Professional Documents
Culture Documents
Dalam merancang suatu kontrak atau perjanjian tertulis (Conctract Drafting) diperlukan
pengetahuan tentang kontrak. Tahap awal yang harus dipelajari adalah pengetahuan
dasar tentang hukum perjanjian atau perikatan, terutama yang berkaitan dengan
pembuatan suatu kontrak.
Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dahulu Burgerlijk Wetboek
(BW) mempergunakan judul “Tentang Perikatan”, namun tidak satu pasalpun yang
memberikan rumus tentang perikatan.
Menurut Prof. Subekti, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan
pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.
Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum,
yang berarti bahwa hak si berpiutang dijamin oleh hukum atau undang-undang.
Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang (pihak) berjanji kepada
orang (pihak) lain untuk melaksanakan sesuatu, sehingga timbul suatu hubungan yang
disebut perikatan.
Dari peristiwa tersebut, timbullah suatu hubungan antara dua orang (pihak) tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang (pihak)
yang membuatnya. Dalam bentuknya, Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk
melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu
adalah sama artinya. Perkataan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada
perjanjian/persetujuan yang tertulis.
Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan disamping sumber lainnya.
Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan “hak” pada satu
pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya.
Misalnya : A berjanji menjual rumah kepada B, ini adalah hubungan hukum. Akibat dari
janji tersebut A wajib menyerahkan rumah miliknya kepada B dan berhak menuntut
harganya, sedangkan B wajib menyerahkan harga rumah tersebut dan berhak untuk
menuntut penyerahan rumah.
Yang dimaksud dengan kriteria perikatan itu adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan
terhadap sesuatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum itu dapat disebut suatu
perikatan.
Dalam perkembangan sejarah, apa yang dipakai sebagai kriteria itu tidak tetap, dahulu
yang menjadi kriteria ialah hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang atau tidak.
Kriteria itu semakin lama sukar untuk dipertahankan karena di dalam masyarakat terdapat
suatu hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang. Namun kalau terhadapnya
tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi, dan ini bertentangan
dengan salah satu tujuan hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh karena itu, sekarang
kriteria di atas tidak lagi dipertahankan sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun
suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau
rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukumpun
akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.
Hubungan hukum dalam perikatan terjadi antara dua orang/pihak atau lebih yaitu subjek
perjanjian yang merupakan subjek hukum.
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtsperson. Rechtsperson diartikan sebagai
pendukung hak dan kewajiban.
Subyek Hukum :
Orang (natural person).
Bukan orang :
- Badan bukan badan hukum (badan usaha), misalnya CV, Firma dan
sebagainya.
- Badan hukum (recht person/legal entity).
Badan hukum
Badan hukum adalah suatu badan atau suatu entity yang keberadaannya atau
eksistensinya adalah karena peran dari hukum atau undang-undang.
Melalui hukum atau undang-undang, suatu badan atau bentuk usaha diberikan status
badan hukum dengan memenuhi persyaratan tertentu yang diatur oleh undang-
undang, yaitu :
Pendirian PT dilakukan dengan suatu akta notaris dan status badan hukum terjadi
setelah akta pendirian PT tersebut memperoleh pengesahan dari Menteri (dalam hal
ini Menteri Hukum dan Ham), dan wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia. PT yang anggaran dasarnya belum disahkan, belum
memperoleh status Badan Hukum.
Salah satu organ dalam PT yaitu pengurus terdiri dari Direktur atau Direksi (beberapa
direktur) berhak dan berwenang mewakili PT baik di luar maupun di dalam
Pengadilan.
Yayasan
Pendirian Yayasan sama dengan pendirian PT, dilakukan dengan suatu akta notaris
dan status badan hukum terjadi setelah akta pendirian Yayasan tersebut memperoleh
pengesahan dari Menteri (dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM), dan wajib
diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Kewenangan Pengurus dalam melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama
Yayasan dapat dibatasi dengan Anggaran Dasar.
Koperasi
Dalam UU Koperasi, pengurus adalah badan yang dibentuk oleh rapat anggota dan
disertai dan diserahi mandat untuk melaksanakan kepemimpinan koperasi, baik di
bidang organisasi maupun usaha. Anggota pengurus dipilih dari dan oleh anggota
koperasi dalam rapat anggota. Dalam menjalankan tugasnya, pengurus bertanggung
jawab terhadap rapat anggota. Atas persetujuan rapat anggota pengurus dapat
mengangkat manajer untuk mengelola koperasi. Namun pengurus tetap bertanggung
jawab pada rapat anggota.
Yang menjadi subjek hukum dalam hukum perjanjian/hukum kontrak atau disebut subjek
perjanjian adalah kreditur dan debitur :
Kreditur adalah pihak yang berhak atas sesuatu dari pihak lain (debitur).
Debitur berkewajiban memenuhi sesuatu kepada kreditur.
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur, menurut Pasal 1234
KUHPer prestasi dibedakan atas :
Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika
menjual apoteknya, untuk tidak menjalankan usaha apotek dalam daerah yang sama.
a. Perjanjian
b. Undang-undang
Menurut Pasal 1352 KUHPerdata, perikatan yang dilahirkan dari undang-undang bisa
timbul dari :
a. Undang-undang saja.
b. Undang-undang akibat dari perbuatan orang :
Perbuatan yang dibolehkan.
Perbuatan yang melanggar hukum atau undang-undang yang disebut
“onrechtmatigedaad”.
Perbedaan perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-
undang adalah :
- Kewajiban orang tua untuk memelihara anak mereka yang belum dewasa.
- Kewajiban anak memelihara orang tuanya dalam garis keatas apabila
mereka miskin.
Perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia atau orang
yang dibolehkan :
Perikatan yang lahir dari undang-undang akibat perbuatan orang yang melawan
hukum :
Dalam membuat suatu perjanjian terdapat beberapa azas penting yang seyogyanya
diperhatikan, beberapa azas yang dimaksudkan misalnya :
Dari bermacam-macam azas tersebut diatas, beberapa azas yang penting dan perlu
diperhatikan antara lain adalah :
Buku III KUHPerdata tentang perikatan menganut sistim terbuka dan bebas, maksudnya
adalah setiap orang dapat membuat perjanjian sesuai dengan maksud dan keinginannya,
berbeda halnya dengan perikatan yang timbul dari undang-undang dimana para pihak
harus tunduk pada peraturan yang telah ditentukan oleh undang-undang atau ketentuan
berdasarkan pasal-pasal dalam KUH Perdata.
Sistim terbuka tersebut memberikan kebebasan sedemikian rupa sehingga setiap orang
berhak dan bebas membuat perjanjian apa saja sesuai kehendak para pihak yang
bersangkutan, dengan ketentuan perjanjian itu tidak boleh melanggar ketertiban umum dan
kesusilaan, bahkan dimungkinkan untuk membuat kesepakatan untuk mengatur hal-hal
yang menyimpang dari ketentuan yang telah diatur dalam pasal-pasal hukum perjanjian.
Dengan demikian terlihat bahwa hukum perjanjian bisa disebut sebagai hukum pelengkap,
maksudnya adalah bahwa pasal-pasal dalam hukum perjanjian baru berperan bilamana
para pihak tidak mengatur sendiri dalam perjanjian yang dibuatnya. Disebut sebagai
pelengkap karena para pihak juga dapat mengesampingkan berlakunya pasal-pasal yang
ada dalam Hukum Perjanjian atau bisa juga menyimpang dari ketentuan yang ada, dengan
ketentuan sepanjang pengesampingan atau penyampingan tersebut tidak bertentangan
dengan atau melangggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Misalnya dalam suatu jual beli, jenis barang, sering orang tidak memikirkan atau
memperjanjikan bagaimana apabila barang yang dibelinya itu musnah atau terbakar
sebelum diserahkan kepada pembeli, apabila terjadi kerusakan atau hilang selama
pengiriman atau mengenai bagaimana ongkos pengangkutannya. Dalam hal yang
demikian, maka hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian oleh para pihak, berlakulah
ketentuan undang-undang.
Dengan demikian maka hukum perjanjian akan berfungsi sebagai hukum pelengkap yang
melengkapi kekurangan yang terdapat dalam perjanjian, dan untuk hal tersebut para pihak
tunduk pada ketentuan undang-undang yang berlaku. Dalam pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, menerangkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Karena dkatakan semua
perjanjian maka perjanjian apapun berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Jadi
terdapat kebebasan dalam menetapkan isi perjanjian, sehingga asas kebebasan
berkontrak ini merupakan asas yang demikian penting dalam hukum perjanjian.
a. Para pihak dapat memperjanjikan apa saja dalam suatu perjanjian asalkan tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya (Pasal 1338 (1) KUHPerdata).
Catatan :
Asas lain yang berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak adalah azas konsensual
yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan bahwa sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :
Pasal ini mensyaratkan adanya kesepakatan antara para pihak atau terdapat “consensus”.
Tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus tertulis atau tidak,
dan bahkan suatu perjanjian bisa tercapai secara verbal, hanya dengan lisan saja.
Asas konsensual menganut paham dasar bahwa suatu perjanjian itu sudah lahir sejak saat
tercapainya kata sepakat. Pada saat terjadinya kesepakatan maka sejak itulah perjanjian
telah lahir.
Menurut ketentuan pasal 1458 KUH Perdata disebutkan bahwa jual beli dianggap telah
terjadi seketika setelah tercapainya kata sepakat tentang benda dan harganya, meskipun
barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Jadi menurut asas konsensual,
perjanjian itu sudah ada dan mengikat apabila sudah dicapai kesepakatan mengenai hal-
hal pokok dalam perjanjian atau juga disebut “esensialia” perjanjian, tanpa diperlukan
adanya suatu formalitas, kecuali yang ditetapkan lain oleh undang-undang misalnya suatu
Perjanjian Perdamaian (Pasal 1851 KUHPerdata), Perjanjian Pemborongan (Pasal 1610
KUHPerdata) dan Perjanjian Utang Piutang dengan Bunga (Pasal 1767 KUHPerdata) yang
harus dibuat secara tertulis. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas konsensual.
Azas Konsensualisme :
Azas ini perlu menjadi perhatian para pembuat perjanjian, karena bilamana suatu
perjanjian yang telah dibuat berdasarkan kesepakatan bersama oleh para pihak, ternyata
kemudian tidak bisa dipenuhi oleh salah satu pihak yang seharusnya melaksanakan
sebagaimana yang diperjanjikan, dengan sendirinya telah terjadi suatu “pelanggaran
terhadap hal-hal yang telah disepakati” atau yang sering disebut wanprestasi. Oleh karena
itu pihak yang melakukan “wanprestasi” harus dapat dipaksa untuk memenuhi
kewajibannya.
Meskipun hukum menjamin hak seseorang sebagai pihak yang beritikad baik, memperoleh
perlindungan atas hak-haknya yang dilanggar, dengan adanya asas tidak boleh main
hakim sendiri“, maka pihak yang dirugikan dapat menegakkan haknya menurut prosedur
dan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan kata lain pihak yang merasa dirugikan dapat
melakukan executie yang disebut reel executie, dalam arti bahwa kreditur dapat
mewujudkan sendiri prestasi yang telah dijanjikan, atas biaya debitur. Namun hal tersebut
harus dengan kuasa atau izin hakim. Bahkan seandainyapun perselisihan atas perjanjian
itu berakhir dengan sengketa hukum di Pengadilan, dan telah keluar putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap, maka pelaksanaan dari putusan hakim itupun harus terlebih
dahulu dimintakan bantuan kepada Ketua Pengadilan.
Pihak yang merasa dirugikan oleh pihak yang lain dapat menegakkan (menuntut)
haknya melalui prosedur hukum yang berlaku, tidak dapat dengan caranya sendiri
memaksa pihak yang lain tersebut melaksanakan yang diperjanjikan.
lahir perjanjian. Dengan kepercayaan ini kedua belah pihak mengikatkan dirinya dan untuk
keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
Bahwa terikatnya Para Pihak tidak smata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan,
tetapi juga terhadap beberapa unsur lain yg dikehendaki oleh kebiasaan, kepatuhan, dan
moral. Azas kekuatan mengikat ini dapat diketahui dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerd
yang menyatakan : bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Azas ini memandang bahwa Para pihak dalam Perjanjian memiliki kedudukan, hak dan
kewajiban yang sama dalam hokum. Perjanjian tidak melihat perbedaan warna kulit,
agama dan ras. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan derajat dan saling
menghormati satu sama lainnya. Azas ini dimaksudkan agar perjanjian/ikatan para pihak
tersebut dapat memberikan keuntungan yang adil bagi pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut.
Azas ini memandang adanya keseimbangan dalam suatu perjanjian. Azas ini menghendaki
kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan Perjanjian dengan itikad baik. Dalam hal
ini misalnya Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi, disisi lain debitur
memikul kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik, sehingga dapat
dikatakan bahwa kedudukan kedua pihak seimbang.
Azas hukum ini memandang bahwa suatu perjanjian memiliki kepastian hukum. Pihak
ketiga termasuk Hakim harus menghormati substansi kontrak yang diadakan para pihak
dan Siapapun tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak. Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian,
sebagai undang-undang bagi pembuatnya (Ps 1338:1)
Azas Moral terlihat dimana seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan
sukarela, secara moral dia mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan
menyelesaikan perbuatannya.
Azas Kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian dan sangat terkait
dengan rasa keadilan (Ps 1339). Itikad baik dan kepatutan kebanyakan disebutkan secara
sejiwa.
Hoge Raad dalam putusannya tanggal 11 Januari 1924 telah sependapat bahwa apabila
hakim telah menguji dengan kepatutan, suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka
Perjanjian tersebut bertentangan dengan ketertiban dan tata susila.
Azas ini memandang bahwa setiap pihak yang melakukan perjanjian didasarkan pada
kepentingan sendiri. Pasal 1315 KUHPerd. berbunyi : “pada umumnya seseorang tidak
dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri dan ditegaskan
dalam Pasal 1340 : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.
Berdasarkan azas ini, perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya, kecuali
dalam hal sebagaimana diatur dalam pasal 1317, yang berbunyi :
“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga bila suatu perjanjian
yg dibuat untuk kepentingan diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain
mengandung syarat seperti itu”.
Azas ini memandang bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian harus dilindungi
hukum. Misalnya perjanjian antara kreditur dan debitur, disini antara debitur dan kreditur
harus dilindungi oleh hukum, khsusnya terhadap debitur karena pada umumnya berada
pada pihak yang lemah.
Azas ini memandang bahwa pelaksanaan substansi perjanjian antara kedua belah pihak
didasarkan pada kepercayaan dan itikad baik para pihak yang mengadakan perjanjian.
Azas itikad baik ini termaktub dalam pasal 1338 KUHPerd. ayat (3), yang berbunyi :
Dengan sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang
diadakan. Apa yang dikendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain,
mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik (si penjual mengingini
sejumlah uang, sedangkan si pembeli mengingini sesuatu barang dari si penjual).
“Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
a. Kekhilafan dibagi 2 :
b. Paksaan :
Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman (akan
membuka rahasia) yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia
c. Penipuan :
Pasal 1328 KUHPerdata : penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan
persetujuan, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah
sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat
perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak
dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”.
1.4.2. Kecakapan
Catatan :
Sebelum tahun 1963 wanita yang menikah dianggap belum dewasa, tetapi setelah
1963 wanita justru dipersamakan dengan laki-laki sehingga untuk menghadap
beracara di pengadilan atau melakukan perbuatan hukum lainnya dapat dilakukan
sendiri (Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 tanggal 4 Agustus
1963).
Dalam hal subjek hukum adalah badan hukum, maka yang berwenang mewakili badan
hukum tersebut dalam melakukan perbuatan hukum dalam hal ini yang menandatangani
kontrak adalah pengurus atau direktur/direksi (para direktur) dari badan hukum tersebut.
Bagaimana apabila barang yang dijadikan objek perjanjian itu jumlahnya belum tentu,
misalnya hasil panen padi suatu sawah di musim panen pada tahun mendatang. Menurut
undang-undang hal ini tidak menjadi halangan, asalkan jumlah barang itu kemudian
ditentukan atau dihitung. Bahkan hasil panen inipun merupakan barang yang baru akan
ada dikemudian hari, namun dapat dijadikan objek perjanjian dan ini adalah sah. Tentu
saja dalam hal ini, sawah yang dimaksud, sekurang-kurangnya sudah ditentukan letak dan
luasnya saat panennya tiba.
Jadi, suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah paling sedikit ditentukan jenisnya, atau
asalkan kemudian jumlahnya dapat ditentukan atau dapat dihitung. Sebab apabila suatu
objek perjanjian tidak tertentu, yaitu tidak jelas jenisnya dan tidak tentu jumlahnya,
perjanjian yang demikian adalah tidak sah.
Disamping suatu hal tertentu, undang-undang juga menyinggung mengenai sesuatu yang
tidak mungkin untuk dijadikan objek perjanjian atau prestasi. Yang dijadikan objek
perjanjian harus sesuatu yang benar-benar mungkin dan dapat dilaksanakan. Apabila
prestasinya merupakan sesuatu yang secara objektif atau mutlak tidak mungkin dapat
dilaksanakan, maka perjanjian itu tidak mempunyai kekuatan mengikat karena tidak ada
kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin dia kerjakan,
misalnya :
Dalam hal jual beli barang yang berada di Kupang, dimana barang tersebut harus
diserahkan langsung oleh penjual (pemilik) kepada pembeli yang berada di Surabaya
dalam waktu 24 jam sejak perjanjian disepakati, sedangkan penerbangan dari Kupang
ke Surabaya hanya ada 2 kali dalam seminggu yaitu hari Senin dan Kamis, sedangkan
perjanjian disepakati hari Selasa sehingga batas paling lambat penyerahan barang
adalah hari Rabu, sehingga pelaksanaan prestasi tidak mungkin akan terpenuhi.
Atau :
A berjanji kepada B apabila nanti matahari terbit dari barat, A akan menghadiahkan
mobil mewah kepada B.
Dari persyaratan tersebut dikatakan bahwa isi suatu perjanjian harus memuat suatu kausa
yang diperbolehkan atau legal. Yang dijadikan objek atau isi dan tujuan prestasi yang
tertuang dalam perjanjian harus merupakan kausa yang legal sehingga perjanjian tersebut
menjadi perjanjian yang valid atau sah dan mengikat. Kausa yang diperbolehkan disini
dimaksudkan selain yang dibolehkan berdasarkan undang-undang, juga tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan.
Apabila syarat sahnya perjanjian yang lain telah terpenuhi, kesepakatan telah tercapai,
para pihak cakap bertindak dan objek telah ditentukan, tetapi bagaimana apabila perjanjian
itu berkenaan dengan suatu sebab yang tidak dibolehkan?
Dengan sendirinya perjanjian yang demikian menjadi tidak legal atau ilegal (tidak sah) dan
tidak mempunyai akibat hukum. Artinya perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan karena
tidak dilindungi oleh hukum. Karena tidak dilindungi, perjanjian tidak mempunyai kekuatan
hukum sehingga tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya dan akibatnya. Pihak yang tidak
mematuhi perjanjian atau yang melakukan wanprestasi, tidak dapat dikenakan sanksi
hukum.
Selain yang bertentangan atau melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, berbagai hal
yang dapat menggagalkan terpenuhinya syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yang
paling jelas adalah apabila para pihak dalam perjanjian saling setuju untuk melangsungkan
beberapa tindakan yang illegal atau tidak sah menurut hukum, tindakan tersebut bisa
berupa kejahatan (misalnya seorang pemilik toko membayar penjahat untuk merusak toko
pesaingnya) atau hanya perbuatan melawan hukum (misalnya seorang reporter surat
kabar setuju untuk mencemarkan nama baik beberapa politikus dengan memperoleh
imbalan tertentu). Perjanjian tersebut batal demi hukum dan apabila terjadi wanprestasi
tidak dapat dikenakan sanksi hukum.
Syarat sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri dan cakap membuat perikatan
merupakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian, jika
syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Dalam hal ini salah satu
pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat
meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama
tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan
tersebut.
Dengan demikian, nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan bergantung pada
kesediaan suatu pihak yang menaatinya. Perjanjian yang demikian selalu terancam
dengan bahaya pembatalan.
Syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif, karena
mengenai objek dari perjanjian, yang jika tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal
demi hukum, artinya tidak ada tuntutan karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim karena
jabatannya dapat menyatakan bahwa perjanjian tidak ada (Pasal 1265 KUHPerdata).
Jangka waktu berlakunya hak untuk meminta pembatalan suatu perjanjian adalah 5 tahun
(Pasal 1454 KUHPerdata), waktu tersebut mulai berlaku sejak :
Waktu yang disebutkan diatas ini, yang ditetapkan untuk memajukan tuntutan, tidaklah
berlaku terhadap kebatalan yang dimajukan selaku pembelaan atau tangkisan yang mana
selalu dapat dikemukakan.
Dari keempat syarat sah perjanjian dalam pasal 1320 KUHPerdata tidak ada menyinggung
tentang formalitas perjanjian ataupun bentuk perjanjian, boleh tertulis atau lisan, harus
memakai kalimat dengan bahasa hukum baku ataukah harus dengan akta otentik atau
cukup dibawah tangan saja.
Memang mengenai persyaratan formal seperti itu tidak ada, tetapi ada ketentuan bahwa
suatu transaksi tertentu harus dibuat secara tertulis, atau ada juga yang harus dibuat
dengan akta otentik atau oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, seperti misalnya pengalihan
hak milik atas tanah selain harus memenuhi syarat pasal 1320 KUHPerdata juga harus
memenuhi syarat formal berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) berikut peraturan pelaksanaannya, yaitu dibuat
secara tertulis oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Sehubungan dengan adanya ketentuan dan keharusan bahwa suatu perjanjan tertentu
yaitu perjanjian formil harus memenuhi syarat formal, maka hal itu dianggap pengecualian
dari syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata.
Dengan demikian suatu perjanjian formil yang tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan
undang-undang, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.
Kontrak adalah perjanjian yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai suatu alat bukti bagi
para pihak. Pembuktian pada umumnya adalah apabila seseorang mendalilkan bahwa ia
mempunyai sesuatu hak atau guna menguatkan haknya sendiri, demikian juga membantah
suatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut.
Akta merupakan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh seseorang atau oleh pihak-
pihak dengan maksud dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum.
Subyek Hukum dalam perjanjian adalah sekaligus sebagai pembuat akta, sebagai berikut :
b. Badan Usaha :
CV.
Firma.
c. Badan Hukum.
Perseroan Terbatas (PT).
Koperasi.
Dana Pensiun.
Yayasan.
Akta yang dibuat dua (lebih) orang/pihak misalnya Akta Jual Beli, perjanjian sewa
menyewa, perjanjian pinjam meminjam, perjanjian pinjam pakai, perjanjian tukar menukar,
sedangkan akta yang dibuat sepihak, misalnya surat kuasa, surat pernyataan, surat
persetujuan, surat penunjukan, surat pengakuan, dan lain-lain.
a. Akta otentik : akta yang bentuknya ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat
(Pasal 1868 KUHPerdata).
b. Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantaraan
seorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak
yang mengadakan perjanjian, contoh : perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,
dan lain-lain.
Jika para pihak mengakui tanda tangan dan kebenaran isi perjanjian tersebut maka
kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik, jika ada penyangkalan terhadap akta
dibawah tangan tersebut, maka pihak yang mengajukan akta itu untuk membuktikan
kebenaran.
a. Akta Otentik :
Bentuk sesuai yang ditentukan undang-undang.
Dibuat oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang.
Mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (mengenai waktu, tanggal
pembuatan, isi perjanjian, penandatanganan, tempat pembuatan dan dasar
hukumnya).
Jika kebenarannya disangkal si penyangkal harus membuktikan
ketidakbenarannya.
Tuan Barata dan Tuan Abiyasa kedua-duanya swasta dan bertempat tinggal di Jakarta. ----
------------------------------------
Yang keduanya dikenal oleh saya, Notaris dan sesudahnya akta ini ditandatangani oleh
mereka dihadapan saya berturut-turut oleh Tuan Barata dan Tuan Abiyasa. ----------
Jakarta, tanggal tigapuluh Januari
tahun duaribu enam (30-01-2006),
NOTARIS DI JAKARTA,
stempel & tanda tangan,
ARJUNA, SH
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
dipergunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuataan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata.
Adapun terhadap dokumen kontrak masuk dalam kategori point 1 tersebut diatas, dimana
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tersebut dikenakan tarif sebesar
Rp.6.000,-
a. Yang jelas, bea meterai bukanlah salah satu syarat sahnya suatu kontrak sehingga
ketiadaan meterai pada suatu kontrak tidak berpengaruh atas keabsahan kontrak
yang dibuat secara sah oleh para pihak.
c. Disamping itu, apabila suatu kontrak tidak dikenakan bea meterai, maka dokumen
kontrak tersebut tidak dapat diterima sebagai alat bukti (di pengadilan) apabila para
pihak berperkara mengenai perikatan yang telah dibuatnya tersebut (namun kontrak
tetap sah).
1.5.1. Resiko
Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi peristiwa di luar kesalahan
salah satu pihak terhadap objek Perjanjian.
Untuk barang yang didapat berdasarkan jual beli (Pasal 1475 KUHPerdata jo. Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963) : “selama belum ada penyerahan dari
penjual ke pembeli, resiko masih ada pada penjual”.
Untuk tukar-menukar (Pasal 1545 KUHPerdata), apabila barang tertentu yang telah
diperjanjikan untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka resiko berada di
tangan masing-masing pemilik.
Untuk sewa menyewa (Pasal 1553 KUHPerdata), jika barang yang disewa musnah karena
kejadian tidak sengaja, perjanjian gugur demi hukum dan tidak ada dasar untuk melakukan
tuntutan.
Gugur demi hukum maksudnya bahwa sejak awal perjanjian sewa menyewa itu dianggap
tidak pernah ada atau tidak pernah lahir suatu perikatan. Oleh karena itu masing-masing
pihak dengan sendirnya tidak dapat menuntut apapun dari pihak lainnya karena memang
tidak pernah ada perikatan diantara mereka sehingga tidak ada dasar untuk melakukan
tuntutan. Tidak mempunyai akibat hukum apapun, tidak mengikat siapapun sehingga tidak
dapat menimbulkan hak dan kewajiban (null and void).
Keadaan memaksa (overmacht atau force majeure) berkaitan erat dengan resiko yang
baru saja kita bicarakan. Dengan terjadinya suatu keadaan memaksa, resiko tidak dapat
ditimpakan kepada pihak yang mengalaminya. Apabila pihak debitur yang berada dalam
keadaan memaksa dapat membuktikan bahwa kejadian itu berada di luar kekuasaannya,
hakim akan menolak tuntutan kreditur yang meminta agar debitur memenuhi perjanjian.
Force Majeure, adalah klausula yang biasa dicantumkan dalam pembuatan kontrak,
dengan maksud untuk melindungi pihak-pihak apabila terdapat bagian dari kontrak tidak
dapat dilaksanakan yang berada diluar kontrol para pihak dan tidak bisa dihindarkan
dengan melakukan tindakan yang sewajarnya, contohnya perubahan kebijakan
pemerintah, kebijakan moneter, huru-hara, pemogokan dan lain-lain.
Termasuk Force Majeure adalah apa yang lazim disebut Act of God, yaitu suatu kejadian
atau peristiwa yang semata-mata karena kekuatan alam tanpa ada campur tangan
manusia. Contohnya kilat, angin ribut, bencana laut (perils of the sea), tornado, gempa
bumi, dan lain-lain.
Menurut undang-undang ada 3 unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa,
yaitu :
a. Tidak memenuhi prestasi.
b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan seseorang (debitur).
c. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada seseorang (debitur), sedangkan yang bersangkutan
dengan segala daya berusaha secara patut memenuhi kewajibannya.
Sesuai Pasal 1245 KUHPerdata : “Tidak ada pihak yang dibebankan tanggung jawab
(biaya, rugi dan bunga) apabila dikarenakan keadaan memaksa atau kejadian tidak
disengaja yang mengakibatkan penundaan pelaksanaan kewajiban sesuai kontrak”.
a. Mutlak (absolut), adalah keadaan memaksa berupa bencana alam atau kejadian
lainnya yang sebegitu hebatnya sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat
menepati janjinya (tidak dapat memenuhi prestasi) perjanjian batal.
b. Relatif, adalah keadaan memaksa yang tidak bersifat mutlak sehingga masih
memungkinkan untuk melaksanakan perjanjian antara lain dikeluarkannya peraturan
pemerintah masih dapat dituntut pelaksanaannya, apabila rintangan berakhir.
1.5.3. Wanprestasi
Terhadap wanprestasi si berutang (debitur sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu),
diancamkan beberapa sanksi, sebagai berikut:
a. Kewajiban membayar kerugian yang diderita oleh kreditur ganti berupa biaya, rugi
dan bunga (atau disebut ganti rugi).
b. Pembatalan perjanjian.
c. Peralihan resiko.
d. Membayar biaya perkara (jika berperkara di pengadilan).
Dalam menentukan bahwa dalam pelaksanaan perjanjian telah terjadi kelalaian tidak
selalu mudah, apalagi kalau dalam perjanjian tidak diperjanjikan secara tegas, maka
diperlukan cara untuk menentukan adanya wanprestasi atau kelalaian :
a. Jika dalam perjanjian tidak diatur, maka yang berlaku adalah ketentuan undang-
undang atau peraturan yang ada bila tidak ada dalam peraturan maka yang berlaku
adalah kebiasaan.
b. Perjanjian tidak batal demi hukum, tapi harus dimintakan pembatalannya kepada
hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).
Secara jelas disebutkan dalam ayat 4 Pasal tersebut bahwa hakim masih diberi
keleluasaan (atas pemintaan tergugat) untuk memberikan waktu guna pemenuhan
kewajiban, maksimum 1 bulan. Jadi bukan kelalaian debitur yang merupakan syarat batal
atau yang membatalkan perjanjian, melainkan putusan hakim.
Putusan hakim tidak bersifat declaratoir (menyatakan batalnya perjanjian), tetapi secara
constitutif (membatalkan perjanjian) dan mempunyai wewenang descretionair yaitu
kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur daripadakan dengan akibat
pembatalan.
Apabila kesalahan debitur relatif kecil, kemudian kreditur meminta pembatalan perjanjian
tentunya diperlukan kebijaksanaan hakim untuk menilai. Apakah pembatalan itu memang
harus dilakukan, sedangkan bila dibatalkan akibatnya akan menimbulkan kerugian yang
lebih besar bagi debitur yang tentunya mengabaikan keadilan.
Pelaksanaan perjanjian tanpa melalui putusan hakim : parate executie, contohnya pada
hak tanggungan-pandrecht pada gadai.
a. Biaya adalah biaya yang sudah dikeluarkan kreditur selama pelaksanaan perjanjian.
c. Bunga adalah bunga yang wajib dibayar akibat kelalaian dari debitur (bunga moratoir
6% per tahun).
a. Pembayaran.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
1.6.1. Pembayaran
Pembayaran dalam arti luas adalah pemenuhan prestasi, baik bagi pihak yang
menyerahkan uang sebagai harga pembayaran maupun bagi pihak yang menyerahkan
kebendaan sebagai barang sebagaimana yang diperjanjikan. Jadi pembayaran disini
diartikan sebagai menyerahkan uang bagi pihak yang satu dan menyerahkan barang bagi
pihak lainnya.
Yang dapat (boleh) melakukan pembayaran adalah tidak hanya debitur saja, tetapi juga
pihak ketiga. Pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga diatur dalam undang-undang.
Setiap perikatan tidak selalu dapat dilakukan pembayaran oleh pihak ketiga karena hal
demikian bergantung pada prestasinya.
Pembayaran yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga, antara lain apabila perikatan itu
prestasinya member sesuatu. Pihak ketiga dibedakan antara yang berkepentingan dan
yang tidak berkepentingan :
b. Apabila pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dan ia
bertindak atas nama debitur dan untuk melunasi utang debitur, hapuslah perikatan
karena utang telah dibayar oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan.
Pada subrogasi kreditur baru tidak memutuskan hubungan hukum yang telah ada dan
tidak meletakkan hubungan hukum yang baru, tetapi ia melanjutkan hubungan hukum
yang sudah ada. Apa yang dibayarkan kreditur baru harus sama dengan apa yang
nantinya akan dibayar oleh debitur kepadanya. Jadi subrogasi juga berarti pembayaran
utang yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur yang menggantikan kedudukan
(hak-hak) kreditur lama kepada kreditur baru. Subrogasi dapat terjadi karena perjanjian
maupun karena undang-undang.
On Becoming the Centre of Excellence 25
PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak
Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan adalah suatu cara
pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang menolak pembayaran, walaupun
telah dilakukan dengan perantaraan notaris atau juru sita. Uang atau barang yang
sedianya sebagai pembayaran tersebut disimpan atau dititipkan kepada panitera
pengadilan negeri dengan suatu berita acara, yang dengan demikian hapuslah utang
piutang tersebut.
Pembaharuan hutang (novasi) yang diatur dalam Pasal 1413 KUHPerdata adalah suatu
perjanjian untuk menghapus suatu perikatan yang sudah ada dan bersamaan dengan itu
timbul perikatan baru sebagai penggantinya. Jadi disamping mengakibatkan berakhirnya
suatu perikatan (hubungan hukum antara kreditur dan debitur) bersamaan dengan itu pula
timbul perikatan baru. Namun titik beratnya ada pada pembaharuan utang bukan pada
hapusnya perikatan.
Bentuknya dapat lisan atau tertulis, namun dalam praktek dilakukan dengan tertulis
dengan kata lain harus tegas dinyatakan, baik lisan maupun tertulis tidak dapat dengan
persangkaan (Pasal 1415 KUHPerdata).
a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang
yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan
karenanya (novasi objektif).
b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama,
yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif pasif).
c. Apabila suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan
kreditur lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya (novasi
subjektif aktif).
berutang satu pada yang lain, terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana
utang piutang antara kedua orang tersebut dihapuskan.
Sesuai Pasal 1426 KUHPerdata terjadinya perjumpaan utang adalah demi hukum, namun
menurut Prof. Subekti terjadinya kompensasi dilakukan dengan adanya tindakan pihak-
pihak yang bersangkutan.
c. Utang uang dapat jumpa dengan utang barang yang harganya biasanya ditetapkan
dalam daftar harga dan saat pelunasannya adalah sama.
d. Utang-utang tersebut harus sudah dapat ditagih dan sudah ditetapkan jumlahnya.
Utang apapun baik yang lahir dari perjanjian atau undang-undang dapat dikompensasikan,
kecuali :
c. Terhadap suatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah
dinyatakan tidak dapat disita.
Pencampuran utang terjadi demi hukum dengan mana piutang dihapuskan apabila
kedudukan sebagai orang berpiutang dan orang berutang berkumpul pada satu orang
(Pasal 1436 KUHPerdata).
Pembebasan utang adalah suatu pernyataan yang dengan tegas dari si berpiutang bahwa
ia tidak lagi menghendaki prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas
pembayaran atau pemenuhan prestasi suatu perjanjian.
Musnahnya barang yang terutang suatu keadaan dimana barang menjadi objek perjanjian
tidak dapat lagi diperdagangkan, hilang atau sama sekali tidak diketahui apakah barang itu
masih ada atau sudah tidak ada lagi. Hapusnya perikatan disini karena musnahnya barang
tersebut disebabkan di luar kesalahan si berutang atau disebabkan oleh suatu kejadian di
luar kekuasaannya.
Pembatalan sebagai salah satu sebab hapusnya perikatan adalah apabila salah satu pihak
dalam perjanjian tersebut mengajukan atau menuntut pembatalan atas perjanjian yang
telah dibuatnya, pembatalan mana diakibatkan karena kekurangan syarat subjektif dari
perjanjian dimaksud.
Berlakunya suatu syarat batal sebagai suatu sebab hapusnya perikatan adalah apabila
suatu syarat batal yang disebutkan dalam perjanjian yang telah dibuat, syarat batal mana
menjadi kenyataan/terjadi. Syarat batal ini dalam perjanjian lazim dituangkan : “perjanjian
ini akan berakhir apabila …………”.
Lewatnya waktu atau kadaluwarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau
untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1946 KUHPerdata).
Pasal 1967 KUHPerdata menyebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat
perseorangan hapus karena kadaluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan
siapa yang menunjukkan adanya kadaluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas
hak, lagi pula tidak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan
pada itikadnya yang buruk.
2. ANEKA PERJANJIAN
a. Jual Beli
b. Tukar Menukar
c. Sewa Menyewa
d. Sewa Beli
e. Pinjam Pakai
f. Pinjam Meminjam
g. Hibah
h. Pemberian Kuasa
i. MoU
Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1450 KUHPerdata.
Perjanjian adalah suatu perjanjian atau suatu persetujuan timbal balik antara pihak yang
satu selaku penjual yang berjanji untuk menyerahkan suatu barang kepada pihak lain,
yaitu pembeli dan pembeli membayar harga yang telah dijanjikan.
Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah para pihak yang
bersangkutan mencapai kata sepakat tentang barang dan harganya, meskipun barang itu
belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUHPerdata). Artinya setelah
mengenai barang dan harga telah dicapai lahirlah jual beli.
Perlu diperhatikan adalah Pasal 1459 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak milik atas
barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya (levering)
belum dilakukan menurut Pasal 612, 613, 616 KUHPerdata.
Penyerahan dalam hal ini adalah penyerahan atas 2 hal yaitu penyerahan penguasaan
atas barang dan penyerahan hak milik atas barang. Sedangkan harga yang dimaksud
adalah berupa sejumlah uang yang merupakan imbalan atas barang yang telah diterima
dan diserahkan oleh penjual kepada pembeli.
Disini terdapat pengikatan diri, yaitu baik penjual maupun pembeli saling setuju atau
sepakat mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu (secara timbal balik) terhadap pihak
lainnya. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih
(Pasal 1313 KUHPerdata).
Perjanjian jual beli meletakan hak dan kewajiban secara timbal balik antara para pihak,
yaitu penjual wajib menyerahkan hak milik atas barang yang dijual dan pada saat itu juga
memberikan hak kepada penjual untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui
kepada pembeli. Di pihak lain, meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar
harga barang sebagai imbalan atas haknya untuk menuntut penyerahan hak milik barang
dibelinya.
KUHPerdata menganut sistem bahwa perjanjian jual beli itu hanya obligatoir, artinya baru
meletakkan hak dan kewajiban secara timbal balik. Sistem ini menimbulkan hak pada
penjual serta kewajiban pada pembeli dan secara bersamaan menimbulkan hak pada
pembeli dan kewajiban pada penjual.
Dengan demikian hak dan kewajiban penjual maupun pembeli perlu dijabarkan dalam
suatu perjanjian secara detail sesuai yang disepakati.
Kewajiban penjual yang utama adalah menyerahkan dan menanggung barang yang
dijualnya (Pasal 1474 KUHPerdata).
Menyerahkan disini ada 2 hal yaitu menyerahkan penguasaan dan hak milik atas barang,
kedua menanggung kenikmatan atas barang tersebut serta menanggung apabila terdapat
cacat tersembunyi pada barang tersebut.
Kebendaan menurut undang-undang adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dikuasai sebagai hak milik. Di dalam Buku II KUHPerdata tentang Kebendaan, diatur
tentang cara membeda-bedakan kebendaan, yang dapat digolongkan ke dalam 3 macam,
yaitu :
a. Benda bergerak.
b. Benda tidak bergerak.
c. Benda tidak bertubuh.
Cara penyerahannya ketiga benda tersebut diatur secara berbeda dalam undang-undang,
sehingga dikenal tiga macam cara penyerahan hak milik sesuai dengan jenis atau macam
benda yang diserahkan, sebagai berikut :
a. Penyerahan hak milik barang bergerak cukup dilakukan dengan cara menyerahkan
kekuasaan atas barang tersebut secara nyata, dengan begitu kepemilikannya beralih.
Penyerahan tidak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan
alas hak lain, sudah dikuasai oleh orang yang berhak menerimanya (traditio brevi
manu), yaitu penyerahan tidak langsung apabila dia sudah memegang kepemilikan
atas suatu barang atas nama orang lain dan menyetujui sejak itu dia akan
memilikinya atas nama sendiri.
Dalam hal barang tidak bergerak, pengalihannya dilakukan dengan Balik Nama (UU
No. 5 Th 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria atau disingkat UUPA).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UUPA, bahwa jual beli tanah
harus dilakukan dengan Akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).
Untuk barang tidak bertubuh, penyerahan dilakukan dengan cara cessie yang diatur
dalam Pasal 613 KUHPerdata :
Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah
penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.
Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat
itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan
surat disertai dengan endosemen.
On Becoming the Centre of Excellence 31
PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak
Mengenai cara perolehan hak milik tersebut, KUHPerdata atau BW antara lain pasal 584
KUHPerdata menyatakan bahwa :
“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan
dengan pemilikan karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan baik menurut
undang-undang maupun surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan
berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh
seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.
Sehubungan dengan perjanjian yang bersifat obligatoir, yaitu yang baru meletakkan hak
dan kewajiban kepada para pihak sehingga perlu diikuti dengan melakukan levering atau
penyerahan atas barang sehingga hak milik berpindah dari penjual ke pembeli. Dan
levering harus dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas atas barang tersebut, yaitu
si pemilik barang atau orang yang secara khusus diberi kuasa olehnya.
Dengan demikian dalam setiap pemindahan hak milik yang telah memenuhi ketentuan
undang-undang, pengalihannya adalah sah. Namun apabila yang terjadi sebaliknya atau
terdapat cacat hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya, misalnya orang yang
memindahkan hak milik itu ternyata orang yang tidak berhak, maka penyerahannyapun
menjadi batal. Dengan demikian pemindahaan hak milik dianggap tidak pernah terjadi.
Dalam hal ini, terdapat hubungan kausal atau hubungan sebab akibat antara perjanjian
yang sifatnya obligatoir dan levering serta berpindahnya hak milik atas barang.
d. Apabila penjual mengetahui adanya cacat pada barang yang dijual, penjual wajib
mengembalikan harga pembelian atau mengganti pengeluaran biaya pembelian.
Pembeli mempunyai kewajiban untuk membayar harga barang kepada penjual, pada
waktu, tempat dan cara yang telah ditetapkan, apabila hal itu tidak diperjanjikan, maka
pembayaran dilakukan pada saat penyerahan barang.
a. Penjual tetap bertanggungjawab tentang suatu akibat dari perbuatan yang telah
dilakukannya.
b. Jika terjadi penghukuman pada pembeli untuk menyerahkan barang tersebut kepada
orang lain, maka penjual wajib mengembalikan harga pembelian, kecuali pada saat
pembelian dilakukan pembeli mengetahui adanya putusan hakim untuk menyerahkan
barang yang dibelinya itu (Pasal 1495 KUHPerdata).
Kekuasaan untuk membeli kembali atas barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji
antara penjual dan pembeli, dimana penjual diberi hak untuk mengambil kembali
barangnya yang dijual setelah memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
Barang yang diserahkan pembeli kepada penjual akibat hak membeli kembali atas barang
yang dijual tersebut harus bebas dari semua beban (jaminan) dan tanggungan yang
diletakkan oleh pembeli diatasnya.
Batas waktu hak membeli kembali tidak bisa diperjanjikan lebih dari 5 (lima) tahun. Jika
telah diperjanjikan untuk waktu lebih dari 5 tahun, yang berlaku tetap lima tahun. Batas
waktu ini mutlak sehingga hakimpun tidak boleh memperpanjang.
Apabila penjual lalai mengajukan tuntutannya untuk membeli kembali barangnya dalam
tenggang waktu yang telah ditetapkan, pembeli tetap menjadi pemilik atas barang yang
dibeli tersebut dan akan menjadi pemilik tetap.
Hak untuk membeli kembali yang diperjanjikan atas barang tak bergerak boleh
menggunakan haknya terhadap seorang pembeli kedua, meskipun dalam perjanjian kedua
itu tidak disebutkan tentang janji tersebut (Pasal 1523 KUHPerdata).
Apabila dalam perjanjian jual beli dengan hak untuk membeli kembali atas barang
bergerak, pembeli pertama terikat untuk sewaktu-waktu menyerahkan kembali barang
yang dibelinya itu kepada penjual untuk dibeli kembali. Jika pembeli pertama, meskipun
sudah terikat (untuk sewaktu-waktu dalam waktu yang telah ditentukan) harus
menyerahkan barang itu kembali, ternyata menjual kepada pihak ketiga atau pembeli
kedua, secara a contrario dapat diartikan bahwa penjual pertama tidak boleh
menggunakan haknya terhadap pihak ketiga untuk meminta kembali barangnya. Dengan
perkataan lain, pembeli kedua bebas dari tuntutan untuk menyerahkan barang. Dalam hal
ini, penjual pertama hanya bisa menggunakan haknya terhadap pembeli pertama karena
dia telah melanggar hukum. Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut (onrechtmatigedaad). Jadi menuntut pembeli pertama untuk
membayar ganti rugi karena itu telah melakukan wanprestasi.
Resiko adalah tanggung jawab untuk memikul kerusakan/kerugian yang diakibatkan suatu
kejadian yang bukan merupakan kesalahan salah satu pihak.
Berdasarkan Surat Edaran Mahmakah Agung Nomor 3 Tahun 1963, antara lain
menyatakan beberapa pasal dalam KUHPerdata tidak berlaku lagi temasuk ketentuan
Pasal 1460 KUHPerdata yang mengatur bahwa apabila barang yang dijual berupa barang
yang sudah ditentukan sejak saat pembelian, menjadi tanggungan pembeli meskipun
barang belum diserahkan dan penjual berhak menuntut harganya.
Dengan berlakunya Surat Edaran tersebut, maka selama barang belum diserahkan/dilever
(tanpa membedakan jenis barangnya) resiko masih merupakan beban atau dipikul oleh
penjual yang masih sebagai pemilik sah barang itu, sampai barang tersebut secara sah
diserahkan kepada pembeli, yang berarti pembeli telah menjadi pemilik sah dari barang
tersebut maka resiko barang itu beralih dari penjual ke pembeli (transfer of ownership).
Dengan diserahkannya barang tersebut oleh penjual kepada pembeli, barulah resiko atas
barang berpindah atau beralih dari penjual kepada pembeli.
d. Harga
e. Cara Pembayaran
Tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan mana para pihak mengikatkan dirinya
untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik, sebagai gantinya suatu barang
lain. (Pasal 1541 KUHPerdata).
Obyek perjanjian disini adalah barang dengan barang, sedang dalam jual beli adalah
barang dangan uang.
Undang-undang menentukan bahwa barang yang dapat dilakukan tukar menukar adalah
segala jenis barang yang dapat diperjual belikan dan para pihak haruslah pemilik barang.
Baik pihak pertama dan pihak kedua harus pemilik barang, atau masing-masing pihak
sudah menjadi pemilik barang yang ditukarkan.
Apabila suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukarkan, kemudian musnah
diluar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap gugur, dan pihak siapa yang telah
memenuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang yang telah ia berikan dalam tukar
menukar. Maksudnya adalah masing-masing pihak selaku pemilik barang yang akan
ditukarkan memikul tanggung jawab atas barangnya sendiri atau dengan kata lain, resiko
ada dipundaknya masing-masing.
Selanjutnya ditentukan pula bahwa untuk hal-hal lain, semua peraturan mengenai
perjanjian jual beli berlaku pula untuk perjanjian tukar menukar (Pasal 1546 KUHPerdata).
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan suatu barang selama waktu
tertentu dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut disanggupi.
Yang membedakan dengan perjanjian jual beli adalah dalam sewa menyewa tidak ada
penyerahan dalam arti pengalihan hak milik, yang ada hanyalah penyerahan kekuasaan
atas suatu barang untuk dinikmati penyewa.
Oleh karena itu tidak dituntut atau tidak dipersyaratkan bahwa yang menyerahkan barang
harus pemilik barang, sebagaimana halnya dalam perjanjian jual beli atau tukar menukar.
Jadi meskipun seseorang hanya mempunyai hak menikmati hasil atas suatu barang dan
bukan pemilik, yang bersangkutan sudah dapat secara sah menyewakan barang tersebut.
Demikian pula yang menjadi objek perjanjian. Dapat dibedakan bahwa dalam jual beli
objek perjanjian adalah barang dan harga, sedangkan dalam tukar menukar adalah
bawang dan barang, dan dalam sewa menyewa adalah barang dan harga sewa. Apabila
penguasaan atas suatu barang diserahkan, tetapi tidak ada harga sewanya, berarti barang
tersebut diserahkan untuk dipakai tanpa kewajiban untuk membayar, dan ini merupakan
perjanjian pinjam pakai.
Didalam definisi yang diberikan oleh undang-undang dalam Pasal 1548 KUHPerdata
tersebut terkandung beberapa unsur bahwa sewa menyewa adalah :
Berkenaan dengan “selama suatu waktu tertentu” dapat diperhatikan beberapa pasal yang
menyinggung mengenai waktu sewa, sebagai berikut :
a. Pasal 1570 KUHPerdata : “Jika sewa dibuat dengan tulisan maka sewa itu berakhir
demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya
sesuatu pemberhentian untuyang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya
sesuatu pemberhentian untuk itu”.
b. Pasal 1571 KUHPerdata : “Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak
berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain ………. Bahwa ia
hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat”.
Dalam halnya sewa tanah, peringatan tersebut harus paling sedikit satu tahun sebelum
pengosongan.
Dalam pasal-pasal tersebut tidak secara mutlak dinyatakan bahwa syarat waktu harus
dicantumkan, namun waktu sewa merupakan hal yang penting. Untuk mencegah timbulnya
hal-hal yang tidak diharapkan timbul dikemudian hari dan mencegah penafsiran dan
makna ganda, pencantuman “batas waktu yang jelas” sangat diperlukan.
Semua jenis barang, baik yang tidak bergerak maupun yang bergerak dapat disewakan.
Kewajiban pihak yang menyewakan tanpa perlu adanya suatu janji untuk itu adalah :
b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk
keperluan dimaksudkan.
Apabila selama waktu sewa barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu
kejadian yang tak sengaja, perjanjian sewa gugur demi hukum. Tetapi apabila hanya
musnah sebagian, si penyewa dapat memilih menurut keadaan, meminta pengurangan
harga sewa, ataukah meminta bahkan pembatalan perjanjian sewa.
a. Memakai barang yang disewa sebagai bapak rumah yang baik (als goed huisvader),
sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya,
atau bila tidak ada suatu perjanjian mengenai hal itu, menurut tujuan yang
dipersangkakan berhubungan dengan keadaan. Apabila ternyata si penyewa
memakai barang yang disewa untuk suatu maksud atau keperluan lain dari tujuan
pemakaian yang seharusnya atau untuk tujuan lain yang menimbulkan kerugian
kepada pihak yang menyewakan, piahk yang menyewakan menurut keadaan dapat
meminta pembatalan sewanya (Pasal 1561 KUHPerdata).
Pihak yang menyewakan atau si penyewa mempunyai tanggung jawab sebagai berikut :
a. Bertanggung jawab untuk segala kerusakan barang yang disewa selama masa sewa,
kecuali bila ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya.
b. Bertanggung jawab untuk segala kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan pada
barang yang disewa yang dilakukan oleh kawan-kawan serumah atau sub penyewa
(jika telah dioperkan oleh penyewa).
Ada dua hal yang perlu diketahui berkenaan dengan berakhirnya sewa :
b. Sewa tidak putus dengan dijualnya barang yang disewa oleh yang menyewakan,
kecuali apabila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang.
2.3.6. Larangan
a. Pihak Yang Menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan alasan hendak
dipakai sendiri, kecuali diperjanjikan lain.
a. Apabila selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena
suatu kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum.
Karena barang sewa musnah sama sekali, perjanjian sewa sudah tidak ada lagi atau
kembali ke keadaan semula sebelum lahirnya perjanjian sewa menyewa. Masing-
masing pihak kembali dalam posisi semula sebelum sewa menyewa. Dalam hal ini
tanggung jawab atas barang sewa ada pada pihak yang menyewakan selaku pemilik
barang. Demikian pula termasuk barang-barang kepunyaan si penyewa yang turut
musnah itupun menjadi tanggung jawab si penyewa. Dengan demikian kerugian yang
timbul dari suatu kejadian atau peristiwa yang terjadi di luar kesalahan para pihak,
dipikul oleh masing-masing pihak.
Istilah perjanjian sewa beli atau beli sewa berasal dari kata huurkoop (Belanda) atau hire
purchase (Inggris) adalah suatu perjanjian yang timbul dari praktek yang diakui sah oleh
yurisprudensi. Perjanjian yang timbul dari praktek memang diperbolehkan karena
sebagaimana diketahui, hokum perjanjian menganut system terbuka atas azas kebebasan
berkontrak sebagaimana terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Sewa beli sebenarnya adalah suatu perjanjian jual beli setidak-tidaknya lebih mendekati
jual beli daripada sewa menyewa, meskipun sewa beli merupakan suatu campuran dari
kedua-duanya.
Dalam Hire Purchase Act 1965, sewa beli dikonstruksikan sebagai “perjanjian sewa
menyewa dengan hak opsi dari si penyewa untuk membeli barang yang disewanya”.
Sewa beli mula-mula timbul dalam praktek untuk menampung persoalan bagaimanakah
caranya memberikan jalan keluar apabila pihak penjual menghadapi permintaan untuk
membeli barangnya tetapi calon pembeli tidak memiliki kemampuan untuk membayar
harga barang tersebut secara tunai, sementara penjual perlu jaminan agar tidak dirugikan.
Dalam sewa beli si pembeli menjadi penyewa dulu dari barang yang ingin dibelinya, maka
dijadikan penyewa si pembeli terancam oleh hukum pidana (penggelapan) apabila ia
sampai menjual/mengalihkan barangnya.
Penyerahan hak milik baru akan dilakukan pada waktu di bayarnya angsuran yang
terakhir, penyerahan mana dapat dilakukan dengan suatu pernyataan sja karena
barangnya sudah berada dalam kekuasaan si pembeli dalam kedudukannya sebagai
penyewa.
Menurut Putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1957 yang dimuat dalam
Majalah Hukum 1958 No. 7-8 sebagai berikut : resiko musnahnya barang yang
disewa beli karena overmacht (keadaan memaksa) dipikul oleh si penyewa beli,
meski Prof. Soebekti lebih setuju pada putusan PN Surabaya yang memutuskan
bahwa resiko menjadi tanggungjawab Penjual Mobil.
b. Dalam buku KUHPerdata (BW) tidak diatur secara tegas tentang resiko barang yang
disewa belikan (hanya terjadi dalam praktek).
c. Dalam kenyataannya sekarang hal diatas menjadi pedoman perjanjian sewa beli,
dimana resiko dibebankan pada penyewa beli.
a. Dalam jual beli angsuran, barang sudah dimiliki oleh pembeli begitu barang tersebut
diterima dari penjual.
c. Pembeli sudah dapat bebas menjual barang yang dibelinya itu (meski belum lunas),
begitu pembeli menerima dari penjual.
Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu
baang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai secara cuma-cuma, dengan syarat si
penerima barang ini setelah lewatnya waktu tertentu akan mengembalikannya (Pasal 1740
KUHPerdata).
Dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan istilah : Pinjam saja, tetapi kita
mengetahui bahwa ada perbedaan antara meminjam sebuah mobil atau meja dengan
meminjam uang atau beras misalnya. Kalau seseorang meminjam sebuah mobil atau meja
yang harus dikembalikan adalah mobil atau meja itu (tidak boleh ditukar dengan mobil atau
meja lainnya), sedangkan meminjam uang atau beras, maka yang akan dikembalikan
bukan uang atau beras yang diterima itu tetapi sejumlah uang atau beras dengan nilai
yang sama karena beras atau uang habis dipakai.
Untuk membedakan 2 macam pinjam tersebut, maka yang disebutkan pertama dinamakan
pinjam pakai (barang yang dipinjam tidak habis atau musnah karena pemakaian),
sedangkan yang kedua adalah pinjam meminjam (barang yang dipinjam habis atau
musnah karena pemakaian).
Pinjam Pakai diatur dalam 1740 – 1753 KUHPerdata, dimana dalam pinjam pakai ini pihak
yang meminjamkan tetap menjadi pemilik dari barang yang dipinjamkan (Pasal 1741
KUHPerdata).
Dalam perjanjian pinjam pakai semua barang yang dapat dipakai orang dan tidak musnah
karena pemakaian dapat menjadi obyek perjanjian pinjam pakai (Pasal 1742 KUHPerdata).
Perjanjian pinjam pakai ini merupakan contoh dari suatu perjanjian sepihak atau unilateral,
dimana perkataan sepihak ditujukan kepada hanya ada satu prestasi dari satu pihak saja)
sebagai lawan dari suatu perjanjian bertimbal balik atau bilateral. Sifatnya sepihak itu
dinyatakan dengan rumusan ”untuk dipakai secara cuma-cuma”, kalau ada pembayaran
maka berubah menjadi perjanjian sewa menyewa bukan perjanjian pinjam pakai.
a. Menyimpan dan memelihara barang yang dipinjamnya sebagai seorang bapak rumah
yang baik (Pasal 1744 KUHPerdata).
b. Harus menggunakan barang itu sesuai dengan sifat barang itu atau sesuai perjanjian,
kesemuanya atas ancaman penggantian biaya, rugi dan bunga, jika ada alasan untuk
itu.
a. Tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamnya kecuali lewat waktu yang
ditentukan (Pasal 1750 KUHPerdata).
2.5.3. Resiko
Jika barang digunakan untuk keperluan lain atau lebih lama dari yang diperbolehkan maka
peminjam bertanggungjawab atas musnahnya barang itu, meski karena kejadian yang
sama sekali tidak disengaja (Pasal 1744 KUHPerdata).
Manakala peminjam tidak mentaati perjanjian dalam pemakaian barang maka resiko atas
barang tersebut beralih ke peminjam (peralihan resiko).
a. Seandainya peminjam dapat memilih menggunakan barang sendiri dari pada barang
yang dipinjamnya, maka ia terlebih dulu harus menggunakan barangnya sendiri.
b. Seandainya ada bahaya mengancam baik barang sendiri maupun barang yang
dipinjamnya maka ia harus terlebih dahulu menyelamatkan barang pinjaman itu.
d. Jika sewaktu dipinjamkan, barang itu dilakukan penaksiran harga dulu oleh kedua
pihak maka bila terjadi musnahnya barang itu adalah tanggungan si peminjam (meski
atas kejadian tak sengaja), kecuali diperjanjikan sebaliknya.
Perjanjian pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat habis
karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini (peminjam) akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (Pasal 1754
KUHPerdata).
Sering pula dengan disebut pakai habis, karena barang yang dipinjamnya dipakai habis
sedangkan pengembaliannya dengan barang sejenis tapi bukan yang dipinjam (yang
dipinjam sudah habis dipakai), misalnya pinjam beras, uang, gula.
Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam itu, pihak yang menerima pinjaman menjadi
pemilik dari barang yang dipinjam, dan jika barang itu musnah, dengan cara
bagaimanapun maka kemusnahan itu adalah atas tanggungannya (Pasal 1755
KUHPerdata).
Jika sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau
ada perubahan berlakunya mata uang, maka pengembalian pinjaman sejumlah uang harus
dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut
harganya (nilainya) yang berlaku pada saat itu. (Pasal 1756 KUHPerdata). Untuk
menetapkan jumlah uang yang terutang harus berpangkal pada yang disebutkan dalam
perjanjian.
Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya,
sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian (Pasal 1759 KUHPerdata).
2.6.4. Bunga
2.7. HIBAH
Perjanjian hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya,
dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang
guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan.
Hibah tidak boleh ditarik kembali atas kemauan sepihak dari si penghibah, kecuali
disepakati kedua belah pihak.
Hibah dilakukan oleh orang yang hidup (Pasal 1666 (2) KUHPerdata), hal tersebut juga
membedakan antara penghibahan dengan pemberian-pemberian yang dilakukan dalam
suatu testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah
si pemberi meninggal dunia, dan setiap waktu selama si pemberi wasiat masih hidup dapat
dirubah atau ditarik kembali olehnya. Pemberian dalam testament menurut KUHPerdata
dinamakan legaat atau hibah wasiat yang diatur dalam hukum waris, sedangkan
penghibahan ini adalah suatu perjanjian.
c. Jika pemberi hibah jatuh miskin, sedang penerima hibah menolak memberi nafkah
kepadanya.
Penghibahan dalam sistem KUHPerdata adalah bersifat obligatoir (seperti jual beli dan
tukar menukar), dalam arti belum memindahkan hak milik, karena hak milik baru berpindah
dengan dilakukannya “levering” atau penyerahan (secara yuridis), yang cara-caranya sama
dengan perjanjian jual beli. Penghibahan, disamping jual beli dan tukar menukar
merupakan salah satu “titel” bagi pemindahan hak milik.
Penghibahan hanya dapat mengenai barang-barang yang harus sudah ada saat
dihibahkan. Jika meliputi barang-barang baru yang akan ada di kemudian hari, maka
sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal (Pasal 1667 KUHPerdata). Berdasarkan
ketentuan ini maka jika dihibahkan suatu barang yang sudah ada, bersama-sama dengan
suatu barang lain yang baru akan ada dikemudian hari, penghibahan yang mengenai
barang yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah.
Si penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau
memberikan kepada orang lain suatu barang yang termasuk dalam penghibahan.
Penghibahan yang semacam ini, sekedar mengenai barang tersebut dianggap batal (Pasal
1668 KUHPerdata). Harus dilakukan dengan Akta Notaris (Pasal 1682 KUHPerdata).
Larangan memberikan hibah wasiat kepada beberapa orang tertentu karena mempunyai
hubungan begitu khusus sehingga dianggap tidak pantas orang-orang tersebut menerima
suatu pemberian darinya, misalnya :
c. Kepada Notaris yang membuat testamen tentang hibah wasiat yang dibuat oleh si
pemberi hibah itu.
a. Hibah barang bergerak dan bertubuh atau surat-surat penagihan utang atas tunjuk
dari tangan satu ke tangan lain dapat dilakukan begitu saja tanpa akta notariel dan
sah dengan penyearhan belaku dari penghibah kepada penerima hibah atau kepada
pihak ketiga yang menerima penghibahan itu atas nama si penerima hibah.
b. Hibah untuk barang tidak bergerak harus dilakukan dengan formalitas dalam suatu
akta notaris (secara Notariel).
Penerima hibah harus sudah lahir (jika belum dewasa diwakili orang tuanya), dengan
mengindahkan Pasal 2 KUHPerdata, bahwa anak yang masih dalam kandungan dianggap
telah dilahirkan manakala kepentingan si anak itu menghendakinya (Pasal 2 KUHPerdata).
c. Hibah tidak boleh disertai syarat bahwa penghibah boleh menjual barang itu.
e. Jika terjadi penghukuman terhadap barang yang dihibahkan, pihak si penghibah tidak
menanggungnya.
Kuasa Umum, kuasa ini bersifat umum dan untuk segala kepentingan pemberi
kuasa, dan biasanya terdapat kata-kata :
“kuasa ini diberikan seluas-luasnya dengan hak bertindak untuk dan atas
nama pemberi kuasa dan atau mewakili pemberi kuasa dalam segala hal dan
segala urusan tanpa ada yang dikecualikan, termasuk hal-hal yang tidak
dicantumkan dalam surat kuasa ini”.
b. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakan pada waktu pemberi kuasa
meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikan.
Si Kuasa tidak diberi kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
Bila kuasa diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedang orang yang
dipilihnya ternyata tidak cakap atau tidak mampu (Pasal 1800 sampai dengan
1803 KUHPerdata).
a. Memenuhi perjanjian yang telah dibuat antara penerima dan pemberi kuasa.
d. Memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita penerima kuasa dalam
menjalankan kuasanya, kecuali si penerima kuasa berbuat kurang hati-hati.
Menurut jurisprudensi, kuasa mutlak dibolehkan adalah demi keseimbangan hak dan
kewajiban para pihak, antara lain hanya untuk :
Dalam pemberian kuasa, si penerima kuasa dapat menunjuk orang lain sebagai
penggantinya dalam melaksanakan kuasanya disebut dengan Hak Substitusi.
Si penerima kuasa bertanggung jawab untuk orang yang telah ditunjuk olehnya sebagai
pengganti/substitusi dalam melaksanakan kuasa.
a. Nama penerima disebutkan, maka orang yang memindahkan kuasa tersebut bebas
dari tanggung jawab mengenai pelaksanaan kuasa tersebut.
b. Nama penerima tidak disebutkan, maka orang yang memindahkan kuasa tersebut
hanya bertanggung jawab jika pemberi kuasa membuktikan bahwa yang kemudian
tidak cakap atau tidak mampu.
c. Tidak disebut adanya hak substitusi, maka orang yang memindahkan kuasa tsb
bertanggung jawab sepenuhnya untuk orang yang ditunjuk sebagai subtitute nya.
Penarikan kuasa setiap saat dapat dilakukan oleh Pemberi Kuasa (Pasal 1814
KUHPerdata) kalau penerima kuasa menolak, maka pencabutan harus via pengadilan.
Penarikan kuasa harus diberitahukan kepada para pihak atau relasi yang berkepentingan
dan diumumkan dalam surat kabar.
Jika penerima kuasa meninggal, maka para ahli warisnya (bila mengetahui) :
a. harus memberitahukan hal tersebut ke pemberi kuasa.
2.9. MoU
MoU berasal dari kata memorandum dan understanding. MoU tidak dikenal dalam hukum
konvensional Indonesia. Dalam Blacks Law Dictionary memorandum didefinisikan sebagai
a brief written statement outlining the terms of agreement or transaction (terjemahan bebas
: sebuah ringkasan pernyataan tertulis yang menguraikan persyaratan sebuah perjanjian
atau transaksi). Sedangkan understanding adalah an implied agreement resulting from the
express terms of another agreement, whether written or oral; atau a valid contract
engagement of a somewhat informal character; atau a loose and ambiguous terms, unless
it is accompanied by some expression that it is constituted a meeting of the minds of
parties upon something respecting which they intended to be bound (terjemahan bebas :
sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian
lainnya; atau pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau
persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan hasil
persetujuan atau kesepakatan pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya
untuk mengikat).
MoU merupakan kontrak simple (sederhana) dan tidak disusun secara formal, yang
merupakan dasar untuk dibuat suatu kesepakatan.
Munir Fuady mendefinisikan MoU sebagai perjanjian pendahuluan, yang nanti akan
dijabarkan dan diuraikan dengan perjanjian lainnya yang memuat aturan dan persyaratan
secara lebih detail, sebab itu materi MoU berisi hal-hal yang pokok saja. Adapun Erman
Radjagukguk menyatakan MoU sebagai dokumen yang memuat saling pengertian dan
pemahaman para pihak sebelum dituangkan dalam perjanjian yang formal yang mengikat
kedua belah pihak. Oleh sebab itu muatan MoU harus dituangkan kembali dalam
perjanjian sehingga menjadi kekuatan yang mengikat.
Dari definisi tersebut dapat kita simpulkan unsur-unsur yang terkandung dalam MOU,
yaitu :
Hingga saat ini tidak dikenal pengaturan khusus tentang MoU. Hanya saja, merujuk dari
definisi dan pengertian di atas, dimana MoU tidak lain adalah merupakan perjanjian
pendahuluan, maka pengaturannya tunduk pada ketentuan tentang perikatan yang
tercantum dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pengaturan MoU pada ketentuan buku III KUHPerdata yang sifatnya terbuka membawa
konsekuensi pada materi muatan atau substansi dari MoU yang terbuka pula. Artinya para
pihak diberi kebebasan untuk menentukan materi muatan MoU akan mengatur apa saja,
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, dan norma kepatutan, kehati-hatian dan
kesusilaan yang hidup dan diakui dalam masyarakat, serta sepanjang penyusunan MoU itu
Bagaimana dengan kekuatan mengikat MOU? apakah MOU mempunyai daya paksa
untuk dilaksanakan bagi para pihak?
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa MoU kekuatan mengikat dan memaksa
sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan
tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak yang membuatnya
serta bahwa MoU adalah merupakan perjanjian pendahuluan, bukan berarti MoU tersebut
tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak untuk mentaatinya
dan/atau melaksanakannya.
Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata menjadi dasar hukum bagi kekuatan mengikat MoU
itu. Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Dengan kata lain jika MoU itu telah dibuat
secara sah, memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal
1320 KUHPerdata, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat
disamakan dengan sebuah undang-undang-yang mempunyai kekuatan mengikat dan
memaksa. Tentu saja pengikat itu hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal pokok
yang termuat dalam MoU.
Penggunaan istilah MoU harus dibedakan dari segi teoritis dan praktis. Secara teoritis
dokumen MoU bukan merupakan dokumen yang mengikat para pihak. Agar mengikat
secara hukum, harus ditindaklanjuti dengan perjanjian. Kesepakatan dalam MoU hanya
bersifat ikatan moral. Secara praktis MoU disejajarkan dengan perjanjian. Ikatan yang
terjadi tidak hanya bersifat moral, tetapi juga hukum.
Bagaimana jika terjadi pelanggaran terhadap MOU? adakah upaya hukum yang
dapat dilakukan?
Jika kita menganut pendapat yang pertama, yang menyatakan bahwa kekuatan mengikat
MoU sama dengan perjanjian bersifat memaksa bagi para pihak, maka dalam hal terjadi
wanprestasi atau kelalaian dari para pihak atas kesepakatan mengenai hal-hal pokok tadi,
pihak yang lain dapat melakukan upaya hukum perdata atas dasar gugatan wan prestasi
atau ingkar janji. Sedangkan jika kita menganut pendapat kedua, dimana kekuatan
mengikat MoU hanya sebatas moral obligation saja, maka para pihak cenderung akan
menghindari melakukan upaya hukum.
Atas kedua pendapat tersebut di atas, pilihan diserahkan pada masing-masing pihak. Yang
pasti jika ada perbedaan penafsiran dari para pihak tentang kekuatan mengikat MoU ini,
maka menurut saya pihak yang menganut pendapat pertama tetap dapat melakukan
upaya hukum perdata ke pengadilan jika pihak lain yang melakukan ingkar janji atas MoU
menjadi penganut pendapat yang kedua.
Dalam merancang dan menyusun suatu kontrak (perjanjian tertulis) perlu ditentukan
format atau kerangka dari perjanjian itu sendiri yang berbentuk sistimatika atau anatomi
suatu kontrak.
Sistimatika atau pola suatu kontrak (perjanjian tertulis) secara garis besar adalah sebagai
berikut :
a. Judul
b. Pembukaan
c. Komparisi/Para Pihak
d. Premise
e. Isi Perjanjian
f. Penutup
g. Tanda tangan
3.1.1. Judul
Judul suatu akta bisanya diberi nama sesuai dengan isinya, misalnya perjanjian jual beli
komputer, dengan judul tersebut sudah tentu dapat ditebak atau diketahui bahwa isi
perjanjian itu mengatur mengenai suatu barang yang bernama komputer.
Judul jangan terlalu singkat dan jangan menyesatkan, misalnya judul perjanjian jual beli
rumah atau perjanjian sewa menyewa rumah.
Pemberian nomor sekedar untuk penandaan dokumen dari pihak-pihak dan bukan suatu
keharusan karena tidak ada kaitannya dengan maksud dan tujuan perjanjian. Untuk Akta
Notaris penomoran merupakan suatu keharusan karena ada kaitannya dengan
pendaftaran akta tersebut ke Departemen Hukum dan HAM.
Dalam membuat suatu perjanjian (perjanjian apapun juga), secara garis besar dapat
dipilah menjadi bagian-bagian tertentu sehingga mudah diketahui dan jelas susunan atau
sistimatikanya. Judul suatu akta biasanya diberi nama sesuai dengan isinya, misalnya
”perjanjian jual beli tenaga listrik”. Dengan judul tersebut dapat ditebak atau diketahui
bahwa isi perjanjian itu mengatur mengenai jual beli tenaga listrik, karena itu suatu judul
perjanjian haruslah sesuai dengan isi dari perjanjian itu, jangan sampai terjadi penyesatan.
Nomor perjanjian seperti itu sebenarnya tidak harus ada atau tidak dipersyaratkan dalam
suatu perjanjian karena tidak mempunyai kaitan dengan maksud dan tujuan perusahaan.
Tanpa penomoran itupun perjanian tetap sah menurut hukum sepanjang persyaratan yang
ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata telah dipenuhi.
Lain halnya apabila akta itu merupakan akta yang dibuat seorang notaris, maka akta itu
haruslah diberi nomor akta. Selain akta itu merupakan akta notaris, penomoran itu
dimaksudkan juga untuk tujuan lain. Misalnya untuk pengaturan urutan waktu pembuatan
akta tersebut, bahwa nomor kecil tentunya dibuat lebih dahulu dari pada nomor yang lebih
besar.
Suatu judul perjanjian tidak perlu terlalu panjang sampai lengkap sekali, namun juga
jangan terlalu pendek, karena bila terlalu singkat akhirnya akan menjadi tidak jelas atau
bahkan bisa menyesatkan. Misalnya ”Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik untuk rumah di
Jalan Sangkuriang Nomor 5 Bandung”, cukuplah ditulis dengan ”Perjanjian Jual Beli
Tenaga Listrik”.
3.1.2. Pembukaan
Setelah judul kemudian diawali dengan ”Pembukaan” yang merupakan awal dari suatu
akta. Apabila dalam pembuatan suatu ”akta dibawah tangan” biasanya dimulai dengan
kata-kata kalimat :
a. Perjanjian Kerjasama Operasi (selanjutnya disebut “Perjanjian”) ini dibuat pada hari
ini ______ di ________ oleh dan antara :
b. Perjanjian Jual Beli Aset (“Perjanjian”) ini dibuat dan ditandatangani di ______ pada
hari ______ tanggal ______ oleh dan antara :
c. Pada hari ini, Kamis tanggal 16 Maret 2006, di Medan, yang bertanda tangan
dibawah ini :
d. Perjanian ini dibuat di Jakarta pada hari Selasa, tanggal 11 Mei tahun 2009 oleh dan
antara : __________
e. Yang bertanda tangan dibawah ini :
1. PT PLN (Persero) .....
(setelah pembukaan diatas, dilanjutkan identitas para pihak).
Pada akta notariil atau akta notaris umumnya selalu dibuka dengan kalimat :
”Pada hari ini Jumat tanggal duapuluh satu Desember tahun duaribu satu, hadir
dihadapan saya, Rudianto, Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta, dengan dihadiri oleh
saksi-saksi yang saya, Notaris, kenal dan akan disebutkan pada bagian akhir akta ini: ”
..........”
Untuk akta dibawah tangan tidak dilarang menggunakan pembukaan yang lebih kurang
sama atau mirip dengan akta notaris, karena pada akta dibawah tangan bentuknya bisa
bebas.
Komparisi merupakan bagian suatu akta yang menyebutkan nama-nama para pihak yang
membuat perjanjian, lengkap dengan penyebutan pekerjaan dan identitas serta tempat
tinggal yang bersangkutan. Identitas disini bukan dalam arti jati diri yang menyebutkan ciri-
ciri khusus seseorang, melainkan mengenai pekerjaan, tempat tinggal dan biasanya juga
mencakup kewenangan para pihak sehingga yang bersangkutan berhak melakukan
tindakan hukum sebagaimana dinyatakan dalam akta.
Yang dimaksud dengan komparisi adalah bagian dari akta yang dimuat setelah judul dan
awal akta, yang mengandung identitas para pihak atau pembuat perjanjian, termasuk
uraian yang dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan mempunyai kecakapan serta
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum sebagaimana dinyatakan dalam
akta.
a. PT XYZ, NPWP No. ___, yang didirikan dengan Akta Notaris ___, SH di Jakarta No.
___ tanggal ___ sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan Akta No. ___
tanggal ___ yang telah disahkan dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. ___
tanggal ___ dan telah diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia tanggal ___ No. ___), berkedudukan di ___, dalam perbuatan hukum ini
diwakili secara sah oleh ___, Direktur Utama PT XYZ, selanjutnya disebut “XYZ”
(atau PIHAK PERTAMA).
b. PT BIRU LANGIT, suatu badan usaha patungan dalam pendirian yang sahamnya
dimiliki oleh:
PT KERTAS KUNING sejumlah ____ %
PT DAUN HIJAU sejumlah ____ %
PT DELIMA MERAH sejumlah ____ %
c. Yang didirikan berdasarkan Akta Notaris ____, SH di ____ No. ____ tanggal ____,
yang sedang dalam proses pengesahan Menteri Kehakiman, berkedudukan di ____,
dalam perbuatan hukum ini diwakili secara sah oleh ____, Direktur Utama PT
LANGIT BIRU, selanjutnya disebut “PIHAK PERTAMA”.
3.1.4. Premise
Dalam menyusun dokumen kontrak, Premise atau recitals biasa dipergunakan sebagai
pendahuluan suatu akta atau pengantar yang menunjukkan maksud utama dari para pihak,
dan menyatakan alas an atau latar belakang mengapa suatu akta perjanjian/kontrak itu
dibuat. Premise juga disebut sebagai pernyataan yang merupakan
konsideran/pertimbangan, latar belakang mengapa sampai lahir suatu perikatan.
Penulisannya dalam akta biasanya dimulai dengan kata “Bahwa, …. “, seperti contoh :
Contoh 1 :
Selanjutnya Para Pihak saling setuju atau sepakat untuk melangsungkan jual beli ini dalam
suatu perjanjian, dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :
Contoh 2 :
a. Bahwa Pihak Pertama telah berpengalaman sejak lama dalam memproduksi dan
menjual …….;
b. Bahwa Pihak Pertama memiliki informasi teknologi yang bernilai atas produksi dan
penggunaan barang-barang tersebut;
c. Bahwa Pihak Pertama mempunyai hak melimpahkan lisensi yang menggunakan
informasi teknologi dan atau hak milik industrial sehubungan dengan lisensi
produksi;
d. Bahwa Pihak Kedua bermaksud untuk memperoleh lisensi dan hak untuk
memproduksi, menggunakan dan menjual produk berlisensi berdasarkan informasi
teknologi dan hak milik industrial yang diberikan oleh Pihak Pertama dengan
ketentuan dan persyaratan sebagai yang telah ditetapkan;
Selanjutnya atas dasar pertimbangan yang telah ditetapkan, para pihak dengan ini saling
setuju untuk membuat perjanjian ini, dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :
Hal-hal yang dicantumkan dalam premise tersebut adalah sesuai dengan bidang-bidang
yang digeluti oleh para pihak, biasanya menyangkut sebagian dari hal-hal yang disebutkan
diatas, umumnya diakhiri dengan pernyataan kesepakatan antara pihak-pihak
sebagaimana disyaratkan oleh pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam isi perjanjian ini para pihak mencantumkan segala hal atau pokok-pokok yang
dianggap perlu, yang merupakan kehendak para pihak sebagai suatu pernyataan tertulis
yang sah. Sebagai pokok perjanjian, maka diharapkan dapat mencakup dan mengandung
semua isi perjanjian yang sekaligus merupakan isi akta yang memuat secara mendetail
mengenai obyek perjanjian, hak dan kewajiban, serta uraian secara lengkap mengenai
prestasi. Hal-hal yang dituangkan dalam perjanjian akan mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya, karena berlaku sebagai Undang
undang baginya, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Mengenai isi pasal-pasal dalam perjanjian, secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) bagian yang masing-masing dapat dikelompokkan menjadi :
- Unsur Esensialia.
- Unsur Naturalia.
- Unsur Aksidentalia.
a. Unsur Esensialia
Yang dimaksud dengan Esensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal
pokok sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu
perjanjian, sehingga perjanjian tanpa hal pokok tersebut tidak sah dan tidak mengikat para
pihak yang membuat perjanjian tersebut. Syarat ini ditentukan dan diharuskan oleh
undang-undang karena bila tidak tercantum, perjanjian ini menjadi tidak sah dan tidak
mengikat.
Yang dimaksud syarat pokok atau esensialia dari suatu perjanjian adalah berbeda-beda
bergantung pada jenis perjanjiannya itu sendiri. Sebagai contoh dalam jual beli, yang
merupakan esensialia adalah barang dan harga.
Demikian pula bila esensialia dari suatu perjanjian sewa menyewa, yaitu mengenai barang
dan sewanya. Ataupun pekerjaan dan upah pada perjanjian yang berkaitan dengan tenaga
kerja.
Bagi perjanjian lainnya, disyaratkan untuk menyebutkan hal-hal pokok yang harus
dicantumkan dalam perjanjian, tanpa itu perjanjian dianggap tidak sah dan batal demi
hukum.
Hal penting pula yang berkaitan dengan ketentuan pokok tersebut adalah mengenai hak
dan kewajiban.
Pasal 1
Macam Barang dan Harga
(1) Pihak Kedua mengikatkan diri untuk menjual dan menyerahkan barangnya kepada
Pihak Pertama yang dengan ini mengikatkan diri untuk membeli dan menerima
penyerahan atas barang berupa Air Conditioner sejumlah 3 (tiga) buah dalam
keadaan baik dengan spesifikasi sebagaimana tersebut dalam Lampiran perjanjian
ini.
(2) Jual beli atas barang-barang pada ayat (1) Pasal ini termasuk pekerjaan
pemasangan instalasi berikut sistim pengamanannya di bangunan kantor milik Pihak
Pertama.
Pasal 2
Harga barang
Harga penjualan dan pembelian barang barang tersebut Pasal 1 Perjanjian ini telah
ditetapkan dan disetujui oleh kedua belah pihak sebesar Rp. …… (……….… rupiah),
belum termasuk pajak-pajak.
b. Unsur Naturalia
Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang biasanya dicantumkan dalam
perjanjian. Namun, tanpa pencantuman syarat yang dimaksud itupun, suatu perjanjian
tetap sah dan tidak mengakibatkan suatu perjanjian menjadi tidak mengikat. Lainnya
halnya dengan syarat esensialia yang bila tidak dipenuhi perjanjian menjadi cacat.
Dalam hal ini apabila syarat yang biasanya dicantumkan kemudian ternyata tidak dimuat
atau tidak diatur dalam perjanjian, peran undang-undang akan tampil untuk mengisi
kekosongan yang terjadi sesuai dengan sifat hukum perjanjian yang accesoir.
Misalnya dalam suatu perjanjian jual beli, tidak diatur mengenai siapa yang berkewajiban
membayar biaya balik nama. Bila mengenai hal tersebut tidak diperjanjikan, maka
ketentuan undang-undang berlaku, yaitu bahwa biaya-biaya akta jual beli dan biaya
tambahan lain dipikul oleh si pembeli kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya (Pasal
1466 KUHPerdata).
c. Unsur Aksidentalia
Yaitu berbagai hal khusus yang dinyakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak.
Kata accidental artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak ada, bergantung pada
keinginan para pihak, merasa perlu untuk memuat ataukah tidak.
Aksidetalia adalah suatu syarat yang tidak harus ada, tetapi dicantumkan juga oleh para
pihak untuk keperluan tertentu dengan maksud khusus sebagai suatu kepastian. Dan hal
iini dimungkinkan oleh undang-undang atas dasar asas kebebasan berkontrak, asalkan hal
tersebut tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Hal khusus tersebut biasanya tidak diatur dalam peraturan perundangan sehingga apabila
para pihak tidak mengatur dalam perjanjiannya, hal yang diinginkan tersebut juga tidak
mengikat para pihak karena tidak ada dalam undang-undang. Jadi bila tidak dimuat, berarti
tidak mengikat.
Contoh dalam perjanjian sewa menyewa, secara khusus diperjanjikan apabila dikemudian
hari perjanjian tersebut berakhir si penyewa wajib menyerahkan semua kuitansi
pembayaran yang pernah dilakukan oleh penyewa kepada yang menyewakan seperti
rekening listrik, air, PDAM, PBB dan sebagainya.
3.1.6. Penutup
Setiap perjanjian tertulis selalu ditutup dengan kata atau kalimat yang menyatakan bahwa
perjanjian itu dibuat dalam jumlah atau rangkap yang diperlukan dan bermeterai cukup,
maksudnya telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Perjanjian ini ditandatangani oleh
para pihak atau yang mewakili dan bertindak untuk dan atas nama serta saksi-saksi.
Perlu diperhatikan bahwa apabila pada saat pembukaan perjanjian belum disebutkan
“waktu” dan “tempat” perjanjian itu dibuat, dalam penutup keduanya harus disebutkan.
Contoh :
Demikianlah perjanjian ini dibuat dalam dua rangkap bermeterai cukup, satu rangkap untuk
Pihak Pertama dan satu rangkap untuk Pihak Kedua, masing-masing mempunyai kekuatan
hukum yang sama serta ditandatangani oleh para pihak pihak di Jakarta pada tanggal 2
Januari 2009 (bila ada saksi ditambahkan dengan dihadiri saksi-saksi).
(…………………….) (…..………………)
Saksi-saksi
Saksi 1 Saksi 2
(…………………….) (…..………………)
Dalam menyusun rancangan kontrak setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan
yaitu Anggaran Dasar Perusahaan, Peraturan yang terkait dengan perjanjian, kebijakan
internal perusahaan, dan buku III KUHPerdata tentang Perikatan.
Ada tiga langkah yang perlu dilakukan dalam merancang atau menyusun suatu kontrak,
yang pada pokoknya adalah :
c. Selanjutnya dengan dokumen pendukung dan referensi yang ada, maka harus dapat
ditentukan pihak-pihak yang hendak mewakili atau melakukan transaksi untuk
dicantumkan dalam identitas Para Pihak (komparisi), dan dapat memformulasikan
latar belakang diadakannya kontrak (premise) serta menuliskan hal-hal atau pokok-
pokok pikiran apa yang hendak dimasukkan dalam perjanjian/kontrak.
Persiapan :
c. Karena harus melakukan diskusi dan kadang berdebat dengan counterpart, maka
negosiator haruslah memiliki kemampuan dan kepercayaan diri yang tinggi. Tempat
pembahasan sedapat mungkin dilakukan di kantor sendiri atau paling tidak di tempat
yang netral.
Pelaksanaan :
Jangan terjebak untuk segera menyelesaikan pending matters dan jangan ambil
keputusan terhadap poin yang perlu mendapat arahan dari pihak yang diwakili.
Catat semua hal yang telah disepakati (membuat notulen rapat), selanjutnya
tuangkan hasil pembahasan dalam rancangan kontrak sesuai yang telah
disepakati.
Apabila hal-hal diatas dilakukan dengan baik maka kontrak yang dibuat oleh para pihak
akan memberikan suatu kepastian hukum dan keadilan bagi kedua belah pihak, karena
substansi kontrak telah dibahas oleh kedua belah pihak secara komprehensif.
4. PENAFSIRAN KONTRAK
Idealnya kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, klausula, kalimat dalam kontrak
seharusnya sudah dengan sendirinya dapat menjelaskan maksud dari klausula-klausula
yang ada. Apabila semuanya sudah jelas ditulis dalam kontrak, penafsiran kontrak tidak
diperlukan, atau bahkan tidak diperbolehkan, kalau ternyata penafsiran tersebut
mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat dalam klausula-klausula kontrak.
Namun demikian dalam praktek rancangan kontrak sangat beragam, ada yang panjang
terurai ada yang singkat padat, sehingga dalam ilmu hokum, kontrak disebut sebagai
“Doktrin Kejelasan Makna (plain meaning reles).yang diatur dalam Pasal 1342 BW, yang
menyatakan bahwa: Jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas, maka tidak lagi
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
Penafsiran kontrak adalah suatu metode yang menunjukan proses dalam member arti
yang sebebanrnya terhadap bahasa yang dituangkan dalan kontrak, agar dapat ditentukan
bagaimana akibat hokum dari kontrak tersebut.
Penafsiran bahasa dalam hokum kontrak tidak sebatas member arti sempit secara
semantik, penafsiran kontrak lebih luas dari penafsiran semantic, karena dipengaruhi hal-
hal sebagai berikut:
Penafsir kontrak harus mengetahui maksud para pihak, tidak sekedar yang tertuang
dalam tulisan, tetapi juga latar belakang dibuatnya kontrak. Misal yang dimaksudkan
dalam kontrak jual beli oleh para pihak adalah kontrak pembiayaan yang disebut Sale
and Lease Back.
Kebiasaan dalam praktek perdagangan (trade usage), missal 1 rem kertas secara
semantic adalah 400 lembar, maka pada saat 1 rem kertas berisi 395 lembar, maka
kondisi tersebut tidak dapat dikatakan wanprestasi, karena kebiasaan praktek jual beli,
1 rem kertas berkisar 390-410 lembar.
c. Sejarah hokum
Banyak istilah hokum yang mempunyai arti sendiri sesuai sejarah dari istilah tersebut,
sehinggi memiliki makna yang tidak sama dengan pengertian dalam bahasa sehari-
hari. Misal: apabila disebut melawan hokum (onrechtmatige daad) tidak berarti
melawan hokum terhadap segala bidang hokum, tetapi hanya bidang hokum perdata
saja.
Pada prinsipnya penafsiran kontrak diperlukan jika dalam kontrak terdapat hal-hal sebagai
berikut:
Jika dalam kontrak ditulis warna abu-abu, maka akan sulit menafsirkan warna abu-abu
tersebut, walaupun jelas bahwa abu-abu adalah bukan puti dan bukan hitam, akan tetapi
ruang jelajah warna abu-abu sangat luas. Banyak kata-kata tidak tegas dalam kontrak,
misalnya: sepantasnya, segera, wajar dll.
a. Penafsiran subyektif
Penafsiran kontrak dilakukan dengan berpegang pada maksud dan tujuan para pihak,
tanpa terlalu berpegang pada kata-kata yang ada dalam kontrak (Pasal 1343 KuH
Perdata).
b. Penafsiran obyektif
Penafsiran yang lebih menekankan pada apa yang tertulis dalam kontrak, disbanding
dengan melihat maksud dari para pihak. Doktrin “pengertian jelas” menyatakan bahwa
tidak diperlukan penafsiran, apabila dalam kontrak sudah jelas artinya (Pasal 1342
KUHPerdata)
Dalam ilmu hukum kontrak, dikenal 3 unsur yang harus dipenuhi dalam penafsiran kontrak:
a. Penafsiran kontrak harus untuk mendapatkan arti yang logis dan/masuk akal
(reasonable).
b. Penafsiran kontrak harus untuk mendapatkan arti sesuai dengan UU dan kebiasaan
yang berlaku.
c. Penafsiran kontrak haruslah untuk mendapatkan arti yang efektif dan efisien
Prinsip-prinsip penafsiran kontrak berdasarkan Pasal 1342 dan Pasal 1351 KUHPerdata :
a. Jika kata-kata sudah jelas, tidak boleh ditafsirkan menyimpang (Pasal 1342).
b. Disesuaikan dengan maksud kedua belah pihak (Pasal 1343), tidak kaku pada
bahasa dalam kontrak.
c. Dipilih pengertian yang paling mungkin dilaksakan kontrak tersebut (Pasal 1344).
d. Dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat kontrak (Pasal 1345).
f. Hal-hal yang selamanya ada dalam kontrak, harus ditafsirkan secara menyeluruh
(Pasal 1347).
g. Antara 1 klausula dengan klausula lain, harus dianggap ada dalam setiap kontrak
(Pasal 1347)
h. Ditafsirkan untuk kerugian pihak yang minta diperjanjikan hal tertentu (Pasal 1349).
i. Ditafsirkan sesuai maksud para pihak dalam membuat kontral (Pasal 1350), terhadap
kata yang sangat luas artinya.
j. Penegasan terhadap sesuatu hal dalam kontrak tidak berpengaruh terhadap hal-hal
lainnya yang ikut ditegaskan (Pasal 1351).
a. Asumsi bahwa para pihak telah menggunakan bahasa dengan cara yang sama
seperti pada umumnya orang menggunakannya.
j. Doktrin contra proferentem, penafsiran kontrak dilakukan untuk kerugian pihak yang
menyusun kontrak.
k. Doktrin expression unius est exclusion alterius, bahwa menyatakan sesuatu (syarat-
syarat tertentu misalnya) berarti tidak untuk memasukkan yang lain.
l. Doktrin ejusdem generis (dari jenis yang sama) bahwa menyatakan sesuatu (syarat-
syarat tertentu misalnya)disertai kata yang bersifat inklusif (misalnya kata dan lain-
lain), berarti yang dimaksud adalah yang sejenis.
m. Doktrin nosticitur a soclis (dikenali dari kelompoknya) sama dengan doktrin ejusdem
generis (dari jenis yang sama).
p. Suatu kontrak tertulis harus ditafsirkan secara keseluruhan, tidak bias sepotong-
potong.
Istilah-istilah teknis harus ditafsirkan sesuai penegrtiannya secara teknis dalam bidang ybs,
tidak ditafsirkan dalam pengertiannya yang umum.