You are on page 1of 67

PT PLN (PERSERO)

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

1. DASAR-DASAR PEMBUATAN PERJANJIAN

1.1. PENGERTIAN UMUM

Dalam merancang suatu kontrak atau perjanjian tertulis (Conctract Drafting) diperlukan
pengetahuan tentang kontrak. Tahap awal yang harus dipelajari adalah pengetahuan
dasar tentang hukum perjanjian atau perikatan, terutama yang berkaitan dengan
pembuatan suatu kontrak.

Persyaratan lainnya adalah pengetahuan intelektual, kemampuan untuk mengerti dan


memahami tentang apa yang seharusnya dibuat serta hal-hal lain yang erat kaitannya
dengan perjanjian itu sendiri. Selanjutnya juga adalah suatu wawasan mengenai bidang
atau topik yang dihadapi.

Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dahulu Burgerlijk Wetboek
(BW) mempergunakan judul “Tentang Perikatan”, namun tidak satu pasalpun yang
memberikan rumus tentang perikatan.

Menurut Prof. Subekti, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan
pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.

Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum,
yang berarti bahwa hak si berpiutang dijamin oleh hukum atau undang-undang.

Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang (pihak) berjanji kepada
orang (pihak) lain untuk melaksanakan sesuatu, sehingga timbul suatu hubungan yang
disebut perikatan.

Dari peristiwa tersebut, timbullah suatu hubungan antara dua orang (pihak) tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang (pihak)
yang membuatnya. Dalam bentuknya, Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk
melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu

On Becoming the Centre of Excellence 1


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

adalah sama artinya. Perkataan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada
perjanjian/persetujuan yang tertulis.

Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan disamping sumber lainnya.

1.1.1. Unsur-Unsur Dalam Perikatan

a. Adanya hubungan hukum

Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan “hak” pada satu
pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya.

Adanya satu pihak tidak memenuhi kewajibannya (tidak mengindahkan/melanggar


hubungan tersebut), maka hukum memaksakan agar kewajiban tadi dipenuhi (supaya
hubungan tersebut dipenuhi).

Misalnya : A berjanji menjual rumah kepada B, ini adalah hubungan hukum. Akibat dari
janji tersebut A wajib menyerahkan rumah miliknya kepada B dan berhak menuntut
harganya, sedangkan B wajib menyerahkan harga rumah tersebut dan berhak untuk
menuntut penyerahan rumah.

b. Biasanya mengenai jasa, kekayaan atau harta/benda

Yang dimaksud dengan kriteria perikatan itu adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan
terhadap sesuatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum itu dapat disebut suatu
perikatan.

Dalam perkembangan sejarah, apa yang dipakai sebagai kriteria itu tidak tetap, dahulu
yang menjadi kriteria ialah hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang atau tidak.
Kriteria itu semakin lama sukar untuk dipertahankan karena di dalam masyarakat terdapat
suatu hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang. Namun kalau terhadapnya
tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi, dan ini bertentangan
dengan salah satu tujuan hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh karena itu, sekarang
kriteria di atas tidak lagi dipertahankan sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun
suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau
rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukumpun
akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.

c. Antara dua orang/pihak atau lebih (subjek hukum)

Hubungan hukum dalam perikatan terjadi antara dua orang/pihak atau lebih yaitu subjek
perjanjian yang merupakan subjek hukum.

On Becoming the Centre of Excellence 2


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtsperson. Rechtsperson diartikan sebagai
pendukung hak dan kewajiban.

Subyek Hukum :
 Orang (natural person).
 Bukan orang :
- Badan bukan badan hukum (badan usaha), misalnya CV, Firma dan
sebagainya.
- Badan hukum (recht person/legal entity).

Badan bukan badan hukum (badan usaha)

Macam-macam badan usaha :

- Usaha dagang = seorang subjek hukum Pasal 1131 KUHPerdata, dengan


tanggung jawab yang tidak terbatas (unlimited liabilities).
- Persekutuan Perdata : tanggung jawab unlimited liabilities (tidak terbatas).
- Persekutuan Firma (Law Firm seharusnya persekutuan perdata bukan firma).
- Comanditaire Venootschaap (CV), dimana sekutu aktif yang menjalankan dan
sekutu pasif = modal, tanggung jawab sekutu pasif limited liabilities (terbatas)
tapi bisa menjadi tak terbatas apabil sekutu pasif bermain dalam menjalankan
CV.

Badan hukum

Badan hukum adalah suatu badan atau suatu entity yang keberadaannya atau
eksistensinya adalah karena peran dari hukum atau undang-undang.

Melalui hukum atau undang-undang, suatu badan atau bentuk usaha diberikan status
badan hukum dengan memenuhi persyaratan tertentu yang diatur oleh undang-
undang, yaitu :

- Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).


- Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
- Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi.
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.

 Perseroan Terbatas (PT)

Pendirian PT dilakukan dengan suatu akta notaris dan status badan hukum terjadi
setelah akta pendirian PT tersebut memperoleh pengesahan dari Menteri (dalam hal
ini Menteri Hukum dan Ham), dan wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia. PT yang anggaran dasarnya belum disahkan, belum
memperoleh status Badan Hukum.

On Becoming the Centre of Excellence 3


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Salah satu organ dalam PT yaitu pengurus terdiri dari Direktur atau Direksi (beberapa
direktur) berhak dan berwenang mewakili PT baik di luar maupun di dalam
Pengadilan.

 Yayasan

Pendirian Yayasan sama dengan pendirian PT, dilakukan dengan suatu akta notaris
dan status badan hukum terjadi setelah akta pendirian Yayasan tersebut memperoleh
pengesahan dari Menteri (dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM), dan wajib
diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk


kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam
maupun di luar Pengadilan. Namun pengurus Yayasan tidak berwenang :

- mengikat Yayasan sebagai penjamin utang.


- mengalihkan kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan Pembina.
- membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.

Kewenangan Pengurus dalam melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama
Yayasan dapat dibatasi dengan Anggaran Dasar.

 Koperasi

Dalam UU Koperasi, pengurus adalah badan yang dibentuk oleh rapat anggota dan
disertai dan diserahi mandat untuk melaksanakan kepemimpinan koperasi, baik di
bidang organisasi maupun usaha. Anggota pengurus dipilih dari dan oleh anggota
koperasi dalam rapat anggota. Dalam menjalankan tugasnya, pengurus bertanggung
jawab terhadap rapat anggota. Atas persetujuan rapat anggota pengurus dapat
mengangkat manajer untuk mengelola koperasi. Namun pengurus tetap bertanggung
jawab pada rapat anggota.

d. Memberikan hak kepada kreditur dan meletakkan kewajiban kepada debitur

Yang menjadi subjek hukum dalam hukum perjanjian/hukum kontrak atau disebut subjek
perjanjian adalah kreditur dan debitur :

 Kreditur adalah pihak yang berhak atas sesuatu dari pihak lain (debitur).
 Debitur berkewajiban memenuhi sesuatu kepada kreditur.

e. Adanya prestasi (objek hukum)

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur, menurut Pasal 1234
KUHPer prestasi dibedakan atas :

 Untuk memberikan sesuatu.

On Becoming the Centre of Excellence 4


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

 Untuk melakukan sesuatu.


 Untuk tidak melakukan sesuatu.

Ke dalam perikatan untuk menyerahkan/memberikan sesuatu termasuk pemberian


sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai (menyewa), penyerahan hak milik atas
benda tetap dan bergerak.

Perikatan untuk melakukan sesuatu misalnya membangun rumah.

Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika
menjual apoteknya, untuk tidak menjalankan usaha apotek dalam daerah yang sama.

1.2. SUMBER PERIKATAN

Menurut Pasal 1233 KUHPerdata sumber perikatan ada 2 yaitu :

a. Perjanjian
b. Undang-undang

Menurut Pasal 1352 KUHPerdata, perikatan yang dilahirkan dari undang-undang bisa
timbul dari :

a. Undang-undang saja.
b. Undang-undang akibat dari perbuatan orang :
 Perbuatan yang dibolehkan.
 Perbuatan yang melanggar hukum atau undang-undang yang disebut
“onrechtmatigedaad”.

Perbedaan perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-
undang adalah :

a. Perikatan yang lahir dari perjanjian :


Menimbulkan hubungan hukum yang memberikan hak dan meletakkan kewajiban
kepada para pihak berdasarkan kemauan/kehendak sendiri sendiri dari para pihak.

b. Perikatan yang lahir dari undang-undang :


Terjadi karena adanya peristiwa tertentu sehingga menimbulkan hubungan hukum
yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang bukan merupakan
kehendak para pihak, melainkan telah ditentukan oleh undang-undang.

Contoh perikatan yang bersumber dari UU :

 Perikatan yang lahir dari undang-undang saja :

On Becoming the Centre of Excellence 5


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Dengan kelahiran anak dalam suatu perkawinan, lahirlah perikatan antara


orang tua dengan anak yang sebelumnya telah ditentukan oleh undang-undang,
yaitu :

- Kewajiban orang tua untuk memelihara anak mereka yang belum dewasa.
- Kewajiban anak memelihara orang tuanya dalam garis keatas apabila
mereka miskin.

 Perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia atau orang
yang dibolehkan :

“Zaak waarneming, yaitu secara sukarela mengurus kepentingan orang lain,


dan sebagai akibatnya undang-undang memberikan akibat hukum berupa hak
dan meletakkan kewajiban kepada orang tersebut”.

 Perikatan yang lahir dari undang-undang akibat perbuatan orang yang melawan
hukum :

“Onrechtmatigedaad, bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa


kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya
mengganti kerugian tersebut” (Pasal 1365 KUHPerdata).

1.3. AZAS-AZAS HUKUM PERJANJIAN

Dalam membuat suatu perjanjian terdapat beberapa azas penting yang seyogyanya
diperhatikan, beberapa azas yang dimaksudkan misalnya :

a. Azas Kebebasan Berkontrak


b. Azas Konsensual
c. Azas Tidak Boleh Main Hakim Sendiri
d. Azas Kepercayaan
e. Azas Kekuatan Mengikat
f. Azas Persamaan Hukum
g. Azas Keseimbangan
h. Azas Kepastian Hukum
i. Azas Moral
j. Azas Kepatutan
k. Azas Kepribadian
l. Azas Perlindungan
m. Azas Itikad Baik

Dari bermacam-macam azas tersebut diatas, beberapa azas yang penting dan perlu
diperhatikan antara lain adalah :

On Becoming the Centre of Excellence 6


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

1.3.1. Azas Kebebasan Berkontrak

Buku III KUHPerdata tentang perikatan menganut sistim terbuka dan bebas, maksudnya
adalah setiap orang dapat membuat perjanjian sesuai dengan maksud dan keinginannya,
berbeda halnya dengan perikatan yang timbul dari undang-undang dimana para pihak
harus tunduk pada peraturan yang telah ditentukan oleh undang-undang atau ketentuan
berdasarkan pasal-pasal dalam KUH Perdata.

Sistim terbuka tersebut memberikan kebebasan sedemikian rupa sehingga setiap orang
berhak dan bebas membuat perjanjian apa saja sesuai kehendak para pihak yang
bersangkutan, dengan ketentuan perjanjian itu tidak boleh melanggar ketertiban umum dan
kesusilaan, bahkan dimungkinkan untuk membuat kesepakatan untuk mengatur hal-hal
yang menyimpang dari ketentuan yang telah diatur dalam pasal-pasal hukum perjanjian.

Dengan demikian terlihat bahwa hukum perjanjian bisa disebut sebagai hukum pelengkap,
maksudnya adalah bahwa pasal-pasal dalam hukum perjanjian baru berperan bilamana
para pihak tidak mengatur sendiri dalam perjanjian yang dibuatnya. Disebut sebagai
pelengkap karena para pihak juga dapat mengesampingkan berlakunya pasal-pasal yang
ada dalam Hukum Perjanjian atau bisa juga menyimpang dari ketentuan yang ada, dengan
ketentuan sepanjang pengesampingan atau penyampingan tersebut tidak bertentangan
dengan atau melangggar ketertiban umum dan kesusilaan.

Misalnya dalam suatu jual beli, jenis barang, sering orang tidak memikirkan atau
memperjanjikan bagaimana apabila barang yang dibelinya itu musnah atau terbakar
sebelum diserahkan kepada pembeli, apabila terjadi kerusakan atau hilang selama
pengiriman atau mengenai bagaimana ongkos pengangkutannya. Dalam hal yang
demikian, maka hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian oleh para pihak, berlakulah
ketentuan undang-undang.

Dengan demikian maka hukum perjanjian akan berfungsi sebagai hukum pelengkap yang
melengkapi kekurangan yang terdapat dalam perjanjian, dan untuk hal tersebut para pihak
tunduk pada ketentuan undang-undang yang berlaku. Dalam pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, menerangkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Karena dkatakan semua
perjanjian maka perjanjian apapun berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Jadi
terdapat kebebasan dalam menetapkan isi perjanjian, sehingga asas kebebasan
berkontrak ini merupakan asas yang demikian penting dalam hukum perjanjian.

Azas Kebebasan Berkontrak :

a. Para pihak dapat memperjanjikan apa saja dalam suatu perjanjian asalkan tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

On Becoming the Centre of Excellence 7


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

b. Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya (Pasal 1338 (1) KUHPerdata).

Catatan :

 Kepatutan biasanya dikaitkan/dihubungkan pada rasa keadilan dalam masyarakat,


sedangkan kebiasaan pada umumnya menyesuaikan dengan kebiasan yang berlaku
ditempat tersebut atau pada golongan tertentu.

 Pada umumnya pembuatan perjanjian sering kurang mengindahkan tentang


kepatutan ataupun kebiasaan karena ukurannya tidak pasti atau variatif, sehingga
yang menjadi pedoman adalah adalah undang-undang.

1.3.2. Asas Konsualisme

Asas lain yang berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak adalah azas konsensual
yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan bahwa sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

a. Sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri.


b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal (legal).

Pasal ini mensyaratkan adanya kesepakatan antara para pihak atau terdapat “consensus”.
Tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus tertulis atau tidak,
dan bahkan suatu perjanjian bisa tercapai secara verbal, hanya dengan lisan saja.

Asas konsensual menganut paham dasar bahwa suatu perjanjian itu sudah lahir sejak saat
tercapainya kata sepakat. Pada saat terjadinya kesepakatan maka sejak itulah perjanjian
telah lahir.

Menurut ketentuan pasal 1458 KUH Perdata disebutkan bahwa jual beli dianggap telah
terjadi seketika setelah tercapainya kata sepakat tentang benda dan harganya, meskipun
barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Jadi menurut asas konsensual,
perjanjian itu sudah ada dan mengikat apabila sudah dicapai kesepakatan mengenai hal-
hal pokok dalam perjanjian atau juga disebut “esensialia” perjanjian, tanpa diperlukan
adanya suatu formalitas, kecuali yang ditetapkan lain oleh undang-undang misalnya suatu
Perjanjian Perdamaian (Pasal 1851 KUHPerdata), Perjanjian Pemborongan (Pasal 1610
KUHPerdata) dan Perjanjian Utang Piutang dengan Bunga (Pasal 1767 KUHPerdata) yang
harus dibuat secara tertulis. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas konsensual.

On Becoming the Centre of Excellence 8


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Azas Konsensualisme :

a. Perjanjian lahir sejak terjadi konsensus atau kesepakatan.


b. Untuk sahnya perjanjian dipersyaratkan antara lain kesepakatan.
c. Jual beli dianggap telah terjadi setelah tercapai kata sepakat tentang “wanprestasi”
harus dapat dipaksa untuk melakukan kewajibannya. dan harganya, meskipun
barang belum diserahkan dan harga belum dibayar (Pasal 1458 KUHPedata)

1.3.3. Asas Tidak Boleh Main Hakim Sendiri

Azas ini perlu menjadi perhatian para pembuat perjanjian, karena bilamana suatu
perjanjian yang telah dibuat berdasarkan kesepakatan bersama oleh para pihak, ternyata
kemudian tidak bisa dipenuhi oleh salah satu pihak yang seharusnya melaksanakan
sebagaimana yang diperjanjikan, dengan sendirinya telah terjadi suatu “pelanggaran
terhadap hal-hal yang telah disepakati” atau yang sering disebut wanprestasi. Oleh karena
itu pihak yang melakukan “wanprestasi” harus dapat dipaksa untuk memenuhi
kewajibannya.

Meskipun hukum menjamin hak seseorang sebagai pihak yang beritikad baik, memperoleh
perlindungan atas hak-haknya yang dilanggar, dengan adanya asas tidak boleh main
hakim sendiri“, maka pihak yang dirugikan dapat menegakkan haknya menurut prosedur
dan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan kata lain pihak yang merasa dirugikan dapat
melakukan executie yang disebut reel executie, dalam arti bahwa kreditur dapat
mewujudkan sendiri prestasi yang telah dijanjikan, atas biaya debitur. Namun hal tersebut
harus dengan kuasa atau izin hakim. Bahkan seandainyapun perselisihan atas perjanjian
itu berakhir dengan sengketa hukum di Pengadilan, dan telah keluar putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap, maka pelaksanaan dari putusan hakim itupun harus terlebih
dahulu dimintakan bantuan kepada Ketua Pengadilan.

Azas tidak boleh main hakim sendiri :

 Pihak yang merasa dirugikan oleh pihak yang lain dapat menegakkan (menuntut)
haknya melalui prosedur hukum yang berlaku, tidak dapat dengan caranya sendiri
memaksa pihak yang lain tersebut melaksanakan yang diperjanjikan.

 Meskipun sudah ada putusan pengadilan, untuk eksekusinya tetap dimintakan


pengadilan, tidak bisa dilakukan sendiri oleh salah satu pihak.

1.3.4. Azas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, didasarkan pada


kepercayaan para pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi isi perjanjian atau akan
memenuhi prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya kepercayaan tidak mungkin akan

On Becoming the Centre of Excellence 9


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

lahir perjanjian. Dengan kepercayaan ini kedua belah pihak mengikatkan dirinya dan untuk
keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

1.3.5. Azas Kekuatan Mengikat

Bahwa terikatnya Para Pihak tidak smata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan,
tetapi juga terhadap beberapa unsur lain yg dikehendaki oleh kebiasaan, kepatuhan, dan
moral. Azas kekuatan mengikat ini dapat diketahui dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerd
yang menyatakan : bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

1.3.6. Azas Persamaan Hukum

Azas ini memandang bahwa Para pihak dalam Perjanjian memiliki kedudukan, hak dan
kewajiban yang sama dalam hokum. Perjanjian tidak melihat perbedaan warna kulit,
agama dan ras. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan derajat dan saling
menghormati satu sama lainnya. Azas ini dimaksudkan agar perjanjian/ikatan para pihak
tersebut dapat memberikan keuntungan yang adil bagi pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut.

1.3.7. Azas Keseimbangan

Azas ini memandang adanya keseimbangan dalam suatu perjanjian. Azas ini menghendaki
kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan Perjanjian dengan itikad baik. Dalam hal
ini misalnya Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi, disisi lain debitur
memikul kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik, sehingga dapat
dikatakan bahwa kedudukan kedua pihak seimbang.

1.3.8. Azas Kepastian Hukum

Azas hukum ini memandang bahwa suatu perjanjian memiliki kepastian hukum. Pihak
ketiga termasuk Hakim harus menghormati substansi kontrak yang diadakan para pihak
dan Siapapun tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak. Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian,
sebagai undang-undang bagi pembuatnya (Ps 1338:1)

1.3.9. Azas Moral

Azas Moral  terlihat dimana seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan
sukarela, secara moral dia mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan
menyelesaikan perbuatannya.

On Becoming the Centre of Excellence 10


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

1.3.10. Azas Kepatutan

Azas Kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian dan sangat terkait
dengan rasa keadilan (Ps 1339). Itikad baik dan kepatutan kebanyakan disebutkan secara
sejiwa.

Hoge Raad dalam putusannya tanggal 11 Januari 1924 telah sependapat bahwa apabila
hakim telah menguji dengan kepatutan, suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka
Perjanjian tersebut bertentangan dengan ketertiban dan tata susila.

1.3.11. Azas Kepribadian

Azas ini memandang bahwa setiap pihak yang melakukan perjanjian didasarkan pada
kepentingan sendiri. Pasal 1315 KUHPerd. berbunyi : “pada umumnya seseorang tidak
dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri dan ditegaskan
dalam Pasal 1340 : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.

Berdasarkan azas ini, perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya, kecuali
dalam hal sebagaimana diatur dalam pasal 1317, yang berbunyi :

“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga bila suatu perjanjian
yg dibuat untuk kepentingan diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain
mengandung syarat seperti itu”.

1.3.12. Azas Perlindungan

Azas ini memandang bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian harus dilindungi
hukum. Misalnya perjanjian antara kreditur dan debitur, disini antara debitur dan kreditur
harus dilindungi oleh hukum, khsusnya terhadap debitur karena pada umumnya berada
pada pihak yang lemah.

1.3.13. Azas Itikad Baik

Azas ini memandang bahwa pelaksanaan substansi perjanjian antara kedua belah pihak
didasarkan pada kepercayaan dan itikad baik para pihak yang mengadakan perjanjian.

Azas itikad baik ini termaktub dalam pasal 1338 KUHPerd. ayat (3), yang berbunyi :

“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

On Becoming the Centre of Excellence 11


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

1.4. SYARAT SAH PERJANJIAN

Kapan perjanjian mengikat secara sah :


a. Sejak terjadi perjanjian.
b. Perjanjian mengikat bila dibuat secara sah menurut ketentuan perundangan yang
berlaku.
c. Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata.

4 (empat) syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata :


a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
b. Cakap membuat perikatan.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.

1.4.1. Kesepakatan (sepakat mereka yang mengikatkan diri)

Dengan sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang
diadakan. Apa yang dikendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain,
mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik (si penjual mengingini
sejumlah uang, sedangkan si pembeli mengingini sesuatu barang dari si penjual).

Pasal 1321 KUHPerdata mengatakan :

“Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

a. Kekhilafan dibagi 2 :

 Error in persona : kekhilafan mengenai orangnya, misalnya perjanjian yang


dibuat oleh seseorang dengan seorang advokat terkenal, ternyata kemudian
dibuatnya dengan advokat tidak terkenal, tetapi namanya sama.

 Error in substantia : kekhilafan mengenai hakikat barangnya, maksudnya


kesesatan itu adalah mengenai sifat benda, yang merupakan alasan yang
sesungguhnya bagi para pihak untuk mengadakan perjanjian. Misalnya
seseorang yang beranggapan bahwa ia membeli lukisan Basuki Abdullah,
kemudian mengetaui bahwa lukisan yang dibelinya itu adalah sebuah tiruan.

b. Paksaan :
Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman (akan
membuka rahasia) yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia

On Becoming the Centre of Excellence 12


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

membuat perjanjian. Disini paksaan itu harus benar-benar menimbulkan suatu


ketakutan bagi yang menerima paksaan.

c. Penipuan :
Pasal 1328 KUHPerdata : penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan
persetujuan, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah
sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat
perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak
dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”.

1.4.2. Kecakapan

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan


hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum.
Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan
dalam undang-undang.

Kriteria tidak cakap menurut hukum :


a. Orang yang belum dewasa.
b. Mereka yang ada dibawah pengampuan (pengawasan).
c. Orang perempuan dan atau orang yang ditetapkan undang-undang.

Catatan :

 Dewasa sudah 21 tahun atau sudah menikah.

 Dibawah pengampuan misalnya idiot, boros atau tidak dapat menyadari


tanggungjawabnya.

 Sebelum tahun 1963 wanita yang menikah dianggap belum dewasa, tetapi setelah
1963 wanita justru dipersamakan dengan laki-laki sehingga untuk menghadap
beracara di pengadilan atau melakukan perbuatan hukum lainnya dapat dilakukan
sendiri (Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 tanggal 4 Agustus
1963).

Dalam hal subjek hukum adalah badan hukum, maka yang berwenang mewakili badan
hukum tersebut dalam melakukan perbuatan hukum dalam hal ini yang menandatangani
kontrak adalah pengurus atau direktur/direksi (para direktur) dari badan hukum tersebut.

On Becoming the Centre of Excellence 13


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

1.4.3. Suatu Hal Tertentu

Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa


objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada. Selanjutnya
dikatakan bahwa barang itu harus suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya.

Bagaimana apabila barang yang dijadikan objek perjanjian itu jumlahnya belum tentu,
misalnya hasil panen padi suatu sawah di musim panen pada tahun mendatang. Menurut
undang-undang hal ini tidak menjadi halangan, asalkan jumlah barang itu kemudian
ditentukan atau dihitung. Bahkan hasil panen inipun merupakan barang yang baru akan
ada dikemudian hari, namun dapat dijadikan objek perjanjian dan ini adalah sah. Tentu
saja dalam hal ini, sawah yang dimaksud, sekurang-kurangnya sudah ditentukan letak dan
luasnya saat panennya tiba.

Jadi, suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah paling sedikit ditentukan jenisnya, atau
asalkan kemudian jumlahnya dapat ditentukan atau dapat dihitung. Sebab apabila suatu
objek perjanjian tidak tertentu, yaitu tidak jelas jenisnya dan tidak tentu jumlahnya,
perjanjian yang demikian adalah tidak sah.

Disamping suatu hal tertentu, undang-undang juga menyinggung mengenai sesuatu yang
tidak mungkin untuk dijadikan objek perjanjian atau prestasi. Yang dijadikan objek
perjanjian harus sesuatu yang benar-benar mungkin dan dapat dilaksanakan. Apabila
prestasinya merupakan sesuatu yang secara objektif atau mutlak tidak mungkin dapat
dilaksanakan, maka perjanjian itu tidak mempunyai kekuatan mengikat karena tidak ada
kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin dia kerjakan,
misalnya :

Dalam hal jual beli barang yang berada di Kupang, dimana barang tersebut harus
diserahkan langsung oleh penjual (pemilik) kepada pembeli yang berada di Surabaya
dalam waktu 24 jam sejak perjanjian disepakati, sedangkan penerbangan dari Kupang
ke Surabaya hanya ada 2 kali dalam seminggu yaitu hari Senin dan Kamis, sedangkan
perjanjian disepakati hari Selasa sehingga batas paling lambat penyerahan barang
adalah hari Rabu, sehingga pelaksanaan prestasi tidak mungkin akan terpenuhi.

Atau :

A berjanji kepada B apabila nanti matahari terbit dari barat, A akan menghadiahkan
mobil mewah kepada B.

On Becoming the Centre of Excellence 14


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

1.4.4. Suatu Sebab Yang Halal

Dari persyaratan tersebut dikatakan bahwa isi suatu perjanjian harus memuat suatu kausa
yang diperbolehkan atau legal. Yang dijadikan objek atau isi dan tujuan prestasi yang
tertuang dalam perjanjian harus merupakan kausa yang legal sehingga perjanjian tersebut
menjadi perjanjian yang valid atau sah dan mengikat. Kausa yang diperbolehkan disini
dimaksudkan selain yang dibolehkan berdasarkan undang-undang, juga tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan.

Apabila syarat sahnya perjanjian yang lain telah terpenuhi, kesepakatan telah tercapai,
para pihak cakap bertindak dan objek telah ditentukan, tetapi bagaimana apabila perjanjian
itu berkenaan dengan suatu sebab yang tidak dibolehkan?

Dengan sendirinya perjanjian yang demikian menjadi tidak legal atau ilegal (tidak sah) dan
tidak mempunyai akibat hukum. Artinya perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan karena
tidak dilindungi oleh hukum. Karena tidak dilindungi, perjanjian tidak mempunyai kekuatan
hukum sehingga tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya dan akibatnya. Pihak yang tidak
mematuhi perjanjian atau yang melakukan wanprestasi, tidak dapat dikenakan sanksi
hukum.

Selain yang bertentangan atau melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, berbagai hal
yang dapat menggagalkan terpenuhinya syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yang
paling jelas adalah apabila para pihak dalam perjanjian saling setuju untuk melangsungkan
beberapa tindakan yang illegal atau tidak sah menurut hukum, tindakan tersebut bisa
berupa kejahatan (misalnya seorang pemilik toko membayar penjahat untuk merusak toko
pesaingnya) atau hanya perbuatan melawan hukum (misalnya seorang reporter surat
kabar setuju untuk mencemarkan nama baik beberapa politikus dengan memperoleh
imbalan tertentu). Perjanjian tersebut batal demi hukum dan apabila terjadi wanprestasi
tidak dapat dikenakan sanksi hukum.

1.4.5. Batal dan Pembatalan Perjanjian

Syarat sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri dan cakap membuat perikatan
merupakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian, jika
syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Dalam hal ini salah satu
pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat
meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama
tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan
tersebut.

On Becoming the Centre of Excellence 15


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Dengan demikian, nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan bergantung pada
kesediaan suatu pihak yang menaatinya. Perjanjian yang demikian selalu terancam
dengan bahaya pembatalan.

Syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif, karena
mengenai objek dari perjanjian, yang jika tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal
demi hukum, artinya tidak ada tuntutan karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim karena
jabatannya dapat menyatakan bahwa perjanjian tidak ada (Pasal 1265 KUHPerdata).

Jangka waktu berlakunya hak untuk meminta pembatalan suatu perjanjian adalah 5 tahun
(Pasal 1454 KUHPerdata), waktu tersebut mulai berlaku sejak :

a. Dalam hal kebelumdewasaan, sejak hari kedewasaan.


b. Dalam halnya pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan.
c. Dalam halnya paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti.
d. Dalam halnya kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau
penipuan itu.

Waktu yang disebutkan diatas ini, yang ditetapkan untuk memajukan tuntutan, tidaklah
berlaku terhadap kebatalan yang dimajukan selaku pembelaan atau tangkisan yang mana
selalu dapat dikemukakan.

1.4.6. Persyaratan Formal

Dari keempat syarat sah perjanjian dalam pasal 1320 KUHPerdata tidak ada menyinggung
tentang formalitas perjanjian ataupun bentuk perjanjian, boleh tertulis atau lisan, harus
memakai kalimat dengan bahasa hukum baku ataukah harus dengan akta otentik atau
cukup dibawah tangan saja.

Memang mengenai persyaratan formal seperti itu tidak ada, tetapi ada ketentuan bahwa
suatu transaksi tertentu harus dibuat secara tertulis, atau ada juga yang harus dibuat
dengan akta otentik atau oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, seperti misalnya pengalihan
hak milik atas tanah selain harus memenuhi syarat pasal 1320 KUHPerdata juga harus
memenuhi syarat formal berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) berikut peraturan pelaksanaannya, yaitu dibuat
secara tertulis oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Sehubungan dengan adanya ketentuan dan keharusan bahwa suatu perjanjan tertentu
yaitu perjanjian formil harus memenuhi syarat formal, maka hal itu dianggap pengecualian
dari syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata.
Dengan demikian suatu perjanjian formil yang tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan
undang-undang, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.

On Becoming the Centre of Excellence 16


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Apakah Perjanjian harus bersifat Komersial/Bisnis ?

a. Perjanjian tidak harus bersifat komersial, misalnya perjanjian nikah, hibah.


b. Perjanjian yang bersifat komersial sering disebut sebagai kontrak bisnis.
c. Secara umum pengertian kontrak sama dengan perjanjian. Dalam teori hukum
kontrak sering disebut sebagai perjanjian dalam bentuk tertulis.
d. Karakteristik dari kontrak bisnis adalah:
 Ada sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.
 Jumlahnya harus substansial.
e. Disebut kontrak bisnis internasional karena ada unsur atau elemen asingnya (apa
kewarganegaraan, tempat dilaksanakan prestasi, dan lain-lain).
f. Disebut kontrak bisnis yang berdimensi publik karena salah satu pihak adalah
pemerintah.

Perjanjian tidak selalu harus tertulis, dapat secara lisan

Kontrak adalah perjanjian yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai suatu alat bukti bagi
para pihak. Pembuktian pada umumnya adalah apabila seseorang mendalilkan bahwa ia
mempunyai sesuatu hak atau guna menguatkan haknya sendiri, demikian juga membantah
suatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut.

Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik dan tulisan-tulisan


dibawah tangan. Untuk itu kontrak dibuat dengan pembubuhan tanda tangan sebagai
tanda persetujuan dan kesepakatan atas apa yang terurai pada kontrak dimaksud. Dengan
demikian kontrak berupa perjanjian tertulis dengan pembubuhan tandatangan tersebut
merupakan suatu akta.

Akta merupakan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh seseorang atau oleh pihak-
pihak dengan maksud dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum.

Subyek Hukum dalam perjanjian adalah sekaligus sebagai pembuat akta, sebagai berikut :

a. Subyek Orang Perorangan, yaitu orang dalam arti sesungguhnya.

Orang sebagai Subyek Hukum :


 Bertindak untuk dirinya sendiri.
 Bertindak selaku kuasa.
 Bertindak sebagai wali anak dibawah umur.
 Bertindak selaku Pengampu (dari orang yang tidak mampu bertindak sendiri).
 Bertindak mewakili perseroannya (Ditrektur PT).
 Bertindak mewakili Negara RI (Menteri).

On Becoming the Centre of Excellence 17


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

 Bertindak dengan memerlukan persetujuan/bantuan khusus (suami/isteri


hendak menjual harta bersama, Direktur hendak melepaskan/menjaminkan
asset perseroannya).

b. Badan Usaha :
 CV.
 Firma.

c. Badan Hukum.
 Perseroan Terbatas (PT).
 Koperasi.
 Dana Pensiun.
 Yayasan.

Akta yang dibuat dua (lebih) orang/pihak misalnya Akta Jual Beli, perjanjian sewa
menyewa, perjanjian pinjam meminjam, perjanjian pinjam pakai, perjanjian tukar menukar,
sedangkan akta yang dibuat sepihak, misalnya surat kuasa, surat pernyataan, surat
persetujuan, surat penunjukan, surat pengakuan, dan lain-lain.

Ada 2 macam akta :

a. Akta otentik : akta yang bentuknya ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat
(Pasal 1868 KUHPerdata).

Akta yang harus otentik, antara lain :


 Akta Hibah (Pasal 1682 KUHPerdata, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 1963).
 Akta Pendirian Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas).
 Akta Pendirian Yayasan (UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan).
 Akta Perkawinan (Pasal 100 KUHPerdata).
 Akta Hak Tanggungan (UU Nomor 4 Tahun 1996).
 Akta Kelahiran.
 Akta Tanah (Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961).
 Akta Pengakuan Anak (Pasal 281 KUHPerdata).
 dan lain-lain.

b. Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantaraan
seorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak
yang mengadakan perjanjian, contoh : perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,
dan lain-lain.

On Becoming the Centre of Excellence 18


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Jika para pihak mengakui tanda tangan dan kebenaran isi perjanjian tersebut maka
kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik, jika ada penyangkalan terhadap akta
dibawah tangan tersebut, maka pihak yang mengajukan akta itu untuk membuktikan
kebenaran.

Terhadap akta dibawah tangan dapat dilakukan legalisasi atau waarmerking :

a. Waarmerking adalah dokumen/surat yang telah dibuat di bawah tangan dan


ditandatangani oleh pihak-pihak bersangkutan kemudian di daftar dalam buku khusus
yang dibuat oleh Notaris atau Pegawai/Pejabat Umum.

b. Legalisasi adalah dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan kemudian


ditandatangani di hadapan notaris setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau
dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan, sehingga kekuatan pembuktiannya sama
dengan akta otentik sedangkan aktanya tetap akta dibawah tangan.

c. Pejabat yang berwenang melakukan legalisasi/waarmerking akta dibawah tangan,


antara lain Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Walikota, Bupati, Camat.

Perbedaan akta otentik dan akta dibawah tangan :

a. Akta Otentik :
 Bentuk sesuai yang ditentukan undang-undang.
 Dibuat oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang.
 Mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (mengenai waktu, tanggal
pembuatan, isi perjanjian, penandatanganan, tempat pembuatan dan dasar
hukumnya).
 Jika kebenarannya disangkal si penyangkal harus membuktikan
ketidakbenarannya.

b. Akta Dibawah Tangan :


 Bentuk bebas, tidak terikat undang-undang.
 Dibuat oleh setiap subyek hukum.
 Jika penandatanganan tidak disangkal, kekuatan pembuktiannya sempurna
sama dengan akta otentik.
 Jika kebenarannya disangkal, pihak yang mengajukan sebagai bukti harus
membuktikan kebenarannya.

Contoh akta dibawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris :

Nomor : ….. /Lgl/2006


Saya yang bertanda tangan dibawah ini, tuan Ardjuna, Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta,
dengan ini menyatakan bahwa saya telah membacakan dan menjelaskan isi surat ini
kepada : ---------------------------------------------------------------

On Becoming the Centre of Excellence 19


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Tuan Barata dan Tuan Abiyasa kedua-duanya swasta dan bertempat tinggal di Jakarta. ----
------------------------------------
Yang keduanya dikenal oleh saya, Notaris dan sesudahnya akta ini ditandatangani oleh
mereka dihadapan saya berturut-turut oleh Tuan Barata dan Tuan Abiyasa. ----------
Jakarta, tanggal tigapuluh Januari
tahun duaribu enam (30-01-2006),
NOTARIS DI JAKARTA,
stempel & tanda tangan,
ARJUNA, SH

1.4.7. Bea Meterai

Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai berikut


perubahannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai,
terhadap dokumen dibawah ini dikenakan bea meterai, yaitu :

a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
dipergunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuataan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata.

b. Akta-akta notaris termasuk salinannya.

c. Akta PPAT termasuk rangkap-rangkapnya.

d. Surat yang memuat jumlah uang :


 Yang menyebutkan penerimaan uang.
 Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di
bank.
 Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank.
 Yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah
dilunasi atau diperhitungkan.

e. Surat berharga (wesel, promes dan aksep).

f. Dokumen yang akan digunakan sebagai pembuktian di muka pengadilan, yaitu :


 Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
 Surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya,
jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari
maksud semula.

Adapun terhadap dokumen kontrak masuk dalam kategori point 1 tersebut diatas, dimana
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tersebut dikenakan tarif sebesar
Rp.6.000,-

On Becoming the Centre of Excellence 20


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Bagaimana bila suat dokumen kontrak tidak dikenakan bea meterai ?

a. Yang jelas, bea meterai bukanlah salah satu syarat sahnya suatu kontrak sehingga
ketiadaan meterai pada suatu kontrak tidak berpengaruh atas keabsahan kontrak
yang dibuat secara sah oleh para pihak.

b. Hanya saja Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 disyaratkan adanya sanksi


administratif terhadap pelanggaran atas kewajiban pengenai bea meterai tersebut.
Adapun sanksi administratift tersebut adalah berupa denda sebesar 200% (dua ratus
persen) dari bea meteri yang terhutang, yang dilakukan dengan cara permeteraian
kemudian di Kantor Pos Indonesia.

c. Disamping itu, apabila suatu kontrak tidak dikenakan bea meterai, maka dokumen
kontrak tersebut tidak dapat diterima sebagai alat bukti (di pengadilan) apabila para
pihak berperkara mengenai perikatan yang telah dibuatnya tersebut (namun kontrak
tetap sah).

d. Dokumen-dokumen yang semula tidak bermeteraipun apabila akan dijadikan alat


bukti harus terlebih dahulu dibebankan bea meterai.

1.5. RESIKO, KEADAAN MEMAKSA DAN WANPRESTASI

1.5.1. Resiko

Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi peristiwa di luar kesalahan
salah satu pihak terhadap objek Perjanjian.

Tuntutan yang dapat diajukan kreditur :


a. Pemenuhan perjanjian.
b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi.
c. Ganti rugi saja.
d. Pembatalan Perjanjian.
e. Pembatalan disertai ganti rugi.

Untuk barang yang didapat berdasarkan jual beli (Pasal 1475 KUHPerdata jo. Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963) : “selama belum ada penyerahan dari
penjual ke pembeli, resiko masih ada pada penjual”.

Untuk tukar-menukar (Pasal 1545 KUHPerdata), apabila barang tertentu yang telah
diperjanjikan untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka resiko berada di
tangan masing-masing pemilik.

On Becoming the Centre of Excellence 21


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Untuk sewa menyewa (Pasal 1553 KUHPerdata), jika barang yang disewa musnah karena
kejadian tidak sengaja, perjanjian gugur demi hukum dan tidak ada dasar untuk melakukan
tuntutan.

Gugur demi hukum maksudnya bahwa sejak awal perjanjian sewa menyewa itu dianggap
tidak pernah ada atau tidak pernah lahir suatu perikatan. Oleh karena itu masing-masing
pihak dengan sendirnya tidak dapat menuntut apapun dari pihak lainnya karena memang
tidak pernah ada perikatan diantara mereka sehingga tidak ada dasar untuk melakukan
tuntutan. Tidak mempunyai akibat hukum apapun, tidak mengikat siapapun sehingga tidak
dapat menimbulkan hak dan kewajiban (null and void).

1.5.2. Keadaan Memaksa

Keadaan memaksa (overmacht atau force majeure) berkaitan erat dengan resiko yang
baru saja kita bicarakan. Dengan terjadinya suatu keadaan memaksa, resiko tidak dapat
ditimpakan kepada pihak yang mengalaminya. Apabila pihak debitur yang berada dalam
keadaan memaksa dapat membuktikan bahwa kejadian itu berada di luar kekuasaannya,
hakim akan menolak tuntutan kreditur yang meminta agar debitur memenuhi perjanjian.

Force Majeure, adalah klausula yang biasa dicantumkan dalam pembuatan kontrak,
dengan maksud untuk melindungi pihak-pihak apabila terdapat bagian dari kontrak tidak
dapat dilaksanakan yang berada diluar kontrol para pihak dan tidak bisa dihindarkan
dengan melakukan tindakan yang sewajarnya, contohnya perubahan kebijakan
pemerintah, kebijakan moneter, huru-hara, pemogokan dan lain-lain.

Termasuk Force Majeure adalah apa yang lazim disebut Act of God, yaitu suatu kejadian
atau peristiwa yang semata-mata karena kekuatan alam tanpa ada campur tangan
manusia. Contohnya kilat, angin ribut, bencana laut (perils of the sea), tornado, gempa
bumi, dan lain-lain.

Menurut undang-undang ada 3 unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa,
yaitu :
a. Tidak memenuhi prestasi.
b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan seseorang (debitur).
c. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada seseorang (debitur), sedangkan yang bersangkutan
dengan segala daya berusaha secara patut memenuhi kewajibannya.

Sesuai Pasal 1245 KUHPerdata : “Tidak ada pihak yang dibebankan tanggung jawab
(biaya, rugi dan bunga) apabila dikarenakan keadaan memaksa atau kejadian tidak
disengaja yang mengakibatkan penundaan pelaksanaan kewajiban sesuai kontrak”.

On Becoming the Centre of Excellence 22


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Keadaan memaksa ada 2 macam :

a. Mutlak (absolut), adalah keadaan memaksa berupa bencana alam atau kejadian
lainnya yang sebegitu hebatnya sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat
menepati janjinya (tidak dapat memenuhi prestasi)  perjanjian batal.

b. Relatif, adalah keadaan memaksa yang tidak bersifat mutlak sehingga masih
memungkinkan untuk melaksanakan perjanjian antara lain dikeluarkannya peraturan
pemerintah  masih dapat dituntut pelaksanaannya, apabila rintangan berakhir.

1.5.3. Wanprestasi

Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia


dikatakan melakukan wanprestasi. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji, sehingga wanprestasi
dapat disebut kealpaan atau kelalaian.

Wanprestasi seseorang dapat berupa :

a. Tidak melakukan prestasi.


b. Melakukan prestasi tetapi terlambat.
c. Melakukan prestasi tetapi tidak sesuai perjanjian.
d. Melakukan perbuatan yang dilarang.

Terhadap wanprestasi si berutang (debitur sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu),
diancamkan beberapa sanksi, sebagai berikut:

a. Kewajiban membayar kerugian yang diderita oleh kreditur ganti berupa biaya, rugi
dan bunga (atau disebut ganti rugi).
b. Pembatalan perjanjian.
c. Peralihan resiko.
d. Membayar biaya perkara (jika berperkara di pengadilan).

Pembelaan seorang debitur berupa dalih untuk tidak dianggap wanprestasi :

a. Mengajukan adanya keadaan memaksa.


b. Mengajukan bahwa kreditur sendiri yang lalai (exeptio non adimpleti contractus).
c. Mengajukan bahwa kreditur sendiri yang telah melepaskan haknya untuk menuntut
ganti rugi (rechtsverwerking atau waiver).

Dalam menentukan bahwa dalam pelaksanaan perjanjian telah terjadi kelalaian tidak
selalu mudah, apalagi kalau dalam perjanjian tidak diperjanjikan secara tegas, maka
diperlukan cara untuk menentukan adanya wanprestasi atau kelalaian :

On Becoming the Centre of Excellence 23


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

a. Jika dalam perjanjian tidak diatur, maka yang berlaku adalah ketentuan undang-
undang atau peraturan yang ada bila tidak ada dalam peraturan maka yang berlaku
adalah kebiasaan.

b. Perjanjian tidak batal demi hukum, tapi harus dimintakan pembatalannya kepada
hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).

Secara jelas disebutkan dalam ayat 4 Pasal tersebut bahwa hakim masih diberi
keleluasaan (atas pemintaan tergugat) untuk memberikan waktu guna pemenuhan
kewajiban, maksimum 1 bulan. Jadi bukan kelalaian debitur yang merupakan syarat batal
atau yang membatalkan perjanjian, melainkan putusan hakim.

Dengan demikian kelalaian debitur tidak dengan sendirinya (otomatis) membatalkan


perjanjian, melainkan harus dengan putusan Hakim.

Putusan hakim tidak bersifat declaratoir (menyatakan batalnya perjanjian), tetapi secara
constitutif (membatalkan perjanjian) dan mempunyai wewenang descretionair yaitu
kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur daripadakan dengan akibat
pembatalan.

Apabila kesalahan debitur relatif kecil, kemudian kreditur meminta pembatalan perjanjian
tentunya diperlukan kebijaksanaan hakim untuk menilai. Apakah pembatalan itu memang
harus dilakukan, sedangkan bila dibatalkan akibatnya akan menimbulkan kerugian yang
lebih besar bagi debitur yang tentunya mengabaikan keadilan.

Pelaksanaan perjanjian tanpa melalui putusan hakim : parate executie, contohnya pada
hak tanggungan-pandrecht pada gadai.

Macamnya Ganti Rugi :

a. Biaya adalah biaya yang sudah dikeluarkan kreditur selama pelaksanaan perjanjian.

b. Kerugian adalah kerugian yang diderita kreditur misalnya hilangnya kesempatan


untuk mendapatkan keuntungan akibat terjadinya wanprestasi.

c. Bunga adalah bunga yang wajib dibayar akibat kelalaian dari debitur (bunga moratoir
6% per tahun).

1.6. HAPUS/BERAKHIRNYA PERIKATAN

Menurut pasal 1381 KUHPerdata hapusnya perikatan adalah karena :

a. Pembayaran.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.

On Becoming the Centre of Excellence 24


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

c. Pembaharuan hutang (novasi).


d. Perjumpaan hutang atau kompensasi.
e. Percampuran hutang.
f. Pembebasan hutang.
g. Musnahnya barang terhutang.
h. Kebatalan atau pembatalan.
i. Berlakunya syarat batal, yang diatur dalam Bab I KUHPerdata.
j. Lewatnya waktu (daluwarsa).

1.6.1. Pembayaran

Pembayaran dalam arti luas adalah pemenuhan prestasi, baik bagi pihak yang
menyerahkan uang sebagai harga pembayaran maupun bagi pihak yang menyerahkan
kebendaan sebagai barang sebagaimana yang diperjanjikan. Jadi pembayaran disini
diartikan sebagai menyerahkan uang bagi pihak yang satu dan menyerahkan barang bagi
pihak lainnya.

Yang dapat (boleh) melakukan pembayaran adalah tidak hanya debitur saja, tetapi juga
pihak ketiga. Pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga diatur dalam undang-undang.
Setiap perikatan tidak selalu dapat dilakukan pembayaran oleh pihak ketiga karena hal
demikian bergantung pada prestasinya.

Pembayaran yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga, antara lain apabila perikatan itu
prestasinya member sesuatu. Pihak ketiga dibedakan antara yang berkepentingan dan
yang tidak berkepentingan :

a. Apabila pembayaran dilakukan pihak ketiga yang berkepentingan terjadilah


subrogasi, yaitu bahwa pihak ketiga yang membayar menggantikan kedudukan
kreditur lama. Jika dilihat dari sisi kreditur lama, perikatannya menjadi hapus, tetapi
jika dilihat dari sisi debitur, perikatannya tidak hapus karena pihak debitur harus
membayar kepada pihak kreditur baru. Jadi perikatan secara umum tidak hapus.

b. Apabila pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dan ia
bertindak atas nama debitur dan untuk melunasi utang debitur, hapuslah perikatan
karena utang telah dibayar oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan.

Pada subrogasi kreditur baru tidak memutuskan hubungan hukum yang telah ada dan
tidak meletakkan hubungan hukum yang baru, tetapi ia melanjutkan hubungan hukum
yang sudah ada. Apa yang dibayarkan kreditur baru harus sama dengan apa yang
nantinya akan dibayar oleh debitur kepadanya. Jadi subrogasi juga berarti pembayaran
utang yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur yang menggantikan kedudukan
(hak-hak) kreditur lama kepada kreditur baru. Subrogasi dapat terjadi karena perjanjian
maupun karena undang-undang.
On Becoming the Centre of Excellence 25
PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

1.6.2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Dengan Penyimpanan atau


Penitipan

Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan adalah suatu cara
pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang menolak pembayaran, walaupun
telah dilakukan dengan perantaraan notaris atau juru sita. Uang atau barang yang
sedianya sebagai pembayaran tersebut disimpan atau dititipkan kepada panitera
pengadilan negeri dengan suatu berita acara, yang dengan demikian hapuslah utang
piutang tersebut.

1.6.3. Pembaharuan Hutang (Novasi)

Pembaharuan hutang (novasi) yang diatur dalam Pasal 1413 KUHPerdata adalah suatu
perjanjian untuk menghapus suatu perikatan yang sudah ada dan bersamaan dengan itu
timbul perikatan baru sebagai penggantinya. Jadi disamping mengakibatkan berakhirnya
suatu perikatan (hubungan hukum antara kreditur dan debitur) bersamaan dengan itu pula
timbul perikatan baru. Namun titik beratnya ada pada pembaharuan utang bukan pada
hapusnya perikatan.

Bentuknya dapat lisan atau tertulis, namun dalam praktek dilakukan dengan tertulis
dengan kata lain harus tegas dinyatakan, baik lisan maupun tertulis tidak dapat dengan
persangkaan (Pasal 1415 KUHPerdata).

Pembaharuan utang ada 3 macam :

a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang
yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan
karenanya (novasi objektif).

b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama,
yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif pasif).

c. Apabila suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan
kreditur lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya (novasi
subjektif aktif).

1.6.4. Perjumpaan Hutang atau Kompensasi

Perjumpaan utang atau kompensasi adalah suatu perhitungan atau saling


memperhitungkan utang piutang antara pihak satu dan pihak lainnya lagi. Misalnya dalam
suatu hubungan utang piutang yang satu A mempunyai utang kepada B dan dalam
hubungan utang piutang lainnya B mempunyai utang kepada A, maka utang piutang inilah
yang diperjumpakan. Pasal 1425 KUHPerdata menyebutkan bahwa jika dua orang saling

On Becoming the Centre of Excellence 26


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

berutang satu pada yang lain, terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana
utang piutang antara kedua orang tersebut dihapuskan.

Sesuai Pasal 1426 KUHPerdata terjadinya perjumpaan utang adalah demi hukum, namun
menurut Prof. Subekti terjadinya kompensasi dilakukan dengan adanya tindakan pihak-
pihak yang bersangkutan.

Syarat kompensasi sesuai Pasal 1427 KUHPerdata, sebagai berikut :

a. Utang uang dengan uang (objeknya adalah pembayaran uang).

b. Utang barang dengan barang yang sejenis yang dapat dihabiskan.

c. Utang uang dapat jumpa dengan utang barang yang harganya biasanya ditetapkan
dalam daftar harga dan saat pelunasannya adalah sama.

d. Utang-utang tersebut harus sudah dapat ditagih dan sudah ditetapkan jumlahnya.

Utang apapun baik yang lahir dari perjanjian atau undang-undang dapat dikompensasikan,
kecuali :

a. Apabila dituntutya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan


hukum dirampas dari pemiliknya.

b. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang dititipkan atau dipinjamkan.

c. Terhadap suatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah
dinyatakan tidak dapat disita.

1.6.5. Percampuran Hutang

Pencampuran utang terjadi demi hukum dengan mana piutang dihapuskan apabila
kedudukan sebagai orang berpiutang dan orang berutang berkumpul pada satu orang
(Pasal 1436 KUHPerdata).

1.6.6. Pembebasan Hutang

Pembebasan utang adalah suatu pernyataan yang dengan tegas dari si berpiutang bahwa
ia tidak lagi menghendaki prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas
pembayaran atau pemenuhan prestasi suatu perjanjian.

1.6.7. Musnahnya Barang Terhutang

Musnahnya barang yang terutang suatu keadaan dimana barang menjadi objek perjanjian
tidak dapat lagi diperdagangkan, hilang atau sama sekali tidak diketahui apakah barang itu
masih ada atau sudah tidak ada lagi. Hapusnya perikatan disini karena musnahnya barang

On Becoming the Centre of Excellence 27


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

tersebut disebabkan di luar kesalahan si berutang atau disebabkan oleh suatu kejadian di
luar kekuasaannya.

1.6.8. Kebatalan atau Pembatalan

Pembatalan sebagai salah satu sebab hapusnya perikatan adalah apabila salah satu pihak
dalam perjanjian tersebut mengajukan atau menuntut pembatalan atas perjanjian yang
telah dibuatnya, pembatalan mana diakibatkan karena kekurangan syarat subjektif dari
perjanjian dimaksud.

1.6.9. Berlakunya Syarat Batal, Yang Diatur Dalam Bab I KUHPerdata

Berlakunya suatu syarat batal sebagai suatu sebab hapusnya perikatan adalah apabila
suatu syarat batal yang disebutkan dalam perjanjian yang telah dibuat, syarat batal mana
menjadi kenyataan/terjadi. Syarat batal ini dalam perjanjian lazim dituangkan : “perjanjian
ini akan berakhir apabila …………”.

1.6.10. Lewatnya Waktu (Daluwarsa)

Lewatnya waktu atau kadaluwarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau
untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1946 KUHPerdata).

Pasal 1967 KUHPerdata menyebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat
perseorangan hapus karena kadaluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan
siapa yang menunjukkan adanya kadaluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas
hak, lagi pula tidak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan
pada itikadnya yang buruk.

On Becoming the Centre of Excellence 28


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

2. ANEKA PERJANJIAN

Sebagai bahan pendukung dalam merancang kontrak (perjanjian tertulis), perlu


pemahaman dasar mengenai macam-macam perjanjian. Dalam kegiatan lalu lintas
ekonomi atau perdagangan sehari-hari, sering dijumpai berbagai bentuk perjanjian yang
dilakukan yang telah diatur dalam KUHPerdata, yaitu :

a. Jual Beli
b. Tukar Menukar
c. Sewa Menyewa
d. Sewa Beli
e. Pinjam Pakai
f. Pinjam Meminjam
g. Hibah
h. Pemberian Kuasa
i. MoU

2.1. JUAL BELI

Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1450 KUHPerdata.
Perjanjian adalah suatu perjanjian atau suatu persetujuan timbal balik antara pihak yang
satu selaku penjual yang berjanji untuk menyerahkan suatu barang kepada pihak lain,
yaitu pembeli dan pembeli membayar harga yang telah dijanjikan.

2.1.1. Lahirnya Jual Beli

Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah para pihak yang
bersangkutan mencapai kata sepakat tentang barang dan harganya, meskipun barang itu
belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUHPerdata). Artinya setelah
mengenai barang dan harga telah dicapai lahirlah jual beli.

2.1.2. Berpindahnya Hak Milik

Perlu diperhatikan adalah Pasal 1459 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak milik atas
barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya (levering)
belum dilakukan menurut Pasal 612, 613, 616 KUHPerdata.

Penyerahan dalam hal ini adalah penyerahan atas 2 hal yaitu penyerahan penguasaan
atas barang dan penyerahan hak milik atas barang. Sedangkan harga yang dimaksud

On Becoming the Centre of Excellence 29


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

adalah berupa sejumlah uang yang merupakan imbalan atas barang yang telah diterima
dan diserahkan oleh penjual kepada pembeli.

Disini terdapat pengikatan diri, yaitu baik penjual maupun pembeli saling setuju atau
sepakat mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu (secara timbal balik) terhadap pihak
lainnya. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih
(Pasal 1313 KUHPerdata).

2.1.3. Hak dan Kewajiban

Perjanjian jual beli meletakan hak dan kewajiban secara timbal balik antara para pihak,
yaitu penjual wajib menyerahkan hak milik atas barang yang dijual dan pada saat itu juga
memberikan hak kepada penjual untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui
kepada pembeli. Di pihak lain, meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar
harga barang sebagai imbalan atas haknya untuk menuntut penyerahan hak milik barang
dibelinya.

KUHPerdata menganut sistem bahwa perjanjian jual beli itu hanya obligatoir, artinya baru
meletakkan hak dan kewajiban secara timbal balik. Sistem ini menimbulkan hak pada
penjual serta kewajiban pada pembeli dan secara bersamaan menimbulkan hak pada
pembeli dan kewajiban pada penjual.

Dengan demikian hak dan kewajiban penjual maupun pembeli perlu dijabarkan dalam
suatu perjanjian secara detail sesuai yang disepakati.

2.1.4. Kewajiban Penjual

Kewajiban penjual yang utama adalah menyerahkan dan menanggung barang yang
dijualnya (Pasal 1474 KUHPerdata).

Menyerahkan disini ada 2 hal yaitu menyerahkan penguasaan dan hak milik atas barang,
kedua menanggung kenikmatan atas barang tersebut serta menanggung apabila terdapat
cacat tersembunyi pada barang tersebut.

2.1.5. Macam-Macam Benda dan Cara Penyerahannya

Kebendaan menurut undang-undang adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dikuasai sebagai hak milik. Di dalam Buku II KUHPerdata tentang Kebendaan, diatur
tentang cara membeda-bedakan kebendaan, yang dapat digolongkan ke dalam 3 macam,
yaitu :

On Becoming the Centre of Excellence 30


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

a. Benda bergerak.
b. Benda tidak bergerak.
c. Benda tidak bertubuh.

Cara penyerahannya ketiga benda tersebut diatur secara berbeda dalam undang-undang,
sehingga dikenal tiga macam cara penyerahan hak milik sesuai dengan jenis atau macam
benda yang diserahkan, sebagai berikut :

a. Penyerahan hak milik barang bergerak cukup dilakukan dengan cara menyerahkan
kekuasaan atas barang tersebut secara nyata, dengan begitu kepemilikannya beralih.

Penyerahan benda bergerak (kecuali yang tidak bertubuh) dilakukan dengan


penyerahan nyata atas benda itu, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari
bangunan, dimana kebendaan itu berada.

Penyerahan tidak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan
alas hak lain, sudah dikuasai oleh orang yang berhak menerimanya (traditio brevi
manu), yaitu penyerahan tidak langsung apabila dia sudah memegang kepemilikan
atas suatu barang atas nama orang lain dan menyetujui sejak itu dia akan
memilikinya atas nama sendiri.

Barang siapa menguasai barang bergerak, maka ia dianggap sebagai pemiliknya,


kecuali dapat dibuktikan sebaliknya (Pasal 1977 KUHPerdata).

b. Penyerahan barang tidak bergerak

Dalam hal barang tidak bergerak, pengalihannya dilakukan dengan Balik Nama (UU
No. 5 Th 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria atau disingkat UUPA).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UUPA, bahwa jual beli tanah
harus dilakukan dengan Akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).

c. Penyerahan barang tidak bertubuh

Untuk barang tidak bertubuh, penyerahan dilakukan dengan cara cessie yang diatur
dalam Pasal 613 KUHPerdata :

“Penyerahan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya,


dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau akte dibawah tangan, dengan
mana hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada pihak lain”.

Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah
penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.

Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat
itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan
surat disertai dengan endosemen.
On Becoming the Centre of Excellence 31
PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Mengenai cara perolehan hak milik tersebut, KUHPerdata atau BW antara lain pasal 584
KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan
dengan pemilikan karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan baik menurut
undang-undang maupun surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan
berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh
seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.

2.1.6. Hubungan Kausal

Sehubungan dengan perjanjian yang bersifat obligatoir, yaitu yang baru meletakkan hak
dan kewajiban kepada para pihak sehingga perlu diikuti dengan melakukan levering atau
penyerahan atas barang sehingga hak milik berpindah dari penjual ke pembeli. Dan
levering harus dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas atas barang tersebut, yaitu
si pemilik barang atau orang yang secara khusus diberi kuasa olehnya.

Dengan demikian dalam setiap pemindahan hak milik yang telah memenuhi ketentuan
undang-undang, pengalihannya adalah sah. Namun apabila yang terjadi sebaliknya atau
terdapat cacat hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya, misalnya orang yang
memindahkan hak milik itu ternyata orang yang tidak berhak, maka penyerahannyapun
menjadi batal. Dengan demikian pemindahaan hak milik dianggap tidak pernah terjadi.

Dalam hal ini, terdapat hubungan kausal atau hubungan sebab akibat antara perjanjian
yang sifatnya obligatoir dan levering serta berpindahnya hak milik atas barang.

2.1.7. Penanggungan (Vrijwaring)

Penanggungan adalah keadaan dimana penjual menanggung hal-hal sebagai berikut :

a. Menanggung penguasaan barang yang dijual secara aman dan tenteram.

b. Menanggung cacat tersembunyi atas barang yang dijualnya, tetapi tidak


menanggung cacat yang kelihatan.

c. Menanggung Barang dapat dipergunakan untuk keperluan yang dimaksud, tanpa


mengurangi fungsi pemakaiannya.

d. Apabila penjual mengetahui adanya cacat pada barang yang dijual, penjual wajib
mengembalikan harga pembelian atau mengganti pengeluaran biaya pembelian.

On Becoming the Centre of Excellence 32


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

2.1.8. Kewajiban Pembeli

Pembeli mempunyai kewajiban untuk membayar harga barang kepada penjual, pada
waktu, tempat dan cara yang telah ditetapkan, apabila hal itu tidak diperjanjikan, maka
pembayaran dilakukan pada saat penyerahan barang.

Undang undang membolehkan mengurangi atau memperluas kewajiban-kewajiban bagi


penjual maupun pembeli, dengan pembatasan :

a. Penjual tetap bertanggungjawab tentang suatu akibat dari perbuatan yang telah
dilakukannya.

b. Jika terjadi penghukuman pada pembeli untuk menyerahkan barang tersebut kepada
orang lain, maka penjual wajib mengembalikan harga pembelian, kecuali pada saat
pembelian dilakukan pembeli mengetahui adanya putusan hakim untuk menyerahkan
barang yang dibelinya itu (Pasal 1495 KUHPerdata).

2.1.9. Jual Beli Dengan Hak Membeli Kembali

Kekuasaan untuk membeli kembali atas barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji
antara penjual dan pembeli, dimana penjual diberi hak untuk mengambil kembali
barangnya yang dijual setelah memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai berikut :

a. Mengembalikan harga pembelian asal, disertai

b. Penggantian biaya yang dikeluarkan pembeli dalam penyelenggaraan pembelian dan


penyerahannya, dan

c. Biaya pembetulan-pembetulan, dan

d. Biaya yang menyebabkan barang yang dijual bertambah harganya, sesuai


pertambahan itu.

Barang yang diserahkan pembeli kepada penjual akibat hak membeli kembali atas barang
yang dijual tersebut harus bebas dari semua beban (jaminan) dan tanggungan yang
diletakkan oleh pembeli diatasnya.

Batas waktu hak membeli kembali tidak bisa diperjanjikan lebih dari 5 (lima) tahun. Jika
telah diperjanjikan untuk waktu lebih dari 5 tahun, yang berlaku tetap lima tahun. Batas
waktu ini mutlak sehingga hakimpun tidak boleh memperpanjang.

Apabila penjual lalai mengajukan tuntutannya untuk membeli kembali barangnya dalam
tenggang waktu yang telah ditetapkan, pembeli tetap menjadi pemilik atas barang yang
dibeli tersebut dan akan menjadi pemilik tetap.

On Becoming the Centre of Excellence 33


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Hak untuk membeli kembali yang diperjanjikan atas barang tak bergerak boleh
menggunakan haknya terhadap seorang pembeli kedua, meskipun dalam perjanjian kedua
itu tidak disebutkan tentang janji tersebut (Pasal 1523 KUHPerdata).

Apabila dalam perjanjian jual beli dengan hak untuk membeli kembali atas barang
bergerak, pembeli pertama terikat untuk sewaktu-waktu menyerahkan kembali barang
yang dibelinya itu kepada penjual untuk dibeli kembali. Jika pembeli pertama, meskipun
sudah terikat (untuk sewaktu-waktu dalam waktu yang telah ditentukan) harus
menyerahkan barang itu kembali, ternyata menjual kepada pihak ketiga atau pembeli
kedua, secara a contrario dapat diartikan bahwa penjual pertama tidak boleh
menggunakan haknya terhadap pihak ketiga untuk meminta kembali barangnya. Dengan
perkataan lain, pembeli kedua bebas dari tuntutan untuk menyerahkan barang. Dalam hal
ini, penjual pertama hanya bisa menggunakan haknya terhadap pembeli pertama karena
dia telah melanggar hukum. Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut (onrechtmatigedaad). Jadi menuntut pembeli pertama untuk
membayar ganti rugi karena itu telah melakukan wanprestasi.

2.1.10. Resiko Dalam Jual Beli

Resiko adalah tanggung jawab untuk memikul kerusakan/kerugian yang diakibatkan suatu
kejadian yang bukan merupakan kesalahan salah satu pihak.

Berdasarkan Surat Edaran Mahmakah Agung Nomor 3 Tahun 1963, antara lain
menyatakan beberapa pasal dalam KUHPerdata tidak berlaku lagi temasuk ketentuan
Pasal 1460 KUHPerdata yang mengatur bahwa apabila barang yang dijual berupa barang
yang sudah ditentukan sejak saat pembelian, menjadi tanggungan pembeli meskipun
barang belum diserahkan dan penjual berhak menuntut harganya.

Dengan berlakunya Surat Edaran tersebut, maka selama barang belum diserahkan/dilever
(tanpa membedakan jenis barangnya) resiko masih merupakan beban atau dipikul oleh
penjual yang masih sebagai pemilik sah barang itu, sampai barang tersebut secara sah
diserahkan kepada pembeli, yang berarti pembeli telah menjadi pemilik sah dari barang
tersebut maka resiko barang itu beralih dari penjual ke pembeli (transfer of ownership).

Dengan diserahkannya barang tersebut oleh penjual kepada pembeli, barulah resiko atas
barang berpindah atau beralih dari penjual kepada pembeli.

Hal yang perlu diperhatikan dalam perjanjian jual beli :


a. Nama barang dan Spesifikasinya
b. Keaslian barang beserta jaminannya
c. Waktu dan tempat penyerahan

On Becoming the Centre of Excellence 34


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

d. Harga
e. Cara Pembayaran

2.2. TUKAR MENUKAR

Tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan mana para pihak mengikatkan dirinya
untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik, sebagai gantinya suatu barang
lain. (Pasal 1541 KUHPerdata).

Obyek perjanjian disini adalah barang dengan barang, sedang dalam jual beli adalah
barang dangan uang.

Undang-undang menentukan bahwa barang yang dapat dilakukan tukar menukar adalah
segala jenis barang yang dapat diperjual belikan dan para pihak haruslah pemilik barang.
Baik pihak pertama dan pihak kedua harus pemilik barang, atau masing-masing pihak
sudah menjadi pemilik barang yang ditukarkan.

2.2.1. Resiko Tukar Menukar

Apabila suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukarkan, kemudian musnah
diluar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap gugur, dan pihak siapa yang telah
memenuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang yang telah ia berikan dalam tukar
menukar. Maksudnya adalah masing-masing pihak selaku pemilik barang yang akan
ditukarkan memikul tanggung jawab atas barangnya sendiri atau dengan kata lain, resiko
ada dipundaknya masing-masing.

Selanjutnya ditentukan pula bahwa untuk hal-hal lain, semua peraturan mengenai
perjanjian jual beli berlaku pula untuk perjanjian tukar menukar (Pasal 1546 KUHPerdata).

2.3. SEWA MENYEWA

Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan suatu barang selama waktu
tertentu dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut disanggupi.

Yang membedakan dengan perjanjian jual beli adalah dalam sewa menyewa tidak ada
penyerahan dalam arti pengalihan hak milik, yang ada hanyalah penyerahan kekuasaan
atas suatu barang untuk dinikmati penyewa.

On Becoming the Centre of Excellence 35


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Oleh karena itu tidak dituntut atau tidak dipersyaratkan bahwa yang menyerahkan barang
harus pemilik barang, sebagaimana halnya dalam perjanjian jual beli atau tukar menukar.

Jadi meskipun seseorang hanya mempunyai hak menikmati hasil atas suatu barang dan
bukan pemilik, yang bersangkutan sudah dapat secara sah menyewakan barang tersebut.

Demikian pula yang menjadi objek perjanjian. Dapat dibedakan bahwa dalam jual beli
objek perjanjian adalah barang dan harga, sedangkan dalam tukar menukar adalah
bawang dan barang, dan dalam sewa menyewa adalah barang dan harga sewa. Apabila
penguasaan atas suatu barang diserahkan, tetapi tidak ada harga sewanya, berarti barang
tersebut diserahkan untuk dipakai tanpa kewajiban untuk membayar, dan ini merupakan
perjanjian pinjam pakai.

2.3.1. Unsur Sewa Menyewa

Didalam definisi yang diberikan oleh undang-undang dalam Pasal 1548 KUHPerdata
tersebut terkandung beberapa unsur bahwa sewa menyewa adalah :

a. Merupakan suatu perjanjian.


b. Terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri.
c. Pihak yang satu memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang
lain, selama suatu waktu tertentu.
d. Dengan pembayaran sesuatu harga yang disanggupi oleh pihak yang lainnya.

Berkenaan dengan “selama suatu waktu tertentu” dapat diperhatikan beberapa pasal yang
menyinggung mengenai waktu sewa, sebagai berikut :

a. Pasal 1570 KUHPerdata : “Jika sewa dibuat dengan tulisan maka sewa itu berakhir
demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya
sesuatu pemberhentian untuyang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya
sesuatu pemberhentian untuk itu”.

b. Pasal 1571 KUHPerdata : “Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak
berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain ………. Bahwa ia
hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat”.

c. Pasal 1578 KUHPerdata : “Seorang pembeli yang hendak menggunakan kekuasaan


yang diperjanjikan dalam perjanjian sewa, untuk, jika barangnya dijual, memaksa si
penyewa mengosongkan barang yang disewa, diwajibkan memperingatkan si
penyewa sekian lama sebelumnya, sebagaimana diharuskan oleh adat kebiasaan
setempat mengenai pemberhentian-pemberhentian sewa”.

On Becoming the Centre of Excellence 36


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Dalam halnya sewa tanah, peringatan tersebut harus paling sedikit satu tahun sebelum
pengosongan.

Dalam pasal-pasal tersebut tidak secara mutlak dinyatakan bahwa syarat waktu harus
dicantumkan, namun waktu sewa merupakan hal yang penting. Untuk mencegah timbulnya
hal-hal yang tidak diharapkan timbul dikemudian hari dan mencegah penafsiran dan
makna ganda, pencantuman “batas waktu yang jelas” sangat diperlukan.

Semua jenis barang, baik yang tidak bergerak maupun yang bergerak dapat disewakan.

2.3.2. Kewajiban Pihak Yang Menyewakan

Kewajiban pihak yang menyewakan tanpa perlu adanya suatu janji untuk itu adalah :

a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa.

b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk
keperluan dimaksudkan.

c. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram atas barang tersebut selama


berlangsungnya waktu sewa.

d. Melakukan pembetulan-pembetulan barang-barang yang disewakan, kecuali yang


menjadi kewajiban si penyewa.

e. Menanggung si penyewa terhadap semua cacat atas barang disewakan, (jika


terdapat cacat yang merugikan penyewa, kepada pihak yang menyewakan
diwajibkan memberikan ganti rugi).

Apabila selama waktu sewa barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu
kejadian yang tak sengaja, perjanjian sewa gugur demi hukum. Tetapi apabila hanya
musnah sebagian, si penyewa dapat memilih menurut keadaan, meminta pengurangan
harga sewa, ataukah meminta bahkan pembatalan perjanjian sewa.

2.3.3. Kewajiban Penyewa

Dua kewajiban utama si penyewa adalah :

a. Memakai barang yang disewa sebagai bapak rumah yang baik (als goed huisvader),
sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya,
atau bila tidak ada suatu perjanjian mengenai hal itu, menurut tujuan yang
dipersangkakan berhubungan dengan keadaan. Apabila ternyata si penyewa
memakai barang yang disewa untuk suatu maksud atau keperluan lain dari tujuan
pemakaian yang seharusnya atau untuk tujuan lain yang menimbulkan kerugian

On Becoming the Centre of Excellence 37


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

kepada pihak yang menyewakan, piahk yang menyewakan menurut keadaan dapat
meminta pembatalan sewanya (Pasal 1561 KUHPerdata).

b. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan berdasarkan


perjanjian.

c. Kewajiban lainya adalah mengembalikan barang sewa dalam keadaan dimana


barang itu diterimanya menurut pertelaan yang telah dibuat antara para pihak tentang
barang yang disewahkan, kecuali yang telah musnah atau berkurang harganya
sebagai akibat dari tuanya barang atau dari kejadian-kejadian yang tidak disengaja
yang tidak dapat dihindarkan.

2.3.4. Tanggungjawab Penyewa

Pihak yang menyewakan atau si penyewa mempunyai tanggung jawab sebagai berikut :

a. Bertanggung jawab untuk segala kerusakan barang yang disewa selama masa sewa,
kecuali bila ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya.

b. Bertanggung jawab untuk segala kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan pada
barang yang disewa yang dilakukan oleh kawan-kawan serumah atau sub penyewa
(jika telah dioperkan oleh penyewa).

c. Tidak bertangggungjawab terhadap kebakaran, kecuali karena kesalahan penyewa


(pihak yang menyewakan membuktikan bahwa kebakaran itu disebabkan karena
kesalahan si penyewa).

2.3.5. Berakhirnya Sewa

Ada dua hal yang perlu diketahui berkenaan dengan berakhirnya sewa :

a. Perjanjian sewa tidak sekali-kali hapus karena meninggalnya si penyewa maupun


yang menyewakan.

b. Sewa tidak putus dengan dijualnya barang yang disewa oleh yang menyewakan,
kecuali apabila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang.

2.3.6. Larangan

a. Pihak Yang Menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan alasan hendak
dipakai sendiri, kecuali diperjanjikan lain.

b. Pihak si Penyewa tidak boleh mengulangsewakan, atau melepaskan sewa kepada


orang lain tanpa seijin yang menyewakan, dengan ancaman pembatalan perjanjian
sewa dan penggantian biaya, rugi dan bunga.

On Becoming the Centre of Excellence 38


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

2.3.7. Resiko Dalam Sewa Menyewa

a. Apabila selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena
suatu kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum.
Karena barang sewa musnah sama sekali, perjanjian sewa sudah tidak ada lagi atau
kembali ke keadaan semula sebelum lahirnya perjanjian sewa menyewa. Masing-
masing pihak kembali dalam posisi semula sebelum sewa menyewa. Dalam hal ini
tanggung jawab atas barang sewa ada pada pihak yang menyewakan selaku pemilik
barang. Demikian pula termasuk barang-barang kepunyaan si penyewa yang turut
musnah itupun menjadi tanggung jawab si penyewa. Dengan demikian kerugian yang
timbul dari suatu kejadian atau peristiwa yang terjadi di luar kesalahan para pihak,
dipikul oleh masing-masing pihak.

b. Jika barangnya hanya musnah sebagian si penyewa dapat memilih, menurut


keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa atau pembatalan
perjanjian sewa.

2.4. BELI SEWA

Istilah perjanjian sewa beli atau beli sewa berasal dari kata huurkoop (Belanda) atau hire
purchase (Inggris) adalah suatu perjanjian yang timbul dari praktek yang diakui sah oleh
yurisprudensi. Perjanjian yang timbul dari praktek memang diperbolehkan karena
sebagaimana diketahui, hokum perjanjian menganut system terbuka atas azas kebebasan
berkontrak sebagaimana terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Sewa beli sebenarnya adalah suatu perjanjian jual beli setidak-tidaknya lebih mendekati
jual beli daripada sewa menyewa, meskipun sewa beli merupakan suatu campuran dari
kedua-duanya.

Dalam Hire Purchase Act 1965, sewa beli dikonstruksikan sebagai “perjanjian sewa
menyewa dengan hak opsi dari si penyewa untuk membeli barang yang disewanya”.

Sewa beli mula-mula timbul dalam praktek untuk menampung persoalan bagaimanakah
caranya memberikan jalan keluar apabila pihak penjual menghadapi permintaan untuk
membeli barangnya tetapi calon pembeli tidak memiliki kemampuan untuk membayar
harga barang tersebut secara tunai, sementara penjual perlu jaminan agar tidak dirugikan.

Dalam sewa beli si pembeli menjadi penyewa dulu dari barang yang ingin dibelinya, maka
dijadikan penyewa si pembeli terancam oleh hukum pidana (penggelapan) apabila ia
sampai menjual/mengalihkan barangnya.

On Becoming the Centre of Excellence 39


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

2.4.1. Penyerahan Hak Milik

Penyerahan hak milik baru akan dilakukan pada waktu di bayarnya angsuran yang
terakhir, penyerahan mana dapat dilakukan dengan suatu pernyataan sja karena
barangnya sudah berada dalam kekuasaan si pembeli dalam kedudukannya sebagai
penyewa.

2.4.2. Resiko Dalam Perjanjian Sewa Menyewa

a. Mengenai resiko pernah dipersoalkan dalam suatu perkara di Pengadilan Negeri


Surabaya, sebagai berikut :

Sebuah toko mobil menggugat seseorang bernama Jordan untuk melunasi


kekurangan angsuran atas harga sebuah mobil yang disewa beli tersebut. Mobil
tersebut dirampas oleh balatentara Jepang dalam bulan Maret 1942, Jordan
berpendirian ia sudah tidak lagi diwajibkan membayar angsuran-angsuran yang
tersisa karena mobil dapat dianggap sudah musnah. Pengadilan Negeri Surabaya
dalam putusannya tanggal 5 Februari 1951 membenarkan pendirian Jordan tersebut,
atas pertimbangan bahwa perjanjian sewa beli itu harus diartikan sebagai suatu
perjanjian sewa menyewa karena itu gugatan dari toko tersebut tidak dapat diterima.

Menurut Putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1957 yang dimuat dalam
Majalah Hukum 1958 No. 7-8 sebagai berikut : resiko musnahnya barang yang
disewa beli karena overmacht (keadaan memaksa) dipikul oleh si penyewa beli,
meski Prof. Soebekti lebih setuju pada putusan PN Surabaya yang memutuskan
bahwa resiko menjadi tanggungjawab Penjual Mobil.

b. Dalam buku KUHPerdata (BW) tidak diatur secara tegas tentang resiko barang yang
disewa belikan (hanya terjadi dalam praktek).

c. Dalam kenyataannya sekarang hal diatas menjadi pedoman perjanjian sewa beli,
dimana resiko dibebankan pada penyewa beli.

2.4.3. Perbedaan Dengan Perjanjian Jual Beli Angsuran

a. Dalam jual beli angsuran, barang sudah dimiliki oleh pembeli begitu barang tersebut
diterima dari penjual.

b. Pembeli berhutang kepada si penjual.

c. Pembeli sudah dapat bebas menjual barang yang dibelinya itu (meski belum lunas),
begitu pembeli menerima dari penjual.

d. Jadi dalam jual beli angsuran persoalannya menjadi hutang piutang.

On Becoming the Centre of Excellence 40


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

2.5. PINJAM PAKAI

Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu
baang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai secara cuma-cuma, dengan syarat si
penerima barang ini setelah lewatnya waktu tertentu akan mengembalikannya (Pasal 1740
KUHPerdata).

Dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan istilah : Pinjam saja, tetapi kita
mengetahui bahwa ada perbedaan antara meminjam sebuah mobil atau meja dengan
meminjam uang atau beras misalnya. Kalau seseorang meminjam sebuah mobil atau meja
yang harus dikembalikan adalah mobil atau meja itu (tidak boleh ditukar dengan mobil atau
meja lainnya), sedangkan meminjam uang atau beras, maka yang akan dikembalikan
bukan uang atau beras yang diterima itu tetapi sejumlah uang atau beras dengan nilai
yang sama karena beras atau uang habis dipakai.

Untuk membedakan 2 macam pinjam tersebut, maka yang disebutkan pertama dinamakan
pinjam pakai (barang yang dipinjam tidak habis atau musnah karena pemakaian),
sedangkan yang kedua adalah pinjam meminjam (barang yang dipinjam habis atau
musnah karena pemakaian).

Pinjam Pakai diatur dalam 1740 – 1753 KUHPerdata, dimana dalam pinjam pakai ini pihak
yang meminjamkan tetap menjadi pemilik dari barang yang dipinjamkan (Pasal 1741
KUHPerdata).

Dalam perjanjian pinjam pakai semua barang yang dapat dipakai orang dan tidak musnah
karena pemakaian dapat menjadi obyek perjanjian pinjam pakai (Pasal 1742 KUHPerdata).

Perjanjian pinjam pakai ini merupakan contoh dari suatu perjanjian sepihak atau unilateral,
dimana perkataan sepihak ditujukan kepada hanya ada satu prestasi dari satu pihak saja)
sebagai lawan dari suatu perjanjian bertimbal balik atau bilateral. Sifatnya sepihak itu
dinyatakan dengan rumusan ”untuk dipakai secara cuma-cuma”, kalau ada pembayaran
maka berubah menjadi perjanjian sewa menyewa bukan perjanjian pinjam pakai.

2.5.1. Kewajiban Penerima Pinjaman

Siapa yang menerima pinjaman sesuatu, diwajibkan untuk :

a. Menyimpan dan memelihara barang yang dipinjamnya sebagai seorang bapak rumah
yang baik (Pasal 1744 KUHPerdata).

b. Harus menggunakan barang itu sesuai dengan sifat barang itu atau sesuai perjanjian,
kesemuanya atas ancaman penggantian biaya, rugi dan bunga, jika ada alasan untuk
itu.

On Becoming the Centre of Excellence 41


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

c. Mengembalikan barang yang dipinjamnya tepat waktu, sesuai kesepakatan.

d. Bertanggungjawab atas musnahnya barang pinjaman tersebut.

2.5.2. Kewajiban Pemberi Pinjaman

a. Tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamnya kecuali lewat waktu yang
ditentukan (Pasal 1750 KUHPerdata).

b. Menyerahkan barang yang dipinjamkannya.

c. Yang meminjamkan berhak untuk menerima kembali barang yang dipinjamnya.

2.5.3. Resiko

Jika barang digunakan untuk keperluan lain atau lebih lama dari yang diperbolehkan maka
peminjam bertanggungjawab atas musnahnya barang itu, meski karena kejadian yang
sama sekali tidak disengaja (Pasal 1744 KUHPerdata).

Manakala peminjam tidak mentaati perjanjian dalam pemakaian barang maka resiko atas
barang tersebut beralih ke peminjam (peralihan resiko).

2.5.4. Terhadap Barang Pinjaman

a. Seandainya peminjam dapat memilih menggunakan barang sendiri dari pada barang
yang dipinjamnya, maka ia terlebih dulu harus menggunakan barangnya sendiri.

b. Seandainya ada bahaya mengancam baik barang sendiri maupun barang yang
dipinjamnya maka ia harus terlebih dahulu menyelamatkan barang pinjaman itu.

c. Jika dilakukan sebaliknya sehingga barang pinjaman musnah, maka si peminjam


bertanggungjawab.

d. Jika sewaktu dipinjamkan, barang itu dilakukan penaksiran harga dulu oleh kedua
pihak maka bila terjadi musnahnya barang itu adalah tanggungan si peminjam (meski
atas kejadian tak sengaja), kecuali diperjanjikan sebaliknya.

e. Jika barang yang dipinjam mengalami penurunan/kemunduran harga karana


pemakaian, dan diluar kesalahan pemakai, maka si peminjam tidak
bertanggungjawab atas penurunan/kemunduran (Pasal 1747 KUHPerdata) 
dalam praktek biasanya tergantung besar kecilnya penurunan harga.

f. Jika peminjam dalam pemakaiannya mengeluarkan biaya, (misalnya pinjam mobil


lalu beli bensin, cuci), maka tidak dapatlah si peminjam menuntut biaya kepada yang
meminjamkan (Pasal 1748 KUHPerdata)  disini yang dimaksud adalah biaya yang
relatif tidak banyak ( jadi harus ada).

On Becoming the Centre of Excellence 42


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

2.6. PINJAM MEMINJAM

Perjanjian pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat habis
karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini (peminjam) akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (Pasal 1754
KUHPerdata).

Sering pula dengan disebut pakai habis, karena barang yang dipinjamnya dipakai habis
sedangkan pengembaliannya dengan barang sejenis tapi bukan yang dipinjam (yang
dipinjam sudah habis dipakai), misalnya pinjam beras, uang, gula.

Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam itu, pihak yang menerima pinjaman menjadi
pemilik dari barang yang dipinjam, dan jika barang itu musnah, dengan cara
bagaimanapun maka kemusnahan itu adalah atas tanggungannya (Pasal 1755
KUHPerdata).

Karena si peminjam diberikan kekuasaan mutlak untuk menghabiskan barang pinjaman


tersebut, maka sudah seharusnya ia dijadikan pemilik dari barang tersebut.

2.6.1. Pinjam Uang

Jika sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau
ada perubahan berlakunya mata uang, maka pengembalian pinjaman sejumlah uang harus
dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut
harganya (nilainya) yang berlaku pada saat itu. (Pasal 1756 KUHPerdata). Untuk
menetapkan jumlah uang yang terutang harus berpangkal pada yang disebutkan dalam
perjanjian.

2.6.2. Kewajiban yang meminjamkan

Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya,
sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian (Pasal 1759 KUHPerdata).

2.6.3. Kewajiban si peminjam

Orang/pihak yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam


jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu ditentukan (Pasal 1763 KUHPerdata).
Jika tidak mampu mengembalikan dalam jumlah dan keadaan yang sama, dia diwajibkan
membayar harganya.

On Becoming the Centre of Excellence 43


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

2.6.4. Bunga

Diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang/lain barang yang menghabis


karena pemakaian. Bunga yang diperjanjikan atas peminjaman beras atau gandum
lazimnya juga berupa beras atau gandum, meski tidak dilarang untuk menetapkan
bunganya berupa uang.

Bunga ada 2 macam :

a. Bunga yang ditetapkan menurut undang-undang ditentukan sebesar 6 % setahun 


bunga moratoir  karena kelalaian debitur).

b. Bunga yang ditetapkan menurut perjanjian.

2.7. HIBAH

Perjanjian hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya,
dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang
guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan.

Perjanjian Hibah digolongkan perjanjian dengan cuma-cuma, dimana perkataan ”dengan


cuma-cuma” itu ditujukan pada hanya adanya prestrasi dari satu pihak saja, sedang pihak
yang lainnya tidak usah memberikan kontra prestasi sebagai imbalan, perjanjian demikian
dinamakan juga perjanjian sepihak.

Hibah tidak boleh ditarik kembali atas kemauan sepihak dari si penghibah, kecuali
disepakati kedua belah pihak.

Hibah dilakukan oleh orang yang hidup (Pasal 1666 (2) KUHPerdata), hal tersebut juga
membedakan antara penghibahan dengan pemberian-pemberian yang dilakukan dalam
suatu testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah
si pemberi meninggal dunia, dan setiap waktu selama si pemberi wasiat masih hidup dapat
dirubah atau ditarik kembali olehnya. Pemberian dalam testament menurut KUHPerdata
dinamakan legaat atau hibah wasiat yang diatur dalam hukum waris, sedangkan
penghibahan ini adalah suatu perjanjian.

Karena penghibahan menurut KUHPerdata adalah suatu perjanjian, maka dengan


sendirinya tidak boleh ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah, kecuali :

a. Jika syarat-syarat hibah tidak dipenuhi oleh penerima hibah.

b. Penerima hibah bersalah melakukan pembunuhan/kejahatan kepada penghibah.

On Becoming the Centre of Excellence 44


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

c. Jika pemberi hibah jatuh miskin, sedang penerima hibah menolak memberi nafkah
kepadanya.

Penghibahan dalam sistem KUHPerdata adalah bersifat obligatoir (seperti jual beli dan
tukar menukar), dalam arti belum memindahkan hak milik, karena hak milik baru berpindah
dengan dilakukannya “levering” atau penyerahan (secara yuridis), yang cara-caranya sama
dengan perjanjian jual beli. Penghibahan, disamping jual beli dan tukar menukar
merupakan salah satu “titel” bagi pemindahan hak milik.

Penghibahan hanya dapat mengenai barang-barang yang harus sudah ada saat
dihibahkan. Jika meliputi barang-barang baru yang akan ada di kemudian hari, maka
sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal (Pasal 1667 KUHPerdata). Berdasarkan
ketentuan ini maka jika dihibahkan suatu barang yang sudah ada, bersama-sama dengan
suatu barang lain yang baru akan ada dikemudian hari, penghibahan yang mengenai
barang yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah.

Si penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau
memberikan kepada orang lain suatu barang yang termasuk dalam penghibahan.
Penghibahan yang semacam ini, sekedar mengenai barang tersebut dianggap batal (Pasal
1668 KUHPerdata). Harus dilakukan dengan Akta Notaris (Pasal 1682 KUHPerdata).

Larangan memberikan hibah wasiat kepada beberapa orang tertentu karena mempunyai
hubungan begitu khusus sehingga dianggap tidak pantas orang-orang tersebut menerima
suatu pemberian darinya, misalnya :

a. Kepada walinya si pemberi.

b. Kepada dokter yang merawat si pemberi sewaktu ia sakit yang mengakibatkan


matinya si pemberi ini.

c. Kepada Notaris yang membuat testamen tentang hibah wasiat yang dibuat oleh si
pemberi hibah itu.

2.7.1. Cara Menghibahkan

a. Hibah barang bergerak dan bertubuh atau surat-surat penagihan utang atas tunjuk
dari tangan satu ke tangan lain dapat dilakukan begitu saja tanpa akta notariel dan
sah dengan penyearhan belaku dari penghibah kepada penerima hibah atau kepada
pihak ketiga yang menerima penghibahan itu atas nama si penerima hibah.

b. Hibah untuk barang tidak bergerak harus dilakukan dengan formalitas dalam suatu
akta notaris (secara Notariel).

On Becoming the Centre of Excellence 45


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Penerima hibah harus sudah lahir (jika belum dewasa diwakili orang tuanya), dengan
mengindahkan Pasal 2 KUHPerdata, bahwa anak yang masih dalam kandungan dianggap
telah dilahirkan manakala kepentingan si anak itu menghendakinya (Pasal 2 KUHPerdata).

a. Orang yang menghibahkan harus cakap dan dewasa.

b. Barang yang dihibahkan harus sudah ada.

c. Hibah tidak boleh disertai syarat bahwa penghibah boleh menjual barang itu.

d. Penghibah boleh memperjanjikan bahwa akan menarik kembali barang yang


dihibahkan jika si penerima hibah maupun keturunannya meninggal lebih dulu dari si
penghibah, asal semata-mata untuk kepentingan si penghibah sendiri.

e. Jika terjadi penghukuman terhadap barang yang dihibahkan, pihak si penghibah tidak
menanggungnya.

f. Hibah tidak boleh dilakukan antara suami istri.

2.8. PEMBERIAN KUASA

Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan/wewenang


kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang
memberi kuasa (Pasal 1792 KUHPerdata).

2.8.1. Jenis-Jenis Pemberian Kuasa

a. Dari pembuatan surat kuasa dibedakan :


 Akta Umum (dibuat dihadapan Notaris).
 Surat dibawah tangan (dibuat oleh para pihak saja).

b. Dari isi/materi kuasa, maka kuasa dibedakan :


 Kuasa Khusus, hanya untuk kepentingan tertentu saja dan dalam Surat Kuasa
tersebut dicantumkan tugas-tugas atau kekuasaan yang diserahkan oleh si
Pemberi Kuasa kepada si Penerima Kuasa (si Kuasa), misalnya kuasa untuk
mengurus barang saja, hanya dipergunakan untuk mengurus barang tidak
boleh dipergunakan untuk menjual barang).

 Kuasa Umum, kuasa ini bersifat umum dan untuk segala kepentingan pemberi
kuasa, dan biasanya terdapat kata-kata :

“kuasa ini diberikan seluas-luasnya dengan hak bertindak untuk dan atas
nama pemberi kuasa dan atau mewakili pemberi kuasa dalam segala hal dan
segala urusan tanpa ada yang dikecualikan, termasuk hal-hal yang tidak
dicantumkan dalam surat kuasa ini”.

On Becoming the Centre of Excellence 46


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

2.8.2. Kewajiban Penerima Kuasa

a. Melaksanakan kuasanya (sebelum ia dibebaskan).

b. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakan pada waktu pemberi kuasa
meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikan.

c. Bertanggungjawab atas segala yang dilakukannya dengan sengaja dan kelalaian


dalam menjalankan kuasanya.

d. Laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah diperbuatnya.

e. Bertanggungjawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam


melaksanakan kuasa, dalam hal :

 Si Kuasa tidak diberi kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya.

 Bila kuasa diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedang orang yang
dipilihnya ternyata tidak cakap atau tidak mampu (Pasal 1800 sampai dengan
1803 KUHPerdata).

2.8.3. Kewajiban Pemberi Kuasa

a. Memenuhi perjanjian yang telah dibuat antara penerima dan pemberi kuasa.

b. Mengembalikan kepada si penerima kuasa semua persekot/pembayaran-


pembayaran yang telah dikeluarkan si penerima kuasa untuk melaksanakan
kuasanya.

c. Membayar upah kepada penerima kuasa (apabila diperjanjian dengan upah).

d. Memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita penerima kuasa dalam
menjalankan kuasanya, kecuali si penerima kuasa berbuat kurang hati-hati.

2.8.4. Cara Pemberian Kuasa

a. Dapat diberikan dengan cara (Pasal 1793 KUHPerdata) :


 Akta otentik.
 Tulisan di bawah tangan.
 Sepucuk surat.
 Secara lisan.

b. Merupakan perwakilan, yang dapat lahir karena UU dan perjanjian.

On Becoming the Centre of Excellence 47


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

2.8.5. Kuasa Mutlak

Kuasa mutlak adalah surat kuasa yang berisi :

a. penerima kuasa tidak perlu membuat pertanggung jawaban.


b. pemberian kuasa tidak dapat dicabut.
c. kuasa tidak berakhir karena pemberi kuasa atau penerima kuasa meninggal, pailit,
atau menjadi berada di bawah pengampuan.

Menurut jurisprudensi, kuasa mutlak dibolehkan adalah demi keseimbangan hak dan
kewajiban para pihak, antara lain hanya untuk :

a. Kuasa memasang Hak Tanggungan.


b. Kuasa menjual sendiri objek Hak Tanggungan.

2.8.6. Hak Substitusi dan Tanggung Jawab

Dalam pemberian kuasa, si penerima kuasa dapat menunjuk orang lain sebagai
penggantinya dalam melaksanakan kuasanya disebut dengan Hak Substitusi.

Si penerima kuasa bertanggung jawab untuk orang yang telah ditunjuk olehnya sebagai
pengganti/substitusi dalam melaksanakan kuasa.

Ada 3 tanggung jawab yang berbeda, dalam hal :

a. Nama penerima disebutkan, maka orang yang memindahkan kuasa tersebut bebas
dari tanggung jawab mengenai pelaksanaan kuasa tersebut.

b. Nama penerima tidak disebutkan, maka orang yang memindahkan kuasa tersebut
hanya bertanggung jawab jika pemberi kuasa membuktikan bahwa yang kemudian
tidak cakap atau tidak mampu.

c. Tidak disebut adanya hak substitusi, maka orang yang memindahkan kuasa tsb
bertanggung jawab sepenuhnya untuk orang yang ditunjuk sebagai subtitute nya.

2.8.7. Penarikan Kuasa

Penarikan kuasa setiap saat dapat dilakukan oleh Pemberi Kuasa (Pasal 1814
KUHPerdata)  kalau penerima kuasa menolak, maka pencabutan harus via pengadilan.

Penarikan kuasa harus diberitahukan kepada para pihak atau relasi yang berkepentingan
dan diumumkan dalam surat kabar.

Jika penerima kuasa meninggal, maka para ahli warisnya (bila mengetahui) :
a. harus memberitahukan hal tersebut ke pemberi kuasa.

On Becoming the Centre of Excellence 48


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

b. diwajibkan mengamankan kepentingan si pemberi kuasa dan mengambil tindakan-


tindakan yang perlu.

2.8.8. Berakhirnya Pemberian Kuasa

a. Penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa.


b. Pemberitahuan penghentian kuasa.
c. Meninggalnya salah satu pihak.
d. Pemberi/Penerima kuasa dibawah pengampuan.
e. Pailitnya penerima/pemberi kuasa.
f. Kawinnya seorang perempuan yang memberi/menerima kuasa (Pasal 1813
KUHPerdata).

2.8.9. Sistimatika Surat Kuasa

a. Judul “SURAT KUASA“.


b. Identitas pemberi kuasa.
c. Pernyataan pemberian kuasa.
d. Identitas yang diberi kuasa.
e. Pernyataan khusus.
f. Hal yang dikuasakan.
g. Apa-apa yang dapat dilakukan si penerima kuasa.
h. Substitusi.
i. Tempat dan tanggal.
j. Tandatangan.

2.9. MoU

MoU berasal dari kata memorandum dan understanding. MoU tidak dikenal dalam hukum
konvensional Indonesia. Dalam Blacks Law Dictionary memorandum didefinisikan sebagai
a brief written statement outlining the terms of agreement or transaction (terjemahan bebas
: sebuah ringkasan pernyataan tertulis yang menguraikan persyaratan sebuah perjanjian
atau transaksi). Sedangkan understanding adalah an implied agreement resulting from the
express terms of another agreement, whether written or oral; atau a valid contract
engagement of a somewhat informal character; atau a loose and ambiguous terms, unless
it is accompanied by some expression that it is constituted a meeting of the minds of
parties upon something respecting which they intended to be bound (terjemahan bebas :
sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian
lainnya; atau pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau
persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan hasil

On Becoming the Centre of Excellence 49


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

persetujuan atau kesepakatan pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya
untuk mengikat).

MoU merupakan kontrak simple (sederhana) dan tidak disusun secara formal, yang
merupakan dasar untuk dibuat suatu kesepakatan.

Munir Fuady mendefinisikan MoU sebagai perjanjian pendahuluan, yang nanti akan
dijabarkan dan diuraikan dengan perjanjian lainnya yang memuat aturan dan persyaratan
secara lebih detail, sebab itu materi MoU berisi hal-hal yang pokok saja. Adapun Erman
Radjagukguk menyatakan MoU sebagai dokumen yang memuat saling pengertian dan
pemahaman para pihak sebelum dituangkan dalam perjanjian yang formal yang mengikat
kedua belah pihak. Oleh sebab itu muatan MoU harus dituangkan kembali dalam
perjanjian sehingga menjadi kekuatan yang mengikat.

Dari definisi tersebut dapat kita simpulkan unsur-unsur yang terkandung dalam MOU,
yaitu :

a. Merupakan perjanjian pendahuluan.


b. Muatan materi merupakan hal-hal yang pokok.
c. Muatan materi dituangkan dalam kontrak/perjanjian.

Alasan pembuatan suatu MoU adalah :

a. Prospek dari perjanjian tersebut belum jelas.


b. Karena merupakan kesepakatan awal dari adanya perjanjian, maka apabila
perjanjian tidak dapat atau tidak jadi dibuat maka pembatalan dinilai relative lebih
mudah.
c. Berlaku hanya untuk sementara waktu saja sampai perjanjian siap ditandatangani.
d. Penandatanganan suatu kontrak memerlukan waktu yang relative lama.

2.9.1. Pengaturan, Materi Muatan dan Kekuatan Mengikat MOU

Hingga saat ini tidak dikenal pengaturan khusus tentang MoU. Hanya saja, merujuk dari
definisi dan pengertian di atas, dimana MoU tidak lain adalah merupakan perjanjian
pendahuluan, maka pengaturannya tunduk pada ketentuan tentang perikatan yang
tercantum dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pengaturan MoU pada ketentuan buku III KUHPerdata yang sifatnya terbuka membawa
konsekuensi pada materi muatan atau substansi dari MoU yang terbuka pula. Artinya para
pihak diberi kebebasan untuk menentukan materi muatan MoU akan mengatur apa saja,
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, dan norma kepatutan, kehati-hatian dan
kesusilaan yang hidup dan diakui dalam masyarakat, serta sepanjang penyusunan MoU itu

On Becoming the Centre of Excellence 50


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

memenuhi syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian sebagaimana tertuang dalam Pasal


1320 KUHPerdata.

Selanjutnya ciri-ciri Mou adalah :

a. Tidak ada format khusus / tertentu.


b. Isinya singkat berupa hal pokok.
c. Merupakan pendahuluan, yang biasanya akan diikut suatu kontrak terperinci.
d. Biasanya tidak ada klausula kewajiban yang bersifat memaksa.
e. Tidak bersifat operasional.
f. Tidak mencantumkan sanksi.

Bagaimana dengan kekuatan mengikat MOU? apakah MOU mempunyai daya paksa
untuk dilaksanakan bagi para pihak?

Tentang hal ini terdapat dua pendapat :

Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa MoU kekuatan mengikat dan memaksa
sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan
tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak yang membuatnya
serta bahwa MoU adalah merupakan perjanjian pendahuluan, bukan berarti MoU tersebut
tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak untuk mentaatinya
dan/atau melaksanakannya.

Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata menjadi dasar hukum bagi kekuatan mengikat MoU
itu. Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Dengan kata lain jika MoU itu telah dibuat
secara sah, memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal
1320 KUHPerdata, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat
disamakan dengan sebuah undang-undang-yang mempunyai kekuatan mengikat dan
memaksa. Tentu saja pengikat itu hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal pokok
yang termuat dalam MoU.

Kedua, pendapat yang menyatakan-dengan menitikberatkan MoU sebagai sebuah


perjanjian pendahuluan sebagai bukti awal suatu kesepakatan yang memuat hal-hal
pokok, serta yang harus diikuti oleh perjanjian lain, maka walaupun pengaturan MoU
tunduk pada ketentuan perikatan dalam KUHPerdata, kekuatan mengikat MoU hanya
sebatas moral saja. Dengan kata lain pula MoU merupakan Gentlement Agreement.

Penggunaan istilah MoU harus dibedakan dari segi teoritis dan praktis. Secara teoritis
dokumen MoU bukan merupakan dokumen yang mengikat para pihak. Agar mengikat
secara hukum, harus ditindaklanjuti dengan perjanjian. Kesepakatan dalam MoU hanya

On Becoming the Centre of Excellence 51


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

bersifat ikatan moral. Secara praktis MoU disejajarkan dengan perjanjian. Ikatan yang
terjadi tidak hanya bersifat moral, tetapi juga hukum.

Bagaimana jika terjadi pelanggaran terhadap MOU? adakah upaya hukum yang
dapat dilakukan?

Jika kita menganut pendapat yang pertama, yang menyatakan bahwa kekuatan mengikat
MoU sama dengan perjanjian  bersifat memaksa bagi para pihak, maka dalam hal terjadi
wanprestasi atau kelalaian dari para pihak atas kesepakatan mengenai hal-hal pokok tadi,
pihak yang lain dapat melakukan upaya hukum perdata atas dasar gugatan wan prestasi
atau ingkar janji. Sedangkan jika kita menganut pendapat kedua, dimana kekuatan
mengikat MoU hanya sebatas moral obligation saja, maka para pihak cenderung akan
menghindari melakukan upaya hukum.

Atas kedua pendapat tersebut di atas, pilihan diserahkan pada masing-masing pihak. Yang
pasti jika ada perbedaan penafsiran dari para pihak tentang kekuatan mengikat MoU ini,
maka menurut saya pihak yang menganut pendapat pertama tetap dapat melakukan
upaya hukum perdata ke pengadilan jika pihak lain yang melakukan ingkar janji atas MoU
menjadi penganut pendapat yang kedua.

On Becoming the Centre of Excellence 52


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

3. TEKNIK PEMBUATAN RANCANGAN KONTRAK

3.1. SISTIMATIKA PERJANJIAN

Dalam merancang dan menyusun suatu kontrak (perjanjian tertulis) perlu ditentukan
format atau kerangka dari perjanjian itu sendiri yang berbentuk sistimatika atau anatomi
suatu kontrak.

Sistimatika atau pola suatu kontrak (perjanjian tertulis) secara garis besar adalah sebagai
berikut :

a. Judul
b. Pembukaan
c. Komparisi/Para Pihak
d. Premise
e. Isi Perjanjian
f. Penutup
g. Tanda tangan

3.1.1. Judul

Judul suatu akta bisanya diberi nama sesuai dengan isinya, misalnya perjanjian jual beli
komputer, dengan judul tersebut sudah tentu dapat ditebak atau diketahui bahwa isi
perjanjian itu mengatur mengenai suatu barang yang bernama komputer.

Dari judul diharapkan dapat memberikan gambaran atau sekurang-kurangnya dapat


diketahui bahwa isi akta itu berbicara berkaitan dengan judul atau nama perjanjian.

Judul jangan terlalu singkat dan jangan menyesatkan, misalnya judul perjanjian jual beli
rumah atau perjanjian sewa menyewa rumah.

Pemberian nomor sekedar untuk penandaan dokumen dari pihak-pihak dan bukan suatu
keharusan karena tidak ada kaitannya dengan maksud dan tujuan perjanjian. Untuk Akta
Notaris penomoran merupakan suatu keharusan karena ada kaitannya dengan
pendaftaran akta tersebut ke Departemen Hukum dan HAM.

Dalam membuat suatu perjanjian (perjanjian apapun juga), secara garis besar dapat
dipilah menjadi bagian-bagian tertentu sehingga mudah diketahui dan jelas susunan atau
sistimatikanya. Judul suatu akta biasanya diberi nama sesuai dengan isinya, misalnya
”perjanjian jual beli tenaga listrik”. Dengan judul tersebut dapat ditebak atau diketahui

On Becoming the Centre of Excellence 53


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

bahwa isi perjanjian itu mengatur mengenai jual beli tenaga listrik, karena itu suatu judul
perjanjian haruslah sesuai dengan isi dari perjanjian itu, jangan sampai terjadi penyesatan.

Dari judul perjanjian diharapkan dapat memberikan gambaran atau setidak-tidaknya


dapat diketahui bahwa isi akta itu akan berbicara berkaitan dengan judul atau nama
perjanjian. Selain itu ada pula pihak (perusahaan) yang membuat judul dengan menuliskan
nomor perjanjian, yang mungkin diambil dari nomor urut kontrak-kontrak yang pernah
dibuatnya, lebih-lebih lagi apabila dibuat oleh suatu instansi atau perusahaan.

Nomor perjanjian seperti itu sebenarnya tidak harus ada atau tidak dipersyaratkan dalam
suatu perjanjian karena tidak mempunyai kaitan dengan maksud dan tujuan perusahaan.
Tanpa penomoran itupun perjanian tetap sah menurut hukum sepanjang persyaratan yang
ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata telah dipenuhi.

Lain halnya apabila akta itu merupakan akta yang dibuat seorang notaris, maka akta itu
haruslah diberi nomor akta. Selain akta itu merupakan akta notaris, penomoran itu
dimaksudkan juga untuk tujuan lain. Misalnya untuk pengaturan urutan waktu pembuatan
akta tersebut, bahwa nomor kecil tentunya dibuat lebih dahulu dari pada nomor yang lebih
besar.

Suatu judul perjanjian tidak perlu terlalu panjang sampai lengkap sekali, namun juga
jangan terlalu pendek, karena bila terlalu singkat akhirnya akan menjadi tidak jelas atau
bahkan bisa menyesatkan. Misalnya ”Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik untuk rumah di
Jalan Sangkuriang Nomor 5 Bandung”, cukuplah ditulis dengan ”Perjanjian Jual Beli
Tenaga Listrik”.

Contoh Judul Perjanjian, misalnya :

a. Perjanjian Sewa Menyewa Rumah.


b. Perjanjian Jual Beli Rumah.

3.1.2. Pembukaan

Setelah judul kemudian diawali dengan ”Pembukaan” yang merupakan awal dari suatu
akta. Apabila dalam pembuatan suatu ”akta dibawah tangan” biasanya dimulai dengan
kata-kata kalimat :

a. Perjanjian Kerjasama Operasi (selanjutnya disebut “Perjanjian”) ini dibuat pada hari
ini ______ di ________ oleh dan antara :
b. Perjanjian Jual Beli Aset (“Perjanjian”) ini dibuat dan ditandatangani di ______ pada
hari ______ tanggal ______ oleh dan antara :
c. Pada hari ini, Kamis tanggal 16 Maret 2006, di Medan, yang bertanda tangan
dibawah ini :

On Becoming the Centre of Excellence 54


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

d. Perjanian ini dibuat di Jakarta pada hari Selasa, tanggal 11 Mei tahun 2009 oleh dan
antara : __________
e. Yang bertanda tangan dibawah ini :
1. PT PLN (Persero) .....
(setelah pembukaan diatas, dilanjutkan identitas para pihak).

Pada akta notariil atau akta notaris umumnya selalu dibuka dengan kalimat :

”Pada hari ini Jumat tanggal duapuluh satu Desember tahun duaribu satu, hadir
dihadapan saya, Rudianto, Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta, dengan dihadiri oleh
saksi-saksi yang saya, Notaris, kenal dan akan disebutkan pada bagian akhir akta ini: ”
..........”

Untuk akta dibawah tangan tidak dilarang menggunakan pembukaan yang lebih kurang
sama atau mirip dengan akta notaris, karena pada akta dibawah tangan bentuknya bisa
bebas.

3.1.3. Komparisi/Para Pihak

Komparisi merupakan bagian suatu akta yang menyebutkan nama-nama para pihak yang
membuat perjanjian, lengkap dengan penyebutan pekerjaan dan identitas serta tempat
tinggal yang bersangkutan. Identitas disini bukan dalam arti jati diri yang menyebutkan ciri-
ciri khusus seseorang, melainkan mengenai pekerjaan, tempat tinggal dan biasanya juga
mencakup kewenangan para pihak sehingga yang bersangkutan berhak melakukan
tindakan hukum sebagaimana dinyatakan dalam akta.

Yang dimaksud dengan komparisi adalah bagian dari akta yang dimuat setelah judul dan
awal akta, yang mengandung identitas para pihak atau pembuat perjanjian, termasuk
uraian yang dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan mempunyai kecakapan serta
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum sebagaimana dinyatakan dalam
akta.

Komparisi mengandung fungsi-fungsi sebagai berikut :

a. Menjelaskan identitas para pihak.


b. Dalam kedudukan apa yang bersangkutan bertindak.
c. Berdasarkan apa kedudukannya tersebut.
d. Alamat / tempat tinggal.

Contoh Komparisi sebagai berikut :

a. PT XYZ, NPWP No. ___, yang didirikan dengan Akta Notaris ___, SH di Jakarta No.
___ tanggal ___ sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan Akta No. ___
tanggal ___ yang telah disahkan dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. ___

On Becoming the Centre of Excellence 55


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

tanggal ___ dan telah diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia tanggal ___ No. ___), berkedudukan di ___, dalam perbuatan hukum ini
diwakili secara sah oleh ___, Direktur Utama PT XYZ, selanjutnya disebut “XYZ”
(atau PIHAK PERTAMA).

b. PT BIRU LANGIT, suatu badan usaha patungan dalam pendirian yang sahamnya
dimiliki oleh:
PT KERTAS KUNING sejumlah ____ %
PT DAUN HIJAU sejumlah ____ %
PT DELIMA MERAH sejumlah ____ %

c. Yang didirikan berdasarkan Akta Notaris ____, SH di ____ No. ____ tanggal ____,
yang sedang dalam proses pengesahan Menteri Kehakiman, berkedudukan di ____,
dalam perbuatan hukum ini diwakili secara sah oleh ____, Direktur Utama PT
LANGIT BIRU, selanjutnya disebut “PIHAK PERTAMA”.

d. PT TRI, perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum negara Republik


Indonesia, berkedudukan di ____, dalam hal ini diwakili oleh ____ yang bertindak
dalam kedudukannya selaku ____ dan untuk tindakan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Perjanjian ini telah mendapatkan persetujuan dari rapat umum luar
biasa pemegang saham PT TRI sebagaimana terbukti dalam Berita Acara Rapat
Umum Pemegang Saham PT TRI tertanggal ____ yang dilampirkan dalam perjanjian
ini (selanjutnya disebut “Penjual”).

e. Yang bertanda tangan dibawah ini :


1. Tuan Sunarso, swasta bertempat tinggal di Jakarta Pusat, Jalan Primadona
No. 30, selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama atau ”Penjual“.
2. Tuan Haryono, swasta bertempat tingal di Jalan Sunan Ampel Nomor 10A
Surabaya, selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua atau “Pembeli”.

3.1.4. Premise

Dalam menyusun dokumen kontrak, Premise atau recitals biasa dipergunakan sebagai
pendahuluan suatu akta atau pengantar yang menunjukkan maksud utama dari para pihak,
dan menyatakan alas an atau latar belakang mengapa suatu akta perjanjian/kontrak itu
dibuat. Premise juga disebut sebagai pernyataan yang merupakan
konsideran/pertimbangan, latar belakang mengapa sampai lahir suatu perikatan.
Penulisannya dalam akta biasanya dimulai dengan kata “Bahwa, …. “, seperti contoh :

On Becoming the Centre of Excellence 56


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Contoh 1 :

Para Pihak menerangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut :

a. Bahwa, PIHAK Pertama merupakan perusahaan yang sudah lama bergerak di


bidang property yang memiliki cabang-cabang hampir diseluruh kota di Indonesia;
b. Bahwa, Pihak Pertama juga sebagai pemilik tanah dan bangunan yang terletak di
jalan ………………seluas …….. M2 berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan
Nomor : …;
c. Bahwa, Pihak Pertama hendak menjual tanahnya berikut semua bangunan dan
benda yang berada diatasnya kepada Pihak Kedua, dan Pihak Kedua bersedia
membeli tanah dan bangunan tersebut dari Pihak Pertama;
d. Bahwa Pihak Kedua adalah merupakan perusahaan yang bergerak di bidang
………….;
e. Bahwa Pihak Kedua memerlukan sebidang tanah …….;
f. Bahwa Pihak Kedua bermaksud membeli tanah pihak Pertama ………;

Selanjutnya Para Pihak saling setuju atau sepakat untuk melangsungkan jual beli ini dalam
suatu perjanjian, dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :

Contoh 2 :

Para Pihak terlebih dahulu menerangkan sebagai berikut :

a. Bahwa Pihak Pertama telah berpengalaman sejak lama dalam memproduksi dan
menjual …….;
b. Bahwa Pihak Pertama memiliki informasi teknologi yang bernilai atas produksi dan
penggunaan barang-barang tersebut;
c. Bahwa Pihak Pertama mempunyai hak melimpahkan lisensi yang menggunakan
informasi teknologi dan atau hak milik industrial sehubungan dengan lisensi
produksi;
d. Bahwa Pihak Kedua bermaksud untuk memperoleh lisensi dan hak untuk
memproduksi, menggunakan dan menjual produk berlisensi berdasarkan informasi
teknologi dan hak milik industrial yang diberikan oleh Pihak Pertama dengan
ketentuan dan persyaratan sebagai yang telah ditetapkan;

Selanjutnya atas dasar pertimbangan yang telah ditetapkan, para pihak dengan ini saling
setuju untuk membuat perjanjian ini, dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :

Hal-hal yang dicantumkan dalam premise tersebut adalah sesuai dengan bidang-bidang
yang digeluti oleh para pihak, biasanya menyangkut sebagian dari hal-hal yang disebutkan
diatas, umumnya diakhiri dengan pernyataan kesepakatan antara pihak-pihak
sebagaimana disyaratkan oleh pasal 1320 KUHPerdata.

On Becoming the Centre of Excellence 57


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

3.1.5. Isi Perjanjian

Dalam isi perjanjian ini para pihak mencantumkan segala hal atau pokok-pokok yang
dianggap perlu, yang merupakan kehendak para pihak sebagai suatu pernyataan tertulis
yang sah. Sebagai pokok perjanjian, maka diharapkan dapat mencakup dan mengandung
semua isi perjanjian yang sekaligus merupakan isi akta yang memuat secara mendetail
mengenai obyek perjanjian, hak dan kewajiban, serta uraian secara lengkap mengenai
prestasi. Hal-hal yang dituangkan dalam perjanjian akan mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya, karena berlaku sebagai Undang
undang baginya, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

Mengenai isi pasal-pasal dalam perjanjian, secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) bagian yang masing-masing dapat dikelompokkan menjadi :

- Unsur Esensialia.
- Unsur Naturalia.
- Unsur Aksidentalia.

a. Unsur Esensialia

Yang dimaksud dengan Esensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal
pokok sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu
perjanjian, sehingga perjanjian tanpa hal pokok tersebut tidak sah dan tidak mengikat para
pihak yang membuat perjanjian tersebut. Syarat ini ditentukan dan diharuskan oleh
undang-undang karena bila tidak tercantum, perjanjian ini menjadi tidak sah dan tidak
mengikat.

Yang dimaksud syarat pokok atau esensialia dari suatu perjanjian adalah berbeda-beda
bergantung pada jenis perjanjiannya itu sendiri. Sebagai contoh dalam jual beli, yang
merupakan esensialia adalah barang dan harga.

Demikian pula bila esensialia dari suatu perjanjian sewa menyewa, yaitu mengenai barang
dan sewanya. Ataupun pekerjaan dan upah pada perjanjian yang berkaitan dengan tenaga
kerja.

Bagi perjanjian lainnya, disyaratkan untuk menyebutkan hal-hal pokok yang harus
dicantumkan dalam perjanjian, tanpa itu perjanjian dianggap tidak sah dan batal demi
hukum.

Hal penting pula yang berkaitan dengan ketentuan pokok tersebut adalah mengenai hak
dan kewajiban.

Contoh dari Unsur Esensialia, misalnya :

On Becoming the Centre of Excellence 58


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Pasal 1
Macam Barang dan Harga

(1) Pihak Kedua mengikatkan diri untuk menjual dan menyerahkan barangnya kepada
Pihak Pertama yang dengan ini mengikatkan diri untuk membeli dan menerima
penyerahan atas barang berupa Air Conditioner sejumlah 3 (tiga) buah dalam
keadaan baik dengan spesifikasi sebagaimana tersebut dalam Lampiran perjanjian
ini.
(2) Jual beli atas barang-barang pada ayat (1) Pasal ini termasuk pekerjaan
pemasangan instalasi berikut sistim pengamanannya di bangunan kantor milik Pihak
Pertama.

Pasal 2
Harga barang

Harga penjualan dan pembelian barang barang tersebut Pasal 1 Perjanjian ini telah
ditetapkan dan disetujui oleh kedua belah pihak sebesar Rp. …… (……….… rupiah),
belum termasuk pajak-pajak.

b. Unsur Naturalia

Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang biasanya dicantumkan dalam
perjanjian. Namun, tanpa pencantuman syarat yang dimaksud itupun, suatu perjanjian
tetap sah dan tidak mengakibatkan suatu perjanjian menjadi tidak mengikat. Lainnya
halnya dengan syarat esensialia yang bila tidak dipenuhi perjanjian menjadi cacat.

Dalam hal ini apabila syarat yang biasanya dicantumkan kemudian ternyata tidak dimuat
atau tidak diatur dalam perjanjian, peran undang-undang akan tampil untuk mengisi
kekosongan yang terjadi sesuai dengan sifat hukum perjanjian yang accesoir.

Misalnya dalam suatu perjanjian jual beli, tidak diatur mengenai siapa yang berkewajiban
membayar biaya balik nama. Bila mengenai hal tersebut tidak diperjanjikan, maka
ketentuan undang-undang berlaku, yaitu bahwa biaya-biaya akta jual beli dan biaya
tambahan lain dipikul oleh si pembeli kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya (Pasal
1466 KUHPerdata).

Hal-hal umum lainya yang biasa termasuk unsure naturalia adalah :


 cara pembayaran.
 waktu dan tempat penyerahan.
 biaya angkutan.
 pemasangan atau instalasi.

On Becoming the Centre of Excellence 59


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

c. Unsur Aksidentalia

Yaitu berbagai hal khusus yang dinyakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak.
Kata accidental artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak ada, bergantung pada
keinginan para pihak, merasa perlu untuk memuat ataukah tidak.

Aksidetalia adalah suatu syarat yang tidak harus ada, tetapi dicantumkan juga oleh para
pihak untuk keperluan tertentu dengan maksud khusus sebagai suatu kepastian. Dan hal
iini dimungkinkan oleh undang-undang atas dasar asas kebebasan berkontrak, asalkan hal
tersebut tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.

Hal khusus tersebut biasanya tidak diatur dalam peraturan perundangan sehingga apabila
para pihak tidak mengatur dalam perjanjiannya, hal yang diinginkan tersebut juga tidak
mengikat para pihak karena tidak ada dalam undang-undang. Jadi bila tidak dimuat, berarti
tidak mengikat.

Contoh dalam perjanjian sewa menyewa, secara khusus diperjanjikan apabila dikemudian
hari perjanjian tersebut berakhir si penyewa wajib menyerahkan semua kuitansi
pembayaran yang pernah dilakukan oleh penyewa kepada yang menyewakan seperti
rekening listrik, air, PDAM, PBB dan sebagainya.

3.1.6. Penutup

Setiap perjanjian tertulis selalu ditutup dengan kata atau kalimat yang menyatakan bahwa
perjanjian itu dibuat dalam jumlah atau rangkap yang diperlukan dan bermeterai cukup,
maksudnya telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Perjanjian ini ditandatangani oleh
para pihak atau yang mewakili dan bertindak untuk dan atas nama serta saksi-saksi.

Perlu diperhatikan bahwa apabila pada saat pembukaan perjanjian belum disebutkan
“waktu” dan “tempat” perjanjian itu dibuat, dalam penutup keduanya harus disebutkan.

Contoh :

Demikianlah perjanjian ini dibuat dalam dua rangkap bermeterai cukup, satu rangkap untuk
Pihak Pertama dan satu rangkap untuk Pihak Kedua, masing-masing mempunyai kekuatan
hukum yang sama serta ditandatangani oleh para pihak pihak di Jakarta pada tanggal 2
Januari 2009 (bila ada saksi ditambahkan dengan dihadiri saksi-saksi).

Pihak Kedua Pihak Pertama

(…………………….) (…..………………)
Saksi-saksi
Saksi 1 Saksi 2
(…………………….) (…..………………)

On Becoming the Centre of Excellence 60


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

3.2. LANGKAH-LANGKAH MENYUSUN KONTRAK

Dalam menyusun rancangan kontrak setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan
yaitu Anggaran Dasar Perusahaan, Peraturan yang terkait dengan perjanjian, kebijakan
internal perusahaan, dan buku III KUHPerdata tentang Perikatan.

Ada tiga langkah yang perlu dilakukan dalam merancang atau menyusun suatu kontrak,
yang pada pokoknya adalah :

a. Persiapan merancang kontrak.


b. Penelaahan kontrak.
c. Pembahasan klausula kontrak.

3.2.1. Persiapan Merancang Kontrak

a. Pada tahap persiapan dalam merancang/menyusun kontrak terlebih dahulu yang


dilakukan adalah merumuskan hal-hal yang hendak diperjanjikan dengan
menanyakan kepada user/pihak yang mengetahui tentang hal-hal yang akan
ditransaksikan. Dari hasil perumusan ini dilanjutkan dengan mencari data, dokumen
atau bahan-bahan yang dapat mendukung dan terkait dengan rencana transaksi,
selanjutnya memahami rencana transaksi yang akan dilakukan dengan cara
membaca literature yang relevan sambil mencari informasi dan bertanya pada pihak-
pihak yang dianggap mengetahui.

Dalam mermpersiapkan rancangan kontrak harus memperhatikan hal-hal yang terkait


dengan peraturan perundangan yang terkait, kebijakan atau peraturan internal
perusahaan, anggaran dasar perusahaan serta ketentuan tentang perikatan, hal
tersebut sudah semestinya mengingat suatu perusahaan tentulah memiliki
keterikatan dengan hal-hal tersebut.

b. Untuk lebih memudahkan dalam mempersiapkan kontrak diperlukan referensi,


misalnya saja melihat dan mempelajari perjanjian-perjanjian (kontrak-kontrak) yang
mirip atau sejenis.

c. Selanjutnya dengan dokumen pendukung dan referensi yang ada, maka harus dapat
ditentukan pihak-pihak yang hendak mewakili atau melakukan transaksi untuk
dicantumkan dalam identitas Para Pihak (komparisi), dan dapat memformulasikan
latar belakang diadakannya kontrak (premise) serta menuliskan hal-hal atau pokok-
pokok pikiran apa yang hendak dimasukkan dalam perjanjian/kontrak.

d. Pokok-pokok pikiran tersebut kemudian disusun secara sistimatis ke dalam klausula


definisi, klausula transaksi, klausula spesifik dan klausula ketentuan selanjutnya
merumuskannya dalam kalimat yang jelas dari tiap-tiap pokok pikiran yang sudah
tersusun. Pengecekan kembali perlu dilakukan terhadap rancangan awal

On Becoming the Centre of Excellence 61


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

perjanjian/kontrak untuk kemudian dikonsultasikan atau dikonfirmasikan dengan


atasan maupun user dan melakukan perbaikan sesuai permintaan user sebagai
koreksi terakhir. Perancang harus memahami secara komprehensif terhadap
rancangan kontrak sebelum dilakukan pembahasan atau dinegosiasikan dengan
counterpart. Dengan persiapan sedemikian rupa maka rancangan kontrak tersebut
setidaknya akan dapat meminimalkan atau bahkan menghilangkan kemungkinan
terjadinya kesalahan (error free).

3.2.2. Penelaahan Rancangan Kontrak


Sebelum dilakukan pembahasan atau dinegosiasikan dengan pihak counterpart
seyogyanyalah rancangan kontrak tersebut dikonsultasikan dan diserahkan kepada bagian
hukum untuk dapat ditelaah dan dilakukan verifikasi apakah sudah betul-betul
mencerminkan keinginan dan melindungi klien, bilamana perlu dilakukan perbaikan-
perbaikan atau penyempurnaan terhadap pasal-pasal yang kurang memadai.

3.2.3. Pembahasan Rancangan Kontrak

Persiapan :

a. Untuk membahas dan menegosiasikan rancangan kontrak, maka haruslah mampu


menguasai rancangan kontrak secara komprehensif dan rinci dengan memahami
industri dari kontrak, menguasai peraturan perundang-undangan yang melingkupi
kontrak, memahami betul apa yang diinginkan oleh pihak yang diwakili dan posisinya.

b. Dilakukan identifikasi poin-poin yang berpotensi menjadi masalah atau


dipermasalahkan dan mempersiapkan antisipasi solusi dari poin-poin yang
berpotensi menjadi masalah.

c. Karena harus melakukan diskusi dan kadang berdebat dengan counterpart, maka
negosiator haruslah memiliki kemampuan dan kepercayaan diri yang tinggi. Tempat
pembahasan sedapat mungkin dilakukan di kantor sendiri atau paling tidak di tempat
yang netral.

Pelaksanaan :

a. Pelaksanaan Pembahasan Perjanjian

 Pembahasan Perjanjian dilakukan untuk mendapatkan titik temu dengan


counterpart dengan mengupayakan agar isi rancangan kontrak tersebut dapat
dipahami dan dapat diterima atau disepakati, tetapi sebagaimana lazimnya
dalam suatu pembahasan kontrak tentu terjadi tawar menawar bahkan
perdebatan yang kadang-kadang memerlukan waktu beberapa kali bertemu,

On Becoming the Centre of Excellence 62


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

tidak jarang dalam suatu pembahasan rancangan kontrak terjadi ketidak


cocokan atau bahkan menemui jalan buntu.

 Dalam melakukan pembahasan dengan counterpart negosiator harus


mengetahui siapa yang dihadapi, dapat mengukur kekuatan dan sedapat
mungkin dapat memimpin dalam pembahasan ini.

 Sudah menetapkan apa saja yang hendak dicapai dalam negosiasi.

 Minta agar pihak counterpart memberitahukan apa yang menjadi keinginannya


(demand).

 Selesaikan poin-poin yang mudah untuk diselesaikan lebih dahulu dan


menunda poin-poin yang rumit.

 Berikan argumentasi yang logis serta analogis untuk menjelaskan


posisi/pandangan dan sedapat mungkin mempermainkan/mengendalikan
emosi.

 Jangan terburu-buru untuk menyelesaikan hal-hal yang belum dapat


diselesaikan.

 Jangan terjebak untuk segera menyelesaikan pending matters dan jangan ambil
keputusan terhadap poin yang perlu mendapat arahan dari pihak yang diwakili.

 Jika masih memiliki waktu sedapat mungkin tidak menyelesaikan proses


pembahasan dengan terburu-buru dan selesai hanya dalam satu kali
pertemuan, padahal sebenarnya masih banyak hal yang harus konsultasikan
dengan atasan di kantor.

 Catat semua hal yang telah disepakati (membuat notulen rapat), selanjutnya
tuangkan hasil pembahasan dalam rancangan kontrak sesuai yang telah
disepakati.

Apabila hal-hal diatas dilakukan dengan baik maka kontrak yang dibuat oleh para pihak
akan memberikan suatu kepastian hukum dan keadilan bagi kedua belah pihak, karena
substansi kontrak telah dibahas oleh kedua belah pihak secara komprehensif.

On Becoming the Centre of Excellence 63


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

4. PENAFSIRAN KONTRAK

4.1. LATAR BELAKANG KONTRAK PERLU DITAFSIRKAN

Idealnya kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, klausula, kalimat dalam kontrak
seharusnya sudah dengan sendirinya dapat menjelaskan maksud dari klausula-klausula
yang ada. Apabila semuanya sudah jelas ditulis dalam kontrak, penafsiran kontrak tidak
diperlukan, atau bahkan tidak diperbolehkan, kalau ternyata penafsiran tersebut
mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat dalam klausula-klausula kontrak.

Namun demikian dalam praktek rancangan kontrak sangat beragam, ada yang panjang
terurai ada yang singkat padat, sehingga dalam ilmu hokum, kontrak disebut sebagai
“Doktrin Kejelasan Makna (plain meaning reles).yang diatur dalam Pasal 1342 BW, yang
menyatakan bahwa: Jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas, maka tidak lagi
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.

Mengingat keanekaragaman kontrak tersebut, akhirnya dibutuhkan kejelasan kontrak


yang dilakukan dengan berbagai metode penafsiran kontrak. Disamping itu karena kontrak
merupakan ungkapan kemauan para pihak yang diungkapkan dalam kata-kata yang
terbatas, maka hamper tidak pernah ada kontrak yang tidak memerlukan penafsiran-
penafsiran. Dalam kenyataannya tidak ada kontrak yang tidak memerlukan penafsiran,
walaupun kontrak tersebut dibuat oleh lawyer yg professional.

Penafsiran kontrak adalah suatu metode yang menunjukan proses dalam member arti
yang sebebanrnya terhadap bahasa yang dituangkan dalan kontrak, agar dapat ditentukan
bagaimana akibat hokum dari kontrak tersebut.

Perbedaan antara istilah penafsiran (interpretation) dengan istilah konstruksi (construction)


terhada suatu kontrak. Penafsiran, lebih menitikberatkan pada pemberian arti terhadap
bahasa yang digunakan. Konstruksi, diartikan sebagai penentuan akibat hokum dari
kontrak yang sudah ditafsirkan tersut.

Penafsiran bahasa dalam hokum kontrak tidak sebatas member arti sempit secara
semantik, penafsiran kontrak lebih luas dari penafsiran semantic, karena dipengaruhi hal-
hal sebagai berikut:

a. Maksud para pihak

Penafsir kontrak harus mengetahui maksud para pihak, tidak sekedar yang tertuang
dalam tulisan, tetapi juga latar belakang dibuatnya kontrak. Misal yang dimaksudkan

On Becoming the Centre of Excellence 64


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

dalam kontrak jual beli oleh para pihak adalah kontrak pembiayaan yang disebut Sale
and Lease Back.

b. Kebiasaan dalam praktek

Kebiasaan dalam praktek perdagangan (trade usage), missal 1 rem kertas secara
semantic adalah 400 lembar, maka pada saat 1 rem kertas berisi 395 lembar, maka
kondisi tersebut tidak dapat dikatakan wanprestasi, karena kebiasaan praktek jual beli,
1 rem kertas berkisar 390-410 lembar.

c. Sejarah hokum

Banyak istilah hokum yang mempunyai arti sendiri sesuai sejarah dari istilah tersebut,
sehinggi memiliki makna yang tidak sama dengan pengertian dalam bahasa sehari-
hari. Misal: apabila disebut melawan hokum (onrechtmatige daad) tidak berarti
melawan hokum terhadap segala bidang hokum, tetapi hanya bidang hokum perdata
saja.

Pada prinsipnya penafsiran kontrak diperlukan jika dalam kontrak terdapat hal-hal sebagai
berikut:

a. Bahasa dalam kontrak tidak jelas artinya/ketikannya.


b. Bahasa dalam kontrak sangat umum, kurang terperinci.
c. Terdapat ambigus (lebih dari 1 arti) dari bahasa dalam kontrak.
d. Terhadap bahasa dalam kontrak dapat diberikan berbagai penafsiran.
e. Terdapat keragu-raguan terhadap bahasa dalam kontrak.

Jika dalam kontrak ditulis warna abu-abu, maka akan sulit menafsirkan warna abu-abu
tersebut, walaupun jelas bahwa abu-abu adalah bukan puti dan bukan hitam, akan tetapi
ruang jelajah warna abu-abu sangat luas. Banyak kata-kata tidak tegas dalam kontrak,
misalnya: sepantasnya, segera, wajar dll.

4.2. METODE PENAFSIRAN

Dalam ilmu hukum kontrak, dikenal 3 penafsiran kontrak, yaitu:

a. Penafsiran subyektif
Penafsiran kontrak dilakukan dengan berpegang pada maksud dan tujuan para pihak,
tanpa terlalu berpegang pada kata-kata yang ada dalam kontrak (Pasal 1343 KuH
Perdata).

On Becoming the Centre of Excellence 65


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

b. Penafsiran obyektif
Penafsiran yang lebih menekankan pada apa yang tertulis dalam kontrak, disbanding
dengan melihat maksud dari para pihak. Doktrin “pengertian jelas” menyatakan bahwa
tidak diperlukan penafsiran, apabila dalam kontrak sudah jelas artinya (Pasal 1342
KUHPerdata)

c. Penafsiran antara subyektif dan obyektif


Metode ini banyak digunakan dalam praktek.

4.3. PRINSIP-PRINSIP DALAM PENAFSIRAN KONTRAK

Dalam ilmu hukum kontrak, dikenal 3 unsur yang harus dipenuhi dalam penafsiran kontrak:

a. Penafsiran kontrak harus untuk mendapatkan arti yang logis dan/masuk akal
(reasonable).

b. Penafsiran kontrak harus untuk mendapatkan arti sesuai dengan UU dan kebiasaan
yang berlaku.

c. Penafsiran kontrak haruslah untuk mendapatkan arti yang efektif dan efisien

Prinsip-prinsip penafsiran kontrak berdasarkan Pasal 1342 dan Pasal 1351 KUHPerdata :

a. Jika kata-kata sudah jelas, tidak boleh ditafsirkan menyimpang (Pasal 1342).

b. Disesuaikan dengan maksud kedua belah pihak (Pasal 1343), tidak kaku pada
bahasa dalam kontrak.

c. Dipilih pengertian yang paling mungkin dilaksakan kontrak tersebut (Pasal 1344).

d. Dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat kontrak (Pasal 1345).

e. Ditafsirkan dengan kebiasaan setempat (Pasal 1346).

f. Hal-hal yang selamanya ada dalam kontrak, harus ditafsirkan secara menyeluruh
(Pasal 1347).

g. Antara 1 klausula dengan klausula lain, harus dianggap ada dalam setiap kontrak
(Pasal 1347)

h. Ditafsirkan untuk kerugian pihak yang minta diperjanjikan hal tertentu (Pasal 1349).

i. Ditafsirkan sesuai maksud para pihak dalam membuat kontral (Pasal 1350), terhadap
kata yang sangat luas artinya.

j. Penegasan terhadap sesuatu hal dalam kontrak tidak berpengaruh terhadap hal-hal
lainnya yang ikut ditegaskan (Pasal 1351).

On Becoming the Centre of Excellence 66


PT PLN (PERSERO)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Merancang Kontrak

Prinsip-prinsip penafsiran kontrak lainnya, meliputi :

a. Asumsi bahwa para pihak telah menggunakan bahasa dengan cara yang sama
seperti pada umumnya orang menggunakannya.

b. Klausula yang dinegosiasikan secara khusus lebih diperhatikan disbanding klausula


baku.

c. Klausula khusus lebih diperhatikan disbanding klausula umum.


d. Maksud utama (primary purpose) dari para pihak lebih diutamakan.
e. Penafsiran dilakukan untuk keuntungan pihak yang beritikad baik.
f. Klausula yang ditulis tangan lebih diperhatikan daripada klausula yang diketik.
g. Klausula yang diketik lebih diperhatikan disbanding klausula yang dicetak.
h. Apabila dalam kontrak ada 2 klausula yang bertentangan, klausula yang lebih banyak
dibicarakan (dinegosiasikan) lebih dimenangkan daripada klausula yang kurang
dinegosiasikan.

i. Penafsiran dilakukan untuk keuntungan pihak yang tidak memakai lawyer/ahli


drafting/negosiator kontrak, daripada pihak yang memakai lawyer/ahli
drafting/negosiator kontrak.

j. Doktrin contra proferentem, penafsiran kontrak dilakukan untuk kerugian pihak yang
menyusun kontrak.

k. Doktrin expression unius est exclusion alterius, bahwa menyatakan sesuatu (syarat-
syarat tertentu misalnya) berarti tidak untuk memasukkan yang lain.

l. Doktrin ejusdem generis (dari jenis yang sama) bahwa menyatakan sesuatu (syarat-
syarat tertentu misalnya)disertai kata yang bersifat inklusif (misalnya kata dan lain-
lain), berarti yang dimaksud adalah yang sejenis.

m. Doktrin nosticitur a soclis (dikenali dari kelompoknya) sama dengan doktrin ejusdem
generis (dari jenis yang sama).

n. Jika kebijaksanaan hokum atau kebijakasanaan pengadilan pada umumnya lebih


menghendaki keabsahan kontrak, maka penafsiran harus untuk mengesahkan
kontrak daripada membtalkannya.

o. Dalam menafsirkan kontrak, kebiasaan dalam perdagangan mengikat para pihak,


meskipun salah satu pihak tidak mengetahui kebiasaan tersebut, misalnya kata 5)%
dalam praktek bias juga berarti 49,5%..

p. Suatu kontrak tertulis harus ditafsirkan secara keseluruhan, tidak bias sepotong-
potong.

Istilah-istilah teknis harus ditafsirkan sesuai penegrtiannya secara teknis dalam bidang ybs,
tidak ditafsirkan dalam pengertiannya yang umum.

On Becoming the Centre of Excellence 67

You might also like