You are on page 1of 7

World Health Organization(WHO) melaporkan bahwa 5-25% dari

anak-anak usia prasekolah menderita disfungsi otak


minor,termasuk gangguan perkembangan (Widati, 2012). Menurut
Dinas Kesehatan sebesar 85,779 (62,02%) anak usia prasekolah
mengalami gangguan perkembangan (Depkes RI, 2013).Berdas
arkan laporan Departemen kesehatan Republik Indonesia (2010)
cakupan pelayanan kesehatan balita dalam deteksi dini tumbuh
kembang balita adalah 78,11%, untuk Provinsi Jawa Tengah
89,33%. Dengan jumlah balita yang mengalami gangguan tumbuh
kembang di Indonesia 45,7% untuk provinsi Jawa Tengah 32,6%.
Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan prasekolah
tingkat Provinsi Jawa Tengah terdapat kabupaten yang masih jauh
dibawah target salah satunya yaitu Kabupaten Magelang.

Berdasarkan hasil pelayanan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) pada
500 anak dari lima Wilayah DKI Jakarta, ditemukan, 57 anak (11,9%) mengalami kelainan tumbuh
kembang. Kelainan tumbuh kembang yang paling banyak yaitu delayed development (pertumbuhan
yang terlambat) 22 anak, kemudian 14 anak mengalami global delayed development, 10 anak gizi
kurang, 7 anak Microcephali, dan 7 anak yang tidak mengalami kenaikan berat badan dalam
beberapa bulan terakhir. Pelayanan SDIDTK dilakukan tanggal 13-15 Juli 2010 di Aula Gedung
Kemenkes dan Gedung Smesco Jakarta, dalam rangkaian memperingati Hari Anak Nasional 23 Juli
2010.

Anak merupakan dambaan setiap keluarga. Selain itu, setiap keluarga juga
mengharapkan anaknya kelak bertumbuh kembang optimal (sehat fisik,
mental/kognitif, dan sosial), dapat dibanggakan serta berguna bagi nusa
dan 124Moonik, Lestari, Wilar: Faktor-faktor yang...bangsa. Sebagai aset
bangsa, anak harus mendapat perhatian sejak mereka masih di dalam
kandungan sampai mereka menjadi manusia dewasa

Anak merupakan aset berharga bagi bangsa Indonesia, masa depan masyarakat dan generasi
penerus bangsa, dengan demikian dibutuhkan anak dengan kualitas yang baik dan sehat untuk

mencapai masa depan. Upaya untuk mendapatkan kualitas anak yang baik dan sehat harus
dipastikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak harus berjalan dengan baik, selain itu
upaya pemeliharaan kesehatan anak juga harus ditekankan karena untuk mempersiapkan generasi
yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian anak dimasa yang akan
datang (Kemenkes RI, 2015).

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 5-25% dari anak-


anak usia prasekolah menderita gangguan perkembangan. Berbagai
masalah perkembangan anak, seperti keterlambatan motorik, bahasa,
dan perilaku sosial dalam beberapa tahun terakhir ini semakin
meningkat. Angka kejadian di Indonesia antara 13-18%. Kemandirian
anak prasekolah di negara berkembang dan maju adalah 53% mandiri
tidak tergantung pada orang lain dan 9% masih tergantung pada orang
tua, anak prasekolah 38% yang tergantung sepenuhnya pada orang tua
maupun pada pengasuh mereka dan 17% cukup mandiri. Profil masalah
kesehatan perkembangan anak pada tahun 2010 dilaporkan bahwa dari
jumlah anak sebanyak 3.634.505 jiwa, ditemukan 54,03% anak dideteksi
memiliki kemampuan sosialisasi dan kemandirian yang baik, cakupan
tersebut masih di bawah target yakni 90% (Depkes RI, 2010).

perkembangan sosial anak usia prasekolah meliputi dua tahapan penting. Pertama, adalah tahapan
autonomy vs shame/doubt atau yang juga dikenal sebagai kemandirian vs malu/ragu. Tahapan ini
terjadi ketika anak berada pada usia 2-4 tahun. Pada tahap ini anak memiliki kemampuan untuk
dapat mengendalikan diri (self-regulation), dan mulai berkembangnya rasa kepercayaan diri. Oleh
karenanya, anak perlu diberikan peluang untuk melakukan sendiri apa saja yang bisa dilakukan tanpa
dibantu orang lain sehingga proses pembentukan kemandiriannya dapat berjalan dengan baik.
Orang tua sebaiknya tidak terlalu banyak melarang dan memarahi karena dapat membuat anak
merasa tidak mampu dan ragu dengan kemampuan dirinya. Akibatnya, rasa percaya diri anak akan
sulit untuk tumbuh. Tahapan kedua yaitu initiative vs guilt yang juga disebut sebagai tahap inisiatif
vs rasa bersalah yang berlangsung pada usia 4–6 tahun. Pada tahap ini anak aktif bereksperimen,
berimajinasi, berani mencoba, berani mengambil risiko, dan senang bergaul dengan temannya.
Apabila anak pada masa ini sering dikritik maka emosi yang timbul adalah negatif, merasa apa yang
dikerjakan selalu salah sehingga anak cenderung bersikap apatis (kurang antusias), takut salah, dan
tidak berani mencoba atau mengambil risiko (Wijirahayu, 2016) dalam Teori Erikson (1950).

Perkembangan sosial merupakan suatu proses kontinu yang


dimulai sejak anak dilahirkan. Kematangan sosial merupakan
evolusi perkembangan perilaku, dimana nantinya seorang anak
dapat mengekespresikan pengalamannya secara utuh dan dia
belajar secara bertahap untuk meningkatkan kemampuannya untuk
mandiri, bekerja sama dengan orang lain dan bertanggung jawab
terhadap kelompoknya (Soetjiningsih, 2012). Faktor yang
mempengaruhi perkembangan sosial anak yakni disebabkan oleh
sosial ekonomi orang tua, pekerjaanorang tua, lingkungan dan
salah satu faktor dominan adalah pola asuh orang tua. Orang tua
merupakantokoh sentral dalam perkembangan anakterutama dalam
pola pengasuhan anaksikap positif sangat diperlukan
dalammembimbing tumbuh kembang anak agarsesuai tahapan
perkembangan anak(Nurhidayati, 2013). Pola asuh yang diterapkan
akan membentuk suatu kepribadian yang berbeda sesuai dengan
apa yang diajarkan oleh orangtua. Pola asuh demokratis akan
menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol
diri, mempunyai hubungan baik dengan teman dan kooperatif
terhadap orang lain. Pola asuh otoriter akan menghasilkan
karakteristik anak penakut, pendiam, tertutup, tidakinisiatif dan
menarik diri. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik
anak yang agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, kurang
percaya diri, dan kurang matang secara sosial. Pola asuh
penelantaran akan menghasilkan karakteristik anak yang me
miliki harga diri rendah, cenderung tidak kompeten secara sosial,
kurang mandiri dan terasing dari keluarga. Sikap ibu dalam
mengasuh anak merupakan pancaran kasih sayang, sehingga
keluarga sebagai dasar pembentukan perilaku anak serta
pengalaman anak dalam bersosialisasi di masyarakat dan
lingkungan(Afrianingsih, 2014)

berdasarkan penelitian yang dilakukan Hikmah (2012), menjelaskan bahwa ada

pengaruh pola asuh orang tua dengan kemandirian anak usia dini. Dengan

presentasi kemandirian anak sebesar 64% yang dikategorikan baik. Selain itu

penelitian ini menyimpulkan bahwa pola pengasuhan demokratis erat

hubungannya dengan kemandirian anak kategori baik, dimana pola pengasuhan

tersebut dapat menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosialisasi anak menjadi

baik, kemandirian dalam berpikir inisiatif dalam tindakan yang positif.

Pengasuhan demokratis membuat anak menjadi lebih mandiri serta melatih anak
untuk belajar bertanggung jawab dan mandiri dengan segala sesuatu yang dipilih

oleh anak. Penelitian lain pola asuh orang tua dengan tingkat kemandirian anak

usia prasekolah dilakukan oleh Putri (2012) yang menyatakan bahwa pola asuh

orang tua otoriter cenderung tidak memacu anak-anak untuk melakukan segala

sesuatunya secara mandiri. Lebih lanjut bahwa penelitian ini menjelaskan bahwa

penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua yang selalu menekan akan membuat

anak tidak memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan, sehingga anak akan

menjadi anak yang penakut dan tidak dapat merencanakan sesuatu. Hal ini sesuai

dengan pernyataan dari Sari (2010) bahwa pola asuh yang dilakukan secara tepat

oleh orang tua dengan memberikan pengasuhan yang penuh dan memperhatikan

anak akan berpengaruh positif dalam tingkat kemandirian anak.


a. Kriteria objektif pola asuh otoriter.

1. Skoring

a. Jumlah pertanyaan sebanyak 12 nomor

b. Pertanyaan yang diskoring mempunyai 4 pilihan jawaban

c. Masing- masing jawaban diberi skor, yang tertinggi = 4 dan terendah =

d. Skor tertinggi dari seluruh jawaban responden = jumlah pertanyaan x

skor jawaban tertinggi = 12 x 4 = 48

e. Skor terendah dari seluruh jawaban responden = jumlah pertanyaan x

skor jawaban terendah = 12 x 1 = 12

f. Skor antara = skor tertinggi – skor terendah (dari seluruh jawaban

responden) = 48 - 12 = 36

2. Kriteria Objektif

a. Kriteria objektif dibagi 2 kategori yaitu : otoriter dan tidak otoriter.

b. Interval : skor antara/kategori = 36 / 2 = 18

c. Skor standar = 48 - 18 = 30

d. Jadi kriteria tersebut adalah :

1. Otoriter, bila skor jawaban responden ≥ 30

2. Tidak otoriter, bila skor jawaban responden < 30

b. Kriteria objektif pola asuh permisif.

1. Skoring

a. Jumlah pertanyaan sebanyak 5 nomor

b. Pertanyaan yang diskoring mempunyai 4 pilihan jawaban

c. Masing- masing jawaban diberi skor, yang tertinggi = 4 dan terendah =

1
d. Skor tertinggi dari seluruh jawaban responden = jumlah pertanyaan x

skor jawaban tertinggi = 5 x 4 = 20

e. Skor terendah dari seluruh jawaban responden = jumlah pertanyaan x

skor jawaban terendah = 5 x 1 = 5

f. Skor antara = skor tertinggi – skor terendah (dari seluruh jawaban

responden) = 20 - 5 = 15

2. Kriteria Objektif

a. Kriteria objektif dibagi 2 kategori yaitu : permisif dan tidak permisif

b. Interval : skor antara/kategori = 15 / 2 = 7,5

c. Skor standar = 20 – 7,5 = 12,5

d. Jadi kriteria tersebut adalah :

1. Permisif, bila skor jawaban responden ≥ 12,5

2. Tidak permisif, bila skor jawaban responden < 12,5

c. Kriteria objektif pola asuh demokratif.

1. Skoring

a. Jumlah pertanyaan sebanyak 15 nomor

b. Pertanyaan yang diskoring mempunyai 4 pilihan jawaban

c. Masing- masing jawaban diberi skor, yang tertinggi = 4 dan terendah =

d. Skor tertinggi dari seluruh jawaban responden = jumlah pertanyaan x

skor jawaban tertinggi = 15 x 4 = 60

e. Skor terendah dari seluruh jawaban responden = jumlah pertanyaan x

skor jawaban terendah = 15 x 1 = 15

f. Skor antara = skor tertinggi – skor terendah (dari seluruh jawaban

responden) = 60 – 15 = 45
2. Kriteria Objektif

a. Kriteria objektif dibagi 2 kategori yaitu : demokratif dan tidak

demokratif.

b. Interval : skor antara/kategori = 45 / 2 = 22,5

c. Skor standar = 60 – 22,5 = 37,5

d. Jadi kriteria tersebut adalah :

e. 1. Demokratif, bila skor jawaban responden ≥ 37,5

f. 2. Tidak demokratif, bila skor jawaban responden < 37,5

You might also like