You are on page 1of 3

ACEH Timur salah satu wilayah yang memiliki laut luas di Aceh.

Berada di pantai timur


Aceh, lautnya berbatasan langsung dengan lalu lintas Selat Malaka, salah satu jalur
perdagangan dunia.

Daerah ini mempunyai perairan seluas 1683,5 kilometer bujur sangkar, dengan daerah
pesisir seluas 2236 kilometer bujur sangkar. Daratannya seluas 6040,4 kilometer bujur
sangkar.

Saat ini, Pemerintah Kabupaten Aceh Timur bertekad membenahi sektor perikanan dan
kelautan untuk mendongkrak ekonomi masyarakat. Sekretaris Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh Timur, Abdurrahman, mengatakan kabupaten tersebut memiliki 17
dermaga dan 8 balai nelayan.

Sementara itu, armada penangkapan ikan di kabupaten tersebut berjumlah 121 unit
kapal motor, 645 unit kapal motor tempel, perahu tanpa motor atau sampan sebanyak
462 unit. “Jumlah semuanya, kapal motor dan boat nelayan di Aceh Timur sebanyak
2325 unit,” kata Abdurrahman.

Adapun jumlah nelayan yang terdata semuanya adalah 8988 orang. Jumlah 2325 itu,
kata Abdurrahman, meliputi 683 ukuran 5 GT, 208 unit ukuran 5-10 GT, 125 unit ukuran
10-20 GT, 133 unit ukuran 20-30 GT, dan 49 unit ukuran 30-50 GT.

Dia mengatakan jenis alat tangkap nelayan yang ada di Aceh Timur meliputi Rawai (long
line) sebanyak 176 unit, pukat langgar (purse selne) sebanyak 222 unit, pancing tonda
(troll line) sebanyak 346 unit, jaring insang (gill net) sebanyak 281 unit, dan pancing
sebanyak 358 unit.

Dia menjelaskan hasil produksi kelautan dan perikanan Aceh Timur, di samping
dipasarkan secara lokal, juga dipasarkan antarkabupaten dan antarprovinsi khususnya
Medan, Sumatera Utara, Riau dan Padang, Sumatera Barat. Ada juga yang diekspor ke
luar negeri dan sebagian dijadikan olahan makanan.

Jumlah produksi ikan di Aceh Timur, katanya, untuk perikanan tangkap mencapai
16.620,61 ton, sedangkan perikanan hasil budidaya sebanyak 8.426 ton. Sehingga,
jumlah keseluruhan produksi ikan per tahun di Aceh Timur 25.046,61 ton.

Dari jumlah itu, yang dijual ke pasaran untuk perikanan tangkap sebanyak 11.634,43 ton
dan untuk perikanan budidaya sebanyak 2.527,80 ton, serta pengolahan hasil perikanan
sebanyak 1.650 ton. Adapun jumlah untuk kebutuhan lokal sebanyak 15.856,23 ton per
tahunnya.
Berdasarkan data yang dimiliki Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Timur, Abdurrahman
mengatakan untuk kebutuhan luar per tahunnya adalah 11.201,32 ton. Sementara untuk
kebutuhan ekspor per tahunnya sebanyak 1.662,06 ton.

Dia juga menjelaskan, per tahun terjadi transaksi untuk perikanan tangkap lokal dengan
nominal Rp846,2 juta. Untuk perikanan budidaya terjadi transaksi sebanyak Rp476,7
juta, untuk ikan produksi pengolahan terjadi transaksi dengan nominal Rp205,3 juta,
untuk transaksi ikan ekspor sebanyak Rp117,5 juta. “Jadi, total transaksi seluruhnya
adalah Rp1,7 miliar,” kata Abdurrahman.

Abdurrahman mengatakan Aceh Timur memiliki potensi perikanan yang sangat bagus
walau produktivitasnya belum begitu baik. “Karena banyak tambak masyarakat yang
masih telantar, daerah ini dulu dilanda konflik dan juga tsunami,” katanya.

Dia mengatakan saat ini ada 70 persen tambak yang masih terbengkalai dan butuh
penggarapan. Dia mengatakan sudah mengusulkan ke Pemerintah Pusat untuk merehab
terhadap tambak yang telantar itu pada 2011, dan sampai saat ini belum terealisasi.

Hal lain yang saat ini masih dibenahi oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Timur adalah
normalisasi saluran-saluran tambak, dan juga jalan produksi untuk memudahkan para
nelayan di Aceh Timur. “Kita terus lakukan pembenahan untuk dongkrak perekonomian
masyarakat,” katanya.

***

Saat ini, niat membangun ekonomi dengan perikanan itu masih terkendala. Ketua
Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh (KMPA) Aceh Timur, Benni Kelda, mengatakan ada
10 kendala pembangunan sektor perikanan Aceh, khususnya Aceh Timur.

Dia menjelaskan, pertama adalah sarana dan prasarana perikanan tangkap serta
budidaya yang dirasakan masih kurang optimal, seperti pelabuhan perikanan, pabrik es,
saluran tambak rakyat, pasar ikan, gelanggang kapal, dan lainnya yang berhubungan
dengan nelayan.

Menurutnya, yang kedua adalah armada nelayan dan budidaya yang masih dominan
dalam skala kecil atau tradisional. “Ketiga adalah praktik illegal fishing masih sering
karena penegakan hukum yang lemah,” kata Benni Kelda.

Yang keempat adalah masih banyaknya kerusakan ekosistem perairan akibat


pencemaran air dan perusakan laut, baik oleh alam maupun kegiatan usaha yang tidak
ramah lingkungan.
Yang kelima, kata Benni, masih kurangnya penanganan hasil nelayan, baik perikanan
tangkap maupun perikanan budidaya yang masih rendah. “Penguasaan informasi
pesaing di pasar dan selera konsumen selama ini juga masih rendah,” katanya.

Kendala yang ketujuh, kata Benni, adalah market margin produk perikanan masih tinggi
karena saluran distribusi (pedagang perantara) yang panjang. Kedelapan adalah masih
tingginya harga alat produksi, seperti alat tangkap, bahan bakar, mesin, pakan ikan, dan
juga alat lainnya.

Kendala pembangunan perikanan selanjutnya adalah kurangnya akses untuk


mendapatkan fasilitas kredit tanpa agunan kepada nelayan-nelayan dan pelaku usaha
perikanan skala kecil atau nelayan tradisional.

Kendala yang terakhir, kata Benni, belum adanya tata ruang kelautan dan perikanan
sehingga menimbulkan konflik perikanan antarsektor, tumpang tindih lokasi usaha.
“Kerap kali usaha perikanan dikorbankan untuk kepentingan industri, pariwisata,
pemukiman, dan pertambangan,” katanya.

Benni Kelda berharap sepuluh kendala perikanan tersebut bisa diatasi oleh Pemerintah
Aceh Timur. Menurutnya, bisa di atas 60 persen saja sudah cukup baik. “Terutama untuk
sektor ekonomi, akses pemasaran dan modal, sektor teknologi dan pengetahuan untuk
para nelayan kecil,” katanya. “Pembangunan dan regulasi sektor perikanan juga harus
memihak masyarakat bawah.” []

You might also like