Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian kehilangan dan berduka.
2. Mengetahui pengertian penyakit kronis.
3. Mengetahui pengertian penyakit terminal.
4. Mengetahui pengertian kecemasan.
5. Untuk mengetahui konsep kebutuhan memiliki dan dimiliki.
6. Untuk mengetahui kebutuhan harga diri dan konsep diri.
7. Untuk mengetahui konsep kebutuhan aktualisasi.
1.4 Manfaat
Agar kita dapat memahami tentang materi kebutuhan rasa aman dan nyaman serta
tindakan keperawatan yang harus dilakukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Jenis-jenis Berduka
1. Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal
terhadap kehilangan. Misalnya: kesedihan, kemarahan,menangis, kesepian,
dan menarik diri dari aktivitas untuk sementara.
2. Berduka antisipatif, yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum
kehilangan/kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya: ketika
menerima diagnosis terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan
dan menyelesaikan berbagai urusan didunia sebelum ajalnya tiba.
3. Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ketahap
berikutnya, yaiu tahap kedukaan abnormal. Masa berkabung seolah-olah tak
kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan seseorang yang
bersangkutan dengan orang lain.
4. Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui
secara terbuka. Contoh : kehilangan pasangan karena AIDS, anak
mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya
dikandungan atau ketika bersalin.
Respons berduka
Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap
tahap sebagai berikut:
a. Tahap pengingkaran (denial). Reaksi pertama individu yang mengalami
kehilangan adalah syok, tidak percaya, mengerti, atau mengingkari
kenyatan bahwa kehilangan benar-benar terjadi.
b. Tahap marah (anger). Pada tahap ini individu menolak kehilangan.
Kemarahan yang timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau
dirinya sendiri.
c. Tahap tawar-menawar (bargaining). Terjadi penundaan atas kenyataan
terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan
secara halus atau terang-terangan seolah-olah kehilangan tersebut dapat
dicegah.
d. Tahap depresi. Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik
diri, kadang-kadang bersifat sangat penurut, tidak mau bicara,
menyatakan keputusasaan, rasa tidak berharga, bahan bisa muncul
keinginan bunuh diri.
e. Tahap penerimaan (acceptance). Berkaitan dengan reorganisasi
perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada objek yang
hilang mulai berkurang atau hilang.
1. Fase pengingkaran
a. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
b. Tunjukkan sikap menerima dengan ikhlas dan mendorong klien untuk
berbagi rasa
c. Beri jawaban yang jujur terhadap pertanyaan klien tentang sakit,
pengobatan, kematian.
2. Fase Marah
Menurut Smeltzer & Bare (2001) terdapat Sembilan fase atau tahapan
penyakit kronis, diantaranya tahap pre-trajectory, trajectory, tahap stabil, tahap
tidak stabil, tahap akut, tahap krisis, tahap pulih, tahap penurunan, dan tahap
kematian.
1. Tahap pre-trajectory, merupakan tahap awal, seseorang berisiko terhadap
penyakit kronis karena adanya faktor genetic atau perilaku berisiko tinggi untuk
penyakit kronis
2. Tahap trajectory, merupakan tahap gejala yang masih belum jelas dan
berhubungan dengan adanya penyakit kronis
3. tahap stabil, merupakan tahap ketika gejala dan perjalanan penyakit yang
terkontrol.
4. Tahap tidak stabil, merupakan tahap adanya gangguan akibat gejala yang tidak
terkontrol
5. Tahap akut, merupakan tahap yang diawali dengan gejal-gejala yang berat dan
membutuhkan perawatan di rumah sakit.
6. Tahap pulih, merupakan tahap yang ditandai adanya situasi krisis atau
mengancam jiwa dan membutuhkan perawatan kedaruratan.
7. Tahap pulih, merupakan tahap yang ditandai adanya pemulihan dengan batasan
adanya beban penyakit kronis
8. Tahap penurunan, merupakan tahapan dengan perjalanan penyakit
berkembangdan adanya peningkatan ketidakmampuan dalam mengatasi gejala
yang ada.
9. Tahap kematian, merupakan tahap yang ditandai adanya penurunan bertahap
atau cepat dari fungsi tubuh hingga meninggal.
2.4 Kecemasan
Kecemasan atau dalam bahasa inggrisnya anxienty berasal dari bahasa latin
angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik. Konsep
kecemasan memegang peranan yang sangat mendasar dalam teori teori tentang
setres dan penesuaian diri (Lazarus, 1961).
Tingkatan kecemasan
Gejala
Faktor Internal
1) Pengalaman
Menurut Horney dalam Trismiati (2006), sumber-sumber ancaman yang
dapatmenimbulkan kecemasan tersebut bersifat lebih umum. Penyebab
kecemasan menurut Horney, dapat berasal dari berbagai kejadian di dalam
kehidupan atau dapat terletak di dalam diri seseorang, misalnya seseorang yang
memiliki pengalaman dalam menjalani suatu tindakan maka dalam dirinya
akan lebih mampu beradaptasi atau kecemasan yang timbul tidak terlalu besar.
2) Respon
Terhadap Stimulus menurut Trismiati (2006), kemampuan seseorang menelaah
rangsangan atau besarnya rangsangan yang diterima akan mempengaruhi
kecemasan yang timbul.
3) Usia
Pada usia yang semakin tua maka seseorang semakin banyak
pengalamnnyasehingga pengetahuannya semakin bertambah (Notoatmodjo,
2003). Karena pengetahuannya banyak maka seseorang akan lebih siap dalam
menghadapi sesuatu.
4) Gender
Berkaitan dengan kecemasan pada pria dan wanita, Myers (1983) dalam
Trismiati (2006) mengatakan bahwa perempuan lebih cemas
akanketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki, laki-laki lebih
aktif,eksploratif, sedangkan perempuan lebih sensitif. Penelitian lain
menunjukkan bahwa laki-laki lebih rileks dibanding perempuan.
Faktor Eksternal.
1) Dukungan Keluarga
Adanya dukungan keluarga akan menyebabkan seorang lebih siap dalam
menghadapi permasalahan, hal ini dinyatakan oleh Kasdu (2002)
2) Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan sekitar ibu dapat menyebabkan seseorang menjadi
lebihkuat dalam menghadapi permasalahan, misalnya lingkungan pekerjaan
ataulingkungan bergaul yang tidak memberikan cerita negatif tentang efek
negatif suatu permasalahan menyebabkan seseorang lebih kuat dalam
menghadapi permasalahan.
Menurut Sigmund Freud membagi faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan ke dalam tiga jenis, yakni :
a. Kecemasan Riel
Adalah kecemasan atau ketakutan individu terhadap bahaya-bahaya nyata
yang berasal dari dunia luar (api, binatang buas, orang jahat, penganiayaan,
hukuman).
b. Kecemasan Neurotik
Adalah kecemasan atas tidak terkendalinya naluri-naluri primitif oleh ego
yang nantinya bias mendatangkan hukuman. Sungguhpun sumbernya
berada di dalam diri, kecemasan neurotik pada dasarnya berlandaskan
kenyataan, sebab hukuman yang ditakutkan oleh ego individu berasal di
dunia luar.
c. Kecemasan Moral
Adalah kecemasan yang timbul akibat tekanan superego atas ego
individutelah atau sedang melakukan tindakan yang melanggar moral.
Kecemasan moral ini menyatakan diri dalam bentuk rasa bersalah atau
perasaan berdosa. Sama halnya dengan kecemasan neurotik, keecemasan
moral bersifat nyata, dalam arti bahwa tekanan superego atas ego yang
menimbulkan kecemasan moral itu mengacu kepada otoritas-otoritas yang
riel atau nyata ada di luar individu (orang tua, penegak hukum, masyarakat).
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemenuhan kebutuhan rasa aman yaitu terbebas dari cidera fisik dan
mental. Selain itu, harus memperhatikan keadaan lingkungan yang aman
seperti baiknya udara atau oksigenasi, sanitasi, terbebasnya dari polusi dan
lain-lain.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan terhadap pasien yang
mengalami gangguan rasa aman perlu hati-hati, karena sebagian besar
akibat keamanan yaitu dari terjadinya gangguan rasa aman itu sendiri baik
dari individunya sendiri atau lingkungan sekitar. Sebagai perawat
semaksimal mungkin melakukan tindakan keperawatan tersebut untuk
mencapai tujuan yaitu membuat pasien terbebas dan sembuh serta
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia.
3.2 Saran
Hidayat, A. Aziz Alimul dan Uliyah Musrifatul. 2016. Buku Ajar Ilmu Keperawatan
Dasar. Jakarta: Salemba Medika.
Mubarak Wahit Iqbal, Indrawati Lilis dan Susanto Joko. 2015. (Buku 2) Buku Ajar Ilmu
Keperawatan Dasar. Jakarta: Salemba Medika.