Professional Documents
Culture Documents
SIBERUT
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Berebut Hutan
SIBERUT
Jakarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan UNESCO
Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi
© Darmanto dan Abidah B. Setyowati
Penyunting
Koen Meyers
Mahfud Ikhwan
Ining Isaiyas
Perancang Sampul
Rio Tupai
Penataletak
Bakti Setyanto
Foto Sampul
Koen Meyers; Sikerei dari Uma Alimoi, Desa Matatonan..
Disclaimer
Penggunaan istilah dan penyajian materi dalam keseluruhan publikasi ini tidak mencerminkan
pandangan dan pendapat UNESCO mengenai status hukum suatu negara, wilayah, kota atau
daerah kekuasaan negara tersebut, atau penentuan batas-batas negara tersebut. Penulis
bertanggung jawab atas pemilihan dan penyajian fakta-fakta yang ada di dalam buku ini dan atas
segala pendapat yang dinyatakan di dalamnya, dan tidak mencerminkan posisi atau kebijakan
UNESCO dan tidak mengikat kepada UNESCO.
Buku ini diterbitkan atas kerjasama KPG dan Kantor UNESCO Jakarta dengan dukungan dari
Pemerintah Spanyol melalui Badan Kerjasama Pembangunan Internasional Spanyol (AECID)
dan Organisasi Otonomi Taman Nasional Spanyol (OAPN) sebagai bagian dari kerjasama
antara Pemerintah Spanyol, UNESCO, dan Pemerintah Indonesia dalam kegiatan konservasi di
Indonesia.
Buku ini tidak mungkin terbit tanpa rangkaian sejarah yang telah
diciptakan orang-orang sebelum kami di Pulau Siberut; terutama ke
sempatan yang dimunculkan dari kerja-kerja etnografi, konservasi
maupun perjuangan banyak antropolog, aktivis, peneliti, dan pekerja
proyek-proyek pembangunan. Dengan apa yang telah mereka lakukan,
peluang kami bisa ‘berada di sana’ terbuka dan kami bisa menulis bu
ku tentang Siberut ini. Darmanto terlebih dahulu mendarat di Siberut
pada 2003 untuk meneliti perladangan tradisional orang Mentawai
di Lembah Rereiket—dia juga bergabung dengan proyek kolabora
tif manajemen melalui inisiatif UNESCO, menjadi direktur LSM se
tempat, Pasih (Perkumpulan Siberut Hijau), dan sederet pekerjaan
lain; sementara Abidah selama beberapa minggu pada pertengahan
2003 berada di Siberut dalam rangka mengumpulkan data lapangan
untuk tesisnya di Universitas Hawaii tentang ekologi politik tata ke
lola hutan di Siberut.
Gagasan penulisan buku ini memercik pada 2007, ketika Dar
manto—setelah terlibat langsung dengan masalah konservasi keaneka
ragaman hayati—tengah berpikir untuk menulis semacam kesaksian
atas perubahan sosial terkait hutan Siberut dan Abidah hampir me
rampungkan tesisnya. Selebihnya adalah kerumitan-kerumitan yang
kami tenun sendiri karena buku ini tumbuh, berkembang, dan me
ngerdil di antara kesibukan, perbedaan waktu, dan jarak yang ter
bentang antara Siberut-Jakarta-Hawaii-New Jersey.
xiv Berebut Hutan Siberut
Hutan
Walau secara eksplisit menggunakan kata hutan dalam judulnya,
buku ini sendiri tidak memiliki definisi tunggal dan khusus mengenai
hutan. Bahkan, kami tidak membuat deskripsi mengenai luasan,
komposisi, dan struktur hutan Siberut. Hutan Siberut kami lihat bukan
sebagai kawasan yang hanya terdiri atas aneka ragam pohon, sungai,
kebun, campuran ladang, dan fauna-fauna seperti primata endemik,
burung enggang, babi hutan, atau aneka binatang lainnya. Hutan kami
lihat sebagai sebuah produk budaya. Hutan kami maknai sebagai ruang
sosial yang terus dimaknai, diinterpretasikan, dinegosiasikan, dipere
Pengantar xv
nama yang ada di peta dan disebutkan dalam buku ini merupakan na
ma asli yang disebut dan dirujuk dalam kehidupan sehari-hari orang
Siberut. Nama-nama tempat yang ada sebagian besar adalah nama
permukiman, nama lembah, dan nama sungai atau hutan. Beberapa
pengecualian adalah nama teluk, pantai atau nama-nama khusus
yang merujuk pada suatu tempat yang tidak berkaitan dengan rujukan
geografis tertentu. Misalnya, penyebutan nama potingan yang merujuk
pada kawasan yang disakralkan dan hanya ada di kepala sedikit orang
meskipun di dalamnya tidak ada hutan atau sungai.
Nama-nama permukiman yang dirujuk dalam buku ini adalah
campuran nama-nama ‘lama’ yang merujuk nama permukiman prake
merdekaan namun tetap digunakan sekarang, nama-nama permukim
an baru yang mereka pilih sendiri, atau nama-nama yang diberikan
atau disarankan oleh pemerintah. Terkadang di tempat-tempat yang
berbeda, ditemukan nama yang sama. Misalnya nama Puro atau Limu
sering digunakan sebagai nama dusun di desa-desa yang berbeda. Un
tuk menghindari kebingungan, buku ini menyebutkan lengkap dengan
desanya dan sebisa mungkin lembah di mana mereka berada.
Post Scriptum
Tentang pilihan gambar sampul, kami sangat sadar bahwa pemilihan foto
seperti yang tertera di depan kemungkinan dapat memperkuat imajinasi
pembaca tentang Orang Mentawai yang tradisional, tidak modern, dan hidup
harmonis dengan alam. Namun kami memutuskan untuk memakai foto laki-
laki dengan pakaian adat itu sebagai pemantik dari seluruh diskusi dalam
buku ini, yang mencoba mendekonstruksi imajinasi simbolik terhadap Orang
Mentawai seperti yang tergambar serta memaparkan realitas yang kompleks
dan berlapis tentang identitas dan kehidupan sehari-hari mereka. Laki-laki
tersebut difoto secara khusus untuk keperluan pemotretan.
Prakata
Saya pertama kali mengenal Darmanto, salah satu penulis buku ini,
di kantor sebuah organisasi konservasi internasional di Jakarta pada
2002. Saat itu dia masih seorang mahasiswa biologi yang menggebu-
gebu dan memegang keyakinan kuat bahwa masyarakat adat adalah
penjaga utama lingkungan dan dalam awal percakapan kami, dia
menyatakan kemauan yang sangat kuat untuk melakukan penelitian
di Pulau Siberut untuk skripsi sarjananya. Sejalan dengan latar be
lakang Jawanya, dia sangat santun dan berpegang pada filosofi Su
rodiro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti (semua kejahatan dan
keburukan akan hancur oleh kebaikan). Saya menyarankan agar ia
bekerja bersama saya sebagai relawan pada proyek kolaboratif mana
jemen yang baru saja diprakarsai UNESCO di Siberut Selatan. Dia me
nuruti saran ini, mengambil kesempatan untuk melakukan penelitian
dan menyelesaikan skripsinya secara bersamaan.
Sebulan setelah dia tinggal di Siberut, saya memintanya untuk
memberikan masukan atas proyek ini. Dia memberi saya empat puluh
halaman lebih rekomendasi bagaimana meningkatkan keberhasilan
proyek. Sebagian besar rekomendasi berkaitan dengan penyerahan
kekuasaan yang lebih besar kepada masyarakat setempat dalam peng
ambilan keputusan manajemen. Meskipun menyetujui konsep terse
but, saya menganggap rekomendasi tersebut tidak praktis untuk di
jalankan. Ketika saya menyampaikan pendapat ini ke Darmanto, dia
mati-matian mempertahankan idenya. Dia mengingatkan saya pada
diri saya sendiri, ketika pertama kali berkenalan dengan Siberut pa
da tahun ’90-an, saat KTT Bumi di Rio dan deklarasi Dekade Inter
nasional Masyarakat Adat Dunia. Setelah membaca berbagai laporan
antropologi dan catatan perjalanan, setelah melihat foto orang-orang
bercawat yang berburu dan melakukan upacara sakral, saya mendarat
di Siberut (seperti banyak orang sebelum dan setelah itu) dengan ga
gasan bahwa saya melangkah ke ranah masyarakat subsisten murni
tanpa pengaruh Barat, masyarakat yang membutuhkan perlindungan
dari pengaruh buruk modernisasi neo-liberal, seperti penebangan dan
perkebunan komersial. Persepsi saya tentang “noble savage” dengan
segera luluh dan tergantikan oleh pengalaman yang lebih realistis ten
tang masyarakat yang dinamis, terus-menerus berubah di mana media
modern, komunikasi, celana jeans dan uang tunai memainkan peran
penting.
Sejak pertemuan pertama kami sepuluh tahun lalu, Darmanto dan
saya melakukan banyak diskusi panjang—seringkali hingga dini hari.
Saya perhatikan bahwa semakin lama dan dengan semakin banyaknya
pengalaman lapangan yang kami miliki, perbincangan kami lebih ba
nyak menghasilkan pertanyaan daripada jawaban. Diskusi kami juga
menjadi lebih panas karena kesantunan Jawanya telah terganti oleh fi
losofi bertahan hidup a la ‘Siberut’. Salah satu dari sedikit kesimpulan
yang bisa kami tarik dari diskusi ini adalah bahwa kami paham bahwa
kami tidak memahami Siberut. Pengetahuan kumulatif kami tentang
Siberut telah membawa kami ke daerah abu-abu yang lebih luas dan
menghasilkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Seorang konsultan pembangunan pernah mengatakan pada saya
bahwa Pulau Siberut mewakili target Murphy’s Law. Sejak tahun ’70-
an, hampir semua proyek pembangunan dan konservasi di Siberut ga
gal mencapai tujuan awalnya. Kegagalan yang terus-menerus terjadi
membuat orang berpikir bahwa proyek pembangunan dan konservasi
di Siberut hanya memiliki satu takdir: ‘gagal’. Tapi apa yang dimaksud
dengan gagal dan siapa yang mendefinisikan kegagalan? Sebuah proyek
yang dianggap gagal mencapai tujuannya oleh ahli monitoring dan eva
luasi mungkin saja dianggap berhasil oleh masyarakat setempat karena
memberikan berbagai manfaat sosial dan ekonomi sementara. Meski
pun telah banyak penelitian tentang Siberut selama bertahun-tahun,
masih juga belum ditemukan penyebab mengapa proyek pembangunan
dan konservasi begitu menantang di Siberut. Apakah karena Siberut
adalah masyarakat acephalous (tanpa pemimpin politik) ataukah ka
rena Siberut telah terlalu lama terpinggirkan sehingga menciptakan
lanskap sosial yang unik di mana inisiatif pembangunan harus berjuang
untuk berhasil? Pembangunan dan konservasi di Siberut seperti pulau
itu sendiri—menantang, sulit untuk ditembus, dan sangat keruh.
Analisis terhadap berbagai topik tersebut sangat rumit, membu
tuhkan pemahaman mendalam tentang sistem dan proses budaya
serta dinamika dan perubahan sosial masyarakat yang sangat cepat.
Gambaran rinci tentang perubahan tersebut—yang dijelaskan dengan
sangat akurat dan dengan pemahaman mendalam oleh Darmanto dan
Abidah dalam buku ini—memberikan kontribusi yang realistis meski
pun kadang pahit, terhadap pembahasan mengenai masyarakat adat
dan hak-hak mereka. Buku ini menyediakan kerangka analitis yang
unik untuk mengurai kerumitan kehidupan sebagaimana yang dialami
oleh masyarakat Siberut sehari-hari. Karya ini sangat unik karena
menunjukkan deskripsi dan pengetahuan yang sangat akrab tentang
pulau Siberut dan orang-orangnya, yang jarang ditemukan dalam kar
ya-karya analitis sejenis. Daripada mencoba menjawab berbagai per
tanyaan, buku ini menantang kita semua untuk bertanya lebih banyak
dan lebih dalam sehingga akhirnya meningkatkan dan memperdalam
diskusi tentang masyarakat adat dan hak-hak mereka.
Koen Meyers
Technical Advisor for Environmental Sciences,
UNESCO Jakarta (1998-2009)
Daftar Peta
1. Indonesia.
2. Pulau Siberut.
3. Konsesi Pulau Siberut (1971-1992).
4. Zonasi Taman Nasional Siberut.
5. Peruntukan Hutan Pulau Siberut (1999-Sekarang).
6. Pembalakan Liar Pulau Siberut (2004-2005).
Daftar Gambar
1. Kayu yang siap diangkut ke luar Pulau Siberut dari Teluk Katurei.
2. Bentang alam P. Siberut berupa bukit-bukit bergelombang dan
lembah-lembah; sungai menjadi penghubung antarwilayah.
3. Persepsi Eropa era kolonial terhadap Orang Mentawai—termani
festasi dalam foto-foto Nieuwenheis Circa 1900.
4. Permukiman bentukan pemerintah dalam proyek PKMT.
5. Permukiman tradisional orang Mentawai yang menyatu dengan
perladangan dan peternakan.
6. Sikerei sedang melakukan upacara pembukaan ladang.
7. Penduduk Siberut pulang dari ladang.
8. Bekas-bekas operasi perusahaan kayu di Siberut selama rezim
Orde Baru.
9. Komoditas cengkeh dan kakao di Siberut.
10. Contoh lahan pengembangan pertanian dalam program
pemberdayaan masyarakat TNS.
11. Suasana sosialisasi TNS tentang konservasi di sebuah gereja, di
Muara Siberut.
12. Pemimpin dewan adat sedang berorasi dalam forum konservasi.
13. Kegiatan penguatan hak-hak masyarakat adat.
14. Praktik penebangan ilegal di Mentawai saat masa booming
penerbangan kayu pada era desentralisasi.
15. Demonstrasi dan kampanye antipenebangan ilegal oleh Koalisi
LSM.
xxvi Berebut Hutan Siberut
Indonesia
Peta 2
Pulau Siberut
Bab 1
Pembukaan:
Kisah dari Saibi dan Politik Ekologi
... peralatan berat pertama tiba di pantai timur pulau di Subelen, Siberut
Utara, dengan penjagaan polisi dari Padang. Tambahan peralatan akan
dikapalkan dari Jakarta. Berita ini menyebar dengan cepat dan dalam
beberapa jam sekitar 100 orang berkumpul, termasuk penduduk dari
bagian selatan pulau yang melakukan perjalanan lima jam dengan
menggunakan perahu motor untuk berunjuk-rasa. Beberapa di antara
mereka mempunyai hak adat atas hutan dan tanah di Subelen; yang lainnya
sekadar merasa bahwa hutan Siberut harus dilindungi dari eksplorasi,
khususnya dari tanah daratan. Pengunjuk rasa menuntut agar lima dari 27
traktor penebang kayu yang sudah dikeluarkan harus segera dipindahkan.
Ketika manajer lapangan Koperasi Andalas menolak, mereka membakar
pangkalan kerja yang ada. Kapal dengan cepat balik ke laut, dan kembali
pada malam hari untuk menyelamatkan peralatan setelah para penduduk
pulang ke rumah (Down to Earth/DTE 2001).
1 Teluk Subelen adalah teluk landai yang dipenuhi hutan bakau. Teluk ini terletak di pantai timur, tepat di
tengah Pulau Siberut kalau dilihat dari utara ke selatan. Secara administratif, teluk ini masuk wilayah
Desa Saibi-Samukop. Teluk ini dipilih PT KAM sebagai lokasi pendaratan alat-alat berat dan tempat
bersandar kapal yang akan mengangkut kayu. Untuk jelasnya lihat peta Siberut di depan.
2 Berebut Hutan Siberut
yang menguat di tingkat nasional dan global, Soeharto, yang pada saat
itu berkuasa menjadi presiden, membatalkan semua jenis penebang
an komersial di Siberut. Kebijakan eksploitasi yang telah berlangsung
selama dua dekade diganti kebijakan konservasi. Pada 1993, negara
menyetujui proyek PKAT yang didanai dengan skema utang dari ADB.
Proyek senilai 24,9 juta dolar AS itu3 bertujuan untuk: memelihara
keanekaragaman hutan dataran rendah tropik; mengelola seluruh
Pulau Siberut sebagai proyek pelestarian alam dan pembangunan
terpadu dengan konsep zonasi yang meliputi taman nasional, cagar
alam, pemanfaatan tradisional, dan pemanfaatan intensif; melaksana
kan program peningkatan kesadaran masyarakat terhadap sumber
daya alamnya; serta melakukan usaha-usaha perbaikan kehidupan
melalui produksi jenis tanaman keras, aneka ragam usaha kecil hingga
memperlancar usaha perbaikan kesehatan (PHPA 1995). Proyek ini
diikuti penunjukan hampir setengah daratan Pulau Siberut (190.500
ha) sebagai taman nasional.
Belum pupus ingatan terhadap serangkaian kegiatan “penya
daran” tentang pentingnya Pulau Siberut bagi keanekaragaman hayati,
pemerintah pasca-Orde-Baru justru berbalik sikap. Perusahaan kayu
milik Universitas Andalas, PT KAM, mendapat konsesi penebangan
hutan di Siberut seluas 49.500 ha dengan skema Land Grant College
(LGC).4 Konsesi ini berada di bagian tengah Siberut—memanjang dari
utara ke selatan—dan berbatasan langsung dengan kawasan konser
vasi. Sebelum izin operasi diperoleh, beberapa bulan sebelumnya,
perusahaan itu melakukan survei lokasi penebangan dan membangun
base camp. Namun, tidak banyak warga yang mengetahuinya.
Pasca-Orde-Baru, keyakinan dan klaim orang Mentawai sebagai
pemilik tanah dan hutan (sibakkat laggai) meningkat kuat dan mem
buat mereka menuntut klaim negara atas kepemilikan tanah. Kebi
jakan desentralisasi dari Jakarta telah membuat Kepulauan Mentawai
mendapatkan otonomi sebagai kabupaten yang telah lama mereka
3 Angka yang dikutip di sini adalah angka yang tercantum dalam proposal resmi, yang akan digunakan
untuk mengimplementasikan program selama 25 tahun. Proyek ini berhenti selama 5 tahun dan tidak
diketahui berapa angka yang telah dihabiskan selama waktu itu.
4 LGC, skema yang dikeluarkan oleh Muslimin Nasution, Menteri Kehutanan (1998-2000) dengan mem-
berikan konsesi hutan kepada lembaga pendidikan (terutama perguruan tinggi) atau pondok pesan
tren. Tujuan utamanya adalah agar lembaga pendidikan memiliki kawasan hutan untuk penelitian dan
pendidikan. Skema LGC ini memicu banyak perdebatan dan aturan mengenai pengelolaannya tidak
pernah ada. Pada praktiknya, sebagian besar skema LGC dapat digunakan perguruan tinggi untuk
mengeksploitasi hutan yang tidak beda dengan skema HPHH oleh pihak swasta.
Pembukaan 5
5 Persoon (2003) menyebut, terdapat dua fase penebangan kayu komersial (commercial logging) di Pu-
lau Siberut. Fase pertama dimulai pada 1972-1993. Fase kedua berlangsung sejak 2001-sekarang.
6 Berebut Hutan Siberut
Gambar 1. Kayu yang siap diangkut ke luar Pulau Siberut dari Teluk Katurei
(Koen Meyers).
6 Keterangan dari Aman Fidelis, warga Saibi yang terlibat dalam peristiwa pembakaran.
8 Berebut Hutan Siberut
7 Hiruk pikuk pembakaran log pond Subelen sangat terkait peristiwa pembunuhan dukun santet. Kete
rangan RMd, salah seorang aktivis yang terlibat penuh di belakang layar dalam aksi ini mengatakan
bahwa, benar, dia dan jaringan LSM memanfaatkan momentum heboh dukun santet untuk memanas-
kan situasi dan mengubah emosi massa Siberut menjadi aksi konfrontatif terhadap perusahaan kayu.
Keterangan ini konsisten dengan DTE (2001) yang melaporkan peristiwa Subelen, kedatangan polisi
dan penanganan konflik dukun santet di Sirilogui.
Pembukaan 9
8 Kisah mengenai aksi pembakaran tersebut dapat dilihat dalam satu edisi DTE (Mei 2001), harian
Kompas (27 April 2001), majalah Tempo (11 Juni 2001), dan harian lokal Mimbar Minang (20, 23, 26
Mei 2011). Puailiggoubat melaporkan kisah ini lama setelah kejadian berlangsung. Sebuah film yang
disokong oleh Conservation International-Indonesia Program berjudul Luka Hutan Siberut memuat
keterangan penduduk lokal di Saibi tentang peristiwa tersebut (Inform, 2004). Dua film buatan Yayasan
Citra Mandiri (YCM), sebuah LSM lokal, masing-masing berjudul Investigasi HPH KAM (2003) dan Il-
legal Logging Mentawai (2006), juga memuat persepsi penduduk Siberut tentang peristiwa Saibi.
9 Istilah masyarakat adat digunakan sebagai terjemahan dari indigenous people—meskipun penerje-
mahan ini dalam konteks Indonesia tidak sepenuhnya mudah (lihat Li 2001; Davidson, Henley, dan
Moniaga 2010).
10 Lihat keterangan uma di Daftar Istilah dan juga penjelasan di Bab 2. Keterangan rinci mengenai uma
bisa dilihat di Bab 3 atau Schefold (1979; 1998; 1991), Persoon (1995), dan Loeb (1972).
Pembukaan 11
12 Paragraf ini disimpulkan dari beberapa diskusi dengan penduduk Saibi dan juga RMd, mantan Direktur
LSM yang terlibat dengan peristiwa Saibi. Namun, dalam wawancara ulang dengan RMd, tujuan
keterlibatan LSM pada waktu itu tidak semata untuk tujuan konservasi. Yang lebih penting adalah
perjuangan untuk mempertahankan hak orang Mentawai terhadap sumber daya alam.
Pembukaan 13
13 UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Tahun 1960 (UU Pokok Agraria) secara eksplisit meng
akui adanya hak-hak adat bagi sumber daya yang dimiliki masyarakat meskipun sangat dibatasi oleh
klausul “sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercan-
tum dalam Undang-undang ini”. Klausul tersebut menunjukkan sifat kontradiksi UU ini; lihat pasal 3
misalnya. Tentang ini, Fitzpatrick (2010: 177-186) serta Gautama dan Harsono (1972) memberikan
diskusi ekstensif.
Pembukaan 15
atau model gerakan Chipko di Himalaya. Kisah dari Saibi ini, bahkan
oleh kebanyakan orang Saibi sendiri, tidak dianggap berakhir dengan
manis atau menghasilkan kemenangan. Sebaliknya, sebagian orang
yang kami wawancarai menganggap insiden itu hanya menguntung
kan segelintir orang.
Sebagian penduduk Siberut sendiri—baik yang terkait dengan
peristiwa itu maupun tidak—menilai kegagalan perjuangan pembelaan
lingkungan tersebut disebabkan adanya saling klaim dan pertikaian
internal. Posisi masyarakat terhadap perusahaan kayu tidak tunggal
dan bervariasi, mulai dari yang mengecam sampai yang berkolabora
si, dari yang menolak sampai yang menerima. Dilihat dari banyak si
si, masyarakat Siberut tidaklah seperti yang diidealisasikan sebagai
masyarakat adat yang akan melindungi hak-hak adat dan nilai-nilai
konservasi. Mereka bukanlah produk generik kampanye romantis ak
tivis prokonservasi dan media. Mereka juga berhasrat untuk terlibat
dalam eksploitasi atau pun konservasi, sejauh mereka mendapatkan
keuntungan dari keterlibatan itu. Ini menunjukkan bahwa agenda
masyarakat terhadap perusahaan kayu tidaklah tunggal dan ter
fragmentasi. Banyak orang Siberut menunjukkan sikap yang sangat
akomodatif terhadap kehadiran pihak luar yang akan mengontrol dan
menguasai sumber daya alam mereka. Kekuasaan dari luar diterima
dan ditolak bukan karena aspek-aspek idealis seperti ‘konservasi’
tetapi hanya jika memberikan manfaat yang konkret bagi kelompok
setempat.
Pembakaran base camp PT KAM bukanlah peristiwa yang murni
hasil perjuangan masyarakat Siberut dan dilandasi nilai-nilai lokal
yang bersifat endogen. Aksi tersebut sangat dipengaruhi dan berhu
bungan dengan bidang-bidang lain, seperti tumbuhnya gerakan sipil
di Mentawai, munculnya wacana adat dan gerakan pendukungnya,
perubahan kekuasaan dan politik akibat desentralisasi, dan kam
panye pelestarian alam melalui media massa dan proyek-proyek ta
man nasional. Pembakaran itu juga tidak terlepas dari keberhasilan
masyarakat Siberut bekerja sama dengan aktivis hak-hak masyarakat
adat dan kalangan prokonservasi yang berbasis di luar Siberut. Para
pemrotes—yang benar-benar berdedikasi melindungi hak atas sumber
daya alam dan mengakui pelestarian alam sebagai jalan terbaik untuk
masa depan Siberut—mendapatkan gagasannya dari kombinasi
keprihatinan mendalam terhadap perikehidupan orang Siberut dan
juga pertautan mereka dengan wacana soal adat atau politik regional
dari aktivis LSM.
18 Berebut Hutan Siberut
16 Beberapa laporan pada dekade 1980-an dan awal 1990-an dari media—terutama dari luar negeri—
pernah memberitakan adanya protes orang Siberut terhadap perusahaan kayu. Misalkan Cohen (1992)
dan S.O.S (1991). Tetapi sejauh yang bisa dikonfirmasi dengan penduduk Siberut secara langsung,
keterlibatan mereka hanya dimobilisasi pihak luar tanpa ada keinginan dari mereka sendiri.
Pembukaan 19
daya hutan yang selama ini ditekan negara. Namun demikian, ka
pasitas masyarakat dalam memperoleh manfaat sumber daya hutan
ditentukan oleh faktor-faktor yang lebih beragam dan luas seperti
akses terhadap teknologi, modal, pasar, pengetahuan, dan otoritas
politik. Perjuangan masyarakat Siberut untuk mendapatkan hak atas
hutan melalui wacana adat juga bersaing dan mendapatkan tantangan
dari bidang-bidang lain, seperti munculnya rezim kayu daerah, lang
gengnya kekuasaan aktor-aktor ekonomi-politik, dan perubahan
struktur sosio-ekonomi masyarakat sendiri.
Pada beberapa dekade terakhir, wacana masyarakat adat men
jadi penting secara politik karena pengakuan resmi atas hak-hak
masyarakat adat terhadap sumber daya alam dan wilayah, khususnya
dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).17 Pengakuan ini menginspira
si kelompok-kelompok marjinal di seluruh dunia untuk mengaitkan
perjuangan mereka dengan wacana masyarakat adat. Di Asia, jaring
an antarbangsa masyarakat adat telah memberi gagasan, identitas,
legitimasi, dan sumber-sumber pendanaan bagi kelompok-kelompok
dan komunitas marjinal (Niezen 2005). Riset Li (2000 dan 2001) di
Sulawesi menunjukkan bagaimana aktivis LSM dan masyarakat se
tempat menggunakan wacana masyarakat adat sebagai terjemahan
istilah populer indigenous people guna memobilisasi dukungan politik
serta membangun aliansi dengan komponen dari luar. Li (2000) juga
mengenalkan ide tentang positioning untuk menjelaskan bagaimana
identitas adat muncul dari perjuangan masyarakat itu sendiri dalam
konteks sejarah tertentu, dan bukan identitas pasif yang hanya di
lekatkan atau dipaksakan dari luar. Di setiap tempat terdapat variasi
bagaimana masyarakat lokal menerjemahkan adat dan bagaimana
mereka menggunakan narasi tersebut untuk memperkuat klaim atas
hutan. Buku ini dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana orang Si
berut menerjemahkan ulang adat dalam merespons proses ekonomi-
politik dan bagaimana mereka menggunakan identitas masyarakat
adat untuk memperkuat klaim mereka terhadap hutan.
Munculnya identitas dan wacana baru atas nama adat ini me
rangsang apa yang disebut sebagai “re-invention of tradition” (Hobs
bawm & Ranger 1992). Dorongan dari dalam dan rangsangan dari
luar, atas nama adat, memberi kesempatan bagi orang Siberut untuk
memikirkan ulang apa yang disebut sebagai tradisi, adat, dan identitas
17 Misalnya dalam The Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989 (No. 169) sebagai revisi atas
dokumen International Labour Organization (ILO) (1957), dan Convention on Biological Diversity
(1992).
22 Berebut Hutan Siberut
dahkan pembaca yang kurang akrab dengan Siberut, buku ini tidak
harus dibaca secara urut dari Bab 1 sampai 10. Setiap bab bisa dibaca
secara terpisah. Hal ini terkait dengan proses penulisannya. Buku ini
ditulis dalam masa yang berbeda-beda, dalam suasana yang berganti-
ganti. Perbedaan waktu penyusunan ini menyebabkan gaya tulisan
dan analisis data juga bervariasi. Sumber-sumber dan data-data yang
menjadi tubuh di setiap bab buku ini juga beragam jumlahnya. Ada
bab yang datanya berasal dari pengalaman langsung penulis dan
bersifat etnografis. Ada bab yang mengandalkan wawancara sebagai
reka ulang peristiwa-peristiwa tertentu sehingga lebih menyerupai
laporan jurnalistik mendalam. Ada juga bab yang melulu bersumber
dari data sekunder, dan karenanya, berupa analisis yang agak kering
dan kurang memiliki darah. Oleh karenanya, setiap bab memiliki
karakteristik tersendiri, baik dari gaya dan teknik tulisan, panjang-
pendeknya analisis, maupun struktur penyusunannya. Setiap bab
merefleksikan waktu penulisan dan tujuannya, sehingga pembaca
mungkin menemukan bab-bab yang bersifat reflektif, namun di kali
lain menemukannya seperti evaluasi proyek atau kegiatan, dan kadang
menyerupai kritik. Meskipun terdapat banyak campuran dalam gaya
dan isinya, buku ini berusaha menjaga koherensi antara satu bab
dengan bab yang lain.
Setelah pembukaan yang berisi satu cerita yang kami anggap
penting dalam sejarah Siberut dan kami sandingkan dengan uraian
pendek mengenai posisi teoretis buku ini, pembahasan akan berlanjut
dengan deskripsi mengenai kondisi geografis dan geologis Pulau Si
berut serta penduduknya, yang kami tempatkan di Bab 2. Pemaparan
mengenai geografi Siberut diharapkan dapat membantu pembaca un
tuk membayangkan keunikan dan kekhasan pulau ini. Aspek ini sa
ngat penting karena Siberut mengalami proses evolusi dan biogeografi
yang sangat spesifik. Siberut terbentuk sejak kala pleistosen atau se
kitar sejuta tahun lampau—produk geologisnya adalah bentang eko
logi yang khas dan memberi peluang terbentuknya spesies baru atau
spesiasi yang endemik sehingga bernilai sangat tinggi bagi konservasi
keanekaragaman hayati. Siberut—dan Kepulauan Mentawai—disebut
memiliki keberuntungan yang setara dengan Galapagos di lepas pan
tai Ekuador atau Madagaskar di Afrika. Siberut merupakan satu dari
sedikit tempat yang memiliki tingkat kekhasan hewan dari kelas
mamalia yang sangat tinggi, terutama primata. Atas dasar pertimbang
an biogeografis ini, usaha konservasi dilakukan di Siberut. Penelitian-
Pembukaan 25
“sebagai komponen dari sistem nasional dan global dari segi makna,
kekuasaan, dan produksi” (Li 2002: xviii).
Bab 3 menjelaskan bagaimana akses dan kontrol orang Mentawai
di Siberut terhadap sumber daya alam pada masa atau situasi yang
kami sebut ‘sebelum masuknya negara atau di luar rezim kolonial’.
Dapat dikatakan, posisi kami dalam memandang hubungan itu tidak
dalam sebuah idealisasi. Kami meyakini, kondisi orang Mentawai di
Siberut sebelum kontak yang intensif dengan komponen dari luar
bukanlah kondisi yang sering diidealkan sebagai “damai dan baik-baik
saja”. Kami menemukan bahwa citra tentang masyarakat yang arif dan
damai lebih merupakan citra yang disimpulkan dari jarak yang sangat
jauh dan dengan asumsi yang sembrono. Kami akan memaparkan
bagaimana orang Mentawai memiliki pandangan terhadap hutannya.
Pandangan “endogen” mengenai hutan ini sangat terkait dengan
struktur sosial dan cara mereka berproduksi (mode of production).
Pada awalnya kami akan memaparkan konsepsi mereka tentang hutan
yang sangat ditentukan oleh kepercayaan lokal, hubungan kekerabatan,
dan corak produksinya. Dalam perjalanan menelusuri hubungan
orang Mentawai dengan hutannya, kami seperti sedang menghalau
‘mimpi yang rapuh’ tentang masyarakat pedalaman yang arif, bijak,
dan bersahaja. Konflik atas sumber daya alam sudah menjadi hal yang
lazim ditemukan dari generasi ke generasi. Konflik ini bukanlah hasil
dari mitos dampak kerusakan lingkungan atau kebijakan pemerintah.
Konflik ini senantiasa mewarnai sejarah orang Mentawai.
Akses dan kontrol terhadap hutan bagi orang Mentawai berpusat
pada uma, sebuah keluarga besar (extended family) yang juga me
rupakan unit kepemilikan lahan dan sumber daya. Di Mentawai ter
dapat sekitar 500 uma yang hidup secara otonom dan independen
satu sama lain, dan mereka terhubung dalam kekerabatan yang di
wariskan melalui garis keturunan laki-laki. Sejarah orang Mentawai
diwarnai persaingan dan konflik antaruma mengenai tanah dan hutan
(misalnya dalam Schefold 1991: 29-32). Konflik itu telah menjadi ba
gian kehidupan, bahkan dalam situasi “tradisional” di masa sebelum
kedatangan kolonialisme. Konflik-konflik tersebut bersifat laten dan
terus menerus menjadi bagian sejarah sehari-hari. Konflik tersebut
mengalami pasang surut ketika pandangan tentang hutan dari luar
(negara dan pasar) berpengaruh terhadap kehidupan mereka (Per
soon 2001). Konflik mengenai hutan ini memiliki dinamika dan logika
sendiri. Konflik tersebut mendorong terjadinya perubahan internal
Pembukaan 27
18 Di sini kami memasukkan bahan proposal, artikel, dan juga kliping media massa. McNeely (1979),
WWF (1980), Schefold (1980b), Whitten, Whitten dan House (1979), Mitchell (1982), dan Kompas
(1981).
30 Berebut Hutan Siberut
Bila kita melihat peta dan mencermati Pulau Siberut, pulau terbe
sar di Kepulauan Mentawai, dari arah utara ke selatan nampaklah
kemiripan bentuknya dengan tikus, dengan Teluk Katurei yang me
nyerupai mulut terbuka itu sebagai moncongnya. Nama Siberut sen
diri berasal dari kata birut yang dalam bahasa Mentawai berarti ti
kus. Tak mengherankan banyak orang yang menduga bahwa pulau
ini bernama Siberut karena bentuknya yang menyerupai tikus itu,
walaupun spekulasi soal asal nama berdasarkan bentuknya ini bisa
dikatakan kurang berdasar atas bukti-bukti yang memadai.
Pulau ini memang berhubungan erat dengan tikus. Akan tetapi,
keterkaitan itu lebih pada banyaknya jumlah dan jenis mamalia pe
ngerat yang menghuni pulau itu—dan bukan pada kesamaan bentuk
nya. Dalam hitungan ahli biologi, di Siberut terdapat empat spesies
tikus endemik yang bentuknya mirip satu sama lain (WWF 1980:
37; Anonim 1995: 17-18), meskipun orang Siberut menamai seluruh
mamalia pengerat ini sebagai birut dan beberapa jenis tupai juga dise
but birut. Tikus-tikus ini ada di hutan, bersembunyi di pohon, menjadi
hama, di gorong-gorong, atau mencuri makanan di dalam rumah.
Kisah soal tikus dan nama birut lebih berhubungan dengan seja
rah migrasi penduduk Pulau Siberut ke pulau-pulau lain di Kepulauan
Mentawai di masa lalu. Beberapa cerita lisan setempat menyebutkan
bahwa di masa lalu bagian tenggara Siberut menjadi tempat menetap
orang Mentawai sebelum mereka menyebar ke arah selatan (Sipora,
34 Berebut Hutan Siberut
Ekologi Siberut
Dari Pulau Enggano di ujung selatan, Pulau Simeulue di sebelah
utara, hingga Pulau Rondo di ujung utara, pulau-pulau kecil terangkai
di lepas pantai Pulau Sumatra. Dengan luas 4.030 km², Pulau Siberut,
terletak tepat di tengah rangkaian itu. Siberut berjarak lebih dari 130
km sebelah barat garis pesisir Padang, kota paling penting di Sumatra
bagian barat sejak era kolonial pada abad ke-18. Dari Padang, Sibe
rut dapat ditempuh dalam semalam menggunakan kapal feri kecil.
Meskipun relatif dekat jaraknya, Pulau Siberut telah terpisah dari
Pulau Sumatra sekurang-kurangnya 500.000 tahun lampau. Laut
yang memisahkan kedua pulau ini dikenal sebagai Selat Mentawai.
Meskipun selat ini berkedalaman 1.500 meter dan dapat dikatakan
secara teratur dilayari, dilaporkan bahwa selat ini hanya memberikan
keadaan tenang pada awal-awal tahun dan lantas membadai di per
tengahan hingga menjelang akhir tahun.
Pantai timur Siberut yang berhadapan dengan Sumatra memiliki
teluk yang landai dan tanjung berpantai pasir koral putih, berselang-
seling dengan hutan bakau. Garis pantai tidak beraturan, terdiri atas
pulau-pulau kecil, terumbu karang, dan tanah lumpur yang dikelilingi
hutan bakau hingga 2 km masuk ke daratan. Sebaliknya, sisi barat Si
berut menampakkan wujud yang sama sekali lain. Sisi ini merupakan
garis paling tepi benua Asia. Wujudnya berupa garis pesisir yang lurus
dan sering bertebing terjal menukik ke dalam laut. Tebing-tebing ka
rang itu menjadi benteng bagi empasan alun Samudra Hindia yang
bergulung-gulung dari arah Antartika. Di sini terdapat hutan bar
ringtonia3 yang lebat dan sangat sulit ditembus karena penuh karang,
jurang, dan tebing curam yang langsung berhadapan dengan ombak
ganas (WWF 1980; Schefold 1991:3).
Sedangkan jantung Pulau Siberut adalah hutan hujan tropis yang
3 Barringtonia asiatica, di beberapa daerah dikenal dengan nama-nama: butun, kebem, bitung, dan se-
bagainya. Pohon ini cukup besar dan rindang, mencapai ketinggian 15-17 meter dan diameter hingga
1 meter.
36 Berebut Hutan Siberut
4 Dari pengecekan lapangan terakhir, sebanyak 62,67% (241.721,28 ha) terdiri atas hutan hujan primer,
7,26% (27.992 ha) berupa hutan sekunder, dan sisanya merupakan hutan rawa (7,85%), hutan bakau
(2,24%) semak (1,68%) dan semak rawa (1,07%) (UNESCO 2009).
5 Mentawai adalah etnis terbesar di Pulau Siberut. Mereka dipandang sebagai penduduk asli Siberut.
Asal-usul orang Mentawai masih menjadi teka-teki. Menurut sejarah lisan penduduk Siberut, mereka
berasal dari luar Siberut dan terdampar di Simatalu, daerah berbukit-bukit dan sulit diakses di bagian
barat Siberut. Sejarah lisan penduduk Mentawai dapat dibaca dalam Schefold (1991) dan Spina
(1986).
Keberagaman dan Zona Abu-abu 41
lah populasi migran relatif tetap dari tahun ke tahun meskipun me
nunjukkan adanya peningkatan setelah otonomi daerah pada 1999.
Meningkatnya jumlah populasi Siberut terutama disebabkan pe
ningkatan yang signifikan dari orang Mentawai sendiri dan ini men
cerminkan adanya perubahan gaya hidup, pandangan terhadap ke
luarga, peningkatan pelayanan kesehatan, maupun interaksi mereka
dengan dunia luar.
6 Karena kata ini bisa memiliki beragam makna, ‘asli’ di sini bisa digunakan secara bergantian dengan
pribumi. Di sini ‘asli’ tidak diberi pengertian esensial, bahwa orang Mentawai ada bersamaan dengan
sendirinya bersama dengan Pulau Siberut. Kami berpendapat bahwa ‘asli’ merujuk makna penghuni
pertama.
44 Berebut Hutan Siberut
Seiring sejarah dan mulai dikenalnya Pulau Siberut oleh pejabat ko
lonial dan pedagang, muncul istilah ‘orang mentawee’ untuk menyebut
secara umum penduduk yang menempati kepulauan itu. Orang men
tawee lebih merupakan penamaan dari pejabat kolonial Belanda
untuk mengklasifikasikan penduduk di Siberut, Sipora, dan Pagai.
Lambat laun penamaan ini menjadi populer digunakan oleh para pe
nulis laporan ekspedisi kolonial untuk menyebut ratusan kelompok
masyarakat yang mendiami kepulauan tersebut (penggunaan nama
Mentawai akan dibahas lebih rinci di Bab 6).7
Dengan sejarah asal-usul yang kompleks, terdapat banyak variasi
mengenai siapa orang Mentawai. Akan tetapi, secara mendasar, se
luruh penduduk Kepulauan Mentawai menyebut diri mereka berasal
dari satu leluhur yang sama. Mereka mengidentifikasi diri sebagai
keturunan orang Mentawai yang berasal dari Simatalu, sebuah dae
rah di pantai barat Siberut. Mereka juga memiliki rujukan silsilah
keturunan yang saling terkait, sejarah lisan yang saling melengkapi,
dan bahasa yang sama, yaitu Mentawai. Dengan mengesampingkan
variasi dalam dialek bahasa yang berbeda menurut daerah aliran su
ngai, bentuk tato, dan variasi tata cara menari atau dekorasi, orang
Mentawai mengklaim memiliki kesatuan budaya dan etnis. Klaim te
ritori mereka membentang dari Siberut, Sipora, Pagai Selatan, dan
Pagai Utara. Demi kemudahan, dalam buku ini istilah Mentawai atau
penduduk Mentawai merujuk pada kelompok-kelompok yang ber
bahasa Mentawai dan memiliki garis keturunan uma dari Siberut,
Sipora, dan Pagai.
Sejauh ini, asal-usul sejarah orang Mentawai sukar dilacak. Suatu
studi arkeologi selama empat tahun belum memberikan titik terang
mengenai hubungan kekerabatan orang Mentawai dengan kerabat
Austronesia lainnya (Forrestier dkk 2006: 122). Sangat sedikit bukti
arkeologis yang dapat digunakan sebagai analisis untuk menyatakan
mulai kapan dan di mana migrasi pertama orang Mentawai ke Pulau
Siberut. Satu-satunya hal yang diyakini bersama mengenai asal-usul
orang Mentawai adalah mitos mengenai orang pertama Mentawai
yang datang di Simatalu.
Meskipun mereka menyebut hal yang sama, bahwa orang per
tama Mentawai adalah sama, bagaimana asal-usulnya atau cerita ba
gaimana mereka menurunkan orang Mentawai tidak pernah jelas,
kabur, dan kontradiktif. Salah satu cerita yang umum dikenal adalah
mitos tentang perempuan yang terdampar di Siberut.8 Di masa lalu,
terdapat perempuan yang diusir oleh keluarganya karena menjalin
hubungan yang tidak direstui. Perempuan tersebut, tatkala diusir, se
dang mengandung bayi. Oleh penduduk Siberut, perempuan ini se
ring diinterpretasikan berasal dari Nias atau dari daratan Sumatra.
Perempuan tersebut kemudian melahirkan anak laki-laki. Setelah
bertahun-tahun hidup bersama, si ibu menyuruh anak itu mencari
jodoh perempuan lain di pulau tersebut. Dia membekali anaknya de
ngan sebuah cincin. Jodoh si anak tersebut akan ditemukan ketika
ada perempuan yang jarinya cocok dengan cincin tersebut. Setelah be
berapa kali berkeliling pulau, anak itu menemukan seorang perempu
an yang tak lain adalah ibunya sendiri. Anak-laki-laki tersebut ke
mudian menikahi ibunya. Dari keduanyalah lahir orang Mentawai
yang pertama.
Mitos lain (bandingkan Spina 1981) menyebutkan bahwa leluhur
orang Mentawai pada mulanya bersaudara kandung dengan orang
Minangkabau. Pada masa kanak-kanak, mereka disuruh belajar oleh
orangtua mereka. Si sulung, yang akhirnya menjadi leluhur orang Mi
nangkabau, memilih mengembangkan kepandaian menenun, menu
lis, membaca, dan menguasai teknologi logam. Ia akhirnya memilih
Sumatra Barat sebagai tempat berkeluarga. Sementara si adik, yang
kelak akan jadi leluhur orang Mentawai, memilih untuk membuat
sampan, membikin rumah dari kayu, dan menanam sagu. Si adik
ini memutuskan tinggal di Siberut. Dari kedua orang inilah lahir ke
turunan orang Mentawai dan Minangkabau.9
Unsur moral dari dua mitos ini sangat jelas memiliki keterkaitan
dengan mitos-mitos Mentawai yang lain (Spina 1981; Schefold 1991)
yang secara umum dapat dianggap sebagai pembalikan dari keadaan
yang sebenarnya (inversi simbolik). Cerita mengenai asal-usul segala
sesuatu—buah durian, busur panah, kepandaian membuat rumah—
8 Ada banyak versi mengenai asal-usul orang Mentawai. Terkadang masing-masing cerita tumpang
tindih, kontradiktif, dan tidak bersesuaian. Untuk beberapa variasinya, lihat Spina (1980), Schefold
(1991: 4-8), Rudito (1993).
9 Mitos ini, menurut beberapa narasumber, muncul baru belakangan. Orang-orang tua zaman dulu
tidak pernah menceritakannya. Spina (1981) tidak memberikan analisis tentang munculnya mitos ini.
Dengan membandingkan mitos Badunsanak yang menceritakan asal-usul orang Meratus dan Banjar
(Tsing 1998), yang mirip dengan mitos ini, kami berpendapat bahwa mitos ini sangat terkait dengan
munculnya relasi baru antara orang Minangkabau dan Mentawai, yang hanya mungkin terjadi bela-
kangan, ketika orang Minangkabau mulai menetap di Siberut pada awal abad ini. Meskipun, harus
digarisbawahi, bukan maksud buku ini menginterpretasikannya.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 47
hak atas keturunan dan sumber daya alam. Jika suami meninggal, ia
kembali menjadi anggota uma ayahnya, sementara anak-anaknya
menjadi anggota uma suami. Uma juga merupakan unit kepemilikan
tanah. Implikasinya, hanya anggota uma yang bersangkutanlah yang
memiliki hak penuh untuk memiliki dan mengolah tanah milik uma
(Schefold 1991: 17; Persoon 1995: 3).
Uma mewakili sebuah struktur yang egaliter tanpa ada bentuk
tekanan dari hierarki politik atau pola kepemimpinan teroganisir. Se
sekali mereka membangun aliansi sementara apabila ada musuh ber
sama atau karena alasan-alasan perkawinan (Schefold 1991: 23). Se
tiap uma memiliki otonomi dan tidak pernah membentuk unit politik
secara permanen. Oleh karena itu, tidak ditemukan pemimpin politik
antaruma yang bisa mempengaruhi keputusan politik uma-uma lain.
Corak egaliter ini semakin kuat dari kenyataan bahwa semua anggota
uma dewasa mempunyai hak yang sama dan setara dalam semua
urusan yang berkaitan dengan uma, baik sesama anggota dalam uma
maupun sesama uma. Setiap keputusan di tingkat uma dibicarakan
melalui diskusi terbuka. Setiap laki-laki memiliki suara yang sama di
dalam uma. Karena semua anggota uma laki-laki memiliki keduduk
an yang sama, sebuah keputusan yang diambil untuk menyelesaikan
masalah seringkali harus melalui diskusi yang memakan waktu hingga
berbulan-bulan. Otonomi politik dan prinsip egaliter ini juga menye
babkan konflik antaranggota di satu uma sering terjadi. Konflik lazim
nya diakhiri dengan perpecahan uma. Jika konflik terjadi, sebagian
anggota menyingkir ke lembah-lembah lain, mendirikan uma baru,
dan memproklamirkan nama umanya berdasarkan nama lokasi se
perti lembah, sungai, gunung, atau kayu yang mendominasi tempat
tinggal baru mereka (Schefold 1995: 7; Persoon 1995: 4).
Setiap uma menempati permukiman tertentu yang disebut pu
laggajat. Pola permukiman tradisional itu menempatkan uma berada
di sepanjang tubir sungai utama yang dapat dilayari oleh sampan. Pe
ta sistem hidrologi Siberut tidak hanya memberi ilustrasi keruwetan
drainase tapi juga menunjukkan jumlah serta lokasi uma (terutama
uma besar) di masa lalu dan konfigurasinya di masa sekarang (Schefold
1991: 6; WWF 1980: 62-63). Pulaggajat ini merujuk pada DAS utama
yang ada di Siberut. Pulaggajat tidak hanya menjadi ruang spasial se
bagai permukiman, tetapi juga menjadi ruang sosial yang berfungsi
sebagai penanda dialek bahasa dan variasi budaya. Pulaggajat juga
menjadi penanda identitas internal bagi orang Mentawai di Siberut
dan terkait dengan sejarah migrasi masing-masing uma di masa lalu.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 49
12 Sedikitnya catatan resmi mengenai volume perdagangan Pulau Siberut juga sangat mungkin disebab-
kan fakta bahwa pada era kolonial, perdagangan Kepulauan Mentawai lebih intensif dengan Muko-
Muko di Bengkulu dibandingkan dengan Padang. Menjadi masuk akal bila catatan atas volume perda-
gangan Siberut dengan Padang sedikit.
54 Berebut Hutan Siberut
lain itu, usaha perdagangan hasil hutan antara penduduk Siberut de
ngan para pedagang tak selamanya berlangsung damai. Konflik-kon
flik yang menyertai barter dilaporkan sering terjadi. Laporan yang
ditulis para pelaut menyebut Siberut lebih dikenal sebagai tempat
yang tak ramah karena penduduknya yang relatif suka bermusuhan
dengan orang luar.
Konflik antara pedagang dan orang Mentawai di Siberut sesekali
dilaporkan. Laporan tersebut ada yang memuat pembunuhan antara
kedua belah pihak (Bakker 2001; Coronese 1986: 14), meskipun kete
rangan ini agak meragukan terutama bila mengingat cerita penduduk
Siberut sendiri yang memberi banyak tekanan bahwa mereka mudah
bergaul dengan pendatang dan telah menjalin perdagangan selama
beberapa generasi. Beberapa laporan memuat informasi perkelahian
orang Siberut dengan pedagang, misionaris, dan petugas administrasi
Belanda (Wagner 2002; Coronese 1986: 14-15). Laporan militer Be
landa juga banyak memuat ketidakramahan penduduk Siberut terha
dap ekspedisi mereka (Persoon 1995). Para pedagang memiliki kesan
buruk terhadap orang Mentawai, yakni sebagai orang-orang yang
seram-ganas dan gemar perang. Sebaliknya, orang Mentawai di masa
kolonial memandang para pedagang sebagai penipu dan haus ‘darah’
(Coronese 1986). Sering dianggap bahwa kontak dagang dengan para
pendatang hanya merugikan orang Siberut karena mereka membayar
murah rotan dan kelapanya.13
Akan tetapi perlu kehati-hatian untuk menarik garis bahwa hu
bungan antara orang Siberut dengan pendatang bersifat antagonis dan
penuh konflik. Di masa yang sama, ada pula laporan bernada simpatik
yang mengabarkan bahwa orang Siberut mudah sekali bekerja sama,
menyukai persahabatan dengan orang-orang luar, dan aktif dalam
perdagangan. Catatan naturalis dan pengunjung Eropa awal memberi
laporan tentang orang-orang liar yang ramah, yang hidup damai dan
harmonis dengan lingkungannya. Beberapa laporan ekspedisi dari
mision aris dan naturalis pada awal abad ke-20 memberi gambaran
yang jauh lebih positif (Kruyt 1979; Wagner 2002). Laporan hasil
perjalanan mereka mengenai orang Siberut diwarnai rasa takzim.
13 Laporan-laporan bernada kontras tentang orang Siberut dengan para pendatang yang ditulis Coronese,
agaknya berkaitan dengan bias posisinya sebagai misionaris. Kemungkinan besar, tulisan yang meng
gambarkan orang Mentawai atau Siberut di masa lalu sebagai ‘buas’ dan ‘gemar berperang’ ini,
berkaitan dengan kebutuhan narasi tentang keberhasilan agama Katolik di Siberut dalam mengubah
orang Mentawai menjadi lebih ‘beradab’ dan sesuai dengan gambaran yang diidealkan oleh para
misionaris.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 57
14 Uraian tentang kontak Siberut dengan dunia luar kami andalkan dari Stefano Coronese (1981:14-36),
Schefold (1979: 10-87), Kruyt, (1979: 1-18), Marsden (2008: 414-418). Beberapa sumber asli pen
ting—yang dikutip dan diacu Coronese dan Schefold—adalah John Crisp (1779) dan Logan (1872).
58 Berebut Hutan Siberut
15 Keterangan dari Gubernur Sumatra Barat, Prof. Harun Zain, pada 1974 yang dimuat dalam film
The Sakuddei (Granada Film 1974), sebuah film yang dibuat Reimar Schefold untuk Survival
International.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 59
salah satu agama yang diakui negara. Rapat ini juga memberikan re
komendasi bagi polisi dan pemuka tiga agama tersebut untuk meng
hilangkan atribut, benda-benda, dan segala sesuatu yang dianggap
berhubungan dengan Arat Sabulungan. Pakaian dan alat-alat ritual
sikerei sebagian besar disita dan dibakar. Para sikerei, dukun, dan
beberapa orang tua dalam uma dilarang mengenakan pakaian tra
disional berupa cawat dari kulit kayu dan diwajibkan memakai baju
untuk menunjukkan kesopanan. Mereka juga dipaksa untuk mem
bawa anak-anaknya mengikuti pendidikan yang akan disediakan pe
merintah. Namun, usaha ini praktis efektif dalam rentang waktu yang
pendek. Di banyak tempat di mana permukiman orang Mentawai
sukar dijangkau dan pemerintah tidak sanggup membiayai pelayanan
birokrasi, orang Mentawai di Siberut tetap melanggengkan gaya hidup
menurut leluhur mereka (Persoon 1995: 7).
Hingar-bingar politik dan perebutan kekuasaan yang melanda In
donesia periode 1959-1965 menyebabkan Siberut kembali diabaikan.
Berbeda dengan penduduk yang juga dianggap terasing di Kaliman
tan atau Papua (Tsing 1998: 13), orang Siberut tidak dicurigai sebagai
pengik ut komunis atau warga desa yang membahayakan. Orang-
orang tua di Siberut juga tidak pernah memiliki pengalaman langsung
dalam masalah politik, pemberontakan, atau ketegangan antara satu
golongan dengan golongan lain yang pernah menjadi drama dalam
kehidupan Indonesia sebelum huru-hara politik 1965. Peristiwa-
peristiwa penting di Indonesia seperti Pemilihan Umum 1955, Dekrit
Presiden 1959, dan pembunuhan massal terhadap kelompok yang
dipandang berhubungan dengan PKI 1965 tidak berpengaruh banyak.
Tidak ada laporan yang membuktikan bahwa mereka pernah terlibat
dalam proses-proses politik tersebut atau dengan proses kekuasaan
negara di kota-kota besar seperti Padang atau Jakarta.
Rezim Orde Baru mengawali hubungan yang lebih intensif antara
orang Siberut dengan negara modern (modern state). Pemerintah In
donesia menggunakan strategi spasial, yakni dengan memasukkan
pulau tersebut ke dalam struktur administrasi pemerintahan negara
modern sehingga memudahkan kontrol terhadap wilayah serta sum
ber daya alam di dalamnya (bandingkan Vandergeest dan Peluso
2001).16 Di samping memproduksi apa yang disebut sebagai legible
space (Scott 1998), dengan mengkategorikan populasi Siberut sebagai
masyarakat terasing, negara juga memproduksi kekuasaan serta
16 Proses ini akan dideskripsikan lebih lanjut pada Bab 4.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 61
17 Ide pemukiman penduduk Siberut bukanlah gagasan baru. Pemerintah Belanda berencana untuk
memukimkan beberapa penduduk Siberut yang berada di interior pulau ke tepi pantai namun ide ini
tidak pernah terlaksana. Ide pemukiman penduduk juga merupakan gagasan dasar dari kebijakan
OKPM yang kami sebut sebelumnya.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 63
18 Pernyataan Zulkifli Zainun, Gubernur Sumatra Barat dalam “How Wise is a Move?” Voice of Nature,
1990. Tanda kurung ditambahkan. Untuk pernyataan serupa dari pejabat resmi ada dalam The
Sakuddei (Granada Film 1974).
64 Berebut Hutan Siberut
19 Keterangan Aman Cokot dari Uma Sagorowjow, warga Desa Madobak, 4 Juni 2005.
20 Secara administratif sejak 2003, Siberut telah dibagi menjadi 5 kecamatan (Siberut Selatan, Siberut
Utara, Siberut Barat Daya, Siberut Barat, dan Siberut Tengah) melalui surat No 141/21/pem-2002. Se
cara efektif sistem administrasi ini baru dilaksanakan pada 2008.
70 Berebut Hutan Siberut
setiap bentuk perubahan antara gaya hidup lama yang mereka prak
tikkan dan yakini dengan peluang-peluang baru yang diberikan dari
keterlibatannya dengan komponen dari luar. Sebagian besar orang
Siberut, secara hati-hati dan sadar, mengikuti perubahan tanpa me
nentangkannya dengan kepercayaan lama. Mereka berusaha mengin
tegrasikan gaya hidup tradisional dan gaya hidup baru yang dipro
mosikan negara atau yang dibawa para pendatang. Yang terjadi di
Siberut adalah percampuran yang rumit antara yang lama dan yang
baru melalui proses hibridisasi.
Reaksi-reaksi yang berbeda-beda terbentuk kerena kuatnya si
kap egaliter orang Mentawai. Mereka terbiasa hidup independen de
ngan sedikit intervensi dari orang lain atau kelompok lain. Mereka
terbiasa hidup secara otonom di lembah sungai tanpa adanya kontrol
dan kepatuhan. Kehadiran pemerintah yang berusaha mengontrol ke
hidupan orang Siberut melalui birokrasi dianggap oleh sebagian ka
langan akan menghilangkan otonomi tersebut. Sebagian kelompok
yang lain ingin tetap melanggengkan gaya hidup otonom yang tidak
terikat itu. Di sisi lain, kehidupan orang Mentawai sangat terbuka pa
da kemungkinan-kemungkinan baru dan perubahan. Mereka tidak
memiliki masalah dengan perubahan dan malahan terlibat aktif da
lam setiap perubahan yang menguntungkan mereka. Mereka selalu
bersemangat dengan inisiatif baru dari luar. Perubahan dan dinamika
Siberut terletak pada ketegangan dua prinsip tersebut. Mereka selalu
ingin hidup otonom dan independen sambil mengikuti perubahan-
perubahan dengan segala kemungkinan harapan keuntungan yang
dapat mereka peroleh.
Sebagai hasil perbedaan budaya di tiap DAS, proses pembentukan
permukiman yang berbeda-beda, efek pembangunan, masuknya aga
ma, kunjungan wisata, dan pengaruh lainnya, setiap tempat di Siberut
mempunyai kekhasan masing-masing. Hal itu karena setiap tempat
memiliki sejarah tertentu. Sejarah ini membentuk permukiman dan
gaya hidup tertentu. Sekurang-kurangnya ada lima jenis kategori per
mukiman di Siberut (Persoon 1995).22
22 Penjelasan lebih rinci mengenai pola permukiman ini diharapkan akan memudahkan pembaca untuk
menemukan konteksnya ketika menemukan nama desa-desa yang akan kami sebutkan di bagian lain
buku ini. Penjelasan ini dibuat agar pembaca bisa mengenali referensi spasial, sejarah, dan konteks
masing-masing permukiman (desa, dusun, permukiman tradisional) dalam kaitannya dengan topik,
tema, wacana, atau bidang-bidang yang dibahas. Perincian pola permukiman ini kami salin dengan
sedikit modifikasi dari Persoon (1995: 17-19). Untuk merujuk nama-nama tempat, lihat peta Siberut di
awal buku ini.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 81
Hingga sekarang, terdapat 83 dusun dan 20 desa yang diakui dan di
gunakan pemerintah sebagai dasar administrasi, dibentuk melalui
program ini. Ciri khas permukiman ini adalah adanya keseragaman
dalam tata letak permukiman dan juga bahan-bahan rumah yang di
dirikan. Permukiman ini selalu dipimpin kepala dusun atau kepala
desa. Bentuk permukimannya didesain seperti perkampungan di Ja
wa, serta tidak lagi menurut alur sungai meskipun setelah beberapa
tahun berselang, permukiman ini juga kembali tidak teratur, bersifat
acak, dan tidak sesuai lagi dengan pola permukiman yang didesain
pemerintah.
Pola kelima adalah desa pelabuhan. Permukiman ini adalah en
clave bagi orang Minangkabau yang hampir semuanya muslim. Mereka
membentuk kantung permukiman yang terpisah karena kesulitan
berasimilasi dengan penduduk setempat. Babi-babi yang berkeliaran
bebas, ekologi yang keras, geografi yang sukar dijangkau, dan sikap
orang Mentawai yang dianggap sering resisten menyebabkan ruang
gerak orang Minangkabau di pulau ini terbatas. Oleh karena itu, para
pejabat lokal, pedagang, dan guru-guru dari Minangkabau membentuk
permukiman yang terpusat di daerah pelabuhan. Meskipun menjadi
enclave dan minoritas, permukiman ini merupakan pusat pendidikan,
pelayanan kesehatan, keagamaan, transportasi, dan peredaran ekspor-
impor barang dan jasa di Siberut.
Organisasi Sosial
Untuk mempermudah pemaparan sistem penguasaan terhadap
sumber daya di Siberut, terutama tanah dan hutan, di sini akan
dijelaskan beberapa istilah atau konsep penting yang terkait. Istilah
penting pertama adalah organisasi sosial orang Mentawai di Siberut
88 Berebut Hutan Siberut
Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep
2 Pendapat ini berbeda dengan argumentasi Reeves, di mana setiap suku jarang menggunakan rak-rak
sebagai entitas yang mewakili kesamaan asal-usul dan rak-rak bukan entitas yang menjadi dasar
ideologi identitas.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 91
besar yang membawahi uma, faksi uma, maupun rak-rak yang diciri
kan dengan adanya leluhur yang sama. Semua anggota uma atau rak-
rak yang mengklaim dirinya menjadi bagian dari sirubeiteteu berhak
untuk mendapatkan hak—penggunaan, pemanfaatan, atau hasil pen
jualan atas tanah—yang sama khusus untuk tanah temuan (sinesei)
leluhur yang menciptakan dan membawa nama umanya pada masa
lalu. Sirubeiteteu ini sering dipertukarkan dengan istilah uma sabeu
atau uma besar yang merujuk kumpulan dari uma-uma yang meng
klaim keturunan yang sama. Schefold (1991: 11) menggunakan istilah
klan untuk merujuk sirubeiteteu dan mendefiniskannya sebagai ke
lompok patrilineal yang bersatu didasarkan atas kesamaan mitos
yang sama tentang asal-usul. Di seluruh Siberut terdapat 25 klan atau
sirubeiteteu (ibid).
Konsep uma sendiri telah berubah, terutama pascakemerdekaan,
ketika kebijakan pemukiman, masuknya pendidikan modern, dan
perubahan sosio-ekonomi berlangsung intensif. Solidaritas dan kohe
sivitas uma banyak goyah ketika sistem yang lebih luas seperti desa,
dusun, dan satuan politik yang lebih besar seperti negara-bangsa ma
suk ke pulau tersebut. Studi Meyers (2003: 28-29) di Ugai dan Mai
leppet menyebutkan, struktur uma telah berubah baik dari konsep,
terminologi, dan relasi sosial yang membentuknya. Persoon (1995)
menyebutkan bahwa apa yang disebut sebagai kebudayaan tradisional,
termasuk konsep uma, sebagian besar merujuk pada situasi masa
akhir kolonial. Sementara sistem yang asli belum pernah dijumpai
dan diteliti secara mendalam sehingga kita tidak tahu konsep uma
yang asli maupun perubahannya. Meskipun konsep unit sosial telah
mengalami transformasi yang signifikan, uma tetap menjadi bagian
penting dalam pembentukan klaim terhadap penguasaan atas tanah.
Kepemilikan Tanah
Di Siberut, silsilah keluarga, garis keturunan uma, sejarah asal-
usul perkampungan (pulaggajat), dan sejarah penguasaan sumber
daya, memiliki arti sangat penting secara sosial. Bagi orang Mentawai,
setiap individu selalu terkait dan memiliki hubungan kekerabatan
dengan uma tertentu. Sama halnya dengan itu, tanah juga selalu terkait
dengan uma tertentu. Tidak ada individu yang memiliki identitas
pribadi tanpa nama uma, begitu juga tidak ada orang Mentawai yang
tidak punya tanah. Setiap kepemilikan tanah selalu terkait dengan
uma. Demikian juga sebaliknya, tidak ada uma tanpa tanah atau
sumber daya.
92 Berebut Hutan Siberut
3 Istilah ini sering digunakan dengan istilah si oiake yang memiliki arti harfiah ‘orang yang datang’. Istilah
ini merujuk pada orang yang bermigrasi ke lokasi yang bukan lagi tanah milik umanya. Secara mudah
nya, dia disebut sebagai pendatang dalam konteks sesama orang Mentawai.
94 Berebut Hutan Siberut
Keenam, polak tulou, yang merujuk pada tanah atau hutan yang
dimiliki sebagai akibat atas pelanggaran kesepakatan adat. Jika suatu
uma terlibat konflik dengan uma lain dan dinyatakan bersalah dalam
sebuah perundingan, mereka akan membayarnya dengan tanah. Satu
kasus yang sering terjadi adalah apabila anggota uma tertentu meng
ambil istri anggota uma lain, maka uma dari pihak laki-laki yang
melarikan perempuan yang telah beristri tersebut harus membayar
denda berupa tanah.
Terakhir, tanah pribadi. Tanah ini dimiliki oleh individu dari
hasil pembelian, denda, atau akibat barter yang dibayarkan secara
personal. Proses peralihan menjadi tanah pribadi sangat jarang dite
mukan. Kepemilikan tanah pribadi melibatkan konsep jual beli yang
bersifat khusus karena kecenderungan ini baru terjadi dalam sejarah
kontemporer Siberut dan di masa sebelum merdeka, kasus ini belum
pernah ditemukan.
Orang Siberut membedakan kepemilikan tanah dan kepemilikan
sumber daya di atasnya—meskipun pada banyak kasus, pemilik tanah
adalah pemilik sumber daya itu. Pada prinsipnya, tanah dimiliki oleh
uma secara eksklusif atau juga beberapa uma tergantung jenis kepe
milikan tanahnya. Jika tanahnya adalah tanah sinesei, maka uma-uma
yang dapat membuktikan klaim memiliki garis keturunan dengan uma
yang menemukan tanah itu berhak memilikinya. Untuk menandai
batas tanah atau hutan milik umanya, orang Siberut kadang-kadang
menanam pohon tertentu seperti ngirip (Barringtonia racemosa),
bobolo (Cordilyne racemosa), bekeu anitu (Abelmoschus moschantus
spp), sura (Codiaeum variegatum) (Meyers 2003). Batas-batas tanah
yang luas ditandai oleh penanda alam seperti sungai, gunung, atau
rawa. Tanda batas tersebut diberikan tidak untuk membatasi akses
orang lain ke tanah tertentu namun untuk mempermudah anggota
uma atau kelompok lain mengenalinya.
Untuk tanah yang masih berupa hutan, umumnya pemilik ta
nah dan pemilik sumber dayanya adalah sama. Tanah ini biasanya
berupa bukit-bukit yang luas dan tidak dibudidayakan. Tanah-tanah
ini masih berupa hutan-hutan sekunder tua dan hutan primer yang
jarang dimasuki manusia—kecuali untuk beberapa tujuan, misal
nya, mencari rotan manau atau berburu dan mengambil kayu untuk
membuat sampan. Tanah-tanah ini dicirikan sumber daya di atasnya
bukanlah hasil budidaya. Oleh karena itu, tanah yang masih berupa
hutan dan berada di perbukitan, klaim kepemilikannya—entah tanah
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 97
itu sendiri atau sumber daya di atasnya—biasanya sama. Hal ini sangat
berbeda dengan tanah-tanah landai yang berada di lembah-lembah
yang subur. Tanah-tanah ini sudah digunakan untuk permukiman,
berladang dan juga beternak. Kepemilikan tanah di kawasan ini lebih
kompleks karena sejarah sosial yang terbentuk di dalamnya juga
kompleks. Kompleksitas ini berkaitan dengan masalah penggunaan
dan intensitas pemanfaatannya.
Tidak semua orang bertempat tinggal, berladang, dan mengelola
tanah milik umanya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini
terjadi. Pertama, hal ini karena letak tanah dan hutan milik mereka
jauh. Lokasi tanah milik umanya tidak berada di tempat mereka se
karang tinggal. Faktor ini terjadi sejak zaman yang lampau ketika mi
grasi lokal telah berjalan intensif. Migrasi ini umumnya terjadi karena
alasan konflik-konflik internal yang tidak dapat diselesaikan dan satu-
satunya cara menghindari konflik terbuka adalah berpisah dari uma
nya, menyingkir ke lembah lain dan membentuk uma baru (Schefold
1991: 117). Faktor yang kedua yakni adanya kebutuhan mencari tanah-
tanah yang lebih subur dan landai untuk dibudidayakan seiring de
ngan rangsangan ekonomi baru dan kebutuhan-kebutuhan baru—mi
salnya tanaman komersial dan perubahan ke arah ekonomi tunai.
Dengan demikian, sebagian besar orang Siberut mengumpulkan
makanan, membangun kandang babi, atau berburu di tanah yang di
miliki uma lain. Anggota uma lain yang bermaksud mengumpulkan
makanan, membangun kandang babi, atau berburu di tanah yang di
miliki uma tertentu, wajib hukumnya meminta izin dan membayar
atau mengganti rugi atas sumber daya alam yang dipungut.4 Di ta
nah-tanah yang dibudidayakan ini terdapat perbedaan kepemilikan
yang sangat jelas antara pemilik tanah dan pemilik sumber daya di
atasnya. Tanahnya dimiliki suatu uma tertentu namun sungai, pohon,
semak belukar, sagu, atau tanaman buah-buahan dimiliki oleh uma
lain. Misalkan, tanah dimiliki oleh Uma A, tetapi sungai atau rawa/air
tergenang dan tumbuhan di atasnya dimiliki oleh Uma B.
Menyangkut adanya perbedaan kepemilikan tanah dan sumber
daya di atasnya, si pemilik tanah mempunyai kekuatan yang sangat
kuat, lebih kuat dibanding pemilik sumber daya di atasnya, meskipun
4 Terdapat variasi mengenai pembayaran pungutan. Data dari Lembah Silaoinan di tenggara Siberut
menyebut mereka tidak pernah meminta pulajuk kepada uma lain—kecuali untuk tujuan ekstraktif se
perti mengambil rotan untuk dijual. Kasus yang sama juga terdapat di Simatalu di mana izin lisan dari
pemilik tanah sudah cukup untuk membudidayakan tanah itu.
98 Berebut Hutan Siberut
seringkali sumber daya di atas tanah itu lebih bernilai sosial dan eko
nomis daripada tanahnya sendiri. Si pemilik tanah memiliki hak dan
kekuasaan untuk melarang uma lain membudidayakan tanah milik
nya, menghentikan atau dalam kasus-kasus tertentu merampas sum
ber daya yang diusahakan uma lain di atas tanah miliknya.
Di samping terdapat perbedaan kepemilikan antara pemilik tanah
dan pemilik sumber daya di atasnya, perbedaan hak dan kepemilikan
juga ada dalam internal uma. Perbedaan kepemilikan dalam anggota
kelompok berkaitan dengan satuan produksi. Meskipun uma adalah
unit sosial yang penting, satuan produksi orang Mentawai ada pada
keluarga inti (lalep) (Meyers 2003: 29; Schefold 1980). Tanah dimiliki
uma tetapi ladang atau tanaman di atasnya dimiliki lalep. Di atas tanah
yang bersifat kolektif atau komunal, isi pohon buah-buahan, sagu, ke
ladi dimiliki oleh lalep yang mengusahakannya. Pemilik tanaman me
miliki hak eksklusif. Si pemilik/lalep berhak menggadaikan atau me
manfaatkan tanaman atau sumber daya lain (babi, ayam) yang mereka
punyai dengan menginvestasikan tenaga kerja mereka.
Meskipun kepemilikan tanah secara eksklusif sangat dijunjung
tinggi, ini tidak berarti setiap si toi tidak mendapatkan kemudahan
untuk memanfaatkan lahan milik orang lain atau setiap lalep memi
liki kebebasan mutlak dalam menguasai apa yang dimilikinya. Orang
Mentawai memiliki etika berbagi (ethic of sharing) yang kuat yang
ditunjukkan dengan diperbolehkannya uma-uma lain untuk meman
faatkan tanah sibakkat laggai untuk kehidupan sehari-hari. Uma-uma
yang masih bersangkut paut kekerabatan, meskipun tidak berada da
lam garis keturunan ayah yang sama, bebas saling menggunakan dan
memanfaatkan tanahnya masing-masing. Kecenderungan ini paling
kuat untuk uma-uma yang berasal dari lembah yang sama dan telah
membangun relasi sosial yang kuat di masa lalu. Setiap pemanfaatan
tanah milik uma lain dapat dilakukan dengan persetujuan lisan. Ka
dangkala bahkan persetujuan formal tidak diperlukan. Maksud-mak
sud penggunaan tanah milik orang lain yang disampaikan secara tidak
sengaja dalam percakapan sehari-hari sudah cukup sebagai pertanda
bahwa persetujuan telah dicapai.
Etika berbagi dalam penggunaan tanah dan sumber daya milik
orang lain sangat mencolok jika kepentingan pemanfaatan tersebut
bersifat subsisten. Schefold (1991: 56) menunjukkan, orang bisa seca
ra bebas memanfaatkan lahan milik orang lain—bahkan dalam bebe
rapa kasus tanaman milik orang lain—dengan syarat hanya untuk ke
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 99
tanah itu. Beberapa anggota yang hidup di Ugai tidak tahu (dan ku
rang percaya) bahwa mereka punya tanah di Saibi karena mereka
belum pernah ke sana meskipun status itu sangat berarti dan mem
banggakan mereka dalam percakapan sehari-hari di Ugai.
Begitu juga dengan apa yang terjadi pada Uma Samailiming yang
sekarang tinggal di Ugai, Lembah Rereiket. Selain mengklaim punya
tanah di Madobag, mereka juga punya tanah di Siribabak, suatu lembah
di pantai barat. Lembah Rereiket dan Siribabak terpisah bukit-bukit
terjal dan harus ditempuh sehari jalan kaki. Klaim ini didasarkan atas
klaim bahwa leluhur mereka yang berasal dari Simatalu, bermigrasi
ke Siribabak dan menemukan tanah kosong di sana dan tinggal untuk
beberapa waktu, sebelum bermigrasi kembali dan keturunannya se
karang menetap di Ugai. Mereka mengaku masih berkerabat dengan
Uma Tasiripoula yang masih tinggal di Siribabak. Pengakuan dan
klaim-klaim ini belumlah terang. Beberapa anggota Samailiming ti
dak begitu yakin dan memiliki data yang valid mengenai riwayat ke
pemilikan itu.
Hampir di kebanyakan uma, mereka tidak memiliki riwayat yang
jelas dan cerita yang sangat terang mengenai tanah. Hal ini diperpa
rah kenyataan bahwa orang yang menguasai cerita tentang tanah ini
sangat sedikit di masing-masing uma—bahkan ada juga uma yang sa
ma sekali lemah penguasaan cerita tanahnya. Klaim-klaim kepemi
likan tanah seperti ini seringkali hanya bersifat hipotetis dan muncul
secara samar dalam pembicaraan informal menyangkut garis ketu
runan dan sejarah migrasi di masa lalu. Sementara cerita tanah masih
samar, tanah dan sumber daya di atasnya mengalami rangkaian pe
manfaatan oleh uma berbeda dan melibatkan pertukaran benda dan
barang yang kompleks. Klaim-klaim atas tanah ini harus diuji melalui
serangkaian penceritaan ulang sejarah masing-masing uma, sejarah
pemakaian lahan, dan juga sejarah perpindahan uma-uma yang per
nah bermukim, dan keterangan dari uma lain yang memiliki hubung
an kekerabatan dengan uma tersebut. Ilustrasi berikut ini akan meng
gambarkan hubungan sejarah kepemilikan dan genealogi uma:
Terdapatlah suatu kawasan luas, yang di sini disebut porak
(tanah), telah dimiliki melalui penemuan (sinesei) oleh uma
bernama A di masa lalu—uma A ini menjadi sirubeiteteu. Po
rak tersebut berada di Lembah Simatalu. Karena berbagai hal,
3 keturunan lelaki yang membentuk Uma A ini berselisih dan
102 Berebut Hutan Siberut
2000-an, Bat Mara hanya sedikit dipakai untuk budidaya sagu dan
berladang. Menurut keterangan Aman Bruno,5 sebelum 1970-an,
tanah-tanah di Bat Mara sebenarnya telah diperjualbelikan antara
Uma Samoan Limu, Sakaliou, Saruruk, Saurei dan beberapa uma lain.
Aman Bruno memberi catatan bahwa persoalan tanah di Bat Mara,
seperti kebanyakan tempat lain, juga rumit dan melibatkan banyak
uma. Jual beli dan pemanfaatan tanah-tanah tersebut tidak banyak
menghasilkan sengketa sebelum tahun 2000. Tidak ada keterang
an yang melaporkan ada perselisihan terbuka. Di masa lalu, seng
keta-sengketa lebih mudah diselesaikan karena lahan masih luas
sehingga pihak-pihak yang bersengketa—untuk menghindari kon
flik—menyingkir ke lahan lain dan membangun ladangnya di sana.
Semenjak tahun 2000-an, Bat Mara menjadi incaran banyak
orang untuk berladang kakao. Bat Mara adalah dataran rendah sangat
luas, berbeda dengan kebanyakan hutan di tempat lain yang berbu
kit-bukit. Tanahnya—berupa delta-delta subur yang terbentuk dari
luapan banjir sungai-sungai—sangatlah cocok untuk budidaya kakao.
Selain subur, Bat Mara disukai karena mempunyai jalan beton yang
dibangun oleh pemerintah daerah, sehingga mudah diakses dengan
motor. Meningkatnya harga kakao memicu meningkatnya kebutuhan
atas tanah dan menyebabkan harga tanah melonjak tajam. Sebagian
besar migran (etnis Batak, Minangkabau, Jawa, Nias) yang memiliki
kecukupan modal dan surplus dari profesi mereka sebagai pedagang
atau pegawai sipil berani mengeluarkan modal untuk mengubah hu
tan-hutan campuran menjadi ladang kakao.
Sengketa Bat Mara menjadi masalah besar setelah Aman Vivi, se
orang guru asal Rogdok dan anggota Uma Sapojai, menjual tanah selu
as sekitar 30 ha di Bat Mara senilai Rp50 juta kepada kelompok petani
pendatang yang berasal dari etnis Batak. Menurut gunjingan warga
di sekitar Sabirut, Aman Vivi dikenal luas sebagai seorang yang se
ring menjual tanah, lahan, atau hutan kepada pihak luar untuk kepen
tingan pribadi tanpa melibatkan kesepakatan dengan umanya, atau
bahkan menjual tanah milik uma lain. Setelah penjualan resmi dise
pakati, muncul protes dari Uma Samoan Limu yang bermukim di Du
sun Salappak, yang terletak di Lembah Silaoinan. Mereka mengklaim
bahwa tanah tersebut milik uma mereka. Mereka mengklaim bahwa
5 Aman Bruno adalah mantan Kepala Desa Muntei sekaligus tokoh lokal yang terkenal memiliki ke
mampuan penguasaan sejarah tanah di Lembah Sabirut dan Katurei. Keterangan ini kami rekam dari
beberapa kasus penyelesaian tanah Bat Mara di Muntei sepanjang 2006-2008.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 105
leluhur Samoan Limu adalah penemu tanah ini dengan bukti bah
wa mereka telah mengambil rotan dari hulu sungai yang membatasi
tanah mereka dan klaim ini dibenarkan oleh Uma Samaileppet yang
berladang di kawasan tersebut.
Tanah yang dijual oleh Aman Vivi di Bat Mara ini berbatasan
langsung dengan tanah milik Uma Saurei dan Uma Sailokkoat. Uma
Saurei dan Uma Sailokkoat memiliki hubungan kekerabatan jauh dan
tidak memiliki rak-rak atau sirubeiteteu yang sama. Uma Sailokkoat
mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan tanah sinesei, atau tanah
temuan leluhur mereka. Hal ini dibuktikan dengan bekas pondok me
reka yang diakui oleh Uma Seppungan yang berladang di sekitar mere
ka. Uma Saurei juga mengklaim bahwa tanah yang berada di kawasan
yang telah dijual itu adalah tanah mereka.
Untuk menyelesaikan masalah tanah, pada Mei 2008, Uma Sa
moan Limu berinisiatif mengundang pejabat pemerintahan sebagai
juru runding (sipatalaga) guna menangani kasus. Sipatalaga yang
dipilih adalah kepala-kepala dusun yang ada di Desa Muntei, yang
secara administratif membawahi Bat Mara. Enam kepala dusun di
Muntei, Muara Siberut, dan undangan tamu dari Desa Maileppet
menjadi penengah. Pertemuan membahas konflik Bat Mara dihadiri
banyak tetua uma (sikebbukat uma) di Lembah Sabirut. Pertemuan
itu juga mengundang para tokoh yang dianggap menguasai silsilah
dan sejarah kepemilikan tanah di daerah Siberut seperti Aman Bruno.
Seluruh biaya akomodasi dan konsumsi dalam pertemuan itu menjadi
tanggungan si pengundang. Seperti layaknya pembahasan mengenai
tanah lainnya, pertemuan yang diselenggarakan di sekolah dasar di
Muntei ini diwarnai perdebatan sengit, tukar menukar cerita yang ru
mit, ledakan emosi, orasi yang berapi-api, atau jari yang menunjuk-
nunjuk ke arah lawan bicara. Meskipun semua orang yang terlibat
berusaha menahan diri, tidak ada pembicaraan masalah tanah yang
berlangsung dengan suasana santai. Setelah diwarnai dengan debat-
debat yang panas dan melibatkan sejarah masing-masing uma yang
berkonflik, pada hari ketiga pertemuan itu akhirnya muncul silsilah
baru sejarah kepemilikan tanah yang disengketakan. Pada akhir per
temuan, para penengah dan juga Uma Samoan Limu sering menye
but-nyebut “temuan baru”, yakni munculnya uma pemilik tanah sebe
narnya yang bernama Uma Sakaelagat.
Sebelum pertemuan ini, tidak pernah dibicarakan adanya nama
ini. Silsilah baru dengan nama Sakaelagat ini diajukan oleh Uma Samo
106 Berebut Hutan Siberut
6 Panajojo adalah figur setengah mitologis setengah historis yang dianggap sebagai penguasa tanah di
Lembah Sabirut yang merentang dari Muara Sabirut sampai Bat Mara. Dia dianggap sebagai orang
kuat yang banyak tanah, rajin sekaligus sangat berkuasa. Tanah-tanah yang ia kuasai sebagian besar
harus dibayarkan kepada uma karena dia membunuh, mengambil istri, atau mengganggu uma lain.
Melihat cerita-cerita yang beredar, dalam interpretasi kami, figur Panajojo bukanlah figur satu orang
tapi mewakili uma/suku.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 107
9 Di lembah lain, ukkui bisa diartikan sebagai sebutan hormat untuk istilah leluhur. Di Siberut arti umum
ukkui mencakup nenek, kakek, dan orang-orang yang hidup di zaman lampau dan atau sudah mening
gal. Dalam konteks ini, istilah ukkui juga bisa diitepretasikan sebagai roh-roh leluhur yang meninggal.
Pengertian berbeda apabila istilah Ukkui digunakan dalam konteks bahasa yang digunakan oleh ajar
an dan doa-doa resmi Gereja di Siberut. Isitlah ini lebih mudah untuk diinterpretasikan sebagai personi
fikasi Tuhan/Yesus.
10 Keterangan mengenai sanitu sangat kabur dan kontradiktif. Di beberapa tempat, sanitu dianggap se
bagai bagian dari definisi tentang roh, namun memiliki sifat jahat. Sementara di tempat lain, dia diang
gap berbeda dengan definisi roh dan menjadi entitas sendiri—meskipun sama-sama bersifat gaib.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 117
the beyond atau hidden culture bagi hutan di Siberut. Artinya, hutan,
bagi orang Siberut, bukan hanya berisi hewan-hewan, pohon-pohon
menjulang, serangga, semak belukar, kelokan sungai, atau tumbuhan,
tetapi juga roh-roh yang hidup dan membangun suatu kehidupan ter
tentu di dalam hutan.
Kehidupan roh di dalam hutan terpisah dengan kehidupan ma
nusia yang ada di permukiman namun keduanya selalu terlibat dalam
sebuah relasi. Keterpisahan ruang ini, bukanlah pemisahan yang ber
sifat mutlak. Meskipun manusia menempati ruang yang berbeda de
ngan roh-roh, mereka selalu hidup bersama roh-roh tersebut, di mana
pun mereka berada. Dalam konteks hutan, untuk mendapatkan ke
butuhan makanan, ritual, atau segala sesuatu yang berasal dari hutan,
manusia harus berhubungan dengan roh-roh yang ada dalam hutan.
Manusia dapat memanfaatkan segala sesuatu di hutan asalkan mampu
membujuk roh-roh hutan untuk memberikan izin pemanfaatannya.
Tanpa izin dan restu dari roh-roh yang ada di hutan, manusia akan
mendapat sanksi berupa kecelakaan atau nasib buruk.
Roh-roh dapat memberikan perlindungan dan hukuman tergan
tung dari cara manusia memelihara hubungan dengannya. Roh-roh
dapat memberi manfaat terhadap manusia sekaligus dapat membe
rikan marabahaya. Roh-roh bisa memberikan hewan peliharaannya
(monyet, babi hutan, rusa, dll) untuk dijadikan hewan buruan manusia,
tetapi manusia juga bisa celaka (sakit, anak cacat, terkena parang).
Roh-roh di dalam hutan dapat memberi petunjuk tentang masa de
pan yang lebih baik sekaligus dapat menyebabkan masa depan men
jadi buruk. Dalam konteks ini, roh-roh yang ada di dalam hutan dan
hutan itu sendiri bersifat ambivalen. Dia dapat dikategorikan sebagai
tempat menakutkan (bila berjumpa dengan roh hutan), sumber ma
rabahaya (digigit ular atau tertimpa pohon) namun hutan juga bisa
dikategorikan sebagai tempat yang memberi manfaat bagi manusia
dengan hewan buruan, tumbuhan obat, kayu-kayu dan lainnya. Oleh
karena itu, satu-satunya cara untuk memelihara hubungan yang meng
untungkan dengan roh-roh tersebut adalah memelihara hubungan
harmonis.
Sikap menjaga keharmonisan dengan roh-roh ini berhubungan
dengan ide tentang keselarasan yang merupakan tema sentral dalam
kehidupan orang Mentawai (Schefold 1991: 132). Tujuan kehidupan,
bagi orang Mentawai, adalah hidup selaras. Setiap aktivitas manusia,
berpotensi untuk mengubah keselarasan antara manusia dengan roh
120 Berebut Hutan Siberut
yang ada di lingkungan tersebut (ibid: 134). Karena itu, setiap aktivitas
yang berhubungan dengan lingkungan dan benda harus dipastikan bi
sa membuat roh-roh itu senang. Orang Mentawai memiliki pesta (lia)
sebagai cara untuk menciptakan kesatuan sosial dan spiritual di da
lam hubungan antarmanusia, manusia dengan roh-roh, maupun ma
nusia dengan lingkungannya.
Tidak hanya berfungsi sebagai sarana integrasi sosial di lingkung
an kekerabatan dan mengkonsolidasikan kembali solidaritas yang ha
rus terus dipertahankan agar terus memelihara kewajiban dan tang
gung jawab sebagai kelompok sosial, lia adalah sarana mediasi antara
manusia dengan roh-roh, leluhur mereka yang sudah mati, atau untuk
mencari tahu masa depan yang akan mereka terima. Lia merupakan
peristiwa sosial yang sangat penting yang diselenggarakan secara khu
sus bagi manusia untuk beristirahat dari aktivitas sehari-hari demi tu
juan yang lebih penting—mengadakan penghormatan kepada roh-roh
(Schefold 1991).
Tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui lia bersifat sosial dan
juga spiritual—ketiadaan perasaan agresif terhadap orang lain, jiwa
tenang dan bergembira—keadaan yang sangat didambakan bersifat
seimbang antara jiwa dan materi, masa lalu dan masa depan, individu
dan kelompok sosial. Lia adalah suatu cara orang Mentawai untuk
menjaga hubungan anggota uma dengan roh-roh. Dengan lia, roh-roh
tidak akan mengganggu, membuat sakit, sedih, bingung, dan rejeki
seret bagi manusia. Selain fungsi spiritual, lia adalah suatu cara untuk
mencapai keseimbangan yang ideal antara hak dan kewajiban seba
gai suatu kelompok sosial. Masing-masing anggota kelompok memi
liki kewajiban untuk berkontribusi, baik tenaga maupun harta benda
(menyumbang babi, ayam), dan saling membantu sesama selama lia
berlangsung. Mereka juga harus menghindari pantangan dan tabu-ta
bu secara kolektif. Mereka akan diperlakukan secara sama, mendapat
jatah daging yang dihidangkan dalam jumlah yang sama, mendapat
doa-doa yang sama. Hasilnya adalah tak seorang pun merasa berbeda
dengan yang lain, tidak merasa dikucilkan atau tidak memiliki ke
inginan untuk memencilkan diri.
Kelahiran, perkawinan, kematian, pindah rumah, panen, pembu
atan ladang, atau sakit adalah peristiwa-peristiwa sosial yang mening
katkan dan membuka komunikasi manusia dengan roh-roh. Begitu
juga dengan tindakan-tindakan praktis seperti membeli mesin tempel
atau televisi, menyambut perantau yang pulang, atau membuat sam
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 121
pan adalah hal-hal yang juga memerlukan lia. Setiap aktivitas yang
menunjukkan intervensi manusia terhadap hutan (membuat sampan
dan rumah atau membuka ladang) harus didahului dengan lia. Selama
pelaksanaan lia, setiap orang diharapkan untuk tidak melakukan akti
vitas di luar lingkungan uma yang mereka tinggali, mengurangi peker
jaan sehari-hari atau kegiatan-kegiatan yang menyebabkan roh-roh
marah. Tindakan yang merusak lingkungan, misalnya, dapat meng
ganggu keselarasan yang ingin dicapai dalam lia (Schefold: 126-128).
Uraian mengenai lia membawa pemaparan fungsi simbolik hutan
bagi orang Mentawai. Bagi orang Mentawai roh-roh yang ada di dalam
hutan atau di mana saja bisa menghukum mereka atau memberi ke
untungan. Manusia harus melakukan negosiasi terus menerus dengan
roh-roh agar kehidupan berada dalam keseimbangan dan tidak meng
alami gangguan. Setiap lia selalu diakhiri dengan upacara berburu ke
hutan (bandingkan Schefold 1991; 1980; Loeb 1972)—atau juga ke laut.
Hewan buruan di hutan (monyet, babi hutan, rusa) merupakan satwa
peliharaan roh-roh di dalam hutan. Agar mendapat hasil buruan yang
melimpah, sebelum pergi ke hutan dan yang paling penting pada saat
lia, manusia menyajikan sedikit daging dari ternak yang dipeliharanya
(seperti babi dan ayam) kepada roh-roh sebagai persembahan. Jika
uma yang melakukan perburuan itu berhasil mendapatkan buruan, hal
itu memberi makna bahwa roh-roh hutan merestui tindakan mereka.
Hewan buruan merupakan tanda bentuk hubungan yang selaras an
tara roh dengan manusia. Semakin banyak monyet, babi hutan, atau
rusa yang didapatkan, ada anggapan semakin kuat restu dari roh-roh
di dalam hutan terhadap manusia. Begitu juga sebaliknya, jika tidak
mendapatkan buruan, atau buruan yang didapat adalah hewan yang
cacat, roh-roh hutan memberi petunjuk bahwa mereka tidak senang
terhadap lia tersebut.
Berburu merupakan suatu cara untuk mendapatkan petunjuk
mengenai hubungan dengan roh yang ada di hutan sekaligus cara un
tuk mengetahui kualitas hubungan manusia dengan hutan. Seperti di
paparkan Schefold (2002; 1991) dan Darmanto (2006), daging hasil
buruan memainkan peranan yang penting dalam upacara penutupan
lia. Daging hewan buruan dibagi rata kepada anggota kelompok sosial.
Sebagian dari daging itu dihidangkan saat lia berlangsung. Daging bu
ruan yang dimakan itu membuat seluruh pantangan berakhir dan ma
nusia mencapai titik selaras dengan lingkungan. Tulang dan tengkorak
hewan buruan disimpan dan dipajang di beranda uma. Sebelumnya,
122 Berebut Hutan Siberut
penyu, dugong, dan ikan-ikan besar, serta mencari rumput laut. Kela
pa adalah tumbuhan yang penting dalam ekosistem ini, karena berni
lai ekonomi tinggi. Beberapa nusa yang relatif luas, digunakan orang
Siberut untuk membudidayakan cengkeh, nilam, dan pala, dan bela
kangan sebagai tempat resor wisata selancar yang cukup ramai.
Hutan/gunung (leleu). Kawasan ini dimanfaatkan untuk ke
perluan berburu, terutama empat jenis primata, babi liar, rusa, ular,
burung, tupai dan kelelawar. Di sini juga terdapat kayu-kayu untuk
membuat sampan dan membangun rumah. Kawasan ini juga penting
karena menyediakan hasil hutan nonkayu seperti rotan, nilam, dan
menjadi habitat lebah madu. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, eko
sistem hutan kompleks karena ada nuansa simbolik sekaligus praktis,
yang menandai hubungan antara manusia dengan hutan yang mendua.
Ekosistem hutan memiliki makna khusus karena bernuansa spiritual.
Interaksi dengan hutan belantara bagi kebanyakan orang terbatas dan
kurang intensif. Namun, ada juga orang yang banyak berhubungan
dengan hutan, misalnya sikerei. Bagi sikerei, hutan adalah tempat
mereka mencari tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat serta salah satu
tempat favorit untuk mencari sesuatu (yang umumnya diperantarai
oleh tumbuhan tertentu) yang memiliki kekuatan supranatural yang
disebut gaud. Gaud bersifat rahasia dan hanya orang-orang tertentu
yang bisa mendapatkannya. Jenis hubungan dan aktivitas lain yang
berhubungan dengan hutan adalah berburu atau mencari pohon-po
hon untuk membuat sampan dan papan untuk rumah. Orang-orang
yang sering melintasi hutan dikesankan memiliki kekuatan tersendiri,
sekurang-kurangnya keberanian.
Klasifikasi di atas menjelaskan mana ekosistem yang digunakan
sebagai sumber subsistensi, mana yang lebih bernilai kultural dan spi
ritual, dan mana yang belakangan akan lebih bernilai ekonomis. Kla
sifik
asi tersebut memudahkan kita untuk memahami ekosistem yang
bisa dieksploitasi, dipelihara, atau dijadikan sumber makanan pokok,
sumber protein, atau sumber kultural.
Ekosistem hutan memiliki karakter yang sangat khusus karena
tidak mengalami eksploitasi yang intensif. Hutan juga bukan tempat
yang dibudidayakan. Ekosistem-ekosistem lain berada di dekat per
mukiman atau sekurang-kurangnya secara teratur dikunjungi dan
karena itu manusia selalu berinteraksi dengannya. Sementara itu, hu
tan terletak dari tempat yang agak jauh dari permukiman sehingga hu
bungan manusia dengan hutan tidak bersifat rutin. Meskipun banyak
128 Berebut Hutan Siberut
11 Istilah ini tidak konsisten. Istilah tinungglu dan pumonean sering digunakan secara bergantian untuk
menyebut perladangan. Ladang yang baru dibuka disebut sebagai tinungglu, sementara ladang yang
sudah dewasa, berisi campuran tumbuhan buah dan hutan, dan memiliki karakter dan struktur vege
tasi hutan disebut pumonean. Untuk konsistensi dan kemudahan penggunaan, kata tinungglu dipakai
untuk ladang yang baru dibuka dan pumonean untuk merujuk istilah perladangan yang telah dewasa.
Di Siberut bagian tengah perladangan disebut sebagai parak, suatu istilah yang sangat jelas meng
adopsi istilah Minangkabau (misalkan Michon 2005). Di Siberut Utara, yang disebut dengan ladang
atau perladangan adalah tinungglu. Untuk keterangan perbedaan tinungglu dan pumonean di Rereiket
dengan menggunakan aspek kronologis teknis pengerjaannya (lihat Darmanto 2006).
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 129
Gambar 6. Lanjutan.
naman budidaya. Orang Siberut tidak memiliki tenaga kerja dan tek
nologi yang bisa mengatasi percepatan tumbuhnya gulma dan belukar
tersebut. Mereka cenderung meninggalkan ladang yang mulai diserbu
semak liar dan tidak lama ladang itu akan bersatu kembali dengan
hutan. Untuk memanfaatkan sisa-sisa biomassa dari ladang yang di
tanami pisang dan beberapa tanaman budidaya, lahan-lahan ini di
manfaatkan untuk beternak babi yang dipelihara setengah liar.
Tenaga kerja dan teknologi yang terbatas ini menyebabkan kon
versi hutan-hutan yang luas menjadi ladang tidak pernah terjadi da
lam jangka waktu yang lama. Kombinasi dari keterbatasan teknologi,
mobilisasi tenaga kerja, dan ekologi tersebut kurang memberi tekanan
terhadap hutan, saling melengkapi dengan praktik dan pilihan tanam
an yang dibudidayakan. Hal ini akan dijelaskan selanjutnya.
atau “suku yang bijak” dengan mudah membelokkan citra kita kepada
masyarakat yang masih terikat tradisi dengan kuat dan memelihara
hubungan yang selaras dengan alam. Hubungan orang Siberut dengan
hutan berkait erat dengan sistem produksi, ketersediaan teknologi
dan tenaga kerja, serta struktur sosial yang melingkupinya. Hal ini
berbeda dengan dasar-dasar keseimbangan dalam konsep ekologi
yang turut dipengaruhi oleh kesadaran politik wacana global tentang
lingkungan (Ellen 2002: 237).
Ciri hubungan antara manusia, hutan, dan roh-roh di dalamnya
adalah negosiasi. Hubungan-hubungan ini harus selalu diuji sepanjang
waktu melalui pelaksanaan lia dan tranformasinya melalui perladang
an. Kedua cara tersebut melibatkan banyak tabu dan pantangan. Nego
siasi terjadi karena terdapat ambivalensi persepsi terhadap hutan. Di
satu sisi, hutan merupakan tempat menakutkan dan sebisa mungkin
harus dihindari karena diasosiasikan dengan kematian (tempat roh-
roh orang yang meninggal), tempat tinggal sanitu—baik yang jahat
maupun yang baik—maupun sumber mara bahaya (tertimpa pohon,
jatuh ke dalam jurang). Di sisi lain, hutan merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari agar terus hidup (kayu un
tuk sampan, tumbuhan obat untuk kesehatan, bahan makanan untuk
konsumsi sehari-hari, dll), serta juga jalur perlintasan ke kampung
lain. Dengan cara ini, orang Siberut berpandangan ada hutan yang
boleh dieksploitasi, ada yang bebas intervensi dengan dikeramatkan,
dan ada juga yang merupakan kombinasi keduanya. Kadang, suatu
waktu hutan bisa dikeramatkan, namun beberapa lama kemudian,
tidak keramat lagi.
Hubungan negosiatif ini berlangsung terus-menerus sehingga
bersifat mendua (Schefold 2002). Peranan hutan selalu diasosiasikan
dengan marabahaya, akan tetapi dipercaya bahwa bahaya selalu bisa
dikelola untuk mencapai keuntungan manusia. Hutan sering dikaitkan
dengan sikap religius, akan tetapi manusia dapat mengontrol, meng
ubah, meningkatkan manfaatnya, dan—dalam pelbagai tingkatan—
menguasainya, misalnya, melalui tindakan praktis seperti berladang
yang dimediasi oleh lia.
Hubungan yang negosiatif ini sangat menentukan persepsi orang
Siberut terhadap hutan. Hutan-hutan yang berada didekat permu
kiman, yang sering dikunjungi untuk dimanfaatkan sehari-hari cen
derung dianggap kurang berbahaya. Hutan yang sering dilintasi untuk
pergi ke ladang atau berbatasan dengan ladang, yang sebagian isinya
secara berkala diambil—rotan untuk kerajinan, tumbuhan obat, atau
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 143
stabil dan tidak pernah kekal. Relasi yang terbentuk adalah sebuah ca
ra untuk menjaga ketegangan antara kutub satu dan yang lainnya se
hingga hubungan yang terjadi dalam realitas sehari-hari adalah bagai
mana persepsi yang bertentangan itu dikelola. Jika ada anggota uma
yang memasuki hutan untuk membuat ladang jatuh sakit, mereka
akan melanggengkan persepsi bahwa hutan tersebut memang berba
haya dan harus dihormati. Suatu hari kemudian, seseorang yang sama
berkunjung lagi dan dia tidak merasakan sakit maka status bahaya
tersebut akan mengalami pergeseran.
Pandangan tentang hutan dan intervensi manusia terhadapnya
selalu berubah sesuai dengan tingkat kebutuhan dan masuknya nilai-
nilai baru. Sejarah hubungan dengan hutan pada masing-masing
tempat mengindikasikan proses bahwa hutan bukanlah tempat yang
mendahului kategori sejarah manusia. Persepsi tentang hutan berang
kat dari intervensi manusia. Pandangan ini membuktikan kosmologi
orang Mentawai yang menyatakan bahwa manusia selalu menempati
posisi sentral dan merupakan titik tolak dari keseluruhan kosmos
yang melingkupinya (bandingkan Schefold 1991: 15). Dalam perbin
cangan sehari-hari, orang Siberut menyatakan menjunjung tinggi
keberadaan hutan. Mereka menyukai cerita-cerita mengenai pantang
an dan tabu-tabu, upacara, dan ritual. Mereka akan dengan senang
hati menceritakan diri mereka sebagai masyarakat yang memelihara
hubungan yang harmonis dengan roh-roh dan hutan-hutannya. Tema-
tema tentang keselarasan dan penghormatan terhadap roh-roh peng
huni hutan diakui, diajarkan, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Akan tetapi, secara bersamaan, setiap hari hutan ditebang, dirusak,
dan digunduli untuk berladang dan menanam tanaman komersial, se
ring dengan alasan untuk akumulasi kekayaan, meningkatkan gengsi
sosial atau ingin memiliki kejayaan yang lebih besar dari lingkungan
ketetanggaan mereka.
Ketidakstabilan hubungan dengan hutan ini memudahkan ter
jadinya perubahan. Pandangan mengenai hutan sebagai tempat roh-
roh, sumber tanaman obat, atau sumber kebutuhan subsisten akan
berganti atau bergeser ke hubungan yang lain ketika muncul mode
produksi baru yang mengubah kebutuhan tenaga kerja, cara produksi
baru masuk, dan orang-orang meninggalkan makanan pokok dan ke
hidupan subsisten. Ketakutan terhadap roh-roh sedikit demi sedikit
akan bergeser ketika persepsi tentang roh-roh juga berubah. Konversi
agama monoteistik, masuknya negara, dan masuknya pola produksi
146 Berebut Hutan Siberut
untuk dikapalkan. Medan yang berat dan kondisi ekologi yang keras
menyebabkan para pekerja yang berasal dari Sumatra tidak betah
dan memaksa perusahaan tersebut menutup operasinya. Usaha lain
dilakukan oleh CV Mentawai dan PT Bumi Putra, juga di Saliguma,
dengan mendirikan pabrik penggergajian kayu pada 1957. Usaha ini
juga tidak bertahan lama. Medan yang berat dan pegawai perusahaan
dari luar yang tidak kerasan juga menjadi alasannya. Setelah lima
bulan, pabrik itu ditinggalkan pemiliknya.
Usaha menciptakan kawasan hutan negara secara lebih efektif di
mulai dengan mengirimkan tim survei ahli kehutanan untuk mencari
justifikasi ilmiah bagi pengelolaan hutan Siberut. Atmosoedarjo (1969,
1970) dan Subagio (1972, 1973), keduanya lulusan Universitas Gadjah
Mada (UGM) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) generasi pertama,
melakukan survei tentang tegakan hutan dan cadangan pohon. Sur
vei ini didanai oleh Departemen Pertanian. Hasil survei tersebut me
nunjukkan, cadangan jenis-jenis kayu komersial yang ada di hutan
Siberut cukup melimpah, terutama yang diameternya berada dalam
kisaran di bawah lima puluh sentimeter. Namun, hasil kedua survei
tersebut menjelaskan, akibat dari ekosistem kepulauan, aktivitas pe
nebangan tidak dapat berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama
karena periode yang dibutuhkan untuk regenerasi bagi sebagian besar
jenis-jenis kayu Siberut itu tidak mencukupi (WWF 1980: 26).
Meskipun hasil survei telah mengingatkan bahwa penebangan
hutan Siberut tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan, kedua rim
bawan tersebut memberi rekomendasi bahwa hutan Siberut bisa di
tebang dengan beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut di antaranya
adalah melakukan penebangan dengan sistem tebang pilih dan hanya
untuk pohon-pohon berdiameter lebih dari 50 cm yang berada di hu
tan-hutan yang telah masak. Dengan legitimasi dan justifikasi itu,
pemerintah memberikan konsesi penebangan kayu untuk empat per
usahaan besar pada awal 1970-an, yaitu PT Cirebon Agung (70.000
ha), PT Jaya Sumber Indah/JSI (70.000 ha), PT CPPS/Kayu Sumber
(35.000 ha), dan PT Djayanti Group/Inkappa (110.000 ha). Hanya
sebagian kecil hutan yang disisakan (6.500 ha) untuk Suaka Alam
Teitei Bati.
Operasi perusahaan kayu pada periode 1970-an dimulai dengan
pembangunan base camp di sisi timur Pulau Siberut dan beberapa
tempat pengangkutan kayu di pantai-pantai yang jauh dari permu
kiman. Para pekerja perusahaan kayu kebanyakan berasal dari Jawa,
154 Berebut Hutan Siberut
Peta 3
Konsesi pulau Siberut (1971-1992)
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 155
1 Keterangan dari Aman Robert, pekerja penebang kayu PT CPPS pada 1977-1979. Sekarang ia tinggal
di Gotap, dekat Sarabua. Wawancara Januari 2007.
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 157
Gambar 8. Lanjutan.
bisa beroperasi selama 130 hari kerja dalam satu tahun, sehingga
penghancuran hutan Siberut berjalan lambat. Bekas konsesi hutan PT
Cirebon Agung di bagian utara Siberut, yang ditinggalkan pada 1992,
masih berupa hutan primer yang relatif utuh sehingga delapan tahun
kemudian dijual kembali kepada perusahaan lain. Bekas tebangan PT
CPSS di bagian tengah Siberut, yang telah dieksploitasi selama 20 ta
hun, telah kembali menjadi hutan sekunder sehingga PT KAM meng
ajukan konsesi penebangan di lokasi itu.
Sulitnya medan dan sedikitnya keuntungan menyebabkan be
berapa perusahaaan kayu tidak memanfatkan konsesi secara penuh.
Mereka mengoper konsesi itu ke perusahaan lain setelah beberapa
waktu melakukan penebangan. Misalnya, setelah beroperasi selama
6 tahun, PT Kayu Siberut menjual konsesinya kepada PT Jaya Sumber
pada 1977. Sebagian lagi berhenti karena bermasalah dengan izin dan
pelanggaran aturan. PT Tridatu, kontraktor yang mengerjakan konsesi
PT Cirebon Agung, harus mengapalkan alat-alat beratnya ke daratan
Sumatra setelah ketahuan melanggar tata batas kawasan suaka alam.
Meskipun konsesi Siberut telah diberikan kepada empat perusahaan
kayu, praktis hanya PT CPPS yang bertahan pada 1980-an.
kayu sehingga durian dan kayu yang bernilai penting bagi masyarakat
sekitar seringkali turut tertebas. Beberapa uma mendenda perusahaan
karena menebang pohon yang bernilai ekonomis dan kultural, seperti
durian, sagu, dan buah-buahan, namun tidak ada ganti rugi yang jelas
dan pantas (Syaffrudin 1985).
Konflik skala kecil di berbagai level menyertai hadirnya peru
sahaan kayu. Protes-protes mulai terdengar sejak dekade 1990-an.2
Laporan Cohen (1992) menyebutkan, penduduk Siberut mengeluh
karena kehilangan tanaman-tanaman yang bernilai sosial, kultural,
dan ekonomi seperti durian (Durio zibhetinus), toktuk (Durio spp),
pusinoso (Durio spp), peigu (Artocarpus caryophyllum), sagu (Me
troxylon sago), elagmata (Radermachera gigantea), serta rambutan
(Lappaceum spp) akibat penebangan. Penduduk setempat juga me
nyebutkan berkurangnya sumber air bersih, berubahnya arah sungai
besar, hingga banyaknya endapan lumpur di lokasi-lokasi dekat pe
nebangan kayu. Longsoran bukit-bukit ke batang sungai menyebab
kan beberapa alirannya tak dapat dilayari sampan. Bekas-bekas balok
kayu juga mengganggu jalan antarkampung. Selain itu, para aktivis
LSM mengeluhkan adanya praktik perkawinan antara para pekerja
perusahaan dan anak-anak mereka tanpa aturan adat, mahar kawin,
dan kejelasan status.
Dalam sebuah diskusi sore hari pada 2006, salah satu informan
dari Desa Katurei mengatakan, kerusakan yang ditimbulkan oleh per
usahaan kayu telah mengganggu kehidupan spiritual. Sistem peng
angkutan kayu dengan kabel telah menyebabkan pohon-pohon yang
dikeramatkan, terutama pohon yang telah ditandai dengan gambar
tertentu (kirekat),3 ikut tertebas. Pembuatan jalan transportasi ka
yu memotong jalur kebun sagu dan ladang-ladang berisi tanaman
buah-buahan. Roda-roda traktor perusahaan kayu melicinkan bukit-
bukit hingga menyebabkan longsor. Dalam kasus-kasus yang berat,
misalnya traktor perusahaan kayu melewati dan merusakkan kuburan
leluhur orang Siberut, perusahaan kayu jarang memberi ganti rugi.
2 Misalnya laporan Margot Cohen dalam Business Week (28 Desember 1992) atau Samantha Sparks
dalam The Multinational Monitor (September 1991) yang memuat protes warga Siberut terhadap per
usahaan kayu.
3 Kirekat adalah tanda kenangan orang yang telah meninggal. Tanda kenangan ini dilukiskan di pohon-
pohon tertentu yang menjadi milik orang meninggal tersebut atau dalam sebuah panel papan. Pohon
yang memuat kirekat dilarang untuk ditebang sembarangan tanpa ada lia atau ritual terlebih dahulu.
Pohon yang memuat kirekat memiliki makna spiritual. Keterangan tentang kirekat dapat dibaca dalam
Schefold (1991).
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 161
4 Keterangan dari Aman Letang dan Aman Fernanda dalam sebuah diskusi pada 2005, di Desa Mado
bak. Keduanya adalah mantan kepala Desa Madobak antara 1981-1997.
5 Keterangan dari Aman Fernanda, Kepala Desa Madobak yang menjabat pada 1988.
162 Berebut Hutan Siberut
6 Kami petik dari diskusi dengan Teu Robert dari Uma Sarereake yang tinggal di Limu pada saat PT
CPPS beroperasi. Diskusi kami lakukan setelah dia pindah ke Gotap, Januari 2008.
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 163
7 Keterangan dari Aman Frans, penduduk Puro, Muara Siberut pada Juli 2007.
168 Berebut Hutan Siberut
Penetrasi Pasar:
Pasang Surut Hasil Hutan dan Pertanian
Meningkatnya kontrol negara terhadap hutan yang diiringi de
ngan semakin intensifnya pembangunan, penetrasi pasar, dan mening
katnya gelombang migrasi ke Siberut telah mentransformasikan cara
pandang orang Siberut terhadap kehidupan sehari-hari. Kebanyakan
orang Siberut tidak menginginkan kembali hidup “sulit” dan terisolasi
seperti sebelumnya. Mereka menginginkan kehidupan yang lebih “ba
ik” seperti yang diceritakan oleh pejabat setempat, dilihat di televisi,
dan dibaca di media massa. Mereka menginginkan kehidupan modern
seperti penduduk dunia lainnya: bepergian secara teratur, menik
mati barang-barang modern, dan menikmati pelayanan pendidikan
dan kesehatan. Mereka tidak mau lagi harus bersampan hanya un
tuk membeli garam, berjalan kaki sepanjang hari untuk menjual hasil
bumi, atau melakukan perjalanan beberapa hari menuju pusat keca
matan guna mengantar anak sekolah. Meskipun ada sebagian warga
yang berusaha untuk mempertahankan gaya hidup ‘tradisional’, dapat
dikatakan sebagaian besar warga Siberut menginginkan jalan, rumah,
pakaian yang lebih baik.
Tanaman-tanaman perkebunan yang baru dikenalkan. Hasil hu
tan nonkayu dan kayu dari hutan dilihat sebagai salah satu cara untuk
mewujudkan tercukupinya kebutuhan dan hasrat-hasrat untuk me
ningkatkan standar hidup yang lebih tinggi. Hal itu membuat mereka
mudah melibatkan diri secara aktif dalam ekonomi pasar melalui per
ladangan skala kecil, meramu hasil hutan, dan menjual kayu olahan.
Kehidupan yang lebih baik dan keuntungan ekonomi menjadi alasan
yang masuk akal bagi keterlibatan orang Siberut dalam sejarah kon
tak mereka dengan pasar. Tanaman komersial, baik yang berasal da
ri hutan maupun yang dibudidayakan di lahan-lahan pertanian dan
kawasan pantai, menjadi bagian penting dari perubahan gaya hidup,
aspirasi, maupun relasinya dengan dunia luar. Kelapa, rotan, ceng
keh, gaharu, dan nilam adalah tanaman-tanaman komersial yang
secara langsung maupun tidak langsung mengambil peranan dalam
perubahan hubungan manusia dengan hutan. Bagian ini akan menje
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 169
Cengkeh
Tidak semua pendatang Minangkabau berprofesi tunggal sebagai
pedagang. Sebagian lain mengkombinasikan profesi itu dengan peker
jaan bertani. Sebagian lain fokus menanam cengkeh pada awal 1950-
an. Program-program pemerintah untuk mengatasi “keterbelakangan”
orang Siberut dimulai dengan pembagian bibit cengkeh di sepanjang
timur pantai Siberut dan pulau-pulau kecil lepas pantai. Dengan to
pografi yang lebih landai dan berada di jalur angin laut yang kering,
bagian timur Siberut cocok untuk tanaman cengkeh. Cengkeh disukai
karena menghasilkan buah sepanjang musim. Cengkeh bisa dicampur
dengan durian dan tanaman buah di pumonean. Selain itu, cengkeh
tidak harus dirawat secara intensif sehingga tak membutuhkan terlalu
banyak tenaga perawatan.
Cengkeh bukanlah tanaman asli Siberut. Tanaman ini dibawa dari
Sumatra. Pada awalnya, warga Siberut tidak terlalu menaruh perha
tian karena penjualan kelapa dan rotan jauh lebih menguntungkan.
Anjuran hingga paksaan dari pejabat lokal untuk menanam cengkeh
pada 1950-an tidak dihiraukan penduduk Siberut. Namun, setelah pa
ra pendatang sukses menikmati panen cengkeh awal 1960-an, warga
Siberut mencari-cari bibit cengkeh. Mereka mengambil bibit yang
tumbuh di sekitar pohon cengkeh milik pendatang dan menanamnya
di ladang-ladang miliknya.
Pusat-pusat penanaman cengkeh terdapat di bukit-bukit yang
berbatasan dengan pantai timur, misalnya di Sirilogui, Bose, Saibi, dan
Taileleu. Meskipun produktivitasnya lebih tinggi jika dirawat dengan
9 Keterangan dari pemilik CV Prima Sari. Sebagai perbandingan, kasus penyuapan dalam proses per
izinan konsesi hasil hutan nonkayu di Siberut terungkap dalam berita Puailiggoubat (2006).
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 173
10 Gaharu dihasilkan dari infeksi sejenis jamur Diplodia sp, Phytium sp, dan Fusarium solani terhadap
jaringan pada akar, batang, atau dahan pohon Aqualaria malaccensis (Nurhayati 1990). Infeksi ini akan
menghasilkan damar yang bernilai mahal yang disebut gaharu.
176 Berebut Hutan Siberut
11 Krisis keuangan menguntungkan peladang nilam. Sebagai komoditas ekspor, harga nilam melonjak
seturut menguatnya nilai dolar terhadap rupiah.
12 Keterangan warga Rogdok, Juni 2005. Keterangan yang senada juga kami dapatkan dari warga Desa
Madobak dan Katurei dalam sebuah diskusi pada 2006.
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 179
15 Warga mendapatkan Rp1.000-1.250 untuk satu tual (potongan sagu seukuran depa orang dewasa,
sekitar 125 cm). Untuk satu pohon sagu dihargai Rp8.000 (Persoon 1997).
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 181
Taman nasional tetap penting bagi kami. Tanpa mereka, hutan Siberut
sudah habis sejak dulu. Mereka juga sekarang sudah mulai menghargai
adat-istiadat. Meskipun UU melarang orang berburu atau menebang
kay u, petugas Taman Nasional (Siberut) tidak pernah menangkap dan
memenjarakan kami.
(Surat masyarakat Siberut kepada Menteri Kehutanan 2005)
yang paling dikenal di Siberut adalah empat primata, yaitu bilou atau
siamang kerdil (Hylobates klossii), bokkoi atau beruk Siberut (Macaca
siberu), simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), dan joja
atau lutung Mentawai (Presbytys potenziani). Hanya sedikit tempat di
dunia dengan luasan pulau yang kecil memiliki primata dengan nilai
endemik sangat tinggi. Selain itu, tidak ada lagi pulau di dunia yang
memiliki kepadatan jumlah primata endemik tinggi seperti Siberut.
Keanekaragaman hayati yang luar biasa, tingkat endemisitas he
wan yang tinggi, dan keunikan ekologi menyebabkan Siberut menjadi
tempat menarik untuk mengkampanyekan wacana pelestarian ling
kungan. Sejarah geografi yang menyebabkan Siberut terisolasi dari
Sumatra memberi nilai tambah tersendiri karena pada saat yang ber
samaan ilmuwan biologi sedang dihebohkan dengan teori biogeografi
(McArthur dan Wilson 1980). Teori ini menjadi tren baru karena mam
pu menjelaskan karakter pulau-pulau yang terisolasi dan sifatnya yang
rentan mengalami kepunahan jenis-jenis yang hidup di dalamnya. Teo
ri tersebut dapat menjelaskan tingginya nilai keanekaragaman hayati
dan keunikan ekologi Siberut. Karakter pulau terisolasi menyebabkan
perubahan evolutif flora dan fauna Siberut dari flora dan fauna di Su
matra. Persilangan antara penemuan teori dan wacana konservasi
menguatkan argumen tentang perlunya perlindungan bagi ekosistem
Siberut dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Oleh karena
itu, argumen bahwa populasi fauna Siberut sangat rentan terhadap
kepunahan segera diterima secara luas.
Secara internasional, Siberut diakui sebagai pulau yang sangat
penting untuk membuktikan teori biogeografi. Pengakuan ini me
mungkinkan Siberut disebut-sebut sebanding dengan pentingnya Ga
lapagos bagi teori evolusi Darwin dan disamakan dengan nilai pen
ting Madagaskar bagi Afrika (Mittermeier 2006: 32-33). Bukti-bukti
penemuan biologi, temuan geologi, dan teori-teori biogeografi mun
cul dalam waktu yang berdekatan dengan publikasi etnografis yang
menyatakan bahwa penduduk Mentawai di Siberut memiliki budaya
yang sangat terkait erat dengan alam. Orang Mentawai bahkan diju
luki sebagai “sang penjaga hutan” (Lindsay 1992). Dalam beberapa la
poran terdapat kesan kuat bahwa kebudayaan yang khas ini sangat
mendukung usaha pelestarian alam dan bepeluang menciptakan sur
ga yang harmonis bagi kehidupan liar bersanding dengan manusia
(McNeely 1979). Akan tetapi, kekhasan budaya orang Mentawai ini
juga sedang terancam oleh masuknya proyek pembangunan yang da
Konservasi Alam 197
tang dari luar. Maka, segera disimpulkan bahwa seperti halnya eko
sistemnya, kebudayaan dan penduduk Siberut pun harus dilindungi.
Penggabungan wacana tentang penduduk yang terpinggirkan dan
berbagai jenis spesies yang terancam punah menjadi dasar gagasan
konservasi Siberut.
1 Diskusi dengan Anthony Whitten, peneliti Siberut dan konservasionis penting, dalam kunjungannya ke
Siberut di Maileppet, Agustus 2009.
198 Berebut Hutan Siberut
kebetulan apabila usaha pelestarian ini tidak memberi hasil yang me
muaskan. Robin Hanbury-Tenison, staf Survival International yang
berkunjung ke Siberut, mengutip pernyataan masyarakat yang dijum
painya:
Kami akan tetap pergi dan berburu ke sana. Ini adalah tanah
kami di mana kami akan tetap berburu dan tidak ada satu orang
pun yang bisa menghalangi kami (Hanbury-Tenison 1975: 52).
Peta 4
Zonasi Taman Nasional Siberut
206 Berebut Hutan Siberut
proyek itu baru berlangsung secara efektif awal 1995. Proyek PKAT
di Siberut secara khusus menarik dana utang sekitar 18 juta dollar AS
(ibid: 35) dari ADB. Dana utang yang ditanggung negara itu segera
dibelanjakan untuk membangun kompleks perkantoran taman na
sional yang megah di Desa Maileppet dengan bahan dari tembok dan
porselen. Sebagian uangnya juga dipakai untuk membeli alat trans
portasi darat keluaran terbaru, kapal-kapal mewah, serta mesin-me
sin speedboat. Semua fasilitas tersebut disediakan untuk para pekerja
TNS—yang kebanyakan bukan orang Mentawai atau Siberut—dan pa
ra konsultan dari luar negeri. Pekerja lokal hanya direkrut TNS seba
gai pegawai rendahan saja.
Untuk ukuran orang Siberut pada waktu itu, fasilitas perkantoran
tersebut hanya bisa dilihat di majalah-majalah atau acara televisi. Pa
da waktu itu belum ada satu pun rumah penduduk, termasuk juga ru
mah para pendatang, yang dibangun dari keramik. Belum seorang pun
warga memiliki kendaraan bermotor karena jalan-jalan masih berupa
jalur setapak dan berlumpur yang dilapisi kulit sagu. Di tengah jalan
licin dan berlumpur itu, kendaraan motor pegawai TNS hilir mudik.
Kapal-kapal TNS juga berlayar secara teratur mengantar para pekerja
mereka dari dan menuju Padang dengan frekuensi melebihi kapal pe
dagang. Penduduk setempat memandang dengan rasa takjub. Itulah
masa-masa yang dikenang oleh penduduk Siberut sebagai tahun-tahun
yang disesaki pekerja asing dan “orang jauh” yang makmur karena
dibayar dengan upah sangat tinggi. Para pekerja TNS, yang hampir
semuanya orang luar Siberut, dilihat sebagi model para pekerja ideal
karena dapat menyediakan dan membeli apa pun di Siberut.
Sebagian besar pekerja lapangan TNS berasal dari etnis Minang
kabau, yang sebelumnya bekerja untuk Balai Konservasi Sumber Daya
(BKSDA) Sumatra Barat, dan sebagian lain berasal dari Jakarta. Sudah
lazim diketahui, sebagian besar pekerja yang dipindahkan dari BKSDA
ke taman nasional adalah pekerja-pekerja yang tidak berprestasi, ter
libat masalah, dan bermotivasi rendah.2 TNS dianggap sebagai tempat
pembuangan dan hukuman bagi pekerja-pekerja tersebut. Karena ke
terbatasan sumber daya manusia, proyek ini melibatkan Sekretariat
Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (Skephi) sebagai rekanan
untuk implementasi program di lapangan. Skephi terlibat dalam kerja-
kerja praktis seperti penyuluhan, pelatihan, dan juga pendampingan
masyarakat. Akan tetapi, hal itu belum cukup. Kecuali sebagian kecil
2 Keterangan dari FN, staf taman nasional.
208 Berebut Hutan Siberut
itu juga ada program pemberian bibit jeruk, rambutan, pinang, kayu
manis, dan bibit lainnya. Setiap ada kegiatan taman nasional, masy
arakat diundang dan diberi fasilitas konsumsi, akomodasi, dan sedikit
uang saku. Jenis-jenis partisipasi ini meningkatkan penerimaan ma
syarakat terhadap TNS. Masyarakat merasa terlibat dan mendapat
pengakuan dari negara atas hak-hak mereka.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya proyek ini ternyata mendua.
Penunjukan TNS lantas diikuti dengan penetapan tata batas dan sosia
lisasi UU Konservasi Alam. Tata batas kawasan konservasi (meskipun
secara riil di lapangan sukar ditentukan) dapat digunakan sebagai ca
ra untuk mengontrol dan mengkriminalkan penduduk lokal yang me
langgar UU tersebut. Manajemen TNS bersama Yasumi bekerja untuk
menyebarluaskan nilai-nilai konservasi dan mengenalkan pelarang
an-pelarangan dan aturan yang berkaitan dengan taman nasional.
Mereka juga menyarankan pengurangan perburuan primata di kawas
an TNS. Polisi kehutanan berangsur-angsur ditambah dan patroli ke
amanaan diintensifkan, melebihi pada waktu di bawah otoritas PPA.
Dengan menggunakan UU Kehutanan, eksploitasi tradisional sangat
ditekan, dan bahkan pada beberapa kasus dilarang (Darmanto 2005).
Perburuan primata seringkali dilaporkan kepada petugas, meskipun
sejak TNS ditetapkan hingga sekarang, belum pernah ada kasus pe
nangkapan penduduk asli karena melakukan pelanggaran ini.
Aksi pengontrolan dan patroli kehutanan menjadi pemicu mun
culnya ketegangan baru antara TNS dengan orang Siberut. Staf TNS
tidak memahami kode-kode budaya, bahasa, dan relasi orang Siberut
terhadap hutannya. Sosialisasi aturan taman nasional dilaksanakan
secara kaku dengan menggunakan bahasa hukum positif tanpa mem
pertimbangkan konteks lokal. Dengan logika preservasi 1990-an, pi
hak TNS melarang berbagai aktivitas di dalam kawasan konservasi.
Pertemuan-pertemuan kampung antara petugas TNS diisi dengan
ceramah mengenai aturan tentang pelarangan perburuan dan perla
dangan di zona inti. Pelanggaran atas aturan tersebut, dikatakan oleh
petugas TNS, akan berakibat hukuman penjara. Di sisi lain, penjelasan
yang kurang memadai mengenai lokasi zona inti, penyangga, dan ba
tas-batas pemanfaatan tradisional menyebabkan masyarakat merasa
tanah mereka dibagi-bagi. Tindakan ini dianggap tidak sesuai dengan
aturan dan tata cara kepemilikan dan penguasaan tanah secara tradi
sional. Hal ini membuat masyarakat merasa TNS membatasi hak-hak
mereka atas tanah mereka sendiri. Praktik-praktik sosialisasi ini me
212 Berebut Hutan Siberut
4 Keterangan dari warga Ugai, Desa Madobak, dalam sebuah diskusi informal antara staf taman nasional
pada 2006.
216 Berebut Hutan Siberut
5 Diceritakan oleh pengurus Yasumi, Aman Fajar Sabolak dalam wawancara di Muara Siberut, Juni
2007.
Konservasi Alam 217
6 Keterangan dari Paulinus S, tokoh pemuda Muara Siberut yang sekarang menjadi pejabat tinggi di
Pemda Kepulauan Mentawai dalam perbincangan di rumahnya, 2 Januari 2007.
7 Kasus mengenai korupsi ini bahkan pernah dibawa ke Pengadilan Tinggi Sumatra Barat. Puailiggoubat
dan Singgalang memberitakan proses penyidikan kasus ini dalam terbitannya pada Maret 2002.
Konservasi Alam 219
Sejarah Kegagalan:
Versi Konservasi dan Versi Masyarakat
Kini, kebanyakan orang Siberut menyalahkan TNS sebagai pe
nyebab segala situasi kehidupan yang sulit. Hal-hal yang seharusnya
menjadi kewajiban aparatus negara yang lain seperti memberikan
pelayanan pendidikan dan kesehatan, menekan harga-harga yang
melambung tinggi, ditimpakan kepada TNS. Taman nasional menjadi
220 Berebut Hutan Siberut
9 Diskusi Kelompok Terarah antara pegawai dan kepala BTNS, Juni 2006.
10 Komentar salah satu Polisi Hutan, Juni 2005.
226 Berebut Hutan Siberut
1 Peristiwa ini mendapat publikasi yang luas dari media massa. Laporan media massa memiliki perspektif
yang beragam, bahkan ada yang bertentangan. Misalnya, surat kabar nasional Suara Pembaruan
membuat laporan berjudul “4 Orang Kepala Suku di Siberut Selatan Gugat Mensos dan Gubernur”
(16 Maret 1997), sementara surat kabar lokal yang pro-pemerintah, Singgalang, membuat tajuk berita
“Malaikat dan Kawan-Kawan Batal Tuntut Mensos” (26 Maret 1997)—tetapi kemudian merevisinya
dalam sebuah berita lain berjudul “Malaikat dkk. Tetap Menuntut Mensos” (24 April 1997) dan “Kanwil
Depsos Sumbar Bersedia Musyawarah dengan Malaikat dkk.” (26 April 1997).
Pembentukan Ulang Identitas 235
2 Dua keputusan lain pengadilan berisi: Surat Berita Acara Penyerahan Tanah 14 Januari dinyatakan
tidak berlaku lagi; pihak Dinsos dan aparat pemerintah setempat akan turun ke Madobak untuk men
jelaskan perdamaian yang dibuat di Pengadilan Negeri Padang yang disaksikan kuasa hukum peng
gugat.
Pembentukan Ulang Identitas 237
4 Kata sai dalam bahasa Mentawai dialek Lembah Rereiket atau Lembah Sabirut berarti ‘kumpulan’ atau
kata ganti bagi benda yang berarti banyak. Kata sai memiliki kesamaan dengan kata sa, tergantung
dari awalan huruf pertama dalam imbuhan, misalnya orang Jawa sebagai Sai Jawa, orang pendatang/
dari jauh (areu) sebagai sasareu, dan orang dari Lembah Saibi sebagai Sasaibi. Dalam beberapa
dialek di lembah-lembah lain kata sai disebut juga tai, beri, atau tasiri.
Pembentukan Ulang Identitas 241
5 Pandangan Coronese mungkin dipengaruhi posisinya sebagai misionaris. Tentang hal ini, catatan no
mor 30 memberi penjelasan unsur moralitas kristiani para misionaris berpengaruh kuat dalam buku
nya.
242 Berebut Hutan Siberut
6 Meskipun istilah sasareu tidak secara khusus merujuk kepada etnis tertentu, tetapi dalam percakapan
sehari-hari istilah ini lebih kuat diberikan dan sering digunakan untuk mengacu kepada orang Minang
kabau (Misalkan Schefold 1991: 18).
Pembentukan Ulang Identitas 247
7 Indigenous people memang istilah yang sukar diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia karena
kompleksitas sejarah masing-masing etnis dan juga sejarah penggunaan kata ‘adat’ di Indonesia.
Akan tetapi, sebuah gerakan sosial dan politik akan mengalami kesukaran jika menggunakan istilah
yang beragam dan multiinterpretasi. Istilah indigenous people kemudian dengan cepat diterjemahkan
menjadi masyarakat adat dan bukan sebagai masyarakat asli, penduduk asli, atau masyarakat
tradisional.
254 Berebut Hutan Siberut
8 Publikasi-publikasi juga dilakukan di media massa. Misalnya, laporan media massa atas kasus proyek
Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) yang lebih dikenal sebagai re-settlement. Lihat
“Siberut Island Likely to Have New Settlement Areas” Jakarta Post, 14 Februari 1996 (Anonim). Juga
“Skephi Opposes Siberut Resettlement”, Jakarta Post, 17 Februari 1996.
Pembentukan Ulang Identitas 255
jadi penghubung antara orang Mentawai dan dunia luar. Posisi ini
memberikan keistimewaan bagi pelajar dan mahasiswa untuk menjadi
sejenis elite lokal baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan tra
disional. Mereka membawa dan menjadi penyalur wacana gerakan
konservasi global dan masyarakat adat ke Siberut.
Kemunculan Yasumi segera diikuti dengan munculnya beberapa
LSM lainnya di Siberut. LSM dipandang efektif sebagai kendaraan
untuk menyatakan ekspresi, menyuarakan keprihatinan, dan juga
menjadi alat bagi masyarakat sipil yang tertekan. Sebagian besar LSM
tersebut dibentuk oleh alumni Ippmen. LSM-LSM tersebut menjadi
penyalur, kalau tidak bisa dikatakan penerima, dana luar negeri yang
jumlahnya semakin bertambah. Proyek-proyek dengan tujuan mem
perbaiki kualitas lingkungan hidup dan mendukung perjuangan orang
Mentawai untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara di
sediakan oleh banyak lembaga donor seperti ADB, lembaga pendana
an dari Norwegia, dan sumber-sumber lain dari Jakarta. Tidak kurang
15 organisasi lokal dibentuk sepanjang dekade ’90-an. Kemunculan
LSM di Mentawai juga sangat dipengaruhi wacana yang berkem
bang di tingkat nasional. Pada masa itu, wacana mengenai konser
vasi berbasiskan masyarakat tengah menjadi tren, seiring dengan
menguatnya perlawanan masyarakat terhadap rezim Orde Baru. Sete
lah terbentuknya Japhama di Tana Toraja, gerakan LSM di Mentawai
juga mengalihkan isu utama mereka menjadi gerakan masyarakat adat.
Penggunaan kata “adat” di Mentawai oleh LSM secara formal dimulai
pada 1995, setelah terbentuknya Yayasan Citra Mandiri (YCM).
Sebagai penyalur wacana global, gerakan LSM-LSM di Mentawai
juga sangat dipengaruhi wacana-wacana besar tersebut. Apalagi, keba
nyakan kegiatan mereka ditentukan oleh garis-garis besar yang telah
dibuat oleh lembaga donor. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut
juga banyak ditentukan oleh kebutuhan implementasi proyek-proyek
besar yang memiliki durasi waktu terbatas. Dengan pengalaman yang
terbatas dalam menghadapi kelenturan wacana di luar Mentawai,
akhirnya banyak LSM yang tidak bertahan. Kebanyakan LSM ini tutup
seiring dengan mandegnya proyek yang didanai dari lembaga luar. Ini
terjadi, misalnya, terhadap Yasumi. Pascapenutupan proyek PKAT
pada 1999, mereka mengalami mati suri. Kegiatan-kegiatan mereka
terhenti dan banyak staf yang kemudian bekerja di tempat yang lain,
yang seringkali harus berlawanan dengan visi mereka terhadap kon
servasi.
256 Berebut Hutan Siberut
Gambar 12. Pemimpin dewan adat sedang berorasi dalam forum konservasi
(Ko-Manajemen).
11 Puailiggoubat berarti ‘cermin diri’. Berakar dari bahasa Mentawai ‘muailiggou’. ‘Puailiggoubat’ meng
acu pada perilaku ular di sebuah pohon dekat air yang tenang dan bersih. Perilaku ini adalah cara
ular untuk mengenali mangsa dari ‘cermin’ air. Puailiggoubat adalah satu-satunya media massa yang
menjangkau Kepulauan Mentawai. Puailiggoubat diterbitkan oleh Yayasan Citra Mandiri (YCM). Da
lam banyak hal, surat kabar ini merefleksikan visi YCM dalam mendukung otonomi, pengakuan, dan
kebangkitan masyarakat Mentawai.
262 Berebut Hutan Siberut
politik kolektif. Setiap uma berdiri secara otonom dan tidak pernah
membentuk gerakan bersama. Dilema ini sangat jelas terwakili pada
tajuk rencana Puailiggoubat edisi berikutnya:
Para pembaca kami… Sekelompok uma maupun suku yang
berdiam dalam tanah sukunya ternyata dipecah-belah… Dari
sejarah nenek moyang orang Mentawai, bahwa perpecahan
suku terjadi karena adanya perselisihan yang timbul atas tanah
ulayat. Kita perlu ketahui bahwa kebiasaan pecahnya suku di
Mentawai bukan merupakan cerita rahasia dan itu telah diteliti
oleh beberapa orang dan akhirnya dibukukan, sehingga semua
orang bisa membaca itu. Di saat perlawanan rakyat untuk mem
pertahankan tanah sangat sulit untuk ditembus karena semua
anggota sukunya kuat, maka mulailah dicari celah dengan me
lakukan jurus “pecah belah” sehingga lahirlah beberapa suku
yang baru dengan pembagian tanah yang telah dibagi pula.
Namun jurus “pecah belah” bukan terjadi sekali tapi tetap akan
terjadi setiap ada perlawanan, dengan demikian kekuatan suku
akan semakin kecil … ketika sebuah perjuangan lahir hanya da
ri clan (suku) kita harus akui bahwa itu sangat mudah untuk
ditembus, dan itu sengaja ditimbulkan. Sejarah membuktikan
kita hanya berasal dari nenek moyang yang sama pada masa
“sibela siberi dan sipeu”. Itu yang harus kita ceritakan pada
anak cucu kita, karena banyak orang yang sengaja menghalangi
terwujudnya kekuatan Masyarakat Adat. Ada sebuah filosofi
yang mengatakan, “Orang yang tidak mempertahankan haknya
adalah budak.”13
13 Puailiggobuat Edisi 02, Juni 2001. Seluruh kutipan dicantumkan seperti aslinya.
264 Berebut Hutan Siberut
14 Terjemahan harfiahnya ‘[pada saat sebelum] perpecahan manusia dan pembagian buah si peu’. Istilah
sibela siberi dan sipeu memiliki makna yang penting bagi orang Mentawai karena pada saat itu orang
Mentawai belum hidup terpisah dalam uma-uma dan belum berkonflik akibat pembagian buah si peu
(sejenis mangga).
Pembentukan Ulang Identitas 265
doran atau akibat data yang tidak memadai, akan tetapi sengaja dila
kukan untuk mengecam pandangan pemerintah atau kalangan luar
yang juga melakukan penyederhanaan serupa terhadap gaya hidup
masyarakat Mentawai.
Penyederhanaan tentang masyarakat adat Siberut bergerak me
nuju bidang-bidang lain yang saling berkaitan, misalnya dengan wa
cana keanekaragaman hayati. Citra tentang orang Siberut yang digu
nakan dalam gerakan masyarakat adat saling menguatkan dengan
penyederhanaan citra sebagai masyarakat pecinta lingkungan. Celah
gerakan masyarakat adat dan citra yang digunakan oleh gerakan ling
kungan juga dengan baik dimanfaatkan oleh warga Siberut sendiri.
Penduduk Siberut yang paling keras mengecam gerakan pelestarian
alam atau ide-ide tentang konservasi akan suka rela menyatakan ada
nya kaitan antara budaya Mentawai dengan pengelolaan sumber daya
berkelanjutan. Kepercayaan leluhur dan adat Mentawai yang mem
beri penekanan kepada keselarasan, keseimbangan—meskipun da
lam konteks dan sejarah yang berbeda—dibicarakan kembali sebagai
bentuk ekspresi yang memberi jaminan pengelolaan sumber daya alam
keberlanjutan. Penghargaan, harapan, dan anjuran untuk mengguna
kan dan menghargai wacana pengetahuan lokal dari publikasi media
massa, jurnal-jurnal ilmiah, dan slogan pembangunan, memberi celah
bagi aktivis gerakan adat untuk menemukan sumber-sumber klaim
politik yang baru. Celah ini tidak dipandang secara sederhana sebagai
tiruan dari apa yang disebut sebagai indigenous environmentalist (Li
2000). Lebih dari sekadar menerima secara pasif, orang-orang Siberut
menggunakan celah itu sebagai bagian dari usaha-usaha untuk mena
rik batas-batas identitas, menantang keterbatasan pemerintah, mem
perluas kebebasan politik dan budaya (Eindhoven 2002), dan mem
buka kemungkinan untuk mobilisasi politik dan memperkuat klaim
mereka atas akses terhadap sumber daya hutan yang mereka miliki.
Terlepas dari banyak penyederhanaan, Puailiggoubat merupa
kan media penting yang berperanan dalam pembentukan identitas
Mentawai. Puailiggoubat merupakan media cetak pertama yang di
distribusikan ke seluruh kepulauan itu. Sebelumnya, tidak ada media
cetak yang ditulis oleh orang Mentawai dan berisi berita-berita dan
topik tentang Mentawai. Pengunaan nama Puailiggoubat sendiri,
dipilih dengan cermat. Memiliki arti “cermin diri” dan merujuk pada
perilaku ular yang menggunakan air sebagai cermin untuk menangkap
mangsanya, Puailiggoubat menjadi pasikat (perumpamaan) sikap
266 Berebut Hutan Siberut
tanah dan hutan oleh uma-uma memiliki hierarki dan konflik sendiri.
Aturan adat mengenai tanah dan hutan secara abstrak dijunjung ting
gi, tetapi aturan tersebut didialogkan dan dipraktikkan secara kom
petitif. Meskipun ada kesepakatan mengenai aturan-aturan mengenai
tanah, aturan-aturan tersebut secara berkesinambungan harus diper
tentangkan dan diciptakan kembali.
Banyak aktivis di Mentawai tidak melihat apa yang disebut adat
tersebut sebagai selalu bersifat esensialis. Seperti yang dijelaskan pa
da Bab 3, beberapa aturan setempat mengenai penguasaan dan pe
manfaatan hutan mudah dikenali sebagai adat, tetapi secara alamiah
tidak selalu berkaitan dan memberi manfaat bagi kelestarian alam
dan kehidupan yang harmonis. Karena digunakan sebagai sarana per
juangan politik untuk mengembalikan hak-hak orang Siberut, para
aktivis kebanyakan menggambarkan versi idealis dan romantik da
ri adat, yaitu sebagai tradisi agung dan mulia serta selaras dengan
alam. Versi ini memanglah mudah untuk digunakan sebagai wacana
tanding bagi gagasan pembangunan dan kekuasaan pemerintah yang
tidak memberi ruang bagi masyarakat Siberut dalam mendapatkan
akses terhadap sumber daya alam. Dengan cara seperti ini, adat lebih
mudah dipahami sebagai sesuatu yang murni dan bersifat mulia, yang
dimiliki oleh orang Mentawai. Adat berasal dari kenyataan hidup
sehari-hari, kemudian disusun dan diangkat sebagai hukum tak tetulis
untuk ditegakkan dan dipercayai. Alhasil, adat dihubungkan dengan
suatu kebaikan yang bersifat moral yang melekat pada kelompok
masyarakat Mentawai.
Idealisasi ini digunakan untuk mendukung perjuangan politik.
Bagi aktivis dan elite-elite gerakan sosial di Siberut, setiap anggota ma
syarakat Mentawai selalu dirujuk sebagai pemegang adat yang teguh
dan mantap. Penggambaran ini dipakai untuk membedakan orang
Mentawai dari orang lain. Idealisasi adat yang melekat pada orang
Mentawai ini lebih menyerupai apa yang diinginkan dan ditetapkan
oleh agenda dari luar, baik atas nama konservasi maupun gerakan
global tentang pengakuan hak-hak pribumi. Dengan menggunakan
adat sebagai istilah tunggal dalam menggambarkan ciri penduduk
Siberut, maka wacana adat adalah sebuah bangunan koheren yang
cocok dengan keinginan global tentang suku-suku yang bijak na
mun terancam perusakan dari luar. Selain itu, dengan rumusan adat
yang mudah dikenali sebagai sumber daya politik dari tingkat global,
wacana adat juga menjadi alat bagi aktivis Mentawai untuk mencari
Pembentukan Ulang Identitas 271
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, menyebutkan desentralisasi adalah sistem pemerintahan yang
lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 279
2 FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Indonesia), sebuah jaringan LSM yang terlibat dalam isu
kehutanan membuat rekomendasi untuk menghentikan pengelolaan hutan oleh pusat dalam pertemuan
rutin mereka pada 1999. Isu mengenai desentralisasi ini mengemuka pasca-1998. Simak perdebatan
mengenai isu ini dalam mailing list jaringan LSM, akademisi, dan birokrasi dalam FKKM forum.
280 Berebut Hutan Siberut
Peta 5
Peruntukan hutan pulau siberut (1999-Sekarang)
284 Berebut Hutan Siberut
7 Keterangan dari Dirjen BPK Dephut dalam pertemuan di Kantor Conservation International Indonesia,
21 September 2005.
8 Puailiggoubat, November 2002.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 285
9 Sebelumnya, Kepulauan Mentawai secara administratif berada di bawah Kabupaten Padang Pariaman,
yang berjarak 150 km dari Mentawai. Mayoritas penduduk, pejabat, dan pegawai kabupaten ini adalah
etnis Minangkabau.
286 Berebut Hutan Siberut
10 Geram, dalam bahasa Indonesia berarti ‘marah yang tertahan’, marah yang hanya bisa diekspresikan
melalui ekspresi tubuh (mata melotot, tangan mengepal, raut muka mengeras, dll). Pemilihan akronim
Geram kemungkinan dipilih secara sengaja untuk menunjukkan ekspresi orang Mentawai atas situasi
politik dan ekonomi yang mereka hadapi.
11 Petikan orasi peserta demonstrasi Geram di Siberut Selatan. Laporan internal Geram (1998).
12 Noer B. Pamuncak dalam Puailiggoubat No. 2, Januari 2002.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 287
16 Komunikasi pribadi dengan Antonius Samangilailai dalam perjalanan persiapan kampanye pemilihan
bupati periode 2006-2011 di Sikabaluan, Mei 2005.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 289
17 Keterangan dari mantan ketua Forum Kemunikasi Masyarakat Mentawi, Juni 2009.
290 Berebut Hutan Siberut
18 Pernyataan Bupati Mentawai, Edison Saleleubaja’, dalam Puailiggoubat, Edisi 50, Juni 2005. Pe
nyebutan istilah nagari untuk merujuk asal-usul hak orang Mentawai agak sedikit membingungkan.
Sehari-hari orang Mentawai berusaha menolak istilah-istilah yang berasal dari Minangkabau, namun
representasi publiknya malah menunjukkan bahwa bupati sangat terpengaruh dan secara sengaja
menggunakan istilah dari Minangkabau untuk mengklaim hak-hak orang Mentawai.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 291
status dan fungsi kawasan hutan Siberut yang ditetapkan oleh peme
rintah daerah dan pusat.
Strategi memperbesar akses terhadap hutan oleh Kabupaten di
justifik
asi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Se
perti halnya kabupaten-kabupaten yang baru terbentuk, Kepulauan
Mentawai memiliki target ambisius untuk meningkatkan PAD setiap
tahun.20 Tahun 2002, target PAD Kepulauan Mentawai Rp2,6 miliar.
Pada 2004, pemerintah daerah memproyeksikannya menjadi Rp4,3
miliar. Lebih dari setengah PAD itu berasal dari sektor kehutanan.
Dalam praktiknya, mereka hanya bisa merealisasikan setengah dari
jumlah yang diproyeksikan. Pada 2005, mereka menaikkannya hingga
Rp5,4 miliar.
Untuk mendukung pencapaian target PAD, Pemda Kepulauan
Mentawai menetapkan kebijakan pemanfaatan ruang yang tercermin
dari dokumen RTRW. Pada 2001, Pemda Kepulauan Mentawai telah
menyusun rencana alokasi pemanfaatan ruang kabupaten untuk ta
hun 2002-2011 yang pengalokasiannya adalah sebagai berikut:
Dari tabel di atas terlihat bahwa usaha-usaha pembangunan de
ngan mengubah fungsi hutan seperti perkebunan dan pertanian akan
dipusatkan di Pulau Siberut, yang masih didominasi hutan tropis
yang lebat. Rencana tata ruang yang disusun pemerintah daerah ini
juga memanfaatkan peluang untuk mengkonversi hutan produksi
menjadi lahan budidaya. Dalam rangka mencapai target PAD, Ke
Luas
Alokasi Pemanfaatan Lokasi Persentase
Lahan
Ruang (Pulau) (%)
(ha)
1. Kawasan lindung
a. Hutan lindung Sipora, Pagai ±10.704
Utara, Pagai
selatan
b. Hutan suaka alam Siberut ±190.500 34,80
(TNS) ±4.816
c. Sempadan pantai Pagai Utara, ±3.206
Pagai Selatan
Kep. Mentawai
2. Kawasan budidaya
a. Hutan produksi Siberut, Sipora, ±273.806
23 Laporan Investigasi MAIL (2005), Illegal Logging dan Korupsi Berkedok IPK di Kabupaten Kepulauan
Mentawai, Lembar Fakta dan Opini Hukum.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 297
Gambar 14. Praktik penebangan ilegal di Mentawai saat masa booming pe
nebangan kayu pada era desentralisasi (Puailiggoubat).
tanan sebesar Rp35 juta. Rendahnya PAD ini juga terjadi untuk APBD
2004. Kepulauan Mentawai menargetkan PAD sebesar Rp2,5 miliar
dari sektor kehutanan untuk 2004. Target PAD itu bersumber dari
proyeksi produksi kayu bulat 2004 sebanyak 1,46 juta m3. Berdasarkan
Perda No. 5 Tahun 2002, seharusnya PAD yang diterima Mentawai dari
sektor kehutanan lebih dari Rp14 miliar. Ini belum termasuk retribusi
untuk kayu campuran, limbah pembalakan, tempat penimbunan kayu,
penggergajian, dan alat-alat berat seperti juga diatur dalam Perda No.
5, 6, 7, dan 8 Tahun 2002. Target PAD tersebut tidak terpenuhi. Bahkan
PAD dari sektor kehutanan tidak sampai 1% (Anonim 2005a: 59-62).
Meskipun angka-angka yang tercetak dalam dokumen pembuku
an uang negara menunjukkan bahwa eksploitasi hutan terbukti gagal
meningkatkan PAD, sebagian elite masyarakat yang terlibat dalam eks
ploitasi hutan merasa skema IPK lebih menguntungkan mereka. Para
pemilik hutan di Katurei dan di Taileleu yang tanahnya diberi IPK sa
ngat mendukung keluarnya izin-izin bupati. Mereka mendapat uang
kompensasi pengambilan kayu. Banyak pemuda dan anggota keluarga
bekerja sebagai tenaga kerja kasar pengangkutan kayu yang dihimpun
dalam koperasi-koperasi yang diatur untuk menyediakan tenaga ker
ja. Uang hasil eksploitasi, agaknya, lebih terasa di desa-desa dan para
pemilik kayu daripada di rekening-rekening negara.
Sebuah ilustrasi yang cukup menggambarkan bagaimana IPK
dan IUP telah membawa perubahan penting adalah berdirinya ru
mah yang sangat megah di Desa Taileleu. Ligub, mantan Kepala De
sa Taileleu, dengan bantuan anaknya berhasil membangun kerja sama
dengan investor dari Surabaya untuk mengizinkan PT KOSUM me
ngelola 100 ha hutan dan tanahnya di barat daya Siberut. Dari uang
hutan itu, dia melicinkan anaknya untuk masuk pegawai negeri di ka
bupaten, memborong kelapa-kelapa di lepas pantai, membeli mesin
tempel, dan—terutama terkenal karena—memiliki rumah yang sangat
besar, berdinding tembok yang dapat dilihat dari kejauhan secara men
colok. Dengan kekayaannya, ia cukup disegani. Keberhasilannya me
masukkan perusahaan telah membawa banyak dampak: tetangganya
berut ang budi karena telah berhasil bekerja di sana, sumbangan-sum
bangannya terhadap pembangunan desa melalui pemberian uang
fee perusahaan membuatnya menjadi figur yang sulit untuk tidak
dibicarakan, kedai-kedai buka 24 jam saat perusahaan beroperasi, dan
membuat ekonomi Taileleu berputar kencang. Atas keberhasilannya
ini, Ligub mengenang,
300 Berebut Hutan Siberut
25 Dokumen KMSPS (2004) berjudul “Ilegal logging dan korupsi berkedok izin pemanfaatan kayu (IPK)
dari bupati Kepulauan Mentawai”.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 301
27 Marlis Rahman adalah seorang biolog dan ekolog yang peduli terhadap Pulau Siberut pada 1980-
an. Pada 1985, dia menulis tentang pentingnya konservasi keanekaragaman hayati Pulau Siberut
dan peluang riset bagi Universitas Andalas (Rahman 1985). Periksa Persoon dan Schefold (1985).
Perubahan sikap Rahman sangat menarik dilihat dari konteks bagamana pemerintah Sumatra Barat
melihat dan memberlakukan Siberut.
28 Keterangan dari pejabat Dephut. Wawancara Oktober 2005.
304 Berebut Hutan Siberut
dan diplomasi dari CII, UNESCO, ADB, dan juga LIPI kepada Dephut
terus dilakukan. Beberapa lembaga konservasi mendanai pertemuan
yang menghimpun beberapa elite Siberut, aktivis LSM, dan kelompok
masyarakat prokonservasi untuk bertatap muka secara langsung de
ngan menteri kehutanan di Jakarta. Pada Oktober 2004, aktivis pro
konservasi berhasil memaksa menteri kehutanan untuk bertemu
dengan perwakilan-perwakilan lembaga internasional, aktivis pro
konservasi, dan perwakilan masyarakat Siberut. Pertemuan itu lebih
banyak diwarnai protes dan ketidakpuasan aktivis prokonservasi ter
hadap ketidakkonsistenan menteri kehutanan.
Inkonsistensi kebijakan pengelolaan hutan mencerminkan keras
nya dinamika kepentingan ekonomi-politik nasional dan global terha
dap hutan di Siberut. Dinamika perizinan PT SSS memberi gambaran
yang kuat bagaimana akses terhadap hutan di Siberut dipengaruhi
oleh dinamika ekonomi-politik elite-elite di Padang, Jakarta atau kan
tor-kantor konservasi dunia. Diduga kuat bahwa proses perizinan PT
SSS terkait dengan pemberian sogokan atau pertukaran hadiah untuk
pejabat tertinggi di departemen itu.29 Praktik ini mencerminkan ma
sih kuatnya rezim perizinan konsesi hutan yang terpusat. Di zaman
Orde Baru, hak konsesi penebangan harus diberikan oleh pemerintah
pusat. Hak ini didapatkan melalui proses yang membutuhkan waktu
dan biaya tinggi. Tanpa koneksi dan modal, pengusaha lokal sangat
sulit, bahkan tidak mungkin, mendapatkan izin konsesi dari Dephut
(McCarthy 2007: 222).
Drama proses perizinan PT SSS ini membuat dilema bagi Dephut.
Institusi negara ini berusaha mengakomodasi berbagai kepentingan
dengan membentuk tim terpadu, yang bertugas mengkaji pengelolaan
hutan di Siberut pascaotonomi, khususnya pengelolan hutan melalui
skema HPH dan IPK. Tim ini terdiri dari ilmuwan LIPI, pejabat tinggi
di Dephut, wakil dari perusahaan kayu, aktivis LSM, lembaga interna
sional (UNESCO, CI), dan beberapa tokoh Mentawai. Hasil dari kerja
tim terpadu ini menyarankan agar menteri kehutanan untuk berha
ti-hati memberikan izin penebangan kayu skala besar di Siberut. Re
komendasi tim diabaikan karena pada akhirnya menteri kehutanan
tetap memberikan izin kepada PT SSS.
Di sisi lain, dengan adanya peluang kekuasaan yang cukup besar,
kebijakan desentralisasi menguatkan otoritas di daerah untuk meng
29 Transkrip dari diskusi informal dengan pejabat Dinas Kehutanan yang menolak pemberian izin PT
SSS, Oktober 2005.
306 Berebut Hutan Siberut
30 Keterangan dari B, pengusaha Jakarta asal Solo yang memiliki HPH di Kalimantan. Dia berteman baik
dengan Bahrial, pemilik HPH MPL di Sikakap.
310 Berebut Hutan Siberut
agar menetes sampai jauh dan dirasakan oleh masyarakat secara lang
sung. Keberhasilan rezim kayu baru terletak pada kemampuannya
mengakomodasi tuntutan-tuntutan uma di seluruh Siberut yang juga
tengah bersaing untuk menentukan kekuasaan atas hutan.
Meskipun telah mendapatkan izin konsesi dari pemerintah pusat
atau daerah, perusahaan kayu harus mendapatkan izin dari uma pe
milik tanah untuk bisa mengangkut kayu dari hutan Siberut ke pasar.
Hak-hak adat yang disuarakan oleh uma-uma di Siberut dan mulai
diakui secara luas menyebabkan perusahaan kayu tidak begitu saja
bebas menebang pohon. Untuk mendapatkan izin dari uma-uma itu,
mereka harus melakukan negosiasi panjang yang kadang menemui
jalan buntu.
Perusahaan kayu tidak kehilangan akal. Untuk memudahkan ne
gosiasi, mereka merekrut orang-orang Siberut sebagai staf perus aha
an. Yang diincar kebanyakan adalah aktivis Mentawai yang terdidik,
elite-elite mahasiswa, warga yang sadar politik, dan juga aktivis kon
servasi yang tidak memiliki pekerjaan dan kesulitan dalam mencari
pendanaan untuk dirinya atau organisasinya. PT KAM misalnya, me
rekrut Aman Puput, Pendiri dan Ketua Yasumi yang pernah bekerja
untuk proyek-proyek konservasi. Aman Puput bertugas sebagai juru
bicara yang bernegosiasi dengan masyarakat agar perusahaan diberi
izin operasi di tanah adat. Ini adalah strategi yang cerdik dan licin.
Dengan mempekerjakan aktivis konservasi untuk mendukung eks
ploitasi hutan, perusahaan kayu berharap masyarakat menjadi mudah
diyakinkan, sekaligus untuk mengurangi kekuatan perlawanan orga
nisasi prokonservasi.
Aman Puput sangat memahami retorika konservasi dan penting
nya keanekaragaman hayati di Siberut. Dia pernah bekerja sama de
ngan TNS dan Skephi melakukan penyuluhan ke desa-desa guna meng
galang dukungan dari masyarakat tentang pentingnya pelestarian
primata dan fauna endemik Siberut. Namun, dengan bekerja di PT
KAM, Aman Puput kemudian menyerang balik logika konservasi. Da
lam berbagai kesempatan dia mengatakan, warga Siberut tidak pernah
memberi mandat kepada aktivis LSM untuk menyuarakan aspirasi
mereka. Dia juga beralasan, LSM harus menghormati pilihan dan hak
masyarakat Siberut untuk mengelola sumber daya alam mereka sen
diri, sebagaimana disebutkannya dalam wawancara kami berikut ini:
Dalam pandangan saya, konservasi memberi manfaat jangka
panjang. Itu sangat bagus buat kami. Tetapi masyarakat membu
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 313
tama, membayar perantara, yang dikenal luas sebagai broker, yang ter
diri atas elite-elite dan tokoh lokal. Tugas perantara ini adalah berusaha
mendekati dan membujuk uma pemilik hutan untuk menyerahkan
izin eksploitasi kepada perusahaan. Mereka harus dapat mengajak
seluruh anggota uma untuk menandatangani persetujuan pelepasan
lahan. Proses negosiasi ini biasanya berlangsung lama dan berlarut-
larut. Jika persetujuan hanya dinegosiasikan dengan sedikit anggota
uma atau elite-elite uma yang memiliki koneksi dan jaringan, konflik
akan muncul di dalam uma, broker, dan pengusaha. Uma pemilik ta
nah harus berusaha mengumpulkan sejarah lisan dan keterangan-
keterangan dari uma lain untuk menguatkan klaim terhadap hutan
yang diincar pengusaha. Hal ini dilakukan untuk memantapkan klaim
agar tidak terjadi konflik dengan uma lain. Namun, ada juga uma yang
cepat memberi keputusan untuk menyerahkan lahan tanpa mengkaji
status tanah dalam silsilah kepemilikan dengan uma lain. Situasi ini
umumnya akan menyulut konflik di kemudian hari.
Namun, konflik semacam ini justru dapat menjadi peluang bagi
perantara untuk mengadu domba anggota uma, atau antara uma satu
dengan uma lain. Perantara biasanya menggunakan anggota uma
yang berpengaruh dan memiliki suara dominan untuk mengambil
keputusan secara sepihak. Usaha untuk menggunakan manajemen
konflik guna mempercepat proses pelepasan lahan dilakukan untuk
mengejar target pelaksanaan operasi kayu. Negosiasi yang panjang
dan memakan waktu menyebabkan terkatung-katungnya operasi per
usahaan. Hal ini menjadi masalah bagi pemegang izin konsesi seperti
IPK yang memiliki durasi waktu operasi sangat pendek. Situasi ini juga
berlaku bagi HPH karena mereka juga harus menepati tenggat Renca
na Kerja Tahunan (RKT). Jika tenggat masa izin terlewati, izin operasi
dapat dicabut dan perusahaan akan merugi. Proses yang lamban dan
membutuhkan waktu yang panjang ini menyebabkan perusahaan ka
yu menggunakan strategi kedua.
Strategi kedua bisa kita sebut sebagai “tebang dahulu, bayar bela
kangan”. Sambil menunggu negosiasi yang lama dengan uma pemilik
lahan, beberapa pengusaha akan langsung mengambil kayu di hutan
milik uma tertentu. Strategi ini membutuhkan anggaran tambahan ka
rena uma yang lahannya ditebang akan mendenda perusahaan kayu.
Namun, dengan telah tertebangnya kayu di tanah milik uma tertentu,
uma pemilik lahan tak memiliki pilihan lain kecuali melepaskan la
hannya ke perusahaan kayu. Pilihan itu mau tak mau harus mereka
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 315
diolah. Setiap satu meter kubik kayu harga pulajuk mone-nya berki
sar Rp20.000-35.000. Di samping harus membayar pulajuk mone,
perusahaan kayu memberi kompensasi yang lain seperti mesin tem
pel, gergaji mesin, televisi, mesin generator, bahan makanan, atau
membiayai wisata ke Padang atau kota-kota besar lainnya dengan
menginap di hotel untuk memudahkan setiap jalur negosiasi.
Akan tetapi, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, walau
pun masyarakat Siberut mendapatkan akses untuk memperoleh
manfaat dari pengelolaan utang, proporsi terbesar dari keuntungan
atas eksploitasi hutan mengalir ke dalam rekening pengusaha dari
Jakarta, Surabaya, atau Padang, atau pengusaha asal Mentawai sen
diri (MAIL 2005: 9).34 Uang kompensasi sering tidak sama dengan
jumlah kayu yang telah ditebang. Perusahaan kayu memang meli
batkan anggota uma pemilik hutan untuk menghitung jumlah kayu
bersama. Namun dalam proses ini, kurangnya keterampilan dalam
bernegosiasi dan masalah-masalah representasi bagi orang Mentawai
sendiri menimbulkan banyak pertanyaan mengenai siapa yang dapat
mengontrol penebangan, jumlah kayu, dan menentukan jenis-jenis
kayu yang ditebang. Kecurigaan-kecurigaan mengenai siapa yang men
dapat keuntungan dari proses pengurusan/penghitungan pembayaran
dari perusahaan kayu membuat pengontrolan menjadi sulit. Di sisi
lain, peran kontrol yang harus dilakukan oleh pemerintah—melalui
Dinas Kehutanan dan pemerintah pusat—tidak berlangsung efektif.
Ketiadaan kontrol secara efektif sangat memudahkan perusahaan kayu
menebang di luar areal blok tebangannya dan mengeruk keuntungan
dari eksploitasi tanpa kontrol ini (MAIL: ibid; Anonim 2005a: 70).
Kelemahan masyarakat Siberut dan birokrasi ini sangat mudah
dimanfaatkan perusahaan kayu. Berdasarkan investigasi beberapa
LSM, aktivitas penebangan perusahaan kayu masuk dalam kategori
ilegal (KMSPM 2005: 3, MAIL: ibid). Mereka sering menebang kayu
di luar izin karena konsesi yang mereka pegang merupakan bekas area
penebangan kayu dari 1971-1993, sehingga tidak banyak lagi kayu
berkualitas. Pada 2002, PT KAM dilaporkan—dan kemudian terbukti—
menebang kayu di dalam kawasan TNS.35 Menurut pekerja perusahaan
kayu yang diwawancarai, pelanggaran ini dilakukan dengan sengaja.
Mengikuti instruksi manajernya, mereka harus menebang kayu sampai
sejauh 3 km di kawasan TNS untuk mendapatkan keuntungan lebih
34 Juga keterangan dari Frans Siahaan saat melakukan penelitian dampak penebangan kayu di Siberut
Utara, Oktober 2009.
35 Kasus ini dimuat di Puailiggoubat, Agustus 2003.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 317
Peta 6
Pembalakan Liar pulau siberut (2004-2005)
318 Berebut Hutan Siberut
Pemetaan Partisipatif
Konflik batas tanah antaruma yang meningkat dan pesatnya invasi
pengusaha untuk mendapatkan akses terhadap hutan membuat orang
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 325
1 Peraturan Menteri Negara Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
326 Berebut Hutan Siberut
2 Wawancara dengan Aman Fajar dari Uma Sabolak, Juli 2005. Hal sama juga dikatakan oleh Aman
Frans dari Uma Sirirui yang pernah bekerja di Yasumi.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 327
dengan pemilik tanah dan hutan. Perusahaan kayu juga bisa mengam
bil manfaat dengan menentukan di mana lokasi-lokasi yang memiliki
cadangan kayu cukup tinggi dan di mana lokasi yang sudah menjadi
perladangan penduduk. Informasi dari peta partisipatif memudahkan
perusahaan untuk menghindari lahan-lahan yang dibudidayakan agar
tidak terkena denda-denda adat.
Rumor mengenai penjualan peta oleh aktivis LSM ini beredar lu
as dan nyaris diterima sebagai fakta. Argumen mengenai penjualan
peta itu ke perusahaan kayu tidak sepenuhnya berlangsung seperti
yang dipersepsikan oleh masyarakat. Dari laporan pemetaan partisi
patif yang dibuat Yasumi (1997), belum semua kawasan Siberut te
lah dipetakan kepemilikannya. Beberapa kali penolakan dari warga
Simatalu dan Simalegi menyebabkan peta tersebut belum sepenuhnya
menggambarkan keseluruhan peta kepemilikan. Membuat peta ke
pemilikan membutuhkan waktu yang sangat panjang mengingat ke
rumitan kepemilikan tanah dan hutan di Siberut. Peta-peta itu juga
belum menjangkau keseluruhan kawasan yang ada di Siberut. Hanya
sedikit di bagian tenggara Siberut dan di bagian pantai timur sebelah
utara, peta-peta ini memiliki data yang cukup lengkap. Perusahaan
kayu tidak bisa mengandalkan peta-peta sejenis ini untuk memulai
operasi penebangannya.
Rumor bahwa perusahaan kayu membeli peta tersebut dari LSM
juga cukup meragukan. Dokumen AMDAL PT KAM maupun PT SSS ti
dak satu pun mencantumkan keterangan dari peta partisipatif yang di
buat oleh Yasumi dan Skephi. Laporan pemetaan partisipatif dan peta-
peta yang telah dihasilkannya—meskipun tidak lengkap—bisa diakses
secara terbuka oleh siapa saja tidak hanya oleh LSM pembuatnya. Peta
Belanda jauh lebih lengkap memetakan wilayah kepemilikan hutan dari
peta partisipatif tersebut. Adanya dugaan bahwa peta-peta partisipatif
tersebut dijual kepada perusahaan kayu lebih bersifat rumor. Rumor
ini muncul karena adanya banyak informasi yang tidak pernah bisa
diverifik
asi. Rumor-rumor ini lebih sering digunakan untuk berbagai
macam kepentingan. Bisa mengecam perusahaan kayu. Kadang di
gunakan untuk mengkritik elite-elite terdidik yang bekerja dengan
perusahaan kayu. Kadang juga digunakan untuk mengecam taman
nasional. Rumor mengenai penjualan peta-peta ini adalah salah satu
cara orang Siberut untuk menolak adanya representasi kepentingan
kepada orang lain.
Rumor mengenai pemetaan partisipatif ini hingga sekarang masih
terasa sebagai kerikil dalam sepatu bagi aktivis LSM. Rumor ini melu
328 Berebut Hutan Siberut
Sertifikasi Tanah
Usaha lain untuk mendapatkan pengakuan negara bagi tanah ula
yat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Me
reka mengembangkan program sertifikasi tanah untuk mendata tanah-
3 Keterangan dari staf Yasumi, Juni 2005
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 329
4 Program sertifikasi tanah dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional dan di Mentawai dikuatkan Ketetap
an Bupati No 6/2003, 30 Desember 2003.
330 Berebut Hutan Siberut
menentukan nama pemilik dalam surat akta tanah. Selain itu, mereka
juga ragu karena diharuskan membayar pajak jika tanah tersebut su
dah bersertifik
at. Saat program sertifikat tanah disosialisasikan di
kantor Kecamatan Siberut Selatan salah seorang warga Rogdok yang
menghadiri acara tersebut menyatakan:
Uma kami ingin mendaftarkan tanah yang kami miliki untuk
diakui oleh negara. Kami tidak ingin pengalaman pemindahan
dan pengusiran melalui program pemukiman kembali di masa
lalu terjadi lagi. Namun, jika kami punya sertifikat, kami harus
membayar pajak kepada pemerintah setiap tahun. Saya tidak
tahu bagaimana mendapatkan uang untuk pajak tersebut secara
rutin.5
antaruma. Privatisasi ini juga dapat menjadi pelatuk bagi konflik in
ternal mengenai tanah dan hutan karena corak egaliter struktur sosial
di dalam uma terganggu. Kondisi ini telah berlangsung di daerah se
kitar Muara Siberut, di mana nilai jual tanah meningkat karena ke
butuhan untuk membuka kebun-kebun kakao. Kebutuhan terhadap
tanah dan rangsangan ekonomi akan memicu timbulnya masalah-ma
salah tanah yang belum terselesaikan di masa lalu (Darmanto 2008a).
Formalisasi mengenai kepemilikan tanah komunal ini juga berpe
luang menggeser solidaritas masyarakat Mentawai dari unit sosial
uma menjadi individu.
Generasi muda Mentawai lebih menyukai kepemilikan tanah se
cara pribadi dan berusaha secara pelan-pelan melepaskan diri dari
keterik
atan umanya dalam hal kepemilikan tanah. Mereka antusias
menyambut program sertifikasi tanah dan memandang bahwa kepe
milikan yang lebih formal dan diakui negara akan menghindarkan
terjadinya konflik di masa mendatang. Mereka berargumen, konflik
perebutan tanah antaruma adalah urusan gengsi sosial para orang tua
(sikebbukat) di masa lalu. Konflik tanah ini tidak produktif dan me
nyebabkan permusuhan yang tidak pernah putus-putusnya. Mereka
cenderung membeli tanah secara pribadi, meskipun proses kepemi
likan tanah pribadi dalam kebiasaan Mentawai sangatlah sulit. Kali
mat-kalimat dari Aman Sarno dari Uma Maileppet berikut ini meng
gambarkan situasinya:
Setiap hari, sekarang ini masalah tanah selalu muncul di Desa
Maileppet. Banyak sekali permusuhan. Dulu yang kita bersau
dara, berpisah gara-gara tanah. Sekarang lebih baik saya punya
tanah sendiri. Membeli dari keringat sendiri. Biar teteu (orang
tua) yang meributkan masalah tanah ini. Punya tanah sendiri
memang lebih susah karena harus beli. Tapi jauh lebih aman. Ti
dak banyak gangguan dari saudara. Bila saya punya tanah yang
telah ada sertifikat, itu akan lebih mudah untuk dijual atau di
gadaikan dan dijadikan jaminan ke bank atau untuk mendapat
kredit motor.
kat, tanah yang dimiliki pribadi secara resmi akan diakui dan dijamin
oleh negara. Melalui kepemilikan pribadi, seseorang dapat mengklaim
tanah dan kebunnya melalui sertifikat tanah atau surat jual-beli yang
diakui negara, sekurang-kurangnya oleh pemerintahan desa.
Bagi sebagian orang Siberut, kepemilikan tanah pribadi dapat
memantapkan jaminan hak dan pengelolaan yang selama ini tidak per
nah stabil. Keinginan memiliki tanah pribadi juga mengindikasikan
hal yang lebih luas, yakni mengalihkan fungsi tanah menjadi investasi
dan komoditas. Dengan program sertifikasi tanah, eksklusivitas kepe
milikan tanah dapat diakui sehingga setiap keluarga memiliki otonomi
yang tinggi. Dengan jalur ini, tanah dijadikan modal ekonomi dengan
cara untuk jaminan utang, diagunkan di bank, atau disewakan. Pas
cademam kakao yang berlangsung sejak 2003, beberapa elite Siberut
mulai membeli tanah di sekitar kota kecamatan. Mereka bukan sekadar
membeli tanah untuk berladang atau mengumpulkan makanan tetapi
juga sebagai investasi yang suatu saat nanti meningkat daya jualnya
sehingga bisa memberi keuntungan yang lebih tinggi. Jika mereka
mendapatkan tanah, kadang mereka menjualnya dengan harga yang
tinggi lagi kepada migran.
Generasi baru Mentawai menganggap tanah yang dimiliki uma
mereka rentan diklaim dan memicu konflik dengan uma lain. Dengan
pengal aman yang rumit dalam menyelesaikan masalah tanah, sebagi
an kecil pemilik tanah di sekitar Muara Siberut menyatakan mereka
lebih baik tidak mengetahui asal-usul kepemilikan tanah agar terhin
dar dari konflik yang berlarut-larut. Sistem kepemilikan tanah melalui
adat dirasa efektif di masa lalu, tetapi rentan memicu konflik di masa
sekarang, terlebih lagi apabila generasi selanjutnya tidak menguasai
sejarah proses kepemilikan tanah. Alhasil, tanah-tanah yang tidak
mendapat pengakuan dari negara, banyak yang dijual oleh uma pemi
liknya. Uang hasil penjualan tanah tersebut kemudian dibelikan kem
bali tanah milik uma lain. Tindakan ini secara sengaja mereka lakukan
karena dua pertimbangan. Pertama, tanah-tanah yang mereka miliki
sebelumnya tidak memiliki surat resmi dari pemerintah sehingga
rentan terhadap konflik dan klaim dari uma lain. Kedua, tanah yang
mereka beli berikutnya melibatkan persetujuan dari kepala desa dan
pemiliknya yang sah. Surat dari kepala desa ini menjadi komponen
penting sebagai bentuk pengakuan dari negara. Surat jual-beli tanah
yang disahkan oleh kepala desa dapat digunakan sebagai syarat untuk
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 333
mendapatkan sertifikat.6
Di tempat yang jauh, di mana akses ekonomi masih terbatas dan
peminat tanah sangat sedikit, program sertifikasi ini kurang diminati.
Meskipun wacana sertifikasi tanah ini pernah hangat dibicarakan pa
da 2004-2005, program tersebut tidak berhasil mengalihkan tanah-
tanah adat yang masih dalam status kepemilikan uma. Sertifikasi ta
nah hanya diminati di tanah-tanah yang terletak di permukiman yang
dibentuk pemerintah atau kota kecamatan. Orang Siberut masih me
lihat adanya masalah-masalah administrasi dalam pengalihan tanah
adat yang dimiliki uma ke dalam sistem registrasi tanah yang dispon
sori pemerintah. Masyarakat juga menyadari bahwa tanah-tanah me
reka statusnya adalah kawasan hutan negara yang tidak dapat diserti
fikatkan oleh BPN. Tanpa koordinasi dengan Departemen Kehutanan
yang menguasai hampir 90% tanah di Siberut, usulan sertifikasi tanah
yang pada mulanya disambut antusias ini, pelan-pelan ditinggalkan.
Usulan-usulan sertifikasi hanya terjadi terhadap tanah-tanah dekat
Muara Siberut dan kebanyakan dilakukan para pendatang.
6 Kasus-kasus yang ditampilkan di sini diambil dari tenggara Siberut, terutama yang berlokasi dekat kota
kecamatan. Daerah ini mengalami transformasi paling intensif di Pulau Siberut. Daerah di sekitar Muara
Siberut adalah pusat transformasi sosial. Daerah ini merupakan pusat pemerintahan, perdagangan,
dan pendidikan yang sangat penting. Penetrasi kolonial pertama kali terjadi di daerah ini, begitu pula
dengan permukiman imigran. Daerah ini juga merupakan lokasi pelabuhan terpenting di Pulau Siberut.
Di Maileppet, kebijakan proyek PKMT Departemen Sosial pertama kali diimplementasikan menyusul di
Desa Muntei dan Muara Siberut. Penduduk Sabirut menjalin kontak dan hidup berdampingan dengan
para pendatang dari Sumatra atau Jawa. Hampir semua penduduk di daerah ini telah terintegrasikan
dengan pasar. Mereka sangat tergantung pada produksi tanaman komersial mulai dari kelapa, ceng
keh, nilam, dan belakangan kakao.
334 Berebut Hutan Siberut
besar yang dihuni atau daerah yang sudah pernah ditempati oleh
beberapa uma. Umumnya daerah ini dicirikan oleh kesamaan dialek
bahasa dan beberapa ciri-ciri lain seperti variasi pembayaran denda,
tata cara pernikahan, dan lain-lain. Orang Siberut sering menyebut
daerah-daerah tertentu; semisal Sabirut, Rereiket, Saibi, Taileleu,
serta Katurei sebagai pulaggajat. Istilah pulaggajat cenderung dipakai
sebagai jawaban atas pertanyaan dari mana asal seseorang. Pada
masa sekarang, pulaggajat sering digunakan secara bergantian untuk
mengacu pada dusun, meskipun beberapa keterangan menyatakan
bahwa istilah pulaggajat lebih luas dari dusun, baik dalam arti fisik
maupun sosial.
Istilah laggai tidak mendapat konsesus yang benar-benar mengi
kat. Dalam beberapa diskusi lain, istilah laggai disebut tidak memuat
pengertian wilayah atau teritori yang diatur melalui kekuasaan. Meka
nisme kekuasaan atas sumber daya alam dan wewenang mengatur me
kanisme kekuasaan hanya bisa diterapkan pada uma. Beberapa orang
menyebut laggai bukanlah tata pemerintahan. Itu hanyalah istilah yang
merujuk asal-usul atau tempat asal yang dihuni bersama oleh beberapa
uma atau beberapa keluarga yang sekerabat. Mengingat otonomi di
tingkat uma, laggai sebagai unit pemerintahan dan kekuasaan belum
pernah diterapkan. Orang Mentawai tidak mengenal pemimpin laggai,
yang memiliki otoritas politik atau diberikan kewenangan memerin
tah di suatu wilayah tertentu. Perdebatan istilah laggai ini membuat
sebagian perumus laggai Mentawai meragukan kesiapan masyarakat
apabila laggai diterapkan. Alasan ini kemudian diperkuat dengan ar
gumen bahwa masyarakat sudah sangat lama meninggalkan sistem
laggai. Kekhawatiran ini tampaknya bertentangan dengan keyakinan
mereka bahwa laggai adalah kearifan lokal yang dikenal di Mentawai
sebelum ada pemerintahan dari luar.
Dengan tidak adanya konsesus yang tetap dan juga pengertian
yang mengikat, pihak pemerintah daerah sendiri cenderung memilih
desa sebagai unit pemerintahan terendah. Pemerintah daerah—yang
diwakili pernyataan bupati dan ketua DPRD pada 2003—menyatakan
istilah laggai tidak bisa diterapkan secara menyeluruh di Kepulauan
Mentawai (Puailiggoubat 2003). Tidak sekadar menyangkut perbe
daan bahasa, pengertian laggai seperti yang diusulkan oleh tim peru
mus, menurut mereka, belum pernah diterapkan di Mentawai. Justru
konsep desalah yang sudah lama menjadi bagian dari pemerintahan
di Mentawai. Pernyataan resmi bupati ini mengundang protes dari ka
langan prolaggai dan pemerintah provinsi dan memicu polemik yang
336 Berebut Hutan Siberut
8 Draf Ranperda Laggai tercantum dalam Puailiggoubat, Januari 2002. Pemerintah provinsi juga dise
butkan menjadi pihak kunci yang memfasilitasi, mengawasi, dan memberdayakan laggai. Ranperda
tersebut secara eksplisit mencantumkan peran langsung pemerintah provinsi karena memberikan nota
keberatan atas pembatalan peraturan laggai. Hal ini tentu saja berkebalikan dengan tuntutan dan
semangat otonomi daerah.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 337
9 Pernyataan salah satu tim perumus yang juga aktivis LSM, Kortanius Sabeleake, dalam Puailiggoubat,
Juni 2004.
338 Berebut Hutan Siberut
Janji Kolaborasi
Akhir 1980-an, pengakuan atas keberadaan hak-hak adat semakin
mendapat tempat dalam program konservasi di seluruh dunia. Hal
11 Bagian ini bersumber dari keterlibatan Darmanto secara langsung dalam program Ko-Manajemen. Da
ta-data yang diungkapkan di bagian ini juga merupakan pengalaman langsung Darmanto dalam men
jabat manajer program ini selama 2 tahun (2004-2006). Posisi Darmanto dalam bagian ini agak dile
matis karena, jika disimak dengan sungguh-sungguh, dia sedang mengkritik apa yang telah dilakukan,
gagasan yang turut membentuknya, dan bagaimana mengubah posisinya sendiri dari pelaku Ko-Ma
najemen menjadi penulis, yang pada banyak titik, mengkritik dan mengevaluasi program ini dengan
penilaian tertentu yang ia peroleh kemudian.
340 Berebut Hutan Siberut
dan tidak ingin dikontrol oleh komponen lain yang memiliki posisi
lebih tinggi. Penunjukan perwakilan TNS sebagai pemimpin proyek
dipandang akan membatasi peran masyarakat. Namun, pihak TNS
dan Ko-Manajemen tidak berwajah tunggal. Mereka memiliki per
sepsi dan pendapat berbeda karena masing-masing memiliki penge
tahuan dan sejarah relasi sosial dengan orang Siberut yang berbeda.
Bagi sebagian besar petugas TNS, membentuk subjek baru konserva
si adalah hal penting. Mereka sangat menyadari bahwa masa depan
pengelolaan kawasan konservasi sangat bergantung pada agen kon
servasi—masyarakat dan kader konservasi—di Siberut. Karena itu,
mereka menyetujui perlunya memberikan akses masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan.
Namun, sebagian staf lain lain memiliki persepsi berbeda soal
bagaimana melibatkan masyarakat dalam kerja-kerja konservasi. Se
lain itu, sebagian besar petugas TNS enggan menerima LSM dan per
wakilan masyarakat sebagai mitra setara dalam dewan manajemen
(Djogo dkk 2006). Kelompok ini berpendapat bahwa upaya untuk
mengajarkan nilai-nilai konservasi kepada masyarakat adalah dalam
rangka untuk mengelola orang Siberut yang “tidak terkendali dan
terbelakang”, serta tidak mengerti tujuan konservasi. Salah satu staf
TNS, kelompok yang terakhir tersebut, menyatakan:
Tugas utama kerja Ko-Manajemen adalah mendidik masyarakat
untuk lebih mengerti tujuan konservasi dan sesuai dengan tugas
kita (taman nasional). Meskipun mereka mengaku bahwa tanah
yang berada di kawasan taman nasional adalah tanah mereka,
mereka juga harus disadarkan bahwa tanah tersebut milik negara.
Bahkan sudah diakui secara internasional. Karena mereka tidak
punya kewajiban yang sama, maka mereka juga tidak harus pu
nya hak yang sama dengan kita. Tugas taman nasional lebih
besar karena untuk negara dan mereka, kalau masih mengakui
UU pemerintah dan menjadi warga negara Indonesia harus siap
tanahnya dikelola dan diatur taman nasional.
12 Persepsi salah satu warga Madobak dalam evaluasi triwulan kedua Ko-Manajemen di Desa Madobak,
13 Juli 2005.
350 Berebut Hutan Siberut
13 Darmanto dan Tim Ko-Manajemen, “Membangun Kemitraan dengan Masyarakat Lokal” (2005). Paper
tidak dipublikasikan.
352 Berebut Hutan Siberut
15 Dokumen hasil pertemuan Pulau Botik (Anonim 2004). Pertemuan di Pulau Botik dihadiri oleh sebagian
besar aktivis konservasi dari CI, Rare Internasional, UNESCO, BTNS, Walhi, PBHI, wakil AMA-PM,
YCM, SCP, dan UMA.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 355
Terbentuknya Aliansi
Diskusi Maileppet yang tersebut di atas kemudian ditindaklanjuti
dengan diskusi yang lebih besar pada 2002. Pertemuan yang meli
batkan beberapa perwakilan warga, mahasiswa, tokoh agama, dan
elite-elite lokal diselenggarakan di Tuapejat, ibukota Kabupaten Ke
pulauan Mentawai, pada 11-15 Juni 2002. Secara politis, pertemuan
ini dirancang menjelang pemilihan bupati Kepulauan Mentawai. Per
temuan yang digalang oleh YCM dan dihadiri oleh perwakilan lem
baga internasional, LSM-LSM nasional, dan beberapa akademisi itu
mengambil tema yang sama dengan tema diskusi di Maileppet, yakni
demokratisasi pengelolaan sumber daya alam di Mentawai. Sebagai
mana pertemuan sebelumnya, pertemuan ini lebih banyak diisi dengan
berbagi pengalaman dan identifikasi masalah. Acara tersebut banyak
berisi tuntutan dialog antara masyarakat dan pejabat pemerintah
daerah. Dalam dialog tersebut banyak dimunculkan suara-suara ke
kecewaan warga Siberut yang tidak mendapatkan keuntungan dari
pengelolaan hutan. Beberapa keluhan yang muncul antara lain proses
pemberian izin pengelolaan hutan yang tidak transparan dan sarat
korupsi, proses perencanaan pengelolaan sumber daya yang tidak
melibatkan masyarakat, dan adanya kebijakan yang tidak memihak
masyarakat.
Ditopang oleh meningkatnya gerakan adat di Indonesia pas
cajatuhnya Orde Baru, acara ini sukses memopulerkan istilah “ma
syarakat adat Mentawai”. Pertemuan yang dikenang sebagai dialog
publik pertama di Mentawai ini menghasilkan dua keputusan pen
ting. Pertama, terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Peduli Men
tawai (AMA-PM). Kedua, pertemuan tersebut menghasilkan re
komendasi bagi demokratisasi pengelolaan sumber daya alam di
Mentawai. Rekomendasi tersebut berisi dua belas butir, yang poin-
poin pentingnya adalah menuntut pemerintah untuk mengakui hak-
hak adat dan pemberian kewenangan pengelolaan sumber daya alam
kepada masyarakat adat. Rekomendasi ditandatangani oleh seluruh
peserta dan disebarluaskan kepada jajaran birokrasi. Dua hasil perte
muan tersebut saling melengkapi. Aliansi adat terbentuk untuk men
jaga pelaksanaan rekomendasi utama, yakni desentralisasi akses dan
kontrol terhadap sumber daya alam.
Menurut pemimpin yang terpilih dalam kongres tersebut, AMA-
PM merupakan organisai masyarakat adat pertama dalam sejarah
Mentawai, yang diharapkan bisa menjadi wadah bagi orang Mentawai
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 363
dampingan dari staf YCM. Keterkaitan antara YCM dan AMA-PM juga
gampang dikenali karena agenda kedua lembaga ini hampir identik.
Setiap kegiatan AMA-PM difasilitasi oleh YCM. AMA-PM juga sering
terlibat dalam aktivitas demonstrasi dan protes-protes yang digalang
oleh YCM.
Di satu sisi, dukungan terhadap agenda prokonservasi membe
rikan keuntungan bagi AMA-PM karena akan membuka jaringan de
ngan LSM proadat dan prokonservasi di tingkat nasional, bahkan juga
memungkinkan AMA-PM mendapatkan dukungan pendanaan inter
nasional. Dengan meluasnya jaringan, anggota AMA-PM mendapat
kesempatan pelatihan, magang, dan studi banding ke berbagai tempat
di Indonesia. Akan tetapi, dengan mendekatkan diri kepada agenda
prokonservasi, AMA-PM dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai
kepanjangan kepentingan dari YCM dan memiliki kerja sama dengan
TNS. Banyak orang di kampung-kampung melihat AMA-PM sebagai
organisasi antiperusahaan kayu.
Walaupun AMA-PM lebih banyak diwarnai agenda konservasi,
jaringan kerja lembaga ini meningkat dalam waktu singkat, sehingga
dibutuhkan penataan kelembagaan. Mereka kemudian membentuk
kelembagaan AMA-PM dari tingkat dusun, desa, kecamatan, hingga
kabupaten. Sedangkan untuk mengelola kegiatan di masing-masing
tingkatan, ditunjuklah koordinator. Lembaga di setiap tingkatan terse
but memiliki nama yang berbeda-beda, tergantung variasi dialek dan
bahasa Mentawai setempat. Meskipun demikian, struktur lembaga ini
seragam. Dilihat dari susunannya, yang biasanya terdiri ketua, wakil
ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi-seksi, lembaga itu memiliki ka
rakter yang birokratis. Kecenderungan birokratisasi dapat ditemukan
pada hierarki yang muncul dari hubungan atas-bawah antartingkat
kepengurusan. Setiap dewan adat di dusun berinduk kepada dewan
adat di desa, dan setiap dewan adat di desa diorganisasikan dalam
AMA-PM kecamatan, dan begitu seterusnya sampai tingkat kabupaten
(Puailiggoubat 2006). Di tingkat Kabupaten, AMA-PM memiliki
pengurus tersendiri yang dipilih dan berasal dari masing-masing ke
camatan. Pembentukan struktur ini agak berkebalikan dengan salah
satu tujuan diciptakannya dewan adat karena pada awalnya, dewan ini
diciptakan untuk menentang penyeragaman birokrasi ala pemerintah
yang dipandang sebagai salah satu penyebab lenyapnya kelembagaan
adat.
366 Berebut Hutan Siberut
yang mewakili pola hidup “khas”. Bagi gerakan masyarakat adat, sikap
mendua antara upaya politik dan mencari “kekhasan” ini memuncul
kan dilema tersendiri. Pekerjaan untuk mengidentifikasi gerakan adat
dimulai dari pencarian adat Mentawai yang otentik. Adat yang otentik
inilah yang akan menjadi bahan bakar kampanye untuk menunjuk
kan bahwa secara politik, orang Mentawai memiliki adat yang harus
dipromosikan karena mencirikan kelompok-kelompok yang menja
lankan kehidupannya secara khas dan berbeda dengan kebudayaan
umum. Salah satu pengurus AMA-PM mengatakan, pada awal pem
bentukannya, program-program kerja di lapangan dititikberatkan
pada pengorganisasian dan pendokumentasian cerita-cerita lisan,
aturan-aturan lokal baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
hubungannya dengan sumber daya alam yang dianggap otentik (Puai
liggoubat 2005). Tuntutan akan adanya pengakuan hak-hak adat
yang dilakukan melalui kampanye, demontrasi, dan rapat-rapat harus
dibuktikan terlebih dahulu dengan adanya bukti-bukti masih berlaku
nya adat-adat tersebut.
Bagi masyarakat Siberut, definisi dan konsep mengenai adat dan
gerakan pendukungnya tidak bersifat tunggal dan memiliki banyak
interpretasi. Istilah masyarakat adat yang dikenalkan kepada mere
ka menjadi populer, tetapi mudah mengalami pembiasan makna dan
definisi. Elite-elite AMA-PM dan LSM tidak bisa memonopoli penggu
naan istilah adat atau masyarakat adat. Bahkan, secara tidak sengaja,
AMA-PM mendorong adanya variasi penafsiran terhadap adat dengan
sebuah program kerja untuk mendata dan mendokumentasikan hu
kum adat. Hukum-hukum adat yang ada dicatat, diperiksa variasinya,
dan didiskusikan. Sebagian besar dari diskusi yang terjadi tidak banyak
menemukan garis besar yang baku, dikarenakan begitu banyak variasi
mekanisme adat yang umumnya ditentukan oleh negosasi temporal
oleh masing-masing uma dan individu di dalamnya. Kesulitan ini
membuat beberapa dewan adat berusaha memformalkan dan meng
kodifik
asikan hukum adat. Mereka menetapkan aturan adat sehari-
hari, seperti jumlah mahar pernikahan dan pembayaran denda yang
secara tradisional bersifat lentur—karena senantiasa berubah akibat
tekanan internal dan rangsangan dari luar.
Dewan adat diciptakan sebagai cara untuk mengatasi konflik an
taruma yang menjadi salah satu hambatan orang Mentawai untuk ber
satu (Pualiggoubat 2002). Penengah konflik pada dasarnya merupa
kan hal yang lazim dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan telah
368 Berebut Hutan Siberut
ada jauh sebelum dewan adat terbentuk. Fungsi ini biasanya diemban
oleh anggota uma yang bersifat netral dalam konflik (sipatalaga), yang
diminta oleh pihak-pihak yang bertikai. Lazimnya fungsi penengah
dalam riwayat panjang konflik antaruma inilah yang membuat ke
terlibatan dewan adat yang ingin membantu menyelesaikan masalah
bisa diterima. Keterlibatan dewan adat dan formalisasi urusan se
hari-hari, seperti penetapan standar biaya mahar pernikahan atau
denda-mendenda di satu sisi dianggap sebagai keuntungan. Banyak
masyarakat terbantu karena terdapat aturan yang lebih jelas. Hal ini
mengurangi persaingan antaruma karena ada pihak yang memfasilitasi
penyelesaian masalah yang dapat diterima keberadaannya oleh kedua
belah pihak.
Kehadiran dewan adat merangsang adanya formalisasi beberapa
posisi sosial masyarakat yang sudah ada dan berjalan sehari-hari se
perti sibakkat laggai, sipatalaga, dan sikebbukat. Formalisasi tersebut
membuat posisi sosial itu menjadi semakin penting, namun di sisi lain
berpeluang untuk menjadikan posisi tersebut lebih kaku dan mengu
rangi dinamikanya mengingat lembaga dan aturan adat merupakan
sesuatu yang dinamis dan terus dinegosiasikan, sehingga dengan cara
itu terus akan bertahan. Akibatnya, reaksi terhadap kemunculan de
wan adat juga beragam, tergantung konteks sosial di masing-masing
tempat. Di beberapa kawasan, masyarakat mendukung usaha dewan
adat untuk melakukan formalisasi praktik-praktik yang dianggap se
bagai adat. Dewan adat juga mereka pandang sebagai lembaga yang
dapat membantu menyelesaikan konflik sehari-hari dengan cara yang
jauh lebih baik. Tetapi di bagian lain Siberut, dewan adat dirasakan
sebagai hal baru yang diciptakan ulang, muncul belakangan, dan tidak
terlalu berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Struktur dewan adat dan AMA-PM yang diperkenalkan oleh LSM
memiliki beberapa kesulitan untuk diterapkan dalam kehidupan seha
ri-hari. Usaha ini bukanlah bagian dari kesengajaan AMA-PM untuk
membuat organisasi ini lebih hierarkis dari birokrasi pemerintah. Ada
nya perwakilan dari uma-uma menunjukkan struktur ini diharapkan
lebih demokratis dan merepresentasikan kepentingan setiap kelom
pok sosial. Kesulitan terbesar dari AMA-PM adalah membuat struktur
yang lebih cocok dengan dinamika masyarakat Mentawai yang secara
tradisi tidak memiliki sistem representasi. Pertama, secara tradisional
masyarakat Mentawai tidak mengenal adanya sebuah lembaga yang
lebih tinggi di atas uma. Kedua, otonomi yang luas antaruma dan be
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 369
22 Wawancara dengan SP, Kepala Dinas Kehutanan yang sering menjadi sasaran tembak AMA-PM.
Keterangan didapatkan dalam diskusi Forum Mahasiswa Mentawai (Formma) di Padang, November
2006.
23 Tanggapan salah satu pejabat anonim Mentawai dalam Puailiggoubat (November 2008) ketika diminta
keterangan mengenai rencana kongres ke-2 AMA-PM.
24 Misalnya, sambutan bupati Kepulauan Mentawai pada pembukaan Kongres AMA-PM I (Puailiggoubat
2006). Bupati menyatakan, “Hendaknya masyarakat adat muncul sebagai kekuatan dalam mendorong
percepatan pembangunan, masyarakat adat memampukan dirinya dalam pembangunan ... masyarakat
adat harus mandiri dalam membangun daerahnya dan tidak hanya menunggu proyek pemerintah.”
25 Laporan khusus Puailiggoubat mengenai kongres AMA-PM I, Juni 2006.
374 Berebut Hutan Siberut
Masalah Representasi
Bagi penduduk desa, terjemahan sehari-hari tentang adat sangat
lah sederhana. Orang yang diakui beradat adalah mereka yang masih
mewarisi dan menjalankan aturan-aturan dan kebiasaan yang diwarisi
dari leluhur. Kesederhanaan ini sering menjadi lebih rumit ketika
muncul lembaga dewan adat. Siapa yang berhak memimpin dewan
adat yang dibentuk di tingkat dusun dan siapa yang berhak mewakili
para uma untuk menjadi ketua dewan adat, menjadi masalah yang se
ringkali, berlarut-larut. Permasalahan ini menjadi pelik karena secara
tradisional orang di Siberut tidak mengakui kepemimpinan politik
dari anggota uma lain dan bahkan kadang dari anggota umanya. Oto
nomi dan sistem egaliter yang diwarisi membuat mereka tidak akan
rela kehidupan umanya atau keluarganya diatur oleh orang lain. Ini
menyulitkan pemimpin lembaga dewan adat untuk menjalankan tu
gas sebagaimana diamanatkan oleh organisasi.
Sebagian warga Siberut merasa bahwa dewan adat merupakan
lembaga yang dikenalkan dari luar kepada orang Mentawai dan tidak
bersumber dari budaya mereka sendiri. Pandangan ini lebih jauh
kemudian mengundang kecurigaan bahwa dewan adat menyimpan
agenda-agenda dari luar yang belum tentu sesuai dengan kepentingan
warga Siberut. Contoh adanya masalah pengakuan dan keterwakilan
menyangkut kepemimpinan AMA-PM tercermin dari keikutsertaan
seorang Sikebbukat dari Uma Sanambaliu dari Dusun Ugai, Johannes
Teutaloi. Uma Sanambaliu termasuk yang disegani di Ugai, di Lembah
Rereiket. Teutaloi, demikian Johannes Teutaloi biasa dipanggil, sa
ngat pandai dan berani berbicara di depan umum. Dia sering diun
dang menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan adat
sehari-hari seperti penentuan mahar perkawinan dan denda-men
denda. Reputasinya juga hebat dalam hal perburuan primata, suatu
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 375
Pergantian ini memiliki tujuan yang jelas: pemimpin adat harus dapat
berkomunikasi dengan publik dan dunia luar. Setelah pergantian itu,
Teutaloi tidak banyak lagi terlibat dalam kerja-kerja gerakan adat.
Dia lebih memilih berladang nilam jauh dari kampungnya. Dia juga
semakin jarang terlihat di Ugai dan lebih banyak tinggal di ladang
yang jauh dari dusun, menarik diri dari ingar-bingar wacana adat.
Perjuangan memperoleh pengakuan terhadap hak adat seperti
yang terjadi di Mentawai merupakan masalah tersendiri dan merupa
kan masalah endemik bagi gerakan adat di Indonesia (Li 2001; 2000).
Mereka yang menuntut hak-hak adat harus menggunakan bahasa-ba
hasa yang dominan dan retorika yang seragam untuk mendapatkan
suara yang lebih besar dalam wacana nasional maupun regional. Tun
tutan penghargaan terhadap hak adat juga tidak hanya melibatkan ne
gara. Sebagai bagian dari gerakan masyarakat adat secara nasional,
bahkan global, AMA-PM harus berinteraksi dengan agenda dan ak
tor-aktor dari kelompok lain—termasuk di dalamnya adalah LSM na
sional, politisi lokal, birokrat yang ingin meraih simpati, dan media
massa.
Penggantian Teutaloi oleh seorang yang bisa berbahasa Indone
sia mengindikasikan adanya kebutuhan pengakuan dari pergerakan
masyarakat adat di Mentawai dari pembaca yang lebih luas dan ka
langan orang luar kepulauan. Dengan demikian, kriteria yang dibu
tuhkan untuk menjadi representasi adat harus lebih luas dari sekadar
kemampuan menguasai beberapa persoalan adat. Seorang pemimpin
di AMA-PM harus mampu mengartikulasikan adat dengan bahasa
yang bisa dipahami publik yang luas. Dia juga harus bisa menghu
bungkan wacana adat di Mentawai dengan wacana yang lebih luas di
tingkat nasional dan internasional, seperti wacana konservasi keane
karagaman hayati, hak asasi manusia, dan otonomi. Pada akhirnya,
kriteria pemimpin adat lebih banyak ditentukan oleh pihak luar.
Hampir mirip dengan kriteria yang dikenakan untuk jabatan bupati,
kriteria pemimpin adat yang dikehendaki oleh AMA-PM menekankan
pada politik pembedaan. Kriteria pemimpin adat dihubungkan dengan
identitas sebagai Kristen (Persoon 2002; Reeves 2004). Tak hanya itu,
seorang pemimpin adat juga harus memiliki kriteria tambahan, seper
ti dapat membaca dan bicara dalam bahasa Indonesia serta mampu
melayani wawancara dengan wartawan media massa yang kebanyak
an tidak bisa berbahasa Mentawai.
Kriteria-kriteria macam itu tentu saja tidak ada presedennya dalam
perkembangan adat Mentawai dan tak memiliki keterkaitan dengan
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 377
kat nasional berikut ini: “Ia hanya mewakili dirinya sendiri. Kami tidak
meminta dia untuk pergi kemana-mana dan mengabarkan kondisi ka
mi. Kami tidak tergantung sama dia.”
31 Keterangan dari Pemimpin YCM yang lain, FS, pada pertemuan penyusunan Strategic Planning YCM
yang mengundang wakil dari AMA-PM, di Maninjau, Sumatra Barat, Februari 2008.
384 Berebut Hutan Siberut
Bisa dipastikan, kini, tidak ada lagi tempat di Siberut yang bisa me
nopang pola hidup subsisten atau tanpa menggunakan uang. Produk-
produk industri global telah masuk ke pedalaman, lembah-lembah
terpencil, tempat-tempat yang paling sukar dijangkau sekalipun. Mi
instan, gula, rokok dan tembakau, antena parabola, televisi, radio,
batu baterai, handphone, barang-barang yang dihasilkan oleh industri
kota-kota besar dapat ditemukan. Di tengah arus konsumsi mendu
nia, semua orang Siberut menginginkan kehidupan yang lebih “baik”,
yang dalam persepsi paling sederhana dalam bentuk: makan beras
berlauk ikan, minum teh dan kopi bergula teratur. Sebagian lain ingin
memiliki mesin speedboat, rumah berdinding beton, televisi, pemutar
DVD, sepeda motor, atau generator listrik. Orang-orang yang paling
susah menjangkau informasi secara teratur berhasrat anak-anaknya
dapat sekolah tinggi di Padang, Jakarta, atau Medan. Setelah lulus
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 389
dari 72 keluarga yang masuk kategori ini. Karena sifat eksklusifnya, ka
ta-kata ini sangat ingin dicapai. Kata maju atau kemajuan dan pikiran
terbuka adalah kata yang diucapkan hampir setiap hari di Siberut se
lain kata pembangunan (bandingkan Eindhoven 2007: 105).
Kemajuan mengisyaratkan suatu gerak maju yang menjauhi tem
pat di mana seseorang berasal atau bertolak. Pemahaman Siberut me
ngenai kemajuan cukup sederhana, yaitu sesuatu yang lebih “hebat”
dari masa lalu. Istilah maju digunakan dalam arti yang saling terkait
dengan masa kini dan di masa yang lalu. Bepergian dengan sepeda
motor dianggap lebih maju dibandingkan bersepeda, dan bersepe
da lebih maju daripada bersampan. Menggunakan generator listrik
lebih maju dari lampu minyak tanah, dan mengirimkan pesan sing
kat melalui telepon seluler berarti lebih maju daripada menulis surat.
Dengan demikian, dalam persepsi orang Siberut, maju dan memba
ngun juga berarti orang harus meninggalkan cara-cara hidup lama
dan mulai mengikuti gaya hidup baru.
Orang Siberut sangat mengagumi gaya hidup modern yang kon
sumtif sebagaimana cara hidup orang-orang lain di kota. Ada beberapa
menyatakan bahwa gaya hidup ‘tradisional’ memiliki keunggulan dan
lebih cocok dengan imajinasi tentang apa yang seharusnya menjadi
orang Mentawai, namun pandangan ini minoritas. Kebanyakan orang
mengasosiasikan kehidupan yang lebih baik adalah apa yang mereka
lihat dari para pendatang atau pegawai negara. Orang-orang itu dilihat
sebagai orang sukses karena dipersepsikan tidak pernah memiliki ke
sulitan ekonomi, minum teh atau kopi dengan gula secara rutin, se
ring bepergian ke kota-kota secara teratur atau memiliki barang yang
langka di tempat itu seperti generator atau mesin tempel.
Untuk mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih baik itu,
orang Siberut berupaya menyiasati semua wacana dan jalan yang ter
sedia. Masyarakat Siberut taktis memanfaatkan setiap kesempatan
yang bisa meningkatkan akses dan kontrol terhadap hutan. Mereka
menyadari bahwa hutan dapat memberikan kehidupan yang lebih ba
ik. Untuk itu, sangat penting melihat mereka sebagai kelompok yang
sangat aktif dalam proses-proses perubahan. Masyarakat Mentawai di
Pulau Siberut bukanlah “korban atas nama pembangunan” yang me
nyerah begitu saja. Keliru bila memandang masyarakat Siberut seper
ti masyarakat pedalaman yang menjadi “korban yang berjuang—dan
seringkali bukan perjuangan yang ideal—dalam menghadapi perusa
kan dari luar (kapitalisme, konsesi kayu, kebijakan pemerintah)” (Li
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 391
2 Keterangan dari warga Gotap, Desa Saliguma, Teu Robert Sarereake, November 2006.
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 395
3 Pernyataan Boigot Pei-pei, salah satu warga Desa Madobak, dalam pertemuan Aliansi Masyarakat
Adat yang dihadiri oleh kalangan prokonservasi di kantor taman nasional di Maileppet, Juni 2004.
396 Berebut Hutan Siberut
5 Korta, Sipayung, dan Simanjuntak adalah sebutan singkat untuk Kortanius Sabeleake, Jan Winen
Sipayung, dan Sandang Paruhum Simanjuntak. Mereka bertiga pernah menjadi pengurus YCM
yang aktif menolak HPH atau IPK. Surat ini juga menyatakan bahwa pengelolaan hutan milik Uma
Samalinggai tidak membutuhkan persetujuan LSM. Pernyataan ini senada dengan pernyataan Aman
Puput di Bab 7 yang mempermasalahkan representasi LSM dalam mengartikulasikan kepentingan
masyarakat Mentawai.
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 399
7 Diskusi dengan salah satu pekerja PT KAM di kapal Sumber Rejeki dalam perjalanan pulang ke
Padang, Juli 2006.
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 401
wakilnya menjawab:
Saya sebenarnya tidak setuju dengan perusahaan kayu. Mereka
merusak hutan kami. Akan tetapi, saya tidak ada uang untuk
membayar sekolah anak. Lagi pula, saya sendiri tidak akan bisa
menolak perusahaan kayu. Suku besar kami sepakat menjual hu
tan. Mereka yang menjadi staf LSM dan bicara tentang konser
vasi saja tidak bisa mencegah sukunya menyerahkan hutannya
kepada perusahaan kayu. Apalagi orang seperti kami.8
Fragmentasi Sosial
Akses dan kontrol terhadap eksploitasi hutan di Pulau Siberut
cenderung didominasi oleh kekuatan dari luar. Walaupun masyarakat
Siberut berjuang keras meningkatkan posisi tawar dengan berbagai
cara, misalnya dengan menggunakan wacana adat, posisi mereka tetap
lemah. Mereka hanya menerima sedikit keuntungan dari eksploitasi
hutan. Ada dua faktor yang menyebabkan penghasilan dari penjualan
kayu ini tidak bersifat berkelanjutan. Pertama, kurangnya informasi
dan rendahnya kapasitas untuk bernegosiasi membuat mereka mudah
ditipu makelar kayu dan pengusaha. Lebih dari itu, akses terhadap
kekuasaan, kecukupan modal dan teknologi, serta posisi dalam struk
tur ekonomi-politik yang tidak demokratis menjadi faktor yang jauh
lebih menentukan dibandingkan sekadar informasi. Sebagian warga
Siberut berusaha terlibat secara aktif dalam industri kayu, akan te
tapi, mereka kesulitan mendapatkan posisi yang setara. Elite-elite
terdidik Mentawai yang dulunya tergabung dengan LSM, yang kemu
dian bekerja di perusahaan kayu, menempati posisi yang kurang
strategis dan nampaknya sudah cukup puas dengan keterlibatannya
yang terbatas. Mereka seringkali hanya dimanfaatkan untuk menjadi
tameng bagi perusahaan untuk meredam konflik di masyarakat atau
mencitrakan bahwa perusahaannya telah mempekerjakan orang
Mentawai. Sebagian besar elite ini menjadi pekerja rendahan yang ti
dak dapat melakukan banyak hal karena kontrol terhadap modal dan
teknologi masih dikuasai oleh pengusaha dari luar.
Selain bahwa rantai perdagangan kayu membuat mereka mene
rima bagian yang kecil, faktor yang kedua adalah distribusi pengha
silan tersebut. Uang dari perusahaan kayu harus dibagi secara merata
kepada seluruh laki-laki dewasa dalam anggota uma. Dalam suatu ka
404 Berebut Hutan Siberut
sus Uma Sarereake yang menjual tanahnya kepada PT KAM di Bat Si
rimuri di Siberut bagian tengah, mereka mendapat uang 380 juta dari
pengolahan hutannya seluas sekitar 200 ha. Pembayaran kompensasi
tersebut dilakukan selama tiga kali. Kompensasi ini terlihat cukup
besar dilihat secara sekilas. Akan tetapi, jumlah yang diterima itu
harus dikeluarkan untuk mengganti biaya pertemuan anggota uma
dalam rangka penentuan hasil uang penjualan kayu. Uang tersebut
juga berkurang karena mereka terlibat konflik dengan uma lain dan
perlu membiayai rapat-rapat penyelesaian konflik tanah yang butuh
uang tidak sedikit. Pengurusan pembayaran membutuhkan ongkos
tersendiri, untuk bolak-balik dari dusun ke lokasi perusahaan kayu.
Ini belum termasuk biaya-biaya khusus untuk wakil uma mereka yang
bernegosiasi dengan perusahaan kayu. Ketika dibagi kepada seluruh
anggota, setiap keluarga menerima sekitar 10-20 juta. Uang yang
didapatkan setiap keluarga tidak cukup besar dan jumlahnya pun
bervariasi dari satu keluarga ke keluarga yang lain.
Proses mendapatkan uang kompensasi ini juga seringkali mem
bawa efek lain, yakni terjadinya fragmentasi pada tingkat akar rumput.
Kehadiran perusahaan kayu merangsang penyingkapan kembali seja
rah lisan asal-usul kepemilikan tanah dan hutan. Identitas adat me
ningkatkan kesadaran lokal tentang hak atas hutan. Mereka melihat
peluang untuk bekerja sama dengan perusahaan kayu—meskipun
tidak seluruh pemilik tanah dan hutan akan bekerja sama. Maka,
penduduk Siberut, yang hutannya termasuk dalam kategori hutan
produksi dan masuk wilayah konsesi perusahaan kayu, mulai meng
inventarisasi sejarah tanah dan lahan menurut sejarah asal-usul uma
nya. Mereka juga mulai mengunjungi hutan-hutan mereka dan me
lihat tata batasnya. Kesadaran yang tinggi akan teritori tanah milik
umanya meningkatkan ketegangan antaruma.
Kehadiran perusahaan kayu menjadi faktor yang memicu mun
culnya pembicaraan mengenai tanah dan hutan. Konflik biasanya
seputar masalah siapa yang berhak menyerahkan lahan hutan, di
mana batas-batas tanah dan hutan yang akan diserahkan, siapa ang
gota uma yang berhak mendapatkan hak atas tanah warisan leluhur,
hingga bagaimana leluhur mereka dulu mendapatkan tanah. Klaim-
klaim kepemilikan tanah dan hutan saling tumpang tindih. Proses jual
beli dan transaksi menyangkut tanah yang terjadi selama beberapa
generasi sangat kompleks sehingga penentuan siapa pemilik tanah
harus melibatkan perbincangan-perbincangan antaruma yang mema
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 405
9 Di Siberut, konflik antaruma sering muncul setiap kali perusahaan kayu masuk ke hutan yang diklaim
oleh salah satu uma; misalnya, sengketa Uma Satoutou dan Uma Sarereake yang berebut tanah dan
hutan di Bat Sirimuri dekat Desa Saibi di Siberut Tengah yang dikelola oleh PT KAM. Kasus ini bisa
diselesaikan meskipun dari penelusuran berita Puailiggoubat ( 2003-2009), terdapat 47 berita konflik
antaruma dan antaranggota uma. Angka ini kemungkinan lebih besar karena beberapa konflik tidak
diberitakan.
406 Berebut Hutan Siberut
yang sangat kuat diwarnai hak sama rata, setiap orang berhak menda
patkan daging buruan atau daging perayaan yang sama. Akan tetapi,
untuk mendapatkan hak tersebut, tidak semua orang memberikan
kontribusi tenaga kerja dan sumbangan daging ternak yang sama. Di
dalam uma, anggotanya ada yang rajin, malas, mau berkorban atau
bertindak egois. Ini juga berkaitan dengan adanya corak otonomi
yang sangat besar pada masing-masing individu anggota uma. Tidak
semua orang pandai dan rajin berburu. Tidak semua anggota uma
rajin beternak. Akan tetapi, jika sudah menyangkut hak, semua orang
menuntut jatah daging buruan atau pembagian daging ritual yang
sama.
Seperti yang disebutkan Schefold (1991), hubungan di dalam uma
diwarnai oleh ketegangan terus-menerus. Ketegangan ini berakar da
ri keinginan setiap keluarga inti untuk mandiri dan mendapatkan
gengsi serta kejayaan pribadi, padahal dia juga memiliki kewajiban-
kewajiban terhadap kelompok umanya. Di masa lalu, ketika produksi
subsisten belum menghasilkan surplus kekayaan dan kebutuhan te
naga kerja harus dibagi secara merata, gengsi-gengsi pribadi ini hanya
dihasilkan melalui statusnya sebagai sikerei atau melalui kepemilikan
barang mewah dari luar (Schefold 1991: 118). Kehendak meraih gengsi
pribadi ini juga muncul karena rivalitas dengan individu dari uma
yang lain. Untuk menaikkan statusnya di hadapan orang lain atau ke
lompok lain, seseorang harus memiliki banyak barang dari luar seper
ti kuali, periuk, gong, manik-manik dari kaca, dan kain tekstil. Terka
dang, keinginan memperoleh barang-barang dari luar ini dilakukan
dengan cara menghindari kewajiban menyumbang harta kepada uma.
Padahal, upaya mengejar cita-cita pribadi ini tidak boleh menyebabkan
terbengkalainya kepentingan uma.
Dalam banyak kasus, perpecahan uma sering muncul pada waktu
perayaan ritual, yaitu ketika keluarga yang kaya menolak memberikan
sumbangan dengan takaran yang menurut anggota lain pantas ditun
tut dari kekayaannya. Jika dirasa oleh anggota uma lain, cita-cita dan
gengsi pribadi salah satu anggotanya ini mulai mengalahkan solidaritas
uma, harmoni uma akan terganggu. Konflik pun pecah. Jika kemudian
penyelesaian konflik secara damai tidak terwujud, sebagian anggota
uma akan menyingkir ke lembah lain dan mendirikan uma baru.
Apabila anggota uma sudah semakin besar dan diskusi melalui
musyawarah tidak lagi bisa menyelesaikan masalah internal, orang
Mentawai biasanya akan menyatakan bahwa pembagian hasil buruan
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 409
mengingat apa yang telah tidak ingin mereka jalani tentang kehidupan
leluhur mereka.
Perubahan-perubahan yang dibayangkan ini tentu saja akan me
merlukan perumusan ulang beberapa hal lama seperti rivalitas uma,
penyingkapan sejarah genealogi, konflik batas-batas wilayah yang be
berapa waktu diabaikan. Perpecahan uma yang disimbolkan sebagai
tidak cukupnya “daging buruan” adalah bentuk dari ekspresi lokal
terhadap perubahan itu. Jika dulu gengsi antaruma dan pribadi di
simbolkan dari persaingan untuk mendapatkan daging buruan, da
ging perayaan ritual, serta benda-benda dari logam, kini orang Siberut
memandang kehidupan orang di kota-kota besar lebih bergengsi.
Persaingan yang dulu diarahkan kepada uma atau anggota uma lain
sekarang beralih menjadi dorongan untuk hidup setara dengan orang-
orang di Jakarta, Medan, atau pusat-pusat dunia yang lain. Dalam ke
lakar sehari-hari, berulang kali mereka menyatakan keinginan untuk
bisa naik mobil mewah yang diiklankan di televisi, menggunakan te
lepon seluler yang canggih, memiliki gaji yang dibayarkan secara ter
atur, bisa menenteng laptop ke mana-mana, dan anak-anak mereka
bisa bepergian ke luar negeri.
Hasrat-hasrat tersebut tertanam pelan-pelan dan kemudian
menjadi bahasa sehari-hari. Kini, hasrat itu sering muncul dalam
dialog-dialog informal dan bahan bercanda di kedai-kedai, beranda
rumah, atau bahkan di tempat ibadah. Setiap menonton televisi atau
melihat gambar-gambar di koran tentang kehidupan orang kota yang
dianggap lebih mewah, orang Siberut akan menertawakan atau mem
parodikan diri mereka sendiri sebagai pihak yang tertinggal atau
lebih miskin. Idiom yang sering terdengar dari orang Siberut, “Kunen
ita si Mentawai, si magebak, si tak bulagat.”11 Arti idiom ini kira-
kira, “Itulah kita, orang Mentawai yang miskin. Tidak punya uang.”
Namun kali lain, terdapat humor yang menyebut bahwa posisi mereka
sangat kuat, ‘kalau kiiita orang Mentawai’. Ucapan yang terakhir ini
sangat sering diucapkan untuk menunjukkan keunggulan-keunggul
an orang Siberut terhadap orang luar. Misalkan ketika tema mengenai
tanah-tanah dan hutan yang luas, mereka akan menyombongkan diri
‘kalau kiiiita orang Mentawai’. Rasa bangga yang ditunjukkan dalam
kalimat tersebut bukanlah dengan nada yang menonjolkan diri, tetapi
sebagai letupan humor.
11 Kata miskin juga bisa dianggap setara dengan arti “tertinggal” atau “tidak berdaya”.
414 Berebut Hutan Siberut
dan kontrol terhadap kekuasaan uma. Yang kedua, orang Siberut te
lah berubah baik oleh dinamika internal, migrasi lokal, maupun pro
ses-proses produksi yang berlangsung ratusan tahun, yang sedikit
banyak mengubah relasi-relasi produksi dan jalinan sosial di wilayah
tertentu. Hubungan-hubungan produksi ini bersifat lentur, mudah
berubah dan adaptif terhadap perubahan. Imajinasi tentang teritori
dan relasi produksi yang mantap dan stabil hanyalah fantasi aktivis
perkotaan yang mengharapkan adanya masyarakat yang masih murni
dan utuh dan karenanya, bersifat ahistoris.
Demikianlah, masyarakat Siberut bukanlah entitas yang tunggal.
Mereka memiliki pandangan yang bermacam-macam, motivasi yang
beran eka, dan kepentingan yang tumpang-tindih. Mereka dengan mu
dah berganti-ganti posisi, berubah-ubah wajah dan masuk ke dalam
medan kekuasaan apa saja yang tersedia. Dan keikutsertaan dalam
wacana kekuasaan itu tidak harus sama dengan tujuan dan agenda
kekuasaan yang diikuti. Misalnya, dengan menggunakan wacana adat,
mereka dapat menjustifikasi klaim otonomi dan independensi mere
ka, serta mengkomersialisasikan hutan atau mengkonservasinya. Per
juangan yang dilakukan oleh organisasi konservasi dan aktivis ling
kungan dalam mempromosikan hak-hak masyarakat atas sumber daya
alam sering tidak sesuai harapan yang diinginkan oleh masyarakat
sendiri. Perjuangan itu membutuhkan banyak syarat dan sukar di
penuhi oleh masyarakat. Beberapa harapan yang tidak bisa dipenuhi
oleh perjuangan konservasi justru menghasilkan pukulan balik dari
masyarakat sendiri. Sementara itu, dalam skala yang lebih masif, telah
terjadi perubahan dan pergeseran internal di tingkat uma, di mana
generasi yang lebih muda mulai berpikir untuk menjual tanah-tanah
umanya. Ketiadaan ketrampilan, kecukupan modal dan akses dengan
pasar serta posisi marjinal memudahkan mereka untuk kehilangan
tanah-tanah leluhurnya. Mereka mulai mengakumulasikan kekayaan
dari penjualan tanah-tanah tersebut, setelah lebih dulu mengubah ke
pemilikan tanah menjadi milik pribadi.
Klaim adat atas akses dan kontrol terhadap sumber daya hutan
tetaplah merupakan klaim yang rapuh dan sangat rentan terhadap ko
optasi maupun pelanggaran dari kepentingan dan kekuasaan lain yang
lebih kuat. Meskipun orang Siberut telah secara jeli menginterpretasi
wacana adat untuk meningkatkan bobot klaim mereka terhadap hu
tan, pada tingkatan tertentu, mereka masih butuh pengakuan dari
negara. Orang Siberut memerlukan alat untuk mengkomunikasikan
428 Berebut Hutan Siberut
klaim mereka agar bisa diterima oleh pihak lain. Pengakuan dari ne
gara bisa membantu memberi legitimasi dan mengamankan klaim
tersebut untuk jangka waktu yang panjang. Hal ini menjelaskan sikap
pragmatis orang Siberut yang senantiasa berusaha membangun aliansi
dengan pihak luar. Tujuan mereka adalah mendapatkan legitimasi dari
komponen yang jauh lebih kuat seperti negara. Namun, upaya mereka
tersebut seringkali menumbuhkan dilema dan efek tak terduga.
Orang Siberut selalu memperhitungkan risiko dan keuntungan
dari setiap usaha “praktik politik” mereka, tidak terkecuali klaim atas
hutan mereka. Secara hati-hati mereka menjajaki kemungkinan yang
didapat dan apa yang harus dikorbankan. Sebagian besar orang Si
berut tidak harus selalu memverbalkan tuntutan otonomi dan pe
ngembalian kekuasaan karena tuntutan itu sudah menyatu di dalam
perilaku. Orang luar biasanya kesulitan memahami kerumitan dan
licinnya perhitungan mereka. Perhitungan-perhitungan dalam meng
hadapi perubahan medan ekonomi politik yang baru ini sering harus
mengorbankan solidaritas bersama dan menyebabkan fragmentasi di
tingkat uma atau keluarga. Resiko dan keputusan-keputusan taktis
yang diambil orang Siberut untuk menghadapi situasi ketidaktentuan
ekonomi politik baru pascaotonomi seringkali disalahartikan oleh
orang luar. Jika orang Siberut memilih untuk mendapatkan uang dari
perusahaan kayu, para aktivis konservasi menyebutnya kesadaran kon
servasi yang rendah, aktivis LSM menyebutnya tidak berkomitmen,
dan para pejabat menyebutnya oportunis, tidak mau maju, dan terbe
lakang. Jika mereka terlibat dalam proyek pembangunan, para biro
krat menetapkan syarat-syarat tertentu agar orang Siberut bisa terlibat
di dalamnya. Pendek kata, hampir semua orang memiliki rumusan
bagaimana masyarakat Siberut dan bagaimana mereka harus berubah
dan diubah. Tetapi, bagi orang Siberut, tidak demikian halnya. Peri
laku-perilaku mereka yang terkesan acak, tidak patuh, oportunis, dan
mementingkan diri sendiri adalah bagian dari semangat untuk tetap
mempertahankan otonomi mereka, melalui hitung-hitungan yang
masuk akal dan rasional.
Kekuasaan atas hutan yang diperebutkan di Siberut memberi gam
baran, sekuat apa pun kekuasaan tetap akan mengalami fragmentasi
di tingkat lokal. Serinci apa pun rencana, perhitungan, serta strategi
yang dibangun oleh pihak-pihak luar untuk mendisiplinkan dan me
ngontrol orang Siberut, akan selalu ada ruang manuver untuk diin
terpretasi, diadopsi, atau pun dilawan di tingkat lokal. Kekuasaan
Penutup 429
tidak berwajah tunggal dan bisa muncul dalam pelbagai bentuk. Bagi
orang Siberut, kekuasaan ini tidak pernah dilawan dengan cara yang
tunggal juga. Daripada memaksakan diri untuk melawan kekuasaan
itu, mereka melibatkan diri dalam kekuasaan yang tersebar itu. Da
lam menghadapi kekuasaan tersebut mereka mengembangkan stra
tegi yang fragmentatif, tidak sistematis, terjadi secara individual atau
dalam tiap uma (tergantung kadarnya), taktis dan licin, dan memper
timbangkan untung-rugi, mementingkan diri sendiri, dan mengako
modasi kekuasaan yang dominan. Hal ini memiliki konteks sosial dan
kultural.
Masyarakat Mentawai tidak mengenal sistem perwakilan ke
pentingan melalui pihak lain. Secara historis, masyarakat Mentawai
mewarisi struktur politik warisan neolitik yang tidak pernah memi
liki atau membentuk unit politik di luar uma. Sebagai unit sosial,
uma mewakili struktur sosial yang egaliter tanpa ada bentuk tekan
an dan hierarki politik atau pola kepemimpinan terorganisir. Me
reka terbiasa, akibat dari struktur sosial dan corak produksi, bebas
melakukan apa saja tanpa ada intervensi politik orang lain. Dengan
lokasi permukiman yang tersebar, mereka juga kesulitan membentuk
kepemimpinan yang lebih terstruktur untuk melawan kekuasaan dari
luar. Yang paling cocok dengan model sosial seperti ini, dalam me
lakukan negosiasi pihak luar, adalah dengan mengikuti setiap frag
mentasi kekuasaan itu sambil melanggengkan kepentingan mereka
sendiri. Masyarakat Siberut dengan sendirinya tidak memiliki alat
institusional untuk berkonfrontasi langsung dengan kebijakan peme
rintah dan negara yang jauh lebih kuat. Kekuatan negosiasi mereka
terletak pada kemampuan mereka mengikuti kekuasaan yang ada,
menggunakan bahasa-bahasa dominan, mengikuti pertemuan-perte
muan dengan penguasa, melakukan tarik-ulur, serta mengulang dan
membalikkan arti dan makna kekuasaan yang dominan itu. Jenis ne
gosiasi ini memang tidak akan mengubah sesuatu yang besar, misal
nya menghapus kawasan taman nasional atau membatalkan izin per
usahaan kayu. Akan tetapi, tidak boleh dilupakan kenyataan bahwa
dengan cara itu masyarakat Siberut dapat mempertahankan corak
egaliter dan struktur sosial mereka yang otonom.
Cara orang Siberut melawan kekuasaan akan dengan mudah
dilihat sebagai sebuah kelemahan. Namun, dengan cara-cara itulah
orang Siberut terus-menerus menemukan strategi yang tepat agar
dapat mempertahankan kehidupan mereka di antara kekuasaan-ke
430 Berebut Hutan Siberut
duri dan hutan” itu tidak membuat sesat, menggoreskan luka, atau
menghentikan agen dan kekuasaan dari luar untuk menjarah dan
menguasai hutan Siberut, sesekali (meskipun akan sangat jarang dan
kemungkinannya kecil sekali) orang Siberut akan bertindak lebih
berani. Dengan meminta dukungan LSM, beraliansi dengan kelompok
lain, atau berjuang sendiri, mereka bisa meletupkan aksi-aksi yang
lebih keras seperti kisah dari Teluk Subelen di Saibi pada Mei yang
lengas dan berkabut itu, yang telah mengawali buku ini. Orang
Siberut seperti polip anthozoa yang sedang membangun karangnya
sendiri untuk, dalam jangka waktu yang lama, akan mengkandaskan
kapal-kapal yang mengangkut kekuasaan, ide-ide, pembaharuan dari
luar—sekaligus membangun masa depannya sendiri.
Daftar Pustaka
107, ILO.
----. 1989. The Indigenous and Tribal Peoples Convention No. 169,
ILO.
INFORM. 2004. Luka Hutan Siberut. Jakarta: INFORM.
Jepson, P. 2001. Biodiversity and Protected Area Policy: Why is
It Failing in Indonesia? Thesis di University of Oxford. Tidak
dipublikasikan.
Jepson, P. dan R. J. Whittaker. 2002. “Histories of Protected
Areas: Internationalization of Conservationist Values and
Their Adoption in the Netherlands Indies Indonesia” dalam
Environment and History, 8:129-172.
Kahn, J. S. 1993. Constituting the Minangkabau: Peasant, Culture
and Modernity in Colonial Indonesia. Berg: Providence.
----. 2002. “Membudayakan Daerah Pedalaman Indonesia” dalam
T. M. Li (peny.), Proses Transformasi Daerah Pedalaman di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kaimowitz, D., C. Vallejos, P. Pacheco, dan R. Lopez. 1998.
“Municipal Governments and Forest Management in Lowland
Bolivia” dalam Journal of Environment and Development, 71:
45-59.
KMSPM. 2005. Illegal Logging & Korupsi Berkedok Izin
Pemanfaatan Kayu (IPK) dari Bupati Kabupaten Kepulauan
Mentawai, Lembar Fakta dan Opini Hukum. Dokumen internal
tidak dipublikasikan.
Koentjaraningrat (peny.). 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
Kompas. 1981. “Status Baru untuk Siberut” dalam Kompas, 18
Desember.
----. 2001. “Menteri Terbitkan LGC untuk Unand” dalam Kompas, 27
April.
----. 2003. “Depdagri Menilai 7000 Perda Tidak Layak dalam
Kompas, 14 Agustus.
Kruyt, A. 1979. Suatu Kunjungan ke Kepulauan Mentawai. Jakarta:
Yayasan Idayu.
Larsen, S. C. 2003. “Promoting Aboriginal Territoriality through
Interethnic Alliance: The Case of the Cheslatta T`en in Northern
British Columbia” dalam Human Organization, 621: 74-84.
Larson. A.M. dan J. Ribot. 2007. “The Poverty of Forestry
Policy: Double Standards on an Uneven Playing Feld” dalam
444 Berebut Hutan Siberut
Rainforest Movement.
Skephi. 1992. Destruction of the World’s Heritage: Siberut
Vanishing Forest, People, and Culture. Jakarta: Skephi.
----. Tanpa Tahun (tt). Laporan Pemetaan Partisipatif 10 Dusun di
Siberut, Skephi, Jakarta. Dokumen tidak dipublikasikan.
Soedjito, H dan E. Sukara (peny.). 2006. Kearifan Tradisional dan
Cagar Biosfer di Indonesia: Prosiding MAB 2005 untuk Peneliti
Muda dan Praktisi Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Komite
Nasional MAB Indonesia-LIPI.
Soedjito, H. (peny.). 2004. Panduan Cagar Biosfer di Indonesia.
Jakarta: LIPI.
Soedjito, H., Y. Purwanto, dan E. Sukara (peny.). 2009.
Situs Keramat Alami: Peran Budaya dalam Konservasi
Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Spencer, J. H. 1995. “Public Forest and Private Paddies in the
Mekong Delta of Vietnam” dalam Tropical Resources Institute
Working Paper. No.90. New Haven: Yale University.
Spina, B. 1981. Mitos dan Legenda Suku Mentawai. Jakarta: Balai
Pustaka.
Suara Pembaruan. 1997. “4 Orang Kepala Suku di Siberut Selatan
Gugat Mensos dan Gubernur” dalam Suara Pembaruan, 16
Maret.
Subagio, G. 1972. Survei Kelompok Hutan Teluk Subeleng-
Saturatura, Propinsi Sumatra Barat, Laporan No. 307,
Direktorat Perencanaan, Departemen Pertanian, Bogor.
----. 1973. Survei Kelompok Hutan Siberut Barat, Propinsi Sumatra
Barat, Laporan No. 434, Direktorat Perencanaan, Departemen
Pertanian, Bogor.
Suhandi, A dan D. Anggraini. 2002. Economic Valuation of Natural
Resources in Siberut Island (An Additional Component of
Feasibility Study of Conservation Concession in Siberut Island),
Conservation International Indonesia Program.
Suparlan, P. 1995. Orang Sakai di Riau. Jakarta: Yayasan Obor.
Suporaharjo. 2005. “Strategi dan Praktek Kolaborasi: Sebuah
Tinjauan” dalam Suporaharjo (peny), Manajemen Kolaborasi:
Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Jakarta:
Pustaka Latin.
Susilaningtyas. 2002. “Surat pembaca” dalam Puailiggoubat, 2,
Edisi Maret.
Daftar Pustaka 455