You are on page 1of 26

UJIAN

A 25 YEARS OLD MAN WITH VULNUS GRANULOSUM ET CAUSA


ELECTRICAL BURN 53 POST STSG

Periode 20 Juni – 22 Juni 2018

Oleh :
Amelia Imas Voleta G99162115

Pembimbing:

dr. Amru Sungkar, SpB, SpBP (K) RE

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Semanggi, Surakarta
No. RM : 013908xx
Masuk RS : 20 Juni 2018
Tanggal Periksa : 11 Januari 2018
Status Pembayaran : BPJS

II. ANAMNESA
A. Keluhan Utama
Luka bakar listrik

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan luka bakar di bagian perut dan kaki
yang tidak kunjung sembuh sejak 8 bulan SMRS. Luka terasa nyeri saat
digunakan beraktivitas dan berkurang jika istirahat. Pasien mengalami
keterbatasan aktivitas karena lukanya dan hanya dapat berbaring di tempat
tidur. Aktivitas sehari-hari seperti BAB dan BAK harus dibantu oleh
keluarga.
Awalnya, pada Oktober 2017 pasien terkena listrik jalan raya saat
bekerja di pasar. Oleh warga sekitar pasien dilarikan ke RSDM. Pasien
mengalami luka bakar di bagian kedua tangan, perut dan kedua kaki. Pasien
juga telah dilakukan operasi STSG. Luka di bagian tangan sudah membaik
dan mentup namun luka dibagian perut dan kaki masih belum menutup.
Pasien rutin medikasi di RSDM setiap 5 hari sekali.
Keluhan demam, sesak, mual, muntah disangkal. BAB dan BAK
dalam batas normal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat mondok : disangkal

D. RiwayatPenyakitKeluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Primary Survey
1. Airway : Bebas
2. Breathing :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan= kiri, RR: 20 x/menit
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), RBH (-/-)
3. Circulation : Tekanan darah=120/70 mmHg, Nadi = 80 x / menit,
tegangan dan isi cukup
4. Disability : GCS E4V5M6, reflex cahaya (+/+),
pupil isokor (3mm/3mm)
5. Exposure : suhu 36,7 oC, jejas (+) lihat status lokalis

B. Secondary Survey
Keadaan Umum
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Derajat kesadaran : Compos mentis
Status Generalis
1. Kepala : mesocephal, rambut hitam, rambut rontok (-)
2. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-),
pupil isokor(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+),
hematom periorbita (-/-), diplopia (-/-), visus (N/N),
gerak bola mata (N/N)
3. Telinga : normotia, sekret (-/-)
4. Hidung : simetris, napas cuping hidung (-), secret (-), darah (-)
5. Mulut : gusiberdarah (-), lidahkotor (-), jejas (-), maloklusi (-)
6. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-),
Nyeri tekan (-),JVP R+2
7. Thorak : simetris, retraksi (-),
8. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan =kiri, RR:20x/menit
Palpasi : krepitasi (-/-),
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-)
9. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung sulit dievaluasi
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,
bising (-)
10. Abdomen
Inspeksi : distended (-), jejas (+) lihat status lokalis
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
11. Ekstremitas :

Akral dingin _ _ Oedem - -


_ _ - -
Status Lokalis
a. Regio abdomen Anterior
Inspeksi : luka tertutup verban, rembes (-)
b. Regio Ekstremitas Inferior
Inspeksi : luka tertutup verban, rembes (-)
IV. ASSESMENT I
Vulnus Granulosum regio abdomen anterior, regio femur D/S, regio cruris D/S
et causa combustio listrik 53% post STSG

V. PLANNING I
1. Cek darah lengkap
2. Medikasi luka
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Trauma Elektrik terjadi ketika arus melewati tubuh, mengganggu fungsi
organ-organ internal dan terkadang membakar jaringan dan menimbulkan luka
bakar. Trauma elektrik memiliki patofisiologi yang unik dengan tingkat
kematian yang tinggi. Trauma ini dapat disebabkan kontak dengan peralatan
listrik yang rusak, kontak tidak sengaja dengan jalur kabel listrik rumah
tangga maupun karena . Keparahan cidera ditentukan oleh intensitas arus, tipe
arus, dan jalur masuk arus melalui tubuh, surasi paparan arus serta hambatan
arus listrik. 1
B. Definisi dan Etiologi
Luka bakar dapat terjadi karena suhu tinggi (thermal burn), luka bakar
bahan kimia (chemical burn), luka bakar radiasi (radiation injury) dan luka
bakar karena sengatan listrik (electrical burn). Pada luka bakar karena
sengatan listrik, karakteristik listrik serta sifat berbagai jaringan menentukan
derajat kerusakan dan memberikan prediksi mengenai kemungkinan
morbiditas yang bahkan mortalitas. Beberapa karakteristik listrik yang perlu
diketahui antara lain adalah tegangan (voltage), arus listrik, resistensi dan
konduksi.
1. Tegangan:
Tegangan adalah gaya elektromotif atau perbedaan potensial listrik.
Semakin besar tegangan listrik yang dialirkan ke jaringan yang memiliki
resistensi relatif tetap, semakin besar arus yang dialirkan.
2. Arus listrik
Arus listrik (electric current) adalah aliran litrik yang dibagi menjadi dua
yaitu arus bolak balik (alternating current, AC) dan satu arah (direct
current, DC).
Low voltage AC injury
a. Tanpa kehilangan kesadaran: Biasanya terjadi pada paparan < 1000
volt. Biasa terjadi pada setting rumah tangga atau kantor. Biasanya,
anak-anak dengan cedera listrik hadir setelah menggigit atau
mengunyah kabel listrik dan menderita luka bakar oral. Dapat
menyebabkan cedera serius bila waktu terkenanya diperpanjang,
seperti kontraksi otot tetanus, otot akan terstimulasi 40-110 kali per
menit, terjadi tetanus dan pasien cenderung memegang sumber listrik
lebih lama sehingga mengakibatkan cedera yang makin parah. Cedera
ini 3 kali lebih berbahaya dari pada DC injury pada voltage yang sama.
b. Dengan kehilangan kesadaran
Pada korban dengan henti nafas, henti jantung atau VF yang tidak
disaksikan, akan sulit dalam mendiagnosisnya. Biasanya terdengar
jeritan sebelum pasien pingsan, hal ini disebabkan oleh kontraksi
involunter otot dinding dada karena aliran arus listrik.
High voltage AC injury
a. Tanpa kehilangan kesadaran
Biasanya pada kasus ini, jarang menyebabkan kehilangan kesadaran,
namun menyebabkan luka bakar yang amat parah (devastating).
b. Dengan hilang kesadaran
Merupakan kejadian yang jarang. Anamnesis biasanya diperoleh dari
saksi mata.
DC Injury
Pada tegangan tinggi biasanya akan menyebabkan kontraksi otot tunggal
yang akan menghentakan korban terlepas dari sumbernya. Pasien
cenderung mengalami cedera akibat terpental dari sumber arus. Cedera ini
bias menyebabkan disritmia jantung yang tergantung pada fase apa siklus
elektrik jantung pasien terkena.
3. Resistensi dan Konduksi
Resistensi adalah tahanan jaringan atau oposisi terhadap aliran listrik,
sedangkan konduksi adalah kapasitas jaringan menyampaikan
(mengalirkan arus listrik). Tahanan yang terbesar terdapat pada kulit
tubuh, akan menurun besarnya pada tulang, lemak, urat saraf, otot, darah
dan cairan tubuh. Tahanan kulit rata-rata 500-10.000 ohm. Di dalam
lapisan kulit itu sendiri bervariasi derajat resistensinya, hal ini bergantung
pada ketebalan kulit dan jumlah relatif dari folikel rambut, kelenjar
keringat dan lemak. Kulit yang berkeringat lebih jelek daripada kulit yang
kering. Menurut hitungan Cardieu, bahwa berkeringat dapat menurunkan
tahanan sebesar < 1,000 ohm.
Arus listrik banyak yang melewati kulit, karena itu energinya banyak yang
dilepaskan di permukaan. Jika resistensi kulit tinggi, maka permukaan
luka bakar yang luas dapat terjadi pada titik masuk dan keluarnya arus,
disertai dengan hangusnya jaringan diantara titik masuk dan titik
keluarnya arus listrik. Tergantung kepada resistensinya, jaringan dalam
juga bisa mengalami luka bakar.
Tahanan tubuh terhadap aliran listrik juga akan menurun pada keadaan
demam atau adanya pengaruh obat-obatan yang mengakibatkan produksi
keringat meningkat. Pertimbangkan tentang ”transitional resistance”,
yaitu suatu tahanan yang menyertai akibat adanya bahan-bahan yang
berada di antara konduktor dengan tubuh atau antara tubuh dengan bumi,
misalnya baju, sarung tangan karet, sepatu karet, dan lain-lain.
C. Klasifikasi Luka Bakar
1. Berdasarkan Kedalaman
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu
tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Kedalaman luka
bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I,
II, atau III:
a. Derajat I: Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih
menyisakan banyak jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka
bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh
secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul
dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal.
b. Derajat II: Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis
namun masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi
dan epitelisasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf
sensorik teriritasi, dibedakan atas 2 (dua) bagian:
i. Derajat II dangkal/superficial (IIA): Kerusakan mengenai bagian
epidermis dan lapisan atas dari corium/dermis.Organ – organ kulit
seperti folikel rambut, kelenjar sebecea masih banyak.Semua ini
merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara
spontandalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk sikatrik.
ii. Derajat II dalam/deep (IIB): Kerusakan mengenai hampir seluruh
bagian dermis dan sisa – sisa jaringan epitel tinggal sedikit.
Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjarkeringat,
kelenjar sebacea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama
dandisertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam
waktu lebih dari satu bulan.
c. Derajat III: Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang
lebih dalam sampaimencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ
kulit mengalami kerusakan,tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak
dijumpai bullae, kulit yang terbakarberwarna abu-abu dan lebih pucat
sampai berwarna hitam kering. Terjadikoagulasi protein pada
epidermis dan dermis yang dikenal sebagai esker. Tidakdijumpai rasa
nyeri dan hilang sensasi karena ujung-ujung sensorik
rusak.Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi
spontan.
Gambar: Luka bakar derajat I, II dan III

Tabel. Kategori derajat luka bakar

2. Berdasarkan Luas
Wallace membagi tubuh atas bagian – nagian 9 % atau kelipatan dari 9
terkenal dengan nama Rule of Nine atau Rule of Wallace. Dalam
perhitungan agar lebih mempermudah dapat dipakai luas telapak tangan
penderita adalah 1 % dari luas permukaan tubuhnya. Pada anak –anak
dipakai modifikasi Rule of Nine menurut Lund and Brower, yaitu
ditekankan pada umur 15 tahun, 5 tahun dan 1 tahun.
Gambar. Rules of Nine

Gambar. Rules of nine menurut umur


3. Kriteria Berat-ringannya
Kriteria berat-ringannya suatu luka bakar menurut American Burn
Association adalah
a) Luka bakar ringan.
- Luka bakar derajat II <15 %
- Luka bakar derajat II < 10 % pada anak – anak
- Luka bakar derajat III < 2 %
b) Luka bakar sedang
- Luka bakar derajat II 15-25 % pada orang dewasa
- Luka bakar II 10 – 20 5 pada anak – anak
- Luka bakar derajat III < 10 %
c) Luka bakar berat
- Luka bakar derajat II 25 % atau lebih pada orang dewasa
- Luka bakar derajat II 20 % atau lebih pada anak – anak.
- Luka bakar derajat III 10 % atau lebih
- Luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki dan
genitalia/perineum.
- Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain.
D. Patofisiologi
Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan bahan penyebab dan kedalaman
luka. Bahan yang dapat menyebabkan luka bakar adalah api, sclad (cairan
panas), kontak dengan bahan padat yang panas, bahan kimia, dan listrik.
Sedangkan kedalaman luka dapat dibagi menjadi derajat I, II, dan III. Pada
luka yang melibatkan sebagian tebal lapisan kulit (derajat 1 dan 2) disertai
rasa nyeri, sedangkan derajat 3 biasanya rasa nyeri minimal atau tidak ada.
Berdasarkan gambaran histologis, pada luka bakar terdapat tiga zona yaitu
zona koagulasi, zona stasis, dan zona hiperemia. Pada zona koagulasi terjadi
nekrosis jaringan dan kerusakan yang ireversibel. Zona stasis berada di sekitar
zona koagulasi, dimana terjadi penurunan perfusi jaringan dengan kerusakan
dan kebocoran vaskuler. Pada zona hiperemia terjadi vasodilatasi karena
inflamasi, jaringannya masih viable dan proses penyembuhan berawal dari
zona ini.

Gambar. Penampang kedalaman luka bakar4

Gambar. Zona luka bakar Jackson dan efeknya terhadap resusitasi adekuat dan
inadekuat5
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat
cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan
berkembang menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS),
kondisi ini hampir selalu berlanjut dengan Multi-system Organ Dysfunction
Syndrome (MODS). MODS terjadi karena gangguan perfusi jaringan yang
berkepanjangan akibat gangguan sirkulasi mikro. Berdasarkan konsep SIRS,
paradigma penatalaksanaan luka bakar fase akut berubah, semula berorientasi
pada gangguan sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses
perbaikan perfusi (srkulasi mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya luka
bakar memiliki efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas permukaan
tubuh. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai efek sistemik tersebut
anatara lain berupa:
1. Gangguan kardiovaskular, berupa peningkatan permeabilitas vaskular
yang menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskular ke
interstitial. Terjadi vasokonstriksi di pembuluh darah sphlancnic dan
perifer. Kontraktilitas miokardium menurun, kemungkinan disebabkan
adanya TNF. Perubahan ini disertai dengan kehilangan cairan dari luka
bakar menyebabkan hipotensi sistemik dan hipoperfusi organ.
2. Gangguan sistem respirasi, mediator inflamasi menyebabkan
bronkokonstriksi, dan pada luka bakar yang berat dapat timbul respiratory
distress syndrome.
3. Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga 3
kali lipat. Hal ini, disertai dengan adanya hipoperfusi sphlancnic
menyebabkan dibutuhkannya pemberian makanan enteral secara agresif
untuk menurunkan katabolisme dan mempertahankan integritas saluran
pencernaan.
4. Gangguan imunologis, terdapat penuruanan sistem imun yang
mempengaruhi sistem imun humoral dan seluler.
Masalah pada luka bakar berdasarkan kronologi dibagi menjadi:
1. Fase akut : deteriorasi airway, breathing, circulation, berlangsung
selama 0 - 48 jam (72 jam).
2. Fase subakut : SIRS dan MODS, berlangsung sampai 21 hari.
3. Fase lanjut : jaringan parut (hipertrofik, keloid, kontraktur),
berlangsung sampai 8-12 bulan.
Masalah yang timbul pada luka bakar fase akut terutama berkaitan
dengan gangguan jalan napas (cedera inhalasi), gengguan mekanisme
bernapas dan gangguan sirkulasi. Ketiga hal tersebut menyebabkan gangguan
perfusi jaringan yang dapat menyebabkan kematian. Cedera inhalasi
merupakan gangguan mukosa saluran napas akibat kontak dengan sumber
termis, toxic fumes, dan zat toksik lainnya. Gangguan mekanisme bernapas
pada luka bakar dapat terjadi pada pasien dengan eskar melingkar di dada
yang menyebabkan gangguan proses ekspansi rongga toraks sehingga
compliance paru berkurang. Gangguan sirkulasi pada luka bakar terjadi
melalui mekanisme perubahan integritas membran mikrovaskuler, perubahan
hukum Starling, gangguan perfusi (syok seluler), dan evaporative heat loss.
Setelah cedera termis, terjadi pelepasan histamin diikuti pelepasan histmain
dan aktivasi komplemen yang menyebabkan perlekatan leukosit PMN dengan
endotel. Endotel inflamatif akan melepaskan radikal bebas yang diikuti oleh
peroksidasi lipid yang mengaktivasi asam arakidonat. Hal ini menyebabkan
aktivasi kaskade koagulasi dan pelepasan sitokin (IL1, IL6, TNFa). Proses
inflamasi mengakibatkan perubahan morfologi endotel dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler ini mengakibatkan
perpindahan cairan dari intravaskuler ke ruang interstisium. Selain itu
mediator inflamasi memacu sel-sel epitel mukosa mengalami proses inflamasi
akut terutama mengakibatkan sel epitel nekrosis. Pada mukosa alveoli
penumpukan fibrin membentuk membran hialin yang menyebabkan gangguan
difusi dan perfusi oksigen (acute respiratory distress syndrom). ARDS ini
umumnya muncul 4-5 hari pasca cedera luka bakar
E. Gejala dan Tanda Klinis
Gejala klinis yang utama pada luka bakar yaitu lepuh yang merupakan
tanda khas luka bakar superfisial. Cairan dihasilkan dari jaringan cedera yang
lebih dalam sehingga permukaan superfisial yang terbakar (mati) akan
terangkat. Lepuh atau bullae pada luka bakar sering pecah dan meninggalkan
suatu permukaan merah kasar yang mengeluarkan cairan serous dan dapat
berdarah. Luka bakar yang superfisial terasa nyeri karena ujung saraf terpapar
dan mengalami inflamasi.
Luka bakar yang dalam, gejala klinisnya yaitu, kulit mungkin terlihat
normal. Akan tetapi, tampak mengkilap sehingga pembuluh-pembuluh
darahnya mudah dilihat, tetapi darah dalam pembuluh darah tersebut tidak
dapat keluar karena sudah mengalami koagulasi sehingga saat ditusuk tidak
akan mengeluarkan darah. Selain itu, kulit amat kaku ketika disentuh, serta
tidak dapat merasakan nyeri, karena sebagian besar ujung saraf sudah mati.
Pada kondisi yang lebih berat, dapat terjadi pengarangan dan karbonisasi
(hitam).
Gejala-gejala klinis lain selain diatas, yaitu adanya tanda-tanda distress
pernapasan seperti suara serak, ngiler, tanda-tanda cedera inhalasi seperti
pernapasan cepat dan sulit, krakles, stridor, serta batuk pendek.
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan pada pasien luka bakar adalah anamnesis
singkat dikarenakan luka bakar merupakan bagian dari kegawat daruratan
biasanya anamnesis dilakuakan secara auto dan alloanamnesis. Anamnesis
yang sering ditanyakan adalah, berat badan pasien, umur, sudah berapa
lama setelah terkena arus listrik, bagaimana mula kejadian, sumber dari
arus listrik, penanganan apa yang sudah dilakukan dan lain lain seperti
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu
riwayat penyakit keluarga, riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, dan
kejiwaan, gaya hidup menyusul
2. Pemeriksaan Fisik
Lakukan primary survey dengan mengawasi jalan napas (airway),
pernapasan (breathing), sirkulasi (circulation), disabilitas (disability), dan
eksposure (exposure). Dan dilanjutkan secondary survey dari kepala ke
kaki (head to toe) serta memperhatikan status lokalis.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap : peningkatan Hct awal menunjukkan
hemokonsentrasi sehubungan dengan perpindahan/kehilangan cairan.
b. Elektrolit serum : kalium meningkat karena cedera jaringan /kerusakan
SDM dan penurunan fungsi ginjal. Natrium awalnya menurun pada
kehilangan air.
c. Urine : adanya albumin, Hb, dan mioglobulin menunjukkan kerusakan
jaringan dalam dan kehilangan protein.
d. EKG untuk mengetahui adanya iskemik miokard/disritmia pada luka
bakar listrik.
e. BUN dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.
f. Albumin serum dapat menurun karena kehilangan protein pada edema
cairan.
g. Fotografi luka bakar : memberikan catatan untuk penyembuhan luka
bakar selanjutnya.
4. Diagnosis
Diagnosis dari luka bakar dapat diambil dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Selain itu diagnosis pembagian derajat juga
diperlukan agar penanganannya tepat dan cepat. Kedalaman kerusakan
jaringan akibat luka bakar tergantung pada penyebab dan lamanya kontak
dengan tubuh penderita.
G. Tatalaksana
1. Prehospital
Putus pajanan arus listrik terhadap pasien dengan memperhatikan
keselamatan penolong. . Kemudian lepaskan semua bahan yang dapat
menahan panas (pakaian, perhiasan, logam), hal ini untuk mencegah luka
yang semakin dalam karena tubuh masih terpajan dengan sumber. Bahan
yang meleleh dan menempel pada kulit tidak boleh dilepaskan. Air suhu
kamar dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu 15 menit sejak kejadian,
namun air dingin tidak boleh diberikan untuk mencegah terjadinya
hipotermia dan vasokonstriksi.
2. Resusitasi jalan napas
Resusitasi jalan napas bertujuan untuk mengupayakan suplai oksigen yang
adekuat, terutama pada pasien dengan kecurigaan cedera inhalasi.
3. Resusitasi cairan
Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau Ringer asetat,
menggunakan beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok atau
kasus luka bakar >25-30% atau dijumpai keterlambatan >2jam. Dalam <4
jam pertama diberikan cairan kristaloid sebanyak 3[25%(70%x BBkg)]
ml. 70% adalah volume total cairan tubuh, sedangkan 25% dari jumlah
minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat menimbulkan gejala klinik
sindrom syok.
 Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas
<25-30%, tanpa atau dijumpai keterlambatan <2jam. Kebutuhan
dihitung berdasarkan rumus Baxter: 3-4 ml/kgBB/ % luas LB.3
Metode Parkland merupakan metode resusitasi yang paling umum
digunakan pada kasus luka bakar, menggunakan cairan kristaloid.
Metode ini mengacu pada waktu iskemik sel tubulus ginjal < 8 jam
sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus luka bakar yang tidak
terlalu luas dan tanpa keterlambatan. Pemberian cairan menurut
formula Parkland adalah sebagai berikut:
 Pada 24 jam pertama : separuh jumlah cairan diberikan dalam 8
jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada
bayi, anak, dan orang tua, kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila
dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4ml ditambah 1%
dari kebutuhan. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan cairan
ditambah 1% dari kebutuhan.
 Penggunaan zat vasoaktif (Dopamin atau Dobutamin) dengan dosis
3 mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa
5%, jumlah teteasan dibagi rata dalam 24 jam.
 Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena
sentral (minimal 6-12cmH2O) dan sirkulasi perifer (sirkulasi
renal). Jumlah produksi urin melalui kateter, saat resusitasi (0,5-
1ml/kgBB/jam) dan hari1-2 (1-2 ml/kgBB/jam). Jika produksi urin
<0,5ml/kgBB/jam maka jumlah cairan ditingkatkan 50% dari jam
sebelumnya. Jika produksi urin >1ml/kgBB/jam maka jumlah
cairan dikurangi 25% dari jam sebelumnya.
 Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat
jenis dan sedimen)
 Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan
kuantitas cairan lembung melalui pipa nasogastrik. Jika <200ml
tidak ada gangguan pasase lambung, 200-400ml ada gangguan
ringan, >400ml gangguan berat.
a) Penatalaksanaan 24 jam kedua
 Pemberian cairan yang mengandung glukosa dan dibagi rata dalam
24 jam. Jenis cairan yang dapat diberikan adalah Glukosa 5% atau
10% 1500-2000ml. Batasi Ringer laktat karena dapat memperberat
edema interstisial.
 Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan
jumlah produksi urin (1-2ml.kgBB/jam). Jika jumlah cairan sudah
mencukupi namun produksi urin <1-2ml/kgBB/jam, berikan
vasoaktif sampai 5mg/kgBB.
 Pemantauan analisa gas darah, elektrolit.
b) Penatalaksanaan setelah 48 jam
 Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance
 Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-
4ml/kgBB/jam), hemoglobin dan hematokrit
4. Perawatan luka
Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas,
mekanisme bernapas dan resusitasi cairan dilakuakan. Tindakan meliputi
debridement, nekrotomi dan pencucian luka. Tujuan perawatan luka
adalah mencegah degradasi luka dan mengupayakan proses epitelisasi.
Untuk bullae ukuran kecil tindakannya konservatif sedangkan untuk
ukuran besar (>5cm) dipecahkan tanpa membuang lapis epidermis di
atasnya. Untuk eskar yang melingkar dan mengganggu aliran atau perfusi
dilakukan eskarotomi. Pencucian luka dilakukan dengan memandikan
pasien dengan air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka dibalut
dengan kasa lembab steril dengan atau tanpa krim pelembab. Perawatan
luka tertutup dengan oclusive dressing untuk mencegah penguapan
berlebihan. Penggunaan tulle berfungsi sebagai penutup luka yang
memfasilitasi drainage dan epitelisasi. Sedangkan krim antibiotik
diperlukan untuk mengatasi infeksi pada luka. Pemberian antibiotik pada
kasus luka bakar bertujuan sebagai profilaksis infeksi dan mengatasi
infeksi yang sudah terjadi. Penggunaan antibiotik sebagai profilaksis
masih merupakan suatu kontroversi. Dalam 3-5 hari pertama populasi
kuman yang sering dijumpai adalah bakteri Gram positif non-patogen.
Sedangkan hari 5-10 adalah bakteri Gram negatif patogen. Dalam 1-3 hari
pertama pasca cedera, luka masih dalam keadaan steril sehingga tidak
diperlukan antibiotik. Beberapa antibiotik topikal yang dapat digunakan
adalah silver sulfadiazin, povidone-iodine 10%, gentamicin sulfate,
mupirocin, dan bacitracin/polymixin.
5. Nutrisi
Pemberian nutrisi enteral dini melalui pipa nasogastrik dalam 24 jam
pertama pascacedera bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi mukosa
usus, diberikan 25-30 kkal /kgBB/ hari.
6. Eksisi dan grafting
Luka bakar derajat dua dalam dan tiga tidak dapat mengalami
penyembuhan spontan tanpa autografting. Jika dibiarkan, jaringan yang
sudah mati ini akan menjadi fokus inflamasi dan infeksi. Eksisi dini dan
grafting saat ini dilakukan oleh sebagian besar ahli bedah karena memiliki
lebih banyak keuntungan dibandingkan debridement serial. Setelah
dilakukan eksisi, luka harus ditutup, idealnya luka ditutup dengan kulit
pasien sendiri. Pada luka bakar seluas 20-30%, biasanya dapat dilakukan
dalam satu kali operasi dengan penutupan oleh autograft split-thickness
yang diambil dari bagian tubuh pasien. Sebagian besar ahili bedah
melakukan eksisi pada minggu pertama, biasanya dalam satu kali operasi
dapat dilakukan eksisi seluas 20%. Eksisi tidak boleh melebihi
kemampuan untuk menutup luka baik dengan autograft, biologic dressing
atau allograft
H. Fase Penyembuhan Luka Bakar
Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan
menjadi dua yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika
penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2–3 minggu. Sedangkan
luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tanda- -tanda untuk sembuh
dalam jangka lebih dari 4-6 minggu.
Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera
jaringan lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada
tipa cedera jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan
ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar,
atau luka akibat tindakan bedah.
1. Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses
utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis.
Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh
darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin
(menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah
luka. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Scab
membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh
mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke
tepi. Sel epitel membantu sebagai barier antara tubuh dengan
lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Suplai darah
yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang
diperlukan pada proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama
sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah
interstitial. Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari
monosit selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini
menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut
fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF)
yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah.
Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses
penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses
penyembuhan.
2. Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke – 21.
Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi,
pembuluh darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid. Fibroblas
(menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka
mulai 24 jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis
kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari
setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah
tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat
menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan
luka terbuka. Kapilarisasi dan epitelisasi tumbuh melintasi luka,
meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang
diperlukan bagi penyembuhan.
3. Fase maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas
terus mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan
dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan
elastisitas dan meninggalka garis putih. Dalam fase ini terdapat
remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan
kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas
luka. Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka
serta peningkatan kekuatan jaringan. Terbentuk jaringan parut 50–
80% sama kuatnya dengan jaringan sebelumnya. Kemudian terdapat
pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular dan vaskularisasi
jaringan yang mengalami perbaikan.
I. Komplikasi
Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat
perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi
dan grafting. Komplikasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS,
sepsis dan MODS. Selain itu komplikasi pada gastrointestinal juga dapat
terjadi, yaitu atrofi mukosa, ulserasi dan perdarahan mukosa , motilitas usus
menurun dan ileus. Pada ginjal dapat terjadi acute tubular necrosis karena
perfusi ke renal yang menurun. Skin graft loss merupakan komplikasi yang
sering terjadi, hal ini disebabkan oleh hematoma, infeksi dan robeknya graft.
Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat terjadi jaringan parut berupa jaringan
parut hipertrofik, keloid dan kontraktur.

J. Prognosis
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas
permukaan badan yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi,
dan kecepatan pengobatan medikamentosa. Luka bakar minor dapat sembuh
5-10 hari tanpa adanya jaringan parut. Luka bakar moderat dapat sembuh
dalam 10-14 hari dan mungkin menimbulkan luka parut. Luka bakar mayor
membutuhkan lebih dari 14 hari untuk sembuh dan akan membentuk jaringan
parut. Jaringan parut akan membatasi gerakan dan fungsi. Dalam beberapa
kasus, pembedahan diperlukan untuk membuang jaringan parut.
DAFTAR PUSTAKA

Alharbi, et al (2012). Treatment of burns in the first 24 hours: simple and practical
guide by answering 10 questions in a step-by-step form. World Journal of
Emergency Surgery. Jerman.

Arnoldo, et al (2006). Practice Guidelines for the Management of Electrical


Injuries. American Burn Association. 1097/01.

Arnoldo, et al (2009). The Diagnosis and Management of Electrical Injuries.


University of Texas Southwestern Medical Center: USA. 75390-9158.

Brusselaers N, et al (2010). Severe burn injury in europe: a systematic review of


the incidence, etiology, morbidity, and mortality. Critical Care Forum.
14:R188.

Cooper MA, et al (2010). Elecrical and Lightning Injuries. USA.

Evelyn M, et al (2014). Visceral injury in electrical shock trauma: proposed


guideline for the management of abdominal electrocution and literature
review. International Journal Burn Trauma. Sao Paulo: Brazil.
ISSN:2160-2026

Farooq U, et al (2010). Electrical Burn Injuries. Punjab Employees Social


Security Hospital: Islamabad.

Gjorgje D, et al (2008). Electrical Injuries: Etiology, Pathophysiology and


Mechanism of Injury. University Clinic of Plastic & Reconstructive
Surgery, Medical Faculty, Skopje, Republic of Macedonia. 1(2): 54-58.

Helen, et al (2013). Peripheral mechanisms of burn injury-associated pain.


European Journal of Pharmacology. 716. 169-178.

Holley AD, et al (2016). Management of the Critically Ill Burns Patient. Trauma
and Combat Critical Care in Clinical Practice.1007/978

Kaif M, et al (2009). High-voltage electrical burn of the head: Report of an


unusual case. Indian Journal of Neurotrauma Vol 6. 163-164

Kopp J, et al (2004). Correlation between serum creatinine kinase levels and


extent of muscle damage in electrical burns. Elsevier. Jerman. 680-683
Kym D, et al (2014). Epidemiology of Electrical Injury: Differences Between
Low- And High-Voltage Electrical Injuries During A 7-Year Study Period
in South Korea. Hallym University Korea.

Lunawat J, et al (2015). Evaluation of Quantum of Disability as Sequelae of


Electric Burn Injuries. India. 10.7860.

Megan JN, et al (2014). Micronutrients After Burn Injury: A Review. Harborview


Medical Center. Washington. 10.1097

Nathan r, et al (2015). Electrical Burn Causing a Unique Pattern of Neurological


Injury. Gold Coast University: Queensland. 10.1097

Palmieri T, et al (2014). Measuring Burn Injury Outcomes. Elsevier. Surgical


Clinic North America. 909-916.

Pham TN, et al (2006). Thermal and Electrical Injuries. Elsevier. University of


Washington Burn Center: USA. 185-206

Raymond, et al (2009). Conduction of Electrcal Current to and Through the


Human Body: A Review. University of Illions.

Ruan Q, et al (2015). Effect and possible mechanism of monocytederived VEGF


on monocyte–endothelial cellular adhesion after electrical burns. Institute
of Burns, Wuhan City Hospital No. 3 & Tongren Hospital of Wuhan
University, Wuhan 430060, PR China

Saracoglu A, et al (2014). Prognostic Factor in Electrical Burns: A Review of 101


Patients. Elsevier. 702-707.

Sellamoni SS (2016). Demographic Profile of Elecrical Burns in a Tertiary Burn


Care Centre. IRA-International Journal of Applied Sciences. 284-295

Sheridan RL, et al (2014). Special Problems in Burn. Surgical the Clinic: USA.
781-791

Teodoreanu R, et al ( 2014). Electrical injuries. Biological values measurements


as a prediction factor of local evolution in electrocutions lesions. Journal
of Medicine and Life Vol 7. Romania. 226-236.

Yuichiro. Guideline for the Management of Burns. The Journal of Dermatology.


Japan. 3279-3306.

You might also like