You are on page 1of 9

BAB 2

KAJIAN TEORI

Pada bab kajian teori ini, teori yang dipaparkan adalah yang mendukung latar belakang, yaitu: teori
corporate governance, two-tier board system, stakeholder theory, agency theory, dan pengertian
kompetensi. Selanjutnya, dipaparkan penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan. Terakhir,
dipaparkan hiporesis mengenai pengaruh board size terhadap kinerja perusahaan, board
competence terhadap kinerja perusahaan, board dilligence terhadap kinerja perusahaan, dan
koneksi politik terhadap kinerja perusahaan,

2.1 Teori yang Relevan

2.1.1 Teori Corporate Governance

Menurut The Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD, 2015)
Corporate governance mencakup seperangkat hubungan antara manajemen, dewan, pemegang
saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Corporate governance juga menyediakan struktur
melalui tujuan perusahaan, cara mencapai tujuan tersebut, dan memantau kinerja yang sudah
ditetapkan. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006) terdapat lima prinsip
Corporate Governance, yaitu transparansi, akuntabilitas, tangung jawab, independensi, dan
keadilan. Romauli (2012) menyatakan bahwa Good Corporate Governance memiliki tujuan untuk
mengakomodasi berbagai kepentingan stakeholder dalam aktivitas pengelolaan bisnis perusahaan
dan menciptakan nilai tambah bagi seluruh stakeholder.

Beberapa penelitian sebelumnya terkait hubungan antara tatakelola perusahaan dan kinerja
perusahaan memang ada yang hanya menggunakan agency theory, tetapi memasukkan unsur
stewardship theory yang dikomplemenkan dengan resource dependent theory untuk menganalisis
temuan agar dapat lebih memberikan penekanan ketika perusahaan mengalami masalah-masalah
genting, misalnya krisis perekonomian, skandal internal, atau ada investasi baru (Monica
Villanueva-Villar, Elena Rivo-Lipoz, dan Santiago Lago-Pe~nas, 2016).

2.1.2 Two-Tier Board System


Menurut Wardani (2008), menyatakan bahwa mayoritas definisi board of director (BOD)
yang dipakai dalam berbagai literatur penelitian mengacu kepada one-tier system. Pada sistem ini,
BOD mempunyai fungsi pengawasan terhadap kinerja manajemen. Sedangkan di Indonesia
menganut two-tier board system, dimana terdapat pemisahan peran direksi sebagai pengelola dan
komisaris sebagai pengawas. Meier (2005), menyatakan untuk two-tier board system, dewan
diartikan sebagai kombinasi antara pengawas dan manajemen.

Dalam sistem two-tier boards, direktur eksekutif (dewan pengurus) bertanggung jawab
untuk operasional harian dari perusahaan dan direktur non-eksekutif (dewan pengawas)
bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap direktur eksekutif (Jungmann, 2006;
Maassen, 1999; Millet-Reyes and Zhao, 2010). O’Sullivan dan Tuch (2007) mengatakan bahwa
BOD yang tersebar dan seimbang dapat secara signifikan meningkatkan kinerja perusahaan. BOD
merupakan mekanisme yang penting untuk dapat meningkatkan dan menciptakan koalisi antara
BOD dan pemegang saham dalam mengendalikan sumber daya yang dibutuhkan perusahaan.

2.1.3 Stakeholder Theory

Shareholder theory menyatakan bahwa tanggung jawab yang paling mendasar dari direksi
adalah bertindak untuk kepentingan meningkatkan nilai (value) dari pemegang saham. Jika
perusahaan memperhatikan kepentingan pemasok, pelanggan, karyawan, dan lingkungannya,
maka value yang didapatkan oleh pemegang saham semakin sedikit sehingga berjalannya
pengurusan oleh direksi harus mempertimbangkan kepentingan pemegang sahamnya untuk
memastikan kesehatan perusahaan dalam jangka panjang, termasuk peningkatan value pemegang
saham (Smerdon dalam Sutedi, 2011).

2.1.4 Agency Theory

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan terdapat hubungan keagenan di dalam teori
keagenan (agency theory) yang menyatakan bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak
(nexus of contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan manajer (agent) yang
mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut. Menurut Meisser, et al., (2006:7)
hubungan keagenan ini menyebabkan dua permasalahan, yaitu (a) terjadinya informasi yang
asimetris (information asymmetry), di mana manajemen secara umum memiliki lebih banyak
informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarnya dan posisi operasional entitas dari pemilik;
dan (b) terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest) akibat perbedaan tujuan, di mana
manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Inti dari agency theory atau
teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal
dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997).

Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi, yaitu

a) asumsi tentang sifat manusia

asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded
rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion);

b) asumsi tentang keorganisasian

asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi


sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asymmetric information (AI) antara prinsipal
dan agen;

c) asumsi tentang informasi

asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi
yang bisa diperjual belikan.

2.1.5 Pengertian Kompetensi

Trotter (1997) mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang
dengan keterampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang
atau tidak pernah membuat kesalahan. Menurut Boyatzis (2008), kompetensi adalah kapasitas
yang ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang
disyaratkan oleh pekerjaan dalam suatu organisasi sehingga organisasi tersebut mampu mencapai
hasil yang diharapkan.

Sedangkan menurut Byars dan Rue (1997), kompetensi didefinisikan sebagai suatu sifat
atau karakteristik yang dibutuhkan oleh seorang pemegang jabatan agar dapat melaksanakan
jabatan dengan baik, atau juga dapat berarti karakteristik/ciri-ciri seseorang yang mudah dilihat
termasuk pengetahuan, keahlian, dan perilaku yang memungkinkan untuk berkinerja.

Menurut Boulter (1996), tingkatan kompetensi terdiri dari skill, knowledge, self-concept,
self-image, trait dan motive. Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas dengan baik
misalnya seorang programmer komputer. Knowledge adalah informasi yang dimiliki seseorang
untuk bidang khusus (tertentu), misalnya bahasa komputer. Social role adalah sikap dan nilai-nilai
yang dimiliki seseorang dan ditonjolkan dalam masyarakat (ekspresi nilai-nilai dari), misalnya
adalah pemimpin. Self-image adalah pandangan orang terhadap diri sendiri, mereflesikan identitas,
misalnya adalah melihat diri sendiri sebagai seorang ahli. Trait adalah karakteristik abadi dari
seseroang yang membuat orang untuk berperilaku, misalnya adalah percaya diri sendiri. Motive
adalah suatu dorongan seseorang secara konstitusi berprilaku, sebab perilaku seperti tersebut
kenyamanan, misalnya adalah prestasi mengemudi.

Antonacopoulou dan Gerald (1996) mengatakan bahwa kompetensi terdiri dari sifat-sifat
unik setiap individu yang diekspersikan dalam proses interaksi dengan pihak lain dalam konteks
sosial, jadi tidak hanya terbatas pada pengetahuan dan skill yang spesifik atau standar kinerja yang
diharapkan dan perilaku yang diperlihatkan.

2.2 Penelitian Lain yang Relevan

Penelitian kali ini mengambil acuan utama dari penelitian sebelumnya yang dilakukan di
Spanyol oleh Villar et al., 2015. Perbedaan utamanya adalah terletak pada sampel. Sampel
penelitian kami diambil dari Indonesia, dimana banyak karakteristik negara seperti aspek budaya
dan peraturan yang berbeda dengan Spanyol. Penelitian ini menghilangkan variabel duality karena
sistem corporate Indonesia mengadopsi two-tier system sehingga variabel tersebut tidak relevan
apabila digunakan. Namun, penelitian ini memasukan variabel baru, yakni board culture.
Pemilihan variabel baru tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara
multi etnis dan budaya sehingga di dalamnya ada unsur behavior. Behavior tersebut dimiliki oleh
jajaran direksi dan tercermin dalam pengambilan keputusan oleh board sehingga secara
keseluruhan terlihat dalam budaya perusahan.
Selain penelitian acuan utama tersebut, beberapa penelitian sebelumnya yang juga relevan
antara lain dalam tabel berikut

Judul Oleh Tahun Temuan Perbedaan

Pengaruh board size A.A Pt. 2015 ditemukan bahwa board size Penelitian ini hanya board
terhadap nilai Agung tetap berpengaruh positif size
perusahaan Mirah tetapi tidak signifikan
perusahaan yang dipakai
Purnama terhadap nilai perusahaan
hanya manufaktur
Sari dan pada perusahaan manufaktur
Putu Agus ketika sebelum dan sesudah kinerja dilihat dari harga
Ardiana dipertimbangkannya saham di bursa efek
variabel kontrol.

Corporate governane in Erkens et 2012 ditemukan bahwa perusahaan yang dipakai


the 2007-2008 financial al perusahaan sektor finansial hanya sektor finansial
crisis: evidence from terkena dampak krisis
terjadi di luar negeri (30
financial institution keuangan paling besar
negara)
dibanding sektor lain karena
besarnya risiko yang dimiliki waktunya saat krisis
sektor ini 2007-2008

Does good governance Essen et al 2013 pada saat masa krisis perusahaan di Eropa
help in a crisis? The keuangan, perusahaan
ada yang one-tier dan
impact of country and dengan CEO-duality lebih
two-tier
firm level governance memiliki dampak positif
mechanism in the karena pengambilan
European financial crisis keputusannya lebih terpusat
2.3 Pengembangan Hipotesis

2.3.1 Board Size

Dalam penelitian ini, yang dimaksud board size adalah jumlah personel dewan direksi dan
komisaris dalam satu perusahaan. Menurut Susanti (2010), makin tinggi board size maka makin
tinggi pula kinerja perusahaan. Wardhani (2007) menyebutkan bahwa pada perusahaan yang
membutuhkan banyak relasi eksternal biasanya membutuhkan banyak personel dewan juga.

Penelitian Nicholson dan Kiel (2007) yang didasarkan pada resource dependence theory
berpendapat jumlah anggota dewan yang makin banyak memberikan informasi yang cocok untuk
keperluan pengambilan keputusan perusahaan. Dowell et al (2011) juga menemukan bahwa ketika
terjadi tekanan finansial, perusahaan dengan jumlah anggota dewan yang besar lebih dapat
bertahan karena memiliki networking yang lebih besar sehingga peluang penguasaan sumber daya
juga lebih besar.

Sebaliknya, penelitian yang dianalisis dengan teori keagenan yang dilakukan Hansson et
al (2011) menemukan lebih sedikit jumlah dewan, maka kinerja perusahaan makin baik. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Jansen (1993) bahwa ketika jumlah anggota dewan besar, maka
efisiensinya menurun karena sulit untuk menyelesaikan masalah keagenan antar anggota dewan.
Sesuai dengan penelitian terdahulu, Dowell et al (2011) menemukan bahwa perusahaan dengan
jumlah personel dewan yang sedikit dapat mengambil keputusan dengan cepat, yang mana hal
tersebut penting di saat genting. Lipton dan Lorch 1992, Shakir 2010 juga menemukan demikian,
tidak selamanya peningkatan ukuran dewan meningkatkan kinerja perusahaan. Ketika ukuran
dewan terlalu besar, akibatnya makin lama waktu yang dibutuhkan untuk menggabungkan
pemikiran antar anggota dewan dan makin sulit membangun kekompakan dalam tubuh dewan
tersebut (Hillman et al, 2011).

Di samping hasil penelitian yang menyatakan positif dan negatif, ada pula penelitian Lefort
dan Urzua (2008) yang menemukan jumlah personel dewan tidak berpengaruh signifikan pada
kinerja perusahaan. Villanueva-Villar, et al. (2016) menyatakan bahwa banyak atau sedikitnya
jumlah personel dewan yang berpengaruh pada efektivitas kinerja perusahaan tergantung pada
situasi perekonomian yang dihadapi perusahaan. Ketika membutuhkan keputusan yang cepat,
misalnya di masa krisis, jumlah personel dewan yang sedikit akan lebih cocok.
Namun demikian, di masa-masa aman, banyaknya jumlah personel dewan dapat membantu
memberikan pandangan yang luas karena memiliki latar belakang yang lebih beragam. Azim
(2012) juga membenarkan bahwa ukuran banyak-sedikitnya personel dewan itu tidak pasti,
tergantung perusahaan masing-masing.

H1. Board size berpengaruh positif pada kinerja perusahaan

2.3.2 Board Competence

Cadbury Report (1992) menyatakan bahwa kompetensi anggota dewan direksi merupakan
hal yang sangat penting agar dapat menghasilkan dewan direksi yang efektif. Kompetensi yang
dibutuhkan oleh dewan direksi dalam melaksanakan perannya adalah pengetahuan mengenai
bidang usaha perusahaan dan pemahaman mengenai proses corporate governance. Menurut
rekomendasi Cadbury Report, perusahaan harus melaksanakan program orientasi secara formal
bagi komisaris baru dan memberikan pelatihan khusus berkaitan dengan isu-isu mengenai
corporate governance. Berbeda dengan rekomendasi yang terdapat dalam Cadbury Report, Bedard
dan Chi (1993) lebih mementingkan faktor pengalaman sebagai unsur kompetensi yang lebih
penting bagi dewan direksi. Dewan direksi yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan yang
baik mengenai bidang usaha perusahaan lebih dapat melakukan tugasnya secara efektif dalam hal
pelaporan keuangan.

H2. Board competence berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan.

2.3.3 Board Diligence

Jumlah rapat yang dilakukan oleh dewan pengurus yang dilakukan setiap tahun merupakan
indikator dari board diligence (Villanueva-Villar et al., 2016). Jika frekuensi rapat sedikit, hal
tersebut menandakan kurangnya interest anggota dewan terhadap kepengurusan di perusahaan,
sekaligus menandakan minimnya pengawasan terhadap manajer (Azim, 2012).

Dari perspektif teori keagenan, rapat rutin biasanya berisi hal-hal yang juga rutin
dilaporkan, sehingga hanya menyisakan sedikit waktu luang untuk menguji keberadaan hal-hal di
luar dugaan (Jackling dan Johl, 2009). Menurut Jensen (1993) sendiri, ukuran seberapa sering rapat
harus dilaksanakan tiap perusahaan itu tergantung kesepakatan, karena jika terlalu sering dapat
memicu kondisi rapat yang kurang efektif dan sedikitnya temuan yang berarti, namun jika
frekuensi rapat kurang dapat memicu tidak terdeteksinya kinerja yang harus diperbaiki.

Sebaliknya, menurut resource dependence theory, intensitas dari aktivitas para dewan yang
diukur dari frekuensi rapat yang dilakukan adalah factor yang berhubungan dengan tatakelola dan
kinerja perusahaan. Sehingga dalam kaitannya, setidaknya harus ada rapat rutin agar dewan dapat
mengetahui kondisi perusahaan secara kontinyu melalui laporan yang disampaikan manajer
(Gabrielsson dan Winlund, 2000; Arosa et al., 2013).

Menurut Al-Najjar (2012), perusahaan dengan ukuran dan diversitas dewan yang besar
lebih baik kinerjanya ketika lebih sering melakukan rapat. Brick dan Chidambaran (2010)
mengatakan bahwa ketika kondisi tertentu, misalnya ketika terjadi penurunan kinerja secara
drastis, terjadi krisis, maupun kasus special investment, peningkatan jumlah rapat untuk
menangani kejadian-kejadian tersebut adalah hal yang wajib dilakukan.

Selain frekuensinya yang berbeda-beda menurut beberapa pendapat, kondisi ketika rapat
berlangsung juga turut memengaruhi. Rapat yang dianggap berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan adalah ketika terjadi secara terorganisasi. Kemudian saat dilaksanakan di dalamnya
terjadi transfer informasi untuk mendiskusikan berbagai masalah. Setelah itu, ketika hasil
keputusan dilaksanakan berimplikasi pada makin besarnya control terhadap kinerja manajer
(Gabrielsson dan Winlund, 2000; Arosa et al., 2013).

H4. Board diligence berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan.

2.3.4 Koneksi Politik

Menurut Purworo (2011), perusahaan dikatakan memiliki koneksi politik ketika


mengupayakan kedekatan dengan politisi atau pemerintah agar mempermudah tujuan usahanya.
Dari agency theory, perusahaan biasanya memiliki koneksi politik karena memang dimiliki oleh
pemerintah, misalnya BUMN dan BUMD. Sebagai pemilik utama, pemerintah memiliki
kekuasaan untuk campur tangan dalam kegiatan operasional, memilih personil dalam manajemen
kunci, hingga memiliki iktikad untuk tujuan sosial misalnya menurunkan pengangguran dan
menghindari monopoli (Widagdo, 2016). Bisa juga karena anggota dewan komisaris dan
direksinya merupakan tokoh politik terkemuka (Nugroho, 2015). Menurut Faccio (2006), jika ada
satu dari dewan komisaris dan direksi perusahaan, pemegang saham mayoritas, bahkan kerabat
dekat mereka yang pernah atau sedang menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus partai
penguasa politik, maka perusahaan tersebut dapat dikatakan memiliki koneksi politik.

Selain memiliki dampak positif, ternyata ada penelitian dari Fan et al (2007) yang
mengemukakan sebaliknya. Koneksi politik dapat berpengaruh negative terhadap kinerja
perusahaan ketika pihak pemerintah memiliki iktikad tidak baik dalam mengendalikan perusahaan,
misalnya pemerintah meminta pembagian keuntungan yang terlalu besar, meminta upeti, dan
mengancam akan mencopot manajer yang tidak menuruti perintahnya. Fisman et al. (2007) juga
berpendapat senada. Perusahaan dapat diperlalukan seperti mesin uang ketika pemerintah merasa
telah memberikan investasi besar pada perusahaan, sehingga mengharap return yang fantastis.
Dari dua temuan tersebut, dampak negatif dapat terjadi apabila kondisi birokrasi negara tersebut
yang jauh dari kategori baik.

Dari sisi resource dependent theory, manfaat perusahaan memiliki koneksi politik
setidaknya adalah mengetahui lebih awal akan sebuah kebijakan yang akan disahkan (Sotartagam,
2015). Perusahaan berkoneksi politik dapat mengetahui apakah isu tersebut akan benar-benar
menjadi larangan, sebatas wacana, bahkan dapat melobi pemerintah untuk membatalkan peraturan
terkait. Goldman et al. (2009) menambahkan bahwa keuntungan perusahaan memiliki koneksi
politik adalah dapat menurunkan biaya kompetisi, menurunnya biaya kontinjensi, dan mudah
mendapatkan kontrak proyek pemerintah.

H5. Koneksi politik berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan.

You might also like