You are on page 1of 6

Beberapa Amalan yang Dilakukan di Bulan Muharram

Para pembaca rahimakumullah, berikut akan kami bawakan beberapa amalan yang hendaknya
dilakukan pada bulan Muharram.

1. Perbanyak Amalan Shalih dan Jauhi Maksiat

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang tafsir firman Allah Ta’ala dalam Surat At
Taubah ayat 36: “…maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian…”; Allah telah
mengkhususkan empat bulan dari kedua belas bulan tersebut. Dan Allah menjadikannya sebagai
bulan yang suci, mengagungkan kemulian-kemuliannya, menjadikan dosa yang dilakukan pada
bulan tersebut lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) serta memberikan pahala (yang lebih besar)
dengan amalan-amalan shalih.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir)

Mengingat besarnya pahala yang diberikan oleh Allah melebihi bulan selainnya, hendaknya kita
perbanyak amalan-amalan ketaatan kepada Allah pada bulan Muharram ini dengan membaca Al
Qur’an, berdzikir, shadaqah, puasa, dan lainnya.

Selain memperbanyak amalan ketaatan, tak lupa untuk berusaha menjauhi maksiat kepada Allah
dikarenakan dosa pada bulan-bulan haram lebih besar dibanding dengan dosa-dosa selain bulan
haram.

Qotadah rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya kezaliman pada bulan-bulan haram


lebih besar kesalahan dan dosanya daripada kezaliman yang dilakukan di luar bulan-bulan haram
tersebut. Meskipun kezaliman pada setiap kondisi adalah perkara yang besar, akan tetapi Allah
Ta’ala menjadikan sebagian dari perkara menjadi agung sesuai dengan kehendaknya.”

2. Perbanyaklah Puasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang
artinya), “Sebaik-baik puasa setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan
Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR.
Muslim)

Para salaf pun sampai-sampai sangat suka untuk melakukan amalan dengan berpuasa pada bulan
haram. Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat
senang berpuasa di dalamnya.” (Lathaa-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab)

3. Puasa ‘Asyuro (Tanggal 10 Muharram)

Para pembaca yang dirahmati Allah, hari ‘Asyuro merupakan hari yang sangat dijaga
keutamannya oleh Rasulullah, sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam begitu
menjaga keutamaan satu hari di atas hari-hari lainnya, melebihi hari ini (yaitu hari ‘Asyuro) dan
bulan yang ini (yaitu bulan Ramadhan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Salah satu bentuk menjaga keutamaan hari ‘Asyuro adalah dengan berpuasa pada hari tersebut.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyuro, mereka
mengatakan, “Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun.” Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, “Kalian lebih berhak terhadap Musa
dari pada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah” (HR. Bukhari)

Rasulullah menyebutkan pahala bagi orang yang melaksanakan puasa sunnah ‘Asyuro,
sebagaiamana riwayat dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa Asyuro, kemudian beliau menjawab, “Puasa
Asyuro menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat” (HR. Muslim)

4. Selisihi Orang Yahudi dengan Puasa Tasu’a (Tanggal 9 Muharram)

Setahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau berrtekad untuk tidak berpuasa
hari ‘Asyuro (tanggal 10 Muharram) saja, tetapi beliau menambahkan puasa pada hari
sebelumnya yaitu puasa Tasu’a (tanggal 9 Muharram) dalam rangka menyelisihi puasanya orang
Yahudi Ahli Kitab.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau mengatakan, Ketika Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyuro dan menganjurkan para sahabatnya untuk berpuasa, mereka
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang
Yahudi dan Nasrani”. Maka beliau bersabda, “Kalau begitu tahun depan Insya Allah kita akan
berpuasa juga pada hari kesembilan (Tasu’a, untuk menyelisihi Ahli kitab)”. Ibnu ‘Abbas
berkata, “Belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”

Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa pada
tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi. Tapi ada ulama lain yang
membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari
sebelumnya (tanggal 9 Muharram). (Asy Syarhul Mumti’, Ibnu ‘Utsaimin)

5. Muhasabah dan Introspeksi Diri

Hari berganti dengan hari dan bulan pun silih berganti dengan bulan. Tidak terasa pergantian
tahun sudah kita jumpai lagi, rasa-rasanya sangat cepat waktu telah berlalu. Semakin
bertambahnya waktu, maka semakin bertambah pula usia kita. Perlu kita sadari, bertambahnya
usia akan mendekatkan kita dengan kematian dan alam akhirat.

Sebuah pertanyaan besar, “Semakin bertambah usia kita, apakah amal kita bertambah atau
malah dosakah yang bertambah??!” Maka pertanyaan ini hendaknya kita jadikan alat untuk
muhasabah dan introspeksi diri kita masing-masing. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah
mengatakan, “Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, masa
hidupku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.”

Wahai saudaraku, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk menuju perjalanan yang panjang di
akhirat kelak dengan amalan-amalan shalih? Sudahkah kita siap untuk
mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah kita perbuat di hadapan Allah kelak?
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan setiap diri hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat)…” (QS. Al Hasyr: 18)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Yaitu, hendaklah kalian menghitung-
hitung diri kalian sebelum kalian di-hisab (pada hari kiamat), dan perhatikanlah apa yang telah
kalian persiapkan berupa amal kebaikan sebagai bekal kembali dan menghadap kepada Rabb
kalian.”

Semoga Allah senantiasa memberikan kita taufik untuk tetap teguh berada di atas jalan
kebenaran-Nya, bersegera untuk melakukan instrospeksi diri sebelum datang hari di-hisab-nya
semua amalan, dan menjauhkan dari perbuatan maksiat yang bisa membuat noda hitam di hati
kita. Wallahu Ta’ala a’lam.

Penulis : Raksaka Indra (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Menyambut Bulan Muharam

ُ ‫ وأفض ُل الصالة بعد الفريضة صالة‬، ‫شهر هللا المحرم‬


ُ ‫ ( أفض ُل الصيام بعد رمضان‬: r ‫ قال رسول هللا‬: ‫ قال‬t ‫عن أبي هريرة‬
) ‫الليل‬

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan
adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah
shalat fardhu adalah shalat malam”. (HR. Muslim)

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari hadist di atas :

Pertama : Bulan Muharram Adalah Bulan Yang Mulia.

Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, hal itu dikarenakan beberapa hal :

Pertama : Bulan ini dinamakan Allah dengan “ Syahrullah “, yaitu bulan Allah. Penisbatan
sesuatu kepada Allah mengandung makna yang mulia, seperti “ Baitullah “ ( rumah Allah ),
“Saifullah” ( pedang Allah ), “ Jundullah” ( tentara Allah) dan lain-lainnya. Dan ini juga
menunjukkan bahwa bulan tersebut mempunyai keutamaan khusus yang tidak dimilili oleh
bulan-bulan yang lain.

Kedua : Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan yang dijadikan Allah sebagi bulan
haram, sebagaimana firman Allah swt :

"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia
menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram." (Q.S. at Taubah :36).
Dalam hadis Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaiman bentuknya semula di waktu Allah menciptakan
langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan yang
dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang
terdapat diantara bulan Jumada Tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga : Bulan ini dijadikan awal bulan dari Tahun Hijriyah, sebagaimana yang telah disepakati
oleh para sahabat pada masa khalifah Umar bin Khattab ra. Tahun Hijriyah ini dijadikan
momentum atas peristiwa hijrah nabi Muhammad saw.

Kedua : Pada Bulan ini Disunnahkan Untuk Berpuasa.

Bulan Muharram adalah bulan yang disunnahkan di dalamnya untuk berpuasa, bahkan
merupakan puasa yang paling utama sesudah puasa pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang
tersebut dalam hadist Hurairah ra, di atas. Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw
menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan puasa sebanyak-banyaknya pada bulan
Muharram. Tetapi tidak dianjurkan puasa satu bulan penuh, hal itu berdasarkan hadist Aisyah ra,
bahwasanya ia berkata : “ Saya tidak pernah melihat sama sekali Rasulullah saw berpuasa satu
bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau berpuasa paling
banyak pada suatu bulan, kecuali bulan Sya’ban “( HR Muslim )

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Rasulullah saw menyebutkan bahwa bulan
Muharram adalah bulan yang paling mulia sesudah Ramadhan, padahal beliau sendiri lebih
banyak melakukan puasa pada bulan Sya’ban dan bukan pada bulan Muharram ? Jawabannya :
Para ulama memberikan beberapa alasan, diantaranya bahwa Rasulullah saw belum mengetahui
keutamaan bulan Muharram kecuali pada detik-detik terakhir kehidupan beliau, sehingga belum
sempat untuk berpuasa sebanyak-banyaknya, atau mungkin adanya udzur syar’I yang
menghalangi beliau untuk memperbanyak puasa pada bulan tersebut, seperti banyak melakukan
perjalan jauh ( safar) atau udzur-udzur yang lain.

Puasa bulan Muharram ini berdasarkan hadist di atas adalah puasa yang paling utama dalam
sesudah Ramadhan dalam satu bulan. Sedangkan puasa Arafah adalah puasa yang paling utama
sesudah Ramadhan bila dilihat dari sisi hari.

Ketiga : Pada Bulan Muharram terhadap Hari Asyura’.

Hari Asyura’ artinya hari kesepuluh dari bulan Muharram. Pada hari itu dianjurkan untuk
berpuasa, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Ibnu Abbas ra berkata : “ Ketika
Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
‘Asyura’, maka beliau bertanya : "Hari apa ini?”. Mereka menjawab :“Ini adalah hari
istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, oleh karena itu
Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah pun bersabda : "Aku lebih berhak terhadap Musa
daripada kalian“ . Maka beliau berpuasa dan memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa.”(HR
Bukhari dan Muslim)

Bagaimana cara berpuasa pada hari Asyura ? Menurut keterangan para ulama dan berdasarkan
beberapa hadist, maka puasa Asyura bisa dilakukan dengan empat pilihan : berpuasa tanggal 9
dan 10 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram atau berpuasa pada tanggal
9,10, dan 11 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, tetapi yang terakhir ini,
sebagian ulama memakruhkannya, karena menyerupai puasanya orang-orang Yahudi.

Cara berpuasa di atas berdasarkan hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya ia berkata : Ketika
Rasulullah saw. berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, para
shahabat berkata : " Wahai Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani".
Maka Rasulullah pun bersabda :"Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita
akan berpuasa pada hari kesembilan. “ (H.R. Bukhari dan Muslim).

Begitu juga hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Puasalah pada hari
Asyura’, dan berbuatlah sesuatu yang berbeda dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah
sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ ( HR Ahmad dan Ibnu Khuzaimah ) Dalam riwayat
Ibnu Abbas lainnya disebutkan : “Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.“

Apa keutamaan puasa pada hari Asyura’ ini ? Keutamaannya adalah barang siapa yang puasa
dengan ikhlas pada hari Asyura’ tersebut, niscaya Allah swt akan menghapus dosa-dosanya yang
telah dikerjakan selama satu tahun sebelumnya, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Abu
Qatadah ra, bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang puasa
‘Asyura’, maka Rasulullah saw menjawab : “ Saya berharap dari Allah swt agar menghapus
dosa-dosa selama satu tahun sebelumnya. “ ( HR Muslim )

Dosa-dosa yang dihapus disini adalah dosa-dosa kecil saja. Adapun dosa-dosa besar, maka
seorang muslim harus bertaubat dengan taubat nasuha, jika ingin diampuni oleh Allah swt.

Adapun hikmah puasa Asyura’ adalah sebagai bentuk kesyukuran atas selamatnya nabi Musa as
dan pengikutnya serta tenggelamnya Fir’aun dan bala tentaranya, sebagaimana yang tersebut
dalam hadist Ibnu Abbas di atas.

Keempat : Kekeliruan dalam menghadapi Bulan Muharram.

Di dalam menghadapi Tahun Baru Hijriyah, sebagian kaum muslimin mengerjakan beberapa
amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw, maka hendaknya kekeliruan tersebut
bisa dihindarkan dari kita. Diantara kekeliruan tersebut adalah :

Pertama : Menjadikan tanggal 1 bulan Muharram sebagai hari raya kaum muslimin, mereka
merayakannya dengan cara saling berkunjung satu dengan yang lainnya, atau saling memberikan
hadiah satu dengan yang lainnya, bahkan sebagian dari mereka mengadakan sholat tahajud dan
doa’-do’a khusus pada malam tahun baru. Padahal dalam Islam hari raya hanya ada dua, yaitu
hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Hal itu sesuai dengan hadist Anas bin Malik ra,
bahwasanya ia berkata : “ Rasulullah saw datang ke kota Madinah, pada waktu itu penduduk
Madinah merayakan dua hari tertentu, maka Rasulullah saw bertanya : Dua hari ini apa ?
Mereka menjawab : “ Ini adalah dua hari, dimana kami pernah merayakannya pada masa
Jahiliyah. Maka Rasulullah saw bersabda : “ Sesungguhnya Allah swt telah menggantikannya
dengan yan lebih baik : yaitu hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri. ( HR Ahmad, Abu
Daud dan Nasai )

Begitu juga, merayakan tahun baru adalah kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka
kaum muslimin diperintahkan untuk menjauhi dari kebiasaan tersebut, sebagaimana yang
terdapat dalam hadist Abu Musa Al Asy’ari bahwasanya ia berkata : “Hari Asyura adalah hari
yang dimuliakan oleh Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya.” Dalam riwayat Al-
Nasai dan Ibnu Hibban, Rasulullah bersabda, “Bedalah dengan Yahudi dan berpuasalah kalian
pada hari Asyura.”

Kedua : Menjadikan tanggal 10 Muharram sebagi hari berkabung, sebagaimana yang dilakukan
oleh kelompok Syi’ah Rafidhah. Mereka meratapi kematian Husen bin Ali yang terbunuh di
Karbela. Bahkan sejak Syah Ismail Safawi menguasai wilayah Iran, dia telah mengumumkan
bahwa hari berkabung nasional berlaku di seluruh wilayah kekuasaannya pada tanggal 10 hari
pertama bulan Muharram. Ritual meratapai kematian Husen ini dilakukan dengan memukul
tangan-tangan mereka ke dada, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyabet badan mereka
dengan pisau dan pedang hingga keluar darahnya, dan sebagian yang lain melukai badan mereka
dengan rantai.

Ketiga : Menjadikan malam 1 Muharram untuk memburu berkah dengan berbondong-bondong


menuju kota Solo dan menyaksikan ritual kirab dan pelepasan kerbau bule, yang kemudian
mereka berebut mengambil kotorannya, yang menurut keyakinan mereka bisa menyebabkan
larisnya dagangan dan membawa berkah di dalam kehidupan mereka. Semoga Allah menjauhkan
kita dari perbuatan syirik dan bid’ah dan menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.

Bekasi, 21 Dzulhijah 1430.

You might also like