Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
yaitu Hep B-0 (79,1%), BCG (87,6%), Campak (82,1%), Polio-4 (77,0%), dan
DPT-HB-3 (75,6%).
Cakupan nasional imunisasi dasar bayi pada tahun 2015 adalah 86,5%.
Capaian ini masih dibawah Renstra (rencana strategis) Kemenkes 2015 yaitu 91%.
Pada tahun 2016, cakupan nasional yang dicapai adalah 91,1% dengan Renstra yang
ditetapkan Kemenkes sebesar 91,5%.
Belum tercapainya target cakupan imunisasi dasar nasional dapat
disebabkan berbagai faktor. Salah satu faktor yang berperan penting terhadap
kelengkapan imunisasi dasar pada bayi adalah orangtua, khususnya ibu.
Pengetahuan ibu tentang imunisasi akan membentuk sikap positif terhadap kegiatan
imunisasi. Hal ini juga merupakan faktor dominan dalam keberhasilan imunisasi.
Dengan pengetahuan yang baik maka kesadaran untuk mengimunisasikan bayi akan
meningkat dan akan mempengaruhi status imunisasi. Oleh karena itu, sangat
penting bagi tenaga kesehatan, khususnya di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
satu, untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu bayi mengenai imunisasi di
wilayah kerjanya.
1.2.Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar di Posyandu
RW 2 wilayah kerja Puskesmas Bekasi Jaya?
1.3.Tujuan
1.3.1 Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar di Posyandu
RW wilayah kerja Puskesmas Bekasi Jaya
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Puskesmas
1. Memberi tambahan informasi sebagai bahan acuan dalam melaksanakan penyuluhan
maupun pendidikan kepada masyarakat mengenai imunisasi dasar selanjutnya.
1.4.2 Bagi Masyarakat
1. Meningkatkan pengetahuan ibu tentang imunisasi balita di Posyandu RW 2
wilayah kerja Puskesmas Bekasi Jaya
2
1.4.3 Bagi Pendidikan
1. Sebagai sarana pendidikan, melatih cara berpikir analitik sistemik dalam
menyelesaikan suatu masalah yang ada di komunitas
2. Menambah pengalaman dalam bersosialisasi dalam masyarakat
3. Meningkatkan wawasan pengetahuan mengenai imunisasi balita
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Konsep Dasar Pengetahuan
2.1.1.Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini adalah setelah orang melakukan
pengindraan obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni : indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan
manusia melalui mata dan telinga (Notoadmojo, 2005).
Pada bagian lain pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior), karena dari pengalaman
dan penelitian ternyata perilaku akan lebih langgeng dari perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoadmojo : 1997).
Benyamin Bloom (1980) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku
manusia ke dalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni a) kognitif (cognitive), b)
afektif (affective) dan c) psikomotor (psychomotor) (Notoadmojo, 2003 : 121).
2.1.2.Tingkat Pengetahuan
Setelah ada beberapa definisi pengetahuan yang telah diuraikan di atas,
pengetahuan yang dicakup kognitif mempunyai 6 tingkatan yakni :
A).Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengikat suatu materi yang sah dipelajari sebelumnya,
termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengikat kembali (recal) terhadap suatu
spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh suatu
sebab itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
B).Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara besar
tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar,
menyebarkan contoh, menyimpulkan dan meramalkan obyek yang dipelajari tersebut.
C).Aplikasi (Aplication)
4
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi dapat diartikan sebagai
penggunaan hukum, rumus, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau sisi lain.
D).Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu organisasi tersebut dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
E).Sintesis (syntesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata
lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.
F).Evaluasi (evaluation)
Berkenaan dengan kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membantu
penilaian terhadap sesuatu berdasarkan maksud atau kriteria tertentu.
5
B).Pendidikan
Tugas dari pendidikan adalah memberikan atau meningkatkan pengetahuan,
menimbulkan sifat positif serta memberkan atau meningkatkan ketrampilan masyarakat
atau individu tentang aspek-aspek yang bersangkutan, sehingga dicapai suatu masyarakat
yang berkembang. Pendidikan dapat berupa pendidikan formal dan non-formal. Sistem
pendidikan yang berjenjang diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan melalui pola
tertentu. Jadi tingkat pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek sangat ditentukan oleh
tingkat pendidikannya.
C).Pengalaman
Menurut teori determinan perilaku yang disampaikan WHO (World Health
Organitation), menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu
salah satunya disebabkan karena adanya pemikiran dan perasaan dalam diri seseorang yang
terbentuk dalam pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan dan penilaian-
penilaian seseorang terhadap obyek tersebut, dimana seseorang dapat mendapatkan
pengetahuan baik dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain.
D).Informasi
Teori depensi mengenai efek komunikasi massa, disebutkan bahwa media massa
dianggap sebagai informasi yang memiliki peranan penting dalam proses pemeliharaan,
perubahan dan konflik dalam tatanan masyarakat, kelompok atau individu dalam aktivitas
sosial dimana media massa ini nantinya akan mempengaruhi fungsi cognitive, afektif dan
behavior. Pada fungsi kognitif diantaranya adalah berfungsi untuk menciptakan atau
menghilangkan ambiguitas, pembentukan sikap, perluasan sistem, keyakinan ambiguitas,
pembentukan sikap, perluasan sistem, keyakinan masyarakat dan penegasan atau
penjelasan nilai-nilai tertentu.
Media ini menjadi tiga yaitu media cetak yang meliputi booklet, leaflet, rubik
yang terdapat pada surat kabar atau majalah dan poster. Kemudian media elektronik yang
meliputi televisi, radio, video, slide dan film serta papan (bilboard) (Notoadmojo, 2003 :
63).
E).Kepercayaan
Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai arah yang berlagu
bagi obyek sikap, sekali kepercayaan itu6telah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar
pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari obyek tertentu (Saifudin
A, 2002 ).
1. Imunisasi Hepatitis B
Infeksi hepatitis B pada anak asimtomatis tetapi 80%-95% akan menjadi
kronis dan dalam 10-20 tahun akan menjadi sirosis dan/atau karsinoma
hepatoselular (KHS). Di negara endemis, 80% KHS disebabkan oleh virus hepatitis
B. Risiko KHS ini sangat tinggi bila infeksi terjadi pada usia dini. Antivirus yang
ada saat ini belum dapat memberikan pengobatan yang memuaskan. Oleh karena
itu, kebijakan utama tata laksana virus hepatitis B adalah memotong jalur penularan
dari ibu kepada bayi sedini mungkin melalui vaksinasi universal bayi baru lahir.
Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin (dalam 12 jam) setelah lahir secara
intramuskular. Muskulus kuadriseps pada bagian antero-lateral paha lebih dipilih
karena risiko kecil terinjeksi secara IV atau mengenai tulang femur dan jejas pada
nervus skiatikus.
Dosis selanjutnya (HepB-2) diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari
imunisasi hepatitis B pertama yaitu saat bayi berusia 1 bulan. Untuk mendapat
respons imun optimal, interval imunisasi HepB-2 dan HepB-3 minimal 2 bulan,
terbaik 5 bulan. Maka imunisasi HepB-3 diberikan pada usia 3-6 bulan.
Jadwal dan dosis HepB-1 saat lahir dibuat berdasarkan status HbsAg ibu saat
melahirkan yaitu (1) ibu dengan status HBsAg yang tidak diketahui, (2) ibu HbsAg
positif, atau (3) ibu HbsAg negatif. Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang
tidak diketahui: HepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan
8
dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila dalam perjalanan selanjutnya
diketahui bahwa ibu HbsAg positif, maka ditambahkan hepatitis B imunoglobulin
(HBIg) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari. Bayi lahir dari ibu dengan status
HbsAg positif diberikan vaksin HepB-1 dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam
waktu 12 jam setelah lahir.
2. Imunisasi BCG
Bacille Calmette-Guerin adalah vakisn hidup yang dibuat dari
Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan
basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG
diberikan pada umur < 2 bulan, sebaiknya pada anak dengan uji mantoux negatif.
Apabila BCG diberikan setelah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin
terlebih dahulu. Vaksin boleh diberikan apabila uji tuberkulin negatif. Apabila uji
tuberkulin tidak memungkinkan, BCG dapat diberikan namun perlu dilakukan
observasi dalam waktu 7 hari.
Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko
terjadi tuberkulosis berat seperti meningitis TB dan tuberkulosis milier. Efek
proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan dengan efek proteksi bervariasi
antara 0%-80%. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor seperti mutu vaksin yang
dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau faktor usia, keadaan gizi,
dan lain-lain.
Vaksin BCG diberikan secara intradermal. Dosis yang diberikan adalah 0,10
ml pada anak dan 0,05 ml pada bayi baru lahir. Penyuntikan BCG secara
intradermal akan menimbulkan ulkus lokal yang superfisial dalam 3 minggu setelah
penyuntikan. Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan dan
meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu tinggi
maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam maka
parut yang terjadi tertarik ke dalam (retracted). Limfadenitis supuratif di aksila
kadang-kadang dijumpai setelah penyuntikan BCG namun tidak perlu diobati
karena akan sembuh sendiri.
Vaksin BCG dikontraindikasikan pada bayi dengan kondisi-kondisi sebagai
berikut:
9
Reaksi uji tuberkulin > 5mm
Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
imunikompromais akibat penggunaan kortikosteroid, obat imunosupresif,
pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang
belakang atu sistem limfe
Menderita gizi buruk
Menderita demam tinggi
Menderita infeksi kulit yang luas
Pernah sakit tuberkulosis
Kehamilan
3. Imunisasi Polio
Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio-1, 2, dan 3.
OPV (oral polio vaccine), hidup, dilemahkan, tetes, oral.
IPV (inactivated polio vaccine), inaktif, suntikan.
Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV dapat
diberikan pada anak sehat maupun yang menderita penyakit imunokompromais,
dan dapat diberikan sebagai imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin IPV dapat
juga diberikan bersamaan dengan vaksin DPT, secara terpisah atau kombinasi.
Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI atau pada kunjungan
pertama sebagai tambahan untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Hal
ini diperlukan karena Indonesia rawan terhadap penyebaran virus polio liar dari
negara endemik polio seperti India, Pakistan, Afganistan, dan Nigeria. OPV yang
berisi virus polio hidup diberikan saat bayi dipulangkan dari rumah sakit atau rumah
bersalin untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain karena virus
polio vaksin dapat diekskresi melalui tinja. Untuk selanjutnya dapat diberikan OPV
atau IPV. Imunisasi dasar polio-2, 3, dan 4 diberikan pada umut 2, 4, dan 6 bulan
dengan interval atara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
Dosis OPV yang diberikan pada bayi adalah 2 tetes per-oral. IPV dalam
kemasan 0,5 ml diberikan secara intramuskular. Imunisasi polio ulangan diberikan
1 tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya
10 saat masuk sekolah (usai 5-6 tahun).
4. Imunisasi DPT (difteri, pertussis, tetanus)
Imunisasi DPT meberikan kekebalan terhadap tiga jenis penyakit yaitu:
a. Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diphteriae.
Bakteri ini menginfeksi nasofaring kemudian akan memproduksi toksin yang
akan menyebabkan destruksi jaringan setempa dan terjadilah suatu
selaput/membran yang menyumbat jalan nafas. Semua komplikasi penyakit
difteri seperti miokarditis, neuritis, trombositopenia, proteinuria, dan kematian,
merupakan akibat langsung dari toksin difteria.
b. Pertussis
Pertussis atau sering disebut batuk rejan/ batuk seratus hari adlaah suatu
penyakit akut yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Bordetella pertussis.
Toksin yang dihasilkan oleh bakteri ini akan melumpuhkan bulu getar saluran
pernapasan atas sehingga menyebabkan gangguan aliran sekret saluran
pernafasan dan berpotensi menyebabkan sumbatan jalan nafas serta
pneumonia.
c. Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut, bersifat fatal, gejala klinis disebabkan oleh
eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri batang anaerob gram positif
Clostridium tetani. Toksin kuman ini dapat mempengaruhi pelepasan
neurotransmitter yang berakibat penghambatan impuls inhibisi sehingga terjadi
kenaikan tonus otot yang menyebabkan otot spastik tak terkontrol, kejang
perifer, dan gangguan sistem saraf otonom.
Sejak tahun 2013, vaksin DPT tersedia dalam bentuk kombinasi dengan
vaksin hepatitis B dan HiB (Haemophyllus influenza tipe b). Hib merupakan bakteri
Gram negatif yang ganas dan merupakan salah satu penyebab terering dari
kesakitan dan kematian pada bayi dan anak berumur kurang dari 5 tahun. Infeksi
bakteri ini dapat menyebabkan meningitis dengan gejala demam, kaku kuduk,
11
penurunan kesadaran, kejang, dan kematian. Penyakit lain yang dapat terjadi adalah
pneumonia, selulitis, artritis, dan epiglotitis.
Pemberian imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali (paling sering
dilakukan), yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan. Namun, bisa juga
ditambahkan 2 kali lagi, yaitu 1 kali di usia 18 bulan dan 1 kali di usia 5 tahun.
Selanjutnya di usia 12 tahun, diberikan imunisasi TT.
5. Campak
Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun
seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh
antibodi tambahan lewat pemberian vaksin campak. Vaksin campak mengandung
virus campak hidup yang telah dilemahkan.
Diberikan pada bayi umur 9 – 11 bulan dengan satu kali pemberian. Biasanya tidak
terdapat reaksi akibat imunisasi mungkin terjadi demam ringan dan tampak sedikit bercak
merah pada pipi di bawah telinga. Pada hari ke 7 – 8 setelah penyuntikan mungkin pula
terdapat pembengkakan pada tempat suntikan, pada tempat suntikan kekebalan yang
memperoleh yaitu 96 – 99%. Jika sampai usia 12 bulan anak belum mendapatkan imunisasi
campak, maka pada usia 12 bulan ini anak harus diimunisasi MMR (Measles Mumps
Rubella).
Anak yang sakit parah, penderita TBC tanpa pengobatan, difisiensi gizi dalam
derajat berat, difisiensi kekebalan, demam yang lebih 38 derajat celcius dan riwayat kejang.
Di suntikkan 1/3 bagian lengan atas lengan kiri dengan dosis 0,5 cc.
12
2.2.5 Jadwal Imunisasi
1. Vaksin Hepatitis B
Vaksin hepatitis B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan
dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1
minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monovalen adalah
usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan
imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada usia 2, 3, dan
4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada
usia 2, 4, dan 6 bulan.
2. Vaksin Polio
Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan,
OPV-0 diberikan saat bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-
3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu
dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3.
13
3. Vaksin BCG
Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan.
Apabila diberikan pada usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin
terlebih dahulu.
4. Vaksin DPT
Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan
vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan
vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4,
dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap.
Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td
diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin Campak
Vaksin campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan apabila sudah
mendapatkan MMR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan,
maka vaksin MMR/MR diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan).
Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka dapat
diberikan vaksin MMR/MR.
Karakteristik responden :
1. Umur ibu
Imunisasi
2. Pekerjaan ibu
3. Pendidikan ibu
4. Pengetahuan ibu
14
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di posyandu Puskesmas Bekasi Jaya pada bulan Oktober
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan
pendekatan studi potong lintang (cross sectional) yaitu suatu subjek penelitian hanya
diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan sekaligus pada suatu saat yang sama
(Notoatmojo, 2010).
Sampel pada penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita usia 6 bulan – 5 tahun di
posyandu RW 2 wilayah kerja Puskesmas Bekasi Jaya yang diambil secara acak.
Data yang diperoleh pada penelitian ini merupakan data primer yang meliputi
kepada responden.
Dari hasil penelitian pada tabel 4.3, didapatkan ibu berusia muda yang
memiliki balita yang menerima imunisasi dasar lengkap sebanyak 25
orang (56,8%) sedangkan ibu yang berusia tua yang memiliki balita yang
menerima imunisasi dasar lengkap sebanyak 19 orang (43,2%). Ibu yang
berusia lebih muda dan baru memiliki anak biasanya cenderung untuk
memberikan perhatian yang lebih akan kesehatan anaknya, termasuk
pemberian imunisasi (Reza, 2006). Merujuk hal tersebut, diketahui bahwa
usia yang paling aman seorang ibu untuk melahirkan anak adalah 20
sampai 30 tahun (Saputra, 2009). Penelitian Wardhana (2001) disebutkan
bahwa ibu yang berusia ≥ 30 tahun cenderung untuk tidak melakukan
imunisasi lengkap dibandingkan dengan ibu yang berusia < 30 tahun
cenderung untuk melakukan imunisasi lengkap 2,03 kali dibandingkan
dengan usia ibu ≥ 30 tahun. Namun secara statistik hubungan antara usia
ibu dan status kelengkapan imunisasi tidak bermakna (p-value=0,16).
Lienda (2009) dalam penelitiannya hasil uji statistik p-value=0,109 bahwa
tidak ada perbedaan yang signifikan antara usia ibu dengan kelengkapan
imunisasi dasar.
Ibu berpendidikan rendah yang balitanya menerima imunisasi dasar
lengkap sebanyak 16 orang (36,4%%) sedangkan ibu yang berpendidikan
19 imunisasi dasar lengkap sebanyak 28
tinggi yang balitanya menerima
orang (63,6%). Menurut Wardhana (2001, dalam Lienda, 2009, hlm.25)
bahwa pendidikan tinggi berkaitan erat dengan pemberian imunisasi pada
anak. Sejalan dengan hal tersebut berdasarkan penelitian Idwar (2001)
juga disimpulkan bahwa tingkat pendidikan seseorang ibu yang telah
tinggi akan berpeluang besar untuk mengimunisasikan anaknya. Ibu yang
berpendidikan mempunyai pengetahuan yang lebih baik tentang
pencegahan penyakit dan kesadaran lebih tinggi terhadap masalah-
masalah kesehatan yang sedikit banyak telah diajarkan disekolah. Hal ini
diperkuat kembali dengan adanya penelitian oleh Widyanti (2008)
menjelaskan bahwa ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang telah
tinggi akan memberikan imunisasi lebih lengkap kepada anaknya
dibandingkan ibu dengan pendidikan rendah. Lienda (2009) hasil
penelitiannya mengatakan ada hubungan signifikan antara pendidikan ibu
dengan status kelengkapan imunisasi dasar anak dengan p-value=0,000.
Ibu yang tidak bekerja yang balitanya menerima imunisasi dasar
lengkap sebanyak 36 orang (81,8%) sedangkan ibu yang bekerja yang
balitanya menerima imunisasi dasar lengkap sebanyak 8 orang (18,2%).
Pekerjaan dapat memberikan kesempatan suatu individu untuk sering
kontak dengan individu lainnya, bertukar informasi dan berbagi
pengalaman pada ibu yang bekerja akan memiliki pergaulan yang luas dan
dapat saling bertukar informasi dengan teman sekerjanya, sehingga lebih
terpapar dengan program-program kesehatan khususnya imunisasi (Reza,
2006). Penelitian Darnen (2002) menyebutkan bahwa ibu yang bekerja
mempunyai peluang 1,1 kali untuk mengimunisasikan anaknya dengan
lengkap dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Rahma Dewi (1994)
menjelaskan bahwa proporsi ibu yang bekerja terhadap anak dengan
imunisasi lengkap lebih tinggi dibandingkan ibu yang tidak bekerja.
Reza (2006) hasil penelitiannya tidak ada hubungan bermakna antara
pekerjaan dengan kelengkapan imunisasi dasar dengan nilai p-
value=0,902 begitu juga Lienda (2009) hasil penelitiannya ibu yang
bekerja mempunyai peluang 1,25 kali anaknya diimunisasi lengkap
20
dibandingkan yang tidak bekerja namun secara statistik tidak ada
hubungan bermakna antara pekerjaan dengan kelengkapan imunisasi dasar
dengan nilai p-value=0,250.
Ibu yang memiliki pengetahuan cukup mengenai imunisasi, yang
balitanya menerima imunisasi dasar lengkap terdapat sebanyak 7 orang
(15,9%) sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai
imunisasi, yang balitanya menerima imunisasi dasar lengkap sebanyak 37
orang (84,1%). Pengetahuan merupakan unsur yang sangat penting bagi
terbentuknya perilaku seseorang, dan pengetahuan juga merupakan
langkah awal dari pembuatan keputusan yang akhirnya seseorang akan
berbuat atau berperilaku sesuai degan pengetahuan yang diperolehnya
(Notoatmodjo, 2013). Dengan demikian orang yang mempunyai tingkat
pengetahuan baik mengenai imunisasi akan mengusahakan bayinya untuk
mendapatkan imunisasi lengkap.
21
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
1. Karakteristik umur responden lebih banyak berumur muda 58,82%, lebih dari
separuh berpendidikan tinggi, mayoritas tidak bekerja, dan mayoritas
responden juga memiliki pengetahuan tinggi.
5.2 SARAN
1. Saran bagi Dinas Kesehatan Kota Bekasi
Faktor pengetahuan dan pekerjaan responden akan mempengaruhi
tingkat pemberian ASI eksklusif, untuk dinas kesehatan kota Bekasi perlu
melakukan upaya-upaya sebagai berikut:
a. Perlunya penyebaran informasi
mengenai manfaat vaksin kepada
ibu yang memiliki bayi dan balita
melalui berbagai seminar,
penyuluhan, konseling dan media.
b. Mengadakan pelatihan kepada
kader mengenai jenis-jenis,
manfaat, dan waktu pemberian
vaksin yang tepat.
2. Bagi Puskesmas Bekasi Jaya
Perlu ditingkatkan target cakupan imunisasi dasar lengkap untuk
mendukung tercapainya target imunisasi yang disusun dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yaitu cakupan
imunisasi dasar lengkap kepada 93% bayi usia 0-11 bulan dan 95%
22
kabupaten/kota mencapai 80% IDL (imunisasi dasar lengkap) dengan
cara:
a. Petugas kesehatan harus mempunyai pengetahuan yang baik
mengenai jenis-jenis vaksin, efek samping, manfaat, dan
efek samping yang mungkin terjadi.
b. Melakukan evaluasi setiap bulannya terhadap keberhasilan
kepada petugas kesehatan dalam melakukan konseling,
penyuluhan, dan pelaporan.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Perlu diperhatikan bahwa sampel yang digunakan penelitian ini belum
menggambarkan seluruh balita di wilayah kerja Puskesmas Bekasi Jaya.
Perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan jumlah
sampel yang lebih mewakili wilayah kerja Puskesas Bekasi Jaya
23
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta: Rineka Cipta.
Maryunani, Anik. (2010). Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan, Jakarta: CV.
Trans Info.
Proverawati, Atikah & Citra Setyo Andhini. (2010). Imunisasi dan Vaksinasi,
Yogyakarta: Nuha Offset.
Rukiyah, Ay & Lia Yulianti. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita,
Jakarta: Salemba Medika.
Ranuh, I.G.N., dkk. (2008). Pedoman imunisasi di Indonesia, Edisi ketiga Tahun
2008. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
24
KUESIONER
Identitas Anak
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Identitas Responden
Nama Ibu :
Umur :
Alamat :
Pendidikan :
PENGETAHUAN
29
30