberi
infus midazolam dari 1,5% menjadi 6,7% (P = 0,004) pada Mi10min.
Namun, pada Mi30min, tidak ada perbedaan dalam pola fase-pernapasan
dibandingkan dengan awal (E-I, 2,0%; P = 0.60). Pola pernapasan fase E-I
hadir di 1,8, 8,8, dan 2,9% dari proses menelan air liur spontan dan di 0,
2,1, dan 0% di proses menelan media kontras pada awal, Mi10min, dan
Mi30min. Tidak terjadi proses menelan selama atau langsung setelah fase
inspirasi (I-I atau I-E). E-I menelan media kontras terlalu sedikit untuk
memungkinkan dianalisis statistik hubungan antara disfungsi faring dan
pola pernafasan-fase. Frekuensi menelan air liur spontan menurun tajam
setelah infus midazolam di Mi10min dan pada Mi30min dibandingkan
dengan baseline. Namun, di Mi30min, penurunan ini tidak mencapai
signifikansi statistik. Selain itu, dibandingkan dengan baseline, laju
pernapasan meningkat di Mi30min, sedangkan pada Mi10min, ini tidak
signifikan. Ketika menganalisis lebih lanjut E-E menelan, midazolam
tidak berpengaruh pada durasi inspirasi sebelum menelan, kadaluarsa
sebelum menelan, preswallow apnea, proses menelan pada faring, apnea
postswallow, atau ekspirasi setelah menelan. Selain itu, midazolam tidak
mempengaruhi durasi apnea menelan.
4. Properti Mekanis dan Waktu Menelan pada Faring dan Swallow Apnea
Penelitian ini tidak dapat mendeteksi efek midazolam saat gelombang
kontraksi otot faring di E-E menelan. Juga tidak ada efek midazolam pada
awal atau akhir apnea saat menelan dalam kaitannya dengan proses
menelan pada faring. Selain itu, tidak ada efek midazolam pada koordinasi
antara UES relaksasi dan aktivitas otot faring konstriktor. Inisiasi fase
menelan pada faring tidak berubah secara signifikan oleh midazolam.
5. Batuk
Dua relawan terbatuk-batuk selama rekaman awal ketika menelan salah
satu dari tiga bolus media kontras. Salah satunya batuk lagi di Mi10min
dan satu lagi di Mi30min. Pada relawan yang batuk saat awal dan di
Mi10min, tidak ada tanda-tanda disfungsi faring termasuk penetrasi laring
dalam menelan diikuti oleh batuk. Namun, pada relawan yang baruk saat
awal dan pada Mi30min, menelan diikuti oleh batuk menunjukkan
kebocoran dini bolus dan retensi bolus setelah menelan. Jumlah batuk
terlalu kecil untuk memungkinkan analisis statistik.
6. UES
Tidak ada efek midazolam pada UES resting tension antara menelan atau
tekanan relaksasi residual saat menelan baik di Mi10min atau Mi30min.
Namun, pada Mi10min, tekanan kontraksi maksimum di UES berkurang
dibandingkan dengan awal. UES inspirasi tekanan secara signifikan lebih
tinggi daripada tekanan UES ekspirasi pada awal, dan perbedaan ini tetap
tidak berubah pada Mi10min dan Mi30min.
Koordinasi antara tekanan perubahan UES dan pernapasan dipengaruhi
oleh midazolam. Tidak ada perubahan dalam waktu antara peningkatan
tekanan UES dan timbulnya inspirasi di Mi10min dibandingkan dengan
awal (baseline, 32 ± 56 ms; Mi10min, 70 ± 66 ms; P = 0,19).
C. Vital Parameter
Denyut jantung, tekanan darah noninvasif, dan saturasi oksigen perifer
stabil sepanjang penelitian. Karbon dioksida end-tidal meningkat pada
Mi10min dan Mi30min dan menurun pada Mi10min dan Mi30min
dibandingkan dengan baseline.
D. Hilang data
Karena frekuensi menelan spontan yang rendah di Mi10min dan
Mi30min, jumlah menelan yang terjadi selama periode perekaman 10-menit
kadang-kadang kurang dari tiga, sehingga 11 dari 48 dan 10 dari 48 menelan
spontan air liur yang hilang. Pada relawan yang menerima midazolam,
pencitraan videoradiographic gagal dalam satu perempuan dan pada Mi10min
di satu laki-laki, yang mengakibatkan 6 dari 48 dan 4 dari 48 menelan media
kontras hilang di Mi10min dan Mi30min. Karena frekuensi menelan yang
lebih rendah di Mi10min atau Mi30min dan masalah teknis di Mi30min di
satu laki-laki dan satu perempuan, 8 dari 48 dan 6 dari 48 menelan spontan air
liur yang hilang. Selain itu, karena masalah teknis, konsentrasi plasma
midazolam tidak dapat ditentukan dalam satu perempuan.
IV. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang membahas efek


morfin dan midazolam pada interaksi antara menelan dengan kontrol
pernapasan. Relawan dewasa muda yang diberi morfin atau midazolam secara
intravena dengan dosis sedasi, menunjukkan disfungsi faring dengan
kerusakan proteksi jalan napas. Selain itu, baik morfin maupun midazolam
mempengaruhi koordinasi bernapas dan menelan, hal ini meningkatkan risiko
terjadinya aspirasi.
A. Morfin
Efek opioid terhadap pernapasan sudah banyak dilaporkan, tetapi
informasi mengenai efek opioid terhadap proses menelan dan integrasi
pernapasan masih jarang. Konsentrasi subanestesi dari general anesthetics
meningkatkan kejadian disfungsi faring, efek tersebut berhubungan dengan
tingkat dari sedasi. Disini, morfin meningkatkan disfungsi faring dan
mengubah koordinasi pernapasan, tetapi dengan korelasi rendah dari tingkat
sedasi. Hal ini patut dicatat karrena efek yang merugikan akan sulit diprediksi
dengan evaluasi klinis. Disfungsi faring meningkat dikarenakan tidak
cukupnya kontrol terhadap bolus oral dan penetrasi zat kontras ke vestibulum
laring, hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi. Morfin mengurangi
frekuensi menelan spontan saat istirahat. Meskipun disfungsi faring dengan
misdirected swallowing meningkat, batuk tidak meningkat.
Morfin memperpanjang periode apneu mendahului proses menelan.
Preswallow apneu telah dideskripsikan sebagai mekanisme keamanan untuk
menjamin penghentian aliran udara respirasi sebelum menelan. Prolonged
apneu sebelum menelan juga bisa

You might also like