You are on page 1of 21

PENDAHULUAN

Gangguan pencernaan merupakan masalah kesehatan yang mempengaruhi satu atau


beberapa organ dari sistem pencernaan secara bersamaan. Sistem pencernaan berfungsi
untuk menerima makanan, lalu mencerna atau memecahnya menjadi nutrisi yang bisa
diserap untuk selanjutnya disalurkan ke seluruh tubuh melalui darah. Selain itu, sistem
pencernaan juga bertugas memisahkan dan membuang bagian dari makanan yang tidak bisa
dicerna.
Sistem pencernaan pada dasarnya adalah suatu saluran dengan panjang sekitar 30 kaki
(9 m) yang berjalan melalui bagian tengah tubuh dari mulut ke anus. Saluran pencernaan
manusia terbagi menjadi saluran cerna bagian atas dan saluran cerna bagian bawah yang
dipisahkan oleh ligamentum treitz yang merupakan bagian duodenum pars ascending yang
berbatasan dengan jejunum. Saluran cerna bagian atas terdiri dari rongga mulut, esofagus,
gaster, dan duodenum, pada bagian fleksura duodenojejunal melekat otot yang disebut
ligamentum Treitz yang memisahkan saluran cerna bagian atas dan saluran cerna bagian
bawah. Saluran cerna bagian bawah itu sendiri terdiri dari jejunum, ileum, colon, rektum,
dan anus.1
Penyakit gangguan saluran pencernaan merupakan penyakit yang sering di derita oleh
orang dewasa. Apabila sistem pencernaan terganggu, tubuh pun akan mengalami sakit. Bila
hal tersebut terjadi, maka proses metabolisme tidak dapat berjalan dengan baik. Saluran
pencernaan pun tak lepas dari serangan berbagai penyakit salah satunya adalah,
Gastroesofageal Refluks Disease.
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal reflux disease/GERD) adalah suatu
keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan
berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.
Selain GERD, banyak ahli yang menggunakan refluks esofagitis untuk kasus ini karena
keadaan ini yang terbanyak dari penyakit refluks gastroesofageal.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi, Histologi dan Fisologi Saluran Pencernaan

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Digestive

a. Cavitas oral
Kavitas oral atau mulut merupakan tempat pencernaan mekanikal dan kimiawi.
Lapisan epitel yang melapisinya adalah sel squamous berlapis non keratin yang melindungi
dari aktivitas yang kasar dalam melakukan digesti dimulut. Lapisan ini dilembapi oleh sekresi
saliva.5,6,7
Kavitas oral pada bagian anterior dibatasi oleh gigi dan bibir dan bagian posterior
dibatasi oleh orofaring. Bagian superior kavitas oral di bentuk oleh palatum mole dan
palatum durum. Pada bagian dasar kavitas oral dibentuk oleh otot mylohioid yang dilapisi
oleh membran mukus.4
b. Faring
Merupakan rongga yang memiliki dua fungsi yaitu sebagai digestive dan respirasi,
epitel gepeng berlapis tanpa keratin, pada orofaring dan laringofaring berfungsi untuk
melindungi aktivitas pada saat menelan material ingested ke kerongkongan.4,5,8
Terdapat 3 pasang otot yaitu superior, middle, dan inferior faringeal constrictors, yang
membentuk dinding faring. Ketika konstriktor faringeal konstriksi, menutup laringeal agar
material ingesti tidak masuk ke laring dan trakea.Otot-otot pada faring dipersarafi oleh nervus
vagus. Arteri utama yang mensuplai faring berasal dari percabangan arteri karotis eksternal.
Faring juga di perdarahi oleh vena jugularis interna.5,8
c. Esofagus
Esofagus merupakan saluran tubular yang berfungsi sebagai jalur material ingesti dan
menghubungkan faring ke gaster. Bagian inferior dari esofagus berhubungan dengan gaster
dan karena bermuara di diafragma disebut hiatus esofagus.4
Dinding esofagus tebal dan terdiri dari tunika konsentrik yang menghubungkan
bagian superior dari faring dan inferior dari gaster. Pada orang dewasa, panjang esofagus
sekitar 25 cm (sekitar 10 inches). Esofagus yang berlokasi di rongga abdomen hanya sekitar
1.5 cm, ketika kosong esofagus kolaps, hanya bolus makanan yang bisa melewati esofagus.4,8
Esofagus dilapisi oleh sel epitel gepeng berlapis non keratin. Pada bagian superior dari
esofagus ada sfingter esofagus superior (sfingter faringoesofageal) otot cincin sirkuler yang
tebal yang berada diantara pertemuan esofagus dan faring. Sfingter ini tertutup selama proses
inhalasi udara, jadi udara tidak bisa masuk esofagus dan hanya masuk laring dan trakea.
Muara antara esofagus dan gaster di batasi oleh otot polos berbentuk sirkular yang tipis yang
disebut sfingter esofageal inferior (sfingter esofagealgastrik atau sfingter kardiak). Sfingter
ini tidak cukup kuat menahan sendiri untuk terjadinya refluk material di gaster masuk ke
esofagus. Tapi sebenarnya fungsi dari sfingter ini adalah untuk mencegah terjadinya balikan
material dari gaster ke esofagus.4,5,8
d. Gaster
Gaster terbagi menjadi 4 regio:
- Cardia yaitu bagian superior gaster.
- Fundus yaitu bagian lateral yang berbentuk kubah dan superior dari gaster merupakan
sambungan esofageal. Permukaan superior ini berhubungan dengan diafragma.
- Corpus adalah bagian terbesar dari gaster, merupakan bagian inferior dari orifisium
cardiaca dan fundus.
- Pylorus adalah bagian yang sempit, terletak di regio medial gaster. Pylorus terbagi
menjadi 2 bagian; pylorus antrum (dekat dengan corpus) dan pylorus canal (dekat dengan
duodenum).1,8
Gaster dilapisi oleh epitel kolumnar selapis, dan sedikit proses absorbsi terjadi di
gaster. Epitelium ini tidak terdiri dari sel goblet, yang mana sekresi mucin berasal dari sel
permukaan mukus. Pada lapisan muskularis mukosa pada gaster berfungsi untuk
mengeluarkan sekret ketika kontraksi. Terdapat 3 lapisan otot yaitu oblique pada lapisan
dalam, sirkular pada lapisan tengah, dan longitudinal lapisan bagian luar. Bagian setelah
tunika mukosa adalah tunika serosa.6,8
Gastric juice diproduksi oleh sel glandula gaster, dan sekresinya masuk ke saluran
sekret dan kemudian mengalirkannya ke lumen gaster. Ada lima tipe sel sekretori pada
epitel gaster.
- Surface mukus sel. Sel ini melapisi sepanjang lumen gaster, menghasilkan mucin untuk
mencegah ulserasi pada lapisan atas yang terkena kadar asam yang tinggi dan melindungi
epitel dari enzim gastrik.
- Sel leher mukosa, sel yang terletak pada bagian dasar lubang lambung dan berada disela
sel parietal. Sel ini memproduksi mucin asam yang strukturnya dan fungsinya berbeda dari
mucin yang dihasilkan oleh surface mukus sel. Mucin asam membantu mempertahankan
kondisi dari sekresi HCl oleh sel parietal.
- Sel Parietal, sel yang juga sering disebut sel oxyntic berlokasi terutama dibagian proksimal
dan medial bagian dari glandula gaster. Fitur khasnya adalah saluranintraselulerkecil yang
disebutcanaliculi, yangdilapisiolehmikrovili. Asam klorida disekresikan melalui sel
parietal untuk memecah protein (pencernaan kimiawi). Sel parietal juga memproduksi
faktor intrinsik, yaitu molekul yang mengikat vitamin B12 di lumen gaster dan membantu
penyerapan B12 di ileum pada Intestinum Tenue.
- Sel Chief, yang sering disebutsel Zymogenic atau sel peptik berada di bagian distal pada
glandula gastrik. Sel ini mensintesis dan mensekresikan enzim, umunya pepsinogen
inactive ke dalam lumen gaster. Asam mengisi gaster kemudian mengubahnya dari
pepsinogen inaktif menjadi enzim pepsin yang aktif.
- Sel Enteroendokrine, merupakan sel endokrin yang tersebar luas di glandula gastrik di
lambung. Sel ini mensekresikan gastrin, yaitu suatu hormon yang masuk ke aliran darah
dan menstimulasi aktivitas sekretori pada sel chief dan sel parietal serta aktivitas kontraktil
pada otot gastrik. Sel Enteroendokrin juga memproduksi hormon lainnya, seperti
somatostatin, yang memodulasi fungsi sel yang dekat enteroendokrin dan sel eksokrin.5,8

2.2 Gastroesophageal Reflux Disease


2.2.1 Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat
refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring, dan saluran nafas. GERD menurut Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu
gangguan berupa isi lambung mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan
gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu. GERD adalah suatu keadaan patologis akibat
refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala akibat keterlibatan
esofagus, faring, laring dan saluran napas. Sedangkan menurut American College of
Gastroenterology, GERD adalah suatu keadaan patologis di mana cairan asam lambung
mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus dan menyebabkan gejala.1
Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang
sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan,
karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung
yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak merusak
mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila
refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang lama.1

2.2.2 Epidemiologi
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat, namun dilaporkan
relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di amerika di laporkan satu dari lima orang
dewasa mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali dalam seminggu serta lebih dari
40 % mengalaminya sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%,
sementara negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di
Korea).1
Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai penyakit ini, namun di
Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang
menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.1
2.2.3 Etiologi
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai
akibat dari refluks gastroesofageal apabila:1
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus.
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter Esofagus Bawah (SEB). Pada orang normal, pemisah ini akan
dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard
(muntah atau sendawa).Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni
atau atoni sfingter esofagus bawah. Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan
lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah. Tonus
SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg. Sedangkan pada orang normal 25-35
mmHg.1
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.1
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.
Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:
Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus SEB dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan tekanan
intraabdomen.Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang
dapat menurunkan tonus SEB antara lain :1
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat menurunkan tonus SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus
GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya transient
LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan berlangsung kurang
lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme
terjadinya TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan
keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi lambung.19
Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak
pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk
bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus SEB.19
Bersihan asam dari lumen esofagus
Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik,
eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.
Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar
esophagus.2
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu bersihan
maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin besar pula
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki waktu transit
refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks adalah peristaltik esofagus
yang minimal.Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada
esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.9
Ketahanan Epitelial Esofagus.9
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus untuk
melindungi mukosa esofagus.Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari:
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intrasel
dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus. Sedangkan
alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud
dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang juga
ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat) antar
lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim pancreas.19
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH< 2, atau adanya pepsin dan garam
empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi.
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan lambung
yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung atau
obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan
Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh
data yang.
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD. Pada
kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak. Hal ini
berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang meningkat ini akan
berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh
tekanan intragaster dan terjadilah refluks.
Peran Sfingter Atas Esofagus
Sfingter Esofagus Atas (SEA) merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat
masuk ke larinofaring. Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi
terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan
terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.

2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus1
Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme
tersebut antara lain.
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal dan SEA
yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan spasme
bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring dan laring.

2.2.5 Manifestasi Klinik


Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan
oleh penderita.Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang sifatnya panas membakar
atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum. Penjalarannya
umunya keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium, ke punggung belakang
bahkan kelengan kiri yang menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya keluhan ini
akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan
sendawa, mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat kenyang. Keluhan heart burn
dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan berbaring terlentang dan berbaring
setelah makan. Keadaan ini dapat ditanggulangi terutama dengan pemberian antasida.5

Gambar 2.3 GERD


Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang
terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan regurgitasi yang
terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan
dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian atas dan SEB. Regurgitasi dapat
mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-menerus, keadaan tercekik waktu bangun
dari tidur dan aspirasi pneumonia. Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena
posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya
regurgitasi.9
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan
tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak nafas, karies
gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun dari tidur karena rasa
tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum.2
Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip bahan yang
dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit faring dan esofagus.
Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang merupakan akibat dari penyakit otot
dan neurologis. Disfagia esofagus mungkin dapat bersifat obstruktif atau motorik. Obstruksi
disebabkan oleh striktur esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang
mengakibatkan penyempitan lumen. Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa
gangguan motilitas dari esofagus atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan bawah.
Gangguan motorik yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia, skleroderma dan
spasme esofagus yang difus.2
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti
laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma. Manifestasi non esofagus
pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Asma, pneumonia aspirasi),
Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay). Di lain pihak, penyakit paru
juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat
menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.2

2.2.5 Diagnosis
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :
a.Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis
GERD dengan ditemukannya mucosal break(pecah) di esophagus (esofagitis refluks).
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari
mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini
disebut non-erosive reflux disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis pada
pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s esophagus, displasia, atau
keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsy
pada NERD. Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi
pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.
KLASIFIKASI LOS ANGELES 4
Derajat kerusakan Endoskopi
A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5
mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter
>5mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau
mengelilingi seuruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/
mengelilingi seluruh lumen esofagus.

KLASIFIKASI SAVARY-MILLER
GRADE DESKRIPSI ENDOSKOPI
I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esophagus
II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.
Erosi dapat bergabung
III Erosi meluas pada sirkumferensia esophageal
IV Ulkus striktura dan pemendekan esofagus
V Barret’s ephitelium

Gambar barret’s esofagus


b. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis
GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi,
yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia,
dan pada hiatus hernia.

c.Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada
bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

d. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1
jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan
gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya
dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap
positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari
esophagus.
pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri
dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa
nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan
adanya nyeri yang berasal dari esophagus.

e. Pemeriksaan manometri

Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala nyeri
epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang
normal.6
f. Scintigrafi Gastroesofageal

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan menggunakan


cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya technetium) dan bersifat non
invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma eksternal akan memonitor transit dari cairan
atau makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.

g. Tes supresi asam

Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari GERD.
Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang terjadi.
Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti endoskopi dan ph metri tidak
tersedia. Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50&-75% gejala yang terjadi.
Dewasa ini tes ini merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana
GERD Pada pelayanan kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak memiliki alarm
symptom (BB turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga
dengan keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.9

2.2.6 Tatalaksana
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi gaya
hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-akhir ini mulai dipekenalkan
terapi endoskopik.Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi
esofagus, menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi.8,9
1. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun demikian
bukan merupakan pengobatan primer. Usaha ini bertujuan untuk mengurangi refluks serta
mencegah kekambuhan.Hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup antara lain :8
a. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur,
dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah
refluks asam lambung ke esofagus.
b. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus SEB.
c. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan karena
dapat menimbulkan distensi lambung.
d. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk mengurangi
tekanan intrabdomen.
e. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman soda
karena dapat merangsang aam lambung.
f. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan menurunkan
tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis kalsium, progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil
dengan GERD.10

2. Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan
step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam
(antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih
kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa
proton. Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih
dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat dalam
menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih ekonomis
dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan konsensus asia
pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI sebagai
terapi lini pertama dan digunakan pendekatan step down. 10

3. Antasida
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih
dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis. Selain sebagai penekan
asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB.Kelemahan obat golongan ini
adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu
penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari
4x1 sendok makan.10

4. Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat golongan
ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam,
golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan
dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai
efektif bagi keadaan yang berat, misalnya dengan barrett’s esophagus.Golongan obat ini
hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa
komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.7

5. Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.Obat ini berfungsi
untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan gaster.6,7
a. Metoklopramid
Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau
PPI. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia. Dosis 3x 10 mg sebelum makan
dan sebelum tidur.7
b. Domperidon
Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja obat
ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang. Walaupun
efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui dapat menigkatkan
tonus SEB dan percepat pengosongan lambung. Dosis 3x10-20 mg sehari.
c. Cisaprid
Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat memperkuat tonus
SEB dan mempercepat pengosongan lambung. Efektivitasnya dalam menghilangkan
gejala serta penyembuhan lesi lebih bagus dari domperidon. Dosis 3x10 mg.9

6. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)


Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek
pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus
serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen
bersifat topikal. Dosis 4x1 gram.9
7. Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug of
choice. Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan
serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat yang
refrakter dengan antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya.
Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik.
8. Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi medikamentosa
pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar, pasien GERD sering disertai
gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-mual yang lebih lama
menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s esofagus kadang tidak memberikan
respon terhadap terapi PPI, begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura.
Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI. 11
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi gaya
hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah
fundoplikasi,10,11
9. Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit GERD
bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada Hiatus
hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini dilakukan
dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus bagian bawah untuk
mencegah terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian bawah esofagus dengan
bagian lambung atas.10

Gambar 2.10 Fundoplikasi Nissen

Indikasi Fundoplikasi
a. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak sepenuhnya
responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang
yang tidak menguntungkan.
b. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien ini
dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit yang
tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.
c. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung
meningkatkan terjadinya barrett’s esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi
kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap untuk
pencegahan pada pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus barret.
10. Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir ini
mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu, penggunaan
energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi endoskopik dengan
menyuntikan zat implan di bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumennya
menjadi lebih kecil.6
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien
suspek PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi medic.

2.2.7 Komplikasi
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada GERD.
Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura esofagus dan
esofagus Barret.10
1. Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50% pasien
GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan esophagus.20
2. Striktur Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks. Hal ini
ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction. Striktur timbul
pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada
makanan padat. Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan
sebagai barier refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm.
Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat dilakukan
operasi.5,6
3. Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi epitel
kolumnar metaplastik. Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma esophagus.
Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10%
pasien dengan esofagus Barrett.9,10
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan regurgutasi. Pada
1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini diduga karena sensitivitas epitel
Barrett terhadap asam yang menurun.11
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya segmen
yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas ke proksimal
melampaui “gastroesophageal junction” dan tampak kontras sekali dengan epitel skuamosa
yang pucat dan mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan
medikamentosa.8,9

2.2.8 Prognosis
Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan, walaupun
relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi medis yang lebih lama.
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi, penyakit saluran nafas,
Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi pembedahan. Prognosis untuk pembedahan
biasanya baik. Meskipun begitu, mortaliti dan morbiditi adalah tinggi pada pasien
pembedahan dengan masalah medis yang kompleks.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Saputera MD, Budianto W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Re_ux Disease
(GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. Continuing Medical Education. CDK-
252/ vol. 44 no. 5 th. 2017
2. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi keempat.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
3. Patti, Marco G. 2010. Gastroesophageal reflux disease: From pathophysiology to
treatment.World J Gastroenterol 2010 August 14; 16(30): 3745-3749.
4. Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M, Tedjasaputra.2013. Revisi
konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal
Reflux Disease/ GERD) di Indonesia 2013. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia
5. Lauralee Sherwood. Sistem Pencernaan. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia : Dari
Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC 2001;541.
6. Anthony S. Fauci. Harrison Internal Medicine, 17th edition. USA, McGraw-Hill. 2008.
p.239-42.
7. David JB. Test and Treat or PPI Therapy for Dyspepsia? Journal Watch
Gastroenterology. 2008 april;
8. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al. Peptic ulcer
disease in Harrison’s Principle of Internal Medicine, 17th ed, Vol.II.2008. USA: Mc
Graw Hill Medical, p.287
9. Abdullah, M. & Gunawan, J., 2012. Dispepsia dalam Cermin Dunia Kedokteran. Vol. 39
no.9. Available online at : http://www.kalbemed.com/Portals/6/ 197_CME-Dispepsia.pdf
10. Tarigan P. Tukak Gaster.Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Ed. V, 2009. Indonesia; Balai Penerbit
FKUI. Hal. 513.
11. Jacobus DJ. Irritable Bowel Syndrome (IBS) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Continuing
Medical Education. CDK-221/ vol. 41 no. 10, th. 2014

You might also like