You are on page 1of 496

Berebut Hutan

SIBERUT
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara ma­sing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (sa­tu juta rupiah), atau pi­dana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana di­mak­sud pa­da
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda pa­ling ba­nyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Berebut Hutan
SIBERUT

Darmanto dan Abidah B. Setyowati

Jakarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan UNESCO
Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi
© Darmanto dan Abidah B. Setyowati

KPG 901 12 0597

Cetakan Pertama, Oktober 2012

Penyunting
Koen Meyers
Mahfud Ikhwan
Ining Isaiyas

Perancang Sampul
Rio Tupai

Penataletak
Bakti Setyanto

Foto Sampul
Koen Meyers; Sikerei dari Uma Alimoi, Desa Matatonan..

DARMANTO, dan Abidah B. Setyowati


Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2012
xxxvi+ 459 hlm.; 15 cm x 23 cm
ISBN: 978-979-91-0503-5

Disclaimer
Penggunaan istilah dan penyajian materi dalam keseluruhan publikasi ini tidak men­cer­minkan
pandangan dan pendapat UNESCO mengenai status hukum suatu negara, wilayah, kota atau
daerah kekuasaan negara tersebut, atau penentuan batas-batas negara tersebut. Penulis
bertanggung jawab atas pemilihan dan penyajian fakta-fakta yang ada di dalam buku ini dan atas
segala pendapat yang dinyatakan di dalamnya, dan tidak mencerminkan posisi atau kebijakan
UNESCO dan tidak mengikat kepada UNESCO.

Buku ini diterbitkan atas kerjasama KPG dan Kantor UNESCO Jakarta dengan du­kungan dari
Pemerintah Spanyol melalui Badan Kerjasama Pembangunan Inter­na­sio­nal Spanyol (AECID)
dan Organisasi Otonomi Taman Nasional Spanyol (OAPN) sebagai bagian dari kerjasama
antara Pemerintah Spanyol, UNESCO, dan Pemerintah Indonesia dalam kegiatan konservasi di
Indonesia.

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan
Persembahan

Darmanto mempersembahkan buku ini untuk tuhan kecilnya: Mak’e


Abidah Billah Setyowati mempersembahkan buku ini untuk: Bapak
dan Ibu, sumber inspirasi yang tak pernah habis.
Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih ix


Pengantar xiii
Prakata xx
Daftar Peta xxiv
Daftar Gambar xxv
Daftar Tabel xxvi
Daftar Singkatan xxvii
Daftar Istilah xxxi

Bab1 Pembukaan: Kisah dari Saibi dan Politik Ekologi 1


Bab 2 Keberagaman dan Zona Abu-abu:
Siberut dalam Lintasan Sejarah 33
Bab 3 Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 86
Bab 4 Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan:
Negara, Pasar, dan Hutan 147
Bab 5 Konservasi Alam: Wacana Global,
Aliansi Transnasional, dan Praktik Lokal 191
Bab 6 Pembentukan Ulang Identitas:
Adat, LSM, dan Wacana Global 234
Bab 7 Otonomi, Kekuasaan Baru, dan
Langgengnya Rezim Kayu 278
Bab 8 Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 323
Bab 9 Untuk Kehidupan yang Lebih Baik:
Agenda Lokal dan Dinamika Internal 388
Bab 10 Penutup: Narasi atas Hutan dan Kekuasaan 416
Daftar Pustaka 432
Tentang Penulis 459
Ucapan Terima Kasih

Penulisan dan penyelesaian buku ini memakan waktu lebih dari


tiga tahun. Panjangnya pernyataan terima kasih merupakan petunjuk
tentang betapa banyak yang harus kami lewati, utang budi yang
harus kami bayar, dan seberapa dangkalnya kemampuan kami sen­
diri. Pertama kami harus menyebut Koen Meyers, yang lama bekerja
bersama Darmanto di Siberut (Let’s write our own epitaph, Camerad!).
Di fase akhir penulisan buku ini, perhatiannya pada detail-detail, kri­
tik­nya yang tajam dan terkadang memedihkan, dan perspektifnya
yang sangat mendalam tentang Siberut membantu buku ini terhindar
dari beberapa kecerobohan dan kesalahan fatal. Yang kedua, kami
akan menyebut Wiratno, yang kini bekerja di Direktorat Jenderal
PHKA, Kementerian Kehutanan. Setelah bertemu dengannya, mimpi
kami menemukan alurnya. Tanpa harus bersepakat dengan analisis
dan kesimpulan kami, keduanya ikut membantu menghadirkan bu­ku
ini dengan caranya masing-masing. Mereka berdua berjasa mem­bawa
kami untuk terlibat—dalam pengertian fisik, emosional, dan in­te­lek­
tual—dengan Siberut. Dan pada akhirnya, keduanya juga memberi
kontribusi besar pada aspek produksi/penerbitan buku ini.
Memilih di antara orang yang ada di Siberut untuk me­nyam­
pai­kan terima kasih merupakan tugas yang lebih rumit lagi ka­re­na
kebaikan budi, kesabaran, dan kesediaan membantu yang mereka
berikan. Pertama, kepada keluarga Sanambaliu di Ugai, khususnya
Sikebbukat Uma Teutaloi Sanambaliu dan Marcelias “Aman tak Gozi”
x Berebut Hutan Siberut

Sanambaliu di mana Darmanto mengerjakan dan men­dapatkan kerja-


kerja ‘etnografinya’; juga untuk Antonius Sanambaliu, Kepala Desa
Ma­dobak (2001-2009); Pak Selester “Aman Letang” Sagurujuw atas
ke­tulusan hati, pemahaman, dan inspirasinya; Damianus Sailuluni,
To­raja Samaileppet, Hendrikus Tuppak Napitupulu; Samuel Gultom,
Wal­man Pandapotan, Damianus Salaisek, Simon Sapojai, Levi Sa­re­­
rea­ke, Jakobus Sakaliao, “Si Bokbok Dere” Sagari, almarhum Aliha­
kim Sabulat-Sagitcik, Wiwi Satoko, Jon Satoko, Maximo Satoko,
Aman Kageng Sakeletuk, Usdek Amin dan keluarga, dan Syahrudin.
Juga kepada keluarga-keluarga di Siberut yang telah membantu kami
de­ngan caranya sendiri-sendiri, dan sebaiknya memanglah harus ter­
samar dan tidak mendapat perhatian akibat apa yang mereka ucapkan
atau informasi yang mereka berikan, yang tak terhitung jumlahnya.
Kepada merekalah buku ini memiliki utang budi terbesar.
Teman-teman di Perkumpulan Siberut Hijau (Pasih) dan eks­
po­nen kolaboratif manajemen Siberut; Joseph Napitupulu, Aloysius
Widya Utama (Yoyok), Alexius Samaileppet, Indah Fajarwati, Des­
nita Natalia, Andreas “Si Geng” Seppungan, Johan Napitupulu, Lau­
rensius Saruruk, Albertina Sakukuret, Erlina Saleleubaja. Pekerjaan
me­re­ka sangat dekat dengan penulisan buku ini. Terutama atas afili­
asi kelembagaannya—Darmanto adalah salah satu pendiri dan men­
jadi direktur pertama lembaga ini. Mereka adalah anak-anak muda
Siberut yang memiliki komitmen tinggi dan terus belajar di tengah
keterbatasan. Teman–teman dari Taman Nasional Siberut (TNS)
juga telah membukakan pintu bagi kami untuk mengenali bagaimana
birokrasi konservasi bekerja di Indonesia dari jarak yang dekat, malah­
an sangat dekat. Di antara yang harus disebut namanya adalah Ahmad
Munawir, Fifin Nopiansyah, Mufti Ginanjar, Erlius “Konsultan” Sa­le­
leu­baja’, Andi “Jolaik” Warisman, Mateus Liggit, Musrizal.
Kami wajib mengucapkan terima kasih kepada aktivis di Padang
dan seluruh Kepulauan Mentawai. Yang utama adalah teman-teman
YCM (Kortanius Sabeleake, Sandang Simanjuntak, Frans Siahaan,
Rahmadi, Berta Sarogdok, Joseph Sarogdok, Tarida, Rifai Lubis,
Vincensius Ndraha, dan juga Yudas Sabaggalet—yang terpilih sebagi
bupati periode 2011-2016); Walhi Sumatra Barat (Khalid Syaifullah,
Te­guh, Prasetyo), Vino Oktavia dari MAIL dan LBH, Samaratul Fuad
dan Ni An Suharti dari PBHI, Ulrik Tatubeket, Jorim Siriombuk,
Selester Saguruwjuw, Bonifasius Sabebegen, Agustinus Pariji Sarubei,
Ucapan Terima Kasih xi

Tomas Tatebburuk dari AMA-PM, Robinson Sabolak, Parmenson


Sabolak, Pir Paulus dari Yasumi, serta Agus Winarno Boyce. Mere­
ka telah menyediakan bahan-bahan bagi buku ini melalui perasan
asam-garam Siberut yang ada di seluruh tubuh dan pikiran mereka.
Mereka semua telah terlibat langsung dalam transformasi Siberut
(dan Kepulauan Mentawai) selama 20-30 tahun terakhir. Saripati
pengalaman mereka itu kami dapatkan ketika menyaksikan aksi-aksi
perjuangan hebat, komitmen luar biasa, dan analisis-analisis brilian
yang tertera dan tersimpan dari dokumen-dokumen yang kami baca.
Kami berutang budi pada gagasan dan pengalaman mereka—utang
yang semakin berat karena yakin di antara mereka ada yang kecewa
dengan analisis ini dan barangkali merasa dikhianati kejujurannya,
sebab kami menuliskannya dalam buku ini. Tentu saja ini merupakan
sebuah dilema tersendiri, namun kami berharap mereka setuju de­
ngan kami bahwa buku ini merupakan upaya yang sama tulusnya
untuk menghayati Siberut sesuai dengan apa yang kami lihat, dengar,
dan rasakan secara langsung.
Naskah akhir buku ini terbentuk berkat kejelian dan kritik men­
dalam dari orang-orang yang membaca sepenuh hati di tengah kesi­
buk­an mereka. Koen Meyers mencuri waktu-waktu kerjanya untuk
meng­koreksi setiap kalimat dalam buku ini dengan teliti dan penuh
dedikasi. Tania Li membaca draft ini—terutama kritiknya yang tajam
dan konstruktif untuk pembukaan dan Bab 8; Bill Watson memerik­
sa dengan rinci kata per kata, terutama untuk Bab 5 dan 6. Pak Bill
me­nye­lamatkan kami dengan santun untuk menggunakan acuan yang
tepat bagi analisis di bagian mengenai adat dalam buku ini. Roy Ellen
membaca sedikit awal naskah dari Bab 3. Sunjaya membaca buku ini
dengan sungguh-sungguh dan teliti (meskipun kemudian terhenti di
dua bab pertama). Beberapa masukannya sangat penting untuk me­
lacak kelampauan dan kekinian Siberut—terutama masalah uma dan
penjualan kayu. Asep Adhikerana memberi beberapa tambahan dari
peng­alamannya di Siberut. Rijel Samaloisa dengan ketidaksepa­kat­
an­nya memperkaya Bab 7 dan 8. Munawir memberi keseimbangan
ana­li­sis, terutama untuk Bab 5 dan sub-bab Kolaborasi Manajemen
di Bab 8. Susilo Hadi, Hery Santoso, Monika Eviandaru membaca
de­tail draft yang kami kirimkan; melalui diskusi dalam kunjungan pa­
ling akhir ke Siberut yang hampir bersamaan pada 2009, para “senior
scholar” Siberut—Dr. Tony Whitten, Prof. Reimar Schefold, dan Dr.
xii Berebut Hutan Siberut

Gerard Persoon—memberi ketajaman perspektif yang membuat kami


mudah mengimajinasikan apa yang terjadi pada dekade 1970-an dan
1980-an. Kami juga tak sabar membalas kebaikan Prof. Krisnawati
Suryanata, Jefferson Fox Ph.D, and Prof. Kem Lowry. Mereka bertiga
telah dengan sabar, tekun, dan telaten memeriksa dan memberi
masuk­an naskah awal tesis Abidah yang muncul sebagai pemantik ide
buku ini. Ada pula yang tidak bisa kami sebut namanya, yang pada
mulanya bersemangat untuk membaca naskah ini, dan kemudian,
mungkin karena tebalnya naskah, mengurungkan niatnya.
Beberapa bagian kecil dari buku ini telah singgah atau tercan­tum
dalam publikasi yang lain. Bagian awal Bab 7 pernah muncul dalam
buku suntingan Suporaharjo dan Setyowati (2008). Versi ringkas
Bab 5 dimuat dalam Jurnal Ilmu Kehutanan (2011). Sebagian foto
di buku ini tersedia atas kebaikan Koen Meyers, Susilo Hadi dari
Universitas Goettingen, Rahmadi, Puailiggoubat, dan juga Alberto
Hernandez dan Makoto Ikeda yang pada 2004 bekerja di UNESCO
Jakarta. Peta-peta disediakan dan dibuat oleh Rina Purwaningsih,
juga dari UNESCO Jakarta. Semoga kemampuan Rina dapat membuat
pemahaman geografis mengenai Siberut menjadi lebih mudah bagi
pembaca umum. Mahfud Ikhwan yang menangani perbaikan tulisan
ini per­tama kali—pasti sangat senang akhirnya naskah ini lahir berkat
campur tangannya: kami mengucapkan banyak terima kasih. Ahmad
Arif membantu pengecekan beberapa kalimat sehingga koheren dan
mudah dimengerti, dan terutama, Ining Isaiyas mengkoreksi dengan
te­li­ti beberapa inkonsistensi nama tempat, kalimat rumpang, dan daf­tar
pus­ta­ka dengan saksama. Christina Udiani dari Kepustakaan Populer
Gra­me­dia sangat kooperatif dalam mengawal perjalanan naskah ini.
Arantzazu Acha De La Presa dan Siti Rachmania dari Environmental
Sciences Unit, Kantor UNESCO Jakarta sangat penting peranannya
dalam penerbitan buku ini, terutama dalam hal pengurusan bantuan
pen­danaannya dari Pemerintah Spanyol (AECID dan OAPN).
Hubungan antara buku dan keluarga kami—meski tidak terkait
langsung—sangatlah kompleks sehingga kami tak dapat mengeluarkan
kata-kata dangkal yang biasanya diterakan dalam bagian ini.
PENGANTAR

Buku ini tidak mungkin terbit tanpa rangkaian sejarah yang telah
diciptakan orang-orang sebelum kami di Pulau Siberut; terutama ke­
sempatan yang dimunculkan dari kerja-kerja etnografi, konservasi
maupun perjuangan banyak antropolog, aktivis, peneliti, dan pekerja
proyek-proyek pembangunan. Dengan apa yang telah mereka lakukan,
peluang kami bisa ‘berada di sana’ terbuka dan kami bisa menulis bu­
ku tentang Siberut ini. Darmanto terlebih dahulu mendarat di Siberut
pada 2003 untuk meneliti perladangan tradisional orang Mentawai
di Lembah Rereiket—dia juga bergabung dengan proyek kolabo­ra­
tif manajemen melalui inisiatif UNESCO, menjadi direktur LSM se­
tempat, Pasih (Perkumpulan Siberut Hijau), dan sederet pekerjaan
la­in; sementara Abidah selama beberapa minggu pada pertengahan
2003 berada di Siberut dalam rangka mengumpulkan data lapangan
untuk tesisnya di Universitas Hawaii tentang ekologi politik tata ke­
lo­la hutan di Siberut.
Gagasan penulisan buku ini memercik pada 2007, ketika Dar­
manto—setelah terlibat langsung dengan masalah konservasi ke­aneka­
ragaman hayati—tengah berpikir untuk menulis semacam kesak­si­an
atas perubahan sosial terkait hutan Siberut dan Abidah hampir me­­
ram­pungkan tesisnya. Selebihnya adalah kerumitan-kerumitan yang
ka­mi tenun sendiri karena buku ini tumbuh, berkembang, dan me­
ngerdil di antara kesibukan, perbedaan waktu, dan jarak yang ter­
bentang antara Siberut-Jakarta-Hawaii-New Jersey.
xiv Berebut Hutan Siberut

Penulisan buku ini didorong oleh kegelisahan menyangkut karya


tulis—baik tulisan kami sendiri maupun orang lain—ketika men­
jelaskan kerumitan hubungan orang Siberut dengan hutan. Perhatian
terhadap Siberut, sebagaimana lazimnya kepada komunitas pedalaman
lainnya di Indonesia, lebih dipusatkan pada aspek-aspek “budaya,
keanekaragaman hayati, dan konservasi” (Li 2002). Siberut dilimpah­i
karya etnografi tentang cara hidup, cara berpakaian, dan ritual orang
Mentawai. Selain itu, Siberut juga menjadi sumber inspirasi bagi ahli
ilmu alam untuk menghasilkan banyak risalah mengenai jenis-jenis
pri­mata, anatomi mamalia kecil, binatang melata, atau pun struktur
vertikal hutan.
Buku ini berusaha meneruskan usaha-usaha yang telah dilakukan
para akademisi maupun penulis yang telah mempelajari Siberut. Da­
lam hal ini, kami berusaha sejalur dengan studi yang telah dimulai
oleh Reimar Schefold, Gerard Persoon, dan Myrna Eindhoven—untuk
me­nyebut beberapa nama—dalam mencoba memahami hubungan
an­tara penduduk Siberut dan pulaunya. Yang kami lakukan melalui
buku ini adalah berusaha mencari hubungan-hubungan dari sebagian
karya tulis mengenai Siberut yang cenderung berupa deskripsi lepas-
le­pas (komposisi hutan, upacara dan ritual, tanaman obat) dan me­
na­ruhnya dalam konteks hubungan ekonomi, sosial, dan politik yang
lebih luas.
Sebelum masuk ke dalam buku ini, ada beberapa hal yang perlu
diperjelas, terutama apa yang dalam buku ini disebut sebagai ‘data’,
‘bahasa’, ‘identitas/subjek’, dan ‘nama-nama’ yang akan dijumpai
pem­baca. Hal ini menjadi penting untuk membantu pembaca menge­
nali konteks, peristiwa, serta pemahaman terhadap tempat-tempat
yang disebutkan dan dianalisis dalam buku ini.

Hutan
Walau secara eksplisit menggunakan kata hutan dalam judulnya,
buku ini sendiri tidak memiliki definisi tunggal dan khusus mengenai
hu­tan. Bahkan, kami tidak membuat deskripsi mengenai luasan,
komposisi, dan struktur hutan Siberut. Hutan Siberut kami lihat bukan
sebagai kawasan yang hanya terdiri atas aneka ragam pohon, sungai,
kebun, campuran ladang, dan fauna-fauna seperti primata endemik,
burung enggang, babi hutan, atau aneka binatang lainnya. Hutan kami
lihat sebagai sebuah produk budaya. Hutan kami maknai sebagai ruang
sosial yang terus dimaknai, diinterpretasikan, dinegosiasikan, di­pe­re­
Pengantar xv

but­kan, dan kadang diabaikan. Dalam pengertian ini, hutan adalah


sebuah “teks” di mana setiap orang atau kelompok yang berbeda akan
punya cara sendiri dalam memaknai, mendefinisikan, dan mem­per­
lakukannya. Buku ini mementingkan relasi hutan dengan aspek-aspek
perubahan sosial, budaya, dan politik orang Siberut.
Hubungan antara manusia dan hutan di Siberut—seperti kom­
posisi hutan itu sendiri—lebat, penuh onak dan duri, serta terdiri dari
bermacam lapisan tajuk. Rumitnya hubungan itu kerap memudahkan
kami tersesat, salah arah, terluka, atau malah terbunuh oleh ke­ya­
kin­an kami sendiri. Untuk mengurangi kesulitan dan ketersesat­an
sa­at menjelajah “hutan Siberut”, kami menggunakan beberapa kar­
ya etnografi dan biologi yang sudah ada untuk menemukenali re­la­
si sosial dan membantu kami mengurai kompleksitas hubungan
orang Mentawai dengan hutannya. Buku ini tidak perlu mengulangi
beberapa deskripsi etnografis penting atau pemaparan biologi karena
kami mencoba lebih fokus pada usaha untuk mengaitkan kekhasan
bio­geografi, keragaman biologi, dan keunikan ekologi dengan ke­pen­
tingan ekonomi, politik-budaya, serta sejarah sosialnya. Lebih kon­
kretnya, buku ini menjelajahi sejarah Siberut sebagai komponen per­
ubahan sosial di tingkat regional, nasional, dan global dari segi ma­kna,
ke­kuasaan, dan produksi.
Buku ini tidak memberikan porsi yang besar dalam hal pemapar­­an
aspek teknis tentang hutan. Perhatian utamanya adalah aspek-aspek
sosial dan kompleksitas perubahan masyarakat Siberut terkait hutan.
Kami berusaha mewujudkan gambaran yang rumit tersebut bukan
dengan cara menyediakan solusi bagi berbagai masalah di dalamnya
melainkan dengan cara menjembatani banyak kesenjangan analitis
tentang hutan di Siberut. Karenanya, kami harus membawa “hutan
Siberut” ini ke dalam konteks kebijakan negara dan mekanisme pasar,
serta menempatkan kepentingan orang Siberut ke dalam konteks
politik dan ekonomi yang lebih luas. Usaha ini memang disengaja untuk
menangkal penjelasan Siberut yang kadang terlalu disederhanakan.
Kadang-kadang, buku ini terlalu asyik menjelaskan kerumitan dan
dilema yang dihadapi aktor-aktor yang berkepentingan dengan hutan
di Siberut. Terlalu sering, dalam menuliskan bagian demi bagian buku
ini, penulis turut goyah, merasa tanpa pijakan, dan kebingungan dalam
menghadapi dilema aspek-aspek yang tak pernah kami pikirkan atau
duga (baik manusianya maupun hutan Siberut sendiri)—seperti yang
pembaca akan kenali dari setiap paragraf dalam buku ini.
xvi Berebut Hutan Siberut

Siberut sebagai Entitas


Sesungguhnya, dalam menuliskan buku ini, salah satu dilema
yang ingin dihindari adalah menggeneralisir perbincangan mengenai
pen­du­duk Siberut atau pun Mentawai sebagai sebuah entitas yang ho­
mo­gen. Apa yang kami sebut sebagai ‘penduduk Siberut’ atau ‘orang
Mentawai’ tidak merujuk pada identitas khusus yang secara budaya
dan praktik utuh dan koheren. Mereka terdiri dari banyak variasi dan
sub-sub variasi serta identitas yang beragam. Apa yang disebut sebagai
penduduk Siberut dalam buku ini terkadang merujuk langsung pada
‘orang Mentawai’; terkadang mencakup seluruh populasinya tanpa
meng­abai­kan etnisitasnya; dan terkadang merujuk individu-individu
tertentu. Dan apa yang disebut orang Mentawai juga bukanlah entitas
tunggal karena di dalamnya terdapat banyak hierarki, stereotip, ser­
ta keragaman yang senantiasa melekat dan senantiasa bergeser ter­
gan­tung konteksnya. Ketika menyebut penduduk Siberut atau orang
Si­berut, kami berharap pembaca bisa memahami rujukan identitas
atau subjeknya dengan mengenali konteksnya: kapan? berhadapan
de­ngan siapa? dalam wacana seperti apa? di mana? dalam ruang yang
bagaimana? Konteks itu dapat dikenali dan dipahami—meski se­ring­
kali membingungkan dan kabur—dengan melihat kerumitan wacana
yang terbentuk di dalamnya.
Orang Siberut mengikuti perubahan yang terjadi—terutama da­lam
50 tahun terakhir—dengan kadar berbeda-beda. Mereka mengalami
ekspansi kapitalisme, perdagangan produk hutan, dan intervensi ne­
gara secara intensif sejak 1950-an. Selama waktu yang melintas itu,
hu­bungan-hubungan orang Siberut di antara mereka sendiri, hubung­
an mereka dengan sumber daya alam yang mereka klaim, dan relasi
me­reka dengan komponen di luarnya jelas telah berubah. Suatu ke­
mus­tahilan jika seseorang mengambarkan kompleksitas hubungan
itu secara utuh melalui pendekatan budaya yang tunggal.
Buku ini juga mengalami masalah dengan hal tersebut. Misalkan,
di beberapa bagian kami menjelaskan klaim orang Mentawai terhadap
tanahnya di Siberut. Menurut mereka, tidak ada tanah yang dikuasai
negara atau orang non-Mentawai. Pada dasarnya memanglah de­mi­ki­
an—bahkan 50-60 tahun yang lalu. Tetapi sekarang, tanah-tanah itu
tidak 100% berada dalam kekuasaan orang Mentawai. Sebagian telah
beralih tangan pada para pendatang, sebagian dikuasai pemerintah
dan sebagian besar lain—terutama yang jauh dari pusat pemerintahan
dan permukiman—masih dikuasai orang Mentawai. Pada saat me­nye­
Pengantar xvii

but­kan adanya klaim tanah tersebut, kami harapkan pembaca tidak


terpaku hanya dalam pengertian kalimat yang dituliskan, tetapi juga
mengenali tanda kapan, bagaimana, dan [kepada] siapa penguasaan
tanah dipaparkan. Buku ini berusaha keras untuk menjelaskan ma­sa­
lah-masalah tersebut, dan ketika pembaca tidak mengenalinya secara
langsung, pembaca diharapkan menemukan jawaban justru di tengah
kompleksitasnya.
Siberut adalah ruang di mana bermacam-macam aktor dengan
be­ragam identitas (Mentawai, Jawa, Batak, Minangkbau, turis Eropa,
pe­ja­bat pemerintah, peneliti budaya, pedagang, pengusaha hu­tan,
dan ju­ga kom­bi­nasi dari segalanya) datang, pergi, menetap, ber­kun­
jung, men­ca­ri hidup, belajar, bekerja, melancong, dengan berbagai
ke­­pen­ting­an (atas nama konservasi, pembangunan, penyebaran
aga­ma, men­ca­ri uang) dan dengan berbagai macam teknik, taktik,
serta strategi. Masing-masing kelompok ini bisa membangun alian­si
bersama, berkompetisi, saling menyapa maupun melengos, ber­kon­
fron­tasi, tergantung dari wacana dan kepentingan yang digunakan.
Oleh karena itu, kami tidak memulai dengan pernyataan adanya
sebuah “tradisi Siberut” atau sesuatu yang khas Siberut yang ada
dalam kategori a-priori. Kami tidak pula ingin mengatakan bahwa ada
kekhasan yang dimiliki penduduk Siberut dalam hubungan mereka
dengan hutan. Sebaliknya, kami menilai kekhasan Siberut terbentuk
oleh proses sejarah dan geografi. Barangkali ini adalah sebuah apologi
dari kesulitan kami dalam memetakan dilema tentang Siberut. Kami
memandang, apa yang khas Siberut terbentuk oleh proses perubahan
dan variasi-variasi yang terjadi di tingkat lokal dan relasinya dengan
kekuasaan dan pengetahuan dari luar. Kami melihat kekhasan Siberut
adalah hasil dari akumulasi sejarah yang rumit dan panjang. Kekhasan
Siberut ini bersifat relasional dan bukan sesuatu yang berlawanan
dengan sesuatu di luar Siberut. Kami mengatakan, kekhasan Siberut
adalah hasil dari perubahan dan sejarah, dan bukan antitesisnya.
Perubahan, sejarah, dan reaksi yang berbeda-beda dari setiap
aktor dan wacana serta kekuasaan di dalamnya menjadi penting bagi
penciptaan dan penciptaan kembali hubungan orang Siberut de­
ngan hutan. Terkait pembentukan hubungan-hubungan antara orang
Siberut dan hutannya yang berlangsung secara terus menerus ini,
kami cukup berani untuk menyatakan bahwa semua orang di Siberut
mengalami proses yang sama, dengan intensitas dan kadar yang
berbeda-beda. Dengan melihat Siberut sebagai tempat khusus dari
xviii Berebut Hutan Siberut

sebuah produk perubahan, menyebut penduduk Siberut sebagai unit


kajian yang terpisah-pisah secara geografis dan menyatakan bah­wa
mereka tidak saling terpengaruh dengan peristiwa yang ada di luar
Siberut tidak hanya sukar tetapi juga sebuah ketidakmungkinan.

Data dan Bahasa


Pada dasarnya, buku ini tidak berharap menghasilkan suatu ana­
lisis tentang Siberut yang tepat secara menyeluruh dan definitif. Buku
ini memiliki keterbatasan dalam hal jangkauan geografis. Materi dalam
buku ini terutama berasal dari penelitian yang berfokus di bagian
selatan Pulau Siberut. Data lapangan yang lengkap dan informasi
dari narasumber terutama kami dapatkan dari Lembah Rereiket dan
Lembah Sabirut.
Sumber data lapangan tersebut berkait erat dengan penggunaan
ba­hasa Mentawai yang digunakan dalam buku ini. Karena meng­
andal­kan pekerjaan lapangan di Lembah Rereiket, bahasa Mentawai
yang digunakan dalam buku ini adalah bahasa dari Lembah Rereiket
dan tidak mewakili bahasa keseluruhan orang Mentawai yang terdiri
dari 8-9 dialek dan variasi yang terdeterminasi oleh masing-masing
lembah (Persoon 1995: 9). Untuk beberapa kata, bahasa dari lembah
ini dapat mewakili konsep tertentu bagi orang Mentawai secara ke­
seluruhan (misalnya kata sikerei jelas dikenal oleh semua jenis bahasa
Mentawai di Siberut). Tetapi untuk banyak kata yang dipakai dalam
buku ini, terdapat kemungkinan bahwa konsep atau pemaknaannya
berbeda dengan apa yang dimaksud oleh kata yang sama untuk peng­
gunaan di luar Lembah Rereiket.
Sangat penting dipahami bahwa buku ini memiliki keterbatasan
analisis dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa sosial di seluruh Si­be­
rut. Kami, dengan cara ini, hanya menyeleksi sejarah sosial yang berada
da­lam jangkauan kami sendiri. Untuk melengkapi data-data utama
yang didapatkan dari Rereiket, sebagai bahan perbandingan, data-da­
ta primer dari lapangan juga kami kumpulkan dari bagian Tenggara
(Ka­turei, Taileleu) atau bagian tengah Siberut (Saibi, Saliguma) ketika
ka­mi menempuh perjalanan ke Lembah Matalu di pantai barat; juga
informasi-infornasi yang hanya bisa kami dengar dari ceri­ta ke cerita
tanpa pernah bisa kami buktikan secara langsung.

Nama dan Tempat


Untuk alasan keamanan, kebaikan, dan ketulusan informan serta
te­man-teman kami yang kisahnya menjadi tulang punggung buku ini,
Pengantar xix

kami menggunakan nama samaran untuk mereka. Harapan ka­mi,


orang-orang tersebut tidak bisa dikenal karena data yang kami sam­
pai­kan dalam buku ini dapat digunakan untuk merugikan mereka.
Di sisi lain, kami ingin menunjukkan bahwa tokoh-tokoh yang kami
tampilkan itu merupakan sosok yang nyata, hidup, dan karena itu, sa­
ngat penting peranannya dalam buku ini.
Untuk menjembatani masalah tersebut, kami menyebut tokoh
yang ada dalam buku ini dengan menggunakan nama samaran. Un­
tuk orang non-Mentawai yang dikutip secara langsung melalui wa­
wan­cara, buku ini menggunakan nama singkatan atau samaran yang
biasa mereka kenali sendiri. Untuk orang Mentawai, caranya berbeda
karena umumnya orang Mentawai memiliki nama badan (onim men­
tawai) yang diberikan setelah lahir.
Nama lahir atau nama badan ini berbeda dengan nama baptis
yang diberikan Gereja atau nama yang diadopsi dari etnis tetangga—
namun beberapa yang diadopsi oleh orang non-Mentawai dari lahir
tidak memiliki nama Mentawai. Nama-nama itu dikenal baik dan
setiap orang tahu nama lahir orang lain. Nama lahir ini melekat dan
men­jadi penanda yang lebih mudah karena bagi orang Mentawai, na­
ma-nama baptis dari Gereja sering membingungkan (banyak anak
laki-laki memiliki nama sama: Paulus, Robertus, Ignasius. Atau bagi
pe­rem­puan: Maria, Carolina, Agnesia). Nama-nama lahir juga pen­
ting untuk mengenali dari mana keluarga mereka berasal.
Nama lahir kadang tidak digunakan lagi setelah berkeluarga. Se­
te­lah menikah, seseorang dipanggil menurut anak tertuanya dengan
pe­na­ma­an teknonim. Misalnya, dalam sebuah keluarga, si laki-laki
akan di­sebutkan sebagai Aman x atau Teu x yang dalam bahasa In­
do­nesia sepadan dengan istilah bapaknya si x dan yang perempuan
di­pang­gil Bai x atau ibunya si x (x adalah nama anak yang tertua).
De­ngan memperhatikan sistem penamaan tersebut, pembaca akan
me­ngetahui apakah orang yang kami sebut sudah berkeluarga atau
belum, laki-laki atau perempuan. Setelah diperiksa ulang, hampir
seluruh informan yang kami cantumkan dalam kutipan langsung atau
namanya masuk dalam buku ini adalah laki-laki. Ini bukanlah suatu
kesengajaan karena dalam konteks di Siberut, dalam kaitannya de­
ngan hutan, laki-laki adalah sumber otoritas dalam pengetahuan dan
perempuan kurang mendapatkan peranannya.
Nama-nama tempat yang disebutkan di buku ini mungkin lebih
mem­bi­ngungkan dan membuat orang tersesat. Peta-peta akan sedikit
membantu pemahaman pembaca yang tidak pernah ke Siberut. Nama-
xx Berebut Hutan Siberut

nama yang ada di peta dan disebutkan dalam buku ini merupakan na­
ma asli yang disebut dan dirujuk dalam kehidupan sehari-hari orang
Siberut. Nama-nama tempat yang ada sebagian besar adalah nama
per­mukiman, nama lembah, dan nama sungai atau hutan. Beberapa
pe­nge­cualian adalah nama teluk, pantai atau nama-nama khusus
yang me­rujuk pada suatu tempat yang tidak berkaitan de­ngan rujukan
geografis tertentu. Misalnya, penyebutan nama potingan yang merujuk
pada kawasan yang disakralkan dan hanya ada di kepala sedikit orang
meskipun di dalamnya tidak ada hutan atau sungai.
Nama-nama permukiman yang dirujuk dalam buku ini adalah
cam­pur­an nama-nama ‘lama’ yang merujuk nama permukiman pra­ke­
mer­dekaan namun tetap digunakan sekarang, nama-nama permukim­
an baru yang mereka pilih sendiri, atau nama-nama yang diberikan
atau disarankan oleh pemerintah. Terkadang di tempat-tempat yang
berbeda, ditemukan nama yang sama. Misalnya nama Puro atau Limu
sering digunakan sebagai nama dusun di desa-desa yang berbeda. Un­
tuk menghindari kebingungan, buku ini menyebutkan lengkap dengan
de­sa­nya dan sebisa mungkin lembah di mana mereka berada.

Post Scriptum
Tentang pilihan gambar sampul, kami sangat sadar bahwa pemilihan foto
seperti yang tertera di depan kemungkinan dapat memperkuat imajinasi
pembaca tentang Orang Mentawai yang tradisional, tidak modern, dan hidup
harmonis dengan alam. Namun kami memutuskan untuk memakai foto laki-
laki dengan pakaian adat itu sebagai pemantik dari seluruh diskusi dalam
buku ini, yang mencoba mendekonstruksi imajinasi simbolik terhadap Orang
Mentawai seperti yang tergambar serta memaparkan realitas yang kompleks
dan berlapis tentang identitas dan kehidupan sehari-hari mereka. Laki-laki
tersebut difoto secara khusus untuk keperluan pemotretan.
Prakata

Saya pertama kali mengenal Darmanto, salah satu penulis buku ini,
di kantor sebuah organisasi konservasi internasional di Jakarta pada
2002. Saat itu dia masih seorang mahasiswa biologi yang menggebu-
gebu dan memegang keyakinan kuat bahwa masyarakat adat adalah
pen­jaga utama lingkungan dan dalam awal percakapan kami, dia
me­nya­ta­kan kemauan yang sangat kuat untuk melakukan peneliti­an
di Pulau Siberut untuk skripsi sarjananya. Sejalan dengan latar be­
la­kang Jawanya, dia sangat santun dan berpegang pada filosofi Su­
ro­diro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti (semua kejahatan dan
keburukan akan hancur oleh kebaikan). Saya menyarankan agar ia
bekerja bersama saya sebagai relawan pada proyek kolaboratif ma­na­
je­men yang baru saja diprakarsai UNESCO di Siberut Selatan. Dia me­
nu­ruti saran ini, mengambil kesempatan untuk melakukan pe­ne­li­ti­an
dan menyelesaikan skripsinya secara bersamaan.
Sebulan setelah dia tinggal di Siberut, saya memintanya untuk
mem­be­ri­kan masukan atas proyek ini. Dia memberi saya empat puluh
halaman lebih rekomendasi bagaimana meningkatkan keberhasilan
proyek. Sebagian besar rekomendasi berkaitan dengan penyerahan
kekuasaan yang lebih besar kepada masyarakat setempat dalam peng­
am­bil­an keputusan manajemen. Meskipun menyetujui konsep ter­se­
but, saya menganggap rekomendasi tersebut tidak praktis untuk di­
ja­lan­kan. Ketika saya menyampaikan pendapat ini ke Darmanto, dia
mati-matian mempertahankan idenya. Dia mengingatkan saya pada
diri saya sendiri, ke­ti­ka pertama kali berkenalan dengan Siberut pa­
da ta­hun ’90-an, sa­at KTT Bumi di Rio dan deklarasi Dekade In­ter­
na­sio­nal Masyarakat Adat Dunia. Setelah membaca berbagai laporan
antropologi dan catatan per­ja­lan­an, setelah melihat foto orang-orang
bercawat yang berburu dan melaku­kan upacara sakral, saya mendarat
di Siberut (seperti banyak orang se­be­lum dan setelah itu) dengan ga­
gas­an bahwa saya melang­kah ke ra­nah ma­syarakat subsisten murni
tan­pa pengaruh Barat, masyarakat yang mem­bu­tuh­kan perlindungan
da­ri pengaruh buruk modernisasi neo-liberal, seperti penebangan dan
perkebunan komersial. Persepsi saya tentang “noble savage” dengan
se­ge­ra luluh dan tergantikan oleh pengalaman yang lebih realistis ten­
tang masyarakat yang dinamis, terus-menerus berubah di mana me­dia
modern, komunikasi, celana jeans dan uang tunai memainkan peran
penting.
Sejak pertemuan pertama kami sepuluh tahun lalu, Darman­to dan
saya melakukan banyak diskusi panjang—seringkali hingga di­ni hari.
Saya perhatikan bahwa semakin lama dan dengan semakin banyaknya
pengalaman lapangan yang kami miliki, perbincangan kami lebih ba­
nyak menghasilkan pertanyaan daripada jawaban. Diskusi kami juga
menjadi lebih panas karena kesantunan Jawanya telah terganti oleh fi­
lo­sofi bertahan hidup a la ‘Siberut’. Salah satu dari sedikit kesimpulan
yang bisa kami tarik dari diskusi ini adalah bahwa kami paham bahwa
kami tidak memahami Siberut. Pengetahuan kumulatif kami tentang
Siberut telah membawa kami ke daerah abu-abu yang lebih luas dan
menghasilkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Seorang konsultan pembangunan pernah mengatakan pada saya
bahwa Pulau Siberut mewakili target Murphy’s Law. Sejak tahun ’70-
an, hampir semua proyek pembangunan dan konservasi di Siberut ga­
gal mencapai tujuan awalnya. Kegagalan yang terus-menerus terjadi
mem­buat orang berpikir bahwa proyek pembangunan dan konservasi
di Si­be­rut hanya memiliki satu takdir: ‘gagal’. Tapi apa yang dimaksud
de­ngan gagal dan siapa yang mendefinisikan kegagalan? Se­bu­ah pro­yek
yang dianggap gagal mencapai tujuannya oleh ahli monitoring dan eva­
lua­si mungkin saja dianggap berhasil oleh masyarakat setempat ka­rena
mem­berikan berbagai manfaat sosial dan ekonomi sementara. Mes­ki­
pun telah banyak penelitian tentang Siberut selama bertahun-tahun,
ma­sih juga belum ditemukan penyebab mengapa proyek pembangun­an
dan konservasi begitu menantang di Siberut. Apakah karena Siberut
adalah masyarakat acephalous (tanpa pemimpin politik) ataukah ka­
re­na Siberut telah terlalu lama terpinggirkan sehingga menciptakan
lanskap sosial yang unik di mana inisiatif pembangunan harus ber­ju­ang
untuk berhasil? Pembangunan dan konservasi di Siberut seperti pulau
itu sendiri—menantang, sulit untuk ditembus, dan sangat keruh.
Analisis terhadap berbagai topik tersebut sangat rumit, membu­
tuh­kan pemahaman mendalam tentang sistem dan proses budaya
ser­ta di­na­mi­ka dan perubahan sosial masyarakat yang sangat cepat.
Gam­­bar­an rinci tentang perubahan tersebut—yang dijelaskan dengan
sa­ngat akurat dan dengan pemahaman mendalam oleh Darmanto dan
Abidah dalam buku ini—memberikan kontribusi yang realistis mes­ki­
pun kadang pahit, terhadap pembahasan mengenai masyarakat adat
dan hak-hak mereka. Buku  ini menyediakan kerangka analitis yang
unik untuk mengurai kerumitan kehidupan sebagaimana yang di­alami
oleh masyarakat Siberut sehari-hari. Karya ini sangat unik ka­re­na
me­nun­juk­kan deskripsi dan pengetahuan yang sangat akrab tentang
pulau Siberut dan orang-orangnya, yang jarang ditemukan dalam kar­
ya-karya analitis sejenis. Daripada mencoba menjawab ber­ba­gai per­
ta­nya­an, buku ini menantang kita semua untuk bertanya lebih ba­nyak
dan lebih dalam sehingga akhirnya meningkatkan dan mem­per­dalam
diskusi tentang masyarakat adat dan hak-hak mereka.

Koen Meyers
Technical Advisor for Environmental Sciences,
UNESCO Jakarta (1998-2009)
Daftar Peta

1. Indonesia.
2. Pulau Siberut.
3. Konsesi Pulau Siberut (1971-1992).
4. Zonasi Taman Nasional Siberut.
5. Peruntukan Hutan Pulau Siberut (1999-Sekarang).
6. Pembalakan Liar Pulau Siberut (2004-2005).
Daftar Gambar

1. Kayu yang siap diangkut ke luar Pulau Siberut dari Teluk Katurei.
2. Bentang alam P. Siberut berupa bukit-bukit bergelombang dan
lembah-lembah; sungai menjadi penghubung antarwilayah.
3. Persepsi Eropa era kolonial terhadap Orang Mentawai—ter­ma­ni­
fes­tasi dalam foto-foto Nieuwenheis Circa 1900.
4. Permukiman bentukan pemerintah dalam proyek PKMT.
5. Permukiman tradisional orang Mentawai yang menyatu dengan
perladangan dan peternakan.
6. Sikerei sedang melakukan upacara pembukaan ladang.
7. Penduduk Siberut pulang dari ladang.
8. Bekas-bekas operasi perusahaan kayu di Siberut selama rezim
Orde Baru.
9. Komoditas cengkeh dan kakao di Siberut.
10. Contoh lahan pengembangan pertanian dalam program
pemberdayaan masyarakat TNS.
11. Suasana sosialisasi TNS tentang konservasi di sebuah gereja, di
Muara Siberut.
12. Pemimpin dewan adat sedang berorasi dalam forum konservasi.
13. Kegiatan penguatan hak-hak masyarakat adat.
14. Praktik penebangan ilegal di Mentawai saat masa booming
penerbangan kayu pada era desentralisasi.
15. Demonstrasi dan kampanye antipenebangan ilegal oleh Koalisi
LSM.
xxvi Berebut Hutan Siberut

16. Pertemuan tokoh konservasi Indonesia dengan komponen


gerakan masyarakat adat Siberut di kantor TNS, Maileppet,
2002.
17. Kongres AMA-PM di ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai.
18. Masyarakat Siberut yang dipandang makmur, ditunjukkan dengan
rumah dari beton dan kepemilikan parabola televisi.
Daftar Tabel

1. Jumlah penduduk Siberut (1853-2008).


2. Fungsi hutan di Pulau Siberut berdasarakan TGHK 1982.
3. Ekspor kayu Pulau Siberut (logs/m3) 1982.
4. Produksi rotan di Pulau Siberut yang tercatat.
5. Status dan fungsi hutan Pulau Siberut menurut Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 422/Kpts-II/1999.
6. Status dan fungsi hutan versi Dinas Kehutanan Kabupaten
Kepulauan Mentawai (2002).
7. Alokasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Kepulauan Mentawai
(2002).
Daftar Singkatan

AECID Agencia Española de Cooperación Internacional


para el Desarrollo (Badan Kerjasama
Pembangunan Internasional Spanyol)
AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
AMA-PM Aliansi Masyarakat Adat Peduli Mentawai
ADB Asian Development Bank
APL Area Penggunaan Lain
Bappenas Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
BKSDA Balai Konservasi Sumber Daya Alam
BPN Badan Pertanahan Nasional
CII Conservation International Indonesia
CPPS Carl Pearson Pharmin Timber Corporation
DAS Daerah aliran sungai
Dephut Departemen Kehutanan
Depsos Departemen Sosial
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DTE Down to Earth
FKKM Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat
FKMM Forum Komunikasi Masyarakat Mentawai
Geram Gerakan Reformasi Mentawai
Daftar Singkatan xxix

HPH Hak Pemanfaatan Kayu


HPHH Hak Pemanfaatan Hasil Hutan
HGU Hak Guna Usaha
ILO International Labour Organization
Ippmen Ikatan Pemuda dan Pelajar Mentawai
ICDP Integrated Conservation and Development Project
IHH Izin Hak Hutan
IPAS Integrated Protected Areas Systems
IPK Izin Pemanfaatan Kayu
IUP Izin Usaha Perkebunan
IUCN International Union for Conservation of Nature
Japhama Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat
KAM Koperasi Andalan Madani
Kapmen Koalisi Pelajar Mahasiswa dan Mentawai
KKM Keluarga Katolik Mentawai
KLH Kementerian Lingkungan Hidup
KMSPM Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Mentawai
LBH Lembaga Bantuan Hukum
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LGC Land Grant College
LRA Lembaga Riset dan Aksi
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MAIL Masyarakat Anti Illegal Logging
MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat
OAPN Organismo Autónomo Parques Nacionales
(Organisasi Otonomi Taman Nasional Spanyol)
P2D Program Pembangunan Desa
PAD Pendapatan Asli Daerah
Perda Peraturan Daerah
PHKA Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
PKAT Proyek Konservasi Alam Terpadu
PKMT Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing
PPA Perlindungan dan Pelestarian Alam
PT SSS Perseroan Terbatas Salaki Suma Sejahtera
xxx Berebut Hutan Siberut

RTRW Rencana Tata Ruang/Wilayah


SI Survival International
Skephi Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia
SKSHH Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
TGHK Tata Guna Hutan Kesepakatan
TNS Taman Nasional Siberut
Walhi Wahana Lingkungan Hidup
UNESCO United Nations Educational Scientific and Cultural
Organization
WWF World Wide Fund for Nature
Yasumi Yayasan Suku Mentawai
YCM Yayasan Citra Mandiri
YLBHI Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Daftar Istilah

Asak Baga : Suatu cara yang digunakan untuk melebih-


lebihkan, membelokkan, mengurangi
fakta dan mendramatisir suasana agar
pembicaraan lebih diperhatikan dan
memiliki efek kuat.
Bat : Sungai.
Dewan adat : Organisasi gerakan masyarakat adat di
dusun atau desa, terdiri dari perwakilan
uma; organisasi ini adalah kecenderungan
baru yang pertama kali muncul pertengahan
dekade 1990-an.
Domeinverklaring : Hukum agraria pertama di Indonesia;
dikeluarkan oleh pemerintah kolonial
Belanda secara resmi pada 1870.
Hak ulayat : Hak adat atas sumber daya, biasanya meng­
acu pada hak kolektif untuk menempati
lahan, tanah, atau hutan tertentu.
Jagawana : Polisi kehutanan.
Kabit : Pakaian tradisional, semacam cawat dari
kulit pohon baiko (Artocarpus spp).
xxxii Berebut Hutan Siberut

Kirekat : Tanda berupa ukiran di pohon, papan,


atau sebuah panel yang digunakan sebagai
pengingat orang yang meninggal.
Lalep : Keluarga inti dalam suatu uma yang
merupakan unit produksi.
Lia : Pesta sebagai cara untuk menciptakan
kesatuan sosial dan spiritual di dalam
hubungan antarmanusia, manusia
dengan roh-roh, maupun manusia dengan
lingkungannya; lia juga dimaknasi sebagai
sarana mediasi antara manusia dengan roh-
roh, leluhur mereka yang sudah mati, atau
untuk mencari tahu masa depan yang akan
mereka terima.
Masyarakat adat : Istilah Indonesia untuk indigenous people.
Nagari : Unit sosial pemerintahan masyarakat
Minangkabau di Sumatra Barat.
Parurukat : Arti harfiahnya adalah perkumpulan
sikebbukat uma para tetua uma; istilah ini adalah nama
organisasi dewan adat di tingkat Kecamatan
Siberut Selatan yang muncul pada 2002.
Puailiggoubat : Media massa berbentuk bulletin yang
diterbitkan Yayasan Citra Mandiri (YCM);
terbit 2 kali dalam sebulan.
Pulajuk mone : Kompensasi atau ganti rugi dari penggunaan
sumber daya milik uma lain.
Pumonean : Perladangan orang Mentawai.
Sanitu : Makhluk gaib yang suka mengganggu
dan dikesankan sebagai jahat; keterangan
mengenai sanitu kabur dan kontradiktif; di
beberapa tempat sanitu dianggap sebagai
bagian dari definisi roh dan memiliki
sifat jahat; di tempat lain, sanitu dianggap
berbeda dari roh dan menjadi entitas
sendiri.
Daftar Istilah xxxiii

Sasareu : Arti harfiahnya orang dari jauh, terjemahan


dari kumpulan orang (sa) jauh (areu); kata
ini merujuk orang non-Mentawai.
Sarereiket : Orang dari Lembah Rereiket.
Sibakkat laggai : Pemilik tanah.
Sikerei : Dukun yang bertugas memerantarai
komunikasi dan hubungan dunia roh dan
dunia manusia dalam kebudayaan Mentawai.
Sikebbukat uma : Orang yang dituakan (senior) di dalam uma
atau sering juga diartikan sebagai kepala
uma; meskipun berfungsi sebagai kepala,
istilah ini tidak merujuk pada seorang
yang memiliki kekuatan politik dalam
pengambilan keputusan.
Sipasijago : Uma atau orang yang mendapat hak menjaga
dan mengelola tanah/sumber daya milik
uma atau orang lain.
Sipatalaga : Juru runding; orang yang ditunjuk oleh uma
yang bersengketa dalam urusan konflik
tanah atau merundingkan urusan sosial
(mahar perkawinan, denda-mendenda, dll).
Si toi : Orang/uma Mentawai yang tinggal di tanah
milik orang/uma lain; istilah ini juga sering
dipertukarkan dengan kata si oiake.
Uma : Unit sosial, ekonomi, dan politik orang
Mentawai, terdiri dari 2-10 keluarga inti atau
10-60 individu. Uma juga merupakan unit
kepemilikan tanah. Istilah ini juga merujuk
pada nama rumah bersama yang dijadikan
sebagai tempat berkumpul dan melakukan
ritual.
Peta 1

Indonesia
Peta 2

Pulau Siberut
Bab 1
Pembukaan:
Kisah dari Saibi dan Politik Ekologi

... peralatan berat pertama tiba di pantai timur pulau di Subelen, Siberut
Utara, dengan penjagaan polisi dari Padang. Tambahan peralatan akan
dikapalkan dari Jakarta. Berita ini menyebar dengan cepat dan dalam
beberapa jam sekitar 100 orang berkumpul, termasuk penduduk dari
bagian selatan pulau yang melakukan perjalanan lima jam dengan
menggunakan perahu motor untuk berunjuk-rasa. Beberapa di antara
mereka mempunyai hak adat atas hutan dan tanah di Subelen; yang lainnya
sekadar merasa bahwa hutan Siberut harus dilindungi dari eksplorasi,
khususnya dari tanah daratan. Pengunjuk rasa menuntut agar lima dari 27
traktor penebang kayu yang sudah dikeluarkan harus segera dipindahkan.
Ketika manajer lapangan Koperasi Andalas menolak, mereka membakar
pangkalan kerja yang ada. Kapal dengan cepat balik ke laut, dan kembali
pada malam hari untuk menyelamatkan peralatan setelah para penduduk
pulang ke rumah (Down to Earth/DTE 2001).

Kisah dari Teluk Subelen, Saibi1


Mei adalah bulan yang lengas dan berkabut di Pulau Siberut. Udara
dingin. Musim segera berganti. Hujan lebat sepanjang April akan ber­
ubah menjadi badai kering di bulan Juni. Gerimis lebih sering turun
di­ni hari di bulan Mei. Pada bulan itu, biasanya, orang Siberut lebih

1 Teluk Subelen adalah teluk landai yang dipenuhi hutan bakau. Teluk ini terletak di pantai timur, tepat di
tengah Pulau Siberut kalau dilihat dari utara ke selatan. Secara administratif, teluk ini masuk wilayah
Desa Saibi-Samukop. Teluk ini dipilih PT KAM sebagai lokasi pendaratan alat-alat berat dan tempat
bersandar kapal yang akan mengangkut kayu. Untuk jelasnya lihat peta Siberut di depan.
2 Berebut Hutan Siberut

su­ka duduk-duduk di beranda rumah, ditemani kopi hangat, roti


ka­bin, dan sagu kering; atau sekadar meringkuk di balik selimut.
Na­mun, tidak dengan suasana Mei 2001. Di beranda rumah Aman
Ta­wan, salah seorang anggota dewan adat2 di Dusun Rogdok, Desa
Ma­do­bak, beberapa orang berkumpul membahas kedatangan kapal
per­u­sa­ha­an kayu PT KAM di Teluk Subelen yang membawa alat-alat
berat. Orang-orang dari berbagai dusun itu membawa senjata tajam
seperti parang, panah, dan tombak. Mereka bersemangat dan sibuk
menyiapkan strategi terbaik untuk menghalau perusahaan kayu yang
hendak masuk ke Siberut. Beberapa LSM yang berbasis di Padang,
mahasiswa, pelajar, serta elite terdidik lain mendukung rencana aksi
ini.
Jarak antara Rogdok dan Saibi cukup jauh. Keduanya terletak
di lembah yang berbeda dan tidak terhubung jalan darat secara lang­
sung. Saibi terletak di pantai timur, sementara Rogdok berada di
da­erah interior. Bila menggunakan speedboat mesin 15 PK, per­ja­
lan­an bisa ditempuh kurang lebih 5 jam melalui sungai dan laut. Isu
perusahaan kayu menautkan apa yang terjadi di Saibi dan seluruh Si­
be­rut. Kampanye yang gencar dilakukan oleh aktivis LSM di Pa­dang
melalui media massa dan kunjungan mereka ke dusun-dusun ber­ha­sil
meletakkan isu-isu terkait penebangan hutan ke dalam pusat per­bin­
cang­an sehari-hari di gereja, kedai-kedai, bahkan di ladang-ladang.
Si­tua­si itu menghubungkan orang Siberut ke dalam isu bagaimana
me­mak­nai dan menghadapi kehadiran perusahaan kayu. Terutama,
isu ini sangat intens dibicarakan oleh para uma pemilik tanah di mana
perusahaan kayu akan beroperasi.
Aman Tawan adalah salah satu warga Rogdok yang dekat de­ngan
ge­rak­an konservasi dan ikut terlibat dalam perjuangan hak-hak ma­
sya­ra­kat adat di Siberut. Dia sudah berulang kali mengikuti pelatih­
an-pelatihan dan pendidikan politik yang diselenggarakan oleh LSM
berbasis di Padang. Rumahnya sering menjadi tempat singgah aktivis
LSM untuk mendiskusikan masalah-masalah politik, hutan, atau kon­
ser­vasi. Yang lebih utama, dia adalah Sikebbukat Uma Sailuluni, uma
yang merupakan anggota uma besar (rak-rak/sirubeiteteu) Satotou
yang memiliki tanah dan hutan di Bat Ladduk di dekat Saibi yang
masuk dalam konsesi penebangan kayu PT KAM.
Pengalaman buruk beberapa warga dengan perusahaan pemegang
Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang dikeluarkan pemerintah daerah
2 Lihat Daftar Istilah. Tentang sejarah terbentuknya dan dinamikanya, lihat Bab 6.
Pembukaan 3

men­jadi bahan utama narasi penolakan. Beberapa bulan sebelumnya,


7 perwakilan Desa Katurei di bagian selatan Pulau Siberut telah me­
la­kukan demonstrasi ke kota Padang. Mereka menuntut bertemu gu­
ber­nur, DPRD, dan Dinas Kehutanan supaya dapat menarik kembali
IPK yang diberikan pemerintah (DTE 2001)—yang saat itu, meskipun
secara de jure sudah menjadi Kabupaten Kepulauan Mentawai pada
1999, namun de facto masih dikuasai Provinsi Sumatra Barat. Warga
Katurei datang langsung ke Padang karena merasa bosan menunggu
su­rat balasan atas penolakan mereka terhadap perusahaan kayu. Me­
re­ka telah berulang kali menyurati pemerintah supaya mencabut izin
PT Sindo dan PT Maharani Puri Citra Lestari di desa mereka. Per­
u­sa­ha­an itu dianggap melakukan penipuan berkedok perkebunan
setelah keduanya menjanjikan penanaman kelapa sawit namun hanya
menebangi kayu dan menggunduli hutan tanpa mereali­sasikannya
(DTE 2000).
Protes-protes serupa telah dilakukan secara masif oleh beberapa
mahasiswa, pelajar, dan warga Siberut di Padang, ibukota Provinsi
Su­ma­tra Barat dan Tuapejat, ibukota kabupaten, serta kota-kota ke­
ca­mat­an. Umumnya, protes-protes tersebut berisi keprihatinan se­
tem­pat akan dampak negatif perusahaan kayu dan kekhawatiran
mun­cul­nya ‘kolonialisme’ baru dari orang luar—terutama dari orang
Su­ma­tra daratan—terhadap orang Mentawai melalui kontrol dan pe­
nguasaan sumber daya alam. Maka, sepanjang awal 2001 itu, selepas
petang atau menjelang hari Minggu, ketika tiba waktu istirahat kerja
di ladang, beranda rumah orang-orang di Siberut menghangat dengan
perdebatan soal sejarah tanah di pulau itu, dampak perusahaan kayu,
dan juga ide-ide tentang pelestarian hutan. Salah seorang narasumber
dari Desa Maileppet di tenggara Siberut menyatakan, sikap warga
Siberut pada waktu itu sangat keras terhadap perusahaan kayu. Atas
nama hak-hak adat dan otonomi, orang di Siberut tidak ingin ditipu
oleh pihak luar dan hutan mereka ditebangi sementara mereka tidak
mendapat apa-apa. Reaksi dari sebagian besar orang Siberut adalah
menentang dan marah. Di kali lain, narasumber tersebut menyatakan
bahwa diam-diam, sebagian warga justru mengharapkan perusahaan
kayu beroperasi; sementara yang lain, tak menduga perusahaan kayu
akan datang kembali.
Wacana konservasi dan ekstraksi telah menjadi sumbu bagi
orang Siberut dalam memperdebatkan bagaimana seharusnya me­
ngelola hutan. Pada dekade 90-an, atas desakan gerakan konservasi
4 Berebut Hutan Siberut

yang menguat di tingkat nasional dan global, Soeharto, yang pada saat
itu berkuasa menjadi presiden, membatalkan semua jenis penebang­
an komersial di Siberut. Kebijakan eksploitasi yang telah berlangsung
selama dua dekade diganti kebijakan konservasi. Pada 1993, negara
menyetujui proyek PKAT yang didanai dengan skema utang dari ADB.
Proyek senilai 24,9 juta dolar AS itu3 bertujuan untuk: memelihara
keanekaragaman hutan dataran rendah tropik; mengelola seluruh
Pulau Siberut sebagai proyek pelestarian alam dan pembangunan
terpadu dengan konsep zonasi yang meliputi taman nasional, cagar
alam, pemanfaatan tradisional, dan pemanfaatan intensif; melaksana­
kan program peningkatan kesadaran masyarakat terhadap sumber
daya alamnya; serta melakukan usaha-usaha perbaikan kehidupan
melalui produksi jenis tanaman keras, aneka ragam usaha kecil hingga
mem­perlancar usaha perbaikan kesehatan (PHPA 1995). Proyek ini
diikuti penunjukan hampir setengah daratan Pulau Siberut (190.500
ha) sebagai taman nasional.
Belum pupus ingatan terhadap serangkaian kegiatan “penya­
daran” tentang pentingnya Pulau Siberut bagi keanekaragaman hayati,
pe­merin­tah pasca-Orde-Baru justru berbalik sikap. Perusahaan kayu
milik Universitas Andalas, PT KAM, mendapat konsesi penebangan
hutan di Siberut seluas 49.500 ha dengan skema Land Grant College
(LGC).4 Konsesi ini berada di bagian tengah Siberut—memanjang dari
utara ke selatan—dan berbatasan langsung dengan kawasan konser­
vasi. Se­be­lum izin operasi diperoleh, beberapa bulan sebelumnya,
per­usa­haan itu me­la­ku­kan survei lokasi penebangan dan membangun
base camp. Na­mun, tidak banyak warga yang mengetahuinya.
Pasca-Orde-Baru, keyakinan dan klaim orang Mentawai sebagai
pemilik tanah dan hutan (sibakkat laggai) meningkat kuat dan mem­
buat mereka menuntut klaim negara atas kepemilikan tanah. Ke­bi­
jak­an desentralisasi dari Jakarta telah membuat Kepulauan Mentawai
mendapatkan otonomi sebagai kabupaten yang telah lama mereka

3 Angka yang dikutip di sini adalah angka yang tercantum dalam proposal resmi, yang akan digunakan
untuk mengimplementasikan program selama 25 tahun. Proyek ini berhenti selama 5 tahun dan tidak
diketahui berapa angka yang telah dihabiskan selama waktu itu.
4 LGC, skema yang dikeluarkan oleh Muslimin Nasution, Menteri Kehutanan (1998-2000) dengan mem-
berikan konsesi hutan kepada lembaga pendidikan (terutama perguruan tinggi) atau pondok pesan­
tren. Tujuan utamanya adalah agar lembaga pendidikan memiliki kawasan hutan untuk penelitian dan
pendidikan. Skema LGC ini memicu banyak perdebatan dan aturan mengenai pengelolaannya tidak
pernah ada. Pada praktiknya, sebagian besar skema LGC dapat digunakan perguruan tinggi untuk
mengeksploitasi hutan yang tidak beda dengan skema HPHH oleh pihak swasta.
Pembukaan 5

perjuangkan. Otonomi ini menguatkan identitas bersama dan mening­


katkan kepercayaan diri orang Mentawai ketika berhadapan dengan
komponen dari luar pulau. Apalagi, orang Mentawai, penghuni Pu­
lau Siberut telah berubah. Mereka bukan lagi orang Mentawai tiga
de­ka­de lampau yang membiarkan hutan mereka dihabisi tanpa kom­
pen­sasi. “Kami bukan lagi orang Mentawai yang gampang ditipu
dan dibodoh-bodohi,” demikian pengakuan penduduk Siberut yang
sering kami dengar. Penduduk Siberut tidak akan lagi dengan suka
rela menyerahkan hutannya kepada pihak lain tanpa ganti rugi, atau
pem­ba­yaran sewa-menyewa yang jelas. Perusahaan tidak akan dapat
begitu saja mengambil kayu dari hutan mereka. Setidak-tidaknya, per­
usahaan-perusahaan kayu tidak akan memperoleh izin penebangan
hutan semudah pada periode 1972-1993, yang oleh Persoon (2003)
disebut sebagai penebangan gelombang pertama di Siberut.5 Banyak
orang yakin akan ada perlawanan.
Protes dan perlawanan sebenarnya sudah dimulai sebelum PT
KAM mendapatkan izin prinsipil dari menteri kehutanan pada 2001.
Se­rangkaian kampanye di tingkat internasional, nasional, dan juga
lokal, dilakukan secara intensif oleh aktivis-aktivis pendukung hak-
hak masyarakat adat dan pelestarian lingkungan. Protes-protes secara
ter­buka, melalui media massa maupun kampanye di tingkat kampung,
di­lakukan untuk menolak kebijakan transmigrasi, pembukaan per­ke­
bun­an kelapa sawit, dan izin-izin pemanfaatan kayu.
Reaksi mengeras setelah kedatangan kapal bermuatan alat-
alat berat, menjadi penanda nyata bahwa perusahaan kayu itu telah
mendapat konsesi penebangan di hutan yang dikategorikan sebagai
hutan produksi tetap oleh Departemen Kehutanan. Merapatnya kapal
di Teluk Subelen juga menandakan bahwa PT KAM sukses bernegosiasi
dengan pemilik tanah di Teluk Subelen. Melihat perkembangan ini,
ak­ti­vis-aktivis LSM segera berkonsolidasi, menggelar pertemuan,
meng­ada­kan rapat-rapat, hingga menyusun rencana dan strategi aksi.
Me­re­ka mengumpulkan dan menyeleksi penduduk yang dianggap
me­no­lak perusahaan kayu. Mereka juga meminta mahasiswa-maha­
sis­wa asal Mentawai untuk berdemonstrasi. LSM-LSM nasional yang
berkantor di luar Siberut melayangkan surat protes kepada De­par­te­
men Kehutanan dan menyampaikan pernyataan sikap antiperusahaan
kayu ke media massa. Lembaga-lembaga multilateral seperti UNESCO

5 Persoon (2003) menyebut, terdapat dua fase penebangan kayu komersial (commercial logging) di Pu-
lau Siberut. Fase pertama dimulai pada 1972-1993. Fase kedua berlangsung sejak 2001-sekarang.
6 Berebut Hutan Siberut

dan ADB secara diplomatis melayangkan surat permohonan agar


pemerintah Indonesia meninjau ulang kebijakan untuk mengeks­
ploitasi hutan Siberut.
Di Siberut sendiri suasana memanas sekitar sebulan sebelum
ka­pal itu merapat. Para aktivis turun ke kampung-kampung untuk
meng­ge­lar diskusi dan membakar emosi pemilik tanah agar menolak
ke­ha­dir­an PT KAM. Mahasiswa dan aktivis LSM menulis petisi. Pa­
da se­ki­tar Mei, banyak mobilisasi orang Siberut ke Padang untuk me­
la­ku­kan protes dan demonstrasi. Namun, sikap warga ternyata su­lit
diduga. Siapa yang setuju dan siapa yang menolak perusahaan ka­yu
sangat sulit dibedakan. Terkadang seseorang mengaku menolak per­u­
sa­ha­an kayu, tetapi diam-diam mencari-cari celah agar bisa me­nang­
guk untung dari kehadiran perusahaan itu. Setiap orang menyimpan
ra­pat-rapat sikap dan posisi mereka terhadap perusahaan kayu da­lam
diskusi terbuka. Namun, segera setelah diskusi usai, mereka me­nyi­ap­
kan rencana-rencana rahasia.
Kebanyakan warga Siberut berupaya mencari aliansi sendiri de­­
ngan para pihak yang berkepentingan terhadap eksploitasi kayu, ba­ik
itu LSM prokonservasi, gerakan adat, perusahaan kayu, hingga pe­ja­
bat setempat. Dengan segala perbedaan tujuan dan harapan, mere­ka
meng­ikuti pertemuan-pertemuan dengan jaringan kerja LSM, ber­
ga­bung dengan tokoh-tokoh yang dianggap memiliki pengaruh dan
ke­kua­sa­an ekonomi-politik, serta keluarga-keluarga pemilik hak atas
ta­nah yang akan dikonsesikan. Sebagian yang lain, yang kurang me­
mi­liki kaitan dengan hiruk-pikuk ini, hanya bisa mengecam da­tang­
nya perusahaan kayu. Namun, dari kelompok yang sama, ada juga
yang justru berharap-harap cemas akan mendapatkan rezeki dari
pem­ba­lak­­an hutan.
Walaupun ada perpecahan pandangan di masyarakat, lebih ba­
nyak orang Siberut yang berpikir tentang konservasi pada 2001; wa­
ca­na penolakan terhadap kehadiran perusahaan kayu begitu kuat dan
ber­ge­ma sampai jauh ke pelosok Siberut. Di kedai-kedai, di pinggir
la­pang­an sepak bola, di gereja-gereja, perbincangan banyak mengulas
apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk menghalangi perusahaan
kayu datang lagi. Alasan yang disampaikan beragam, mulai soal meng­
hin­dari kerusakan lingkungan, kerugian hak-hak masyarakat, hingga
menyiapkan masa depan hutan untuk anak cucu. Biasanya kelompok
pendukung perusahaan kayu lebih banyak bungkam, mendengarkan
secara sembunyi-sembunyi, serta diam-diam menyiapkan strategi un­
tuk mendapatkan celah beraliansi dengan perusahaan kayu.
Pembukaan 7

Gambar 1. Kayu yang siap diangkut ke luar Pulau Siberut dari Teluk Katurei
(Koen Meyers).

Ketegangan memuncak pada Senin malam, 21 Mei 2001. Pendu­


duk Saibi, desa terdekat dari lokasi perusahaan kayu, telah menyi­apkan
aksinya. Sementara itu, ratusan orang dari luar Saibi muncul dari ke­
gelapan. Mereka datang dari arah lautan lepas dengan menumpang
be­lasan perahu cepat. Dengan wajah bercoreng arang atau tertutup
to­peng, serta tangan mengenggam obor, bensin, parang, panah, dan
tombak, mereka menyerbu kapal PT KAM dan base camp perusahaan
kayu yang baru dibangun itu. Seturut penceritaan ulang salah satu
peserta aksi pembakaran itu, ‘suasana mencekam’ dan ‘peristiwa ma­
lam itu mirip adegan dalam film televisi’.6 Mereka membakar base
camp, merusak barang-barang berharga, dan sebagian menghalangi
awak kapal kargo pembawa alat berat itu turun ke darat. Mereka juga
meng­ancam manajer perusahaan agar membatalkan rencana pe­ne­
bangan hutan di Siberut. Pekerja perusahaan dan manajer perusahaan
kayu hanya bisa pasrah melihat base camp yang masih meruapkan bau
kayu meranti itu hangus terbakar. Secepat mereka datang, secepat itu
pula ratusan lelaki berjelaga dan bertopeng itu menghilang kembali
ke laut lepas.
Setelah diusir dari Subelen, kapal kargo tersebut dengan cepat
balik ke laut lepas, dan kembali pada malam hari untuk menyelamatkan

6 Keterangan dari Aman Fidelis, warga Saibi yang terlibat dalam peristiwa pembakaran.
8 Berebut Hutan Siberut

peralatan. Kapal melempar jangkar esok harinya di Pokai, sebuah


der­ma­ga di Siberut Utara. Perwakilan Koperasi Andalas bertemu
de­ngan pihak berwenang dan melaporkan kejadian pembakaran
ter­se­but secara resmi kepada pemerintah di Siberut Utara (ibid).
Na­mun, berita pembakaran log-pond Subelen bergerak cepat dan
me­nyu­lut kemarahan penduduk di sekitar Sikabaluan. Warga dari
Dusun Pokai dan Desa Sikabaluan beramai-ramai mendatangi kantor
kecamatan dan menghentikan pertemuan. Mereka menolak kehadiran
perusahaan kayu dan mengancam akan menenggelamkan kapal yang
tengah bersandar. Setelah unjuk rasa selama sehari penuh, kapal
beserta traktor penebang kayu dibawa kembali ke Sumatra.
Sehari berselang, satu peleton tentara dari Padang datang de­
ngan kapal cepat ke Desa Saibi, yang secara administratif membawahi
Teluk Subelen. Beberapa tentara dan polisi juga dikirim dari Tuape­jat,
ibukota Kepulauan Mentawai, atas permintaan pemerintah provinsi.
Menurut keterangan resmi pemerintah, tentara itu dikirim untuk me­
nyelesaikan masalah dukun santet di Sirilogui, desa tetangga Saibi.7
Namun kata rumor yang berkembang, perusahaan ka­yu meng­
undang mereka untuk menyelidiki dan mengamankan situasi pa­sca­
pembakaran. Begitu tiba di Siberut, tentara mengumpulkan penduduk
dewasa. Disertai dengan gebrakan meja, hentakan popor senapan,
serta ancaman untuk memenjarakan orang-orang yang terlibat,
tentara mendesak semua yang hadir untuk menyerahkan orang yang
menjadi pencetus ide dan perencana pembakaran base camp malam
itu. Sekitar 60 orang diinterogasi. Namun, sampai dini hari tak seorang
pun yang mengaku atau menyerahkan nama-nama yang diminta. Atau
lebih persisnya, warga mengakui bahwa aksi itu direncanakan dan
dilakukan bersama-sama. Dapat disimpulkan, pengakuan itu sangat
jelas menyiratkan sebuah strategi kolektif penduduk Saibi, meskipun
sebagian para pemrotes berasal dari luar Saibi.
Rencana pembakaran malam sudah disiapkan saat koordinasi
pada hari-hari sebelumnya di Saibi dan di luar Saibi. Di Saibi, gerak­
an protes ini dikoordinasi secara longgar oleh pemuda setempat. Me­
re­­ka berusaha untuk mengambil kepemimpinan gerakan karena hu­

7 Hiruk pikuk pembakaran log pond Subelen sangat terkait peristiwa pembunuhan dukun santet. Kete­
rangan RMd, salah seorang aktivis yang terlibat penuh di belakang layar dalam aksi ini mengatakan
bahwa, benar, dia dan jaringan LSM memanfaatkan momentum heboh dukun santet untuk memanas-
kan situasi dan mengubah emosi massa Siberut menjadi aksi konfrontatif terhadap perusahaan kayu.
Keterangan ini konsisten dengan DTE (2001) yang melaporkan peristiwa Subelen, kedatangan polisi
dan penanganan konflik dukun santet di Sirilogui.
Pembukaan 9

tan yang akan dieksploitasi berada di kawasan desanya. Mereka juga


menjadi juru bicara saat bernegosiasi dengan perusahaan kayu. Selain
warga Saibi, para penyerang juga berasal dari daerah lain lain seperti
Rogdok, Madobak, Katurei, dan Maileppet. Target awal mereka ada­
lah menghalangi kapal ponton milik PT KAM, yang membawa trak­tor,
trailer, dan alat-alat penebangan kayu agar tidak merapat ke der­ma­ga
Teluk Subelen. Di belakang gerakan ini, meskipun tidak selalu se­cara
eksplisit disebutkan, terdapat peran besar aktivis LSM dan ja­ring­an­
nya.
Tak seorang pun warga Saibi yang membuka mulut mengenai
keterlibatan komponen dari luar, semisal LSM lokal dan aktivis kon­
servasi, dalam pendanaan maupun perencanaan protes tersebut. Pada
sisi lain, petinggi Universitas Andalas dan PT KAM menuding LSM
berada di belakang aksi pembakaran ini (Mimbar Minang, 26 Mei
2001). Sampai tengah hari pada hari berikutnya, tentara dan polisi
serta perusahaan kayu tidak bisa membuktikan kecurigaan mereka
tentang adanya pihak luar yang membantu protes di Teluk Subelen.
Penduduk Saibi juga tidak menyebut-nyebut keterlibatan penduduk
dari dusun lain. Mungkin karena putus asa, militer yang didatangkan
oleh perusahaan kayu itu melepas seluruh warga Saibi. Mereka hanya
meminta keterangan tentang peristiwa itu dan memaksa penduduk
Saibi wajib lapor ke pos polisi di Muara Sikabaluan.
Sementara itu, orang-orang dari Rogdok yang berdiskusi di ru­
mah Aman Tawan dan ikut dalam penyerangan kembali malam itu
juga ke kampungnya—seperti halnya penduduk dari tempat lain. Me­­
re­­ka membahas aksi malam itu selama berhari-hari di beranda ru­mah
dan menceritakan ulang kepada para tetangga yang hanya bisa men­
dengarkan dengan rasa takjub dan bangga—meskipun beberapa juga
sinis. Yang pasti, aksi pembakaran itu telah menghangatkan cuaca
sosial dan membuat wacana terkait pengelolaan hutan memanas. Di
hari-hari itu, tema gerakan adat, desentralisasi, otonomi, dan hak-hak
masyarakat menjadi topik yang menghabiskan banyak waktu orang
Siberut.

Akhir Tidak Bahagia dan Lakon di Balik Skenario


Cerita di atas kami narasikan kembali berdasarkan penuturan
para pelaku penyerbuan itu dan kunjungan ke Teluk Subelen. Tentu
saja kisah tersebut adalah versi ringkas dari kenyataan yang kompleks.
10 Berebut Hutan Siberut

Kampanye dan aksi pembakaran itu melibatkan banyak skenario dan


plot yang campur baur dan tidak tersusun rapi, serta melibatkan
banyak tokoh yang sebagian sengaja dan ingin muncul ke permukaan
sementara yang lain memilih bekerja di balik layar. Kisah itu sendiri
memiliki banyak rentetan peristiwa dan segera menjadi narasi de­ngan
berbagai versi di kalangan wartawan dan aktivis lingkungan, serta di
masyarakat.8
Dalam narasi media massa yang muncul kemudian, tokoh dan
jalan cerita peristiwa di Saibi tidak memunculkan kisah seperti cerita
orang-orang Penan atau petani karet Amazon dengan Chico Mendez-
nya. Media massa juga kurang masif dalam memberitakan perjuang­
an orang Mentawai. Di sini tidak ada narasi tentang keberhasilan
sekelompok masyarakat adat9 yang berjuang melindungi tanah mere­ka
dari eksploitasi perusahaan yang datang dari luar. Tidak ada skenario
yang berjalan seperti kisah klasik dengan satu garis besar cerita: ma­
sya­rakat pedalaman melawan agen-agen kapitalisme. Laporan yang
terbit sesudah kejadian itu tidak banyak bertutur tentang sebuah citra
klasik tentang ‘masyarakat adat yang berhasil melawan agen kapi­
talisme’.
Lima tahun berselang, kami berjumpa dengan beberapa orang
yang terlibat langsung dengan kejadian tersebut. Kami berharap
mendapatkan gambaran yang rinci dan lengkap perihal potongan-
potongan sejarah yang membentuk dan mewarnai perlawanan
masyarakat Siberut dalam mendapatkan akses dan kontrol atas penge­
lolaan hutan di pulau mereka. Kami mengunjungi Saibi, berdiskusi
dengan uma-uma10 yang memiliki hak atas tanah di wilayah konsesi
perusahaan kayu dan juga di kantong-kantong gerakan masyarakat
adat. Kami bertemu pemimpin lokal yang terlibat dalam peristiwa
tersebut (ketua pemuda, kepala desa, dewan adat, keluarga pemilik
tanah) dan juga tokoh-tokoh figuran yang melihat peristiwa itu dari

8 Kisah mengenai aksi pembakaran tersebut dapat dilihat dalam satu edisi DTE (Mei 2001), harian
Kompas (27 April 2001), majalah Tempo (11 Juni 2001), dan harian lokal Mimbar Minang (20, 23, 26
Mei 2011). Puailiggoubat melaporkan kisah ini lama setelah kejadian berlangsung. Sebuah film yang
disokong oleh Conservation International-Indonesia Program berjudul Luka Hutan Siberut memuat
keterangan penduduk lokal di Saibi tentang peristiwa tersebut (Inform, 2004). Dua film buatan Yayasan
Citra Mandiri (YCM), sebuah LSM lokal, masing-masing berjudul Investigasi HPH KAM (2003) dan Il-
legal Logging Mentawai (2006), juga memuat persepsi penduduk Siberut tentang peristiwa Saibi.
9 Istilah masyarakat adat digunakan sebagai terjemahan dari indigenous people—meskipun penerje-
mahan ini dalam konteks Indonesia tidak sepenuhnya mudah (lihat Li 2001; Davidson, Henley, dan
Moniaga 2010).
10 Lihat keterangan uma di Daftar Istilah dan juga penjelasan di Bab 2. Keterangan rinci menge­nai uma
bisa dilihat di Bab 3 atau Schefold (1979; 1998; 1991), Persoon (1995), dan Loeb (1972).
Pembukaan 11

jarak agak jauh. Kami juga mendengar secara langsung opini-opini


dari kalangan LSM dan aktivis konservasi tentang peristiwa itu.
Meskipun kami telah menyiapkan diri terhadap segala ke­mung­
kin­an, termasuk menemukan cerita versi lain, kami tetap terkejut
dengan apa yang kami dengar. Kami tidak mendapatkan narasi
yang teratur dan beralur. Berbagai keterangan mengenai peristiwa
pembakaran dan implikasinya saling bertolak belakang dan tidak
bersesuai­an. Kami juga dikejutkan dengan kenyataan bahwa tak be­rapa
lama setelah drama pembakaran base camp itu, empat uma pemilik
tanah dan hutan yang ikut terlibat dalam aksi itu, berbalik sikap.
Mereka kemudian turut membangun kembali base camp perusahaan
(ban­dingkan dengan DTE 2001). Selanjutnya dapat diduga, mereka
menjual hutannya kepada perusahaan kayu itu. Sebagian peserta aksi
ternyata memanfaatkan kesempatan ini untuk berunding dengan per­
usahaan, meminta pekerjaan, dan mendapatkan uang. Sebagian lagi
mendirikan koperasi kecil untuk membantu operasi perusahaan.
Beberapa orang yang terlibat langsung dalam peristiwa itu de­ngan
nada sinis mengatakan bahwa beberapa elite desa telah memanfaatkan
momentum itu untuk kepentingan sendiri. John, taruhlah namanya
demikian, salah seorang tokoh pemuda yang mengaku sebagai pelo­
por gerakan ini, cukup kesal dengan pejabat-pejabat dan elite-elite
desa yang mendapat keuntungan dari perusahaan kayu dengan
cara mengancam akan merongrong perusahaan kayu itu. Padahal
menurutnya:
Apa orang-orang itu? Mereka itu penakut. Dulu mereka me­la­
rang-larang saya untuk mengumpulkan pemuda dan melakukan
ak­si pem­bakaran. Mereka mengatakan, nanti kita ditangkap
po­li­si atau Saibi tidak mendapat bantuan pembangunan. Tapi
se­ka­rang? Merekalah yang mendapat uang dari perusahaan
kayu. Mereka mendapat uang keamanan setiap bulan dengan
meng­ancam-ngancam perusahaan kayu. Mereka mengambil ke­
untung­an dari tindakan saya dan teman-teman saya!11

Tak ketinggalan, banyak desas-desus yang menyatakan bahwa


beberapa pejabat militer dan agen pemerintah di tingkat lokal turut
mendapatkan manfaat dari kehadiran perusahaan kayu. Warga di
Siberut dengan teliti menyimak, setiap kali perusahaan kayu akan

11 Diperoleh saat Darmanto mengunjungi Saibi pada 2 November 2005.


12 Berebut Hutan Siberut

me­ngi­rim kayu ke daratan Sumatra, terlihat pula pejabat militer dan


polisi setempat ikut serta ke lokasi pengiriman kayu. Mereka selalu di­
ajak untuk mengamankan lokasi penebangan dan pengangkutan kayu
PT KAM. Keterlibatan ini ditengarai memberi keuntungan ekonomi
bagi para pejabat militer yang bertugas di Siberut. Rumor tentang
ke­terlibatan ini cukup sukar dibuktikan, namun penduduk Siberut
me­ngatakan bahwa setelah ada perusahaan kayu, beberapa pejabat
militer dan polisi setempat mampu membangun rumah yang bagus,
terbuat dari semen dan keramik. Mereka juga sering terlihat mem­
bawa kayu dari perusahaan dan mengaku kepada tetangganya bahwa
ia mendapatkan kayu tersebut dengan harga sangat murah—dan
kadang cuma-cuma.
Perubahan sikap dan perilaku beberapa aktor dalam peristiwa
Teluk Subelen menciptakan aneka tafsir. Ini sesuatu yang hampir
berkebalikan dengan fakta bahwa hampir semua pihak yang terlibat
mengklaim berkontribusi paling besar dalam peristiwa itu. Beberapa
warga Desa Saibi bicara lantang bahwa pembakaran itu adalah pra­
karsa mereka sendiri. Mereka mengklaim, tanpa warga Saibi, aksi ini
tidak akan terjadi. Sebaliknya, beberapa elite lokal di Saibi mengata­
kan bahwa sebagian besar warga desanya hanya ikut-ikutan. Seorang
mantan ketua pemuda desa mengatakan, protes itu terjadi karena
keberhasilannya menggerakkan masyarakat, yang menurut dia, tidak
tahu apa-apa tentang gerakan ini. Di tempat lain, beberapa elite lokal
ingin menonjolkan peranan mereka dalam pembakaran itu; sedang­
kan beberapa aktivis LSM mengungkapkan, mereka telah berhasil
mendesain dan merencanakan aksi sehingga keterterlibatan mereka
di belakang layar tidak bisa dideteksi oleh militer, pemerintah, dan
perusahaan kayu.12
Akan tetapi, ketika pertanyaan kami balik, apakah pembakaran
itu dianggap berhasil bagi usaha penyelamatan hutan hujan tropis,
meningkatkan kesadaran rakyat terhadap hak-haknya? Apa tujuan
utama protes itu? Tidak ada jawaban tunggal. Sebagian aktor
pembakaran bercerita dengan bersemangat bahwa aksi itu terjadi di
luar ke­sadaran. Emosi memainkan peran penting dalam peristiwa itu.
Mereka mengenang, saat itulah mereka terhubung secara emosional

12 Paragraf ini disimpulkan dari beberapa diskusi dengan penduduk Saibi dan juga RMd, mantan Direktur
LSM yang terlibat dengan peristiwa Saibi. Namun, dalam wawancara ulang de­ngan RMd, tujuan
keterlibatan LSM pada waktu itu tidak semata untuk tujuan konservasi. Yang lebih penting adalah
perjuangan untuk mempertahankan hak orang Mentawai terhadap sumber daya alam.
Pembukaan 13

sebagai orang Mentawai sehingga bisa bersatu. Adanya musuh


tunggal dalam wujud perusahaan kayu membuat darah mereka panas
dan semangat meluap-luap. Namun ironisnya, hampir semua pihak
sepakat mengatakan, aksi itu tidak banyak memberi keuntungan bagi
gerakan penghentian operasi perusahaan kayu.
Ketika kami lanjutkan pertanyaannya tentang siapa yang ber­
tanggung jawab atas kegagalan tersebut, semua pihak seakan-akan
cuci tangan. Aktivis LSM yang menyokong aksi tersebut menekan­
kan, kegagalan itu karena lemahnya komitmen masyarakat terhadap
perjuangan ini. Salah seorang aktivis yang kami wawancarai menga­
takan, sebenarnya dari awal mereka sudah ragu dengan komitmen
masyarakat terhadap isu konservasi; sedangkan perusahaan kayu,
menurut dia, memiliki banyak uang yang bisa membuat masyarakat
dengan gampang bisa melupakan segala pelatihan dan usaha pening­
katan kesadaran tentang pentingnya pelestarian alam. Kekuatan uang
juga akan menyebabkan mereka melupakan hak-hak atas tanah adat­
nya.
Sebaliknya, warga dan pemimpin lokal terkesan menyalahkan
LSM yang dinilai setengah hati membantu mereka. Mereka meng­
ang­gap, kalangan LSM tidak berani bertarung secara terbuka dan
ha­nya bekerja di balik layar. Bahkan, beberapa orang secara eks­
trem menuduh insiden Saibi telah dibajak oleh aktivis LSM untuk
menaikkan gengsi, mengharumkan nama, dan memperlancar proyek-
pro­yek mereka sendiri. Para aktivis LSM dianggap tidak mendukung
war­ga Saibi pada saat-saat sulit, yaitu ketika mereka menghadapi
polisi dan militer yang didatangkan PT KAM. “Ketika kami ditangkap
dan dibawa ke kantor polisi, orang-orang LSM itu sudah nyenyak
ti­dur di rumah bersama keluarganya,” begitu alasan yang sering di­
ung­kapkan masyarakat. Keluarga-keluarga yang menjual tanah ju­ga
menyalahkan pihak lain, terutama LSM. Mereka menyatakan se­be­
narnya mau mempertahankan tanah dan hutan, akan tetapi dukungan
yang didapatkan dari pemimpin lokal dan aktivis LSM sangat sedikit.
Mereka menyatakan tidak akan mampu melawan perusahaan kayu
sen­diri. Di sisi lain, aktivis dan tokoh-tokoh lokal sepakat menyatakan
bah­wa per­usahaan kayu tidak bisa dihalangi jika sudah beroperasi
karena hal itu menyebabkan pemilik tanah tergiur untuk mendapatkan
uang.
Pada lain hal, insiden Saibi mengubah taktik perusahaan kayu.
Sebenarnya mereka sudah menduga akan menghadapi protes dan
14 Berebut Hutan Siberut

perlawanan dari orang Siberut, walaupun tidak mengira perlawan­


an itu berwujud kekerasan dan pembakaran. Sebelumnya, selama dua
puluh tahun beroperasi di Siberut pada masa Orde Baru, perusaha­an
kayu tidak pernah mendapat perlawanan dan protes secara terbuka.
Selama itu, masyarakat juga tidak pernah menuntut kompensasi atas
pengambilan kayu di hutan mereka. Sepanjang 2 dekade eksploitasi
(1970—1990-an) penduduk Siberut tidak banyak menuntut per­u­sa­ha­
an kayu untuk membayar kompensasi atas hutan mereka dan tidak
ada pengggunaan wacana-wacana adat dalam tuntutan yang pernah
terdengar.
Perusahaan kayu memahami masyarakat telah berubah. Ke­sa­
dar­an politik warga meningkat dan mereka mulai menuntut hak-hak
adat atas tanah mereka yang sebagian telah diakomodasi oleh un­
dang-undang.13 Namun perubahan di Siberut dirasakan cukup ra­di­
kal. Se­telah insiden itu, semakin banyak orang Siberut menuntut PT
KAM atas nama hak-hak adat atas tanah. Para pemilik hutan bakau
menuntut pembayaran atas hutan bakau yang rusak karena digunakan
untuk dermaga angkut kayu (log pond). Para pemilik tanah yang di­
lewati oleh traktor perusahaan juga menuntut kompensasi. Belum lagi
denda-denda adat yang dijatuhkan kepada perusahaan kayu akibat
se­ngaja maupun tidak sengaja merusak tanaman-tanaman (durian,
bambu, tanaman buah) milik penduduk. Meskipun agak jarang, PT
KAM juga pernah diadili karena pelanggaran adat dan terus mendapat­
kan tuntutan agar memberi ganti rugi yang berbeda dari uma-uma
yang berbeda (Darmanto 2005).
Insiden Teluk Subelen memaksa perusahaan kayu mengubah
strategi. Mereka harus mengakomodasi tuntutan-tuntutan orang Si­be­
rut. Meskipun secara resmi telah mendapatkan izin dari Departemen
Kehutanan, perusahaan kayu harus melibatkan masyarakat untuk
mendapatkan akses ke wilayah konsesi mereka. Mereka juga harus
mempekerjakan orang Siberut untuk mengamankan jalannya usaha.
Mereka juga “terpaksa” membayar uang kompensasi (pulajuk mone)
sebesar Rp30.000 untuk setiap satu meter kubik kayu yang diolah

13 UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Tahun 1960 (UU Pokok Agraria) secara eksplisit meng­
akui adanya hak-hak adat bagi sumber daya yang dimiliki masyarakat meskipun sangat dibatasi oleh
klausul “sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercan-
tum dalam Undang-undang ini”. Klausul tersebut menunjukkan sifat kontradiksi UU ini; lihat pasal 3
misalnya. Tentang ini, Fitzpatrick (2010: 177-186) serta Gautama dan Harsono (1972) memberikan
diskusi ekstensif.
Pembukaan 15

kepada pemilik lahan dan kayu (sibakkat laggai). Perusahaan kayu


juga harus merekrut warga di sekitar konsesi sebagai pekerja lapang­
an, misalnya sebagai pengupas kulit kayu, operator gergaji mesin,
atau penghitung kubikasi kayu. Strategi akomodasi ini sa­ngat penting
bagi keberlangsungan perusahaan kayu sekaligus sebagai cara untuk
menghindari konflik secara langsung dengan masyarakat. Faktanya,
banyak warga Siberut yang tertarik dan berkeinginan be­kerja de­
ngan perusahaan kayu. Karena di Siberut tidak banyak industri yang
menye­rap tenaga kerja, perusahaan kayu memberi peluang pekerjaan
di luar sektor pertanian.
Di luar elite-elite terdidik yang bekerja di LSM atau masih kuliah,
bagi penduduk Siberut kebanyakan, perusahaan kayu memberi ba­
nyak peluang untuk meraih penghasilan. Bagi orang-orang yang
pernah bekerja di perusahaan kayu, mereka tidak mempermasalahkan
adanya penguasaan hutan oleh pihak luar. Mereka juga mendapat
banyak manfaat; misalnya mendapatkan pekerjaan, memperoleh
beasiswa pendidikan bagi anak-anaknya, dan berkesempatan membeli
peralatan sehari-hari (televisi, rokok, baju) dari uang kompensasi
perusahaan kayu. Sebagian orang Siberut tidak menolak untuk ber­
aliansi dengan perusahan kayu. Salah seorang warga Saibi yang be­
kerja di perusahaan kayu sebagai surveyor mengatakan, perusahaan
memiliki kekuasaan yang besar, yang ditunjukkan dengan kemampuan
mereka menggunakan alat-alat canggih untuk mengubah hutan
menjadi bermanfaat secara ekonomi. Dia secara suka rela bekerja
karena bergabung dengan perusahaan kayu—bekerja dengan pihak
luar—memberinya kesempatan untuk meningkatkan keterampilan
dan pengalamannya.
Bagi pemuja cerita kepahlawanan masyarakat atau individu-
indi­vidu yang mempertahankan hutan hujan tropis demi pelestari­
an lingkungan atau hak-hak masyarakat pinggiran, kisah dari Saibi
barangkali tidaklah menarik untuk disebarluaskan. Kisah Saibi tidak
menghasilkan sebuah lakon yang membanggakan bagi perjuangan
lingkungan yang berkelanjutan. Situasi ini dengan mudah dilihat
sebagai kegagalan usaha advokasi atau pelestarian alam yang telah
dimulai sejak dekade 1980-an di Siberut. Ini juga berarti banyak
pertanyaan mengenai pengaruh investasi tenaga, waktu, dan uang
yang digunakan untuk menanamkan wacana pelestarian alam melalui
serangkaian pelatihan dan program pemberdayaan masyarakat.
Menjadi wajar kalau dukungan nasional dan kaum aktivis lingkungan
16 Berebut Hutan Siberut

ter­hadap pelestarian Siberut sejak dekade 2000-an menyurut sejenak


dan beralih pada isu untuk mendukung gerakan masyarakat adat.
Tidak banyak laporan media yang mengikuti kisah Siberut ini secara
konsisten.14 Laporan-laporan media cetak terbatas pada pemuatan
berita bersumber siaran pers atau surat-surat terbuka dari aktivis
kepada Departemen Kehutanan. Dinamika masyarakat sendiri sangat
sedikit mendapatkan tempat di media massa nasional.
Persepsi terhadap insiden Saibi bagi aktor pembakaran, aktivis
LSM atau kalangan prokonservasi, bermakna ganda. Ketika mereka
bicara terhadap diri mereka sendiri, kisah ini dikenang sebagai cerita
yang hebat. Begitu pula dalam pertemuan-pertemuan di tingkat re­
gio­nal dan nasional, beberapa aktivis LSM dan gerakan adat selalu
menghubungkan cerita ini dengan kemenangan gerakan orang Men­
tawai.15 Cerita ini disebut sebagai titik awal bangkitnya kesadaran war­
ga Siberut terhadap hak-hak masyarakat dan pelestarian alam. Cerita
tersebut menjadi narasi yang memberi nilai tambah bagi perjuang­
an hak-hak masyarakat Mentawai dan konservasi keanekaragam­an
hayati.
Akan tetapi ingatan bekerja dengan cara yang rumit, dan se­ring­
kali menyingkirkan kenangan yang tak disukai. Nilai tambah yang se­
ring dimunculkan itu lebih banyak dilihat sebagai sejenis kepahlawan
dalam bentuk yang paling sederhana, yakni kebanggaan. Ada bentuk
kepuasan tersendiri ketika peristiwa ini diceritakan ulang dan di­ke­
nang. Tetapi, kami yakin, orang yang menceritakan kisah ini secara
heroik tidak memiliki versi yang sama dengan apa yang ditangkap
oleh pemilik tanah, warga Saibi kebanyakan, dan masyarakat Siberut
secara luas. Dalam kehidupan sehari-hari, peristiwa Saibi tidak me­
munculkan protagonista, baik pribadi atau komunitas, yang dapat
dikenang secara membanggakan.
Secara kolektif, bagi orang Saibi atau Siberut, tidak ada versi
yang heroik, meluap-luap dan penuh kemenangan. Tidak ada cerita
yang mirip dengan perjuangan orang-orang Penan dan Bruno Manser
di Borneo, atau pelestarian hutan karet ala Chico Mendez di Amazon,
14 Laporan-laporan media massa pascaperistiwa Saibi menyurut. Sebagai ilustrasi, 17 artikel dimuat di
Kompas, Tempo, Media Indonesia, dan harian lokal seperti Singgalang dan Mimbar Minang sepanjang
2001-2003, pada saat gerakan konservasi menolak keberadaan PT KAM dan PT SSS; sementara
pada kurun 2004-2008, hanya terdapat 13 artikel mengenai isu pelestarian alam Pulau Siberut.
15 Misalnya dalam Kongres AMA-PM (Aliansi Masyarakat Adat-Peduli Mentawai) 2006, insiden Saibi
banyak muncul menjadi pelatuk bagi wacana kesadaran masyarakat Mentawai. Juga dalam forum
Kongres AMAN III di Pontianak, perwakilan dari Mentawai mempresentasikan peristiwa Saibi untuk
memulai diskusi kebangkitan gerakan masyarakat Mentawai.
Pembukaan 17

atau model gerakan Chipko di Himalaya. Kisah dari Saibi ini, bahkan
oleh kebanyakan orang Saibi sendiri, tidak dianggap berakhir dengan
manis atau menghasilkan kemenangan. Sebaliknya, sebagian orang
yang kami wawancarai menganggap insiden itu hanya menguntung­
kan segelintir orang.
Sebagian penduduk Siberut sendiri—baik yang terkait dengan
peristiwa itu maupun tidak—menilai kegagalan perjuangan pembelaan
lingkungan tersebut disebabkan adanya saling klaim dan pertikaian
internal. Posisi masyarakat terhadap perusahaan kayu tidak tunggal
dan bervariasi, mulai dari yang mengecam sampai yang berkolabora­
si, dari yang menolak sampai yang menerima. Dilihat dari banyak si­
si, masyarakat Siberut tidaklah seperti yang diidealisasikan sebagai
ma­sya­rakat adat yang akan melindungi hak-hak adat dan nilai-nilai
konservasi. Mereka bukanlah produk generik kampanye romantis ak­
ti­vis prokonservasi dan media. Mereka juga berhasrat untuk terlibat
dalam eksploitasi atau pun konservasi, sejauh mereka mendapatkan
keuntungan dari keterlibatan itu. Ini menunjukkan bahwa agenda
ma­syarakat terhadap perusahaan kayu tidaklah tunggal dan ter­
frag­mentasi. Banyak orang Siberut menunjukkan sikap yang sangat
akomodatif terhadap kehadiran pihak luar yang akan mengontrol dan
menguasai sumber daya alam mereka. Kekuasaan dari luar diterima
dan ditolak bukan karena aspek-aspek idealis seperti ‘konservasi’
tetapi hanya jika memberikan manfaat yang konkret bagi kelompok
setempat.
Pembakaran base camp PT KAM bukanlah peristiwa yang murni
hasil perjuangan masyarakat Siberut dan dilandasi nilai-nilai lokal
yang bersifat endogen. Aksi tersebut sangat dipengaruhi dan berhu­
bungan dengan bidang-bidang lain, seperti tumbuhnya gerakan si­pil
di Mentawai, munculnya wacana adat dan gerakan pendukung­nya,
perubahan kekuasaan dan politik akibat desentralisasi, dan kam­
pa­nye pelestarian alam melalui media massa dan proyek-proyek ta­
man nasional. Pembakaran itu juga tidak terlepas dari keberhasilan
masyarakat Siberut bekerja sama dengan aktivis hak-hak masyarakat
adat dan kalangan prokonservasi yang berbasis di luar Siberut. Para
pemrotes—yang benar-benar berdedikasi melindungi hak atas sumber
daya alam dan mengakui pelestarian alam sebagai jalan terbaik untuk
masa depan Siberut—mendapatkan gagasannya dari kombinasi
keprihatinan mendalam terhadap perikehidupan orang Siberut dan
juga pertautan mereka dengan wacana soal adat atau politik regional
dari aktivis LSM.
18 Berebut Hutan Siberut

Sedangkan perusahaan kayu juga tidak bisa dilihat sebagai pihak


yang harus berada di dunia hitam. Mereka mendapat izin legal dari
negara. Di luar peranannya sebagai penyebab hilangnya hutan alam
di Siberut, perusahaan kayu membuka lapangan kerja atau menanam­
kan investasi untuk pengelolaan, meskipun banyak studi dan bukti
menyatakan bahwa perusahaan kayu di Siberut hanya mengeruk ke­
untungan belaka tanpa memikirkan aspek keberlanjutan (Anonim
2005a; Suhandi dan Anggraini 2002). Cerita itu menunjukkan bahwa
klaim terhadap akses sumber daya hutan bagi masyarakat juga meng­
gunakan aneka strategi. Tidak hanya mengandalkan ide-ide yang me­
lulu berdasar logika konservasi, persoalan tersebut juga bertautan de­
ngan keterlibatan masyarakat Siberut dengan pasar, lapangan kerja,
dan hubungan-hubungan kekuasaan.
Fakta yang menarik untuk diberi catatan adalah bahwa aksi pro­
tes dan pembakaran base camp PT KAM merupakan aksi warga Si­
berut yang dilakukan secara terbuka untuk pertama kali. Sepan­­jang
berurusan dengan eksploitasi hutan yang sudah berlangsung se­la­ma 30
tahun, tidak ada dokumen yang melaporkan adanya protes masya­rakat
secara terbuka melalui demonstrasi, sabotase, atau dalam bentuk pe­
ngaduan hukum secara formal. Tidak ada publikasi yang menyiar­kan
adanya aliansi antaruma yang berdemonstrasi menyatakan keberatan
terbuka atas keberadaan perusahaan kayu.16 Mengapa protes terbuka
dan demonstrasi, bahkan menggunakan cara kekerasan, baru muncul
pa­da 2001, padahal eksploitasi hutan dan kehadiran perusahaan ka­
yu sudah berlangsung sejak 1970-an? Apa alasan dan tujuan di ba­lik
perlawanan ini? Apa hubungannya dengan peristiwa serupa di Si­po­ra
beberapa tahun sebelumnya? Mengapa kebanyakan pemrotes meng­
gunakan retorika adat dan wacana tentang identitas masyarakat Men­
tawai? Mengapa mereka juga menggunakan retorika konservasi un­
tuk memprotes kehadiran perusahaan kayu sementara mereka secara
berkala membuat petisi dan surat pernyataan penolak­an terhadap
taman nasional yang membawa wacana pelestarian alam? De­ngan
me­lacak sejarah bagaimana hutan dikelola di Pulau Siberut dan
perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang sejarah, buku ini ber­
usaha mencari penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

16 Beberapa laporan pada dekade 1980-an dan awal 1990-an dari media—terutama dari luar ne­geri—
pernah memberitakan adanya protes orang Siberut terhadap perusahaan kayu. Misalkan Cohen (1992)
dan S.O.S (1991). Tetapi sejauh yang bisa dikonfirmasi dengan penduduk Siberut secara langsung,
keterlibatan mereka hanya dimobilisasi pihak luar tanpa ada keinginan dari mereka sendiri.
Pembukaan 19

Akses dan Kontrol terhadap Hutan Siberut:


Analisis Buku Ini
Tak hanya di Siberut, konflik pengelolaan hutan juga terjadi di
selu­ruh dunia. Banyak pihak yang terlibat, mulai dari masyarakat
lokal dan pendukungnya, pihak swasta, serta negara. Konflik-konflik
yang menyertai perebutan hutan tidak pernah terpisah dari pengaruh
en­titas politik dan ekonomi yang besar, seperti sosio-ekonomi
regional, pro­ses terbentuknya negara-bangsa, serta pasar global—dan
juga, da­ri masa yang agak jauh, tidak bisa dipisahkan dari kebijakan
ko­lonialisme. Beberapa akademisi menggunakan kerangka analisis
eko­­logi politik guna memahami secara mendalam situasi sumber
daya alam di tingkat lokal (lihat Blaikie 1985; Peluso 1992; Becker
2001). Kerangka teori dalam studi ekologi politik mencakup analisis
studi empiris dalam konteks lokal dan pertautannya dengan analisis
struktur politik ekonomi yang lebih luas di tingkat regional, nasional,
dan skala global (Blaikie dan Brokfield 1987; Peet dan Watts 2004).
Dengan menggunakan pisau analisis tersebut, kasus-kasus seperti
Siberut hanya bisa dipahami melalui pengkajian interaksi pihak-pihak
kunci di tingkat lokal dan sehari-hari serta menempatkannya dalam
konteks ekonomi politik pada skala yang luas.
Banyak studi yang menggunakan pendekatan ekologi politik
meng­­­adopsi analisis multidisiplin serta menggunakan berbagai ben­
tuk data: eksplorasi tentang ketidakadilan sosial yang seringkali dise­
bab­kan, atau menyebabkan, degradasi lingkungan; penekanan pen­
ting­nya isu politik dalam masalah lingkungan, termasuk genealogi
dan implementasi kebijakan negara; dan kesadaran akan kemungkin­
an “strategi pembangunan alternatif” dan gerakan sosial (Peet dan
Watts 2004). Dalam kerangka analisis yang luas tersebut, orientasi
teo­retis buku ini adalah mengidentifikasi pentingnya peran institu­
si dan relasi sosial sebagai sarana mengekspresikan tuntutan lokal
atas te­kan­­an dan peluang ekonomi dan politik pengelolaan sumber
daya alam (Peluso 1992; Ribot dan Peluso 2003; Mearns dan Scoones
1999).
Analisis yang digunakan dalam buku ini juga dipengaruhi oleh
teori akses yang dikenalkan Ribot dan Peluso. Untuk memahami ba­
gaimana masyarakat lokal seperti di Siberut berusaha mendapatkan
ke­untungan dari sumber daya alam, Ribot dan Peluso (2003: 157)
men­de­finisikan ulang gagasan akses sebagai “bundelan dan jaring­
an kekuasaan” yang berisikan makna, proses, dan relasi sosial yang
20 Berebut Hutan Siberut

mem­buat aktor-aktor “memiliki kemampuan untuk mendapatkan


kon­trol dan memelihara akses atas sumber daya alam”. De­ngan mem­
ban­ding­­kan konsep hak kepemilikan (property rights) dan akses,
me­re­ka ber­argumen: hanya menggunakan klaim berdasar hak atas
properti tidaklah cukup untuk menjamin bahwa manfaat sumber da­ya
alam akan jatuh ke tangan masyarakat lokal; kemampuan aktor un­tuk
mendapat manfaat sumber daya alam ditentukan oleh faktor-fak­tor
yang beragam, seperti akses terhadap teknologi, modal, pasar, pe­nge­
ta­huan, otoritas, identitas sosial, dan juga relasi sosial (ibid: 178). Kami
mu­lai memahami perbedaan antara akses dan hak atas kepemilikan
sa­at kami menemukan fakta-fakta di lapangan, yang menunjukkan
be­ta­pa banyak faktor yang menyediakan jaminan dalam penentuan
“arus keuntungan” (benefit flow) sumber daya hutan—lebih daripada
hanya sebatas pengakuan hak-hak secara legal.
Perlu ditekankan di sini, perebutan akses dan kontrol terhadap
sumber daya bukanlah sebuah pertarungan orang lokal vs orang luar,
negara vs masyarakat, atau masyarakat vs perusahaan kayu. Sebelum
datang satuan kekuasaan yang lebih besar seperti negara, swasta, atau
per­usahaan, di dalam masyarakat Siberut sendiri terdapat perebutan
kekuasaan atas hutan yang tidak kalah kerasnya. Seringkali kontes­ta­si
penguasaan sumber daya alam ini tidak bisa diselesaikan dengan cara
memuaskan semua pihak. Antagonisme dan konflik juga terdapat di
dalam masyarakat Siberut sendiri. Perebutan akses dan kontrol ini
di­atur sedemikian rupa melalui peraturan-peraturan dan kebia­sa­an
se­ha­ri-hari yang disepakati, meskipun aturan-aturan tersebut tidak
sang­gup menyelesaikan masalah secara tuntas dan para pihak yang
ber­seng­ke­ta memilih mengabaikan masalah itu untuk sementara wak­
tu, atau salah satu dari kelompok tersebut menyingkir untuk meng­
hin­dari konflik menjadi sedemikian parah.
Kami berpendapat, munculnya gerakan masyarakat Siberut yang
lebih aktif dalam mengambil peran untuk merebut akses dan kontrol
terhadap hutan tidak terlepas dari tumbuhnya gerakan masyarakat
adat dan kebijakan desentralisasi di Indonesia. Munculnya gerak­
an tersebut juga dipengaruhi sejarah panjang interaksi mereka de­
ngan hutan sejak masa prakolonial, kolonial, dan negara Indonesia
mo­dern, serta interaksi yang panjang dengan pasar. Dengan meng­
gunakan retorika serta merepresentasikan diri di bawah bendera
“masyarakat adat”, orang Siberut mampu menciptakan ruang politik
yang dibutuhkan untuk menguatkan klaim-klaim mereka atas sumber
Pembukaan 21

daya hutan yang selama ini ditekan negara. Namun demikian, ka­
pa­sitas masyarakat dalam memperoleh manfaat sumber daya hutan
ditentukan oleh faktor-faktor yang lebih beragam dan luas seperti
akses terhadap teknologi, modal, pasar, pengetahuan, dan otoritas
politik. Perjuangan masyarakat Siberut untuk mendapatkan hak atas
hutan melalui wacana adat juga bersaing dan mendapatkan tantangan
dari bidang-bidang lain, seperti munculnya rezim kayu daerah, lang­
gengnya kekuasaan aktor-aktor ekonomi-politik, dan perubahan
struk­­tur sosio-ekonomi masyarakat sendiri.
Pada beberapa dekade terakhir, wacana masyarakat adat men­
jadi penting secara politik karena pengakuan resmi atas hak-hak
masyarakat adat terhadap sumber daya alam dan wilayah, khususnya
dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).17 Pengakuan ini menginspira­
si kelompok-kelompok marjinal di seluruh dunia untuk mengait­kan
perjuangan mereka dengan wacana masyarakat adat. Di Asia, jaring­
an antarbangsa masyarakat adat telah memberi gagasan, identitas,
legitimasi, dan sumber-sumber pendanaan bagi kelompok-kelompok
dan komunitas marjinal (Niezen 2005). Riset Li (2000 dan 2001) di
Sulawesi menunjukkan bagaimana aktivis LSM dan masyarakat se­
tempat menggunakan wacana masyarakat adat sebagai terjemahan
istilah populer indigenous people guna memobilisasi dukungan politik
serta membangun aliansi dengan komponen dari luar. Li (2000) juga
mengenalkan ide tentang positioning untuk menjelaskan bagaimana
identitas adat muncul dari perjuangan masyarakat itu sendiri dalam
konteks sejarah tertentu, dan bukan identitas pasif yang hanya di­
lekat­kan atau dipaksakan dari luar. Di setiap tempat terdapat variasi
bagaimana masyarakat lokal menerjemahkan adat dan bagaimana
mereka menggunakan narasi tersebut untuk memperkuat klaim atas
hutan. Buku ini dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana orang Si­
berut menerjemahkan ulang adat dalam merespons proses ekonomi-
politik dan bagaimana mereka menggunakan identitas masyarakat
adat untuk memperkuat klaim mereka terhadap hutan.
Munculnya identitas dan wacana baru atas nama adat ini me­
rang­sang apa yang disebut sebagai “re-invention of tradition” (Hobs­
bawm & Ranger 1992). Dorongan dari dalam dan rangsangan dari
luar, atas nama adat, memberi kesempatan bagi orang Siberut untuk
memikirkan ulang apa yang disebut sebagai tradisi, adat, dan identitas

17 Misalnya dalam The Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989 (No. 169) sebagai revisi atas
dokumen International Labour Organization (ILO) (1957), dan Convention on Biological Diversity
(1992).
22 Berebut Hutan Siberut

mereka dalam berhadapan dengan aktor-aktor dari luar dan kesem­


patan politik baru. Orang semakin tertarik untuk menggali kembali
aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan yang mereka jalani, cerita-cerita
masa lalu dan pengetahuan yang mereka miliki, yang pada masa lalu
sengaja atau tidak sengaja diabaikan. Komponen-komponen dalam
‘tradisi’ dan sejarah sosial tersebut dikodifikasi dan dimaknai ulang
sebagai adat. Dengan demikian, terjadi proses penciptaan ulang atau
penemuan ulang tradisi yang dengan mudah dikatakan sebagai adat.
Gerakan masyarakat adat tumbuh bersamaan dengan bertunas­
nya gerakan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat pada
awal 1990-an, di mana masyarakat adat diakui memiliki peran pen­
ting dalam melindungi sumber daya alam. Ini berangkat dari asumsi
bahwa masyarakat adat, yang kehidupannya tergantung dari sumber
daya alam dan hidup sangat dekat dengan alam, akan lebih memiliki
ketertarikan terhadap keberlanjutan sumber daya alam daripada pihak
dan aktor-akor yang lain (Lynch dan Talbott 1995). Masyarakat itu di­
anggap memiliki seperangkat sifat yang bertentangan dengan sifat-
sifat badan pemerintah atau perusak hutan yang lain sebab mere­ka
telah lama bermukim di suatu tempat, di mana mereka memiliki ikat­
an spiritual maupun pragmatis. Mereka juga dianggap tidak memiliki
motivasi untuk mengeksploitasi hutan, tetapi mendukung kehidupan
yang bersahaja, sederhana, dan tidak tamak (Li 2002b). Beberapa
penulis telah mengingatkan, asumsi tersebut tidak tepat dan berpelu­
ang membatasi partisipasi masyarakat adat dalam pengelolaan sum­
ber daya hutan (Brosius, Tsing, dan Zerner 1998; Agarwal dan Gibson
1999; McDermott 2001; Li 2002a; 2002b). Penulis-penulis tersebut
men­jelaskan bahwa masyarakat adat bukanlah entitas yang ho­mo­gen,
bukan objek yang pasif dari berbagai intervensi pembangun­an, dan
bukan pengikut tanpa kesadaran posisi dalam wacana global. Wacana
masyarakat adat adalah salah satu dari sekian banyak strategi yang
digunakan masyarakat untuk merespons dinamika internal maupun
eks­ter­nal (Agarwal dan Gibson 1999; McDermott 2001; Li 2000;
2002b).
Kami akan memaparkan bagaimana masyarakat Siberut me­mi­liki
perspektif dan kepentingan yang beragam terhadap akses hu­tan dan
ba­gaimana mereka secara aktif merespons tekanan eksternal mau­pun
dinamika internal yang senantiasa berubah dan bergeser. De­ngan
meng­analisis secara mendalam kasus di Siberut, buku ini berusaha
menelisik bagaimana masyarakat Siberut bersikap, beradaptasi, ber­
ne­gosiasi, dan turut serta dalam proses perubahan ekonomi dan po­
Pembukaan 23

litik. Buku ini juga menganalisis bagaimana orang Siberut berperan


dan bertindak dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya
hutan yang kemudian akan mempengaruhi kondisi lingkungan di
tingkat lokal. Sesuai dengan analisis ekologi-politik, buku ini juga me­
nekan­kan bahwa hutan Siberut hanya bisa dibaca melalui relasinya
dengan aneka gatra lain seperti negara, wacana global, dan terutama
dinamika masyarakat Siberut sendiri yang terus berubah.
Kami menilai sangat penting pula memasukkan pembahasan
tentang bagaimana pemaknaan atas hutan itu sendiri dan dampaknya
ter­hadap sistem sosial. Bagi sekelompok orang, hutan menyimpan
kon­sep be­sar hubungan antara manusia dan alam, yang bisa dise­but
se­ba­gai hubungan spiritual. Sebaliknya, bagi kelompok lainnya, hu­tan
bisa jadi sumber ekonomi dan devisa negara. Hutan juga bisa di­pan­
dang sebagai sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati yang
penting bagi masa depan manusia. Pada titik ini, hutan menjadi ruang
yang mewadahi aneka relasi sosial. Mengingat hubung­an sosial se­ring­
ka­li ditentukan oleh kepentingan yang berbeda dari orang-orang yang
ter­li­bat, praktik-praktik penggunaan kekuasaan (power) men­jadi se­
buah kondisi yang dimungkinkan. Dalam relasi-relasi kekua­saan (po­
wer relations) di antara para aktor yang memiliki kepentingan lang­
sung mau­pun tidak langsung terhadap sumber daya alam inilah, akses
dan kontrol selalu diperebutkan. Atas dasar itu pula, analisis terhadap
pe­ran masing-masing aktor menjadi sangat terkait dalam mengkaji
di­men­si kultural hutan Siberut.

Struktur Buku ini


Buku ini berusaha menjelaskan sejarah akses dan kontrol hutan
di Siberut. Dengan mengambil pendekatan sejarah, buku ini disusun
secara kronologis; dimulai dengan bagaimana orang Mentawai ber­
interaksi dengan hutannya. Meskipun demikian, buku ini tidak akan
melihat urutan waktu secara ketat karena menimbang betapa banyak
relasi wacana yang berkait dengan sejarah akses dan kontrol terha­
dap hutan itu sendiri; bidang-bidang yang mempengaruhi akses dan
kontrol hutan di Siberut saling tumpang tindih, saling mendukung
atau menegasikan, sekaligus berlapis-lapis. Oleh karena itu, dalam sa­
tu pembahasan, ada kalanya kami memunculkan peristiwa yang te­lah
lama terjadi untuk ditempatkan sebagai penjelasan pokok bahasan.
Meskipun disusun melalui pertimbangan kronologis agar me­mu­
24 Berebut Hutan Siberut

dah­kan pembaca yang kurang akrab dengan Siberut, buku ini tidak
harus dibaca secara urut dari Bab 1 sampai 10. Setiap bab bisa dibaca
secara terpisah. Hal ini terkait dengan proses penulisannya. Buku ini
ditulis dalam masa yang berbeda-beda, dalam suasana yang berganti-
ganti. Perbedaan waktu penyusunan ini menyebabkan gaya tulisan
dan analisis data juga bervariasi. Sumber-sumber dan data-data yang
menjadi tubuh di setiap bab buku ini juga beragam jumlahnya. Ada
bab yang datanya berasal dari pengalaman langsung penulis dan
bersifat etnografis. Ada bab yang mengandalkan wawancara sebagai
reka ulang peristiwa-peristiwa tertentu sehingga lebih menyerupai
lapor­an jurnalistik mendalam. Ada juga bab yang melulu bersumber
dari data sekunder, dan karenanya, berupa analisis yang agak ke­ring
dan kurang memiliki darah. Oleh karenanya, setiap bab memiliki
karak­teris­tik tersendiri, baik dari gaya dan teknik tulisan, panjang-
pen­deknya anali­sis, maupun struktur penyusunannya. Se­tiap bab
mere­fleksikan waktu penulisan dan tujuannya, sehingga pembaca
mungkin menemukan bab-bab yang bersifat reflektif, namun di kali
lain menemukannya seperti evaluasi proyek atau kegiatan, dan kadang
menyerupai kritik. Meskipun terdapat banyak campuran dalam gaya
dan isinya, buku ini berusaha menjaga koherensi antara satu bab
dengan bab yang lain.
Setelah pembukaan yang berisi satu cerita yang kami anggap
penting dalam sejarah Siberut dan kami sandingkan dengan uraian
pendek mengenai posisi teoretis buku ini, pembahasan akan berlanjut
dengan deskripsi mengenai kondisi geografis dan geologis Pulau Si­
berut serta penduduknya, yang kami tempatkan di Bab 2. Pemaparan
mengenai geografi Siberut diharapkan dapat membantu pembaca un­
tuk membayangkan keunikan dan kekhasan pulau ini. Aspek ini sa­
ngat penting karena Siberut mengalami proses evolusi dan biogeografi
yang sangat spesifik. Siberut terbentuk sejak kala pleistosen atau se­
kitar sejuta tahun lampau—produk geologisnya adalah bentang eko­
logi yang khas dan memberi peluang terbentuknya spesies baru atau
spesiasi yang endemik sehingga bernilai sangat tinggi bagi konservasi
keanekaragaman hayati. Siberut—dan Kepulauan Mentawai—disebut
memiliki keberuntungan yang setara dengan Galapagos di lepas pan­
tai Ekuador atau Madagaskar di Afrika. Siberut merupakan satu dari
sedikit tempat yang memiliki tingkat kekhasan hewan dari kelas
mamalia yang sangat tinggi, terutama primata. Atas dasar pertim­bang­
an biogeografis ini, usaha konservasi dilakukan di Siberut. Penelitian-
Pembukaan 25

penelitian ilmiah telah banyak mengungkap tingkat keanekaragaman


hayati dan nilai pentingnya. Hal ini menghubungkan Siberut dan
pen­duduknya dengan kepedulian global terhadap ancaman punah­nya
spe­sies dan gerakan konservasi dunia.
Keunikan geografi Pulau Siberut ini akan dilengkapi dengan
urai­­an me­nge­nai penduduknya. Secara khusus, kami akan membahas
etnis Mentawai yang menjadi mayoritas penduduk Siberut dan di­
anggap sebagai penduduk asli, serta bagaimana interaksinya dengan
kolonialisme, etnis tetangga, pasar, dan kebijakan negara. Dalam in­
ter­aksinya dengan sejarah, etnis Mentawai mengalami pasang surut
dalam hal identitas, ekonomi-politik, dan juga sosial. Kami akan me­
mulai uraian perjumpaan orang Siberut dengan kolonialisme, hubung­
an dengan negara Indonesia, proyek-proyek pemerintah, dan juga
de­ngan ide-ide konservasi. Hubungan dengan sejarah yang panjang
inilah yang membentuk tradisi orang Mentawai yang khas di Pulau
Si­berut. Di sini kami akan menekankan bahwa orang-orang Siberut
te­lah melintasi waktu dan sejarah. Perubahan-perubahan interaksi
dengan para migran, perusahaan kayu, ahli-ahli konservasi dunia, pe­
neliti, turis, dan birokrasi, telah membentuk sejarah Siberut seperti
tem­pat-tempat lain yang ada di dunia. Dalam konteks sejarah, Siberut
telah menjadi arena pertarungan bagi berbagai aktor yang memiliki
perspektif berbeda, kepercayaan yang berlainan, dan pandangan
yang beraneka tentang bagaimana seharusnya hutan dilihat dan di­
manfaatkan.
Bab 2 juga dilengkapi dengan diskusi singkat mengenai per­
masalahan-permasalahan yang menyangkut metodologi penyebutan
Siberut sebagai unit kajian. Siberut, pulau seukuran Pulau Nias dan
hanya sedikit lebih kecil dari Pulau Bali tentulah mengandung bera­
gam lanskap dan kondisi; dan ditempati manusia yang beragam cara
pikirnya. Namun, kami memberanikan diri untuk mengatakan Siberut
sebagai satu unit yang tunggal sebagai analisis. Untuk melihat Siberut
sebagai satu kesatuan analitik, salah satu cara yang ditempuh adalah
melihat Siberut sebagai tempat yang melintasi sejarah. Dengan cara
ini Siberut diposisikan sebagai tempat yang tidak berdiri sendiri. Dia
selalu tersambung dengan sejarah dan peristiwa di tingkat nasional
maupun global. Dengan cara itu, Siberut dapat dianalisis sebagai unit
tersendiri, sebagai kerangka untuk membahas proses perubahan dan
diferensiasi sosial. Oleh karena sifatnya itu, buku ini menggunakan
pendekatan yang bersifat eklektik; termasuk di dalamnya, kami me­
ngaitkan studi ekonomi, politik, dan budaya, serta melihat Siberut
26 Berebut Hutan Siberut

“sebagai komponen dari sistem nasional dan global dari segi makna,
kekuasaan, dan produksi” (Li 2002: xviii).
Bab 3 menjelaskan bagaimana akses dan kontrol orang Mentawai
di Siberut terhadap sumber daya alam pada masa atau situasi yang
kami sebut ‘sebelum masuknya negara atau di luar rezim kolonial’.
Dapat dikatakan, posisi kami dalam memandang hubungan itu tidak
dalam sebuah idealisasi. Kami meyakini, kondisi orang Mentawai di
Siberut sebelum kontak yang intensif dengan komponen dari luar
bukanlah kondisi yang sering diidealkan sebagai “damai dan baik-baik
saja”. Kami menemukan bahwa citra tentang masyarakat yang arif dan
damai lebih merupakan citra yang disimpulkan dari jarak yang sangat
jauh dan dengan asumsi yang sembrono. Kami akan memaparkan
bagaimana orang Mentawai memiliki pandangan terhadap hutannya.
Pandangan “endogen” mengenai hutan ini sangat terkait dengan
struktur sosial dan cara mereka berproduksi (mode of production).
Pada awalnya kami akan memaparkan konsepsi mereka tentang hutan
yang sangat ditentukan oleh kepercayaan lokal, hubungan kekerabatan,
dan corak produksinya. Dalam perjalanan menelusuri hubungan
orang Mentawai dengan hutannya, kami seperti sedang menghalau
‘mim­pi yang rapuh’ tentang masyarakat pedalaman yang arif, bijak,
dan bersahaja. Konflik atas sumber daya alam sudah menjadi hal yang
lazim ditemukan dari generasi ke generasi. Konflik ini bukanlah hasil
dari mitos dampak kerusakan lingkungan atau kebijakan pemerintah.
Konflik ini senantiasa mewarnai sejarah orang Mentawai.
Akses dan kontrol terhadap hutan bagi orang Mentawai berpusat
pada uma, sebuah keluarga besar (extended family) yang juga me­
ru­pakan unit kepemilikan lahan dan sumber daya. Di Mentawai ter­
dapat sekitar 500 uma yang hidup secara otonom dan independen
satu sama lain, dan mereka terhubung dalam kekerabatan yang di­
wa­riskan melalui garis keturunan laki-laki. Sejarah orang Mentawai
diwarnai persaingan dan konflik antaruma mengenai tanah dan hu­tan
(misal­nya dalam Schefold 1991: 29-32). Konflik itu telah menjadi ba­
gian kehidup­an, bahkan dalam situasi “tradisional” di masa sebelum
kedatang­an kolonialisme. Konflik-konflik tersebut ber­sifat laten dan
te­rus me­ne­rus men­jadi bagian sejarah sehari-hari. Konflik tersebut
meng­alami pasang surut ketika pandangan tentang hutan dari lu­ar
(negara dan pasar) berpengaruh terhadap kehidupan mereka (Per­
soon 2001). Konflik mengenai hutan ini memiliki dinamika dan logika
sendiri. Konflik tersebut mendorong terjadinya perubahan internal
Pembukaan 27

yang kemudian bertemu dengan wacana-wacana dari luar, seperti ide


tentang taman nasional atau perusahaan kayu. Wacana yang datang
dari luar membawa bentuk kekuasaan sendiri dan mendapatkan lo­
kusnya pada konteks lokal dalam persaingan dan konflik internal orang
Mentawai. Munculnya wacana konservasi maupun eksploitasi sumber
daya alam menjadi katalis bagi konflik yang belum terselesaikan di
masa lalu.
Bab 4 memaparkan hutan di Siberut setelah terbentuknya negara
Indonesia. Bab ini berisi rincian bagaimana negara memandang hu­
tan Siberut dan masyarakat di dalamnya; juga sebaliknya, bagaimana
masyarakat Mentawai melihat cara pandang negara terhadap hutan
di Siberut. Negara mulai intensif menguasai akses dan kontrol atas
hutan di Siberut pada dekade 1970-an bersamaan dengan menguatnya
rezim Orde Baru. Kayu dan produk-produk hutan lain dari Siberut
ber­peran dalam menyumbang pendanaan untuk pembangunan eko­
nomi regional dan nasional. Perusahaan kayu yang berkantor di Pa­
dang dan Jakarta menjadi kepanjangan tangan negara untuk me­
ngum­pulkan dana dari Siberut dengan skema HPH. Sebelum gerak­an
konservasi dimulai pada akhir 1970-an, Pulau Siberut telah habis di­
kaveling untuk perusahaan kayu.
Kegiatan penebangan terhenti pada 1993 dengan keluarnya
Kepu­tusan Presiden Republik Indonesia yang menghentikan semua
konsesi penebangan kayu. Pada 2001 perusahaan kayu diizinkan lagi
untuk mengeksploitasi hutan Siberut. Sampai buku ini ditulis, dua
per­usahaan kayu, PT KAM dan PT Salaki Summa Sejahtera (SSS),
masih mengantongi izin penguasaan hutan sekitar 100.000 ha. Se­
jumlah izin pemanfaatan kayu juga dikeluarkan oleh bupati untuk
ko­perasi-koperasi lokal yang didukung modal dari pengusaha-peng­
u­saha berbasiskan Padang-Jakarta, walaupun sejak 2004 telah resmi
dilarang. Hingga kuartal terakhir 2006, sekitar 3 juta m3 (YCM 1996;
Suhandi dan Anggraini 2002; BPSD Kepulauan Mentawai 2006) telah
di­keluar­kan dari Siberut untuk mencukupi permintaan pasar baik
nasional maupun global.
Bab 4 juga memaparkan interaksi orang Siberut dengan pasar
produk hutan global. Setidaknya sejak sebelum era kolonial, orang
Sibe­rut sudah berinteraksi dengan pasar. Rotan dan kopra adalah
komoditas utama yang diincar oleh pedagang Minangkabau dan Bugis
dalam jalur pelayaran pantai barat Sumatra (Asnan 2007). Akan tetapi,
keterlibatan itu semakin intensif dan mendalam ketika Siberut masuk
28 Berebut Hutan Siberut

dalam agenda pembentukan negara-bangsa pada awal kemer­de­­ka­


an. Jaringan perdagangan nasional mulai masuk ke Siberut melalui
per­antara pedagang Minangkabau. Penduduk Siberut semakin ter­
ikat me­njual produk-produk hasil bumi yang sebagian berasal dari
hutan selepas 1950-an. Integrasi dengan pasar ini semakin intensif
pada paruh 1970-an ketika hutan perbukitan di pantai-pantai bagian
timur Siberut dikonversi menjadi kebun cengkeh. Beroperasinya per­
usahaan kayu sejak tiga dekade lalu sekaligus membawa teknologi,
nilai-nilai baru, dan kepercayaan baru terhadap hutan, serta mendo­
rong pembauran penduduk setempat dengan para pekerja perusahaan
kayu. Yang lebih penting lagi, sejarah panjang hubungan dengan pa­
sar kayu telah menciptakan jejaring eksploitasi hutan di tingkat lo­kal
yang mampu beradaptasi dengan perubahan politik, ekonomi, dan
kebijakan pengelolaan hutan. Selain itu, perdagangan hasil hu­tan ini
juga membawa perubahan pola produksi, gaya hidup, dan me­mun­cul­
kan aspirasi-aspirasi baru. Masyarakat Siberut semakin terintegrasi
dengan pasar. Gaya hidup subsisten, dapat dikatakan, tidak bisa lagi
ditemukan secara penuh.
Bab 5 akan menjelaskan pandangan negara yang berada di ku­
tub yang berseberangan dengan visi eksploitasi. Bagian ini juga men­
jelaskan sejarah konservasi Siberut yang dimulai oleh pemerintah In­
donesia sendiri dan merupakan reaksi atas usaha eksploitasi yang juga
di­mulai dengan dukungan pemerintah. Sejarah konservasi Siberut
ada­lah respons atas bahaya eksploitasi ekosistem pulau tersebut. Ge­
rak­an konservasi ini meluas di tingkat nasional dan internasional
sejak 1970-an akhir. Hal ini tentu saja dilandasi oleh gagasan bahwa
Pu­lau Siberut sangat penting bagi konservasi karena keanekaragam­­an
hayatinya yang tinggi, keunikan ekologi yang luar biasa dan ba­nyaknya
fauna endemis; terutama mamalia, khususnya lagi primata. Bab ini
juga memaparkan secara kronologis aktor-aktor yang terkait dengan
ide konservasi. Kami akan memberikan deskripsi mengenai proyek-
proyek konservasi alam yang meningkat sejak akhir 1970-an. Proyek
yang paling penting adalah ketika sejumlah organisasi internasional
(WWF, Survival International) bekerja secara langsung di Siberut.
Perhatian gerakan konservasi difokuskan kepada dua hal yang saling
melengkapi: menjaga kekayaan spesies endemik beserta keunikan ha­
bitat serta menjaga keaslian kebudayaan penduduk Mentawai yang
Pembukaan 29

me­nunjang usaha pelestarian alam.18 Kedua hal ini telah menjadi


pandangan yang saling membenarkan dan melegitimasi serta menjadi
dasar argumentasi (dan asumsi) bagi konservasi keanekaragaman
hayati di pulau tersebut.
Pulau Siberut menjadi tempat tinggal bagi lebih dari 30.000 pen­
du­duk. Kebanyakan dari mereka berinteraksi secara langsung dengan
hu­tan setiap hari. Oleh karena itu, sangat mudah dipahami mengapa
mun­cul pandangan dari para praktisi konservasi tentang masyarakat
Mentawai yang tetap memelihara gaya hidup dan pengetahuan tradi­
si­onal. Citra yang demikian membantu dan merangsang munculnya
program-program—yang tentu saja membawa bantuan keuangan en­
tah dari tingkat nasional dan global—untuk melindungi eksositem
Siberut serta budaya masyarakatnya. Dalam pusaran gelombang kon­
ser­­vasi yang berkembang pesat sejak awal 1980-an dan 1990-an, se­
buah proyek berskala besar yang bersumber dari dana utang Bank
Pem­­ba­ngun­an Asia (ADB) membantu pembentukan taman nasio­nal
yang mencakup 47% luasan pulau (190.500 ha) pada 1993. Se­la­ma
kurang lebih 5 tahun (1994-1999), dengan dukung­an dana, per­lengkap­
an, dan logistik yang cukup mewah untuk ukuran Pulau Si­berut, pe­
ngelola TNS kesulitan untuk menegakkan aturan-aturan negara terkait
konservasi keanekaragaman hayati. Penyebabnya, se­per­ti diakui pe­
ngelola taman nasional, adalah karena keterbatasan kecakapan staf,
manajamen yang begitu buruk, dan rendahnya pemahaman budaya
dan situasi sosial. Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi Alam),
misalnya, melarang siapapun berburu dan mengambil sumber daya
alam untuk kepentingan komersial di dalam kawasan taman nasional.
Sejak ditunjuknya kawasan konservasi, aktivitas perburuan primata
masih menjadi fenomena yang biasa ditemui di Siberut.
Bab 6 menjelaskan sejarah kemunculan identitas masyarakat
adat di Siberut. Kami meyakini, munculnya identitas itu karena ke­
sem­­pat­­an politik dan ekonomi yang disediakan oleh kebijakan pe­
me­rin­tah melalui desentralisasi dan menguatnya jaringan dengan
LSM dan unsur masyarakat sipil lainnya, serta pengakuan global
terhadap masyarakat yang mengalami marjinalisasi akibat proses
modernisasi. Bab ini akan memberikan gambaran yang menyeluruh

18 Di sini kami memasukkan bahan proposal, artikel, dan juga kliping media massa. Mc­Neely (1979),
WWF (1980), Schefold (1980b), Whitten, Whitten dan House (1979), Mitchell (1982), dan Kompas
(1981).
30 Berebut Hutan Siberut

mengenai kemunculan wacana indigenous people di tingkat global.


Kami memandang orang Siberut adalah masyarakat yang kreatif da­
lam menggunakan wacana yang datang dari luar dan bukan pihak
yang pasif dan menerima begitu saja wacana ini. Seperti halnya tun­
tut­an dari masyarakat adat di Indonesia yang lain, orang Siberut me­
nekankan identitas adat mereka guna meningkatkan klaim atas hu­
tan, baik dalam bingkai wacana konservasi atau eksploitasi sumber
daya hutan.
Kebangkitan identitas sebagai masyarakat adat juga berlangsung
seiring munculnya kebijakan desentralisasi setelah tumbang­nya rezim
Soeharto. Dalam tingkatan tertentu, kebijakan desentralisasi mem­bu­
ka akses penduduk lokal ke dalam proses pengambilan kebijakan, yang
memungkinkan mereka untuk menegosiasikan ulang akses terhadap
hutan. Banyak peneliti sebelumnya meyakini bahwa desentralisasi
akan me­ning­kat­kan kualitas pengelolaan sumber daya alam dan par­
tisipasi lokal dalam proses pengambilan keputusan (Lowry 2002;
Ribot 2002; Larsen 2003). Ini berdasarkan asumsi bahwa de­ngan
me­­libatkan masyarakat lokal dalam proses penentuan kebijakan, pe­­
me­­rintah lokal akan dapat memahami kebutuhan dan keinginan ma­
syarakat lokal (Agarwal dan Ribot 1999; Ribot 2002). Ditambah lagi,
karakteristik lingkungan yang beraneka ragam dari satu kawasan ke
kawasan lain membutuhkan pendekatan pengelolaan yang sesuai
dengan kondisi lingkungan, sosial, politik, dan ekonomi pada tingkat
lokal. Asumsi lainnya adalah bahwa dalam konteks desentralisasi,
ma­syarakat lokal dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dari
sum­ber daya alam di wilayah mereka sendiri.
Bab 7 menguji asumsi-asumsi kebijakan desentralisasi melalui
pe­ma­paran pengelolaan hutan setelah terbentuknya Kepulauan Men­
tawai sebagai kabupaten sendiri. Seperti yang ditunjukkan McDermott
(2001), Ribot (1998), dan McCarthy (2004: 1199-1223), peng­akuan hak
pengelolaan hutan kepada masyarakat tidak memberi jaminan bahwa
mereka akan mendapatkan keuntungan dari sumber daya tersebut ji­ka
relasi sosial yang menentukan kontrol dan akses terhadap sumber da­
ya alam masih tidak berubah. Sebagai tambahan, delegasi wewenang
pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah, baik provinsi maupun kabupaten, se­ring­kali menempatkan
penduduk lokal “dalam posisi yang mengharuskan mereka menjaga
hubungan baik dengan agen-agen tersebut guna memelihara akses”
(Ribot 1995 dalam Ribot dan Peluso 2003: 163). Hal ini terjadi karena
Pembukaan 31

ne­gara seringkali memposisikan masyarakat lokal sebagai “subjek


yang diberi keistimewaan” daripada memberi mereka jaminan hak
un­tuk mengakses hutan. Di Kalimantan dan Amerika Latin, misalnya,
hu­tan secara langsung dieksploitasi untuk menghasilkan pendapatan
dae­rah dan dimanfaatkan oleh otoritas lokal yang menguat posisi po­
litiknya dalam konteks desentralisasi (Kaimowitz dkk 1998; Larson
2003; McCarthy 2004: 1203). Oleh karena itu, masyarakat lokal
yang ingin berusaha untuk mendapatkan akses terhadap hutan harus
me­me­lihara hubungan baik dengan jaring­an kekuasaan di tingkat
kabupaten (McCarthy 2004: 1211).
Di Siberut, wacana identitas politik sebagai masyarakat adat dan
kebijakan desentralisasi memberikan banyak pilihan bagi orang Si­
berut dalam menuntut akses dan klaim terhadap sumber daya. Orang
Siberut dapat mengisi celah kategori masyarakat adat. Dengan kate­
gori ini, mereka dapat masuk ke dalam banyak wacana yang diusung
negara maupun lembaga internasional. Kesempatan ini memberi
pe­lu­ang bagi orang Siberut untuk terlibat dalam program yang di­
usung pemerintah seperti pemetaan partisipatif, sertifikasi tanah,
atau pencarian pemerintahan terendah yang dianggap otonom, asli,
dan sesuai untuk orang Mentawai. Masyarakat Siberut aktif me­re­pre­
sentasikan diri mereka sendiri, mengekspresikan klaim kepemilikan
hutan, dan membangun aliansi melalui program-program tersebut
untuk mem­perkuat tuntutan mereka sebagai pemilik sumber daya
alam.
Secara khusus, Bab 8 akan memfokuskan diri pada usaha per­
ju­angan atas nama adat. Identitas adat ini menjadi alat retorika
yang ber­sifat lentur dan fleksibel bagi masyarakat Siberut da­lam
me­­nya­ta­kan klaim akses terhadap hutan. Orang Siberut ber­se­ma­
ngat menggunakan wacana adat dan membentuk aliansi yang le­bih
ter­organisir. Meningkatnya tuntutan pengakuan atas nama ma­sya­
ra­kat adat membuka ruang bagi orang Siberut untuk terlibat dalam
program-program resmi yang dikampanyekan komponen dari luar.
Dalam menuntut pengakuan terhadap identitas dan kepemilikan
sumber dayanya, orang Siberut menggunakan senjata yang bervariasi
pada situasi dan konteks yang berbeda-beda. Salah satu strategi yang
digunakan oleh sebagian penduduk ialah terlibat dalam kegiatan
atau pro­gram yang mendapat pengakuan dari dunia internasional.
Mi­sal­nya, manajamen kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi
yang populer di dunia pada akhir 1990-an serta “pembentukan
32 Berebut Hutan Siberut

aliansi identitas adat” melalui organisasi yang dipengaruhi gerakan


masyarakat adat di tingkat nasional dan internasional. Bab ini akan
me­nelaah mengapa tuntutan pengakuan tersebut muncul, apa saja
keunggulan, kekuatan, dan ke­ter­batasannya.
Dengan corak sosial yang egaliter, otonom, dan independen, se­
tiap perjuangan menuntut pengakuan atas hak dapat menggunakan
banyak cara dan pilihan. Beberapa perjuangan menuntut hak cukup
sukses dalam membentuk dan menguatkan kembali klaim terhadap
hu­tan mereka. Akan tetapi, tidak sedikit juga perjuangan yang meng­
alami fragmentasi. Dengan bervariasinya cara dan pilihan, setiap per­
juangan orang Siberut memunculkan dinamika internal. Di Bab 9, ka­
mi akan menjelaskan dinamika internal orang Mentawai di Siberut
da­lam menyikapi semua wacana dan kekuasaan yang terkait dengan
hu­tan. Dinamika itu sendiri sangatlah kompleks. Orang Siberut sela­
lu memiliki agenda-agenda internal yang mereka inginkan dengan
meng­kombinasikan wacana-wacana dari luar. Agenda-agenda lokal ini
sangat kuat bertahan karena mencerminkan tingkat independensi dan
otonomi mereka terhadap komponen dari luar. Masyarakat Siberut
adalah masyarakat yang aktif melibatkan diri dalam semua situa­si
pemanfaatan sumber daya alam yang mereka klaim dan berkeingin­an
mendapat manfaat dari keikutsertaan tersebut.
Buku ini akan diakhiri dengan penutup yang menarasikan hu­
bung­an antara hutan dan kekuasaan. Akses dan kontrol hutan di
Siberut tidak bisa dilepaskan dari wacana tentang kekuasaan. Seja­
rah hubungan hutan dan kekuasaan ini sangat kuat diwarnai oleh
kemenduaan dan ketidakstabilan. Bahkan pada saat kekuasaan dari
luar (kolonialisme, negara, dan perdagangan global) belum eksis di
pulau ini, hubungan antara orang Siberut dan hutannya diwarnai oleh
ketegangan-ketegangan, paradoks, dan ambivalensi. Di bagian pe­nu­
tup ini juga akan dibeberkan bagaimana reaksi-reaksi orang Siberut
dalam menghadapi jaringan kekuasaan dari luar yang muncul di
berbagai bidang. Dalam menghadapi kekuasaan dari luar itu, orang
Siberut bersifat taktis, praktis, dan pragmatis. Mereka terus melakukan
negosiasi, perlawanan, dan akomodasi terhadap kekuasaan dari luar
dengan tujuan untuk mempertahankan otonomi, independensi, dan
prinsip egaliter yang mereka miliki selama berabad-abad, sekaligus
meraih agenda-agenda yang bersifat lokal dan sehari-hari.
Bab 2
Keberagaman dan Zona Abu-abu:
Siberut dalam Lintasan Sejarah

Bila kita melihat peta dan mencermati Pulau Siberut, pulau terbe­
sar di Kepulauan Mentawai, dari arah utara ke selatan nampaklah
kemiripan bentuknya dengan tikus, dengan Teluk Katurei yang me­
nyerupai mulut terbuka itu sebagai moncongnya. Nama Siberut sen­
diri berasal dari kata birut yang dalam bahasa Mentawai berarti ti­
kus. Tak mengherankan banyak orang yang menduga bahwa pulau
ini bernama Siberut karena bentuknya yang menyerupai tikus itu,
wa­laupun spekulasi soal asal nama berdasarkan bentuknya ini bisa
dikatakan kurang berdasar atas bukti-bukti yang memadai.
Pulau ini memang berhubungan erat dengan tikus. Akan tetapi,
keterkaitan itu lebih pada banyaknya jumlah dan jenis mamalia pe­
ngerat yang menghuni pulau itu—dan bukan pada kesamaan ben­tuk­
nya. Dalam hitungan ahli biologi, di Siberut terdapat empat spesies
ti­kus en­de­mik yang bentuknya mirip satu sama lain (WWF 1980:
37; Ano­nim 1995: 17-18), meskipun orang Siberut menamai seluruh
mama­lia pengerat ini sebagai birut dan beberapa jenis tupai juga di­se­
but birut. Tikus-tikus ini ada di hutan, bersembunyi di pohon, menjadi
hama, di gorong-gorong, atau mencuri makanan di dalam rumah.
Kisah soal tikus dan nama birut lebih berhubungan dengan seja­
rah migrasi penduduk Pulau Siberut ke pulau-pulau lain di Kepulauan
Mentawai di masa lalu. Beberapa cerita lisan setempat menyebutkan
bahwa di masa lalu bagian tenggara Siberut menjadi tempat menetap
orang Mentawai sebelum mereka menyebar ke arah selatan (Sipora,
34 Berebut Hutan Siberut

Pagai Selatan, dan Pagai Utara) karena perseteruan internal. Secara


geografis, di bagian tenggara Siberut tersebut terdapat teluk yang ter­
lindung dan berombak tenang sehingga menjadi tempat yang aman
dan nyaman bagi sampan-sampan kecil untuk bisa berlayar sebelum
melanjutkan perjalanan ke arah pulau lain.
Daerah yang dimaksud ini adalah sebuah lembah luas yang me­
nampung berbagai macam daerah aliran sungai besar dan sungai-su­
ngai kecil yang melintasi perbukitan. Lembah luas ini adalah tempat
yang ramai dihuni manusia.1 Selain menjadi tempat bermukim, ka­
was­an ini dipercayai memiliki jumlah tikus lebih banyak dari lembah
lainnya. Lembah ini dinamai Sabirut, yang berarti “daerah yang
banyak tikusnya”.
Lembah ini menampung dua aliran sungai dari lembah yang ber­
ada di hulunya, yakni Lembah Rereiket dan Silaoinan. Lembah ini sa­
ngat terkenal karena menjadi pintu keluar dari Siberut menuju pulau-
pulau di wilayah selatan. Orang-orang Siberut yang kemudian pindah
dan menetap di pulau-pulau lain masih mewarisi sebagian bahasa
Sa­birut sebagai bahasa pergaulan dan sering mengatakan bahwa mo­
yang mereka berasal dari Sabirut, atau kawasan yang banyak tikus­nya
itu. Karena bahasa yang diwarisi dari Sabirut ini terus dipakai da­lam
pergaulan, bahasa ini tersebar luas ke arah pulau-pulau di selatan se­
hingga menjadi bahasa umum bagi orang Mentawai.2
Pada masa awal kolonial, nama Siberut agak kurang dikenal. Ca­
tat­an penjelajah yang ditulis dalam bahasa Portugal menyebut Siberut
sebagai Mintaon atau Matana. Menurut Schefold (1991: 32) kata
mintaon atau matana ini dapat dipastikan berasal dari kata manteu,
yang berarti laki-laki. Laporan pegawai kolonial yang diterbitkan ke­
mudian mulai menyebut kata si biru, sybee atau sybiru untuk merujuk
Pulau Siberut (Reeves 2004; Marsden 2008: 418). Para pelancong
Eropa mendapatkan nama Si Biru, Sybee atau Sybiru dari penduduk
yang tinggal di Pulau Sipora, Pulau Pagai Selatan, dan Pulau Pagai
Utara. Hal ini menunjukkan hubungan nama Siberut dengan pen­
duduk yang berpindah dari Pulau Siberut ke Pulau Pagai atau Pulau
1 Pengertian lembah yang digunakan ini hampir memiliki kesamaan dengan istilah teknis yang dikenal
dalam manajemen lingkungan atau kehutanan, yakni daerah aliran sungai (DAS).
2 Mengenai hal ini, tidak sepenuhnya tepat bila dikatakan faktor migrasi dan lokasi lembah ini berpenga­
ruh besar terhadap penggunaan bahasa. Kehadiran gereja Protestan yang ada di Pulau Sipora dan
Pagai Utara, pemusatan kegiatan misionaris Katolik di daerah Sabirut, dan pengkodifikasian bahasa
tersebut menjadi bahasa resmi dalam kitab suci, ibadat, dan bahasa komunikasi antara, berpengaruh
sangat penting dalam penggunaan bahasa Sabirut—yang kemudian dimodifikasi menjadi bahasa di
pulau-pulau bagian selatan—menjadi lingua franca di seluruh Kepulauan Mentawai.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 35

Sipora pada masa-masa sebelumnya. Penggunaan nama Siberut mulai


man­tap ketika Belanda menyatakan menguasai kepulauan di sebelah
ba­rat Sumatra itu pada 1864. Publikasi-publikasi resmi kolonial dan
mi­sio­naris berangsur-angsur menggunakan kata Siberut dan sesekali
Sabirut untuk merujuk pulau ini (Reeves 2004; Loeb 1972: 176).

Ekologi Siberut
Dari Pulau Enggano di ujung selatan, Pulau Simeulue di sebelah
utara, hing­­ga Pulau Rondo di ujung utara, pulau-pulau kecil terangkai
di le­pas pantai Pulau Sumatra. Dengan luas 4.030 km², Pulau Siberut,
terletak tepat di tengah rangkaian itu. Siberut berjarak lebih dari 130
km sebelah barat garis pesisir Padang, kota paling penting di Suma­tra
bagian barat sejak era kolonial pada abad ke-18. Dari Padang, Sibe­
rut dapat ditempuh dalam semalam menggunakan kapal feri kecil.
Mes­ki­pun relatif dekat jaraknya, Pulau Siberut telah terpisah dari
Pu­lau Sumatra sekurang-kurangnya 500.000 tahun lampau. Laut
yang memisahkan kedua pulau ini dikenal sebagai Selat Mentawai.
Meski­pun selat ini berkedalaman 1.500 meter dan dapat dikatakan
se­cara teratur dilayari, dilaporkan bahwa selat ini hanya memberikan
keadaan tenang pada awal-awal tahun dan lantas membadai di per­
tengahan hingga menjelang akhir tahun.
Pantai timur Siberut yang berhadapan dengan Sumatra memiliki
teluk yang landai dan tanjung berpantai pasir koral putih, berselang-
seling dengan hutan bakau. Garis pantai tidak beraturan, terdiri atas
pulau-pulau kecil, terumbu karang, dan tanah lumpur yang dikelilingi
hutan bakau hingga 2 km masuk ke daratan. Sebaliknya, sisi barat Si­
berut menampakkan wujud yang sama sekali lain. Sisi ini merupakan
garis paling tepi benua Asia. Wujudnya berupa garis pesisir yang lurus
dan sering bertebing terjal menukik ke dalam laut. Tebing-tebing ka­
rang itu menjadi benteng bagi empasan alun Samudra Hindia yang
bergulung-gulung dari arah Antartika. Di sini terdapat hutan bar­
ringtonia3 yang lebat dan sangat sulit ditembus karena penuh karang,
jurang, dan tebing curam yang langsung berhadapan dengan ombak
ganas (WWF 1980; Schefold 1991:3).
Sedangkan jantung Pulau Siberut adalah hutan hujan tropis yang

3 Barringtonia asiatica, di beberapa daerah dikenal dengan nama-nama: butun, kebem, bitung, dan se-
bagainya. Pohon ini cukup besar dan rindang, mencapai ketinggian 15-17 meter dan diameter hingga
1 meter.
36 Berebut Hutan Siberut

lebat. Hutan ini menyelimuti bukit-bukit curam dan bergelombang


dengan ketinggian yang hampir rata dan diselingi kelokan sungai kecil
yang bermuara ke sungai-sungai besar. Sungai-sungai ini membawa
banyak lumpur yang didapatkan dari kikisan air hujan pada lapisan
tanah yang mudah longsor. Dibandingkan Sipora atau Pagai, Siberut
dianggap masih menampilkan wujud yang relatif utuh sebagaimana
kondisi berabad-abad lampau. Jika pulau-pulau lain di gugusan Ke­
pulauan Mentawai itu telah kehilangan sumber daya alamnya, ter­
utama hutan, dan dianggap telah kehilangan ciri kebudayaan asalnya,
Siberut masih mempertahankan hutan hujan tropisnya dan praktik-
praktik budaya Mentawai yang dianggap hanya sedikit saja meng­
alami perubahan hingga akhir kolonial (Persoon 1995:2; Persoon dan
Osseweijer 2002: 228).
Perbukitan curam yang menjadi pagar alami bagi ekologi Siberut
ter­kait dengan usia pulau yang masih muda. Siberut terbentuk dari
pro­ses sedimentasi dan didominasi oleh serpihan batu, endapan lum­
pur, dan tanah liat berkapur dengan usia lapisan yang relatif masih
mu­da sehingga menyebabkan tingkat erosi sangat tinggi (WWF 1980:
3-4). Kondisi ini diperparah oleh keadaan tanahnya yang lunak dan
tidak mengandung batuan keras. Akibatnya, sangat banyak permuka­
an pulau berupa bukit-bukit bergelombang, penuh rekahan, dan te­
bing-tebing curam. Di sela bukit-bukit itu bertaburan sungai kecil yang
membentuk lembah datar. Kondisi topografi ini menyebabkan se­
bagian besar daratan Siberut sangat tidak mudah untuk dimanfaatkan
se­ba­gai lahan produktif. Kajian yang dirilis LIPI (Anonim 1995) me­
nyebutkan bahwa lebih dari 45 persen lahan di Pulau Siberut tidak
dapat dibudidayakan dan hanya cocok untuk kepentingan konservasi.
Dasar rekomendasi ini adalah lereng-lereng bukit di Siberut yang me­
miliki kecuraman lebih dari 30 derajat sehingga rentan erosi.
Dataran rendah yang rata muncul di sela-sela perbukitan be­
ru­pa lembah-lembah subur. Dalam konteks sejarah, di sinilah per­
mu­kiman manusia berada. Di sepanjang aliran sungai, lima sampai
sepuluh keluarga yang berkerabat menurut garis keturunan laki-laki
memba­ngun permukiman. Lahan basah di sepanjang aliran sungai
bia­sanya dimanfaatkan untuk berladang sagu, keladi, pisang, dan ta­
naman lainnya; dataran yang berair juga ditanami sagu dan keladi.
Selebihnya, kawasan-kawasan perbukitan yang dipenuhi hutan itu
hanya dimanfaatkan kayunya untuk memasak, membuat sampan, dan
memba­ngun rumah. Hutan juga menjadi sumber rotan dan tempat
Keberagaman dan Zona Abu-abu 37

berburu, mencari tumbuhan obat, dan mengumpulkan sumber ma­­­


kan­an. Di Siberut tidak kita temukan jalan-jalan darat dalam de­fin
­ i­si­
nya yang paling umum, yaitu jalan-jalan dengan pengerasan dan bisa
dilalui kendaraan. Yang tersedia hanyalah jalan-jalan setapak un­tuk
meng­­­hubungkan satu permukiman ke permukiman lain atau ke la­­dang.
Bagi pendatang, jalan setapak yang sempit ini sukar dikenali karena
ber­simpang-siur serta hilang-timbul. Sampai sekarang, aliran su­­ngai
tetaplah memegang peranan penting dalam urusan transportasi.
Kekhasan lain Siberut adalah kondisi tanahnya yang hampir se­
pan­jang tahun basah dan kelembapan udara sangat tinggi. Kondisi
ter­se­but berhubungan dengan posisi Siberut yang dibelah garis khatu­
lis­tiwa dan berada di Kepulauan. Posisi ini membuat Siberut memper­
oleh hujan sepanjang tahun dengan intensitas sangat tinggi serta
limpahan sinar matahari. Musim kering hanya berlangsung se­saat,
yaitu pada Februari dan Juni. Rata-rata curah hujan yang tercatat di
Siberut menunjuk angka lebih dari 3.250 mm/tahun di kawasan pan­
tai sedangkan di kawasan yang ditumbuhi hutan lebat, curah hu­jan
lebih tinggi hingga mencapai 3.500 mm/tahun (WWF 1980). Kom­
binasi antara iklim yang lembap dan topografi yang berbukit-bukit
menghasilkan ekosistem yang beragam dan dipenuhi jenis tumbuhan
yang juga sangat beragam (McNeely 1979; WWF 1980).
Para ahli biologi tropis telah mengklasifikasikan dua tipe eko­
sistem utama di Siberut, yakni hutan hujan tropis dataran rendah
(tropical lowland rainforest) dan rawa bakau (mangrove forest).
Hutan hujan tropis dataran rendah mencakup beberapa sub-ekosis­
tem, yakni hutan primer dipterokarpa, hutan campuran, dan hutan
payau air tawar. Hutan primer terletak di daerah perbukitan yang
tinggi hingga dataran landai, dan didominasi jenis-jenis kayu komersial
utama di pasaran global, yakni dari famili Dipterocarpaceae. Hutan
campuran terdapat di lereng dan bukit-bukit rendah. Hutan ini berisi
campuran tumbuhan dari keluarga Myristicaceae, Euphorbiaceae,
Dilleniaceae, dan Dipterocarpaceae (Whitten dkk 1999). Hutan payau
air tawar berada di dekat muara sungai dan dataran rendah bergambut
yang bercampur dengan hutan nipah, rotan, dan pandan. Hutan rawa
mangrove terdapat di sepanjang pantai timur yang terdiri dari hutan
bakau, hutan rawa sagu, dan hutan pantai. Hutan mang­rove terletak
di tepian laut dangkal dan terumbu karang. Kayu-kayu mangrove ini
bermanfaat sebagai bahan bangunan rumah. Hutan sagu merupakan
hutan domestik yang dibudidayakan manusia, berisi pohon sagu dari
38 Berebut Hutan Siberut

Gambar 2. Bentang alam P. Siberut berupa bukit-bukit bergelombang dan


lembah-lembah; sungai menjadi penghubung antarwilayah (Susilo Hadi).

spesies Metroxylon sagu dan Metroxy­lon rumphii. Hutan pantai me­


rupakan tipe hutan yang umumnya ditemukan di bagian barat pulau,
terdiri dari tumbuhan cemara laut, pandan, Terminalia, dan kerabat
jambu-jambu liar.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 39

Sejarah Biogeografi dan Nilai Siberut


Sejarah geografi Siberut sangatlah panjang. Pulau ini telah ter­
pisah dari Sunda Besar (Sundaland) yang merupakan pulau utama
sejak pertengahan kala Pleistosen atau sekitar 500.000 tahun lalu
(WWF 1980: 1). Dengan latar belakang keterasingan tersebut, pulau ini
mengalami evolusi khusus yang menghasilkan kekhasan ekologi dan
keunikan hayati. Isolasi dengan pengaruh yang terbatas dari daratan
utama menyebabkan flora dan fauna di Pulau Siberut berevolusi dan
berko-evolusi secara tersendiri. Proses isolasi ini menghalangi kolo­
nisasi fau­na yang masif dari Sumatra sejak Pleistosen dan mendorong
ter­ben­tuknya tingkat keendemikan yang tinggi. Ini terbukti dengan
bentuk fauna Pulau Siberut yang lebih primitif dan kuno dibanding
fauna Pulau Sumatra (WWF 1980: 35-58; Whitten dkk 1999: 38;
McNeely 1979). Enam puluh lima persen mamalia dan 15 persen per­
sen fauna di Siberut termasuk spesies endemik.
Selain istimewa karena karakter keprimitifan faunanya, Sibe­rut
juga dianggap sebagai salah satu pulau yang unik karena me­miliki
tingkat hunian primata terpadat di dunia. Hewan yang menjadi sim­
bol bagi keunikan ekologi Siberut adalah bilou (Hylobates klossii),
joja (Presbytis potenziani), simakobu (Simias concolor), dan bokkoi
(Macaca siberu). Tingkat endemisitas yang tinggi juga berlaku untuk
kelas burung (10%). Karena sifat ekologinya yang khas dan banyaknya
hewan serta tumbuhan endemik, pulau ini dianggap amat penting ba­
gi ilmu pengetahuan, pendidikan, dan konservasi (WWF 1980: xii; CII
2002; Soedjito 2006).
Penelitian yang membuka tabir tentang arti penting Siberut bagi
konservasi keanekaragaman hayati dunia dimulai oleh Kloss, seorang
ilmuwan Jerman pada awal abad ke-20 (WWF 1980: 2). Melalui eks­
pedisi­nya, Kloss dan timnya mengoleksi spesimen mamalia, burung,
rep­tilia, amfibi, serangga, dan tumbuh-tumbuhan. Setelah publikasi
Kloss tentang berbagai jenis flora-fauna endemik dan khas Siberut
dalam jurnal ilmiah pada dekade 1920-an, pulau ini mulai menarik
perhatian para naturalis lain. Usaha Kloss ini kemudian diterus­kan
dengan intensif oleh beberapa peneliti seperti Whitten (1982; 1980),
Tenaza (1976), dan Tilson (1977). Berbagai penelitian biologi sangat
me­nen­tu­kan posisi Siberut dalam khazanah ilmu pengetahuan alam
di du­nia dan telah menarik perhatian banyak naturalis, pejuang ling­
kungan, serta ahli ekologi dunia ke sana. Gabungan dari temuan Kloss
dan studi mendalam tentang primata Siberut yang dilakukan para
40 Berebut Hutan Siberut

peneliti menjadi alasan penguat untuk melestarikan hutan Siberut.


Bersamaan dengan terungkapnya kekayaan flora dan fauna Siberut,
perhatian terhadap budaya masyarakat Mentawai juga me­ningkat.
Sebagaimana yang telah menjadi keyakinan umum, pelestarian
flora dan fauna tidak akan berhasil tanpa pelestarian habitat dan eko­
sistemnya. Karena itu, usaha pelestarian flora dan fauna penting di
Siberut bergantung pada pelestarian hutan hujan tropisnya. Sebagai
ekosistem pulau, kawasan terestrial Siberut yang hampir seluruhnya
diselimuti hutan menjadi medan pertaruhan bagi usaha pelestarian
alam sepanjang waktu. Sejauh ini, atas usaha para pejuang konservasi
dan kegigihan aktivis lingkungan, ekosistem hutan tropis di Siberut
masih bertahan. Meskipun berkali-kali telah ditebangi, hutan masih
mendominasi ekosistem daratan Siberut. Hasil analisis terakhir me­
nunjukkan, beberapa ekosistem darat yang penting masih bertahan
di Pulau Siberut.4 Sebagian besar hutan yang masih bertahan ini ter­
letak di kawasan konservasi. Akses yang sulit dan topografi berbukit-
bukit serta curam menyebabkan kawasan konservasi ini mengalami
tekanan relatif kecil. Namun, hutan dewasa di kawasan pantai timur
yang lebih landai dan mudah dijangkau telah berkurang drastis akibat
penebangan komersial dan sebagian besar telah dikonversi menjadi
ladang tanaman komersial seperti cengkeh, pala, nilam, dan kakao.

Siapa Penduduk Siberut?


Semenjak beberapa dekade terakhir, populasi penduduk Siberut
me­ningkat karena berubahnya pola permukiman dan kondisi sosial-
ekonomi. Pada 1930, jumlah penduduk Siberut diperkirakan 9.000
orang (Nooy-Palm 1968: 156). Dari 1960 sampai dengan saat ini, po­
pu­lasi pu­lau tersebut meningkat hingga 300 persen. Kini, jumlah pen­
duduk Siberut diperkirakan 35.000 orang dengan tingkat kepadatan
men­­ca­pai 7,5/km². Mayoritas penduduk adalah etnis Mentawai,5
ke­lom­pok pertama yang mendiami Siberut. Mereka ini dipandang

4 Dari pengecekan lapangan terakhir, sebanyak 62,67% (241.721,28 ha) terdiri atas hutan hujan primer,
7,26% (27.992 ha) berupa hutan sekunder, dan sisanya merupakan hutan rawa (7,85%), hutan bakau
(2,24%) semak (1,68%) dan semak rawa (1,07%) (UNESCO 2009).
5 Mentawai adalah etnis terbesar di Pulau Siberut. Mereka dipandang sebagai penduduk asli Siberut.
Asal-usul orang Mentawai masih menjadi teka-teki. Menurut sejarah lisan penduduk Siberut, mereka
berasal dari luar Siberut dan terdampar di Simatalu, daerah berbukit-bukit dan sulit diakses di bagian
barat Siberut. Sejarah lisan penduduk Mentawai dapat dibaca dalam Schefold (1991) dan Spina
(1986).
Keberagaman dan Zona Abu-abu 41

sebagai suku asli Kepulauan Mentawai. Para migran (non-Mentawai)


yang menetap berjumlah sekitar 3.000 orang, yang terdiri atas etnis
Minang, Batak, Jawa, Nias, dan Flores. Kemunculan etnis-etnis te­
tangga yang mene­tap di Siberut merupakan kecenderungan baru
se­telah kemerdekaan In­do­nesia. Meskipun para pedagang Minang,
Bugis, dan Benggala di­laporkan secara berkala berinteraksi dengan
orang Mentawai sejak tiga abad lalu, tidak ada bukti yang meyakin­
kan bahwa mereka per­nah menetap untuk jangka waktu yang lama
di Siberut. Para migran tersebut datang ke Siberut hanya untuk
berdagang rotan atau kopra.
Sampai akhir abad ke-20, penduduk yang tinggal di Siberut
ham­­pir semuanya orang Mentawai. Hansen (dalam Persoon 1995: 3)
me­­la­por­kan, sejak 1910 mulai banyak orang Tionghoa, Melayu, dan
Nias yang tinggal di Mentawai, meskipun tidak dirinci apakah mereka
menetap di Siberut atau daerah lain. Beberapa misionaris terkadang
tinggal cukup lama di kampung-kampung (itu pun mereka sangat ja­
rang mengunjungi Siberut) dan juga pegawai pemerintah kolonial
Belanda (Ricklefs 1981). Pegawai pemerintah ini kebanyakan berasal
dari Sumatra Utara dan bertugas sebagai penerjemah. Keterangan li­
san para tetua pendatang Minangkabau di Siberut yang masih hi­dup
dan juga laporan-laporan misionaris atau pejabat kolonial di akhir
masa kolonial (Kruyt 1979; Coronese 1986) tidak ada yang me­nye­
butkan adanya akulturasi antara para pedagang pendatang dan orang
Mentawai di Siberut sebelum kemerdekaan. Berdasarkan informasi
lisan, kelompok migran pertama yang menetap di Siberut adalah
orang Minangkabau dan juga beberapa orang Tionghoa pada awal
abad ke-20. Para migran ini menetap di kota utama Muara Siberut
dan kemudian Muara Sikabaluan di utara untuk menjadi pejabat pe­
me­rintah atau pedagang perantara komoditas kopra, atau bercocok
tanam di tanah-tanah yang mereka beli dari penduduk setempat.
Per­mu­kiman pendatang ini terpisah dan menjadi enclave orang Mi­
nangkabau di Pulau Siberut.
Masuknya agama-agama formal (Protestan, Katolik, Islam, Ba­
hai) pa­da 1950-an diikuti pula dengan kedatangan misionaris, yang
terutama adalah orang-orang Jawa, Italia, dan Batak (Coronese 1986).
Para misionaris ini banyak melakukan akulturasi dengan penduduk
se­tempat. Misionaris Kristen dan Bahai kebanyakan tinggal bersama
orang Mentawai dan menikah dengan warga Siberut. Gelombang mi­
gran yang semakin intensif sejak 1970-an melibatkan etnis-etnis lain
42 Berebut Hutan Siberut

seperti Nias, Jawa, atau Ambon. Mereka menetap di Siberut se­ba­


gai pegawai negeri, pekerja perusahaan kayu, penyebar agama, ne­
layan, dan pedagang (Coronese 1986; Skephi 1992). Dilihat dari per­
kembangannya, terdapat perubahan yang cukup signifikan sejak 30
tahun terakhir ini (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah penduduk Siberut (1853-2008)

Tahun Jumlah Sumber


1853 7.090 Rosenberg
1930 9.268 Sensus
1960 11.881 Sensus
1971 14.732 Sensus
1976 18.149 Bappeda Sumatra Barat
1980 18.554 Sensus
1990 24.740 Sensus
1992 25.173 Bappeda Sumatra Barat
2002 30.106 BPS Kep. Mentawai
2006 34.352 BPS Kep. Mentawai
2008 34.721 BPS Kep. Mentawai
Sumber: Persoon (1995) untuk data dari tahun 1853-1992 dan
BPS Kepulauan Mentawai untuk data dari 2002-2008

Dari tabel di atas terlihat bahwa populasi Siberut meningkat pe­


sat sejak 30 tahun terakhir. Peningkatan populasi dalam kurun se­
ra­tus tahun (1853-1960-an) masih lebih rendah empat kali lipat di­
bandingkan yang terjadi selama empat dekade terakhir (1960-2008).
Namun, statistik Indonesia tidak mengenal pemilahan berdasar ka­
tegori etnis asal (Li 2002), sehingga sangat sukar menganalisis faktor-
faktor yang memiliki peranan utama dalam peningkatan populasi ini.
Apakah peningkatan ini berdasarkan kategori etnis atau angka ke­la­
hiran semata (Persoon 1995: 3), atau apakah naiknya populasi itu di­
sebabkan oleh meningkatnya jumlah keturunan asli Mentawai? Atau
apakah karena meningkatnya jumlah pendatang?
Berdasarkan perkiraan kasar statistik di kantor desa yang ada di
Muara Siberut dan Muara Sikabaluan, dua desa pantai yang menjadi
pusat permukiman etnis Minangkabau dan juga para pendatang la­
in­nya, dapat diperkirakan penduduk migran di Siberut sebesar 10%
(ban­dingkan dengan Persoon (1995: 4). Dari observasi lapangan, jum­
Keberagaman dan Zona Abu-abu 43

lah populasi migran relatif tetap dari tahun ke tahun meskipun me­
nunjukkan adanya peningkatan setelah otonomi dae­rah pada 1999.
Mening­katnya jumlah populasi Siberut terutama disebabkan pe­­
ningkatan yang signifikan dari orang Mentawai sendiri dan ini men­
cer­min­kan adanya perubahan gaya hidup, pandangan terhadap ke­
luar­ga, peningkatan pelayanan kesehatan, maupun interaksi mere­ka
dengan dunia luar.

Orang Mentawai sebagai Penduduk ‘Asli’6


Mengingat bahwa buku ini mengkaji perebutan akses terhadap
hu­tan di Pulau Siberut, perhatian cukup besar diberikan untuk men­
des­kripsikan latar budaya etnis Mentawai. Hal ini karena semua klaim
dan retorika adat terhadap sumber daya sehari-hari meng­acu pada
identitas dan hak-hak orang Mentawai sebagai suku asli di Siberut.
Para pendatang dan juga etnis-etnis tetangga telah meng­akui bahwa
dalam konteks hierarki kepemilikan orang Menta­wai merupakan pe­
mi­lik tanah dan hutan serta sumber daya alam di Pulau Siberut. Se­ca­
ra historis, penduduk non-Mentawai pada da­sar­nya tidak punya ke­
pemilikan apa pun atas tanah dan hutan dan segala isinya di Siberut.
Hal itu karena semua sumber daya di Siberut telah habis dibagi oleh
ke­lu­ar­ga-keluarga besar Mentawai berdasarkan ga­ris keturunan la­
ki-la­ki (uma). Tata cara dan sejarah kepemilikan sumber daya meng­
gunakan aturan yang diciptakan dan disepakati orang Mentawai sen­
di­ri dan diakui oleh etnis tetangga. Pemanfaatan sumber daya oleh
pihak luar harus seizin orang Mentawai sebagai pe­milik tanah. De­
ngan memahami sistem penguasaan tanah dan sum­ber daya orang
Men­tawai, kita dapat mengerti retorika-retorika adat yang mereka
gunakan untuk meningkatkan klaim terhadap sumber daya.
Orang Mentawai menyebut dirinya sebagai penduduk pribumi
Kepulauan Mentawai. Meskipun demikian, masalah identitas kolektif
tentang siapa yang merepresentasikan Mentawai sendiri sangatlah
problematis, seperti yang ditunjukkan oleh Eindhoven (2007: 102).
Orang-orang Mentawai di Pulau Siberut menganggap merekalah
orang Mentawai sejati dan menganggap orang-orang yang berada di
Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, serta Pulau Pagai Selatan sebagai

6 Karena kata ini bisa memiliki beragam makna, ‘asli’ di sini bisa digunakan secara bergantian dengan
pribumi. Di sini ‘asli’ tidak diberi pengertian esensial, bahwa orang Mentawai ada bersamaan dengan
sendirinya bersama dengan Pulau Siberut. Kami berpendapat bahwa ‘asli’ merujuk makna penghuni
pertama.
44 Berebut Hutan Siberut

orang Mentawai yang sudah tidak memiliki adat-istiadat Mentawai


(ibid: 103). Orang-orang di Pulau Pagai dinamai sebagai sakalagat
atau sakalagan. Kata ini barangkali berasal dari kata laggai yang
ber­arti permukiman, namun ada pula yang mengatakan berasal dari
kata eilagat, nama sejenis pohon. Sedangkan orang yang berada di
Pu­lau Sipora disebut sebagai sakalelegat. Kata ini kemungkinan ber­
asal dari lelegat yang berarti tempat atau sakobou, berasal dari kata
kobou, berarti sumber air asin (Schefold 1991:18).
Penamaan itu memiliki sejarah yang kompleks (Reeves, 2004).
Orang Mentawai di Pagai Utara dan Pagai Selatan serta orang di Si­
pora juga membedakan dirinya masing-masing (Eindhoven 2007:
103). Mengikuti Eindhoven, dalam hierarki identitas ini penempat­an
dan penamaan orang selalu diwarnai dengan stereotip tertentu. Sum­
ber-sumber lisan mengenai stereotip ini beragam. Misalnya, orang
Sakalagan atau Sakalelegat dikenal luas sebagai para pecundang yang
melarikan diri dari Siberut dan dengan “nada rendah” dijuluki pe­
makan subbet (keladi). Sebaliknya, terkadang orang Siberut dianggap
sebagai kolot, lebih terbelakang, kurang maju, pemarah, serta sukar
diajak berpikir luas. Stereotip-stereotip ini digunakan dalam konteks
ter­tentu dan tidak pernah secara eksplisit diungkap sebagai bahan
per­tentangan tetapi lebih berfungsi sebagai penanda identitas. Mi­sal­
kan, stereotip perempuan Siberut sebagai badagok (kekar) me­nan­
da­kan bahwa mereka kuat dan terbiasa bekerja di ladang, sementara
perempuan di Sipora atau Pagai lebih cantik atau lebih pipih badan­
nya. Stereotip-stereotip ini dimunculkan kemungkinan sebagai se­
bu­ah cara menandai perbedaan secara sosial yang sangat kuat dalam
pembentuk­an identitas orang Mentawai (Reeves 2004).
Sebelum dikenal dengan sebutan Mentawai, orang-orang yang
men­diami kepulauan itu lebih populer disebut sebagai orang pagai
atau poggy (Reeves 2004; Sihombing 1960). Sebutan ini terkait se­
ja­rah kontak orang Mentawai dengan para pedagang. Perantau Mi­
nang­kabau dan pedagang dari Bengkulu lebih dulu berinteraksi de­
ngan orang-orang yang bermukim di Pulau Pagai Utara dan Pagai
Selatan. Pada waktu itu, Siberut belum banyak dikunjungi pedagang.
Dari laporan awal masa kolonial, orang di kepulauan itu tidak pernah
memakai kata Mentawai untuk menyebut kelompok mereka (Reeves
2004). Sebelum merujuk penamaan yang lebih kolektif, orang Siberut
menyebut identitas masing-masing sesuai nama aliran sungai, nama
tempat, atau suasana tertentu yang kemudian menjadi nama uma.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 45

Seiring sejarah dan mulai dikenalnya Pulau Siberut oleh pejabat ko­
lonial dan pedagang, muncul istilah ‘orang mentawee’ untuk menyebut
secara umum penduduk yang menempati kepulauan itu. Orang men­
tawee lebih merupakan penamaan dari pejabat kolonial Belanda
un­tuk mengklasifikasikan penduduk di Siberut, Sipora, dan Pagai.
Lam­bat laun penamaan ini menjadi populer digunakan oleh para pe­
nulis laporan ekspedisi kolonial untuk menyebut ratusan kelompok
masyarakat yang mendiami kepulauan tersebut (penggunaan nama
Mentawai akan dibahas lebih rinci di Bab 6).7
Dengan sejarah asal-usul yang kompleks, terdapat banyak variasi
mengenai siapa orang Mentawai. Akan tetapi, secara mendasar, se­
lu­ruh penduduk Kepulauan Mentawai menyebut diri mereka berasal
dari satu leluhur yang sama. Mereka mengidentifikasi diri sebagai
ke­tu­runan orang Mentawai yang berasal dari Simatalu, sebuah dae­
rah di pantai barat Siberut. Mereka juga memiliki rujukan silsilah
ke­tu­runan yang saling terkait, sejarah lisan yang saling melengkapi,
dan bahasa yang sama, yaitu Mentawai. Dengan mengesampingkan
variasi dalam dialek bahasa yang berbeda menurut daerah aliran su­
ngai, bentuk tato, dan variasi tata cara menari atau dekorasi, orang
Mentawai mengklaim memiliki kesatuan budaya dan etnis. Klaim te­
ri­tori mereka membentang dari Siberut, Sipora, Pagai Selatan, dan
Pa­gai Utara. Demi kemudahan, dalam buku ini istilah Mentawai atau
penduduk Mentawai merujuk pada kelompok-kelompok yang ber­
bahasa Mentawai dan memiliki garis keturunan uma dari Siberut,
Sipora, dan Pagai.
Sejauh ini, asal-usul sejarah orang Mentawai sukar dilacak. Suatu
studi arkeologi selama empat tahun belum memberikan titik terang
mengenai hubungan kekerabatan orang Mentawai dengan kerabat
Austronesia lainnya (Forrestier dkk 2006: 122). Sangat sedikit bukti
arkeologis yang dapat digunakan sebagai analisis untuk menyatakan
mulai kapan dan di mana migrasi pertama orang Mentawai ke Pulau
Siberut. Satu-satunya hal yang diyakini bersama mengenai asal-usul
orang Mentawai adalah mitos mengenai orang pertama Mentawai
yang datang di Simatalu.
Meskipun mereka menyebut hal yang sama, bahwa orang per­
ta­ma Mentawai adalah sama, bagaimana asal-usulnya atau cerita ba­
gai­mana mereka menurunkan orang Mentawai tidak pernah jelas,

7 Diunduh dari www.mentawai.org/hismart.htm pada 23 Februari 2004. Beberapa peneliti menyatakan


bahwa istilah Mentawai berasal dari kata ‘menteu’, yang artinya ‘anak laki-laki’ (Schefold 1991:3).
46 Berebut Hutan Siberut

ka­bur, dan kontradiktif. Salah satu cerita yang umum dikenal adalah
mi­tos tentang perempuan yang terdampar di Siberut.8 Di masa lalu,
ter­dapat perempuan yang diusir oleh keluarganya karena menjalin
hubungan yang tidak direstui. Perempuan tersebut, tatkala diusir, se­
dang mengandung bayi. Oleh penduduk Siberut, perempuan ini se­
ring diinterpretasikan berasal dari Nias atau dari daratan Sumatra.
Pe­rem­puan tersebut kemudian melahirkan anak laki-laki. Setelah
ber­ta­hun-tahun hidup bersama, si ibu menyuruh anak itu mencari
jodoh perempuan lain di pulau tersebut. Dia membekali anaknya de­
ngan sebuah cincin. Jodoh si anak tersebut akan ditemukan ketika
ada perempuan yang jarinya cocok dengan cincin tersebut. Setelah be­
berapa kali berkeliling pulau, anak itu menemukan seorang perempu­
an yang tak lain adalah ibunya sendiri. Anak-laki-laki tersebut ke­
mudian me­ni­kah­i ibunya. Dari keduanyalah lahir orang Mentawai
yang pertama.
Mitos lain (bandingkan Spina 1981) menyebutkan bahwa leluhur
orang Mentawai pada mulanya bersaudara kandung dengan orang
Mi­nang­ka­bau. Pada masa kanak-kanak, mereka disuruh belajar oleh
orang­tua mereka. Si sulung, yang akhirnya menjadi leluhur orang Mi­
nang­ka­bau, memilih mengembangkan kepandaian menenun, me­nu­
lis, membaca, dan menguasai teknologi logam. Ia akhirnya memilih
Su­ma­tra Barat sebagai tempat berkeluarga. Sementara si adik, yang
kelak akan jadi leluhur orang Mentawai, memilih untuk membuat
sam­pan, membikin rumah dari kayu, dan menanam sagu. Si adik
ini me­mu­tuskan tinggal di Siberut. Dari kedua orang inilah lahir ke­
turunan orang Mentawai dan Minangkabau.9
Unsur moral dari dua mitos ini sangat jelas memiliki keterkaitan
dengan mitos-mitos Mentawai yang lain (Spina 1981; Schefold 1991)
yang secara umum dapat dianggap sebagai pembalikan dari keadaan
yang sebenarnya (inversi simbolik). Cerita mengenai asal-usul segala
sesuatu—buah durian, busur panah, kepandaian membuat rumah—

8 Ada banyak versi mengenai asal-usul orang Mentawai. Terkadang masing-masing cerita tumpang
tindih, kontradiktif, dan tidak bersesuaian. Untuk beberapa variasinya, lihat Spina (1980), Schefold
(1991: 4-8), Rudito (1993).
9 Mitos ini, menurut beberapa narasumber, muncul baru belakangan. Orang-orang tua zaman dulu
tidak pernah menceritakannya. Spina (1981) tidak memberikan analisis tentang munculnya mitos ini.
Dengan membandingkan mitos Badunsanak yang menceritakan asal-usul orang Meratus dan Banjar
(Tsing 1998), yang mirip dengan mitos ini, kami berpendapat bahwa mitos ini sangat terkait dengan
munculnya relasi baru antara orang Minangkabau dan Mentawai, yang hanya mungkin terjadi bela-
kangan, ketika orang Minangkabau mulai menetap di Siberut pada awal abad ini. Meskipun, harus
digarisbawahi, bukan maksud buku ini menginterpretasikannya.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 47

(Spina 1980) di Siberut selalu berangkat dari keadaan-keadaan yang


berbanding dengan logika dan bersifat simbolik (Schefold 1991).
Misalnya, bila kita cermati, Simatalu, tempat yang dianggap sebagai
tempat mendaratnya orang Mentawai pertama, berada di pantai barat
yang merupakan pantai yang tidak bisa dilayari. Ombaknya ganas
dan tidak terdapat muara sungai yang tenang. Jauh lebih logis jika
dikatakan, orang Mentawai pertama yang datang ke Siberut akan
menjangkau pantai timur yang datar dan mudah dilayari. Akan tetapi
secara simbolik, Simatalu dianggap sebagai lokasi pendaratan orang
Mentawai yang pertama. Dongeng atau mitos tersebut juga berbeda
dengan gagasan bahwa pelayaran orang Austronesia, yang tersebar
di seluruh Nusantara, terjadi secara bergelombang dan bukan hanya
sekali (Bellwood 2002).
Khusus untuk penduduk Mentawai, mereka diduga melintasi Su­
matra terlebih dahulu baru kemudian menjangkau Siberut. Meskipun
demikian, mereka tidak punya kemiripan dalam hal budaya dan ba­
hasa dengan penduduk Sumatra. Kebanyakan ahli antropologi meng­
golongkan orang Mentawai ke dalam rumpun proto-Melayu, yang
mem­­punyai kebudayaan neolitik dengan sedikit pengaruh dari zaman
perunggu tetapi terpisah dari pengaruh Budhisme, Hinduisme, dan
Islam (WWF 1980; Schefold 1991:2; Persoon dan Osseweijer 2002:
231). Sebelumnya, ada dugaan mereka berasal dari Polinesia (Loeb
1972: 174; Marsden 2008: 416). Namun, berdasarkan kesamaan li­
nguistik, orang Mentawai lebih tepat disebut serumpun dengan orang
Austronesia awal yang bermigrasi ke nusantara (Suzuki 1958). Hal
ter­sebut memperkuat dugaan bahwa sekelompok kecil orang Men­
tawai pertama bermigrasi ke Siberut sekurang-kurangnya dua atau
tiga ribu tahun lampau. Migrasi ini tidak berlangsung serentak, akan
te­tapi dilakukan secara bertahap (Schefold 1991).
Salah satu warisan zaman neolitik yang masih bertahan adalah
organisasi sosial masyarakat Siberut yang egaliter (Schefold 1991:
3-4; Persoon 1997; Nooy-Palm 1968: 158; Loeb 1972: 162). Secara
tra­di­sio­­nal orang Mentawai mengelompok menurut garis keturunan
patrili­neal yang disebut uma. Kata ‘uma’ juga merujuk pada bentuk
rumah besar yang dihuni oleh anggota kelompok tersebut. Setiap
uma terdiri atas 30-80 individu yang hidup dalam permukiman kecil
di sepanjang sungai. Satu uma lazimnya terdiri atas 5-10 keluarga
monogami yang disebut sebagai lalep. Ukuran dan jumlah populasi
tiap uma stabil dalam jangka waktu tertentu (Persoon 1995: 4). Dalam
uma berlangsung sistem eksogami di mana perempuan tidak memiliki
48 Berebut Hutan Siberut

hak atas keturunan dan sumber daya alam. Jika suami meninggal, ia
kembali menjadi anggota uma ayahnya, sementara anak-anaknya
men­­jadi anggota uma suami. Uma juga merupakan unit kepemilikan
tanah. Implikasi­nya, hanya anggota uma yang bersangkutanlah yang
memiliki hak penuh untuk memiliki dan mengolah tanah milik uma
(Schefold 1991: 17; Persoon 1995: 3).
Uma mewakili sebuah struktur yang egaliter tanpa ada bentuk
te­kan­an dari hierarki politik atau pola kepemimpinan teroganisir. Se­
se­ka­li mereka membangun aliansi sementara apabila ada musuh ber­
sa­ma atau karena alasan-alasan perkawinan (Schefold 1991: 23). Se­
tiap uma memiliki otonomi dan tidak pernah membentuk unit politik
secara permanen. Oleh karena itu, tidak ditemukan pemimpin politik
antaruma yang bisa mempengaruhi keputusan politik uma-uma lain.
Corak egaliter ini semakin kuat dari kenyataan bahwa semua anggota
uma dewasa mempunyai hak yang sama dan setara dalam semua
urus­­­an yang berkaitan dengan uma, baik sesama anggota dalam uma
mau­pun sesama uma. Setiap keputusan di tingkat uma dibicarakan
melalui diskusi terbuka. Setiap laki-laki memiliki suara yang sama di
dalam uma. Karena semua anggota uma laki-laki memiliki keduduk­
an yang sama, sebuah keputusan yang diambil untuk menyelesaikan
masalah seringkali harus melalui diskusi yang memakan waktu hing­ga
berbulan-bulan. Otonomi politik dan prinsip egaliter ini juga me­nye­
babkan konflik antaranggota di satu uma sering terjadi. Konflik la­zim­
nya diakhiri dengan perpecahan uma. Jika konflik terjadi, sebagian
ang­go­ta menyingkir ke lembah-lembah lain, mendirikan uma baru,
dan memproklamirkan nama umanya berdasarkan nama lokasi se­
per­ti lembah, sungai, gunung, atau kayu yang mendominasi tempat
tinggal baru mereka (Schefold 1995: 7; Persoon 1995: 4).
Setiap uma menempati permukiman tertentu yang disebut pu­
lag­ga­jat. Pola permukiman tradisional itu menempatkan uma berada
di sepanjang tubir sungai utama yang dapat dilayari oleh sampan. Pe­
ta sistem hidrologi Siberut tidak hanya memberi ilustrasi keruwet­an
drai­nase tapi juga menunjukkan jumlah serta lokasi uma (teruta­ma
uma besar) di masa lalu dan konfigurasinya di masa sekarang (Schefold
1991: 6; WWF 1980: 62-63). Pulaggajat ini merujuk pada DAS utama
yang ada di Siberut. Pulaggajat tidak hanya menjadi ruang spasial se­
ba­gai permukiman, tetapi juga menjadi ruang sosial yang berfungsi
sebagai penanda dialek bahasa dan variasi budaya. Pulaggajat juga
menjadi penanda identitas internal bagi orang Mentawai di Siberut
dan terkait dengan sejarah migrasi masing-masing uma di masa lalu.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 49

Kebersamaan orang Mentawai ditandai dengan tidak adanya per­


bedaan kekayaan yang timpang satu sama lain. Satu-satunya pembeda
utama bagi mereka adalah status pemilik tanah (sibakkat laggai)
dan pendatang (si toi) dalam sebuah permukiman tertentu. Ciri lain,
orang Mentawai secara historis tidak mengenal pembedaan pekerjaan.
Secara tradisional, pembagian kerja sangat terbatas dan hanya terjadi
untuk laki-laki dan perempuan. Setiap keluarga mampu menghidupi
ekonomi rumah tangga secara mandiri dengan mengusahakan ladang,
menanam sagu, beternak babi, dan sesekali memancing. Laki-laki le­
bih dominan dalam pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar dan
perempuan menyiapkan makanan tambahan (Persoon 2001).
Satu-satunya spesialis dalam kebudayaan Mentawai adalah si­­ke­
rei, yaitu semacam dukun atau orang yang dipercaya bisa me­nyem­
buh­kan penyakit yang diderita masyarakat. Orang Mentawai ber­pan­
dangan, orang yang sakit mengalami ketidakseimbangan antara roh
dan jasmaninya. Sikerei menjadi perantara kehidupan manusia de­
ngan roh-roh tersebut. Ia bertugas untuk mengembalikan keseimbang­
an antara roh dan jasmani. Tidak semua orang bisa menjadi sikerei.
Seorang sikerei harus melewati ritual khusus dan pantangan yang
sa­ngat berat. Sikerei merupakan figur penting dalam kepercayaan
tradisional orang Mentawai.
Orang Mentawai pada mulanya menganut animisme, yaitu per­­
c­a­ya bahwa segala sesuatu memiliki roh. Mereka menyebutnya Arat
Sabulungan. Dalam kepercayaan ini semua benda (manusia, tum­
buhan, hewan) memiliki roh (tai), jiwa (simagre), dan kekuatan
(bajau). Fenomena alam seperti pelangi, badai, hujan, dan guntur
juga memiliki roh. Roh-roh ini bertugas menjaga hutan (taikaleleu),
menjaga langit dengan menurunkan hujan dan panas (taikamanua),
menjaga bumi dengan menumbuhkan tetumbuhan (taikabaga), atau
menjaga sungai (taikaoinan). Prinsip pokok dari kepercayaan ini
adalah konsep tentang keselarasan dalam penciptaan, dengan suatu
kekuatan religius di balik semua hal (kina ulau). Sangat penting bagi
manusia untuk menjaga keharmonisan roh-roh tersebut agar tidak
me­ninggalkan tubuh dan mendatangkan penyakit. Keharmonisan
antarroh dijaga melalui berbagai upacara, seperti pesta (punen atau
lia), sesaji (buluakenen/panaki), dan pengobatan jiwa (pabetei) yang
dimediasi oleh dukun yang disebut sebagai sikerei (Schefold 1991: 72-
81).10
10 Untuk lebih lengkapnya, Bab 3 akan memaparkan kaitan antara hubungan manusia, alam, dan keper-
cayaan dalam pengertian tradisional.
50 Berebut Hutan Siberut

Siberut dalam Sejarah Dunia

Siberut Prakolonial dan Kolonial


Perubahan pengetahuan, akses, kekuasaan, dan kontrol terhadap
hu­tan di Siberut tidak dapat dipahami dengan lengkap tanpa melacak
se­jarah hubungan mereka dengan perkembangan dan perdagangan
re­gio­nal dan global serta sejarah kolonialisme. Orang Mentawai te­
lah menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok di luar mereka,
seperti para pedagang Bugis, saudagar dari Inggris, VOC, perantau
Minangkabau, misionaris evangelis dari Jerman, para penginjil Ka­
tolik Roma, Pemerintah Indonesia (yang direpresentasikan oleh gu­
ber­nur, bupati, polisi, guru pemerintah, militer), agen wisata, serta
para pedagang dan penduduk dari etnis lain.
Posisi geografis Siberut menyebabkan kebudayaan pulau ini ter­
hin­dar dari pengaruh-pengaruh kebudayaan megalithikum yang sem­
pat mencapai puncaknya di Kepulauan Nias, atau kebudayaan pas­ca­
perunggu seperti yang lazim ditemui di pulau-pulau besar (Persoon
dan Ossewijer 2002). Orang Siberut tidak banyak terpengaruh ke­bu­
dayaan Hindu-Budha yang pernah mendominasi ekonomi-politik di
Indonesia dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar di Kalimantan,
Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau besar di Indonesia. Mereka juga ha­
nya sedikit terpengaruh kebudayaan Dongson. Orang Siberut juga ti­
dak terkena pengaruh Islam yang melanda Asia Tenggara, yang dibawa
pedagang dari Gujarat atau pengaruh dari China. Ketika kemudian
me­reka berinteraksi dengan kebudayaan yang terpengaruh keyakinan
Islam (terutama Minangkabau), pada takaran tertentu, struktur sosial
dan kepercayaan orang Mentawai serta kebiasaan aslinya masih ber­
tahan.
Sebelum pendidikan modern muncul, orang Mentawai tidak
me­­­­nge­­nal tradisi tulis. Hal ini menyebabkan tidak ada prasasti atau
do­ku­mentasi tertulis yang dapat mengisahkan kondisi sosial mereka
di masa prakolonial dengan jelas. Bukti-bukti arkeologis juga sangat
sukar diperoleh. Hal ini terutama karena sebagian besar orang Men­
tawai menggunakan perkakas yang terbuat dari tumbuhan/tanaman
sehingga dikenal sebagai kebudayaan vegetal (Forrestier dkk 2006).
Bukti arkeologis dari tumbuhan mudah lapuk atau hilang, tidak se­
per­ti benda-benda dari logam atau keramik. Sedangkan cerita-cerita
li­san sangat terbatas. Tidak ada dokumentasi tertulis. Yang mungkin
bi­sa dikembangkan adalah analisis terhadap kerajinan dari kayu yang
Keberagaman dan Zona Abu-abu 51

ma­sih dikerjakan pada era Belanda, yang mungkin dapat dilacak


dan dapat meng­gam­barkan secara historis kondisi Siberut sebelum
ke­datangan Belanda. Hikayat-hikayat atau dongeng-dongeng mere­
ka se­se­ka­li menyebut kedatangan orang dari Sumatra (Spina 1981).
Akan tetapi, dongeng-dongeng yang dikumpulkan Spina tersebut tid­
ak banyak memberikan gambaran mengenai situasi sosial Siberut.
Dongeng-dongeng yang memuat keterangan interaksi dengan pen­
duduk luar Si­be­rut itu terbatas pada riwayat asal-usul kucing, asal-
usul orang Men­tawai, atau dongeng-dongeng mengenai perjalanan
ke dasar bu­mi, atau terjadinya bulan dan langit. Dongeng-dongeng
tersebut cen­de­rung memiliki kemiripan dengan dongeng-dongeng
Austronesia lain yang lazim dikenal (Schefold 2002).
Secara samar, sejarah lisan menginformasikan bahwa orang
Men­­ta­­wai pernah didatangi para pedagang yang hendak mencari hasil
hutan Siberut. Akan tetapi, sejarah lisan ini tidak bisa dirujuk de­ngan
pasti. Kontak dengan pedagang dan penduduk di luar Siberut ha­nya
bisa dilacak dari sedikit bukti adanya benda-benda perdagang­an. Dari
suatu survei atas beberapa permukiman tua di bagian teng­gara Sibe­
rut, Forrestier dkk (2006) menemukan gerabah yang mirip pe­ning­­
gal­an abad ke-12 dan ke-13 dari Dinasti Ming di China. Dicerita­kan
pula bahwa beberapa pelaut Benggala dan China telah menukar ka­in
belacu dan keramik serta benda logam dengan rotan dan kelapa se­
be­lum kedatangan Belanda (Coronese 1986). Temuan ini bisa ma­suk
akal karena orang-orang China telah berdagang di lepas pantai ba­
rat Sumatra sejak abad ke-13 dan ke-14, sebelum VOC kemudian me­
nge­nali kawasan ini. Pada awal abad ke-16 dan ke-17 para perantau
Aceh juga sudah berdagang di kawasan pantai barat Sumatra (Asnan
2007).
Uraian yang rinci mengenai keberadaan barang-barang yang ter­
bu­at dari logam seperti parang, alat-alat dapur, dan manik-manik be­
lum pernah ada. Pun, orang Siberut masa kini tidak membuat perkakas
da­ri logam atau merajin tekstil, dan bisa dipastikan tidak ada bukti
yang meyakinkan bahwa mereka pernah membuatnya. Untuk barang-
ba­rang tersebut mereka sangat tergantung pasokan dari luar. Mereka
memperoleh barang-barang tersebut dengan menukar produk dari
se­ki­tar hutan mereka seperti rotan, getah damar, kayu, atau ke­lapa.
Ke­ber­ada­an tembikar dan logam di Mentawai sebelum masa pra­ko­
lo­nial menandakan bahwa mereka telah melakukan kontak dengan
orang luar pulau pada masa itu.
52 Berebut Hutan Siberut

Baru pada era kolonial, informasi mengenai Pulau Siberut ter­se­


dia, kendati informasi soal Siberut tetaplah lebih sedikit dibandingkan
dengan informasi mengenai pulau-pulau di sebelah selatannya.11 Ini
me­mang suatu anomali, bagaimana Siberut sebagai pulau terbesar
di gugus Kepulauan Mentawai kurang dikenal para pelaut Eropa. Ca­
tat­an awal orang Eropa mengenai keberadaaan pulau-pulau kecil le­
pas pantai barat Sumatra lebih banyak memuat berita tentang Pagai
(Poggy), serta dua pulau kembar Pagai Utara dan Pagai Selatan. Ke­pu­
lau­an ini “ditemukan” pertama kali oleh Vornelis Pietersz pada abad
ke-17 saat mengikuti ekspedisi pelayaran maskapai dagang Belanda
di bawah Van Neck. Sebelumnya, pada awal 1600-an, Pulau Siberut
se­ca­ra reguler dilihat pedagang Belanda setelah mengangkut rempah
da­ri Maluku ke Belanda lewat jalur barat. Pada 1663, lewat catatan
Wouter Schouten, peta Siberut diterbitkan di Lisabon. Portugis ter­ta­
rik dengan Siberut. Meskipun belum ditemukan bukti orang Portugis
pernah mendarat di Mentawai, namun salah satu dokumen negara itu
me­nye­but Siberut sebagai Mintaon atau Matana. Peta-peta abad ke-17
me­nye­but The Nassau Eilanden untuk menamai gugusan pulau di se­
belah barat Sumatra. Dokumen yang ditulis oleh P.J. Veth pada 1750-
an melaporkan, beberapa pelaut VOC mencoba mendirikan usaha
per­­ke­bunan merica di gugusan pulau itu, namun upaya itu gagal.
Sedangkan catatan awal mengenai Kepulauan Mentawai ditulis
John Crisp, pekerja sipil yang melayani English East India Company
yang mengunjungi Pagai (Poggy) pada 1792. Catatannya banyak berisi
deskripsi mengenai orang-orang Poggy di Kepulauan Pagai Utara dan
Pagai Selatan. Crisp fokus pada ketertarikannya terhadap orang Pa­
gai, yang menurutnya mirip dengan orang-orang Pasifik. Laporannya
berisi rincian perbedaan dan kemiripan orang Poggy dengan orang
Melayu dan orang-orang Pasifik, serta kemiripan bahasanya. Meski
demikian, laporan tersebut belum mencantumkan secara spesifik
Siberut. Bahkan, laporan ini hanya merupakan deskripsi orang Poggy
di salah satu pulau kecil lepas pantai di selatan Pagai Selatan (Reeves
2004).
Di masa penguasaan Inggris, Kepulauan Mentawai, termasuk Si­
berut, sudah dikenal memiliki kayu melimpah. Pada 1825, Sir Thomas
Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang menguasai Sumatra, meng­
izinkan pedagang Inggris bernama Christie untuk menambang kayu
di kepulauan itu, meskipun tidak banyak dilaporkan keberhasilannya.
11 Bagian ini dan paragraf selanjutnya dirangkumkan dari karya Reeves (2004).
Keberagaman dan Zona Abu-abu 53

Belanda kemudian menyadari arti penting pulau-pulau ini bagi per­


dagangan mereka. Perubahan geo-politik di Eropa pada era Napoleon
turut mempengaruhi cara pandang Belanda. Mereka memasukkan Si­
berut bersama Enggano, Nias, Kepulauan Batu, dan Simeulue seba­gai
bagian dari afdeeling padangsche benedelanden (Asnan 2007) dan
berada di bawah kendali Residentie Tapanuli. Akan tetapi pada saat
bersamaan, Belanda memiliki masalah tarif perdagangan dengan pu­
sat perdagangan internasional di kawasan Asia Tenggara, yakni Pe­
nang dan Singapura (Ricklefs 1994). Masalah itu menyebabkan Be­
lan­da memilih ekspansi ke arah timur (Sulawesi, Kalimantan, Bali)
se­hing­ga Kepulauan Mentawai menjadi terlupakan.
Setelah 1850-an Belanda tertarik kembali ke Sumatra, diawali
de­­ngan upaya penaklukan Kesultanan Aceh yang waktu itu menjadi
peng­hasil merica terbesar di dunia. Guna mendukung perdagangan ini,
Belanda mulai mengeluarkan kebijakan yang lebih liberal menge­nai
per­da­gang­an. Kebijakan ini membuat Belanda memperluas wilayah
jajahannya ke Sumatra yang subur dan menjajaki kemungkin­an untuk
mem­buka perkebunan dan sistem tanam paksa (Breman 1997). Belan­
da ingin memperluas kebun tembakau dan kopi. Kebijakan mengarah­
kan kembali minatnya ke pulau lepas pantai di barat Sumatra.
Asnan (2007), dengan mengutip laporan perdagangan Belanda,
mengatakan bahwa kegiatan perdagangan Belanda dengan penduduk
di pulau-pulau lepas pantai Sumatra bagian barat berlangsung in­
ten­sif sejak awal abad ke-19. Laporan-laporan perdagangan Be­lan­
da tentang Pulau Siberut tetap saja terbatas (Asnan 2007; 2006)
walaupun pulau ini jauh lebih besar dibanding pulau-pulau di Ke­pu­
lau­an Batu atau Kepulauan Banyak.12 Catatan Belanda menyebutkan,
ko­mo­ditas ekspor dari kawasan lepas pantai barat Sumatra adalah ke­
la­pa dan kopra, rotan, kulit penyu, daun nipah, dan hasil hutan. Se­
ba­gian perdagangan ini menggunakan sistem barter, di mana pen­du­
duk Siberut mendapatkan besi, kain, tembakau, dan berbagai ba­han
makanan (Asnan 2007). Kontak dengan Siberut mulai teratur men­
jelang akhir abad ke-19, sejak perusahaan dagang Belanda NISM dan
juga KPM membuka rute pelayaran ke Pulau Nias, Batu, dan Siberut
(Asnan 2007). Untuk melancarkan rute perdagangan di Kepulauan

12 Sedikitnya catatan resmi mengenai volume perdagangan Pulau Siberut juga sangat mungkin disebab-
kan fakta bahwa pada era kolonial, perdagangan Kepulauan Mentawai lebih intensif de­ngan Muko-
Muko di Bengkulu dibandingkan dengan Padang. Menjadi masuk akal bila catatan atas volume perda-
gangan Siberut dengan Padang sedikit.
54 Berebut Hutan Siberut

Mentawai, Belanda mulai menempatkan pasukannya di Sipora dan


Pagai.
Politik etis di Belanda yang muncul pada awal abad ke-20 juga
turut mempengaruhi Siberut. Tuntutan peningkatan pelayanan ter­
hadap penduduk Hindia Belanda, sebagai salah satu implikasi politik
etis itu, mendorong pemerintah kolonial menyediakan pos penjagaan
militer di Sipora pada 1893 dan di Siberut pada 1904. Pos penjagaan
ini dimaksudkan untuk menjajaki kemungkinan pengelolaan Pulau
Siberut secara lebih intens—meskipun tidak selalu dalam pengertian
ekonomis. Tujuan utama pendirian pos militer secara permanen pa­da
1904 ini adalah untuk berjaga-jaga terhadap dampak perebutan ke­
kua­sa­an pascaperang Jepang-Rusia. Pemerintah Belanda juga meng­
un­dang misionaris Protestan dari Jerman untuk mendirikan pe­la­
yan­an keagamaan di Pagai (Coronese 1986; Sihombing 1960). Akan
te­ta­pi, pos ini tidak berpengaruh banyak terhadap kehidupan di Si­
berut. Para misionaris kesulitan mencari pengikut. Larangan mereka
terhadap praktik perdukunan tradisional membuat orang Mentawai
menolak dan enggan mengikuti agama Kristen, pada awalnya. Bebera­
pa pendeta diusir atau mati terbunuh saat melerai pertikaian antara
penduduk setempat dengan administrator Belanda yang sedang men­
data penduduk di Pagai Utara pada awal abad ke-20 (Reeves 2004).
Kasus serupa terjadi di Siberut. Pada 1915, dua pejabat Belanda tewas
dibunuh saat mendata penduduk (Schefold 1991: 33).
Belanda berusaha menemukan teknik pemerintahan efektif un­­tuk
Siberut dengan menetapkan beberapa orang sebagai kepala kam­­pung
(Schefold 1991; Persoon 1987). Usaha ini dilakukan untuk me­­mu­­dah­
kan kontrol secara administratif. Penunjukan kepala kampung juga
di­gu­na­kan untuk mengkoordinir pengerahan tenaga untuk membuat
jalan. Akan tetapi, pola kepemimpinan sosial yang dikenalkan Be­lan­­da
ini berakhir sia-sia (Schefold 1991: 9; Persoon 1987). Usaha ini ha­­nya
efektif apabila pemimpin yang diangkat tersebut mendapat le­gi­ti­ma­
si dari Belanda dan akan menyusut karena resistensi anggota ma­sya­
rakat. Kecenderungan sifat egaliter orang Siberut membuat Belanda
tidak bisa melakukan kontrol efektif melalui pemimpin yang mereka
diangkat; lambat-laun—teknik yang berhasil mereka terapkan untuk
beberapa kelompok sosial di Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kaliman­tan
itu—ditinggalkan. Belanda akhirnya tidak banyak mempermasalah­
kan gaya hidup orang Mentawai. Upacara dan ritual diperbolehkan,
aturan dan hu­kum tradisional dihargai dan terus di­prak­tikkan, kecuali
Keberagaman dan Zona Abu-abu 55

pe­ngayauan (Schefold 1991: 34). Perselisihan antaruma dan pribadi ti­


dak boleh diselesaikan dengan bantuan senjata dan harus tunduk pa­
da peradilan kolonial. Namun hal ini tidak berlangsung efektif, sebab
petugas Belanda sangat terbatas jumlahnya (ibid).
Di tengah kondisi itu, maskapai perdagangan Belanda telah
meng­­­­usul­kan proposal untuk mengapalkan kayu dari dataran yang
le­­bih landai di sebelah barat Pulau Siberut. Maskapai ini mulai ber­
ope­­ra­si secara resmi pada 1914. Namun, Pemerintah Belanda tidak
me­­nem­pat­kan aparat birokrasi untuk membantu eksploitasi hutan
sehingga menyebabkan usaha ini tidak berlanjut (Persoon 1997). Se­

Gambar 3. Persepsi Eropa era kolonial terhadap Orang Mentawai—ter­ma­ni­


fes­tasi dalam foto-foto Nieuwenheis Circa 1900 (Nieuwenheis).
56 Berebut Hutan Siberut

lain itu, usaha perdagangan hasil hutan antara penduduk Siberut de­
ngan para pedagang tak selamanya berlangsung damai. Konflik-kon­
flik yang menyertai barter dilaporkan sering terjadi. Laporan yang
di­tu­lis para pelaut menyebut Siberut lebih dikenal sebagai tempat
yang tak ramah karena penduduknya yang relatif suka bermusuhan
dengan orang luar.
Konflik antara pedagang dan orang Mentawai di Siberut seseka­li
dilaporkan. Laporan tersebut ada yang memuat pembunuhan antara
kedua belah pihak (Bakker 2001; Coronese 1986: 14), meskipun kete­
rang­an ini agak meragukan terutama bila mengingat cerita penduduk
Siberut sendiri yang memberi banyak tekanan bahwa mereka mudah
bergaul dengan pendatang dan telah menjalin perdagangan selama
be­­bera­pa generasi. Beberapa laporan memuat informasi perkelahian
orang Siberut dengan pedagang, misionaris, dan petugas administrasi
Belanda (Wagner 2002; Coronese 1986: 14-15). Laporan militer Be­
landa juga banyak memuat ketidakramahan penduduk Siberut ter­ha­
dap eks­pe­disi mereka (Persoon 1995). Para pedagang memiliki kesan
buruk terhadap orang Mentawai, yakni sebagai orang-orang yang
seram-ganas dan gemar perang. Sebaliknya, orang Mentawai di masa
kolonial memandang para pedagang sebagai penipu dan haus ‘darah’
(Coronese 1986). Sering dianggap bahwa kontak dagang dengan para
pendatang hanya merugikan orang Siberut karena mereka membayar
murah rotan dan kelapanya.13
Akan tetapi perlu kehati-hatian untuk menarik garis bahwa hu­
bung­an antara orang Siberut dengan pendatang bersifat antagonis dan
pe­nuh konflik. Di masa yang sama, ada pula laporan bernada simpatik
yang mengabarkan bahwa orang Siberut mudah sekali bekerja sama,
me­nyukai persahabatan dengan orang-orang luar, dan aktif dalam
per­da­gangan. Catatan naturalis dan pengunjung Eropa awal memberi
la­poran tentang orang-orang liar yang ramah, yang hidup damai dan
har­monis dengan lingkungannya. Beberapa laporan ekspedisi dari
mi­si­on­ aris dan naturalis pada awal abad ke-20 memberi gambaran
yang jauh lebih positif (Kruyt 1979; Wagner 2002). Laporan hasil
per­­jalanan me­reka mengenai orang Siberut diwarnai rasa takzim.

13 Laporan-laporan bernada kontras tentang orang Siberut dengan para pendatang yang ditulis Coronese,
agaknya berkaitan dengan bias posisinya sebagai misionaris. Kemungkinan besar, tulisan yang meng­
gambarkan orang Mentawai atau Siberut di masa lalu sebagai ‘buas’ dan ‘gemar berperang’ ini,
berkaitan dengan kebutuhan narasi tentang keberhasilan agama Katolik di Siberut dalam mengubah
orang Mentawai menjadi lebih ‘beradab’ dan sesuai dengan gambaran yang diidealkan oleh para
misio­naris.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 57

La­por­an itu di­ser­tai dengan foto-foto orang Mentawai. Pada ke­te­


rang­an atas foto-foto tersebut, dideskripsikan kelompok suku yang
ra­mah dan hidup damai dengan alam. Lazimnya, laporan-laporan
ter­sebut juga dilampiri dengan sketsa yang menampilkan tato dan
un­sur dekoratif orang Mentawai di badan serta aktivitas sehari-hari
se­per­ti bersampan, berburu, atau pergi ke ladang.14 Laporan-laporan
da­ri awal abad ke-20 menyebutkan, orang Mentawai mencoba un­tuk
mendapatkan manfaat dari relasi yang terbentuk dengan para pen­
datang dan pegawai kolonial (Wagner 2002; Loeb 1972: 182). Mes­
ki­pun ada perkelahian, itu hanya terjadi pada ‘beberapa orang’—atau
katakanlah beberapa individu dalam anggota atau uma dengan pen­
datang—dan hal itu tidak mewakili keseluruhan orang Siberut atau
Mentawai yang lebih menyukai kerja sama dan ‘persahabatan’.
Keadaan mulai berubah pada awal abad ke-20 hingga periode
men­je­lang kemerdekaan Indonesia. Interaksi penduduk Siberut de­
ngan pa­ra pedagang dari Minangkabau mulai lebih banyak meskipun
ter­batas dalam urusan perdagangan. Secara teratur, para pedagang
Mi­nang­kabau mengunjungi Siberut dengan kapal-kapal layar. Se­
pan­jang dekade 1920-an, ekspedisi-ekspedisi ilmiah dan kunjungan
mi­sio­naris Eropa dilakukan secara berkala ke Siberut. Para petugas
ko­lo­nial juga didatangkan dari Sumatra Utara untuk mengurusi ad­
ministrasi dan memberikan pelayanan agama bagi kepentingan orang
Belanda. Penduduk Siberut mulai memeluk agama yang dibawa oleh
misisonaris. Perdagangan dengan orang Minangkabau semakin in­­
ten­sif pada 1930-an dan sebagian pedagang mulai menyebarkan pe­
nga­ruh Islam di Siberut. Hal ini dilakukan karena khawatir semua
penduduk Mentawai akan memeluk agama Kristen seiring dengan
keberadaan para misionaris yang mulai memantapkan pengaruhnya
(Abidin 1998). Para pedagang dari Minangkabau ini mulai bermukim
di kota-kota pelabuhan pada awal 1940-an, terutama di Muara Siberut.
Pedagang dari Minangkabau, yang berasal dari daerah pantai seperti
Pesisir Selatan atau Padang Pariaman, mulai membeli dan menyewa
tanah di bagian pantai timur Siberut untuk ditanami kelapa. Meskipun
tinggal dan menetap di Siberut, para pedagang ini tidak melakukan
akulturasi dengan orang Mentawai. Mereka tinggal di tempat yang
terpisah dan perkawinan antara orang Minangkabau dan Mentawai
jarang terjadi.

14 Uraian tentang kontak Siberut dengan dunia luar kami andalkan dari Stefano Coronese (1981:14-36),
Schefold (1979: 10-87), Kruyt, (1979: 1-18), Marsden (2008: 414-418). Beberapa sumber asli pen­
ting—yang dikutip dan diacu Coronese dan Schefold—adalah John Crisp (1779) dan Logan (1872).
58 Berebut Hutan Siberut

Siberut dan Pembentukan Negara


Siberut secara administratif masuk dalam wilayah Indonesia sejak
pro­k ­la­masi kemerdekaan 1945. Lemahnya birokrasi dalam negara
yang masih muda ini membuat Siberut yang jauh dari pusat kekuasa­
an agak diabaikan. Apalagi, sampai 1950-an Indonesia masih berkutat
de­ngan agresi militer Belanda, pembentukan konstitusi, perang sipil,
pem­be­rontakan dalam negeri, dan ketidakstabilan politik akibat per­
gu­latan dalam merumuskan negara pascarevolusi-fisik. Pada awal
hu­bungan dengan birokrasi dan administrasi negara, orang Mentawai
di Siberut barangkali sama terisolasinya dengan semua masyarakat
yang dianggap sebagai suku-suku terasing di Indonesia.
Dalam imajinasi pemerintah, kebanyakan suku-suku terasing
ada­­lah peladang dan peramu yang hidup terpencil di dalam hutan. Me­
re­ka hidup dalam sebuah pulau yang secara sosial dan geografis ti­dak
me­rata dan berada di pinggiran pusat-pusat birokrasi dan politik. Ke­
san-kesan pejabat pemerintah Indonesia terhadap penduduk Siberut
ada­lah masyarakat primitif yang hidup tidak teratur, secara ekonomi
sa­ngat tidak produktif, sehari-hari ditemui membawa lembing, pa­­nah,
dan anjing untuk berburu, dan membawa anggota keluarga yang sa­
kit ke dukun.15 Cara hidup tersebut mengundang seperangkat per­ta­
nya­an konvensional mengenai kelaziman dan bentuk-bentuk praktik
dan pengetahuan yang berbeda dari imajinasi Indonesia “modern”
(bandingkan Tsing 1998: 220-222).
Adanya kelompok yang dianggap “primitif” di daerah pinggiran
se­per­ti Siberut dipandang sebagai bukti bahwa proyek-proyek pe­me­
rin­tah untuk memperluas ketertiban dan kontrol sosial dapat tetap
di­ja­lan­kan, bahkan harus semakin diintensifkan. Perbedaan budaya
yang menempatkan orang Mentawai sebagai belum maju dan berada
di urutan bawah stratifikasi budaya nasional memberikan pembenar­an
un­tuk menegaskan lagi pentingnya proyek pembangunan. Pemerintah
Indonesia segera menciptakan program-program pembangunan bagi
Siberut. Departemen Sosial mendaftar dan merinci unsur-unsur fisik,
so­sial, dan administrasi yang diperlukan untuk menjadi landasan “pe­
normalan” sesuai kelaziman budaya-budaya mayoritas penduduk In­
do­­nesia. Dengan alasan tersebut, pemerintah memperoleh basis kuat
untuk menjalankan tugas menghilangkan ciri-ciri tradisional dan ke­

15 Keterangan dari Gubernur Sumatra Barat, Prof. Harun Zain, pada 1974 yang dimuat dalam film
The Sakuddei (Granada Film 1974), sebuah film yang dibuat Reimar Schefold untuk Survival
International.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 59

pri­mi­tif­an orang Siberut (Persoon dkk 2004: 23).


Sejarah perubahan Siberut 1950-1960-an berada di tangan pe­ja­
bat-pejabat pemerintah yang dikirim ke Siberut. Mereka berasal dari
ber­ba­gai macam profesi seperti polisi, aparat militer, camat, kepala
kam­pung, guru-guru, hingga penyiar agama. Pejabat-pejabat ini, pada
awal­nya bukanlah orang-orang Siberut, namun merasa memiliki ide
yang tepat tentang bagaimana membangun Siberut. Hanya sedikit
o­rang Si­berut yang kemudian dijadikan pejabat lokal atau pembantu
ba­gi pejabat ini. Orang Siberut dikumpulkan dan diminta untuk ti­
dak me­melihara sagu karena sagu dikesankan sebagai makanan o­rang
ma­las (Persoon 2001: 74), dan untuk mengatasinya, mereka mem­pro­
mo­sikan pertanian berbasiskan sawah. Tanaman cengkeh dikenalkan
dan orang Siberut didorong untuk lebih banyak menanam kelapa
(Persoon 1995: 13). Pejabat dari luar itu mempersepsikan gaya hidup
orang Siberut seperti bertato, membayar mas kawin, dan menerap­kan
aturan denda-mendenda sebagai terbelakang dan tidak begitu sesuai
dengan hukum positif.
Para petugas dan pejabat rendahan ini mendorong terbentuknya
de­sa-desa dengan tujuan membuka struktur uma yang tertutup; meng­
hi­lang­­kan kepercayaan tradisional; meningkatkan standar kehidup­
an; dan menghilangkan ciri-ciri kebudayaan terbelakang (Persoon
1997). Be­berapa desa di Siberut yang terletak di pedalaman seperti
Sagulubbek, Matotonan, Madobak, dan Paipajet Hulu terbentuk atas
usaha-usaha keras pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah ini.
Seperti halnya program serupa di Indonesia pada masa Orde Lama
dan Orde Baru, ide dasar pembentukan desa ini adalah memudahkan
kontrol terhadap penduduk (Suparlan 1998; Tsing 1998; Li 2002b;
Breman 1980). Di desa-desa yang baru terbentuk ini sekolah-sekolah
di­dirikan. Beberapa penduduk Siberut meninggalkan umanya dan tu­
rut dalam pembentukan desa baru, namun sebagian yang lain menolak
ide ini dan tetap bertahan dalam uma yang terisolir.
Intervensi dan keterlibatan negara yang terpenting dimulai di
Siberut pada 1954. Pemerintah setempat memfasilitasi apa yang di­se­
but sebagai rapat tiga agama (Sihombing 1960). Rapat ini diselenggara­
kan pemerintah dan dihadiri oleh pemimpin agama Islam, Katolik,
dan Protestan. Rapat ini menghasilkan keputusan yang penting bagi
pe­­rumusan identitas sosial orang Siberut selanjutnya. Keputusan ra­
pat tersebut memaksa masyarakat Siberut untuk meninggalkan ke­per­
cayaan setempat, Arat Sabulungan, dan menyuruh mereka memilih
60 Berebut Hutan Siberut

salah satu agama yang diakui negara. Rapat ini juga memberikan re­
komendasi bagi polisi dan pemuka tiga agama tersebut untuk meng­
hi­lang­kan atribut, benda-benda, dan segala sesuatu yang dianggap
ber­hubungan dengan Arat Sabulungan. Pakaian dan alat-alat ritual
si­ke­rei sebagian besar disita dan dibakar. Para sikerei, dukun, dan
be­­be­rapa orang tua dalam uma dilarang mengenakan pakaian tra­
di­sional berupa cawat dari kulit kayu dan diwajibkan memakai baju
untuk menunjukkan kesopanan. Mereka juga dipaksa untuk mem­
ba­wa anak-anaknya mengikuti pendidikan yang akan disediakan pe­
merintah. Namun, usaha ini praktis efektif dalam rentang waktu yang
pendek. Di banyak tempat di mana permukiman orang Mentawai
sukar dijangkau dan pemerintah tidak sanggup membiayai pelayanan
birokrasi, orang Mentawai di Siberut tetap melanggengkan gaya hidup
menurut leluhur mereka (Persoon 1995: 7).
Hingar-bingar politik dan perebutan kekuasaan yang melanda In­
do­nesia periode 1959-1965 menyebabkan Siberut kembali diabai­kan.
Berbeda dengan penduduk yang juga dianggap terasing di Kaliman­
tan atau Papua (Tsing 1998: 13), orang Siberut tidak dicurigai sebagai
peng­ik ­ ut ko­munis atau warga desa yang membahayakan. Orang-
orang tua di Siberut juga tidak pernah memiliki pengalaman langsung
da­lam masalah politik, pemberontakan, atau ketegangan antara satu
golongan dengan golongan lain yang pernah menjadi drama dalam
kehidupan Indonesia sebelum huru-hara politik 1965. Peristiwa-
peris­tiwa penting di Indonesia seperti Pemilihan Umum 1955, Dekrit
Presiden 1959, dan pembunuhan massal terhadap kelompok yang
dipandang berhubungan dengan PKI 1965 tidak berpengaruh banyak.
Tidak ada laporan yang membuktikan bahwa mereka pernah terlibat
dalam proses-proses politik tersebut atau dengan proses kekuasaan
negara di kota-kota besar seperti Padang atau Jakarta.
Rezim Orde Baru mengawali hubungan yang lebih intensif antara
orang Siberut dengan negara modern (modern state). Pemerintah In­
do­nesia menggunakan strategi spasial, yakni dengan me­ma­suk­kan
pulau tersebut ke dalam struktur administrasi pemerintahan negara
mo­dern sehingga memudahkan kontrol terhadap wilayah serta sum­
ber daya alam di dalamnya (bandingkan Vandergeest dan Peluso
2001).16 Di samping memproduksi apa yang disebut sebagai legible
spa­ce (Scott 1998), dengan meng­ka­te­gorikan populasi Siberut sebagai
masyarakat terasing, negara juga memproduksi kekuasaan serta
16 Proses ini akan dideskripsikan lebih lanjut pada Bab 4.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 61

mem­be­nar­kan “normalisasi” ter­hadap penduduk yang dikategorikan


sebagai tidak disiplin dan melawan kemajuan tersebut (Persoon 1995;
Persoon dkk 2004: 22-25).
Sejak Orde Baru, penduduk Siberut secara resmi disebut sebagai
suku-suku terasing, masyarakat terasing, atau kelompok masyarakat
terasing dalam dokumen-dokumen negara (Koentjaraningrat 1993;
Anonim 1996; 1989). Istilah terasing memiliki pengertian negatif dan
merendahkan yang merujuk pada seperangkat sifat kolot, terbelakang,
atau “primitif”. Istilah terasing sengaja dipilih untuk menunjukkan
karakter spasial dan sosio-kultural masyarakat yang tinggal di dae­
rah yang secara geografis jauh dari pusat dan kondisi kehidupannya
terisolasi dari arus utama kebudayaan Indonesia (Li 2001; Anonim
1996: 2). Mereka dipandang hidup di tempat terpencil dan berjuang
melawan malaria atau penyakit-penyakit endemik. Pemerintah meng­
gam­barkan orang-orang Siberut sebagai kuno dan kolot. Mereka juga
sering di­kaitkan secara negatif dengan kemiskinan, kebodohan, ke­
kacauan, dan sikap keras kepala melawan pemerintah. Politik kebu­
dayaan na­sio­nal melihat orang Mentawai sebagai sisa masyarakat
yang berada di luar sejarah modern atau sebagai masyarakat yang
belum sepenuhnya terhubung dengan bangsa Indonesia. Secara im­
plisit terdapat kaitan antara penentuan Pulau Siberut sebagai daerah
“terpencil” dengan kategori mayarakat Mentawai sebagai masyarakat
terasing dan situasi sosialnya sebagai “terbelakang”.
Kebijakan menyangkut kelompok yang dikategorikan terasing
sangatlah khusus (Koentjaraningrat 1993; Tsing 1998; Persoon 2002;
Persoon dkk 2004: 23). Untuk mengubah cara hidup orang Siberut yang
di­anggap terbelakang sehingga memenuhi standar yang ditetapkan se­
cara nasional, pemerintah meluncurkan beberapa program. Program
pertama dimulai pada 1970 ketika Pemerintah Sumatra Barat mem­
bentuk badan administrasi khusus untuk mengurus Kepulauan
Mentawai. Badan ini diberi nama Otorita Pengembangan Kepulauan
Mentawai (OPKM) (Persoon 1995: 14-15). Organisasi ini dibentuk
sebagai badan pembangunan pemerintah sekaligus untuk membantu
operasi perusahaan kayu dalam melaksanakan kewajibannya mem­
bina desa di sekitar wilayah konsesinya. Program OPKM ditujukan
un­tuk membangun infrastruktur transportasi, pertanian, kehutanan,
pen­didikan, dan pelayanan kesehatan. Dana program ini didapatkan
dari uang Iuran Hasil Hutan Tambahan, semacam dana reboisasi yang
disetor perusahaan kayu (ibid).
62 Berebut Hutan Siberut

Program utama OPKM adalah membentuk lima permukiman


ba­ru di Malancan, Maileppet, Muntei, Simalegi, dan Sirilogui. Di­
se­­dia­kan rumah seragam berukuran 24 atau 30 m2 bagi warga yang
mau tinggal di permukiman. Rumah ini terdiri atas satu kamar, satu
ruang dapur, dan beranda, serta atapnya terbuat dari seng. Dilarang
keras memelihara babi di permukiman dengan alasan ketertiban dan
kesehatan. Program ini mengenalkan pertanian sawah. Efek paling
kuat dari usaha OPKM ini adalah introduksi permukiman terpusat
dengan rumah berbentuk seragam. Meskipun awalnya disambut
an­tus­ias, rumah-rumah seragam tersebut berubah bentuk karena
dibongkar dan direnovasi, dan tidak sampai lima tahun, pertanian
sawah kehilangan peminat. Program ini secara resmi dihentikan pada
1982 karena Bappenas menilai hal itu bermasalah dengan struktur
administratif negara (Person 1995: 16).
Proyek berikutnya adalah Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat
Terasing (PKMT), sebuah program berskala nasional dan terencana
untuk secara khusus menangani masyarakat terasing. Program ini
berada di bawah kendali Departemen Sosial (Depsos). Tujuan program
yang dinyatakan secara eksplisit adalah mengurangi keterbelakangan
fisik, sosial, dan budaya pada masyarakat terasing agar mereka bi­sa
men­­capai kemakmuran sosial dan dapat berpartisipasi dalam pem­
ba­ngunan (Anonim 1996: 2). Inti program ini adalah membangun
permukiman baru (resettlement) bagi masyarakat yang tinggal ber­
pencar-pencar dan terpencil. Masyarakat akan dipindahkan dari per­
mu­kiman “tradisional” dan dikumpulkan ke desa atau dusun baru
bentukan pemerintah.17 Pola pemanfaatan ruang penduduk Siberut
yang berpencar-pencar dianggap bermasalah karena dinilai tidak
ekonomis, dan sistem berpindah-pindah ladang dianggap mengancam
pelestarian hutan yang sudah dikategorikan milik negara (Persoon
dkk 2004: 26; Sekretaris Jenderal Kehutanan 1985: 124).
Alasan-alasan resmi yang dijelaskan wakil dari pemerintah me­
nyebutkan bahwa PKMT akan memudahkan pemerintah melayani
ma­­sya­ra­kat. Dengan menyalahkan kebudayaan yang terbelakang dan
po­la pemanfaatan ruang (spatial practices) penduduk Siberut, pe­me­
rin­tah mengusulkan program yang diklaimnya lebih cocok dan sesuai

17 Ide pemukiman penduduk Siberut bukanlah gagasan baru. Pemerintah Belanda berencana untuk
memukimkan beberapa penduduk Siberut yang berada di interior pulau ke tepi pantai namun ide ini
tidak pernah terlaksana. Ide pemukiman penduduk juga merupakan gagasan dasar dari kebijakan
OKPM yang kami sebut sebelumnya.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 63

bagi orang Siberut. Pernyataan Gubernur Sumatra Barat era 1990-an


mewakili pandangan resmi negara terhadap orang Siberut:
Kebiasaan masyarakat (Siberut) untuk terus berpindah dari satu
tempat ke tempat yang lain membuat pemerintah sangat sulit
un­tuk menyediakan sarana dan prasana untuk kemajuan me­
re­ka. Akan sangat sulit bagi kami mem­ba­ngun sekolah, gereja,
masjid, pasar, pelabuhan, pelayanan kesehatan, dan layanan
publik lainnya pada masyarakat yang berpencar-pencar di se­
luruh pulau.18

Di Siberut, proyek PKMT dimulai pada 1972. Proyek ini pertama


kali dicoba dengan membangun 18 rumah di Pasakiat, kawasan teng­
ga­ra Siberut, yang kini termasuk Desa Maileppet. Sampai 1997, ketika
Proyek PKMT terakhir dilaksanakan di Rogdok, Sotboyak, Subelen,
dan Bojakan, sebanyak 26 permukiman baru buatan dan 2.411 rumah
telah dibangun untuk orang Mentawai di Siberut (Persoon dkk 2004;
1995). Pola permukiman PKMT tidak jauh berbeda dengan permu­
kiman buatan OPKM. Setiap permukiman dibuat seragam dalam
ukur­an dan desain rumah, pola, dan administrasi. Permukiman PKMT
cen­­de­rung ber­beda dengan pulaggajat karena secara administrasi di­
pim­pin ke­pa­la desa atau kepala dusun.
Proyek ini mengubah pemahaman atas ruang dan waktu bagi
masyarakat dan menjadi faktor penentu terjadinya perubahan
sosial (Skephi 1992; Ruddle 1992). Permukiman ini dipandang
meng­ubah pola produksi orang Mentawai untuk lebih berorientasi
kepada tanaman komersial. Gaya hidup tradisional Mentawai seperti
berburu dan memelihara babi praktis jauh merosot di permukiman
baru dan digantikan pola produksi yang baru. Proyek PKMT banyak
mendapat kritik karena bersifat memaksa (Coronese 1985) dan dinilai
mendatangkan penyakit, mengubah pola tata guna lahan, menimbul­
kan kesulitan ekonomi, dan turut meningkatkan erosi gaya hidup
yang sesuai adat (Anonim 1993). Di tempat yang baru, penduduk
menjadi jauh dari ladang dan sumber makanan. Hal ini menyebabkan
ketergantungan terhadap transaksi ekonomi secara tunai, me­ning­
kat­kan kontrol pemerintah, mengacaukan wewenang hukum lokal,
dan meng­ubah mekanisme pemerintahan menurut adat (Barber,

18 Pernyataan Zulkifli Zainun, Gubernur Sumatra Barat dalam “How Wise is a Move?” Voice of Nature,
1990. Tanda kurung ditambahkan. Untuk pernyataan serupa dari pejabat resmi ada dalam The
Sakuddei (Granada Film 1974).
64 Berebut Hutan Siberut

Afif, dan Purnomo 1997). Beberapa keluarga dipindahkan ke tempat


yang lebih jauh sehingga menyebabkan mereka terpisah dari ladang,
kebun sagu, dan ternak babi. Pemindahan tempat tinggal tradisional
menyebabkan jarak tempuh menuju ladang, kebun sagu, dan kandang
babi lebih jauh. Proyek ini juga dikritik sebagai permukiman parokial
(parish settlement) yang memaksa orang untuk terikat dengan agama
formal tertentu (Wagner 1985: 94).
Di tempat yang baru, mereka juga harus hidup di tanah milik
uma lain. Hal ini menyebabkan mereka tidak leluasa dalam mengelola
ladang dan memilih tempat yang mereka sukai. Mereka harus me­mulai
dari awal untuk membuka ladang dan beternak. Meskipun pe­me­rintah
telah mengurus administrasi proyek ini dengan meminta pemilik tanah
menyerahkan tanahnya pada pemerintah, penduduk yang di­pin­dah­
kan tetap harus bernegosiasi dengan pemilik tanah (si­bak­kat laggai).
Akibatnya, pembukaan ladang dan peternakan umum­nya ditandai
de­ngan konflik antara para pendatang dan pemilik tanah. Menurut
Wagner (1985: 98), beban sosial permukiman ini mengingatkan ge­
ne­rasi yang lebih tua terhadap kerja paksa pada zaman penjajahan
Belanda dan Jepang. Sebagian mereka yang dipindahkan tidak kerasan
di tempat yang baru dan akhirnya kembali ke permukiman lama, dan
kembali membangun tempat tinggal dengan cara mereka sendiri.
Sejalan dengan proyek PKMT, pemerintah mewajibkan pen­
du­duk memilih agama formal yang diakui. Perubahan agama ini se­
dikit banyak merangsang perubahan cara pandang terhadap hutan.
Upacara-upacara menghormati leluhur yang bermukim di hutan ti­dak
diperbolehkan, termasuk di dalamnya pelarangan menggunakan ben­
da-benda upacara di depan publik, kecuali dalam perjamuan resmi
sebagai tontonan pada acara-acara resmi yang direstui pemerintah.
Proyek PKMT ini juga mengubah integrasi sosial, tidak lagi berada
di permukiman yang lama. Mereka harus hidup bersama dalam unit
desa atau dusun. Ikatan-ikatan tradisional pada uma atau antaruma
beralih kepada unit politik desa. Proyek ini juga mewajibkan warga
untuk ikut gotong-royong, memakai pakaian modern, dan bersekolah.
Kepala desa diberi otoritas untuk mengatur dan memutuskan hal-hal
yang dahulunya diselesaikan di tingkat uma. Kepala desa mendapat
legitimasi dari negara, tetapi dalam praktiknya sangat sulit untuk
dapat memerintah di desa. Desa juga menghasilkan integrasi sosial
di kawasan luas, hal yang sangat berbeda dengan pengalaman per­
mukiman sebelumnya. Proses ini merangsang adanya fragmentasi
Keberagaman dan Zona Abu-abu 65

sosial dan mengubah struktur sosio-politik lokal. Terlebih lagi, pada


awal pembentukannya, sebagian dari kepala desa/kepala kampung
tersebut berasal dari orang Minangkabau yang sehari-hari tidak
tinggal di desa tersebut, meskipun kemudian sejak dekade 1980-an
sebagian besar posisi kepala desa sudah dipegang orang Mentawai.
Banyak penulis melaporkan, pemindahan penduduk melalui
pro­gram PKMT melibatkan unsur pemaksaan (Coronese 1985: 103;
Wagner 1985: 99). Dalam beberapa kasus seperti di Bojakan atau di
Desa Madobak, unsur intimidasi psikologis melalui kehadiran militer
dan an­cam­an-ancaman halus dari pejabat-pejabat negara rendahan
yang ada di Siberut menyertai proyek ini. Akan tetapi, PKMT tidak
meng­hasilkan cerita tunggal. Keterangan mengenai pemaksaan dari
pejabat pemerintah bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain
karena masing-masing pelaksanaan proyek PKMT memiliki dinamika
internalnya sendiri dan mendapat reaksi yang bervariasi (Persoon
1995). Di tempat yang lain, banyak warga yang tertarik dengan proyek
ini dan secara aktif berpartisipasi. Sebagian orang Siberut terhindar
dari masalah-masalah yang mereka hadapi di pulaggajat dengan ber­
pindah ke tempat baru. Mereka juga melihat adanya harapan per­
baik­an kondisi kehidupan melalui proyek ini. Gambaran tentang
ambivalensi sikap orang Siberut terhadap proyek PKMT ini cukup
baik diwakili oleh penuturan informan Reeves (2004) di Madobak:
Sebelum saya hidup di barasi (dusun/kampung), kami
me­miliki banyak ayam dan babi. Banyak yang kami pu­nya.
Sekarang, di kampung (permukiman PKMT) kami tidak
punya apa-apa. Di rumah kami (di permukiman lama)
tidak bersih dan tidak banyak orang. Lebih banyak ayam
dan babi. Di sana kami banyak memiliki sesuatu dari yang
lama (warisan leluhur). Kami juga sering makan daging
monyet atau rusa. Jika seseorang datang dari tempat lain
kami menjamunya dengan banyak babi, banyak daging.
Namun kehidupan (sekarang) lebih baik dari sebelumnya
(di permukiman lama). Jika seseorang meninggal, orang-
orang lain membantu. Tetapi masalahnya ayam kurang
dan tidak ada babi. Kami tidak sering makan daging
monyet. Banyak ayam dan babi di mone (permukiman
lama) tetapi sepi tidak ada orang—itu membuat kita
sedih. Jika kita sakit tidak ada yang membantu dan kita
mati sendirian.
66 Berebut Hutan Siberut

Gambar 4. Permukiman bentukan pemerintah dalam proyek PKMT (pertama,


kedua: Rahmadi; ketiga: Koen Meyers).
Keberagaman dan Zona Abu-abu 67

Dalam kasus Puro dan Madobak (Darmanto 2010b; Reeves


2004), warga hanya “merasa ditakut-takuti”, tetapi tidak ada yang me­
nyatakan mereka dipaksa. Beberapa warga Puro menyatakan me­re­ka
tertarik dengan proyek ini karena adanya janji dan bujukan pejabat
pemerintah mengenai fasilitas dan keuntungan yang diberikan oleh pe­
me­rintah dari proyek ini. Yang jelas, mereka tidak pernah mengalami
bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Alasan yang dapat
digunakan mengapa orang Mentawai menyambut baik proyek ini
adalah efek yang begitu kuat atas stigma yang mereka terima sebagai
masyarakat terasing. Suasana dan stereotip sebagai masyarakat te­
rasing memberi efek psikologi yang kuat bagi orang Siberut untuk
menerima program pemerintah dan berusaha terlibat dalam setiap
proyek negara/pembangunan. Sebagai masyarakat terasing, orang
Mentawai telah distigmatisasi sebagai kelompok yang bermasalah
secara sosial, religius, dan spasial (Persoon 1997; Eindhoven 2007).
Seperti yang dinyatakan Eindhoven (2007), orang Mentawai ter­
pengaruh dengan pelabelan sebagai masyarakat terasing. Kebijakan
pe­merintah telah membuat orang Siberut memahami diri mereka
sendiri dari sudut pandang yang negatif. Dengan terlibat dalam
PMKT—mengikuti jalur yang ditetapkan negara melalui PKMT—orang
Mentawai berusaha untuk keluar dari stigma tersebut. Penduduk yang
dipindahkan juga memiliki harapan positif tersendiri terhadap proyek
ini, meskipun dipastikan bahwa harapan mereka tidak sepenuhnya
ter­wujud. Mereka bahkan sangat bergembira mendapatkan rumah
berukuran 4 x 6 meter meskipun rumah tersebut menggunakan kayu
durian, jenis kayu yang jarang dipakai orang Siberut sendiri dalam
membuat rumah. Mereka mendapat jatah hidup (beras dan lauk-pauk)
selama tiga tahun dan benih tanaman pertanian (padi, durian, kelapa,
jagung, mangga, jeruk, cengkeh, dan lain-lain). Setiap kepala keluarga
juga akan mendapatkan tanah 2 ha dari negara dan mereka tertarik
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan
bimbingan agama seperti yang dijanjikan negara sebagai cara untuk
menghilangkan status terasing itu.
Warga PKMT yang kami jumpai tidak banyak menolak perubah­
an-perubahan yang disebabkan oleh proyek ini. Meskipun mengalami
banyak kesulitan, mereka telah terbiasa dan mampu bertahan dengan
kehidupan baru. Kebutuhan-kebutuhan baru yang mengikat mere­ka
dengan administrasi birokrasi dan agama, seperti sekolah, lingkungan
68 Berebut Hutan Siberut

gereja, dan pelayanan kesehatan, dirasakan dapat diintegrasikan de­


ngan gaya hidup “tradisional”. Warga PKMT berhasil menemukan cara
untuk tetap melanggengkan upacara-upacara ritual, aturan-aturan
adat, atau kebiasaan-kebiasaan lama sekaligus merengkuh gaya hidup
baru yang terintegrasikan dengan ide-ide tentang berbangsa atau
bagaimana menjadi “modern” (lihat misalnya dalam Persoon 1995;
Persoon dkk 2004:21). Mereka dapat beradaptasi dengan sistem per­
dagangan tunai, institusi pendidikan, kesehatan, dan keagamaan;
terikat dengan pemasaran produk hasil hutan; dan berbaur dengan
etnis lain. Tidak seperti yang disangka, sebagian besar warga PKMT
bertahan, bahkan bertambah dengan adanya orang-orang baru yang
secara spontan datang dari permukiman asalnya.
Hasil penelitian Darmanto (2010b) mengenai PKMT di Dusun
Puro, Siberut Selatan, menunjukkan bahwa penduduk mengembang­
kan strategi adaptasi terhadap kehidupan bersama dalam satu dusun
atau kampung bentukan pemerintah. Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, warga dewasa pergi ke ladang dari hari Senin sam­pai
Sabtu, meskipun terdapat larangan meninggalkan permukiman le­­bih
dari dua hari. Generasi yang lebih muda tinggal di kampung untuk
mengasuh anggota keluarga lain dan bersekolah. Mereka berkumpul
di desa pada akhir pekan untuk bersosialisasi dan beribadah. Dengan
cara ini mereka bisa menyeimbangkan antara gaya hidup tradisional
dan tuntutan untuk menjadi warga PKMT seperti dianjurkan oleh
aturan negara. Mereka juga mengembangkan strategi dengan membeli
atau menyewa tanah-tanah subur di sekitar permukiman baru milik
uma lain untuk memulai usaha ekonomi yang baru.
Informan kami di 3 desa yang menjadi target PKMT (Madobak,
Pu­ro, dan Saliguma) mengatakan lebih menyukai permukiman pe­me­
rintah karena mereka bisa pergi ke puskesmas terdekat, anak-anak
mereka bisa bersekolah, permukiman lebih bersih dan drainasenya
ter­jaga, serta jalan-jalan tersedia lebih rapi dan beberapa di antaranya
telah diperkeras dengan beton. Aman Kageng, salah satu satu informan
kami di Puro menyatakan, sebagian dari warga Puro merasa nyaman
di dusun karena mendapat bimbingan keagamaan, hidup secara so­
sial, dan secara rutin mendapat kunjungan pejabat pemerintah. Lebih
lengkapnya, ia mengisahkan:
Apa jadinya kita tinggal di hutan terus? Rumah tidak ber­sih.
Anak-anak tidak bisa membaca dan menulis. Di kampung
Keberagaman dan Zona Abu-abu 69

(barasi) kita mendapat bimbingan dari negara. Kami me­


nge­nal agama dan tidak dianggap sebagai orang liar. Te­
ta­pi, kami sesekali masih ke tempat lama. Kepunyaan dan
sum­­ber kehidupan kami ada di sana. Ladang nilam, pi­
sang, ke­la­pa kami ada di permukiman lama. Tetapi kami
le­bih su­ka tinggal di dusun. Banyak informasi untuk kita.
Dan ki­ta lebih mendapat perhatian, daripada kita tinggal
di permukiman yang penuh semak.19

Meskipun pada awalnya proyek pemerintah semacam ini kurang


di­su­kai, proses ini membiasakan penduduk Siberut untuk menjadi
ter­ikat dengan administrasi negara. Tidak seperti yang diduga, dalam
ba­­nyak hal, penduduk Siberut sangat menginginkan kehadiran negara
dan pro­gram pe­merintah. Sebagian besar masyarakat yang dipindah­
kan me­la­lui program PKMT menerima dan secara aktif terlibat dalam
pro­yek ini (Reeves 2004; Darmanto 2010). Dengan bermukim di dusun
atau desa, mereka berharap mendapatkan kehidupan lebih baik se­
telah terikat dengan negara dan mendapat fasilitas seperti pelayanan
kesehatan, sekolah gratis, subsidi makanan pokok, atau bantuan-ban­
tu­an pembangunan. Mereka perlahan-lahan lebih menginginkan ber­
mukim di dusun atau desa dan berharap mendapatkan kehidupan yang
le­bih baik. Mereka melihat ada celah mendapatkan keuntungan jika
dekat dengan pejabat atau elite-elite setempat atau dengan birokrat
ren­dah­an yang umumnya berasal dari Minangkabau, Batak, atau Ja­
wa. Ji­ka ada proyek-proyek pemerintah, warga yang bermukim di lu­ar
ad­mi­nis­tra­si desa biasanya rela berpindah dari tempat semula. Se­ba­
gian narasumber kami mengatakan bahwa hanya orang-orang bodoh­
lah yang kembali ke permukiman asalnya.
Setelah lebih dari 20 tahun, sebagian besar permukiman PKMT
itu telah berkembang menjadi desa dengan berbagai inovasi. Sampai
1998, warga Siberut telah terkumpul dalam 10 desa yang tergabung
dalam dua kecamatan.20 Permukiman lama lebih berfungsi sebagai
tempat perladangan. Beberapa di antaranya ditinggalkan menjadi
hutan, semak belukar, ladang, dan peternakan babi. Sesekali mereka
mengunjungi permukiman lama, mengunjungi tanaman yang mereka
miliki. Beberapa pulaggajat dijadikan ladang yang secara teratur me­re­

19 Keterangan Aman Cokot dari Uma Sagorowjow, warga Desa Madobak, 4 Juni 2005.
20 Secara administratif sejak 2003, Siberut telah dibagi menjadi 5 kecamatan (Siberut Selatan, Siberut
Utara, Si­berut Barat Daya, Siberut Barat, dan Siberut Tengah) melalui surat No 141/21/pem-2002. Se­
ca­ra efektif sistem administrasi ini baru dilaksanakan pada 2008.
70 Berebut Hutan Siberut

ka usahakan. Untuk generasi yang tua, mereka lebih menyukai ting­gal


di pulaggajat, menghabiskan waktu 5-6 hari dalam seminggu lantas
pada Sabtu-Minggu berada di desa. Mereka akan kembali ke per­
mukiman untuk bersosialisasi, beribadah dan menghadiri pertemuan
formal, membayar pajak, serta membentuk jaringan sosial yang baru
dengan penduduk lain yang juga dipindahkan.
Dalam proses untuk memantapkan bentuk penggunaan ruang
yang baru, proyek PKMT mentransformasikan relasi sosial yang
ada di permukiman lama. Di satu sisi, mereka antusias untuk lebih
terikat dan loyal terhadap pemerintah. Di sisi lain, mereka harus tetap
memelihara kewajiban sosial untuk mempertahankan solidaritas dan
me­langgengkan loyalitas uma dan kelompok sosialnya. Hidup ber­sa­ma
uma-uma yang berlainan dalam jumlah yang besar dan kehidupan itu
diatur oleh otoritas baru bernama kepala desa atau dusun merupakan
peng­alam­an baru. Tidak semua uma yang bermukim bersama ter­se­
but me­miliki relasi harmonis. Informan kami di Puro bercerita, pada
awal­nya mereka ragu ketika harus diatur oleh pemimpin yang ditun­
juk negara dan bukan berasal dari kelompok mereka.
Dalam menghadapi dilema seperti ini orang Siberut harus me­­ne­
mu­kan ruang untuk bernegosiasi. Untuk mengatasi kekhawatiran pa­da
perubahan relasi baru ini, pada awal perpindahan, kelompok-ke­lom­
pok se­kerabat menempatkan dan memilih lokasi rumah yang saling
ber­de­kat­an. Masing-masing blok terdiri dari rumah-rumah keluarga
se­uma. Dalam kasus yang dijumpai di Ugai, solidaritas sebagai ke­
lom­pok ini mereka jaga dan tunjukkan dengan memindahkan rumah
besar (uma) dari permukiman lama atau membuat rumah besar baru.
Rumah besar itu mereka bangun di sekitar rumah-rumah anggota
uma­nya. Strategi yang dipakai ini mencirikan adanya negosiasi untuk
terlibat dalam permukiman pemerintah sekaligus mempertahan­kan
gaya hidup dan relasi sosial di permukiman lama. Kekhawatiran akan
solidaritas uma di dalam desa atau dusun ditangani dengan mem­bagi
ruang bagi kelompok-kelompok sehingga tetap terbentuk sebagai unit
sosial yang utuh.
Kebutuhan menjaga solidaritas ini begitu tinggi sehingga secara
tidak langsung setiap uma membangun kompetisi dengan uma lain,
me­­re­ka berusaha untuk menunjukkan solidaritas tersebut. Setiap uma
sa­ling bersaing untuk memperlihatkan kemampuan mereka men­ja­ga
entitas sosialnya. Persaingan ini ditunjukkan dengan me­nye­leng­ga­ra­
kan pesta-pesta meriah dan mendirikan uma. Uma-uma berusaha me­
Keberagaman dan Zona Abu-abu 71

nun­juk­kan bahwa mereka tidak kehilangan identitas sosialnya di ha­


dap­an struktur permukiman baru. Tidak seperti kekhawatiran banyak
peneliti mengenai proyek resettlement, munculnya relasi baru dalam
PKMT merangsang solidaritas dan meningkatkan integrasi uma dan
bukannya memporak-porandakan struktur sosial tersebut.
Seiring meningkatnya interaksi sosial yang lebih luas, jaringan so­
si­al juga lebih berkembang. Warga di permukiman baru membangun
relasi dengan kekuasaan yang lebih besar (gereja, pemerintah). Me­re­ka
aktif membentuk aliansi yang dicirikan oleh patronase dari elite-elite
desa, pejabat negara, pedagang-pedagang atau aktivis-aktivis sosial
Ge­re­ja maupun LSM. Keterlibatan dalam kegiatan yang disponsori pi­
hak luar turut serta mempengaruhi relasi dan aliansi taktis di antara
uma. Kohesi sosial yang terbentuk dan berusaha untuk dipertahankan
pa­da awal-awal proyek pemukiman juga turut bergeser. Otoritas po­
li­tik antaruma yang biasanya sangat independen bercampur dengan
adanya intervensi pemerintah melalui ‘pemimpin’ (kepala dusun,
kepa­la desa, polisi, camat, pegawai negeri) yang mereka akui dan
dires­tui negara.
Uma, sebagai unit sosial tetap bertahan dan menjadi bagian pen­
ting, tetapi integrasi dan interaksi sosial lebih berkembang dan me­lu­as
tidak terbatas di uma atau desa. Pergeseran relasi ini juga mengubah
ting­kat so­lidaritas sebagai anggota uma. Perjumpaan dengan aktor
dan agen-agen lain di luar kelompok sekerabat dan aliansinya telah
mem­ba­wa pemahaman baru untuk melihat desa sebagai entitas yang
lebih besar dari uma. Perubahan dalam struktur sosial tersebut turut
serta membawa perubahan uma dalam mengatur permukiman. Se­te­
lah beberapa tahun, ketika desa atau dusun bukan lagi dianggap se­
ba­gai ancaman bagi struktur sosial uma, sebagian dari mereka mulai
mem­per­baiki dan memindahkan rumahnya ke tempat-tempat yang
strategis. Kadang-kadang tempat yang dipilih jauh dari umanya.
Meskipun secara umum program ini berhasil—orang Siberut
ting­gal di desa atau dusun—tidak semua penduduk Siberut mau ber­
ga­bung. Sebagian kecil memilih bertahan di luar permukiman ben­
tuk­an pemerintah, hidup di dekat hutan yang jauh dari jangkauan dan
kon­trol negara. Mereka tetap melanggengkan gaya hidup ‘Mentawai
lama’ dengan tinggal di pulaggajat, membangun rumah-rumah besar
dan berladang. Permukiman ini lazimnya berada di daerah-daerah in­
terior. Mereka tetap melanggengkan corak sosial hidup otonom dan
egaliter dan umumnya tinggal di tanah mereka sendiri. Di Lembah Re­
72 Berebut Hutan Siberut

rei­ket dan pedalaman Simatalu, permukiman jenis ini masih banyak


bertahan. Mereka hidup terpisah dengan permukiman bentukan pe­
me­rintah. ‘Terlalu banyak gotong royong’, ‘hidup diatur oleh orang
lain’, ‘mau makan apa di dusun?’ adalah beberapa tanggapan mereka
terhadap hidup di desa. Orang-orang ini berpandangan bahwa dusun
atau desa membuat orang Siberut lebih malas karena hanya menung­gu
bantuan negara. Mereka lebih bangga menjalani gaya hidup mandiri
tidak terikat dengan negara. Mereka memilih tetap memelihara babi
dan dekat dengan tanah-tanah mereka sendiri yang mereka usahakan
untuk berkebun dan bercocok tanam. Sebagian besar menganggap me­
reka jauh lebih kaya daripada orang Mentawai yang tinggal di desa.

Faktor-faktor Lain: Peneliti dan Pariwisata


Selain penelitian ilmu alam, studi etnografi yang intensif pada akhir
1960-an mulai mengenalkan budaya penduduk Siberut melalui pu­bli­
ka­si karya-karya antropolog. Rasa ingin tahu yang besar mengenai
“ke­unik­an” penduduk Siberut merangsang penelitian-penelitian ten­
tang pulau ini. Orang-orang dari Eropa pun semakin tertarik un­tuk
datang dan mengenal lebih dekat budaya Mentawai di Siberut. Pu­
bli­kasi menghubungkan Siberut dengan pusat pendidikan tinggi di
Eropa dan Amerika serta penduduk dunia. Perubahan cara pan­dang
masyarakat Eropa pada akhir 1960-an terhadap dunia modern yang
dianggap korup dan stagnan memperbanyak orang yang men­dam­ba­
kan bisa menemukan ideologi alternatif. Ideologi ini juga melandasi
ting­gi­nya rasa hormat terhadap kebudayaan “asli” (indigenous) (Con­
klin dan Graham 1995; Redford 1990). Gelombang pengunjung dan
la­por­an-laporan yang datang ke Siberut selanjutnya pada akhir 1970-
an dan 1980-an semakin meningkat. Mereka kebanyakan anak-anak
muda yang ingin mencari pengalaman hidup dengan masyarakat asli.
Mereka juga membawa keprihatinan akan otonomi budaya-budaya
asli tersebut oleh ancaman penetrasi negara dan kapital (Persoon dan
Van Beek 1998; Tsing 1998).
Ada keterkaitan antara publikasi etnografi dengan usaha me­lin­
dungi penduduk asli. Salah satu contoh adalah apa yang dilakukan
Rei­mar Sche­fold. Antropolog yang namanya nyaris identik dengan
Si­be­rut ini memulai sebuah penelitian intensif di pantai barat Si­
be­rut pada 1967. Dia mempelajari cara hidup Uma Sakuddei yang
ber­mukim di Mongan Tepu, di hulu lembah Sungai Gulubbek. Pu­
Keberagaman dan Zona Abu-abu 73

bli­ka­si­nya mengenai kebudayaan Mentawai disandarkan atas pe­


ne­li­ti­an­nya mengenai cara hidup orang-orang Sakuddei. Schefold
sangat berkomitmen dengan Uma Sakuddei dan orang Siberut pada
umumnya. Schefold kemudian bekerja sama dengan lembaga yang
peduli dengan kelompok-kelompok minoritas yang berkantor di Ing­
gris, Sur­vival Internasional. Mereka kemudian menjalankan se­bu­ah
proyek di Siberut, satu-satunya proyek mereka di Indonesia pa­da
1983 (Persoon 1985; Schefold 1980b). Proyek kerja sama itu di­da­hu­
lui dengan pembuatan film The Sakuddei (Granada Film 1974). Narasi
yang dibangun dalam film itu sangat jelas: orang-orang Mentawai
ada­lah orang yang terdesak secara politik dan budaya serta sumber
dayanya dieksploitasi orang luar. Film ini dimulai dengan kehidupan
“tra­di­si­onal” ala Sakuddei dan diakhiri bagaimana intervensi pem­ba­
ngun­an dan eksploitasi hutan mengancam otonomi kehidupan tra­di­
si­onal tersebut.
Narasi tentang masyarakat pedalaman yang unik tetapi terancam
oleh destruksi dari luar membentuk minat para pelancong untuk me­
ngun­jungi Siberut. Ada semacam gejala kerinduan dalam diri orang-
orang Eropa akan tempat-tempat yang masih “asli” dan eksotik, de­
ngan pen­du­duk­nya yang khas yang terancam oleh ekspansi negara
dan eks­ploi­ta­si sumber daya alam oleh pengusaha yang serakah. Si­
be­rut meng­isi celah kosong antara gagasan modern dan ide primitif
ini. Sejak akhir 1970-an, kunjungan wisatawan asing ke Siberut mulai
lazim. Minat terhadap Siberut mungkin amat terkait dengan per­sep­si
Barat terhadap orang Mentawai yang telah mulai mereka kenal se­ku­
rang-kurangnya sejak 200 tahun lampau. Publikasi tentang Mentawai
dan Siberut banyak terbit di Eropa dan dari sanalah dikenal julukan
bagi orang Mentawai sebagai “flower people”, “amiable sa­va­ge”,
“keeper of the forest” atau “forest spirit” (Wagner 2002; Lindsay 1992;
Persoon dan Van Beek 1998). Citra ini sangat kuat mengesankan bahwa
orang Mentawai mewakili apa yang menjadi keresahan kebanyakan
orang pada 1990-an tentang ancaman kepunahan kebudayaan pen­
du­­duk asli. Orang Mentawai cocok menjadi tautan imajinasi bagi me­
ro­sot­nya kebudayaan Barat yang digambarkan penuh ketamakan, ke­
li­cik­an, atau korup seperti dikeluhkan oleh para ahli filsafat seperti
Mon­tes­quieu, Jean-Jacques Rousseau, Thomas Moore, dan lain se­ba­
gai­nya (bandingkan dengan Conklin dan Graham 1995). Citra “ma­sya­
ra­kat liar yang ramah” atau “penjaga hutan” yang melekat pada orang
Mentawai memberi jendela bagi imajinasi alternatif atas kehidupan
74 Berebut Hutan Siberut

modern yang monoton, materialis, dan penuh kepalsuan di dunia


Barat.
Fenomena kemandekan kebudayaan Barat menumbuhkan green
fantasy (Tsing 1999). Fantasi hijau ini memberi gambaran tentang
orang dari dunia pertama yang membayangkan adanya hutan hujan
tropis yang lestari dan manusia ramah di dalamnya dan keduanya te­
lah berinteraksi dari generasi ke generasi. Interaki tersebut menyebab­
kan pen­duduk itu memiliki pengetahuan praktis dan mengembangkan
hu­bung­an yang lebih selaras dengan sumber daya alamnya. Para pe­
ngun­jung tertarik mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat tra­
di­sional dalam lingkungan alami. Para pengunjung mendambakan
har­­mo­ni ke­hi­dup­an, sebuah hubungan antara manusia dan alam yang
sa­ling menghormati. Gelombang keprihatinan ini bertepatan de­ngan
maraknya industri wisata di Indonesia pada 1970-an setelah Or­de Ba­
ru berhasil mengkonsolidasikan kekuatan politiknya. Dengan si­tuasi
politik yang lebih stabil, industri wisata berkembang dengan pe­sat
dan Indonesia adalah salah satu tujuan wisata yang menjual ek­so­
tisme gaya hidup penduduk asli.
WWF (1980) merilis rencana induk konservasi berjudul “Saving
Siberut: A Conservation Masterplan”. Proposal ini menyebutkan eko­
wisata adalah cara efektif untuk memperoleh pendanaan konservasi
sehingga dapat menyeimbangkan kesejahteraan masyarakat dan pe­
les­tarian alam. Keanekaragaman hayati yang tinggi dan budaya yang
mendukung konservasi adalah dua wacana yang sangat kuat sebagai
basis penilaian proyek ini. Orang Mentawai di Siberut dikesankan
secara kuat sebagai pemilik kebajikan lingkungan; mereka memelihara
hubungan yang harmonis dengan alam dan memiliki keinginan kuat
untuk melindungi budaya ‘Zaman Batu’ mereka. Citra kelompok-
kelompok minoritas yang rentan karena interaksi dengan dunia luar
menjadi narasi yang sesuai dengan narasi keanekaragaman hayati, di
mana flora dan fauna yang unik, endemik, dan merupakan sumber
masa depan akan musnah dan punah karena rentan terhadap ancam­
an dari luar.
Kunjungan wisatawan memuncak pada akhir 1980-an dan awal
1990-an. Menurut Persoon dan Van Beek (1998: 317), sekurang-ku­
rang­nya secara rutin terdapat 5-8 grup, terdiri dari 15-30 pelancong,
ber­kunjung ke Siberut setiap bulan. Kadangkala, pengunjung datang
se­cara sporadis dalam kelompok yang lebih kecil. Fasilitas dan in­
fra­struktur untuk pengunjung sangat terbatas dan pelayanan dari
Keberagaman dan Zona Abu-abu 75

pemerintah kepada pengunjung tidak memadai. Jaringan transportasi


Padang-Siberut yang semakin membaik dan meningkatnya usaha pe­
layanan wisata di Bukittinggi dan Padang oleh pengusaha Minangkabau
membuat arus turis semakin meningkat pada akhir 1980-an.
Meskipun terkenal secara global, industri wisata di Siberut ter­ba­
tas di kantong-kantong budaya di Siberut Selatan. Kawasan-kawasan
ini berada di sepanjang aliran Sungai Rereiket dan Sungai Silaoinan.
Daya tarik utama kawasan ini adalah permukiman tradisional (Alimoi,
Malagasat, Buttui, Sakaliou, Rorogot). Sebagian besar permukiman
tra­di­sional di daerah ini masih mencirikan ‘tradisionalisme Men­ta­
wai’. Para pelancong tertarik menyaksikan orang-orang yang pergi ke
ladang, hilir mudik di kampung dengan badan penuh tato dan me­nge­
na­­kan lilitan cawat, atau perempuan yang membawa keranjang rotan
dengan hasil hutan di dalamnya. Atraksi lain yang sering diinginkan
adalah para sikerei yang melakukan praktik pengobatan seperti halnya
atraksi perkawinan, proses berburu, membuat sagu, mencari ikan di
sungai, pembagian daging pesta, upacara ritual.
Masyarakat yang dikunjungi sangat terbuka terhadap wisatawan.
Kunjung­an turis itu memberikan kesempatan untuk mendapatkan
sumber pendapatan baru. Mereka mendapat sedikit uang dari pe­
ngun­jung yang tinggal di uma mereka atau dari jasa membawa barang
atau jasa sebagai pemandu lokal. Para pengunjung yang murah hati
membayar penduduk setempat jika mereka mempertunjukkan tari-
tarian, ritual pengobatan, atau praktik perdukunan. Orang Siberut
juga secara aktif menarik bayaran dari turis yang mengambil foto
secara eksklusif. Ka­rena turis menyukai permukiman tradisional dan
menghabiskan wak­tu di sana serta membayar penduduk yang tinggal
di uma-uma dekat hu­tan, mereka yang melanggengkan gaya hidup ala
Mentawai yang men­da­pat keuntungan.
Dengan tidak menolak anggapan bahwa mereka mendapat ke­
un­tung­an, sebagian orang Siberut yang menjadi objek bagi wisatawan
mengeluhkan uang turis lebih dinikmati pemandu dari Bukit Ting­gi
atau Muara Siberut. Meskipun isu ketidakadilan pembagian ke­un­
tung­an nyaris permanen, masyarakat sendiri selalu terbuka ter­ha­dap
kunjungan-kunjungan baru. Pengalaman akan pembagian keuntung­
an yang di­ra­sa timpang memunculkan reaksi yang tidak selalu ramah
terhadap wisatawan. Sikap-sikap ini jangan dipandang sebagai ben­tuk
penolakan, akan tetapi sebagai cara untuk meningkatkan keuntungan
di pihak mereka.
76 Berebut Hutan Siberut

Pada saat wisatawan mengharapkan hal-hal yang bersifat tra­


di­si­onal, pemerintah melancarkan program untuk melarang gaya
hi­dup dan budaya tradisional. Sikap orang Siberut terhadap turis
sangat berbeda dengan pemerintah, pejabat lokal, atau pemimpin
aga­ma (Persoon 1995). Dipandang bahwa kedatangan pengunjung
luar negeri yang tertarik dengan budaya dan permukiman tradisional
meng­halangi kebijakan pembangunan pemerintah untuk mem­bawa
orang Siberut ke dalam modernisasi dan malahan memperkuat dan
me­lestarikan keterbelakangan (Persoon 1995: 17). Departemen Sosial,
misalnya, memprotes sikap para turis dan bersikeras memindahkan
orang-orang di permukiman tradisional ke desa-desa (ibid). Hanya
De­par­temen Pariwisata yang menyambut baik meningkatnya kun­
jung­­an wisatawan. Mereka mengeluhkan kunjungan wisatawan akan
ber­kurang seiring berkurangnya permukiman tradisional akibat pro­
yek pemukiman (Persoon dan van Beek 1998).
Proyek Konservasi Alam Terpadu (PKAT)21 secara tidak langsung
membantu wisatawan untuk mendapatkan informasi yang lengkap
menge­nai Siberut melalui kampanye konservasi. Selebaran dan booklet
menarik dibuat dalam proyek tersebut untuk memancing kunjungan
wisatawan. Pembentukan taman nasional dan proyek PKAT menjadi
kekuatan sosial untuk mendefinisikan Siberut sebagai tujuan wisata.
Wisatawan, tertarik dengan ide yang saling melengkapi—pelestarian
alam, pelestarian budaya, dan wisata—berkunjung ke Siberut untuk
ber­usaha mendapatkan ide-idenya terwujud dengan terbentuknya ta­
man nasional.
Setelah mekar pada dekade 1980-an, Industri pariwisata di Si­
be­rut mengalami kemunduran pada akhir 1990-an. Gejolak per­ubah­
an politik nasional pasca-Mei 1998, kecamuk desentralisasi, dan pe­
nge­bom­an tempat-tempat ibadah dan pariwisata berimbas ke Pulau
Siberut. Dapat dikatakan, sepanjang akhir 1990-an dan awal 2000-an,
industri wisata di Siberut mengalami mati suri. Industri pariwisata
yang berorientasi pada wisata kebudayaan asli mulai bergeser ketika
muncul gelombang wisata mode baru yang lebih menitikberatkan
21 PKAT adalah proyek yang bertujuan menggabungkan aspek pelestarian alam dan pembangunan. Pro­
yek ini didanai dari hutang Bank Dunia (WB) dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Proyek ini merupakan
ba­gian dari ICDP (Integrated Conservation and Development Project) yang secara luas dikembangkan
pa­da 1990-an di seluruh dunia. Di Indonesia, proyek-proyek semacam ini ada di kawasan-kawasan
kon­ser­vasi seperti Leuser, Kerinci Seblat, Lore Lindu, dan Tanjung Puting, termasuk di antaranya ada­
lah Siberut yang satu paket dengan suaka alam Ruteng di Flores. Bab 5 buku ini akan menjelaskan
di­namika PKAT. Akan tetapi, untuk uraian lengkap tentang proyek ini bisa dilihat dalam buku Barber,
Afif, dan Purnomo (1996). Mengenai evaluasi atas proyek ini, lihat Wells dkk (2000).
Keberagaman dan Zona Abu-abu 77

pada wisata ombak dan selancar, yang terpusat di pulau-pulau kecil di


selatan Siberut (Persoon 2003).

Variasi Internal dan Pengaruhnya


Orang Mentawai di Siberut dapat dilihat memiliki entitas budaya
ter­sendiri yang membedakan mereka dengan penduduk non-Siberut.
Meskipun demikian, Siberut juga memiliki variasi internal dalam
bahasa, ekspresi budaya, gaya hidup, dan praktik-praktik pengelolaan
sumber daya alam. Pola kebudayaan lain—tatto, rumah, tabu-ta­bu,
pan­tang­an dan sistem pengelolaan sumber daya alam—juga be­ra­gam.
Setiap variasi menjadi atribut budaya dan otonomi sosio-po­li­tik an­
tar­uma, antarpermukiman, dan antarlembah. Variasi ini ter­ben­tuk
dan dipengaruhi oleh faktor ekologi. Lokasi permukiman, dia­lek ba­
ha­sa, aturan-aturan dan kebiasaan setempat dideterminasi oleh lem­
bah atau daerah aliran sungai. Dengan letak permukiman yang ter­
pisah oleh lembah-lembah dan sungai-sungai masing-masing mereka
menciptakan dan membentuk ciri kebudayaan tersendiri. Kon­tak
ekonomi dan sosial terbatas untuk penduduk yang tinggal da­lam satu
daerah aliran sungai dan sekali waktu melalui hubungan-hubungan
pernikahan dan kekerabatan.
Siberut memiliki perbedaan ekologi yang mencolok antara dae­
rah pantai timur, pantai barat, dan daerah pedalaman. Perbedaan
eko­­logi ini berkontribusi bagi munculnya perbedaan cara masyarakat
mengelola sumber dayanya. Di pantai timur yang landai dan mudah
dilayari, cuaca lebih kering dan sedikit tenang; pantai timur memiliki
persediaan air yang melimpah dibandingkan pantai barat yang lembap
dan garis pantainya terjal. Kawasan landai dan berair dimanfaatkan
untuk menanam tanaman pokok sementara perbukitan yang terkena
hembusan angin laut digunakan untuk menanam cengkeh dan pala,
sedangkan daerah pantai berpasir sangat cocok untuk tanaman ke­
la­pa. Di pantai barat, ekologinya dicirikan dengan perbukitan yang
terjal dan curam. Kawasan ini sukar dimanfaatkan untuk budidaya.
Mengumpulkan rotan dan menanam nilam merupakan pilihan akti­
vitas ekonomi utama. Begitu pula di daerah pedalaman yang berhutan
lebat. Aktivitas ekonomi terbatas pada mengumpulan rotan, menanam
nilam, beternak babi dan baru-baru ini bertanam kakao.
Di kawasan pantai timur, akses transpostasi melalui laut me­mu­
dah­kan mobilisasi sosial sehingga akses terhadap pasar relatif intensif.
78 Berebut Hutan Siberut

Orang-orang lebih mudah bepergian ke kota-kota kecamatan untuk


ber­interaksi dengan pedagang dan migran. Kontak yang intensif ini
me­ningkatkan keuntungan dari penjualan produksi tanaman-tanaman
komersial. Di kawasan ini, akses terhadap pelayanan pendidikan, ke­
se­hat­an, atau keagamaan, relatif lebih mudah dibandingkan daerah
pe­­da­­lam­an atau pantai barat. Kemudahan tidak dimiliki penduduk
di pan­tai barat atau pedalaman karena masalah akses transportasi.
De­ngan biaya operasional yang mahal, jaringan perdagangan sangat
ter­ba­tas menjangkau mereka dan harga tanaman komersial sangat
ren­dah. Daerah ini seringkali kekurangan pasokan barang-barang
dari luar atau impor, seperti gula dan rokok. Perbedaan geografis ini
membentuk perbedaan jaringan sosial dan kondisi ekonomi-politik
dan turut berkontribusi menciptakan daerah pantai barat yang lebih
terisolir.
Intervensi pemerintah diterapkan berbeda-beda tergantung va­
ria­si regional. Jangkauan kontrol dan pelayanan negara sangat ter­gan­
tung pada kemampuan pendanaan dan dedikasi pegawai pemerin­tah.
Intervensi pemerintah lebih banyak terjadi di desa-desa besar yang
ada di pantai timur. Di desa-desa yang sukar dijangkau dan biaya
trans­por­tasi untuk ke sana tinggi, penduduknya relatif tidak banyak
ber­sen­tuh­an dengan pemerintah. Komitmen dan motivasi pejabat, gu­
ru-guru, camat, wali nagari, atau polisi juga sangat menentukan ting­
kat intervensi pemerintah. Penduduk di daerah pantai lebih mudah
dikontrol dan memberi kemudahan bagi pejabat setempat. Sedangkan
di daerah pedalaman, penduduk tinggal secara menyebar sehingga
su­kar dikontrol, dan karena sulit diatur, dianggap lebih liar dan tidak
mau maju. Keterbatasan dana pembangunan infrastruktur dari negara
dan rendahnya kapasitas kemampuan birokrat, membuat proyek-pro­
yek pembangunan hanya mampu melayani/mencapai daerah yang
de­kat dengan tempat tinggal pejabat lokal, yang didominasi etnis Mi­
nang­kabau (Eindhoven 2007: 94).
Intervensi negara paling intensif terjadi di desa-desa yang di­hu­ni
oleh migran Minangkabau, yakni di Muara Siberut dan Muara Si­ka­
ba­luan. Kedua desa ini terletak di pantai timur dan merupakan desa
yang paling penting. Desa ini berkembang menjadi kota pelabuhan
pen­ting yang menjadi pusat pelayanan publik serta arus barang dan
jasa. Banyak proyek negara diselesaikan dengan terburu-buru, di­la­
ku­kan dengan tidak efektif, dan hanya melayani kepentingan bi­ro­
krat-birokrat rendahan yang bermukim di dua desa tersebut (ibid:
Keberagaman dan Zona Abu-abu 79

93). Tanpa ada kontrol dan akuntabilitas, proyek pemerintah di ta­


ngan birokrat Minangkabau banyak disesuaikan dengan kebutuhan
komunitas Minangkabau. Hal ini bisa dengan mudah dipahami karena
motivasi pejabat untuk menerapkan proyek sangat tergantung dari
kepentingannya. Lingkungan yang keras dan juga tidak mudahnya
meng­hadapi orang Siberut membuat pejabat rendahan mengalihkan
pembangunan infrastruktur negara seperti kantor, masjid, sekolah-
sekolah, pusat kesehatan, dan fasilitas publik; pembangunan di­uta­
ma­kan di tempat orang Minangkabau bermukim. Dengan bahasa
yang agak berlebihan, Eindhoven (2007: 94) menyebut ‘pemerintah
mem­­beri sedikit perhatian dan pada prinsipnya orang Mentawai di
Si­be­rut tidak diurusi’.
Pengaruh-pengaruh perusahaan kayu, misionaris, dan wisata
ber­­pe­ran dalam membentuk perbedaan sejarah antara satu tempat
de­ngan tempat lain. Perusahaan kayu menyediakan kesempatan kerja
ba­gi pen­duduk sebagai pekerja rendahan. Kehadiran perusahaan kayu
juga membawa gaya hidup baru dan juga cara pandang baru terhadap
hu­tan. Minat penduduk Siberut untuk mengubah peruntungan­nya
me­lalui kerja sama dengan perusahaan kayu juga tinggi. Cara untuk
me­mu­dahkan kerja sama tersebut adalah memindahkan permukiman
lama ke lokasi perusahaan kayu beroperasi. Hal ini dapat ditemukan
da­lam sejarah terbentuknya Dusun Limu di selatan dan Tiniti di utara
Si­be­rut. Penyebaran agama, terutama Katolik dan Protestan, juga tu­
rut mewarnai perbedaan identitas orang Siberut. Konversi ke agama
tertentu turut mempengaruhi elemen dasar dan mengubah perilaku
orang Siberut terhadap unsur-unsur budaya tradisional mereka.
Reaksi orang Siberut terhadap setiap pengaruh dan rangsangan
da­ri luar juga berlainan. Beberapa kelompok atau individu meng­hin­
dari pengaruh-pengaruh dari luar dan memilih untuk memelihara
ga­ya hidup tradisional dengan tinggal di permukiman lama. Mereka
me­nolak dimukimkan pemerintah. Sebagian lain menyingkir ke dekat
hutan untuk—kalau beruntung—menarik minat wisatawan. Sebagian
la­gi membentuk permukiman sendiri yang jauh dari jangkauan ne­ga­
ra. Sedangkan kelompok lain mencari kesempatan dan peluang un­tuk
berubah dan terlibat dengan proyek-proyek pembangunan ne­ga­ra.
Mereka ingin mengadopsi gaya hidup baru, agama baru, dan ber­se­
ma­­ngat mengikuti perubahan-perubahan yang disponsori negara. Di
lu­ar contoh-contoh yang tampaknya hanya memberi pilihan biner
ter­sebut, pada dasarnya, setiap orang Siberut mengkombinasikan
80 Berebut Hutan Siberut

se­ti­ap bentuk perubahan antara gaya hidup lama yang mereka prak­
tik­kan dan yakini dengan peluang-peluang baru yang diberikan dari
ke­ter­libatannya dengan komponen dari luar. Sebagian besar orang
Sibe­rut, secara hati-hati dan sadar, mengikuti perubahan tanpa me­
nen­tang­kannya dengan kepercayaan lama. Mereka berusaha meng­in­
tegrasikan gaya hidup tradisional dan gaya hidup baru yang di­pro­
mo­­si­kan negara atau yang dibawa para pendatang. Yang terjadi di
Si­berut adalah percampuran yang rumit antara yang lama dan yang
baru melalui proses hibridisasi.
Reaksi-reaksi yang berbeda-beda terbentuk kerena kuatnya si­
kap ega­liter orang Mentawai. Mereka terbiasa hidup independen de­
ngan se­dikit intervensi dari orang lain atau kelompok lain. Mereka
ter­bia­sa hidup secara otonom di lembah sungai tanpa adanya kontrol
dan ke­patuhan. Kehadiran pemerintah yang berusaha mengontrol ke­
hi­dup­an orang Siberut melalui birokrasi dianggap oleh sebagian ka­
lang­an akan menghilangkan otonomi tersebut. Sebagian kelompok
yang lain ingin tetap melanggengkan gaya hidup otonom yang tidak
ter­ikat itu. Di sisi lain, kehidupan orang Mentawai sangat terbuka pa­
da ke­mungkinan-kemungkinan baru dan perubahan. Mereka tidak
me­mi­liki masalah dengan perubahan dan malahan terlibat aktif da­
lam setiap perubahan yang menguntungkan mereka. Mereka selalu
ber­semangat dengan inisiatif baru dari luar. Perubahan dan dinamika
Si­be­rut terletak pada ketegangan dua prinsip tersebut. Mereka selalu
ingin hidup otonom dan independen sambil mengikuti perubahan-
perubahan dengan segala kemungkinan harapan keuntungan yang
dapat mereka peroleh.
Sebagai hasil perbedaan budaya di tiap DAS, proses pembentuk­an
permukiman yang berbeda-beda, efek pembangunan, masuknya aga­
ma, kunjungan wisata, dan pengaruh lainnya, setiap tempat di Siberut
mempunyai kekhasan masing-masing. Hal itu karena setiap tempat
memiliki sejarah tertentu. Sejarah ini membentuk permukiman dan
gaya hidup tertentu. Sekurang-kurangnya ada lima jenis kategori per­
mukiman di Siberut (Persoon 1995).22

22 Penjelasan lebih rinci mengenai pola permukiman ini diharapkan akan memudahkan pembaca untuk
menemukan konteksnya ketika menemukan nama desa-desa yang akan kami sebutkan di bagian lain
buku ini. Penjelasan ini dibuat agar pembaca bisa mengenali referensi spasial, sejarah, dan konteks
ma­sing-masing permukiman (desa, dusun, permukiman tradisional) dalam kaitannya dengan topik,
tema, wacana, atau bidang-bidang yang dibahas. Perincian pola permukiman ini kami salin dengan
sedikit modifikasi dari Persoon (1995: 17-19). Untuk merujuk nama-nama tempat, lihat peta Siberut di
awal buku ini.
Keberagaman dan Zona Abu-abu 81

Pola pertama, permukiman uma yang terpisah dari permukiman


bentukan pemerintah. Permukiman ini umumnya berada di daerah pe­
da­lam­an. Permukiman ini dilestarikan beberapa uma yang ingin me­
me­lihara gaya hidup “tradisional”. Sebagian permukiman ini sengaja
di­ben­tuk untuk menghindari intervensi pemerintah, dan sebagi­an
yang lain­nya karena memang terisolasi akibat keterbatasan akses dan
tia­danya intervensi dari luar. Sebagian lain sengaja diciptakan untuk
me­narik minat kunjungan wisatawan. Meskipun dianggap sebagai
per­­mu­kim­an yang melestarikan gaya hidup tradisional, mereka juga
sangat terbuka untuk mengadopsi teknik pertanian dan tanaman ko­
mer­sial, gaya hidup baru, serta teknologi-teknologi baru. Beberapa
per­mu­kim­an yang digolongkan dalam kategori ini adalah Buttui, Ali­
mao, Sakuddei, dan beberapa permukiman di Desa Simatalu.
Pola kedua adalah desa-desa yang telah terbentuk sejak interven­
si pemerintah pada 1950-1960-an. Desa-desa jenis ini diwakili dengan
ba­ik oleh Matotonan dan Sirisurak di Saibi, Taileleu, dan Sagulubbek.
De­sa-desa ini terbentuk oleh kemampuan dan kreativitas pejabat ne­
ga­ra da­lam melakukan intervensi. Desa ini ditandai dengan adanya ta­
nam­an komersial, terutama kelapa di Sagulubbek dan Taileleu. Pem­
ben­tuk­an permukiman ini didorong partisipati orang Siberut. Para
pe­mi­lik tanah (sibakkat laggai) menghibahkan tanah-tanahnya untuk
di­ja­di­kan permukiman. Para pemilik tanah ini aktif menghibahkan
ta­nah­nya, sebagian tujuannya adalah menarik minat pejabat negara
mem­ba­ngun desanya dan sebagian lagi dapat menaikkan gengsi so­
sial­nya di hadapan kelompok lain.
Pola ketiga adalah dusun yang terbentuk secara spontan ka­re­
na beroperasinya perusahaan kayu. Pekerja di perusahaan kayu yang
se­ba­gian adalah pendatang membutuhkan makanan, dan pen­du­duk
sekitar berusaha menyediakannya. Perusahaan kayu juga me­nye­dia­
kan sedikit pekerjaan bagi anak-anak muda. Peluang ini menyebabkan
penduduk yang ada di sekitar perusahaan kayu secara spontan ber­
mu­kim di dekat tempat operasi perusahaan kayu. Jalan-jalan yang
dibuat untuk mengangkut kayu dapat dimanfaatkan masyarakat ju­
ga; mereka membuka ladang-ladang cengkeh, kelapa, dan pala di se­
ke­lilingnya. Jalan-jalan ini juga memberi kemudahan perjalanan ke
arah pantai untuk menjadi nelayan. Dusun Limu dan Tiniti terbentuk
oleh pola ini.
Pola keempat adalah permukiman hasil program PKMT, yang
me­ru­pa­kan pola permukiman paling besar dan meluas di Siberut.
82 Berebut Hutan Siberut

Hing­ga se­karang, terdapat 83 dusun dan 20 desa yang diakui dan di­
gu­na­kan pemerintah sebagai dasar administrasi, dibentuk melalui
pro­gram ini. Ciri khas permukiman ini adalah adanya keseragaman
da­lam tata letak permukiman dan juga bahan-bahan rumah yang di­
di­ri­kan. Permukiman ini selalu dipimpin kepala dusun atau kepala
de­sa. Bentuk permukimannya didesain seperti perkampungan di Ja­
wa, ser­ta tidak lagi menurut alur sungai meskipun setelah beberapa
ta­hun ber­selang, permukiman ini juga kembali tidak teratur, bersifat
acak, dan tidak sesuai lagi dengan pola permukiman yang didesain
pemerintah.
Pola kelima adalah desa pelabuhan. Permukiman ini adalah en­
cla­ve bagi orang Minangkabau yang hampir semuanya muslim. Mereka
mem­ben­tuk kantung permukiman yang terpisah karena kesulitan
ber­asi­mi­la­si dengan penduduk setempat. Babi-babi yang berkeliaran
be­bas, ekologi yang keras, geografi yang sukar dijangkau, dan sikap
orang Men­tawai yang dianggap sering resisten menyebabkan ruang
ge­rak orang Minangkabau di pulau ini terbatas. Oleh karena itu, para
pe­ja­bat lokal, pedagang, dan guru-guru dari Minangkabau membentuk
per­mu­kim­an yang terpusat di daerah pelabuhan. Meskipun menjadi
enclave dan minoritas, permukiman ini merupakan pusat pendidikan,
pelayanan kesehatan, keagamaan, transportasi, dan peredaran ekspor-
impor barang dan jasa di Siberut.

Perubahan, Keragaman, dan Zona Abu-abu


Dari uraian di atas terlihat bahwa masyarakat Siberut telah ber­
hu­bung­an dengan dunia di luar pulau mereka sejak masa prakolonial.
Si­be­rut juga telah terhubung dengan ekonomi pasar melalui per­da­
gang­an hasil hutan dan impor bermacam-macam produk dari Su­ma­
tra, serta melalui intervensi negara. Bahkan, Siberut telah terhubung
de­ngan orang-orang dari berbagai penjuru dunia yang tertarik de­ngan
“eksotisme” pulau ini. Pengaruh dari intensitas hubungan ini ti­dak
menyebabkan efek yang sama di semua tempat di Siberut. Su­kar men­
cari gejala-gejala umum yang dapat digunakan untuk menggeneralisir
perubahan di Siberut.
Proses-proses perubahan tidak selalu sama di setiap tempat. Hing­
ga se­karang, sebagian penduduk Siberut tetap berburu dan meramu,
mem­prak­tik­kan perladangan cara lama. Mereka juga mengembangkan
be­ragam pengelolaan sumber daya alam. Sebagian kecil masih ber­mu­
Keberagaman dan Zona Abu-abu 83

kim di tempat uma yang lama dengan mengumpulkan rotan, tumbuhan


obat, buah-buahan, juga memasang jerat buruan dan menebang kayu
untuk membuat rumah dan sampan. Sebagian besar mengandalkan
pem­bu­ka­an sepetak hutan kecil dengan menanam keladi, pepaya, pi­
sang, co­klat, dan pohon buah-buahan, serta memelihara ayam dan
ba­bi se­ba­gai ternak.
Sebaliknya, sebagian yang lain sudah sukses mengakses gaya hi­
dup modern melalui perantara birokrasi negara atau pendidikan, be­
ker­­ja di sektor-sektor formal seperti guru, pegawai negeri sipil, dan
se­di­kit di antaranya menjadi pengusaha kecil-kecilan yang lebih kerap
ha­rus berurusan dengan bangkrut. Sebagian besar orang Mentawai
ju­ga te­lah ber­mukim di desa dan menjadi warga negara sebagaimana
di da­rat­an Sumatra atau Jawa. Anak-anak muda lebih banyak ber­se­
ko­lah dan telah memegang jabatan penting di kabupaten yang baru
ter­bentuk. Angka melek huruf meningkat tajam dan semakin banyak
orangtua mengirim anak-anaknya pergi ke sekolah dibanding pergi
ke ladang.
Meskipun sekarang orang Siberut telah bermukim di desa-de­sa
yang di­spon­sori pemerintah, kesimpulan mengenai ‘budaya Si­be­rut
yang tunggal’ sangat sulit dibuat. Respons yang berbeda-beda, ben­
tang alam yang rumit, dan pengaruh aktor-aktor pembangunan, me­
nye­bab­kan perubahan-perubahan di Siberut sangatlah kompleks dan
ber­ada di wilayah abu-abu. Istilah zona abu-abu sangat tepat be­nar
da­lam menggambarkan variasi-variasi regional dan pengaruh dari
luar yang menghasilkan praktik-praktik budaya yang mendua. Dalam
hal praktik keagamaan, misalnya; meskipun secara statistik orang
Mentawai telah terkonversi menjadi pemeluk agama Protestan, Islam,
atau pun Katolik, praktik-praktik ritual Arat Sabulungan te­tap lang­
geng sampai sekarang. Contoh lain yang bisa menjelaskan wi­la­yah abu-
abu adalah bertahannya posisi penting sikerei. Meskipun di beberapa
tempat berusaha dihapuskan, dilarang, dan dianggap ci­ri ter­be­la­
kang—bahkan oleh generasi terdidik Mentawai—tetapi jika ter­da­pat
penduduk Siberut yang sakit mereka juga masih berobat ke si­ke­rei.
Sebaliknya, meskipun beberapa kelompok memilih hidup di per­mu­
kim­an tradisional, mereka kadang tidak sepenuhnya percaya kepada
si­ke­rei. Dilihat dari orientasi gaya hidup masih tradisional, tetapi me­
re­ka juga berhasrat mengikuti kebiasaan hidup modern dengan ber­
obat ke puskesmas, berharap menjangkau atribut-atribut modern se­
per­ti pasokan listrik, menyekolahkan anak, dan mendapatkan akses
program-program pemerintah.
84 Berebut Hutan Siberut

Orang-orang Siberut telah melintasi waktu dan sejarah. Proses


so­sial yang panjang telah menghubungkan orang Siberut dengan pa­ra
mi­gran, perusahaan kayu, ahli konservasi dunia, peneliti, turis, bi­ro­
kra­si dan akses ke pasar global. Sejarah ini juga melibatkan mereka
dalam per­dagangan dunia. Dalam perjalanan interaksi tersebut orang
Si­berut telah berhasil membentuk aliansi, menguatkan jaringan dan
per­te­man­an, membentuk hubungan patron-klien dengan pihak luar,
dan juga memulai bentuk-bentuk kompetisi dengan agen-agen negara,
etnis tetangga, dan lain-lain. Kesempatan-kesempatan baru yang di­
ba­wa oleh pendidikan dan kesempatan ekonomi juga membawa pen­
duduk Siberut untuk membangun koneksi dengan banyak pejabat,
pe­dagang, peneliti, aktivis lingkungan, hingga lembaga-lembaga ke­
aga­ma­an. Mereka menggunakan setiap pengetahuan sebagai alat un­
tuk mem­bu­ka kesempatan dan meraih keuntungan ekonomi, mem­
per­kuat posisi dan status sosial, serta membangun jaringan so­si­al.
Menghadapi itu semua, orang-orang Siberut telah terbukti mam­pu
ber­adaptasi seperti halnya penduduk lain di Indonesia dalam hu­
bung­an­nya dengan sejarah, ekonomi, dan politik global.
Perubahan-perubahan tersebut, dengan keterlibatan aktif orang
Si­be­rut dalam setiap perubahan tersebut sendiri, telah menghasilkan
kom­plek­si­tas yang tidak bisa diuraikan dengan mudah. Namun, ten­
tu­nya salah apabila kita masih melihat penduduk Siberut sebagai “ter­
be­la­kang dan terasing”, “tidak produktif”, “kelompok minoritas yang
hi­dup subsisten”, “masih berorientasi kesukuan”, komunal, “orang-o­
rang yang tinggal di hutan”, sebagaimana yang banyak ditemukan da­
lam retorika pejabat dan laporan ilmiah di Indonesia pada masa Or­de
Ba­ru (misalnya dalam Koentjaraningrat 1993). Sayangnya, ca­ra pan­
dang keliru ini masih dilanggengkan oleh sebagian pejabat, bah­kan
menjadi pandangan resmi pemerintah hingga baru-baru ini ada yang
menyatakan bahwa penduduk Siberut adalah Komunitas Adat yang
Tertinggal (KAT) (misalnya dalam Setyawati 2005).
Pandangan sebagai KAT sama tidak tepatnya dengan mem­po­
si­si­kan penduduk Siberut sebagai masyarakat yang “memiliki etika
ling­kung­an alamiah”, “hidup arif dan sederhana”, punya “ikatan so­si­al
yang kuat”, yang seringkali digunakan aktivis untuk menentang pan­
dang­an mengenai orang Mentawai sebagai ‘perusak hutan’, ‘malas’
dan ti­dak ‘ekonomis’ yang banyak dianut pemerintah. Akan tetapi,
sa­ma sesatnya jika kita memberikan kesimpulan bahwa penduduk Si­
be­rut kini juga telah sepenuhnya meninggalkan cara-cara hidup tra­
Keberagaman dan Zona Abu-abu 85

di­si­o­nal mereka dan mengikuti pola kehidupan modern. Kita tidak


bi­sa me­li­hat mereka hanya sebagai korban yang berjuang sendirian
meng­ha­dapi kekuatan luar (negara, pasar global, perusaahaan kayu,
dan pro­yek-proyek pemerintah). Siberut adalah sebuah area abu-abu
yang tidak pernah jelas, membingungkan, rumit, dan rawan jebakan
apabila kita melihat dan menyaksikan perubahan-perubahan sehari-
hari secara langsung.
Bab 3
Orang Siberut dan
Sumber Daya Alamnya

Sebagian besar penduduk perkotaan menyenangi cerita-cerita ten­


tang ma­syarakat terpencil di jantung Kalimantan, pedalaman Ama­
zon, atau di tengah gurun tandus di Afrika. Lazimnya, pembaca kota
le­bih tertarik terhadap kehidupan masyarakat terpencil dari cara me­
nari, melakukan ritual pengobatan, menyelenggarakan upacara-upa­
cara pemujaan, atau cara makan. Kisah-kisah tentang orang terpencil
itu lebih seru dinikmati apabila teks tentang kebudayaannya juga unik
atau khas. Sementara akan mudah untuk diabaikan jika narasi ten­
tang suku-suku pedalaman itu berisi perubahan-perubahannya—me­
me­luk agama monoteis, minum Coca-Cola, mengenakan jins, meng­
adop­si kebijakan negara, memakai telepon genggam, dan melihat
ta­yang­an televisi. Jika pun publikasi itu menulis tentang perubahan,
di titik di mana pergeseran kebudayaan terjadi, elegi akan muncul
dan kekecewaan segera timbul—betapa kehidupan orang-orang asli,
mur­ni, dan mulia telah dihancurkan.
Imajinasi kita mengenai kehidupan masyarakat yang hidup di
pe­da­lam­an atau di tengah rimba memang telah lama dijejali dengan
wa­ca­na ter­tentu. Wacana ini dibentuk oleh media, sebagian etnolog,
wisatawan dan para naturalis, pejabat pemerintah, atau pun pembuat
film yang seringkali menampilkan masyarakat di tengah belantara se­
ba­gai makhluk yang eksotis. Masyarakat pedalaman itu dipandang se­
ba­gai subjek yang hidup dengan keaslian, tidak terkontaminasi waktu
(Tsing 1998; Brosius 2007). Laporan pandangan mata mengenai orang-
orang yang hidup damai di surga hutan hujan tropis atau suku-suku
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 87

yang bijak mengambil hasil hutan secukupnya untuk menyambung


hi­dup di­tulis dengan rasa simpatik. Strategi penggambaran yang di­
te­kan­kan pada aspek khusus kebudayaannya, akan memudahkan
pem­­­ba­ca awam untuk menggali perbedaan satu kelompok dengan
ke­lom­pok lain (Tsing 1998: 17). Dengan cara ini, terbangun penanda
per­be­da­an antara masyarakat pembaca dan masyarakat yang dibaca
(ibid).
Kisah tentang orang-orang terpencil yang khas itu pada umumnya
meng­­abaikan sejarah. Kisah-kisah itu berakar dari pandangan me­
nge­nai kebudayaan sebagai sesuatu yang harmonis dan stabil. Dalam
pan­dang­an ini, setiap kebiasaan, tindakan, dan perilaku “masyarakat
yang unik dan khas” itu mengatasi waktu (ibid: ii). Banyak kajian
etno­­grafi membantu memproduksi wacana tentang penduduk yang
ting­gal di hutan sebagai masyarakat yang hidup dalam situasi “se­
be­lum kapitalisme masuk, intervensi negara, penetrasi pasar” dan
mereka kerap digambarkan sebagai kelompok-kelompok korban (Li
2002b). Terdapat kesulitan besar untuk menghindari penjelasan ten­
tang kelompok masyarakat yang hidup di pulau yang sukar diakses
se­per­ti Siberut tanpa narasi eksotik yang bersifat koheren, stabil, dan
tertutup.
Bagian ini memaparkan bagaimana kebudayaan antara hutan
dan ma­nu­sia di Siberut tidak bersifat stabil dan dipenuhi dengan hu­
bung­an yang sangat ambivalen. Deskripsi hubungan yang rumit antara
manusia Siberut dan sumber daya alamnya akan dipisah menjadi dua
bagian. Bagian pertama menjelaskan hubungan orang Siberut dengan
tanahnya sementara bagian kedua menjelaskan hubungan mereka
de­ngan hutannya. Kedua hubungan ini tidak terpisah dan saling me­
leng­kapi. Pemaparan yang terpisah ini hanya untuk memudahkan
pem­ba­ca untuk mengenali kompleksitasnya.

Klaim, Konflik dan Negosiasi:


Akses dan Kontrol terhadap Tanah

Organisasi Sosial
Untuk mempermudah pemaparan sistem penguasaan terhadap
sum­ber da­ya di Siberut, terutama tanah dan hutan, di sini akan
dijelaskan be­be­rapa istilah atau konsep penting yang terkait. Istilah
penting per­ta­ma adalah organisasi sosial orang Mentawai di Siberut
88 Berebut Hutan Siberut

yang disebut sebagai uma (Schefold 1991). Secara tradisional uma


adalah unit sosial yang relatif cair dan egaliter tanpa pemimpin
politik yang diturunkan dari garis keturunan laki-laki. Setiap anggota
dalam kelompok ter­se­but adalah keturunan yang sama dari garis ayah
(Schefold 1980). Le­bih dari sekadar menjadi unit sosial, uma juga
menjadi ‘dasar re­la­si sosial paling relevan’ bagi pembentukan klaim
terhadap tanah, sumber daya, dan kepemilikan. Dalam kehidupan
sehari-hari, istilah uma sering digunakan secara bergantian dan
dikaburkan dengan kata suku (misalkan Reeves 2004).1
Meskipun setiap uma merupakan unit integrasi sosial keseluruh­
an orang Mentawai karena mereka menganggap dirinya sebagai sa­
tu ke­tu­run­an, namun uma juga menjadi dasar untuk membangun
‘ideologi per­be­da­an’ identitas (ibid). Setiap uma dicirikan oleh dua hal.
Yang pertama adalah adanya klaim leluhur yang sama dan yang se­lan­
jut­nya adalah nama khusus yang dipilih. Orang mengklaim hubungan
ke­ke­ra­bat­an dengan uma lain dengan cara menceritakan perbedaan
sejarah ter­ben­tuk­nya uma mereka. Ideologi perbedaan ini, menurut
Reeves, digunakan untuk mengklaim hak atas ‘sesuatu’ (sumber da­ya)
yang te­lah diusahakan atau dimiliki secara eksklusif atas nama uma
mau­pun hak bersama yang mereka warisi sebagai bagian dari ke­tu­
run­an dari leluhur yang sama.
Setiap uma terdiri dari beberapa keluarga inti yang menjadi unit
pro­duk­si yang disebut lalep. Jumlah lalep dalam uma bervariasi, dari
yang ha­nya dua sampai belasan dan mencakup 5-60 individu. Variasi
jum­lah lalep dan individu di setiap uma mencerminkan tingkat so­li­
da­ritas, perkembangan sejarah, dan migrasi. Secara tradisional, setiap
lalep bermukim di sekitar rumah panjang yang dibangun bersama—
dan bernama uma—di pusat permukiman tersebut. Rumah panjang
itu di­tem­pati kepala uma dan digunakan untuk menyelenggarakan
ri­tu­al dan pesta-pesta kelompok sekerabat. Secara tradisional, mes­ki­
pun lalep merupakan unit produksi yang relatif otonom dan in­de­pen­
den, unit sosial dalam gugus kehidupan sehari-hari Orang Mentawai
ber­ada di tingkat uma. Solidaritas antarlalep dalam satu uma ini sa­
ngat penting untuk menjaga keutuhan uma.
1 Masing-masing tempat memiliki istilah dan konsep yang berlainan untuk menyebut apa yang akan
di­bahas di bagian ini. Kami mengandalkan keterangan di wilayah Rereiket. Selain karena mendapat
in­for­masi dari tangan pertama, pembahasan mengenai konsep identitas dan kepemilikan secara eks­
ten­sif di Rereiket telah dibahas oleh Reeves (2004) yang mempermudah diskusi dan pemberian kla­si­
fi­kasi. Dalam hal penggunaan istilah, kami lebih memilih uma daripada istilah suku. “In the past, uma
and suku were the same. The name given to the enduring, cohesive groups of relatives was uma… In
the present, however, the new usage, suku, now refers to the social unit where uma refers to a dwelling
in which the ancestral heirlooms, the katsaila and the alei katsaila, are stored.” (Reeves 2004).
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 89

Relasi di dalam uma bersifat ambigu (Schefold 1980; 1991: 71). Di


sa­tu sisi, setiap keluarga diwajibkan untuk menjaga solidaritasnya, te­
ta­pi di sisi lain, dengan sistem yang egaliter dan tidak ada hierarki po­
li­tik, setiap lalep berusaha untuk menampilkan kejayaan dirinya. Se­
pan­jang waktu, setiap uma berada dalam kondisi di mana setiap lalep
harus menjaga hubungan yang harmonis dengan yang lain sehingga
ke­utuhan uma terjaga, tetapi mereka sekaligus harus memperjuangkan
ke­banggaan umanya. Ketegangan-ketegangan ini seringkali tidak bi­sa
dikelola, dan jika jumlah lalep terlalu banyak, mereka sulit me­ngelola
konflik dan perbedaan kepentingan di dalamnya. Konflik-konflik itu
mem­besar jika tuntutan kewajiban atas uma meningkat—menyumbang
hasil ternak untuk ritual, berkontribusi membayar denda anggota
lain.
Jumlah lalep di dalam uma tidak pernah stabil dan sering ber­
ubah-ubah sepanjang waktu. Selalu terjadi proses di mana lalep-lalep
yang ada di dalam uma akan memisahkan diri, bergabung, dan atau
me­mi­sah­kan lagi. Proses pemisahan ini disebabkan banyak faktor,
ter­uta­ma karena ketidakmampuan mencapai konsesus bersama,
yang di­tan­dai dengan pernyataan simbolik bahwa ‘hasil buruan tidak
cukup untuk memberi hidangan bagi seluruh anggota uma’ (Schefold
1991: 114). Dengan sistem sosial tanpa kepemimpinan politik dan
tidak ada­nya hie­rarki sosial, uma hanya bisa efektif mengakomodasi
lalep ti­dak lebih dari sepuluh (lihat Meyers 2003: 30). Jika konflik
tidak da­pat di­se­le­sai­kan, lalep yang berkonflik akan memisahkan di­
ri (patuitui) dan mem­ben­tuk uma baru. Lalep yang memisahkan di­ri
ter­sebut terkadang masih menggunakan nama uma asal, namun yang
jauh lebih sering adalah menggunakan nama baru. Jika lalep yang
mem­ben­tuk uma baru tetap menggunakan nama uma asal, akan di­
ha­sil­kan dua atau lebih unit sosial yang sudah berbeda tapi memiliki
nama sama, yang disebut Reeves (2004) sebagai faksi uma.
Pemisahan uma ini tidak secara otomatis memisahkan hak atas
ta­nah atau sumber daya yang mereka miliki dan memisahkan garis
ke­tu­run­an yang mereka punyai. Walau telah terpisah menjadi uma-
uma yang semakin banyak, mereka diikatkan oleh klaim keterikatan
ter­ha­dap asal-usul yang diekspresikan dalam bentuk klaim terhadap
tanah di mana asal-usul itu berada. Masing-masing uma yang sudah
me­mi­sah­kan diri masih mengklaim dirinya berkerabat dan memiliki
leluhur yang sama dan juga faksi uma menyebut dirinya sebagai satu
90 Berebut Hutan Siberut

Skema 1. Bagan skematis organisasi sosial di Siberut


Sirubeiteteu/
Uma Sabeu

Rak-rak Rak-rak Rak-rak

Uma Uma Uma Uma Uma Uma Uma Uma

Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep

ke­sa­tu­an sosial yang disebut rak-rak.2 Sebagaimana pemisahan uma


terjadi secara rutin, setiap uma mendefiniskan kekerabatan dan ke­pe­
mi­lik­an tanah atau sumber daya bersama melalui rak-rak, beberapa
uma sekerabat yang berasal dari keturunan ayah atau leluhur yang
sama. Namun tidak semua uma yang berasal dari satu rak-rak memiliki
kepemilikan tanah yang sama. Di masa lalu, uma yang memisahkan
di­ri atau keturunan yang lebih lanjut dan kemudian mendapatkan
ta­nah—dengan berbagai cara, misalnya membeli, mengenakan den­
da atau me­nemukannya—berhak secara eksklusif memiliki tanah ter­
sebut.
Terkait dengan kepemilikan yang dimiliki secara kolektif, setiap
uma memiliki hubungan satu sama lain sebagai bagian dari siru­bei­te­
teu. Si­ru­beiteteu ini merupakan kumpulan dari uma-uma, faksi uma,
dan ju­ga rak-rak yang berbeda-beda namun memiliki klaim leluhur
dan se­ka­li­gus memiliki klaim tanah yang sama, yang secara sederhana
da­pat di­wakili dengan kata ‘leluhur yang sama’ (Reeves 2004). Si­ru­
bei­te­teu merujuk pada identitas mereka sebagai satu entitas yang le­bih

2 Pendapat ini berbeda dengan argumentasi Reeves, di mana setiap suku jarang menggunakan rak-rak
se­bagai entitas yang mewakili kesamaan asal-usul dan rak-rak bukan entitas yang menjadi dasar
ideo­logi identitas.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 91

besar yang membawahi uma, faksi uma, maupun rak-rak yang di­ci­ri­
kan de­ngan adanya leluhur yang sama. Semua anggota uma atau rak-
rak yang meng­klaim dirinya menjadi bagian dari sirubeiteteu ber­hak
untuk mendapatkan hak—penggunaan, pemanfaatan, atau ha­sil pen­
jualan atas tanah—yang sama khusus untuk tanah temuan (si­ne­sei)
leluhur yang menciptakan dan membawa nama umanya pada ma­sa
lalu. Sirubeiteteu ini sering dipertukarkan dengan istilah uma sabeu
atau uma besar yang merujuk kumpulan dari uma-uma yang meng­
klaim keturunan yang sama. Schefold (1991: 11) menggunakan istilah
klan untuk merujuk sirubeiteteu dan mendefiniskannya sebagai ke­
lom­pok patrilineal yang bersatu didasarkan atas kesamaan mitos
yang sama tentang asal-usul. Di seluruh Siberut terdapat 25 klan atau
sirubeiteteu (ibid).
Konsep uma sendiri telah berubah, terutama pascakemerdekaan,
ketika kebijakan pemukiman, masuknya pendidikan modern, dan
per­ubah­an sosio-ekonomi berlangsung intensif. Solidaritas dan ko­he­
si­vi­tas uma banyak goyah ketika sistem yang lebih luas seperti desa,
dusun, dan satuan politik yang lebih besar seperti negara-bangsa ma­
suk ke pulau tersebut. Studi Meyers (2003: 28-29) di Ugai dan Mai­
lep­pet menyebutkan, struktur uma telah berubah baik dari konsep,
ter­minologi, dan relasi sosial yang membentuknya. Persoon (1995)
me­nye­but­kan bahwa apa yang disebut sebagai kebudayaan tradisional,
ter­masuk konsep uma, sebagian besar merujuk pada situasi masa
akhir kolonial. Sementara sistem yang asli belum pernah dijumpai
dan diteliti secara mendalam sehingga kita tidak tahu konsep uma
yang asli maupun perubahannya. Meskipun konsep unit sosial telah
meng­alami transformasi yang signifikan, uma tetap menjadi bagian
pen­ting dalam pembentukan klaim terhadap penguasaan atas tanah.

Kepemilikan Tanah
Di Siberut, silsilah keluarga, garis keturunan uma, sejarah asal-
usul perkampungan (pulaggajat), dan sejarah penguasaan sumber
daya, me­mi­li­ki arti sangat penting secara sosial. Bagi orang Mentawai,
se­ti­ap individu selalu terkait dan memiliki hubungan kekerabatan
dengan uma tertentu. Sama halnya dengan itu, tanah juga selalu terkait
de­ngan uma tertentu. Tidak ada individu yang memiliki identitas
pribadi tan­pa nama uma, begitu juga tidak ada orang Mentawai yang
tidak pu­nya tanah. Setiap kepemilikan tanah selalu terkait dengan
uma. De­mikian juga sebaliknya, tidak ada uma tanpa tanah atau
sumber daya.
92 Berebut Hutan Siberut

Melalui perkelahian, migrasi, perkawinan, jaringan kekerabatan,


dan persekutuan, selama beberapa generasi suatu uma akhirnya me­
ne­tap di lembah-lembah sungai dan membangun permukimannya.
Me­re­ka hidup berdampingan dengan uma lain dan membentuk ja­ring­
an kekerabatan, ketetanggaan, dan permukiman yang kompleks se­
pan­jang lembah dan garis pantai. Pada awalnya, masing-masing uma
men­di­ri­kan rumah di sepanjang sungai, di desa, atau dekat pantai,
de­ngan jarak pemisah yang berbeda-beda. Walaupun bertetangga, ti­
ap uma yang memiliki garis keturunan yang berbeda-beda itu tetap
meng­ingat dan menjalin komunikasi dengan kerabat-kerabat mereka
yang ja­uh yang menghuni lembah-lembah lain. Sesekali mereka ber­
tan­dang, menyelenggarakan ritual atau berburu bersama dan mem­bi­
ca­ra­kan tanah-tanah dan sumber daya yang mereka warisi dari le­lu­
hur mereka.
Secara historis, bagi orang Mentawai, tidak ada tanah yang ko­song
atau ta­nah yang dikuasai pemerintah atau migran (sasareu). Semua
ta­nah yang ada di Siberut diklaim sebagai milik orang Mentawai dalam
sis­tem kepemilikan secara komunal melalui uma (Schefold 1991: 48;
Ree­ves 2004), meskipun beberapa laporan menyatakan, walau sangat
ja­rang dijumpai, terdapat kepemilikan individual (Munawar 2004).
Se­ti­ap anggota uma (sikauma) mengetahui asal-usul, lokasi dan isi
sum­ber da­ya yang menjadi milik kelompoknya. Pengetahuan ini di­
ce­ri­ta­kan secara lisan dari generasi ke generasi. Meskipun demikian,
ti­dak semua anggota uma mengetahui cerita ini secara pasti. Sejarah
sil­si­lah dan penguasaan tanah paling tinggi mencakup 9-10 generasi,
di ma­na generasi yang belakangan relatif kurang menguasai cerita-ce­
ri­ta dan sejarah tanah. Dalam jangka waktu tertentu, mereka meng­
abai­kan­nya dan isu tanah akan menjadi penting kembali jika ada uma
la­in memanfaatkan tanah yang mereka klaim atau ada peluang eko­
no­mi baru.
Sikauma memiliki hak atas sumber daya alam secara penuh. Me­
re­­ka memanfaatkan tanah tersebut untuk menanam makanan po­kok,
mem­bangun kandang babi, berladang, mengumpulkan ro­tan, ber­
bu­­ru, dan menebang kayu. Keputusan batas lahan dan ke­pe­mi­lik­an
di­ten­tu­kan oleh masing-masing uma melalui negosiasi ber­da­sar­kan
atas cerita-cerita lisan yang diturunkan dari leluhur mereka (Sche­
fold 1991). Tanah dapat diwariskan, diberikan sebagai ganti rugi, di­
per­ju­al­belikan atau dipertukarkan—suatu proses yang telah ber­lang­
sung beratus-ratus tahun dan menjadikan kepemilikan tanah men­jadi
kompleks.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 93

Akses dan kontrol terhadap sumber daya (tanah, hutan, sungai,


dll) dikelola melalui konsep sibakkat laggai atau sibakkat polak (si
pe­mi­lik tanah). Sibakkat laggai adalah uma—atau dalam kasus yang
ja­rang, individu—yang memiliki kekuasaan penuh terhadap tanah di
lo­ka­si tertentu. Ia memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan,
me­nye­wa­kan, memberikan izin kepada kelompok lain untuk me­man­
fa­at­kan, hingga hak menjual atau memindahkan penguasaan tanah
se­ca­ra eksklusif. Selain konsep sibakkat laggai, di Mentawai juga di­
ke­nal konsep sipasijago dan si toi. Sipasijago adalah istilah yang di­
pa­kai untuk menyebut uma yang diberi hak untuk menjaga tanah
atau sumber daya alam milik uma lain. Hal ini terjadi karena tidak
semua uma pemilik tanah bermukim di lokasi tanah yang dimilikinya.
Menurut cerita lisan, setelah suatu uma menemukan tanah tertentu,
mereka tidak selalu menetap di tanah yang mereka temukan tersebut.
Mereka berkelana untuk mencari tanah baru atau berpindah untuk
menghindari konflik. Tanah ini kemudian dititipkan kepada uma
lain. Uma yang memelihara tanah milik uma lain inilah yang disebut
sipasijago.
Sipasijago mendapatkan hak untuk memanfaatkan semua sumber
daya alam yang dititipkannya tetapi dia tidak berhak menjual atau
mem­be­ri­kan izin kepada uma lain selain pemilik untuk memanfaatkan
atau meng­ambil sumber daya di atasnya. Sebagai imbalannya, apa­bi­
la uma pemilik tanah menjualnya, sipasijago mendapatkan hak da­ri
ha­sil penjualan tersebut yang besarannya tergantung dari nego­siasi ­

sipasijago dan si pemilik (sibakkat). Hak yang dimiliki oleh sipa­si­ja­


go bisa berupa tanah, barang-barang (babi, parang, kuali), atau be­la­
kang­an uang tunai—dari tanah atau hasil penjualan tanah si pemilik.
Si toi3 adalah kelompok-kelompok pendatang yang menumpang
hi­dup di tanah si sibakkat laggai. Si toi tidak memiliki hak untuk me­
man­fa­at­kan tanah itu secara cuma-cuma. Jika ia bermukim dan me­
man­fa­at­kan tanah itu untuk berladang, mereka harus meminta izin
kepada si pemilik tanah. Terkadang mereka harus membayar pu­la­juk
kepada pemilik tanah yang besarannya ditentukan melalui ne­go­sia­
si. Untuk mendapatkan status tanah yang lebih mantap, si toi ha­rus
melalui proses pangumbek, di mana si toi harus membayar dan mem­
be­li tanah tersebut dengan sejumlah besaran tertentu. Si toi umum­nya

3 Istilah ini sering digunakan dengan istilah si oiake yang memiliki arti harfiah ‘orang yang datang’. Is­ti­lah
ini merujuk pada orang yang bermigrasi ke lokasi yang bukan lagi tanah milik umanya. Secara mu­dah­
nya, dia disebut sebagai pendatang dalam konteks sesama orang Mentawai.
94 Berebut Hutan Siberut

ada­lah pendatang yang datang secara spontan ke tanah si­bak­kat lag­


gai. Kadang juga mereka terpaksa pindah dari tanah asal­nya karena
ter­li­bat dalam konflik internal di pulaggajat yang mereka tempati dan
mi­li­ki. Si toi bukannya tidak memiliki tanah. Me­re­ka memiliki tanah,
akan tetapi lokasinya tidak berada di tempat ting­gal mereka sekarang.
Posisi si toi sangat rentan karena sewaktu-wak­tu da­pat di­usir jika me­
re­ka ber­konflik dengan pemilik tanah atau terjadi perubahan alian­si
antaruma di lokasi mereka bermukim.
Asal-usul kepemilikan tanah di Siberut menentukan klasifikasi
je­nis ke­pe­mi­lik­an. Jenis yang pertama adalah polak teteu, yang me­
ru­juk pada tanah yang ditemukan pertama kali oleh anggota uma ter­
ten­tu sebelum anggota uma lain menemukan. Tanah yang dimiliki
de­­ngan ca­ra ini juga disebut polak sinesei. Lazimnya tanah sinesei ini
di­te­mu­kan pada masa lampau oleh leluhur yang menjadi sirubeiteteu.
Polak sinesei menjadi bukti tentang sejarah asal-usul, persebaran, per­
ti­kai­an, dan perpecahan uma besar/sirubeiteteu di Siberut. Bila me­
ru­juk pada sejarah lisan, asal-usul orang Mentawai ada di Simatalu,
pan­tai sebelah barat, lalu menyebar ke berbagai wilayah di Pulau
Siberut. Mereka kemudian mengklaim tempat-tempat yang baru me­
re­ka jumpai beserta seluruh sumber dayanya. Mereka memberi tan­da-
tanda tertentu, biasanya dengan mematahkan ranting dan daun tum­
buhan tertentu. Jika sebelum kedatangan mereka telah ada orang atau
kelompok lain yang menandai area tersebut—juga dengan ca­ra me­ma­
tah­kan dahan atau ranting—mereka akan melanjutkan per­jalanan un­
tuk mencari wilayah lain, dan begitu seterusnya sampai seluruh sum­
ber da­ya di Siberut terbagi habis. Tanda-tanda pengambilan sesuatu
da­ri hu­tan (rotan) atau lokasi perburuan juga menjadi bukti kuat bagi
pem­bentukan klaim terhadap hutan yang mereka temukan.
Seluruh keturunan uma/sirubeiteteu yang menemukan tanah
ini ber­hak mengakses, memanfaatkan dan mendapat manfaat dari
penggunaan atas tanah ini. Akan tetapi, dengan proses pemisahan
uma-uma sepanjang waktu dan juga proses-proses sosial yang lainnya
(konflik, denda, pembunuhan, tukar menukar), kejelasan siapa-siapa
ke­tu­run­an yang berhak mengklaim kepemilikan hak atas tanah di
po­lak teteu ini juga kabur seiring waktu. Hampir di seluruh Siberut,
pe­ne­lu­sur­an genealogi sirubeiteteu ini hanya dapat dilacak 9-11 ge­
ne­rasi, sebuah masa yang pendek mengingat dalam konteks Siberut
9-11 ge­ne­ra­si ini, bila dihitung mundur terjadi sekitar 150-250 tahun
yang lalu.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 95

Jenis kepemilikan tanah yang kedua adalah polak sinaki. Polak


si­na­ki me­rujuk pada area yang dimiliki suatu uma karena mereka
mem­be­li­nya dari uma yang lain. Polak sinaki pada awalnya merupakan
polak sinesei. Tetapi si penemu tanah kemudian menjualnya kepada
uma atau kerabat lain. Proses perpindahan kepemilikan ini umumnya
ber­sifat suka rela. Proses pembelian melibatkan babi, pertukaran de­
ngan tanah lain, atau pertukaran benda-benda berharga seperti ke­
lam­bu, parang, atau kapak. Proses jual beli tanah di Siberut adalah
hal biasa dan sudah berlangsung dari generasi ke generasi. Uma-uma
yang ber­pin­dah tempat ke lokasi baru untuk berladang lazimnya akan
mem­be­li tanah tersebut jikalau memiliki babi yang cukup banyak.
Ketiga adalah polak alak toga. Yang dimaksud di sini adalah ta­
nah dan kawasan yang dimiliki oleh suatu uma karena proses per­ka­
win­an. Pihak laki-laki memberikan mahar kawin kepada pihak perem­
pu­an berupa tanah. Kasus seperti ini sangat jarang terjadi, kecuali ji­ka
pernikahan tersebut melibatkan masalah-masalah yang lebih ru­mit—
mi­sal­nya pernikahan itu tidak direstui oleh kedua orangtua atau ada­
nya permusuhan dari setiap uma di masa lalu yang membuat ke­lu­ar­ga
mempelai perempuan menetapkan mahar kawin yang begitu ma­hal
berupa tanah. Jenis tanah yang didapatkan melalui pernikahan ke­
mung­kin­an besar berkaitan dengan proses sejarah khusus uma-uma
yang ter­ka­it karena dalam sebagian besar kasus pernikahan ‘normal’
ti­dak me­li­bat­kan mahar berupa tanah.
Keempat adalah polak pasailiat mone. Ini adalah jenis tanah
yang di­mi­li­ki karena proses pertukaran kepemilikan tanah antara satu
uma de­ngan uma lain. Umumnya tanah yang dipertukarkan ini masih
be­ru­pa hutan yang akan dijadikan perladangan. Dalam arti tertentu
ini bi­sa dikatakan barter tanah. Pertukaran umumnya berlangsung
an­ta­ra uma yang membangun aliansi bersama dan berdekatan lokasi
tanah­nya.
Kelima, polak lulu utek. Ini adalah tanah yang dimiliki uma se­ba­
gai ganti rugi nyawa akibat kasus pembunuhan atau pemenggalan ke­
pa­la di masa lampau. Jenis tanah ini paling sering berupa hamparan
bu­kit yang lu­as. Di masa lalu konflik yang melibatkan pembunuhan
atau hilangnya nyawa hanya bisa diakhiri jika uma yang anggotanya
men­ja­di si pembunuh memberikan ganti rugi kepada keluarga si ter­
bu­nuh melalui pesta perdamaian (paabad). Polak lulu utek ini bia­sa­
nya be­rupa hutan lebat yang bersifat angker karena dipercaya bahwa
si ter­bunuh rohnya akan berdiam di tanah tersebut.
96 Berebut Hutan Siberut

Keenam, polak tulou, yang merujuk pada tanah atau hutan yang
di­mi­li­ki sebagai akibat atas pelanggaran kesepakatan adat. Jika sua­tu
uma terlibat konflik dengan uma lain dan dinyatakan bersalah dalam
se­­buah perundingan, mereka akan membayarnya dengan tanah. Sa­tu
ka­sus yang sering terjadi adalah apabila anggota uma tertentu meng­
am­­bil istri anggota uma lain, maka uma dari pihak laki-laki yang
me­­la­ri­kan perempuan yang telah beristri tersebut harus membayar
denda berupa tanah.
Terakhir, tanah pribadi. Tanah ini dimiliki oleh individu dari
ha­sil pem­belian, denda, atau akibat barter yang dibayarkan secara
per­sonal. Proses peralihan menjadi tanah pribadi sangat jarang di­te­
mu­kan. Kepemilikan tanah pribadi melibatkan konsep jual beli yang
ber­si­fat khusus karena kecenderungan ini baru terjadi dalam sejarah
kon­temporer Siberut dan di masa sebelum merdeka, kasus ini belum
pernah ditemukan.
Orang Siberut membedakan kepemilikan tanah dan kepemilikan
sum­ber daya di atasnya—meskipun pada banyak kasus, pemilik tanah
ada­lah pemilik sumber daya itu. Pada prinsipnya, tanah dimiliki oleh
uma secara eksklusif atau juga beberapa uma tergantung jenis ke­pe­
mi­lik­an tanahnya. Jika tanahnya adalah tanah sinesei, maka uma-uma
yang da­pat membuktikan klaim memiliki garis keturunan dengan uma
yang me­ne­mu­kan tanah itu berhak memilikinya. Untuk menandai
ba­tas ta­nah atau hutan milik umanya, orang Siberut kadang-kadang
me­na­nam pohon tertentu seperti ngirip (Barringtonia racemosa),
bobolo (Cordilyne racemosa), bekeu anitu (Abelmoschus moschantus
spp), sura (Codiaeum variegatum) (Meyers 2003). Batas-batas tanah
yang lu­as ditandai oleh penanda alam seperti sungai, gunung, atau
rawa. Tan­da batas tersebut diberikan tidak untuk membatasi akses
orang la­in ke tanah tertentu namun untuk mempermudah anggota
uma atau ke­lom­pok lain mengenalinya.
Untuk tanah yang masih berupa hutan, umumnya pemilik ta­
nah dan pemilik sumber dayanya adalah sama. Tanah ini biasanya
berupa bukit-bukit yang luas dan tidak dibudidayakan. Ta­nah-tanah
ini masih berupa hutan-hutan sekunder tua dan hutan pri­mer yang
jarang dimasuki manusia—kecuali untuk beberapa tujuan, mi­sal­
nya, men­cari rotan manau atau berburu dan mengambil kayu un­tuk
membuat sampan. Tanah-tanah ini dicirikan sumber daya di atas­nya
bukanlah hasil budidaya. Oleh karena itu, tanah yang masih be­rupa
hutan dan berada di perbukitan, klaim kepemilikannya­—entah tanah
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 97

itu sendiri atau sumber daya di atasnya—biasanya sa­ma. Hal ini sangat
berbeda dengan tanah-tanah landai yang berada di lem­bah-lembah
yang subur. Tanah-tanah ini sudah digunakan un­tuk permukiman,
berladang dan juga beternak. Kepemilikan tanah di ka­was­an ini lebih
kompleks karena sejarah sosial yang terbentuk di da­lam­nya juga
kompleks. Kompleksitas ini berkaitan dengan masalah peng­gu­na­an
dan intensitas pemanfaatannya.
Tidak semua orang bertempat tinggal, berladang, dan mengelola
ta­nah milik umanya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini
ter­ja­di. Pertama, hal ini karena letak tanah dan hutan milik me­re­ka
ja­uh. Lokasi tanah milik umanya tidak berada di tempat mereka se­
ka­rang tinggal. Faktor ini terjadi sejak zaman yang lampau ketika mi­
gra­si lokal telah berjalan intensif. Migrasi ini umumnya terjadi karena
alas­an konflik-konflik internal yang tidak dapat diselesaikan dan sa­tu-
satunya cara menghindari konflik terbuka adalah berpisah da­ri uma­
nya, menyingkir ke lembah lain dan membentuk uma baru (Sche­fold
1991: 117). Faktor yang kedua yakni adanya kebutuhan mencari ta­nah-
tanah yang lebih subur dan landai untuk dibudidayakan seiring de­
ngan rangsangan ekonomi baru dan kebutuhan-kebutuhan baru—mi­
sal­nya tanaman komersial dan perubahan ke arah ekonomi tunai.
Dengan demikian, sebagian besar orang Siberut mengumpulkan
ma­kan­an, membangun kandang babi, atau berburu di tanah yang di­
mi­liki uma lain. Anggota uma lain yang bermaksud mengumpulkan
ma­kan­an, membangun kandang babi, atau berburu di tanah yang di­
mi­liki uma tertentu, wajib hukumnya meminta izin dan membayar
atau meng­ganti rugi atas sumber daya alam yang dipungut.4 Di ta­
nah-tanah yang dibudidayakan ini terdapat perbedaan kepemilikan
yang sangat jelas antara pemilik tanah dan pemilik sumber daya di
atas­nya. Tanahnya dimiliki suatu uma tertentu namun sungai, pohon,
se­mak be­lu­kar, sagu, atau tanaman buah-buahan dimiliki oleh uma
la­in. Misalkan, tanah dimiliki oleh Uma A, tetapi sungai atau rawa/air
ter­ge­nang dan tumbuhan di atasnya dimiliki oleh Uma B.
Menyangkut adanya perbedaan kepemilikan tanah dan sumber
da­ya di atasnya, si pemilik tanah mempunyai kekuatan yang sangat
ku­at, lebih kuat dibanding pemilik sumber daya di atasnya, meskipun

4 Terdapat variasi mengenai pembayaran pungutan. Data dari Lembah Silaoinan di tenggara Siberut
me­nye­but mereka tidak pernah meminta pulajuk kepada uma lain—kecuali untuk tujuan ekstraktif se­
per­ti mengambil rotan untuk dijual. Kasus yang sama juga terdapat di Simatalu di mana izin lisan dari
pe­mi­lik tanah sudah cukup untuk membudidayakan tanah itu.
98 Berebut Hutan Siberut

se­ring­kali sumber daya di atas tanah itu lebih bernilai sosial dan eko­
no­mis daripada tanahnya sendiri. Si pemilik tanah memiliki hak dan
ke­kua­saan untuk melarang uma lain membudidayakan tanah mi­lik­
nya, menghentikan atau dalam kasus-kasus tertentu merampas sum­
ber da­ya yang diusahakan uma lain di atas tanah miliknya.
Di samping terdapat perbedaan kepemilikan antara pemilik ta­nah
dan pemilik sumber daya di atasnya, perbedaan hak dan kepemilikan
juga ada dalam internal uma. Perbedaan kepemilikan dalam anggota
kelompok berkaitan dengan satuan produksi. Meskipun uma adalah
unit so­sial yang penting, satuan produksi orang Mentawai ada pada
keluarga inti (lalep) (Meyers 2003: 29; Schefold 1980). Tanah dimiliki
uma tetapi ladang atau tanaman di atasnya dimiliki lalep. Di atas tanah
yang bersifat kolektif atau komunal, isi pohon buah-buahan, sagu, ke­
la­di dimiliki oleh lalep yang mengusahakannya. Pemilik tanaman me­
mi­liki hak eksklusif. Si pemilik/lalep berhak menggadaikan atau me­
ma­nfaatkan tanaman atau sumber daya lain (babi, ayam) yang mereka
punyai dengan menginvestasikan tenaga kerja mereka.
Meskipun kepemilikan tanah secara eksklusif sangat dijunjung
ting­gi, ini tidak berarti setiap si toi tidak mendapatkan kemudahan
un­tuk me­man­faatkan lahan milik orang lain atau setiap lalep me­mi­
liki kebebasan mutlak dalam menguasai apa yang dimilikinya. Orang
Men­tawai memiliki etika berbagi (ethic of sharing) yang kuat yang
ditunjukkan dengan diperbolehkannya uma-uma lain untuk me­man­
fa­at­kan tanah sibakkat laggai untuk kehidupan sehari-hari. Uma-uma
yang masih bersangkut paut kekerabatan, meskipun tidak berada da­
lam garis keturunan ayah yang sama, bebas saling menggunakan dan
me­man­fa­at­kan tanahnya masing-masing. Kecenderungan ini paling
kuat untuk uma-uma yang berasal dari lembah yang sama dan telah
mem­ba­ngun relasi sosial yang kuat di masa lalu. Setiap pemanfaatan
ta­nah milik uma lain dapat dilakukan dengan persetujuan lisan. Ka­
dang­kala bahkan persetujuan formal tidak diperlukan. Maksud-mak­
sud peng­gu­na­an tanah milik orang lain yang disampaikan secara tidak
sengaja dalam percakapan sehari-hari sudah cukup sebagai pertanda
bahwa persetujuan telah dicapai.
Etika berbagi dalam penggunaan tanah dan sumber daya milik
orang lain sangat mencolok jika kepentingan pemanfaatan tersebut
ber­sifat subsisten. Schefold (1991: 56) menunjukkan, orang bisa se­ca­
ra bebas memanfaatkan lahan milik orang lain—bahkan dalam be­be­
ra­pa kasus tanaman milik orang lain—dengan syarat hanya untuk ke­
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 99

bu­tuh­an konsumsi pada tingkat keluarga. Seseorang tidak perlu izin


ter­le­bih dahulu untuk mengambil kelapa di ladang milik orang lain
un­tuk se­kadar menghilangkan rasa haus atau memanfaatkan rotan
un­tuk mem­buat keranjang ayam atau tali sampan. Beberapa orang di
Gotap yang ditemui menyatakan bahwa mereka tidak pernah menarik
pulajuk bagi tetangga mereka yang akan menebang pohon di hutannya
untuk membuat sampan atau rumah.
Pada kondisi aktual dan sehari-hari, hak eksklusif uma maupun
ang­gota uma sering tidak berjalan penuh. Dengan prinsip etika ber­
ba­gi yang kuat dan tuntutan solidaritas yang harus dibentuk dalam
uma, setiap lalep yang memiliki sagu atau pohon buah-buahan ha­rus
me­relakan apa yang telah ia tanam dapat diambil oleh anggota uma
yang lain atau kerabatnya atau digunakan untuk kepentingan uma.
Berkurangnya hak eksklusif kerap terjadi pada saat uma me­nye­­leng­
ga­ra­kan acara menikahkan anggota uma, upacara atau lia, dan pem­
ba­yaran denda. Setiap anggota uma wajib berkontribusi mem­ban­
tu anggota yang lain dengan merelakan sumber daya yang ia pu­nya
(sagu, ayam, babi) untuk membayar mahar atau membayar den­da
uma. Meskipun keluarga inti dalam satu uma dapat mengklaim ke­pe­
mi­lik­an eksklusif atas tanaman yang ada di ladangnya, pada ke­nya­ta­
an­nya, dia harus mendistribusikan hasil panen atau apa yang ia pu­
nyai un­tuk seluruh anggota uma.

Klaim atas Tanah dan Sumber Daya


Sejarah kepemilikan tanah diwariskan secara turun-menurun
me­lalui ce­rita-cerita lisan. Seringkali cerita antara satu uma dengan
uma lain ber­beda versi, tidak bersesuaian, dan tumpang tindih.
Dengan jumlah ke­se­luruhan 25 uma besar/sirubeiteteu dan 300-500
uma (Persoon 1995; 2001), di dalam satu pulau seluas 403.500 ha,
sangat sukar mencari kestabilan dan kepastian kepemilikan dan peng­
gunaaan ta­nah serta sumber dayanya. Berdasarkan kompleksitas hak
dan ak­ses ter­hadap hutan, sangat sulit mengidentifikasi dan me­nen­
tukan ke­pe­mi­lik­an tanah menurut kriteria-kriteria resmi di atas peta.
Pembicaraan mengenai kompleksitas sejarah tanah ini ber­lang­
sung dalam keseharian, pada saat khotbah di gereja, di kedai-ke­dai,
di beranda rumah sepanjang sore, dan jika malam menjelang, di da­
ngau-dangau (gubuk) tempat beristirahat dari kerja ladang. Sebagian
be­sar penduduk akan membicarakan durian, kelapa, nama-nama su­
ngai, ladang-ladang dan batas tanah, serta sejarah-sejarah yang me­
100 Berebut Hutan Siberut

nyer­tai­nya—silsilah keturunan dan perkawinan, konflik di masa lalu,


pe­ristiwa pembunuhan, dan segala hal yang berhubungan dengan pe­
nguasaan dan akses terhadap tanah dan sumber daya di atasnya. Se­
ja­­rah sosial, genealogi dan persebaran uma yang saling bertentangan
dan penuh kontradiksi satu sama lain menandai rumitnya pengaturan
ke­pe­mi­lik­an tanah. Sudah menjadi pasti, di satu tempat muncul dua
atau le­bih klaim kepemilikan tanah.
Adanya perbedaan kepemilkan antara pemilik tanah dan sumber
daya di atasnya menambah kerumitan itu. Pemilik ladang-ladang
yang te­lah la­ma di­tinggalkan dan menyerupai hutan kadang kembali
dan men­dapati pohon buahnya telah ditebangi untuk dijadikan la­
dang baru oleh kelompok lain. Terkadang pemilik tanah secara se­pi­
hak menjual tanahnya kepada pihak lain tanpa memberi tahu si toi
yang berladang di tempatnya. Jenis-jenis kerumitan ini semakin ber­
li­pat-lipat karena proses-proses pertukaran lain seperti pembayaran
mahar kawin, denda, dan pemberian hadiah yang berlangsung se­
pan­jang tahun. Kerumitan semakin tinggi di tempat-tempat di mana
per­pin­dah­an orang-orang yang meninggalkan tanah-tanah miliknya
dan tinggal di tempat lain semakin banyak. Migrasi lokal ini telah ber­
lang­sung ratusan tahun dan menyebabkan uma-uma tidak tinggal lagi
di tanahnya. Sementara proses migrasi tersebut bergelombang dan
te­rus menerus, generasi yang sekarang ini—tinggal jauh dari ta­nah­
nya sendiri—tidak menguasai sepenuhnya riwayat migrasi dan ke­pe­
mi­lik­an ini. Jadilah banyak cerita mengenai tanah hilang, kabur, dan
dilupakan dalam perjalanan waktu migrasi dan pindah tempat.
Sebagai contoh, kita bisa meminjam kisah migrasi Uma Sa­ku­ku­
ret yang anggotanya sekarang banyak bermukim di Madobak (Reeves
2004). Me­re­ka mengklaim memiliki tanah di Saibi, di bagian tengah
Si­be­rut. Mereka juga mengklaim tanah Sagulubbek, di pantai barat Si­
be­rut. Tanah-tanah yang diklaim itu letaknya sangat jauh dari tem­pat
me­re­ka tinggal, terletak di lembah lain dan harus ditempuh de­ngan
per­ja­lan­an melintasi punggungan bukit yang sangat terjal. Ko­non,
leluhur mereka dulu berasal dari Simatalu dan melakukan per­ja­lan­
an ke tempat-tempat tersebut untuk bermigrasi. Tanah-tanah di Sai­bi
telah digunakan uma lain, diambil rotannya oleh kelompok la­in yang
tidak memiliki hubungan kekerabatan dan pengambilan tersebut tidak
selalu dengan izin dari mereka. Anggota Sakukuret tahu nama-nama
tanah dan batas-batas tanah tersebut, meskipun mereka me­nge­luh­
kan masalah generasi yang sekarang belum pernah melihat lang­sung
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 101

tanah itu. Beberapa anggota yang hidup di Ugai tidak tahu (dan ku­
rang percaya) bahwa mereka punya tanah di Saibi karena me­re­ka
belum pernah ke sana meskipun status itu sangat berarti dan mem­
bang­ga­kan mereka dalam percakapan sehari-hari di Ugai.
Begitu juga dengan apa yang terjadi pada Uma Samailiming yang
se­ka­rang tinggal di Ugai, Lembah Rereiket. Selain mengklaim punya
ta­nah di Madobag, mereka juga punya tanah di Siribabak, suatu lem­bah
di pantai barat. Lembah Rereiket dan Siribabak terpisah bukit-bu­kit
ter­jal dan harus ditempuh sehari jalan kaki. Klaim ini didasarkan atas
klaim bahwa leluhur mereka yang berasal dari Simatalu, bermigrasi
ke Si­ri­ba­bak dan menemukan tanah kosong di sana dan tinggal untuk
beberapa waktu, sebelum bermigrasi kembali dan keturunannya se­
ka­rang menetap di Ugai. Mereka mengaku masih berkerabat de­ngan
Uma Tasiripoula yang masih tinggal di Siribabak. Pengakuan dan
klaim-klaim ini be­lum­lah terang. Beberapa anggota Samailiming ti­
dak be­gi­tu yakin dan memiliki data yang valid mengenai riwayat ke­
pe­mi­lik­an itu.
Hampir di kebanyakan uma, mereka tidak memiliki riwayat yang
je­las dan cerita yang sangat terang mengenai tanah. Hal ini di­per­pa­
rah kenyataan bahwa orang yang menguasai cerita tentang tanah ini
sangat sedikit di masing-masing uma—bahkan ada juga uma yang sa­
ma sekali lemah penguasaan cerita tanahnya. Klaim-klaim ke­pe­mi­
lik­an tanah seperti ini seringkali hanya bersifat hipotetis dan mun­cul
se­ca­ra samar dalam pembicaraan informal menyangkut garis ke­tu­
run­an dan sejarah migrasi di masa lalu. Sementara cerita tanah masih
sa­mar, tanah dan sumber daya di atasnya mengalami rangkaian pe­
man­fa­at­an oleh uma berbeda dan melibatkan pertukaran benda dan
ba­rang yang kompleks. Klaim-klaim atas tanah ini harus diuji me­la­lui
serangkaian penceritaan ulang sejarah masing-masing uma, se­ja­rah
pemakaian lahan, dan juga sejarah perpindahan uma-uma yang per­
nah ber­mukim, dan keterangan dari uma lain yang memiliki hu­bung­
an kekerabatan dengan uma tersebut. Ilustrasi berikut ini akan meng­
gam­bar­kan hubungan sejarah kepemilikan dan genealogi uma:
Terdapatlah suatu kawasan luas, yang di sini disebut porak
(ta­nah), telah dimiliki melalui penemuan (sinesei) oleh uma
ber­na­ma A di masa lalu—uma A ini menjadi sirubeiteteu. Po­
rak ter­se­but berada di Lembah Simatalu. Karena berbagai hal,
3 keturunan lelaki yang membentuk Uma A ini berselisih dan
102 Berebut Hutan Siberut

ma­sing-ma­sing mendirikan uma baru bernama Uma A1, A2,


A3. Se­i­ring berjalannya waktu, masing-masing keturunan
Uma A1, A2, A3 me­nyebar dan bermigrasi ke lembah-lembah
la­in ka­re­na alasan-alasan tertentu dan membentuk uma-uma
lain dan menjadi rak-rak tersendiri. Sampai di sini, masing-
ma­sing keturunan laki-laki dari Sirubeiteteu A ini memiliki
hak atas seluruh sumber daya alam porak.

Di kemudian hari, salah satu dari anggota Uma A1, A2, A3


meng­alami konflik dengan uma dari lembah lain, katakanlah
namanya Uma B. Anggota Uma A1 membunuh anggota Uma B.
Akibat konflik tersebut, anggota Uma A1 dan atau A2, A3 harus
mem­bayar dengan sepetak tanah porak milik sirubeiteteu ke­
pa­da Uma B. Denda tersebut tidak menghabiskan seluruh po­
rak dan hanya berupa kawasan tertentu yang dibatasi sungai
ter­ten­tu beserta tumbuhan dan tanaman yang berada di atas­
nya (pohon durian, kelapa, sagu, dll). Dengan demikian, sungai
dan sepetak tanah di kawasan porak dimiliki oleh Uma B.

Seiring dengan berjalannya waktu, Uma B juga pecah menjadi


Uma B1, B2, B3 dan seterusnya. Anggota Uma B1, B2, B3 ter­
li­bat konflik serupa dengan Uma C. Uma B membayar denda
(tu­lou) de­ngan tanah, tanaman, dan sungai mereka yang me­
re­ka da­pat­kan dari Uma A. Dengan demikian, tanaman dan
su­ngai di porak yang dulu ditemukan oleh Uma A sudah di­
akui menjadi milik Uma C. Masalahnya, lokasi bermukim Uma
C jauh dari lembah Simatalu atau dari porak Uma A. Jauh­
nya permukiman Uma C dengan porak menyebabkan me­re­
ka jarang menengok tanah, tanaman, dan sungai hasil denda
da­ri Uma B.

Belakangan, ada anggota Uma D yang meminjam tanah untuk


meng­usa­ha­kan tanaman cepat panen seperti nilam kepada
Uma A di porak. Anggota Uma D membuat kesepakatan de­
ngan ang­go­ta Uma A1 atau Uma A2 dan memberi pulajuk
be­ru­pa kuali, pohon kelapa, atau kebun durian. Karena ke­
ti­dak­ta­hu­an sejarah, atau pada kasus tertentu sengaja tidak
mem­be­ri tahu sejarah porak di Simatalu itu, Uma A memberi
izin pe­nge­lo­la­an Uma D di tanah yang telah mereka berikan
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 103

se­ba­gai pembayaran denda kepada Uma B yang kemudian di­


ba­yar­kan sebagai denda kepada Uma C. Uma D mengklaim ta­
nah beserta isi di dalamnya menjadi hak penguasaan mereka.

Sepanjang beberapa generasi, Uma D memanfaatkan porak


ter­se­but meskipun mereka kurang memahami sejarah pe­ngu­
a­sa­an dan konflik antara Uma A1, A2, A3, B dan C, sementara
Uma C mengklaim tanah itu miliknya. Situasi ini berlangsung
la­ten hingga di kemudian hari muncul klaim-klaim baru dari
ke­tu­run­an Uma A, Uma B, Uma C, serta Uma D terhadap tanah,
ta­nam­an, dan sungai yang berada di atasnya. Keturunan Uma
A1, A2, A3 yang telah berkembang dan menjadi Uma A1 X,
Uma A2 X, atau Uma A3 Z mengajukan klaim kembali namun
mereka kurang mengetahui secara rinci perkembangan se­ja­
rah tentang porak. Mereka mengklaim tanah tersebut ber­da­
sar­kan atas fakta bahwa sebagai keturunan langsung dari Si­
ru­bei­te­teu A, mereka seharusnya mendapatkan hak atas tanah
ter­sebut. Klaim yang lain juga dapat diajukan oleh keturunan
Uma B1, B2, B3 yang telah membentuk Uma B12, B13, B15 ka­
re­na sebagai keturunan langsung Sirubeiteteu atau Rak-rak B,
me­reka juga memiliki hak atas tanah tersebut.

Klaim-klaim dan perebutan atas tanah ini, yang agak di­a­


bai­kan beberapa waktu, akan muncul baru bila tanah-ta­nah
itu berpindah tangan, diperjualbelikan dengan uang tu­nai,
melibatkan uma-uma yang terlibat dalam konflik dan mun­
cul­nya rangsangan ekonomi baru seperti pemanfaatan tanah
dan hutan oleh perusahaan kayu.

Kasus Bat Mara


Dinamika klaim terhadap tanah dapat ditunjukkan dalam konflik
ke­pe­mi­lik­an hutan di Bat Mara di dekat Desa Muntei, tenggara
Siberut. Ka­sus ini mulai mencuat pada 2007 dan melibatkan Uma
Samoan Li­mu, Uma Saurei, Uma Sapojai, dan Uma Sailokkoat. Bat
Mara ada­lah lembah subur yang berisi hutan hujan campuran dataran
ren­dah. Sebelum 1980-an, hutan ini tidak banyak dimanfaatkan dan
me­ru­pa­kan habitat bagi primata. Beberapa penduduk dari Lembah
Si­la­oi­nan atau dari Desa Maileppet menggunakan kawasan ini
sebagai tem­pat berburu rusa. Dengan luas sekitar 300 ha, se­be­lum
104 Berebut Hutan Siberut

2000-an, Bat Mara hanya sedikit dipakai untuk budidaya sagu dan
berladang. Menurut keterangan Aman Bruno,5 sebelum 1970-an,
tanah-tanah di Bat Mara sebenarnya telah diperjualbelikan antara
Uma Samoan Limu, Sakaliou, Saruruk, Saurei dan beberapa uma lain.
Aman Bruno memberi catatan bahwa persoalan tanah di Bat Mara,
seperti kebanyakan tempat lain, juga rumit dan melibatkan ba­nyak
uma. Jual beli dan pemanfaatan tanah-tanah tersebut tidak banyak
menghasilkan sengketa sebelum tahun 2000. Tidak ada ke­te­rang­
an yang melaporkan ada perselisihan terbuka. Di masa lalu, seng­
ke­ta-sengketa lebih mudah diselesaikan karena lahan masih luas
sehingga pihak-pihak yang bersengketa—untuk menghindari kon­
flik—menyingkir ke lahan lain dan membangun ladangnya di sana.
Semenjak tahun 2000-an, Bat Mara menjadi incaran banyak
o­rang untuk berladang kakao. Bat Mara adalah dataran rendah sangat
luas, berbeda dengan kebanyakan hutan di tempat lain yang ber­bu­
kit-bukit. Tanahnya—berupa delta-delta subur yang terbentuk da­ri
lu­ap­an banjir sungai-sungai—sangatlah cocok untuk budidaya ka­kao.
Se­la­in subur, Bat Mara disukai karena mempunyai jalan beton yang
di­ba­ngun oleh pemerintah daerah, sehingga mudah diakses dengan
mo­tor. Meningkatnya harga kakao memicu meningkatnya kebutuhan
atas tanah dan menyebabkan harga tanah melonjak tajam. Sebagian
be­sar migran (etnis Batak, Minangkabau, Jawa, Nias) yang memiliki
ke­cu­kup­an modal dan surplus dari profesi mereka sebagai pedagang
atau pe­ga­wai sipil berani mengeluarkan modal untuk mengubah hu­
tan-hutan campuran menjadi ladang kakao.
Sengketa Bat Mara menjadi masalah besar setelah Aman Vivi, se­
o­rang guru asal Rogdok dan anggota Uma Sapojai, menjual tanah se­lu­
as sekitar 30 ha di Bat Mara senilai Rp50 juta kepada kelompok pe­ta­ni
pendatang yang berasal dari etnis Batak. Menurut gunjingan war­ga
di sekitar Sabirut, Aman Vivi dikenal luas sebagai seorang yang se­
ring menjual tanah, lahan, atau hutan kepada pihak luar untuk ke­pen­
ting­an pribadi tanpa melibatkan kesepakatan dengan umanya, atau
bahkan menjual tanah milik uma lain. Setelah penjualan resmi di­se­
pa­kati, muncul protes dari Uma Samoan Limu yang bermukim di Du­
sun Salappak, yang terletak di Lembah Silaoinan. Mereka meng­klaim
bah­wa tanah tersebut milik uma mereka. Mereka meng­klaim bahwa

5 Aman Bruno adalah mantan Kepala Desa Muntei sekaligus tokoh lokal yang terkenal memiliki ke­
mam­pu­an penguasaan sejarah tanah di Lembah Sabirut dan Katurei. Keterangan ini kami rekam dari
be­be­ra­pa kasus penyelesaian tanah Bat Mara di Muntei sepanjang 2006-2008.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 105

le­lu­hur Samoan Limu adalah penemu tanah ini de­ngan bukti bah­
wa mereka telah mengambil rotan dari hulu sungai yang membatasi
tanah mereka dan klaim ini dibenarkan oleh Uma Samaileppet yang
berladang di kawasan tersebut.
Tanah yang dijual oleh Aman Vivi di Bat Mara ini berbatasan
lang­sung dengan tanah milik Uma Saurei dan Uma Sailokkoat. Uma
Sau­rei dan Uma Sailokkoat memiliki hubungan kekerabatan jauh dan
ti­dak me­mi­liki rak-rak atau sirubeiteteu yang sama. Uma Sailokkoat
meng­klaim bahwa tanah tersebut merupakan tanah sinesei, atau tanah
te­mu­an leluhur mereka. Hal ini dibuktikan dengan bekas pondok me­
re­ka yang diakui oleh Uma Seppungan yang berladang di sekitar me­re­
ka. Uma Saurei juga mengklaim bahwa tanah yang berada di kawasan
yang telah dijual itu adalah tanah mereka.
Untuk menyelesaikan masalah tanah, pada Mei 2008, Uma Sa­
mo­an Limu berinisiatif mengundang pejabat pemerintahan sebagai
ju­ru runding (sipatalaga) guna menangani kasus. Sipatalaga yang
di­pi­lih adalah kepala-kepala dusun yang ada di Desa Muntei, yang
se­ca­ra administratif membawahi Bat Mara. Enam kepala dusun di
Mun­tei, Muara Siberut, dan undangan tamu dari Desa Maileppet
men­ja­di penengah. Pertemuan membahas konflik Bat Mara dihadiri
banyak tetua uma (sikebbukat uma) di Lembah Sabirut. Pertemuan
itu juga mengundang para tokoh yang dianggap menguasai silsilah
dan sejarah kepemilikan tanah di daerah Siberut seperti Aman Bruno.
Seluruh biaya akomodasi dan konsumsi dalam pertemuan itu menjadi
tanggungan si pengundang. Seperti layaknya pembahasan mengenai
tanah lainnya, pertemuan yang diselenggarakan di sekolah dasar di
Mun­tei ini diwarnai perdebatan sengit, tukar menukar cerita yang ru­
mit, ledakan emosi, orasi yang berapi-api, atau jari yang menunjuk-
nunjuk ke arah lawan bicara. Meskipun semua orang yang terlibat
berusaha menahan diri, tidak ada pembicaraan masalah tanah yang
berlangsung dengan suasana santai. Setelah diwarnai dengan debat-
de­bat yang panas dan melibatkan sejarah masing-masing uma yang
ber­kon­flik, pada hari ketiga pertemuan itu akhirnya muncul silsilah
ba­ru sejarah kepemilikan tanah yang disengketakan. Pada akhir per­
te­mu­an, para penengah dan juga Uma Samoan Limu sering me­nye­
but-nyebut “temuan baru”, yakni munculnya uma pemilik tanah se­be­
nar­nya yang bernama Uma Sakaelagat.
Sebelum pertemuan ini, tidak pernah dibicarakan adanya nama
ini. Silsilah baru dengan nama Sakaelagat ini diajukan oleh Uma Sa­mo­
106 Berebut Hutan Siberut

an Li­mu sebagai strategi untuk meningkatkan klaimnya atas tanah itu.


Uma ini mengklaim dan berusaha membuktikan bahwa di masa yang
la­lu Uma Sakaelagat adalah kerabat si Panajojo.6 Keturunan Pa­na­jo­jo
ini telah berpindah-pindah ke pulau-pulau di sebelah selatan dan ke­
tu­run­an yang sekarang masih tinggal di Siberut tidak menguasai ce­ri­ta
migrasi leluhurnya ini. Samoan Limu mengeluarkan jurusnya de­ngan
merincikan garis keturunan mereka yang membuktikan bah­wa Uma
Sakaelagat memang benar-benar ada dan merekalah yang men­jadi
keturunannya. Klaim mereka mendapat dukungan Uma Salakoppak
yang dikenal dan diakui sebagai keturunan dari garis perempuan si
Panajojo. Bukti yang mereka ajukan untuk menguatkan klaim ini
adalah saksi dari keturunan Samaileppet yang memiliki tanah dan
merupakan sipasijago tanah si Panajojo di kawasan Bat Mara.
Saksi dari Uma Samaileppet mengatakan bahwa di masa lalu ada
kera­bat Panajojo (yang diklaim menjadi Sakaelagat) yang membuat
sam­pan di tanah yang diperebutkan ini. Diskusi kemudian diarahkan
un­tuk mencari riwayat sampan yang dibuat dari kayu yang diambil
di dae­rah yang disengketakan. Setelah melalui pencarian yang rumit,
sam­pan tersebut dapat dibuktikan keberadaannya, meskipun bukti
fi­sik­nya telah hilang. Adanya bukti dan saksi bahwa kerabat Panajojo
ini meng­ambil kayu di daerah itu memenangkan klaim Samoan Limu
yang meng­ajukan figur Uma Sakaelagat.
Pertemuan itu menyingkapkan klaim baru terhadap tanah di Bat
Ma­ra, mes­kipun secara lebih jelas dan konkret siapa Sakaelagat dan
di ma­na keturunan langsung dari pihak laki-lakinya sekarang berada,
apakah masih hidup atau sudah mati, belumlah disepakati. Diterima
se­ca­ra umum, Uma Sakaelegat adalah rak-rak dari uma-uma kecil se­
per­ti yang sekarang disebut Samoan Limu. Rapat desa tersebut me­
mu­tus­kan pemilik tanah di Bat Mara adalah Uma Sakaelagat. Uma
Sa­po­jai diharuskan mengembalikan tanah tersebut kepada keturunan
Uma Sakaelagat yang sampai kini masih dicari. Kemenangan klaim
atas tanah berada Uma Samoan Limu.
Kemenangan klaim Uma Samoan Limu secara resmi diakui tetapi
da­lam kenyataannya tidak diterima secara penuh. Terdapat dugaan

6 Panajojo adalah figur setengah mitologis setengah historis yang dianggap sebagai penguasa tanah di
Lem­bah Sabirut yang merentang dari Muara Sabirut sampai Bat Mara. Dia dianggap sebagai orang
ku­at yang banyak tanah, rajin sekaligus sangat berkuasa. Tanah-tanah yang ia kuasai sebagian besar
ha­rus dibayarkan kepada uma karena dia membunuh, mengambil istri, atau mengganggu uma lain.
Me­li­hat cerita-cerita yang beredar, dalam interpretasi kami, figur Panajojo bukanlah figur satu orang
tapi mewakili uma/suku.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 107

per­se­kong­kol­an antara Uma Salakoppak dan Samoan Limu dalam


‘men­cip­ta­kan’ Uma Sakaelagat. Uma Salakoppak yang mengklaim
me­mi­liki hubungan kekerabatan dengan si Panajojo—meskipun dari
ga­ris keturunan perempuan—lebih dekat garis keturunannya dengan
Uma Sa­mo­an Limu dan tidak dapat membuktikan dengan jelas dan
rin­ci hubungan kekerabatan mereka dengan si Panajojo.
Namun, apa pun keraguan banyak orang terhadap kemenangan
Samoan Limu, klaim mereka dianggap paling mungkin dan ar­gu­men­
tasi lebih memadai. Yang pasti, sipatalaga telah mengambil keputusan
perihal Bat Mara. Selain memutuskan siapa yang berhak mengklaim
ta­nah, pertemuan ini juga menentukan batas-batas tanah antara Uma
Sa­kae­lagat, Uma Sailokkoat, Uma Sapojai, dan Uma Saurei yang ber­
ada di luar tanah yang sudah dijual Aman Vivi. Tanah-tanah yang be­
lum ter­jual harus dikembalikan kepada keturunan Uma Sakaelagat
mes­ki­pun Uma Samoan Limu memberi maaf kepada Aman Vivi.
Penyelesaian ini dipandang tidak adil bagi Aman Vivi dan Uma
Sau­rei yang merasa tanah sinesei leluhurnya ikut diklaim keturunan
Uma Sa­kae­lagat. Mereka bersama-sama mengajukan banding ke ting­
kat de­sa. Mereka mengirim surat kepada tiga kepala desa di Lem­bah
Sa­bi­rut untuk menyelenggarakan pertemuan lebih besar dan me­min­
ta pe­nengah yang lebih ahli. Uma Sapojai, yang meminta forum ini di­
ge­lar dan mengundang Uma Sakaelagat, Saurei, dan Sailokkoat, me­
nang­gung semua biaya pertemuan ini. Upaya banding Uma Sapojai
dan Sau­rei gagal. Forum tersebut memutuskan bahwa keputusan di
tingkat dusun sudah tepat. Forum itu tidak menghasilkan keputusan
ba­ru dan Sakaelagat masih berhak menjadi pemilik tanah—meskipun
si­apa-siapa saja yang berhak mengklaim sebagai keturunan Sakaelagat
masih belum jelas.
Uma Samoan Limu belum bisa diidentifikasi sebagai pemilik ta­
nah yang sah secara penuh karena mereka belum bisa membuktikan
bah­wa mereka keturunan laki-laki Uma Sa­kae­lagat. Ada rumor, ke­
turunan Sakaelagat yang paling sah ada­lah anak laki-laki yang belum
berkeluarga, yang dijadikan anak ang­kat Uma Saleleu di Maileppet—
uma lain yang tidak berkait dengan uma-uma yang berseteru.
Meskipun banyak orang menyatakan keputusan sipatalaga su­dah
tepat, akan tetapi terdapat gejala yang aneh dari sengketa tanah ini.
Para pendengar dari uma lain merasa heran dan punya kesan bahwa
pihak yang paling vokal dan bersuara keras dalam klaim tanah ini ada­
lah Uma Salakoppak. Dengan mengajukan klaim sebagai salah sa­tu
108 Berebut Hutan Siberut

keturunan perempuan Panajojo, seharusnya mereka tidak men­da­pat­


kan hak atas tanah. Klaim meragukan Uma Salakoppak ini terkesan
di­di­am­kan uma-uma pewaris keturunan Sakaelagat. Seseorang dari
Uma Sa­mo­an Limu yang bermukim di daerah Gotap menyatakan
stra­te­gi ini diakui mereka sebagai cara untuk membentuk solidaritas
me­lawan Uma Sapojai dan Saurei:
Itu kami sengaja, membiarkan Aman Johan (dari Uma Sala­kop­
pak) bicara banyak. Kami butuh dukungan mereka untuk meng­
hadapi Aman Vivi dan Saurei. Sebenarnya mereka dari ke­tu­run­
an perempuan Panajojo dan tidak berhak bicara atas tanah itu.7

Tindakan untuk membiarkan anggota Uma Salakoppak berbicara


ada­lah usaha taktis Uma Samoan Limu untuk membangun aliansi. Bi­la
anggota Uma Samoan Limu berkonflik dengan Uma Salakoppak me­
nge­nai keabsahan mereka sebagai saksi kunci yang berasal dari ga­ris
ke­tu­run­an perempuan yang diambil dari Panajojo, mereka akan mu­
dah dikalahkan oleh uma lain dalam pertemuan itu. Beberapa sa­at se­
te­lah rapat, beberapa orang dari Samoan Limu menunjukkan ke­ti­dak­
se­pakatannya dengan kevokalan anggota Salakoppak. Masuknya Uma
Salakkopak ke dalam keturunan Uma Sakaelagat jelas akan mem­be­ri
peluang bagi uma tersebut untuk mendapatkan tanah. Sementara ga­
ris silsilah dari Uma Sakaelagat sendiri masih kabur. Kekhawatiran
ter­sebut ditutup rapat-rapat, yang penting mereka memenangkan
klaim tanah tersebut lebih dahulu.
Beberapa bulan setelah sengketa kepemilikan tanah di Bat Mara
di­se­le­sai­kan, secara diam-diam beberapa anggota Uma Sakaelagat
dan Uma Sa­lakop­pak menjual tanah kepada para migran dari etnis
Ni­as, Ba­tak, dan Minangkabau dan kepada anggota-anggota uma la­in.
Penjualan tanah ini berlangsung cepat dengan melibatkan pe­me­rin­
tahan desa setempat yang menandatangani surat jual beli tanah. Pen­
ju­al­an ini tampaknya tidak melibatkan kesepakatan seluruh anggota
Sa­mo­an Limu yang hadir dalam pertemuan sebelumnya. Menurut ke­
te­rang­an anggota Uma Salakoppak yang menjual tanah tersebut, me­
re­ka telah meminta izin dari Uma Samoan Limu dan mereka men­da­
pat­kan hak untuk memiliki tanah yang berada di sebelah sisi su­ngai.
Mereka menawarkan harga relatif murah dengan tujuan segera me­
na­rik perhatian pembeli. Penjualan tanah diam-diam ini dipandang
sa­lah satu cara untuk menghindari konflik tanah yang akan muncul di
7 Informasi dari Aman Cinta, anggota Uma Samoan Limu, di Gotap, 2 Januari 2008.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 109

ke­mu­dian hari antarketurunan Uma Sakaelagat. Penjualan tanah ini


juga dapat meningkatkan status tanah sehingga diakui, sekurang-ku­
rang­nya oleh negara melalui penerbitan surat jual beli yang di­tan­da­
ta­ngani oleh kepala desa.
Pertengahan 2009, satu tahun setelah kasus sengketa tanah ini
se­le­sai diputuskan, muncul tantangan klaim dari keturunan Si­ru­bei­
te­teu Sabeleake. Uma-uma yang mengaku sebagai keturunan Sa­be­
le­akake sekarang bermukim secara terpisah di Puro, Desa Muara Si­
be­rut, Taileleu, maupun di Pulau Pagai Utara. Uma ini berjanji akan
me­ngum­pul­kan seluruh anggota (dan uang) umanya untuk me­nye­
le­sai­kan masalah ini. Klaim yang diajukan tentang Bat Mara adalah
ta­nah itu tanah sinesei sirubeiteteu. Mereka mengancam akan men­
denda dan menuntut uma-uma yang mengklaim tanah di Bat Mara.
Pada waktu bersamaan, Uma Saurei yang kalah dalam pe­run­
ding­an kedua menyiapkan gugatan kembali. Mereka menghubungi
na­ra­sum­ber dari daerah Katurei yang lebih menguasai sejarah ke­pe­
mi­lik­an tanah Bat Mara. Ketika dikonfirmasi, mereka merahasiakan
na­ra­sum­ber yang dianggap sebagai kunci penyelesaian sengketa la­
han itu. Pe­ra­hasiaan ini bertujuan agar narasumber tidak mudah di­
su­ap dan dipengaruhi uma yang menjadi lawan Uma Saurei. Sampai
tu­lis­an ini dibuat, perundingan lanjutan sedang disiapkan.

Konflik, Negosiasi, dan Penyelesaian


Konflik-konflik kepemilikan tanah di Siberut selalu terjadi karena
setiap mitos, proses perpindahan uma, dan sejarah uma, selalu di­da­
hu­lui oleh sengketa dan perpecahan uma (Schefold 1991: 29). Cara
me­nye­le­sai­kan masalah tanah adalah dengan rapat yang melibatkan
se­luruh keturunan dari sirubeiteteu atau rak-rak, uma-uma yang
meng­klaim tanah yang disengketakan dan uma-uma lain serta pejabat
pe­me­rin­tah. Proses penyelesaian konflik tanah membutuhkan biaya
yang sangat besar, karena melibatkan konsolidasi seluruh anggota
uma yang ber­ti­kai. Pertemuan internal uma untuk mencari keabsahan
klaim mereka juga menyita waktu yang tidak singkat. Belum lagi de­
ngan ke­butuhan biaya untuk mengatur dan mengundang anggota
uma yang tinggal berjauhan.
Kebutuhan akan munculnya dukungan dari uma-uma lain yang
tidak sekerabat juga membutuhkan biaya. Sebelum rapat penyelesaian
masalah, mereka mengatur pertemuan-pertemuan rahasia untuk men­
ca­ri tahu informasi mengenai tanah yang disengketakan. Pertemuan-
110 Berebut Hutan Siberut

per­temuan ini membutuhkan rokok, gula, dan penyediaan hidangan-


hidangan yang tidak murah. Dalam rapat-rapat yang diselenggara­kan
pe­me­rin­tah, biaya terserap untuk menjadwalkan pertemuan, me­nye­
dia­kan konsumsi dan imbalan-imbalan yang lain bagi perantara, na­
ra­sumber, penengah, serta beberapa upeti nonformal kepada pejabat
se­tempat.
Permainan klaim mengenai tanah kebanyakan adalah menang-
ka­lah. Selain berkaitan dengan identitas dan sejarah yang mengendap,
di­ce­ri­ta­kan, diendapkan, dan ditemukan kembali, konflik perihal tanah
dan hutan berhubungan erat dengan harga diri setiap uma. Konflik
ini umum­nya berlangsung berlarut-larut. Untuk menyelesaikannya
ka­dang diperlukan waktu yang lama—bahkan bergenerasi-generasi.
Ke­ti­ka konsesus tidak berhasil disepakati, pilihan yang paling mung­
kin dicapai dan menguntungkan kedua belah pihak adalah mem­bagi
(rubeijat) tanah tersebut untuk pihak-pihak yang bertikai. Pe­nye­le­sai­
an melalui pembagian ini sebagian besar berlangsung untuk uma-uma
yang masih berkerabat. Dalam kasus pembagian tidak ber­lang­sung
atau diterima, masing-masing uma memandang uma yang meng­aju­
kan klaim yang sama sebagai musuh. Agar konflik tidak menjadi per­
ti­kai­an terbuka, setiap uma memilih untuk mendiamkan masalah ini.
Re­da­nya ketegangan bukan berarti masalah selesai. Masalah ditunda
un­tuk di­bi­ca­ra­kan agar ketegangan tidak menjadi konflik yang mem­
ba­wa korban.
Sebagian besar konflik menyangkut tanah tidak dapat disele­sai­­kan
se­­ca­ra baik. Seperti yang digambarkan mengenai tanah di Bat Mara di
atas, kon­flik tidak bisa diselesaikan dengan damai dan diterima secara
su­ka­rela. Jika jalur penyelesaian melalui musyawarah antaruma tidak
bi­sa dicapai, begitu juga resolusi konflik oleh pemerintahan desa,
me­re­ka akan menyelesaikannya melalui jalur supranatural. Jalur ini
umum­nya memakai dua cara. Cara pertama adalah memanggil roh-
roh le­lu­hur yang telah meninggal. Pemanggilan roh-roh leluhur ini di­
pe­ran­ta­rai oleh sikerei. Sikerei atau orang-orang ini akan memanggil
roh sirubeiteteu atau rak-rak si pemilik tanah dan orang-orang yang
pernah tinggal di tanah-tanah yang disengketakan. Roh-roh inilah
yang men­ce­ri­ta­kan sejarah asal-usul tanah yang disengketakan. Selain
mem­bu­tuh­kan banyak ritual dan upacara, ritual ini tidak selalu dapat
mem­be­ri­kan keputusan tentang kepemilikan secara jelas dan kuat.
Ca­ra ini belum tentu dapat menentukan secara definitif siapa pemilik
ta­nah. Roh-roh tersebut hanya menceritakan sejarah kepemilikan,
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 111

tan­da-tan­da, atau isyarat tetapi belum tentu mampu menunjukkan


si­a­pa si pemilik tanah sesungguhnya. Jika cara ini tidak berhasil, me­
re­ka akan menggunakan cara yang kedua.
Pihak-pihak yang berkonflik akan melakukan sumpah yang di­ke­
nal se­ba­gai tipu sasa (sumpah rotan). Setiap uma yang bersengketa
akan di­min­ta sumpahnya. Umumnya sumpah rotan ini dilakukan di
ta­nah yang disengketakan atau dalam kasus yang kami saksikan, di
ku­bur­an. Proses ini diperantarai oleh beberapa sikerei dan sipatalaga
da­ri uma lain untuk menghindari konflik terbuka. Uma yang berkonflik
me­mang­gil roh-roh leluhur untuk meminta dukungan terhadap klaim
ke­pe­mi­lik­an tanah. Mereka bersumpah, atas nama leluhur dan ke­tu­
run­an uma mereka bahwa merekalah pemilik tanah. Pemotongan ro­
tan sa­sa (Daemonorops spp) digunakan sebagai bukti kebenaran yang
di­a­kui bersama. Masing-masing uma yang bersengketa akan me­mo­
tong rotan sasa sambil mengucapkan keyakinan dan sumpah mereka.
Di­ya­kini, siapa pemilik tanah atau hutan yang benar akan hidup se­
la­mat dalam kurun waktu tertentu (biasanya satu bulan sampai satu
ta­hun), se­men­ta­ra anggota uma yang memiliki klaim palsu, dalam
wak­tu tertentu yang disepakati, akan meninggal karena faktor magis.
Di­per­caya, anggota uma yang klaimnya benar akan selamat.
Suasana dalam pelaksanaan sumpah rotan sangat mencekam ka­
re­na menyangkut hidup-mati anggota uma yang bertikai. Suasana itu
ter­li­hat saat kami menyaksikan sumpah rotan ini antara Uma Sep­
pung­an dan Satoilebbeb di Desa Malieppet. Masing-masing anggota
uma yang bertikai berkumpul secara terpisah. Rotan sasa diletakkan
di te­­ngah-tengah kuburan. Sipatalaga akan memulai pembicaraan dan
akan me­mang­gil roh-roh leluhur. Menurut kepercayaan mereka, pada
sa­at itu roh-roh leluhur dari seluruh penjuru mata angin berdatangan
dan me­nyak­si­kan upacara sumpah tersebut. Setelah roh-roh datang,
se­ti­ap orang laki-laki dewasa dari uma yang bertikai menyatakan sum­
pah­nya. Isi dari sumpah itu bervariasi, tergantung dari kemampuan
re­to­ri­ka­nya. Yang penting, dalam isinya, mereka menyatakan bahwa
ke­lom­pok­nya­lah yang benar dan memiliki klaim yang sah atas tanah.
Pa­da sa­at orang menyatakan sumpahnya, suasana menjadi tegang ka­
re­na sump­ah itu akan berakibat pada hidup-matinya anggota uma.
Sa­at me­nya­ta­kan sumpahnya, nada suara mereka bergetar dan berat.
S­e­te­lah itu mereka memotong rotan yang telah diberikan.
Tanda keabsahan klaim baru muncul ketika ada anggota uma yang
ber­ti­kai meninggal. Setiap orang menunggu berita kematian dari uma
112 Berebut Hutan Siberut

yang te­lah bersumpah dengan cemas. Apabila belum ada tanda-tanda


ke­ma­ti­an dari salah satu anggota uma yang bertikai, ketegangan dan
ke­ce­mas­an akan menyelimuti anggota uma. Uma-uma yang bertikai
ber­upa­ya melindungi diri dari kemungkinan serangan magis jahat
yang di­lon­tar­kan pihak lawan. Cara mereka menghalau pengaruh ma­
gis ada­lah banyak berpantang dan menghindari tabu. Setiap berita ke­
ma­ti­an dari uma lawan adalah kemenangan klaim mereka terhadap
ta­nah yang disengketakan. Jika terdapat kematian lawan, tuddukat
(se­je­nis kentongan) akan dipukul keras-keras untuk memberitahukan
ke­me­nang­an klaim uma mereka.
Penyelesaian dengan cara ini sering tidak bisa diterima de­ngan
si­kap ter­buka. Penyelesaian dengan sumpah rotan biasanya me­nye­
bab­kan dendam berkepanjangan. Keturunan mereka akan mengingat
te­rus pe­ris­ti­wa semacam ini dan bisa menyebabkan kebencian per­
ma­­nen terhadap uma lain. Kebencian sering bertransformasi men­ja­di
per­saingan yang beraroma dendam. Pertikaian dan dendam ini ha­nya
dapat diakhiri dengan upacara perdamaian (paabad). Un­tuk me­nye­
le­sai­kan konflik hingga tuntas, upacara perdamaian membutuhkan
wak­tu berhari-hari dan biaya yang besar.
Silsilah dan riwayat kepemilikan tanah di­ce­ri­ta­kan secara lisan
dari generasi ke generasi. Bagaimanapun, tidak se­mua proses peralihan
pengetahuan mengenai kepemilikan tanah ti­dak berlangsung sukses.
Seperti dipaparkan Schefold (1991:30), ce­ri­ta me­nge­nai perpindahan
antaruma, riwayat keturunan dan ke­pe­mi­lik­an tanah mencakup dua
generasi. Ingatan yang benar-be­nar da­pat diandalkan dan jelas ten­
tang urutan nama keturunan ha­nya ku­rang dari 3 generasi. Orang-
orang yang menguasai sejarah sil­si­lah tanah dan kepemilikan umanya
sa­ngat terbatas. Belum tentu sikebbukat uma atau sikerei memiliki
ke­­mam­puan untuk menguasai se­ja­rah kepemilikan tanahnya. Sese­
orang yang memiliki kemampuan me­ngua­sai sejarah asal-usul, sil­
silah uma, dan garis keturunan, me­mi­liki kekuasaan yang besar untuk
menentukan dan merebut klaim ke­pe­mi­lik­an terhadap sumber daya.
Generasi-generasi baru kurang me­ngu­a­sai cerita-cerita tersebut.
Pada­hal, tanpa penguasaan cerita dan se­ga­la jalinan keturunan yang
me­lekat padanya, tanah dapat diklaim pi­hak lain.
Dari uraian di atas, penguasaan atas tanah dan sumber daya di­pe­
nuh­i perjuangan, konflik, dan pertikaian. Hampir semua orang Siberut
meng­aku memiliki aturan ‘adat’ tentang tanah yang dijunjung tinggi
dan di­hor­mati. Aturan itu, secara abstrak disepakati dan dipatuhi. Me­
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 113

re­ka memiliki kejelasan teritorial dan aturan-aturan yang masih ber­


la­ku da­lam kehidupan sehari-hari. Namun aturan itu dibentuk da­lam
se­bu­ah ketegangan sosial yang bersifat laten. Bagi orang Men­ta­wai
yang egaliter, kepemilikan tanah adalah satu-satunya basis ma­te­ri­al
dan sumber daya kekuasaan politik. Sebagai satu-satunya sum­ber ke­
ku­as­ a­an politik, tanah adalah sumber perseteruan dan per­saing­an an­
tar­generasi, sekaligus sumber bagi kerja sama, interaksi so­si­al, aliansi
antarkelompok, dan menjadi dasar bagi relasi-relasi ke­hi­dup­an.
Kekuasaan dan akses terhadap tanah tersebut sangat ditentukan
oleh pe­nge­ta­hu­an masing-masing uma dalam merunut sejarah ge­nea­
logi, per­ka­win­an, migrasi, dan bentuk-bentuk kepemilikan. Pe­nge­ta­
hu­an atas se­ja­rah lisan adalah sumber kekuasaan yang sangat pen­ting
untuk me­nen­tu­kan klaim dan tuntutan. Untuk menentukan ke­ku­as­ a­
an atas sum­ber da­ya—terutama tanah—pengetahuan itu harus diadu
dan di­ne­go­sia­si­kan. Dalam alam pikiran ideal, aturan mengenai ta­nah
se­ca­ra kon­sep­tual dijunjung tinggi, tetapi aturan, cerita-cerita, dan
klaim-klaim tersebut harus selalu diperdebatkan dan diadu secara
kom­pe­ti­tif untuk mencari sumber-sumber legitimasinya. Meskipun
ada ke­se­pa­kat­an tentang aturan-aturan mengenai tanah, namun hal
itu te­rus dipertentangkan dan diperbarui. Konflik terkait tanah hanya
bi­sa selesai jika terdapat kesepakatan yang bersifat kontekstual. Kon­
flik itu akan muncul lagi jika ada klaim baru yang membongkar, me­
nambah, mematahkan atau memperbaharui klaim sebelumnya.

Roh-roh dan Negosiasi:


Persepsi terhadap Hutan yang Mendua

Pandangan Orang Siberut terhadap Hutan


Hubungan orang Mentawai dengan hutan di Siberut telah ber­
langsung se­jak mereka menempati pulau tersebut—meskipun asal-
usul orang Men­tawai dan kapan mereka melakukan migrasi pertama
kali ke pu­lau tersebut masih diperdebatkan. Orang yang sampai ke
Siberut per­tama kali pasti mendapati pulau ini dipenuhi dengan
hutan tropis yang le­bat. Kemudian, para pemukim pertama akan
tinggal di lembah-lem­bah yang dikelilingi hutan dan mendapatkan
makanan dengan ber­bu­ru serta meramu. Orang inilah yang kemudian
disebut secara umum se­ba­gai orang Mentawai. Kita bisa bayangkan di
masa dulu dan bah­kan un­tuk beberapa alasan sampai sekarang, untuk
114 Berebut Hutan Siberut

bertahan hidup, orang Men­ta­wai harus berinteraksi dengan hutan.


Dengan interaksi ter­se­but, lazim bagi mereka untuk mengabadikan
kejadian tertentu atau hal yang mencolok di alam sekitar sebagai nama
uma atau ke­lom­pok (Schefold 1991: 29). Sebagian besar nama uma di
Siberut me­mi­liki kaitan dengan unsur-unsur hutan, misalnya nama
pohon di hu­tan, sungai di hutan, tumbuhan semak atau perdu di hutan,
atau je­nis-jenis hewan di hutan. Penggunaan nama unsur-unsur yang
ter­ka­it de­ngan alam dan hutan mengacu kepada pengalaman khusus
me­re­ka dengan hutan. Setiap nama yang digunakan memiliki sejarah
khusus dan mereka mengenali cerita bagaimana nama uma mereka
di­cip­ta­kan.
Banyak uma di Mentawai yang menggunakan kata le­leu se­ba­
gai namanya. Dalam bahasa Mentawai, leleu bisa berarti hu­tan dan
gunung. Hal ini perlu diberi konteks yang jelas: topografi Pu­lau Si­
be­rut didominasi oleh bukit-bukit yang diselimuti hutan hujan tro­pis
dataran rendah—puncak bukit paling tinggi di Siberut 384 me­ter di
atas permukaan laut (Anonim 1995). Hampir seluruh bukit di Siberut
berupa hutan. Orang Mentawai menyebut semua bukit de­ngan istilah
gunung (leleu). Namun, mereka juga menyebut semua hu­tan dengan
istilah leleu. Dengan demikian leleu bisa diartikan hu­tan dan bukit
atau kombinasi hutan-berbukit sekaligus. Beberapa ke­lu­ar­­ga meng­
gunakan leleu (hutan/bukit) untuk nama uma, seperti Sa­le­leu­ba­ja
(gunung/hutan yang tua), Sabeu Leleu (hutan/gunung yang be­sar/le­
bat), Sa­le­leu atau Ta­sirileleu (kumpulan orang yang tinggal di hu­tan/
bukit).
Hutan dan bukit mengelilingi permukiman orang Siberut di lem­
­
bah-lembah landai. Konsep dan persepsi mengenai hutan (leleu) harus
di­lihat bersama kaitannya dengan konsep tentang permukiman yang
se­ca­ra tradisional disebut sebagai pulaggajat. Setiap lembah dihuni
be­be­ra­pa keluarga yang biasanya berasal dari uma yang sama maupun
da­ri uma lain yang membentuk lingkungan ketetanggaan. Masing-ma­
sing lembah terpisah, tidak hanya secara ekologi, tetapi juga dalam as­
pek sosial maupun politik—meskipun batas-batasnya tidak selalu te­
gas. Di masing-masing permukiman, terbentuk jaringan kekerabatan
me­­la­lui pernikahan eksogami yang diperteguh dengan hubungan
per­sa­ha­bat­an yang bercorak seremonial (Schefold 1991: 30). Sesekali
pen­du­duk antarlembah saling mengunjungi, mengikatkan solidaritas,
ter­utama bagi mereka yang masih memiliki pertalian darah.
Lembah yang satu dengan lembah yang lain dipisahkan bukit ter­
jal, hu­tan be­lan­ta­ra, kelokan sungai, atau rawa-rawa sunyi, sehingga
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 115

mereka harus selalu melintasi hutan atau mengarungi sungai untuk


mem­ben­tuk jaringan sosial. Sungai-sungai dan sampan-sampan me­
ma­in­kan peranan penting dalam pembentukan jaringan sosial dan
pem­ben­tuk­an lingkungan ketetanggaan. Namun, antara satu per­mu­
kim­an satu dengan yang lain terkadang lebih mudah dilalui dengan
me­mo­tong bukit atau melintasi hutan. Dari sini, hutan adalah suatu
lin­tas­an yang harus dilewati untuk menuju suatu tujuan sosial—ber­
kun­jung ke permukiman tetangga. Dipandang dari konteks perjalanan,
hu­tan bukan tujuan itu sendiri. Orang datang ke hutan pasti ada tu­
ju­an—berburu, mengambil tumbuhan obat, atau mengambil kayu.
Orang tidak berjalan di hutan dan menetap di sana.
Hutan, rawa-rawa sunyi, dan bukit-bukit tersebut merupakan
tem­pat lin­tas­an (dalam konteks perjalanan) yang relatif tidak ter­
do­mes­ti­fik­ a­si, bersifat bukan sosial (seringkali antisosial) (Reeves
2004). Kon­sep hu­tan sebagai ruang antisosial ini membawa kita pada
pe­ma­ham­an tentang hutan sebagai tempat yang digunakan sebagai
per­wu­jud­an komunikasi sosial. Hutan adalah tempat yang tidak aman
dan nya­man secara sosial sehingga mendekati pengertian sebuah eko­
sis­tem yang bersifat bahaya. Hutan adalah tempat yang ditakuti, diacu
se­ba­gai tempat marabahaya (digigit ular, tertimpa kayu, tidak banyak
ma­kan­an siap konsumsi), dan yang lebih penting, adalah tempat ber­
mu­kim roh-roh, baik roh-roh yang jahat maupun roh-roh yang ber­si­
fat baik. Adanya roh-roh yang jahat merupakan elemen yang men­de­
fi­ni­si­kan bahwa hutan merupakan tempat antisosial dan bukan ruang
tem­pat tinggal bagi manusia (Reeves 2004). Namun, seperti yang akan
ter­li­hat nanti, ruang antisosial ini tidak benar-benar berbeda dengan
ruang sosial, dan antara keduanya selalu terkait, berhubungan, dan
pen­ting bagi manusia.

Hubungan Simbolik: Roh-roh, Hutan, dan Manusia


Berkaitan dengan kepercayaan animistik, yang umum dikenal
sebagai Arat Sabulungan (Schefold 1991: 42), orang Mentawai percaya
segala se­sua­tu di dunia ini memiliki roh.8 Roh-roh ini tersebar di mana-
ma­na. Gua, awan, celah batuan, pohon-pohon di sudut jalan, tiang
ru­mah, ping­gir sungai, gerumbul dan semak belukar, pokoknya apa
8 Keterangan dan definisi mengenai roh-roh bagi orang Mentawai sering tidak konsisten dan memiliki
ba­nyak versi. Perbedaan ini dimungkinkan karena ada variasi bahasa, namun juga sebaliknya ter­da­pat
penyebutan nama tunggal untuk subjek yang bervariasi. Apa yang ditampilkan di sini berasal da­ri pe­
ma­ham­an orang di Lembah Rereiket tentang roh-roh, di mana sumber dari tangan pertama didapatkan.
Un­tuk pembahasan yang lebih lengkap, lihat Schefold (1991; 1980; 1988) dan Loeb (1972).
116 Berebut Hutan Siberut

sa­ja me­mi­liki roh-rohnya. Orang Siberut membagi roh-roh yang ada


itu me­nu­rut kategori spasial. Roh-roh yang menghuni langit disebut
tai­ka ma­nua, roh-roh yang ada di laut dan air disebut taika koat; roh-
roh di da­lam tanah disebut taika baga, dan roh-roh yang menghuni
hu­­tan disebut taika leleu. Pemberian awalan tai untuk menunjukkan
bahwa roh-roh tersebut bersifat jamak.
Pandangan mengenai asal-usul roh berkaitan dengan pan­dang­
an bah­­wa se­ti­ap benda mati dan hidup selalu memiliki roh. Roh yang
ada pa­da tubuh makhluk hidup disebut sebagai simagre dan roh yang
telah meninggalkan tubuh makhluk hidup dikenal dengan ketcat.
Ketcat juga lazim digunakan untuk menyebut roh-roh yang ada da­lam
benda mati (mesin, uang, kuali). Ada juga jenis roh lain yang di­se­but
sebagai pitto’, yakni roh yang berasal dari daging dan tulang orang
mati atau berasal dari orang yang mati tidak wajar (bunuh diri, ke­ce­la­
ka­an, dibunuh, tenggelam). Pitto’ dikenal sangat pencemburu de­ngan
kehidupan manusia dan berusaha untuk mencelakai manusia (Sche­
fold 1991: 110). Selain itu, orang Rereiket juga menyebut-nyebut roh-
roh yang berasal dari orang meninggal dari masa sebelum sekarang
di­sebut sebagai ukkui.9
Di samping pengertian tentang roh-roh, orang Siberut mengenal
sanitu.10 Dalam definisinya sanitu adalah makhluk gaib yang suka
meng­gang­gu dan dikesankan sebagai jahat. Sanitu hidup bebas la­yak­
nya ma­nu­sia. Mereka sering mengganggu manusia dengan bersuara
ri­but-ri­but di pinggir rumah, memanggil orang bersampan di sungai
sa­at-sa­at lengang dari atas pohon, memakan anak-anak ayam dengan
me­ning­gal­kan jejak tertentu di tanah basah, atau memergoki se­se­
orang di tengah hutan. Mereka biasanya tinggal di pohon-pohon besar
dan rim­bun. Yang paling terkenal dari hantu itu adalah silakkokoina,
si­lak­ki­kiou, si­ka­teng­an loinak atau sabeu talinga (si telinga besar).
Ma­nu­sia akan mengalami sakit yang hebat (kisei) bila bertemu dengan
sa­ni­tu. Namun, sakit yang dikarenakan oleh sanitu lebih cepat untuk

9 Di lembah lain, ukkui bisa diartikan sebagai sebutan hormat untuk istilah leluhur. Di Siberut arti umum
uk­kui men­cakup nenek, kakek, dan orang-orang yang hidup di zaman lampau dan atau sudah me­ning­
gal. Da­lam konteks ini, istilah ukkui juga bisa diitepretasikan sebagai roh-roh leluhur yang meninggal.
Pe­nger­ti­an berbeda apabila istilah Ukkui digunakan dalam konteks bahasa yang digunakan oleh ajar­
an dan doa-doa resmi Gereja di Siberut. Isitlah ini lebih mudah untuk diinterpretasikan sebagai per­soni­
fi­kasi Tuhan/Yesus.
10 Keterangan mengenai sanitu sangat kabur dan kontradiktif. Di beberapa tempat, sanitu dianggap se­
ba­gai bagian dari definisi tentang roh, namun memiliki sifat jahat. Sementara di tempat lain, dia di­ang­
gap ber­beda dengan definisi roh dan menjadi entitas sendiri—meskipun sama-sama bersifat gaib.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 117

di­sem­buh­kan daripada yang disebabkan oleh roh leluhur (ukkui). Po­


hon eilagat (Dipterocarpus baumii) yang menjulang dan sokut (Ficus
ben­ja­mi­na) adalah tempat favorit sanitu.
Roh-roh dan sanitu tidak pernah mati. Dia akan tetap tinggal di
du­nia, ber­dam­ping­an dengan manusia dan makhluk lainnya. Me­re­
ka menempati hutan, lautan, pantai, dan juga di sekitar per­mu­kim­an.
Hubungan manusia yang masih hidup dengan roh-roh ber­si­fat ega­li­
ter. Ke­ber­ada­an masing-masing roh sangat penting bagi kehidupan
ma­­nu­sia. Manusia harus hidup berdampingan secara terus menerus.
Hu­bung­an ini bisa bersifat menguntungkan atau merugikan, mem­
ba­ha­ya­­kan atau membuat kedamaian bagi keduanya tergantung da­ri
ba­gai­­ma­na cara menjaga keharmonisan hubungan tersebut. Keperca­
yaan me­nge­nai roh dan bagaimana menjaga keseimbangan dengan
me­reka me­ru­pa­kan prinsip dasar yang melandasi kehidupan orang
Mentawai (Schefold 1980; 1991: 17).
Di antara banyak roh-roh yang ada di dunia dan hidup ber­dam­
ping­an dengan manusia, roh-roh yang ada di dalam hutan bersifat
khu­sus. Hubungan ini khusus sebab, pada mulanya, roh-roh yang ada
di hu­tan berasal dari manusia. Di masa lalu, menurut orang Mentawai,
yang ada hanyalah manusia di pulau ini:
Setelah manusia berkembang dan beranak-pinak mereka mulai
kha­wa­tir: tanah akan habis dan tidak akan cukup memberi ma­
kan semua orang beserta keturunannya. Ba­gai­manapun juga
me­re­ka harus mencari jalan keluar. Akhirnya mereka membagi
di­ri menjadi dua; masing-masing kelompok berpisah setelah sa­
ling mem­ba­ca­kan mantra dan memberi persembahan berupa
ayam hitam. Konsekuensinya, mereka sama-sama tidak dapat
sa­ling melihat. Ini menyediakan solusi. Tidak saling melihat
berarti mereka tidak lagi terlibat persaingan; masing-ma­sing
hidup, sebagaimana seharusnya, dalam dimensi yang ber­be­da.
Demikianlah manusia dan roh hutan yang kini ada ber­asal. Dan
mengikuti perjanjian primordial mereka, manusia mem­be­ri
persembahan dan meminta izin kepada roh sebelum meng­ambil
sesuatu dari hutan ... (Schefold 2002: 427)

Cerita di atas menggambarkan bahwa roh-roh yang ada di hu­tan


ber­asal da­ri manusia. Konsep tentang roh di hutan mencirikan hu­­
bungan an­tro­po­sen­tris­me yang kuat. Asal-usul roh jenis ini memberi­
kan pe­nan­da bahwa roh-roh adalah dunia sosial yang diubah secara
118 Berebut Hutan Siberut

sim­bo­lik. Roh-roh itu juga memiliki tindakan yang bersifat sosial—suka


di­pu­ji, kadang mengganggu, sering menghukum. Namun, pandangan
me­nge­nai keberhasilan manusia untuk bisa mengendalikan roh-roh
me­nan­dai adanya sebuah gambaran kemenangan kebudayaan atas
alam, ke­ung­gul­an manusia atas bukan manusia. Sementara manusia
di Si­be­rut berkembang dan mengembangkan kebudayaannya, men­
duduki lem­bah, mendirikan rumah, membuat ladang, membuka hu­
tan tropis yang le­bat, roh-roh itu menyingkir ke dalam ruang (space)
yang tidak ter­li­hat oleh manusia, ke hutan-hutan yang jarang di­­ma­
suki, di laut, di da­lam tanah dan di suatu tempat gaib yang tidak bisa
dijangkau oleh manusia.
Kemenangan manusia ditandai dengan kemampuan mem­per­ta­
han­kan ru­ang­nya. Perbedaan antara roh dan manusia terletak pada
ru­ang (space) yang mereka tempati. Ruang ini tidak bersifat geografis
(per­mu­kim­an vs hutan, laut vs darat) tetapi lebih bersifat dimensi, di
ma­na masing-masing pihak hidup bersama tetapi tidak saling me­li­
hat. Roh-roh yang tidak terlihat itu juga sebagian ada yang tetap ber­
ada di kam­pung-kampung, di ladang, di langit-langit rumah, di ban­
dar-ban­dar, atau kelokan jalan yang sepi. Pembedaan ruang ini juga
ber­kaitan dengan wujud dari masing masing-masing pihak di mana
ma­nu­sia memiliki jasad sementara roh-roh bersifat gaib.
Manusia dan roh-roh bisa hidup selaras dan berdampingan,
asalkan ti­dak me­lam­paui batas wilayah masing-masing. Pembagian
ruang (space) an­ta­ra kehidupan manusia dan roh ini sangat tegas
namun ber­si­fat se­ta­ra. Masing-masing pihak saling menghindari per­
lin­tas­an ru­ang meskipun setiap pihak boleh mengajak pihak lain un­
tuk melintasinya. Misalnya, manusia sangat takut apabila roh yang
ma­sih ada di tubuhnya (simagre) dibujuk roh-roh di hutan atau di
bu­kit un­tuk ting­gal bersama mereka. Sebab, tubuh yang ditinggalkan
roh­nya dapat merana dan menyebabkan kematian (Schefold 2002:
429). Oleh karena itu, masuk ke dalam hutan sendirian sangat di­hin­
dari. Pelanggaran atas kesepakatan pembagian ruang ini dapat me­
nye­bab­kan ma­ra­ba­ha­ya seperti sakit, meninggal, atau kecelakaan.
Roh-roh di dalam hutan bercorak antropogenik. Mereka me­me­li­
ha­ra ternak (hidupan liar seperti monyet, rusa, dan hewan), me­mi­lik­i
kesenangan, suka puji-pujian, bernyanyi, gampang marah, dan ber­
si­kap la­yak­nya manusia. Hubungan harus dijaga agar roh-roh tidak
mem­be­ri­kan dampak buruk bagi manusia dan manusia juga tidak
me­­­lang­­gar prin­sip egaliter yang dimiliki oleh roh-roh yang ada di
da­lam hu­tan. Schefold (2002: 428) menggunakan istilah culture of
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 119

the be­yond atau hidden culture bagi hutan di Siberut. Artinya, hutan,
ba­gi orang Siberut, bukan hanya berisi hewan-hewan, pohon-pohon
men­ju­lang, serangga, semak belukar, kelokan sungai, atau tumbuhan,
te­ta­pi juga roh-roh yang hidup dan membangun suatu kehidupan ter­
ten­tu di dalam hutan.
Kehidupan roh di dalam hutan terpisah dengan kehidupan ma­
nu­sia yang ada di permukiman namun keduanya selalu terlibat dalam
se­bu­ah re­la­si. Keterpisahan ruang ini, bukanlah pemisahan yang ber­
si­fat mutlak. Meskipun manusia menempati ruang yang berbeda de­
ngan roh-roh, mereka selalu hidup bersama roh-roh tersebut, di ma­na
pun me­re­ka berada. Dalam konteks hutan, untuk mendapatkan ke­­
butuh­an makanan, ritual, atau segala sesuatu yang berasal dari hutan,
ma­nu­sia ha­rus berhubungan dengan roh-roh yang ada dalam hutan.
Ma­nu­sia dapat memanfaatkan segala sesuatu di hutan asalkan mampu
mem­bu­juk roh-roh hutan untuk memberikan izin pemanfaatannya.
Tan­pa izin dan restu dari roh-roh yang ada di hutan, manusia akan
men­da­pat sanksi berupa kecelakaan atau nasib buruk.
Roh-roh dapat memberikan perlindungan dan hukuman ter­gan­
tung da­ri ca­ra manusia memelihara hubungan dengannya. Roh-roh
da­pat mem­be­ri manfaat terhadap manusia sekaligus da­pat mem­be­
ri­kan ma­ra­bahaya. Roh-roh bisa memberikan hewan pe­li­ha­raannya
(mo­nyet, babi hutan, rusa, dll) untuk dijadikan hewan bu­ru­an manusia,
tetapi manusia juga bisa celaka (sakit, anak cacat, ter­ke­na pa­rang).
Roh-roh di dalam hutan dapat memberi petunjuk ten­tang ma­sa de­
pan yang lebih baik sekaligus dapat menyebabkan ma­sa de­pan men­
jadi buruk. Dalam konteks ini, roh-roh yang ada di da­lam hu­tan dan
hutan itu sendiri bersifat ambivalen. Dia dapat dikategorikan se­ba­gai
tem­pat menakutkan (bila berjumpa dengan roh hutan), sumber ma­
ra­ba­ha­ya (digigit ular atau tertimpa pohon) namun hutan juga bisa
di­ka­te­go­ri­kan sebagai tempat yang memberi manfaat bagi manusia
de­ngan hewan buruan, tumbuhan obat, kayu-kayu dan lainnya. Oleh
ka­re­na itu, satu-satunya cara untuk memelihara hubungan yang meng­
un­tung­kan dengan roh-roh tersebut adalah memelihara hubungan
harmonis.
Sikap menjaga keharmonisan dengan roh-roh ini berhubungan
de­ngan ide tentang keselarasan yang merupakan tema sentral dalam
ke­hi­dup­an orang Mentawai (Schefold 1991: 132). Tujuan kehidupan,
ba­gi orang Mentawai, adalah hidup selaras. Setiap aktivitas manusia,
ber­po­ten­si untuk mengubah keselarasan antara manusia dengan roh
120 Berebut Hutan Siberut

yang ada di lingkungan tersebut (ibid: 134). Karena itu, setiap aktivitas
yang ber­hu­bung­an dengan lingkungan dan benda harus dipastikan bi­
sa mem­buat roh-roh itu senang. Orang Mentawai memiliki pesta (lia)
sebagai cara untuk menciptakan kesatuan sosial dan spiritual di da­
lam hu­bung­an antarmanusia, manusia dengan roh-roh, maupun ma­
nu­sia dengan lingkungannya.
Tidak hanya berfungsi sebagai sarana integrasi sosial di ling­kung­
an ke­ke­ra­bat­an dan mengkonsolidasikan kembali solidaritas yang ha­
rus te­rus dipertahankan agar terus memelihara kewajiban dan tang­
gung ja­wab se­ba­gai kelompok sosial, lia adalah sarana mediasi antara
ma­nu­sia dengan roh-roh, leluhur mereka yang sudah mati, atau untuk
men­cari tahu masa depan yang akan mereka terima. Lia merupakan
pe­ris­ti­wa sosial yang sangat penting yang diselenggarakan secara khu­
sus ba­gi manusia untuk beristirahat dari aktivitas sehari-hari demi tu­
ju­an yang lebih penting—mengadakan penghormatan kepada roh-roh
(Sche­fold 1991).
Tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui lia bersifat sosial dan
ju­ga spi­ritual—ketiadaan perasaan agresif terhadap orang lain, jiwa
te­nang dan bergembira—keadaan yang sangat didambakan bersifat
seimbang antara jiwa dan materi, masa lalu dan masa depan, individu
dan kelompok sosial. Lia adalah suatu cara orang Mentawai untuk
men­ja­ga hu­bung­an anggota uma dengan roh-roh. Dengan lia, roh-roh
ti­dak akan mengganggu, membuat sakit, sedih, bingung, dan re­je­ki
seret bagi manusia. Selain fungsi spiritual, lia adalah suatu cara un­tuk
men­ca­pai keseimbangan yang ideal antara hak dan kewajiban se­ba­
gai suatu kelompok sosial. Masing-masing anggota kelompok me­mi­
liki kewajiban untuk berkontribusi, baik tenaga maupun harta ben­da
(menyumbang babi, ayam), dan saling membantu sesama se­la­ma lia
berlangsung. Mereka juga harus menghindari pantangan dan ta­bu-ta­
bu se­ca­ra kolektif. Mereka akan diperlakukan secara sama, mendapat
ja­tah daging yang dihidangkan dalam jumlah yang sama, mendapat
doa-doa yang sama. Hasilnya adalah tak seorang pun merasa berbeda
de­ngan yang lain, tidak merasa dikucilkan atau tidak memiliki ke­
ingin­an untuk memencilkan diri.
Kelahiran, perkawinan, kematian, pindah rumah, panen, pem­bu­
at­an ladang, atau sakit adalah peristiwa-peristiwa sosial yang me­ning­
kat­kan dan membuka komunikasi manusia dengan roh-roh. Begitu
ju­ga dengan tindakan-tindakan praktis seperti membeli mesin tempel
atau te­le­vi­si, menyambut perantau yang pulang, atau membuat sam­
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 121

pan adalah hal-hal yang juga memerlukan lia. Setiap aktivitas yang
me­nun­juk­kan intervensi manusia terhadap hutan (membuat sampan
dan ru­mah atau membuka ladang) harus didahului dengan lia. Selama
pe­lak­sa­na­an lia, setiap orang diharapkan untuk tidak melakukan ak­ti­
vi­tas di luar lingkungan uma yang mereka tinggali, mengurangi pe­ker­
ja­an sehari-hari atau kegiatan-kegiatan yang menyebabkan roh-roh
ma­rah. Tindakan yang merusak lingkungan, misalnya, dapat meng­
gang­gu keselarasan yang ingin dicapai dalam lia (Schefold: 126-128).
Uraian mengenai lia membawa pemaparan fungsi simbolik hutan
ba­gi orang Mentawai. Bagi orang Mentawai roh-roh yang ada di dalam
hu­tan atau di mana saja bisa menghukum mereka atau memberi ke­
un­tung­an. Manusia harus melakukan negosiasi terus menerus de­ngan
roh-roh agar kehidupan berada dalam keseimbangan dan tidak meng­
alam­i gang­gu­an. Setiap lia selalu diakhiri dengan upacara berburu ke
hu­tan (bandingkan Schefold 1991; 1980; Loeb 1972)—atau juga ke laut.
Hewan buruan di hutan (monyet, babi hutan, rusa) merupakan satwa
pe­li­ha­ra­an roh-roh di dalam hutan. Agar mendapat hasil buruan yang
me­lim­pah, sebelum pergi ke hutan dan yang paling penting pada saat
lia, manusia menyajikan sedikit daging dari ternak yang dipelihara­nya
(seperti babi dan ayam) kepada roh-roh sebagai persembahan. Jika
uma yang melakukan perburuan itu berhasil mendapatkan buruan, hal
itu memberi makna bahwa roh-roh hutan merestui tindakan mereka.
He­wan bu­ru­an merupakan tanda bentuk hubungan yang selaras an­
ta­ra roh dengan manusia. Semakin banyak monyet, babi hutan, atau
ru­sa yang didapatkan, ada anggapan semakin kuat restu dari roh-roh
di da­lam hutan terhadap manusia. Begitu juga sebaliknya, jika tidak
men­da­pat­kan buruan, atau buruan yang didapat adalah hewan yang
ca­cat, roh-roh hutan memberi petunjuk bahwa mereka tidak senang
ter­ha­dap lia tersebut.
Berburu merupakan suatu cara untuk mendapatkan pe­tun­juk
me­­nge­nai hu­bung­an dengan roh yang ada di hutan sekaligus cara un­
tuk me­nge­ta­hui kualitas hubungan manusia dengan hutan. Seperti di­
pa­par­kan Schefold (2002; 1991) dan Darmanto (2006), daging hasil
bu­ru­an memainkan peranan yang penting dalam upacara penutupan
lia. Daging hewan buruan dibagi rata kepada anggota kelompok so­si­al.
Sebagian dari daging itu dihidangkan saat lia berlangsung. Daging bu­
ru­an yang dimakan itu membuat seluruh pantangan berakhir dan ma­
nu­sia mencapai titik selaras dengan lingkungan. Tulang dan tengkorak
he­wan bu­ru­an disimpan dan dipajang di beranda uma. Sebelumnya,
122 Berebut Hutan Siberut

teng­ko­rak itu dihias, dilukis berwarna-warni, dan dirapalkan mantra


agar roh-roh hewan itu mengabarkan kepada hewan buruan lain un­
tuk se­nang dan mendatangi uma yang bersangkutan.

Hubungan Sehari-hari dengan Hutan


Hubungan simbolik antara hutan dengan manusia berpengaruh
ter­ha­dap cara-cara praktis orang Siberut dalam memanfaatkan hutan.
El­len (2002: 218) me­nga­ta­kan bahwa cara orang merumuskan hu­bung­
an­nya dengan alam bergantung pada cara mereka menggunakannya,
meng­ubah­nya, dan bagaimana melalui tindakan itu mereka menggali
pe­nge­ta­hu­an dari alam. Model pandangan dan praktik hubungan
yang me­lan­dasi manusia dengan alam selalu diolah dan akan ber­ubah
la­gi ke­ti­ka orang memberikan respons terhadap situasi sosial dan
ling­kung­an yang baru (Croll dan Parkin dalam Ellen 2002). Hal ini
bisa di­gu­na­kan untuk menerangkan transformasi visi atau pandangan
orang Men­tawai di Siberut terhadap hutan yang selalu dipengaruhi
oleh cara produksi (mode of production) serta struktur dan organisasi
sosial (Schefold 2002: 423).
Organisasi sosial orang Mentawai merupakan warisan struktur
so­si­al neo­li­tik yang dicirikan prinsip kesetaraan yang sangat kuat dan
ab­sen­nya hierarki politik. Sebelum administrasi kolonial dan negara
ber­pe­nga­ruh, setiap lembah di aliran sungai utama telah ditempati be­
be­ra­pa uma atau beberapa keluarga. Mereka tinggal dan berladang di
ta­nah-ta­nah yang mereka miliki sendiri atau bercocok tanam di tanah
ke­ra­bat dekat. Mereka mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan me­
man­fa­at­kan sagu, umbi-umbian, pisang, dan meramu hasil hutan.
Kon­sum­si daging didapatkan terutama dari ternak babi dan ayam me­
re­ka, dan selebihnya dari berburu, terutama babi liar dan rusa, ser­ta
udang dan ikan-ikan kecil di sungai-sungai yang dekat dengan per­
mu­kim­an. Meskipun tinggal di kepulauan, penduduk Siberut ti­dak di­
ke­nal sebagai pelaut yang andal atau ahli maritim. Mereka le­bih ber­
orien­ta­si terhadap kehidupan darat. Mereka mengambil ro­tan, ka­yu,
dan tumbuhan obat untuk keperluan sehari-hari. Da­pat di­ka­ta­kan ba­
hwa mo­del subsisten—mengandalkan hasil hu­tan—terlihat do­mi­nan.
De­ngan menggunakan parang dan beliung, me­re­ka me­ne­bang kayu-
kayu seperti katuka, karai, mancemi (dari ke­lu­ar­ga Dip­te­ro­car­pa­ce­
ae) dari hutan di lereng-lerang yang sedikit lan­dai un­tuk konstruksi
rumah serta sampan—yang merupakan alat trans­por­ta­si utama untuk
ber­hu­bung­an dengan daerah-daerah lain.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 123

Sebagai hasil interaksi yang lebih berorientasi pada kehidupan


da­rat, masyarakat Mentawai memiliki klasifikasi tersendiri mengenai
eko­­sis­tem alamiah yang menjadi dasar bagi konsep tentang per­mu­­kim­
an, lahan tempat produksi pangan, dan juga tempat-tempat yang ber­
ni­lai kultural seperti hutan. Klasifikasi ekosistem merupakan ben­tuk
adap­ta­si orang Siberut terhadap ekologi dan memberi mereka “peta
men­tal” agar se­ca­ra kultural bisa hidup secara aktif dalam ekologi Si­
be­rut. Ekosistem buatan dapat digunakan untuk menjelaskan me­nga­
pa tekanan terhadap hutan relatif rendah untuk waktu yang lama ba­gi
orang Mentawai, yang memunculkan kesan kuat bahwa orang Men­ta­
wai memiliki kearifan lingkungan.
Secara umum—dengan variasi-variasi yang lebih kecil—ma­sya­
ra­kat di Siberut memiliki klasifikasi ekosistem (Persoon 1995; 2001;
Dar­man­to 2006):
Permukiman (barasi). Istilah barasi bukan berasal dari bahasa
Men­ta­wai, tetapi dari kata Minangkabau “barasiah”, yang berarti ber­
sih. Peng­gu­na­an istilah barasi yang diimpor dari bahasa Minangkabau
ini men­je­las­kan bahwa permukiman bersama adalah sesuatu yang ba­
ru ba­gi orang Mentawai. Sebelumnya, mereka menggunakan kata pu­
lag­ga­jat atau laggai untuk merujuk permukiman tradisional. Namun,
se­i­ring dengan proyek pemerintah yang dimulai sejak masa kolonial
dan me­nya­ran­kan penduduk tinggal di kampung bersama, istilah ba­
ra­si kemudian dikenal dan lebih disukai.
Penggunaan istilah barasi membedakan permukiman bersama
yang di­hu­ni banyak uma dengan pulaggajat yang umumnya dihuni
le­bih se­di­kit uma. Pulaggajat yang ada di lembah-lembah sungai besar
ha­nya ber­isi beberapa uma yang letaknya pun berjauhan. Sementara
ba­ra­si mengindikasikan sebuah permukiman yang vegetasinya sudah
di­ber­sih­kan, pulaggajat lebih banyak ditumbuhi semak belukar. Ma­ka,
pu­lag­ga­jat yang telah dibersihkan oleh beberapa uma dapat di­se­but
ju­ga sebagai barasi. Di pulaggajat yang telah menjadi barasi ini­lah ke­
lu­ar­ga-ke­lu­ar­ga dan uma mendirikan rumah tinggal. Dalam eko­sis­tem
ba­ra­si, biasanya terdapat sayuran, pisang, tumbuhan obat, kelapa, bu­
ah-bu­ah­an, dan bunga untuk dekorasi dan keperluan upacara. Di be­
be­ra­pa tempat, ekosistem ini juga bercampur dengan kandang ternak
seperti ayam, itik, sapi, dan kambing.
Ladang keladi (pugettekat). Keladi adalah makanan pokok yang
gam­pang tum­buh di dekat permukiman yang berair. Dengan tu­nas ve­
ge­ta­tif, keladi dapat tumbuh sendiri tanpa memerlukan pe­ra­wat­an in­
124 Berebut Hutan Siberut

ten­sif. Biasanya, ladang keladi terdapat di sekeliling permukiman yang


ter­lin­dung dari babi. Kebun ini dibuat di tebing, sungai, atau di bekas
alir­an sungai yang telah mati atau di rawa-rawa dekat kebun sagu.
La­dang ke­la­di bersatu dengan aliran air sehingga memungkinkannya
te­rus tergenangi air, yang mengundang katak, udang, dan ikan air ta­
war—yang dapat dijadikan sumber protein tambahan—beranak-pi­
nak. Ter­ka­dang, ladang keladi ditanam bersebelahan dengan la­dang
sa­gu. Ke­la­di (gette) merupakan makanan pokok uta­ma selain sagu.
La­dang ke­la­di diusahakan oleh kaum perempuan. Keladi, bersama
ta­nam­an-ta­nam­an lain seperti gadung, pisang, tebu, tanaman umbi-

Gambar 5. Permukiman tradisional orang Mentawai yang menyatu dengan


per­ladangan dan peternakan (Rahmadi).
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 125

um­bi­an lain, dan bunga untuk keperluan upacara, tumbuh sepanjang


ta­hun. Kebun keladi dimiliki dan diusahakan keluarga-keluarga inti
de­ngan jumlah sampai tiga atau lima petak untuk masing-masing ke­
lu­arga.
Kebun sagu (pusaguat). Ladang sagu merupakan sumber uta­
ma ma­kan­an orang Siberut. Ladang ini berada di rawa-rawa berair
atau di wi­la­yah dekat sungai besar yang terbentuk dari lumpur subur
yang di­ba­wa banjir. Sagu merupakan tumbuhan penting dan istimewa
se­­hing­ga orang Siberut menyebutnya “bagaikan bapak ibu kami”
(Sche­fold 1991: 57). Se­lu­ruh bagian tumbuhan ini dimanfaatkan oleh
orang Si­be­rut: batangnya sebagai sumber karbohidrat terpenting; te­
pung­nya ju­ga digunakan untuk makanan ayam dan babi; daun dan
ku­lit­nya untuk atap dan dinding rumah; sementara pucuk batang di­
man­fa­at­kan sebagai tempat bertelur kumbang besar (Rhynchophorus
fer­ru­gi­ne­us) yang menghasilkan larva sebagai sumber protein
yang paling di­su­kai. Kepemilikan sagu terkait dengan perkawinan,
konflik, atau per­tukaran jasa. Ladang-ladang sagu telah menjadi alat
pertukaran utama seperti se­ba­gai maskawin, biaya membayar denda
dan pertikaian, dan harta wa­ris secara turun-temurun. Unit dari kebun
sagu disebut dengan ma­ta, suatu istilah yang dipakai untuk menyebut
hamparan sagu yang ter­di­ri atas 10-20 rumpun sagu dewasa.
Masyarakat Siberut membiakkan tanaman sagu secara vegetatif
de­ngan membiarkan tunas-tunas muda tumbuh dari tunggul pohon
si­ap pa­nen. Tunas-tunas sagu muda yang berkualitas kemudian dipilih
un­tuk ditanam di rumpun lain. Sagu menghasilkan tepung yang relatif
sta­bil dan potensial sebagai cadangan makanan. Untuk menghasilkan
te­­pung sagu dengan takaran karbohidrat dan serat yang setara dengan
be­ras, tenaga kerja dan waktu yang dibutuhkan lebih rendah (Whitten
dan Whitten 1985).
Ladang baru (tinungglu). Ladang ini adalah rimba yang dibuka
ber­sa­ma oleh sebuah uma maupun oleh perorangan. Luasnya antara
0,5-1 ha. Tinungglu terbentuk setelah hutan ditebangi kayunya, di­
ber­sih­kan, dan hanya disisakan kayu-kayu penting yang dibutuhkan
un­tuk membuat rumah atau sampan. Setelah bersih, ladang ditanami
ta­nam­an semusim dengan cara menugal (membuat lubang dengan tu­
gal atau tongkat). Ladang baru ini ditanami keladi, ubi kayu, kentang
ma­nis, ubi rambat, sayuran, pisang, tumbuhan obat, dan berbagai ma­
cam je­nis tumbuhan untuk makanan pokok. Kayu bakar dan bambu
ju­ga ka­dang ditanam. Belakangan, nilam (Pogostemon cablin) dan
126 Berebut Hutan Siberut

ka­kao ditanam secara intensif sebagai tanaman komersial. Untuk


mem­­bu­ka la­dang baru tersebut, orang Siberut tidak membakarnya;
de­ngan begitu, benih-benih tumbuhan liar dari hutan yang tersimpan
di da­lam tanah lekas bersemi dan berselang-seling dengan tanaman
yang dibudidayakan.
Ladang tua (pumonean). Ladang ini merupakan kelanjutan dari
ti­nung­glu atau biasa disebut ladang tua. Berisi campuran tumbuhan
ka­yu, semak, bambu, tanaman obat, dan biasanya didominasi ta­nam­
an buah. Segala kebutuhan sehari-hari—sumber obat, makanan, ke­
ra­jin­an—terdapat di ladang ini. Di tempat yang sama juga terdapat
je­nis-je­nis tanaman komersial seperti cengkeh, pala, dan kelapa.
Umum­nya, ladang jenis ini berada di punggung bukit atau lereng-le­
reng yang landai dan relatif kering. Tumbuhan untuk konstruksi dan
ke­ra­jin­an seperti bambu dan beberapa jenis kayu ditanam. Ayam dan
babi dipelihara di sana, dan sebuah dangau untuk tempat beristirahat
pe­mi­lik­nya dibangun di bagian yang dekat dengan sungai. Ladang ini
didominasi oleh tanaman durian yang batangnya disebut mone, yang
juga berasosiasi dengan tanaman buah lain seperti manggis, langsat,
jam­bu air, rambutan hutan, dll. Ladang ini sangat penting karena
men­jadi alat sosial utama bagi resolusi konflik, pembayaran denda,
har­ta warisan, ukuran status sosial, serta menjadi ukuran kekayaan
se­se­o­rang. Selang beberapa tahun, ladang ini telah menyerupai hutan
se­kun­der dewasa dengan dominasi tanaman buah di dalamnya. Jika
su­dah demikian, ladang akan diberakan dan hanya sesekali dikunjungi
ji­ka musim panen buah tiba.
Sungai dan rawa (bat oinan). Ekosistem ini banyak ditemukan
di se­ke­li­ling permukiman. Sungai-sungai ini merupakan jalur transpor­
ta­si yang sa­ngat penting bagi orang Mentawai. Selain itu, sungai-sungai
ini ju­ga menjadi batas-batas kepemilikan tanah. Setiap sungai dimiliki
oleh uma ter­ten­tu, meskipun dapat dimanfaatkan oleh anggota uma
lain. Kaum perempuan mengambil peranan paling penting dalam
eko­sis­tem ini untuk mendapatkan kerang, ikan, cacing, udang, kura-
kura, atau katak. Sungai juga berfungsi untuk mengawetkan sagu.
Pa­da musim-musim kering, ketika permukaan air sungai menyusut,
pa­ra ibu dan anak-anak perempuannya berbondong-bondong ke sana
un­tuk mencari kerang atau ikan dengan tangguk.
Pantai dan pulau-pulau kecil (nusa). Kawasan ini berada di
sebe­lah ti­mur dan selatan Pulau Siberut, termasuk di dalamnya ada­
lah hu­tan ba­kau. Ekosistem ini digunakan untuk memancing, berburu
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 127

pe­nyu, dugong, dan ikan-ikan besar, serta mencari rumput laut. Ke­la­
pa ada­lah tum­buh­an yang penting dalam ekosistem ini, karena ber­ni­
lai eko­no­mi tinggi. Beberapa nusa yang relatif luas, digunakan orang
Si­be­rut untuk membudidayakan cengkeh, nilam, dan pala, dan be­la­
kang­an sebagai tempat resor wisata selancar yang cukup ramai.
Hutan/gunung (leleu). Kawasan ini dimanfaatkan untuk ke­
per­­lu­­an ber­bu­ru, terutama empat jenis primata, babi liar, rusa, ular,
burung, tu­pai dan ke­le­la­war. Di sini juga terdapat kayu-kayu untuk
mem­buat sam­pan dan membangun rumah. Kawasan ini juga penting
karena me­nye­dia­kan hasil hutan nonkayu seperti rotan, nilam, dan
men­jadi ha­bi­tat lebah madu. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, eko­
sistem hu­tan kom­pleks karena ada nuansa simbolik sekaligus praktis,
yang me­nan­dai hubungan antara manusia dengan hutan yang men­dua.
Eko­­sis­tem hutan memiliki makna khusus karena bernuansa spiritual.
In­ter­aksi dengan hutan belantara bagi kebanyakan orang terbatas dan
ku­rang intensif. Namun, ada juga orang yang banyak berhubungan
de­ngan hutan, misalnya sikerei. Bagi sikerei, hutan adalah tempat
me­re­ka mencari tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat serta salah satu
tem­pat fa­vo­rit untuk mencari sesuatu (yang umumnya diperantarai
oleh tum­buh­an tertentu) yang memiliki kekuatan supranatural yang
di­se­but gaud. Gaud bersifat rahasia dan hanya orang-orang tertentu
yang bi­sa mendapatkannya. Jenis hubungan dan aktivitas lain yang
ber­hu­bung­an dengan hutan adalah berburu atau mencari pohon-po­
hon untuk membuat sampan dan papan untuk rumah. Orang-orang
yang se­ring melintasi hutan dikesankan memiliki kekuatan tersendiri,
se­ku­rang-kurangnya keberanian.
Klasifikasi di atas menjelaskan mana ekosistem yang digunakan
se­­ba­gai sumber subsistensi, mana yang lebih bernilai kultural dan spi­
ri­tual, dan mana yang belakangan akan lebih bernilai ekonomis. Kla­
si­fik
­ a­si tersebut memudahkan kita untuk memahami ekosistem yang
bi­sa dieksploitasi, dipelihara, atau dijadikan sumber makanan pokok,
sum­ber protein, atau sumber kultural.
Ekosistem hutan memiliki karakter yang sangat khusus karena
ti­dak meng­alami eksploitasi yang intensif. Hutan juga bukan tempat
yang di­bu­di­da­ya­kan. Ekosistem-ekosistem lain berada di dekat per­
mu­kim­an atau sekurang-kurangnya secara teratur dikunjungi dan
kare­na itu manusia selalu berinteraksi dengannya. Sementara itu, hu­
tan ter­le­tak dari tempat yang agak jauh dari permukiman sehingga hu­
bung­an ma­nu­sia dengan hutan tidak bersifat rutin. Meskipun banyak
128 Berebut Hutan Siberut

ca­ra orang Mentawai berhubungan dengan hutan, mereka biasanya


ti­dak lama di dalam hutan dan terus menerus. Jarang orang Siberut
ma­suk hutan selama berhari-hari.
Reeves (2004) menyatakan, hutan lebih banyak berfungsi se­ba­gai
lin­tas­an. Tidak ada orang Mentawai yang menetap dan tinggal ber­­ha­
ri-hari di hutan. Hutan dapat dikategorikan sebagai eko­sis­tem liar dan
karena itu ditakuti. Di hutan, marabahaya dan ri­si­ko selalu meng­in­
tai (digigit ular, serangga beracun, terkena hu­jan, sedikitnya tum­buh­
an yang bisa dimakan, dan juga risiko ber­te­mu dengan roh-roh yang
jahat). Namun apa yang dikatakan Reeves tidak mut­lak. Sebaliknya,
manusia tidak dapat hidup tanpa hu­tan. Kayu un­tuk sampan, rumah
dan kerajinan, tumbuhan obat, la­han untuk berladang, semuanya ada
di hutan. Manusia harus ber­hu­bung­an terus menerus dengan hutan.

Perladangan dan Transformasi Hutan


Interaksi orang Siberut dengan hutan berubah intensif tatkala
mereka akan mem­bu­ka ladang. Orang Siberut menamai perladang­
an­nya se­ba­gai pumonean.11 Istilah pumonean berasal dari kata dasar
mone yang ber­ar­ti kumpulan pohon durian (dan pohon buah lainnya).
Per­la­dang­an adalah praktik utama yang menyebabkan transformasi
hu­tan (leleu) menjadi kawasan budidaya. Ketika persediaan tanaman
po­kok seperti keladi (gette), pisang (mago’), ubi (gobi) mulai habis,
orang Siberut segera bergegas untuk mencari bukit-bukit yang landai
untuk ditebas dan dijadikan ladang. Menipisnya persediaan tanaman
bu­ah rambutan (bairabbit), duku (elagmata), nangka (peigu), dan
du­ri­an (doriat)—baik karena usia tua atau untuk membayar denda-
den­da dan mahar perkawinan—juga menjadi alasan untuk membuka
la­dang baru. Kadang-kadang, persaingan harga diri antaruma atau an­
tar­ke­lu­ar­ga (pako’) juga mendorong orang Siberut membuka ladang
yang le­bih bagus dan lebih produktif. Bagi sebagian orang tua, warisan
dan ta­bung­an ladang untuk generasi mendatang sangat penting. Di
ma­sa lalu (dan di beberapa tempat hingga sekarang ini), ladang sa­

11 Istilah ini tidak konsisten. Istilah tinungglu dan pumonean sering digunakan secara bergantian untuk
me­nye­but perladangan. Ladang yang baru dibuka disebut sebagai tinungglu, sementara ladang yang
su­dah dewasa, berisi campuran tumbuhan buah dan hutan, dan memiliki karakter dan struktur ve­ge­
ta­si hutan disebut pumonean. Untuk konsistensi dan kemudahan penggunaan, kata tinungglu di­pa­kai
un­tuk ladang yang baru dibuka dan pumonean untuk merujuk istilah perladangan yang telah de­wa­sa.
Di Siberut bagian tengah perladangan disebut sebagai parak, suatu istilah yang sangat jelas meng­
adop­si istilah Minangkabau (misalkan Michon 2005). Di Siberut Utara, yang disebut dengan ladang
atau perladangan adalah tinungglu. Untuk keterangan perbedaan tinungglu dan pumonean di Rereiket
de­ngan menggunakan aspek kronologis teknis pengerjaannya (lihat Darmanto 2006).
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 129

ngat diperlukan terutama untuk mengumpulkan buah-buahan dan


ma­kan­an pokok.
Tanah rata di dekat ceruk air kecil, seperti halnya dengan lereng-
le­­reng landai yang berdekatan dengan hutan rimba, menjadi lokasi
ide­al untuk ladang baru (tinungglu). Seperempat atau setengah hektar
hu­­tan yang berada di lokasi-lokasi tersebut ditugal. Proses perladangan
orang Men­ta­wai dimulai dengan menebas semak dan pohon kecil yang
di­ikuti satu dua penebangan pohon besar. Proses pembersihan tum­
buh­an lantai bawah (semak, herba, rumput, belukar) dan pohon-pohon
ke­cil dengan parang biasanya berlangsung selama dua minggu. Bekas
te­bas­an semak-belukar, pohon kecil, dan rumput dibiarkan membusuk
dan menjadi hara. Api tidak memainkan peranan dalam perladangan
je­nis ini dan tidak dikenal proses pengeringan untuk membersihkan
la­dang. Setelah semak dibabat, mereka menanam pisang, keladi, tebu,
dan um­bi-umbian sebagai makanan pokok selama kurang lebih dua
ta­hun. Se­te­lah tanaman komersial mulai dikenal, bersamaan dengan
pem­bu­ka­an ladang, orang Siberut lazimnya menanam nilam dan
kakao.
Sekitar dua atau tiga tahun kemudian tinungglu berubah. Pisang
su­dah habis dipanen, tumbuhan dan semak belukar sudah mulai tum­
buh. Pada saat itulah mereka mulai menanam pepohonan buah seperti
du­ri­an, kelapa, langsat, nangka, dan rambutan. Ladang yang dibuka ini
ju­ga men­ja­di tempat untuk menanam jenis-jenis tanaman komersial
yang da­pat menjadi sumber pendapatan tunai seperti kelapa, pala,
dan ceng­keh. Setelah bersemak dan tinungglu mulai tidak produktif,
la­dang perlu pemeliharaan. Secara teratur, rerumputan dan semak-
se­mak yang mengganggu tanaman pokok dan menaungi tanaman
bu­ah ditebas. Setelah itu peladang menaburkan humus tanah untuk
ta­­nam­­an. Guna memudahkan pekerjaan itu, orang Mentawai kembali
mem­­ba­ngun dangau kecil di sekitar ladang. Pondok kecil berfungsi
men­ja­di tempat istirahat saat bekerja di ladang. Lazimnya, pondok di
la­dang dilengkapi dengan kandang kecil untuk memelihara ayam dan
ba­bi. Lambat-laun, ladang itu berubah menjadi kebun buah-buahan
yang me­nye­ru­pai hutan serta semakin lengkap dengan kehadiran
pon­­dok kecil serta kandang ayam dan babi.
Transformasi hutan menjadi ladang bukanlah perkara yang se­
der­ha­na. Dalam pelaksanaannya banyak terdapat tabu dan pan­tangan,
me­li­bat­kan kepercayaan serta upacara-upacara. Pembukaan la­dang
ba­ru harus dengan meminta izin dari roh-roh leluhur di hutan. Hing­
130 Berebut Hutan Siberut

ga sa­at ini, di beberapa tempat, kepercayaan ini masih dipraktikkan,


yaitu bahwa pem­bu­ka­an ladang selalui diikuti oleh lia, dan lia di­ya­
kini akan sem­pur­na jika dilanjutkan dengan berburu hewan liar ke
hu­tan un­tuk men­da­pat­kan res­tu dari roh-roh leluhur (Darmanto
2006: 63-73). Oleh ka­re­na itu, kualitas hubungan dengan roh-roh di
dalam hutan sa­ngat pen­ting untuk menentukan tingkat keberhasilan
pengerjaan ladang.
Dalam proses mengerjakan ladang, pembukaan hutan dan pe­ne­
bang­an kayu pasti terjadi. Tidak menjadi masalah bagi orang Menta­
wai menebangi hutan untuk ladang. Artinya, penebangan kayu dan
peng­gun­dul­an hutan bukan sesuatu yang dihindari orang Mentawai.
Na­mun, pu­mo­ne­an tidak menuntut pembukaan hutan secara luas. Hal
ini bi­sa menjelaskan mengapa sampai sekarang hutan masih relatif
luas dan ber­ta­han di Siberut, meskipun selama beberapa generasi hu­
tan telah dibuka, ditebangi, dan diubah menjadi ladang.
Ada beberapa penjelasan yang bisa digunakan untuk menganalisis
kenapa perladangan orang Siberut tidak memberi tekanan terhadap
hutan:

Tabu dan Pantangan


Untuk mengelola sumber daya alamnya, orang Siberut me­ne­
rapkan banyak tabu dan pantangan (keikei) yang terkait dengan kos­
mo­loginya. Tabu-tabu dan pantangan ini melekat pada kode-kode
etik dan religius yang sangat menentukan corak tindakan individu.
Melang­gar tabu dan pan­tangan tidak langsung menyebabkan mun­
culnya sanksi sosial atau hu­kum­an dari masyarakat tetapi akan me­
nyebabkan dampak yang buruk bagi fisik dan jiwa pelanggarnya—
sakit, kecelakaan, dan kematian. Dampak buruk tidak hanya akan
me­nyerang individu yang tidak patuh terhadap tabu tetapi juga akan
di­rasakan oleh keluarga dan umanya. Pembukaan ladang tidak hanya
menyediakan kebutuhan material tetapi juga melibatkan relasi yang
mendalam pada aspek kehidupan sosial. Sebagaimana lingkungan
dan keseluruhan benda-benda memiliki roh, tindakan manusia dalam
membuka ladang juga berpotensi untuk mengubah keseimbangan
relasi antara manusia dan lingkungan. Untuk menjaga agar roh-roh
yang ada di hutan tidak murka dan untuk menjaga harmoni, proses
pembukaan ladang harus melibatkan banyak pantangan dan tabu.
Tabu yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam
akan memunculkan perilaku tertentu yang membatasi eksploitasi
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 131

hutan. Perilaku noneksploitatif yang berasal dari tabu, bagaimanapun


ju­ga, tidak melibatkan kesadaran ekologis atau konservasi (Meyers
2003: 38). Sistem pantangan ini dicirikan oleh sifatnya yang se­men­ta­
ra, gam­pang ber­ubah dan selektif hanya untuk pemanfaatan jenis-je­nis
ter­ten­tu. Sampai sekarang masih belum definitif bagaimana ta­bu dan
pantangan memberi manfaat bagi pembatasan eksploitasi un­tuk per­
la­dang­an. Setidaknya menurut WWF (1980:70), tabu dan pantangan
ikut berpengaruh terhadap rendahnya intensitas penebangan hutan
di Siberut.
Dengan percaya bahwa pohon-pohon yang besar di hutan menjadi
rumah bagi sanitu, diperlukan banyak tabu dan pantangan agar roh-
roh tersebut tidak marah. Salah satu pantangannya adalah tidak di­­
perke­­nan­kan­nya menebang pohon dalam jumlah cukup banyak. De­
ngan adanya pantangan ini, tekanan untuk menebang pohon relatif
ren­­dah. Orang Siberut percaya pohon-pohon besar yang menjulang
dan do­mi­nan di hutan Siberut seperti eilagat (Dipterocarpus baummi)
dan kara-kara (Dipterocarpus elongatus) adalah rumah bagi sanitu.
Pe­ne­bang­an pohon-pohon besar itu akan menyebabkan sanitu atau
roh-roh tertentu kehilangan rumah. Mereka akan marah kepada ma­
nu­sia. Kebanyakan orang berusaha menghindari pertemuan dengan
roh dan hantu itu, karena hantu itu dapat menyebabkan sakit, bah­
kan per­jum­pa­an dengan roh-roh tertentu bisa menjadi penyebab
kematian.
Untuk membuka hutan dan menebangi pohon-pohon besar, me­
re­ka harus menyiapkan lia tertentu dan membutuhkan babi untuk
meng­un­dang seorang dukun yang akan berkomunikasi dengan me­
reka. Sikerei akan meminta izin kepada roh-roh dan hantu-hantu agar
pe­ne­bang kayu tidak mengalami sakit atau marabahaya. Lia butuh
biaya yang tidak sedikit untuk menyediakan babi sebagai hidangan.
Wak­tu­nya pun relatif panjang dan hal ini dapat membatasi penduduk
Siberut untuk membuka hutan secara luas karena semakin luas hutan
yang akan dibuka, semakin besar lia yang harus dilakukan.
Berkaitan dengan pelaksanaan lia, setiap orang harus melakukan
pan­tang­an, meskipun pantangan ini tidak selalu terkait dengan lia.
Pantang­an ini sangat kuat membatasi orang untuk melakukan inter­
vensi ter­ten­tu terhadap hutan. Misalkan, laki-laki dilarang menebang
ka­yu be­sar atau berburu pada saat istrinya sedang mengandung anak
(Me­yers 2003: 40). Seseorang juga dipantangkan untuk masuk ke
hu­tan dan mem­buka ladang apabila salah satu keluarga sedang sa­
kit. Pan­tang­an lain adalah dilarang keras untuk menebang kayu di
132 Berebut Hutan Siberut

Gambar 6. Sikerei sedang melakukan upacara pembukaan ladang (UNESCO/


Koen Meyers/Makoto).
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 133

Gambar 6. Lanjutan.

tempat-tem­pat ter­tentu yang dianggap sebagai keramat (Darmanto


2009: 138-143). Ada banyak pantangan yang membatasi orang Siberut
me­la­ku­kan intervensi terhadap sumber daya alam.
Adanya keterkaitan pembukaan hutan dengan ide tentang ke­se­la­
ras­an dengan roh-roh dan tabu-tabu atau pantangan sering dianggap
se­ba­gai bentuk kearifan tradisional orang Siberut (Rudito 2002; Her­
na­wa­ti 2007). Mereka dipandang sebagai “ahli” yang memberi ja­min­
an ba­gi kelestarian hutan tropis (Hernawati 2007: 5-7).
Dari sini muncul anggapan bahwa gagasan tentang keselarasan
dan harmoni dengan lingkungan yang dipraktikkan masyarakat
Menta­­wai di Siberut berbanding lurus dengan ide tentang konservasi
mo­dern (Lynch dan Talbott 1995). Persoon (2001) dan Meyers (2003)
telah mengingatkan, ide keselarasan bagi orang Mentawai tidak selalu
sama dengan ide tentang keselarasan dalam ilmu ekologi yang menjadi
basis bagi gerakan konservasi alam dewasa ini.

Teknologi, Tenaga Kerja, dan Ekologi


Tidak ada bukti yang menjelaskan bahwa orang Mentawai pernah
dan bi­sa memproduksi kapak atau parang yang terbuat dari logam.
Se­be­lum kontak dengan para pedagang dari etnis lain, satu-satunya
ca­ra mereka menebang kayu di hutan adalah dengan batu-batuan
serta alat yang dibuat dari pohon palem sebagai pemotong. Tanpa
benda-benda logam, eksploitasi sangat terbatas, dan terutama akan
134 Berebut Hutan Siberut

mempengaruhi efisiensi dan investasi tenaga kerja dan waktu dalam


membuka hutan.
Kapak atau parang dikenalkan oleh etnis tetangga dari Pulau
Suma­tra melalui perdagangan. Kedua benda tersebut menjadi alat
per­tu­kar­an yang sangat penting bagi orang Mentawai (Marsden 2008:
416; Loeb 1972: 169; Asnan 2007: 165-173). Nilai penting barang-ba­
rang lo­gam itu masih tercermin hingga sekarang dengan dipakainya
pa­rang dan kapak sebagai maskawin, alat membayar denda, atau pun
alat pem­bayaran lainnya. Menurut penuturan lisan, orang Mentawai
sen­diri sering bertanya-tanya bagaimana leluhur mereka membuat
ru­mah atau sampan sebelum mengenal kapak. Salah seorang dari
na­ra­­sum­ber kami mengatakan, “Mungkin kakek kami menggunakan
daun-daunan untuk berlindung dari hujan atau terik matahari.”
Masuknya parang dan kapak mengubah pola eksploitasi ter­ha­dap
hu­tan. Orang Siberut bisa menebas pohon, membuka ladang, mem­
bu­at rumah dan sampan-sampan besar dengan bantuan kapak dan
pa­rang. Hadirnya kapak dan parang juga turut mengubah efektivitas
peng­­gu­na­an tenaga kerja. Berdasarkan eksperimen Carniero (1979
da­lam Meyers 2003: 82) di Amazon, pembukaan hutan dengan kapak
da­ri batu membutuhkan waktu 9-10 kali lebih lama dibandingkan bila
meng­gu­na­kan kapak dari besi. Versteeg dan Rostain (1999), dalam
se­buah studi di Papua Nugini, menunjukkan kapak secara signifikan
mengurangi beban tenaga kerja dan waktu dalam eksploitasi meskipun
tidak membuat pembukaan hutan berubah.
Dikerjakan secara manual, jumlah kayu dan luasan hutan yang
da­pat ditebang dengan kapak dan parang relatif terbatas. Sebagai per­
ban­dingan, sebelum ada gergaji mesin, satu uma dengan enam laki-
la­ki dewasa membutuhkan empat atau enam bulan untuk membuka
la­dang seluas 5 ha. Waktu sepanjang itu dibutuhkan untuk proses
identifikasi lokasi, menebas semak belukar dan tumbuh-tumbuhan
ukuran kecil, hingga menebang kayu-kayu besar. Gergaji mesin jauh
lebih efektif untuk menggantikan peran kapak dan parang. Dengan
gergaji mesin, membuka ladang dan membersihkan hutan seluas 5 ha
bisa dikerjakan hanya dalam waktu 18 hari.
Dari aspek tenaga kerja, pembukaan ladang lazimnya dikerja­kan
oleh laki-laki (Schefold 1991; Meyers 2003). Awal proses pengerjaan
ladang dilakukan bersama oleh anggota uma, namun setelah loka­si
di­iden­ti­fik
­ a­si dan dibagi, setiap lalep memegang otonomi yang ku­at.
Mes­ki­pun uma dipandang sebagai unit sosial, unit produksi orang Si­
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 135

be­rut berada di keluarga inti. Untuk mengerjakan ladang, ti­dak se­


mua lalep serentak ikut menggarap dan mereka secara man­di­ri me­
ngerjakan ladangnya sendiri. Rangkaian mengelola la­dang (mem­bu­ka,
menebas, menanam, memelihara) tidak pernah di­la­ku­kan secara ko­
lektif. Masing-masing keluarga inti mengambil petak la­dangnya sen­
diri dan mengerjakan ladangnya secara mandiri dengan meng­an­dal­
kan tenaga kerja dari istri dan anak-anak dalam keluarga inti. Orang
Si­be­rut tidak mengenal sistem pertukaran tenaga kerja dalam ben­tuk
yang masif dan teratur dalam mengerjakan ladang. Di Siberut, ja­
rang di­te­mu­kan adanya mobilisasi tenaga kerja untuk mengerjakan
la­dang satu uma. Struktur dan organisasi sosial yang egaliter dan tan­
pa hierarki kekuasaan membuat masing-masing keluarga inti be­bas
menginvestasikan tenaga kerja dan membatasi terbentuknya mo­bi­li­
sa­si tenaga kerja dalam skala luas. Berdasar informasi langsung yang
ka­mi kumpulkan, satu keluarga inti rata-rata hanya sanggup me­nger­
ja­kan ladang seluas 0,25-1 ha.
Kemampuan mengerjakan ladang dan teknologi ini berkaitan ju­
ga de­ngan kondisi ekologi Siberut. Siberut dicirikan oleh perbukitan
yang bergelombang dan berpuncak rata. Sebagian besar daratan Sibe­
rut di­pe­nuhi bukit-bukit terjal dengan tanah lempung yang liat dan
tidak su­bur. Bukit-bukit ini tanahnya mudah mengelupas karena erosi
hu­jan yang berintensitas tinggi. Di bawah tanah di bukit-bukit adalah
ba­tu-batuan napal yang tidak menyerap air dan tidak memiliki hara
(WWF 1980: 3). Tanah-tanah landai yang secara teratur menda­­pat
lim­pah­an humus dari erosi perbukitan dan endapan sampah hara da­ri
aliran air sungai serta cocok untuk perladangan sangat terbatas. Da­
tar­an rendah ini umumnya berada di kaki bukit atau dekat sungai be­
sar. Bila tanah ini sangat dekat dengan sungai, banjir yang terjadi se­
ca­ra rutin akan menyapu tanaman-tanaman yang ada di atasnya. Sa­at
tergenang air, ladang-ladang ini sukar dibudidayakan dan pilihan ter­
ba­ik bagi kawasan ini adalah sagu atau keladi. Investasi tenaga kerja
un­tuk membuka hutan di bukit-bukit terjal sangat besar. Mereka ha­
rus menebang kayu-kayu besar yang tidak mudah tumbang. Semak
be­lu­kar segera tumbuh dan menjalar sehabis dikepras karena cuaca
lem­bap dan curah hujan yang tinggi.
Setelah dibuka untuk beberapa saat, ladang-ladang ini segera
me­­nye­mak dan tidak berapa lama diinvasi oleh tetumbuhan hutan di
se­ke­li­ling ladang. Bibit dan propagul serta anakan pohon dan belukar
yang tidak dibakar cepat tumbuh dan bersaing dengan tanaman-ta­
136 Berebut Hutan Siberut

nam­an budidaya. Orang Siberut tidak memiliki tenaga kerja dan tek­
no­lo­gi yang bisa mengatasi percepatan tumbuhnya gulma dan belukar
ter­se­but. Mereka cenderung meninggalkan ladang yang mulai diserbu
se­mak li­ar dan tidak lama ladang itu akan bersatu kembali dengan
hu­tan. Untuk memanfaatkan sisa-sisa biomassa dari ladang yang di­
ta­nami pisang dan beberapa tanaman budidaya, lahan-lahan ini di­
man­faatkan untuk beternak babi yang dipelihara setengah liar.
Tenaga kerja dan teknologi yang terbatas ini menyebabkan kon­
ver­si hutan-hutan yang luas menjadi ladang tidak pernah terjadi da­
lam jang­ka waktu yang lama. Kombinasi dari keterbatasan teknologi,
mobilisasi tenaga kerja, dan ekologi tersebut kurang memberi tekanan
terhadap hutan, saling melengkapi dengan praktik dan pilihan ta­nam­
an yang dibudidayakan. Hal ini akan dijelaskan selanjutnya.

Corak Produksi dan Kontinuitas


Orang Siberut sangat mengagumi inovasi teknologi dan hal-hal
baru. Te­ta­pi kenapa mereka tidak menggunakan teknologi baru untuk
po­la pro­duk­si­nya? Dalam jangka waktu yang panjang, kenapa tek­
no­lo­gi—misalkan gergaji mesin atau cangkul—tidak begitu masif di­
gu­­na­kan? Mengapa mereka tidak mengadopsi teknologi khusus dan
ke­na­pa mereka bertahan dengan corak produksi ‘tradisional’? Untuk
men­ja­wab pertanyaan itu, penjelasan mengenai corak produksi orang
Si­be­rut akan sangat membantu.
Yang amat menarik dari cara berladang orang Mentawai adalah
ab­sen­nya penggunaan api dalam proses pembersihannya. Tidak se­
per­­­ti kebanyakan perladangan hutan tropis di Asia Tenggara atau di
ka­­was­an tropis lainnya yang menggunakan metode tebang dan bakar
(slash and burn) (Conklin 1957; Dove 1985; Whitmore 1984), orang
Men­ta­­wai menggunakan metode tebang dan busukkan (slash and
mulch) (Darmanto 2006; Meyers 2003: 70; WWF 1980: 70). Praktik
ini mem­beri keuntungan bagi percepatan peremajaan tumbuhan. Ti­
dak ada­nya proses pembakaran menyebabkan propagul dan be­nih
tum­­buh­an dari hutan yang tersimpan dalam tanah tidak mati se­hing­
ga regenerasi hutan lebih cepat dibandingkan dengan di tempat la­in
yang melibatkan proses pembakaran (Darmanto 2006: 92). Tak di­gu­
na­kan­nya api dalam pembukaan ladang juga berkaitan dengan pro­ses
produksi makanan pokok mereka. Orang Mentawai tidak me­ngem­
bang­kan jenis padi-padian seperti padi atau jagung sebagai ma­kan­an
pokok. Selain sagu dan pisang, mereka hanya menanam umbi-um­bi­an
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 137

seperti keladi dan talas.


Pilihan untuk membudidayakan makanan pokok dari jenis umbi-
umbian sangat cocok dengan ekologi Siberut yang basah dengan curah
hu­jan yang tinggi. Sepanjang tahun, hujan turun dengan lebatnya. De­
ngan curah hujan tinggi, gulma dan rumput cepat tumbuh dan men­
jadi faktor penghambat. Tanaman sereal (jagung, padi) ti­dak akan
ber­produksi dengan baik dalam kondisi basah tanpa musim ke­ring
yang pan­jang. Jenis-jenis makanan pokok dari umbi-umbian le­bih ta­
han terhadap hama dan mampu bersaing dengan gulma. Je­nis um­bi-
umbian juga tidak memerlukan perawatan yang intensif da­ri gul­ma
dan hama (gangguan burung-burung dan mamalia kecil se­per­ti babi
hutan). Dengan jenis tanaman yang tidak memerlukan pe­ra­wat­an
yang intensif, penggunaan api untuk membersihkan hutan dan meng­
hi­lang­kan gulma pun tidak diperlukan.
Pemilihan jenis tanaman budidaya mempengaruhi jenis teknik
ber­­­la­dang yang dikembangkan. Perladangan orang Siberut tidak
mem­­­be­ri tekanan pada eksploitasi hutan karena untuk mencukupi
ke­­bu­­tuh­an po­kok, mereka tidak terlalu tergantung dari pembukaan
la­dang. Ma­kan­an pokok—sagu (Metroxylon sago), pisang, dan keladi
(Co­lo­ca­sia esculenta)—dibudidayakan di ekosistem yang terpisah—
pu­sa­gu­at dan pugettekeat. Pembukaan hutan hanya digunakan untuk
me­na­nam tanaman buah (durian, langsat, nangka, dll) atau tanaman
ko­mer­si­al (cengkeh, nilam). Kedua jenis tanaman terebut sangat pen­
ting sebagai penanda status sosial dan kekayaan. Kepemilikan ta­nam­
an komersial dan buah ini digunakan dalam pertukaran sosial se­
per­ti dalam pembayaran mas kawin atau denda. Fungsi efisiensi dan
pro­duk­ti­vi­tas ladang sebagai pemenuhan kebutuhan konsumsi ti­dak
menjadi tujuan paling penting. Ladang tidak difungsikan untuk me­
me­nuhi kebutuhan paling penting (makan dan minum) dan titik te­
kan­nya untuk memenuhi fungsi sosial.
Kombinasi dari semua hal di atas (teknologi, kondisi ekologi, pi­lih­
an ta­nam­an, produksi subsisten, dan fungsi sosialnya) menyebabkan
per­la­dang­an tidak memberi tekanan yang hebat untuk pembukaan
hu­tan. Se­ring­ka­li, ladang yang telah diusahakan tidak dirawat intensif.
Me­re­ka ti­dak menghabiskan waktu sepanjang hari untuk mengun­jungi
la­dang dan me­ra­wat tanaman. Setelah pohon buah beranjak besar, me­
re­ka datang sesekali untuk memanen tanaman pokok seperti pisang
atau um­bi-um­bian. Dengan lokasi yang berada di perbatasan hutan,
se­ti­ap saat biji dan propagul dari hutan dengan mudah menginvasi la­
138 Berebut Hutan Siberut

dang baru. Invasi ini menyebabkan ladang kembali memiliki karakter


dan vegetasi menyerupai hutan dalam waktu yang relatif cepat. Ketika
la­dang sudah menyerupai hutan, tenaga kerja tidak diarahkan untuk
me­me­li­ha­ra­nya. Seringkali, tenaga kerja untuk memanen pohon bu­
ah ti­dak cukup, dan kebanyakan biji-bijian dari pohon yang masak
tum­buh men­jadi tunas dan menyebabkan ladang semakin lebat dan
me­mi­liki karakter dan struktur seperti hutan.
Manajemen perladangan dan kaitannya dengan faktor produksi
ber­im­pli­ka­si terhadap cara pandang masyarakat Siberut terhadap hu­
tan. Hu­tan yang berasal dari pumonean akan tetap diklaim sebagai
la­dang la­ma (pumonean siburuk) dan status kepemilikan terhadap
po­hon yang ditanam sangatlah penting. Namun, dengan karakter hu­
tan yang ada di dalamnya, fungsi ekonomi dan subsistensi pohon itu
se­ring diabaikan. Pencampuran karakter hutan dan ladang dewasa
ini me­nyu­lit­kan pemberian kategori. Walaupun pohon buah-buahan
men­ja­di bagian penting untuk menandai kepemilikan sumber daya
se­ca­ra sosial, tetapi pohon ini tumbuh menyatu dengan hutan, atau
se­ku­rang-ku­rang­nya bagian dari hutan. Jenis tumbuhan yang ada di
hutan terdapat pula di pumonean. Sementara jenis-jenis tumbuhan di
pu­mo­nean ditemukan pula di hutan (leleu). Bekas pumonean kadang-
ka­dang juga disebut leleu oleh masyarakat. Dalam kasus Siberut, ke­
nya­ta­an ini meruntuhkan konsep kaku antara pemanfaatan sumber
da­ya alam yang didomestikasi dan yang tidak didomestikasi. Vegetasi
pa­da pumonean tidak bisa dilihat homogen, tetapi merupakan kom­bi­
na­si antara hutan atau perladangan.
Di sini terdapat ambivalensi hubungan antara yang simbolik dan
yang prak­tis, antara manusia dan hutan. Dalam hubungan simbolik,
te­ra­sa ada tekanan yang mengarahkan bahwa hutan termasuk ka­te­
gori yang berbahaya, antisosial, dan menakutkan. Hutan adalah tem­
pat roh-roh yang bisa menyebabkan manusia celaka. Tetapi dalam
hu­bung­an praktis, seperti yang ditunjukkan di atas, hutan selalu ber­hu­
bung­an dengan manusia. Di batas-batas ladang dan hutan, hubungan
ma­nu­sia dan hutan selalu bersifat kontinu dan erat. Hubungan yang
ber­si­fat ambivalen ini menjadikan corak hubungan antara manusia
de­ngan hutan berada dalam ketegangan dan selalu bersifat negosiatif.
Da­lam aspek simboliknya, ambivalensi ini dapat diatasi melalui ne­
go­sia­si dengan lia, sementara dalam aspek praktis diperantarai oleh
per­la­dang­an.
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 139

Ambivalensi hubungan ini menyebabkan kategori hutan sebagai


ru­ang yang antisosial menjadi problematis. Meskipun terdapat konsep
te­gas antara permukiman (pulaggajat, barasi) yang memiliki ciri sosial
ku­at dan leleu yang memiliki sifat bahaya (Reeves 2004), konsep ru­
ang di ma­na permukiman manusia, ladang, dan hutan bersifat saling
me­leng­kapi. Orang yang pergi dari kampung satu ke kampung lainnya
un­tuk mengunjungi kerabat atau meningkatkan pertemanan harus
me­lin­tasi sungai atau hutan. Dengan demikian, hutan bisa dimaknai
se­ba­gai tempat yang menghubungkan satu kampung dengan kampung
yang lain, dan bukan memisahkan.
Aspek negosiasi dan ambivalensi ini semakin kuat bila kita me­li­
hat perladangan, yang pada tahapan tertentu, membuat hutan men­
ja­di gundul dan mengurangi jumlah pohon kayu. Tetapi, pada ta­hap
selanjutnya, ladang dapat meningkatkan jumlah tanaman peng­ha­sil
makanan pokok, lalu meningkatkan tegakan jenis tanaman yang ber­
nilai kul­tu­ral, menghasilkan produk komersial (manau, nilam, ceng­
keh), dan akhir­nya menciptakan petak-petak hutan produktif secara
kul­tu­ral di daerah yang relatif gampang dijangkau, serta men­ciptakan
hu­tan buah-buahan.
Hubungan khusus antara hutan dan ladang ini—yang seharusnya
ber­­sifat antagonis (hutan lebih spriritual, ladang lebih material)—
men­ja­di tidak mungkin terlaksana sepenuhnya karena adanya corak
pro­duk­si subsisten makanan pokok yang dibudidayakan. Penolakan
hu­bung­an yang bersifat antagonis dicirikan oleh sekurang-kurangnya
dua hal. Pertama, ciri kontinuitas yang secara mendasar dapat dilihat
da­ri rezim pertanian yang diusahakan. Pertanian umbi-umbian dapat
di­aso­sia­si­kan dengan kesan menyatu antara alam dan budidaya, ber­
be­da dengan tanaman dari benih yang cenderung menekankan per­
alih­an yang mendadak dari alam ke kebudayaan (Croll dan Parkin
da­lam Ellen 2002). Sagu, pisang, dan keladi yang dibudidayakan
orang Si­be­rut juga dapat diasosiasikan dengan pandangan tersebut;
su­lit di­be­da­kan, apakah yang dilakukan orang Siberut ini bersifat
me­­ngum­pul atau mengolah (Darmanto 2006: 95, bandingkan Ellen
2002 untuk kasus Seram), dan hubungan tersebut senantiasa dijaga
me­lalui lia atau tabu-tabu.
Kedua, ladang menjadi penting karena titik temu antara hu­tan
yang bersifat dan bernuansa supranatural dengan permukiman yang
banyak membutuhkan hal-hal praktis dan bersifat material. Upa­ca­ra-
upa­ca­ra yang rumit sebelum, selama, dan sesudah membuka ladang
140 Berebut Hutan Siberut

menjadi perantara bagi hubungan-hubungan yang menerus, ti­dak


hanya antara manusia dan roh-roh di dalamnya, tetapi juga de­ngan
tum­buh­an, hewan di alam, dan tindakan manusia itu sendiri. Hutan,
setelah dibuka, kehilangan nilai spiritualnya tetapi fungsi sim­bo­lik­nya
tetap bertahan. Fungsi simbolik hutan bagi manusia ini meng­alami
transformasi yang bersifat permanen, yakni bahwa hutan pu­nya arti
penting dalam menyediakan kebutuhan manusia.
Hutan yang diubah menjadi perladangan paling sering menjadi
ba­­han cerita sehari-hari. Di Siberut, cara yang lazim untuk mengingat
apa yang telah terjadi di masa lalu dan peristiwa-peristiwa penting
da­lam keluarga adalah dengan mengisahkan sejarah pembukaan hu­
tan dan ke­pe­mi­lik­an ladang. Bagaimana status hutan tersebut pada
awal­­nya (di­te­mu­kan, dibeli, atau merupakan sebuah hasil denda),
de­­ngan apa dibeli atau disewa, berapa jumlah pembayarannya, atau
je­nis peng­gu­na­an­nya (menjadi ladang, tempat keramat, tempat per­
bu­­ru­an, atau mencari rotan) menjadi sejarah yang sangat penting.
Me­re­­ka akan mengingat kakek atau kerabat mereka dan siapa saja
yang ha­dir dalam peristiwa perubahan hutan menjadi ladang (tiboi
mo­ne) ter­se­but dan bagaimana mereka terlibat. Setiap uma akan
meng­ingat ladang-ladang mereka, lokasinya, dan dengan cara itu se­
ja­rah pembukaan hutan atau ladang merupakan peristiwa sosial yang
penting.

Ambivalensi dan Negosiasi:


Relasi Mendua dengan Hutan
Orang Siberut telah membangun relasi dengan hutan semenjak
me­re­ka ada di pulau tersebut. Mereka telah berinteraksi dan mengelola
hu­tan secara produktif sejak lama. Hal ini menegasikan pemikiran
bah­wa hutan Siberut bukanlah “hutan perawan” yang tak terjamah
ma­nu­sia. Komposisi vegetasi hutan Siberut telah ditandai dengan ciri
an­tro­po­sentrisme yang kuat. Ciri antroposentrisme ini dengan baik
ter­buk­ti dari bercampurnya tanaman domestifikasi dan tanaman liar
di da­lam hutan maupun di dalam ladang. Bukti floristik hutan tropis
Si­be­rut mengekspresikan hubungan orang Mentawai dan hutan yang
ber­si­fat antropomorfik (Anonim 1995; Schefold 1991: 3). Hutan ada­
lah bagian ekosistem yang meskipun dikesankan sebagai ruang an­
ti­sosial, tetapi manusia harus tetap membangun relasi dengannya.
Se­per­ti yang dibuktikan dalam pemaparan asal-usul kehidupan roh di
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 141

Gambar 7. Penduduk Siberut pulang dari ladang (pertama: Makoto; kedua:


Puailiggoubat).

hu­tan dan aturan kehidupan di dalamnya, manusia dan hutan berasal


dari entitas yang sama dan memiliki sifat yang sama.
Dengan melihat hubungan simbolik orang Siberut dengan hu­tan,
bia­sa­nya orang akan berpandangan bahwa masyarakat Siberut mem­
pu­nyai apa yang belakangan sering disebut sebagai kearifan tra­di­si­
o­nal. Pandangan itu menyelipkan gagasan esensialisme, bahwa ma­
sya­ra­kat Siberut ditakdirkan mempunyai kearifan tradisional da­lam
pengelolaan alam. Hubungan antara orang Mentawai dengan hu­tan
tidak dapat disederhanakan sebagai “kehidupan yang selaras”. Ke­te­
rang­an yang menyebutkan orang Mentawai adalah “penjaga hutan”
142 Berebut Hutan Siberut

atau “suku yang bijak” dengan mudah membelokkan citra kita kepada
ma­sya­ra­kat yang masih terikat tradisi dengan kuat dan memelihara
hu­bungan yang selaras dengan alam. Hubungan orang Siberut dengan
hu­tan berkait erat dengan sistem produksi, ketersediaan teknologi
dan te­na­ga kerja, serta struktur sosial yang melingkupinya. Hal ini
ber­­­be­da dengan dasar-dasar keseimbangan dalam konsep ekologi
yang tu­rut dipengaruhi oleh kesadaran politik wacana global tentang
ling­kung­an (Ellen 2002: 237).
Ciri hubungan antara manusia, hutan, dan roh-roh di dalamnya
ada­lah negosiasi. Hubungan-hubungan ini harus selalu diuji se­pan­­jang
waktu melalui pelaksanaan lia dan tranformasinya melalui per­la­­dang­
an. Kedua cara tersebut melibatkan banyak tabu dan pantangan. Ne­go­
sia­si terjadi karena terdapat ambivalensi persepsi terhadap hu­tan. Di
satu sisi, hutan merupakan tempat menakutkan dan sebisa mung­kin
harus dihindari karena diasosiasikan dengan kematian (tem­pat roh-
roh orang yang meninggal), tempat tinggal sanitu—baik yang ja­hat
maupun yang baik—maupun sumber mara bahaya (tertimpa po­hon,
jatuh ke dalam jurang). Di sisi lain, hutan merupakan tempat un­tuk
me­me­nuhi kebutuhan manusia sehari-hari agar terus hidup (kayu un­
tuk sam­pan, tumbuhan obat untuk kesehatan, bahan makanan untuk
kon­sum­si sehari-hari, dll), serta juga jalur perlintasan ke kampung
la­in. De­ngan cara ini, orang Siberut berpandangan ada hutan yang
bo­leh di­eks­ploi­ta­si, ada yang bebas intervensi dengan dikeramatkan,
dan ada juga yang merupakan kombinasi keduanya. Kadang, suatu
wak­­tu hutan bisa dikeramatkan, namun beberapa lama kemudian,
tidak keramat lagi.
Hubungan negosiatif ini berlangsung terus-menerus sehingga
ber­­si­fat mendua (Schefold 2002). Peranan hutan selalu diasosiasikan
de­ngan marabahaya, akan tetapi dipercaya bahwa bahaya selalu bisa
di­ke­lo­la untuk mencapai keuntungan manusia. Hutan sering dikaitkan
de­ngan sikap religius, akan tetapi manusia dapat mengontrol, meng­
ubah, meningkatkan manfaatnya, dan—dalam pelbagai tingkatan—
menguasainya, misalnya, melalui tindakan praktis seperti berladang
yang dimediasi oleh lia.
Hubungan yang negosiatif ini sangat menentukan persepsi orang
Siberut terhadap hutan. Hutan-hutan yang berada didekat per­mu­
kim­an, yang sering dikunjungi untuk dimanfaatkan sehari-hari cen­
de­rung dianggap kurang berbahaya. Hutan yang sering dilintasi un­tuk
pergi ke ladang atau berbatasan dengan ladang, yang sebagian isi­nya
secara berkala diambil—rotan untuk kerajinan, tumbuhan obat, atau
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 143

kayu-kayu untuk sampan—ciri spiritualnya relatif kurang. Un­tuk


memasuki hutan jenis ini, mereka tidak harus melakukan lia, mes­ki­
pun persembahan (panaki) masih harus dilakukan untuk bernegosiasi
dengan roh-roh yang ada di dalam hutan.
Sementara hutan-hutan yang berada jauh dari permukiman, yang
ha­nya dikunjungi sesekali untuk berburu, dianggap lebih berbahaya.
Roh-roh dan sanitu yang jahat dianggap lebih banyak menghuni hu­
tan-hu­tan yang lokasinya jauh dan tidak mudah diakses. Semakin su­
lit akses ke dalam hutan—karena alasan-alasan yang bersifat teknis
(me­lin­tasi jurang, penuh rawa dan semak berduri)—maka semakin
res­pek orang terhadap hutan. Semakin jarang hutan ini dimasuki ma­
nu­sia, nilai spiritualnya cenderung sangat tinggi. Orang lebih ta­kut
memasuki hutan yang dipenuhi pohon-pohon besar, rapat, dan ca­
ha­ya tidak bisa masuk ke dalam tanah—ahli biologi atau kehutanan
meng­ka­te­go­ri­kan­nya sebagai hutan primer. Ketakutan akan tersesat di
hutan, tertimpa kayu, dan bertemu roh-roh di hutan menghindarkan
orang untuk masuk dan melakukan intervensi terhadap hutan jenis
ini. Orang harus melakukan upacara persembahan (panaki) untuk
me­­ma­suki kawasan hutan ini. Mereka harus melakukan lia untuk me­
minta izin ke dalamnya.
Kadar nilai ‘sekuler’ sekaligus ‘spiritual’ hutan bervariasi seturut
pe­mi­lah­an-pemilahan yang kompleks, tidak hanya pemanfaatannya
te­ta­pi juga lokasi dan komposisi serta tipe hutannya. Untuk tipe hu­
tan primer atau hutan rawa yang sukar diakses, nilai spiritualnya
cen­­derung lebih besar daripada nilai materialnya. Begitu sebaliknya,
hu­tan-hutan yang berada di dekat perladangan atau permukiman le­
bih bernuansa material. Namun dapat dikatakan bahwa kedua ciri
ter­se­but hadir bersamaan, dengan kualitas yang berbeda. Kualitas
hu­­bung­an manusia dengan hutan sangat tergantung dari konteks hu­
bung­an yang dijalaninya sepanjang waktu. Hubungan ini bersifat ti­
dak stabil. Untuk beberapa orang atau uma, hutan tertentu dianggap
ber­bahaya, tetapi untuk uma lain, hutan tersebut bisa saja dianggap
tidak berbahaya.
Kombinasi dari hubungan dengan hutan yang bersifat ambivalen
ini menyebabkan kategori hutan itu adalah ekosistem yang bukannya
tidak boleh disentuh atau tidak mengalami transformasi akibat cam­
pur tangan manusia. Hutan adalah objek sekaligus subjek yang te­rus-
me­ne­rus berubah. Hutan adalah sesuatu yang bisa dan harus di­man­
fa­at­kan untuk kehidupan sehari-hari. Hutan tersebut boleh dirusak
144 Berebut Hutan Siberut

de­ngan cara harus ditebangi pohon-pohonnya. Secara material, setiap


uma, de­ngan alasan-alasan tertentu, harus terus-menerus membuka
la­dang yang luas, yang berisi tanaman-tanaman buah sebagai tanda
ke­he­bat­an dan kekayaan, atau mengoleksi sampan-sampan yang ba­
gus dari kayu yang berkualitas. Di sisi lain, hutan merupakan bagian
da­ri kehidupan spiritual dan sumber-sumber religius. Hutan adalah
tem­pat roh-roh, sanitu dan komponen nonmanusia yang sangat pen­
ting bagi manusia untuk memelihara hubungan yang harmonis de­
ngan­nya. Ketegangan sisi simbolik dan material hutan ini secara ber­
ke­si­nam­bung­an telah membentuk hutan Siberut yang tidak tung­gal.
Perbe­daan penggunaan, perbedaan ekologi dan topografi—se­per­ti
juga tipe vegetasinya, dan perbedaan sejarah hubungannya—mem­pe­
nga­ruhi keragaman persepsi orang Siberut tentang hutan. Hutan, de­
ngan demikian di Siberut, tidaklah tunggal dan sama. Kategori hutan
sa­ngat ditentukan oleh relasi yang terbentuk antara manusia dengan
hu­tan­nya.
Pola hubungan yang bisa dinegosiasikan dengan hutan ini ha­
nya­­lah salah satu aspek kehidupan yang melandasi kehidupan orang
Si­be­rut. Sebuah kajian mengenai perubahan-perubahan tabu (keikei)
yang ber­pe­nga­ruh besar dalam peternakan subsisten (Schefold 1979;
Me­yers 2003: 76) membuktikan bahwa hubungan antara manusia de­
ngan komponen nonmanusia (hutan, hewan liar, hewan ternak) se­la­lu
terkait dengan sejarah. Intervensi manusia terhadap hutan dan sum­
ber daya alam dapat berubah sepanjang waktu, tergantung dari proses
uji co­ba dan pengujian terus menerus hubungan itu.
Ada banyak hutan yang dahulunya ditakuti dan dipelihara serta
di­lin­dungi, namun kemudian dieksploitasi. Untuk hutan primer yang
sukar dijangkau orang takut masuk ke dalamnya dan huta itu dilihat
se­ba­gai tem­pat yang berbahaya. Persepsi bahaya ini menyebabkan hu­
bung­­an de­ngan hutan relatif sedikit dan karena itu eksploitasinya juga
ter­ba­tas. Akan tetapi, jika pada suatu saat ada seseorang menebangi
ka­yu di hutan itu dan ternyata baik-baik saja, tidak celaka atau sakit,
orang pun kehilangan rasa takut. Sebaliknya, ada tempat-tempat yang
du­lu­nya sering dikunjungi dan merupakan tempat yang biasa ke­mu­
dian menjadi dilindungi dari eksploitasi setelah ada orang yang sa­kit
atau mengalami marabahaya dan kecelakaan ketika sedang meng­eks­
ploi­tasi tempat itu (Darmanto 2009: 154).
Hubungan negosiatif ini berakar dari persepsi mendua antara
peng­hor­mat­an/ketakutan dan spiritual/material yang bersifat tidak
Orang Siberut dan Sumber Daya Alamnya 145

sta­bil dan tidak pernah kekal. Relasi yang terbentuk adalah sebuah ca­
ra un­tuk menjaga ketegangan antara kutub satu dan yang lainnya se­
hing­ga hubungan yang terjadi dalam realitas sehari-hari adalah ba­gai­
ma­­na persepsi yang bertentangan itu dikelola. Jika ada anggota uma
yang memasuki hutan untuk membuat ladang jatuh sakit, me­re­ka
akan melanggengkan persepsi bahwa hutan tersebut memang ber­ba­
ha­ya dan harus dihormati. Suatu hari kemudian, seseorang yang sama
ber­kun­jung lagi dan dia tidak merasakan sakit maka status bahaya
ter­se­but akan mengalami pergeseran.
Pandangan tentang hutan dan intervensi manusia terhadapnya
se­la­lu berubah sesuai dengan tingkat kebutuhan dan masuknya nilai-
ni­lai ba­ru. Sejarah hubungan dengan hutan pada masing-masing
tem­pat meng­in­di­ka­si­kan proses bahwa hutan bukanlah tempat yang
men­­da­hu­lui kategori sejarah manusia. Persepsi tentang hutan be­rang­
kat dari intervensi manusia. Pandangan ini membuktikan kos­mo­lo­gi
orang Mentawai yang menyatakan bahwa manusia selalu me­nem­pati
posisi sentral dan merupakan titik tolak dari keseluruhan kos­mos
yang melingkupinya (bandingkan Schefold 1991: 15). Dalam per­bin­
cang­­an sehari-hari, orang Siberut menyatakan menjunjung ting­gi
keberadaan hutan. Mereka menyukai cerita-cerita mengenai pan­tang­
an dan tabu-tabu, upacara, dan ritual. Mereka akan dengan senang
ha­ti menceritakan diri mereka sebagai masyarakat yang memelihara
hu­bung­an yang harmonis dengan roh-roh dan hutan-hutannya. Te­ma-
te­ma ten­tang keselarasan dan penghormatan terhadap roh-roh peng­
hu­ni hutan diakui, diajarkan, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Akan te­ta­pi, secara bersamaan, setiap hari hutan ditebang, dirusak,
dan di­gun­duli untuk berladang dan menanam tanaman komersial, se­
ring dengan alasan untuk akumulasi kekayaan, meningkatkan gengsi
so­si­al atau ingin memiliki kejayaan yang lebih besar dari lingkungan
ke­te­tang­ga­an mereka.
Ketidakstabilan hubungan dengan hutan ini memudahkan ter­
ja­di­nya perubahan. Pandangan mengenai hutan sebagai tempat roh-
roh, sumber tanaman obat, atau sumber kebutuhan subsisten akan
ber­gan­ti atau bergeser ke hubungan yang lain ketika muncul mode
pro­duk­si baru yang mengubah kebutuhan tenaga kerja, cara produksi
ba­ru masuk, dan orang-orang meninggalkan makanan pokok dan ke­
hi­dup­an subsisten. Ketakutan terhadap roh-roh sedikit demi sedikit
akan ber­geser ketika persepsi tentang roh-roh juga berubah. Konversi
aga­­ma monoteistik, masuknya negara, dan masuknya pola produksi
146 Berebut Hutan Siberut

ba­ru yang berorientasi komersial merangsang perubahan-perubahan


hu­­bung­an antara hutan dan orang Siberut, seperti yang akan dibahas
da­lam bab selanjutnya.
Bab 4
Atas Nama
Pembangunan dan Kemajuan:
Negara, Pasar, dan Hutan

Teritorialisasi adalah konsep yang dapat digunakan untuk me­


li­hat proses bergesernya kekuasaan masyarakat Siberut terhadap
hu­tan. Is­ti­lah teritorialisasi didefinisikan Vandergeest dan Peluso
(1995: 387) se­ba­gai “membagi wilayahnya menjadi zona-zona politik
dan eko­no­mi yang kompleks dan saling bertumpang tindih, mengatur
kem­ba­li penduduk dalam unit-unit tertentu dan membuat aturan yang
mem­ba­tasi ba­gai­mana dan oleh siapa wilayah ini dimanfaatkan”. Pro­
ses ini meng­an­dal­kan pembuatan peta, sensus, pendaftaran jumlah
per­mu­kim­an, penetapan batas hutan, dan penggolongan kawasan de­
ngan penilaian tertentu dan penciptaan undang-undang (UU) (Van­
der­geest dan Peluso 1995: 388; 2006)
Inisiatif pendefinisian, penetapan, dan metode penataan serta
pemanfaatan suatu wilayah telah berlangsung di Jawa-Madura sejak
era ko­lo­nial melalui asas domein verklaring meskipun baru efektif di
se­ba­gi­an besar pulau-pulau luar usai Perang Dunia II (Vandergeest
dan Pe­lu­so 2001: 762; 2006). Setelah berakhirnya kekuasaan kolonial,
cam­pur tangan pemerintah terhadap tempat-tempat seperti Siberut
se­ma­kin mendapat pembenaran melalui wacana masyarakat terasing
dan ke­bu­tuh­an akan pembangunan (Tsing 1998). Seiring mantapnya
pro­ses teritorialisasi, pemerintah memberikan definisi khusus tentang
ma­sya­ra­kat di sekitar hutan dan praktik-praktik yang berhubungan
de­ngan­nya se­ba­gai tidak tertib, tradisional, dan memerlukan “pem­
ba­ngun­an” (Peluso 2006, Barber 1989).
148 Berebut Hutan Siberut

Negara menguatkan klaim untuk campur tangan resmi melalui


em­pat hal (Li 2002b), yaitu: 1) penentuan status sebagian besar la­
han sebagai hutan, 2) pembangunan perkebunan skala besar dan
per­mu­kim­an transmigrasi dari daerah yang telah maju tetapi pa­dat
penduduknya ke daerah yang kaya sumber daya alam tetapi ter­be­la­
kang, 3) pengaturan permukiman migran spontan, 4) dan pemukiman
kem­ba­li kelompok yang disebut sebagai masyarakat terasing ke desa-
desa yang dikelola secara tertib.

Rezim Kehutanan Orde Baru


Di Siberut, hubungan antara hutan dan penduduknya menjadi
ber­be­da setelah keluarnya UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ke­ten­tu­an Pokok Kehutanan (UU Kehutanan). Undang-undang ini
menetapkan tiga per­em­pat dari luas lahan di Indonesia, sebagian
besar di daerah-dae­rah yang dianggap sebagai pedalaman, sebagai
hutan. Proses pe­ne­tap­an sebagai kawasan hutan menggeser pe­ngua­
sa­an orang Si­be­rut terhadap hutannya. Hutan ditetapkan, di­pe­ta­kan,
dibatasi, dan di­ka­te­go­ri­sa­si­kan. Penduduk di kawasan hutan di­­hi­
tung dan dimasukkan da­lam tabel resmi. James Scott (1998) me­nye­
but proses ini sebagai “sta­te sim­pli­fic­ a­tion” di mana negara meng­
klasifikasikan penduduk dan lanskap, dan menjadikan mereka sebagai
objek observasi dan sa­sar­an intervensi. Hal ini memberikan alasan
bagi negara untuk lebih me­ngon­trol penduduk dan sumber daya alam.
Penduduk di sekitar hutan yang umum­nya terpencil dan jauh dari
pusat kekuasaan dianggap per­lu mendapatkan “pembangunan” ka­
rena memiliki sifat-sifat yang ter­be­la­kang, bodoh, dan kurang disiplin
(Tsing 1998; Persoon 1997). Me­re­ka juga dibebani pandangan khusus,
yakni sebagai kelompok yang me­mi­liki tingkat kesadaran rendah,
tidak berpikiran maju, dan ti­dak memiliki kesadaran yang cukup atas
pelestarian hutan (Koen­tja­ra­ning­rat 1993; Anonim 1994; Persoon dkk
2004).
Orde Baru memulai kampanye kepemerintahannya de­ngan
me­­­­lun­­­­cur­kan kebijakan pembangunan—yang lebih tepat di­ar­ti­kan
sebagai pembangunan ekonomi. Untuk mencapainya, ne­ga­ra meng­
gu­nakan dua strategi (Li 2002, 2007). Yang pertama, per­tum­buh­­
an yang menekankan aspek pengelolaan sumber daya alam. Stra­te­gi
ini sangat tergantung kepada ekspor migas, kayu, mineral, dan ha­­sil
pertanian. Kedua, pemerintah melaksanakan kebijakan untuk mem­fa­
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 149

si­li­ta­si sektor swasta dan pertumbuhan ekonomi berorientasi eks­por,


yang sangat tergantung dari produksi barang-barang pabrik (World
Bank 1994). Pidato Soeharto dalam pembukaan Kongres Ke­hu­tan­an
Dunia 1978 mencerminkan pandangan tentang hutan se­ba­gai sum­ber
pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan:
Produksi kehutanan akan semakin meningkat di masa depan un­
tuk beberapa alasan yang sudah diperkirakan, misalnya me­nye­
dia­kan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan ma­sya­ra­
kat, dan mendukung pembangunan industri serta meningkatkan
du­kung­an bagi perdagangan luar negeri (Ross 1984: 11).

Pernyataan tersebut meringkaskan pandangan pemerintah me­


nge­nai hutan sebagai sumber daya yang siap untuk dieksploitasi guna
me­ning­kat­kan pendapatan, menyediakan lapangan kerja, keuangan,
dan sumber pembangunan ekonomi. Cara untuk memperlancar pe­
man­fa­at­an hutan ini adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang memfasilitasi
ma­suk­nya modal asing, khususnya modal terkait dengan eksploitasi
sum­ber daya alam. Di bawah UU Kehutanan, hampir sepertiga ta­nah
di In­do­nesia dikategorikan sebagai hutan. Li (1999; 2002) me­nya­
ta­kan bahwa dengan definisinya sebagai hutan penduduk yang ber­
ada di dalam atau sekitarnya, yang tidak dapat menunjukkan buk­ti
kepemilikan secara sah, didefinisikan sebagai penduduk liar. Sta­tus
sebagai warga liar ini membuat mereka sangat rentan diusir dan di­
pin­dah­kan oleh aktor-aktor lain, seperti perusahaan kayu dan peru­sa­
ha­an lain yang mendapatkan izin dari negara.
Dua tahun setelah pemberlakuan UU Kehutanan, pemerintah
mem­­per­luas eksploitasi sumber daya hutan di pulau-pulau di luar Jawa
de­ngan pembukaan besar-besaran area pengambilan kayu komersial
(Cas­son dan Obidzinki 1991). Satu dekade setelah berkuasa, lebih dari
503 izin konsesi telah dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan (PT
Da­ta Con­sult dalam Ross 1984). Kebanyakan konsesi penebangan kayu
di­berikan kepada konglomerat kehutanan yang memiliki kedekatan
de­ngan keluarga penguasa dan militer (Casson dan Obidzinki 2002).
Se­ba­gai misal, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan, anak-
anak Soeharto mendapatkan hak konsesi yang mencakup 1.360.763
ha hutan selama lebih dari 20 tahun (ICW 1999). Kendati mendapat
pro­tes dan perlawanan yang kuat dari masyarakat di beberapa tempat
pa­da awal pelaksanaannya (Peluso 2006), eksploitasi berjalan terus
150 Berebut Hutan Siberut

dan se­ma­kin tinggi. Bantuan kekuatan militer seringkali digunakan


pe­ngu­asa dan pengusaha untuk mengontrol sumber daya dan kawas­
an hu­tan (Li 2002; Tjitradjaya 1993).
Pada 1980, Menteri Pertanian memberi arahan kepada pe­me­rin­
tah provinsi di luar Jawa untuk membuat Tata Guna Hutan Ke­se­pa­
kat­an (TGHK) sebagai penyelesaian masalah intersektoral (McCarthy
2000a). Dengan membentuk TGHK, pemerintah memfasilitasi pem­
ba­ngun­an industri kehutanan, khususnya melalui pembagian akses
dan hak penguasaan hutan secara lebih mantap. Melalui TGHK, hu­
tan diklasifikasikan menjadi empat tipe (Moniaga 1993; McCarthy
2000a: 103), yaitu: 1) Suaka Alam atau Kawasan Konservasi yang
men­­ca­kup 18,8 juta ha; 2) Hutan Lindung, lebih dari 30,8 juta ha; 3)
Hu­tan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas, yang mencakup total
64,3 juta ha, di mana perusahaan kehutanan memegang secara tidak
lang­sung kekuasaan dengan pemberian hak sewa jangka panjang me­
la­lui Hak Penguasaan Hutan; 4) Hutan Konversi atau Hutan Produksi
yang bisa dikonversi. Untuk status hutan yang terakhir ini, negara
mem­beri kekuasaan kepada usaha perkebunan dan pemegang Hak
Gu­na Usa­ha (HGU) untuk menyewa kawasan hutan dari negara. Se­
ti­ap ketegori hutan diberi definisi tersendiri untuk mendapatkan ak­
ses­nya dan setiap pihak yang ingin mendapatkannya harus disaring
me­la­lui proses administrasi yang ditentukan oleh aturan perundang-
un­dang­an.
Siberut tidak luput dari jangkauan kebijakan negara tersebut.
Da­lam rangka melegitimasi penguasaan atas Siberut, negara meng­
u­mum­­kan seluruh area di Siberut adalah Kawasan Hutan Negara
(KWN) (WWF 1980). Pada awalnya, proses penunjukan Siberut se­
ba­­gai zona hutan dilakukan di Jakarta. Peta-peta disiapkan di atas
me­ja dan tidak dilakukan melalui studi terperinci. Sebelum peta-peta
di­buat, batas-batas kawasan hutan ditentukan, dan survei yang lebih
man­tap dilakukan, Siberut telah dibagi habis dalam zona konsesi pe­
ne­bang­an. Dalam peta yang keluar pada 1976, belum terdapat ka­te­
gori dan klasifikasi sebagai hutan produksi atau hutan lindung. Pe­
ta yang di­bu­at Departemen Pertanian menyisakan 35.000 ha un­tuk
per­mu­kim­an dan 10.000 ha untuk hutan lindung. Namun, pada peta
yang ke­lu­ar selanjutnya, cadangan permukiman kemudian hilang dan
Siberut seperti kue lapis yang telah dijatah bagi pengusaha-pengusaha
kayu. Sampai 1980, peta-peta yang menunjukkan tata batas konsesi
tidak bersesuaian satu sama lain dan sering tidak diikuti (WWF 1980:
24).
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 151

Penetapan fungsi-fungsi kawasan hutan di Siberut menjadi man­


tap se­ca­ra resmi pada 1982 setelah selesainya dokumen TGHK Pro­pin­
si Su­ma­tra Barat. Sesuai Keputusan Menteri Pertanian No. 623/Kpts/
Um/8/1982 tanggal 23 Agustus 1982 tentang Penunjukan Kawasan
Hu­tan Propinsi I Sumatra Barat, daratan Siberut dengan luas 403.300
ha memiliki kategori sebagai berikut:

Tabel 2. Fungsi hutan di Pulau Siberut berdasarkan TGHK 1982


Fungsi Hutan Luas (ha) % Luas Siberut
Suaka Alam ±132.900 32,95
Hutan Lindung ±3.500 0,87
Hutan Produksi Terbatas ±59.550 14,77
Hutan Produksi Tetap ±119.900 29,73
Hutan Produksi yang
±87.450 21,68
dapat dikonversi
Jumlah ±403.300 100

Daratan Siberut, dalam pandangan pemerintah, menyimpan ca­


dang­an besar kayu komersial. Kayu-hutan tropis yang mahal, khu­
sus­nya kerabat meranti (Dipterocarpaceae) cukup melimpah dan di­
ang­gap ti­dak termanfaatkan dengan baik. Sementara cadangan ka­yu
melimpah, penduduk setempat yang terbelakang adalah an­cam­an
aktual bagi kelestariannya. Sebagai jawaban atas masalah ini, pe­me­
rin­tah me­ne­rap­kan program pemukiman kembali dan memberikan
hak kon­se­si hutan kepada perusahaan kayu untuk “meningkatkan ke­
se­jah­te­ra­an” masyarakat lokal dan “mengurangi kerusakan hutan” ka­
re­na budaya perladangan berpindah. Departemen Kehutanan meng­
ang­gap praktik-praktik perladangan berpindah masyarakat Siberut
menyebabkan kerusakan hutan. Pernyataan resmi Sekretariat Jen­
deral Ke­hu­tan­an dalam simposium tentang Siberut di Universitas An­
dalas 1981 berikut ini menggambarkan semuanya:
Penerapan hak ulayat dalam hal pembukaan hutan untuk per­
la­dangan secara berpindah-pindah, mengakibatkan ke­ru­sak­an
sumber kekayaan alam yang berupa hutan dalam jumlah yang
cukup besar. Dalam masalah ini pemerintah te­ngah mencari
jalan keluar guna mengatasinya, antara la­in dengan menerapkan
sis­tem resettlement yang perlu di­tun­jang dan atau dilengkapi
de­ngan sistem yang lain.
152 Berebut Hutan Siberut

Departemen Kehutanan merasa bahwa pemberian Hak Pe­ngu­a­


sa­an Hutan dan program pemukiman adalah proyek yang paling te­
pat untuk mengurangi kerusakan hutan akibat perladangan ber­pin­
dah, sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk Siberut
(Se­kretariat Jenderal Kehutanan 1985: 124). Pernyataan di atas ti­dak
ha­nya mencerminkan pandangan resmi pemerintah terhadap “ke­ke­li­
ru­an” praktik perladangan berpindah, tetapi juga menunjukkan sikap
ne­ga­ra yang meminggirkan hak masyarakat sekitar dan di dalam hu­
tan. Hak-hak tersebut diakui dan diterima keberadaannya sejauh ti­
dak ber­ben­tur­an dengan kepentingan nasional yang ditentukan oleh
ne­ga­ra (Dove 1993; Li 1996; Zerner 2000). Istilah kepentingan na­
si­o­nal itu sendiri secara luas didefinisikan oleh negara dan se­ring
dijadikan sebagai pembenar untuk menghilangkan hak-hak ma­sya­
ra­kat terhadap sumber daya alam.

Eksploitasi Kayu Siberut


Usaha mengeksploitasi hutan Siberut pernah dilakukan pada
abad ke-18 se­ma­sa Raffles (Coronese 1986; Marsden 2008) dan semasa
Be­lan­da pada awal abad ke-20 (Hansen 1917 dalam Persoon 1997)
na­mun tidak berlangsung lama. Penambangan kayu ke luar Siberut
ter­se­but berasal dari inisiatif pengusaha dan bukan melalui campur
ta­ngan resmi negara. Siberut tidak pernah dikategorikan sebagai unit
administrasi yang dikontrol ketat (Asnan 2007) dan dijadikan “po­li­
ti­cal forest” (Vandergeest dan Peluso 2001; 2006) oleh pemerintah
ko­lo­nial. Belanda berusaha mempraktikkan teknik penguasaan dan
kon­trol populasi dengan menetapkan beberapa orang sebagai kepala
kam­pung untuk mengkoordinasi pengerahan tenaga kerja untuk
pem­bu­atan jalan, tetapi hal ini tidak bertahan lama (Schefold 1991;
Persoon 1987).
Jauh sebelum rezim Orde Baru mengeksploitasi Siberut, beberapa
peng­usaha telah merintis upaya mendapatkan uang dari penebangan
hu­tan. Pada 1952, sebuah perusahaan kecil tak bernama yang dikelola
mi­gran Minangkabau telah menebangi hutan di Saliguma, Siberut ba­
gian tengah. Usaha ini hanya berjalan beberapa bulan. Menurut ke­te­
rang­an saksi mata, perusahaan tersebut kesulitan mengapalkan kayu-
ka­yu yang telah ditebang karena tidak berhasil mendapatkan tenaga
ker­ja dari penduduk setempat. Mereka juga tidak memiliki alat-alat
be­rat yang bisa mengangkut kayu dari bukit-bukit ke dekat sungai
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 153

untuk dikapalkan. Medan yang berat dan kondisi ekologi yang keras
menyebabkan para pekerja yang berasal dari Sumatra tidak betah
dan memaksa perusahaan tersebut menutup operasinya. Usaha lain
dilakukan oleh CV Mentawai dan PT Bumi Putra, juga di Saliguma,
dengan mendirikan pabrik penggergajian kayu pada 1957. Usaha ini
juga tidak bertahan lama. Medan yang berat dan pegawai perusahaan
dari luar yang tidak kerasan juga menjadi alasannya. Setelah lima
bulan, pabrik itu ditinggalkan pemiliknya.
Usaha menciptakan kawasan hutan negara secara lebih efektif di­
mu­lai de­ngan mengirimkan tim survei ahli kehutanan untuk mencari
justifikasi ilmiah bagi pengelolaan hutan Siberut. Atmosoedarjo (1969,
1970) dan Subagio (1972, 1973), keduanya lulusan Universitas Gadjah
Ma­da (UGM) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) generasi pertama,
me­la­ku­kan survei tentang tegakan hutan dan cadangan pohon. Sur­
vei ini di­da­nai oleh Departemen Pertanian. Hasil survei tersebut me­
nun­juk­kan, cadangan jenis-jenis kayu komersial yang ada di hutan
Si­be­rut cukup melimpah, terutama yang diameternya berada dalam
ki­sar­an di bawah lima puluh sentimeter. Namun, hasil kedua survei
ter­se­but menjelaskan, akibat dari ekosistem kepulauan, aktivitas pe­
ne­bang­an tidak dapat berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama
ka­re­na periode yang dibutuhkan untuk regenerasi bagi sebagian besar
jenis-jenis kayu Siberut itu tidak mencukupi (WWF 1980: 26).
Meskipun hasil survei telah mengingatkan bahwa penebangan
hu­tan Siberut tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan, kedua rim­
ba­wan tersebut memberi rekomendasi bahwa hutan Siberut bisa di­
te­bang dengan beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut di antaranya
ada­lah melakukan penebangan dengan sistem tebang pilih dan hanya
un­tuk pohon-pohon berdiameter lebih dari 50 cm yang berada di hu­
tan-hutan yang telah masak. Dengan legitimasi dan justifikasi itu,
pe­me­rin­tah memberikan konsesi penebangan kayu untuk empat per­
u­sa­ha­an besar pada awal 1970-an, yaitu PT Cirebon Agung (70.000
ha), PT Jaya Sumber Indah/JSI (70.000 ha), PT CPPS/Kayu Sumber
(35.000 ha), dan PT Djayanti Group/Inkappa (110.000 ha). Hanya
sebagian kecil hutan yang disisakan (6.500 ha) untuk Suaka Alam
Teitei Bati.
Operasi perusahaan kayu pada periode 1970-an dimulai de­ngan
pembangunan base camp di sisi timur Pulau Siberut dan be­be­rapa
tempat pengangkutan kayu di pantai-pantai yang jauh dari per­mu­
kim­an. Para pekerja perusahaan kayu kebanyakan berasal dari Ja­wa,
154 Berebut Hutan Siberut

Me­dan, dan Ambon—didatangkan ke pulau tersebut karena ke­bu­tuh­


an keahlian dan kedisiplinan yang diperlukan bagi perusahaan ka­
yu—se­men­ta­ra para manajernya berasal dari Malaysia atau Filipina
(Per­soon 1997; 2001). Tahap pertama penebangan kayu berlangsung
pa­da 1972 sampai 1993. Antara tahun-tahun tersebut, sekitar 30.650
ha hutan Siberut telah dibalak dengan total produksi kayu 746.155 m3.
Tahun 1974/1975, perusahaan kayu telah menebang 115.239 m3 yang
ke­mudian meningkat berturut-turut menjadi 142.412 m3 dan 178.194

Peta 3
Konsesi pulau Siberut (1971-1992)
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 155

m3 dua tahun berikutnya dan turun menjadi 151.650 m3 pada pe­rio­


de 1977/1978 (WWF 1980: 26). Data Dinas Kehutanan Sumatra Barat
(Anonim 1995a) memperlihatkan angka produksi yang rendah dan
ha­rus dilihat lebih hati-hati. Sebagai pembanding, Mitchell (1982)
meng­hitung, sebanyak 57.700 ha hutan ditebang habis pada 1982,
dan Munawar (2004) memperkirakan, jumlah kayu yang hilang dari
Siberut mencapai 1,7 juta m3 antara 1972-1993.

Tabel 3. Ekspor kayu Pulau Siberut (logs/m3), 1982

Perusahaan 1977 1978 1979 1980 1981


PT CPPS 9.878 6.185 15.759 6.553 TAE*
PT JSI 989 TA** TA TA TA
PT Kayu Siberut 29.549 37.647 26.389 17.389 TAE
PT Cirebon Agung 23.540 17.767 17.624 TAE TAE
*TAE: Tidak ada ekspor; **TA: Tidak aktif; Sumber: Statistik Pemasaran Hasil
Hutan, Direktorat Tertib Pengusahaan Hutan, Jakarta 1982

Awalnya, balok-balok kayu dari Siberut diekspor ke pasar inter­


na­sio­nal pada pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an. Setelah pe­
me­rin­tah mengeluarkan aturan soal larangan ekspor kayu bulat pa­da
1980-an, perusahaan kayu mengirimkan gelondongan kayu ter­se­but
ke pusat-pusat pengolahan kayu di Sumatra. Pada periode yang sa­
ma, PT Saiyo Mangrove Corporation mulai mengambil hutan mang­
ro­ve yang berlimpah di pantai timur. Kegiatan penebangan ba­kau
terpusat di Siberut Utara, terutama di Muara Sikabaluan sampai Po­
kai, dan lantas kemudian diperluas ke arah selatan di Teluk Sa­ra­bua
(WWF 1980: 32). Dihitung dari garis pantai, ketebalan hutan ba­kau
bisa mencapai 200-300 meter ke arah daratan. Ini adalah sum­ber
da­ya yang menggiurkan, apalagi, proses penebangan dan peng­ang­
kut­an bakau melalui laut jauh lebih mudah dibanding hutan. Eks­por
pertama kali sebanyak 3.000 ton batang bakau, atau setara de­ngan
pe­ne­bang­an kayu berdiameter 20 cm sebanyak 15.000 pohon (WWF
1980). Setengah dari jumlah itu dikirim ke Singapura untuk di­man­fa­
at­kan sebagai fondasi bangunan dan setengahnya lagi diterbangkan
ke Hongkong untuk pabrik kertas dan industri pakaian. Beberapa
la­por­an meyakini bahwa proses penebangan mangrove ini tidak me­
mi­liki izin pemerintah atau pun persetujuan penduduk. Hal ini me­
nye­bab­kan pengolahan dan pengiriman kayu bakau dari Sikabaluan
156 Berebut Hutan Siberut

tidak terkontrol (ibid: 33). Penebangan bakau berlangsung intensif,


ta­pi tidak berlangsung lama. Perusahaan yang dimiliki oleh pemodal
da­ri Si­ngapura tersebut hanya efektif berusia empat tahun.1
Tidak banyak data yang tersedia mengenai aktivitas pembalakan
hutan Pulau Siberut. Survei-survei serta laporan evaluasi mengenai
efek pembalakan bagi hutan alam di Siberut juga tidak pernah dila­
kukan. Se­per­ti­nya Departemen Kehutanan tidak begitu peduli ba­gai­
mana per­u­sa­ha­an pemegang konsesi menebang kayu. Sebagai per­
ban­dingan, stu­di tentang penebangan selektif pada hutan di Pulau
Pagai Selatan da­pat digunakan untuk menjelaskan efek penebangan
hutan pada eko­sis­tem pulau kecil. Alrasjid and Effendi (1979) me­la­
kukan studi pa­da 15 ha hutan bekas tebangan yang dibagi menjadi
10 petak. Me­re­ka mencatat, dari 2.416 pohon 50 persen di antaranya
jenis ko­mer­si­al dan 50 persen jenis nonkomersial. Dari setiap petak,
194 batang di­te­bang, setara dengan 13 batang/ha. Rata-rata separuh
dari si­sa pohon telah hancur atau rusak. Studi tersebut menunjukkan,
8 per­sen penebangan dalam setiap hektar menyebabkan 19 persen po­
hon hancur total, 20 persen pohon terkelupas kulit dan mengalami
ke­ru­sak­an tajuk yang berat, 7 persen pohon mengalami kerusakan
sangat se­ri­us, 46 persen pohon tidak mengalami kerusakan. Bukti
lain yang di­te­mu­kan di Pulau Pagai Selatan menunjukkan bahwa bila
lebih ba­nyak po­hon ditebang, tingkat kerusakan dapat mencapai 70
persen (Whit­ten dkk 1997).
Beberapa laporan menyebutkan, untuk mengurangi kerugian,
per­u­sa­haan kayu menebang tidak sesuai aturan kehutanan yang di­sa­
ran­kan. Perusahaan menebang kayu di daerah-daerah yang curam, te­
pi su­ngai, dan dekat dengan kawasan yang dilindungi. Mitchell (1982)
melaporkan adanya pelanggaran tata batas di kawasan suaka alam oleh
perusahaan kayu. Praktik penebangan ini, masih menurut Mit­chell,
telah merusak 57.000 ha atau hampir 15% hutan di Siberut. WWF
(1980:27) mencatat, seringkali perusahaan menebang kayu di ba­wah
ukuran minimal diamater yang dianjurkan pemerintah. Teknik pe­ne­
bang­an kayu di Siberut adalah dengan sistem kabel. Sistem ini mem­
buat semak dan pohon muda terkena dampak penyeretan balok ka­yu
tebangan oleh kabel sehingga kerusakan sangat tinggi. Sementara itu,
penebasan hutan bakau meninggalkan pantai dalam keadaan ter­bu­ka
sehingga gelombang laut menggerus tanah aluvial yang subur tan­pa

1 Keterangan dari Aman Robert, pekerja penebang kayu PT CPPS pada 1977-1979. Sekarang ia tinggal
di Go­tap, dekat Sarabua. Wawancara Januari 2007.
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 157

Gambar 8. Bekas-bekas operasi perusahaan kayu di Siberut selama rezim


Orde Baru (Koen Meyers).
158 Berebut Hutan Siberut

Gambar 8. Lanjutan.

halangan. Laporan-laporan yang didasarkan atas pengamatan la­pang­


an oleh beberapa pekerja konservasi menunjukkan adanya kerusakan
ling­kung­an yang mengkhawatirkan bagi masa depan ekosistem Pulau
Siberut.
Meskipun ada kekhawatiran dampak negatif pembalakan kayu,
sam­pai dekade 1990-an ekosistem hutan tropis dataran rendah ma­
sih bertahan di sebagian besar wilayah Siberut, terutama di kawasan-
ka­was­an perbukitan. Fakta ini bisa terjadi karena beberapa sebab.
Per­ta­ma, studi mengenai dampak penebangan kayu tidak dilakukan
se­hing­ga batas-batas kerusakan akibat penebangan tidak pernah di­
ke­ta­hui. Kurangnya studi-studi yang mendalam mengenai efek pe­ne­
bang­an kayu juga membuat informasi mengenai dampak eksploitasi
su­kar diketahui secara rinci. Yang kedua, eksploitasi hutan di Siberut
ti­dak sepenuhnya berlangsung sukses. Terdapat anggapan yang me­
nye­but­kan bahwa tidak satu pun perusahan pembalakan kayu di Si­be­
rut memperoleh laba yang cukup (Perbatakusuma dkk 2002). Me­dan
yang berbukit-bukit, tanah yang penuh lumpur, curah hujan yang sa­
ngat tinggi, kondisi perairan yang tidak ramah, dan mahalnya biaya
pengangkutan kayu menyebabkan perusahaan kayu gagal men­da­pat­
kan keuntungan maksimal dari eksploitasi kayu di Siberut.
Keadaan tanah dan batu-batuan yang lunak dan licin menjadi pe­
nye­bab kerugian usaha di Siberut. Alat-alat berat paling lama hanya
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 159

bi­sa ber­o­pe­ra­si selama 130 hari kerja dalam satu tahun, sehingga
peng­han­cur­an hutan Siberut berjalan lambat. Bekas konsesi hutan PT
Ci­re­bon Agung di bagian utara Siberut, yang ditinggalkan pada 1992,
ma­sih berupa hutan primer yang relatif utuh sehingga delapan tahun
ke­mu­dian dijual kembali kepada perusahaan lain. Bekas tebangan PT
CPSS di bagian tengah Siberut, yang telah dieksploitasi selama 20 ta­
hun, telah kembali menjadi hutan sekunder sehingga PT KAM meng­
aju­kan konsesi penebangan di lokasi itu.
Sulitnya medan dan sedikitnya keuntungan menyebabkan be­
be­ra­pa perusahaaan kayu tidak memanfatkan konsesi secara penuh.
Me­re­ka mengoper konsesi itu ke perusahaan lain setelah beberapa
wak­tu melakukan penebangan. Misalnya, setelah beroperasi selama
6 ta­hun, PT Kayu Siberut menjual konsesinya kepada PT Jaya Sumber
pa­da 1977. Sebagian lagi berhenti karena bermasalah dengan izin dan
pe­lang­gar­an aturan. PT Tridatu, kontraktor yang mengerjakan konsesi
PT Cirebon Agung, harus mengapalkan alat-alat beratnya ke daratan
Sumatra setelah ketahuan melanggar tata batas kawasan suaka alam.
Meskipun konsesi Siberut telah diberikan kepada empat perusahaan
kayu, praktis hanya PT CPPS yang bertahan pada 1980-an.

Reaksi-Reaksi terhadap Penebangan Kayu


Pada awalnya masyarakat Siberut tidak banyak menaruh perha­
tian ter­ha­dap kehadiran perusahaan kayu. Beberapa narasumber me­
nga­ta­kan ba­hwa ketika itu mereka belum begitu tahu tentang ting­gi­
nya ni­lai kayu gelondongan. Beberapa saksi mata mengaku pasrah sa­ja
de­ngan kedatangan perusahaan kayu, bahkan sebagian merasa he­ran
dengan datangnya alat berat ke Siberut. Mereka juga tidak me­li­hat
kehadiran perusahaan kayu sebagai hal yang negatif atau akan me­
ru­sak lingkungan mereka. Mereka tidak pernah memiliki peng­a­lam­an
un­tuk berhadapan dengan perusahaan kayu, sehingga mem­bi­ar­kan
per­usahaan tersebut datang dan menebang hutan-hutan me­reka.
Akan tetapi, lambat-laun, pembalakan kayu mendekat ke la­
dang-la­dang penduduk setempat. Beberapa kali mesin dan alat be­rat
per­usa­haan kayu melewati ladang masyarakat. Ternyata ada tum­
pang tindih antara areal HPH dengan ladang masyarakat akibat ti­
dak je­las­nya tata batas. Pengukuhan status hutan produksi untuk
HPH meng­ubah fungsi hutan yang semula tempat berladang dan me­
ngu­rangi jumlah ladang tradisional (Wagner 1985). Apalagi, teknik
mem­balak HPH di Siberut menggunakan sistem kabel untuk menarik
160 Berebut Hutan Siberut

kayu sehingga durian dan kayu yang bernilai penting bagi masyarakat
sekitar seringkali turut tertebas. Beberapa uma mendenda perusahaan
ka­re­na menebang pohon yang bernilai ekonomis dan kultural, seperti
du­ri­an, sagu, dan buah-buahan, namun tidak ada ganti rugi yang jelas
dan pan­tas (Syaffrudin 1985).
Konflik skala kecil di berbagai level menyertai hadirnya per­u­
sa­­ha­an kayu. Protes-protes mulai terdengar sejak dekade 1990-an.2
La­por­an Cohen (1992) menyebutkan, penduduk Siberut mengeluh
ka­re­na kehilangan tanaman-tanaman yang bernilai sosial, kultural,
dan eko­no­mi seperti durian (Durio zibhetinus), toktuk (Durio spp),
pu­si­no­so (Durio spp), peigu (Artocarpus caryophyllum), sagu (Me­
troxy­lon sago), elagmata (Radermachera gigantea), serta rambutan
(Lap­pa­ce­um spp) akibat penebangan. Penduduk setempat juga me­
nye­but­kan berkurangnya sumber air bersih, berubahnya arah su­ngai
besar, hingga banyaknya endapan lumpur di lokasi-lokasi de­kat pe­
ne­bang­an kayu. Longsoran bukit-bukit ke batang sungai me­nye­bab­
kan beberapa alirannya tak dapat dilayari sampan. Bekas-bekas balok
kayu juga mengganggu jalan antarkampung. Selain itu, para ak­ti­vis
LSM mengeluhkan adanya praktik perkawinan antara para pekerja
per­u­sa­ha­an dan anak-anak mereka tanpa aturan adat, mahar kawin,
dan ke­je­las­an status.
Dalam sebuah diskusi sore hari pada 2006, salah satu informan
da­ri Desa Katurei mengatakan, kerusakan yang ditimbulkan oleh per­
u­sa­ha­an kayu telah mengganggu kehidupan spiritual. Sistem peng­
ang­kut­an kayu dengan kabel telah menyebabkan pohon-pohon yang
di­ke­ra­mat­kan, terutama pohon yang telah ditandai dengan gambar
ter­ten­tu (kirekat),3 ikut tertebas. Pembuatan jalan transportasi ka­
yu me­mo­tong jalur kebun sagu dan ladang-ladang berisi tanaman
bu­ah-bu­ah­an. Roda-roda traktor perusahaan kayu melicinkan bukit-
bu­kit hingga menyebabkan longsor. Dalam kasus-kasus yang berat,
misalnya traktor perusahaan kayu melewati dan merusakkan kuburan
le­lu­hur orang Siberut, perusahaan kayu jarang memberi ganti rugi.

2 Misalnya laporan Margot Cohen dalam Business Week (28 Desember 1992) atau Samantha Sparks
da­lam The Multinational Monitor (September 1991) yang memuat protes warga Siberut terhadap per­
u­sa­ha­an kayu.
3 Kirekat adalah tanda kenangan orang yang telah meninggal. Tanda kenangan ini dilukiskan di pohon-
po­hon tertentu yang menjadi milik orang meninggal tersebut atau dalam sebuah panel papan. Pohon
yang me­mu­at kirekat dilarang untuk ditebang sembarangan tanpa ada lia atau ritual terlebih dahulu.
Po­hon yang memuat kirekat memiliki makna spiritual. Keterangan tentang kirekat dapat dibaca dalam
Sche­fold (1991).
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 161

Penduduk Siberut tidak bersuara keras meskipun perusahaan


yang ber­o­pe­ra­si di pulau itu tidak mengakui hak-hak atas hutannya. Se­
ba­gai contoh, PT Djayanti Grup, perusahaan yang beroperasi di dekat
Rog­dok sejak 1970-an, tidak pernah memberi kontribusi dan perhatian
kepada warga lokal. Perusahaan hanya memberi uang dalam jumlah
yang sangat kecil kepada kepala desa setiap bulan untuk menjamin
ke­am­ an­an para pekerjanya yang melewati atau tinggal di dalam kam­
pung.4 Kasus yang sama juga dijumpai di Kalimantan Selatan oleh Pe­
lu­so (1992) dan juga di Aceh oleh McCarthy (2000b). Para kepala de­sa
menggunakan posisinya untuk mendapatkan keuntungan dari per­u­
sa­ha­an kayu yang beroperasi di wilayah mereka.
Pemberian insentif kepada kepala desa memunculkan sikap cem­
bu­ru para pemilik tanah yang hutannya ditebangi. Akan tetapi si­kap
ini tidak merupakan perlawanan terbuka di mana mereka tidak be­ra­ni
menuntut secara langsung perusahaan kayu. Kecemburuan ini di­ma­
ni­fes­ta­si­kan dalam tindakan-tindakan lokal. Uma-uma yang hu­tan­
nya ditebangi perusahaan kayu, menolak kewajiban-kewajiban dan
aturan-aturan yang dibuat desa. Misalnya, penduduk Desa Ma­do­bak
pada awal 1980-an menolak intruksi kepala desanya karena ia di­ang­
gap mendapat uang dari perusahaan kayu untuk kepentingan di­ri­nya
sendiri. Terkadang beberapa penduduk mengungkit-ungkit per­se­li­
sih­an dengan pejabat desa di masa lalu mengenai perladangan dan
hal-hal menyangkut kepemilikan sumber daya.5
Berkebalikan dengan banyaknya protes dari luar di kemudian
ha­ri, keterangan penduduk Siberut tidak banyak mengindikasikan
bah­wa ada protes-protes terbuka terhadap praktik penebangan kayu.
Se­ba­gi­an besar orang Siberut menyatakan bahwa perusahaan kayu
me­nge­lo­la hutan-hutan yang jarang mereka datangi. Perusahaan kayu
mem­be­ri kesempatan kepada mereka untuk bekerja dan mendapat
uang serta pengalaman bergaul dengan orang-orang luar. Meskipun
ada beberapa keluhan mengenai kerusakan lingkungan, hal itu berada
jauh dari permukiman sehingga perusahaan kayu tidak dianggap
meng­gang­gu kehidupan sehari-hari. Seperti yang dituturkan oleh Teu
Robert, warga Gotap yang pernah bekerja di perusahaan kayu pada de­
ka­de 1970-an dan 1980-an, tidak banyak keluhan dan perasaan di­ru­

4 Keterangan dari Aman Letang dan Aman Fernanda dalam sebuah diskusi pada 2005, di Desa Ma­do­
bak. Keduanya adalah mantan kepala Desa Madobak antara 1981-1997.
5 Keterangan dari Aman Fernanda, Kepala Desa Madobak yang menjabat pada 1988.
162 Berebut Hutan Siberut

gi­kan oleh perusahaan kayu. Dia membenarkan bahwa hutan mereka


di­am­bil tanpa kompensasi. Namun, seperti yang ia nyatakan:
Kami dulu tidak merasa rugi. Hutan-hutan itu lokasinya jauh,
dan pa­da waktu itu, hutan masih menakutkan. Saat saya masih
ke­cil, orangtua kami merasa heran bahwa ada orang yang mau
ma­suk hutan. Para pekerja dianggap sangat berani menebang
kayu, tidak takut sama roh-roh hutan. Bahkan kami sangat
senang kalau bertemu dengan para pekerja kayu. Mereka ter­
ka­dang memanggil anak-anak muda untuk menemani mereka
ting­gal di kamp. Mereka kadang membiarkan kami mencuri
minyak (tanah atau bensin), mengambil baju-baju pekerja yang
dijemur, meminta rokok, atau mencuri jatah ransum—beras,
roti, gula, kopi—di base camp perusahaan.6

Ucapan Teu Robert mewakili sebagian masyarakat Siberut. Per­u­


sa­ha­an kayu di Siberut hanya mengincar kayu-kayu bernilai ekonomi
ting­gi yang terletak di hutan-hutan yang jauh dari permukiman dan
ti­dak secara teratur dikunjungi warga. Penduduk juga tidak per­nah
di­la­rang untuk mengunjungi ladang-ladang. Bahkan mereka di­per­bo­
leh­kan memanfaatkan lahan-lahan kosong yang telah dibuka di area
konsesi untuk bertani. Di kawasan pantai timur, misalnya, ma­sya­ra­
kat sekitar Limu, Saliguma, dan Maileppet, dan juga di Tiniti di Si­be­
rut Utara, segera menempati daerah-daerah bekas penebangan ka­yu
yang terbuka untuk berladang (Persoon 1995: 14). Bekas-bekas ja­lan
pengangkutan kayu dianggap sebagai keuntungan karena bisa meng­
hu­bung­kan antarkampung dan memperpendek jalur ke arah ladang.
Mes­ki­pun ada keluhan akan sulitnya tanah yang subur di beberapa
tem­pat bekas penebangan kayu, mereka tidak dilarang untuk me­man­
fa­at­kan hutan yang menjadi konsesi.
Secara berkala, pekerja perusahaan juga membutuhkan buah-
bu­ah­an seperti nanas, tebu, kelapa, atau sumber protein—ayam, ikan
la­ut, dan udang-udang kecil sebagai menu makanan. Penduduk me­
man­fa­at­kan situasi ini dengan membentuk permukiman spontan di
se­ki­tar base camp perusahaan kayu. Mereka berinteraksi dengan para
pe­ker­ja kayu dan mendapatkan penghasilan tambahan sebagai pekerja
ru­mah tangga, membantu menyediakan kebutuhan para pekerja, atau
se­ka­dar berteman dengan para pekerja. Kehadiran perusahaan kayu

6 Kami petik dari diskusi dengan Teu Robert dari Uma Sarereake yang tinggal di Limu pada saat PT
CPPS beroperasi. Diskusi kami lakukan setelah dia pindah ke Gotap, Januari 2008.
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 163

mem­be­ri ruang partisipasi penduduk, meskipun sangat terbatas.


Beberapa orang muda dan pejabat desa memiliki keuntungan
po­li­tik dan ekonomi serta jaringan sosial dengan pekerja perusahaan
ka­yu atau pun pejabat rendahan. Beberapa penduduk lokal yang ber­
pe­nga­ruh dengan cerdik memanfaatkan koneksi mereka itu untuk
men­da­pat­kan proyek-proyek pribadi. Koneksi dengan pejabat atau
pun pe­ga­wai perusahaan kayu biasanya dalam hubungan patron-klien
yang bersifat longgar. Hubungan patronase ini sangat penting un­tuk
dilihat sebagai taktik orang Siberut untuk meraih keuntungan, ba­ik
keuntungan material maupun nonmaterial. Dengan terlibat kerja ber­
sa­ma pejabat atau perusahaan kayu, selain mendapat penghasilan,
me­re­ka juga dapat mengurangi anggapan sebagai suku yang sukar di­
ajak kerja sama, terbelakang, tidak tertib.
Kesempatan kerja terbuka bagi anak-anak muda. Bekerja di per­u­
sa­ha­an kayu diakui sebagai kegiatan ekonomi alternatif bagi beberapa
orang karena terbatasnya lapangan pekerjaan di pulau tersebut. Be­
be­ra­pa orang tua yang dahulunya bekerja untuk perusahaan kayu me­
nga­ta­kan kepada kami bahwa bekerja di perusahaan lebih baik da­ri­
pa­da menjadi anak buah kapal nelayan atau bekerja menjadi buruh
pa­ra pen­da­tang. Mereka bisa mendapatkan uang dan status sosial
yang ting­gi. Setiap perusahaan mempekerjakan sekitar 20-40 orang,
ter­u­ta­ma sebagai pekerja kasar dan rendahan yang dibayar murah se­
per­ti penebang, perancah, kenek mobil, dan operator gergaji mesin.
Ke­ba­nyakan para pekerja lokal adalah anak-anak muda yang cepat
bo­san setelah beberapa bulan bekerja dan lantas kembali pulang ke
ru­mah. Uang hasil bekerja biasanya digunakan untuk membeli baju,
jam, dan radio—alat-alat yang digunakan sebagai simbol kekayaan
dan dianggap sebagai standar kemajuan di pulau ini pada saat itu.
Orang Siberut melihat bahwa bekerja di perusahaan kayu menjadi
ca­ra mereka untuk menambah pengalaman atau menghilangkan ke­
bo­san­an bekerja di kampung. Pendapatan dari perusahaan kayu se­
be­nar­nya hanya kecil, sehingga pekerjaan ini hanya menarik minat
me­re­ka yang ingin mencari pengalaman di antara waktu luang. Bagi
pen­du­duk Siberut yang berkeluarga, jauh lebih menguntungkan be­ker­
ja di ladang mereka sendiri, membantu keluarga memenuhi ke­bu­tuh­
an rumah tangga serta lebih dekat dengan keluarga. Pejabat dari pro­
vin­si mengatakan, penduduk Siberut kurang berminat bekerja di HPH
karena malas dan lebih memilih bekerja di ladang. Situasi ini jus­tru di­
la­­por­kan pejabat pemerintah sebagai halangan “kultural” untuk maju.
164 Berebut Hutan Siberut

“Ada halangan kultural untuk bekerja di HPH,” begitu pernyataan se­


bu­ah laporan menanggapi pekerja Mentawai yang berpegang pada ke­
per­ca­ya­an tradisional dan memperhatikan tabu saat menebang po­hon
(Bappeda 1985). Agen pemerintah tidak mempertimbangkan alas­an-
alasan ekonomi penduduk Siberut dengan menyalahkan sifat pen­du­
duk yang dianggap tidak betah bekerja karena sifatnya yang liar dan
ti­dak bisa ditata serta lebih menyukai hidup hanya untuk mencukupi
ke­bu­tuh­an makan.
Penduduk Siberut sendiri tidak banyak peduli dengan stereotip.
Bagi orang Siberut, bekerja selain berladang—mengolah sagu atau
meng­u­sa­ha­kan tanaman komersial di ladang sendiri, dan menyerah­kan
te­na­ga kerjanya untuk orang lain—lebih berfungsi untuk mendapat­
kan penghasilan tambahan. Itu pun mereka lakukan ketika kebutuhan
dasar untuk keluarga mereka sudah tercukupi dan biasanya, bekerja
untuk orang lain, dipilih dengan pertimbangan untuk mencapai ke­
untungan maksimal dengan sedikit risiko. Orang Siberut barangkali
tidak peduli dengan hitung-hitungan statistik atau kajian para ahli.
Tetapi mereka bertindak tepat dengan menyatakan bahwa bekerja di
perusahaan kayu tidak begitu banyak memberi keuntungan. Menurut
kajian, usaha penebangan kayu tidak memberi keuntungan jangka
panjang dilihat dari ketersediaan tenaga kerja. Keterserapan tenaga
kerja lokal dalam perusahaan kayu selama beberapa dekade di Siberut
hanya 3,8% (Suhandi dan Anggraini 2002).
Kehadiran perusahaan kayu di Siberut tidak sesederhana ma­suk­
nya gagasan baru tentang bagaimana hutan harus dimanfaatan dan di­
trans­for­ma­si­kan. Adanya perusahaan kayu juga mengendapkan pan­
dangan tentang komodifikasi produk-produk hutan dalam diri orang
Siberut. Mereka lambat-laun memahami bahwa hutan-hutan yang
me­reka punyai ternyata memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Hutan-
hutan ini tidak hanya sebagai tempat berkumpulnya roh-roh, te­ta­pi
juga sumber dari jenis yang paling berharga dari hutan: kayu. Ma­suk­
nya perusahaan memberi tandingan cara pandang terhadap hutan.
Pandangan utilitarian mengenai hutan sebagai sumber ekonomi ini
membuat perusahaan kayu dan pekerjanya tidak begitu peduli dengan
marabahaya yang ada di hutan lebat jika seseorang memasukinya.
Keberanian para pekerja perusahaan menebang pohon-pohon besar
dan menjulang, yang oleh orang Siberut diyakini sebagai rumah
sanitu, menantang pandangan setempat. Para pegawai perusahaan
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 165

kayu tidak melakukan pantangan (keikei) dan menyelenggarakan


ritual rumit untuk menggunduli hutan.
Orang Siberut belajar dan memahami, bagi orang luar, hutan bu­
kan­lah ka­te­go­ri yang menakutkan. Setelah menyaksikan secara lang­
sung pa­ra pekerja kayu tersebut tidak sakit, keluarganya ti­dak men­
de­ri­ta atau mengalami kecelakaan dan semakin sering menyaksikan
bah­wa tidak ada kejadian serius yang menimpa pekerja kayu, orang
Si­be­rut mencoba-coba melakukan hal yang sama terhadap hutannya.
Se­makin banyak anak muda yang terlibat dalam perusahaan kayu dan
mempraktikkan pengambilan hutan versi perusahaan. Anak-anak
mu­da ini menjadi biasa untuk menebang kayu tanpa melakukan upa­
ca­ra ritual dan pantangan.
Lambat laun, bagi beberapa orang, entah yang terlibat langsung
mau­pun tidak langsung dengan perusahaan kayu, hutan bukan lagi
ka­te­go­ri yang menakutkan. Orang Siberut sendiri bisa memanfaatkan
hutan dengan teknologi baru atau dengan cara baru yang berbeda de­
ngan pandangan dan cara lama. Mereka juga mulai memahami bahwa
ka­yu-kayu yang besar di hutan memiliki nilai ekonomi yang tinggi bila
di­jual ke luar Siberut. Penghormatan atau rasa takut terhadap sanitu
peng­huni pohon besar itu mulai dirongrong oleh dorongan bahwa ka­
yu tersebut laku dijual dan memberi kekayaan bagi perusahaan ka­yu.
Dalam skala kecil, pandangan tentang hutan yang bernilai eko­no­mi
mendorong terjadinya perilaku yang mengubah tabu-tabu dan pan­
tang­an. Penduduk Siberut menerapkannya dengan semakin intensif
me­ngum­pul­kan rotan dari hutan-hutan primer yang dulunya dianggap
ber­bahaya untuk didatangi tanpa melakukan lia.
Pandangan luar mengenai hutan ini mempengaruhi cara pandang
orang Siberut terhadap hutannya sendiri. Kekuasaan roh-roh yang ada
di da­lam hutan dapat dikalahkan oleh traktor, gergaji mesin, dan alat-
alat berat. Manusia dapat menggeser kekuatan roh-roh dan sanitu
de­ngan cara mengadopsi teknologi-teknologi baru. Bahwa tidak ada
ma­la­pe­ta­ka bagi orang luar telah mengendapkan cara pandang bahwa
ke­ku­a­saan roh-roh telah berganti menjadi kekuasaan dari jenis yang
la­in, yang meskipun tidak dapat dilihat secara langsung, telah mampu
men­trans­formasikan hutan.
Melalui perusahaan kayu, penduduk Siberut belajar tentang ke­
ung­gul­an teknologi dalam memanfaatkan hutan. Mereka mulai me­
nge­nal gergaji mesin sebagai alat yang efektif untuk mendapatkan ka­
yu untuk rumah atau sampan. Dengan gergaji mesin, seseorang bi­sa
166 Berebut Hutan Siberut

ber­in­ves­ta­si dan menciptakan jenis pekerjaan khusus menjual kayu-


kayu olahan. Gergaji mesin dapat mengurangi waktu yang di­bu­tuh­
kan untuk menebang kayu di hutan ketika membuka ladang. Pas­ca­
ke­da­tang­an perusahaan kayu, penggunaan gergaji mesin meluas dan
men­jadi kebiasaan untuk membuka ladang, menebang pohon, atau
me­ngo­lah kayu untuk memenuhi pasar lokal.
Berdasarkan peraturan, perusahaan kayu sebenarnya memiliki
tang­gung jawab untuk membantu penduduk lokal melalui program
pem­ber­da­ya­an desa. Misalnya, dalam kontrak perjanjian dengan De­
par­te­men Kehutanan, mereka diwajibkan untuk membangun sarana
per­i­ba­dat­an, fasilitas pendidikan, dan juga menyediakan pasokan lis­
trik untuk masyarakat (Sekretariat Jenderal Kehutanan 1985). Akan
te­ta­pi, fasilitas-fasilitas tersebut tidak pernah diwujudkan. Hampir 20
ta­hun sejak penebangan, reboisasi tidak pernah dilakukan, meskipun
per­u­sa­ha­an kayu membayar iuran dan pajak untuk reboisasi kepada
De­par­temen Kehutanan di Jakarta (Persoon 2003).
Semenjak 1980-an, masalah-masalah lingkungan akibat per­u­sa­
ha­an kayu mulai dilihat oleh aktivis lingkungan dan pembangunan.
Dam­pak ekologis penebangan hutan yang diabaikan pada dekade
1970-an mulai diperhatikan dan dikampanyekan para pejuang pe­
les­ta­ri­an alam. Tidak hanya terbatas pada isu lingkungan, kampanye
kon­ser­va­si mengungkapkan ketimpangan pembangunan Siberut dan
pe­me­rin­tah Sumatra Barat. Dirasakan ada ketidakseimbangan antara
usaha pengerukan kekayaan sumber daya alam Siberut dengan usa­ha
pengembalian harta kekayaan tersebut untuk pembangunan pen­du­
duk­nya. Banyak dugaan menyatakan bahwa ekstraksi kayu dan ekspor
ko­pra serta rotan di Siberut menyumbang tigaperempat pendapatan
to­tal kabupaten Padang Pariaman, tetapi sumbangan itu tidak pernah
dikembalikan kepada masyarakat Siberut (Eindhoven 2007).
Elite-elite terdidik, peneliti, dan juga aktivis lingkungan me­nye­
ru­kan ada­nya keadilan bagi penduduk Siberut. Pemberian fasilitas pu­
blik dan pe­la­yan­an dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan infra­stuk­
tur ha­rus­nya dipenuhi oleh pemerintah. Ketimpangan pembangun­an
ini­lah yang menjadi dasar tuntutan adanya otonomi yang luas bagi
orang Men­ta­wai. Program OPKM yang didukung oleh perusahaan ka­
yu (Per­soon 1995: 14) hanya dipandang memenuhi kebutuhan para
mi­gran (Eindhoven 2007: 93). Tuntutan otonomi dirasakan sangat
te­pat ka­re­na pada saat emas hijau dikeruk ke luar, penduduk Siberut
ma­sih hi­dup dalam kondisi yang sangat terbatas. Ingatan narasumber
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 167

ka­mi ten­tang situasi awal 1980-an, saat perusahaan kayu intensif


mengam­bil kayu-kayu bernilai ekonomis, menyatakan:
Jalan-jalan yang menghubungkan desa-desa di Siberut masih
te­tap berupa jalan-jalan setapak yang ditumbuhi semak liar.
Se­ko­lah (dasar) dari pemerintah hanya ada di Kecamatan dan
de­sa-de­sa tertentu. Pemerintah tidak banyak dirasakan ada ti­
dak­nya pada waktu itu. Kalau kami sakit, tidak ada puskesmas
yang bisa memberi obat. Kalaupun ada, petugasnya lebih sering
di Padang dan jarang datang.7

Pembangunan yang eksploitatif terhadap lingkungan dan ke­ti­­dak­


adil­an pemerataan bagi warga Siberut menjadi sasaran tem­bak bagi
ak­ti­vis lingkungan. Kerusakan-kerusakan ekosistem di Pu­lau Si­be­rut
men­da­pat­kan perhatian luas di dunia internasional. Ke­lom­pok-ke­
lompok lingkungan nasional dan global meminta kepada pemerintah
un­tuk me­lakukan moratorium penebangan hutan di Siberut, mengingat
de­gra­da­si alam di Siberut semakin parah. Menanggapi perminta­an
ter­se­but, pemerintah beralasan bahwa banjir dan erosi di Siberut ada­
lah hal-hal yang biasa terjadi dan bagian dari proses alam. Kutipan
ber­i­kut ini adalah jawaban dari pemerintah yang menunjukkan fakta-
fak­ta yang mencerminkan sikap menghindari tanggung jawab:
Sebetulnya, isu internasional dan nasional tentang degradasi
eko­sis­tem di Siberut disebabkan oleh konsesi hutan, wisata,
per­ke­bun­an, dan proyek PKMT, tidak benar. Banjir dan erosi
ber­po­ten­si terjadi di kawasan ini, baik yang di bekas maupun
ti­dak di bekas penebangan oleh konsesi perusahaan karena tipe
ta­nah di Siberut dan curah hujan yang sangat tinggi di Siberut
(Departemen Kehutanan 1992).

Pernyataan di atas tidak hanya menyangkal tuntutan aktivis ling­


kung­an yang peduli dengan Siberut, tetapi juga sebagai sumber pem­
be­nar bagi Departemen Kehutanan untuk memberikan izin konsesi
pe­ne­bang­an kayu lagi kepada PT Sumber Surya Semesta pada 1987.
Ber­sa­ma­an dengan gencarnya pemerintah mempromosikan usaha
pe­ne­bang­an kayu, sepanjang dekade 1980-an, peneliti (antropolog,
eko­log) semakin banyak yang datang ke Siberut. Kedatangan mereka
ti­dak ha­nya memberi pemahaman yang lebih rinci dan kompleks ten­
tang interaksi hutan dan masyarakat Siberut. Para peneliti tersebut

7 Keterangan dari Aman Frans, penduduk Puro, Muara Siberut pada Juli 2007.
168 Berebut Hutan Siberut

ju­ga aktif mendukung usaha konservasi dan mengkampanyekan mo­


ra­to­ri­um penebangan hutan sekaligus usaha pemberian otonomi yang
luas kepada penduduk Mentawai.

Penetrasi Pasar:
Pasang Surut Hasil Hutan dan Pertanian
Meningkatnya kontrol negara terhadap hutan yang diiringi de­
ngan se­ma­kin intensifnya pembangunan, penetrasi pasar, dan mening­
katnya ge­lom­bang migrasi ke Siberut telah mentransformasikan cara
pan­dang orang Siberut terhadap kehidupan sehari-hari. Kebanyakan
orang Siberut tidak menginginkan kembali hidup “sulit” dan ter­iso­la­si
seperti sebelumnya. Mereka menginginkan kehidupan yang le­­bih “ba­
ik” seperti yang diceritakan oleh pejabat setempat, dilihat di te­le­vi­si,
dan dibaca di media massa. Mereka menginginkan kehidupan mo­dern
seperti penduduk dunia lainnya: bepergian secara teratur, me­nik­
ma­ti barang-barang modern, dan menikmati pelayanan pen­di­dik­an
dan kesehatan. Mereka tidak mau lagi harus bersampan hanya un­
tuk membeli garam, berjalan kaki sepanjang hari untuk menjual ha­sil
bumi, atau melakukan perjalanan beberapa hari menuju pusat ke­ca­
mat­an guna mengantar anak sekolah. Meskipun ada sebagian war­ga
yang berusaha untuk mempertahankan gaya hidup ‘tradisional’, da­pat
dikatakan sebagaian besar warga Siberut menginginkan jalan, rumah,
pakaian yang lebih baik.
Tanaman-tanaman perkebunan yang baru dikenalkan. Hasil hu­
tan nonkayu dan kayu dari hutan dilihat sebagai salah satu cara un­tuk
me­wu­jud­kan tercukupinya kebutuhan dan hasrat-hasrat untuk me­
ning­kat­kan standar hidup yang lebih tinggi. Hal itu membuat mereka
mu­dah melibatkan diri secara aktif dalam ekonomi pasar melalui per­
la­dang­an skala kecil, meramu hasil hutan, dan menjual kayu olahan.
Kehidupan yang lebih baik dan keuntungan ekonomi menjadi alasan
yang masuk akal bagi keterlibatan orang Siberut dalam sejarah kon­
tak mereka dengan pasar. Tanaman komersial, baik yang berasal da­
ri hu­tan maupun yang dibudidayakan di lahan-lahan pertanian dan
ka­wasan pantai, menjadi bagian penting dari perubahan gaya hi­dup,
as­pi­ra­si, maupun relasinya dengan dunia luar. Kelapa, rotan, ceng­
keh, ga­ha­ru, dan nilam adalah tanaman-tanaman komersial yang
se­ca­ra lang­sung maupun tidak langsung mengambil peranan da­lam
per­ubah­an hubungan manusia dengan hutan. Bagian ini akan men­je­
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 169

las­kan sejarah tanaman-tanaman komersial berkembang di Siberut,


pe­nga­ruh­nya, dan dinamikanya dalam membentuk sejarah sosial di
Siberut

Kelapa dan Rotan


Kelapa dan rotan adalah komoditas paling tua yang diperdagang­kan
di Si­be­rut. Para pedagang dari etnis tetangga telah membeli kelapa
da­ri penduduk Siberut sejak abad ke-18 (Asnan 2007: 168; Loeb 1972:
168). Biasanya kelapa ditukar dengan kain, kelambu, barang-barang
me­tal seperti periuk logam, parang, kapak, dan lain-lain. Sebelum
men­ja­di komoditas pasar, kelapa dimanfaatkan masyarakat Siberut
se­ba­gai makanan ternak, bahan makanan, dan juga sebagai alat un­tuk
membayar maskawin atau alat resolusi konflik. Fungsi-fungsi sub­sis­
ten­si dan sosial kelapa seperti di atas sampai sekarang masih sangat
pen­ting dalam kehidupan sosial di Siberut.
Kelapa sudah lama dibudidayakan oleh orang Siberut, ter­u­ta­ma
di daerah pesisir di pantai timur dan selatan yang berpasir se­hing­
ga sangat cocok bagi pertumbuhannya. Pada zaman kolonial, per­
da­gang­an kelapa dimulai melalui etnis tetangga, Minangkabau, dan
se­se­kali saudagar Bugis yang berlayar paruh waktu. Catatan resmi
menunjukkan, kelapa mulai dibudidayakan di Siberut sejak sebelum
itu. Crisp (dalam Reeves 2004) menyinggung jual beli kelapa di pulau
Sikakap dan Marsden (2008) serta Asnan (2007) menuliskan adanya
transaksi perdagangan dengan administrasi kolonial. Melalui sumber-
sum­ber dari Gereja, Coronese (1986) menulis bahwa di akhir abad ke-
19, pa­ra pedagang Bugis, Minangkabau dan Tamil telah berdagang
de­ngan penduduk Siberut secara reguler. Pedagang-pedagang
Minang­­­ka­bau mengisi celah perdagangan kelapa dengan menjadi
teng­­ku­lak yang secara rutin mengambil kopra dari selatan Siberut dan
me­nya­lur­kan­nya ke pasar regional di Sumatra.
Perdagangan semakin intensif ketika beberapa perantau Mi­nang­
ka­bau mengusahakan kebun kelapa di pantai pulau-pulau kecil di ba­
gi­an timur awal abad ke-20. Menetapnya para perantau Minang di ko­
ta-ko­ta pelabuhan di Muara Siberut dan Muara Sikabaluan semakin
mem­bu­ka jaringan perdagangan. Dengan menetap, para perantau
le­­luasa memiliki waktu untuk mengawetkan kelapa menjadi kopra se­
hing­­ga lebih menguntungkan. Sedikit pejabat yang bertugas di Siberut
ter­­li­bat dalam bisnis kopra dan menginvestasikan pendapatannya de­
ngan membeli kapal pengangkut kopra. Agar pasokan kopranya secara
170 Berebut Hutan Siberut

ter­atur terpenuhi, pejabat lokal dan pedagang mendorong orang Si­be­


rut untuk menanam lebih banyak lagi kelapa. Seringkali usaha ini di­
la­ku­kan dengan persuasi yang dirasakan sebagai paksaan.
Tanpa dorongan dari luar pun, orang Siberut sangat tertarik de­
ngan ke­la­pa. Kesempatan pasar yang terbuka untuk mendapatkan
uang tu­nai meningkatkan intensitas budi daya kelapa. Meningkatnya
per­­min­ta­an kelapa yang dikeringkan (kopra) sebagai bahan baku
mi­nyak atau industri makanan merangsang orang Siberut meng­
aku­mu­la­si­kan ke­ka­ya­an­nya dalam bentuk pohon kelapa. Dari hasil
men­ju­al kelapa, warga Siberut mendapatkan barang-barang yang
ti­dak bisa mereka pro­duk­si sendiri seperti parang, kapak, pakaian,
gergaji mesin, barang-ba­rang logam, serta membangun rumah yang
terbuat dari beton. In­ten­si­tas perdagangan kelapa semakin kuat pas­
ca­kemerdekaan. Ini se­ja­lan dengan usaha para perantau Minang yang
mulai, tidak hanya mem­be­li kelapa, tetapi juga mulai mengincar la­
han produksi. Sejak 1950-an, sebagian tanah dan pulau berpasir di
ka­wasan selatan Si­be­rut telah dibeli pedagang Minangkabau. Simak
per­nyataan dari salah se­orang anggota Uma Samarurok tentang hal
ini:
Kakek kami tidak tahu pada waktu (penjualan) itu. Kami masih
bo­doh dan tidak tahu apa-apa. Pulau kami hanya dihargai de­
ngan 2 parang dan uang Rp20.000. Apalah yang ia (kakek) tahu
pa­da waktu itu. Dapat saja rokok dan tembakau sudah senang
dia.8

Selain kelapa, rotan adalah komoditas utama perdagangan Si­


be­rut. Dari dokumen tertulis, rotan sudah diperdagangkan ke luar
Siberut sejak abad ke-19 melalui perantara pedagang China, Melayu,
dan Minangkabau (Asnan 2007). Mungkin perdagangan rotan sudah
lebih lama dan terjadi sebelum abad ke-19. Rotan yang paling terkenal
dari Siberut adalah rotan manau. Rotan Siberut jenis ini terkenal ka­
re­na ukuran dan kualitasnya. Rotan dikumpulkan dari hutan-hu­tan
pri­mer dan membutuhkan tenaga kerja yang besar. Sebelum mer­de­ka,
per­da­gang­an diatur melalui jual beli bebas. Penduduk menjual ro­tan­
nya secara bebas pada pedagang yang berkunjung secara berkala ke
Si­be­rut. Sistem konsesi mulai diberikan kepada pengumpul dan peng­
u­saha hutan pasca-Orde-Baru. Dengan sistem konsesi, orang Siberut
men­jual rotannya kepada pengumpul di tingkat kecamatan lalu di­jual
8 Wawancara dilakukan di Puro, Mei 2007.
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 171

kepada pengusaha besar di Padang yang memiliki izin konsesi. Se­


lain rotan manau, penduduk Siberut juga sesekali menjual rotan yang
lebih kecil dari jenis lokal pelege. Rotan jenis ini dapat disimpan dan
juga digunakan untuk kerajinan sehari-hari (keranjang, tali, atap).

Tabel 4. Produksi Rotan di Pulau Siberut yang tercatat

Manau Rotan lain Penjualan


Tahun
(batang) (kg) (Rp)
1975-1976ª 482.111 - 48.2111.100
1976-1977b 1.088.269 - 108.826.900
1977-1978b 695.754 97.750 -
1978-1979 b
488.168 65.390 -
1979-1980 b
856.963 128.140 -
1981-1982 b
450.00 175.000 -
1982-1983 b
315.800 173.000 -
2002 c
1.836.000 - 9.180.000.000
Sumber: a WWF (1980); b Mitchel (1982); c Anggraini dan Suhandi (2002)

Pengaruh pasar menjadi lebih kuat sejalan dengan terikatnya pen­


du­duk Siberut ke dalam tatanan negara pascakemerdekaan. Penduduk
Siberut mulai terintegrasi dengan pasar bersamaan dengan masuknya
ide-ide tentang wacana kebangsaan dan nilai-nilai kebudayaan na­
sio­nal. Imajinasi menjadi bagian dari bangsa Indonesia (Anderson
1982) membuat penduduk yang secara geografis tidak terhubung se­
ca­ra langsung dengan wacana nasionalisme terhubungkan dengan
ma­syarakat yang luas melalui pertukaran komoditas (Abdullah 1999).
Ni­lai-nilai dan wacana kebangsaan atau perasaan menjadi bagian dari
bangsa Indonesia atau warga dunia terwakili dalam distribusi barang-
ba­rang dan jasa dari pusat-pusat kebudayaan, kota-kota besar, dan
luar negeri. Barang-barang produk industrialisasi yang semakin masif
ter­sebar sampai pedalaman Siberut. Sebaliknya, produk-produk hu­tan
dari Siberut pun menyebar ke berbagai tempat secara nasional. Per­
tu­kar­an antara hasil ekstraksi sumber daya alam dan barang-barang
industri terjadi melalui perantaraan para pendatang yang menetap.
Sistem konsesi pengumpulan hasil hutan dimulai seiring dengan
ke­lu­ar­nya UU Kehutanan 1967. Pada 1969, UU itu berlaku secara
efek­tif. Pemerintah memberikan izin pemanfaatan rotan di Siberut
172 Berebut Hutan Siberut

ke­pa­da sejumlah perusahaan yang seluruhnya dimiliki oleh para pen­


da­tang. Perusahaan itu di antaranya CV Prima Sari, CV Quita, CV
Ri­der­co, dan CV Tridata (WWF 1980: 30). Mereka mengirim rotan ke
Pa­dang lantas diolah menjadi bahan setengah jadi. Para pemilik kon­
se­si tersebut mengakui, pemerintah tidak pernah memberikan ba­tas­
an kuota. Pengontrolan di lapangan mengenai aturan perizinan juga
tidak pernah dilakukan. Kalaupun pernah dilakukan, pejabat pe­ngon­
trol­an mudah disuap.9

Pasang Surut Tanaman Komersial

Cengkeh
Tidak semua pendatang Minangkabau berprofesi tunggal sebagai
pe­da­gang. Sebagian lain mengkombinasikan profesi itu dengan peker­
ja­an ber­tani. Sebagian lain fokus menanam cengkeh pada awal 1950-
an. Pro­gram-program pemerintah untuk mengatasi “keterbelakangan”
orang Siberut dimulai dengan pembagian bibit cengkeh di sepanjang
ti­mur pantai Siberut dan pulau-pulau kecil lepas pantai. Dengan to­
po­grafi yang lebih landai dan berada di jalur angin laut yang kering,
ba­gian timur Siberut cocok untuk tanaman cengkeh. Cengkeh disukai
karena menghasilkan buah sepanjang musim. Cengkeh bisa dicampur
dengan durian dan tanaman buah di pumonean. Selain itu, cengkeh
tidak harus dirawat secara intensif sehingga tak membutuhkan terlalu
banyak tenaga perawatan.
Cengkeh bukanlah tanaman asli Siberut. Tanaman ini dibawa dari
Su­ma­tra. Pada awalnya, warga Siberut tidak terlalu menaruh perha­
tian ka­re­na penjualan kelapa dan rotan jauh lebih menguntungkan.
An­jur­an hing­ga paksaan dari pejabat lokal untuk menanam cengkeh
pada 1950­-an tidak dihiraukan penduduk Siberut. Namun, setelah pa­
ra pen­da­tang sukses menikmati panen cengkeh awal 1960-an, warga
Si­be­rut mencari-cari bibit cengkeh. Mereka mengambil bibit yang
tum­­buh di sekitar pohon cengkeh milik pendatang dan menanamnya
di la­dang-la­dang miliknya.
Pusat-pusat penanaman cengkeh terdapat di bukit-bukit yang
ber­­­ba­tas­an dengan pantai timur, misalnya di Sirilogui, Bose, Saibi, dan
Taileleu. Meskipun produktivitasnya lebih tinggi jika dirawat de­ngan
9 Keterangan dari pemilik CV Prima Sari. Sebagai perbandingan, kasus penyuapan dalam pro­ses per­
izin­an konsesi hasil hutan nonkayu di Siberut terungkap dalam berita Puailiggoubat (2006).
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 173

Gambar 9. Komoditas cengkeh dan kakao di Siberut (Darmanto).


174 Berebut Hutan Siberut

intensif, penduduk Siberut membiarkan cengkeh tumbuh se­te­ngah


liar dan hanya mengandalkan musim angin yang baik untuk men­da­
tang­kan panen yang berlimpah. Di daerah pedalaman dan pan­tai ba­
rat yang jauh lebih lembap, cengkeh dapat hidup tetapi tidak da­pat
ber­pro­duk­si baik. Proses pertumbuhannya terhambat jamur dan lia­na
yang menyukai tempat-tempat lembap di batang-batang ceng­keh.
Harga cengkeh yang meninggi pada 1970 direspons cepat war­
ga Si­be­rut. Di bagian tengah Siberut, penduduk Saibi antusias meng­
kon­ver­si hutan dekat pantai menjadi kebun cengkeh. Di bagian barat
da­ya, penduduk Katurei dan Taileleu segera membuka ladang-ladang
ba­ru di atas bukit yang menghadap pantai. Sebagian besar bukit-bu­kit
di pantai timur yang menghadap ke arah laut telah kehilangan hu­tan­
nya dan digantikan cengkeh, kecuali untuk bukit-bukit yang berada
di le­reng terjal. Pada 1970 dan 1980-an tanaman cengkeh telah sama
pen­ting­nya dengan kelapa pada dekade sebelumnya. Apalagi pada
1980-an harga cengkeh mencapai puncaknya. Meskipun karena tek­
nik bu­di­da­ya, ketersediaan tenaga kerja, dan kondisi cuaca yang ti­dak
me­mung­kin­kan cengkeh berbuah lebat sepanjang tahun dan ha­nya
men­ca­pai panen raya setiap 3-5 tahun sekali, cengkeh menjadi ko­mo­
di­tas andalan. Untuk mengatasi fluktuasi harga, sebagian penduduk
me­nyim­pan cengkeh yang telah dipanen di tempat yang terlindung
dan men­jual­nya berangsur-angsur apabila harga naik.
Tingginya harga cengkeh tidak berlangsung lama. Pada awal
1990-an, har­ga cengkeh jatuh. Pada masa ini, pemerintah membatasi
kuo­ta pe­ne­ri­ma­an cengkeh. Dengan alasan untuk mempertahankan
ke­sta­bil­an harga dan keuntungan, pemerintah mengeluarkan ke­bi­jak­
an monopoli ekspor cengkeh. Perusahaan yang mendapat konsesi eks­
por cengkeh adalah milik anak Soeharto. Praktik monopoli cengkeh ini
me­nye­bab­kan pasokan cengkeh dari petani ditekan. Harga cengkeh
me­nu­kik turun pada akhir 1980-an. Harga yang memburuk ini me­nye­
bab­kan orang Siberut mengabaikan pohon cengkeh mereka, bahkan
se­ba­gi­an menebang pohon-pohon itu. Penambahan kebun cengkeh di
Si­be­rut nyaris tidak ada dan penanaman cengkeh skala rumah tangga
me­nyu­sut drastis pada 1990-an. Sebagian ladang dibiarkan tidak te­
ra­wat sehingga bercampur dengan tumbuhan hutan yang perlahan
meng­in­va­si ladang. Cengkeh bercampur dengan durian, langsat, dan
tum­buh­an hutan sehingga menyerupai hutan sekunder. Ladang ceng­
keh hanya dikunjungi sesekali ketika harga membaik.
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 175

Gaharu dan nilam


Dalam bahasa lokal, gaharu10 (Aquilaria malaccensis) disebut
sebagai si­moi­tek. Secara tradisional tanaman ini tidak banyak
mendapat per­ha­ti­an karena kualitas kayunya yang tidak terlalu bagus
untuk kon­struk­si rumah dan sampan. Namun, pada awal 1980-an,
beberapa pe­da­gang, kebanyakan dari Sumatra Barat dan Riau, datang
ke pulau ini dan memanfaatkan penduduk lokal untuk mencari gaharu
karena har­ganya yang tinggi di pasaran internasional (Persoon 2001).
Gaharu umum­nya diekspor ke luar negeri—terutama timur tengah—
sebagai bahan aromatik untuk membuat wewangian, parfum, atau
ba­han baku kecantikan. Dua perusahaan, PT Yong Dai He dan PT
Pawana Satya Uta­ma, secara resmi mendapatkan izin konsesi untuk
mengambil ga­ha­ru Siberut. Di kawasan lain di Indonesia, perdagangan
gaharu men­da­pat­kan kontrol yang sangat kuat dari bisnis militer
(Potter 1991). Per­min­­ta­an gaharu meningkat sejalan dengan tingginya
ekspor ke luar negeri pada pertengahan 1980-an (Voice of Nature
1990).
Pasar gaharu melibatkan jaringan sebagai berikut: masyarakat
Si­be­rut sebagai pengumpul, pedagang perantara yang kebanyakan et­
nis Minangkabu, Nias, dan Batak, serta para pemodal (tauke) yang
umum­­­nya saudagar keturunan Tionghoa yang mengendalikan per­u­sa­
ha­an­nya dari Padang atau Pekanbaru. Gaharu yang dikumpulkan da­ri
Si­be­rut diekspor ke Singapura, Timur Tengah, Hongkong, dan Je­pang
(Voice of Nature 1990; Ave and Sunito 1990). Para pemodal men­ja­lan­
kan bisnisnya dengan mempekerjakan penduduk Siberut sebagai pen­
ca­ri gaharu. Pengusaha mempekerjakan penduduk lokal dengan mem­
ben­tuk tim yang berisi antara 35-40 pekerja. Mereka menyediakan
ke­bu­tuh­an makanan pekerja lokal ini. Sebagai imbalannya, para pe­
ker­ja lokal harus menjual gaharu kepada pengusaha tersebut. Di lu­ar
izin resmi yang diberikan kepada dua perusahaan tersebut, para pe­
da­gang kecil dan menengah bekerja sama dengan penduduk Siberut
se­ca­ra ‘ilegal’, juga mencari gaharu.
Sebelum adanya perdagangan gaharu, penduduk Siberut ti­dak
mengetahui nilai komersial pohon gaharu di pasaran global. Me­re­ka
mulai mengenal nilai gaharu setelah para pedagang mulai me­na­war­
kan barang-barang berharga seperti mesin tempel perahu dan ge­ne­

10 Gaharu dihasilkan dari infeksi sejenis jamur Diplodia sp, Phytium sp, dan Fusarium solani terhadap
ja­ring­an pada akar, batang, atau dahan pohon Aqualaria malaccensis (Nurhayati 1990). Infeksi ini akan
meng­hasil­kan damar yang bernilai mahal yang disebut gaharu.
176 Berebut Hutan Siberut

ra­tor listrik untuk ditukar dengan beberapa kilogram gaharu. Para


peng­u­sa­ha juga mulai membeli gaharu secara tunai setelah semakin
ba­nyak yang ditemukan. Setelah mengetahui nilai komersialnya, se­lu­
ruh penduduk pun memburu gaharu. Pada 1990-an, saat demam ga­
ha­ru memuncak, satu kilogram gaharu harganya mencapai Rp2,5 ju­ta.
Orang Siberut menukarkan hasil penjualan gaharu dengan barang da­
ri lu­ar seperti rokok, kain, perkakas makan dari gelas, mesin perahu,
te­le­vi­si, gergaji mesin (Voice of Nature 1990). Ketiadaan pengalaman
un­­tuk mengidentifikasi mana yang terinfeksi atau tidak membuat sa­tu-
sa­tu­nya jalan mendapatkan gaharu adalah menebang seluruh po­hon.
Hal ini membuat penebangan gaharu di hampir seluruh Pulau Si­be­rut
semakin marak (Persoon 2001). Selama kurang dari lima tahun, eks­
ploi­ta­si gaharu di Siberut terjadi secara masif. Akibatnya, pada 1994,
da­ri ha­sil kajian proyek PKAT, gaharu berada dalam kondisi terancam
pu­nah di Siberut.
Banyak pencari gaharu mendapatkan uang dalam jumlah relatif
be­sar. Gaya hidup sehari-hari pun berubah. Pola makan dan konsumsi
ber­ubah. Seorang narasumber kami di Ugai bisa membangun rumah
ka­yu yang cukup bagus dari hasil bekerja sama dengan pengusaha ga­
ha­ru asal Pekanbaru. Uang dari mencari gaharu mereka istilahkan se­
ba­gai “rejeki harimau”, gampang didapat tetapi juga gampang hilang.
Be­be­ra­pa anak muda yang mendapatkan uang segera pergi ke kota
ter­­de­kat untuk memborong benda-benda berharga seperti jam tangan,
ka­ca­mata, baju, televisi dan radio, atau tape recorder.
Keuntungan terbesar dari gaharu tetap dinikmati oleh para peng­
u­sa­ha dari Padang atau Pekanbaru. Rantai perdagangan gaharu yang
ber­orientasi ekspor lebih memberikan keuntungan bagi pedagang pe­
ngum­pul besar. Beberapa pedagang Minangkabau juga mendapat ba­
gian yang lumayan besar dari rantai ekonomi perdagangan gaharu. Para
pe­da­gang lokal ini menggunakan keuntungan itu untuk membuka dan
men­ja­lan­kan usaha kelontong dan bisnis lainnya. Dengan kepintar­an
me­­re­ka berinvestasi pedagang-pedagang perantara ini dapat bertah­an
di Si­be­rut. Hal ini berbeda dengan yang dialami penduduk lokal. Uang
da­ri ga­ha­ru segera habis tanpa diinvestasikan kembali ke kegiatan eko­
no­mi produktif. Tak heran, beberapa pencari gaharu kembali mencari
ro­tan atau bekerja di ladang.
Pada awal 1990-an, ekspor gaharu menyusut drastis. Konflik
ber­­ke­pan­jang­an di kawasan Teluk Persia, yang memuncak dengan se­
rang­an pasukan Sekutu ke Irak, membuat ekspor gaharu ke kawasan
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 177

itu prak­tis berkurang drastis (Persoon 2001: 73). Pada pertengahan


1990-an, harga gaharu jatuh pada titik terendah. Tahun 1998, izin
per­­u­sa­ha­an gaharu secara resmi tidak diperpanjang lagi. Beberapa
orang melanjutkan pencarian gaharu untuk dijual di pasar terbuka.
Me­re­ka mencari sisa-sisa pohon gaharu di belantara hutan Siberut,
mes­ki­pun tidak seramai pada dekade 1980-an. Habisnya gaharu dan
ja­tuh­nya harga cengkeh mengalihkan perhatian penduduk Siberut
un­­tuk mengolah tanaman nilam (Pogostemon cablin). Nilam populer
di­se­but sebagai patchouli oil, yang berasal dari bahasa Tamil patchai
(hi­jau) dan allay (daun). Minyak patchouli dari nilam ini didapatkan
da­ri destilasi daun nilam melalui pemanasan menggunakan api.
Nilam bukanlah tanaman eksotik yang didatangkan. Sebelumnya,
ni­lam tumbuh sebagai semak-semak dan tak diperhatikan. Masyarakat
me­nge­nal nilam (patikkailo) sebagai obat tradisional radang sendi
atau untuk cuci rambut bagi perempuan. Daun nilam dapat dipanen
se­te­lah berusia 6-8 bulan. Minyak nilam adalah senyawa alkaloid yang
men­ja­di bahan dasar dalam industri kosmetik—terutama parfum dan
we­wa­ngi­an. Pengetahuan akan nilai komersial nilam dibawa dan di­
so­sialisasikan ke Siberut oleh pemerintah dan pedagang. Masyarakat
lokal mulai mengembangkan nilam setelah ada kenaikan harga nilam
awal 1990-an.
Nilam adalah jenis tumbuhan rakus hara. Dia membutuhkan ta­
nah yang subur dan cukup cahaya matahari. Penanaman ulang di tem­
pat yang sama akan menghasilkan nilam dengan kualitas minyak atsiri
yang ren­dah. Untuk meningkatkan produksi minyak nilam, penduduk
me­ngem­bangkan pertanian ekstensif dengan membuka hutan. Nilam
di­kembangkan tidak melalui pertanian menetap seperti di Sumatra
atau Jawa. Ketersediaan lahan yang berupa hutan menjadi keuntungan
ba­gi peladang nilam untuk membuka ladang seluas mungkin. Di sisi
la­in, proses penyulingan minyak nilam membutuhkan banyak kayu
ba­kar. Karena kebutuhan kayu bakar untuk penyulingan tinggi serta
si­fat­nya yang ekstensif, budidaya nilam mengakibatkan luas tanah ter­
lan­tar dan tak produktif dengan kandungan hara yang menurun dras­
tis, bertambah (Goltenboth dan Timotius 1996). Masyarakat Si­be­rut
tidak mengimbangi pertanian ekstensif ini dengan penguasaan tek­no­
lo­gi yang mencukupi. Mereka mengandalkan penyulingan sederhana
da­ri logam yang berkualitas rendah dan mudah berkarat. Hasil pe­
nyu­ling­an dengan metode ini seringkali tidak maksimal sehingga pro­
duk­si­nya tidak begitu besar.
178 Berebut Hutan Siberut

Harga nilam di pasar regional tidak pernah stabil. Fluktuasinya


sa­ngat ce­pat dan seringkali drastis. Misalnya, pada 2006, harga rata-
ra­ta mi­nyak nilam adalah Rp300.000/liter untuk kuartal tahun per­
ta­ma. Akan tetapi, pada kuartal terakhir, harganya dapat melonjak
men­ca­pai Rp700.000/liter dan pada tahun berikutnya menukik sam­
pai Rp180.000/liter. Krisis ekonomi nasional dan perubahan nilai tu­
kar rupiah atas dolar AS di pengujung dekade ’90-an mempengaruhi
har­ga nilam. Pada saat nilai rupiah jatuh, harga nilam dalam dolar
me­ning­kat.11
Ketika harga nilam mencapai puncak tertinggi dan produksi men­
ca­pai titik maksimal pada akhir 1997. Demam minyak nilam me­nye­bar
luas di seluruh Siberut. Situasi ini memunculkan sikap oportunis. Me­
re­ka meninggalkan ladang dan beramai-ramai membuka hutan un­tuk
berladang nilam. Pertengahan 1990-an menjadi puncak kejayaan ni­
lam di Siberut (Goltenboth & Timotius 1996). Tahun itu dikenang war­
ga sebagai periode keemasan nilam. Hampir setiap rumah tang­ga me­
mi­liki cadangan nilam. Masyarakat Siberut mengenang, pa­da ma­sa itu
me­re­ka dapat membeli barang-barang mewah dan menyelenggarakan
pes­ta natal dan tahun baru dengan meriah dan besar-besaran, tanpa
per­lu mengandalkan bantuan dan sumbangan Gereja. “Kami dapat
mem­be­li semua stok beras di Muara Siberut. Kami berhari-hari makan
ro­ti kaleng, kue-kue, dan daging babi sepuas-puasnya...,” demikian
ka­ta se­or­ ang warga Rogdok kepada kami.12
Meledaknya nilam ini merupakan hasil fluktuasi harga komodi­tias
produk-produk hutan di seluruh dunia. Situasi ini berlangsung hing­ga
awal dekade 2000-an. Sebagai akibatnya, masyarakat sangat opor­tu­
nis ketika berurusan dengan pasar jenis ini. Pilihan bertani nilam me­
na­rik minat para peladang jika harga di pasaran sangat tinggi. Pa­da
saat harga melonjak, hampir semua rumah tangga di Siberut mem­
bu­ka hutan (Goltenboth & Timotius 1996: 429). Satu rumah tangga
mem­bu­ka lebih dari 1 ha. Pada saat harga minyak nilam jatuh, mereka
me­ning­gal­kan­nya dan beralih ke komoditas lain. Pada 2004, banyak
ma­sya­ra­kat memutuskan berhenti menanam nilam karena sulitnya
me­ne­mu­kan harga yang sebanding dengan tenaga kerja, juga karena
ke­ter­se­dia­an lahan subur semakin sedikit. Pada tahun itu harga nilam

11 Krisis keuangan menguntungkan peladang nilam. Sebagai komoditas ekspor, harga nilam melonjak
se­tu­rut menguatnya nilai dolar terhadap rupiah.
12 Keterangan warga Rogdok, Juni 2005. Keterangan yang senada juga kami dapatkan dari warga Desa
Madobak dan Katurei dalam sebuah diskusi pada 2006.
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 179

men­ca­pai titik terendah, yaitu Rp90.000/liter. Beberapa peladang


yang ma­sih ber­tahan menanam nilam beralasan hanya inilah pilihan
yang ada un­tuk mendapatkan uang secara cepat dalam waktu yang
relatif singkat.
Pilihan untuk berladang nilam dan mencari gaharu, serta opor­tu­
nis­me dalam menyikapi fluktuasi harga tanaman komersial didorong
oleh tidak adanya pekerjaan tetap. Pekerjaan tradisional, yakni mencari
rotan, dirasa sangat berat. Untuk mengumpulkan rotan, Mereka harus
le­bih dalam masuk ke hutan dan naik turun bukit. Selain itu, rotan ju­
ga bukanlah produk hutan yang gampang dijual. Rotan harus segera
di­olah agar tak cepat membusuk. Sedangkan transportasi dari dan ke
da­lam hutan sangat sulit. Sungai-sungai bisa tiba-tiba menyusut atau
me­luap, sehingga pengiriman rotan sering terhambat. Keterlambatan
ini mem­bu­at tengkulak batal datang. Kalaupun mengambil rotan,
teng­ku­lak tidak membayar dengan uang tunai. Rotan hanya boleh di­
tu­kar dengan barang dagangan seperti rokok, baju, beras, kue-kue,
cabe, atau minyak tanah. Hal ini membuat peramu rotan tidak men­
da­pat­kan keuntungan tunai. Akibatnya, hasil kerja keras selama se­ha­
ri­an penuh hanya cukup untuk mengganti ransum yang mereka pin­
jam da­ri kedai.
Untuk memperoleh gambaran dilema mereka dalam menghadapi
fluktuasi pasar ini, mari simak kutipan ini:
Susah kita jadi orang Siberut. Rotan semakin habis. Untuk men­
da­pat­kan­nya, kita harus pergi jauh ke dalam hutan. Kita per­lu
wa­ktu dua hari untuk rotan-rotan yang bahkan masih mu­da. Sa­
at ceng­keh panen, harganya jatuh. Gaharu juga hanya se­ben­tar
dan ti­dak banyak orang menjadi kaya—kecuali para pedagang
di Muara. Sementara, tanpa sekolah dan ijazah, mana mungkin
kita menjadi pegawai.13

Peluang pasar mengubah pemaknaan orang Siberut terhadap ta­


nam­an-tanaman yang dianggap inferior seperti sagu. Pada awal 1990-
an, pa­brik pengolahan sagu PT Sago Siberut Perkasa dibangun oleh
peng­u­sa­ha dari Riau, yang telah memperoleh izin dari pemerintah
pro­vin­si dan kabupaten.14 Perusahaan ini mendapatkan hak untuk

13 Aman tak Gozi Sanambaliu dalam wawancara di Ugai, Juli 2007.


14 Lahan itu diambil dari warga yang sebelumnya dimukimkan ke tempat lain. Si pemilik sagu memprotes
ke­ha­dir­an perusahaan itu karena tidak mendapat kompensasi pengambilan lahan. Protes tersebut
ti­dak ber­hasil karena kehadiran militer melindungi keberadaan perusahaan sagu tersebut (Skephi
1992).
180 Berebut Hutan Siberut

meng­olah rawa-rawa bersagu seluas 30 ha di selatan Siberut. Proses


pengolahan sagu dikenal menjadi aktivitas industri pertama di sektor
non­kayu di Siberut. Warga Siberut melihat kehadiran pabrik sagu se­
ba­gai kesempatan ekonomi. Banyak orang tertarik untuk menjual sa­
gu me­reka kepada perusahaan ini.15
Secara tradisional, sagu dikenal sebagai makanan pokok dan ke­
ber­ada­an­nya dihubungkan dengan kehidupan subsisten. Banyak do­
ngeng dan mitos Mentawai mengesankan sagu sebagai tanaman spi­
ri­tu­al. Meskipun demikian, banyak orang Siberut tertarik dan aktif
me­na­war­kan sagu kepada perusahaan kayu. Oleh orang luar, sagu
di­ke­san­kan sebagai makanan inferior dan sebisa mungkin diganti de­
ngan beras. Hamparan sagu yang tak terbilang luasnya hanya bernilai
ko­mer­si­al rendah, meskipun memiliki nilai kultural dan nilai ekonomi
sub­sis­ten yang tinggi. Seperti yang dilihat Persoon (2001), poin pen­
ting dari perubahan nilai sagu ini adalah perubahan penilaian dan pan­
dang­an terhadap sumber daya alam. Oleh pemerintah dan para mi­
gran, sagu merupakan tumbuhan kelas rendah yang mencirikan sim­bol
keterbelakangan dan kemiskinan. Mereka kerap mengaitkan kon­sum­
si sagu sebagai tindakan primitif. Namun tidak lama berselang, oleh
rang­sang­an orang luar yang diwakili oleh pengusaha, sagu menjadi
sim­bol pembangunan dan kemajuan ekonomi serta membawa arus
ba­ru model pengelolaan yang lebih berorentasi ekonomi.

Transformasi Pandangan terhadap Hutan


Pasar dan uang adalah agen yang cukup dominan dalam meng­
ubah po­la produksi dan konsumsi dan menyebabkan penduduk mem­
buka hu­tan, menanam jenis tanaman tertentu, dan berpindah-pindah
da­ri ko­mo­di­tas satu ke yang lainnya. Hasil cengkeh dan kelapa bisa
mem­ban­tu membeli kebutuhan dasar seperti gula, kopi, minyak tanah,
se­men­ta­ra penjualan gaharu dan hasil minyak nilam memungkinkan
ma­sya­ra­kat membeli peralatan yang dianggap modern seperti mesin
tem­pel, televisi, gergaji mesin, hingga perkakas rumah tangga.
Perubahan nilai jenis-jenis tertentu dalam perdagangan hasil hu­
tan memberi dampak yang mendalam bagi pandangan terhadap hu­
tan. Contoh perubahan ini terekam sangat baik dengan munculnya ke­
be­ra­ni­an orang untuk masuk ke dalam hutan setelah gaharu muncul

15 Warga mendapatkan Rp1.000-1.250 untuk satu tual (potongan sagu seukuran depa orang dewasa,
se­ki­tar 125 cm). Untuk satu pohon sagu dihargai Rp8.000 (Persoon 1997).
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 181

men­ja­di barang berharga. Setelah permintaan gaharu meningkat dan


ha­sil penjualannya sangat tinggi, orang-orang Siberut berlomba-lom­
ba untuk masuk ke dalam hutan. Di masa-masa demam gaharu, ti­
dak ada hutan—baik yang keramat maupun yang tidak—yang tidak
di­ja­mah oleh orang Siberut. Dukungan keberanian ini ditopang oleh
pe­nga­ruh para migran yang juga turut serta masuk-keluar hutan men­
ca­ri gaharu.
Seorang pencari gaharu terkenal asal Ugai menceritakan, pa­da
saat puncak pencarian gaharu pada dekade 1990-an, ia tidak per­­nah
pulang ke rumahnya selama beberapa bulan. Sebagian besar wak­tu­
nya dihabiskan di hutan-hutan. Sesekali ia akan turun ke dusun atau
desa terdekat untuk membeli ransum (beras, rokok, minyak ta­nah).
Di dalam hutan seringkali ia berjumpa dengan pencari gaharu la­in
dari seluruh penjuru Siberut. Untuk mencari gaharu, ia telah me­nga­
rungi 5 lembah dan hafal dengan nama-nama hutan tersebut. Ia men­
jadi lebih berani mengunjungi hutan yang dulu dikisahkan kakek dan
keluarganya sebagai tempat yang berbahaya.
Pascademam gaharu, hutan-hutan yang dulu ditakuti bisa di­ma­
suki tanpa harus melakukan upacara. Semakin jarang dijamah, maka
hu­tan itu semakin menjadi incaran para pemburu gaharu. Di hutan-
hu­tan yang sukar didaki, dimasuki, atau berupa ngarai yang tajam dan
pe­nuh pohon besar, gaharunya kemungkinan belum diambil orang
lain. Orang menjadi semakin intensif untuk tinggal di hutan berhari-
hari dan menghabiskan malam-malamnya di hutan. Situasi ini jarang
ter­jadi, di mana orang tinggal dan menginap di hutan. Sejak demam
ga­ha­ru, hutan dijelajahi, diperiksa, dan ditebangi pohon gaharunya.
Fak­tor utama yang menyebabkan munculnya keberanian ini adalah
ting­gi­nya nilai gaharu. Uang mendorong orang untuk lebih banyak
men­dapatkan gaharu—sejauh yang mereka bisa dapat.
Seiring meningkatnya peredaran uang hasil gaharu dan booming
ta­nam­an komersial, gaya hidup orang Siberut juga berubah. Sampul
ma­ja­lah Voice of Nature (1990) memberi gambaran yang tepat me­nge­
nai perubahan ini. Majalah itu memuat foto seorang sikerei ber­ka­ca­
ma­ta ray-ban, menggunakan kamera dan memanggul senapan angin.
Judul artikel majalah itu adalah, Siberut the Grip of Gaharu Fever.
De­ngan uang yang didapatkan dari gaharu orang Siberut bisa mem­be­
li barang-barang yang mereka inginkan. Uang itu juga bisa digunakan
un­tuk melakukan perjalanan ke Padang, membeli televisi, dan atau ba­
gi yang lebih taktis menginvestasikan uang tersebut untuk membayar
182 Berebut Hutan Siberut

bia­ya anak-anaknya di kota kecamatan atau Padang. Benda-benda


yang di­gu­na­kan untuk mengeksploitasi hutan seperti gergaji me­sin
dan senapan angin untuk berburu satwa liar pun bertambah ba­nyak.
Ke­ha­dir­an senapan angin meningkatkan aspek perburuan. Ber­buru
bisa lebih efisien dan praktis. Perburuan baik yang bersifat ri­tu­al
maupun berburu dengan senapan angin lebih berpeluang meng­ha­sil­
kan buruan yang beragam dan dalam jumlah lebih banyak. Perburuan
he­wan-hewan yang lebih kecil seperti kelelawar, tupai, atau burung
men­jadi kian marak.
Begitupun dengan meluasnya penggunaan gergaji mesin yang
me­­­mu­dah­kan pembukaan ladang. Menebang pohon lebih mudah de­
ngan gergaji mesin daripada menggunakan kapak. Penggundulan hu­
tan meluas seiring dengan dibukanya ladang nilam dan cengkeh de­
ngan gergaji mesin. Hutan di Siberut mengalami tekanan dari dalam
dan pem­bu­ka­an hutan ini jauh lebih cepat karena bisa dikerjakan
oleh setiap orang. Seperti juga berburu, cara berladang dan membuka
hu­tan tidak lagi sepenuhnya mengandalkan upacara-upacara dan
pan­tang­an. Hutan-hutan Siberut mengalami tekanan hebat akibat
me­lu­as­nya pembukaan ladang tanaman komersial yang disokong me­
lu­as­nya penggunaan gergaji mesin.
Proses penanaman cengkeh dan kelapa tidak hanya menandai
ma­­suk­nya jenis tanaman baru yang laku dijual, tetapi dapat mengubah
pe­ngu­a­sa­an tanah dan hutan. Para perantau Minangkabau mulai
mem­be­li tanah subur di dekat pantai dan pulau-pulau kecil lepas pan­
tai. Jika dilihat dari arah laut, lahan-lahan yang rimbun oleh pala dan
ceng­keh di sekitar kota kecamatan sebagian besar sudah dimiliki pe­
ran­tau Minangkabau. Sedangkan pada awal-awal Orde Baru, pejabat
ren­dah­an (polisi, guru, militer) menggunakan klaim sebagai wakil
negara untuk mengalihkan tanah menjadi kebun cengkeh yang melalui
hubungan patronase dengan beberapa penduduk Siberut.
Perubahan nilai komoditas dalam sistem ekonomi berbasiskan
per­da­gang­an membuat masyarakat Siberut lebih intensif ter­hu­bung­
kan dengan pasar. Perubahan pandangan terhadap hutan dan trans­
for­ma­si sosial telah membawa orang Siberut mendefinisikan ke­bu­
da­ya­annya. Bagi kebanyakan orang Siberut, perubahan adalah hal
yang biasa dan mereka selalu siap menanganinya. Bagi mereka, cara
menangani perubahan tidaklah rumit. Salah seorang sikebbukat di
Dusun Ugai hanya tertawa ketika ditanya kebiasaan anak muda Siberut
telah jauh berubah dibandingkan saat dia muda dulu. Sembari me­
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 183

nun­juk rokok yang dihisapnya—buatan pabrik rokok di Jawa dan bia­


sa di­hi­sap kelas menengah di perkotaan—dia mengatakan bahwa ka­
lau ti­dak ada gaharu dan nilam, ia akan merokok tembakau murahan
yang bercampur “kencing tikus”—merujuk kualitas rendah tembakau
yang ber­harga murah. Dengan rokok itu, ia berkelakar, ia lebih lancar
ber­bahasa Indonesia dan dapat mengerti bahasa yang digunakan
oleh LSM dan pemerintah saat mensosialisasikan program-program
pem­­bangunan. Saat merokok tembakau murahan, kata dia, “Berdoa
kepada leluhur pun sangat sulit.”
Seorang pemuda Ugai, yang berburu monyet dengan senapan
yang dibelinya dari hasil mencari gaharu, mengatakan:
Tidak ada yang salah dengan adat dan tradisi kami. Kami tetap
melakukan upacara (lia)—tapi dalam bentuk baru. Dari uang
gaharu, kami dapat membeli baju, ikan, gong dan babi, serta
mengundang makan anggota uma seperti pesta besar. Dengan
senapan dan chain-shaw, kami juga mudah mendapatkan hasil
buruan dan membuka ladang nilam. Kami mendapatkan uang
dengan cepat dan sekarang banyak waktu kami untuk istirahat
dan melakukan pesta-pesta di uma. Bukankah itu semua sama
dengan lia yang kita (selenggarakan), (seperti) istirahat setelah
kerja keras?16

Pasar tidak hanya mengubah makna gaharu atau sagu menjadi


ko­mo­di­tas yang memiliki nilai jual. Belakangan, para penduduk ter­
li­bat aktif dalam penangkapan beberapa jenis hewan liar dari hutan.
Se­ca­ra reguler, para pengumpul serangga pergi ke Siberut untuk
men­da­pat­kan pasokan beragam jenis serangga. Penduduk Siberut
Utara memulai usaha penjualan kumbang hingga ke Bali. Kumbang
ini bia­sa­nya digunakan untuk bahan kerajinan. Semakin khas bentuk
seranga yang diperolah, semakin mahal pula harganya. Sebuah ru­
mor di Sikabaluan menyebutkan, satu kumbang tertentu bernilai Rp­
1.000.000. Di Salappak, Siberut Selatan, dengan bantuan penduduk
lo­kal, seseorang yang mengaku sebagai peneliti berkebangsaan Ceko
te­lah mengumpulkan beragam jenis serangga malam, terutama nge­
ngat, dengan alat tertentu. Hasil tangkapan tersebut dikirim ke Padang
me­la­lui kapal. Beberapa jenis spesies yang lebih dilindungi, seperti
pri­ma­ta dan beo, sejak lama diekspor ke luar pulau secara diam-diam.
Umum­nya jenis-jenis hewan ini menjadi bagian dari proses balas budi

16 Pernyataan dari Aman tak Gozi Sanambaliu di Ugai, November 2005.


184 Berebut Hutan Siberut

apa­bi­la orang Mentawai memperoleh status pegawai negeri atau lu­lus


dari tes militer. Selain itu, kulit ular (Phyton reticulatus) telah di­per­
da­gang­kan sejak pertengahan 1990-an.
Dalam beberapa kasus, perdagangan ini telah diketahui oleh pi­
hak berwenang. Polisi dan petugas taman nasional telah mengetahui
jadwal dan modus pengiriman hewan-hewan yang dilindungi ter­se­
but ke luar pulau. Namun, petugas taman nasional tidak banyak me­
la­ku­kan tindakan—kalaupun ada hanya menyangkut perdagangan
ma­ma­lia dan burung (Lihat Bab 5). Biasanya, proses pengiriman ini
di­la­ku­kan dalam skala kecil, yaitu dengan membawa satu atau dua
ekor binatang yang disembunyikan di dalam kotak karton, sehingga
ti­dak terlihat oleh penumpang lain. Dengan menyogok petugas kapal
dan petugas syahbandar, para penyelundup ini dapat dengan leluasa
mem­bawa hewan-hewan yang dilindungi ke luar pulau. Intensitas
per­da­gang­an satwa liar ini terjadi hanya jika permintaan dari luar pu­
lau Siberut meningkat.
Keterikatan dengan pasar menyebabkan masyarakat Siberut se­
la­lu aktif dan kreatif mencari informasi komoditas yang sedang tren.
Me­re­ka tidak canggung-canggung menanam tanaman baru untuk me­
ning­kat­kan penghasilan mereka. Tanaman-tanaman komersial se­per­
ti kopi, lada, dan kakao telah dicoba untuk dibudidayakan di ladang
me­re­ka, meskipun dengan skala kecil dan semangat coba-coba. Ko­
mo­di­tas-komoditas yang berkembang pesat di Siberut, hampir bisa
di­pas­ti­kan, selalu berkait dengan permintaan di pasaran global atau
re­gio­nal. Ini juga berlaku untuk kakao yang baru-baru ini mengalami
peningkatan pesat.
Meskipun dikenalkan sejak 1990, kakao hanya sedikit di­bu­di­
da­ya­kan oleh warga Siberut. Namun, meningkatnya harga kakao di
pa­sar­an internasional yang terkait dengan menurunnya pasokan ka­
kao dari pusat produksi kakao (Pantai Gading, Poso, dll) karena kon­
flik dan juga fluktuasi nilai tukar dolar akibat krisis ekonomi Asia (Li
2007; Ruf dan Yoddang 1999), menyebabkan masyarakat Siberut
meng­alami demam kakao sejak 2005. Hal ini juga ditopang oleh ka­
rak­teris­tik lahan di sekitar hutan Siberut dan sifat tanaman kakao
yang co­cok dengan gaya bertani penduduk lokal. Tidak seperti kopi
atau la­da yang tidak cocok dengan ekologi Pulau Siberut, kakao cepat
men­jadi favorit bagi penduduk Siberut karena lebih mudah tumbuh
dan ber­pro­duksi, terutama di kawasan-kawasan hutan yang baru di­
bu­ka. Hampir semua hutan dataran rendah berair di Siberut Selatan
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 185

pun di­ubah menjadi kebun kakao (Darmanto 2008a). Warga Siberut


meng­a­lih­kan ladang-ladang sagu, hutan-hutan dekat permukiman,
atau ladang-ladang tua (pumonean), menjadi kebun kakao.
Alih fungsi lahan untuk kakao menjadi faktor yang menyebabkan
adanya sebuah pergeseran kepemilikan dan penguasaan tanah di Si­be­
rut, dan pada akhirnya memicu konflik. Perubahan penguasaan tanah
ba­gi warga Siberut telah menandai adanya pergeseran pandangan ter­
ha­dap tanah dan juga menandai adanya perubahan sosial yang dipicu
oleh perdagangan global dan kebijakan ekonomi nasional.

Orang Siberut dalam Negara dan Pasar:


Dilema Marjinalitas
Negara adalah entitas abstrak yang sukar dimengerti. Orang Sibe­
rut me­ra­sa­kan kehadirannya melalui kedatangan pejabat pemerintah,
gu­ru, dan pegawai yang kebanyakan dari Sumatra. Bersamaan de­ngan
ba­­lok-ba­lok kayu yang dikirim ke daratan, gelombang migran, ter­u­
ta­ma dari etnis Minangkabau, semakin deras. Puncak migrasi etnis
Mi­nang­ka­bau ini berlangsung pada akhir 1960-an dan awal 1970-an.
Para pendatang yang bekerja di sektor ekonomi dan birokrasi menjadi
representasi “negara” dalam bentuk yang paling nyata.
Pejabat tinggi di Sumatra Barat sebagian besar terdiri atas orang
Ja­wa dan Minangkabau. Namun, pejabat tinggi jarang datang se­ca­ra
lang­sung ke Siberut dan yang mereka temui sehari-hari adalah pa­
ra pejabat rendahan—petugas kecamatan, polisi rendahan, guru-gu­
ru sekolah dasar, dan tentara—yang didominasi orang Batak dan Mi­
nang­ka­bau. Yang dipahami oleh orang Siberut adalah orang sasareu
(pendatang) memiliki kekuasaan yang sangat menentukan. Para pe­
ja­bat dan sasareulah yang memperlihatkan kepada orang Mentawai
ba­gai­ma­na kekuasaan negara, ekonomi, administrasi dan birokrasi,
kekayaan, dan hutan mewujud dalam kehidupan sehari-hari.
Ada persamaan antara pandangan resmi pemerintah dengan ca­
ra pan­dang para pendatang Minangkabau terhadap masyarakat Si­be­
rut dan hubungannya dengan hutan. Kebanyakan berasal dari pe­si­sir,
para perantau Minangkabau kurang memiliki pertautan de­ngan hutan
(Persoon 1997). Cara pandang pendatang terhadap hu­tan sangat
berbeda dengan cara pandang orang Mentawai. Mereka mem­per­sep­si­
kan orang Mentawai sebagai manusia yang dekat dengan hu­tan (ibid).
Perilaku “primitif” penduduk Siberut, dalam pandangan ini, di­ka­re­na­
186 Berebut Hutan Siberut

kan sumber budaya, kepercayaan, dan kehidupan mereka ber­hu­bung­


an de­ngan hutan. Kepercayaan etnis Minangkabau yang memeluk
aga­ma monoteis (Islam) juga berpengaruh membentuk cara pandang
me­re­ka terhadap Siberut. Pandangan dominan orang Minangkabau
ini ham­pir sulit dibedakan dengan persepsi resmi negara bahwa orang
Siberut adalah suku terasing dan primitif. Kebanyakan para pen­da­
tang bekerja sebagai pegawai rendahan (guru, polisi, petugas pe­la­
buh­an) dan pendakwah agama. Orang Minangkabau menganggap ke­
bu­da­ya­an mereka lebih superior (ibid).
Selain menubuhkan wujud negara, migran mengenalkan wujud
pa­sar perdagangan hasil hutan. Sebagian besar pendatang merangkap
se­ba­gai pedagang perantara produk hasil hutan seperti rotan, nilam,
ga­ha­ru, cengkeh. Sebagian lain bekerja sebagai nelayan dan petani.
Me­re­ka yang sukses kemudian mengajak kerabat untuk mengadu nasib
di Siberut. Mereka hidup di ibukota kecamatan. Kemampuan berniaga
mem­buat mereka berhasil menguasai perekonomian. Sementara pen­
da­tang Minangkabau kurang cakap dalam mengumpulkan hasil hutan
atau mengolahnya dan berpandangan negatif terhadapnya, mereka
ber­ha­­sil memanfaatkan hutan secara ekonomis dengan menjadi pe­da­
gang pe­ran­tara produk-produknya. Eksploitasi hasil hutan, pengum­
pulan ro­tan, dan penjualan buah cengkeh harus melalui pedagang yang
di­do­mi­nasi orang Minangkabau. Harga-harga pun ditentukan para
pe­­da­gang. Kebanyakan penduduk Siberut merasakan mereka hanya
men­dapat sedikit manfaat dari hutan karena keuntungan terbanyak
di­nik­mati pendatang.
Penduduk Siberut merasa dianaktirikan dan mengalami mar­ji­na­
li­sasi. Pengaturan kegiatan perdagangan hasil hutan melalui kon­trak
dan pungutan pajak yang dibuat pemerintah dianggap hanya meng­
un­tung­kan kepentingan pendatang. Oleh karena itu, mereka bia­sa
melampiaskan kekecewaan terhadap pemerintah dengan cara me­
lan­car­kan ketidaksukaan kepada para pendatang. Kepada merekalah
pro­tes-pro­tes dialamatkan. Sebagai bentuk protes atas marjinalisasi,
be­be­rapa orang secara berkala melakukan pembangkangan secara
sem­bu­nyi-sembunyi (unobstructive non-compliance) terhadap per­
atur­an (Persoon 1997: 7). Perbedaan-perbedaan budaya dan agama
ju­ga menyumbang adanya ketidaksukaan terhadap para migran.
Namun, pandangan orang Siberut terhadap para pendatang ber­
si­fat ambivalen. Meskipun ada perasaan tidak suka terhadap orang
Mi­nang­ka­bau, tidak ada satu pun laporan mengenai aksi terorganisir
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 187

di­la­ku­kan orang Siberut untuk melawan para pendatang. Sikap ti­dak


hanya diwujudkan dalam bentuk gunjingan, gosip-gosip, dan pem­
bang­kang­an-pem­bang­kang­an kecil. Orang Mentawai sangat me­nya­
dari, kehidupan sosial di Siberut tidak bisa berlangsung tanpa pa­ra
pendatang. Migran berjasa dalam memperantarai hubungan-hu­bung­
an perdagangan dan saluran-saluran birokrasi negara. Orang Men­
ta­wai dapat mengambil manfaat akan kehadiran para migran. Pa­ra
mi­gran ini juga bekerja sangat keras untuk mencapai posisinya se­ba­
gai perantara ekonomi-politik Siberut dengan dunia luar dan saluran
negara.
Sebelum kemerdekaan, konflik-konflik dengan para pendatang
yang di­ang­gap bertindak curang dan tidak adil atau melakukan pe­mak­
sa­an atas nama agama telah banyak dilaporkan. Lalu, mengapa setelah
ne­ga­ra melakukan beberapa pemaksaan atas nama pembangunan,
ti­dak ada lagi perlawanan terbuka dari penduduk Siberut? Persoon
(2001) menyebut, kurangnya pengorganisasian internal saat melawan
te­kan­an dari luar menyebabkan rendahnya mobilisasi penduduk lo­kal
un­tuk melawan eksploitasi sumber daya alam yang disponsori pe­me­
rin­tah.
Dilihat secara politik, pelunakan sikap masyarakat Mentawai di
ma­sa Orde Baru dapat dilihat sebagai akibat politik pembedaan dan
mar­ji­na­li­sa­si oleh negara. Penataan etnis dan penemuan “masyarakat
ter­asing” merupakan ciri yang sangat penting periode Indonesia mo­
dern se­ba­gai penunjuk mobilitas sosial dan geografis (Kahn 1993).
Re­zim Orde Baru menciptakan wacana akulturasi budaya yang di­gu­
na­kan untuk mengendalikan keberagaman guna memperkuat per­sa­
tu­an versi negara (Kahn 2002). Golongan-golongan minoritas, se­per­ti
orang Mentawai di Siberut, lebih dapat dikendalikan jika telah di­de­
fi­ni­si­kan sebagai masyarakat terasing dan ditempatkan secara spasial
dan sosial.
Inilah dilema marjinalitas. Penduduk Siberut sendiri meng­ingin­
kan untuk terikat dengan negara. Mereka sangat berhasrat untuk
ke­­luar da­ri “keterasingan” dengan cara melibatkan diri secara aktif
da­­lam program-program pemerintah. Mereka memperoleh manfaat
da­­ri men­ja­di warga negara, sementara negara tidak menganggap ke­
ber­ada­an mereka sebagaimana warga negara pada umumnya. Tsing
(1998: 35) menyebut gejala ini sebagai paradoks marjinalitas. Ma­sya­
ra­kat Siberut berada di luar negara, tetapi mengikatkan diri padanya.
Se­ba­gai kelompok yang dianggap memiliki budaya berbeda, mereka
188 Berebut Hutan Siberut

ha­rus melewati tahapan-tahapan sosial yang rumit untuk bisa diterima


se­ba­gai bagian dari budaya nasional.
Melalui kebijakan mengenai masyarakat terasing, pemerintah
ber­­ha­sil membuat orang Siberut memahami diri mereka sendiri se­ba­
gai terasing atau sekadar kelompok minoritas (Eindhoven 2007: 93).
Masyarakat Siberut pada akhirnya harus mengakui otoritas yang ja­uh
lebih besar—ibukota, etnis Minangkabau, pejabat pemerintah, per­da­
gang­an global—sebagai titik acuan. Politik pembedaan yang dijalankan
pe­me­rin­tah telah berhasil mempengaruhi pemahaman penduduk Si­
be­rut tentang kelemahan dan keterbatasan mereka sendiri. Oleh ka­re­
na itu, mereka harus siap menerima segala konsekuensi, bahkan kon­
se­kuensi yang paling pahit, dari keterlibatan mereka dengan negara.
Seperti yang terlihat dalam deskripsi tentang pandangan-pan­
dang­an mengenai hutan, proses pemaknaan masyarakat Siberut ter­
ha­dap hutan selalu taktis. Keterangan dari para etnografer yang me­
ne­liti masyarakat Siberut memang banyak bertentangan dengan apa
yang sedang dan sudah terjadi. Literatur yang mengatakan bah­wa
orang Siberut masih sepenuhnya memegang teguh tradisi dan mem­
prak­tik­kan adat-istiadat secara penuh tiga dekade lalu akan sa­ngat
sukar ditemukan lagi. Praktik-praktik tradisional memanglah ma­sih
dilakukan, tetapi umumnya telah terjadi banyak pergeseran. Se­ba­lik­
nya, menganggap penduduk Siberut telah sepenuhnya kehilangan tra­
di­si­nya karena dampak modernisasi dan kapitalisme adalah tindakan
gegabah.
Meningkatnya kekuasaan pasar dan menguatnya intervensi ne­
gara untuk mengatur perdagangan sumber daya hutan telah meng­geser
pan­dang­an orang Siberut terhadap nilai hutan. Berkembangnya pen­
di­dik­an, meluasnya pengaruh agama monoteistik dan bentuk per­mu­
kim­an baru (Meyers 2003; Persoon 1995) telah mengubah hubungan
orang Siberut dengan sumber dayanya. Penduduk Siberut bukanlah
ak­tor yang pasif dalam pusaran kekuatan ini. Mereka secara aktif ter­
li­bat dalam ekonomi pasar dan proses pembangunan. Mereka sangat
ber­hasrat untuk terlibat dalam proses pembangunan dan mendapat
ak­ses ke luar. Dengan pengalaman panjang, orang Siberut selalu ber­
u­sa­ha mengatasi perubahan ini. Dalam usahanya tersebut, kadang
me­re­ka gagal. Terkadang, kegagalan untuk meraih manfaat dari yang
di­jan­jikan program-program pembangunan maupun perdagangan,
di­ra­sa­kan sebagai bentuk ketidakadilan. Mereka merasa merugi, pa­
da­hal sudah mencoba berpartisipasi.
Atas Nama Pembangunan dan Kemajuan 189

Hampir semua orang Mentawai di Siberut mengeluhkan kondisi


tak adil yang diungkapkan sebagai pernyataan “menjual murah (hasil
hutan), membeli mahal (produk luar)”. Untuk jangka waktu yang la­
ma, orang Siberut merasa dihalang-halangi memperoleh akses ter­ha­­
dap per­da­gang­an, jabatan birokratis, mendapatkan modal yang cu­­kup
karena adanya faktor etnisitasnya sebagai suku Mentawai dan ma­
syarakat terasing. Terbatasnya akses penduduk Siberut ke ne­­ga­ra dan
pasar yang membuat mereka sulit mempertahankan kon­­trol dan akses
terhadap sumber daya alam dipandang sebagai wu­jud ketidakadil­an
kebijakan pemerintah. Mereka merasa tidak mendapatkan keuntung­
an yang dirasa adil dari ekstraksi sumber daya alam dan inilah alas­an
mengapa mereka menuntut otonomi (Setyowati 2005).
Kondisi geografis yang sukar dan mahalnya biaya transportasi
me­nye­bab­kan mereka kesulitan untuk menjual harga komoditasnya
de­ngan harga bersaing bila dibanding produk di dataran Sumatra.
Har­ga produk hutan yang naik-turun dan hubungan dengan pasar
yang ber­ubah-ubah menambah frustrasi. Sebagian besar hasil hutan
me­miliki harga tidak stabil dan dipengaruhi lonjakan dan penurunan
harga yang tidak dapat dikendalikan, bahkan di tingkat nasional
(Har­djono 1994: 185). Sistem keuangan dunia, permainan tengkulak,
lintasan perdagangan antarnegara, dan kebijakan serta situasi politik
ekonomi Indonesia turut mempengaruhi produk-produk hutan yang
diambil dengan susah payah dari hutan-hutan Siberut. Bahkan, ke­ti­
ka harga produk-produk hutan memiliki harga yang tinggi sekalipun,
mata rantai pemasaran mencerminkan ketidakseimbangan kekuatan,
karena hampir selalu menempatkan warga Siberut di pihak yang me­
ne­rima pembagian amat kecil dari keseluruhan uang yang berputar.
Tanpa sumber daya modal dan politik yang kuat, sangat sukar
bagi penduduk lokal untuk mempertahankan kontrol terhadap sumber
daya hutan dan mendapatkan manfaat darinya. Pada akhirnya, pen­
du­duk Siberut merasa tidak memperoleh keuntungan yang cukup
adil dari ekstraksi sumber daya alam yang mereka miliki. Perusahaan
kayu, pedagang, pejabat kehutanan, dan jaringan-jaringan kekuasaan
lain di luar Siberutlah yang mengontrol akses dan tenaga kerja. Situasi
ini tidak hanya terjadi di Siberut, tetapi terjadi di seluruh kawasan
yang memiliki sumber daya alam yang kaya tetapi tidak dikelola
secara demokratis. Semakin tinggi nilai ekonomi sumber daya alam
ter­tentu, semakin besar pula kemungkinan intervensi dan kontrol
kekuatan politik dan ekonomi dari luar, dan akan semakin sulit bagi
190 Berebut Hutan Siberut

pen­duduk setempat untuk dapat mengontrolnya—dikarenakan oleh


tradisi politik nondemokratis sebagaimana yang telah ada di Indonesia
(Dove 1993).
Penduduk Siberut mendaki bukit untuk mengumpulkan rotan,
memetik cengkeh, berpayah-payah membuat kopra, dan bekerja keras
menyuling daun nilam. Agar daya dramatisnya bertambah, mereka
mengatakan, untuk menjual hasil panen dan produk hutan ke pusat
ke­camatan, mereka harus bersampan berhari-hari menyusuri sungai.
Orang Siberut sering melihat diri mereka sebagai korban dari kondisi-
kondisi yang sulit ini. Sementara orang Siberut melihat diri mereka
ha­rus mengatasi banyak kendala, para pendatang dan pedagang me­
mi­liki rumah lebih bagus, lengkap dengan peralatan mewah, mampu
menyekolahkan anak ke Padang dan Jakarta, terkesan tidak pernah
kekurangan uang, memiliki televisi, komputer, sepeda motor, hingga
mobil.
Tentu saja anggapan orang Siberut terhadap situasi marjinal
me­re­ka sendiri juga terlalu hitam-putih. Banyak penduduk Siberut
me­raih keuntungan besar dari perdagangan hasil hutan. Banyak dari
me­reka mendapat manfaat dari hubungan patronase dengan para
pedagang, pejabat, dan elite-elite pendatang. Sebagian dari mereka
juga telah berhasil menjadi pedagang perantara dan mengumpulkan
kekayaan yang tidak sedikit. Program-program pemerintah juga ber­­
hasil mereka peroleh dan mereka secara aktif terus berusaha men­
dapatkannya. Tidak semua pendatang juga memiliki kekayaan dan
kekuasaan yang besar. Sebagian pendatang juga hidup miskin dan
kehidupannya tergantung dari kerja sama dengan orang Mentawai.
Bab 5
Konservasi Alam:
Wacana Global, Aliansi
Transnasional, dan Praktik Lokal

Kami, masyarakat adat, menolak kehadiran Taman Nasional di Siberut


kare­na tidak memberi manfaat apa pun untuk kami dan menghancurkan
hak ula­yat atas seluruh hutan di Siberut.
(Petisi Juni 2005)

Taman nasional tetap penting bagi kami. Tanpa mereka, hutan Siberut
su­dah habis sejak dulu. Mereka juga sekarang sudah mulai menghargai
adat-istiadat. Meskipun UU melarang orang berburu atau menebang
ka­y u, petugas Taman Nasional (Siberut) tidak pernah menangkap dan
memenjarakan kami.
(Surat masyarakat Siberut kepada Menteri Kehutanan 2005)

Sebuah petisi dari Siberut diterima di kantor TNS, di Padang, tang­


gal 15 Juni 2005. Isinya adalah penolakan terhadap taman na­sio­nal.
Surat tanpa kepala tersebut ditandatangani oleh 32 orang yang meng­
aku sebagai para pemimpin uma (sikebbukat uma). Petisi tersebut juga
di­leng­kapi dengan tanda tangan Camat Siberut Selatan dan Camat
Si­be­rut Utara yang secara eksplisit dimaksudkan sebagai bentuk du­
kung­an politik dari pemerintah daerah Kepulauan Mentawai. Selain
pe­no­lak­an terhadap TNS, petisi itu juga berisi tuntutan kepada pe­
me­rin­tah pusat (c.q. Departemen Kehutanan) agar memberikan izin
kon­se­si kepada perusahaan kayu PT Salaki Summa Sejahtera (SSS)
se­hing­ga bisa cepat menebang kayu di bagian utara pulau itu.
192 Berebut Hutan Siberut

Surat itu menjelaskan bagaimana TNS dipersepsikan oleh se­ba­


gian orang Siberut. Taman nasional dilihat sebagai pihak yang meng­
ha­langi usaha masyarakat untuk menjual kayu di tanah mereka ke­
pa­da perusahaan kayu. Perampasan atas hak adat dan marjinalisasi
ma­sya­ra­kat Siberut akibat praktik pelestarian keanekaragaman hayati
men­jadi narasi utama penolakan terhadap TNS. Surat ini juga berisi
tun­tut­an kepada TNS agar membayar kompensasi kepada masyarakat
dalam ben­tuk pembangunan jalan raya dan uang Rp1 miliar. Alasan­­nya,
TNS te­lah mengklaim tanah tanpa konsultasi dengan masyarakat.
Dua bulan berselang, tepatnya 25 Agustus 2005, datang beberapa
su­rat lain ke Kantor TNS. Surat tersebut berasal dari organisasi pe­mu­
da, kelompok yang mengatasnamakan masyarakat adat, muda-mudi
Ge­re­ja, kepala-kepala dusun, dan ditandatangani serta didukung oleh
be­be­ra­pa pemimpin uma. Surat tersebut ditujukan kepada Menteri
Ke­hu­tan­an dan bahkan sebagian lain ditujukan kepada Presiden. Tu­
ju­an dan isi surat ini sama sekali berbeda dengan surat sebelumnya.
Su­rat-surat tersebut berisi dukungan penuh terhadap TNS dan usaha-
usa­ha konservasi hutan. Surat itu berisi tuntutan agar pemerintah se­
ge­ra mencabut izin perusahaan kayu karena penebangan hutan telah
merugikan masyarakat adat.
Surat dukungan terhadap TNS menyertakan wacana hak adat.
Argu­men utama surat ini bahwa konsep TNS sangat sesuai dengan hak
adat atas tanah bagi masyarakat Siberut. Taman nasional dipandang
me­lin­du­ngi tanah mereka dari eksploitasi perusahaan kayu. Tujuan
kon­ser­vasi TNS juga dipersepsikan sama dengan tujuan masyarakat
da­lam melindungi hutan. Surat tersebut menekankan pentingnya
kon­ser­va­si dan pelestarian alam Pulau Siberut. Surat ini juga berisi
tun­tut­an kepada perusahaan kayu yang beroperasi di Siberut agar
memberikan ganti rugi kepada masyarakat karena telah menjarah isi
hutan Siberut.
Yang menarik, dua kelompok surat dengan isi dan tujuan yang
ber­tolak-belakang tersebut, ditandatangani oleh nama-nama yang sa­
ma, da­ri desa yang sama, dan bahkan beberapa di antaranya berasal da­
ri uma yang juga sama. Perbedaan yang mencolok dari kedua surat itu
ter­le­tak pada tanda tangan camat, yang dapat dikesankan bahwa sa­lah
satu surat itu mendapat persetujuan dari pemerintah daerah. Sa­tu hal
yang pasti, surat-surat tersebut muncul pada saat Departemen Ke­hu­
tan­an akan segera menerbitkan surat izin konsesi kepada PT SSS. Su­
rat-surat dan tanda tangan di dalamnya, dapat dikatakan, me­ru­pa­kan
Konservasi Alam 193

hasil proses mobilisasi dua kelompok berseberangan. Satu si­si adalah


kelompok yang mendukung usaha eksploitasi, sisi lawan pro­pe­les­ta­
rian alam. Terlepas dari proses mobilisasi dan manipulasi proses ter­
sebut, surat-surat berisi penolakan atau dukungan terhadap TNS itu
bu­kan­lah yang pertama. Petugas TNS menyimpan banyak berkas ber­
isi surat penolakan dan juga dukungan. Surat-surat tersebut ditulis
de­ngan argumentasi dasar dan susunan kalimat yang hampir serupa
sa­tu sama lain, meskipun kalimat yang digunakan bervariasi. Surat-
su­rat tersebut terkadang berupa kalimat yang keras, penolakan, puja-
puji atau dukungan, dan juga sering dilanjutkan dengan ancaman.
Surat-surat penolakan dan dukungan terhadap TNS adalah per­
tem­puran-pertempuran kecil dari perang panjang yang menandai
adanya ketegangan menyangkut akses terhadap hutan di Pulau Siberut.
Ke­te­gang­an ini melibatkan sejumlah agen dan aktor yang bermain,
ser­ta wa­ca­na yang saling bersilangan: konservasionis, turis, cukong
ka­yu, universitas, pemerintah, “masyarakat adat”, ilmuwan, lembaga
kon­ser­vasi, dan masyarakat sendiri. Demonstrasi, petisi, protes, du­
kung­an terhadap perusahaan kayu, atau sokongan untuk konservasi
te­lah menjadi bagian dari sejarah dan kehidupan masyarakat Siberut
sejak dekade ’80-an.

Krisis Biologi dan Fantasi Hijau?


Pada awal dekade 1970-an, wacana konservasi keanekaragaman
ha­yati tumbuh pesat di Eropa Barat dan Amerika. Hal ini dipicu
oleh merosotnya keanekaragaman hayati dan hancurnya lingkungan
karena urbanisasi dan eksploitasi. Untuk menarik perhatian publik,
la­por­an kerusakan alam ditulis secara dramatis. Laporan-laporan
ilmiah diisi daftar-daftar spesies punah. Televisi menampilkan peng­
gundulan hutan dan laut tercemar. Foto-foto kawasan asli yang telah
hilang bermunculan. Dampak pembangunan, kegagalan revolusi hijau,
dan ekonomi kapitalis dipandang sebagai penyebab utama. Dunia
membutuhkan kesadaran baru terhadap lingkungan. Sebagai alter­
natif, aktivis konservasi, antropolog, ahli biologi, wartawan, dll men­
cari imajinasi baru mengenai pengelolaan keanekaragaman hayati.
Fantasi ini tertuju di kawasan hutan tropis di mana keanekara­gaman
hayati sangat tinggi, masyarakat asli dan wacana kearifan ter­hadap
alam berada (Conklin & Graham 1996; Redford 1990).
Kesadaran atas kerusakan lingkungan meningkatkan intensitas
194 Berebut Hutan Siberut

ge­rak­an pelestarian alam pada dekade 1980. Lembaga konservasi in­


ter­nasional terbentuk dan aktif memainkan wacana penyelamatan
bumi. Gerakan ini menekan lembaga pembangunan global—Bank
Du­nia, Bank Afrika, PBB, FAO—yang dituduh sebagai penyebab kri­sis
ling­kung­an. Lembaga-lembaga ini akhirnya mengadopsi kritik gerak­
an lingkungan. Laporan Brundtland, Our Common Future (1987) da­ri
World Comission on Environment and Development (WCED), me­
nan­dai isu lingkungan masuk ke dalam wacana pembangunan me­la­
lui konsep ‘sustainable development’. Pada dekade yang sama mun­
cul ‘environmental managerialism’ di mana ilmuwan-ilmuwan dan
po­li­ti­si bekerja dengan para administrator dan birokrat untuk pe­du­li
de­ngan bumi (Escobar 1996: 194). Wacana konservasi global me­mun­
cak pada Pertemuan Puncak Rio 1992 (Escobar 1998) dan se­ma­kin
melembaga dalam bentuk Protokol Montreal, Konvensi Ke­aneka­
ra­­gaman Hayati, lembaga-lembaga internasional (UNEP, UNCED,
TFAP, dll), pusat studi lingkungan di Universitas, divisi lingkungan
di per­u­sa­ha­an multinasional, dan LSM-LSM lingkungan (Brosius
1999).
Menguatnya wacana pelestarian alam berpengaruh terhadap pe­
nge­­lo­la­an sumber daya alam di Indonesia. Di bawah rezim Orde Baru,
Indonesia menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan in­
fra­struk­tur. Sebagian besar keberhasilan ini berlandaskan eksploitasi
mi­nyak bumi, kayu, dan hasil alam lainnya melalui penanaman mo­dal
asing dan bantuan luar negeri (Schwartz 1994). Biaya sosial dan ling­
kung­an pembangunan dipikul masyarakat pedesaan miskin, yang jus­
tru tidak menerima manfaatnya. Lingkungan yang rusak dan ma­sya­
ra­kat pedesaan yang miskin menjadi bahan kampanye bagi gerakan
so­sial untuk bersuara kritis terhadap rezim Orde Baru. Aktivis pembela
hu­kum dan hak asasi manusia menggunakan narasi keanekaragaman
ha­yati untuk melakukan kritik terhadap penyelenggaraan negara.
LSM, mahasiswa, dan aktivis-aktivis perkotaan membawa isu ling­
kung­­an ke tingkat dunia untuk membuka jaringan dan bantuan ge­
rak­an lingkungan global (Tsing 2006).
Status negara megabiodiversity membuat Indonesia tersulut
wa­ca­na konservasi alam dunia. Indonesia mengalami tekanan politik
dan me­mak­sa mengubah strateginya dengan mengapresiasi wacana
pem­ba­ngun­an berkelanjutan dan konservasi keanekaragaman ha­ya­
ti (Dauvergne 1998: 14). Sikap pemerintah ditunjukkan dengan ak­tif
dalam pertemuan konservasi global dan ratifikasi konvensi ke­ane­ka­ra­
Konservasi Alam 195

gam­an hayati. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Direktorat


PPA (Perlindungan dan Pelestarian Alam) dibentuk awal 1980-an. Pa­
da 1990, pemerintah mengeluarkan UU Konservasi Alam. Sejak UU
itu, jum­lah kawasan konservasi bertambah. Tahun 1970, terdapat 112
suaka alam (25.163 km2) dan meningkat menjadi 354 (177.521 km2)
ta­hun 1999 (Jepson dan Whittaker 2002; Jepson 2001).
Pulau Siberut menjadi salah satu tempat yang pertama-tama ter­
hu­bung dengan wacana konservasi di Indonesia. KLH adalah lembaga
pe­me­rin­tah yang pertama mendukung usaha pelestarian alam di Si­
be­rut. Bekerja sama dengan World Wide Fund for Nature (WWF), In­
ter­national Union for the Conservation of Nature (IUCN), dan para
pe­neliti primata, KLH mendukung secara penuh usaha pelestarian
alam Siberut. Saat itu, Siberut telah terkenal karena tingginya nilai ke­
ane­ka­ra­gam­an satwanya, terutama mamalia. Pengetahuan akan ting­
gi­nya keanekaragaman hayati Pulau Siberut telah jauh dimulai se­jak
publikasi-publikasi hasil ekspedisi para ilmuwan Jerman yang di­pim­
pin oleh Kloss (WWF 1980: 36). Hasil ekspedisi tersebut “me­ne­mu­
kan” ber­ba­gai jenis fauna, terutama mamalia, yang berbeda dengan
ke­ra­bat­nya di Sumatra atau wilayah geografi Sunda Besar. Laporan-
la­por­an geologi tentang pemisahan Siberut dari daratan Sumatra
se­ku­rang-ku­rang­nya sejak kala Pleistosen akhir (781.000-126.000
ta­­­hun lampau) menguatkan penjelasan mengenai sejarah evo­lu­si ke­
anekaragaman hayati Pulau Siberut (WWF 1980: 35-39). Eks­plo­ra­si-
eks­plo­ra­si ilmiah selanjutnya menambahkan bukti-bukti bahwa Si­be­
rut memiliki ekosistem yang unik dengan tingkat biodiversitas yang
ting­gi, termasuk di dalamnya sejumlah spesies endemik. Jumlah to­
tal flora di pulau ini belum diketahui secara pasti, namun sekitar 846
spe­sies, 390 genus, dan 131 famili dari pohon, semak dan herba, lia­na,
serta epifit telah diketahui. Sekitar 15% hewan Siberut endemik, ter­
ma­suk jenis mamalia, burung, reptil, dan amfibi serta ikan dan spesies
invertebrata (Whitten 1980; LIPI 1995; Anonim 1995; Mitchell 1982;
WWF 1980).
Hingga periode itu, jumlah pasti keseluruhan hewan di Siberut
be­lum diketahui, tetapi berbagai jenis hewan “baru” ditemukan da­ri
wak­tu ke waktu. Pada 1995, paling tidak ada 29 jenis mamalia da­rat
dan 4 spesies mamalia laut yang diketahui di Siberut, 116 jenis bu­
rung, 1 buaya , 2 kura-kura, 3 penyu, 34 ular, 22 kadal, 16 kodok, dan
2 caecilia telah tercatat (Anonim 1995). Dari seluruh jenis hewan en­
de­mik, mamalia memiliki tingkat endemisitas tertinggi (65%). Hewan
196 Berebut Hutan Siberut

yang pa­ling dikenal di Siberut adalah empat primata, yaitu bilou atau
sia­mang kerdil (Hylobates klossii), bokkoi atau beruk Siberut (Macaca
siberu), simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), dan joja
atau lutung Mentawai (Presbytys potenziani). Hanya sedikit tempat di
dunia dengan luasan pulau yang kecil memiliki primata dengan nilai
endemik sangat tinggi. Selain itu, tidak ada lagi pulau di dunia yang
me­miliki kepadatan jumlah primata endemik tinggi seperti Siberut.
Keanekaragaman hayati yang luar biasa, tingkat endemisitas he­
wan yang tinggi, dan keunikan ekologi menyebabkan Siberut menjadi
tem­pat menarik untuk mengkampanyekan wacana pelestarian ling­
kung­an. Sejarah geografi yang menyebabkan Siberut terisolasi da­ri
Su­ma­tra memberi nilai tambah tersendiri karena pada saat yang ber­
sa­ma­an ilmuwan biologi sedang dihebohkan dengan teori biogeografi
(McArthur dan Wilson 1980). Teori ini menjadi tren baru karena mam­
pu menjelaskan karakter pulau-pulau yang terisolasi dan sifatnya yang
rentan mengalami kepunahan jenis-jenis yang hidup di dalamnya. Teo­
ri ter­sebut dapat menjelaskan tingginya nilai keanekaragaman hayati
dan ke­unikan ekologi Siberut. Karakter pulau terisolasi menyebabkan
per­ubahan evolutif flora dan fauna Siberut dari flora dan fauna di Su­
ma­tra. Persilangan antara penemuan teori dan wacana konservasi
me­­ngu­atkan argumen tentang perlunya perlindungan bagi ekosistem
Si­be­rut dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Oleh karena
itu, ar­gumen bahwa populasi fauna Siberut sangat rentan terhadap
ke­pu­nah­an segera diterima secara luas.
Secara internasional, Siberut diakui sebagai pulau yang sangat
pen­­ting untuk membuktikan teori biogeografi. Pengakuan ini me­
mung­kin­kan Siberut disebut-sebut sebanding dengan pentingnya Ga­
la­pa­gos bagi teori evolusi Darwin dan disamakan dengan nilai pen­
ting Madagaskar bagi Afrika (Mittermeier 2006: 32-33). Bukti-buk­ti
penemuan biologi, temuan geologi, dan teori-teori biogeografi mun­
cul dalam waktu yang berdekatan dengan publikasi etnografis yang
me­nya­ta­kan bahwa penduduk Mentawai di Siberut memiliki bu­da­ya
yang sangat terkait erat dengan alam. Orang Mentawai bahkan di­ju­
luki sebagai “sang penjaga hutan” (Lindsay 1992). Dalam beberapa la­
por­an terdapat kesan kuat bahwa kebudayaan yang khas ini sangat
men­du­kung usaha pelestarian alam dan bepeluang menciptakan sur­
ga yang harmonis bagi kehidupan liar bersanding dengan manusia
(McNeely 1979). Akan tetapi, kekhasan budaya orang Mentawai ini
ju­ga se­dang terancam oleh masuknya proyek pembangunan yang da­
Konservasi Alam 197

tang da­ri luar. Maka, segera disimpulkan bahwa seperti halnya eko­
sis­tem­nya, kebudayaan dan penduduk Siberut pun harus dilindungi.
Peng­ga­bung­an wacana tentang penduduk yang terpinggirkan dan
ber­ba­gai jenis spesies yang terancam punah menjadi dasar gagasan
konservasi Siberut.

Sejarah Konservasi Siberut


Sejarah konservasi di Pulau Siberut dimulai sebagai respons ter­
hadap ter­ancamnya keanekaragaman hayati pulau ini akibat pem­ba­
lak­an oleh perusahaan kayu. Sebelum munculnya gerakan konservasi
di Si­be­rut, pada 1971, pemerintah telah menetapkan hampir 300.000
ha hutan di kawasan ini sebagai hutan produksi, dan memberi­kan izin
konsesinya kepada perusahaan kayu. Penetapan ini sangat ter­­ka­it de­
ngan adanya usaha keras pemerintah untuk meningkatkan sum­­ber
pen­­dapatan negara melalui ekspor kayu gelondongan di pasar glo­bal
(Bab 4). Sebaliknya, pada periode itu, wacana global sedang meng­a­
rah­kan usaha pelestarian keanekaragaman hayati ke Siberut.
Kenyataannya, negara bukanlah entitas yang tunggal dan me­mi­
liki visi seragam terhadap pembangunan. Di dalamnya terdapat ak­
tor-ak­tor yang memiliki beragam kepentingan dan agenda. Wa­ca­na
tentang konservasi direspons dengan sikap yang beragam oleh pe­me­
rin­tah Indonesia sehingga memunculkan kebijakan saling bertolak
be­­la­kang. Di Siberut keberagaman sikap itu termanifestasi pada ke­bi­
jak­an kontradiktif terhadap hutan: di sisi barat, dipergunakan un­tuk
konservasi keanekaragaman hayati sementara kawasan pantai ti­mur­
nya untuk penebangan kayu. Dua kebijakan tersebut dikeluarkan oleh
de­par­te­men yang sama.
Berdasarkan rekomendasi para peneliti dan LSM konservasi in­
terna­sio­nal, pemerintah Indonesia menetapkan Suaka Alam Teitei Batti
di ba­gi­an tengah Siberut pada 1976. Akan tetapi, penetapan itu hanya
ber­­la­ku di atas kertas. Pemerintah Indonesia belum memiliki lembaga
pe­nge­lo­la. Masyarakat sendiri tidak peduli—lebih tepatnya tidak ba­
nyak yang tahu—dengan penetapan ini. Masyarakat tidak begitu me­
nge­nal suaka alam dan aturan-aturan yang melekat pada status ka­
was­­an tersebut. Usaha-usaha untuk mengkampanyekan aturan dan
se­luk-be­luk kawasan yang dilindungi tidak banyak dilakukan.1 Bukan

1 Diskusi dengan Anthony Whitten, peneliti Siberut dan konservasionis penting, dalam kunjungannya ke
Siberut di Maileppet, Agustus 2009.
198 Berebut Hutan Siberut

ke­be­tul­an apabila usaha pelestarian ini tidak memberi hasil yang me­
mu­as­kan. Robin Hanbury-Tenison, staf Survival International yang
ber­­kun­jung ke Siberut, mengutip pernyataan masyarakat yang di­jum­
pai­nya:
Kami akan tetap pergi dan berburu ke sana. Ini adalah tanah
ka­mi di mana kami akan tetap berburu dan tidak ada satu orang
pun yang bisa menghalangi kami (Hanbury-Tenison 1975: 52).

Laporan McNeely (1979) dan Whitten (1979) di Jurnal Oryx men­


ja­di kerangka awal usaha untuk mengimplementasikan konservasi di
Pu­lau Siberut secara lebih serius. WWF, lembaga konservasi berskala
in­ternasional, beralasan, suaka alam yang terbatas dan sempit tidak
efek­tif untuk memenuhi tujuan konservasi sebab area-area yang pen­
ting di luar suaka alam akan mengalami gangguan (WWF 1980). Pa­da
1980, WWF merilis rencana induk konservasi bertajuk “Saving Si­be­
rut: A Conservation Masterplan” yang didukung oleh sejumlah or­ga­
ni­sa­si konservasi, lembaga pendanaan multilateral (IUCN, misalnya),
dan pemerintah Indonesia. Proposal ini merupakan dokumen sangat
pen­ting karena menjadi landasan inisiatif konservasi di Siberut. Pro­
po­sal ini menyingkapkan bagaimana sumber daya seharusnya dinilai
dan dimaknai:
Pulau-pulau tersebut mempunyai keunikan flora, fauna, dan ke­
bu­da­ya­an penduduknya. Yang menarik perhatian khusus adalah
4 primata yang hanya dijumpai di kepulauan Mentawai ini. [T]
i­dak kurang menariknya dari fauna adalah masyarakat pribumi,
yang memiliki salah satu kebudayaan tertua di Indonesia dan
me­nun­juk­kan suatu tradisi yang umum bagi banyak penduduk
nu­san­ta­ra ini pada zaman batu ... perekonomian tradisional me­
re­ka hanya berdasarkan atas sagu dan talas saja sebagai hasil
pa­nen, dengan penangkapan ikan, beternak babi, dan berburu
bi­na­tang-binatang primata ... perekonomian ini secara ekologis
mem­berikan kehidupan yang cukup baik bagi penduduk, dan di­
pelihara agar terus seimbang dengan alam melalui pengawasan
ke­­agamaan dan kebudayaan ... [Akan tetapi] pulau surga ini
terancam. (WWF 1980: viii-ix).

WWF mengusulkan rencana baru tata ruang dengan membagi


Si­­berut menjadi tiga daerah, yaitu seluas 150.000 ha untuk kawasan
kon­ser­vasi, 50.000 ha untuk kawasan inti cadangan alam, 100.000
Konservasi Alam 199

ha untuk daerah penyangga, dan selebihnya untuk daerah pertanian.


Usulan ini berhasil dan ide konservasi mendapatkan penanganan res­
mi dari negara. Dua tahun berselang, 6.500 ha cagar alam diperbaharui
statusnya menjadi suaka margasatwa dan kawasan itu diperluas men­
ja­di 56.500 ha (14% dari total luas pulau) oleh Menteri Pertanian. Per­
luas­an ini mulanya berorientasi melindungi empat primata endemik.
Se­ja­lan dengan itu, tenaga-tenaga lokal dipekerjakan sebagai petugas
yang dikenal sebagai pegawai Perlindungan dan Pelestarian Alam
(PPA). Ma­sya­ra­kat Siberut mengenal PPA sebagai embrio dari TNS.
Du­kung­an internasional semakin meluas setelah UNESCO menerima
usul­an pemerintah Indonesia untuk menjadikan Siberut berstatus ca­
gar biosfer pada 1981.
Dukungan UNESCO terhadap Siberut direspons dengan ko­
mit­­­men pemerintah Indonesia terhadap konservasi. WWF kembali
meng­­u­sul­kan kawasan 138.000 ha sebagai kawasan lindung. Pada
1982, Suaka Margasatwa Teitei Batti diperluas menjadi 132.900 ha,
atau men­ca­kup hampir 33% luas Pulau Siberut. Pemerintah juga me­
nem­pat­kan stafnya di Siberut untuk mengawasi suaka tersebut. Se­ca­
ra rutin, mereka melakukan patroli ke Teitei Batti. Mereka ju­ga men­
da­pat pendampingan dari UNESCO dan WWF. Meskipun de­mi­ki­an,
implementasi pengelolaan suaka margasatwa masih sangat ter­ba­tas.
Pemerintah hanya menugaskan empat orang untuk menjaga se­lu­ruh
kawasan Suaka Margasatwa Teitei Batti—terlalu sedikit untuk meng­
a­wa­si kerusakan yang ditimbulkan oleh eksploitasi gaharu dan rotan
ser­ta pelanggaran perusahaan kayu. Daerah penyangga juga tidak je­
las batas-batasnya. Para petugas di Siberut memiliki pemahaman yang
ter­batas tentang status hukum suaka margasatwa yang harus mereka
awasi. Terlebih lagi, suaka ini masih tumpang tindih dengan area yang
telah ditetapkan untuk konsesi penebangan.
Keberhasilan WWF mendorong pemerintah Indonesia untuk
mem­­per­lu­as kawasan konservasi semakin menjelaskan posisi pe­me­
rin­tah yang penuh kontradiksi. Di satu sisi, atas nama pem­bangunan,
Departemen Kehutanan melegitimasi eksploitasi hutan. Sebaliknya,
atas nama pembangunan juga, hutan harus dikonservasi. Perbeda­an
yang men­da­sar ju­ga dapat terlihat dari pandangan Departemen Per­ta­ni­
an dan Kementerian Lingkungan Hidup terhadap Siberut. Departemen
Per­ta­ni­an menginginkan eksploitasi, sementara Kementerian Ling­
kung­an Hidup menginginkan konservasi. Departemen Pertanian
me­­nye­but masyarakat Siberut sebagai perusak hutan karena praktik
200 Berebut Hutan Siberut

per­la­dang­an berpindah, sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup


me­nye­but masyarakat Siberut sebagai ahli lingkungan karena sistem
per­la­dang­an dan ekonominya. Secara eksplisit, wacana konservasi
meng­a­kui dan menerima hak-hak adat penduduk Siberut dan me­li­
hat­nya bersesuaian dengan agenda konservasi, sementara wacana eks­
ploi­ta­si pada kutub yang lain, melihat masyarakat sebagai ancaman
ter­ha­dap hutan.
Bersamaan dengan usaha konservasi alam, untuk melengkapi
pro­­yek WWF, Survival International (SI) meluncurkan proyeknya di
Si­be­rut. SI adalah lembaga yang peduli dengan keberlangsungan ma­
sa depan kelompok-kelompok minoritas. Mereka sangat peduli ter­
ha­dap pelestarian budaya dan otonomi masyarakat-masyarakat adat
yang ba­nyak mendapat tekanan dari negara. Proposal atas proyek ini
di­tu­lis oleh Reimar Schefold, seorang antropolog Belanda yang se­jak
1960-an meneliti kebudayaan Uma Sakuddei, dan pada 1980 mem­pu­
bli­ka­si­kan tulisannya di jurnal Survival International Review. Ber­sa­
ma dukungan antropolog ahli Siberut, proyek ini berusaha me­ngem­
bang­­kan perekonomian Siberut berdasar atas pemahaman budaya
Men­ta­wai (Persoon 1985). Program ini juga mendorong terbentuknya
pe­na­ngan­an khusus dan otonomi bagi pengelolaan Pulau Siberut dan
Ke­pu­lau­an Mentawai.
Dalam pelaksanaannya, SI bekerja sama dengan Departemen So­
si­al dan Dinas Sosial Provinsi Sumatra Barat. Berbagai kegiatan SI di­
fo­kus­kan pada upaya memberi kesempatan bagi orang Siberut un­tuk
menentukan jalan hidup mereka di masa depan. Proyek ini ingin me­
lin­dungi hak masyarakat Siberut dan membantu mereka meng­ha­dapi
proses modernisasi yang terjadi di pulau tersebut (ibid: 71). Ke­gi­at­an
SI di Siberut meliputi berbagai aktivitas proyek, kongres, dan pu­bli­
kasi melalui media massa. Di Siberut, kegiatan-kegiatan utama pro­
yek ini adalah peningkatan taraf hidup dan ekonomi, misalnya me­la­lui
pembagian ternak seperti babi, itik, dan ayam. Mereka juga mem­ban­tu
meningkatkan efektivitas penangkapan ikan di laut dengan pem­be­ri­
an jala dan menaikkan produksi sagu. Proyek SI dan WWF dipandang
sebagai proyek yang saling melengkapi. SI mengembangkan se­rang­kai­
an ke­gi­at­an pengembangan ekonomi, sementara WWF lebih banyak
me­la­ku­kan kampanye pelestarian lingkungan untuk pemerintah. Na­
mun, usa­ha-usa­ha SI di Siberut hanya berlangsung sekitar tiga tahun
dan ti­dak banyak kisah keberhasilan yang dilaporkan secara resmi.
Proyek SI tidak berumur panjang. Proyek ini hanya fokus di De­sa
Konservasi Alam 201

Mai­lep­pet, Saliguma, dan beberapa kali mengadakan kegiatan di Ka­tu­


rei dan Saibi. Dukungan pemerintah Sumatra Barat yang diharapkan
men­ja­di bagian penting dari proyek SI tidak pernah diberikan oleh
gu­ber­nur dan dinas terkait. Dukungan pendanaan dari SI juga sangat
ter­ba­tas—Siberut satu-satunya field project SI yang pernah ada di In­
do­ne­sia. Wacana penentuan otonomi dan perlindungan hak-hak ma­
sya­ra­kat Siberut dalam menghadapi pembangunan yang diterapkan
pe­me­rin­tah Jakarta atau pembentukan provinsi yang ingin dicapai
da­lam proyek ini tidak pernah tercapai.
Meskipun proyek WWF dan SI di Siberut tidak berumur panjang,
pengaruhnya sangat kuat terhadap wacana konservasi dan paradigma
per­juangan masyarakat Siberut, terutama pandangan tentang pen­
ting­nya konservasi keanekaragaman hayati dan pelestarian budaya
lo­kal yang mendukung pelestarian. Konservasionis memandang ada
hu­bung­an yang erat antara budaya masyarakat dan masa depan pe­
nye­la­mat­an flora-faunanya. Orang Mentawai di Siberut dikesankan
se­ca­ra kuat sebagai pemilik kebajikan lingkungan, mereka memelihara
hubungan yang harmonis dengan alam dan memiliki keinginan kuat
un­tuk melindungi budaya “zaman batu baru” mereka (misalkan da­
lam Per­soon dan Van Beek 1998). Ini merupakan pandangan yang sa­
ma dengan perspektif para pelancong atau fotografer yang menulis
penduduk Siberut sebagai keeper of the forest (Lindsay 1992) atau le
spirit du floret (Ollivier 1994). Masyarakat Siberut juga dicitrakan se­
ba­gai noble savage, masyarakat yang jauh dari peradaban dan me­me­
li­hara kebudayaan zaman batu, tetapi memiliki kebajikan lingkungan
yang intrinsik dalam diri mereka (Persoon dan van Beek 1998: 320).
Pan­dang­an ini terwujud dari simbol dan citra sikerei yang digunakan
se­ba­gai ilustrasi bagi kampanye konservasi. Gambar-gambar dukun
yang mengenakan cawat dari pohon baiko (kabit), bertelanjang da­da
pe­nuh tato, bunga-bunga di kepala, dan manik-manik di leher me­
lu­as di media nasional dan publikasi wisata. Pandangan semacam
ini akan mudah digunakan sebagai dasar untuk meletakkan bingkai
kon­ser­vasi. Tentu saja selain hasil-hasil penelitian biologi mengenai
keanekaragaman hayati.
Citra noble savage tersebut berkait dengan pandangan orang-
orang Eropa awal terhadap Mentawai pada masa kolonial, 200 tahun
la­lu (Wagner 2002). Foto-foto awal naturalis atau misionaris yang ber­
kun­jung ke Siberut memberi kesan kuat sosok orang Mentawai yang
de­kat dengan alam. Orang Mentawai difoto dalam pose tersenyum,
202 Berebut Hutan Siberut

me­nge­na­kan bunga, sketsa-sketsa penduduk dengan latar belakang


hu­tan atau kelokan sungai. Sketsa-sketsa tangan para pendatang da­ri
Ero­pa tersebut juga romantis dengan menggambarkan orang Men­ta­
wai berdiri dengan dayung di sungai. Di seberangnya adalah rumah
pang­gung yang dikelilingi pepohonan rindang (Wagner 2001: 115).
Pencitraan semacam ini memang bukan mengada-ada, tetapi
me­nye­der­ha­na­kan kompleksitas masalah di Siberut. Pada waktu itu,
pen­du­duk Siberut lazimnya jarang memakai baju. Sebagian besar
me­re­ka bertelanjang dada atau bagi perempuan yang keluar rumah
ha­nya menggunakan penutup dari daun pisang kering. Hingga tiga
pu­luh tahun lalu, kalau kita pergi ke kampung-kampung, kita pasti
akan ber­jumpa dengan anak-anak muda yang masih bertato dan me­
ma­kai kabit. Mereka hidup di sepanjang aliran sungai dengan per­
ka­kas dan perlengkapan terbatas. Peralatan modern sangat jarang
di­jumpai, kecuali jam tangan. Kesan ini dengan gampang sering
mem­bu­at pendatang berkesimpulan bahwa penduduk Mentawai sa­
ngat sederhana dan tidak mengejar materi. Sehari-hari mereka keluar
ma­suk hutan, bersampan dan mengambil hasil hutan yang terbatas,
beternak babi, dan pergi ke ladang. Alhasil secara gampang masyarakat
Mentawai dicitrakan sebagai penduduk yang “menjaga hutan”.
Citra tersebut membuat para konservasionis memimpikan ma­
sya­ra­kat Mentawai sebagai noble savage yang akan mengurus alam
de­ngan benar. Apalagi, citra ini ditambahi dengan narasi bahwa pen­
du­duk tersebut sedang terancam oleh perubahan yang dibawa da­ri
luar, seperti dari perusahaan kayu, proyek pembangunan, dan pa­sar
yang terus merangsek sampai ke tempat-tempat terpencil. Jika orang-
orang ini tidak diselamatkan, dunia akan kehilangan rahasia-ra­ha­sia
pengetahuan dalam berhubungan dengan alam (WWF 1996). Pe­ma­
ham­an tentang orang-orang bijak yang masih tersisa di belantara
tro­pis dan terkepung oleh kecamuk usaha-usaha eksploitasi, pasar,
dan pe­ne­tra­si negara sangat kuat dalam gagasan tentang pengelolaan
sum­ber daya alam. Pernyataan WWF (1980) “namun pulau surga itu
ter­an­cam sekarang” mengandung sebuah elegi yang sangat romantis.
Ke­in­dah­an dan kekayaaan Pulau Siberut akan lenyap segera bila
usaha-usaha penyelamatan tidak segera dilakukan. Citra kelompok-
ke­lom­pok minoritas yang rentan karena interaksi dengan dunia luar
men­ja­di narasi yang sesuai dengan narasi nasib keanekaragaman ha­
yati, di mana flora dan fauna yang unik dan sumber masa depan akan
mus­nah dan punah karena ancaman dari luar.
Konservasi Alam 203

Budaya dan ritual tradisional menjadi sarana untuk mem­per­te­


mu­kan gagasan perlindungan terhadap flora dan fauna serta pen­du­
duk Siberut. Hilangnya salah satu unsur tersebut akan menjadi pe­
nye­bab kepunahan yang lainnya. Pada titik inilah isu penyelamatan
ling­kung­an bertemu dengan isu penyelamatan budaya masyarakat
yang ter­an­cam. Sebuah middle ground atau jalan tengah (Conklin
dan Graham 1996) ala Siberut. Citra ini mendapat dukungan kuat da­
ri ri­set-ri­set etno-botani mengenai tumbuhan obat yang datang be­
la­kang­an. Publikasi riset tersebut, yang berjudul Medicinal Plants of
Siberut, menunjukkan adanya interaksi yang erat antara budaya dan
tumbuhan liar serta semi-liar di Siberut (Ave & Sunito 1990). Interaksi
ini dipandang sebagai sebuah ko-evolusi yang saling mendukung an­ta­
ra manusia dan alam. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa pen­
du­duk Siberut memiliki kemampuan meracik tumbuhan obat paling
ber­ni­lai di Indonesia. Penduduk Siberut mengenal 233 jenis tanaman
obat yang digunakan sebagai penyembuh untuk 123 jenis penyakit
(Ave dan Sunito 1990). Riset tersebut tidak diragukan lagi sangat
pen­ting. Riset ini sangat berguna untuk mempelajari bagaimana hu­
bung­an antara penduduk Siberut dengan sumber dayanya. Riset ini
de­ngan rinci menunjukkan kekayaan interaksi antara manusia dan
alam. Akan tetapi, riset sejenis ini mudah sekali digunakan sebagai
ba­sis ideologi konservasi (Guha 1997) yang menjelaskan seakan-akan
ada hu­bung­an yang begitu alamiah antara pengetahuan orang Siberut
de­ngan dukungan terhadap gerakan konservasi.

Mega Proyek PKAT dan Aliansi Konservasi Transnasional


Wacana konservasi Pulau Siberut semakin menguat pada de­ka­
de ’80-an hingga ’90-an. Selain peranan WWF, SI, dan lembaga mul­
tilateral seperti IUCN dan UNESCO (Mitchell 1982), LSM nasional,
Se­kre­ta­ri­at Kerjasama Perlindungan Hutan Indonesia (Skephi) mulai
me­­­nyu­a­­ra­kan pentingnya perlindungan terhadap Siberut (Skephi
1992). Narasi utama yang ditonjolkan Skephi mengenai Siberut sama
dengan pencitraan yang dibangun gerakaan konservasi sebelumnya.
Wacana ini masih tetap beranggapan bahwa Siberut memiliki profil
yang tinggi untuk mendukung konservasi. Sebagai LSM nasional ter­
ke­muka waktu itu, Skephi secara aktif berkampanye tentang pe­nye­
lamatan Siberut pada tingkat nasional. Mereka juga aktif mem­pro­mo­
sikan penyelamatan hutan Siberut pada forum-forum internasional.
204 Berebut Hutan Siberut

Pada Desember 1991, Skephi menyelenggarakan pertemuan be­


sar di Jakarta yang dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi negara. Me­
re­ka mengundang 17 perwakilan masyarakat Siberut. Perwakilan ini
di­ha­dir­kan untuk menunjukkan kepada pemerintah dan publik yang
luas bahwa orang Mentawai sangat peduli terhadap degradasi eko­
sis­tem Siberut. Dalam pertemuan tersebut dibahas kondisi ling­kung­
an terkini di Siberut. Dibahas pula cara-cara yang paling tepat un­tuk
menghentikan kerusakan lingkungan. Pada 1992, mereka mem­pu­bli­
ka­si­kan laporan tentang Siberut yang berjudul Destruction of World
Heritage: Siberut Vanishing Forest, People and Culture. Publikasi ini
berdasarkan laporan SOS asal Inggris, tetapi Skephi berusaha (dan
meng­ambil risiko) untuk mempublikasikan laporan itu atas namanya
(Persoon dkk 2004: 34).
Pada level internasional, Down to Earth, LSM yang berkantor di
Ing­gris, menyebarkan surat kepada jaringan global untuk mendu­kung
ak­si konservasi Siberut. Lebih dari 100 surat dan pernyataan diki­rim
ak­ti­vis dan kelompok lingkungan untuk mendukung keadilan ekologi
dan sosial di Siberut. Surat-surat ini berasal dari Belanda, Prancis,
Jer­man, Amerika Serikat, Malaysia, dan Australia yang ditujukan ke
Kan­tor Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup,
dan De­par­te­men Transmigrasi (Skephi 1992). Memenuhi desakan
ter­­­se­but, Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup pada saat itu, meng­
am­­bil peranan penting dengan menyelenggarakan pertemuan in­ter­
de­par­temen guna membahas masa depan konservasi di Siberut. Hasil
pertemuan tersebut adalah disepakatinya pengiriman tim untuk me­
nye­lidiki kondisi aktual di Siberut. Sementara itu, Departemen Ke­hu­
tan­an juga mengirim tim khusus (disebut sebagai Tim Terpadu) untuk
meng­evaluasi kinerja perusahaan kayu.
Berdasarkan laporan evaluasi Departemen Kehutanan dan KLH
dan de­sak­an gerakan konservasi global, pemerintah mengakhiri izin
kon­se­si penebangan hutan di Siberut pada 1992 melalui Surat Ke­pu­
tus­an Presiden. Keputusan ini berarti serangkaian kampanye dan lo­bi
dengan tujuan moratorium aktivitas penebangan komersial telah suk­
ses. Atas keputusan pemerintah Indonesia, Bank Pembangunan Asia
(ADB) setuju memberikan pinjaman untuk mendukung proyek pe­me­
rin­tah senilai 40 juta dolar AS untuk melaksanakan Proyek Konservasi
Alam Terpadu (PKAT) selama 25 tahun di dua daerah di Indonesia,
di Si­be­rut dan Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Di atas kemenangan
para konservasionis ini, negara tetap memegang penuh kendali. Pa­da
Konservasi Alam 205

ta­hun yang sama, pemerintah, melalui Departemen Kehutanan, me­


ne­tap­kan taman nasional yang mencakup luasan 190.500 ha. Tujuan
utama penunjukan ini adalah melindungi flora-fauna jenis endemik,
terutama empat jenis primatanya.
Proyek PKAT adalah bagian proyek yang lebih luas dalam ske­ma
Inte­gra­ted Conservation and Development Project (ICDP) yang di­te­

Peta 4
Zonasi Taman Nasional Siberut
206 Berebut Hutan Siberut

rap­kan di seluruh dunia (Barber, Afif, dan Purnomo 1997; Caldecott


1996; Wells, Bran­don dan Hannah 1992). Konsep dasar proyek ini ada­
lah me­nye­la­ras­kan pelestarian alam dengan kepentingan ma­sya­rakat
se­tem­pat dan mendorong pembangunan sosial dan ekonomi ma­sya­
ra­kat yang hidup di dekat kawasan konservasi. Proyek ini terutama
ber­­u­sa­ha mengaitkan konservasi dengan pengembangan ekonomi
lo­­kal. Proyek ini berdasarkan beberapa asumsi, di antaranya ada­lah
pe­­les­­ta­rian tidak akan berhasil bila tidak memberi peluang eko­no­mi
alternatif terhadap orang-orang yang mata pencahariannya meng­an­
cam keutuhan kawasan lindung. Agar efektif, proyek ini menekankan
per­baikan kebijakan dan praktik tata guna lahan menjadi lebih me­li­
bat­kan masyarakat dalam aktivitas konservasi. Pengelolaan ka­was­an
lindung dilakukan secara menyeluruh dan tidak hanya ber­orien­ta­si
di dalam kawasan atau semata-mata mencegah orang masuk ke da­
lam kawasan yang dilindungi (Barber, Afif, dan Purnomo 1997: 35).
De­ngan melibatkan masyarakat lokal dalam manajemen pengelolaan
dae­rah konservasi serta memberi insentif ekonomi akan membuat
ma­­sya­ra­kat mematuhi aturan taman nasional dan berkomitmen men­
du­kung konservasi (Setyowati 2009).
Tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari proyek ICDP di Siberut
sa­ngat­lah ambisius. Dalam jangka panjang, proyek ini bertujuan
me­­­wu­jud­kan pengelolaan seluruh pulau berdasarkan prinsip pem­
ba­ngun­an berkelanjutan dan melindungi keanekaragaman ha­ya­ti di
se­lu­ruh tipe ekosistemnya. Dalam jangka pendek, proyek akan ber­
u­sa­ha mengalihkan tanggung jawab pengelolaan kawasan da­ri De­
par­te­men Kehutanan menjadi pengelolaan bersama yang melibatkan
ma­sya­ra­kat dan sektor swasta. Proyek ini juga menargetkan pem­ben­
tuk­an dewan sosial budaya di seluruh Siberut untuk men­du­kung dan
melindungi hak tanah dan sumber daya asli serta kebutuhan bu­da­
ya Mentawai. Di samping aktivitas konservasi, proyek ini ber­ini­sia­tif
memperbaiki pelayanan umum seperti kesehatan serta meningkatkan
ekonomi lokal melalui usaha-usaha kerajinan dan pemberian kredit
untuk modal usaha. Sebuah balai penelitian bio­lo­gi, antropologi, dan
ekologi direncanakan akan dibentuk untuk mem­be­ri­kan dasar bagi
penelitian terapan. Untuk meningkatkan du­kung­an terhadap proyek
ini, ICDP Siberut harus diintegrasikan de­ngan ren­ca­na pembangunan
provinsi dan nasional (Barber, Afif, dan Purnomo 1997: 37-38).
Pelaksanaan proyek PKAT dan pengelolaan taman nasional
mem­­­butuhkan banyak persiapan. Secara resmi dibuka pada 1993,
Konservasi Alam 207

pro­yek itu baru berlangsung secara efektif awal 1995. Proyek PKAT
di Si­be­rut secara khusus menarik dana utang sekitar 18 juta dollar AS
(ibid: 35) dari ADB. Dana utang yang ditanggung negara itu se­ge­ra
dibelanjakan untuk membangun kompleks perkantoran taman na­
sio­nal yang megah di Desa Maileppet dengan bahan dari tembok dan
por­selen. Sebagian uangnya juga dipakai untuk membeli alat trans­
por­ta­si darat keluaran terbaru, kapal-kapal mewah, serta mesin-me­
sin speedboat. Semua fasilitas tersebut disediakan untuk para pekerja
TNS—yang kebanyakan bukan orang Mentawai atau Siberut—dan pa­
ra konsultan dari luar negeri. Pekerja lokal hanya direkrut TNS se­ba­
gai pe­gawai rendahan saja.
Untuk ukuran orang Siberut pada waktu itu, fasilitas perkantoran
ter­se­but hanya bisa dilihat di majalah-majalah atau acara televisi. Pa­
da wak­tu itu belum ada satu pun rumah penduduk, termasuk juga ru­
mah pa­ra pendatang, yang dibangun dari keramik. Belum seorang pun
war­ga memiliki kendaraan bermotor karena jalan-jalan masih berupa
ja­lur setapak dan berlumpur yang dilapisi kulit sagu. Di tengah jalan
li­cin dan berlumpur itu, kendaraan motor pegawai TNS hilir mudik.
Ka­pal-kapal TNS juga berlayar secara teratur mengantar para pekerja
me­re­ka dari dan menuju Padang dengan frekuensi melebihi kapal pe­
da­gang. Penduduk setempat memandang dengan rasa takjub. Itulah
ma­sa-masa yang dikenang oleh penduduk Siberut sebagai tahun-tahun
yang disesaki pekerja asing dan “orang jauh” yang makmur karena
di­ba­yar dengan upah sangat tinggi. Para pekerja TNS, yang hampir
se­mua­nya orang luar Siberut, dilihat sebagi model para pekerja ideal
ka­re­na dapat menyediakan dan membeli apa pun di Siberut.
Sebagian besar pekerja lapangan TNS berasal dari etnis Minang­
kabau, yang sebelumnya bekerja untuk Balai Konservasi Sumber Daya
(BKSDA) Sumatra Barat, dan sebagian lain berasal dari Jakarta. Sudah
lazim diketahui, sebagian besar pekerja yang dipindahkan dari BKSDA
ke ta­man nasional adalah pekerja-pekerja yang tidak berprestasi, ter­
li­bat masalah, dan bermotivasi rendah.2 TNS dianggap sebagai tempat
pem­buangan dan hukuman bagi pekerja-pekerja tersebut. Karena ke­
ter­ba­tas­an sumber daya manusia, proyek ini melibatkan Sekretariat
Ker­ja­sa­ma Pelestarian Hutan Indonesia (Skephi) sebagai rekanan
untuk implementasi program di lapangan. Skephi terlibat dalam kerja-
kerja praktis seperti penyuluhan, pelatihan, dan juga pendampingan
ma­sya­ra­kat. Akan tetapi, hal itu belum cukup. Kecuali sebagian kecil
2 Keterangan dari FN, staf taman nasional.
208 Berebut Hutan Siberut

staf Skephi, kebanyakan pekerja tidak memahami budaya lokal dan


me­mi­liki waktu yang terbatas untuk tinggal di Siberut (ADB 2001).
Pro­yek ini membutuhkan kerja sama dengan penduduk setempat.
Me­nu­rut aturan proyek, kerja sama tersebut harus melalui bentuk for­
mal sebuah lembaga. Karena ketiadaan LSM lingkungan di Siberut,
pro­­yek PKAT membantu terbentuknya LSM lokal yang bernama
Yayasan Suku Mentawai (Yasumi). Hampir semua anggota Yasumi
ada­­lah orang Men­ta­wai, dengan sedikit perkecualian beberapa staf
senior yang ber­asal dari keturunan campuran orang Mentawai, Batak,
dan Ni­as yang lahir dan besar di Siberut. Skephi menjadi rekanan bagi
TNS di ting­kat nasional, sementara Yasumi sebagai ujung tombak
im­­­ple­men­ta­si kegiatan di lapangan. Yasumi tercatat sebagai LSM
lokal pertama yang bergerak dalam isu lingkungan. Sebagai generasi
pertama, Yasumi mendapatkan banyak keistimewaan. Yasumi menjadi
representasi masyarakat Mentawai dalam menghadapi negara atau
agen-agen konservasi.
Kata “suku” yang disandingkan dengan identitas “Mentawai”,
dan bu­kan­nya kata “adat”, dipilih secara sengaja untuk menghindari
kon­fron­ta­si dengan pandangan resmi pemerintah pada masa itu.
Sebelum reformasi 1998, pemerintah belum secara resmi memberi
peng­aku­an terhadap masyarakat adat (Li 2001), meskipun kata “adat”
sudah mulai diperbincangkan secara internasional dan perwakilan
In­do­­nesia ikut terlibat dalam pertemuan tersebut (Persoon 2002;
Persoon dkk 2004). Dalam dokumen proyek yang disiapkan ADB,
me­­re­ka sudah menggunakan kata indigenous yang merujuk pada
ma­­sya­ra­kat adat yang didefinisikan dalam dokumen internasional.
Do­­ku­­men ADB dan kajian mengenai proyek ini (Barber, Afif, dan
Pur­no­mo 1995: 35) sebagian menekankan pada hubungan harmonis
antara orang Mentawai dan Pulau Siberut, meskipun dokumen dari
kon­sul­tan sosial menyatakan bahwa hubungan tersebut tidak berifat
alamiah dan memiliki perbedaan epistemologi (Persoon 1995: 34).
Secara eksplisit, hal ini memberi sebuah pertanda perbedaan (mark
of difference) antara masyarakat Siberut dengan para migran dari luar
etnis Mentawai, di mana masyarakat Siberut digambarkan me­mi­liki
hubungan dekat dengan alam dan pengetahuan yang bijak ten­tang
pengelolaan hutan di pulau tersebut. Hal inilah yang di ma­sa men­da­
tang men­ja­di landasan klaim bagi orang Siberut untuk mendapatkan
ak­ses ke hutan dan mendapatkan hak untuk terlibat dalam politik
lokal.
Konservasi Alam 209

Yasumi dan kelompok-kelompok lain yang muncul setelahnya


me­­nem­­pati posisi penting bagi politik identitas Mentawai. Yasumi
me­­nyua­ra­kan kepentingan masyarakat Mentawai secara lebih vokal
dan ter­buka kepada publik di luar. Meskipun pembentukan Yasumi
mu­la­nya untuk memenuhi kebutuhan aktivitas konservasi global dan
men­da­pat­kan restu dari pemerintah, proses ini menandai keterlibatan
se­ke­lom­pok orang Mentawai secara aktif dalam pusaran wacana glo­
bal ten­tang konservasi dan masyarakat adat. Mereka kemudian juga
memiliki kesempatan bernegosiasi dengan kebijakan negara. Ya­su­
mi me­nan­dai momentum penghargaan dunia internasional ter­ha­dap
masyarakat adat secara lebih formal di Siberut dan turut ser­ta, mes­
kipun tidak secara langsung, mengubah pandangan negara ter­ha­dap
orang Mentawai.
Pengakuan global terhadap masyarakat adat Siberut pada era
1990-an itu berbarengan dengan terjadinya pergeseran wacana kon­ser­
va­si yang semula didominasi pendekatan dari atas (top-down) men­ja­di
berbasiskan masyarakat (community based). Wacana baru ini de­ngan
ce­pat mempengaruhi implementasi konsep konservasi Siberut. TNS
dan organisasi konservasi mengakui pentingnya melibatkan ma­sya­ra­
kat lokal dalam proyek-proyek konservasi. Semangat ini dapat di­li­hat
dari dokumen ADB untuk proyek PKAT di Siberut yang secara eks­pli­
sit menyebutkan adanya hubungan antara konservasi dengan pem­ba­
ngun­an ekonomi lokal (ADB 2001). Proposal ADB menekankan pen­
tingnya partisipasi lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan pro­yek,
sebuah usaha yang dipercayai oleh para perancang akan membawa
ja­­min­an pembangunan berkelanjutan (Barber, Afif, dan Purnomo
1995: 38). Bahkan, fokus kebijakan PKAT Siberut adalah bagaimana
mem­per­ta­han­kan budaya asli dan mengintegrasikannya dengan pro­
yek ini. Beberapa konsultan menyarankan bahwa keikutsertaan dan
par­ti­si­pasi penduduk asli dalam pelestarian dan peningkatan ke­mam­
pu­an mereka adalah kunci keberhasilan proyek ini.
Keputusan pembentukan taman nasional dan gagasan tentang
pen­­­de­kat­an yang berbasis masyarakat mengubah persepsi penduduk
Siberut terhadap negara dalam pengelolaan hutan. Lewat keputusan
ini, masyarakat melihat hutan tidak lagi sebagai aset yang dieksploitasi
pe­merintah. Bahkan, pemerintah dipersepsikan bersedia melindungi
hu­tan beserta keanekaragaman hayatinya dan menjamin masa de­pan
pen­du­duk Siberut. Meskipun para pengamat menunjukkan ke­ra­gu­an
secara terbuka, beberapa program tetap dicoba melibatkan ma­sya­ra­
210 Berebut Hutan Siberut

kat. Pengelola proyek ini juga dibantu oleh konsultan-konsultan da­ri


bidang ilmu yang beragam. Konsultan menyiapkan dokumen-do­ku­
men ber­da­sar­kan kajian yang melibatkan masyarakat. Dilihat dari do­
ku­men-dokumen tersebut, tampak bahwa proyek ini memiliki lan­das­
an sangat kuat dari segi kehutanan, pertanian, maupun antropologi.
Do­ku­men-dokumen tersebut memperlihatkan isu-isu penting ber­ka­
it­an dengan penduduk seperti kebutuhan peningkatan ekonomi, ke­
pe­milikan lahan, dan keterbatasan-keterbatasan mereka.

Reaksi-Reaksi terhadap Taman Nasional


Awalnya, masyarakat melihat proyek PKAT sebagai penanda
per­­ubah­an kebijakan pemerintah atas Siberut. Saat awal sosialisasi
program, sam­but­an masyarakat terhadap TNS sangat meriah. Retorika
me­­nge­nai peluang baru di bidang ekonomi ramai dibicarakan.
Masya­rakat ju­ga merasa memiliki kesempatan untuk menyuarakan
keinginan-ke­ingin­an kepada TNS melalui pertemuan-pertemuan di
ting­kat kam­pung. Me­re­ka juga melihat keterlibatan Yasumi dan kader-
ka­dernya di se­ti­ap kampung sebagai bentuk apresiasi negara terhadap
orang Men­ta­wai dalam pembangunan. Seperti yang disinggung pada
ba­­gi­an se­be­lum­nya, hal ini dilihat sebagai kesempatan bagi orang
Men­ta­wai un­tuk mendekatkan dan mengikatkan diri kepada negara.
Ma­sya­ra­kat Siberut menginginkan—dan secara antusias melibatkan
diri—dan berharap mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut.
Kehadiran TNS dianggap akan menguatkan wacana masyarakat
se­ba­gai pemilik tanah adat. Ini karena TNS berkali-kali menyatakan
di de­pan publik bahwa negara tidak akan mengeksploitasi tanah dan
hu­tan milik masyarakat. Sebaliknya, taman nasional akan membantu
masya­ra­kat untuk membatasi pihak luar yang akan mengambil isi hu­
tan me­re­ka. Tugas utama TNS adalah menjaga hutan supaya tidak ru­
sak dan men­jadi jaminan masa depan masyarakat Siberut. Kampanye
ber­sa­ha­bat ini seringkali ditambahi dengan pengakuan hak adat ma­
sya­ra­kat Siberut. Keterlibatan masyarakat dalam implementasi TNS
se­ca­ra langsung telah diatur melalui skema perekrutan elite-elite
ma­sya­ra­kat sebagai kader-kader konservasi. Mereka dibayar secara
ber­ka­la, meskipun dengan upah yang tidak besar. Mereka bertugas
me­nyam­pai­kan tujuan-tujuan taman nasional di kampung-kampung
mereka sen­di­ri setelah sebelumnya diberi pelatihan. Masyarakat di­
undang un­tuk menghadiri pelatihan-pelatihan pertanian, beternak,
koperasi, dan pe­la­tih­an pengembangan keterampilan lainnya. Selain
Konservasi Alam 211

itu juga ada pro­gram pemberian bibit jeruk, rambutan, pinang, kayu
manis, dan bi­bit lainnya. Setiap ada kegiatan taman nasional, ma­sy­
arakat di­un­dang dan diberi fasilitas konsumsi, akomodasi, dan sedikit
uang saku. Jenis-jenis partisipasi ini meningkatkan penerimaan ma­
syarakat terhadap TNS. Masyarakat merasa terlibat dan mendapat
peng­akuan dari negara atas hak-hak mereka.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya proyek ini ternyata mendua.
Pe­nun­juk­an TNS lantas diikuti dengan penetapan tata batas dan so­sia­
li­sa­si UU Konservasi Alam. Tata batas kawasan konservasi (meskipun
se­ca­ra riil di lapangan sukar ditentukan) dapat digunakan sebagai ca­
ra untuk mengontrol dan mengkriminalkan penduduk lokal yang me­
lang­gar UU tersebut. Manajemen TNS bersama Yasumi bekerja un­tuk
menyebarluaskan nilai-nilai konservasi dan mengenalkan pe­la­rang­
an-pelarangan dan aturan yang berkaitan dengan taman na­sio­nal.
Mereka juga menyarankan pengurangan perburuan primata di ka­was­
an TNS. Polisi kehutanan berangsur-angsur ditambah dan patroli ke­
aman­aan diintensifkan, melebihi pada waktu di bawah otoritas PPA.
De­ngan menggunakan UU Kehutanan, eksploitasi tradisional sangat
di­te­kan, dan bahkan pada beberapa kasus dilarang (Darmanto 2005).
Per­bu­ru­an primata seringkali dilaporkan kepada petugas, meskipun
se­jak TNS ditetapkan hingga sekarang, belum pernah ada kasus pe­
nang­kapan penduduk asli karena melakukan pelanggaran ini.
Aksi pengontrolan dan patroli kehutanan menjadi pemicu mun­
cul­nya ketegangan baru antara TNS dengan orang Siberut. Staf TNS
ti­dak memahami kode-kode budaya, bahasa, dan relasi orang Siberut
ter­hadap hutannya. Sosialisasi aturan taman nasional dilaksanakan
se­ca­ra kaku dengan menggunakan bahasa hukum positif tanpa mem­
per­tim­bang­kan konteks lokal. Dengan logika preservasi 1990-an, pi­
hak TNS melarang berbagai aktivitas di dalam kawasan kon­ser­vasi.
Pertemuan-pertemuan kampung antara petugas TNS diisi de­ngan
ce­ramah mengenai aturan tentang pelarangan perburuan dan per­la­
dang­an di zona inti. Pelanggaran atas aturan tersebut, dikatakan oleh
pe­tu­gas TNS, akan berakibat hukuman penjara. Di sisi lain, penjelasan
yang ku­rang memadai mengenai lokasi zona inti, penyangga, dan ba­
tas-ba­tas pemanfaatan tradisional menyebabkan masyarakat merasa
ta­nah mereka dibagi-bagi. Tindakan ini dianggap tidak sesuai dengan
atur­an dan tata cara kepemilikan dan penguasaan tanah secara tra­di­
sio­nal. Hal ini membuat masyarakat merasa TNS membatasi hak-hak
me­re­ka atas tanah mereka sendiri. Praktik-praktik sosialisasi ini me­
212 Berebut Hutan Siberut

mu­dah­kan masyarakat mempersepsikan TNS akan menguasai tanah


me­re­ka secara perlahan. Pelarangan perburuan yang dikutip dari UU
Kon­ser­vasi dan disosialisasikan oleh staf TNS dan Yasumi, ditanggapi
pen­duduk dengan pernyataan sebagai berikut:
Tidak ada bedanya antara taman nasional dan aktivis LSM. Me­
re­ka ingin membatasi kami masuk ke hutan. Bahkan, kami di­
la­rang menjatuhkan selembar daun di sana. Sekarang, apa-apa
yang kami lakukan harus meminta ijin sama mereka. Ka­mi tidak
bisa berburu. Jika mereka terus-menerus melarang ka­mi, me­
re­ka membunuh kami secara pelan-pelan. Siapa yang memberi
ma­kan hewan-hewan tersebut? Siapa yang menumbuhkan po­
hon di tanah kami? Orang taman nasional? Ini hanyalah politik
mereka.3

Ungkapan penduduk yang dikutip di atas, yang terkesan agak


ber­­le­bih­an, menandai adanya kekhawatiran orang Siberut akan pe­
la­rang­an yang dikampanyekan dalam proyek PKAT. Pada dasarnya,
ung­­­kap­an selembar daun yang dilarang dijatuhkan secara faktual tidak
per­nah terjadi. Orang Siberut merasa, dengan munculnya UU, mereka
akan mudah untuk dijadikan sasaran utama kerusakan lingkungan.
Ung­­­kap­an di atas mudah dikenali sebagai asak baga, suatu cara yang
di­gu­na­kan untuk melebih-lebihkan, membelokkan, mengurangi fakta
dan men­dra­ma­ti­sir suasana agar pembicaraan lebih diperhatikan dan
me­mi­liki efek kuat. Ketika asak baga terhadap taman nasional se­ma­
kin meluas dan menggejala, program-program ekonomi TNS yang di­
ran­cang untuk mengalihkan usaha-usaha eksploitasi terhadap spesies
yang dilindungi tidak berjalan mulus. Program TNS lebih memberi
te­kan­an pada intervensi teknis seperti peternakan unggas skala ke­cil,
pengambilan hasil hutan nonkayu, dan agroforestri. Tak ada pe­ning­
kat­an kesejahteraan masyarakat yang cukup signifikan dari program-
pro­gram yang diberikan ini.
Bentuk-bentuk partisipasi yang dijalankan TNS sulit menjawab
tun­tut­an-tuntuan masyarakat karena harus menyesuaikan dengan
atur­an dan UU. Kegiatan-kegiatan masyarakat yang bisa ditolerir
ada­­lah kebutuhan untuk subsisten seperti mengumpulkan hasil hu­tan
nonkayu atau memanfaatkan zonasi pengelolaan tradisional. Dengan
cara ini, masyarakat Siberut mendapat pengakuan untuk men­da­­
pat­kan hak dan mem­per­ta­han­kan praktik pengelolaan sumber da­ya
3 Kutipan kami ambil dari sebuah diskusi informal dengan salah satu penduduk Dusun Rogdok, 2005.
Konservasi Alam 213

alam, asalkan sesuai dengan standar konservasi dan aturan UU. Li


(2002a) telah memberi peringatan akan risiko-risiko inisiatif kon­ser­
va­si berbasiskan masyarakat. Li menerangkan, proyek-proyek kon­
ser­vasi membutuhkan pemeliharaan dan penetapan pengetahuan
tra­disional dan gaya hidup tradisional sebagaimana yang dipraktik­
kan oleh masyarakat adat dan lokal sejauh “sesuai dengan konservasi
dan peng­gu­na­an berkelanjutan sumber daya hayati” (Li 2001: 657).
Penye­der­ha­na­an ini dapat membawa kegagalan bagi masyarakat un­
tuk berpartisipasi secara penuh dan bermakna dalam usaha-usaha
kon­ser­vasi.
Masyarakat yang kami temui di Siberut sebenarnya tidak menolak
pan­dang­an bahwa mereka mendapat keuntungan dari kehadiran TNS.
Akan tetapi, keuntungan ini tidak seberapa dibandingkan de­ngan an­
cam­an yang harus mereka terima karena secara hukum me­reka merasa
di­larang memanfaatkan hutan milik mereka sendiri—mes­ki­pun an­
caman ini tidak bersifat aktual dan pada praktiknya orang Si­be­rut
tetap bisa memanfaatkan hutan tanpa dilarang. Meskipun pada awal­
nya so­sia­li­sa­si proyek PKAT merujuk UU Konservasi, namun dengan
ke­ter­ba­tas­an pegawai, sulitnya medan, dan adanya masyarakat yang
te­lah mendiami kawasan konservasi serta membudidayakan lahan-la­
han yang dilindungi untuk pelestarian itu, kontrol terhadap taman na­
sio­nal menjadi sangat lemah.
Sementara itu, beberapa elite yang tidak menyukai perihal kon­
ser­va­si membuat posisi taman nasional di masyarakat menjadi lebih
ber­ma­sa­lah dengan rumor-rumor yang mereka susun. Beberapa elite
ma­sya­ra­kat menjadi lebih sulit untuk mengkampanyekan konservasi.
Sa­tu-dua masyarakat yang tidak mendapat keuntungan langsung da­
ri kehadiran TNS menghembuskan isu bahwa staf taman nasional
ter­li­bat perdagangan satwa secara ilegal. Tentu saja ini sangat su­kar
di­buk­ti­kan karena keterangan yang diberikan sering tidak be­nar. De­
sas-de­sus dan rumor ini digunakan sebagai senjata untuk mem­ban­
ding­kan kesenjangan perolehan keuntungan dari penetapan TNS.
Pe­ker­ja taman nasional—yang kebanyakan orang luar (sasareu)—
men­da­pat­kan gaji, tempat kerja, dan pelayanan yang dijamin oleh
ne­ga­ra, sementara masyarakat Siberut yang merasa sebagai pemilik
ta­nah justru merasa dibatasi aksesnya dan hanya sedikit mendapat
ke­un­tung­an ma­teri­al.
Masyarakat juga sering meributkan perilaku para petugas ren­
dah­an TNS yang dianggap menyimpang dari tujuan konservasi. Gaji
214 Berebut Hutan Siberut

yang ke­cil menyebabkan para petugas rendahan mencari tambahan


pen­da­pat­an dengan menjadi operator perahu cepat milik perusahaan
ka­yu. Dalam kehidupan sehari-hari, pegawai TNS dari Siberut ter­ka­
dang harus mengambil kayu dari hutan atau bakau untuk kon­struk­si
rumah atau memakan daging hasil buruan apabila mereka di­un­dang
oleh uma mereka. Beberapa anggota staf membantu kerabat untuk
me­­n­ang­kap bu­rung beo atau primata sebagai hadiah bagi pejabat
tinggi di Su­ma­tra Barat. Tujuannya agar kerabatnya yang akan masuk
pegawai ne­ge­ri atau ujian masuk militer bisa diluluskan. Perilaku-
perilaku ter­se­but dianggap menyimpang dan sering menjadi senjata
bagi ma­sya­ra­kat untuk menunjukkan inkonsistensi taman nasional
itu dalam memberlakukan UU.
Kondisi yang dihadapi petugas rendahan taman nasional adalah
di­le­ma self contradiction perception dari agen lokal negara (Peluso
1992 cf. Setyowati, 2006). Staf TNS memiliki peran berlapis dan ka­
dang kontradiktif. Di satu sisi, para pegawai rendahan ini bertugas
me­ne­gak­kan aturan sebagai petugas kehutanan profesional. Namun
di si­si lain, mereka adalah kelompok sosial atau menjadi kepala ke­lu­
ar­ga yang berusaha memenuhi kewajiban sosialnya dan bekerja ke­
ras memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan gaji yang sangat ren­dah
dan kebutuhan ekonomi tinggi, petugas rendahan TNS kerap ha­rus
mencari tambahan penghasilan, padahal pekerjaan itu sering di­per­
sep­si­kan oleh masyarakat sebagai “tidak sesuai dengan aturan taman
na­sio­nal”.
Kekecewaan yang dilumuri rumor dan asak baga beberapa orang
ten­tang keburukan TNS memunculkan penilaian ba­ru di ka­lang­an
pen­du­duk Siberut, yakni bahwa TNS hanya peduli ter­ha­dap hewan
dan tum­buh­an. Pengelola TNS juga dinilai hanya ra­mah kepada para
pe­ne­li­ti dari luar Siberut atau berkawan dengan LSM, na­mun ku­rang
pe­du­li terhadap masyarakat. Atas pelarangan-pelarangan per­bu­ru­an
dan peng­am­bil­an hasil hutan dari kawasan TNS, sebagian ma­sya­ra­kat
mu­lai menyuarakan tuntutan. Tuntutan tersebut biasanya sa­ngat ting­
gi dan kadang berlebihan, sehingga sulit dipenuhi TNS, mi­sal­nya:
Kalau mau memberdayakan kami berilah kami mesin (speedboat)
atau senso (gergaji mesin/chain-saw). Be­ri­lah kami pelayanan
ke­se­hat­an gratis dan beasiswa pendidikan untuk anak kami. Ja­
ngan kami diberi bibit rotan, jeruk, ternak, dan pinang terus!
Ka­lau­pun diberi kami pasti akan terima dan tanam. Tapi, siapa
yang bi­sa jamin setelah saya pelihara 10-15 tahun dengan susah
Konservasi Alam 215

pa­yah, nantinya rotan laku. Apakah konservasi menjamin akan


men­ju­al hasil panen kami?4

Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat meng­


ingin­kan keuntungan material yang lebih besar dari kehadiran TNS.
Akan te­ta­pi, beberapa tuntutan di atas sulit dipenuhi karena ma­sya­
ra­kat menginginkan usaha-usaha yang bertentangan dengan prinsip
kon­ser­va­si seperti meminta gergaji mesin. Namun, pernyataan di atas
ju­ga memberi tantangan bagi aktivis konservasi untuk terlibat lebih
ja­uh da­lam persoalan sehari-hari masyarakat. Masyarakat ternyata
ingin me­ning­kat­kan akses ke pasar dan ingin mendapatkan hasil dari
eks­ploi­ta­si sumber daya alam Siberut yang dinilai paling berharga,
yak­ni kayu. Tuntutan-tuntutan semacam ini pastilah sulit dipenuhi
oleh TNS karena UU membatasi tugas pokok mereka.
Meskipun secara hati-hati dan tidak secara tegas, larangan per­
bu­ru­an terus dikampanyekan. Program-program untuk memantapkan
sta­tus kawasan seperti penentuan tata batas dan penegakan hukum,
ser­ta upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap wi­
la­yah yang dilindungi, secara rutin mendapatkan dukungan anggaran
da­ri Jakarta. Sebaliknya, masyarakat melihat program pemantapan
ini se­ba­gai bentuk penyerobotan lahan oleh negara. Bahkan, secara
ver­bal mereka menyatakan, dengan cara ini TNS akan merampas hak-
hak rak­yat. Isu ini semakin intensif ketika secara terbuka beberapa elite
ma­sya­ra­kat menginginkan datangnya perusahaan kayu. Isu tentang
ke­bu­ruk­an taman nasional juga mengalir deras pascadesentralisasi.
Ke­sa­dar­an ini menumbuhkan sikap perlawanan. Masyarakat, dengan
ca­ra­nya sendiri, merongrong kewibawaaan TNS melalui protes-pro­tes
dengan bahasa yang halus dan menyindir. Namun, terkadang ma­sya­
ra­kat bersikap keras. Pada 2004, terjadi ketegangan antara pengelola
ta­man nasional dengan masyarakat Desa Bojakan (di bagian utara Si­
be­rut), yang dekat dengan lokasi perusahaan kayu. Kasus ini berakhir
de­ngan pengusiran pemimpin TNS. Beberapa kegiatan juga dibatalkan
de­ngan alasan masyarakat menolak taman nasional.
Kasus-kasus penolakan melalui surat maupun diskusi terbuka
se­ring dilontarkan pascaberhentinya proyek PKAT pada 1999. Satu
ka­sus yang sering dikenang adalah penahanan staf TNS dan UNESCO
di De­sa Madobak pada 2000 setelah mereka melakukan sosialisasi

4 Keterangan dari warga Ugai, Desa Madobak, dalam sebuah diskusi informal antara staf taman nasional
pada 2006.
216 Berebut Hutan Siberut

ren­ca­na kegiatan taman nasional. Reaksi-reaksi lain dilakukan secara


ha­lus dan diam-diam. Beberapa orang merusak atau memindahkan
tan­da batas kawasan taman nasional. Beberapa aktivis Yasumi, se­ca­ra
sarkas, diberi gelar sebagai “bapaknya para monyet”.5 Polisi ke­hu­tan­
an menghadapi kesulitan untuk mengontrol masyarakat yang terus
me­­ne­rap­kan perladangan, menebang pohon, mengumpulkan rotan,
ber­­bu­ru, dan menjual-belikan produk hutan. Polisi kehutanan, pada
akhir­nya, bersikap tutup mata terhadap kelangsungan praktik-praktik
orang Mentawai terhadap sumber daya alamnya, meskipun praktik-
prak­tik tersebut menyalahi aturan dan UU Konservasi Alam.
Namun, sikap penolakan terhadap TNS tidak menutup ke­mung­
kin­an bagi sebagian masyarakat lain untuk masih menerima ke­ha­
dir­an­nya. Banyak kegiatan taman nasional mendapatkan perhatian
ma­sya­ra­kat. Kegiatan-kegiatan di luar konservasi dan bersifat sosial
se­per­ti khitanan massal, pameran produk hasil hutan, dan kegiatan
amal lain­nya, yang disponsori oleh TNS masih menarik keterlibatan
orang Si­be­rut. Kegiatan-kegiatan pembinaan petani, yang dibarengi
de­ngan distribusi bibit tanaman keras dan pelatihan, tetap memiliki
ba­nyak peserta dan diikuti dengan santun. Surat-surat dukungan—
en­tah dengan maksud apa pun—sepanjang tahun terus mengalir ke
ru­ang pemimpin TNS. Proposal-proposal kegiatan dari masyarakat
un­tuk meminta sumbangan menumpuk di kantor TNS. Di desa-desa
ter­ten­tu, kegiatan TNS tetap diterima dan mendapat dukungan yang
ti­dak sedikit. Dengan cerdik, penduduk Siberut melirik peluang-pe­lu­
ang yang menguntungkan, meskipun terbatas, dari interaksi dengan
TNS. Bahkan, beberapa orang yang sangat vokal terhadap TNS tetap
ber­se­dia terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh taman na­
sio­nal itu.
Proyek PKAT yang dirancang sampai pada 2018 berhenti pada
1999 atau 20 tahun lebih cepat. Keraguan sejumlah pengamat atas ke­
ber­ha­sil­an proyek ini terbukti dengan dihentikannya pendanaan dari
ADB. Beberapa proyek ini dianggap gagal. Situasi ini bukan perkara
khas Si­be­rut. Proyek ICDP tidak banyak sukses di tempat yang lain
(Cal­de­cott 1996; Wells dkk 2000). Proyek-proyek ini biasanya berakhir
de­ngan cara yang buruk, misalnya dengan meninggalkan utang dan
mem­biak­kan praktik korupsi (Li 2007 dalam kasus Sulawesi Tengah).
Pro­yek PKAT di Siberut yang berakhir pada 1999 (ADB 2001), menurut

5 Diceritakan oleh pengurus Yasumi, Aman Fajar Sabolak dalam wawancara di Muara Siberut, Juni
2007.
Konservasi Alam 217

Gambar 10. Contoh lahan pengembangan pertanian dalam program pem­ber­


da­yaan masyarakat TNS (Ko-Manajemen).

staf taman nasional, praktis tidak menyisakan apa-apa selain gedung-


ge­dung yang lengang, semak belukar, kapal-kapal yang sudah bocor
dan aus, dan mesin-mesin rusak.
Setelah proyek tersebut berakhir, kantor yang megah di Mai­lep­pet
di­bi­ar­kan tidak terurus. Pengelola taman nasional memutuskan un­tuk
me­min­dah­kan kantor dari Maileppet ke Padang. Situasi ini se­ma­kin
mem­per­bu­ruk pengelolaan. Pemindahan kantor menyebabkan peng­
awas­an menjadi tidak efektif. Beberapa peralatan seperti tenda, me­sin
tempel, kasur, dan alat-alat dapur raib—sebagian dijual staf ren­dah­an
TNS untuk mengepulkan dapur keluarga mereka. Barang-ba­rang ber­
har­ga lainnya seperti komputer, radio, antena, dan peralatan elek­tro­
nik lain berkarat karena tidak ada dana pemeliharaan. Kegagalan ini
me­run­tuh­kan mental pegawai TNS. Dengan tidak adanya pendanaan
da­ri proyek, mereka pun memilih meninggalkan pulau. Kecuali staf
ren­dah­an yang berasal dari Siberut, seluruh staf taman memusatkan
ke­gi­at­annya dari kantor di Padang. Situasi ini membuat beberapa
orang Si­be­rut marah karena merasa TNS telah mempermainkan me­
218 Berebut Hutan Siberut

re­ka. Bahkan, seorang tokoh pemuda di Muara Siberut menyatakan


akan mem­ba­kar kompleks perkantoran TNS di Maileppet.6
Dalam dokumen resmi ADB (2001), disebutkan bahwa kegagalan
pro­yek PKAT disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, buruknya
pe­nge­lo­la­an keuangan sehingga menyebabkan tingginya tingkat ko­
rup­si dalam proyek ini.7 Disebutkan korupsi adalah faktor utama yang
me­nye­bab­kan tidak berjalannya mekanisme program. Kedua, kegagal­
an un­tuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat Siberut. Meskipun
ske­­­ma pe­ning­kat­an pembangunan melalui ekonomi dalam proyek ini
di­si­ap­kan secara rapi dan melibatkan tim ahli yang melakukan riset
par­ti­si­pa­si, proyek ini tidak dapat meningkatkan target pertumbuhan
eko­no­mi 8% dan kemungkinan negara untuk mengembalikan utang
de­ngan bunga pinjaman sangat kecil dalam jangka pendek. Krisis eko­
no­mi turut menjadi faktor yang menyebabkan investasi konservasi ti­
dak berjalan sesuai harapan semula (ADB 2001: 4). Ketiga, ku­rang­nya
ka­pa­si­tas pegawai TNS, Yasumi, dan dinas-dinas terkait dari Ka­bu­pa­
ten Pa­riaman dalam mengeksekusi pelaksanaan proyek.
Skema-skema program di atas kertas dan dokumen resmi yang
te­lah disiapkan secara detail tidak mampu diwujudkan karena staf
yang me­lak­sa­na­kan proyek ini tidak memiliki kecakapan manajerial
da­­lam menghadapi kompleksitas masyarakat Siberut. Di samping itu,
pro­yek ini dapat dikatakan gagal karena kekhawatiran bahwa “ti­dak
ada dukungan yang tulus pada partisipasi masyarakat dan rasa hor­mat
pa­da budaya asli orang Mentawai bukanlah unsur yang integral da­ri
kebijakan dan budaya Kehutanan di Indonesia” (Barber, Afif, dan Pur­
no­mo 1997: 4, 37), akhirnya terbukti. Rencana pengelolaan proyek ini
sa­ngat inovatif, tetapi sayangnya hal itu tidak diikuti dengan pan­dang­
an ke atas (study up) dengan melakukan reformasi birokrasi seperti
yang di­sa­ran­kan oleh Rabinow (1993). Dalam pengertiannya, proyek
ini te­lah berhasil menyarankan pentingnya keterlibatan masyarakat
te­ta­pi tidak ada satu saran pun diberikan untuk reformasi yang harus
di­la­ku­kan oleh Departemen Kehutanan dan lembaga pemerintah di
ting­kat regional dan lokal.
Berakhirnya proyek tersebut membuat kantor pusat TNS di­pin­
dah­kan ke Padang. Namun, mengelola kawasan taman nasional dari

6 Keterangan dari Paulinus S, tokoh pemuda Muara Siberut yang sekarang menjadi pejabat tinggi di
Pem­da Kepulauan Mentawai dalam perbincangan di rumahnya, 2 Januari 2007.
7 Kasus mengenai korupsi ini bahkan pernah dibawa ke Pengadilan Tinggi Sumatra Barat. Puailiggoubat
dan Singgalang memberitakan proses penyidikan kasus ini dalam terbit­annya pada Maret 2002.
Konservasi Alam 219

kan­tor yang terletak di Pulau Sumatra, yang dipisahkan laut dengan


ja­rak 150 km dan transportasi antarpulau yang buruk, bukanlah per­ka­
ra yang gampang. Semakin sedikit staf yang memiliki keinginan untuk
ber­tu­gas di Siberut. Dari keseluruhan staf yang berjumlah 72, hanya
11 yang ting­gal dan menetap di Siberut. Yang menetap ini pun ternyata
ada­lah orang yang berasal dari Siberut. Staf yang menetap ini berstatus
se­ba­gai pegawai tidak tetap dengan pendidikan yang sangat rendah
(ada di antaranya yang tidak memiliki ijazah dan buta huruf) dan ka­
pa­si­tas menghadapi konflik dengan masyarakat yang sangat lemah
(Dar­man­to dan Tim Ko-Manajemen 2005). Sisanya—kebanyakan
ber­­­asal dari Sumatra Barat atau Jawa—hanya berkunjung ke Siberut
apa­bila ada kegiatan yang didanai dari anggaran nonrutin seperti me­
la­ku­kan pengecekan tata batas atau mengadakan sosialisasi. Staf-staf
ini bekerja secara sporadik di Siberut, menetap hanya 3-7 hari. Itu pun
me­re­ka tidak mampu mengambil hati penduduk setempat. Mereka ti­
dak mau berbaur dengan penduduk setempat, memilih menginap di
ru­mah para pedagang Minangkabau atau elite desa.
Kegagalan proyek PKAT memerosotkan mental para staf TNS.
Ke­ba­nyak­an dari mereka mengajukan pindah ke kawasan lain. Me­re­
ka juga semakin menghindari tugas-tugas ke lapangan untuk meng­
awasi dan mengelola kawasan konservasi. Dengan pikiran yang go­yah
dan ketakutan akan mendapat penolakan masyarakat, para pe­ga­
wai TNS lebih banyak duduk diam di kantornya di Padang. Se­se­kali
mereka berkunjung ke kota-kota penting di Siberut tetapi ja­rang sekali
melakukan pengawasan di dalam kawasan TNS. Se­ba­gai­mana biasa,
ma­syarakat Siberut tetap dapat berburu primata, me­ngum­pul­kan
rotan, dan membuka ladang-ladang baru di kawasan ta­man na­sio­nal
itu tanpa ada larangan atau tindakan hukum. Mereka te­tap men­da­
pat­kan akses dan kontrol terhadap hutan seperti halnya kawasan itu
ti­dak memiliki status sebagai TNS.

Sejarah Kegagalan:
Versi Konservasi dan Versi Masyarakat
Kini, kebanyakan orang Siberut menyalahkan TNS sebagai pe­
nyebab se­ga­la situasi kehidupan yang sulit. Hal-hal yang seharusnya
men­jadi ke­wa­jib­an aparatus negara yang lain seperti memberikan
pe­la­yanan pen­di­dik­an dan kesehatan, menekan harga-harga yang
melambung ting­gi, ditimpakan kepada TNS. Taman nasional menjadi
220 Berebut Hutan Siberut

korban sa­lah alamat dari kekesalan warga atas kegagalan negara


mem­beri pe­la­yan­an umum yang memadai. Walaupun terkadang
tun­tutan orang Si­be­rut terasa berlebihan, namun dokumen proyek
ICDP sebenarnya meng­ingin­kan TNS terlibat dalam urusan-urusan
yang dituntut ma­sya­ra­kat tersebut. Tampaknya, ICDP berhasil mem­
buat masyarakat be­ra­ni menyuarakan tuntutan sehari-hari ter­kait
pembangunan lokal. TNS sebenarnya sejak awal mencoba me­nye­
lenggarakan program-pro­gram pemberdayaan dan peningkatan
ekonomi masyarakat. Se­rang­kai­an pelatihan dan penyediaan fasilitas
untuk beternak ikan dan unggas, pemberian bibit jeruk, durian,
atau pinang, telah di­la­ku­kan sejak 1995. Mereka juga mengenalkan
tanaman-tanaman per­ta­ni­an seperti palawija, jagung, kacang panjang,
atau kedelai. Pro­gram ini bertujuan agar masyarakat tidak terlalu ter­
gantung ter­ha­dap hutan dan mengalihkan usahanya menjadi petani
in­tensif se­ba­gai­ma­na petani di daratan Sumatra atau Jawa. Laporan-
laporan da­ri Skephi dan Yasumi, sebagai mitra kerja TNS, menjelaskan
bah­wa proyek PKAT telah mencoba menawarkan kegiatan ekonomi
pro­duk­tif skala rumah tangga kepada penduduk Siberut. Mereka juga
te­lah menyiapkan pelatihan-pelatihan keterampilan praktis seperti
pem­bu­at­an kerajinan, pemandu wisata, keahlian budidaya, dan lain-
lain­nya, kepada penduduk Siberut.
Pada awalnya, masyarakat menyambut dengan antusias pro­
gram TNS ini. Retorika mengenai kesempatan baru terhadap akses
dan pe­lu­ang ekonomi ramai dibicarakan. Mereka dengan pasti te­
lah mengetahui proyek ini melibatkan uang jutaan dolar. Dalam so­
sia­li­sa­si proyek ini, masyarakat banyak menginginkan terlibat aktif.
Apa­lagi, program-program TNS berkampanye tentang penanaman
ha­­sil hutan sampingan seperti rotan, getah dan damar, madu, pe­
ter­nak­an beo, kerajinan hasil hutan, perladangan subsisten, dan la­in
sebagainya. Kesempatan mendapatkan akses ekonomi lewat per­ta­ni­
an semi-intensif dengan dukungan formal sebuah proyek yang meng­
gu­­na­kan pendekatan partisipatif merupakan pengalaman baru bagi
ma­sya­rakat.
Namun, seperti kebanyakan pengalaman keterlibatan orang Si­
be­rut dalam proyek pembangunan sebelumnya, antusiasme ini tidak
ber­­lang­sung lama. Konteks-konteks sosial yang rumit, yang sering
de­ngan tidak sengaja diabaikan dalam sebuah proyek, menyebabkan
tu­ju­an-tu­ju­an yang telah disiapkan dan dikalkulasikan meleset. Bagi
orang Si­be­rut, proyek yang tidak berjalan sesuai harapan ini menjadi
Konservasi Alam 221

alas­an bagi kekecewaan yang mendalam dan mengarah kepada per­


mu­suh­an. Dalam jangka panjang, usaha-usaha pengembangan eko­
no­mi oleh TNS kurang mendapat pengikut karena dirasa tidak meng­
ha­sil­kan pendapatan yang tinggi dalam waktu cepat. Skema-ske­ma
agroforestri yang dirancang dengan sangat hati-hati sekalipun ti­dak
mampu memuaskan masyarakat Siberut untuk mendapatkan ke­cu­
kup­an ekonomi yang mereka inginkan.
Visi pembangunan ekonomi berkelanjutan di Siberut bukanlah
per­ka­ra mudah untuk diwujudkan. Letak geografis, rumitnya ma­sa­
lah sosial orang Siberut, dan kebijakan yang tidak konsisten mem­bu­
at skema yang paling kreatif pun dengan mudah kandas. Mi­sal­nya,
ta­nam­an agroforestri bukannya tidak bagus bagi penduduk Siberut.
Akan te­ta­pi, warga sering menghadapi kekecewaan karena tanaman-
ta­nam­an bantuan taman nasional sering harganya tidak tinggi ke­ti­ka
produksinya berlebihan. Kalaupun produksinya cukup tinggi, ta­nam­
an ini sukar menembus pasar di Padang dan berkompetisi dengan
pro­duk serupa dari daratan Sumatra. Akibatnya, bibit-bibit tanaman-
ta­nam­an pertanian yang dibagikan itu, seperti kacang-kacangan, ti­
dak pernah ditanam, tapi dikonsumsi. Menariknya, jika ada kegiatan
mo­ni­toring atau evaluasi, masyarakat berbohong dengan mengatakan
ba­hwa bibit palawija atau sayurnya sudah mereka tanam, tetapi la­
dang­nya jauh di balik bukit. Alasan lain yang sering dipakai, di desa
me­re­ka banyak hama yang sukar dikendalikan sehingga tanaman itu
ba­nyak yang mati. Ada kalanya juga mereka mengatakan sudah me­
nik­mati hasil panenan tersebut dan memakan sebagian. Untuk alas­
an yang belakangan ini biasanya diikuti dengan cerita asak baga, ba­
hwa hasil panenan dari bantuan itu telah mampu memperbaiki gi­zi
mereka, menghilangkan pening-pening, menyembuhkan sakit en­cok,
ser­ta menambah semangat kerja. Kenyataannya, jika terdapat pi­lih­
an untuk menebang hutannya untuk dikonversi menjadi ladang ni­lam
atau cengkeh, dan belakangan coklat, atau menjualnya kepada per­u­
sa­ha­an kayu, orang Siberut akan cenderung memilihnya.
Program agroforestri yang dikembangkan TNS tidak seluruhnya
ga­gal. Sebagian bibit tanaman yang dibagikan, seperti rotan dan pi­
nang, ba­nyak ditanam. Akan tetapi, program-program agroforestri
yang di­ta­war­kan oleh taman nasional itu dirasa tidak mampu men­ja­
wab kebutuhan rumah tangga yang semakin tinggi. Proses yang tak adil,
yaitu menjual murah dan membeli mahal, tetap dirasakan pen­du­duk
Siberut. Ekonomi mereka dirasa tak meningkat cepat, mes­ki­pun telah
222 Berebut Hutan Siberut

menanam kayu manis, jeruk, pinang, dan rambutan yang di­be­ri­kan


oleh TNS. Nilai jual produk tanaman mereka sangat rendah. Ini me­
ne­rang­kan posisi penduduk yang rentan terhadap program-program
agro­fo­res­tri karena ekonomi politik global sering tidak sesuai dengan
kon­di­si lokal (Dove 1993; Hardjono 1990). Problem ekonomi akibat
ke­ti­dak­ber­un­tung­an masyarakat Siberut dalam posisi ekonomi global
ini ten­tu­nya tidak bisa diselesaikan oleh TNS, karena mandatnya bu­
kan­lah melakukan pembangunan atau perbaikan ekonomi.
Akibatnya, penduduk membiarkan tanaman-tanaman yang di­be­
rikan oleh taman nasional tidak terawat dan tidak produktif. Mereka
te­tap membuka hutan dan menanam nilam atau mencari gaharu yang
ter­si­sa. Perilaku oportunis penduduk dalam menghadapi pasar sering
di­man­fa­at­kan oleh petugas TNS untuk membalas sindiran masyarakat.
Orang Siberut jelas menghadapi banyak hambatan dalam mengelola
hu­tan­nya secara intensif. Ketersediaan tenaga kerja, input dari lu­ar,
tek­no­lo­gi, dan terutama relasi-relasi sosial seringkali menjadi ham­
bat­an bagi upaya pengerjaan ladang secara intensif. Kesulitan-ke­su­
lit­an ini seringkali kurang dipahami petugas TNS dan sebagian aktivis
pro­kon­servasi sehingga mereka dengan mudah menyebut masyarakat
Si­be­rut sebagai tidak tekun, kurang sabar, dan ingin hasil cepat di­ban­
ding kelompok lain—terutama petani di daratan Sumatra dan Jawa.
Walaupun usaha penegakan aturan dan program-program TNS
ku­rang berpengaruh bagi keberhasilan pengelolaan kawasan dan
men­­­da­pat­kan dukungan masyarakat, retorika dan wacana konservasi
su­dah menyebar luas dan telah menjadi bahasa sehari-hari orang Si­
be­rut. Retorika tentang nilai-nilai keanekaragaman hayati untuk ma­
sa depan manusia telah menjangkau semua orang, bahkan anak-anak
yang masih sekolah. Pengetahuan ini juga telah menyebar ke dae­rah-
daerah yang paling terisolir. Meskipun begitu, kadang-kadang pe­nge­
ta­hu­an itu tidak diikuti dengan tindakan. Banyak alasan yang me­nye­
bab­kan meluasnya wacana konservasi tidak diikuti dengan tindakan
prak­tis. Misalnya, jarak yang jauh antara retorika konservasi dan ke­
bia­sa­an praktis dalam kehidupan sehari-hari di Siberut.
Bagi kebanyakan penggiat konservasi, baik pada tingkat global,
na­sio­nal, maupun regional, keanekaragaman hayati adalah salah sa­tu
kunci masa depan dunia dan pembangunan berkelanjutan. Akan te­ta­
pi, ma­sya­ra­kat lokal memahami keanekaragaman hayati itu sebagai
daf­tar spesies yang dibutuhkan untuk ritual upacara atau kebutuhan
sub­sis­ten, menjadi salah satu sumber obat-obatan, atau diburu un­tuk
Konservasi Alam 223

alas­an-alas­an ekonomis. Orang Siberut barangkali sangat sedikit me­


ma­hami fungsi kehidupan liar bagi keberlanjutan hutan tropis, eko­lo­
gi, dan da­ur hidrologi pulau-pulau kecil seperti halnya para ahli biologi
atau kon­ser­va­sio­nis. Perburuan primata endemik adalah kebiasaan
orang Si­be­rut sejak lama sampai ada klaim dari organisasi konservasi
glo­bal yang menyatakan bahwa jenis-jenis itu terancam punah dan
ha­rus dilindungi. Bagi penduduk Siberut, semua jenis primata sangat
pen­ting sebagai makanan yang disajikan pada saat ritual upacara
(Sche­fold 2002; 1991; Darmanto 2006).
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa memasukkan nilai-nilai ba­
ru terkait konservasi di tingkat lokal bukanlah hal yang mudah, khu­
sus­nya jika dilandasi dengan kepercayaan yang mudah retak seperti di
Si­be­rut. Bagi para ahli lingkungan, konservasi Siberut menjadi sa­tu-
sa­tu­nya jalan untuk menyelamatkan pembangunan. Masa depan du­
nia terletak pada perlindungan keanekaragaman hayati yang ter­kan­
dung di hutan-hutan tropis Siberut. Sementara itu, masyarakat lo­kal
memiliki wacana tersendiri bagi konservasi alam. Wacana kon­ser­va­si
tersebut diterima, diseleksi, dan dinegosiasikan dengan peng­alam­
an praktis sehari-hari yang lebih nyata di Siberut. Beberapa orang
mem­pro­tes TNS dengan alasan taman nasional itu berperilaku bu­kan
se­per­ti agen pemerintah. Sebagai lembaga negara, beberapa orang
mem­per­sep­si­kan TNS harusnya membangun jalan raya, me­nye­dia­
kan beasiswa sekolah, menyediakan lapangan pekerjaan, dan mem­
be­ri­kan pendampingan pertanian yang intensif. Menurut pan­dang­an
penduduk, seharusnya TNS tidak melarang pengambilan ka­yu atau
penjualan satwa; lebih dari itu, TNS dituduh sebagai pihak yang meng­
ha­langi kemajuan yang sangat didambakan penduduk Siberut.
Tentu saja pandangan ini sangat berbeda dengan pandangan pa­
ra pe­ga­wai TNS. Mereka menyatakan, kegagalan di Siberut lebih di­se­
bab­kan masalah manajemen dan sulitnya implementasi di lapangan
ka­re­na sumber daya manusia yang rendah dan penegakan hukum yang
su­lit. Beberapa pegawai TNS yang diwawancarai menganggap bahwa
ke­bi­jak­an tentang kawasan perlindungan sudah tepat, tetapi terdapat
ke­ku­rang­an dalam tataran implementasi. Seperti yang dikemukakan
Mc­Carthy (2000) dalam kajian mengenai kebijakan kehutanan era
Soe­har­to dan pasca-Soeharto, pejabat kehutanan secara umum me­
mu­kul rata dalam melihat kegagalan kebijakan kehutanan sebagai
“pe­lak­sa­na­an yang buruk” dari “kebijaksanaan yang bagus”.
Namun, sebagian petugas TNS melihat kegagalan penegakan
224 Berebut Hutan Siberut

kon­ser­va­si di wilayah kerja mereka dikarenakan beberapa faktor


khu­sus. Pertama, adanya kebijakan yang keliru dari Departemen
Ke­hu­tan­an dengan mengizinkan beroperasinya perusahaan kayu
di Pu­lau Siberut. Mereka beralasan, tujuan-tujuan konservasi akan
mu­dah di­ra­ih jika keseluruhan Pulau Siberut ditetapkan sebagai ta­
man nasional. Masyarakat akan membandingkan keuntungan eko­
no­mi secara langsung dari hadirnya perusahaan kayu dengan ta­man
nasional. Perusahaan kayu fase II (1999-sekarang) memberi kom­pen­
sa­si Rp30.000/m3 kepada pemilik hutan adat, sedangkan TNS tidak
bi­sa memberi ganti rugi secara langsung atas penguasaan kawasan.
Aki­bat­nya, masyarakat sering menuntut perlakuan sama dari TNS atas
pe­ngu­as­ a­an terhadap hutan sebagaimana yang dilakukan perusahaan
ka­yu. Pemilik hutan dan tanah yang berada di TNS sering mengirim
su­rat untuk meminta kompensasi seperti jalan raya beraspal, fasilitas
mo­dern seperti sekolah, pelayanan kesehatan, uang tunai, dan lain-
lain.
Kedua, masyarakat Siberut kurang memahami pentingnya ke­
ane­ka­ragaman hayati, tujuan konservasi, dan aturan-aturan yang ada.
Ketiga, mentalitas masyarakat lokal. Masyarakat sering disebut plin-
plan, tidak memiliki komitmen, kurang berpendidikan, dan sangat
opor­tu­nis. Hal-hal tersebut tergambar dalam petikan wawancara pan­
jang dengan beberapa anggota staf dan pejabat TNS di bawah ini:
Masyarakat Siberut tidak memiliki visi yang jelas tentang masa
de­pan hutan di Siberut. Mereka akan melakukan apa saja, ter­
ma­suk merusak hutan asal mereka mendapat keuntungan. Me­
re­ka akan mendukung taman nasional ketika mereka datang
ke­pa­da kami tetapi mereka akan segera mengubah pikirannya
ji­ka perusahaan kayu datang ke desa mereka dan memberi uang
un­tuk kayu-kayu yang ditebang. Di Siberut Utara, masyarakat
meng­usir kami dari membatas (memberi batas) taman nasional.
Barangkali ma­sya­ra­kat Siberut tidak mengerti manfaat taman
nasional. Me­re­ka mengatakan aturan taman nasional melarang-
larang. Mes­ki­pun ka­mi sudah membagi-bagikan UU No. 5 yang
sudah kami ter­je­mah­kan ke dalam bahasa Mentawai, mereka
tetap saja tidak me­nger­ti tujuan taman nasional.8

Pandangan sebagian staf TNS ini merefleksikan landasan pi­kir­an


yang menyebar luas di kalangan kelas menengah Indonesia dan ideo­lo­
8 Pandangan Kepala Balai TNS dan beberapa anggota stafnya dalam sebuah wawancara, Juni 2005.
Konservasi Alam 225

gi pem­ba­ngun­an yang memayunginya (Dove 1993). Daripada melihat


se­ti­ap proyek pembangunan sebagai hubungan yang melibatkan ke­
kua­sa­an, kebanyakan pejabat pemerintah melihat proses hambatan
pem­ba­ngun­an adalah produk dari perbedaan budaya di mana ke­bu­
da­ya­an masyarakat lokal dipersepsikan tidak dapat menjadi landasan
pem­ba­ngun­an, dan lebih buruknya lagi, sebagai penghambat pem­ba­
ngun­an (Dove 1988; Kahn 2002).
Cara pandang pengelola TNS dalam memahami masalah yang di­
ha­dapinya mengabaikan hal dasar dan sensitif. Mereka tidak melihat
ke­ga­gal­an itu berkaitan dengan klaim terhadap hak akses dan kontrol
atas tanah dan sumber daya serta keuntungan ekonomi-politik, te­ta­pi
lebih sebagai masalah keterbelakangan budaya dan mentalitas orang
Si­be­rut. Landasan berpikir ini yang membuat pegawai TNS me­naf­sir­
kan konflik yang menyangkut hak ekonomi dan politik orang Siberut
se­ba­gai masalah budaya. Dalam sebuah forum diskusi kelompok, para
pe­ga­wai ini menyatakan, “Masyarakat yang tidak memahami.” Bahkan,
me­re­ka kadangkala menyebut orang Siberut sebagai “oportunis”.9 Me­
re­ka juga mengalihkan perhatian dari dimensi ekonomi dalam konflik
ini de­ngan mendahulukan dimensi budaya.
Sebagai konsekuensi anggapan mereka bahwa masalah terbesar
TNS ada­lah mentalitas orang Siberut yang sulit mengerti itu, para
staf ta­man nasional secara rutin melakukan program pendidikan dan
in­for­ma­si mengenai konservasi melalui sosialisasi atau penyuluhan.
So­sia­li­sa­si dipandang seperti obat mujarab untuk mengatasi masalah-
masalah taman nasional. Serangkaian pelatihan bagi masyarakat un­tuk
menjelaskan apa itu konservasi dan taman nasional mewarnai agenda
aktivitas pihak taman nasional. Dalam sosialisasi tersebut dipaparkan
ke­ber­ada­an taman nasional dan masa depan Pulau Siberut. “Jika ti­dak
ada TNS,” menurut seorang staf taman nasional itu, “mereka (pen­du­
duk Si­be­rut) tidak akan mendapatkan masa depannya.”10 Dengan cara
ber­pi­kir ini, para petugas itu memiliki alasan untuk terus melakukan
pro­gram sosialisasi.
Sebaliknya, masyarakat beropini program sosialisasi ini ada­lah
upa­ya yang sia-sia dan membosankan. Dalam pandangan orang Si­
be­rut, ini hanyalah cara TNS untuk mencari-cari kegiatan se­hing­ga
mereka mendapat gaji dan fasilitas lain dari negara. Sejauh ini, ma­
sya­ra­kat merasa sudah sangat mengetahui pentingnya per­lin­dung­an

9 Diskusi Kelompok Terarah antara pegawai dan kepala BTNS, Juni 2006.
10 Komentar salah satu Polisi Hutan, Juni 2005.
226 Berebut Hutan Siberut

Gambar 11. Suasana sosialisasi TNS tentang konservasi di sebuah gereja, di


Muara Siberut (Dokumentasi Taman Nasional Siberut).
Konservasi Alam 227

ekosistem dan kerentanan Pulau Siberut. Akan tetapi, da­lam pan­


dangan masyarakat, taman nasional tidak bisa menjawab ke­bu­tuh­an-
ke­bu­tuh­an ekonomi mereka. Oleh karena itu, pada saat sosialisasi dan
per­te­mu­an dengan pihak TNS, seringkali masyarakat mengajukan
per­ta­nya­an seperti, “Apa tujuan taman nasional dibentuk?” atau
“Ke­na­pa Siberut dijadikan taman nasional?” Meskipun telah men­
da­­pat­kan penjelasan ratusan kali, orang yang sama akan tetap me­
nge­luh­kan keterbatasan informasi. Padahal, orang-orang ini juga
yang men­da­pat pelatihan mengenai UU terkait taman nasional dan
men­ja­di kadernya. Kalaupun mereka bertanya kembali, pertanyaan-
pertanyaan tersebut sebenarnya hanyalah retorika, sebuah cara untuk
meng­uji dan merongrong staf TNS yang datang untuk melakukan ke­
gi­at­an di tempat mereka. Ini adalah tindakan yang hampir setara de­
ngan sebuah ejekan halus yang dengan pas digambarkan dengan is­ti­
lah “kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu”.

Konservasi: Dinamika dan Dilema


Melihat banyaknya masalah yang dihadapi TNS, dengan mudah
bi­sa dibuat vonis bahwa mereka telah gagal memperjuangkan visi kon­
ser­va­si. Tetapi, persoalannya bukan terletak pada gagal atau berhasil­­
nya TNS. Yang hendak dipaparkan adalah bagaimana wacana kon­ser­va­
si ber­edar dan bagaimana masyarakat menerima, menolak, me­ne­ri­ma
dan me­no­lak sekaligus, kapan mereka menerima, dalam konteks apa
me­no­lak dan mengapa mereka memilih untuk melakukan keduanya
se­ka­li­gus. Mengatakan penduduk Siberut tidak terpengaruh—ka­lau
ti­dak boleh dikatakan tidak mendapatkan manfaat—dari pem­ben­tuk­
an TNS bukan saja pernyataan sembarangan, tetapi juga kesimpulan
yang sa­ma sekali salah. Dengan segala permasalahannya, wacana ta­
man na­sio­nal telah membentuk identitas Pulau Siberut dan ma­sya­ra­
kat­nya secara sosial, pada tingkat lokal maupun global.
TNS juga membantu publik mengetahui keberadaan masyarakat
Si­be­rut. Promosi tentang penduduk asli yang memelihara lingkungan
mem­ban­tu menghilangkan stereotip negatif masyarakat terasing yang
me­ru­sak hutan. Masyarakat Siberut sendiri memiliki kebanggaan di­
se­but sebagai penduduk hutan yang memiliki budaya yang dekat
de­ngan hutan. Ini membentuk citra dan identitas yang berbeda de­
ngan para migran, terutama etnis Minangkabau. Kebanggaan se­ba­
gai masyarakat yang dekat dengan hutan dan memiliki rahasia da­lam
228 Berebut Hutan Siberut

memanfaatkan sumber daya alam ini sangat penting untuk me­nya­ta­


kan klaim kepemilikan atas tanah dan hutan. Seperangkat atribut ste­
reo­tip budaya seperti ritual yang kaya, kemampuan pengobatan dan
pe­nge­nal­an tanaman obat, juga fisik yang kuat dan tenaga yang be­sar
hasil dari kedekatan dengan hutan, menjadi ciri pembeda orang Si­be­
rut de­ngan orang luar. Keahlian-keahlian tradisional seperti menebas
se­mak, menumbangkan pohon besar, atau mengolah kayu menjadi
sam­pan sering pula dipakai untuk mengungkapkan identitas yang
ber­­be­da dengan etnis-etnis yang lain. Identitas ini terinternalisasi di
da­lam diri orang Siberut. Sebagian besar mereka menyebut diri se­ba­
gai ke­tu­run­an dari leluhur yang membawa pengetahuan dan praktik
pe­les­ta­ri­an, meskipun perilaku mereka tidak selalu demikian. Namun,
iden­ti­tas ini menjadi sangat penting ketika orang Siberut berhadapan
de­ngan komponen luar.
Salah satu pengaruh besar wacana konservasi adalah munculnya
Si­be­rut sebagai tujuan wisata berbasis lingkungan. Wacana sebagai
pen­du­duk pedalaman yang memiliki budaya selaras dengan hutan te­
lah membentuk gambaran positif tentang masyarakat Siberut di du­nia
global. Berbanding lurus dengan gelombang ekoturisme dan wi­sa­ta
budaya di Eropa pada 1980-an, Siberut dipandang sebagai ma­sya­ra­
kat living in Stone Age in modern era (Persoon dan Van Beek 1998).
Me­re­ka dilihat sebagai makhluk ajaib hutan tropis yang tidak me­nge­
nal perkakas modern dan jauh dari hiruk pikuk globalisasi. Si­be­rut
sangat populer di mata turis sebagai tempat tinggal penduduk yang
be­lum tercemar kehidupan modern. Gelombang wisatawan ini mem­
be­ri keuntungan bagi orang Siberut. Ekowisata menjadi salah sa­tu
instrumen untuk meningkatkan pembangunan ekonomi-sosial tan­pa
mengancam kebudayaan dan lingkungan. Ketertarikan orang ter­ha­
dap hubungan yang unik antara manusia dengan alam telah mem­ben­
tuk pa­ra­dig­ma tersendiri dalam industri wisata.
Daya tarik utama Siberut bagi wisatawan adalah keunikan bu­
da­ya masyarakat Mentawai (WWF 1980: 103). Melalui proyek PKAT,
pariwisata menjadi elemen penting dalam pengelolaan TNS. Pari­wi­
sata di­pan­dang sebagai jalan kunci untuk mencapai dua tujuan utama
pro­yek PKAT, yaitu masyarakat yang sejahtera dan ekosistem Pu­lau
Siberut yang terlindungi. Dalam perencanaan manajemen TNS, di­
se­but­kan tentang perlunya usaha-usaha untuk meningkatkan in­dus­
tri pariwisata. Usaha-usaha tersebut di antaranya adalah pe­la­tih­an
pemandu wisata lokal dan guide dari luar pulau yang lebih me­ngu­
Konservasi Alam 229

a­sai profesi ini. TNS kemudian membangun gedung Pusat Wi­sa­ta­


wan (Visitor Center) yang khusus dibuat untuk memajang se­lu­ruh
informasi keanekaragaman hayati Siberut dan kekhasan ben­da-ben­
da budaya Mentawai. Di tempat tersebut juga disediakan in­for­ma­si
berupa brosur, panel-panel iklan, buku panduan, dan video. De­ngan
me­nge­lu­ar­kan brosur-brosur yang dibuat dengan kertas me­wah dan
gam­bar-gambar berwarna, TNS merangsang ketertarikan wi­sa­tawan.
TNS juga melatih penduduk lokal untuk membuat ke­ra­jin­an dan
memberi pelatihan manajemen tentang pasar serta cara mem­pro­
duk­­si barang kerajinan berkualitas. Bahkan, pihak TNS juga terjun
lang­sung sebagai pihak perantara bagi agen wisata dengan penduduk
setempat.
Poin penting dari berkembangnya industri wisata adalah peng­
aku­an terhadap nilai yang menyatu antara keanekaragaman hayati
dan kekhasan budaya. Keduanya memiliki daya jual dan memberi ke­
un­tung­an ekonomi bagi masyarakat Siberut. Atraksi-atraksi budaya
se­per­ti menari (muturuk), berburu, atau mencari ikan menghasilkan
pen­­da­pat­an yang cukup besar bagi orang Siberut. Film-film tentang Si­
be­rut diproduksi dan proses itu mendorong berkembangnya ekonomi.
Pa­ra pembuat film dan wisatawan menyukai daerah pedalaman yang
ma­sih diliputi hutan hujan tropis dan budaya yang masih dianggap
asli dan tradisional.
Taman nasional barangkali adalah satu-satunya proyek yang da­
pat menggabungkan seluruh wacana global (perlindungan ke­ane­ka­ra­
gam­an hayati, masyarakat adat, pembangunan) ke dalam proses lokal
di Si­be­rut. Pembentukan TNS telah menciptakan identitas Siberut
se­ba­gai kawasan yang bernilai bagi isu konservasi global. Selain itu,
pro­yek PKAT membenihkan kesadaran kritis bagi masyarakat si­pil
di Siberut dan Kepulauan Mentawai, serta membantu lahir dan tum­
buh­nya gerakan sipil—yang sangat berpengaruh terhadap perjuangan
oto­no­mi Mentawai. Namun, seperti halnya ungkapan “revolusi yang
akan memakan anak-anaknya sendiri”, pembentukan TNS juga me­la­
hir­kan aktivis yang sebagian besar kemudian beralih mengecam dan
me­no­lak taman nasional. Surat yang dipaparkan pada bagian awal
bab ini sebagian diprakarsai oleh mereka yang pernah menjadi ka­der
kon­ser­va­si Yasumi dan TNS. Bahkan, sebagian pekerja Yasumi, yang
per­nah bersama-sama pihak TNS mempromosikan konservasi dan
UU Kehutanan di Siberut, kini bekerja menjadi juru bicara atau pe­
ng­awas perusahaan kayu. Protes-protes terbuka dan penolakan TNS
230 Berebut Hutan Siberut

ju­ga diprakarsai oleh sejumlah mahasiswa asal Siberut yang ma­sih


berkerabat dengan pegawai taman nasional itu sendiri. Mereka me­
nun­tut pencabutan status taman nasional dan mengembalikan hak
adat atas tanah kepada masyarakat.
Wacana penolakan dan dukungan terhadap TNS masih terus ber­
lang­sung hingga kini. Misalnya, kelompok aktivis Forum Mahasiswa
Men­ta­wai (Formma) yang mengecam TNS tetapi kemudian balik
men­­du­kung dalam waktu yang tak terlalu lama. Pada November
2006, da­lam pertemuan yang diselenggarakan LSM lokal yang ber­
ge­rak di bidang kesehatan, diangkat wacana penolakan terhadap TNS
oleh pemimpin Formma. Pada pertemuan yang juga dihadiri wa­kil
TNS senior, kelompok tersebut dengan sangat keras meminta per­
tang­gung­ja­wab­an taman nasional terhadap pembangunan Kepulauan
Mentawai. Mereka mengancam akan menyurati Departemen Dalam
Ne­ge­ri atau Departemen Kehutanan—bahkan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia atas pelanggaran hak sebagai warga negara—untuk
mencabut status taman nasional. Namun, tidak lama kemudian, pada
Juli 2007, dalam diskusi yang difasilitasi TNS, pemimpin kelompok
yang mewakili Formma (dan dengan tegas mengatakan mewakili ma­
ha­siswa Mentawai), mendukung keberadaan taman nasional secara
pe­nuh (Puailiggoubat 2007).
Dapat dipahami bahwa hubungan antara masyarakat, elite-elite
Si­be­rut, dan isu konservasi diwarnai aliansi yang tidak solid dan sa­ngat
cair. Ini merefleksikan dinamika kepentingan yang saling bertemu,
ber­ta­tap muka, saling mengingkari, dan juga mengkhianati. Pada sua­
tu masa, hubungan antara masyarakat dan individu-individu di da­
lam­nya berlangsung mesra. Di masa lain, hubungan itu memburuk
dan meng­ha­sil­kan konflik yang tajam. Menghadapi rongrongan dan
pa­sang surut interaksi dengan agen-agen yang lain, dinamika internal
TNS terus bergolak.
Taman nasional bukan agen negara yang kukuh dan tidak ber­
ubah. Mereka terdiri dari anggota-anggota staf yang memiliki harapan,
ide, dan ci­ta-ci­ta tersendiri. Sebagian dari mereka juga belajar tentang
isu di lu­ar persoalan konservasi. Beberapa staf mampu membangun
ke­mi­tra­an dengan lembaga swadaya masyarakat yang di tempat lain
sa­ngat kritis terhadap kebijakan mengenai pembentukan taman na­
sio­nal. Tak mengherankan jika visi dan misi TNS secara eksplisit
men­can­tum­kan kata seperti “kemitraan dan partisipasi masyarakat”
(Anonim 2005d). Bersama LSM lokal (Yayasan Citra Mandiri, Perum
Konservasi Alam 231

UMA), LSM nasional (Walhi, PBHI, Skephi) dan LSM internasional


(Conservation International Indonesia), serta UNESCO, mereka ak­tif
ber­kam­pa­nye dan menuntut pencabutan hak penebangan hutan ke­
pa­da Departemen Kehutanan. Wacana internal mereka juga di­ge­rak­
kan dan dibentuk dari negosiasi dengan para agen lain seperti LSM,
per­u­sa­ha­an kayu, masyarakat, dan juga kebijakan pemerintah dan
wa­ca­na internasional.
Hasil interaksi tersebut menjadikan TNS secara resmi—sekurang-
kurangnya dari pernyataan kepala dan pejabat seniornya—mengakui
klaim hak adat masyarakat Mentawai atas hutannya meskipun hal ini
tidak akan pernah bisa secara eksplisit dilontarkan kepada pejabat
Departemen Kehutanan yang lebih tinggi di Jakarta. Mereka mengakui
adanya hak-hak masyarakat Mentawai yang hidup turun-temurun dan
menempati kawasan tersebut sebelum pembentukan taman nasional.
Jika dulunya mereka melakukan sosialisasi tentang pelarangan per­
bu­ru­an dan pengambilan hasil hutan, belakangan pengelola TNS
mem­be­ri izin atau barangkali lebih tepatnya membiarkan aktivitas
per­bu­ru­an dan perladangan tradisional. Pekerja TNS paham bahwa
prak­tik-prak­tik perladangan, pengambilan rotan, dan perburuan ter­
ja­di di kawasan yang jadi wewenang mereka. Akan tetapi, praktik-
prak­tik tersebut tidak pernah dilaporkan dan diberi sanksi. Selain
ka­re­­na pengawasan yang lemah, pengelola juga sengaja memberi
to­leransi bagi praktik penduduk Siberut dalam memanfaatkan hasil
hutan untuk kebutuhan sehari-hari. Wacana warga Siberut sebagai
penduduk yang memiliki kearifan tradisional digunakan TNS dalam
setiap pertemuan resmi. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan sikap
kompromi terhadap masyarakat, sekaligus untuk menutupi lemahnya
ma­na­je­men mereka dalam menerapkan aturan kehutanan. Juga da­
lam meng­atasi pembukaan hutan untuk perladangan di kawasan ta­
man na­sio­nal.
Akan tetapi, seperti ditunjukkan Li (2001: 657-660), keuntungan-
keuntungan yang diperoleh masyarakat dari pengakuan negara atas
status masyarakat adat di bawah bendera konservasi umumnya sa­
ngat­lah sedikit. Secara tegas dan berulang-ulang para pegawai TNS
ber­se­ma­ngat bertutur tentang visi mereka yang mengakui keberadaan
ma­sya­ra­kat adat, pengetahuan tradisional, atau kearifan budaya. Akan
tetapi, pengakuan ini tidak pernah tuntas. Peraturan taman nasional
hanya menolelir praktik-praktik perburuan dengan panah, perladang­
an subsisten tanpa menggunakan gergaji mesin dan dalam luasan
232 Berebut Hutan Siberut

yang sem­pit, serta pengambilan-pengambilan hasil hutan, terutama


ka­yu untuk kebutuhan subsisten. Secara formal pengambilan hasil
hu­tan di kawasan TNS untuk kepentingan komersial dan mencukupi
ke­bu­tuh­an ekonomi tidak mendapatkan pengakuan dan izin resmi,
na­mun secara de facto rotan dan gaharu tetap diambil dari kawasan
TNS. Pem­bu­ka­an kawasan hutan untuk jalan raya dipandang tidak
sah oleh undang-undang. Ini, sekali lagi, menegaskan posisi rentan
masyarakat. Pengakuan ini lebih menekankan pada aspek konservasi
alam dan menempatkan masyarakat tradisional sebagai pendukung
pencapaian tujuan konservasi tersebut (ibid:664).
Pernyataan Li di atas boleh jadi benar. Namun, dalam kasus Si­
be­rut, negosiasi aturan kehutanan dan masyarakat sebenarnya ja­uh
le­bih canggih. Di tempat di mana jangkauan dan aturan negara me­la­
lui TNS menjadi lumpuh, kehidupan berjalan seperti biasa. Penduduk
Si­be­rut terus melanggengkan cara mereka memanfaatkan hutan. Me­
re­ka tetap bisa berburu, membuka hutan untuk ladang, atau me­ngum­
pul­kan rotan sesuai aturan-aturan lokal. Petugas TNS jarang me­la­ku­
kan tugas pengawasan. Kalaupun ada pengawasan, yang terjadi ada­lah
kompromi sederhana. Pekerja TNS tahu penduduk melanggar UU de­
ngan me­ma­suki kawasan, sementara penduduk juga paham me­nge­
nai hal ini. Sebaliknya, penduduk Siberut juga tahu bahwa TNS tidak
be­ker­ja maksimal, lebih banyak tinggal di Padang bersama keluarga
me­re­ka sehingga tidak berani menerapkan UU secara mutlak. Petugas
TNS juga memahami posisi mereka sendiri dan menutup mata se­ka­li­
pun banyak praktik-praktik yang tidak tradisional. Misalnya, pen­ju­al­
an dan penyelundupan hewan dan tumbuhan, perambahan ka­was­an
untuk mengambil nilam dan coklat terus berlangsung.11 Di si­si lain,
penduduk Siberut terus mengusahakan klaim hak ulayatnya dan TNS
menghargainya. Ini semua orang tahu. Rahasia kompromi me­re­ka
ada dalam sikap saling memahami, tahu sama tahu. Kalaupun ada
per­ten­tang­an-pertentangan terbuka melalui petisi, surat-surat pe­no­
lak­an, dan demonstrasi sebagaimana yang dipaparkan pada pem­bu­ka
dalam bab ini, itu adalah tindakan yang sering digunakan un­tuk me­
ning­kat­kan posisi tawar dari si pembuat surat. Kepentingan-ke­pen­
ting­an yang melandasinya mudah dikenali dan aktor-aktornya mu­dah
di­la­cak dan, dengan demikian, surat-surat tersebut dengan mudah ju­
ga di­abaikan oleh TNS.

11 Msr, polisi kehutanan Siberut. Wawancara Oktober 2008.


Konservasi Alam 233

Namun, kehidupan mendua yang berjalan dalam keseharian ma­


sya­ra­kat menyangkut TNS bukanlah sesuatu yang gampang diurai. Jika
ada petugas TNS datang, masyarakat akan melayani dengan ramah
sem­ba­ri berharap bahwa petugas itu datang dengan kegiatan-kegiatan
yang mem­be­ri­kan keuntungan bagi mereka. Petugas TNS pun tahu,
me­re­ka membutuhkan masyarakat sebagai “target sasaran” kegiatan
agar program mereka mendapatkan legitimasi—melalui selembar tan­
da­ta­ngan, stempel kepala desa, atau cap jari tanda kehadiran atas sua­
tu kegiatan. Kalaupun ada pertanyaan retorik dan membosankan be­
ser­ta jawabannya yang klise dan sudah dikenali logikanya mengenai
TNS, masing-masing pihak tidak begitu mempermasalahkan. Ma­sya­
ra­kat tahu, petugas TNS tidak akan berani melakukan tindakan ke­ras.
Mi­sal­nya, melakukan pengusiran atau penembakan, meskipun ka­
dang-ka­dang petugas patroli ada yang membawa pistol. Mereka juga
tidak akan membawa kasus-kasus pelanggaran terhadap kawasan ke
ja­lur hu­kum. Petugas pun tahu, sehebat apa pun sindiran dan gugatan
ter­ha­dap TNS dari masyarakat, orang Siberut tetap akan menerima ke­
ha­dir­an mereka. Petugas taman nasional tahu, masyarakat akan tetap
me­ne­ri­ma program-program TNS. Masyarakat pun tahu, petugas
TNS akan tetap datang untuk melakukan patroli atau membagi bibit
ta­nam­an keras. Kelanggengan TNS dan masa depan konservasi, agak­
nya, ditentukan oleh daya tahan petugas dan aktivis-aktivisnya dalam
menghadapi resistensi masyarakat sehari-hari ini.
Bab 6
Pembentukan Ulang Identitas:
Adat, LSM, dan Wacana Global

Peristiwa Rogdok: Sebuah Momentum1


Pada 1992, Departemen Sosial (Depsos) memulai Proyek PKMT
di Du­sun Rogdok, yang secara administrasi masuk Desa Madobak.
Proyek ini ditangani oleh Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Sumatra Ba­
rat. Warga Rogdok yang masih tinggal di permukiman tradisional se­
per­ti Bat Kaliou, Bat Koko’, dan Attabai Hilir dipindahkan ke Dusun
Rogdok. Untuk menyiapkan permukiman tersebut, Dinsos meminta
penduduk menyerahkan lahan untuk 50 buah rumah. Empat warga,
yaitu Rokdak, Benediktus, Malaikat, dan Albertus mewakili empat
uma (Sa­ma­le­let, Sakulok, Sarogdok, Sailuluni), dikatakan telah me­
nan­da­tangani surat penyerahan 36 ha lahan tersebut dan di­sak­si­kan
oleh pejabat kecamatan.
Tidak lama kemudian, kepala Desa Madobak menerima dokumen
serah terima PKMT. Dalam dokumen tersebut tercantum bahwa ta­
nah yang diserahkan warga Rogdok bukannya 36 ha tetapi 360 ha.
Do­ku­­men ini membuat marah masyarakat Rogdok yang tanahnya ter­
ca­kup ke dalam area 360 ha yang diserahkan. Mereka merasa di­ti­

1 Peristiwa ini mendapat publikasi yang luas dari media massa. Laporan media massa memiliki perspektif
yang beragam, bahkan ada yang bertentangan. Misalnya, surat kabar nasional Suara Pembaruan
membuat laporan berjudul “4 Orang Kepala Suku di Siberut Selatan Gugat Mensos dan Gubernur”
(16 Maret 1997), sementara surat kabar lokal yang pro-pemerintah, Singgalang, membuat tajuk berita
“Malaikat dan Kawan-Kawan Batal Tuntut Mensos” (26 Maret 1997)—tetapi kemudian merevisinya
dalam sebuah berita lain berjudul “Malaikat dkk. Tetap Menuntut Mensos” (24 April 1997) dan “Kanwil
Depsos Sumbar Bersedia Musyawarah dengan Malaikat dkk.” (26 April 1997).
Pembentukan Ulang Identitas 235

pu pemerintah. Dokumen itu memicu konflik antara warga Rogdok


de­ngan Rokdak dan tiga orang lain yang dicurigai menandatangani
pe­nye­rah­an tanah itu. Empat orang yang menyerahkan tanah ter­se­
but menolak tuduhan itu dan mereka mengatakan tidak pernah me­
nye­tu­jui pelepasan tanah seluas 360 ha. Mereka mengakui pernah
me­nandatangani suatu dokumen mengenai tanah, akan tetapi tanda
tangan tersebut berfungsi sebagai bentuk dukungan terhadap program
pemerintah dan bukan sebagai penyerahan tanah seluas 360 ha. Ke­
ti­dak­jelasan situasi ini menyebabkan warga Rogdok berusaha men­ca­
ri berita acara penyerahan tanah dan perbedaan jumlah luasan yang
diserahkan.
Pada November 1996, LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
Su­ma­tra Barat bersama pemuda Gereja setempat melakukan kam­pa­
nye antiperkebunan sawit melalui teater rakyat. Kepala Desa Rog­dok,
Aman Letang, mengambil kesempatan ini untuk mengajak ak­ti­vis
Walhi berdiskusi mengenai kasus PKMT Rogdok. Ia juga meng­un­
dang beberapa LSM lain seperti Lembaga Riset dan Aksi (LRA) dan
Ya­ya­san Citra Mandiri (YCM) yang baru terbentuk untuk memberi du­
kung­an terhadap perjuangan mereka melawan Dinsos. Atas saran ak­
ti­vis LSM, kepala desa tersebut dapat menggugat Dinsos. Untuk me­la­
ku­kan­nya, kepala desa harus mendapatkan kuasa hukum dari em­pat
sikebbukat uma yang dianggap menyerahkan lahan. Upaya hu­kum ini
dilakukan setelah upaya damai dengan pihak Dinsos yang di­pe­ran­
ta­rai Pemerintah Kecamatan Siberut menemui jalan buntu. Dalam
per­te­mu­an yang diselenggarakan camat Siberut Selatan pada 27 Fe­
brua­ri 1996, kepala Desa Rogdok dan beberapa warga yang mencari
in­for­masi mengenai status tanah PKMT justru mendapat intimidasi
dan pemukulan dari pejabat setempat. Pejabat lokal juga memaksa
masyarakat mencabut kuasa yang mereka berikan kepada pengacara.
Dengan permintaan warga Rogdok, Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Padang melakukan gugatan hukum ke Pengadilan Negeri Padang.
Gu­gat­an ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh kepastian
hukum atas tanah adat di Dusun Rogdok.
Kepala Desa Madobak—yang juga warga Dusun Rogdok—me­
main­kan peranan kunci dalam perjuangan mengajukan gugatan hu­
kum ini. Dengan usahanya, mereka mendapat bantuan dari LSM un­
tuk melakukan pelatihan paralegal terhadap 13 penduduk Rogdok.
Pe­la­tihan itu memberi mereka pemahaman tentang hukum formal.
Da­lam kasus ini, warga Rogdok menggunakan wacana hak-hak ma­sya­
236 Berebut Hutan Siberut

ra­kat adat sebagai argumen untuk melawan Dinsos. Akhirnya, war­ga


Rogdok “memenangkan” kasus tersebut. Sidang ke-9 pada 11 Agus­
tus 1997 di Pengadilan Negeri Padang menetapkan keputusan da­mai
antara warga Rogdok dan Dinsos dengan klausul keputusan: tanah
360 ha adalah milik 15 suku (uma) di Dusun Rogdok, Desa Madobak,
dan bukan hanya milik empat anggota suku seperti yang tercantum
dalam berita acara penyerahan tanah tanggal 14 Januari 1992. Tanah
tersebut dikembalikan kepada 15 suku (uma) di Rogdok dan mereka
berhak menguasai dan memiliki sesuai hukum adat.2
Kesepakatan damai tersebut dianggap sebagai kemenangan war­
ga Rogdok dalam menghadapi kekuasaan yang lebih besar, yakni ne­
ga­ra, yang mewujud dalam Depsos dan Dinsos. Peristiwa ini sa­ngat
penting bagi orang Siberut, bahkan Mentawai, dalam proses pem­ben­
tuk­an identitas masyarakat terkait hak-hak dan wacana adat. Dengan
du­kung­an dari elite-elite terdidik di Padang pascaperistiwa Rogdok
ter­se­but, muncul semboyan yang populer dan sangat kuat: “Mari ki­ta
pertahankan tanah/lahan kita! (konan masipasikeli polakta)” Sem­
bo­yan itu menandai kesadaran baru terhadap sumber daya alam di
Si­be­rut ketika berhadapan dengan pihak luar. Tanah dan sumber da­
ya alam dapat dipertahankan dengan menggunakan klaim adat dan
peng­aku­an atas hak adat dan hukum-hukum adat. Mereka mulai me­
nya­dari bahwa pengambilan sumber daya alam oleh pihak luar, se­
per­ti perusahaan kayu tanpa kompensasi dan tanpa izin, adalah sua­tu
tin­dak­an yang tidak dapat dibenarkan. Sebagian warga Siberut, yang
pada mulanya takut dan menerima begitu saja kebijakan negara atau
kelompok luar menyangkut tanah dan lahan mereka, mulai me­nya­da­
ri ke­kuatan mereka sendiri. Kekuatan yang mereka rasakan itu akan
mun­cul apabila bertindak secara kolektif atas nama adat. Mereka me­
nya­dari kekuatan kelompok atau organisasi.
Dengan kemenangan warga Rogdok, wacana adat, klaim terhadap
ula­yat, dan identitas kolektif terbukti dapat membantu warga Siberut
un­tuk mempertahankan sumber daya yang mereka miliki. Kasus ini
se­la­lu dikenang dan menjadi teladan bagi masyarakat Mentawai da­lam
per­juangan untuk mendapatkan klaim terhadap sumber daya alam.
Per­jum­pa­an dengan komponen luar yang memiliki perhatian ter­ha­

2 Dua keputusan lain pengadilan berisi: Surat Berita Acara Penyerahan Tanah 14 Januari dinyatakan
ti­dak berlaku lagi; pihak Dinsos dan aparat pemerintah setempat akan turun ke Madobak untuk men­
je­las­kan perdamaian yang dibuat di Pengadilan Negeri Padang yang disaksikan kuasa hukum peng­
gugat.
Pembentukan Ulang Identitas 237

dap wa­ca­na penguatan dan pemberdayaan masyarakat dari kalangan


non­pe­me­rin­tah juga membantu memaknai ulang identitas dan hak-
hak atas sumber daya yang mereka punyai. Untuk meletakkan arti
pen­ting peristiwa Rogdok, di sini akan dijelaskan konteks muncul dan
ber­kem­bang­nya istilah ‘Mentawai’ dan ‘adat’ sebagai entitas yang sa­
ling me­lengkapi dan bertemu dalam momen itu.

Asal-usul Identitas Mentawai


Sebutan Mentawai secara umum merujuk pada gugusan pulau-
pulau kecil yang berjumlah sekitar 100 buah di lepas pantai Sumatra
Barat. Dari semua pulau tersebut, ada empat pulau besar yang dihuni,
yakni Siberut, Sipora, Pagai Selatan, dan Pagai Utara. Pulau-pulau ini
d­ia
­ ng­gap sebagai teritori orang Mentawai yang berbatasan dengan
orang Nias di sebelah Utara, orang Enggano di sebelah selatan, Su­ma­
tra di sebelah timur, dan Samudra Hindia di baratnya. Istilah orang
Men­ta­wai sendiri adalah sebutan generik bagi orang-orang yang ber­
bahasa Mentawai dan keturunan leluhur yang dalam cerita mito­logis
berasal dari Simatalu, di pantai barat Pulau Siberut.
Di antara orang Mentawai sendiri, ada perbedaan pendapat me­
nge­­nai asal nama Mentawai. Pendapat ini ditopang cerita atau dongeng
bahwa orang Mentawai berasal dari luar Siberut dan terdampar di
Simatalu. Ada yang menyebut bahwa istilah “Mentawai” berasal dari
kata si manteu (Schefold 1991: 32) yang berarti laki-laki. Sebagian la­in
menyatakan, istilah Mentawai berasal dari nama leluhur orang Men­
ta­wai yang berasal dari Nias bernama Ama Tawe. Sedangkan versi la­in
dari kalangan orang-orang tua, kata “Mentawai” berasal dari Aman tak
ioi, dapat diterjemahkan sebagai “dari bapak yang tidak ta­hu asalnya
da­ri ma­na”. Karena waktu dan kesalahan pengucapan ke­mu­dian di­
la­fal­kan se­bagai Aman ta woi. Hal ini cocok dengan ke­bi­ngung­an
orang Si­berut sendiri yang tidak memiliki konsesus yang tunggal da­
lam men­jelaskan secara persis asal leluhur mereka, apakah dari da­rat­
an Su­matra, Pulau Nias, atau dari daerah lain. Dari mitos-mitos yang
ba­nyak diceritakan, mereka percaya bahwa orang Mentawai pertama
ada­lah orang yang terdampar di Simatalu (bandingkan Schefold 1991:
29), mes­ki­pun perdebatan mengenai asal-usul orang Mentawai sam­
pai se­karang belum jelas di kalangan ilmuwan.
Identitas Mentawai memiliki sejarah yang panjang dan ditemu­
kan da­lam cara yang khusus (Reeves 2004). Identitas ini merupakan
238 Berebut Hutan Siberut

pro­duk da­ri konstruksi sosial—baik untuk tujuan-tujuan administratif,


po­li­tik, maupun akademik. Asal usul dan sejarah terbentuknya entitas
Men­ta­wai membawa implikasi sosial dan politik yang sangat penting
bagi pembentukan wacana mengenai siapa dan bagaimana mereka.
Orang Mentawai sendiri, pada mulanya, tidak pernah menggunakan
kata Mentawai sebagai definisi objektif yang mencakup keseluruhan
orang yang tinggal di kepulauan itu. Istilah Mentawai baru dikenal
ke­ti­ka muncul laporan-laporan dari pihak luar—terutama dari pejabat
ko­lo­nial. Dalam publikasi dan laporan kolonial serta percakapan se­
ha­ri-hari dari etnis tetangga, istilah “mentawai” sendiri relatif baru
di­gunakan pada awal abad ke-18.
Laporan pertama yang ditulis oleh Crisp menyebutkan bahwa
pendu­duk di kepulauan itu dikenal sebagai “Poggy” atau oleh penduduk
Su­ma­tra disebut sebagai “orang Mentawee” (Reeves 2004). Crisp me­
nye­but orang yang ditemuinya di Pulau Sipora sebagai “penduduk
Po­rah”, yang memiliki kesamaan dengan orang Poggy dan keduanya
ti­dak saling berperang. Kedua penduduk di Pulau Pagai (Poggy) dan
Pu­lau Sipora (Porah) dibedakan dengan orang yang mendiami Pu­lau
Si­be­rut yang disebut sebagai “Sibiru” atau “Sybee” (Marsden 2008).
Orang Sibiru dengan orang Porah atau Poggy diketahui kerap ber­pe­
rang dan saling mengayau (Loeb 1972).
Pada awalnya, istilah “orang mentawee” merujuk pada orang
Pog­gy dan orang Porah. Istilah ini berkaitan dengan sejarah interaksi
orang di Kepulauan Mentawai dengan pedagang dari Sumatra dan pe­
ja­bat Belanda yang dimulai dari Pulau Poggy atau Pagai dan Sipora.
Akan tetapi, pembedaan antara orang Poggy dan orang Porah dengan
orang Sibiru mulai pudar setelah William Marsden menyebutkan bah­
wa penduduk di Pulau Pagai, Pulau Sipora, dan Pulau Siberut ada­lah
sa­tu ras (Marsden 2008: 418). Orang Poggy atau orang Porah di­ke­ta­
hui sebagai keturunan orang Sibiru dan menggunakan bahasa yang
sa­ma, meskipun dengan dialek yang berbeda. Marsden menyebut se­
lu­ruh penduduk di Pulau Poggy (Pagai), Sipora, dan Siberut sebagai
“Men­tawei”, untuk membedakan istilah “Mentawee” yang digunakan
oleh Crisp. Istilah Mentawei kemudian secara generik digunakan un­
tuk menyebut orang-orang yang ada di Pulau Sibiru (yang kemudian
jadi Siberut), Pulau Sipora dan Pulau Pagai.
Di kalangan orang Mentawai sendiri, terdapat keragaman dalam
me­man­dang identitas mereka. Orang tidak merujuk pada nama ter­
ten­­tu yang telah disepakati. Pada awalnya, identitas orang-orang
Pembentukan Ulang Identitas 239

yang men­diami Siberut dan Kepulauan Mentawai itu ditentukan


oleh pem­bedaan spasial dan garis keturunan. Pertama-tama mereka
mengidentifikasi diri mereka menurut istilah suku atau uma atau
wilayah asal-usul. Schefold (1991) menulis, di Siberut terdapat 25 uma
asli yang kemudian tersebar dan terbagi-bagi lagi menjadi sekitar 300-
500 uma yang otonom. Uma juga berfungsi sebagai nama keluarga yang
selalu mengikuti nama panggilan. Dalam pertemuan atau perjumpaan
dengan orang yang belum dikenal mereka akan menyebut nama uma
terlebih dahulu. Ucapan itu, misalnya, “Sarogdok uma mai,” atau “Sa­
po­jai uma mai”3 Mereka menyebut individu yang belum dikenal ber­
da­sar atas umanya. Penyebutan berdasar uma ini juga memberikan
in­for­masi spasial dari lembah mana ia berasal. Misalnya, Sabaggalet
atau Sakulok adalah dua uma yang berbeda tetapi mereka merujuk
identitas yang sama karena mereka berasal dari Lembah Rereiket,
dengan dialek bahasa yang sama dan variasi budaya yang sama. Begitu
pula halnya jika ada dua atau lebih orang yang memiliki nama Uma
Samaileppet atau Salakkopak, yang berarti merujuk pada nama-nama
uma dari Lembah Sabirut.
Pembedaan spasial akan sering digunakan untuk menyebut iden­
ti­tas yang lebih kolektif. Istilah Sarereiket (orang dari daerah aliran Su­
ngai Rereiket) dibedakan dengan orang Sasabirut (orang dari daerah
alir­an sungai Sabirut). Masing-masing anggota uma akan langsung
ta­hu da­ri lembah mana seseorang berasal melalui nama umanya, mi­
sal­nya dari Taileleu atau dari Sikabaluan. Pembedaan spasial ini akan
semakin meluas jika orang Siberut bertemu dan membedakan dirinya
de­ngan orang dari Pulau Sipora atau Pulau Pagai. Orang-orang di Pu­
lau Pagai dinamai sebagai Sakalagat atau Sakalagan, sementara orang
yang berada di pulau Sipora disebut sebagai Sakalelegat atau Sa­ko­bou
(Schefold 1991: 17). Penyebutan yang berbeda menurut hierarki geo­
gra­fis ini memiliki muatan historis dan politik yang sangat kuat (Ree­
ves 2004). Penempatan dan penamaan orang-orang selalu diwarnai
de­ngan stereotip tertentu. Misalnya, orang Sakalagan atau Sakalelegat
di­ke­nal luas sebagai pengecut, orang-orang yang terusir, para pe­cun­
dang, dan orang yang sudah kehilangan kebudayaan Mentawai (Ein­
dho­ven 2007: 102; Reeves 2004). Sementara di Siberut sendiri, Sai­re­
rei­ket dianggap lebih kolot dan terbelakang dibanding dengan orang
Mai­lep­pet atau Katurei. Ada istilah khusus sebagai ‘orang hulu’ bagi
orang yang mendiami Lembah Rereiket yang terkesan merendahkan.
3 Artinya, “Uma kami Sarogdok” atau “Uma kami Sapojai”.
240 Berebut Hutan Siberut

Istilah Mentawai mengalami pemantapan setelah abad ke-19,


meski­pun terdapat beberapa inkonsistensi dalam laporan entografis
yang me­nye­but­kan “Mentawei”, “Mentawee”, atau “Pagai”. Sejak awal
abad ke-20, laporan-laporan misionaris, pengunjung, atau naturalis,
lebih sering menggunakan istilah “Mentawai” dibandingkan “Pagai”,
“Sa­bi­rut”, atau “Katurei”, meskipun laporan itu ditambahi catatan
ada­­nya variasi internal. Keragaman ini menjadi masalah dalam me­­
re­­pre­­sen­­ta­­si­kan Mentawai sebagai satu identitas. Seperti yang di­
tun­jukkan oleh Ein­dho­ven (ibid) siapa yang dianggap sebagai orang
asli di Kepulauan Men­ta­wai merupakan hal yang pelik. Orang-orang
Mentawai di Si­be­rut menganggap merekalah orang Mentawai se­sung­
guh­nya, se­dang­kan orang Mentawai di Pulau Sipora, Pagai Utara,
dan Pagai Selatan di­ang­gap sudah tidak memiliki adat-istiadat asli.
Identitas Mentawai me­ngu­at dan menjadi tunggal jika menghadapi
per­be­daan dengan pi­hak luar kepulauan. Orang Mentawai akan me­
mak­nai identitas mereka se­bagai satu kesatuan jika berinteraksi de­
ngan orang luar yang tidak ber­bahasa Mentawai atau tidak memiliki
keterikatan biologis secara lang­sung dengan leluhur orang Mentawai.
Istilah “orang Mentawai” semakin banyak digunakan setelah
kon­tak intensif dengan dunia luar. Perjumpaan dengan identitas lain
da­ri luar menyebabkan identitas orang Mentawai memiliki makna
po­­li­tik dan menuju kolektivitas. Perjumpaan dengan orang dari luar
Men­ta­wai menciptakan klasifikasi pandangan tertentu untuk masing-
ma­sing identitas dari luar. Bagi orang Mentawai, ada banyak kategori
tentang identitas manusia lain (sirimanua) yang dikenali dari ciri fisik
atau bahasanya. Misalnya, mereka menyebut orang Batak sebagai
Sai Batak, orang Minangkabau sebagai Sai Minang, orang Jawa se­
ba­gai Sai Jawa, dan orang luar negeri dengan nama Sai Turis atau
me­nu­rut asal negaranya—misalnya menyebut orang yang berasal dari
Belanda sebagai Sai Balando.4 Secara keseluruhan orang yang tidak
berbahasa Mentawai atau tidak memiliki hubungan biologis dengan
orang Mentawai disebut sebagai sasareu. Kata sasareu berasal dari
gabungan kata sa dan areu yang berarti jauh. Sasareu dapat artikan
se­ba­gai “orang-orang yang datang dari jauh”. Penggunaan kata sa­sa­
reu berlawanan dengan kata simantawai (orang mentawai) (Ree­ves

4 Kata sai dalam bahasa Mentawai dialek Lembah Rereiket atau Lembah Sabirut berarti ‘kumpulan’ atau
kata ganti bagi benda yang berarti banyak. Kata sai memiliki kesamaan dengan kata sa, tergantung
dari awalan huruf pertama dalam imbuhan, misalnya orang Jawa sebagai Sai Jawa, orang pendatang/
dari jauh (areu) sebagai sasareu, dan orang dari Lembah Saibi sebagai Sasaibi. Dalam beberapa
dialek di lembah-lembah lain kata sai disebut juga tai, beri, atau tasiri.
Pembentukan Ulang Identitas 241

2004). Sasareu sering diidentifikasi dari ciri fisik seperti si­ma­kotkot


tubu (berkulit gelap) dan ciri bahasa (tidak berbahasa Men­ta­wai).
Konsep dan identitas mengenai sasareu sangat penting se­ba­gai sum­
ber klaim orang Mentawai terhadap praktik kebudayaan se­ha­ri-ha­
ri dan sumber daya alam di Siberut. Secara historis, orang Men­ta­wai
menyatakan tanah di Pulau Siberut tidak ada yang dimiliki oleh pa­ra
sasareu dan secara tegas mengatakan adat Mentawai tidak sama de­
ngan adat sasareu.
Hubungan masyarakat Siberut dengan sasareu sering di­war­nai
ke­ti­dakseimbangan ekonomi-politik, bahkan terkadang konflik. Pada
ma­sa kolonial, konflik dengan para pendatang dari Bugis, Benggala,
Mi­nang, serta misionaris dari Eropa disertai dengan pembu­nuh­an
(Co­ro­ne­se 1986). Mereka juga beberapa kali terlibat dalam bentrokan
me­lawan tentara Belanda dan para misionaris (Sihombing 1960).
Bah­kan pada abad ke-19, terdapat maklumat yang menyatakan bahwa
se­ba­gian besar daerah di Siberut tidak boleh dimasuki oleh para
pendatang. Buku Coronese (1986: 14-17) memuat banyak konflik dan
ketegangan antara orang Siberut dan pendatang. Fakta ini agak sedikit
meragukan karena tidak mewakili keseluruhan relasi yang terbentuk
an­tara orang Mentawai terhadap pihak luar. Sebagian besar orang
Men­ta­wai telah berdagang dengan para pendatang secara simultan
dan hubungan itu tidak selalu didominasi permusuhan.5
Kalaupun ada konflik, konfrontasi tidak pernah berlangsung se­
ca­ra kolektif—misalnya atas nama keseluruhan orang Siberut. Orang
Si­berut tidak pernah terbentuk sebagai kelompok etnik pada fase awal
ko­lo­nial, bahkan awal pascakemerdekaan. Lazimnya, perlawanan-
per­­la­wan­an kolektif berada di level uma atau lingkungan kekerabatan.
Ru­juk­an bahwa orang Siberut dipandang sebagai suku yang buas dan
ka­sar (ibid) agak meragukan karena hanya mengacu pada satu atau
dua suku yang melakukan perlawanan dan bukan keseluruhan war­ga
Si­be­rut. Bagi beberapa orang Siberut, konflik-konflik itu adalah reak­
si mereka secara kelompok (uma) terhadap ketidakadilan yang me­
reka rasakan dalam hubungan perdagangan dan bukan reaksi sebagai
keseluruhan orang Siberut. Dalam banyak kasus, uma-uma men­ce­ri­
ta­kan mereka dengan suka rela membangun hubungan da­gang dengan
pen­datang atau pejabat kolonial.

5 Pandangan Coronese mungkin dipengaruhi posisinya sebagai misionaris. Tentang hal ini, catatan no­
mor 30 memberi penjelasan unsur moralitas kristiani para misionaris berpengaruh kuat dalam buku­
nya.
242 Berebut Hutan Siberut

Mereka melawan para misionaris dan pejabat Belanda karena


di­­ru­gi­kan dalam hubungan-hubungan tersebut. Masalah-masalah
yang sensitif seperti pemaksaan dan penghinaan terhadap anggota
uma tertentu akan memicu konflik dan ketegangan. Beberapa kon­flik
disebutkan terkait dengan kekerasan terhadap perempuan (Coronese
1986: 15; Sihombing 1960). Dari penelusuran sejarah lisan, per­la­
wanan ini tidak pernah kolektif. Jika suatu uma berkelahi dengan
para pendatang, jarang uma lain ikut campur dan bertindak kolektif
untuk membelanya. Laporan-laporan lain menyebutkan beberapa
kisah di mana orang Siberut kurang menyukai intervensi terhadap
kehidupan yang mereka jalani, namun intervensi penting terhadap
kehidupan orang Siberut, yakni pelarangan pengayauan, berjalan
efektif (Schefold 1991:9).
Tidak adanya konfrontasi atau konflik yang bersifat kolektif di
Si­be­rut menunjukkan bahwa mobilisasi identitas sangat dipengaruhi
or­ga­ni­sa­si sosial. Secara tradisional masyarakat Mentawai sangat
ega­li­ter dan otonom satu sama lain. Unit politik dan kekuasaan atas
sumber daya mereka berada pada tingkat uma. Mereka hanya masuk
ke dalam aliansi yang longgar untuk kepentingan negosiasi politik yang
sifatnya sementara dan untuk mengatasi masalah permusuhan dengan
uma lain. Di dalam uma, kepemimpinan dipegang oleh pemimpin
uma (sikebukkat uma). Jenis kepemimpinan yang dipegang adalah
sosial dan bukan politik sehingga sikebbukat uma tidak mempunyai
kewenangan politik. Umumnya, mereka hanya menjadi perantara
negosiasi dengan uma lain, memimpin proses-proses upacara, ritual
pernikahan, atau pembuatan ladang. Sikebbukat uma tidak memiliki
otoritas untuk memaksakan ide atau gagasan politik yang menyangkut
uma lain.
Dalam menghadapi sasareu, tidak banyak laporan yang menulis
ada­nya aksi-aksi bersama yang melibatkan persatuan seluruh uma.
Kon­flik yang terjadi biasanya merupakan urusan internal satu uma
yang se­dang berkonflik dan bukan melibatkan seluruh (atau sebagian)
uma. Struktur sosial egaliter memberi sebuah lingkungan yang cair
ba­gi pembentukan identitas kolektif. Meskipun secara imajiner orang
me­rasa menjadi bagian dari Pulau Siberut dan dapat merujuk dirinya
secara kolektif sebagai orang Siberut, mereka tidak pernah membentuk
kelompok kolektif atau kelompok politik. Otonomi uma yang kuat
menghalangi adanya pembentukan identitas kolektif. Identitas uma
tidak mudah ditransformasikan menjadi sebuah gerakan kolektif atau
Pembentukan Ulang Identitas 243

mobilisasi politik. Hal ini menjelaskan mengapa perasaan-perasaan


kecewa terhadap buruknya birokrasi dan marjinalisasi kehidupan
yang termanifestasikan ke dalam sosok sasareu, hanya menjadi gosip
ketimbang menjadi perlawanan terbuka atau konflik sosial.
Informasi mengenai konflik-konflik antara pendatang dan orang
Si­be­rut sebagian besar ditulis pada 1960-1980-an. Tulisan-tulisan itu
ti­dak didukung oleh bukti-bukit historis yang kuat sehingga sangat
su­kar untuk menilai kualitas dan validitas asumsi adanya konflik yang
ke­ras antara orang Mentawai dengan para pendatang. Ketegangan dan
kon­flik ini kebanyakan ditulis oleh para pastor dan misionaris dan ha­
nya sedikit akademisi sehingga lebih merupakan gambaran pandangan
yang ber­nuansa moral dibandingkan telaah yang cermat atas fakta-
fak­ta empiris. Orang Siberut yang tua tidak banyak memiliki ingatan
akan ba­gai­ma­na hubungan kakek-nenek atau moyang mereka dengan
pendatang. Yang pasti, cerita-cerita pertumpahan darah antara orang
Mentawai dengan para pendatang jarang terdengar. Hanya ada satu
atau dua konflik orang Siberut dengan pihak Belanda (Schefold 1991)
dan satu kasus dengan pendatang dari Bugis. Ingatan atas sedikit kon­
flik ini pun tidak lengkap karena tidak diketahui secara pasti apa alas­
an di balik ketegangan. Orang-orang Minangkabau yang telah la­ma
bermukim di Siberut juga mengaku tidak pernah mendengar per­ke­
la­hi­an terbuka antara orang Siberut dengan orang Minangkabau dan
pen­da­tang lain.
Pandangan tentang konflik dan pelekatan stereotip orang Men­
ta­wai ‘buas dan kasar’ dikonstruksikan dan dikendalikan oleh unsur
mo­ra­litas atau cara pandang tertentu. Pandangan ini cenderung do­
mi­nan terdapat di kalangan misionaris dan penyebar agama. Se­ba­lik­
nya, unsur moralitas dan ideologi tertentu juga mewarnai pandangan
po­si­tif terhadap orang Mentawai. Naturalis dan petualang Eropa cen­
de­rung melihat orang Mentawai sebagai orang liar yang bijak dan ma­
sya­ra­kat yang harmonis dengan alam (Persoon dan Van Beek 1998).
Pan­dang­an tentang noble savage ini sangat dipengaruhi filsafat dan
ideo­lo­gi orang Eropa yang mengharapkan adanya orang yang bijak
dan mur­ni, yang tidak tercemari oleh modernitas. Orang Siberut sen­
di­ri tidak melihat hubungan dengan pendatang sebagai konflik.
Pelekatan identitas kepada orang Mentawai melibatkan suatu
pro­­ses yang terus menerus, dan dalam perjalanannya terjadi pe­nye­der­
ha­na­an, dijadikan stereotip dan dikontraskan atau dibandingkan, dan
ke­mu­di­an ditempatkan dalam hierarki sosial tertentu menurut kriteria
244 Berebut Hutan Siberut

yang di­tentukan oleh pemberi identitas (Shield 1991). Misalnya, bagi


pe­me­rin­tah, orang Siberut diasosiasikan dengan hal-hal negatif seperti
ke­ter­be­la­kang­an, kemiskinan, perusak lingkungan, dan kehidupan
yang ter­asing. Namun di mata aktivis lingkungan, citra yang ada jus­
tru sebaliknya, orang Mentawai dianggap sebagai peladang yang arif
dan su­ku yang menjaga hutan. Di mata pendatang, orang Siberut di­
ke­san­kan masih terbelakang dan kurang maju. Sementara itu, orang
Men­ta­wai juga memiliki pandangan tertentu terhadap orang luar; mi­
sal­nya, mereka memandang orang Minangkabau sebagai fanatik (da­
lam pengertian religius), suka menipu, tetapi sekaligus pekerja keras,
dan pandai berdagang.
Meskipun tidak pernah mengalami konflik besar berbasis orang
asli-pendatang, orang Mentawai-non-Mentawai, interaksi dengan
kom­­po­nen luar membuat masyarakat Mentawai sangat peka terhadap
ma­sa­lah identitas di hadapan kelompok lain. Identitas ini akan men­
ja­di lebih sensitif apabila dikaitkan dengan hierarki sosial. Hal ini di­
se­bab­kan pengalaman mereka yang hidup dalam otonomi yang luas
dan co­rak sosial yang egaliter harus mengalami perubahan ketika ber­
in­ter­ak­si dengan kom­po­nen dari luar.

Identitas Mentawai dalam Kebudayaan Nasional


Masuknya Siberut secara formal ke dalam sistem pemerintahan
In­do­ne­sia menyebabkan identitas orang Siberut dan bagaimana hu­
bung­an­nya dengan para migran ditata ulang. Dengan semboyan
Bhin­ne­ka Tung­gal Ika, politik kebudayaan Indonesia memilah-milah
kesatuan bu­­da­ya berdasarkan perbedaan dan keragamannya (Accaioli
1985; Colchester 1986). Politik kebudayaan ini dilandasi oleh strategi
politik ke­bu­da­ya­an pemerintah Belanda untuk mendukung penguasa­
an se­ca­ra tidak langsung di Indonesia (Burns 1999). Berbagai tradisi
dan ke­bia­sa­an (adat) masyarakat tertentu ditata secara sistematis oleh
pa­­kar dan pejabat, kemudian dipakai sebagai dasar pemerintahan ba­
gi pemimpin tradisional yang diangkat oleh Belanda (Kahn 1993).
Stra­te­gi ini dimulai dengan konsep “masyarakat hukum adat”, yang
me­mi­lah penduduk berdasarkan kelompok etnis dengan nama-na­ma
khusus. Konsep ini memulai praktik politik pembedaan un­tuk me­mu­
dah­kan kontrol bagi Belanda. Proses penemuan dan penciptaan po­
li­tik pembedaan ini berlanjut di era Indonesia modern karena obsesi
pen­ca­ri­an jati diri bangsa dan cita-cita pembentukan kebudayaan na­
sio­nal (Bourchier 2007: 47).
Pembentukan Ulang Identitas 245

Politik pembedaan ini menguat di era Orde Baru, yang memerlu­


kan sebuah keberagaman yang stabil dan terkendali guna memperkuat
per­sa­tu­an versi pemerintah (Kahn 1993; Volkman 1985; Pemberton
1994). Se­ma­kin minoritas suatu suku, dalam arti jumlah anggotanya
ter­ba­tas dan tinggal di lokasi yang spesifik, mereka semakin mudah
di­ke­nali, didefinisikan, dan diberi label. Dalam kerangka kebudayaan
na­sio­nal, golongan minoritas termasuk orang Mentawai, biasa di­la­beli
sebagai “masyarakat terasing”. Posisi orang Mentawai dalam po­li­tik
kebudayaan nasional memiliki kesamaan dengan etnis Dayak di Ka­li­
man­tan, Togutil di Halmahera, Kubu di Sumatra, atau Dani di Pa­pua.
Se­mua etnis minoritas ini dicirikan dengan jumlah individu yang se­di­
kit, berada jauh dari pusat pemerintahan, ekonomi, dan per­da­gang­an,
serta terletak di kawasan-kawasan yang sukar dijangkau oleh pem­ba­
ngun­an. Oleh kebijakan resmi pemerintah, kehidupan etnis-etnis ini
di­li­hat ter­be­la­kang, dipenuhi penyakit, atau memuja berhala. Mereka
ini ha­rus secepatnya dibawa ke dalam budaya-budaya modern yang
men­du­kung pembangunan.
Penggolongan etnis Mentawai sebagai kelompok masyarakat ter­
pen­cil atau terbelakang ini mengubah posisi mereka di hadapan etnis
la­in. Di Siberut, etnis-etnis besar yang dianggap sudah sesuai dengan
stan­dar kebudayaan nasional adalah Minangkabau, Jawa, atau Ba­tak.
Meskipun tidak menguasai tanah yang luas dan hak terhadap sum­ber
daya alam secara langsung, namun para perantau menguasai ak­ses
dan kontrol terhadap birokrasi, perekonomian regional, serta pe­nge­
lo­la­an sumber daya hutan. Dalam hitungan umum, secara ekonomi,
pen­da­tang ini lebih makmur dibandingkan orang Mentawai. Ukuran-
ukur­an kekayaan seperti rumah permanen dan kebiasaan makan beras
dan minum teh atau kopi yang bergula secara teratur, menjadikan pa­
ra mi­gran lebih sesuai dengan kerangka kebudayaan dan tujuan pem­
ba­ngun­an nasional.
Sebagian orang Mentawai mengagumi gaya hidup para migran.
Me­re­ka menyebut para pendatang ini sebagai orang-orang kaya (si­
ma­ka­yo). Gaya hidup mereka sering dikagumi dan standar ekonomi
me­re­ka menjadi acuan orang Mentawai. Kekaguman seperti ini me­
ning­kat­kan usaha-usaha orang Mentawai untuk menjalani kehidupan
se­per­ti para sasareu. Namun, banyak juga yang menilai para migran
(sa­sa­reu) sebagai orang yang sangat berkuasa dan sering menipu atau
berbohong (simaboko). Pandangan ini muncul dilatarbelakangi oleh
su­­lit­nya penduduk asli menembus dominasi pendatang terhadap
246 Berebut Hutan Siberut

sum­­ber daya ekonomi-politik. Pandangan negatif terhadap para


pen­­­­da­tang di atas menandai ketegangan identitas orang Mentawai.
Ke­te­­­gang­an ini terutama saat mereka berhadapan dengan etnis Mi­
nang­­ka­bau.6 Hal itu karena etnis Minangkabau menguasai birokrasi
dan se­ba­gi­an besar saluran ekonomi, termasuk juga budaya (Persoon
1997). Apalagi, orang Minangkabau dipandang memiliki identitas dan
bu­da­ya yang bertolak belakang dengan orang Mentawai. Selain per­be­
da­an identitas modern seperti agama (orang Minangkabau ke­ba­nyak­
an ber­aga­ma Islam, sedangkan orang Mentawai beragama Kristen dan
Ka­to­lik), proses akulturasi orang Minangkabau dengan orang Men­ta­
wai melalui pernikahan sangat terbatas.
Sedangkan etnis Jawa dan Batak dikesankan lebih dekat dengan
orang Mentawai karena dapat berakulturasi lebih mudah (sebagian
be­sar orang Batak dan Jawa di Siberut beragama Kristen dan menikah
de­ngan orang Mentawai). Pada dekade 1960-1980-an, orang Jawa
dan Ba­tak juga tidak banyak terlibat dalam birokrasi dan ekonomi di
Siberut. Peran mereka terbatas dalam kegiatan yang berkaitan sebagai
penyiar agama dan guru. Di sisi lain, selama 30 tahun terakhir, orang
Mentawai mengalami tekanan dalam mengekspresikan identitas, cara
hi­dup, dan mendapatkan hak-hak mereka terhadap sumber daya. Ke­
per­ca­ya­an lokal mereka dilarang untuk dipraktikkan dan cara hi­dup
mereka dipandang terbelakang dan primitif sehingga harus “dibudaya­
kan” (Persoon 1997). Ekspresi kebudayaan mereka ditekan oleh ne­
gara melalui tindakan represif para birokrat yang bertugas di Sibe­rut
atau Sumatra Barat. Dalam pelaksanaannya, beberapa elite Menta­wai
yang bekerja di pemerintahan juga ikut aktif dan melakukan tekanan
ter­ha­dap warga atau tetangganya.
Orang Siberut dilarang menggunakan benda-benda yang dipakai
un­tuk ritual atau upacara. Orang Mentawai diharuskan untuk meng­
adop­si gaya hidup yang memenuhi standar nasional seperti cara ma­
kan, minum, berpakaian, atau menentukan tempat tinggal. Selain itu,
atas na­ma pembangunan, sumber daya alam mereka diklaim sebagai
mi­lik ne­ga­ra. Sumber daya tersebut kemudian diserahkan kepada pi­
hak lu­ar yang mendapatkan konsesi eksploitasi dengan mengabaikan
hak-hak lokal. Pihak-pihak luar tersebut mendapatkan keuntung­an
me­­la­lui ekstraksi sumber daya alam skala besar dan pembangunan,

6 Meskipun istilah sasareu tidak secara khusus merujuk kepada etnis tertentu, tetapi dalam percakapan
se­ha­ri-ha­ri istilah ini lebih kuat diberikan dan sering digunakan untuk mengacu kepada orang Mi­nang­
ka­bau (Misalkan Schefold 1991: 18).
Pembentukan Ulang Identitas 247

pa­da­hal kontribusi mereka bagi pembangunan di pulau ini sangat se­


di­kit (Eindhoven 2007: 91).
Dalam perkembangannya, masyarakat Siberut belajar untuk me­
li­hat posisinya sendiri dalam kebijakan negara dan juga wacana yang
ber­kem­bang di tingkat regional maupun global. Orang Mentawai di Si­
be­rut pelan-pelan menjadi lebih sadar tentang berbagai dampak pem­
ba­ngun­an dan mulai merasa bahwa kebijakan negara kadang-kadang
me­ru­gi­kan mereka. Mereka merasakan penderitaan bersama atau yang
di­se­but Melucci (1995: 45) emotional investment dan menciptakan
reak­si komunal (ibid). Kondisi ekonomi-politik baru menumbuhkan
ke­sa­dar­an kolektif masyarakat Mentawai tentang dominasi sasareu.
Iden­ti­tas kolektif sebagai sebuah kesatuan atas nama Mentawai mun­
cul dari perasaan tertekan itu. Proses terbentuknya kolektivitas iden­
ti­tas ini dijelaskan pada bagian berikut.

Globalisasi, Pendidikan, dan Identitas Baru


Meskipun identitas Mentawai telah terbentuk sejak lama, namun
me­re­ka mulai bersuara mengenai posisi etnis mereka pada akhir de­
ka­de ’80-an. Pada tahun-tahun itu, mereka mulai menyatakan ke­ti­
dak­su­ka­an ter­ha­dap kebijakan negara dan para pendatang yang men­
do­mi­nasi budaya dan mengambil sumber daya alam dari Siberut.
Kemunculan pernyataan protes terhadap perlakuan negara ini se­ku­
rang-kurangnya disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, meningkatnya jumlah penduduk Mentawai yang lebih
ter­di­dik, yang terutama berkat dukungan dari Gereja Katolik dan Pro­
tes­tan. Sejak akhir 1960-an, puluhan anak Mentawai mengikuti se­ko­
lah ke­pen­de­ta­an atau dikirim ke seminari di luar Mentawai (Schefold
1988; Ein­dho­ven 2002) dan sebagian di antaranya juga mendapat ke­
sem­pat­an pendidikan Islam di beberapa pesantren di Jawa dan Su­
ma­tra Barat (Abidin 1997). Gereja, yang memfokuskan kegiatan di
bi­dang pen­di­dik­an dan banyak memberikan kesempatan beasiswa
ba­gi orang Mentawai untuk bersekolah di luar Mentawai, dianggap
me­mi­liki peran amat besar dalam pendidikan di Siberut. Gereja juga
mem­ba­ngun sekolah dasar di kampung-kampung dengan guru-guru
yang ke­ba­nyak­an adalah guru agama Kristen dari Jawa. Zald dan
Mc­Carthy (1997), dalam studinya mengenai mobilisasi sumber daya
da­lam gerakan sosial, berargumen bahwa pendidikan menjadikan
orang-orang lebih sadar terhadap kebijakan pemerintah. Selain itu
248 Berebut Hutan Siberut

pen­didikan juga membuat mereka mampu mendapatkan akses yang


lebih besar atas informasi dan meningkatkan kapasitas mereka untuk
terlibat aktif dalam diskusi politik.
Schefold (1988) menulis, pada akhir dekade ’70-an, para pemuda
Men­ta­wai sudah banyak yang bersekolah di Padang, akan tetapi be­
lum banyak berpengaruh secara politik. Misionaris Protestan, lem­ba­
ga keagamaan Islam (DDII), dan Gereja Katolik, memberikan ke­sem­
pat­an bagi orang Mentawai untuk bersekolah di luar Mentawai dan
be­be­ra­pa orang mencapai pendidikan tinggi. Para pelajar itu ke­mu­
di­an berkumpul dan membentuk organisasi yang berafiliasi dengan
lem­ba­ga agama, misalnya, Keluarga Katolik Mentawai (KKM) yang
ter­ben­tuk akhir 1980-an.
Meningkatnya akses transportasi laut dari Siberut ke kota-kota di
Su­ma­tra meningkatkan minat dan jumlah pelajar dengan cepat. Na­
mun, orang Mentawai yang berada di Padang menjadi minoritas dan
men­da­pat­kan stigma negatif dari lingkungan baru mereka. Pelajar
Men­ta­wai di Padang harus menerima stereotip sebagai penyembah
ber­ha­la, kotor, pemakan babi, dan memiliki kekuatan gaib yang ja­
hat. Akibat tekanan-tekanan ini, banyak pelajar mengingkari iden­ti­tas
Mentawai agar bisa diterima dan sukses di lingkungan orang Mi­nang­
ka­bau (bandingkan dengan Eindhoven 2007: 95). Mereka terkadang
meng­hi­lang­kan nama umanya, mengaku beragama Islam, atau ber­
asal da­ri tempat selain Kepulauan Mentawai agar bisa bertahan dan
te­tap melanjutkan sekolah. Informan dari Monganpoula, Aman Rah­
mat, menceritakan, selama sekolah di Padang ia mengaku ber­aga­ma
Islam. Pengakuan ini memudahkannya mendapat teman, men­da­pat­
kan tempat tinggal, dan menjalin hubungan yang lebih awet de­ngan
induk semang. Untuk itu ia harus menjalankan praktik ibadah me­nu­
rut agama Islam secara teratur meskipun tidak begitu paham dengan
ri­tu­al­nya.
Penguasaan atas lingkungan perkotaan dan pengalaman-peng­a­
lam­an kurang mengenakkan di kebudayaan lain menjadikan mereka
le­bih peka terhadap identitas Mentawai. Akibat kesadaran etnis ini,
pe­la­jar dan sarjana Mentawai yang bersekolah di Padang mulai me­
nge­lom­pok dan membentuk organisasi berbasis etnis. Organisasi yang
per­ta­ma dan terpenting dalam gerakan sosial di Kepulauan Mentawai
ada­lah Ippmen (Ikatan Pelajar dan Pemuda Mentawai) yang terbentuk
pada 1982.
Dalam organisasi tersebut, pelajar Mentawai mengorganisir diri
dan mem­ba­ngun solidaritas. Pada pertemuan-pertemuan awal, me­
Pembentukan Ulang Identitas 249

re­ka ke­ba­nyak­an membicarakan kesulitan dan keterbatasan internal


da­lam mendapatkan jaringan dan pendanaan bagi keberlanjutan se­
ko­lah mereka. Lambat-laun, mereka juga mengikuti kegiatan-ke­gi­
at­an di universitas. Kesempatan bergabung dan belajar dengan ma­
ha­sis­wa dari luar Mentawai meningkatkan keterbukaan terhadap
in­for­ma­si tentang pembangunan dan segala dampaknya. Sedikitnya
jum­lah pelajar dari Mentawai dibandingkan populasi mahasiswa di
Pa­dang merefleksikan posisi kebudayaan Mentawai sebagai minoritas
da­lam kebudayaan nasional. Para pelajar ini segera menyadari bahwa
dis­ku­si mereka mengenai isu-isu internal seperti kebutuhan tempat
ting­gal, uang pembayaran sekolah, kebutuhan makan dan minum, te­
lah masuk ke ranah politik. Kepedulian terhadap pembangunan Men­
ta­wai pun mulai terbangun.
Pikiran mereka mulai terbuka terhadap dinamika politik nasional
mau­pun global. Maka, tak mengherankan jika ketidakpuasan politik
yang mun­cul dari sebagian kecil anggota segera menjadi ketidakpuasan
organisasi. Mereka mulai mempertanyakan tekanan-tekanan terhadap
ga­ya hidup orang Mentawai, juga terhadap praktik-praktik birokrasi
yang meng­eks­ploi­ta­si sumber daya alam di tempat tinggal mereka na­
mun ti­dak memberikan pembangunan yang layak. Mereka juga mulai
menuntut keterlibatan lebih banyak orang Mentawai dalam mengurus
ke­hi­dup­an di kepulauan Mentawai melalui pemerintah Kabupaten
Pa­riaman. Ungkapan Aman Nita dari Katurei, seorang guru yang du­
lu­nya sekolah di Padang pada era 1980-an bisa dikutip di sini:
Setelah di Padang, kita baru tahu tentang masalah-masalah yang
dihadapi orang Mentawai. Kami baru tahu di mana Mentawai di
da­lam peta Indonesia. Kami tinggal di asrama pastoran, lebih
ber­un­tung. Banyak teman-teman harus membayar kos dan su­lit
men­da­pat­kan makanan. Tapi dengan kesulitan itulah kita me­
nger­ti kesulitan yang dihadapi orang-orang tua kami. Kami ba­
ru ta­hu Mentawai itu sudah merdeka seperti bangsa ini. Kami
ta­hu bagaimana orang Pariaman mendapat untung dari hutan
dan apa-apa yang kami miliki. Sementara, kami tidak banyak
men­da­pat apa-apa dari orang Minangkabau.

Pada awal ’90-an, Ippmen mulai mempertanyakan kebijakan-ke­


bi­jak­an pemerintah yang menyangkut Mentawai dan kedudukan orang-
orang Mentawai sebagai warga negara dalam masyarakat In­do­ne­sia
yang lebih luas. Mereka mulai menyoroti pembedaan identitas me­reka
250 Berebut Hutan Siberut

sebagai orang Mentawai dalam pembangunan regional. Mereka mem­


pertanyakan keseriusan birokrasi Padang Pariaman dalam meng­urusi
orang Mentawai. Para pelajar-mahasiswa yang semakin me­ngua­
sai wacana nasional ini mulai bersekutu dengan aktivis yang mem­
per­juang­kan Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta dan di Padang.
Be­be­ra­pa aktivis senior Ippmen mulai membangun aliansi dengan
LSM-LSM di Padang yang peduli terhadap orang Mentawai. Sebagai
sebuah kelompok, para aktivis senior ini mengidentifikasi diri se­ba­
gai representasi orang Mentawai. Atas nama orang Mentawai, mereka
mu­lai mengarahkan masalah identitas minoritas atau terasing orang
Men­ta­wai sebagai hal yang tidak intrinsik dalam kebudayaan mereka,
akan tetapi sebagai dampak kebijakan pemerintah yang salah. Tun­
tut­an para pelajar itu diarahkan kepada pemberian otonomi yang lu­as
bagi orang Mentawai untuk mengatur kawasannya dan adanya pe­
lu­ang membentuk kabupaten baru. Perjuangan anak-anak muda itu
disempitkan pada satu fokus (otonomi) tetapi menggambarkan ke­se­
lu­ruh­an tuntutan, yakni rasa terbebas dari cengkeraman kebudayaan
dari luar.
Meskipun akhirnya mengalami fragmentasi, kehilangan arti pen­
ting dan kredibilitas, Ippmen menandai dimulainya politik identitas
orang Mentawai. Suara-suara kritis dari aktivis Ippmen telah menjadi
em­brio bagi kesadaran mengenai gerakan sosial di Mentawai dan me­
la­hir­kan orang Mentawai generasi baru yang memiliki kesadaran di­ri
dan identitas sebagai orang Mentawai (ibid: 96-97). Mereka bel­a­­jar
untuk bertindak kolektif dan mengarahkan tuntutannya pada ke­ku­a­
sa­an yang lebih besar. Ditambah lagi dengan tuntutan pemulihan mar­
ta­bat Mentawai sebagai sebuah kelompok masyarakat. Terlebih khu­
sus lagi, mereka mulai menyoroti ketidakadilan pengelolaan sumber
da­ya alam di tempat leluhur mereka.
Faktor kedua yang menguatkan identitas Mentawai dalam wacana
na­sio­nal maupun global adalah isu pelestarian keanekaragaman ha­ya­
ti. Sebagaimana dipaparkan pada Bab 5, semenjak awal ’80-an, koa­li­si
organisasi konservasi dan lembaga multilateral membawa Si­be­rut ke
dalam pusat perhatian forum-forum konservasi global dan me­nge­nal­
kan wa­ca­na gerakan masyarakat adat (indigenous movement) kepada
ma­syarakat Siberut. Beberapa orang Mentawai diundang mengikuti
se­jum­lah pertemuan nasional dengan tujuan merepresentasikan ko­
mu­ni­tas­nya dan melakukan advokasi tentang nilai penting konservasi
hu­tan hujan tropis mereka. Pengalaman-pengalaman tersebut me­lu­
Pembentukan Ulang Identitas 251

as­kan perspektif orang Mentawai terhadap usaha-usaha untuk mem­


per­oleh aliansi dengan komponen dari luar.
Isu konservasi memberi akses orang Mentawai untuk tampil dalam
fo­rum-forum nasional dan mendapat perhatian dari publik yang luas.
Hal ini juga menciptakan ruang bagi orang Mentawai untuk bertukar
peng­al­ am­an, berbagi keluhan dan kesulitan, serta membangun narasi
atas persamaan nasib sebagai kelompok masyarakat yang mengalami
te­kan­an. Proses ini menghasilkan transformasi bagi kesadaran pen­
du­duk Mentawai mengenai situasi mereka dalam arus besar kebijakan
ne­ga­ra dan globalisasi (Eindhoven 1998).
Lembaga-lembaga internasional menyatakan bahwa banyak ma­
sya­ra­kat adat yang dimarjinalkan dan terperangkap di sebuah ne­ge­ri
yang memusuhi budaya dan menghancurkan ekosistem alami ma­sya­
ra­kat tersebut (Barber, Afif, dan Purnomo 1997; Persoon 2004). Ber­
ba­gai lembaga tersebut menggarisbawahi pentingnya pelibatan ma­
sya­ra­kat adat dalam upaya konservasi sebab merekalah yang memiliki
pe­nge­ta­hu­an tradisional yang sesuai untuk menyelamatkan sumber
da­ya alam di tingkat lokal. Dengan pengakuan atas pengetahuan tra­
di­si­o­nal dalam melestarikan hutan, masyarakat Mentawai—yang du­
lu­nya dianggap sebagai peladang hutan yang tidak efisien dan di­li­hat
se­ba­gai aktor yang tidak relevan dengan pembangunan karena ber­
mu­kim secara tersebar—sekarang dipandang sebagai pihak kunci da­
lam pembangunan.
Pejuang lingkungan mempromosikan model-model pengelolaan
sum­ber daya alam berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat
Men­ta­wai. LSM nasional dan aliansi mereka tidak hanya sukses da­lam
mempengaruhi politik lokal dan melakukan lobi terhadap per­u­bah­
an kebijakan nasional, akan tetapi mereka juga memantapkan po­si­si
penting orang Mentawai dalam kebijakan tersebut. Bersama pel­aj­ ar
yang ada di Padang, beberapa aktivis Yasumi, YCM, Laggai Si­mae­
ru, dan beberapa LSM lain mengarahkan tuntutannya untuk men­da­
pat­kan otonomi yang luas dalam pengaturan sumber daya alam bagi
orang Mentawai. Tuntutan otonomi pengelolaan sumber daya alam
ini meng­arah pada tuntutan pemberian kabupaten tersendiri, yang di­
imaji­nasikan akan dikelola oleh orang Mentawai sendiri.
Akibat yang menguntungkan dari pengakuan tersebut, para aktivis
se­ni­or dan elite-elite mahasiswa Mentawai berlomba menampilkan
diri se­ba­gai orang-orang pribumi yang hidupnya terancam dan peduli
ter­ha­dap pelestarian lingkungan. Dengan menampilkan diri seperti
252 Berebut Hutan Siberut

itu, me­re­ka mulai mendapatkan dukungan dari lembaga donor in­ter­


na­sio­nal.

Media, Gerakan Adat, dan Isu Lingkungan


Kemunculan identitas Mentawai dalam bingkai masyarakat adat
ti­dak dapat terjadi tanpa adanya pengakuan global dan nasional ter­
ha­dap keberadaan masyarakat minoritas atau masyarakat adat. Is­
ti­lah “adat” sendiri mengalami perjuangan yang panjang. Lem­ba­ga
in­ternasional yang bergerak dalam isu pembangunan telah meng­
akui dan merumuskan definisi, serta kebijakan khusus me­nyang­kut
ma­syarakat adat dalam dokumen resmi sejak 1970-an. Mi­sal­nya,
Organisasi Buruh Internasional (ILO), Bank Dunia, Bank Pem­ba­
ngun­an Asia (ADB), World Wide Fund for Nature (WWF), dan the
World Conservation Society (WCS) telah mengakui pentingnya pe­li­
bat­an masyarakat adat dalam proyek-proyek mereka. Organisasi se­
per­ti Survival International, Cultural Survival, dan International Work
Group for Indigenous Affairs (IWGIA) untuk urusan masyarakat adat
telah terlibat dalam mundukung hak masyarakat adat dan mem­be­
ri­kan perhatian terhadap masalah ketidakadilan masyarakat mi­no­ri­
tas.
Pada 1972, perkumpulan masyarakat adat di hutan tropis men­de­
kla­ra­si­kan Charter of Indigenous People of Tropical Forest. ILO bah­
kan telah merumuskan Konvensi Masyarakat Adat pada 1957 (No. 107)
dan direvisi pada 1998 (No. 169), yang kemudian diratifikasi 22 ne­ga­ra
anggota PBB. PBB banyak berperan dalam sejumlah deklarasi per­lin­
dung­an masyarakat adat dan minoritas, misalnya munculnya konvensi
menentang diskriminasi ras di tempat kerja (Burman 1995). Sebagai
re­ko­men­da­si dari Pertemuan Rio 1992, tahun 1993 disepakati sebagai
Tahun Internasional untuk Masyarakat Adat (International Year of
In­di­genous People) yang diawali dengan sebuah kongres mengenai
ma­sya­ra­kat adat. Kongres ini menandai semakin meningkatnya ke­ku­
at­an politik masyarakat adat. Wacana tentang masyarakat adat secara
glo­bal pun mulai mendapat perhatian di Siberut, bertepatan dengan
ma­suk­nya praktik dan wacana konservasi keanekaragaman hayati.
Namun, Pemerintah Indonesia di bawah rezim Soeharto lam­ban
mengakui keberadaan masyarakat adat ini. Indonesia tidak me­ra­ti­fi­
ka­si peraturan internasional atau definisi tentang masyarakat adat itu
sen­di­ri (Li 2001; 2002b; Persoon 2002). Namun, secara diam-di­am,
Pembentukan Ulang Identitas 253

di luar jalur pemerintah, perwakilan Indonesia telah mengikuti per­te­


mu­an-per­te­mu­an internasional mengenai masyarakat adat, seperti di
Chiang­mai, Thailand pada 1993 dan pertemuan Baguio, Filipina pada
1995. Beberapa orang da­ri Indonesia juga hadir pada konferensi di
Manila, Filipina yang di­lak­sa­na­kan pada November 1995 untuk men­
diskusikan panduan ran­cang­an kebijakan Bank Pembangunan Asia
(ADB) tentang masyarakat adat.
Di tingkat nasional, LSM-LSM mulai menggalang kekuatan ber­
sa­ma untuk mendesak negara agar mengakui hak-hak masyarakat atas
sumber daya alam. Melalui workshop yang diprakarsai Walhi Su­la­we­
si Se­la­tan pada 1993, jaringan pertama LSM yang memberi perhatian
ke­pa­da gerakan masyarakat adat pun dibentuk. Pertemuan yang di­
lang­sung­kan di Tana Toraja itu menghasilkan jaringan kerja yang
di­na­mai Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (Japhama)
(Fay dan Sirait 2003). Dalam workshop tersebut, frasa “masyarakat
adat” per­ta­ma kali digunakan sebagai terjemahan dari istilah in­di­ge­
nous people (ibid: 162). Terjemahan ini dipilih secara sengaja untuk
mem­be­ri kesan yang positif. Istilah ini dapat digunakan sebagai tang­
gap­an politis atas istilah “masyarakat terasing” atau “masyarakat ter­
be­la­kang” yang dianggap merendahkan. Mereka juga sepakat untuk
ti­dak menggunakan istilah “pribumi” karena secara khusus istilah itu
ti­dak bisa digunakan secara spesifik. Seluruh orang Indonesia bisa
me­nye­but dirinya sebagai pribumi.7
Wacana masyarakat adat di Indonesia berkembang pesat pada
per­te­ngah­an ’90-an. Japhama menerjemahkan konvensi-konvensi in­
ter­na­sio­nal tentang masyarakat adat dan menuntut pemerintah un­tuk
meratifikasi konvensi tersebut. Para penggiat gerakan ini ber­pen­da­
pat, masyarakat adat harus dipandang sebagai masyarakat yang me­
mi­liki corak yang sangat khas Indonesia. Aktivis-aktivis ini merujuk
pa­da se­jum­lah suku yang komunitasnya sedikit, biasanya hidup ter­
pen­cil, dan memiliki gaya hidup yang tradisional. Bukan suatu ke­be­
tul­an jika para aktivis ini menyatakan bahwa masyarakat adat ada­
lah yang selama ini dikategorikan sebagai masyarakat terasing oleh
pemerintah, yaitu komunitas yang anggotanya sekitar 1,5 juta ji­wa.

7 Indigenous people memang istilah yang sukar diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia karena
kompleksitas sejarah masing-masing etnis dan juga sejarah penggunaan kata ‘adat’ di Indonesia.
Akan tetapi, sebuah gerakan sosial dan politik akan mengalami kesukaran jika menggunakan istilah
yang beragam dan multiinterpretasi. Istilah indigenous people kemudian dengan cepat diterjemahkan
menjadi masyarakat adat dan bukan sebagai masyarakat asli, penduduk asli, atau masyarakat
tradisional.
254 Berebut Hutan Siberut

De­ngan menggunakan data masyarakat yang sama, aktivis dan LSM


di Jakarta ingin mengubah stereotip negatif yang diberikan pe­me­rin­
tah terhadap komunitas ini, melindungi gaya hidup yang ber­be­da,
melindungi hak untuk melanjutkan gaya hidup tersebut, dan meng­ha­
langi intervensi negara di kawasan tempat tinggal masyarakat adat.
Dalam konteks gerakan ini, masyarakat Mentawai mendapatkan
per­ha­ti­an yang lebih besar dibandingkan misalnya dengan masyarakat
Mi­nang­kabau, meskipun orang Minangkabau juga memiliki klaim
yang sa­ngat kuat sebagai masyarakat yang beradat (Benda-Beckmann
1990; 2007). Sejarah pengkategorian yang dibuat secara resmi oleh
pe­me­rin­tah memainkan peranan yang cukup signifikan. Orang Men­
ta­wai disebut sebagai masyarakat terasing sementara masyarakat Mi­
nang­ka­bau tidak. Masyarakat Mentawai juga dilihat sebagai salah satu
con­toh masyarakat asli yang dinilai secara salah oleh pemerintah. Oleh
ge­rak­an adat, cara pandang pemerintah ditantang. Untuk melawan
ca­ra pandang pemerintah, mereka berusaha membalikkan stereotip
bah­wa masyarakat Mentawai bukanlah masyarakat terasing tetapi ma­
sya­ra­kat adat yang memiliki budaya khas dan ramah lingkungan.8 Hal
ini men­jelaskan mengapa orang Mentawai lebih mendapat perhatian
yang lebih intensif dibanding orang Minangkabau. Istilah keaslian juga
memainkan peranan penting. Masyarakat adat dipandang memiliki
keunikan dan sistem kebudayaan yang asli dibandingkan dengan etnis
besar yang telah mengalami transformasi yang lebih kompleks.
Cara pandang yang lebih positif terhadap identitas Mentawai
mun­cul bersamaan dengan gagasan mengenai konservasi berbasiskan
ma­sya­ra­kat pada awal ’90-an. ADB yang mendanai proyek PKAT
mem­buat panduan program yang melibatkan masyarakat Mentawai
da­lam implementasi proyek. Pemakaian istilah “masyarakat adat” un­
tuk orang Mentawai mulai terdengar semenjak proyek PKAT. Ke­ter­li­
bat­an masyarakat adat Mentawai terwakili dalam pendirian Yasumi.
Or­ga­ni­sa­si ini beranggotakan anak-anak muda Mentawai terdidik
yang ak­tif menyuarakan posisi orang Mentawai dalam pembangunan.
Kalangan muda Mentawai terdidik ini mengisi posisi penting yang
tidak pernah dan tidak bisa diperankan oleh aktivis LSM dari Sumatra
Ba­rat, yang kebanyakan berasal dari etnis Minangkabau. Yasumi men­

8 Publikasi-publikasi juga dilakukan di media massa. Misalnya, laporan media massa atas kasus proyek
Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) yang lebih dikenal sebagai re-settlement. Lihat
“Siberut Island Likely to Have New Settlement Areas” Jakarta Post, 14 Februari 1996 (Anonim). Juga
“Skephi Opposes Siberut Resettlement”, Jakarta Post, 17 Fe­bruari 1996.
Pembentukan Ulang Identitas 255

ja­di penghubung antara orang Mentawai dan dunia luar. Posisi ini
memberikan keistimewaan bagi pelajar dan mahasiswa untuk menjadi
se­je­nis elite lokal baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan tra­
di­sio­nal. Mereka membawa dan menjadi penyalur wacana gerakan
kon­ser­vasi global dan masyarakat adat ke Siberut.
Kemunculan Yasumi segera diikuti dengan munculnya beberapa
LSM lainnya di Siberut. LSM dipandang efektif sebagai kendaraan
un­tuk menyatakan ekspresi, menyuarakan keprihatinan, dan juga
men­ja­di alat bagi masyarakat sipil yang tertekan. Sebagian besar LSM
ter­se­but dibentuk oleh alumni Ippmen. LSM-LSM tersebut menjadi
pe­nya­lur, kalau tidak bisa dikatakan penerima, dana luar negeri yang
jum­lah­nya semakin bertambah. Proyek-proyek dengan tujuan mem­
per­baiki kualitas lingkungan hidup dan mendukung perjuangan orang
Mentawai untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga ne­ga­ra di­
se­dia­kan oleh banyak lembaga donor seperti ADB, lembaga pen­da­na­
an dari Norwegia, dan sumber-sumber lain dari Jakarta. Ti­dak kurang
15 organisasi lokal dibentuk sepanjang dekade ’90-an. Ke­mun­cul­an
LSM di Mentawai juga sangat dipengaruhi wacana yang ber­kem­
bang di tingkat nasional. Pada masa itu, wacana mengenai kon­ser­
va­si berbasiskan masyarakat tengah menjadi tren, seiring de­ngan
menguatnya perlawanan masyarakat terhadap rezim Orde Ba­ru. Se­te­
lah ter­ben­tuk­nya Japhama di Tana Toraja, gerakan LSM di Mentawai
ju­ga mengalihkan isu utama mereka menjadi gerakan masyarakat adat.
Peng­gu­na­an kata “adat” di Mentawai oleh LSM secara formal dimulai
pada 1995, setelah terbentuknya Yayasan Citra Mandiri (YCM).
Sebagai penyalur wacana global, gerakan LSM-LSM di Mentawai
ju­ga sangat dipengaruhi wacana-wacana besar tersebut. Apalagi, ke­ba­
nyak­an kegiatan mereka ditentukan oleh garis-garis besar yang telah
di­bu­at oleh lembaga donor. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut
ju­ga banyak ditentukan oleh kebutuhan implementasi proyek-proyek
be­sar yang memiliki durasi waktu terbatas. Dengan pengalaman yang
ter­ba­tas dalam menghadapi kelenturan wacana di luar Mentawai,
akhir­nya banyak LSM yang tidak bertahan. Kebanyakan LSM ini tutup
sei­ring dengan mandegnya proyek yang didanai dari lembaga luar. Ini
ter­jadi, misalnya, terhadap Yasumi. Pascapenutupan proyek PKAT
pada 1999, mereka mengalami mati suri. Kegiatan-kegiatan mereka
ter­henti dan banyak staf yang kemudian bekerja di tempat yang la­in,
yang seringkali harus berlawanan dengan visi mereka terhadap kon­
ser­vasi.
256 Berebut Hutan Siberut

LSM yang bertahan dan terus dapat menyuarakan perjuangan


orang Men­ta­wai umumnya menggeser visi dari konservasi alam
me­­­nu­ju gerakan masyarakat adat. Hal ini sangat kuat diwakili oleh
YCM. Di­ben­tuk oleh beberapa orang bekas Yasumi dan beberapa
pel­aj­ ar Mentawai alumni Ippmen, YCM memiliki moto “Untuk Ke­
ma­­ju­an Mentawai”. Mereka secara sengaja memilih gerakan ma­
sya­ra­kat Mentawai sebagai arena perjuangan utama, dan isu pe­les­
ta­ri­an lingkungan sebagai isu ikutan. Pesan yang paling kuat dari
ak­ti­vi­tas YCM pada waktu itu adalah memperjuangkan hak-hak orang
Mentawai.9 YCM kemudian dengan taktis membangun aliansi de­ngan
LSM nasional dan gerakan lingkungan di Padang yang peduli ter­ha­
dap hak-hak masyarakat adat. YCM selama bertahun-tahun mem­per­
juang­kan wacana tentang hak-hak orang Mentawai terhadap sumber
da­ya dan identitas budayanya.
Aktivitas YCM dalam isu perjuangan masyarakat adat Mentawai
dimulai ketika mereka terlibat dalam gerakan warga Rogdok menuntut
hak kepemilikan atas tanah melawan Dinas Sosial, seperti yang telah
ka­mi ceritakan di awal. Dapat dikatakan, Peristiwa Rogdok adalah
con­toh par excellence bagaimana wacana global dan nasional bertemu
de­ngan agenda lokal, sebuah model bagi konsep pertemuan middle
ground (White 1991). Pertemuan ini diperantarai oleh LSM. Aktivis
LSM di tingkat nasional dan lokal menemukan visi dan agendanya
un­tuk membantu masyarakat adat, sementara masyarakat Rogdok
mem­bu­tuh­kan aliansi dengan komponen luar untuk memperjuangkan
agen­da lokal mereka. Kemenangan warga Rogdok atas bantuan LSM
dan aktivis pro-masyarakat adat dalam pengadilan melawan pe­me­
rin­tah (Dinas Sosial) menguatkan wacana tentang masyarakat adat.
Pa­da titik ini, terjadi pertemuan agenda LSM nasional dan visi mereka
ter­ha­dap masyarakat adat (yang memiliki keterikatan terhadap ta­
nah dan memelihara adat) dan kebutuhan yang sangat spesifik dari
orang Siberut (represi atas budaya mereka, marjinalisasi atas nama
pem­ba­ngun­an) untuk keluar dari tekanan yang datang dari luar. Ke­
me­nang­an warga Rogdok juga dapat dinikmati oleh para pemerhati
ma­sya­ra­kat adat di luar dan kota besar melalui laporan media massa.
De­ngan demikian, masyarakat Rogdok memenuhi segala kriteria yang
dibutuhkan oleh aktivis LSM dan media massa untuk menjadi ma­sya­
ra­kat adat.
Peristiwa Rogdok menjadi momentum untuk meneguhkan ke­
9 Wawancara dengan salah satu pendiri YCM, Oktober 2005.
Pembentukan Ulang Identitas 257

ber­adaan masyarakat adat Mentawai. YCM kemudian dikenal sebagai


representasi masyarakat adat Mentawai di tingkat nasional. Bersama
beberapa LSM Mentawai lain yang berbasis di Padang, YCM mengisi
peran penting menjadi pelatuk bagi gerakan masyarakat adat di Men­
ta­wai. Peristiwa Rogdok juga memberi ruang bagi beberapa warga
un­tuk terlibat langsung dengan wacana gerakan adat yang sedang se­
ma­rak di tingkat nasional. Kepala Desa Madobak yang menjadi to­
koh kunci dan pemeran utama perjuangan masyarakat Rogdok me­
la­wan Departemen Sosial diundang dalam pertemuan-pertemuan
ma­sya­ra­kat adat skala nasional. Tokoh tersebut menjadi jembatan
in­for­ma­si mengenai gerakan adat nasional ke pelosok Siberut, selain
ju­ga semakin mengukuhkan Mentawai dalam gerakan masyarakat
adat ting­kat nasional. Tokoh ini mendapat dukungan kuat dari YCM.
Se­ba­lik­nya, YCM juga semakin dikenal di kalangan nasional dan in­
ter­na­sio­nal sebagai pembela masyarakat adat Mentawai. Mereka juga
terlibat dalam isu-isu penguasaan, pengelolaan, dan akses terhadap
sumber daya alam, serta pengakuan secara budaya.
Munculnya YCM sebagai penyalur wacana adat dalam konteks
glo­bal dan nasional ke Kepulauan Mentawai dilembagakan dalam
pem­ben­tuk­an dewan adat di masing-masing dusun yang menjadi dam­
ping­an YCM. Pembentukan dewan adat dimulai dari Rogdok karena
di tem­pat inilah peristiwa Rogdok dimulai dan dianggap memantik
usa­ha perjuangan masyarakat Mentawai melawan kebijakan yang
me­ru­gi­kan mereka. Pembentukan dewan adat lokal adalah sebuah
ide yang ditiru dari strategi Pancur Kasih, LSM di Kalimantan yang
lebih berpengalaman. Dewan adat diharapkan memperkuat po­si­si
komunitas-komunitas adat lokal dalam berhubungan dengan pe­me­
rin­tah atau pihak luar yang lebih kuat. Melalui dewan adat, mereka
akan terhubung secara emosional dan sosial untuk mempertahankan
hak-hak adat yang diklaim oleh pihak luar.
Sebelum ada konflik dengan Dinas Sosial, orang Rogdok sendiri
tidak mengenal Siberut atas nama adat atau pun istilah dewan adat.
Peristiwa Rogdok memberi efek bola salju bagi mobilisasi orang dan
kemunculan dewan adat. Dewan adat mula-mula dibentuk sebagai
lem­ba­ga sementara untuk mengakomodasi perjuangan warga Rog­dok
se­per­ti yang disyaratkan oleh undang-undang atau peraturan per­adil­
an. Namun, setelah gugatan hukum melawan Dinas Sosial yang di­
me­nang­kan warga tersebut, dewan adat menjelma menjadi kekuatan
yang sa­ngat penting bagi warga Rogdok. Dewan adat menjadi institusi
258 Berebut Hutan Siberut

lo­kal yang baru dan dibentuk untuk memobilisasi masyarakat dalam


men­du­kung perjuangan atas nama adat. Dewan adat diisi perwakilan
da­ri setiap uma di suatu dusun. Dewan adat telah menjadi media un­
tuk membangun solidaritas masyarakat Mentawai yang sebelumnya
ter­ba­gi ke dalam uma-uma. Dalam wawancara kami dengan tokoh
LSM se­tem­pat, dewan adat dapat difungsikan untuk menyelesaikan
ma­sa­lah-masalah berkaitan dengan masyarakat dan juga menjadi alat
un­tuk melakukan negosiasi dengan pihak luar. Dewan adat mendapat
sam­but­an yang hangat di beberapa dusun yang lain. Anggota yang ma­
suk dalam dewan adat inilah yang mendapatkan kesempatan untuk
meng­i­kuti pertemuan-pertemuan mengenai gerakan adat di tingkat
re­gio­nal maupun nasional. Perjuangan masyarakat adat dalam konteks
ge­rak­an adat nasional terus berlanjut hingga sekarang dengan format
yang lebih formal dan terorganisir. Mengenai perkembangan tentang
de­wan adat lengkap dengan aliansi dan dinamika yang mengiringinya,
pembahasan akan dilakukan di Bab 8.
Runtuhnya rezim Soeharto pada 1998 menjadi titik balik penting
ba­gi penguatan gerakan sosial di Indonesia, termasuk bagi gerakan
ma­sya­ra­kat adat. Pada Maret 1999, sebuah kongres Masyarakat Adat
Nu­san­ta­ra pertama kali digelar di Jakarta. Kongres ini menandai ma­
suk­nya masyarakat adat secara formal sebagai salah satu kelompok
yang se­ca­ra politis menuntut kembali posisinya (Li 2001: 645). Kong­
res ini diselenggarakan oleh konsorsium sejumlah LSM yang berbasis
di Jakarta dan disokong oleh banyak lembaga internasional. Menurut
Down to Earth (1999), kongres ini merupakan pencapaian penting bagi
per­kem­bangan gerakan masyarakat adat di Indonesia karena sukses
mengumpulkan seluruh perwakilan masyarakat adat di Indonesia.
Hasil utama kongres ini adalah terbentuknya Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN) sebagai organisasi formal bagi masyarakat
adat di Indonesia. AMAN berfungsi memfasilitasi usaha perjuangan
masyarakat adat dalam menghadapi negara dan komponen lain yang
sering memberikan tekanan kepada masyarakat adat. Aliansi tersebut
meminta kedaulatan bagi seluruh masyarakat adat dan meminta
pengakuan atas hak ulayat dan kontrol lokal terhadap sumber daya
alam. AMAN juga meminta negara menghargai adat-istiadat, identitas,
dan hak memerintah sendiri yang diakui oleh kelembagaan adat dan
hukum adat (Moeliono 2002).
Meskipun tidak diundang secara resmi, wakil dari Mentawai juga
ha­dir dalam Kongres AMAN yang pertama di Jakarta. Aman Letang,
Pembentukan Ulang Identitas 259

Gambar 12. Pemimpin dewan adat sedang berorasi dalam forum konservasi
(Ko-Manajemen).

ke­pa­la desa dan tokoh protagonis dalam peristiwa Rogdok, menjadi


wa­kil masyarakat adat Mentawai dalam kongres tersebut. Dengan ha­
dir mewakili Mentawai dalam Kongres AMAN, Aman Letang me­nyak­
si­kan secara langsung semangat gerakan masyarakat adat di In­do­ne­
sia pas­ca­rezim Soeharto. Kongres ini sangat penting artinya bagi wakil
Mentawai untuk memahami persamaan nasib dengan masyarakat adat
la­in di Indonesia, terutama dalam hal menghadapi militer, kebijakan
ne­ga­ra, dan eksploitasi sumber daya alam. Seperti yang disampaikan
Aman Letang, kongres itu membuka kesadaran baru atas identitas
orang Mentawai sebagai masyarakat adat.
260 Berebut Hutan Siberut

Setelah Peristiwa Rogdok dan bertemu kawan-kawan (ma­sya­ra­


kat adat) lainnya dalam Kongres AMAN, saya tersadar bah­wa ka­
mi selama ini ditindas dan mengalami marjinalisasi oleh ne­ga­ra
maupun para perusahaan. Kami (orang Mentawai) seperti bang­
sa Israel dalam Perjanjian Lama. Kami harus berjuang sekuat te­
na­ga untuk mendapatkan hak-hak kita sebagai masyarakat adat.
Se­te­lah mengikuti Kongres AMAN, kami yakin bahwa kami bisa
bang­kit. Kami tidak bisa berjuang sendiri-sendiri. Masyarakat
adat Mentawai harus melupakan persaingan dan kecemburuan
satu-sa­ma lain. Mereka semestinya bersatu dan kompak seperti
ma­sya­ra­kat adat dalam Kongres. Ada banyak masyarakat adat
yang se­na­sib, juga teman-teman LSM dan para aktivis yang pe­
du­li. Tujuan kita adalah mengembalikan adat, martabat, dan
sum­ber daya alam orang Mentawai kepada orang Mentawai.10

Bagi Aman Letang, sejauh ini orang Mentawai terpecah-pecah


ka­re­na sengketa dan rivalitas antaruma. Dengan membuat analogi ter­
ha­dap kisah bangsa Israel dalam Perjanjian Lama, Aman Letang meng­
am­bil visi teologis agama Katolik yang diyakininya sebagai cara untuk
me­nya­tu­kan orang Mentawai. Penyatuan ini hanya bisa diperoleh me­
la­lui penyadaran akan persamaan nasib sebagai masyarakat yang di­
tin­das dan dimarjinalkan. Di samping itu, perjuangan masyarakat adat
ju­ga diakui tidak dapat dilepaskan dari peranan LSM dan para aktivis
yang peduli. Bingkai gerakan masyarakat adat diletakkan dalam posisi
yang tidak vakum dari visi, kekuatan, dan agenda dari komponen lain
se­per­ti negara, LSM, dan pihak swasta.
Keterlibatan Aman Letang dalam jaringan gerakan adat nasional
dan in­ter­na­sio­nal serta pendampingan YCM membawa perubahan
cu­kup signifikan dalam membentuk identitas masyarakat adat Men­ta­
wai. Aman Letang sangat aktif menerjemahkan gagasan wacana adat
dan gerakan masyarakat adat di tingkat nasional ke konteks Men­ta­
wai. Dia juga terus mengkampanyekan bahwa masyarakat Mentawai
ada­lah salah satu masyarakat adat di Indonesia. Ciri-ciri yang melekat
da­ri etnis Mentawai yang berada dalam geopolitik dan konteks se­ja­rah
tertentu memiliki titik temu dengan semua bentuk pengertian ma­sya­
ra­kat adat yang diharapkan oleh forum-forum internasional. Orang
Men­ta­wai mengisi celah definisi “masyarakat adat” yang dikehendaki
oleh wacana global dan media massa. Dalam pengertian selanjutnya,

10 Diskusi dengan Aman Letang, Februari 2005.


Pembentukan Ulang Identitas 261

masyarakat minoritas (ethnic minority) mengalami transformasi men­


ja­di indigenous people. Posisi masyarakat Mentawai, yang pa­da masa
kolonial dilihat sebagai masyarakat ‘adat’ dan kemudian di­ka­te­go­ri­
kan sebagai masyarakat terasing pada masa Orde Baru, mendapatkan
peng­aku­an menjadi masyarakat adat kembali, meskipun dengan lan­
das­an pemikiran yang berbeda melalui proses sosio-politik yang ber­
be­da. Sekilas, perubahan identitas ini menggambarkan posisi orang
Men­ta­wai yang ditentukan oleh wacana dari luar. Akan tetapi, lebih
da­ri itu, perubahan identitas ini merefleksikan sebuah usaha terus-me­
ne­rus dan kapasitas yang terus berkembang dari sebuah masyarakat
un­tuk menempatkan identitas kolektif dan posisi politik mereka.
Istilah “masyarakat adat” menjadi senjata baru bagi orang Men­
ta­wai untuk mengklaim ulang hak-hak ekonomi, politik, dan budaya
mereka, termasuk hak penguasaan atas sumber daya alam. LSM lokal
ber­u­sa­ha membantu upaya ini karena mereka menyadari bahwa de­
ngan mempromosikan wacana masyarakat adat Mentawai, mereka bi­
sa terhubung dengan gerakan masyarakat adat secara luas di dunia dan
menarik dukungan dari level nasional dan global. LSM-LSM lokal se­ca­
ra aktif membentuk wacana “indigeneity” bagi publik Mentawai me­la­
lui penyelenggaraan berbagai diskusi dan pelatihan. Mereka juga terus
men­du­kung beberapa orang Mentawai untuk menghadiri pertemuan
nasional yang membahas isu gerakan masyarakat adat di Indonesia.
Aktivitas ini memungkinkan masyarakat Siberut mendapatkan ruang
untuk menyalurkan keluhan-keluhan dan masalah mereka dengan ca­
ra yang baru.
YCM menggunakan cara yang kreatif dalam mengkampanyekan
wa­ca­na tentang masyarakat adat kepada masyarakat Mentawai. Me­re­
ka menerbitkan tabloid lokal Puailiggoubat.11 Tabloid berbahasa In­
do­ne­sia tersebut terdiri dari 16 halaman, berisi berita-berita terbaru,
ter­ma­suk politik, pendidikan, lingkungan, budaya, adat, dan masalah-
ma­sa­lah penebangan kayu di Mentawai. Perwakilan UNESCO di Siberut
mem­ban­tu mendistribusikan surat kabar tersebut secara cuma-cuma
ke tem­pat-tempat yang sulit diakses di Siberut (Eindhoven 2002).
Orang Men­ta­wai menyambut Puailiggoubat dengan sangat antusias.

11 Puailiggoubat berarti ‘cermin diri’. Berakar dari bahasa Mentawai ‘muailiggou’. ‘Puailiggoubat’ meng­
a­cu pa­da perilaku ular di sebuah pohon dekat air yang tenang dan bersih. Perilaku ini adalah cara
ular untuk mengenali mangsa dari ‘cermin’ air. Puailiggoubat adalah satu-satunya media massa yang
men­jang­kau Kepulauan Mentawai. Puailiggoubat diterbitkan oleh Yayasan Citra Mandiri (YCM). Da­
lam ba­nyak hal, surat kabar ini merefleksikan visi YCM dalam mendukung otonomi, pengakuan, dan
ke­bang­kit­an masyarakat Mentawai.
262 Berebut Hutan Siberut

Ta­juk rencana dalam Puailiggoubat digunakan untuk menyampaikan


ide-ide YCM tentang penderitaan kelompok-kelompok marjinal di se­
lu­ruh Indonesia dan mengingatkan tentang pentingnya penguatan ma­
sya­ra­kat adat. Hal ini bisa dilihat pada salah satu tajuk rencananya:
Para pembaca kami yang budiman, catatan kembali meng­go­res­
kan tinta emasnya yang berbunyi, “Budaya dan adat istiadatlah
yang bisa mempersatukan negeri ini”, apakah ini sesuai dengan
fak­ta??? Itu tidak mungkin bisa kita pungkiri, Masyarakat Adat
se-In­do­ne­sia telah memulai itu dalam Forum Aliansi Mayarakat
Adat Nu­san­ta­ra, dalam bendera Masyarakat Adat kita bisa me­
ra­sa­kan nasib yang sama, perjuangan yang sama dalam me­le­
pas­kan diri dari lingkaran kekuasaan yang semena-mena. Di
akhir catatan ini kita berharap, semoga kita bisa kembali meng­
hi­dup­kan api perjuangan masyarakat adat, kita harus yakin
bah­wa kita tidak berjuang sendiri, saudara kita juga masih tetap
ber­ju­ang seperti kita.12

Masuknya kata masyarakat adat dalam wacana perjuangan po­


li­tik seperti dikutip di atas memperlihatkan bahwa wacana ke­bang­
kit­an orang Mentawai tidak terlepas dari perjuangan gerakan adat
di tingkat nasional. Penggalan tajuk rencana di atas adalah con­toh
ba­­gai­ma­na aktivis LSM berusaha mengarahkan pembacanya un­tuk
ter­li­bat dalam gerakan masyarakat adat di Indonesia. Mereka te­rus
meng­ingat­kan bahwa situasi ketidakadilan yang dialami masyarakat
Men­ta­wai bukanlah perkara yang hanya terjadi di Men­ta­wai. Orang
Men­ta­wai memiliki kesamaan nasib dengan orang In­do­ne­sia lain
yang tertindas.
Usaha untuk mempertahankan hak-hak Mentawai dengan meng­
gu­na­kan wacana masyarakat adat memerlukan syarat yang cukup berat.
Mereka harus menciptakan sebuah platform politik yang kuat. Usaha-
usa­ha yang telah dilakukan Aman Letang dan beberapa elite Mentawai
da­lam membangun kesadaran kesatuan bagi orang Mentawai harus
berhadapan dengan struktur sosial yang sangat egaliter dan otonomi
po­litik yang kuat dalam masing-masing kelompok sosial. Dibutuhkan
mobilisasi politik untuk membentuk kolektivitas identitas. Unit politik
tersebut sangat disadari tergantung dari solidaritas yang harus ditenun
oleh orang Mentawai sendiri. Masalah menjadi semakin rumit karena
orang Men­ta­wai tidak pernah memiliki sejarah terkait perjuangan
12 Puailiggoubat Edisi 01, Mei 2001.
Pembentukan Ulang Identitas 263

po­li­tik kolektif. Setiap uma berdiri secara otonom dan tidak pernah
mem­ben­tuk gerakan bersama. Dilema ini sangat jelas terwakili pada
ta­juk rencana Puailiggoubat edisi berikutnya:
Para pembaca kami… Sekelompok uma maupun suku yang
ber­diam dalam tanah sukunya ternyata dipecah-belah… Dari
se­­jarah nenek moyang orang Mentawai, bahwa perpecahan
suku terjadi karena adanya perselisihan yang timbul atas tanah
ulayat. Kita perlu ketahui bahwa kebiasaan pecahnya suku di
Mentawai bukan merupakan cerita rahasia dan itu telah diteliti
oleh beberapa orang dan akhirnya dibukukan, sehingga semua
orang bisa membaca itu. Di saat perlawanan rakyat untuk mem­
per­tahankan tanah sangat sulit untuk ditembus karena semua
ang­gota sukunya kuat, maka mulailah dicari celah dengan me­
lakukan jurus “pecah belah” sehingga lahirlah beberapa suku
yang baru dengan pembagian tanah yang telah dibagi pula.
Namun jurus “pecah belah” bukan terjadi sekali tapi tetap akan
terjadi setiap ada perlawanan, dengan demikian kekuatan suku
akan semakin kecil … ketika sebuah perjuangan lahir hanya da­
ri clan (suku) kita harus akui bahwa itu sangat mudah untuk
di­tem­bus, dan itu sengaja ditimbulkan. Sejarah membuktikan
kita hanya berasal dari nenek moyang yang sama pada masa
“sibela siberi dan sipeu”. Itu yang harus kita ceritakan pada
anak cucu kita, karena banyak orang yang sengaja menghalangi
ter­wu­judnya kekuatan Masyarakat Adat. Ada sebuah filosofi
yang mengatakan, “Orang yang tidak mempertahankan haknya
adalah budak.”13

Kutipan panjang tajuk Puailiggoubat membawa kita pada gam­


bar­an bagaimana perjuangan politik diciptakan di kalangan cendekia
Men­tawai. Mereka sangat menyadari bahwa orang Mentawai sendiri
meng­al­ ami fragmentasi dan mudah untuk “dipecah-belah” oleh ke­
lo­mpok dari luar yang ingin menguasai akses dan kontrol terhadap
ta­nah. Sangat disadari bahwa bahaya bagi perjuangan politik orang
Mentawai juga terkandung dalam kelemahan internal mereka sendiri
yang mengalami konflik sepanjang sejarah mereka sendiri. Kelemahan
ini bukanlah rahasia lagi karena banyaknya publikasi dan penelitian.
Aktivis Mentawai menyadari bahwa ini adalah perkara yang harus
mereka selesaikan. Usaha untuk membangun solidaritas politik dan

13 Puailiggobuat Edisi 02, Juni 2001. Seluruh kutipan dicantumkan seperti aslinya.
264 Berebut Hutan Siberut

ke­satuan ini adalah sebuah perjuangan politik yang sangat berat.


Untuk mencapai titik solidaritas yang diinginkan, tajuk rencana
Puailiggoubat mengajukan ideologi genealogi bagi sebuah platform
per­juangan politik. Istilah sibela siberi dan sipeu14 merujuk pada sua­
tu waktu immemorial, di mana orang Mentawai masih dalam ke­lu­
ar­ga yang bersatu dan belum terpecah menjadi uma-uma atau klan-
klan. Di sini, identitas dan asal-muasal dijadikan sumber daya politik.
Peng­gunaan identitas genealogi pada saat sibela siberi sipeu sebagai
ideo­logi digunakan dengan cara melawan arus sejarah di mana orang
Men­tawai sendiri sepanjang waktu telah bermigrasi, berkonflik, me­
mi­sah­kan diri, dan terfragmentasi dalam beragam uma-uma yang hi­
dup sa­ling independen.
Penggunaan identitas genealogis juga memberi bobot suara po­li­
tik bagi pembentukan identitas orang Mentawai dan pihak luar. Ideo­
lo­gi asal-usul ini bertujuan membangun kesatuan politik dan mem­be­ri
kesadaran baru atas perjuangan politik orang Mentawai yang me­le­
wati kepentingan masing-masing uma atau suku. Separasi identitas
ini me­lan­car­kan wacana bahwa orang Mentawai berada dalam oposisi
de­ngan pihak luar. Penggunaan wacana ‘kita/kami dengan mereka’ bu­
kan­lah hal baru dalam perjuangan politik. Strategi ini mudah dipakai
un­tuk menarik batas yang jelas antara siapa yang tertindas dan siapa
yang me­nin­das. Dengan strategi ini, Puailiggoubat (dan kalangan
cen­de­kia Mentawai) akan mudah menarik simpati dan membangun
alian­si. Pihak luar yang menjadi lawan pun mudah diidentifikasi.
Melalui penggunaan wacana tanah dan hutan, tidak lain dan tidak
bu­kan, si penindas adalah negara atau perusahaan kayu. Pemerintah
dan perusahan kayu telah merusak lingkungan dan tatanan ke­bu­da­
ya­an. Kecaman terhadap pemerintah seperti yang dipaparkan Pua­
ilig­goubat bukanlah suatu yang baru. Setiap gerakan sosial-po­li­tik
me­mer­lu­kan mitos dan usaha untuk melebih-lebihkan situasi, me­
ne­gas­kan kesatuan identitas, mendefinisikan musuh bersama, dan
me­ne­kan­kan tujuan. Dalam konteks ini, narasi tentang masyarakat
yang me­mi­liki kearifan tradisi namun tertindas oleh keserakahan per­
u­sahaan kayu dan pemerintah, menjadi alat untuk memobilisasi ak­si
ko­lek­tif di Siberut. Penyederhanaan seperti ini bukan karena ke­te­le­

14 Terjemahan harfiahnya ‘[pada saat sebelum] perpecahan manusia dan pembagian buah si peu’. Istilah
sibela siberi dan sipeu memiliki makna yang penting bagi orang Mentawai karena pada saat itu orang
Mentawai belum hidup terpisah dalam uma-uma dan belum berkonflik akibat pembagian buah si peu
(sejenis mangga).
Pembentukan Ulang Identitas 265

dor­an atau akibat data yang tidak memadai, akan tetapi sengaja di­la­
ku­kan untuk mengecam pandangan pemerintah atau kalangan luar
yang juga melakukan penyederhanaan serupa terhadap gaya hi­dup
masyarakat Mentawai.
Penyederhanaan tentang masyarakat adat Siberut bergerak me­
nuju bidang-bidang lain yang saling berkaitan, misalnya dengan wa­
cana keanekaragaman hayati. Citra tentang orang Siberut yang di­gu­
na­kan dalam gerakan masyarakat adat saling menguatkan dengan
pe­nye­der­ha­na­an citra sebagai masyarakat pecinta lingkungan. Celah
ge­rak­an masyarakat adat dan citra yang digunakan oleh gerakan ling­
kung­an juga dengan baik dimanfaatkan oleh warga Siberut sendiri.
Pen­du­duk Siberut yang paling keras mengecam gerakan pelestarian
alam atau ide-ide tentang konservasi akan suka rela menyatakan ada­
nya kaitan antara budaya Mentawai dengan pengelolaan sumber da­ya
berkelanjutan. Kepercayaan leluhur dan adat Mentawai yang mem­
be­ri penekanan kepada keselarasan, keseimbangan—meskipun da­
lam konteks dan sejarah yang berbeda—dibicarakan kembali se­ba­gai
bentuk ekspresi yang memberi jaminan pengelolaan sumber da­ya alam
keberlanjutan. Penghargaan, harapan, dan anjuran untuk meng­gu­na­
kan dan menghargai wacana pengetahuan lokal dari publikasi media
massa, jurnal-jurnal ilmiah, dan slogan pembangunan, memberi celah
ba­gi aktivis gerakan adat untuk menemukan sumber-sumber klaim
po­litik yang baru. Celah ini tidak dipandang secara sederhana sebagai
tiruan dari apa yang disebut sebagai indigenous environmentalist (Li
2000). Lebih dari sekadar menerima secara pasif, orang-orang Siberut
menggunakan celah itu sebagai bagian dari usaha-usaha untuk me­na­
rik batas-batas identitas, menantang keterbatasan pemerintah, mem­
per­luas kebebasan politik dan budaya (Eindhoven 2002), dan mem­
bu­ka kemungkinan untuk mobilisasi politik dan memperkuat klaim
me­re­ka atas akses terhadap sumber daya hutan yang mereka miliki.
Terlepas dari banyak penyederhanaan, Puailiggoubat me­ru­pa­
kan media penting yang berperanan dalam pembentukan identitas
Men­ta­wai. Puailiggoubat merupakan media cetak pertama yang di­
dis­tri­busikan ke seluruh kepulauan itu. Sebelumnya, tidak ada media
ce­tak yang ditulis oleh orang Mentawai dan berisi berita-berita dan
to­pik tentang Mentawai. Pengunaan nama Puailiggoubat sendiri,
dipilih dengan cermat. Memiliki arti “cermin diri” dan merujuk pada
perilaku ular yang menggunakan air sebagai cermin untuk menangkap
mangsanya, Puailiggoubat menjadi pasikat (perumpamaan) sikap
266 Berebut Hutan Siberut

Gambar 13. Kegiatan penguatan hak-hak masyarakat adat (Puailiggoubat).

un­tuk mawas diri bagi masyarakat Mentawai. Melalui Puailiggoubat,


orang Mentawai mengetahui informasi apa yang terjadi di seluruh ke­
pu­lau­an mereka, kebijakan-kebijakan pemerintah, dan pendapat se­
sa­ma orang Mentawai atas kebijakan pemerintah. Mereka terhubung
de­ngan orang Mentawai lainnya di tempat yang jauh dan tidak mereka
ke­nali. Pada edisi-edisi perdananya, Puailiggoubat disebar secara
gra­tis ke seluruh Kepulauan Mentawai. Dukungan pendanaan dari
lu­ar (CEPF 2006) dan jaringan sosial yang dipunyai YCM di desa-
de­sa mem­bu­at Puailiggoubat bisa didistribusikan secara meluas.
Pe­ran­an me­dia cetak dalam membangun bangsa sebagai komunitas
yang di­­ba­­yang­­kan (imagined communities) (Anderson 1983), da­pat
diberlakukan bagi orang Mentawai. Dengan informasi dari Pua­ilig­
gou­bat, orang Mentawai dapat merasakan “Mentawai yang di­ba­yang­
kan”.

Identitas, Adat, dan Akses terhadap Hutan


Peristiwa Rogdok menjadi sebuah contoh bagaimana akses ter­
hadap sum­ber daya kerap ditentukan oleh keanggotaan dalam grup
sosial atau identitas sosial tertentu (Berry 1993). Banyak masyarakat
Pembentukan Ulang Identitas 267

lokal meng­gu­na­kan identitas untuk memobilisasi dukungan dan usaha-


usa­ha untuk mengajukan agendanya. Misalnya, istilah “penduduk pri­
bu­mi” atau “putra daerah” cukup banyak digunakan sebagai alat un­tuk
merebut kesempatan kerja atau meningkatkan daya saing ke­kua­sa­an
pascapenerapan otonomi daerah. Bagi banyak kelompok ma­sya­ra­kat
di Indonesia, tanah diakui memiliki arti penting secara so­sio-religius
yang terkait identitas mereka (Barber, Johnson, dan Hafild 1994;
Lynch dan Talbot 1996). Negosiasi terhadap akses atas hu­tan tidak
hanya melalui perjuangan mendapatkan pengakuan resmi negara atas
hak-hak masyarakat tertentu akan tetapi juga melibatkan negosiasi
tentang makna, nilai, dan identitas sosial (Berry 1993: 3; Li 1996).
Identitas sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan bergeser se­pan­jang
waktu. Seperti yang disarankan oleh Gray (2003: 102), identitas selalu
dinamis, dibentuk, dan terbentuk kembali secara individual maupun
sosial, dan dipengaruhi oleh pengalaman kultural tertentu. Di Siberut,
produksi dan re-produksi identitas merupakan landasan dari berbagai
klaim atas akses terhadap hutan.

Idealisasi dan Esensialisme Adat?


Sebelum membahas perihal identitas masyarakat adat dan k­a­
itan­nya dengan klaim akses dan kontrol terhadap hutan, akan ter­le­
bih da­hu­lu didiskusikan pandangan mendasar mengenai wacana adat
di In­do­ne­sia. Membicarakan urusan adat, secara khusus harus men­
diskusikan is­ti­lah “adat” karena wacana adat di Indonesia memiliki
se­jarah ter­sen­diri (Li 2000). Kata “adat” tidak memiliki akar dari
salah satu ba­ha­sa yang ada etnis di Indonesia, melainkan dari bahasa
Arab adda, yang berarti “menjumlahkan, menghitung, menyebutkan
sa­tu-sa­tu, mengingat” yang mengandung pengertian “pengulangan”
atau “ke­bia­sa­an”. Istilah “adat” di Indonesia memiliki sejarah legal
dan politik yang panjang dan konsep ini digunakan untuk banyak
hal (Burns 1999: xi). Berkaitan dengan gerakan indigenous people,
pengertian adat di Indonesia memiliki makna dan pengertian yang
benar-benar berbeda de­ngan harapan dan asumsi serta definisi ten­
tang masyarakat adat yang ber­edar secara luas di dunia (Li 2001: 651;
2000).
Kebanyakan penduduk Indonesia menggunakan istilah “adat”
un­tuk menyebut hukum-hukum lokal, kesepakatan ritual, aturan-
atur­an pernikahan, ekspresi budaya seperti pakaian adat, tari-tarian,
dan ben­da-benda yang diproduksi oleh masyarakat tertentu dan ciri
268 Berebut Hutan Siberut

ber­ba­gai interaksi sehari-hari (cara menyapa, minum, makan, dan


lain-lain). Selain itu, istilah ini juga digunakan dalam sistem denda-
men­den­da yang dikembangkan raja-raja di masa pra-kolonial untuk
menghindari dan menyelesaikan konflik atau untuk meningkatkan
k­ekuasaan. Istilah adat paling sering digunakan untuk menjelaskan
ke­khasan lokal. Misalnya, keris merupakan ciri dari adat Jawa, se­_
mentara mandau adalah ciri dari adat Dayak. Dengan demikian, adat
memiliki arti yang sangat luas dan dan bervariasi, serta menyangkut
peristiwa sehari-hari. Tidak ada seorang pun di Indonesia yang sama
sekali berada di luar atau tanpa adat (Tsing 1998). Umumnya, istilah
adat melekat pada identitas individual yang tergabung ke dalam etnis
tertentu atau menempati daerah atau tempat tertentu atau variasi
keduanya. Misalnya, orang Jawa yang merantau ke Kalimantan akan
diacu memiliki adat Jawa. Dan antara sesama orang Jawa yang ada
di Yogyakarta dan daerah Surabaya akan disebut memiliki adat yang
berbeda, antara adat Jawa Mataram dan adat Jawa Pesisir.
Penggunaan istilah adat di Indonesia ini diduga sangat diwarnai
oleh perspektif kolonial. Beberapa kritikus paling gigih menyebutkan
bah­wa perspektif tentang adat yang dibawa oleh sarjana kolonial Be­
lan­da sebagai suatu unit budaya yang memiliki batas yang jelas sa­ngat
di­pe­ngaruhi pandangan romantik Eropa yang berakar dari kon­sep Jer­
man ten­tang esensi masyarakat pribumi (volksgeist) melalui pemikir
Von Sa­vig­ny, Muller, atau Ernest Renan (Burns 1989; Bourchier
2007: 26, 55). Pemerintah Belanda menggunakan perspektif khusus
me­­nge­nai adat tersebut untuk memungkinkan kebijakan-kebijakan
ko­lonialnya; istilah ‘adat’ dipakai untuk menamai praktik kehidupan
yang bersifat lokal. Karena kesulitan mengatur masyarakat jajahannya,
Be­lan­da­—ditopang pemikiran Van Vollenhoven, seorang sarjana hu­
kum dari Leiden—mengakomodasi masyarakat jajahannya sebagai
ma­sya­ra­kat hukum adat. Kategori ini menopang teknik pemerintahan
karena berfungsi sebagai sarana koordinasi masyarakat yang ter­pen­
car-pen­car dan independen di seluruh kepulauan nusantara (Burns
1999: 37). Ini adalah sebuah penemuan teknologi penguasaan ter­ha­
dap masyarakat pada masa kolonial akhir (Li 2007: 48-51). Be­lan­da,
me­ne­mu­kan konsep adat ini untuk membuat pemerintahan po­li­tik
yang didasarkan atas pembedaan etnis (Bourchier 2007: 43). Pe­me­
rin­tah Belanda melakukan kodifikasi adat, hukum-hukum adat, dan
ke­bia­sa­an penduduk lokal, serta menetapkan batas-batas masyarakat
yang di­se­but sebagai “penduduk lokal” (Burns 1989; Tsing 1998).
Pembentukan Ulang Identitas 269

Pa­ra­dig­ma ini, meskipun sering diwarnai kritik dan penyangkalan,


ironisnya dilanggengkan pemerintahan pascakolonial.
Aktivis hak-hak masyarakat adat, entah disengaja atau tidak, se­
di­kit atau banyak terpengaruh atau menggunakan pandangan tentang
adat da­lam perspektif ini. Pengertian tentang adat bagi gerakan adat
le­bih de­kat kepada pemikiran adat sebagai tradisi dan esensi lokal
yang meng­gam­bar­kan keanekaragaman satu kelompok sosial dengan
ke­lom­pok yang lain. Ciri-ciri masyarakat adat, misalnya, diacu de­
ngan me­non­jol­kan ciri-ciri gaya hidup tertentu, kekhasan tindakan
bu­da­ya tertentu, keberagaman dan keunikan yang beraneka ragam,
dan orien­ta­si praktik-praktik produksi terhadap pelestarian alam (Li
2002: 677). Adat, dengan demikian, dimaksudkan lebih dipandang
se­ba­gai sesuatu yang stabil, koheren, otonom, dan hasil konsesus lo­
kal yang homogen yang dimiliki kelompok suku atau sosial tertentu.
Adat ke­mu­dian diidentikkan dan terhubungkan secara kuat dengan
pen­du­duk lokal di wilayah tertentu. Kerapkali, adat menempati posisi
is­ti­me­wa bila dilihat sebagai sesuatu yang esoteris dan suci (Li 2010)
yang men­jadi pedoman perilaku yang benar bagi masyarakat lokal
ter­tentu.
Ciri-ciri adat pada masyarakat lokal sangat kuat digunakan untuk
mem­beri tekanan pada bentuk-bentuk ideal kehidupan (Burns 1989).
Tsing (1998), dalam kajiannya di Pegunungan Meratus, Kalimantan
Se­la­tan, telah menentang pandangan yang demikian dengan me­nya­ta­
kan bahwa adat, yang sering diartikan sebagai keteraturan dan tradisi,
merupakan sesuatu yang kompetitif dan merupakan hasil dari negosiasi
yang dipraktikkan sehari-hari. Adat dapat bertahan sepanjang waktu
bukan karena kestabilan dan esensinya akan tetapi karena ditantang,
di­rong­rong, dipertahankan, dan diingkari secara ad-hoc (Tsing 1998:
172). “Adat melekat pada kelompok tertentu akan tetapi senantiasa
ber­geser,” demikian Tsing (1998:221) memberi ungkapan yang sangat
te­pat dan mewakili proses negosiasi adat. Meskipun ada kesepakatan
me­ngenai aturan-aturan apa saja yang boleh dan tidak boleh tentang
pe­doman perilaku yang benar-benar dianggap adat, adat harus secara
ber­ke­si­nambungan ditemukan kembali. Keberlangsungan perkara
adat me­ru­pakan hasil dari ketaatan dan pelanggaran individu terhadap
atur­­an yang berlaku (ibid).
Di Siberut, proses penyaringan kompleksitas praktik kehidupan
men­ja­di bentuk ideal juga berlangsung intensif. Dalam kehidupan se­
ha­ri-ha­ri, misalnya, kompleksitas dan persaingan klaim-klaim atas
270 Berebut Hutan Siberut

ta­nah dan hutan oleh uma-uma memiliki hierarki dan konflik sendiri.
Atur­an adat mengenai tanah dan hutan secara abstrak dijunjung ting­
gi, tetapi aturan tersebut didialogkan dan dipraktikkan secara kom­
pe­ti­tif. Meskipun ada kesepakatan mengenai aturan-aturan mengenai
ta­nah, aturan-aturan tersebut secara berkesinambungan harus di­per­
ten­tang­kan dan diciptakan kembali.
Banyak aktivis di Mentawai tidak melihat apa yang disebut adat
ter­se­but sebagai selalu bersifat esensialis. Seperti yang dijelaskan pa­
da Bab 3, beberapa aturan setempat mengenai penguasaan dan pe­
man­fa­at­an hutan mudah dikenali sebagai adat, tetapi secara alamiah
ti­dak selalu berkaitan dan memberi manfaat bagi kelestarian alam
dan kehidupan yang harmonis. Karena digunakan sebagai sarana per­
ju­ang­an politik untuk mengembalikan hak-hak orang Siberut, pa­ra
aktivis kebanyakan menggambarkan versi idealis dan romantik da­
ri adat, yaitu sebagai tradisi agung dan mulia serta selaras dengan
alam. Ver­si ini memanglah mudah untuk digunakan sebagai wacana
tan­ding bagi gagasan pembangunan dan kekuasaan pemerintah yang
ti­dak memberi ruang bagi masyarakat Siberut dalam mendapatkan
akses terhadap sumber daya alam. Dengan cara seperti ini, adat lebih
mudah dipahami sebagai sesuatu yang murni dan bersifat mulia, yang
dimiliki oleh orang Mentawai. Adat berasal dari kenyataan hidup
sehari-hari, kemudian disusun dan diangkat sebagai hukum tak tetulis
untuk ditegakkan dan dipercayai. Alhasil, adat dihubungkan dengan
suatu kebaikan yang bersifat moral yang melekat pada kelompok
masyarakat Mentawai.
Idealisasi ini digunakan untuk mendukung perjuangan politik.
Ba­gi aktivis dan elite-elite gerakan sosial di Siberut, setiap anggota ma­
sya­ra­kat Mentawai selalu dirujuk sebagai pemegang adat yang teguh
dan mantap. Penggambaran ini dipakai untuk membedakan orang
Men­ta­wai dari orang lain. Idealisasi adat yang melekat pada orang
Men­ta­wai ini lebih menyerupai apa yang diinginkan dan ditetapkan
oleh agenda dari luar, baik atas nama konservasi maupun gerakan
glo­bal ten­tang pengakuan hak-hak pribumi. Dengan menggunakan
adat se­ba­gai istilah tunggal dalam menggambarkan ciri penduduk
Si­be­rut, maka wacana adat adalah sebuah bangunan koheren yang
co­cok dengan keinginan global tentang suku-suku yang bijak na­
mun ter­an­cam perusakan dari luar. Selain itu, dengan rumusan adat
yang mudah dikenali sebagai sumber daya politik dari tingkat glo­bal,
wacana adat juga menjadi alat bagi aktivis Mentawai untuk men­ca­ri
Pembentukan Ulang Identitas 271

du­kung­an sumber daya di tingkat global. Dengan melakukan ideali­sa­


si itu, masyarakat Siberut dapat membangun aliansi di tingkat glo­bal
dan para pengusungnya dapat memobilisasi sumber daya, ba­ik so­si­
al maupun ekonomi, baik untuk kepentingan perjuangan atas na­ma
adat maupun kepentingan diri mereka sendiri. Dengan sua­tu cara
lain, wacana Adat juga turut mengkatalis tuntutan elite-elite ter­di­dik
Mentawai kepada Pemerintah Provinsi Sumatra Barat un­tuk mem­be­
ri­kan otonomi bagi Kepulauan Mentawai. Otonomi ini diwujudkan
da­lam pemisahan Kepulauan Mentawai dari Padang Pariaman dan
mem­ben­tuk kabupaten tersendiri.
Idealiasi ini, lambat laun, juga ditiru dan diikuti masyarakat Si­
be­rut sendiri. Untuk berhadapan dengan perusahaan kayu, mereka
me­nam­pil­kan diri sebagai masyarakat yang punya adat-istiadat da­
lam me­me­lihara lingkungan—karena itu menjadi bagian penting dari
iden­ti­tas sebagai orang Mentawai. Tampilan sebagai subjek yang pe­
du­li terhadap lingkungan ini meningkatkan posisi tawar mereka da­
lam ne­go­sia­si dengan perusahaan kayu. Di hadapan elite konservasi
yang ting­gal di perkotaan, yang hidup jauh dari gaya hidup Mentawai,
ma­sya­ra­kat Siberut mengidentifikasi diri sebagai pemelihara adat
yang te­guh karena alasan-alasan etnisitasnya. Artinya, para aktivis
dan se­ba­gi­an masyarakat Siberut sendiri secara sengaja memetakan
ma­sa­lah, menyaring data, dan menyusun pilihan-pilihan serta me­
nge­sah­kan bentuk-bentuk ideal yang kemudian disebut sebagai adat
un­tuk kepentingan tertentu.
Idealisasi ini terjadi karena faktor-faktor politik dari sebuah ge­
rak­an yang menggunakan istilah adat untuk menjadi lawan ba­gi ke­
bi­jak­an pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam da­ri pe­
me­rin­tah atau perusahaan kayu yang tidak tepat. Idealisasi adat bi­sa
digunakan untuk berbagai macam kepentingan. Dalam kon­teks Si­be­
rut, ia bisa digunakan untuk mengecam agenda kon­ser­va­si, se­ka­li­gus
agenda eksploitasi. Wacana adat juga dapat di­gu­nakan se­ba­gai cara
untuk menantang kebijakan pemerintah dan menjadi sum­ber daya
untuk menuntut otonomi politik yang lebih luas. Di sa­at yang ber­sa­
ma­an, wacana adat bisa menuntut perlindungan pe­me­rin­tah se­ka­li­
gus memprotes kebijakannya. Idealisasi adat ini se­ring­ka­li di­gu­na­kan
untuk menapis kepentingan tertentu. Dengan me­nem­pat­kan adat
pada pusat argumen tentang hak, terdapat bahaya besar un­tuk me­
ne­tap­kan asal-usul genetik maupun tempat sebagai sumber ru­juk­an
ten­tang hak kolektif (Davidson 2010). Situasi ini juga berisiko un­tuk
272 Berebut Hutan Siberut

mem­beri harapan terlalu besar pada lembaga-lembaga adat yang di­


kon­struk­si­kan, melakukan romantisisasi proses adat tanpa melihat
pro­ses historisnya, dan mendorong interpretasi statis tentang adat
un­tuk memecahkan masalah-masalah sehari-hari (Li 2010).

Klaim Adat dan Klaim Hutan


Sebagaimana dipaparkan pada Bab 3, hutan di Siberut merupa­kan
ba­gi­an integral dari identitas, sejarah lokal, silsilah keluarga, dan bio­
grafi yang biasa digunakan oleh individu untuk mencapai tujuan-tuju­
an tertentu. Terkait adat, penduduk Siberut sering mengacukannya
de­­ngan tindakan praktis sehari-hari dalam berhubungan dengan hu­
tan se­per­ti berburu, berladang, atau mengumpulkan tumbuhan obat.
Akses terhadap hutan ditentukan oleh klaim terhadap aturan lo­kal
yang kini dinamai adat. Dalam pengertian aturan setempat, adat di­
ten­­tu­kan oleh sejarah asal-usul uma, klaim leluhur mereka ter­ha­dap
hutan, sejarah perkawinan, dan kematian, serta juga oleh kon­flik-kon­
flik dan pembunuhan di masa lalu yang melibatkan denda-mendenda.
Ke­kuatan ingatan dan sejarah lisan mengenai genealogi uma adalah
da­­sar yang menentukan kesahihan klaim terhadap hutan. Di setiap
jeng­­kal hutan di Siberut sudah ada siapa uma yang merupakan si­bak­
kat lag­gai, sipasijago (penjaga), atau hanya sekadar pendatang (si toi).
Klaim kepemilikan didapatkan melalui cerita lisan mengenai seja­rah
la­han, garis keturunan, dan hubungannya dengan pengakuan uma
lain.
Status kepemilikan tanah, batas-batas tanah, dan silsilah ke­lu­
ar­ga, secara luas diakui oleh orang Mentawai dan etnis tetangga serta
para migran. Akan tetapi, pengakuan yang paling mantap pun dapat
digugat apabila ditemukan bukti-bukti baru (misalnya, melalui cerita
lisan atau ditemukan genealogi uma yang baru) yang dapat menyang­
kal ke­sahihan klaim sebelumnya. Oleh karena itu, penguasaan ter­
hadap hu­tan dan tumbuhan serta hewan di atasnya tidak pernah
bersifat sta­bil dan permanen—kecuali di daerah tertentu. Perubahan
kekuatan klaim melibatkan sesuatu yang bersifat internal seperti
identitas dan sejarah uma, atau sesuatu yang berasal dari luar seperti
kekuatan po­li­tik, terbukanya pasar hasil hutan, atau peluang-peluang
baru ter­ha­dap kesempatan ekonomi; misal, proyek pembangunan atau
per­u­sa­ha­an kayu. Kasus Bat Mara yang telah di paparkan pada bab
3 men­ja­di contoh yang terjadi di seluruh Pulau Siberut. Pengertian
dan interpretasi tentang adat menjadi ruang bagi setiap anggota uma
Pembentukan Ulang Identitas 273

un­tuk mengklaim atau pun mengklaim ulang tanah dan hu­tan-hu­tan


me­re­ka. Klaim yang sama dapat digunakan oleh orang yang berbeda.
Ke­bia­sa­an sehari-hari orang Mentawai (berladang, mengambil rotan,
membiakkan babi) menjadi klaim bagi satu uma (Sapojai) untuk me­
nen­tu­kan klaim, tetapi klaim yang sama juga digunakan oleh uma lain
(Samoan Limu) untuk merebut klaim tersebut. Sangat jelas, pe­ngu­a­
sa­an pengetahuan (sejarah asal-usul) terhadap tradisi dan kebiasaan-
kebiasaan sehari-hari yang dengan mudah disebut sebagai adat, men­
ja­di dasar klaim dan memberi ruang bagi masing-masing uma untuk
me­nen­tu­kan akses terhadap hutan.
Peristiwa penyerbuan kapal pengangkut alat berat milik per­u­sa­ha­
an kayu di Saibi menunjukkan betapa rumitnya memahami orang Sibe­
rut, karena mereka ternyata bertindak sepihak dan langsung ber­kon­
fron­ta­si dengan para pemegang HPH. Mereka menggunakan cara-cara
ke­ke­ras­an dan intimidasi untuk menuntut kompensasi atas kerusakan
hu­tan yang telah diderita sebelumnya. Semenjak perusahaan kayu
ma­suk, ledakan komoditas kakao (Darmanto 2008a), dan intensifnya
pro­yek pemerintah yang membutuhkan tanah, komodifikasi tanah se­
ma­kin meluas dan konflik tanah semakin intensif. Menurut catatan
res­mi pemerintah Kecamatan Siberut Selatan, selama 2002-2007,
ter­da­pat 44 kasus tanah yang melibatkan 80 uma.
Dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga yang lebih lu­
as se­per­ti negara, pihak swasta, atau kelompok-kelompok etnis la­in,
klaim adat bermakna sangat luas. Klaim-klaim tentang adat ti­dak ha­
nya me­na­rik batas identitas dengan etnis lain, tetapi juga menguatkan
klaim ke­pe­mi­likan tanah. Klaim-klaim terhadap akses dan kontrol
ter­ha­dap tanah juga menguatkan kesadaran teritorial di tiap uma.
Da­lam proses ini, batas-batas sosial, teritorial, dan ekonomi yang ku­
rang lebih diabaikan di masa lalu (tentang siapa pemilik tanah, sia­
pa pen­da­tang, atau keturunan mana yang paling berhak atas ta­nah)
di­per­ku­at kembali. Batas-batas geografis milik uma menjadi le­bih
problematis bukan hanya karena batas-batasnya sendiri yang tum­
pang tin­dih, tetapi implikasi batas-batas tersebut bagi diferensiasi so­
sial dan kontrol kekuasaan atas sumber daya yang sekarang bernilai
eko­no­mis seperti tanah, pohon durian, sagu, atau sungai.
Masuknya wacana masyarakat adat telah membuka cakrawala po­
li­tik baru untuk mengekspresikan identitas. Diskursus global me­nye­
dia­kan informasi dan kesadaran baru terhadap kekuatan masyarakat
yang masih memiliki adat yang kuat. Gejala global ini sering diperanta­rai
274 Berebut Hutan Siberut

elite-elite Mentawai berpendidikan yang dengan cepat memanfaatkan


mo­mentum ini untuk merumuskan identitas dan menuntut otonomi
yang luas bagi orang Mentawai sekaligus memenuhi kepentingan po­
li­tik mereka. Kepentingan politik elite-elite ini yang terbesar adalah
me­nun­tut adanya otonomi Kepulauan Mentawai sebagai kabupaten
ter­sen­di­ri, terpisah dari Padang Pariaman. Interaksi antara pemimpin
lo­kal Mentawai dengan aktivis LSM dan dukungan media massa mem­
be­ri kesempatan kepada mereka untuk menyadari kekuasaan dan
ke­ku­at­an di balik wacana mengenai penyelamatan lingkungan dan
ma­­sya­ra­kat adat. Dengan menyadari situasi mereka sendiri dalam
dis­kursus yang tepat—citra dan peluang yang disediakan oleh wacana
global atau gerakan LSM nasional—penduduk lokal membuka ruang
untuk melakukan manuver yang memungkinkan tercapainya agenda
mereka sendiri (Tsing 1999; Li 2001).
Aktivis LSM dengan aktif mencitrakan orang Mentawai sebagai
ma­sya­ra­kat adat yang menjadi penjaga hutan. Kesan dekat dan hi­dup
secara erat dengan alam ini memudahkan masyarakat Siberut meng­
gu­na­kan ungkapan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber da­ya.
Masyarakat Siberut menggunakan istilah baru tersebut dan men­da­pat­
kan kekuatan sosial-politik yang lebih besar. Dalam konteks In­do­ne­sia,
istilah masyarakat adat sedikit berbeda dibandingkan dengan pe­nger­
ti­an umum gerakan adat di Asia (Gray 2003). Dengan hati-hati, Tania
Li menyebut istilah “tribal slot” untuk merujuk fenomena ini. ‘Celah’
yang bersifat kesukuan ini terbentuk secara khusus di tempat yang
khusus oleh sejarah yang khusus. Dalam segi-segi tertentu, gerakan
masyarakat adat di Indonesia melanggengkan strategi politik pem­be­
da­an. Berdasarkan strategi tersebut, gerakan masyarakat adat me­mi­
liki beberapa masalah pengakuan, terutama berkaitan dengan klaim
dan akses terhadap hutan (Li 2001). Masyarakat adat yang beruntung
dan mendapat dukungan luas, umumnya adalah mereka yang dapat
me­nye­suaikan diri dengan citra media massa, sesuai dengan kategori
ter­ten­tu yang tidak secara resmi ditetapkan, dan terutama sesuai de­
ngan fantasi tertentu yang diciptakan oleh gerakan lingkungan. Me­
re­ka umumnya adalah kelompok-kelompok khusus yang menarik
per­ha­ti­an nasional, tidak menuntut banyak, dan tidak mengeluarkan
tun­tut­an yang radikal yang dapat meruntuhkan dukungan dari lem­ba­
ga-lem­baga donor, LSM, dan juga pengakuan dari negara.
Sebagai sebuah perjuangan politik, gerakan masyarakat adat
mem­bu­tuh­kan simbol atau ikon tertentu untuk menarik perhatian yang
Pembentukan Ulang Identitas 275

lu­as, ser­ta meningkatkan dukungan dan citra masyarakat adat. Dalam


ka­sus Si­be­rut, masyarakat adat memiliki ikon sikerei (Eindhoven
2002). Se­per­ti yang digunakan oleh media-media terbitan LSM dan
elite Mentawai, citra tentang sikerei sangat kuat dan memenuhi segala
kebutuhan untuk menggambarkan identitas Mentawai. Seluruh aspek
kebudayaan Mentawai, dapat dikatakan, mudah tercitrakan dalam
wujud seorang sikerei. Strategi penggunaan citra sikerei oleh gerakan
masyarakat adat mengimbangi secara dialektis citra yang digunakan
pemerintah dan misionaris. Pada masa lalu, misionaris dan pemerintah
Indonesia menganggap sikerei sebagai simbol keterbelakangan, ke­
bo­doh­an, dan paganisme kebudayaan Mentawai yang menghalangi
pem­ba­ngunan. Program pemerintah melarang secara resmi praktik
peng­obat­an yang dilakukan oleh sikerei, membakar benda-benda
si­kerei, dan mengkonversi kepercayaan ini kepada agama monoteis
yang diakui oleh negara.
Simbolisasi citra sikerei yang dilakukan pejuang lingkungan dan
ak­ti­vis LSM sama-sama menyederhanakan identitas Mentawai dan
men­ciptakan kontradiksi perjuangan dalam menuntut pengakuan da­
ri masyarakat adat. Penggunaan citra sikerei adalah representasi di­
na­mi­ka orang Mentawai dalam merespons perubahan sosio-politik di
ting­kat global dan nasional, dan bagaimana cara mereka menghadapi
di­na­mi­ka eksternal dengan kekuatan internal. Klaim sebagai ma­sya­
ra­kat adat dan penjaga lingkungan digunakan untuk melawan tekanan
yang dirasakan oleh orang Mentawai terhadap kebijakan negara dan
eko­no­mi global yang terwujud dalam penguasaan jalur perdagangan
oleh para pendatang.
Orang Mentawai menjadi lebih aktif dalam menuntut penguasaan
secara formal sumber daya alam mereka. Mereka mulai berani ber­si­
kap kritis dan terbuka menuntut penguasaan terhadap hutan. Seperti
yang te­lah dipaparkan pada bagian sebelumnya, mereka mulai be­ra­ni
me­no­lak dan menerima kehadiran pembangunan negara secara ter­
bu­ka. Surat-surat penolakan dan dukungan terhadap taman na­sio­nal
dan perusahaan kayu sering muncul di media massa. Secara in­ter­
nal, mereka mulai mengumpulkan kembali sejarah lisan, in­for­ma­
si mengenai silsilah keluarga, dan sejarah penguasaan sumber da­ya
alam yang sangat penting dalam pengakuan terhadap sumber da­ya.
Ter­ben­tuk­nya dewan adat, meskipun terbatas di beberapa du­sun,
diharapkan semakin melengkapi usaha perjuangan untuk men­da­pat­
kan klaim terhadap sumber daya alam. Bagi aktivis dan pemimpin
276 Berebut Hutan Siberut

lo­kal, sangat penting bagi masyarakat Siberut untuk melakukan pe­


ngu­at­an budaya, termasuk dengan menciptakan kelembagaan adat
dan mendokumentasikan nilai dan aturan-aturan tradisional. Dengan
cara-cara menguasai adat dan tradisi, mereka berpikir akan dapat
mem­per­be­sar peluang untuk mengontrol sumber daya alam mereka
sendiri.
Meningkatnya perhatian terhadap adat Mentawai dan me­ning­kat­
nya kesadaran atas hak-hak terhadap hutan dimanifestasikan ke dalam
usaha-usaha untuk mendapatkan akses terhadap hutan. Penggunaan
wacana masyarakat adat tidak hanya menyediakan strategi diskursif,
akan tetapi juga membawa konsekuensi material bagi orang Siberut.
De­ngan identitas kolektif, mereka juga dapat memunculkan klaim
un­tuk terlibat dalam proyek-proyek pembangunan. Kelompok-ke­
lom­pok yang terorganisir ke dalam lembaga yang baru terbentuk se­
per­ti dewan adat, dapat mengajukan proposal pembangunan jalan,
air bersih, konstruksi jembatan, atau sekolah yang didanai oleh pe­
me­rin­tah. Masyarakat Siberut menemukan bahwa klaim terhadap
hu­tan berdasarkan atas hak-hak ulayat akan sangat menguntungkan
ba­gi mereka. Sebuah petikan wawancara kami dengan salah seorang
pen­du­duk memberi gambaran bahwa hak-hak masyarakat adat dan
identitas memiliki konsekuensi langsung terhadap keuntungan ma­te­
ri­al maupun nonmaterial:
Dahulu, sebelum kami mengetahui hak-hak ulayat atas tanah
kami dan memahami penebangan kayu, sebuah perusahaan
kayu telah beroperasi di desa kami. Mereka datang tanpa izin
dari kami. Kami tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
Akan tetapi, sekarang, kami sebagai pemilik tanah ini telah
mengetahui caranya. Kami memiliki kekuasaan menyerahkan
atau tidak menyerahkan hutan kami untuk perusahaan kayu.
Kami memiliki hak untuk memilih. Sekarang kami menyadari,
selama bertahun-tahun, pemerintah telah membohongi kami.15

Orang Siberut menyadari bahwa munculnya gerakan lingkungan,


per­juangan hak-hak masyarakat adat, dan melemahnya kekuasaan ne­
ga­ra yang otoriter dapat membuka kemungkinan baru. Mereka meng­
am­bil sikap yang taktis dan menarik agenda-agenda tersebut untuk
men­capai apa yang mereka inginkan. Pengakuan atas hak-hak pribumi
di seluruh dunia telah cepat merembes dan menjadi bagian integral
15 Wawancara dengan penduduk Rogdok, Juni 2005.
Pembentukan Ulang Identitas 277

un­tuk meningkatkan klaim terhadap adat di Siberut. Dengan cara ini,


orang Siberut meningkatkan posisi tawar terhadap orang-orang luar
yang akan mengeksploitasi hutan mereka. Kisah dari Saibi timbul da­
lam konteks dan sejarah tertentu dan berimplikasi pada munculnya
si­kap-si­kap dan perilaku baru orang Mentawai terhadap hutan. Pro­
tes-pro­tes yang dianggap gagal itu bukan sekadar mengungkapkan le­
dak­an gerakan konservasi, gerakan adat, atau kombinasi keduanya.
Le­bih rumit dari yang diperkirakan, protes-protes itu adalah sebuah
tak­tik untuk meningkatkan pengakuan (dan juga keuntungan) dari
pe­nge­lolaan sumber daya alam kepada mereka.
Sangat disadari kebijakan pemerintah seringkali mengeruk sum­
ber daya alam milik Siberut. Dalam proses ini, masyarakat men­da­pat­kan
keuntungan secara material dari keterlibatannya. Untuk me­ngu­at­kan
legitimasi terhadap klaim-klaim dan mendapatkan hak atas ke­pe­
mi­lik­an, se­cara internal, masing-masing uma menggunakan sejarah
asal-usul dan penguasaan tanah mereka. Akan tetapi, interpretasi
yang berbeda-beda dan konflik yang terjadi di masa lalu, yang tidak
pernah diselesaikan secara tuntas, menciptakan konflik baru di
lingkungan. Setiap ada kemungkinan penggunaan atau pemanfaatan
sumber daya alam atas nama pemerintah atau perusahaan kayu, hal
ini pasti diawali dengan serangkaian pembicaraan tentang asal-usul
tanah atau diskusi tentang klaim kepemilikan.
Masyarakat Siberut tidak memiliki pemaknaan dan interpretasi
yang tung­gal berkaitan dengan kata adat dan hutannya. Perbedaan
per­spek­tif atas nilai hutan menciptakan perspektif yang berbeda-beda
bagi orang Mentawai dalam menyikapi akses terhadap hutan. Untuk
sebagian orang, khususnya pejuang-pejuang lingkungan, hutan sangat
penting bagi keberlangsungan budaya, adat-istiadat, dan identitas
mereka, dan pembangunan di masa depan. Bagi sebagian yang lain,
hu­tan sangat penting bagi masa depan generasi dan keturunan me­
re­ka. Namun, sebagian lagi melihat hutan adalah sumber uang yang
hi­dup: sumber-sumber yang memungkinkan mereka meraih hasrat
ke­ma­ju­an.
Bab 7
Otonomi, Kekuasaan Baru,
dan Langgengnya Rezim Kayu

Gambaran Besar: Kebijakan Nasional


Kebijakan desentralisasi1 yang mulai diberlakukan sejak 1999 men­
ja­di titik balik pengelolaan hutan di Indonesia, termasuk di Si­be­r ut.
Ke­bijakan ini membawa semangat yang lebih menekankan pendekat­
an par­ti­si­patif dalam pengelolaan sumber daya alam. Semangat par­
ti­si­pa­tif tersebut dapat dilihat dalam sejumlah peraturan yang mem­
beri peng­aku­an terhadap hak-hak masyarakat. Beberapa UU merevisi
ke­bi­jak­an mengenai sumber daya yang sebelumnya sangat terpusat
dan top-down. Misalnya, amandemen kedua UUD 1945 Tahun 2000
(Pa­sal 18B) yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, UU
ten­tang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
ten­tang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hu­
kum Adat, dan UU tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang meng­akui hak-hak ulayat. Implementasi kebijakan-kebijakan
baru ini di­ha­rap­kan akan membawa transformasi penting terhadap
pola pe­nge­lo­la­an sumber daya alam yang selama ini tersentralisasi.
Banyak lembaga pembangunan, termasuk Bank Dunia, me­nya­
ta­kan bahwa krisis ekonomi di Indonesia disebabkan kurang me­ma­
dai­nya birokrasi terpusat dalam mengatur dan mengelola eko­no­mi
nasional (Tambunan 2000). Desentralisasi dipandang se­ba­gai resep

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, menyebutkan desentralisasi adalah sistem pemerintahan yang
lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 279

mujarab untuk mengobati masalah tersebut (World Bank 2001;


bandingkan Ribot 2002). Pernyataan resmi Bank Dunia meng­eks­pre­
si­kan optimisme bahwa desentralisasi adalah solusi bagi negara du­
nia ke­ti­ga.Tuntutan terhadap desentralisasi juga disebabkan oleh rasa
frus­tra­si yang muncul sejak lama akibat penguasaan dan pengelolaan
sum­ber daya secara terpusat oleh negara (Moeliono 2002). Penetapan
ba­gi hasil yang tidak adil dari ekstraksi sumber daya alam oleh pe­
me­rin­tah pusat di Jakarta (kebanyakan berorientasi Jawa) membuat
ma­sya­ra­kat setempat kehilangan akses terhadap tanah dan sumber-
sum­ber kehidupan (McCarthy 2004). Kondisi ini menyebabkan ba­
nyak aktor lokal bersuara keras meminta kewenangan lebih besar atas
dae­rah mereka sendiri.
Delegasi kewenangan ke daerah diharapkan bisa memberikan
ke­un­tung­an lebih banyak lagi ekstraksi sumber daya alam ke tingkat
lo­kal. Selain politisi, aktivis gerakan sipil mendorong pemberian oto­
ri­tas pengelolaan hutan ke kabupaten (Simon 2001; Bachriadi dan Lu­
cas 2002).2 Masyarakat sekitar hutan banyak direpresentasikan se­ba­
gai korban kebijakan pembangunan terpusat. Aktivis LSM meyakini
pe­me­rin­tah­an kabupaten akan lebih efektif dalam mengelola hutan
da­ri­pa­da pemerintah pusat. Menanggapi tekanan, pemerintah me­
ne­tap­kan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah/UU
Oto­no­mi Daerah. UU ini memberi wewenang otonomi kepada pe­me­
rin­tah kabupaten daripada pemerintah provinsi. Kebijakan ini men­
cer­min­kan sikap hati-hati dan sengaja dilakukan untuk melemahkan
po­li­tik separatis yang menguat di tingkat provinsi seperti Irian Jaya
dan Aceh (Resosudarmo 2002).
Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) menyetujui pemberian we­we­
nang kepada kabupaten untuk membangun daerah berdasarkan ke­bi­
jak­an sendiri melalui pembuatan peraturan daerah (Perda). Di bawah
ke­bi­jakan desentralisasi, pemerintah kabupaten dan provinsi menjadi
le­bih kuat dalam merancang dan mengatur alokasi penggunaan sum­
ber da­ya yang mereka miliki. Bersama keluarnya UU Otonomi Daerah,
pe­me­rin­tah Indonesia mengeluarkan UU No. 25 Tahun 1999 tentang
Per­im­bang­an Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Aturan
ini secara signifikan mengurangi subsidi keuangan pemerintah pusat

2 FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Indonesia), sebuah jaringan LSM yang terlibat dalam isu
kehutanan membuat rekomendasi untuk menghentikan pengelolaan hutan oleh pusat dalam pertemuan
rutin mereka pada 1999. Isu mengenai desentralisasi ini mengemuka pasca-1998. Simak perdebatan
mengenai isu ini dalam mailing list jaringan LSM, akademisi, dan birokrasi dalam FKKM forum.
280 Berebut Hutan Siberut

ba­gi pem­ba­ngun­an daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah ha­rus


me­me­nuhi kebutuhan pengeluaran rutin, menyediakan jasa dan in­fra­
struk­tur dari penghasilan daerah sendiri (Thornburn 2002; McCarthy
2004: 1205).
Implementasi kebijakan desentralisasi membawa tantangan ter­
sen­di­ri, terutama terkait pengelolaan sumber daya alam. Praktik eks­
ploi­ta­si terpusat telah menyusutkan banyak cadangan sumber daya
dae­rah. Untuk mendapatkan penghasilan sendiri dan membayar ong­
kos-ong­kos pemerintahan, kabupaten berusaha mendapatkannya dari
eks­ploi­tasi sumber daya alam yang tersisa. Di sisi lain, pemerintah
pu­sat masih enggan melakukan desentralisasi pengelolaan ini kepada
pe­me­rin­tah daerah secara penuh. Pusat hanya mengalihkan sebagian
kekuasaannya. Di kawasan yang memiliki nilai keanekaragaman hayati
tinggi, desentralisasi pengelolaan hutan bahkan dianggap menghalangi
inisiatif konservasi. Sebagian konservasionis beralasan, pengelolaan
sum­ber daya alam tidak bisa efektif dengan batas administratif. Ar­
gu­men­tasi pokok dari kalangan ini menekankan bahwa isu seperti
pe­ma­nas­an global, deforestasi, daerah aliran sungai, polusi udara re­
gio­nal, dan hilangnya keanekaragaman hayati melampaui batas-batas
te­ri­to­ri­al kabupaten.
Dephut menanggapi permintaan desentralisasi pengelolaan
hu­­tan dengan memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk
mem­­be­ri­kan izin Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) skala ke­
cil kepada individu atau koperasi untuk mengumpulkan atau me­ma­
nen produk hutan di bawah 1.000 ha.3 Pemerintah daerah di­be­ri­kan
wewenang menerbitkan Izin Pemanfaatan dan Pengolahan Ka­yu
(IPPK).4 Keputusan ini dimaksudkan sebagai insentif bagi ma­sya­ra­
kat setempat dengan tujuan dapat menghambat penebangan liar, me­
ngu­rangi konflik di tingkat lokal, dan mendorong masyarakat supaya
me­laporkan dan mengontrol penebangan ilegal (Christanty, Atje, dan
Roesad 2004).
Pemerintah pusat terkesan tidak siap untuk menghadapi kon­se­
kuen­si otonomi. Dephut tidak begitu sepenuhnya merelakan akses dan
kon­trol terhadap hutan diberikan kepada kabupaten. Dephut ber­alas­
an, desentraliasi menyebabkan eksploitasi berlebihan. Hasilnya, ke­bi­
jak­an menteri kehutanan seringkali kontraproduktif dengan kebijakan
de­sen­tralisasi (McCarthy 2007). Walaupun penebangan melalui IPPK

3 Keputusan Menteri No. 310 Tahun 1999.


4 Keputusan Menteri No. 538/KPTS-II/1999 mengenai Ijin Pemanfaatan Kayu.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 281

di­bo­leh­kan, menteri kehutanan tetap memegang kontrol hutan. UU


Ke­hu­tan­an yang baru (UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) me­
ne­rus­kan hubungan hierarkis dan melanggengkan kekuasaan pe­me­
rin­tah pusat dalam pengontrolan hutan. UU itu bertentangan dengan
Keputusan Menteri Kehutanan yang memberi izin bagi koperasi lokal
atau masyarakat dalam skema HPHH dan IPPK (ibid: 200-202).
Di tengah kebijakan yang bertentangan, pemerintah kabupaten
memanfaatkan peluang dengan mengeluarkan izin HPHH dan IPPK.
Alasan utamanya adalah meningkatkan pendapatan asli daerah. Be­
be­ra­pa daerah melegalkan aktivitas penebangan kayu yang dianggap
ile­gal oleh Dephut. Keluhan Menteri Dalam Negeri yang menyatakan
ribuan peraturan baru pemerintah daerah tidak sesuai dengan per­atur­
an yang lebih tinggi memberi petunjuk semrawutnya aturan pusat dan
dae­rah mengenai pengelolaan hutan.5 Pemerintah daerah di­ang­gap ti­
dak memiliki kapasitas mengatur perusahaan kayu yang me­mi­liki izin
(Moeliono 2005). Beberapa peneliti memberi bukti bah­wa de­sen­tra­
lisasi pengelolaan sumber daya alam secara dramatis jus­tru me­ning­
kat­kan laju kerusakan hutan di Indonesia (McCarthy 2002; 2004;
Thorburn 2002; Obidzinky 2004). Pada 2000, menteri kehutanan
me­na­rik kembali peluang kabupaten mengeksploitasi hutan dan me­
la­rang bu­pa­ti mengeluarkan HPHH dan IPPK baru sebelum rencana
in­duk ke­hu­tan­an pemerintah Indonesia selesai (Barr dkk 2001).6 Se­
ba­gi­an be­sar kepala daerah menolak keputusan ini, dengan alasan
izin itu te­lah meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal (McCarthy
2002: 873).
Strategi lain Dephut untuk melanggengkan kekuasaan atas hutan
ada­lah menetapkan dan memperbaharui status dan fungsi kawasan
hu­tan. Dalam kaitannya dengan hutan Siberut, Keputusan Menteri Ke­
hu­tan­an dan Perkebunan No. 422/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan
Ka­was­an Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Ba­rat
Seluas 2.600.286 Hektar dan Keputusan Menteri Kelautan dan Per­
ikan­an Republik Indonesia Nomor Kep.70/MEN/2009 tentang Pe­ne­
tap­an Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Pieh dan Laut di
se­ki­tar Provinsi Sumatera Barat, dapat dilihat sebagai upaya untuk te­
tap mengontrol kawasan hutan. Surat keputusan menteri tersebut di­

5 “Depdagri Menilai 7000 Perda Tidak Layak”, Kompas, 14 Agustus 2003.


6 Misalnya, Keputusan Menteri Kehutanan pada April 2000 mencabut dan membatalkan Keputusan
Men­teri 310 Tahun 1999 yang memberi otoritas kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin
HPHH.
282 Berebut Hutan Siberut

Tabel 5. Status dan fungsi hutan Pulau Siberut menurut


Keputusan Menteri Kehutanan No. 422/Kpts-II/1999
Fungsi Hutan Luas (ha)
Taman Nasional 190.500
Hutan Lindung -
Hutan Produksi Terbatas 42.050
Hutan Produksi Tetap 95.900
Hutan Produksi yang dapat dikonversi 74.450
APL -
Jumlah 403.300

ku­at­kan dengan revisi Rencana Tata Ruang/Wilayah Sumatra Barat.


Da­ri tabel di bawah ini tampak bahwa Siberut akan tetap diarahkan
un­tuk kawasan hutan produksi dan taman nasional. Status kawasan
hu­tan produksi dan taman nasional tidak memberi peluang bagi pe­
me­rintah daerah untuk mengelolanya.
Menurut menteri kehutanan periode 1999-2001, status hutan
pro­­duk­si ini mau tidak mau akan dikelola oleh HPH yang izinnya
di­keluarkan oleh Dephut. Ini tidak mengejutkan karena pada 1999,
Dep­hut menerbitkan izin HPH melalui konsep Land Grant College
ke­pa­da Universitas Andalas (yang dikelola dengan skema HPH biasa
oleh PT KAM) seluas 49.500 ha. Keputusan penerbitan izin ini sa­ngat
problematis karena izin AMDAL dari PT KAM tidak diterima oleh
pemerintah provinsi. Dua tahun setelahnya, menteri kehutanan ju­
ga memberi izin konsesi eksploitasi hutan Siberut seluas 45.500 ha
kepada PT SSS. Terbitnya izin konsesi untuk dua perusahaan kayu di
Siberut menjadi justifikasi bagi Dephut untuk melanggengkan kon­
trol terhadap hutan di era desentralisasi. Pemerintah pusat melihat,
ke­ber­ada­an hutan akan berisiko tinggi apabila tidak dikelola oleh ne­
ga­ra (dalam hal ini pemerintah pusat di Jakarta). Demikian halnya,
ji­ka hutan di Siberut berada dalam kondisi “tidak terkelola”, maka
akan berisiko tinggi untuk rusak. Pandangan Dephut ini dengan tepat
diwakili oleh pernyataan kepala BPK berikut ini:
Kerusakan hutan Siberut akan menyebabkan kerugian bagi ne­
ga­ra. Siapa yang akan mengontrol dan mengawasi hutan Siberut
pa­da masa sekarang ini? Hutan itu akan menjadi incaran pe­ne­
bang­an ilegal. Pemberian izin HPH adalah cara paling baik da­
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 283

Peta 5
Peruntukan hutan pulau siberut (1999-Sekarang)
284 Berebut Hutan Siberut

ri­pa­da membiarkannya tidak terkelola. HPH mudah kita awasi,


kon­trol dan kalau ada kesalahan kita bisa cabut izinnya. Di ma­
na-ma­na, HPH itu lebih baik daripada sistem yang diberikan
oleh bu­pa­ti. Kalau tidak diurus pusat, habis itu hutan Siberut.
Ne­ga­ra tidak akan mendapat-apa-apa.7

Pemerintah provinsi memberikan dukungan terhadap status pe­


nge­lo­la­an hutan Siberut di tangan pemerintah pusat. Gubernur Su­ma­
tra Barat secara eksplisit meminta menteri kehutanan mempercepat
ke­ha­dir­an HPH dan proses izin perusahaan perkebunan skala besar,
mes­ki­pun banyak kalangan menilai dukungan tersebut tidak tepat.8
Ter­li­bat­nya pemerintah provinsi dalam mendukung HPH dan per­
ke­bun­an skala besar semakin menguatkan posisi pemerintah pusat
ter­ha­dap pemerintah daerah. Bagi pemerintah provinsi, dukungan
ter­ha­dap pemerintah pusat akan memberi keuntungan karena HPH
akan memberi kontribusi langsung kepada pendapatan pemerintah
pro­vin­si melalui pembagian Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
Pemerintah Provinsi Sumatra Barat akan mendapatkan Rp2.000-
5.000/m3 dari kayu yang diambil dari hutan Siberut.

Otonomi Kepulauan Mentawai


Jauh sebelum penerapan otonomi daerah di Indonesia, tuntutan
men­ja­di­kan Kepulauan Mentawai otonom telah dirintis. Pada 1970-
an, Badan Otorita Pembangunan Kepulauan Mentawai (OPKM) per­
nah dibuat dan menjadi kepanjangan tangan Pemerintah Provinsi
Su­ma­tra Barat dan Kabupaten Padang Pariaman untuk menangani
pem­ba­ngunan di kepulauan tersebut. Akan tetapi, usaha ini tidak
ba­nyak membuahkan hasil. Proposal WWF (1980), walaupun ti­dak
secara eksplisit, juga menyarankan otonomi pengelolaan Ke­pu­lau­an
Mentawai sebagai cara untuk menghormati kebudayaan se­tem­pat.
Dengan mengkaji masalah-masalah lingkungan, Skephi me­nge­lu­ar­
kan beberapa rekomendasi perbaikan kondisi ekonomi-politik dan
ling­kung­an di Siberut. Salah satunya adalah memberikan wewenang
ke­pa­da orang Mentawai untuk mengelola dan mengatur wilayah me­
re­ka sendiri. Disebutkan, alasan mendasar pentingnya otonomi adalah
per­be­da­an budaya Mentawai dengan mayoritas penduduk Sumatra

7 Keterangan dari Dirjen BPK Dephut dalam pertemuan di Kantor Conservation International Indonesia,
21 September 2005.
8 Puailiggoubat, November 2002.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 285

Barat, selain fakta bahwa Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman


tidak memperhatikan kebutuhan penduduk Siberut (Skephi 1992;
Ano­nim 1990). Dari dalam, isu-isu mengenai otonomi daerah mulai
men­jadi topik intensif dalam diskusi-diskusi aktivis Mentawai sejak
per­te­ngahan 1990-an (Eindhoven 2002: 96).
Aktivis LSM, pelajar, dan elite-elite yang telah mengenyam pen­di­
dik­an di Padang melihat kebijakan otonomi daerah sebagai kesempatan
un­tuk mendukung perjuangan pemisahan Kepulauan Mentawai dari
Ka­bu­pa­ten Padang Pariaman. Ketidakadilan pembagian ekstraksi
sum­ber daya alam menjadi dasar tuntutan otonomi itu. Penebangan
hu­tan Siberut dinilai telah memberi manfaat yang besar kepada pe­me­
rin­tah Sumatra Barat tetapi sangat sedikit manfaatnya bagi penduduk
Men­ta­wai. Mereka meyakini otonomi akan membuka kesempatan ke­
pa­da “putra daerah” untuk berpartisipasi dalam ruang ekonomi-po­li­
tik yang lebih luas. Tuntutan otonomi juga diarahkan agar orang Men­
ta­wai semakin besar mendapat akses atau keuntungan dari ekstraksi
sumber daya alam. Otonomi adalah momentum bagi orang Mentawai
un­tuk merebut akses dan kontrol atas sumber dayanya.
Beberapa waktu menjelang perubahan politik nasional 1998, se­
jum­lah lembaga lokal, pelajar, dan elite terdidik, yang memiliki beragam
ke­pen­ting­an, bergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Men­
ta­wai (FKMM). Tujuan utama forum ini adalah mengadvokasi pe­mi­
sah­an Kepulauan Mentawai dari Kabupaten Padang Pariaman. Narasi
uta­ma yang diusung oleh FKKM adalah orang Mentawai merupakan
sub­jek eks­ploi­ta­si orang Minangkabau. Otonomi dianggap akan
meng­a­khiri “pen­ja­jah­an” Mentawai oleh orang Minangkabau dan di­
ni­lai bisa memberikan peluang melakukan self-determination atau
mem­­be­­ri­­kan otoritas untuk memerintah daerah sendiri.9
Gerakan di tingkat akar rumput juga terjadi. Ratusan petisi dan
su­rat dukungan pembentukan kabupaten baru ditandatangani pen­
du­duk Siberut. Surat-surat itu dikirim kepada semua tingkatan pe­me­
rin­tah. Pengiriman surat-surat itu lantas dilanjutkan dengan protes
ter­bu­ka, demonstrasi, maupun kampanye di tingkat lokal, regional,
dan na­sio­nal. Di Siberut orang-orang Mentawai membentuk Gerakan

9 Sebelumnya, Kepulauan Mentawai secara administratif berada di bawah Kabupaten Padang Pariaman,
yang berjarak 150 km dari Mentawai. Mayoritas penduduk, pejabat, dan pegawai kabupaten ini adalah
etnis Minangkabau.
286 Berebut Hutan Siberut

Ma­sya­ra­kat Mentawai (Geram).10 Mereka mengadakan unjuk rasa


dan kam­pa­nye ke desa-desa di seluruh Siberut sepanjang akhir 1998.
Serangkaian agenda diusung melalui protes itu, termasuk permintaan
pe­nu­run­an kepala desa dan camat yang dijabat oleh orang-orang non-
Mentawai, pencabutan izin perusahaan kayu, dan pemisahan Ke­pu­lau­an
Mentawai dari Kabupaten Padang Pariaman. Melalui protes ini, nuansa
identitas Mentawai sebagai suatu etnis yang berbeda di­te­gas­kan. Mereka
juga menuntut akses yang lebih besar terhadap pe­man­fa­at­an sumber
daya alam, proyek-proyek pembangunan, dan otonomi politik yang lebih
luas. Dalam sebuah demonstrasi di Muara Siberut, salah seorang peserta
membuat pernyataan seperti ini:

Kami menyatakan bahwa orang di luar Mentawai tidak layak


menjadi camat. Saat ini adalah waktu bagi kami, masyarakat
adat Mentawai, untuk mengatur daerah kami sendiri.11

Di tingkat nasional, elite-elite Mentawai yang di antaranya telah


men­jadi anggota DPRD atau bekerja di birokrasi Padang Pariaman dan
aktivis LSM, gencar melobi Departemen Dalam Negeri untuk men­du­
kung otonomi Kepulauan Mentawai. Mereka didukung oleh jaringan
ak­ti­vis di Jakarta dan dukungan saluran kekuasaan dari pejabat militer
yang berkepentingan dan memiliki kepedulian terhadap Mentawai. Ci­
tra Kepulauan Mentawai yang terbelakang dan marjinal menjadi fak­tor
penting bagi pemerintah untuk menyetujui pembentukan Ke­pu­lau­an
Mentawai. Pada 1999, DPRD Provinsi Sumatra Barat me­re­ko­men­da­si­kan
pembentukan Kepulauan Mentawai dengan tujuan un­tuk mempercepat
pengembangan dan akselerasi pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi.12 Lebih dari itu, ada harapan bahwa pem­ben­tuk­an Kabupaten
Kepulauan Mentawai akan meningkatkan keamanan nasional karena
kepulauan ini terletak di Samudera Hin­dia, batas terluar Indonesia di
wilayah perairan barat. Pada 12 Ok­to­ber 1999, Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) ad interim, Feisal Tan­jung, meresmikan pembentukan
Kepulauan Mentawai di Jakarta dan me­nun­juk Badril Bakar sebagai
Bupati. Keputusan Mendagri ini di­sam­but de­ngan suka cita di seluruh
Kepulauan Mentawai. Berita resmi ter­ben­tuk­nya Kabupaten Kepulauan
Mentawai tersiar hingga jauh ke pelosok Siberut.

10 Geram, dalam bahasa Indonesia berarti ‘marah yang tertahan’, marah yang hanya bisa diekspresikan
melalui ekspresi tubuh (mata melotot, tangan mengepal, raut muka mengeras, dll). Pemilihan akronim
Geram kemungkinan dipilih secara sengaja untuk menunjukkan ekspresi orang Mentawai atas situasi
politik dan ekonomi yang mereka hadapi.
11 Petikan orasi peserta demonstrasi Geram di Siberut Selatan. Laporan internal Geram (1998).
12 Noer B. Pamuncak dalam Puailiggoubat No. 2, Januari 2002.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 287

Namun, suasana setelah pembentukan kabupaten baru ini di­war­


nai dengan ketegangan, tarik-ulur kekuasaan, ribut-ribut, demonstrasi,
mo­bi­lisasi dukungan politik, dan tawar-menawar pembagian ke­ku­a­
sa­an. Hal ini dapat dilihat dari kecamuk perdebatan mengenai ka­rak­
ter dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mengisi jabatan bu­pa­ti
(Persoon 2002). Di Padang, hanya sehari setelah peresmian ka­bu­pa­
ten, puluhan anggota Ikatan Pemuda dan Pelajar Mentawai (Ippmen)
ber­un­juk rasa menolak keputusan pelantikan Badril Bakar sebagai ke­
pa­la daerah. Alasan utama (dan satu-satunya) adalah karena Ba­dril
Ba­kar berasal dari etnis Minangkabau.13 Beberapa organisasi di Si­be­
rut menerbitkan surat protes menolak keputusan penunjukan Badril
Bakar. Dalam pernyataan resmi mereka, Kepulauan Mentawai harus
di­pimpin oleh orang Mentawai.14
Kehadiran Badril Bakar sebagai Bupati dianggap sebagai oto­no­
mi yang tidak sempurna. Sepanjang 2000-2001, protes-protes ter­ha­
dap Mendagri, Gubernur, dan DPRD Sumatra Barat terus di­la­ku­kan
Ipp­men, FKMM, Geram, mahasiswa, dan tokoh-tokoh ma­sya­ra­kat
Men­ta­wai yang lain. Demonstrasi, petisi, dan lobi-lo­bi politik di­fo­
kus­kan untuk membatalkan keputusan Mendagri me­nge­nai peng­ang­
kat­an Badril Bakar. Protes-protes ini diwarnai upaya pem­bu­nuh­an
karakter Badril Bakar dan pernyataan keberatan ter­ha­dap dominasi
etnis Minangkabau. Gencarnya protes, surat-surat pe­no­lak­an, dan
lobi terhadap Mendagri yang dilakukan jaringan gerakan oto­no­
mi Mentawai akhirnya menemui hasil. Pada 6 April 2001, Men­da­gri
mengeluarkan keputusan pemberhentian Badril Bakar dan me­nun­juk
Gubernur Sumatra Barat sebagai pejabat bupati sementara. Se­lan­jut­
nya, Gubernur menyerahkan jabatan pejabat bupati kepada Antonius
Samangilailai, Camat Siberut Selatan yang berasal dari Sipora.15
Pilihan atas Antonius ini dapat dilihat sebagai bentuk kompromi
po­li­tik pemerintah provinsi terhadap tuntutan orang Mentawai. Pe­
nun­juk­an Antonius merepresentasikan kebijakan untuk memberi pe­
lu­ang bagi putra asli Mentawai. Akan tetapi, penunjukkan ini tidak
se­mu­lus rencana awal karena Antonius dianggap sebagai pejabat
pro-Padang Pariaman (Puailiggoubat 2001). Penunjukan Antonius

13 Puailiggoubat No. 2 Januari 2002.


14 Wawancara dengan ketua Ippmen periode 2000-2001.
15 Keputusan ini tidak diterima Badril Bakar. Saat pelantikan Antonius Samangilailai pada 17 April 2001,
Badril Bakar memperkarakan Mendagri ke PTUN Jakarta Timur. Badril Bakar memenangkan gugatan
ini. PTUN Jakarta Timur memerintahkan Mendagri dan Otoda untuk menunda pemberhentian Badril
Bakar. Tetapi Gubernur mengabaikan keputusan ini.
288 Berebut Hutan Siberut

ini ju­ga dipandang untuk memudahkan pengusaha-pengusaha ka­


yu men­da­pat konsesi penebangan kayu di Mentawai. Selain itu, An­
to­ni­us juga beragama Islam—agama mayoritas etnis Minangkabau
dan minoritas di Mentawai (Eindhoven 2007: 101). Sentimen agama
menambah beban kecamuk politik otonomi. Antonius dilihat bukan
se­ba­gai representasi Mentawai secara penuh. Sebagian dirinya di­ang­
gap mewakili Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Ia dianggap akan
mudah dikontrol dan dikendalikan oleh Pemerintah Provinsi Su­ma­
tra Barat (ibid). Sebagian masyarakat Mentawai melihat pe­nun­juk­
kan Antonius sebagai keputusan yang bertujuan untuk tetap me­lang­
geng­kan kekuasaan dan dominasi Sumatra Barat, walaupun ada juga
yang sudah terpuaskan karena mempunyai bupati yang berasal dari
ka­lang­an etnis sendiri.
Pelaksanaan pemerintahan di bawah Antonius Samangilailai men­
cer­min­kan dilema politik identitas. Masyarakat mengeluhkan ka­rak­
ter Antonius yang tidak tegas dalam menghadapi intervensi kebijakan
Pro­vinsi Sumatra Barat. Selama empat bulan menjabat (April-Agustus
2001), tidak kurang 12 protes dan demonstrasi diarahkan kepada
An­to­ni­us, baik di Padang maupun di Tuapejat.16 Melihat situasi ini,
Agus­tus 2001, DPRD Kepulauan Mentawai yang baru terbentuk pada
Januari 2001 membuat pertemuan untuk menetapkan kriteria dan
menjaring calon bupati. Hasilnya mudah ditebak, kriteria bupati baru
yang sangat ditonjolkan adalah harus berasal dari etnis Mentawai dan
beragama Kristen (Persoon 2002). Kriteria mengenai agama ini sangat
me­na­rik karena agama Kristen (baik Katolik atau Protestan) dijadikan
komponen penting bagi identitas budaya Mentawai. Pilihan identitas
sebagai orang Kristen ini merefleksikan hasrat orang Mentawai untuk
me­no­lak dominasi orang Minangkabau yang beragama Islam dan
di­pan­dang tidak bisa diandalkan dan korup (Persoon 2002). Dalam
ka­sus ini, perlawanan terhadap globalisasi dan budaya dominan di­
eks­pre­si­kan melalui penolakan terhadap manifestasi lokal dari proses
ter­se­but.
Sebelum pemilihan bupati diadakan, beberapa partai politik men­
ca­ri celah untuk memasangkan tokoh Mentawai dengan pengusaha da­
ri Pa­dang, yang tengah bersiap-siap untuk membuka usaha-usaha pe­
ne­bang­an kayu. Akan tetapi, upaya ini gagal karena terdapat semangat
kuat di kalangan masyarakat untuk mencari bupati dari putra daerah.

16 Komunikasi pribadi dengan Antonius Samangilailai dalam perjalanan persiapan kampanye pemilihan
bupati periode 2006-2011 di Sikabaluan, Mei 2005.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 289

Akhir 2001, Edison Saleleubaja’ memenangkan pemilihan bupati


Ke­pu­lau­an Mentawai, mengalahkan Antonius. Edison adalah putra
dae­rah Mentawai yang juga seorang pendeta Protestan. Edison ti­dak
memiliki pengalaman sebagai seorang pemimpin politik. Mes­ki­pun
se­be­lum­nya dia adalah anggota DPRD Padang Pariaman, dia men­da­
pat­kan kursi tersebut lebih karena adanya UU di zaman Orde Baru
yang mewajibkan adanya kuota berdasarkan daerah asal pemilihan.
Dia lebih banyak berkecimpung di Yayasan Kondisi, sebuah organisasi
penyebaran Injil yang memperjuangkan populasi Protestan di Ke­pu­
lau­an Mentawai. Belakangan, yayasan ini kemudian berbelok menjadi
agen lokal bagi usaha penebangan kayu. Pengusaha kayu ini pula yang
mem­be­ri­kan dukungan terhadap Edison saat pemilihan (Eindhoven
2007: 103). Sebagai konsekuensinya, Edison menjadi boneka politik
da­ri pengusaha kayu yang memasang kerabat dekatnya sebagai wakil
bu­pa­ti bagi Edison (ibid).
Kemenangan Edison dianggap menyempurnakan otonomi dae­
rah. Setelah Edison definitif diangkat, akses untuk mendapatkan ke­ku­
a­sa­an dan kesempatan ekonomi terbuka luas di tingkat lokal, terutama
bagi putra daerah Mentawai. Terpilihnya Edison memberikan nuansa
Men­ta­wai yang kuat. Hal ini memudahkan kerabat dekat, teman-te­
man Edison, dan jaringan perjuangan otonomi kabupaten merapat
ke ja­ring­an kekuasaan.17 Aktivis Mentawai yang sejak paruh 1990-an
ber­ju­ang untuk identitas adat dan politik Mentawai, terutama ge­ne­
ra­si pertama Ippmen yang memulai gerakannya pada awal 1990-an,
men­co­ba mencari akses ke dalam kekuasaan. Pencarian terhadap ak­
ses kekuasaan ini memaksa mereka terpecah ke dalam afiliasi yang
ber­be­da-beda. Beberapa di antaranya memutuskan bergabung dengan
par­tai politik, yang menggambarkan hasrat politik dan kekuasaan ba­gi
orang Mentawai yang telah lama diabaikan. Ada yang bergabung men­
ja­di pegawai sipil dan bekerja di dalam mesin birokrasi. Sementara
yang lain terlibat dalam bisnis penebangan kayu.
Proses desentralisasi membuka kompetisi perebutan posisi dan
pe­nga­ruh politik. Kesempatan-kesempatan politik yang dijanjikan un­
tuk putra daerah segera menjadi rebutan di kalangan Mentawai. Me­re­
ka menggunakan berbagai strategi untuk merebut jabatan di bawah bu­
pa­ti, misalnya sekretaris daerah. Sebagian orang mendapatkan modal
da­ri pengusaha kayu untuk memperebutkan posisi tersebut. Di pihak
la­in, LSM prokonservasi dan masyarakat adat berusaha menempatkan

17 Keterangan dari mantan ketua Forum Kemunikasi Masyarakat Mentawi, Juni 2009.
290 Berebut Hutan Siberut

orang-orangnya dalam struktur birokrasi-politik dengan mengikuti


pemilihan umum bagi calon legislatif. Aktivis Mentawai yang dulunya
ter­ga­bung dalam satu gerakan untuk melawan dominasi etnis lain ke­
mu­dian saling berseteru dan berkonflik dalam mendapatkan akses
eko­no­mi-politik setelah terbentuknya kabupaten baru.

Otonomi, Penghasilan Asli Daerah, dan Rezim Kayu Baru


Dalam pengertian akses terhadap hutan, desentralisasi memiliki
mak­na yang berbeda-beda bagi berbagai aktor lokal. Kebanyakan di
antara me­re­ka mempersepsikan desentralisasi sebagai kembalinya hak
adat. Na­mun, pandangan itu tidak bulat. Beberapa pemimpin daerah
me­­ne­rap­kan kebijakan desentralisasi berdasarkan kepentingan me­­re­
ka sen­di­ri. Kabupaten baru dilihat sebagai kesempatan mengeksploi­
ta­si sum­ber daya alam untuk kepentingan sendiri demi mengejar
peng­ha­sil­an asli daerah. Kutipan dari bupati Kepulauan Mentawai di
ba­wah ini me­nun­juk­kan pandangannya tentang kewenangan ka­bu­pa­
ten me­nge­lo­la sumber daya alam mereka sendiri dan artikulasi adat
untuk mem­be­ri pembenaran bagi klaimnya:
Kita telah kembali ke nagari (desa). Pemerintah kabupaten harus
bebas menentukan nasibnya sendiri. Hal ini berarti adat harus
diakui. Sekarang ini, sumber daya hutan merupakan primadona
bagi pendapatan daerah. Akan tetapi tidak ada sepeser rupiah da­
ri keuntungan sumber daya hutan mengalir ke Pemerintah Dae­
rah. Oleh karena itu, kami berencana mengeluarkan peraturan
me­nge­nai pemungutan pajak hasil hutan.18

Di bawah bendera otonomi, bupati mendirikan Dinas Kehutanan


yang bertanggung jawab kepada kepala daerah dan bukan kepada
men­te­ri kehutanan. Perubahan birokrasi ini, menguatkan peranan
bu­pa­ti secara de facto atas kebijakan sumber daya hutan di wilayah
me­re­ka. Situasi ini juga disambut oleh pengusaha lokal untuk ber­
usa­ha mendapatkan izin usaha bagi perusahaan, koperasi, atau pa­
brik-pa­brik pengolahan kayu mereka, yang ketika masih dikuasai
oleh pemerintah pusat pada masa Orde Baru bersifat ilegal. Untuk
mendapatkan dukungan di tingkat lokal, pemerintah kabupaten terus

18 Pernyataan Bupati Mentawai, Edison Saleleubaja’, dalam Puailiggoubat, Edisi 50, Juni 2005. Pe­
nye­but­an istilah nagari untuk merujuk asal-usul hak orang Mentawai agak sedikit membingungkan.
Se­ha­ri-ha­ri orang Mentawai berusaha menolak istilah-istilah yang berasal dari Minangkabau, namun
representasi publiknya malah menunjukkan bahwa bupati sangat terpengaruh dan secara sengaja
meng­gu­na­kan istilah dari Minangkabau untuk mengklaim hak-hak orang Mentawai.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 291

mengartikulasikan ketidakadilan ekonomi dan politik yang dirasakan


oleh orang Mentawai. Bupati mempromosikan hak-hak masyarakat
un­tuk melakukan eksploitasi terhadap sumber daya hutan bagi pem­
ba­ngunan kabupaten.
HPH dianggap hanya memberi keuntungan bagi pemerintah
pusat dan provinsi, namun tidak memberikan keuntungan langsung
bagi kabupaten. HPH memiliki kewajiban penyetoran retribusi, pajak,
dan dana reboisasi langsung ke menteri kehutanan dan pemerintah
provinsi, namun tidak memberikan pajak atau retribusi langsung
ke­­pa­da kas kabupaten. Pemerintah kabupaten hanya mendapatkan
man­fa­at dari HPH melalui dana perimbangan yang diberikan oleh pe­
me­rin­tah pusat. Pemerintah daerah juga merasa tidak memiliki hak
un­tuk mengontrol, mengawasi, dan juga menerapkan aturan daerah
ke­pa­da HPH. Dana perimbangan dan reboisasi yang diberikan kepada
pe­me­rin­tah daerah dianggap oleh pejabat Kabupaten Kepulauan Men­
ta­wai bukanlah pendapatan asli daerah. Pemerintah daerah meng­
ingin­kan HPH juga membayar retribusi untuk setiap kayu dari Si­be­
rut kepada kabupaten.19
Wujud negara dalam pengelolaan hutan di Siberut tidaklah tung­
gal. Hal ini terlihat dari sengitnya persaingan antara pemerintah pu­
sat dan daerah untuk menguasai akses terhadap pengelolaan hutan.
Pe­merintah kabupaten berusaha merebut akses terhadap hutan de­
ngan menerbitkan usulan Rencana Tata Ruang/Wilayah Kabupaten
(RTRWK). Fungsi hutan di Siberut menurut RTRWK memiliki per­be­
da­an yang cukup signifikan dengan fungsi hutan menurut pemerintah
pusat dan provinsi.
Pada 2003, Kepulauan Mentawai mengusulkan adanya per­u­bah­
an rencana tata ruang wilayah kabupaten. Dari komposisi status dan
fungsi hutan, Area Penggunaan Lain (APL) paling banyak mengalami
perubahan luasan. Dari data tata ruang provinsi pada 1999 tidak ada
APL di Pulau Siberut. Sedangkan pada usulan tahun 2003, APL di Si­
be­rut memiliki luasan 37.412 ha. Penyusunan RTRWK ini adalah se­bu­
ah stra­tegi spasial pemerintah daerah untuk memperbesar akses dan
kon­trol terhadap hutan. Dengan cara ini, pemerintah kabupaten dapat
meng­eksploitasi hutan lebih luas, karena status kawasan hutan APL
da­pat dialihfungsikan menjadi perkebunan, kawasan transmigrasi,
atau peruntukan lain yang dapat dikelola oleh kabupaten. Tabel 6 dan
Tabel 7 memperlihatkan perbedaan angka yang signifikan mengenai
19 Puailiggoubat, Edisi 62, Desember 2004.
292 Berebut Hutan Siberut

Tabel 6. Status dan fungsi hutan versi


Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai
Fungsi Hutan Luas (ha)
Taman Nasional 190.500
Hutan Lindung -
Hutan Suaka Alam dan Wisata 689
Hutan Produksi Ter­ba­tas -
Hutan Produksi Tetap 90.854
Hutan Produksi yang dapat di­konversi 39.954.726
APL 37.240
Jumlah 359.273
(Sumber: BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai 2006)

sta­tus dan fungsi kawasan hutan Siberut yang ditetapkan oleh pe­me­
rin­tah daerah dan pusat.
Strategi memperbesar akses terhadap hutan oleh Kabupaten di­
jus­ti­fik
­ a­si untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Se­
per­­ti halnya kabupaten-kabupaten yang baru terbentuk, Kepulauan
Men­­ta­wai memiliki target ambisius untuk meningkatkan PAD setiap
ta­hun.20 Tahun 2002, target PAD Kepulauan Mentawai Rp2,6 miliar.
Pa­da 2004, pemerintah daerah memproyeksikannya menjadi Rp4,3
mi­li­ar. Lebih dari setengah PAD itu berasal dari sektor kehutanan.
Da­lam praktiknya, mereka hanya bisa merealisasikan setengah dari
jum­lah yang diproyeksikan. Pada 2005, mereka menaikkannya hingga
Rp5,4 miliar.
Untuk mendukung pencapaian target PAD, Pemda Kepulauan
Mentawai menetapkan kebijakan pemanfaatan ruang yang tercermin
dari dokumen RTRW. Pada 2001, Pemda Kepulauan Mentawai telah
menyu­sun rencana alokasi pemanfaatan ruang kabupaten untuk ta­
hun 2002-2011 yang pengalokasiannya adalah sebagai berikut:
Dari tabel di atas terlihat bahwa usaha-usaha pembangunan de­
ngan mengubah fungsi hutan seperti perkebunan dan pertanian akan
di­pu­sat­kan di Pulau Siberut, yang masih didominasi hutan tropis
yang le­bat. Rencana tata ruang yang disusun pemerintah daerah ini
ju­ga memanfaatkan peluang untuk mengkonversi hutan produksi
men­ja­di lahan budidaya. Dalam rangka mencapai target PAD, Ke­

20 Puailiggoubat, Edisi 69, Juni 2005.


Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 293

Tabel 7. Alokasi Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Kepulauan Mentawai

Luas
Alokasi Pemanfaatan Lokasi Persentase
Lahan
Ruang (Pulau) (%)
(ha)
1. Kawasan lindung
a. Hutan lindung Sipora, Pagai ±10.704
Utara, Pagai
selatan
b. Hutan suaka alam Siberut ±190.500 34,80
(TNS) ±4.816
c. Sempadan pantai Pagai Utara, ±3.206
Pagai Selatan
Kep. Mentawai
2. Kawasan budidaya
a. Hutan produksi Siberut, Sipora, ±273.806

b. Hutan produksi Siberut, Pagai ±35.540


kon­versi Utara, Pagai
Selatan 64,40
c. Tanaman lahan Siberut, Pagai ±1.420
basah Utara, Pagai
Selatan
Kep. Mentawai
d. Perkebunan besar Siberut ±76.412

3. Kawasan budidaya nonpertanian.


a. Permukiman Kep. Mentawai ±4.012
0,78
b. Lain-lain Kep. Mentawai ±719

Jumlah 601.135 100

Sumber: BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai 2006


294 Berebut Hutan Siberut

pu­tus­an Menteri Kehutanan No. 310 Tahun 1999 tentang Pedoman


Pem­be­ri­an Hak Pemungutan Hasil Hutan—memberi wewenang pada
bu­pa­ti untuk mengeluarkan izin pemanfaatan hutan maksimal 1.000
ha—direspons dengan cepat oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Mentawai. Sebelum 2002, atau pada periode transisi Pemerintahan
Ka­bu­pa­ten Kepulauan Mentawai, IPK atau IUP masih diberikan oleh
Di­nas Kehutanan pemerintah provinsi. Dari 1999-2001, Dinas Ke­
hu­tan­an Sumatra Barat telah mengeluarkan 23 IPK dan IUP. Tiga di
antaranya ada di Siberut, mencakup luasan 2.200 ha.
Izin-izin pemanfaatan kayu meningkat pesat setelah bupati Ke­
pu­lau­an Mentawai secara definitif terpilih. Sebulan setelah terpilih,
Bu­pa­ti Edison Saleleubaja menerbitkan Surat Keputusan Bupati
No.110/SK/BKM/XII-2001 tanggal 28 Desember 2001 tentang tata
ca­ra penyelenggaraan pemberian izin pemanfaatan kayu. Melalui SK
Bu­pa­ti tersebut, IPK diberikan oleh Pemda Mentawai untuk menebang
dan memanfaatkan kayu di kawasan hutan yang telah dilepaskan un­
tuk pembangunan nonkehutanan atau Area Penggunaan Lain (APL)
dengan peruntukan lahan sebagai usaha perkebunan dan transmigrasi.
Edison Saleleubaja’ setidaknya memberikan 30 izin kepada pemohon
IPK selama kurun 2002-2005. Pada akhir 2004 ada sebanyak 26 IPK
dan 17 IPK pada 2005, dengan sebagian di antaranya adalah per­pan­
jang­an dari 2004. Pada 2004, luas total konsesi lahan IPK sebesar
31.244 ha, dengan target produksi kayu bulat dari seluruh pemegang
IPK sebesar 1,46 juta meter kubik. Dari 26 pemegang IPK pada 2004
ter­se­but, 6 IPK di antaranya berada di Pulau Siberut dengan luas to­
tal konsesi sebesar 6.164 ha dan target produksi 318.838,96 meter
kubik.21
IPK dan IUP adalah kebijakan yang serangkai. IPK harus seiring
de­ngan Izin Usaha Perkebunan (IUP). IUP lebih dahulu diterbitkan
de­ngan komoditas kelapa hibrida, sawit, pala, atau nilam. Lahan un­
tuk perkebunan berdasarkan IUP ditetapkan di hutan yang masih
me­­mi­liki kayu. Untuk menebang hutan dan mempersiapkan kebun
itu­lah, IPK de­ngan luas yang sama dikeluarkan untuk perusahaan
atau ko­pe­ra­si pemegang IUP. Mekanisme perizinan penebangan ka­
yu ini re­la­tif mudah. Pertama-tama, pihak koperasi atau pengusaha
ka­yu mengajukan permohonan kepada bupati melalui kepala Dinas
Ke­hu­tan­an dan Perkebunan. Permohonan ini dilengkapi dengan be­
be­­ra­pa sya­rat, di antaranya persetujuan prinsip pelepasan/pinjam
21 Puailiggoubat, Edisi 87, Januari 2006.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 295

pa­kai ka­was­an hutan dari menteri kehutanan atau persetujuan pen­


ca­dang­an la­han APL dari bupati, persetujuan penyerahan lahan,
stu­di kelayakan kegiatan nonkehutanan, dan bukti pelaksanaan tata
ba­tas. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan akan memeriksa ke­
leng­kap­an dokumen tersebut dan melaporkan hasilnya pada bupati.
Se­be­lum ke­pu­tus­an ditetapkan, bupati akan diberi pertimbangan
tek­nis oleh kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Setelah bu­pa­
ti me­nye­tu­jui dan menerbitkan izin, kepala Dinas Kehutanan ber­ke­
wa­jib­an memberikan laporan bulanan kepada bupati mengenai per­
kem­bang­an kegiatan seluruh IPK yang ditembuskan kepada kepala
Din­as Kehutanan Provinsi dan Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi
Dep­hut.
Pada 2002, Pemda Kepulauan Mentawai mengajukan Rancangan
Per­atur­an Daerah (Ranperda) mengenai pajak dan pemungutan yang
ber­hu­bung­an dengan sektor kehutanan. Pada 2002, lima peraturan
dae­rah (Perda) yang berhubungan dengan sektor kehutanan di­res­mi­
kan, yai­tu: (1) izin usaha di bidang kehutanan dan perkebunan; (2)
re­tri­bu­si izin usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu
dan non­kayu; (3) retribusi izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan
hu­tan pro­duk­si; (4) retribusi izin usaha pemanfaatan kawasan hutan
pro­duk­si; dan (5) retribusi penyelenggaraan produksi pengolahan,
pe­ngen­da­li­an mutu, dan peredaran hasil hutan dan perkebunan (Ano­
nim 2001).22 Perda tersebut disahkan oleh Dewan Perwakilan Rak­
yat Daerah (DPRD) empat bulan setelah diajukan. Banyak kritik yang
menunjukkan bahwa perda-perda tersebut diputuskan tanpa so­sia­
li­sa­si dan uji publik. Ada kesan bahwa perda-perda tersebut dibuat
de­ngan tergesa-gesa. Melalui 5 perda tersebut, seluruh koperasi atau
per­u­sa­ha­an kayu dalam industri kayu memiliki kewajiban membayar
pa­jak dan retribusi kehutanan kepada pemerintah daerah.
Dalam kenyataannya, usaha-usaha untuk mendapatkan ke­un­
tung­­an bagi pemerintah daerah dari industri kayu ini sangat jauh dari
ha­rap­an. Banyak pelanggaran yang terjadi dan menyebabkan seluruh
atur­an yang dibuat tidak memberikan keuntungan bagi pemerintah
dae­rah. Pelanggaran ini terjadi dari proses hulu sampai hilir. Misalnya
sa­ja dalam praktik penebangan. Setiap SK IPK yang ditandatangani
bu­pa­ti selalu dilampiri peta yang menunjukkan area konsesi koperasi
atau per­u­sa­ha­an kayu pemegang IPK. Seharusnya hanya area yang
ter­can­tum dalam peta tersebutlah yang boleh ditebang. Namun, da­
22 Puailiggoubat, Edisi 6, Mei 2002.
296 Berebut Hutan Siberut

lam praktiknya, hampir semua koperasi dan perusahaan pemegang


IPK menebang kayu di luar wilayah konsesi mereka. Perusahaan kayu
tersebut melakukan praktik pembalakan liar (illegal logging), dengan
me­ne­bang di kawasan hutan yang belum mengalami perubahan sta­
tus kawasan atau yang belum memperoleh izin pelepasan kawasan
da­ri menteri kehutanan. Hasil investigasi lapangan yang dilakukan
oleh Masyarakat Anti Illegal Logging (MAIL) Sumatra Barat terhadap
em­pat pemegang IPK di Siberut menyimpulkan adanya dugaan kuat
bah­wa para pemegang IPK itu melakukan praktik pembalakan liar.23
MAIL mengungkapkan, beberapa pemilik IPK menebang kayu di luar
kon­se­si mereka, termasuk di hutan-hutan lindung.
Pelanggaran tidak hanya pada saat menebang. Berdasarkan atur­
an resmi, koperasi hanya dapat mengajukan perpanjangan IPK sa­tu
ta­hun. Akan tetapi, bupati memberikan izin lebih dari satu kali per­pan­
jang­an kepada satu pemilik IPK. MAIL (2005) dan Koalisi Ma­sya­ra­
kat Sipil Peduli Mentawai (KMSPM) (2004) mengaitkan pe­lang­gar­an
IPK ini dengan praktik korupsi yang berdasarkan relasi pa­tron-klien
dalam jaringan penebangan kayu. Mereka menuduh me­ka­nis­me
per­izinan yang tidak transparan adalah salah satu cara bagi bupati
untuk mendapatkan penghasilan dari pengusaha kayu secara ilegal
(KMSPM 2005: 7-9). Oleh banyak aktivis lingkungan, dianggap bah­
wa IPK dan IUP telah memberi peluang bagi praktik penebangan ile­
gal. Kondisi ini didukung oleh aturan-aturan tentang perizinan in­dus­
tri kayu di Siberut yang memiliki beberapa kelemahan (MAIL 2005:
7-13; Anonim 2005a: 66-78). Kelemahan pertama, adalah ri­ngan­nya
sanksi terhadap pelanggar, misalnya jika dalam masa 4 ta­hun tidak
terjadi pengembangan perkebunan, izin akan dicabut dan ti­dak ada
sanksi yang lain. Kedua, realisasi kebun yang diwajibkan sa­ngat se­di­
kit. Dari keseluruhan kebun yang diwajibkan, tidak sampai 25% yang
sang­gup direalisasikan oleh perusahaan (Puailiggoubat 2005). Ke­ti­
ga, izin diberikan tanpa pengawasan yang ketat dan rutin. Keempat,
pem­ben­tuk­an koperasi yang didanai oleh perusahaan dari luar hanya
alat ba­gi pengusaha luar tersebut untuk mendapatkan izin.
Kelemahan penegakan aturan itu juga diakui oleh aktor-aktor
lokal yang terlibat dalam jaringan penebangan kayu. Salah seorang
bekas pengurus Koperasi Maharani Puri Citra Lestari mengatakan:

23 Laporan Investigasi MAIL (2005), Illegal Logging dan Korupsi Berkedok IPK di Kabupaten Kepulauan
Mentawai, Lembar Fakta dan Opini Hukum.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 297

Gambar 14. Praktik penebangan ilegal di Mentawai saat masa booming pe­
ne­bangan kayu pada era desentralisasi (Puailiggoubat).

Koperasi Sindo didukung pengusaha dari Padang. Tanpa pe­mo­


dal, koperasi ini tidak mungkin bisa mewujudkan kebun. Untuk
itu ka­mi bekerja sama dengan investor. Perjanjian yang dibuat
ada­lah, uma kami akan membuat koperasi sementara mereka
akan mem­bu­at kebun dan hasil pengambilan kayunya akan di­ba­
gi me­nu­rut hitungan tertentu. Semua uang pengurusan koperasi
ter­ma­suk gaji-gaji anggotanya berasal dari modal itu.24

Hampir dalam semua kasus, koperasi hanya alat bagi investor


un­tuk mendapatkan IPK. Bahkan, banyak koperasi yang sebenarnya
ti­dak memiliki anggota. Kalaupun ada, nama-nama yang tercantum
da­lam dokumen resmi keanggotaan koperasi adalah fiktif (Anonim
2004). Bi­la kemudian pemalsuan ini tercium atau ada pelanggaran
lain, investor ini pula yang bertugas membayar suap ke pejabat terkait.
Koperasi-koperasi itu tidaklah fiktif tetapi sebagai cara manipulatif
untuk memenuhi syarat administrasi mendapatkan IPK dan IUP.
Dalam pembentukannya, para penduduk Siberut sendiri—terutama
elite terdidiknya yang ada di kota besar dan memiliki jaringan dengan
pengusaha—sangat aktif dalam penemuan strategi ini.
24 Wawancara dengan Aman Theofilus dari Katurei yang mengurus koperasi PT Sindo, rekanan dari
Maharani Puri Citra Lestari yang mendapatkan izin konsesi/IPK di Desa Katurei.
298 Berebut Hutan Siberut

Meluasnya praktik penebangan kayu dengan skema koperasi


dan IPK ini mendapat protes dari Dephut. Direktorat Jenderal Bi­na
Produksi Kehutanan (Dirjen BPK) menulis surat yang isinya mem­per­
ta­nya­kan keluarnya IPK oleh bupati pada September 2003. Surat ter­
se­but ditujukan kepada kepala Dinas Kehutanan Sumatra Barat dan
di­tem­bus­kan ke bupati Kepulauan Mentawai dan dinas terkait. Dep­
hut keberatan dengan praktik IPK di Siberut yang dianggap tidak me­
me­nuhi prosedur menteri kehutanan yang ditetapkan melalui Surat
No. 6886 /Kpts/II /2002.
Hasil analisis dari tim terpadu bentukan Dephut (Anonim
2005a: 51, 68) yang mengevaluasi kebijakan hutan di Pulau Siberut
men­­je­las­kan bahwa meningkatnya rezim kayu daerah ternyata ti­dak
selalu berkorelasi dengan pendapatan daerah. Data Dephut 2002 me­
nun­juk­kan, dari keseluruhan tujuh konsesi di Kabupaten Kepulauan
Men­ta­wai, total pendapatan dari sektor kehutanan yang disetorkan ke
pe­me­rin­tah pusat mencapai Rp43,9 miliar. Dari jumlah tersebut, pe­
me­rin­tah kabupaten hanya menerima 11% atau sekitar Rp5 miliar saja,
yang terdiri atas Rp2,1 miliar dari bagi hasil Iuran Hasil Hutan/Pajak
Sum­ber Daya Hutan dan Rp2,9 miliar dari Dana Reboisasi dalam ben­
tuk Dana Alokasi Khusus (APBD Kabupaten Mentawai 2002).
Berdasarkan data APBD Kabupaten Mentawai 2000-2003, jum­
lah penerimaan Kabupaten Mentawai dari seluruh HPH/IPK yang
ber­o­pe­rasi di Kepulauan Mentawai dari 2000 sampai 2003, hanya
men­ca­pai Rp10,8 miliar. Penerimaan yang berasal dari IHPH, IHH/
PSDH, dan Dana Reboisasi itu hanya menyumbangkan 2,6% dari total
APBD Kepulauan Mentawai. Seperti kebanyakan kabupaten baru
lainnya, penerimaan kabupaten ini sebagian besar berupa transfer
pemerintah pusat dalam bentuk bagi hasil pajak dan nonpajak, Dana
Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Jumlah uang
yang diberikan oleh pemerintah pusat mencapai 85% dari total APBD.
Sementara itu, penerimaan kabupaten yang berasal dari Pendapatan
As­li Daerah (PAD) kurang dari 3%, yang terdiri atas pajak dan retribusi
daerah (Anonim 2005a: 55).
Eksploitasi hutan di Kepulauan Mentawai melalui IPK dan Perda
mengenai pajak dan retribusi di sektor kehutanan ternyata hanya ber­
kon­tri­busi sangat kecil terhadap PAD. Dokumen APBD 2000-2003
me­nun­juk­kan, kontribusi sektor kehutanan terhadap struktur PAD
ha­nya mencapai 0,08%. Angka tersebut berasal dari Retribusi Izin
Ha­sil Hutan Ikutan sebesar Rp3,2 juta dan setoran dari Di­nas Ke­hu­
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 299

tan­an sebesar Rp35 juta. Rendahnya PAD ini juga ter­ja­di untuk APBD
2004. Kepulauan Mentawai menargetkan PAD sebesar Rp2,5 miliar
dari sektor kehutanan untuk 2004. Target PAD itu bersumber dari
proyeksi produksi kayu bulat 2004 sebanyak 1,46 juta m3. Berda­sarkan
Perda No. 5 Tahun 2002, seharusnya PAD yang diterima Mentawai dari
sektor kehutanan lebih dari Rp14 miliar. Ini belum termasuk retribusi
untuk kayu campuran, limbah pembalakan, tem­pat penimbunan kayu,
penggergajian, dan alat-alat berat seperti ju­ga diatur dalam Perda No.
5, 6, 7, dan 8 Tahun 2002. Target PAD ter­se­but tidak terpenuhi. Bahkan
PAD dari sektor kehutanan tidak sam­pai 1% (Anonim 2005a: 59-62).
Meskipun angka-angka yang tercetak dalam dokumen pembuku­
an uang negara menunjukkan bahwa eksploitasi hutan terbukti gagal
me­ning­kat­kan PAD, sebagian elite masyarakat yang terlibat dalam eks­
ploi­ta­si hutan merasa skema IPK lebih menguntungkan mereka. Pa­ra
pe­mi­lik hutan di Katurei dan di Taileleu yang tanahnya diberi IPK sa­
ngat mendukung keluarnya izin-izin bupati. Mereka mendapat uang
kom­pen­sa­si pengambilan kayu. Banyak pemuda dan anggota keluarga
bekerja sebagai tenaga kerja kasar pengangkutan kayu yang dihimpun
da­lam koperasi-koperasi yang diatur untuk menyedia­kan te­na­ga ker­
ja. Uang hasil eksploitasi, agaknya, lebih terasa di desa-desa dan pa­ra
pemilik kayu daripada di rekening-rekening negara.
Sebuah ilustrasi yang cukup menggambarkan bagaimana IPK
dan IUP telah membawa perubahan penting adalah berdirinya ru­
mah yang sangat megah di Desa Taileleu. Ligub, mantan Kepala De­
sa Tai­le­leu, dengan bantuan anaknya berhasil membangun kerja sa­ma
dengan investor dari Surabaya untuk mengizinkan PT KOSUM me­
nge­lo­la 100 ha hutan dan tanahnya di barat daya Siberut. Dari uang
hu­tan itu, dia melicinkan anaknya untuk masuk pegawai negeri di ka­
bu­pa­ten, memborong kelapa-kelapa di lepas pantai, membeli mesin
tem­pel, dan—terutama terkenal karena—memiliki rumah yang sangat
be­sar, berdinding tembok yang dapat dilihat dari kejauhan secara men­
co­lok. Dengan kekayaannya, ia cukup disegani. Keberhasilannya me­
ma­suk­kan perusahaan telah membawa banyak dampak: tetangganya
ber­ut­ ang budi karena telah berhasil bekerja di sana, sumbangan-sum­
bang­an­nya terhadap pembangunan desa melalui pemberian uang
fee per­usahaan membuatnya menjadi figur yang sulit untuk tidak
dibicarakan, kedai-kedai buka 24 jam saat perusahaan beroperasi, dan
membuat ekonomi Taileleu berputar kencang. Atas keberhasilannya
ini, Ligub mengenang,
300 Berebut Hutan Siberut

“Perusahaan membuat kami punya uang. Saat mereka ber­o­pe­


ra­si, uang juga ikut beroperasi. Saya bisa maju seperti sekarang
ini ka­re­na perusahaan kayu. Kalau pemerintah dianggap tidak
men­da­pat uang dari perusahaan kayu itu pasti bohong. Namun
saya tidak tahu cerita di atas. Yang penting saya mendapat ba­gi­
an yang harus saya terima sebagai pemilik tanah. Untuk urusan
sautek (orang besar) biar diurus orang besar. Mungkin mereka
ju­ga mendapat bagian besar. Petugas dari Dinas Kehutanan ke
sini ketika investor datang. Tapi, saya tidak tahu apa yang mereka
bi­ca­ra­kan. Mereka pasti maen. Masak mereka (para petugas) ja­
uh-ja­uh ke sini, kena ombak, hujan tidak mendapatkan apa-apa.
Ta­pi yang begitu-begitu kan uang tidak pernah bicara sendiri.”

Apa yang dinyatakan Ligub menggambarkan bahwa praktik per­


izin­an kayu memberi peluang adanya kerja sama antara perusahaan
ka­yu, masyarakat pemilik tanah, petugas, sautek, dan elite-elitenya da­
lam skema tertentu yang saling menguntungkan aktor-aktor konkret
dan bukan entitas abstrak seperti pemerintah atau negara. Banyak
ka­lang­an menilai hutan yang semakin terdegradasi tidak memberi
ke­un­tung­an bagi orang Mentawai dan pemerintah daerah. IPK/IUP
dianggap sebagai kebijakan yang gagal karena aturan tentang pe­nge­
lo­laan hutan tidak diimbangi dengan kemampuan menerapkan dan
me­nga­wasi pelaksanaan perusahaan kayu. Meskipun pada 2004 pe­
me­rin­tah daerah telah memberikan 20 konsesi/IPK, mereka ternyata
belum mampu menarik PAD dari perusahaan kayu yang terlibat. Pa­da­
hal, perda retribusi hasil hutan dan ikutannya telah disahkan. Semua
orang di Mentawai yakin bahwa anggota DPRD dan pejabat daerah
tun­duk pada sogokan dari pengusaha kayu. Bahkan, Edison secara lu­
as dipersepsikan menerima pembayaran di bawah meja karena me­
ner­bit­kan IPK—meskipun dugaan ini tidak pernah bisa dibuktikan
dan hanya beredar dalam percakapan-percakapan informal.
Sebuah dokumen investigasi dari KMSPS menunjukkan bahwa
tia­da­nya pendapatan dari hutan terjadi karena penyelewengan bu­pa­ti
dan elite politik Mentawai.25 Dokumen tersebut menganalisis, pe­ner­
bit­an IPK lebih banyak digunakan untuk memperbanyak pendapatan
bagi bupati dan elite politik yang membutuhkan dukungan dana dalam
Pemilukada 2006 (KMSPS 2005:8). Salah satu celah bagi praktik ini

25 Dokumen KMSPS (2004) berjudul “Ilegal logging dan korupsi berkedok izin pemanfaatan kayu (IPK)
dari bupati Kepulauan Mentawai”.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 301

ada­lah karena aturan dan perencanaan mengenai akses terhadap hu­


tan dan penggunaannya ditetapkan dan dilegalkan berdasarkan atas
re­la­si patron-klien. Penerbitan IPK dinegosiasikan dan diberikan tan­
pa mekanisme yang jelas dan bisa dikontrol oleh publik. Aktivis Men­
ta­wai menilai bupati dekat dengan pengusaha kayu yang mendukung
pendanaan pada saat pemilihan bupati.26 Ketika pada 2004, ketua
DPRD yang baru—Kortanius, bekas Direktur YCM—secara terbuka
mem­per­ta­nya­kan dan mengkonfrontasi Edison dengan tuduhan-tu­
duh­an korupsi dalam penyelenggaraan izin penebangan kayu pa­da
2004, Edison secara mendadak kumat sakitnya dan terpaksa me­ning­
gal­kan rapat (Eindhoven 2007: 109).
Dugaan adanya praktik korupsi dalam relasi patron-klien ter­se­
but dikuatkan dengan banyaknya pelanggaran perusahaan atau ko­
pe­ra­si pemegang IPK. Melalui rangkuman berita di Puailiggoubat
an­ta­ra 2001-2004 disebutkan bahwa IPK dapat dikeluarkan bupati
tan­pa ada IUP. Hampir semua perusahaan pemegang izin IPK tidak
me­reali­sa­si­kan kebun yang menjadi syarat wajib. Kalaupun mereka
mem­bu­at kebun, luasannya kurang dari 25% dari seharusnya. Suatu
ka­sus yang terangkat dan dipublikasikan adalah praktik IPK PT Ma­ha­
ra­ni Puri Citra Lestari di Katurei. Pada Maret 2001, penduduk Ka­tu­rei
melakukan protes terbuka kepada pemerintah Sumatra Barat ka­re­
na perusahaan itu hanya mengambil kayu tanpa IUP. Menurut ke­
te­rang­an penduduk setempat, mereka melakukan perjanjian dengan
per­u­sa­ha­an itu untuk mengelola hutan seluas 600 ha. Perusahaan itu
melanggar janji dengan mengolah kayu hingga 2.500 ha (DTE 2001),
meninggalkannya terlantar dan tidak ada satu pun batang sawit yang
di­janjikan ditanam. Perusahaan itu pergi karena setelah ditelusuri,
me­re­ka hanya mengantongi IPK dan belum mendapatkan IUP.
Pelanggaran praktik perizinan juga dilakukan bupati. Ia me­lang­
gar aturan dengan membuat keputusan memperpanjang IPK lebih
da­ri 1 ta­hun. Selain itu, pemilik IPK dapat menebang kayu di luar
APL tan­pa sanksi dari bupati atau Dinas Kehutanan yang bertugas
me­ngon­trol­nya. Untuk melicinkan masalah-masalah pelanggaran ini,
im­bal­an-imbalan, hadiah-hadiah, dan pertukaran uang pastilah me­li­
bat­kan jaringan kekuasaan di tingkat daerah dengan pengusaha dan
elite-elite tertentu. Meskipun apa yang sebenarnya terjadi dan berapa
jum­lah uang yang telah dikorupsikan tidak pernah diketahui secara
pas­ti, sangat jelas kabupaten baru ini mengalami kerugian keuangan,
26 Wawancara dengan berbagai aktivis LSM Mentawai di Padang, Maret 2005.
302 Berebut Hutan Siberut

ba­tas-ba­tas ekologi dari hutan Siberut telah jauh merosot, sementara


be­be­ra­pa aktor berhasil memperkaya diri sendiri dalam praktik-prak­
tik yang tidak pernah dijangkau oleh kerangka hukum formal.

Izin Pusat, Uang Pengusaha, dan Putra Daerah:


Jaringan Penebangan
Buletin Down to Earth (2003) menyebut, pada saat kebijakan
desen­tra­li­sasi dimulai, Dephut tidak lagi memiliki dana bantuan pe­
nge­lo­la­an kawasan konservasi. Menipisnya dukungan biaya untuk
ke­giatan kon­ser­va­si tersebut karena Dephut tidak mendapatkan
lagi suntikan da­na restorasi sebagai bagian dari reformasi keuangan
oleh IMF. Alas­an­nya, jumlah utang negara yang digunakan untuk
pengelolaan kawasan lindung terus meningkat. Sebagai kom­pen­
sasinya, Dephut mencabut moratorium penebangan kayu Siberut dan
mencadangkannya untuk sektor swasta.
Kebijakan menteri kehutanan ini segera disambut beberapa peng­
u­sa­ha dengan mengajukan izin konsesi di Siberut. Pada 1999, sejumlah
pihak berlomba mengajukan proposal untuk mengeksploitasi hutan
Si­be­rut, di antaranya adalah tiga perusahaan kayu, tiga koperasi, em­
pat proyek perkebunan, dan satu proyek transmigrasi. Proposal itu
di­aju­kan kepada Dephut melalui Pemerintah Provinsi Sumatra Barat
(ADB 2001; DTE 2001). Sebagai respons, UNESCO, Conservation
In­ter­na­tio­nal Indonesia (CII), LIPI, LSM lokal, dan TNS menyurati
men­te­ri kehutanan agar mengevaluasi kebijakan untuk mengeluarkan
izin eksploitasi dan lebih memperhatikan aspek ekosistem Siberut.
UNESCO mengirim surat terpisah dengan mencantumkan status dan
ke­rang­ka cagar biosfer sebagai bahan pertimbangan untuk mencari
ke­rang­ka pembangunan yang lebih berkelanjutan. Surat-surat ke­be­
rat­an ter­se­but tidak dijawab oleh menteri kehutanan.
Pada 1999, pemerintah pusat memberikan izin Land Grant
Colle­ge (LGC) kepada Univeristas Andalas untuk penelitian dan pen­
di­dikan. LGC seluas 45.500 ha ini berada di hutan produksi yang lo­
ka­si­nya berbatasan langsung dengan taman nasional. Izin LGC di­be­
ri­kan dengan tujuan membatasi permintaan pemegang izin konsesi
dan mengkonversi mereka menjadi lembaga publik. Izin ini umumnya
diberikan kepada lembaga pendidikan, pesantren, atau lembaga pu­
blik non­pro­fit lainnya. Yang sangat penting, LGC diberikan kepada
uni­ver­si­tas yang menginginkan pendapatan secara mandiri akibat ke­
bi­jak­an pemerintah memotong dana anggaran pendidikan. Uni­ver­si­
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 303

tas Andalas menyiasati peluang untuk mendapatkan LGC ini de­ngan


mem­ben­tuk PT Koperasi Andalas Madani (PT KAM). Koperasi ini
kemudian bekerja sama dengan perusahaan yang telah lama be­ker­ja
di Mentawai, PT Sinar Minang Sejahtera (SMS). Kerja sama de­ngan
perusahaan kayu yang telah berpengalaman di Siberut dan ke­de­kat­an
dengan pejabat di Dephut di Jakarta memudahkan PT KAM men­da­
pat­kan akses modal, peralatan penebangan kayu, dan perizinan. PT
KAM juga diuntungkan oleh ketidakstabilan politik Indonesia. Pada
sa­at pengajuan izin konsesi hutan Siberut oleh PT KAM, penggantian
pe­ja­bat marak terjadi di lingkungan Dephut dan muncul kebijakan ke­
hu­tanan yang saling bertentangan satu sama lain.
Dikepalai oleh Marlis Rahman,27 Rektor Universitas Andalas,
PT KAM menyebutkan tujuan utama LGC adalah untuk pendidikan,
pe­ne­li­ti­an akademik, dan pembangunan sumber daya manusia. Per­
u­sa­ha­an pemegang kontrak (PT SMS) akan mendapatkan 54 persen
da­ri total keuntungan, koperasi KAM mendapatkan 26 persen, dan 25
per­sen uang akan dialirkan ke kampus (Persoon 2003). Dalam prak­
tik­nya, sangat tipis perbedaan antara LGC dengan eksploitasi hu­tan
yang dilakukan oleh perusahaan kayu komersial lainnya. Pro­yek LGC
berubah menjadi penebangan kayu seperti biasa tanpa peng­ka­ji­an
publik, dan berlanjut tanpa melalui tahapan-tahapan resmi pe­nge­lu­
ar­an izin (Persoon 2003: 257). Perubahan skema LGC menjadi HPH
ter­ja­di pada saat ketidakpastian politik menjelang digantikannya
Muslimin Nasution sebagai Menteri Kehutanan. Kasus perubahan LGC
ini terjadi pada waktu yang sama ketika PT Salaki Summa Sejahtera
(SSS) me­nga­ju­kan izin HPH di Siberut, di mana proses pengajuan izin
kedua HPH tersebut diduga kuat melibatkan jaringan elite politik di
Jakarta.28 Penerbitan surat prinsip PT SSS ini dikaitkan dengan ke­
bu­tuh­an pendanaan partai pemenang pemilu 1999, di mana menteri
ke­hu­tan­an saat itu merupakan pendukung partai tersebut. Proposal
PT SSS akhirnya disetujui menteri kehutanan dengan memberikan
pen­ca­dang­an HPHA seluas 49.440 ha di Siberut Utara. Dapat
diinterpretasikan, perubahan skema LGC dan penerbitan izin PT SSS
terkait dengan dinamika politik dan pergantian menteri kehutanan

27 Marlis Rahman adalah seorang biolog dan ekolog yang peduli terhadap Pulau Siberut pada 1980-
an. Pada 1985, dia menulis tentang pentingnya konservasi keanekaragaman hayati Pulau Siberut
dan peluang riset bagi Universitas Andalas (Rahman 1985). Periksa Persoon dan Schefold (1985).
Perubahan sikap Rahman sangat menarik dilihat dari konteks bagamana pemerintah Sumatra Barat
melihat dan memberlakukan Siberut.
28 Keterangan dari pejabat Dephut. Wawancara Oktober 2005.
304 Berebut Hutan Siberut

ka­re­na ada kecenderungan yang konsisten bahwa penerbitan izin ini


ber­la­ku dalam hitungan hari sebelum menteri diganti.
Terbitnya izin eksploitasi hutan Siberut yang kedua kepada PT
SSS mendapat reaksi keras dari lembaga penelitian dan konservasi
ska­la nasional. LIPI, ADB, CII, UNESCO, dan lembaga-lembaga yang
pe­duli dengan konservasi di Pulau Siberut mengirim surat peninjauan
kebijakan kepada menteri kehutanan. Perlindungan keanekaragaman
hayati menjadi alasan keberatan utama dalam surat-surat tersebut.
Lem­ba­ga-lembaga tersebut juga membentuk tim kerja bersama untuk
meng­e­va­luasi kondisi cagar biosfer dan mendesak agar eksploitasi
hu­tan Siberut dihentikan. Di tingkat lokal dan regional, protes di­la­
ku­kan oleh warga Siberut, organisasi masyarakat, dan para pelajar
ser­ta mahasiswa yang mendapat dukungan dari LSM prokonservasi.
De­ngan menggabungkan wacana konservasi dan hak-hak masyarakat
adat, ge­rak­an akar rumput menuntut pencabutan izin PT SSS dan PT
KAM ini, me­ngu­at. Riuh-rendah protes dan aktifnya lembaga yang
ku­­at pengaruhnya seperti UNESCO, ADB, dan LIPI, menjadi salah sa­
tu faktor bagi menteri kehutanan mencabut keputusan pemberian izin
kepada PT SSS pada Mei 2003.
Dicabutnya izin operasi PT SSS ganti menuai protes dari pihak-
pi­hak yang mendukung masuknya perusahaan kayu. Elite-elite lokal
pen­du­kung perusahaan kayu, dengan menggunakan sentimen putra
asli dae­rah, menggugat menteri kehutanan dan aktivis konservasi yang
di­ke­san­kan sebagai orang luar yang tidak peduli dengan kebutuhan
orang Si­be­rut. Mereka menulis surat yang meminta menteri kehutanan
mem­be­ri­kan kembali izin operasi PT SSS. Bahkan, beberapa kelompok
ma­sya­ra­kat mendatangi kantor Dephut di Jakarta. PT SSS ditengarai
ber­ada di belakang mobilisasi masyarakat Siberut ini. Dukungan
pe­ner­bit­an izin ini juga dilakukan oleh pemerintah daerah. Bupati
me­nyu­rati menteri kehutanan dan gubernur Sumatra Barat supaya
menulis surat rekomendasi agar izin PT SSS dilanjutkan. Dukungan
terhadap izin PT SSS juga dikuatkan dengan hasil evaluasi tim dari
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Barat. Tak lama berselang, menteri
kehutanan mengeluarkan keputusan untuk menerbitkan kembali izin
prin­sip PT SSS pada Desember 2003, ketika masa jabatan menteri
ke­hutanan pada kabinet Presiden Megawati akan berakhir sebentar
lagi.
Keputusan ini kembali memicu gencarnya protes dari kalangan
prokonservasi. Surat-surat kecaman, demonstrasi di tingkat regional,
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 305

dan diplomasi dari CII, UNESCO, ADB, dan juga LIPI kepada Dephut
te­rus di­la­ku­kan. Beberapa lembaga konservasi mendanai pertemuan
yang meng­him­pun beberapa elite Siberut, aktivis LSM, dan kelompok
ma­sya­ra­kat prokonservasi untuk bertatap muka secara langsung de­
ngan menteri kehutanan di Jakarta. Pada Oktober 2004, aktivis pro­
kon­ser­vasi berhasil memaksa menteri kehutanan untuk bertemu
de­ngan perwakilan-perwakilan lembaga internasional, aktivis pro­
kon­ser­vasi, dan perwakilan masyarakat Siberut. Pertemuan itu lebih
ba­nyak diwarnai protes dan ketidakpuasan aktivis prokonservasi ter­
ha­dap ketidakkonsistenan menteri kehutanan.
Inkonsistensi kebijakan pengelolaan hutan mencerminkan ke­ras­
nya dinamika kepentingan ekonomi-politik nasional dan global ter­ha­
dap hutan di Siberut. Dinamika perizinan PT SSS memberi gambaran
yang ku­at bagaimana akses terhadap hutan di Siberut dipengaruhi
oleh di­na­mi­ka ekonomi-politik elite-elite di Padang, Jakarta atau kan­
tor-kan­tor konservasi dunia. Diduga kuat bahwa proses perizinan PT
SSS terkait dengan pemberian sogokan atau pertukaran hadiah untuk
pe­ja­bat tertinggi di departemen itu.29 Praktik ini mencerminkan ma­
sih ku­at­nya rezim perizinan konsesi hutan yang terpusat. Di zaman
Orde Baru, hak konsesi penebangan harus diberikan oleh pemerintah
pusat. Hak ini didapatkan melalui proses yang membutuhkan waktu
dan biaya tinggi. Tanpa koneksi dan modal, pengusaha lokal sangat
sulit, bahkan tidak mungkin, mendapatkan izin konsesi dari Dephut
(McCarthy 2007: 222).
Drama proses perizinan PT SSS ini membuat dilema bagi Dephut.
In­sti­tu­si negara ini berusaha mengakomodasi berbagai kepentingan
dengan membentuk tim terpadu, yang bertugas mengkaji pengelolaan
hutan di Siberut pascaotonomi, khususnya pengelolan hutan melalui
ske­ma HPH dan IPK. Tim ini terdiri dari ilmuwan LIPI, pejabat ting­gi
di Dephut, wakil dari perusahaan kayu, aktivis LSM, lembaga in­ter­na­
sio­nal (UNESCO, CI), dan beberapa tokoh Mentawai. Hasil dari ker­ja
tim terpadu ini menyarankan agar menteri kehutanan untuk ber­ha­
ti-ha­ti memberikan izin penebangan kayu skala besar di Siberut. Re­
ko­men­dasi tim diabaikan karena pada akhirnya menteri kehutanan
tetap memberikan izin kepada PT SSS.
Di sisi lain, dengan adanya peluang kekuasaan yang cukup besar,
kebijakan desentralisasi menguatkan otoritas di dae­rah untuk meng­

29 Transkrip dari diskusi informal dengan pejabat Dinas Kehutanan yang menolak pemberian izin PT
SSS, Oktober 2005.
306 Berebut Hutan Siberut

atur hutan yang mereka miliki. Seperti yang dipaparkan sebelumnya,


ke­kua­sa­an ini dimanfaatkan oleh Kabupaten Kepulauan Mentawai
un­tuk menciptakan rezim kayu daerah. Di bawah peraturan daerah
yang ber­la­ku, pengusaha lokal dapat langsung bernegosiasi dengan
pe­me­rin­tah daerah. Mereka tidak harus berkompetisi dengan pa­ra
peng­u­sa­­ha besar dan menempuh birokrasi yang rumit untuk men­da­
pat­kan hak konsesi. Bagi pengusaha lokal yang sebelumnya bergerak
di sek­tor lain, situasi ini memberi peluang usaha baru untuk turut ma­
suk ke dalam industri kayu.
Kebijakan IPK tidak hanya memotong rantai birokrasi pusat dan
me­mang­kas investasi modal tetapi juga memperpendek waktu per­
izin­an. Meskipun demikian, rezim kayu daerah yang telah eksis se­be­
lum­nya terus berusaha menguasai akses terhadap eksploitasi hu­tan.
Pengusaha lokal yang hendak terlibat dalam jaringan industri ka­yu,
pengusaha-pengusaha kayu yang sudah lama, dan birokrasi di pe­me­
rin­tah daerah tetap harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
da­lam industri kayu. Hanya pihak-pihak yang menguasai modal, tek­
no­lo­gi, kekuasaan, dan jaringan yang kuat yang dapat memperoleh ke­
sem­pat­an ini. Akibatnya, pengusaha lokal terpaksa harus melibatkan
ak­tor-ak­tor yang lebih berkuasa di tingkat nasional.
Peluang bangkitnya rezim kayu daerah menyebabkan kong­lo­
me­rat kayu sadar bahwa mereka perlu merundingkan kembali ak­ses-
ak­ses baru ke sumber-sumber kayu. Meskipun secara formal me­re­ka
masih bisa mendapatkan izin konsesi dari pemerintah pusat de­ngan
cara yang lama, tetapi hal itu dinilai tidak cukup. Pengusaha ka­yu yang
telah mantap posisinya dan berpengalaman kebanyakan meng­gu­na­
kan strategi ganda dengan memanfaatkan izin HPH dan se­ka­li­gus
berinvestasi dengan pengusaha lokal yang mengajukan IPK (Anonim
2005a: 68). Hal ini dikuatkan dengan temuan MAIL (2005) me­nge­nai
ke­ter­li­bat­an PT SMS, yang menjadi pemilik IPK PT Alam Indah Les­
ta­ri (AIL) dengan luas konsesi sebesar 1.000 ha dan target produksi
80.150 m3 di Desa Srilogui, Siberut Utara. Berdasarkan pengakuan
ma­sya­ra­kat di Desa Srilogui, masyarakat sering melihat manajer la­
pang­an PT KAM di areal lokasi PT AIL. Manajer tersebut terlibat da­
lam urusan perencanaan, penebangan, hingga pengangkutan kayu ke
ka­pal. Hal ini diakui oleh manajer tersebut bahwa sebagai staf PT SMS
yang ada di HPH KAM, dia juga diminta pemimpin PT SMS membantu
PT AIL. Alat-alat berat hingga kapal pengangkut kayu yang digunakan
oleh pemegang HPH KAM juga digunakan oleh pemegang IPK PT AIL
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 307

un­tuk mendukung operasional kerjanya. Bahkan, jalur distribusi pe­


ma­sar­an kayu dari PT SMS dan PT AIL juga sama.
Kebanyakan pemegang IPK menginginkan hasil yang jauh lebih
besar dari kapasitas kayu yang ada di konsesi mereka. Padahal, me­ka­
nis­me IPK tidak memungkinkan mereka menjual kayu secara resmi
di pasaran. Sebagian kayu dari koperasi IPK tidak memiliki dokumen
resmi untuk menembus pasar, sehingga mereka terpaksa menjualnya
ke pengusaha kayu yang memegang konsesi HPH atau pengusaha da­
ri luar. Kayu tanpa status “legal” ini memiliki harga yang murah di
pa­sar­an, sehingga para pengusaha kayu pemegang izin dari Dephut
melalui HPH menangguk keuntungan yang besar dari menampung
ka­yu dari pemegang IPK. Dengan jalan itu pula, pengusaha HPH bisa
meng­­hin­­dar­­kan kesan ilegal dan mengakses sumber daya hutan di luar
areal konsesi resminya (MAIL 2005: 9; KSPMM 2005: 7). Kondisi ini
menunjukkan, pengusaha IPK atau penduduk desa yang berpartisipasi
da­lam jaringan bisnis kayu ini tetap dalam posisi subordinat dan ren­
tan karena tidak menguasai akses langsung ke pasar.
Selain munculnya koperasi, bisnis kayu pascaotonomi daerah
ju­ga melibatkan beberapa pengusaha yang langsung beroperasi di
Si­be­rut tanpa bantuan kelembagaan. Mereka umumnya mendirikan
peng­olah­an kayu (sawmill) dan bekerja sama dengan pemilik tanah.
Me­re­ka menampung kayu yang ditebang oleh penduduk Siberut yang
ber­tu­gas sebagai operator gergaji mesin. Hal tersebut ditemukan di
Desa Katurei di Pulau Siberut dan juga di pulau-pulau lain di Ka­bu­pa­
ten Kepulauan Mentawai (Puailiggoubat 2005). Kayu-kayu ini ke­mu­
dian dijual kepada perusahaan kayu yang telah mapan, yang kemudian
me­nyalurkannya ke penawar paling tinggi.
Melalui jaringan yang kuat dan berbagai strategi, pemain lama
da­lam bisnis kayu di Siberut dapat memperluas area konsesi sekaligus
me­mak­si­mal­kan keuntungan dari bisnis kayu. Selain dengan peng­u­sa­
ha lokal dan pejabat daerah, pengusaha kayu itu berusaha meng­in­te­
gra­si­kan aktor-aktor kunci di tingkat paling bawah. Misalnya, mereka
akan melibatkan tokoh pemuda, ketua adat, atau orang-orang kuat di
de­sa untuk terlibat dalam jaringan penebangan. Perusahaan-per­u­sa­ha­
an ka­yu tersebut dengan mudah menyiasati kebijakan-kebijakan yang
sa­ling bertentangan antara pusat dan daerah. Proses ini disebut oleh
Ri­bot dan Peluso (2003) sebagai “forum belanja” (forum shopping), di
mana aktor-aktor tertentu dapat “memilih arena hukum, UU, atur­an,
adat-istiadat, yang memuluskan tujuan-tujuan mereka”. Hal ini men­
308 Berebut Hutan Siberut

ja­di bukti yang sangat kuat tentang pentingnya kekuatan ekonomi,


po­litik, dan budaya melampaui ruang hukum resmi dan kemudian
menentukan siapa yang berkuasa dan dapat menggunakan hukum,
memanfaatkan adat-kebiasaan, atau kesepakatan, kapan dan untuk
tujuan tertentu (Ribot dan Peluso 2003: 157).
IPK yang awalnya diberikan dengan tujuan untuk memberikan
in­sen­tif kepada penduduk lokal agar menghindari penebangan ile­gal,
pada praktiknya dibajak oleh pihak-pihak tertentu melalui pem­ben­
tuk­an koperasi lokal. Dalam kasus Mentawai, koperasi-koperasi lo­kal
ini didukung elite dan politisi lokal, serta perusahaan kayu yang ber­
peng­alam­an dari Jakarta atau Padang. Pengusaha atau perusahaan
ter­se­but menukar modal mereka untuk mendapatkan izin atau hak
un­tuk membuka perkebunan skala besar. Di Siberut, dua perusahaan
ka­yu asal Jakarta membentuk tiga koperasi. Pemegang IPK yang ber­
o­pe­rasi di Desa Taileleu, Siberut Barat Daya, PT Kosum, modalnya
di­mi­liki pengusaha Surabaya. Koperasi lain dimiliki oleh pengusaha
lo­kal yang memiliki koneksi kuat dengan pejabat kabupaten dan be­
be­rapa anggota DPRD (Puailiggoubat 2005).
Studi prarevitalisasi koperasi (Anonim 2003) menemukan bah­wa
95% dari 86 koperasi di Kepulauan Mentawai didirikan untuk meng­
urus penerbitan IPK. Hanya 5 koperasi yang didirikan untuk usaha
di lu­ar bis­nis kayu. Hampir semua koperasi untuk penebangan kayu
ter­se­but bekerja sama dengan pengusaha dari Padang atau kota besar
di In­do­ne­sia. Menurut studi tersebut, ada tiga modus kerja koperasi.
Per­ta­ma, koperasi bekerja sama dengan uma pemilik tanah, desa, dan
ma­sya­ra­kat untuk mendapatkan IPK. Koperasi memberi kompensasi
ke­pa­da pe­mi­lik sebesar Rp20.000/m3, kepada desa Rp5.000/m3, ke­
pa­da ko­pe­ra­si Rp5.000/m3, dan kepada masyarakat Rp5.000/m3.
Ke­dua, ko­pe­ra­si bekerja sama dengan pemilik tanah dan kepala desa
tan­pa me­li­bat­kan masyarakat. Sistem pembagian keuntungannya
ada­lah pe­mi­lik tanah mendapatkan Rp20.000/m3, pengurus koperasi
mem­per­oleh Rp5.000-10.000/m3, dan kepala desa Rp5.000-10.000/
m3. Da­lam tipe kedua ini masyarakat hanya dicantumkan secara fiktif
men­ja­di anggota koperasi. Ketiga, koperasi didirikan oleh pemilik ta­
nah dan pejabat desa. Pembagian keuntungannya Rp30.000-35.000/
m3 un­tuk pemilik tanah dan Rp0-5.000/m3 untuk kepala desa. Ko­pe­
ra­si dan pemilik tanah hanya mendapatkan uang dari kubikasi kayu,
se­men­tara seluruh arus kas keluar masuk penjualan kayu dikuasai
oleh peng­usaha dari luar.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 309

Jaringan penebangan yang masih dikuasai oleh pihak luar ini


meng­gam­bar­kan keterbatasan aktor-aktor lokal. Sebagai contoh ada­
lah usaha alumni Ippmen dan aktivis Mentawai yang membentuk
ko­pe­ra­si atau kontraktor dalam rangka memperoleh IPK. Mereka
mem­ben­tuk koperasi dan mengajukan beberapa kegiatan seperti pe­
ngem­bang­an perkebunan kelapa sawit atau kelapa hibrida. Mereka ju­
ga meng­aju­kan untuk menjadi pemegang proyek-proyek pemerintah
se­per­ti pembangunan jalan, gedung pemerintah, dan lain-lain. Modal
so­sial berupa jaringan sosial dan kekerabatan memberi kemudahan
ba­gi mereka untuk membangun aliansi dengan pemegang kekuasaan
mu­lai dari bupati, anggota DPRD, hingga kepala dinas. Akan tetapi,
un­tuk memulai operasi penebangan, mereka harus memiliki akses ter­
ha­dap teknologi seperti transportasi dan alat pengolahan kayu, ser­
ta modal untuk membayar tenaga kerja. Modal untuk menyewa alat-
alat berat atau mengurus izin yang dibutuhkan sangat besar. Alum­ni
Ipp­men yang paling kaya sekalipun tidak cukup memiliki uang untuk
meng­o­pe­ra­si­kan sebuah perusahaan kayu kecil. Mau tidak mau, me­
re­ka membutuhkan partner perusahaan kayu besar atau pengusaha
be­sar dari kota-kota besar di Indonesia seperti Padang, Jakarta, atau
Surabaya.
Bagi pengusaha, mereka harus mengidentifikasi kawasan yang
akan di­te­bang. Mereka harus berunding dengan masyarakat agar mau
me­le­pas­kan tanah milik umanya untuk diambil kayunya. Masyarakat
sen­di­ri dapat dengan mudah mengidentifikasi orang-orang tertentu
yang ter­li­bat dengan bisnis kayu. Mereka memahami bahwa pengusaha
atau elite lokal hanya menjadi bidak dari pengusaha besar Padang atau
Ja­kar­ta atau perusahaan kayu mapan dan berpengalaman. Meskipun
ke­bi­jak­an berubah dan kecamuk otonomi di Siberut menguatkan po­
si­si orang Mentawai, pemain dan jaringan bisnis kayu yang dikuasai
orang luar tetap bertahan di Siberut dan menyesuaikan diri dengan
situasi politik yang baru.
Lima pengusaha besar dari Jakarta yang menguasai bisnis kayu di
Men­ta­wai sejak tahun ’70-an terus beroperasi hingga sekarang.30 Per­
u­sa­ha­an-perusahaan tersebut terus-menerus menunjukkan kelihaian
da­lam beradaptasi dengan situasi ekonomi-politik yang dinamis. Sa­
lah sa­tu kun­ci perusahaan-perusahaan ini bisa bertahan adalah ke­
mam­pu­an mereka membangun relasi patron-klien dengan elite-elite

30 Keterangan dari B, pengusaha Jakarta asal Solo yang memiliki HPH di Kalimantan. Dia berteman baik
dengan Bahrial, pemilik HPH MPL di Sikakap.
310 Berebut Hutan Siberut

lo­kal. Me­re­ka membayar beberapa elite-elite di desa yang berperan


se­olah-olah sebagai pemilik konsesi dengan mengoperasikan koperasi
ke­cil. Elite-elite desa ini adalah tokoh-tokoh yang memiliki jaringan
lu­as, pe­ga­wai pemerintah, guru, atau orang-orang yang memiliki
kekuaatan eko­nomi. Mereka ada di setiap uma. Jaringan kekuasaan
elite ini tidak se­la­lu ditentukan oleh kesetiaan terhadap kelompok
sosial tetapi da­ri ke­pen­ting­an yang sama, terutama dalam meraih
akses ekonomi-po­li­tik ke luar atau ke negara.
Kebanyakan elite ini beroperasi melintasi kepentingan uma. Ke­
pu­tus­an-keputusan penting menyangkut perolehan akses kadang tidak
me­li­bat­kan seluruh anggota uma atau kelompok di desa, serta tidak
mem­be­ri­kan kompensasi yang memadai dari hasil pembagian akses
eko­no­mi­nya. Beberapa elite di desa membutuhkan perusahaan kayu
un­tuk melanggengkan posisi politik mereka. Adanya otonomi politik
yang ku­at di antara orang Siberut membuat setiap elite desa harus
me­nge­lu­ar­kan biaya yang tak sedikit jika hendak mempertahankan
pe­nga­ruh dan mendapat pengikut. Aman Puput, yang bekerja sebagai
hu­mas per­usahaan kayu, harus membantu banyak kerabat jauh dan
orang-orang di desanya ketika berobat ke Padang atau membantu bia­
ya pesta-pesta desa yang terjadi di sekitar hari kemerdekaan atau hari
ra­ya keagamaan.
Elite-elite lokal ini harus menyelenggarakan banyak pesta, mem­
beri bantuan, menyediakan lapangan pekerjaan dan beberapa jaminan
so­si­al. Beberapa orang yang menjadi bagian dari koperasi kayu PT SSS,
yang bernaung dalam koperasi Purimanuaijat, harus selalu memenuhi
tuntutan untuk memberikan beasiswa kepada anak-anak sekolah dari
desa dan sekitar desanya, menyumbang Gereja dalam jumlah yang le­
bih dibanding yang lain. Biaya tersebut hanya dapat diperoleh dari
ke­ter­li­bat­an­nya dalam bisnis kayu. Hubungan ini bersifat simbiosis.
Per­u­sa­ha­an kayu membutuhkan elite-elite lokal yang memiliki modal
so­sial seperti kepemimpinan, identitas Mentawai, dan pengetahuan
me­nge­nai pemilik tanah untuk menyelesaikan urusan tanah dan la­
han dengan masyarakat, serta menjadi juru bicara perusahaan. Di sisi
la­in, kehadiran perusahaan kayu yang menyediakan modal ekonomi
di­bu­tuh­kan oleh elite-elite lokal untuk menjaga posisi mereka di ma­
sya­ra­kat.
Perusahaan kayu, pengusaha lokal, dan elite-elite lokal sering
mem­bu­at pertemuan, mengadakan workshop, konferensi pers, dan
se­mi­nar untuk menyebarluaskan pentingnya perusahaan kayu ba­gi
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 311

pem­ba­ngun­an Kabupaten Kepulauan Mentawai. Berita-berita ak­ti­vi­


tas penebangan kayu juga sering disiarkan oleh surat kabar di Pa­dang.
Salah satu surat kabar lokal yang banyak memuat berita yang men­
du­kung perusahaan kayu, Singgalang, dipunyai pemilik perusahaan
ka­yu yang juga fungsionaris Partai Golongan Karya (Golkar) Sumatra
Ba­rat. Ada dugaan bahwa pengusaha ini memiliki kedekatan dengan
peng­u­saha kayu di Kepulauan Mentawai.31 Pengusaha ini sering meng­
gu­na­kan wacana kehutanan ilmiah untuk memperoleh dukungan atas
kehadiran industri kayu skala besar di Mentawai. Salah satu indikasi
dari dukungan harian tersebut dapat kita lihat dari kutipan berikut
ini:
Jika kami membiarkan hutan tidak terkelola, hutan akan meng­
a­la­mi degradasi. Kebanyakan hutan di Mentawai merupakan hu­
tan produksi yang harus dikelola dan dimanfaatkan. Sementara
itu hutan akan berkurang. Sebagai tambahan, orang-orang se­
ha­rus­nya berpikir berapa banyak kesempatan kerja tersedia ba­
gi orang Mentawai.32

Meskipun pernyataan tersebut lebih populis dibanding retorika


kon­ser­va­si, nyatanya perusahaan kayu juga tidak mudah untuk me­
na­rik dukungan masyarakat secara luas dengan gampang. Terkait wa­
ca­na hak adat dan tuntutan masyarakat untuk meminta pembagian
ke­un­tung­an dari industri kayu, perusahaan kayu pemegang izin HPH
atau IPK tetap harus melakukan negosiasi dengan uma-uma pemilik
hak atas tanah dan hutan.

Kekuasaan, Strategi Pengusaha, dan Masyarakat Sipil


Di bawah payung otonomi, pemerintah daerah mendapatkan ke­we­
nang­an untuk mengeluarkan izin-izin eksploitasi hutan. Pada saat
yang sa­ma, konglomerat, pialang, dan agen-agen yang berasal dari
Ja­kar­ta, Padang, Medan, dan Surabaya tetap memegang kendali atas
pro­ses produksi kayu melalui kontrol terhadap modal dan akses ke
pa­sar. Di bawah rezim kayu yang baru, distribusi keuntungan jauh le­
bih luas dan menyebar dibandingkan sistem terpusat di zaman Orde
Ba­ru. Keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan kayu dituntut
31 Golkar adalah partai politik kuat era Orde Baru. Sampai sekarang, partai ini merupkan partai besar dan
didukung oleh pengusaha besar.
32 Pernyataan manajer umum PT Minas Pagai Lumber Corp. Lihat “Pencabutan HPH di Mentawai
Ditentang”, Singgalang, 18 Juni 1999.
312 Berebut Hutan Siberut

agar me­ne­tes sampai jauh dan dirasakan oleh masyarakat secara lang­
sung. Keberhasilan rezim kayu baru terletak pada kemampuannya
meng­a­komodasi tuntutan-tuntutan uma di seluruh Siberut yang juga
te­ngah bersaing untuk menentukan kekuasaan atas hutan.
Meskipun telah mendapatkan izin konsesi dari pemerintah pusat
atau daerah, perusahaan kayu harus mendapatkan izin dari uma pe­
mi­lik tanah untuk bisa mengangkut kayu dari hutan Siberut ke pasar.
Hak-hak adat yang disuarakan oleh uma-uma di Siberut dan mulai
di­akui se­ca­ra luas menyebabkan perusahaan kayu tidak begitu saja
be­bas me­ne­bang pohon. Untuk mendapatkan izin dari uma-uma itu,
me­re­ka harus melakukan negosiasi panjang yang kadang menemui
jalan buntu.
Perusahaan kayu tidak kehilangan akal. Untuk memudahkan ne­
go­sia­si, mereka merekrut orang-orang Siberut sebagai staf per­us­ a­ha­
an. Yang diincar kebanyakan adalah aktivis Mentawai yang ter­di­dik,
elite-elite mahasiswa, warga yang sadar politik, dan juga aktivis kon­
ser­va­si yang tidak memiliki pekerjaan dan kesulitan dalam mencari
pen­da­na­an untuk dirinya atau organisasinya. PT KAM misalnya, me­
re­krut Aman Puput, Pendiri dan Ketua Yasumi yang pernah bekerja
un­tuk proyek-proyek konservasi. Aman Puput bertugas sebagai ju­ru
bicara yang bernegosiasi dengan masyarakat agar perusahaan di­be­ri
izin operasi di tanah adat. Ini adalah strategi yang cerdik dan li­cin.
De­ngan mempekerjakan aktivis konservasi untuk mendukung eks­
ploi­ta­si hutan, perusahaan kayu berharap masyarakat menjadi mu­dah
di­ya­kin­kan, sekaligus untuk mengurangi kekuatan perlawanan or­ga­
ni­sa­si prokonservasi.
Aman Puput sangat memahami retorika konservasi dan pen­ting­
nya keanekaragaman hayati di Siberut. Dia pernah bekerja sama de­
ngan TNS dan Skephi melakukan penyuluhan ke desa-desa guna meng­
ga­lang dukungan dari masyarakat tentang pentingnya pelestarian
pri­ma­ta dan fauna endemik Siberut. Namun, dengan bekerja di PT
KAM, Aman Puput kemudian menyerang balik logika konservasi. Da­
lam berbagai kesempatan dia mengatakan, warga Siberut tidak pernah
mem­be­ri mandat kepada aktivis LSM untuk menyuarakan aspirasi
me­re­ka. Dia juga beralasan, LSM harus menghormati pilihan dan hak
ma­sya­ra­kat Siberut untuk mengelola sumber daya alam mereka sen­
di­ri, sebagaimana disebutkannya dalam wawancara kami berikut ini:
Dalam pandangan saya, konservasi memberi manfaat jangka
pan­jang. Itu sangat bagus buat kami. Tetapi masyarakat mem­bu­
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 313

tuh­kan uang tunai secara cepat untuk sekolah anak-anak mereka.


HPH sekarang membantu warga Siberut dengan memberikan
bea­sis­wa untuk anak-anak mereka dan bibit coklat sebagai ta­
nam­an pertanian alternatif. Masyarakat dapat meminta dan
per­u­sa­ha­an menyediakan bibit yang lain yang mereka butuhkan.
Ak­ti­vis konservasi mengatakan hutan Siberut hampir musnah.
Saya pikir maksud mereka ini salah. Kami masih memiliki hutan
yang luas, jadi kami dapat mengambil keuntungan darinya.33

Pernyataan Aman Puput ini menyingkapkan banyak hal. Kalimat


per­ta­ma dan terakhir saling bertentangan. Ini merefleksikan posisi
Aman Puput sendiri yang mendua. Aman Puput menyebutkan alasan
eko­­no­mi jangka pendek sebagai pembenar bagi perusahaan kayu. Ar­
gu­men ini lebih mudah diterima oleh warga Siberut dibandingkan lo­
gi­ka konservasi seperti perlindungan air, banjir, kepunahan spesies,
dan la­in sebagainya. Keterlibatan Aman Puput juga merefleksikan
ren­tan­nya aktivis di Mentawai tergoda janji perusahaan kayu. Selain
Aman Puput, beberapa aktivis LSM yang kritis di pertengahan 1990-
an kini banyak yang bekerja menjadi wartawan dan menulis du­kung­an
kepada perusahaan kayu melalui media massa di Padang. Se­ba­lik­nya,
media-media tempat mereka bekerja itu juga mendapat dukungan dari
pengusaha kayu. Di kalangan aktivis dan elite Mentawai di Padang,
tumbuh rasa saling curiga karena banyaknya aktivis yang berbalik
mendukung perusahaan kayu.
Strategi yang digunakan oleh PT KAM juga digunakan oleh ham­
pir semua perusahaan kayu di Siberut. Mereka sangat me­ma­hami ke­
nya­ta­an bahwa sebagian besar masyarakat Siberut lebih su­ka men­da­
pat­kan uang meskipun kehilangan hutannya. Di sisi lain, masyarakat
Si­be­rut semakin sadar akan pentingnya klaim kepemilikan tanah. Se­
ja­rah silsilah keluarga dan cerita masa lalu menjadi dasar legitimasi
da­lam bernegosiasi dengan pihak luar yang akan mengeksploitasi ta­
nah milik mereka. Hal ini menjadikan negosiasi dengan masyarakat
ber­lang­sung rumit. Dalam menghadapi perusahaan kayu, seringkali
uma pemilik lahan tidak satu suara. Sebagian anggota uma ada yang
meng­hen­daki lahan dilepas kepada perusahaan kayu, sementara yang
lain me­no­lak­nya. Alasan di balik persepsi yang beragam dan sering
ber­ten­tang­an tersebut bermacam-macam.
Pengusaha kayu harus berusaha keras untuk mendapatkan akses
hutan dari uma pemiliknya. Mereka memiliki tiga strategi utama. Per­
33 Wawancara dengan Aman Puput, Agustus 2005.
314 Berebut Hutan Siberut

tama, membayar perantara, yang dikenal luas sebagai broker, yang ter­
di­ri atas elite-elite dan tokoh lokal. Tugas perantara ini adalah berusaha
men­dekati dan membujuk uma pemilik hutan untuk menyerahkan
izin eks­ploitasi kepada perusahaan. Mereka harus dapat mengajak
se­lu­ruh anggota uma untuk menandatangani persetujuan pelepasan
la­han. Proses negosiasi ini biasanya berlangsung lama dan berlarut-
la­rut. Jika persetujuan hanya dinegosiasikan dengan sedikit anggota
uma atau elite-elite uma yang memiliki koneksi dan jaringan, konflik
akan muncul di dalam uma, broker, dan pengusaha. Uma pemilik ta­
nah harus berusaha mengumpulkan sejarah lisan dan keterangan-
keterangan dari uma lain untuk menguatkan klaim terhadap hutan
yang diincar pengusaha. Hal ini dilakukan untuk memantapkan klaim
agar tidak terjadi konflik dengan uma lain. Namun, ada juga uma yang
cepat memberi keputusan untuk menyerahkan lahan tanpa mengkaji
status tanah dalam silsilah kepemilikan dengan uma lain. Situasi ini
umumnya akan menyulut konflik di kemudian hari.
Namun, konflik semacam ini justru dapat menjadi peluang bagi
per­anta­ra untuk mengadu domba anggota uma, atau antara uma satu
de­ngan uma lain. Perantara biasanya menggunakan anggota uma
yang ber­pe­nga­ruh dan memiliki suara dominan untuk mengambil
ke­pu­­­tus­an secara sepihak. Usaha untuk menggunakan manajemen
kon­flik guna mempercepat proses pelepasan lahan dilakukan untuk
me­nge­jar target pelaksanaan operasi kayu. Negosiasi yang panjang
dan memakan waktu menyebabkan terkatung-katungnya operasi per­
u­sahaan. Hal ini menjadi masalah bagi pemegang izin konsesi seperti
IPK yang memiliki durasi waktu operasi sangat pendek. Situasi ini ju­ga
berlaku bagi HPH karena mereka juga harus menepati tenggat Ren­ca­
na Kerja Tahunan (RKT). Jika tenggat masa izin terlewati, izin operasi
dapat dicabut dan perusahaan akan merugi. Proses yang lamban dan
mem­bu­tuh­kan waktu yang panjang ini menyebabkan perusahaan ka­
yu meng­gu­na­kan strategi kedua.
Strategi kedua bisa kita sebut sebagai “tebang dahulu, bayar be­la­
kang­an”. Sambil menunggu negosiasi yang lama dengan uma pemilik
lahan, beberapa pengusaha akan langsung mengambil kayu di hutan
milik uma tertentu. Strategi ini membutuhkan anggaran tambahan ka­
re­na uma yang lahannya ditebang akan mendenda perusahaan kayu.
Na­mun, dengan telah tertebangnya kayu di tanah milik uma tertentu,
uma pemilik lahan tak memiliki pilihan lain kecuali melepaskan la­
han­nya ke perusahaan kayu. Pilihan itu mau tak mau harus mereka
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 315

am­bil karena, dengan keterbatasan teknologi dan akses pasar, kayu


di tanah mereka yang telah tertebang tidak dapat mereka olah sen­
di­ri. Bagi perusahaan, meskipun memerlukan biaya tambahan,
stra­­te­gi ini kerap digunakan untuk memotong waktu negosiasi de­
ngan uma pemilik lahan. Perhitungan atas biaya dan waktu yang di­
ke­lu­ar­kan untuk mendapatkan kayu incaran dengan cara kedua ini
lebih efektif dibanding dengan cara pertama. Strategi ini dilakukan,
misalnya, oleh PT KAM terhadap lahan Uma Sanene’ di Saibi, Siberut
Te­ngah. Selama dua tahun operasi PT KAM, Uma Sanene’ tidak mau
menyerahkan lahannya. Pada 2003, PT KAM menebang 14 kayu me­
ran­ti di tanah Uma Sanene’ tanpa izin. Uma Sanene mendendanya 10
ju­ta. Tak lama setelah kasus ini, pada akhir tahun yang sama, Uma
Sa­ne­ne’ menyerahkan hutannya kepada PT KAM. Hal yang sama juga
dilakukan PT KAM kepada tanah milik Uma Sirikole pada 2004 di
Desa Sotboyak.
Strategi ketiga, sebelum pengusaha memulai aktivitas pene­bang­
an, mereka memberikan piutang kepada masyarakat untuk membeli
me­sin speedboat, generator, gergaji mesin, membikin ru­mah, atau un­
tuk biaya sekolah anak-anak. Jika pemilik hutan sepakat dengan harga
ba­rang-barang yang diminta, perusahaan akan menyediakannya. Se­
ba­gai gantinya, perusahaan mengambil kayu di lahan milik anggota
uma yang berutang tersebut. Perhitungan mengenai pinjaman ini,
da­lam se­mua kasus, lebih menguntungkan perusahaan kayu karena
me­re­ka­lah yang menetapkan harga barang yang diutangkan dan ka­
yu yang mereka olah. Perusahaan kayu berpeluang merekayasa per­hi­
tung­an utang-piutang semacam ini. Pembayaran melalui kayu sering
ti­dak mencukupi jumlah uang atau barang yang dipinjam. Sebagai
aki­bat­nya, banyak uma terlilit utang. Uma yang sudah terjerat utang
terpaksa memberikan hutan mereka kepada perusahaan kayu.
Proses negosiasi perusahaan untuk mendapatkan akses terhadap
hutan belum berhenti walaupun izin pelepasan lahan dari penduduk
te­lah didapatkan. Setelah penebangan, perusahaan kayu masih ha­rus
mem­ba­yar sejumlah uang kepada uma pemilik lahan. Uang ini se­ring
diartikan sebagai pulajuk mone, merujuk pada skema pem­ba­yar­an
tradisional dalam pemanfaatan sumber daya milik uma lain. Pem­ba­
yar­an itu bervariasi besarannya, tergantung dari negosiasi perusahaan
kayu dengan anggota uma. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
har­ga pembayaran kompensasi adalah letak hutan, kualitas kayu, dan
luas hutan. Hitungan pulajuk mone ini berdasarkan jumlah kayu yang
316 Berebut Hutan Siberut

di­olah. Setiap satu meter kubik kayu harga pulajuk mone-nya ber­ki­
sar Rp20.000-35.000. Di samping harus membayar pulajuk mo­ne,
perusahaan kayu memberi kompensasi yang lain seperti mesin tem­
pel, gergaji mesin, televisi, mesin generator, bahan makanan, atau
mem­bia­yai wisata ke Padang atau kota-kota besar lainnya dengan
meng­inap di hotel untuk memudahkan setiap jalur negosiasi.
Akan tetapi, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, wa­lau­
pun masyarakat Siberut mendapatkan akses untuk memperoleh
man­­fa­at dari pengelolaan utang, proporsi terbesar dari keuntungan
atas eks­ploi­ta­si hutan mengalir ke dalam rekening pengusaha dari
Ja­kar­ta, Surabaya, atau Padang, atau pengusaha asal Mentawai sen­
di­ri (MAIL 2005: 9).34 Uang kompensasi sering tidak sama de­ngan
jumlah kayu yang telah ditebang. Perusahaan kayu memang me­li­
bat­kan anggota uma pemilik hutan untuk menghitung jumlah ka­yu
bersama. Namun dalam proses ini, kurangnya keterampilan da­lam
ber­ne­go­sia­si dan masalah-masalah representasi bagi orang Men­ta­wai
sen­di­ri menimbulkan banyak per­ta­nya­an mengenai siapa yang dapat
mengontrol penebangan, jumlah ka­yu, dan me­nen­tu­kan je­nis-je­nis
kayu yang ditebang. Kecurigaan-ke­cu­ri­ga­an me­nge­nai si­apa yang men­
dapat keuntungan dari proses peng­urus­an/peng­hi­tung­an pembayaran
dari perusahaan kayu mem­buat pengontrolan menjadi sulit. Di sisi
lain, peran kontrol yang harus di­la­ku­kan oleh pemerintah—melalui
Dinas Kehutanan dan pemerintah pu­sat—tidak berlangsung efektif.
Ketiadaan kontrol secara efektif sa­ngat memudahkan perusahaan kayu
menebang di luar areal blok te­bang­an­nya dan mengeruk keuntungan
dari eksploitasi tanpa kontrol ini (MAIL: ibid; Anonim 2005a: 70).
Kelemahan masyarakat Siberut dan birokrasi ini sangat mudah
di­man­fa­at­kan perusahaan kayu. Berdasarkan investigasi beberapa
LSM, ak­ti­vi­tas penebangan perusahaan kayu masuk dalam kategori
ile­gal (KMSPM 2005: 3, MAIL: ibid). Mereka sering menebang kayu
di lu­ar izin karena konsesi yang mereka pegang merupakan bekas area
penebangan kayu dari 1971-1993, sehingga tidak banyak lagi kayu
berkualitas. Pada 2002, PT KAM dilaporkan—dan kemudian terbukti—
menebang kayu di dalam kawasan TNS.35 Menurut pekerja perusahaan
kayu yang diwawancarai, pelanggaran ini dilakukan dengan sengaja.
Mengikuti instruksi manajernya, mereka harus menebang kayu sampai
sejauh 3 km di kawasan TNS untuk mendapatkan keuntungan lebih

34 Juga keterangan dari Frans Siahaan saat melakukan penelitian dampak penebangan kayu di Siberut
Utara, Oktober 2009.
35 Kasus ini dimuat di Puailiggoubat, Agustus 2003.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 317

Peta 6
Pembalakan Liar pulau siberut (2004-2005)
318 Berebut Hutan Siberut

banyak. Persediaan kayu di TNS cukup banyak sehingga perusahaan


kayu dapat mengangkut kayu kualitas utama sampai 40.000 meter
kubik.36
Penebangan PT KAM di kawasan TNS menuai protes dari banyak
pi­hak. LSM konservasi menjadikan peristiwa ini sebagai kampanye
me­no­lak HPH di Siberut. Bekerja sama dengan TNS, lembaga-lem­
ba­ga prokonservasi menyurati menteri kehutanan. Pelanggaran PT
KAM juga menjadi polemik di sivitas akademika Universitas An­da­
las. Sebagian akademisi menuntut mundurnya PT KAM dari eks­ploi­
ta­si hutan Siberut. Dephut dan Balai TNS membentuk sebuah tim
un­­tuk menyelediki kasus ini. Melalui analisis peta dan cek langsung
di la­pang­an, PT KAM terbukti masuk ke dalam kawasan TNS. Atas
pe­lang­gar­an ini, Dephut mewajibkan PT KAM membayar denda se­be­
sar Rp142.809.000. Rongrongan yang meluas terhadap hutan pas­ca­
desentralisasi ini mendorong menteri kehutanan mengeluarkan su­rat
perintah kepada gubernur dan bupati di Indonesia agar me­nang­guh­
kan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, pada 2000.
Kebijakan ini mendapat dukungan presiden. Pada Maret 2005, pre­si­
den mengeluarkan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya
di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Perlawanan terhadap rezim kayu juga dilakukan masyarakat si­pil,
aktivis prokonservasi, dan LSM dengan membangun aliansi ber­sa­ma
dalam MAIL. Aliansi ini secara aktif melakukan investigasi pe­ne­bang­
an ilegal di Sumatra Barat, terutama di Mentawai. Mereka le­bih sering
menggunakan strategi pendekatan hukum dibandingkan me­la­ku­kan
kam­pa­nye atau melawan penebangan secara langsung di la­pang­an.
Me­re­ka berargumen, strategi ini dipilih untuk fokus melalui me­ka­nis­
me hu­kum karena orang Mentawai tidak mempan lagi dengan usaha-
usa­ha yang bersifat kampanye.
Sebagai jawaban atas kebijakan presiden dan tekanan dari LSM
ling­kung­an di Padang dan juga gejolak pro-kontra IPK, bupati Ke­
pu­lau­an Mentawai mengambil keputusan untuk mencabut IPK pada
April 2005. Ada dugaan kuat bahwa bupati terpaksa mengeluarkan SK
pencabutan izin ini karena mengetahui dan menyadari bahwa seluruh
pemegang IPK yang diterbitkannya melakukan praktik pembalakan
liar, selain itu proses penerbitannya tidak berdasarkan peraturan
yang berlaku.
36 Keterangan Dahlan, Manajer KAM, dalam Anonim (2005).
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 319
320 Berebut Hutan Siberut

Gambar 15. Demonstrasi dan kampanye antipenebangan ilegal oleh koalisi


LSM (Puailiggoubat).

Keputusan bupati untuk menutup IPK yang sarat praktik ko­rup­si


menguatkan kembali kampanye penyelamatan hutan. LSM pro­kon­
ser­va­si, AMA-PM dan MAIL membentuk sebuah aliansi Koalisi Ma­
sya­ra­kat Sipil Peduli Mentawai (KMSPM). Koalisi ini diciptakan untuk
mengin­ves­ti­gasi keterkaitan IPK, penghasilan daerah, dan ko­rup­si
pejabat Ka­bu­pa­ten Kepulauan Mentawai. Meskipun IPK sudah dica­
but bupati, banyak pengusaha pemegang IPK masih terus menebang
kayu, namun hanya sedikit kasus penebangan ilegal sampai ke peng­
adilan.37 Pada 2005, tiga pengusaha lokal ditangkap karena kasus pe­
nebangan ilegal, akan tetapi mereka dilepas lagi tanpa dakwaan apa
pun. Kebanyakan ka­sus penebangan ilegal di Siberut diselesai­kan
me­la­lui mekanisme di luar hukum, seperti menyuap polisi dan jaksa
atau menyuap hakim se­hingga kasus-kasus yang dilaporkan tidak di­
teruskan ke pengadilan (KMSPM 2005; Puailiggoubat 2005).
Di sisi lain, keputusan bupati mencabut IPK menuai protes keras
war­ga yang selama ini berinteraksi dan mendapatkan keuntungan da­
ri ke­ha­dir­an perusahaan kayu. Protes ini marak di sekitar area operasi
IPK, semisal di Pulau Sipora. Protes terutama dilakukan mahasiswa
37 Pemegang IPK yang terbukti melakukan penebangan pascapenerbitan surat bupati adalah PT ATN di
Pulau Sipora, IPK Simatoro Monga di Pagai Utara, Puailiggoubat, Edisi 73-78, Mei-Agustus 2005.
Otonomi, Kekuasaan Baru, dan Langgengnya Rezim Kayu 321

Men­ta­wai yang mendapatkan beasiswa, keluarga-keluarga yang eko­


no­mi­nya terkait dengan perusahaan kayu, dan elite lokal yang men­
da­pat keuntungan dari IPK. Mereka melayangkan surat protes kepada
bu­pa­ti meminta agar memperpanjang IPK di hutan yang mereka mi­
liki. Mereka mendatangi kantor DPRD dan menuntut bupati untuk
meng­aktifkan kembali IPK. Mereka melihat penghentian IPK ini bukan
ka­rena kebijakan presiden di tingkat nasional, namun karena tekanan
organisasi prokonservasi dan gerakan masyarakat adat yang cemburu
karena tidak mendapatkan bagian keuntungan dari perusahaan kayu.
Dalam orasinya, para penentang ini sering mengatakan bahwa
penutupan IPK ini dilakukan oleh beberapa anggota DPRD yang juga
pen­di­ri dan aktivis LSM prokonservasi untuk menaikkan citra LSM
ter­se­but (Puailiggoubat 2005). Sebagian protes diarahkan kepada bu­
pa­ti yang dianggap telah mendapatkan kekayaan dari kerja sama de­
ngan perusahaan kayu dan tidak peduli lagi dengan kehidupan orang
Mentawai. Di Padang, sebagian pemrotes menggelar demonstrasi me­
nun­tut penutupan kantor YCM—LSM yang aktif memelopori MAIL
dan ter­libat aktif dalam kampanye anti-IPK. Beberapa orang yang
di­du­kung perusahan kayu mengepung kantor LSM dan mengancam
pa­ra aktivisnya. Pendukung perusahaan kayu menggunakan alasan
bah­wa IPK membantu ekonomi masyarakat dan pengusaha lokal di­
ban­dingkan HPH yang dianggap hanya menguntungkan pengusaha
be­sar dari luar.
Namun, ancaman terhadap YCM dan MAIL justru semakin me­
ngu­at­kan posisi kedua lembaga tersebut sebagai simbol perlawanan ter­
ha­dap penebangan ilegal di Mentawai. YCM juga mengkoordinasikan
ak­si-aksi tandingan. Bersama aliansi seperti LSMM (Lembaga Studi
Ma­ha­sis­wa Mentawai), MAIL, KMSPM, dan komponen gerakan aliansi
adat, mereka melakukan demonstrasi ke Kejaksaan Tinggi Padang un­
tuk menuntut diselesaikannya kasus korupsi dan ilegal logging yang
di­la­ku­kan perusahaan kayu. Mereka juga menulis surat dan petisi yang
men­du­kung kejaksaan untuk menegakkan aturan hukum terkait ko­
rup­si dan penebangan liar di Mentawai. Mereka menerbitkan poster
be­sar yang berjudul “Mentawai Menangis: Mentawai Dapatkan Nol
Ru­piah dari Kehancuran Hutan Akibat Ulah HPH dan IPK”.
Poster tersebut disebar secara luas di seluruh Siberut dan Ke­pu­
lau­an Mentawai. Secara visual, poster bergambar eksotik itu—ga­dis
de­kil sedang menangis sambil menggigit inu (kalung manik-ma­nik)
dan me­na­tap ham­pa ke arah tumpukan balok-balok kayu, alat-alat
322 Berebut Hutan Siberut

be­rat, dan kamp pekerja perusahaan kayu—menggugah ke­sa­dar­an


pu­blik. Pos­ter ini mengacu pada pendapatan asli daerah (PAD) ka­
bu­pa­ten yang minim dari sektor kehutanan karena praktik ko­rup­
si (KMSPM 2005: 9). Tetapi, dengan bahasa visual yang tepat dan
kalimat yang hiperbolik, poster ini dengan cepat meningkatkan ke­sa­
dar­an publik terhadap kegagalan pemerintah daerah dalam me­nge­lo­la
hutan di Kepulauan Mentawai. Hal ini menyebabkan pandangan war­
ga terhadap perusahaan kayu dan pemerintah daerah menjadi le­bih
ne­ga­tif. Bahasa ekonomi (nol rupiah) yang digunakan dalam ge­lom­
bang kampanye anti-IPK dan HPH ini sangat tepat untuk memberikan
pe­san kegagalan pemerintah dalam mengelola hutan.
Sesaat setelah poster tersebut disebar, beberapa orang me­nya­
ta­kan lebih baik mereka mengelola sendiri hutan yang mereka miliki
da­ri­pada diserahkan untuk IPK. Kampanye ini menyadarkan publik
bah­wa keuntungan terbesar dari eksploitasi hutan dinikmati oleh peng­
u­sa­ha-pengusaha kayu. Kampanye secara visual dan bahasa yang lugas
ternyata cukup efektif bagi orang Siberut untuk menerima kehadiran
per­juangan kalangan prokonservasi. Kampanye ini, yang sebelumnya
ba­nyak didukung oleh kegiatan pendampingan dan penyadaran ter­
ha­dap nilai-nilai konservasi, dianggap sebagai sebuah momentum ke­
ber­ha­sil­an kalangan prokonservasi untuk menghentikan rezim kayu
dae­rah pascaotonomi. Namun, kekuatan masyarakat sipil tidak dapat
meng­goyah­kan kebijakan menteri kehutanan yang memberikan izin
kepada PT SSS untuk tetap mengangkut balok-balok kayu dari Siberut
ke pasar global.
Bab 8
Adat, Tanah, dan
Batas-batas Pengakuan

Setelah rezim Soeharto berakhir, desakan agar hak masyarakat adat


men­da­pat pengakuan yang tegas dari negara datang dari berbagai ka­
lang­an. Pemerintah mengakomodasi tuntutan ini dengan mengakui
ke­be­r­ada­an masyarakat hukum adat ini dalam amandemen UUD.
Peng­aku­an ini juga disebutkan dalam UU Pengadilan Hak Asasi Ma­nu­
sia, UU Kehutanan 1999 dan peraturan pemerintah lainnya. Misalnya,
Ke­te­tap­an MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pe­nge­lo­la­an Sumber Daya Alam secara eksplisit mengakui hak-hak
adat dan penghormatan terhadap praktik budaya setempat (Moeliono
2005). UUPK memasukkan hutan adat, tetapi mendefinisikannya de­
ngan mengacu pada konsep kepemilikan negara atas kawasan hutan
yang hierarkis dan eksklusif yang dinyatakan dengan ‘hutan negara
yang berada di wilayah adat’. Untuk mendapatkan akses kekuasaan
ter­ha­dap hutan ini, masyarakat membutuhkan identifikasi, kla­si­f i­
ka­si, dan izin administrasi secara resmi dari pemerintah (Li 2002b;
Moeliono 2002).
Terlepas dari beberapa kelemahan acuan hukumnya, masuknya
wa­ca­na konservasi berbasiskan masyarakat, pengakuan terhadap hak-
hak masyarakat adat, dan kebijakan desentralisasi memberi ke­sem­
pat­an kepada masyarakat Siberut untuk menuntut hak atas sumber
da­ya alam dan kehidupan di dalamnya. Wacana-wacana itu membuka
ru­ang manuver bagi orang Siberut. Wacana itu juga memberi pilihan
stra­te­gi untuk mengklaim sumber daya alam dan membangun pintu
re­la­si dengan negara. Tanpa pengakuan dari negara atau otoritas ter­
324 Berebut Hutan Siberut

ten­tu, klaim masyarakat sering tidak mampu menghadapi kekuatan


da­ri luar. Pada praktiknya mendapatkan pengakuan dari negara bu­
kan­lah perkara mudah.
Pengakuan hak-hak adat dan sumber daya cenderung tidak me­
ng­a­lami kemajuan nyata dalam reformasi hukum pertanahan (Fitz­
patrick 2010). Pengakuan aktual terhadap hak-hak adat sangat ter­
gan­tung dari kebijakan kepala daerah dan negosiasi politik di ting­kat
lokal. Bagi penduduk Indonesia yang hidup di kawasan hutan ne­ga­ra,
hak-hak mereka atas tanah tidak secara langsung akan diakui. Me­re­ka
harus berjuang lagi untuk mendapatkannya dengan cara mem­buk­ti­
kan di­ri sebagai subjek yang sesuai dengan aturan resmi. Ketika tidak
se­suai dengan subjek hukum, perjuangan ini bertumpu pada negosiasi
strategis yang sangat bergantung pada tindakan mereka sendiri dan
du­kung­an dari aktor eksternal, dan bukan pada prinsip-prinsip ke­
pas­ti­an hukum yang direstui negara (ibid: 156).
Bab ini akan memaparkan beberapa usaha yang dilakukan war­ga
Si­be­rut dan elite-elitenya dalam memperoleh status pengakuan yang
le­bih formal terhadap tanah dan subjek sebagai orang Siberut da­lam
re­la­si­nya dengan negara dan komponen dari luar. Pengakuan ini sa­
ngat tergantung dari dukungan aktor-aktor eksternal, menggunakan
ber­macam-macam legitimasi, dan berhadapan dengan bidang-bidang
kekuasaan yang beragam. Legitimasi yang digunakan merentang dari
pro­yek-proyek pemerintah, pengakuan internasional maupun dari ce­
lah yang terbuka dari kebijakan yang diambil oleh negara. Masing-ma­
sing pengakuan tersebut memiliki syarat-syarat tertentu dan me­mi­liki
keterbatasannya masing-masing. Apa saja celah munculnya peng­aku­
an? Kapan itu berlangsung? Bagaimana masyarakat Siberut meng­gu­
na­kan kesempatan itu? Dan dilema apa yang mereka hadapi? Per­ta­nya­
an-per­ta­nya­an tersebut akan berusaha dijawab dengan memberikan
empat kasus. Kasus yang ditampilkan berbeda-beda, merentang dari
pe­me­ta­an partisipatif dan sertifikasi tanah, pengakuan terhadap sis­
tem pemerintah terendah, munculnya pendekatan kolaborasi, dan
ins­ti­tusionalisasi gerakan adat.

Peta Partisipatif dan Sertifikasi Tanah

Pemetaan Partisipatif
Konflik batas tanah antaruma yang meningkat dan pesatnya invasi
peng­u­sa­ha untuk mendapatkan akses terhadap hutan membuat orang
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 325

Siberut semakin menyadari pentingnya pengakuan negara terhadap


ta­nah mereka. Pada 1999, menteri negara pertanahan mengeluarkan
per­atur­an yang membuka kemungkinan keluarnya status tanah ko­
mu­nal.1 Jauh Sebelum peraturan itu terbit, Skephi telah mulai mem­
fa­si­li­ta­si masyarakat di Siberut untuk melakukan pemetaan par­ti­si­
pa­tif dalam rangka memperoleh kejelasan status kepemilikan tanah.
Pe­me­ta­an partisipatif ini adalah bagian program konservasi dan pe­
ngem­bang­an taman nasional melalui proyek ICDP dan PKAT yang te­
lah kami bahas pada Bab 5. Tujuan kegiatan ini adalah me­nge­ta­hui
kepemilikan tanah orang Siberut. Hasil pemetaan ini da­pat di­gu­na­
kan untuk pengelolaan kawasan konservasi oleh taman nasional (Ske­
phi 1993) sebagai cara untuk mengembangkan strategi bekerja sa­ma
dengan uma-uma pemilik tanah. Pemetaan tanah-tanah adat ada­lah
bagian dari pengakuan yang lebih luas dan formal dari PKAT ter­ha­dap
isu kepemilikan (Barber, Afif, dan Purnomo 1996: 38).
Pemetaan partisipatif (sering disebut juga community map­ping
atau participatory mapping) banyak digunakan aktivis LSM ber­sa­
ma komunitas-komunitas tertentu untuk menghasilkan peta yang
da­­pat menunjukkan batas wilayah adat (teritori), pola peng­gu­na­an
lahan dan sumber daya alam, pola hubungan sosial, serta po­la hu­
bung­an budaya (dan juga spiritual) komunitas adat dengan wi­la­yah­
nya. Pemetaan partisipatif sendiri adalah suatu alat yang di­per­ca­ya
dapat digunakan untuk mengakomodasi kepentingan ma­sya­ra­kat
dan melakukan konter terhadap kebijakan pengelolaan hutan oleh
ne­ga­ra atau pihak luar (Peluso 2005; 1995). Bagi kalangan LSM, pe­
me­ta­an partisipatif dipercaya mampu memberikan wacana tan­ding­
an dengan memberikan peluang partisipasi yang luas untuk me­nen­
tu­k­an penggunaan sumber daya alam bagi masyarakat (Peluso 2005:
9). Pe­me­ta­an ini erat kaitannya dengan usaha masyarakat untuk me­
ne­gak­kan klaimnya terhadap sumber daya yang mereka miliki.
Masyarakat Siberut menerima inisiatif ini, meskipun awalnya ra­
gu-ra­gu. Staf Skephi dibantu Yasumi yang melakukan pemetaan di­cu­
ri­gai akan mengambil tanah orang Siberut dan mendapat penolakan.
De­ngan bermacam-macam pendekatan, mereka sedikit berhasil meng­
a­jak masyarakat untuk memetakan tanah yang dimiliki oleh masing-
ma­sing uma, kebun, tempat pengambilan rotan, dan batas-batas ta­
nah. Namun, setelah tujuh bulan kegiatan pemetaan dilakukan, pe­ta

1 Peraturan Menteri Negara Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
326 Berebut Hutan Siberut

yang di­ha­sil­kan masih belum jelas. Menurut keterangan dari be­kas


staf Ya­su­mi yang mendampingi Skephi, masyarakat sukar meng­gu­na­
kan teknologi yang cukup canggih saat itu seperti kompas atau GPS.
Mekanisme partisipatif pun juga sulit diwujudkan karena orang Si­be­
rut menceritakan kawasan yang dimilikinya berdasarkan ingat­an atau
cerita-cerita dan merujuk batas-batas alam di masa lampau yang se­
ka­rang banyak yang telah hilang sehingga batas-batas definitif su­kar
diperoleh. Laporan Skephi (1993: 19-30) menyatakan, “Sulit meng­
gam­bar sketsa dari daun dan lidi sagu ke lembaran kertas besar... dan
sa­ngat jarang yang sabar menulis dengan pensil karena kebiasaan
lisan.”
Seiring waktu, masyarakat mau terlibat dalam menyiapkan sket­
sa yang menunjukkan batas-batas tanah dan wilayah uma mereka.
Me­la­lui metode participatory rural appraisial (PRA), Skephi dibantu
oleh Ya­su­mi memfasilitasi pembuatan peta partisipatif. Hasil yang
di­ha­rap­kan dari kegiatan ini adalah terciptanya peta dan deskripsi
geo­gra­fi yang jelas guna memastikan ruang gerak dan otoritas ma­sya­
ra­kat Siberut, sebagai jaminan masa depan. Dengan peta yang je­las,
masyarakat diharapkan mendapat pengakuan legal dan politik atas
hak menggunakan sumber daya (ibid). Melalui pemetaan ini, di­ha­
rap­kan pengelola kawasan konservasi dapat bekerja sama dengan
uma-uma pemiliknya yang secara de facto memiliki otoritas terhadap
ka­was­an yang telah ditunjukkan negara itu.
Praktik pemetaan partisipatif merevitalisasi kesadaran ma­sya­ra­
kat terhadap arti penting batas-batas tanah yang dalam waktu ter­ten­tu
diabaikan. Peta tersebut menyediakan informasi mengenai ke­pe­mi­lik­
an lahan, batas-batas tanah, dan rincian mengenai sumber da­ya yang
memiliki nilai sosial dan ekonomi seperti durian, sagu, dan po­hon-po­
hon penting yang menjadi atribut sosial bagi orang Siberut. Namun,
pro­yek ICDP berhenti sebelum peta tersebut benar-benar lengkap.
Ada rumor yang menyatakan bahwa peta itu kemudian di­man­
fa­at­kan oleh beberapa orang yang dulunya terlibat dalam pro­ses pe­
me­ta­an untuk meraih keuntungan dengan menjualnya ke perusahaan
ka­yu.2 Dengan peta itu perusahaan kayu dianggap dapat lebih mu­dah
me­nge­ta­hui uma-uma pemilik lahan dan batas-batas tanah kon­se­si­
nya. Karena itu, peta-peta ini, terutama di luar kawasan taman na­sio­
nal, sangat penting bagi perusahaan kayu untuk melakukan ne­go­sia­si

2 Wawancara dengan Aman Fajar dari Uma Sabolak, Juli 2005. Hal sama juga dikatakan oleh Aman
Frans dari Uma Sirirui yang pernah bekerja di Yasumi.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 327

dengan pemilik tanah dan hutan. Perusahaan kayu juga bisa meng­am­
bil man­fa­at dengan menentukan di mana lokasi-lokasi yang memiliki
ca­dangan kayu cukup tinggi dan di mana lokasi yang sudah menjadi
perladangan penduduk. Informasi dari peta partisipatif memudahkan
perusahaan untuk menghindari lahan-lahan yang dibudidayakan agar
tidak terkena denda-denda adat.
Rumor mengenai penjualan peta oleh aktivis LSM ini beredar lu­
as dan nyaris diterima sebagai fakta. Argumen mengenai penjualan
pe­ta itu ke perusahaan kayu tidak sepenuhnya berlangsung seperti
yang dipersepsikan oleh masyarakat. Dari laporan pemetaan par­ti­si­
pa­tif yang dibuat Yasumi (1997), belum semua kawasan Siberut te­
lah di­pe­ta­kan kepemilikannya. Beberapa kali penolakan dari warga
Si­ma­ta­lu dan Simalegi menyebabkan peta tersebut belum sepenuhnya
meng­gam­bar­kan keseluruhan peta kepemilikan. Membuat peta ke­
pe­mi­lik­an membutuhkan waktu yang sangat panjang mengingat ke­
ru­mit­an kepemilikan tanah dan hutan di Siberut. Peta-peta itu juga
be­lum menjangkau keseluruhan kawasan yang ada di Siberut. Hanya
se­di­kit di bagian tenggara Siberut dan di bagian pantai timur sebelah
uta­ra, peta-peta ini memiliki data yang cukup lengkap. Perusahaan
ka­yu tidak bisa mengandalkan peta-peta sejenis ini untuk memulai
ope­ra­si penebangannya.
Rumor bahwa perusahaan kayu membeli peta tersebut dari LSM
ju­ga cukup meragukan. Dokumen AMDAL PT KAM maupun PT SSS ti­
dak satu pun mencantumkan keterangan dari peta partisipatif yang di­
bu­at oleh Yasumi dan Skephi. Laporan pemetaan partisipatif dan peta-
peta yang telah dihasilkannya—meskipun tidak lengkap—bisa diakses
secara terbuka oleh siapa saja tidak hanya oleh LSM pembuatnya. Peta
Belanda jauh lebih lengkap memetakan wilayah kepemilikan hutan dari
peta partisipatif tersebut. Adanya dugaan bahwa peta-peta partisipatif
ter­sebut dijual kepada perusahaan kayu lebih bersifat rumor. Rumor
ini muncul karena adanya banyak informasi yang tidak pernah bisa
di­ve­ri­fik
­ a­si. Rumor-rumor ini lebih sering digunakan untuk berbagai
ma­cam kepentingan. Bisa mengecam perusahaan kayu. Kadang di­
gu­na­kan untuk mengkritik elite-elite terdidik yang bekerja dengan
per­u­sahaan kayu. Kadang juga digunakan untuk mengecam taman
nasional. Rumor mengenai penjualan peta-peta ini adalah salah satu
cara orang Siberut untuk menolak adanya representasi kepentingan
ke­pa­da orang lain.
Rumor mengenai pemetaan partisipatif ini hingga sekarang masih
terasa sebagai kerikil dalam sepatu bagi aktivis LSM. Rumor ini me­lu­
328 Berebut Hutan Siberut

as dan menjadi tidak terkendali. Beberapa aktivis LSM yang sekarang


ma­sih aktif pun terimbas oleh rumor ini. Pemetaan partisipatif yang di­
ang­gap sebagai cara untuk mengakomodasi partisipasi masyarakat de­
ngan bantuan LSM berbalik arah. Aktivis LSM tidak menyadari dampak
tak terduga dari pemetaan partisipatif ini.3 Akibat nyata munculnya
pe­me­ta­an partisipatif adalah merangsang kembali pembicaraan tanah
secara lebih intensif. Pemetaan partisipatif meningkatkan kesadaran
ba­tas-batas wilayah yang dikuasai masing-masing uma. Kesadaran
atas hak adat menyebabkan batas-batas sosial, teritorial, dan ekonomi
di­abaikan beberapa waktu—tentang siapa pemilik tanah (sibakkat lag­
gai), siapa pendatang (si toi) atau keturunan mana yang paling ber­hak
atas tanah—diperkuat kembali. Batas-batas geografis milik uma men­
ja­di le­bih problematis bukan hanya karena batas-batasnya sen­di­ri te­
ta­pi implikasi batas-batas tersebut bagi diferensiasi sosial dan kontrol
kekuasaan atas tanah yang sekarang bernilai ekonomis.
Lebih dari itu, proyek yang didesain untuk menyelesaikan ma­sa­
lah dan sengketa masalah tanah, malah sebaliknya meningkatkan ke­
te­gang­an antarmasyarakat. Pemetaan yang direncanakan untuk men­
da­pat­kan pengakuan kolektif terhadap tanah dan sumber daya alam
ma­lah merangsang ketegangan antaruma. Uma satu dengan uma la­in
sa­ling mengklaim tanah yang sama. Bagi masyarakat Siberut, pe­me­
ta­an partisipatif akan mudah digunakan dan dimanfaatkan oleh se­ke­
lom­pok orang yang memiliki akses terhadap pengusaha untuk me­la­
ku­kan “privatisasi” lahan. Pengetahuan akan nama-nama tempat dan
lo­ka­si serta sejarah di dalamnya dikhawatirkan akan mudah ditukar
men­ja­di uang oleh anggota kelompok mereka sendiri atau kelompok
la­in kepada pihak luar. Kekhawatiran ini cukup beralasan, karena da­
lam banyak kasus para elite terdidik di Padang banyak bekerja sa­ma
dengan perusahaan kayu untuk menjual lahannya. Proyek pe­me­ta­
an ini merangsang kembali klaim-klaim sumber daya alam dan kon­
flik tanah yang belum terselesaikan di masa lalu. Sejak itu, pro­ses
pemetaan partisipatif tidak pernah dilakukan oleh kelompok pro­kon­
ser­va­si karena akan merangsang munculnya konflik.

Sertifikasi Tanah
Usaha lain untuk mendapatkan pengakuan negara bagi tanah ula­
yat di­la­ku­kan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Me­
re­ka me­ngem­bang­kan program sertifikasi tanah untuk mendata ta­nah-
3 Keterangan dari staf Yasumi, Juni 2005
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 329

ta­nah milik warga Siberut .4 Program ini bertujuan untuk mempercepat


pro­ses pembangunan Mentawai, memperlancar masuknya investasi,
dan mempermudah penyediaan pelayanan Badan Pertanahan Na­
sio­nal (BPN) (Anonim 2005b: 1). Sampai Agustus 2005, informasi
me­ngenai program tersebut tersiar cepat ke seluruh desa di Siberut.
Kampanye yang disampaikan ke penduduk adalah tentang “kepastian
hak milik”. Camat setempat mengadakan pertemuan dengan kepala-
kepala desa untuk mempromosikan program ini. Meskipun sebagian
status daratan Siberut adalah kawasan hutan, program sertifikasi ini
dilakukan tanpa koordinasi dengan pihak Departemen Kehutanan.
Program sertifikasi tanah ini mencerminkan adanya persaingan
in­ter­nal di tubuh birokrasi pemerintah dalam penguasaan tanah. Se­
ba­gi­an besar tanah di Siberut adalah kawasan hutan negara sehingga
BPN hanya bisa menerbitkan sertifikat kepemilikan di APL atau di
per­mu­kim­an-permukiman yang telah dikeluarkan statusnya dari hu­
tan. BPN seharusnya hanya bisa memberikan sertifikat kepemilikan
un­tuk tanah-tanah yang termasuk kategori tanah pribadi atau APL.
Se­men­ta­ra itu, keputusan Presiden Nomor 34/2003 memberikan ke­
we­nang­an BPN kabupaten atau kota untuk mengurus masalah per­
ta­nah­an­nya secara mandiri. Hal ini dimanfaatkan oleh Pemda untuk
membuat kebijakan tersendiri mengenai tanah, yang seringkali tidak
se­suai dengan aturan dari departemen lain. Situasi ini menjadi suatu
con­­toh konkret ketidakpastian hukum dalam urusan pertanahan
pasca­desentralisasi.
Sebagian kecil warga Maileppet atau Taileleu yang memiliki tanah
di kawasan yang statusnya belum definitif sebagai kawasan hutan atau
APL mengajukan sertifikat tanah. Para pemilik tanah yang cukup luas
se­per­ti pengusaha dari Nias di Muara Siberut mendaftarkan tanahnya
yang ada di Desa Maileppet untuk disertifikatkan. Bagi penduduk yang
be­lum memiliki dan mengenal sertifikasi tanah, program ini men­cip­ta­
kan kegamangan. Beberapa orang sangat antusias mendaftarkan tanah-
ta­nah milik uma mereka karena menginginkan status kepemilikan
yang man­tap. Dengan program sertifikasi ini, penguasaan atas tanah
di­akui oleh negara dan mendapat status hukum yang resmi. Dengan
ada­nya pengakuan dari negara, tanah-tanah mereka juga lebih aman
da­ri pe­nye­ro­bot­an dari pihak-pihak luar yang memiliki kekuasaan
yang be­sar atau dari uma lain. Akan tetapi, mereka kebingungan untuk

4 Program sertifikasi tanah dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional dan di Mentawai dikuatkan Ke­te­tap­
an Bupati No 6/2003, 30 Desember 2003.
330 Berebut Hutan Siberut

me­nen­tu­kan nama pemilik dalam surat akta tanah. Selain itu, mereka
ju­ga ragu karena diharuskan membayar pajak jika tanah tersebut su­
dah ber­ser­ti­fik
­ at. Saat program sertifikat tanah disosialisasikan di
kan­tor Ke­ca­mat­an Siberut Selatan salah seorang warga Rogdok yang
meng­ha­diri acara tersebut menyatakan:
Uma kami ingin mendaftarkan tanah yang kami miliki untuk
diakui oleh negara. Kami tidak ingin pengalaman pemindahan
dan pengusiran melalui program pemukiman kembali di masa
lalu terjadi lagi. Namun, jika kami punya sertifikat, kami harus
membayar pajak kepada pemerintah setiap tahun. Saya tidak
tahu bagaimana mendapatkan uang untuk pajak tersebut secara
rutin.5

Dari beberapa kali sosialisasi pemerintah dan percakapan in­for­


mal se­ha­ri-hari, orang Siberut mulai menyadari selain untuk men­
da­pat pengakuan negara, sertifikat tanah juga dapat berfungsi se­
ba­gai jaminan dalam mendapatkan modal usaha. Di tempat-tempat
yang dekat dengan akses pasar, terutama di kota-kota utama seperti
Muara Siberut dan Muara Sikabaluan, penjualan tanah sudah terjadi
se­jak lama. Banyak pemilik tanah yang ingin menjual tanah mereka
ter­ben­tur dengan masalah kepemilikan tanah, yang seusai tradisi di­
mi­liki oleh uma bukan pribadi. Namun, bagi beberapa pemilik tanah
(sibakkat laggai), program sertifikasi tanah ini adalah bentuk peluang
un­tuk investasi pemantapan aset tanah yang mereka miliki. Mereka
ber­ang­gap­an, tanah yang mereka sertifikatkan akan bernilai lebih
mahal. Mereka dapat melihat adanya kesempatan mendapatkan uang
tunai (modal) untuk investasi usaha, biaya sekolah anak-anak, atau
un­tuk membeli barang-barang berharga seperti televisi, motor, atau
me­sin tempel dari penjualan tanah. Para pemilik tanah di sekitar Mua­
ra Siberut, Puro, dan Maileppet di dekat kota kecamatan Siberut le­
bih cepat kehilangan tanahnya setelah mendapatkan sertifikat tanah.
Kasus Uma Samalagasat di Maileppet merupakan kasus yang paling
ter­ke­nal. Tanah-tanah yang sudah disertifikatkan segera dijual oleh
ang­go­ta­nya kepada para migran (Darmanto 2010a: 17).
Penerbitan sertifikat tanah membawa implikasi munculnya for­
ma­li­sa­si sistem hak kepemilikan dan akan memprivatisasikan tanah
yang se­be­lum­nya milik uma. Formalisasi hak kepemilikan tanah ini
akan mengubah hubungan-hubungan sosial di dalam uma maupun
5 Wawancara dengan warga Rogdok, Agustus 2005.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 331

an­tar­uma. Privatisasi ini juga dapat menjadi pelatuk bagi konflik in­
ter­nal mengenai tanah dan hutan karena corak egaliter struktur sosial
di dalam uma terganggu. Kondisi ini telah berlangsung di daerah se­
ki­tar Muara Siberut, di mana nilai jual tanah meningkat karena ke­
bu­tuh­an untuk membuka kebun-kebun kakao. Kebutuhan terhadap
ta­nah dan rangsangan ekonomi akan memicu timbulnya masalah-ma­
sa­lah tanah yang belum terselesaikan di masa lalu (Darmanto 2008a).
For­ma­li­sa­si mengenai kepemilikan tanah komunal ini juga ber­pe­
luang meng­geser solidaritas masyarakat Mentawai dari unit sosial
uma men­ja­di individu.
Generasi muda Mentawai lebih menyukai kepemilikan tanah se­
ca­ra pribadi dan berusaha secara pelan-pelan melepaskan diri dari
ke­ter­ik
­ at­an umanya dalam hal kepemilikan tanah. Mereka antusias
me­nyam­but program sertifikasi tanah dan memandang bahwa ke­pe­
mi­lik­an yang lebih formal dan diakui negara akan menghindarkan
ter­ja­di­nya konflik di masa mendatang. Mereka berargumen, konflik
pe­re­but­an tanah antaruma adalah urusan gengsi sosial para orang tua
(sikebbukat) di masa lalu. Konflik tanah ini tidak produktif dan me­
nye­bab­kan permusuhan yang tidak pernah putus-putusnya. Me­re­ka
cenderung membeli tanah secara pribadi, meskipun proses ke­pe­mi­
lik­an tanah pribadi dalam kebiasaan Mentawai sangatlah sulit. Ka­li­
mat-kalimat dari Aman Sarno dari Uma Maileppet berikut ini meng­
gam­bar­kan situasinya:
Setiap hari, sekarang ini masalah tanah selalu muncul di De­sa
Maileppet. Banyak sekali permusuhan. Dulu yang kita ber­sau­
da­ra, berpisah gara-gara tanah. Sekarang lebih baik saya punya
ta­nah sendiri. Membeli dari keringat sendiri. Biar teteu (orang
tua) yang meributkan masalah tanah ini. Punya tanah sendiri
me­mang lebih susah karena harus beli. Tapi jauh lebih aman. Ti­
dak banyak gangguan dari saudara. Bila saya punya tanah yang
telah ada sertifikat, itu akan lebih mudah untuk dijual atau di­
ga­dai­kan dan dijadikan jaminan ke bank atau untuk mendapat
kre­dit motor.

Para migran dan pemilik-pemilik tanah, yang berpeluang men­ju­


al tanahnya, juga menyambut program sertifikasi. Hal ini dapat men­
je­las­kan adanya perubahan dan pergeseran kepemilikan tanah ber­ka­it
dengan perubahan sosial dan faktor produksi. Dengan adanya ser­ti­fi­
332 Berebut Hutan Siberut

kat, tanah yang dimiliki pribadi secara resmi akan diakui dan dijamin
oleh negara. Melalui kepemilikan pribadi, seseorang dapat mengklaim
tanah dan kebunnya melalui sertifikat tanah atau surat jual-beli yang
diakui negara, sekurang-kurangnya oleh pemerintahan desa.
Bagi sebagian orang Siberut, kepemilikan tanah pribadi dapat
me­man­tap­kan jaminan hak dan pengelolaan yang selama ini tidak per­
nah stabil. Keinginan memiliki tanah pribadi juga mengindikasikan
hal yang le­bih luas, yakni mengalihkan fungsi tanah menjadi investasi
dan ko­mo­di­tas. Dengan program sertifikasi tanah, eksklusivitas ke­pe­
mi­lik­an tanah dapat diakui sehingga setiap keluarga memiliki otonomi
yang ting­gi. Dengan jalur ini, tanah dijadikan modal ekonomi dengan
cara un­tuk jaminan utang, diagunkan di bank, atau disewakan. Pas­
ca­de­mam kakao yang berlangsung sejak 2003, beberapa elite Siberut
mu­lai mem­be­li tanah di sekitar kota kecamatan. Mereka bukan sekadar
mem­be­li tanah untuk berladang atau mengumpulkan makanan tetapi
ju­ga sebagai investasi yang suatu saat nanti meningkat daya jualnya
se­hing­ga bisa memberi keuntungan yang lebih tinggi. Jika mereka
men­da­pat­kan tanah, kadang mereka menjualnya dengan harga yang
ting­gi lagi kepada migran.
Generasi baru Mentawai menganggap tanah yang dimiliki uma
me­re­ka rentan diklaim dan memicu konflik dengan uma lain. Dengan
peng­al­ am­an yang rumit dalam menyelesaikan masalah tanah, se­ba­gi­
an kecil pemilik tanah di sekitar Muara Siberut menyatakan me­re­ka
lebih baik tidak mengetahui asal-usul kepemilikan tanah agar ter­hin­
dar dari konflik yang berlarut-larut. Sistem kepemilikan tanah me­la­lui
adat dirasa efektif di masa lalu, tetapi rentan memicu konflik di ma­sa
sekarang, terlebih lagi apabila generasi selanjutnya tidak me­ngu­a­sai
sejarah proses kepemilikan tanah. Alhasil, tanah-tanah yang ti­dak
mendapat pengakuan dari negara, banyak yang dijual oleh uma pe­mi­
lik­nya. Uang hasil penjualan tanah tersebut kemudian dibelikan kem­
ba­li tanah milik uma lain. Tindakan ini secara sengaja mereka lakukan
ka­re­na dua pertimbangan. Pertama, tanah-tanah yang mereka miliki
se­be­lum­nya tidak memiliki surat resmi dari pemerintah sehingga
ren­tan terhadap konflik dan klaim dari uma lain. Kedua, tanah yang
me­re­ka beli berikutnya melibatkan persetujuan dari kepala desa dan
pe­mi­lik­nya yang sah. Surat dari kepala desa ini menjadi komponen
pen­ting sebagai bentuk pengakuan dari negara. Surat jual-beli tanah
yang disahkan oleh kepala desa dapat digunakan sebagai syarat untuk
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 333

men­da­pat­kan sertifikat.6
Di tempat yang jauh, di mana akses ekonomi masih terbatas dan
pe­mi­nat tanah sangat sedikit, program sertifikasi ini kurang diminati.
Mes­ki­pun wacana sertifikasi tanah ini pernah hangat dibicarakan pa­
da 2004-2005, program tersebut tidak berhasil mengalihkan tanah-
ta­nah adat yang masih dalam status kepemilikan uma. Sertifikasi ta­
nah hanya diminati di tanah-tanah yang terletak di permukiman yang
di­ben­tuk pemerintah atau kota kecamatan. Orang Siberut masih me­
li­hat adanya masalah-masalah administrasi dalam pengalihan ta­nah
adat yang dimiliki uma ke dalam sistem registrasi tanah yang di­spon­
sori pemerintah. Masyarakat juga menyadari bahwa tanah-tanah me­
re­ka statusnya adalah kawasan hutan negara yang tidak dapat di­ser­ti­
fi­kat­kan oleh BPN. Tanpa koordinasi dengan Departemen Kehutanan
yang me­ngu­a­sai hampir 90% tanah di Siberut, usulan sertifikasi tanah
yang pa­da mulanya disambut antusias ini, pelan-pelan ditinggalkan.
Usul­an-usulan sertifikasi hanya terjadi terhadap tanah-tanah dekat
Muara Siberut dan kebanyakan dilakukan para pendatang.

Ranperda Laggai dan Imajinasi Otonomi


Peluang otonomi daerah juga dimanfaatkan untuk mengajukan
ide ten­tang pemerintahan terendah yang dianggap khas Mentawai. Dua
je­nis pemerintahan terendah yang pernah diterapkan di Kepulauan
Men­ta­wai, yakni desa dan nagari, dianggap tidak sesuai dengan budaya
Men­ta­wai dan dikaitkan dengan budaya Jawa dan Minangkabau. Ma­
sya­­ra­kat Mentawai diasumsikan memiliki tata pemerintahan tersen­diri
yang asli, yaitu laggai. Laggai diasumsikan sebagai kekuatan otonom
yang me­lahirkan pemimpin lokal khas Mentawai dan juga sum­ber
ni­lai bagi budaya Mentawai. Menurut beberapa pendukung wa­cana
ini, lag­gai dapat digunakan sebagai medium perjuangan politik untuk
meng­akui hak-hak adat terhadap tanah yang diabaikan pemerintah

6 Kasus-kasus yang ditampilkan di sini diambil dari tenggara Siberut, terutama yang berlokasi dekat kota
ke­ca­mat­an. Daerah ini mengalami transformasi paling intensif di Pulau Siberut. Daerah di sekitar Muara
Si­be­rut adalah pusat transformasi sosial. Daerah ini merupakan pusat pemerintahan, perdagangan,
dan pen­di­dik­an yang sangat penting. Penetrasi kolonial pertama kali terjadi di daerah ini, begitu pula
de­ngan permukiman imigran. Daerah ini juga merupakan lokasi pelabuhan terpenting di Pulau Siberut.
Di Maileppet, kebijakan proyek PKMT Departemen Sosial pertama kali diimplementasikan menyusul di
De­sa Muntei dan Muara Siberut. Penduduk Sabirut menjalin kontak dan hidup berdampingan dengan
pa­ra pendatang dari Sumatra atau Jawa. Hampir semua penduduk di daerah ini telah terintegrasikan
de­ngan pasar. Mereka sangat tergantung pada produksi tanaman komersial mulai dari kelapa, ceng­
keh, nilam, dan belakangan kakao.
334 Berebut Hutan Siberut

(Sa­ma­loi­sa 2007: 3). Argumentasi pokoknya, dengan adanya konsep


lag­gai, hak-hak adat (terutama sumber daya alam) akan mendapat
peng­aku­an negara. Laggai dipandang sebagai instrumen yang paling
te­pat untuk mengelola sumber daya alam karena kekuasaan berada di
ting­kat orang Mentawai.
Ide awal laggai diusulkan beberapa elite Mentawai yang berasal
da­ri aktivis LSM, mahasiswa, dan tokoh agama serta didukung oleh
Pe­me­rin­tah Su­ma­tra Barat. Sikap pemerintah provinsi ini dilakukan
se­ba­gai ben­tuk penebusan kesalahan negara di masa rezim Orde Baru
yang me­mak­sa­kan tata pemerintahan yang berasal dari luar.7 Dengan
me­ne­rap­kan desa atau nagari sebagai sistem pemerintahan terendah,
re­zim Orde Baru dianggap telah mencabut hak-hak masyarakat Men­ta­
wai terhadap sumber daya adat. Wacana laggai merefleksikan adanya
ke­ingin­an mendapatkan otonomi yang kuat bagi orang Mentawai
hing­ga ke tingkat pemerintahan terendah.
Penggunaan istilah laggai mengundang perdebatan. Sebelum di­
ben­tuk Ranperda Laggai, beberapa kajian dan lokakarya telah di­la­ku­
kan. YCM dan beberapa aktivis mengadakan diskusi di beberapa du­
sun atau desa untuk mencari arti yang tepat bagi istilah laggai, karena
is­ti­lah ini memiliki pengertian berbeda-beda di tempat yang berbeda
sehingga memunculkan beragam penafsiran. Laggai, dalam bahasa
Mentawai, banyak diartikan sebagai “batu” atau “kerikil”. Namun,
laggai juga dapat diartikan sebagai “tempat”, yang memiliki pengertian
sosial hampir setara dengan “asal-usul” dalam bahasa Indonesia. Di
luar pengertian yang mudah diterima itu, di tempat yang lain, misalnya
di Rereiket, laggai justru memiliki pengertian yang memalukan, yang
mengacu pada kemaluan laki-laki (bandingkan Samaloisa 2007: 41).
Istilah laggai di Siberut juga biasa digunakan untuk merujuk asal
dari suatu tempat (Schefold 1991). Istilah laggai menjadi kata da­sar
bagi kata pulaggajat. Pulaggajat adalah sebidang tanah atau se­kum­
pul­an bidang tanah yang secara eksklusif digunakan secara bersama
oleh anggota uma atau keturunan bersama tertentu (Reeves 2004).
Akan tetapi, istilah pulaggajat lebih banyak dikaitkan dengan tempat
se­o­rang individu atau uma bermukim, terlepas apakah tempat tersebut
me­ru­pa­kan tanah yang secara eksklusif dimiliki atau digunakan oleh
uma tertentu. Menurut salah satu informan, istilah pulaggajat me­
rujuk pada suatu tempat yang telah ditempati. Istilah ini diacu untuk
menyebut suatu kawasan tertentu yang terletak di daerah aliran sungai
7 Keterangan dari pejabat Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, dimuat di Puailiggoubat, Januari 2003.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 335

besar yang dihuni atau daerah yang sudah pernah ditempati oleh
beberapa uma. Umumnya daerah ini dicirikan oleh kesamaan dialek
bahasa dan beberapa ciri-ciri lain seperti variasi pembayaran denda,
tata cara pernikahan, dan lain-lain. Orang Siberut sering menyebut
daerah-daerah tertentu; semisal Sabirut, Rereiket, Saibi, Taileleu,
serta Katurei sebagai pulaggajat. Istilah pulaggajat cenderung dipakai
sebagai jawaban atas pertanyaan dari mana asal seseorang. Pada
masa sekarang, pulaggajat sering digunakan secara bergantian untuk
mengacu pada dusun, meskipun beberapa keterangan menyatakan
bah­wa istilah pulaggajat lebih luas dari dusun, baik dalam arti fisik
mau­pun sosial.
Istilah laggai tidak mendapat konsesus yang benar-benar meng­i­
kat. Dalam beberapa diskusi lain, istilah laggai disebut tidak memuat
pe­nger­ti­an wilayah atau teritori yang diatur melalui kekuasaan. Me­ka­
nis­me kekuasaan atas sumber daya alam dan wewenang mengatur me­
ka­nis­me kekuasaan hanya bisa diterapkan pada uma. Beberapa orang
me­nye­but laggai bukanlah tata peme­rintahan. Itu hanyalah istilah yang
me­ru­juk asal-usul atau tempat asal yang dihuni bersama oleh beberapa
uma atau beberapa keluarga yang sekerabat. Mengingat otonomi di
ting­kat uma, laggai sebagai unit pemerintahan dan kekuasaan belum
per­nah diterapkan. Orang Mentawai tidak mengenal pemimpin lag­gai,
yang memiliki otoritas politik atau diberikan kewenangan me­me­rin­
tah di suatu wilayah tertentu. Perdebatan istilah laggai ini membuat
se­ba­gi­an perumus laggai Mentawai meragukan kesiapan masyarakat
apa­bi­la laggai diterapkan. Alasan ini kemudian diperkuat dengan ar­
gu­men bahwa masyarakat sudah sangat lama meninggalkan sistem
lag­gai. Kekhawatiran ini tampaknya bertentangan dengan keyakinan
me­re­ka bahwa laggai adalah kearifan lokal yang dikenal di Mentawai
se­be­lum ada pemerintahan dari luar.
Dengan tidak adanya konsesus yang tetap dan juga pengertian
yang meng­i­kat, pihak pemerintah daerah sendiri cenderung memilih
de­sa sebagai unit pemerintahan terendah. Pemerintah daerah—yang
di­wa­kili pernyataan bupati dan ketua DPRD pada 2003—menyatakan
is­ti­lah laggai tidak bisa diterapkan secara menyeluruh di Kepulauan
Men­ta­wai (Puailiggoubat 2003). Tidak sekadar menyangkut per­be­
da­an bahasa, pengertian laggai seperti yang diusulkan oleh tim pe­ru­
mus, menurut mereka, belum pernah diterapkan di Mentawai. Justru
kon­sep desalah yang sudah lama menjadi bagian dari pemerintahan
di Men­ta­wai. Pernyataan resmi bupati ini mengundang protes dari ka­
lang­an prolaggai dan pemerintah provinsi dan memicu polemik yang
336 Berebut Hutan Siberut

lu­as. Perdebatan ini menunjukkan bahwa, meskipun laggai dianggap


se­ba­gai sistem pemerintah yang otentik, ia diragukan karena belum
per­nah ditemukan contoh praktiknya dalam sejarah.
Pada 2002, DPRD Sumatra Barat memotori dikeluarkannya Ran­
cang­an Peraturan Daerah mengenai laggai. Namun, dalam draf Ran­
per­da ini, laggai tidak memiliki kekhasan prinsip jika di­bandingkan
de­sa. Syarat-syarat, asal-usul, dasar filosofi, dan administrasi lag­gai
yang khas, yang berasal dan terdapat hanya dalam budaya Men­ta­
wai, ti­dak dapat ditunjukkan secara memuaskan. Beberapa kritik
me­nga­ta­kan, tidak ada beda antara laggai dan desa, dan bahkan se­
ba­gi­an menyatakan ada kontradiksi dengan besarnya peran pe­me­rin­
tah provinsi (Susilaningtyas 2006).8 Susunan birokrasi laggai da­lam
Ranperda sangat menyerupai desa, lengkap dengan aparat tu­run­an­nya
seperti dusun dan kepala-kepala urusan. Di dalam hal wi­layah ad­mi­
nis­tra­si, teritori laggai juga ditentukan seperti layaknya desa la­in de­
ngan membuatnya di atas peta. Secara tradisional, batas-ba­tas sebuah
lag­gai agak sukar ditentukan karena laggai, dalam pengertiannya se­
ba­gai kampung tradisional, tidak punya batas-batas administrasi atau
wilayah kekuasaan.
Banyak penduduk desa menyatakan, jika laggai diterapkan, akan
ter­da­pat dualisme pemerintahan dengan stuktur yang sama. Se­ba­gi­
an be­sar warga Siberut menyatakan bahwa desa lebih sesuai ka­re­na
me­re­ka sudah terbiasa dengan sistem tersebut. Penggunaan lag­gai
jus­tru dikhawatirkan akan memperumit pelaksanaan peme­rintahan
ka­re­na me­mi­liki pengertian berbeda-beda di seluruh Mentawai. De­
sa ju­ga dianggap lebih mudah dipahami dan telah dipraktikkan se­la­
ma puluhan tahun. Lagipula, desa bukanlah sistem yang meng­ha­langi
peng­aku­an adat dan ulayat. Hal ini menjadi alasan yang ku­at bagi bu­
pa­ti untuk tetap mempertahankan desa sebagai sistem pe­me­rin­tah­an
terendah.
Menurut analisis hasil penelitian Samaloisa (2007: 62-70), wa­
ca­na sekitar Ranperda Laggai memuat kepentingan ekonomi-politik.
Di si­ni ada pertarungan kepentingan internal di dalam pemerintahan
(eksekutif dan legislatif) di Kepulauan Mentawai. Tertundanya proses
ini dikarenakan terdapat elite politik yang akan terganggu kepentingan

8 Draf Ranperda Laggai tercantum dalam Puailiggoubat, Januari 2002. Pemerintah provinsi juga di­se­
but­kan menjadi pihak kunci yang memfasilitasi, mengawasi, dan memberdayakan laggai. Ranperda
tersebut secara eksplisit mencantumkan peran langsung pemerintah provinsi karena memberikan nota
keberatan atas pembatalan peraturan laggai. Hal ini tentu saja berkebalikan dengan tuntutan dan
semangat otonomi daerah.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 337

politik dan ekonominya bila laggai diterapkan. Kelompok-kelompok


yang menghambat munculnya laggai didukung oleh kalangan industri
kayu. Jika laggai diterapkan, kekuasaan atas tanah dan sumber daya
alam di Mentawai akan beralih ke tangan rakyat (Samaloisa 2003).
Oleh karena itu, pihak perusahaan kayu dan pejabat yang mendapat
keuntungan dari bisnis kayu harus bernegosiasi dengan masyarakat
terlebih dahulu. Hal ini akan mengurangi kekuasaan pemerintah atas
sumber daya alam. Kalangan aktivis juga menduga, pencari IPK atau
HPH harus bernegosiasi dengan masyarakat secara langsung, dan bu­
kan dengan kepala desa, bupati, atau Dinas Kehutanan, apabila sistem
lag­gai diterapkan.9
Asumsi mengenai laggai sebagai pemerintah terendah—leng­kap
dengan struktur kekuasaan dan batas-batas teritorinya—mu­dah di­ban­
tah. Hasil penelitian etnografi (Loeb 1972; Nooy-Palm 1969; Schefold
1988; 1991) tidak pernah merujuk adanya sistem pemerintahan di
Mentawai. Tata cara pengaturan kehidupan sosial tidak pernah diatur
me­la­lui adanya suatu kepemerintahan yang mengandaikan adanya
yang di­pe­rin­tah dan memerintah. Struktur sosial dan corak produksi
orang Si­be­rut tidak memungkinkan terbentuknya integrasi politik
yang lu­as. Unit politik berada di wilayah uma, atau da­lam pengertian
yang le­bih luas ada dalam sirubeiteteu atau rak-rak. Pengaturan ten­
tang sum­ber daya dan tata kepemerintahan dilangsungkan secara in­
ter­nal oleh uma melalui negosiasi-negosiasi individu. Penguasaan atas
ta­nah, sumber daya di atasnya, dan tentang hubungan-hubungan me­
nyang­kut tenaga kerja tidak berada di level laggai tetapi tetap berada
di uma. Hubungan-hubungan antaruma berlangsung sangat egaliter
tan­pa ada hierarki politik. Agak susah membayangkan, baik di masa
la­lu mau­pun di masa sekarang, orang Mentawai membangun suatu
ta­ta pe­me­rin­tah­an seperti laggai yang mengintegrasikan sebagian
atau se­lu­ruh uma di suatu lembah.
Adanya naskah akademik yang menyatakan bahwa laggai me­mi­
liki suatu kawasan teritorial tertentu yang diatur bersama lebih me­ru­
pa­kan imajinasi elite terdidik mengenai kehidupan orang di masa la­lu
da­ri­pa­da kenyataan yang pernah hadir dan ada. Asumsi adanya lag­gai
yang dikelola secara demokratis oleh beberapa perwakilan uma le­bih
merupakan harapan dan kenyataan yang seharusnya ada di­ban­ding­
kan de­ngan realitas yang sesungguhnya pernah ada.

9 Pernyataan salah satu tim perumus yang juga aktivis LSM, Kortanius Sabeleake, dalam Puailiggoubat,
Juni 2004.
338 Berebut Hutan Siberut

Kebingungan dalam kelimun perdebatan mengenai pemerintah


te­ren­dah ini menyebabkan DPRD Provinsi Sumatra Barat tidak da­pat
meng­am­bil kesimpulan mengenai pemerintahan terendah di Men­ta­
wai. DPRD Sumatra Barat menghentikan pembahasan mengenai lag­
gai karena menganggap tidak ada kesepakatan.10 Pejabat di Kepulauan
Mentawai menyatakan bahwa Ranperda Laggai ini sarat kepentingan
po­li­tik dari pemerintah provinsi. Mereka menduga, peraturan daerah
ini men­ja­di celah bagi pemerintah provinsi melakukan intervensi ter­ha­
dap otonomi kabupatennya. Munculnya Ranperda Laggai ini berkaitan
dengan adanya desakan pemerintah provinsi yang harus menjalankan
Per­da No 9 Tahun 2000, yang menyebutkan agar pemerintahan te­
ren­dah di Sumatra Barat harus segera dibuat. Mandat ini membuat
pe­merintah provinsi menjadi aktif memunculkan Ranperda Laggai—
sesuatu yang berkebalikan dengan tuntutan otonomi daerah.
Ide laggai menguat kembali ketika peraturan daerah tentang na­
ga­ri sebagai pemerintahan terendah di Sumatra Barat disahkan pa­da
2007 oleh DPRD Sumatra Barat. Kalangan LSM di Mentawai ber­se­ku­
tu untuk menolak pemberlakuan Perda Propinsi Sumatera Barat No 2
Ta­hun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari (Perda Na­ga­
ri) di Mentawai. Mereka beralasan, penerapan Perda Nagari akan me­
ngu­at­kan dominasi etnis Minangkabau. Aliansi penolakan Perda Na­ga­
ri itu didukung oleh DPRD Mentawai. Mereka juga membentuk alian­si
khusus untuk menolak pelaksanaan Perda Nagari. Aliansi ini meng­
aju­kan rancangan peraturan daerah mengenai laggai yang berbeda
de­ngan yang telah dibuat sebelumnya. Dalam menghadapi situasi ini,
si­kap pemerintah daerah juga taktis. Mereka mendukung aliansi yang
me­no­lak Perda Nagari dan mendukung usaha pencarian pemerintah
yang lebih tepat bagi Kepulauan Mentawai. Beberapa pihak yang awal­
nya tidak sepakat mengenai ide laggai kemudian dapat bekerja sa­ma
dan mencapai titik temu dengan menolak berlakunya Perda Na­ga­ri.
Meskipun demikian, sampai buku ini ditulis, aliansi ini belum ber­
ha­sil meyakinkan pemerintah daerah untuk mensahkan rancangan
per­atur­an daerah mengenai laggai. Di lingkungan masyarakat Siberut
sen­di­ri, ide tentang laggai tidak menjadi bahan perbincangan yang in­
ten­sif. Barangkali karena itulah ide laggai sebagai pemerintahan te­
ren­dah di Mentawai kurang mendapat apresiasi.
Bagi orang Siberut sendiri, tidak ada memori tentang laggai se­
ba­gai unit pemerintahan terendah pernah berhasil dijalankan. Ke­

10 Seperti yang dilaporkan dalam Puailiggoubat, Juni 2004.


Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 339

bi­ngung­an perdebatan istilah laggai menggambarkan bahwa sistem


pe­me­rin­tah terendah di Mentawai memang tidak pernah ada. Is­ti­
lah laggai untuk menyebut asal daerah atau kampung memang di­ke­
nal. Akan tetapi, laggai sebagai unit pemerintahan di mana ter­da­pat
mekanisme pengambilan keputusan politik dan pelaksanaan ke­ku­a­
sa­an pemerintahan lebih merupakan konstruksi dan imajinasi so­sial
yang hendak diwujudkan oleh elite-elite terdidik Mentawai dan Pem­
da Sumatra Barat, dalam rangka merespons tuntutan nasional akan
pencarian bentuk otonomi daerah yang otentik. Munculnya ima­ji­
nasi mengenai laggai merupakan reaksi politik dari kabupaten atau
provinsi yang memberi kesempatan bagi elite-elite terdidik untuk
men­ca­ri keunikan daerahnya yang menjadi pembeda dari daerah lain
dan mem­be­ri bobot bagi terlaksananya kebijakan otonomi.
Agenda memasukkan laggai sebagai pemerintah terendah bersifat
po­li­tik. Meskipun ada naskah akademik dan rancangan akademik,
nas­kah tersebut tidak merujuk hasil karya etnografi atau naskah yang
men­je­las­kan perkembangan sejarah sosial orang Mentawai. Naskah
Ran­per­da Laggai sepertinya berfungsi sebagai sebuah gerakan so­si­al
untuk memperoleh status yang lebih mantap dalam kebijakan de­sen­
tra­li­sa­si. Sayangnya gerakan ini dilakukan dengan mengabaikan ke­
nya­ta­an sejarah dan kenyataan hidup orang Mentawai sendiri. Ran­
cang­an peraturan daerah tentang laggai telah disosialisasikan se­jak
2002. Akan tetapi, hingga buku ini ditulis, Ranperda Laggai ma­sih be­
lum di­sahkan menjadi perda yang resmi. Perkembangan ter­ba­ru me­
nye­but­kan bahwa pemerintah daerah—yang didukung oleh DPRD—
telah mensosialisasikan desa sebagai unit pemerintahan terendah di
Mentawai.

Pendekatan Baru, Solusi Baru? Manajemen


Kola­borasi11

Janji Kolaborasi
Akhir 1980-an, pengakuan atas keberadaan hak-hak adat semakin
men­da­pat tempat dalam program konservasi di seluruh dunia. Hal

11 Bagian ini bersumber dari keterlibatan Darmanto secara langsung dalam program Ko-Manajemen. Da­
ta-data yang diungkapkan di bagian ini juga merupakan pengalaman langsung Darmanto dalam men­
ja­bat manajer program ini selama 2 tahun (2004-2006). Posisi Darmanto dalam bagian ini agak di­le­
ma­tis karena, jika disimak dengan sungguh-sungguh, dia sedang mengkritik apa yang telah dilakukan,
ga­gas­an yang turut membentuknya, dan bagaimana mengubah posisinya sendiri dari pelaku Ko-Ma­
na­je­men menjadi penulis, yang pada banyak titik, mengkritik dan mengevaluasi program ini dengan
pe­ni­lai­an tertentu yang ia peroleh kemudian.
340 Berebut Hutan Siberut

ini di­pi­cu banyaknya pendekatan konservasi yang baru. Pendekatan


top-down yang didominasi negara dianggap gagal dan telah menjadi
pe­mi­cu banyak konflik. Konflik-konflik di kawasan konservasi—ter­
u­ta­­ma antara pemerintah dan masyarakat adat—membutuhkan
ca­­ra pe­nye­le­sai­an dan pencegahan baru. Pengakuan terhadap
hak-hak dan pengetahuan masyarakat adat menjadi landasan ba­
gi pencarian solusi ini. Salah satu pendekatan populer adalah ma­
na­­­je­men kolaboratif. Pendekatan ini dipandang menawarkan so­lu­si
baru untuk pengelolaan sumber daya alam karena mampu me­li­bat­
kan kelompok-kelompok dengan kepentingan berbeda dalam satu
fo­rum (Suporahar­jo 2005). Kolaborasi dilihat sebagai upaya baru
un­­tuk mengakui dan mengakomodasi partisipasi masyarakat, ber­
co­rak demokratis, dan menerima adanya pluralisme dalam pe­me­
cah­an masalah. Kolaborasi juga dilihat sebagai jembatan yang da­pat
mengintegrasikan batas-batas geografis, kepentingan, dan per­sep­si
(Wondolleck dan Yaffe 2000). Para pendukung kolaborasi mem­pro­
mo­si­kan bahwa pendekatan ini memiliki keunggulan pada sifatnya
yang nonkonfrontatif sehingga dapat menyelesaikan sengketa dalam
konflik multipihak.
Narasi kolaborasi menjanjikan terjaminnya partisipasi yang se­
ta­ra bagi masyarakat. Pendekatan kolaborasi menjadi prinsip dan
men­da­sari konsep-konsep pengelolaan sumber daya alam ber­ba­sis
ma­sya­ra­kat. Prinsip-prinsip kolaborasi mewujud dalam bentuk pro­
gram-pro­gram yang ditawarkan pemerintah dan lembaga multilateral
se­per­ti social forestry atau community forestry. Pada pertengahan
1990-an, pen­de­kat­an kolaboratif ini sudah menjadi narasi dominan
da­lam pengelolaan sumber daya alam (Agrawal dan Gibson 1999).
Ting­gi­nya sambutan terhadap pendekatan kolaborasi ditopang oleh
ke­mam­pu­an­nya mengakomodasi pengetahuan lokal atau ke­bu­tuh­an
masyarakat setempat. Pendekatan ini dianggap dapat men­dis­tri­bu­si­
kan kewenangan kepada masyarakat yang selama ini termarjinalkan
da­lam pembangunan atau konservasi (Borrini-Feyerabend 1996). Pen­
de­kat­an ini menyediakan banyak teknik untuk menjamin partisipasi
dan ke­ter­li­bat­an sehingga mampu beradaptasi dengan kondisi yang
plu­ral dan berubah-ubah. Ciri dari pendekatan ini adalah bersifat
adap­tif (Ramirez 2001; Wondolleck dan Yaffe 2000: 17).
Pada 2001, UNESCO memprakarsai sebuah proyek percontohan
(pi­lot pro­ject) pengelolaan kolaboratif berjudul “Empowerment of
Cus­to­mary Environmental Management in Siberut Island Biosphere
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 341

Gambar 16. Pertemuan tokoh konservasi Indonesia dengan komponen


ge­rak­an masyarakat adat Siberut di kantor TNS, Maileppet 2002
(Ko-Manajemen).

Re­ser­ve, In­do­ne­sia”. Proyek ini dilaksanakan atas kerja sama


UNESCO, pengelola taman nasional, LSM, dan masyarakat setempat.
Tuju­an utamanya adalah menjembatani konflik antara TNS dan ma­
sya­ra­kat, serta melindungi ekosistem Siberut melalui upaya pe­ngem­
bang­an sumber daya manusia dengan pendekatan kemitraan yang ko­
la­bo­ra­tif dan adaptif (UNESCO 2001b). UNESCO menyatakan bah­wa
masyarakat lokal akan dilibatkan secara aktif dalam setiap ren­ca­na
dan implementasi kegiatan pengelolaan yang partisipatif. Me­nu­rut
pro­­po­sal tersebut, pendekatan pembangunan ekonomi yang ke­­li­ru
te­lah merusak cara hidup yang ramah lingkungan yang di­mi­liki oleh
ma­sya­ra­kat adat Siberut. Oleh karena itu, sangat penting meng­ako­
mo­da­si pengetahuan tradisional atau kebiasaan praktis di tingkat
lokal—yang sudah teruji memberi keuntungan lingkungan—bagi pem­
ba­ngun­an dan program konservasi berbasis masyarakat.
Tidak mengejutkan kalau inisiatif kolaborasi dimulai UNESCO.
Sebagai lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bang­
sa-Bang­sa (PBB), UNESCO memiliki sejarah yang erat dengan Siberut
se­jak ditetapkannya kawasan ini sebagai cagar biosfer pada 1981.
UNESCO me­mi­liki visi untuk menghargai ekspresi budaya masyara­
kat adat se­per­ti orang-orang Mentawai. UNESCO juga merupakan
lem­baga yang ber­tang­gung jawab terhadap pelaksanaan konvensi-
342 Berebut Hutan Siberut

kon­ven­si in­ter­na­sio­nal yang menghargai keberadaan masyarakat adat


dan pe­les­ta­ri­an alam dalam kerangka pembangunan berkelan­jut­an.
UNESCO mem­pro­duk­si dokumen Strategi Seville (Seville Strategy)
dan Madrid Action Plan untuk cagar biosfer yang terkait dengan in­
strumen internasional seperti konvensi keanekaragaman hayati dan
masyarakat adat.
Konsep manajemen kolaborasi sebenarnya telah ada dalam do­
ku­men proyek PKAT, namun hal itu gagal dilaksanakan dengan baik
(ADB 2001; Anonim 1995). Sebaliknya, ketidakberhasilan PKAT me­
me­nuhi jan­ji­nya justru meningkatkan kebencian masyarakat lokal dan
rasa tidak percaya terhadap inisiatif konservasi. Dari hasil survei yang
dilakukan UNESCO di 5 dusun di Siberut Selatan, 82% penduduk Si­
be­rut memiliki persepsi negatif terhadap taman nasional (UNESCO
2002). De­ngan UU Konservasi Alam, mereka berpikir tanah leluhur
akan di­ku­as­ ai taman nasional. UNESCO mendorong kembali inisiatif
ko­laborasi dengan latar belakang kegagalan PKAT (lihat Bab 5).
Dalam sebuah makalah yang ditulis Meyers (2003b), ke­ti­dak­
mam­puan pegawai TNS melibatkan partisipasi masyarakat lokal telah
me­nye­bab­kan adanya konflik laten pengelolaan kawasan konservasi.
Re­sis­ten­si masyarakat, menurut Meyers, telah memerosotkan rasa per­
ca­ya diri petugas TNS untuk bisa menyelesaikan perselisihan mereka
de­ngan masyarakat lokal. Kantor TNS yang dipindahkan ke Padang
se­ma­kin menyulitkan mereka mengontrol dan mengawasi kawasan
kon­ser­va­si. Kondisi ini menyebabkan masa depan pengelolaan ka­was­
an konservasi tergantung dari partisipasi masyarakat (ibid: 5). Me­yers
juga berpendapat partisipasi masyarakat lokal dalam inisiatif kon­ser­
va­si akan membantu memelihara kepercayaan antara taman nasional
dan masyarakat.
Dalam situasi sosial dan politik yang semakin rumit, TNS dan lem­
ba­ga konservasi lainnya perlu mengubah wajah lembaga dan strategi
pen­de­kat­an mereka. Mereka harus membangun kemitraan dengan ma­
sya­ra­kat lokal. Pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan kon­ser­
va­si merupakan sebuah jalan untuk memproduksi “subjek konservasi
ba­ru” (new conservation subject) yang akan ber­sedia untuk hidup se­
suai dengan nilai-nilai konservasi dan secara sadar ikut mendukung
kon­ser­va­si sumber daya alam (Setyowati 2009).

Praktik dan Tantangan Kolaborasi


Pendekatan kolaboratif ini dinaungi dalam program Ko-Mana­
jemen (Manajemen Kolaboratif). Manajemen baru ini diharapkan
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 343

mampu mem­be­ri arah baru bagi pembangunan di Siberut dalam


konteks per­u­bah­an sosial yang semakin rumit. Melalui tulisan Meyers
(2001), UNESCO memahami adanya tantangan yang sangat kompleks
di Si­be­rut. Dia menulis bahwa Siberut telah terbentuk oleh sejarah in­
ter­vensi pembangunan yang dipenuhi oleh serangkaian kegagalan dan
rumitnya perubahan sosial (Meyers 2001: 114). Oleh karena itu, peng­
aku­an yang utuh terhadap kebudayaan Mentawai sangatlah pen­ting.
Dalam setiap proyek pembangunan, orang Mentawai harus di­po­si­si­
kan sebagai mitra yang setara. Mereka memiliki hak untuk memegang
tang­gung jawab di semua tingkatan manajemen proyek, termasuk pe­
ren­ca­na­an, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. UNESCO me­ne­
rap­kan prin­sip-prin­sip ideal seperti: penguatan pengambilan ke­pu­tus­
an, pendekatan budaya, penghormatan terhadap hak-hak perempuan,
dan pe­nge­lo­la­an lingkungan berkelanjutan dan berdasarkan prinsip
ilmu pengetahuan—baik pengetahuan lokal maupun ilmiah. Prinsip-
prin­sip ideal tersebut tentulah sangat menjanjikan. Akan tetapi, ba­
gai­ma­na menerjemahkan prinsip tersebut ke dalam sebuah kegiatan
praktis?
Meskipun mengakui dan memahami adanya kompleksitas masa­
lah Siberut, Ko-Manajemen menawarkan solusi yang sepertinya lebih
mu­dah untuk dijangkau. Adopsi pengetahuan lokal dan pemahaman
so­si­al budaya orang Mentawai diyakini bisa menjadi landasan un­tuk
me­nyuk­ses­kan program konservasi. Tim Ko-Manajemen ber­pen­da­pat
bahwa strategi menguatkan pengetahuan masyarakat di­gu­na­kan untuk
mengintegrasikan pengetahuan lokal, kepercayaan, pan­tang­an-pan­
tang­an, dan aturan adat dengan pengetahuan ilmiah ke da­lam praktik-
praktik konservasi (Meyers 2003). Oleh karena itu, ma­sya­ra­kat akan
“menerapkan nilai-nilai konservasi serta mengatur pe­ri­la­ku mereka
sesuai dengan norma-norma dan aturan konservasi”. Pro­gram ini juga
menyadari pentingnya menggabungkan pengetahuan tra­di­sio­nal dan
pengetahuan ilmiah untuk menjamin keberhasilan inisiatif kon­ser­va­si.
Melalui pengelolaan kolaboratif, pengetahuan “ilmiah dan tra­di­sio­nal
akan berjalan beriringan untuk mendukung pengelolaan sum­ber daya
alam yang berkelanjutan” (Meyers 2003: 12). Pembagian ke­we­nang­
an, kolaborasi, dan partisipasi masyarakat lokal dalam pe­nge­lo­la­an
kawasan konservasi dilakukan melalui pembentukan sebuah ma­na­
je­men kolaborasi pada 2001. Struktur pengelola ini terdiri atas wakil
da­ri TNS, UNESCO, YCM (LSM lokal), dan perwakilan masyarakat Si­
be­rut. Di setiap desa, dua wakil masyarakat dipilih dan menjadi wakil
344 Berebut Hutan Siberut

da­ri masyarakat dalam manajemen.


Tim ini mulai mensosialisasikan proyek kolaboratif di tujuh du­sun
yang terletak di luar kawasan TNS. Namun, setelah melalui berbagai
per­tim­bang­an, proyek percontohan ini kemudian diimplementasikan
di lima dusun. Proyek percontohan terdiri atas tiga program uta­ma:
kon­ser­va­si, antisipasi kemiskinan, dan pengembangan pusat in­for­ma­
si masyarakat. Program konservasi bertujuan untuk menjamin ke­ter­
li­bat­an masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pe­ngem­
bang­an kebijakan, serta membentuk “masyarakat yang bertanggung
ja­wab”, yaitu yang terlibat dalam inisiatif konservasi. Upaya me­li­bat­
kan masyarakat ini dilakukan melalui serangkaian pelatihan, rapat,
kun­jung­an lapangan, dan kunjungan sekolah. Program antisipasi
kemiskinan dilakukan untuk mencegah masyarakat adat dari risiko
ter­pe­rang­kap ke dalam kemiskinan akibat perubahan sosial dan per­
ge­ser­an pola penggunaan sumber daya alam. Program ini berusaha
me­ngu­rangi tekanan masyarakat terhadap sumber daya hutan, me­
mi­­ni­mal­kan eksploitasi, dan mendukung penggunaan sumber daya
me­la­lui pengembangan agroforestri dan pertanian sebagai sumber
pen­da­pat­an alternatif. Program pengembangan pusat informasi di­
lak­sa­na­kan untuk meningkatkan kesadaran para pemangku ke­
pen­­ting­an mengenai keanekaragaman hayati dengan penyebaran
in­for­ma­si melalui poster dan perpustakaan. Dengan melibatkan ma­
sya­ra­kat dalam pengelolaan konservasi dan menyediakan insentif
eko­no­mi untuk partisipasi mereka, UNESCO dan TNS berharap
bisa menggalang komitmen jangka panjang dari masyarakat untuk
mendukung agenda konservasi.
Salah satu aspek penting dari program Ko-Manajemen ini adalah
untuk membentuk “subjek-subjek konservasi” yang diharapkan akan
menjadi tulang punggung kegiatan pelestarian alam ke depan. Untuk
me­mu­lai inisiatif kolaborasi, UNESCO melatih masyarakat lokal da­
lam hal pengetahuan ekologi dan biologi konservasi, manajemen,
tek­nik “fasilitasi” masyarakat, studi banding pertanian, pendidikan
po­pu­ler, dan juga advokasi (UNESCO 2001a). Subjek konservasi ini
di­pi­lih oleh masyarakat dan disebut sebagai perwakilan masyarakat
atau ka­der konservasi yang direkrut secara sukarela. Mereka datang
da­ri berbagai latar belakang seperti kepala desa, aktivis LSM, tokoh
ma­sya­ra­kat, dan sebagian lain adalah masyarakat biasa. Selama sa­tu
tahun penuh, mereka digembleng dengan pengetahuan baru, pe­la­tih­
an, dan studi banding. Pada tahun kedua, kebutuhan kader se­ma­kin
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 345

meningkat, terutama di dusun atau desa di mana program ini di­im­


ple­men­ta­si­kan. Pengelola kolaborasi menyerahkan wewenang kepada
masyarakat untuk memilih kadernya. Setiap dusun diwakili oleh dua
orang yang masing-masing bekerja untuk program konservasi dan an­
ti­si­pasi kemiskinan.
Struktur Ko-Manajemen sengaja dibuat longgar dan bersifat cair
untuk mengakomodasi peran-peran wakil masyarakat yang duduk se­
ta­ra bersama komponen dari LSM, wakil TNS, dan UNESCO. Hal ini
di­la­ku­kan karena program ini mengasumsikan bahwa kader-kader
ter­se­but akan memberi kontribusi yang lebih besar jika dibiarkan in­
de­pen­den dan otonom. Kader-kader ini juga diharapkan bisa duduk
se­ta­ra dengan komponen lain dalam pengambilan keputusan. Selain
itu, pe­nen­tu­an peran wakil masyarakat untuk setara juga bagian dari
usa­ha meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap program
Ko-Manajemen. Pada awalnya, wakil masyarakat sangat antusias de­
ngan ide ini karena ini dianggap sebagai bagian dari penghormatan
ter­ha­dap peran orang Siberut dalam sebuah proyek atau kegiatan dari
luar.
Struktur ini mengandaikan bahwa para wakil masyarakat memi­
liki keterampilan, akses kekuasaan, dan juga pemahaman yang sama
de­ngan komponen yang lain di dalam struktur pengelolaan. Dengan
be­gi­tu, wakil masyarakat juga diharapkan mampu bekerja secara
man­di­ri sekaligus setara dengan staf TNS, staf UNESCO maupun
LSM. Pengandaian ini tentu saja sangat berat karena mensyaratkan
wa­kil ma­sya­ra­kat memiliki kecakapan, pengetahuan, dan pengalaman
yang se­ban­ding dengan aktor-aktor lain dalam kegiatan ini. Asumsi
ini sangat sukar dipenuhi. Apresiasi yang tinggi terhadap peran serta
wakil masyarakat dalam program ini ternyata tidak sama dengan apa
yang diharapkan oleh wakil masyarakat sendiri. Sebagian besar wakil
masyarakat memandang bahwa peran serta dalam Ko-manajemen ti­
dak berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan lain di mana mereka ha­nya
menjadi pekerja biasa. Mereka mempersepsikan program ini ha­nya
se­ba­tas pekerjaan dan kurang tertarik dengan wacana bahwa pen­de­
kat­an ini inovatif dan memberi kesempatan untuk menjadi ba­gi­an
penting bagi keseluruhan proses pengambilan keputusan. Per­so­al­an­
nya bukan hanya tidak ada pengakuan dari komponen lain, tetapi juga
ka­re­na masalah kemampuan dan pengalaman wakil dari masyarakat
da­lam menghadapi situasi baru ini.
Harapan besar terhadap peran masyarakat tidak mudah di­
346 Berebut Hutan Siberut

pe­nuh­i. Meskipun sudah disediakan pelatihan, banyak tugas-tugas


yang dimandatkan kepada perwakilan masyarakat—menulis laporan,
mem­bu­at analisis sosial, mengumpulkan usulan—tidak berlangsung
de­ngan baik. Kader-kader memiliki kesulitan beradaptasi dengan
ma­na­je­men kegiatan dan sekaligus sukar dikontrol karena waktunya
le­bih banyak dihabiskan di kampung. Dalam rapat-rapat internal,
pro­ses pengambilan keputusan dalam manajemen menjadi rumit ka­
re­na pemahaman antarkomponen sukar mencapai titik temu. Da­lam
isu-isu yang sangat penting, proyek kolaborasi sering tidak men­ca­pai
kesepakatan. Sedangkan isu-isu yang kurang mendasar bagi ter­ca­pai­
nya tujuan kolaborasi seperti penyediaan makanan, tempat tinggal,
dan pembayaran gaji bulanan, menjadi perbincangan yang sangat do­
mi­nan.
Di sisi lain, pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pi­
hak ternyata bukan perkara yang mudah. Masing-masing komponen
(LSM, TNS, masyarakat) memiliki pendapat yang berbeda-beda me­
nge­nai bagaimana seharusnya kegiatan dijalankan. Perbedaan pen­
da­pat ini bisa dimulai dari hal-hal bersifat teknis—siapa yang akan
di­un­dang ke dusun, bagaimana transportasi, mekanisme pembayaran
gaji—sampai pada hal-hal yang sangat abstrak, membuat definisi me­
nge­nai kesetaraan peran masyarakat. Perbedaan-perbedaan dalam
pe­nge­lo­la­an kegiatan ini lambat laun terakumulasi dan menimbulkan
per­se­li­sih­an antarkomponen. Pada tahun kedua, LSM yang terlibat da­
lam proyek ini, YCM, menarik keterlibatannya secara langsung dalam
manajemen meskipun masih tetap mendukung tujuan kolaborasi dan
menjalin kerja sama dengan komponen lain secara tidak langsung.
Untuk membuat struktur program ini lebih teratur, ditunjuklah
wa­kil dari TNS sebagai pemimpin proyek. Dia ditugaskan untuk meng­
ko­or­dinasikan kegiatan kolaborasi dan memastikan arus diskusi dalam
manajemen bersifat setara dan fleksibel. Dasar dari penunjukkan ini
ka­re­na wakil dari TNS dianggap lebih memiliki kemampuan ma­na­je­ri­
al. Dia bisa menulis laporan resmi, berpengalaman dalam pemakaian
ang­gar­an, juga mampu berkomunikasi dengan pihak-pihak luar se­
per­ti Pemda Mentawai atau Dirjen PHKA.
Manajemen kolaboratif bukanlah proyek yang langsung jadi, de­
ngan hasil yang mudah diprediksi. Program ini lebih merupakan proses
dia­lek­tis dan membuka ruang baru negosiasi. Optimisme terhadap
ma­na­je­men yang lebih teratur segera berubah menjadi resistensi da­ri
masyarakat. Wakil dari masyarakat menginginkan posisi yang se­ta­ra
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 347

dan tidak ingin dikontrol oleh komponen lain yang memiliki po­si­si
le­bih tinggi. Penunjukan perwakilan TNS sebagai pemimpin pro­yek
di­pan­dang akan membatasi peran masyarakat. Namun, pihak TNS
dan Ko-Manajemen tidak berwajah tunggal. Mereka memiliki per­
sep­si dan pendapat berbeda karena masing-masing memiliki pe­nge­
ta­hu­an dan sejarah relasi sosial dengan orang Siberut yang ber­be­da.
Bagi sebagian besar petugas TNS, membentuk subjek baru kon­ser­va­
si adalah hal penting. Mereka sangat menyadari bahwa masa de­pan
pengelolaan kawasan konservasi sangat bergantung pada agen kon­
ser­va­si—masyarakat dan kader konservasi—di Siberut. Karena itu,
me­re­ka menyetujui perlunya memberikan akses masyarakat dalam
pro­ses pengambilan keputusan.
Namun, sebagian staf lain lain memiliki persepsi berbeda soal
ba­gai­ma­na melibatkan masyarakat dalam kerja-kerja konservasi. Se­
la­in itu, sebagian besar petugas TNS enggan menerima LSM dan per­
wa­kil­an masyarakat sebagai mitra setara dalam dewan manajemen
(Djogo dkk 2006). Kelompok ini berpendapat bahwa upaya untuk
meng­ajar­kan nilai-nilai konservasi kepada masyarakat adalah dalam
rang­ka untuk mengelola orang Siberut yang “tidak terkendali dan
ter­be­la­kang”, serta tidak mengerti tujuan konservasi. Salah satu staf
TNS, kelompok yang terakhir tersebut, menyatakan:
Tugas utama kerja Ko-Manajemen adalah mendidik masyarakat
untuk lebih mengerti tujuan konservasi dan sesuai dengan tugas
kita (taman nasional). Meskipun mereka mengaku bahwa tanah
yang berada di kawasan taman nasional adalah tanah mereka,
mereka juga harus disadarkan bahwa tanah tersebut milik negara.
Bahkan sudah diakui secara internasional. Karena mereka tidak
pu­nya kewajiban yang sama, maka mereka juga tidak harus pu­
nya hak yang sama dengan kita. Tugas taman nasional lebih
be­sar karena untuk negara dan mereka, kalau masih mengakui
UU pe­merintah dan menjadi warga negara Indonesia harus siap
tanahnya dikelola dan diatur taman nasional.

Cara pandang yang berbeda-beda di Ko-Manajemen menyebab­


kan kerja sama ini menjadi arena banyak kepentingan, yang tidak se­
la­lu merefleksikan kepentingan bersama. Kepentingan yang berbeda-
beda tersebut berusaha dikompromikan dalam suatu skema yang
men­jun­jung tinggi keanekaragaman hayati. Dengan mengendurkan
per­be­da­an kepentingan, keragaman maksud dan tujuan yang di­
348 Berebut Hutan Siberut

pak­sa untuk diakomodasi hanya menimbulkan resistensi. Re­sis­ten­


si ini muncul apabila kepemimpinan program dipegang pihak lain.
Hasil evaluasi tahunan proyek ini pada 2003 menyarankan di­ben­
tuk­nya semacam dewan (board) sebagai solusi. Dewan ini di­usul­
kan terdiri dari tiga perwakilan, yaitu dari TNS, UNESCO, dan ma­
sya­ra­kat. Anggota dewan dipilih oleh konstituennya dengan tu­gas
mengkonsolidasikan konstituen dan kepentingan. Mereka juga ber­
fung­si sebagai penasihat dan memberikan konsultasi kepada TNS, pe­
me­rin­tah lokal, masyarakat, serta mempromosikan konservasi me­la­lui
pendidikan (Meyers 2003:13). Pendekatan bertujuan agar masing-
ma­sing komponen bisa mengurus masalah internal sehingga diskusi
ber­sa­ma dalam forum yang lebih besar diharapkan lebih berkualitas
dan stra­te­gis. Tidak menambah perbaikan, tawaran solusi ini malah
men­cip­ta­kan ketegangan baru dalam manajemen. Konflik-konflik ini
ter­u­ta­ma dipicu oleh munculnya isu transparansi dan siapa paling
ber­hak mengakses sumber keuangan.
Selama empat tahun pertama, program Ko-Manajemen meng­a­
lami ketidakstabilan manajemen (Djogo dkk 2006). Struktur pe­nge­
lo­la­an yang berubah-ubah, dinamika internal yang sangat cepat, dan
pe­nge­lo­la yang berganti-ganti menyebabkan implementasi kegiatan
di la­pang­an mengalami hambatan (Simorangkir 2006; Djogo dkk
2006: 34). Untuk menetralkan keadaan ini, pada tahun kelima, wakil
da­ri UNESCO berinisiatif mencari terobosan baru dengan merekrut
se­o­rang manajer yang independen untuk mengurusi program ini. Ma­
na­jer ini bertugas untuk mengelola kepentingan TNS, UNESCO, dan
masyarakat. Penunjukkan manajer ini membuat manajemen ko­la­
bo­ra­si menjadi lebih stabil, meskipun tetap ada kecurigaan dia le­bih
meng­a­ko­mo­da­si kepentingan UNESCO, sebagai pihak yang me­nun­
juk­nya.
Program kolaborasi berjalan enam tahun. Selama itu, kader-kader
konservasi dari masyarakat memainkan peranan penting. Mereka be­
ker­ja di tengah masyarakat sebagai perwakilan dan berkumpul sekali
da­lam sebulan untuk melaporkan situasi sosial terbaru di kampung
ma­sing-ma­sing. Tugas utama mereka adalah menampung aspirasi ma­
sya­ra­kat dan men­ja­min suara itu diakomodasi oleh Ko-Manajemen.
Se­la­in itu, mereka harus mendampingi masyarakat dalam kegiatan-
ke­gi­at­an tek­nis se­per­ti pengembangan agroforestri, dokumentasi
per­atur­an me­nge­nai sum­ber daya alam, dan menyelenggarakan kam­
pa­nye in­for­mal bertemakan konservasi. Mereka diharapkan menjadi
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 349

pe­nyam­bung li­dah bagi wacana konservasi. Meskipun mereka dipilih


langsung oleh masyarakat, mereka dibayar oleh program yang sumber
pen­da­na­an­nya terbatas dari UNESCO (bandingkan dengan Djogo dkk
2006: 38). Hal ini menjadi dilema. Walau dipilih oleh masyarakat dan
ber­tang­gung jawab terhadap masyarakat, para kader ini mendapatkan
ba­yar­an dari program sehingga harus memenuhi kewajiban-kewajiban
ter­ten­tu yang dibebankan proyek.
Kader-kader konservasi menyiasati situasi yang mereka hadapi
de­ngan cermat. Posisi dilematis mereka transformasikan menjadi ke­
un­tung­an. Mereka menempati posisi mendua dan memanfaatkannya
de­ngan cukup baik untuk meningkatkan keuntungan. Jika ada protes
da­ri ma­sya­ra­kat perihal aspirasi yang tak sampai, kader mengatakan
bah­wa dia dibayar oleh proyek Ko-Manajemen dan proyek itulah yang
me­nen­tu­kan disetujui atau tidaknya usulan masyarakat. Ketika ber­ha­
dap­an dengan masyarakat, mereka cenderung mewakili proyek. Se­ba­
lik­nya ketika mereka bekerja di tim, mereka menyatakaan diri sebagai
wakil ma­sya­ra­kat. Posisi ambivalen ini membuat pihak ma­na­jer yang
di­tun­juk ke­su­lit­an mengontrol pekerjaan kader sehari-hari.
Opini-opini yang berkembang di dusun banyak berisi keluhan
ne­ga­tif ter­ha­dap kinerja kadernya. Masyarakat merasa sedikit usulan
me­re­ka yang di­per­juangkan kader yang telah mereka pilih. Kepada
ma­sya­ra­kat, ka­der-ka­der tersebut akan mengatakan bahwa tim ma­
na­je­men tidak mengabulkan permintaan atau usulan masyarakat.
Ke­ke­sal­an sa­tu warga Desa Madobak yang tercatat dalam pertemuan
eva­lua­si Ko-Manajemen pada Juli 2005 diungkapkan dengan cara be­
gi­ni:
Aman Tobing tidak melakukan apa-apa selama 2 bulan di desa. Ia
hanya duduk-duduk saja, tetapi ketika tiba waktunya membuat
la­por­an ke tim Ko-Manajemen, telah bekerja ini-itu. Padahal dia
sibuk mengurus ladangnya. Usulan yang kami berikan di­tang­
gapi lain oleh tim, itu pasti karena Aman Tobing tidak me­nyam­
pai­kan usulan kami. Mereka hanya mendapat uang dari pe­ker­
ja­an ini tetapi mengabaikan kepentingan kami.12

Keluhan-keluhan masyarakat lumrah dijumpai ketika diadakan


eva­lua­si rutin tiga bulan sekali. Meskipun begitu, keluhan-keluhan
negatif ini kadang tidak menggambarkan keseluruhan cerita karena

12 Persepsi salah satu warga Madobak dalam evaluasi triwulan kedua Ko-Manajemen di Desa Madobak,
13 Juli 2005.
350 Berebut Hutan Siberut

se­ring­ka­li pandangan negatif ini hanya bersifat rumor dan melebih-le­


bih­kan situasi. Beberapa orang yang melakukan kritik dikenal me­mi­
liki konflik dengan kader terpilih. Kader mengalami dilema yang tidak
mu­dah menghadapi situasi ini. Mereka harus menghadapi dinamika
sosial dan politik dusun yang sering menghambat kinerja mereka.
Pembentukan subjek konservasi ternyata tidaklah gampang. Pe­
la­tih­an-pe­la­tih­an yang intensif mengenai pengelolaan sumber da­ya
alam serta penjejalan pemahaman mengenai konservasi ke­ane­ka­ra­
gam­an hayati tidak berbanding lurus dengan pembentukan perilaku
se­ha­ri-ha­ri kader-kader konservasi. Walaupun sistem pengajaran ten­
tang konservasi dirancang dengan sungguh-sungguh dan hati-ha­ti,
sebagian besar kader yang diharapkan menjadi panutan bagi ma­sya­
ra­kat tetap menembaki burung-burung yang dilindungi, membuka la­
dang di dekat kawasan konservasi, berburu secara teratur, dan da­lam
banyak kesempatan, mereka justru mengkampanyekan citra bu­ruk
TNS. Bahkan, ada beberapa dari mereka yang bekerja sambilan se­ba­
gai tukang gergaji mesin yang menyediakan kebutuhan kayu di ting­
kat lokal. Sebagian di antara mereka dicurigai menjalin kerja sama
de­ngan perusahaan kayu.
Kader-kader konservasi juga mengalami masalah representasi.
Ti­dak semua kader adalah pemilik tanah atau sumber daya di desa
atau du­sun­nya. Usulan-usulan pengelolaan sumber daya alam ber­
ke­lan­jut­an menjadi mudah diabaikan bila kader bukanlah anggota
uma sibakkat laggai. Proses pemilihan kader secara langsung sarat
nuansa politik, karena kader konservasi menjadi simbol elite baru di
masyarakat dan menjadi arena untuk menaikkan gengsi pribadi atau
antaruma. Dengan mendapatkan penghasilan teratur setiap bulannya,
posisi kader diperebutkan dan menjadi sumber kecemburuan sosial.
Di beberapa kampung, beberapa uma yang tidak menyukai dan
ber­seng­ke­ta dengan sibakkat laggai karena sering bertindak sewe­
nang-wenang, beraliansi untuk tidak memilih kader konservasi yang
di­ca­lon­kan oleh sibakkat laggai. Usaha ini berhasil mempermalukan
sibakkat laggai, tetapi ini menambah masalah baru karena si kader
tidak akan ba­nyak berkutik dalam menghadapi klaim si pemilik sum­
ber daya. De­ngan otonomi yang kuat di tingkat uma dalam pengelolaan
sumber da­ya alam, si kader tidak berhak mencampuri urusan sibakkat
laggai da­lam memanfaatkan sumber dayanya. Masalah representasi
ini kian ru­mit dengan tidak adanya tradisi perwakilan kepentingan
bagi orang Men­ta­wai. Kader konservasi tidak memiliki mandat yang
kuat untuk me­wa­kili masyarakat. Sebagai subjek yang dihasilkan
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 351

oleh corak ke­bu­da­ya­an yang egaliter dan otonom, kader konservasi


mengalami di­le­ma representasi. Salah satu kader, Boigot Pei-pei dari
Madobak me­nya­ta­kan:
Setiap mau melakukan kegiatan atau rapat, beberapa orang
(Uma) Sabaggalet memboikotnya. Mereka mengatakan, bahwa
saya bukan wakil dari mereka, tapi mereka tidak datang pada
saat pemilihan kader. Uma-uma lain yang menjadi si toi di sini
juga takut sama mereka. Saya tahu, mereka akan memasukkan
perusahaan kayu di tanahnya. Saya dituduh makan uang dan
tidak bekerja. Beberapa kali mereka ingin mengganti.

Sebagaimana berbagai macam inisiatif dan program-program


la­in, Ko-Manajemen harus menghadapi situasi sosial yang rumit di
Si­be­rut. Mereka juga harus membuka ruang negosiasi dengan ma­
sya­ra­kat yang semakin kuat. Agar bisa bertahan, seringkali Ko-Ma­
na­je­men harus mengakomodasi usulan masyarakat sehari-ha­ri yang
seringkali pragmatis dan praktis. Mereka harus sering me­nga­lah dan
menyesuaikan diri dengan kondisi sosial di setiap dusun. Meng­ha­dapi
hal ini, makna kolaborasi dan konservasi sering mengalami pembiasan.
Mi­sal­nya, peluang partisipasi masyarakat diterjemahkan untuk me­
nun­tut kegiatan-kegiatan amal seperti pengadaan air bersih, pe­la­yan­
an kesehatan, kegiatan pembangunan infrastruktur, pembagian bi­bit
agroforestri. Masyarakat melihat Ko-Manajemen bukan sebagai in­
stru­men konservasi tetapi sebagai peluang mendapatkan akses pem­
ba­ngun­an yang jarang mereka rasakan.
Program kolaborasi tidak dapat menghindari isu-isu pem­ba­ngun­
an dan kadang-kadang mengalihkan ide-ide konservasi (Simorangkir
2006: 11; Djogo dkk 2006: 63). Kegiatan yang diharapkan menjadi
lan­das­an kolaborasi seperti pengelolaan kawasan konservasi menjadi
su­lit diwujudkan. Ujung-ujungnya, program ini lebih banyak meng­u­
rus­i kegiatan ekonomi seperti pembuatan minyak kelapa, pengadaan
me­sin pengolah sagu, penyediaan hewan ternak unggas, atau pem­be­
ri­an beasiswa sekolah. Program kolaborasi terjebak dalam isu pem­ba­
ngun­an dan bukan konservasi (Simorangkir 2006: 13; Djogo dkk 2006:
67). Mengenang apa yang terjadi beberapa tahun lampau, Darmanto
se­ba­gai manajer pernah mengatakan, untuk mendapatkan dukungan
masyarakat, program ini harus menghubungkan kegiatan pembuatan
kue untuk ibu-ibu menjelang natal dengan wacana konservasi.13

13 Darmanto dan Tim Ko-Manajemen, “Membangun Kemitraan dengan Masyarakat Lokal” (2005). Paper
ti­dak dipublikasikan.
352 Berebut Hutan Siberut

Peluang dan Batas-batas Kolaborasi


Ko-Manajemen disusun sebagai pilot project dalam waktu 5 ta­hun.
Program ini memiliki dampak signifikan terhadap inisiatif pem­ba­
ngun­an dan konservasi di Siberut. Di daerah sasaran kegiatan ini,
Ko-Manajemen berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat un­
tuk menerima kehadiran TNS. Hasil survei yang dilakukan oleh tim
Ko-Manajemen di 7 dusun menunjukkan adanya perubahan per­
sep­si masyarakat terhadap TNS. Sebelum adanya Ko-Manajemen
ha­nya 22% penduduk yang menerima kehadiran TNS. Sementara
pas­ca­pro­yek, hampir 80% penduduk desa memiliki pandangan po­
si­tif terhadap TNS. Resistensi terhadap staf TNS di beberapa du­sun,
de­ngan kehadiran Ko-Manajemen, bisa diatasi. Pandangan-pan­dang­
an positif terhadap inisiatif konservasi muncul di desa yang ber­de­
kat­an. Sikap konfrontatif, seperti penolakan atau pengusiran polisi
kehutanan yang datang, tidak pernah terdengar selama proyek ini di­
lang­sung­kan. Dalam kadar tertentu, program ini juga telah meng­ubah
persepsi tentang makna partisipasi masyarakat. Dengan ke­le­lu­asa­an
dan garansi partisipasi penuh, masyarakat menganggap ada peng­
har­ga­an dari komponen dari luar (terutama UNESCO, yang di­iden­
tik­kan dengan pemilik proyek ini) terhadap keberadaan ma­sya­ra­kat.
Apa­la­gi masyarakat dapat secara terbuka mengusulkan (sebagai ben­
tuk partisipasi) kebutuhan-kebutuhan praktis seperti ternak, mesin
su­ling­an nilam, beasiswa, hingga pembuatan asrama sekolah.
Pembentukan subjek konservasi melalui Ko-Manajemen tidak
da­pat dikatakan gagal sama sekali—meskipun proyek ini tidak secara
eks­pli­sit membuat kriteria atau indikator keberhasilan atau kegagalan.
Be­be­ra­pa anak muda yang direkrut sebagai tenaga teknis dalam men­
du­kung kerja kolaborasi dan sebagian bekerja di pengembangan pu­
sat informasi masyarakat berhasil berkembang menjadi penggerak
pe­les­ta­ri­an alam yang memainkan peranan penting dalam wacana
kon­ser­vasi Pulau Siberut kontemporer. Kerja-kerja kolaborasi justru
le­bih berhasil mendidik generasi muda, yang kemudian mendirikan
LSM sendiri dengan prinsip-prinsip kolaborasi. Sebagian dari me­re­ka
sekarang telah menjadi pegawai negeri dan tokoh-tokoh yang ber­pe­
nga­ruh di Siberut.
Gagasan manajemen kolaborasi juga mempengaruhi penge­lo­la­an
ta­man nasional. Staf-staf taman nasional yang terlibat dalam Ko-Ma­
na­je­men memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan ma­sya­ra­kat
Si­­be­rut secara intensif. Pengalaman dengan masyarakat ini memben­tuk
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 353

pe­nge­ta­hu­an dan pemahaman baru bagaimana seharusnya pro­gram-


pro­gram taman nasional dijalankan. Kolaborasi dengan masyarakat
Si­be­rut kemudian ditransformasikan ke dalam pengelolaan kegiatan-
ke­gi­at­an rutin mereka. Ide-ide tentang partisipasi masyarakat, pen­
ting­nya memahami kebiasaan dan budaya lokal, serta kerja sama de­
ngan stakeholder lain dalam pengelolaan kawasan diadopsi dalam
ma­na­je­men. Jika dalam proyek PKAT, kegiatan taman nasional di­im­
ple­men­tasikan tanpa membuka ruang negosiasi dengan masyarakat,
sekarang mereka melakukan konsultasi yang intensif.14 Staf taman
na­sio­nal lebih berhati-hati saat melakukan kunjungan ke kawasan
kon­­ser­vasi dan memberi pengakuan dan penghargaan terhadap klaim
tanah ulayat warga Siberut. Tumbuh kesadaran yang berbeda ba­gai­
ma­na mengimplementasikan ke­kuasaaan atas nama konservasi. UU
Konservasi Alam disesuaikan dengan kondisi Siberut, meskipun hal
ini tidak dilaporkan secara terang-terangan ke pemerintah Jakarta.
Usaha-usaha kolaborasi ini telah memberikan keuntungan bagi
pem­ben­tuk­an citra TNS di tingkat regional dan nasional. Mereka men­
da­pat­kan kredit yang positif dari beberapa LSM penting di Padang
dan Men­ta­wai karena dianggap menghargai keberadaan masyarakat
di da­lam kawasan. Pada masa berhentinya PKAT, beberapa LSM itu
men­ja­di lawan taman nasional. Namun, setelah Ko-Manajemen, TNS
men­ja­di bagian dari sedikit institusi pemerintah yang memiliki hu­
bung­an erat dengan LSM nasional, dan juga lembaga multilateral se­
per­ti UNESCO. Bahkan, mereka jauh lebih mudah melakukan kerja
sa­ma dengan LSM daripada dengan agen pemerintah lain seperti Pem­
da Kepulauan Mentawai. Barangkali TNS adalah satu-satunya taman
na­sio­nal di Indonesia yang bisa membangun aliansi dengan LSM na­
sio­nal seperti Walhi, yang secara resmi tidak mengakui kebijakan ta­
man nasional.
Dengan berkolaborasi, semua pihak merasa lebih kuat ketika ber­
ha­dap­an dengan kalangan pengeksploitasi hutan. Salah satu ke­ber­ha­
sil­an yang dapat dibanggakan dari kerja-kerja Ko-Manajemen ada­lah
membantu mengintegrasikan beragam kepentingan untuk pe­les­ta­ri­an
alam. Terdapat kesan yang kuat bahwa pada tahun Ko-Ma­na­je­men di­
im­ple­men­tasikan, aktivitas konservasi di Siberut mengalami pe­ngen­
tal­an dan intensif. Dengan bantuan dari UNESCO dan jaringan LSM
di Padang, Ko-Manajemen menjadi instrumen untuk menggalang ker­
ja sa­ma kampanye pelestarian Siberut. Salah satu keberhasilan ti­dak
14 Keterangan dari Munawir, staf senior taman nasional Siberut, Juli 2008.
354 Berebut Hutan Siberut

langsung dari semangat Ko-Manajemen adalah membangun isu ber­sa­


ma, yakni pembatalan segala jenis penebangan skala besar di Siberut
de­ngan memasang kampanye “no logging in Siberut”.15 Dengan visi
itu, aktivis konservasi Siberut berhasil menunda penerbitan izin PT
SSS dan mempengaruhi kebijakan Departemen Kehutanan untuk me­
ne­bangi kayu Siberut.
Seberapa pun keberhasilan sebuah inisiatif, tampaknya realitas
sehari-hari Siberut tidak mudah untuk disederhanakan dan dibingkai
da­lam sebuah proyek. Ko-Manajemen menghadapi kesulitan untuk
men­da­pat­kan dukungan lebih luas dari orang Siberut karena banyak
orang Siberut berhasrat menikmati hasil aktivitas ekstraksi dan eks­
ploi­ta­si hutan. Selain itu, masifnya penetrasi pasar kayu dan pasar
pro­duk-pro­duk sumber daya hutan lainnya mendorong masyarakat
Si­be­rut mengabaikan anjuran konservasi hutan. Oleh karena itu, tidak
he­ran apabila masih banyak orang Siberut yang resisten terhadap ini­
sia­tif ini. Misalnya, masyarakat di luar desa-desa percontohan terus
me­ngi­rim surat ke Departemen Kehutanan untuk meminta penutupan
kantor TNS. Sebagian kecil orang Siberut juga meminta status ka­was­
an TNS diubah menjadi hutan produksi. Mereka menyatakan bah­wa
pro­yek kon­ser­va­si tidak memberikan insentif ekonomi kepada ma­
sya­ra­kat. Hanya sebagian kecil dari inisiatif konservasi yang bisa me­
na­war­kan alternatif mata pencaharian dan pendapatan dalam waktu
sing­kat.
Meskipun diharapkan menjamin kolaborasi pengelolaan ka­was­­an
konservasi, desa-desa yang menjadi sasaran proyek ini justru berada
di luar kawasan konservasi. Sebuah kajian atas proyek ini (Djogo dkk
2006: 42) mengejutkan, ternyata tidak satu pun desa sasaran berada
di da­lam kawasan TNS. Kajian tersebut juga menyatakan bahwa ru­ang
lingkup proyek ini terlalu kecil dan tidak cukup untuk mengejar tu­ju­
an ambisius dalam menjembatani konflik antara TNS dengan ma­sya­
ra­kat di Siberut (ibid). Program ini hanya menjangkau tidak lebih da­ri
8% populasi Siberut. Gagasan-gagasan yang ditawarkan proyek akan
mudah diabaikan karena desa yang dapat dijangkau program ini ha­
nya 5 dusun di 4 desa, sementara di seluruh Siberut terdapat 83 dusun
dan 10 desa. Pendanaan yang hanya terbatas dari satu donor ini akan
menyebabkan intervensi UNESCO masuk dengan mudah (ibid: 47).

15 Dokumen hasil pertemuan Pulau Botik (Anonim 2004). Pertemuan di Pulau Botik dihadiri oleh sebagian
besar aktivis konservasi dari CI, Rare Internasional, UNESCO, BTNS, Walhi, PBHI, wakil AMA-PM,
YCM, SCP, dan UMA.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 355

Manajer Ko-Manajemen memiliki argumentasi untuk men­je­


las­kan kritik dari tim evaluasi tersebut. Pendekatan kolaboratif yang
te­lah dilakukan di Siberut adalah sebuah proyek percontohan bagi
pe­nge­lo­la­an kawasan yang ditetapkan sebagai cagar biosfer. Alasan
uta­ma proyek kolaborasi ini terbatas untuk 5 dusun adalah karena da­
ya se­rap Siberut terhadap sebuah program atau proyek terbatas. Ber­
da­sar­kan pengalaman PKAT, proyek konservasi besar dengan dana
me­lim­pah dan jangkauan luas tidak cocok bagi Siberut. Terdapat ke­
ter­ba­tas­an daya serap terhadap insentif konservasi berdana besar dan
melibatkan jumlah orang yang banyak. Proyek percontohan ini cukup
cocok untuk dikelola dalam menghadapi dinamika sosial yang sangat
ru­mit di Siberut. Anggaran implementasi program berkisar 30.000
do­lar AS per tahun, angka itu dipandang sesuai mengingat daya serap
sum­ber daya manusia di Siberut. Anggaran besar dan ruang lingkup
yang lu­as, tidak hanya tidak tepat tetapi akan memiliki implikasi se­ri­
us da­lam hal peluang terjadinya masalah pengelolaan.
Dilema terbesar dari implementasi program Ko-Manajemen ada­
lah menghadapi dinamika sosial sehari-hari orang Siberut. Ke­ti­dak­
tentuan harga hasil hutan, ketidakpastian penghasilan sehari-hari, re­
lasi sosial yang egaliter, konflik-konflik internal, perbedaan ak­ses dan
kontrol terhadap sumber daya dalam sebuah dusun yang mem­ben­
tuk relasi orang yang berbeda-beda dengan hutan, bayangan ten­tang
masa depan yang tidak sama dan segala kerumitannya tidak da­pat
diakomodasi dalam skema-skema paling inovatif sekalipun. Ko-Ma­
na­je­men menggunakan pendekatan inovatif untuk mengakomodasi
co­rak egaliter Siberut, tetapi sistem representasi melalui kader ter­
nya­ta tidak berjalan dengan lancar. Sementara mengakomodasi ke­
se­lu­ruh­an kepentingan orang Siberut jelas pekerjaan yang mustahil
bagi skema proyek. Usaha untuk mencari pendekatan baru terhadap
subjek konservasi harus menghadapi dinamika sosial yang cepat dan
rumit sehingga pendekatan itu tidak mampu mengatasi proses-proses
sosial dan memuaskan masyarakat sendiri.

Pentingnya Asumsi dan Relasi Kekuasaan


Program Ko-Manajemen mempromosikan keterlibatan masyarakat
adat berdasarkan pada asumsi bahwa orang Siberut akan lebih bersedia
untuk melindungi sumber daya alam mereka karena memiliki kearifan
lingkungan, pengetahuan lokal, dan ketergantungan ter­hadap hutan
untuk kebutuhan subsisten (UNESCO 2001a; 2001b). Proyek ini juga
356 Berebut Hutan Siberut

mengasumsikan bahwa pendekatan partisipasi dapat didistribusikan


secara merata kepada seluruh anggota masyarakat. Asumsi ini berasal
dari anggapan bahwa komunitas Siberut adalah entitas yang homogen.
Asumsi ini dikuatkan oleh citra yang romantis tentang masyarakat
Si­be­rut. Secara eksplisit, Meyers mengakui bahwa kesalahan utama
da­lam pengembangan Ko-Manajemen dilandasi gagasan tentang
idea­li­sa­si masyarakat Siberut yang memiliki kearifan tradisional se­
ca­ra esensial.16 Dalam laporannya selama melakukan pengamatan 3
bulan pertama program Ko-Manajemen tersebut, Darmanto (2004)
menulis, program ini sangat sesuai dalam mengakomodasi struktur
sosial orang Siberut yang egaliter. Ia juga memiliki pandangan bahwa
orang Siberut memiliki pengetahuan tentang pengelolaan sumber
daya secara berkelanjutan dan hidup homogen dalam perekonomian
subsisten. Dengan hidup bersama hutan, Darmanto menganggap
bah­wa, orang Siberut akan lebih peduli terhadap sumber daya alam
dan ka­re­na­nya akan menjaganya. Program ini akan memberi banyak
masukan bagi taman nasional untuk mengadopsi konservasi berbasis
komunitas (ibid: 5). Sebagaimana dijelaskan di sepanjang buku ini,
asum­si terhadap orang Siberut banyak yang keliru. Orang Siberut
me­mi­liki kepentingan yang beragam terhadap pengelolaan hutan.17
Sebagai ilustrasi tentang berbedanya asumsi yang dimiliki orang-
orang yang melandasi kerja Ko-Manajemen dengan kenyataan yang
ter­ja­di di masyarakat adalah penggunaan kewenangan sebagai wa­
kil ma­sya­ra­kat adat dalam proyek ini. Beberapa wakil masyarakat
jus­tru mencoba menegosiasikan kepentingan mereka terkait isu-isu
yang sangat praktis, seperti kualitas makanan yang disajikan selama
per­te­mu­an, berapa banyak uang yang bisa dibawa pulang, sudah
cukupkah gula dan kopi yang tersaji di pertemuan, dan memastikan
pembagian yang sama dari semua sumber daya yang dialokasikan ke
proyek berdasarkan persepsi tradisional mereka tentang pembagian
hasil buruan atau kekayaan yang merata. Hal ini membuat frustrasi
pengelola Ko-Manajemen dan pegawai TNS karena mereka berharap
orang Siberut dapat berpartisipasi dan bernegosiasi di tingkat yang
lebih strategis. Seperti dijelaskan anggota staf UNESCO:

16 Keterangan dari Koen Meyers, Juni 2006.


17 Ironisnya, asumsi yang keliru inilah yang memberikan jalan bagi munculnya pemahaman baru tentang
kompleksitas dinamika sosial masyarakat Siberut kepada Darmanto dan Koen Meyers sebagai inisiator
program ini. Dalam suatu cara yang rumit, pengalaman terlibat dengan Ko-Manajemen membuat
Darmanto bisa menulis buku ini dan memiliki pengetahuan yang berbeda sebelum terlibat dengan
Ko-Manajemen.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 357

Saya kira kemampuan untuk membahas dan memutuskan kua­


li­tas ma­kan­an (apakah makanan tersebut terlalu pedas dan asin)
dan me­min­ta tidur di kasur (bukan karpet), adalah cara me­re­
ka me­mak­nai kewenangan baru. Sesungguhnya kami ber­ha­rap
mereka dapat memahami platform sebagai anggota de­wan ‘Ko-
Ma­na­je­men’ dan memposisikan diri mereka sesuai plat­form
tersebut, seperti misalnya mendiskusikan isu-isu yang lebih
strategis dan memberikan masukan strategis dalam pem­bu­at­an
program. Namun, mereka terjebak pada isu yang remeh. Sa­ya
kira, kesalahan terbesar kami sejak awal adalah kami per­ca­ya
bah­wa mereka bisa bernegosiasi pada tingkat strategis dan me­
nge­sam­ping­kan masalah-masalah praktis dan isu-isu mendasar
yang penting untuk kehidupan sehari-hari... (Djogo dkk 2006:
45).

Kutipan di atas menyebutkan adanya keterkejutan pengelola


Ko-Ma­na­je­men terhadap beragamnya kepentingan dan suara dalam
me­man­dang sebuah proyek atau sumber daya. Dengan memberikan
peng­aku­an bahwa masyarakat Siberut memiliki “pengetahuan tra­di­
sio­nal” (UNESCO 2001a; 2001b), hal ini tidak berarti bahwa ma­sya­ra­
kat memenuhi kriteria sebagai penjaga hutan yang paling ideal sesuai
dengan standar konservasi dan pelestarian alam. Dilandasi asumsi dan
imaji romantis tentang masyarakat, konsep Ko-Manajemen kewalahan
menghadapi kenyataan yang kompleks, pengelolaan sumber daya alam
yang berbeda dengan yang diharapkan dari proyek ini, perbedaan-
per­be­da­an kepentingan aktor-aktor di tingkat dusun atau desa, isu-
isu so­sial yang kompleks dan rumit di masyarakat hingga perbedaan
per­sep­si dan kepentingan pada kader, staf TNS, maupun aktivis LSM.
Kon­sep Ko-Manajemen yang berusaha melakukan pendekatan ino­va­
tif harus ber­ha­dap­an dengan dinamika sosial masyarakat yang ber­
ubah dan ser­ba tidak pasti. Menjadi kian jelas bahwa istilah ‘ko­la­bo­
ra­tif’ atau ‘ma­na­je­men sumber daya’ memiliki keterbatasan untuk
di­gu­na­kan se­ba­gai cara mengelola hubungan antara manusia dan
sum­ber daya alam yang kompleks.
Implementasi Ko-Manajemen juga menggambarkan jarak yang
ja­uh antara cita-cita dalam sebuah proposal dengan implementasi pro­
yek dan kompleksitas realitas sehari-hari. Pengelolaan kawasan kon­
ser­va­si yang berkelanjutan tidak dapat dilaksanakan hanya dengan
semboyan “pengelolaan sumber daya alam bersama berdasarkan pe­
358 Berebut Hutan Siberut

nge­ta­hu­an lokal”. Pengetahuan lokal senantiasa berubah karena ber­a­


dap­ta­si dengan perubahan ekonomi-politik di sekitarnya dan bisa jadi
berubah menentang konservasi. Tim Ko-Manajemen berpendapat
bah­wa memformalkan aturan adat menjadi sebuah peraturan desa
ada­lah metode untuk memperkuat aturan adat dan mendapat peng­
aku­an secara legal oleh negara. Namun, posisi peraturan desa di ba­
wah hierarki hukum bangsa itu tetap tidak jelas. Revisi terkini Un­
dang-Un­dang Otonomi Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) tidak
mentransfer kewenangan untuk mengatur sumber daya alam kepada
pemerintah desa. Banyak orang Siberut tidak menyadari adanya UU
baru itu.18 Akibatnya, peraturan desa tersebut memperoleh legitimasi
lemah dari otoritas yang lebih tinggi dan juga dari masyarakat yang
membuat penerapannya sulit.
Kurangnya kerja sama dengan pemerintah daerah merupakan
sa­lah satu tantangan utama dalam mencapai tujuan proyek Ko-Ma­
na­je­men. Pengelola Ko-Manajemen sebenarnya rajin mengundang
pe­ja­bat-pejabat penting di sektor kehutanan, perkebunan, atau pem­
ba­ngun­an untuk bekerja sama. Tanpa memberikan gambaran kon­
tri­busi ide konservasi terhadap PAD, antusiasme pemerintah dae­rah
ter­li­bat sangat rendah. Tanpa dukungan pemerintah daerah, ren­ca­na
pengelolaan kolaboratif tidak dapat secara efektif diterapkan. Se­se­kali
masyarakat Siberut mempertanyakan legitimasi proyek Ko-Ma­na­je­
men karena masalah ini. Beberapa pejabat yang tidak suka inisiatif
kon­ser­vasi berkampanye negatif tentang Ko-Manajemen.
Program kolaborasi tidak mampu menghadapi beberapa isu pen­
ting terkait dengan kekuasaan. Pada awalnya, program ini memang te­
lah mengidentifikasi siapa pemegang kekuasaan dan bagaimana ke­ku­
a­sa­an itu dilangsungkan terhadap hutan dan kawasan konservasi. Akan
tetapi program ini tidak mampu mempengaruhi atau mengubah kon­
ste­lasi kekuasaan yang telah mapan. Program ini tidak dalam kapasitas
un­tuk mengubah hukum atau UU yang dapat mengakomodasi klaim
dan tun­tut­an penuh orang Siberut terhadap hutannya di kawasan
kon­ser­va­si. Tidak adanya pengakuan ini menyebabkan masyarakat
te­tap menjadi partisan dalam kerangka pengelolaan sumber daya
yang di­ten­tu­kan oleh negara (Li 2002). Bidang-bidang kekuasaan
me­nyang­kut hutan di Siberut tetaplah rumit. Di hadapan aturan dan
hu­kum, posisi masyarakat belum setara dengan taman nasional dan
pe­me­rin­tah daerah. Secara hukum, kekuatan-kekuatan negara—TNS
18 Hasil diskusi di Rogdok, Juni 2005.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 359

dan Pem­da Mentawai—tetaplah kuat dalam pengambilan keputusan


ber­kait bagaimana hutan harus dikelola dan bagaimana masyarakat
harus hidup di dalamnya.
Partisipasi masyarakat yang dijamin di dalam proyek kolaborasi
ini memberi kewenangan yang besar, tetapi kewenangan ini harus se­
suai dengan kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh UU atau
atur­an pemerintah. Dengan pengakuan sebagai masyarakat yang me­
mi­liki pengetahuan tradisional, program kolaboratif ini menciptakan
ru­ang manuver bagi masyarakat. Akan tetapi, ini adalah bentuk peng­
aku­an yang tidak penuh karena praktik pemanfaatan hutan orang Si­
be­rut diakomodasi hanya dalam konteks “budaya tradisional yang
se­suai dengan konservasi”. Masalahnya, siapakah yang menentukan
pe­nge­lo­la­an hutan “tradisional” atau “tidak tradisional”? Dengan de­
mi­kian, masyarakat tetap dalam posisi yang tidak sepenuhnya setara
ka­rena statusnya masih ditentukan dan dikontrol oleh kekuasaan da­
ri luar. Jika pun partisipasi masyarakat diakomodasi, partisipasi itu
menempuh jalan yang panjang karena orang Siberut harus di­di­si­plin­
kan terlebih dahulu melalui persyaratan administratif dan birokrasi
sam­pai mereka benar-benar cocok dengan kriteria yang diinginkan
ini­sia­tif konservasi.
Pengelolaan TNS secara kolaboratif dimaksudkan untuk mem­be­
ri­kan pelajaran bagaimana merancang dan menerapkan pendekatan
ba­ru terhadap konservasi dalam konteks ekonomi, politik, dan so­si­al
yang rumit. Namun, implementasi inisiatif konservasi di te­ngah ma­
sya­ra­kat yang sudah lama terlibat dengan ekstraksi hasil hu­tan te­ta­pi
ha­nya merasakan sedikit keuntungan, butuh pencarian alternatif eko­
no­mi yang lebih baik dari skema ekstraktif sebelumnya dan menjamin
ak­ses masyarakat lokal tersebut terhadap pasar (Setyowati 2009). Ji­
ka ti­dak, proyek semacam itu akan sulit memperoleh dukungan luas.
Oleh ka­re­na itu, inisiatif tersebut memerlukan waktu yang lama dan
me­mer­lu­kan komitmen jangka panjang dari berbagai pemangku ke­
pen­ting­an yang terlibat. Untuk menjamin akses orang Siberut ke hu­
tan tidak akan mungkin hanya melalui adopsi pengetahuan lokal dan
meng­hi­dupkan kembali aturan dan kebiasaan setempat. Dari peng­a­
lam­an ini, masyarakat Siberut memiliki perspektif yang beragam ter­
ha­dap hutan dan bagaimana sumber daya alam dimanfaatkan.
Dengan dana terbatas yang hanya bersumber dari satu lembaga,
ma­sa depan program Ko-Manajemen sangat tergantung da­ri
UNESCO. Sedangkan TNS tidak memiliki inisiatif untuk meng­ak ­ o­
360 Berebut Hutan Siberut

mo­da­si­kan keberhasilan atau kegagalan Ko-Manajemen dalam ba­gi­


an kerja mereka secara formal, meskipun peraturan baru ke­hu­tan­an
telah mengakomodasi pendekatan ini. Ditambah dengan tum­buh­nya
kesadaran akan kompleksitas sosial di Siberut, program ini se­per­
ti­nya semakin sulit dipertahankan. Meskipun peraturan ba­ru di bi­
dang kehutanan semakin memberi peluang manajamen ko­la­bo­ra­si,
tam­­pak­nya semangat yang begitu meluap pada awal pem­ben­tuk­an
Ko-Ma­na­je­men berganti menjadi sikap realistis dan prag­ma­tis. Aku­
mu­lasi dari kesalahan asumsi tentang masyarakat, ke­ru­mit­an bidang
kekuasaan, tidak adanya harapan dari TNS un­tuk mengakomodasi
pen­dekatan baru, serta kesadaran bahwa se­bu­ah proyek ambisius
de­ngan dana terbatas akan mudah kandas oleh ke­ru­wet­an realitas
Siberut menyebabkan inisiatif ini terhenti. An­tu­sias­me awal yang ter­
bangun dari Ko-manajemen menurun dan ber­alih menjadi harapan-
harapan yang lebih realistis. Beberapa ini­sia­tor dan staf yang loyal, di
kemudian hari membentuk LSM dan ti­dak secara penuh mengguna­
kan pendekatan inovatif yang pernah di­im­ple­men­ta­si­kan program
ini.

Membangun Aliansi Adat:


Antara Harapan dan Ketidakpastian
Gerakan adat di Siberut mendapatkan momentumnya setelah
kasus seng­ke­ta tanah di pengadilan antara warga Rogdok dan negara
yang di­re­pre­sen­ta­si­kan oleh Dinas Sosial (lihat Bab 6). Kesuksesan
war­ga Rog­dok mengembalikan status tanah mereka dalam kasus ini
me­ngu­at­kan keyakinan bahwa dengan legitimasi identitas adat, posisi
rak­yat tidak lebih rendah dibandingkan pihak lain seperti pemerintah
atau per­u­sa­ha­an kayu. Momen tersebut mendorong warga Rogdok
mem­ben­tuk dewan adat. Setelah kesuksesan Rogdok, usaha-usaha
pem­ben­tuk­an dewan adat di dusun lain meningkat. Hal ini merupakan
aku­mu­lasi dari keinginan masyarakat untuk memformalkan status
ma­sya­ra­kat adat dan juga usaha keras aktivis LSM sebagai respons
me­ning­kat­nya perpecahan dan persaingan antaruma (Bab 6).
Pada September 2000, YCM dan beberapa aliansinya, meng­
or­ga­ni­sa­si­kan pertemuan di Maileppet, Siberut Selatan. Pertemuan
ini me­ru­pa­kan tindak lanjut dari pertemuan besar mengenai konsep
ca­gar biosfer di Padang yang disponsori UNESCO. Kegiatan itu ber­
tu­ju­an memobilisasi gerakan konservasi hutan di Pulau Siberut se­
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 361

hing­ga pertemuan itu dilaksanakan di kantor TNS. Pemilihan lo­ka­si


pertemuan ini oleh kalangan LSM sengaja dilakukan untuk mem­per­
baiki citra TNS, yang pada saat itu banyak mendapat kecaman dari
ma­sya­ra­kat dan pemerintah daerah karena membatasi pengelolaan
hu­tan. Pertemuan tersebut juga mengeluarkan tuntutan kepada pe­
me­rin­tah untuk menyerahkan kekuasaan hutan kepada masyarakat.
Ham­pir semua peserta sepakat bahwa adat adalah satu-satunya jalan
pe­nge­lo­la­an sumber daya alam di Mentawai.
Pertemuan bertajuk “Pengelolaan Sumber Daya Alam Ber­ke­lan­
jut­an di Mentawai” itu dihadiri 188 orang perwakilan dari Siberut.
Per­te­mu­an tersebut berhasil menelorkan beberapa rekomendasi, di
an­ta­ra­nya adalah tuntutan untuk meminta komitmen bersama dalam
pe­nge­lo­la­an sumber daya alam berkelanjutan, pengakuan terhadap
pe­ran taman nasional dalam usaha konservasi, dan pembagian yang
adil dari usaha pengelolaan sumber daya alam di Siberut. Terlepas
da­ri rekomendasinya, sebagian besar pertemuan itu berisi cerita me­
nge­nai tekanan negara terhadap orang Mentawai. Beberapa tokoh di
antaranya mengidentifikasi diri sebagai bagian dari gerakan ma­sya­ra­
kat adat yang telah meluas di Indonesia, yang menuntut pengakuan
hak atas sumber daya alam dari negara. Sikap masyarakat Siberut ter­
cer­min dalam ungkapan salah satu tokoh Dewan Adat Muntei (YCM
2000) berikut:
Kami, sebagai masyarakat adat, seharusnya dapat menentukan
diri sendiri. Kami harus berpikir bahwa kita memiliki aturan adat
sendiri, lembaga adat, budaya, hak, dan kedaulatan sendiri.

Pertemuan tersebut banyak diisi dengan kecaman terhadap rezim


Or­de Baru yang dianggap memarjinalkan posisi orang Mentawai. Se­
la­in itu, mereka juga mengungkapkan bahwa diri mereka merupakan
korban pembangunan rezim Orde Baru yang lebih menguntungkan
pihak luar dibandingkan orang Mentawai sendiri. Nuansa identitas
adat bertunas dari memori kolektif di masa lalu akibat program-pro­
gram pemerintah yang menekan masyarakat Mentawai, seperti pe­mu­­
kim­an kembali masyarakat adat, paksaan terhadap kepercayaan lokal,
serta marjinalisasi ekonomi-politik. Proses pembangunan yang ti­dak
banyak memberi keuntungan bagi mereka menjadi landasan yang cu­
kup penting bagi penegasan identitas masyarakat Mentawai. Se­per­
ti yang dipaparkan Niezen (2003: 7), mengingat kembali masa lalu
bi­a­sa­nya dapat digunakan sebagai modal yang sangat penting untuk
mem­ba­ngun masa depan.
362 Berebut Hutan Siberut

Terbentuknya Aliansi
Diskusi Maileppet yang tersebut di atas kemudian ditindaklanjuti
dengan diskusi yang lebih besar pada 2002. Pertemuan yang me­li­
bat­kan beberapa perwakilan warga, mahasiswa, tokoh agama, dan
elite-elite lokal diselenggarakan di Tuapejat, ibukota Kabupaten Ke­
pu­lau­an Mentawai, pada 11-15 Juni 2002. Secara politis, pertemuan
ini dirancang menjelang pemilihan bupati Kepulauan Mentawai. Per­­
te­mu­an yang digalang oleh YCM dan dihadiri oleh perwakilan lem­
ba­ga internasional, LSM-LSM nasional, dan beberapa akademisi itu
meng­am­bil tema yang sama dengan tema diskusi di Maileppet, yak­ni
demokratisasi pengelolaan sumber daya alam di Mentawai. Se­ba­gai­
ma­na pertemuan sebelumnya, pertemuan ini lebih banyak diisi dengan
ber­ba­gi pengalaman dan identifikasi masalah. Acara tersebut banyak
ber­isi tuntutan dialog antara masyarakat dan pejabat pemerintah
dae­rah. Dalam dialog tersebut banyak dimunculkan suara-suara ke­
ke­ce­wa­an warga Siberut yang tidak mendapatkan keuntungan dari
pe­nge­lo­la­an hutan. Beberapa keluhan yang muncul antara lain proses
pem­be­ri­an izin pengelolaan hutan yang tidak transparan dan sarat
ko­rup­si, proses perencanaan pengelolaan sumber daya yang tidak
me­li­bat­kan masyarakat, dan adanya kebijakan yang tidak memihak
masyarakat.
Ditopang oleh meningkatnya gerakan adat di Indonesia pas­
ca­ja­tuh­nya Orde Baru, acara ini sukses memopulerkan istilah “ma­
sya­ra­kat adat Mentawai”. Pertemuan yang dikenang sebagai dialog
pu­blik pertama di Mentawai ini menghasilkan dua keputusan pen­
ting. Pertama, terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Peduli Men­
ta­wai (AMA-PM). Kedua, pertemuan tersebut menghasilkan re­
ko­men­dasi bagi demokratisasi pengelolaan sumber daya alam di
Men­ta­wai. Rekomendasi tersebut berisi dua belas butir, yang poin-
poin pentingnya adalah menuntut pemerintah untuk mengakui hak-
hak adat dan pemberian kewenangan pengelolaan sumber daya alam
ke­pa­da masyarakat adat. Rekomendasi ditandatangani oleh seluruh
pe­ser­ta dan disebarluaskan kepada jajaran birokrasi. Dua hasil per­te­
mu­an tersebut saling melengkapi. Aliansi adat terbentuk untuk men­
ja­ga pelaksanaan rekomendasi utama, yakni desentralisasi akses dan
kon­trol terhadap sumber daya alam.
Menurut pemimpin yang terpilih dalam kongres tersebut, AMA-
PM merupakan organisai masyarakat adat pertama dalam sejarah
Men­ta­wai, yang diharapkan bisa menjadi wadah bagi orang Mentawai
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 363

un­tuk berperan sebagai subjek pembangunan. Beberapa hari setelah


work­shop di Tuapejat, workshop yang sama dilakukan di beberapa de­
sa di Siberut. Pertemuan di Tuapejat dan diskusi lanjutannya me­nam­
bah populer wacana adat. Perekrutan anggota AMA-PM dimulai dari
ang­gota dewan adat yang telah terbentuk pascaperistiwa Rogdok.
Penggunaan istilah AMA-PM sendiri adalah sebuah strategi un­
tuk menjangkau publik yang luas. Dalam konteks Indonesia, peng­gu­
na­an kata “aliansi” dan “peduli” mengisyaratkan bahwa gerakan adat
membutuhkan dukungan dari luar masyarakat yang mengklaim ma­
sya­ra­kat adat itu sendiri (Li 2001). Penggunaan aliansi dalam konteks
AMA-PM adalah cara tepat untuk menghindari eksklusivitas. Hal ini
mem­beri peluang bagi AMA-PM bekerja sama dengan LSM nasional
yang mendukung gerakan adat dan juga gerakan penyelamatan ling­
kung­an. Tidak lama setelah terbentuk, anggota aliansi ini mendapat
ke­sem­pat­an mengikuti pertemuan mengenai pengelolaan sumber
da­ya alam yang diselenggarakan oleh LSM pro-konservasi dengan
du­kung­an dari LSM Jakarta. Selanjutnya, beberapa tokoh AMA-PM
di­un­dang mengikuti pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan
AMAN. Sebagian lainnya dikirim untuk belajar dari organisasi adat di
Ka­li­man­tan atau di Papua.
Pada periode awal terbentuknya, anggota AMA-PM sangat ak­tif
berpartisipasi mengenalkan dan mempromosikan aliansi yang ba­ru
ter­ben­tuk ini ke dusun-dusun. Sampai tahun 2005 terbentuk 45 or­ga­
ni­sa­si adat di 16 kampung yang melibatkan 500 anggota da­ri pel­ba­gai
uma di seluruh Kepulauan Mentawai. Kegiatan yang di­im­ple­men­ta­si­
kan oleh AMA-PM antara lain adalah pendidikan sipil dan kampanye
pe­ning­ka­tan partisipasi dalam pengambilan kebijakan. Aliansi ini juga
mengadakan serangkaian pertemuan dan pelatihan di kampung-kam­
pung untuk meningkatkan kesadaran politik dan hak-hak masyarakat
adat. Pada awalnya, banyak penduduk Siberut menyambut positif ada­
nya dewan adat dan segala aktivitasnya. Banyak orang menyatakan,
me­re­ka ba­ru me­nge­ta­hui hak-hak sebagai masyarakat adat sejak
AMA-PM me­la­ku­kan penyadaran dan pendidikan politik. AMA-PM
ju­ga ter­li­bat dalam pengajuan isu mengenai pencarian bentuk-ben­tuk
otonomi sosial di masa lalu dan kampanye pelestarian alam. Upa­ya
AMA-PM untuk menempatkan wacana masyarakat adat dalam ke­
hi­dup­an politik sehari-hari di Mentawai cukup berhasil. Penyebutan
ma­sya­ra­kat Mentawai sebagai masyarakat adat lebih sering muncul
da­lam berbagai diskusi, dibicarakan di parlemen, ditulis di media
364 Berebut Hutan Siberut

massa, dan dalam pidato pejabat (periksa Pualiggoubat 2005).


Akan tetapi, isu penting yang muncul dalam pelembagaan wa­ca­
na adat pada saat itu adalah siapa yang bertanggung jawab me­re­pre­
sen­ta­si­kan masyarakat adat Mentawai ke pendengar yang lebih luas.
Se­lain itu, bagaimana posisi orang yang mendapatkan mandat dan le­
gi­ti­ma­si dari rakyat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi dasar
un­tuk membentuk sebuah organisasi yang terstruktur dan hierarkis.
Mes­ki­pun AMA-PM secara sengaja menggunakan strategi yang lebih
inklusif untuk merangkul publik yang luas, citranya sebagai lembaga
orang Mentawai terlalu kuat. Kata “adat” dan “Mentawai” dirasakan
mem­be­ri tekanan yang besar bahwa organisasi ini lebih sesuai diisi
orang Men­ta­wai, meskipun tidak semua anggota AMA-PM berasal da­
ri etnis Mentawai. Beberapa anggota dan pemimpin AMA-PM ber­asal
dari etnis Batak dan Jawa, juga dari Minangkabau. Untuk meng­hi­
lang­kan kesan eksklusif AMA-PM, beberapa orang luar non-Mentawai
yang ter­ta­rik bergabung meminta menghilangkan kata “adat”. Tapi,
usa­ha ini mendapat tantangan keras.19
AMA-PM memainkan peranan yang penting dalam usaha untuk
mem­batalkan izin eksploitasi hutan Siberut sepanjang 2002-2005.
Me­re­ka secara aktif melakukan kegiatan prokonservasi dengan me­
no­lak penerbitan HPH dan IPK. AMA-PM mengeluarkan surat dan
pe­ti­si yang ditujukan kepada Departemen Kehutanan atau bupati
Ke­pu­lau­an Mentawai meminta agar penebangan kayu dihentikan.
Me­re­ka membuat pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Sumatra
Ba­rat dan menuntut pembatalan izin HPH PT SSS. Pada level akar
rumput, mereka juga membuat pertemuan-pertemuan untuk mem­
pe­nga­ruhi uma pemilik hutan agar tidak menyerahkan hutan kepada
per­usahaan kayu. Setiap tahun, AMA-PM bekerja sama dengan YCM
menyelenggarakan serangkaian pelatihan untuk anggota yang baru
ber­ga­bung. Anggota-anggota baru dikenalkan pada arti penting iden­
ti­tas adat, apa hak-hak yang mereka miliki, juga bagaimana me­nye­le­
sai­kan masalah yang mereka hadapi.
Dari percakapan sehari-hari, warga Siberut sering mengidentik­
kan AMA-PM dan YCM sebagai satu kesatuan. Meskipun YCM tidak
meng­ingin­kan citra ini melekat, persepsi itu sulit dihindari. Apalagi,
pada awal pembentukan AMA-PM, struktur dan manajemen lembaga
ini dikoordinasikan oleh staf-staf YCM. Meskipun AMA-PM memiliki
koor­dinator sendiri di setiap kecamatan, mereka harus mendapat
19 Perdebatan ini dimuat dalam Puailiggoubat, Edisi November 2003.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 365

dam­ping­an dari staf YCM. Keterkaitan antara YCM dan AMA-PM juga
gam­pang dikenali karena agenda kedua lembaga ini hampir identik.
Setiap kegiatan AMA-PM difasilitasi oleh YCM. AMA-PM juga sering
terlibat dalam aktivitas demonstrasi dan protes-protes yang digalang
oleh YCM.
Di satu sisi, dukungan terhadap agenda prokonservasi mem­be­
ri­kan keuntungan bagi AMA-PM karena akan membuka jaringan de­
ngan LSM proadat dan prokonservasi di tingkat nasional, bahkan ju­ga
memungkinkan AMA-PM mendapatkan dukungan pendanaan in­ter­
na­sio­nal. Dengan meluasnya jaringan, anggota AMA-PM mendapat
kesempatan pelatihan, magang, dan studi banding ke berbagai tempat
di In­do­ne­sia. Akan tetapi, dengan mendekatkan diri kepada agenda
pro­kon­ser­va­si, AMA-PM dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai
ke­pan­jang­an kepentingan dari YCM dan memiliki kerja sama dengan
TNS. Banyak orang di kampung-kampung melihat AMA-PM sebagai
organisasi antiperusahaan kayu.
Walaupun AMA-PM lebih banyak diwarnai agenda konservasi,
ja­ring­an kerja lembaga ini meningkat dalam waktu singkat, sehingga
di­bu­tuh­kan penataan kelembagaan. Mereka kemudian membentuk
ke­lem­ba­ga­an AMA-PM dari tingkat dusun, desa, kecamatan, hingga
kabupaten. Sedangkan untuk mengelola kegiatan di masing-masing
ting­kat­an, ditunjuklah koordinator. Lembaga di setiap tingkatan ter­se­
but memiliki nama yang berbeda-beda, tergantung variasi dialek dan
ba­hasa Mentawai setempat. Meskipun demikian, struktur lembaga ini
se­ra­gam. Dilihat dari susunannya, yang biasanya terdiri ketua, wakil
ke­tua, sekretaris, bendahara, dan seksi-seksi, lembaga itu memiliki ka­
rak­ter yang birokratis. Kecenderungan birokratisasi dapat ditemukan
pa­da hierarki yang muncul dari hubungan atas-bawah antartingkat
ke­peng­u­rus­an. Setiap dewan adat di dusun berinduk kepada dewan
adat di de­sa, dan setiap dewan adat di desa diorganisasikan dalam
AMA-PM ke­ca­mat­an, dan begitu seterusnya sampai tingkat kabupaten
(Pua­iliggoubat 2006). Di tingkat Kabupaten, AMA-PM memiliki
peng­­u­rus tersendiri yang dipilih dan berasal dari masing-masing ke­
ca­mat­an. Pembentukan struktur ini agak berkebalikan dengan salah
sa­tu tu­ju­an diciptakannya dewan adat karena pada awalnya, dewan ini
di­cip­takan untuk menentang penyeragaman birokrasi ala pemerintah
yang dipandang sebagai salah satu penyebab lenyapnya kelembagaan
adat.
366 Berebut Hutan Siberut

Gerakan Adat dan Interpretasinya


Bagi aktivis LSM yang mendukungnya, gerakan adat di Mentawai
di­tu­ju­kan sebagai perjuangan politik. Gerakan adat dimaknai sebagai
alat perjuangan politik terhadap kebijakan negara yang menindas
dan me­nye­bab­kan orang Mentawai kehilangan hak atas sumber daya
dan sum­ber budaya. Sedangkan tujuan gerakan ini adalah untuk me­
mu­lih­kan hak-hak dan identitas orang Mentawai yang hilang akibat
pem­ba­ngun­an, politik kebudayaan nasional, eksploitasi hutan oleh
per­u­sa­ha­an kayu, dan tekanan dari negara melalui aparat birokrasi.
Berikut per­nya­ta­an Kortanius, tokoh LSM penting dalam gerakan
sosial di Mentawai, tentang hal itu:
Gerakan adat Mentawai menuntut hak-hak politik orang Men­
ta­wai yang tidak diberikan oleh negara. Selama ini masyarakat
adat telah ditindas oleh kebijakan yang salah. Tuntutan gerakan
adat bersifat politik. Kami ingin gerakan ini memberi kesadaran
ma­sya­rakat Mentawai terhadap hak-haknya. Juga dalam hal
ini ada­lah hak untuk mengelola sumber daya alamnya di mana
ha­nya dieksploitasi pihak luar dan tidak dimanfaatkan untuk
kepentingan masyarakat. Dalam membangun gerakan ini, kami
terbuka menerima dukungan dari mana pun yang mendukung
masyarakat Mentawai mendapatkan haknya secara penuh.20

Dengan pembentukan subjek Mentawai melalui sejarah sosial


yang khas (Bab 7), gerakan adat menggunakan acuan identitas etnis
se­ba­gai titik tolak dan mengandalkan definisi AMAN (DTE 1999) se­
ba­gai konsep kunci dalam melihat entitas masyarakat adat. Dengan
meng­gu­na­kan acuan identitas masyarakat adat versi AMAN (ibid),
AMA-PM menitikberatkan masyarakat adat sebagai masyarakat yang
se­ca­ra turun-temurun menempati wilayah tertentu karena ikatan le­lu­
hur dan memiliki kekhasan sistem nilai, ekonomi, politik, budaya, dan
so­sial. Dalam kampanyenya, apa yang diimajinasikan sebagai ma­sya­
ra­kat adat Mentawai adalah masyarakat yang memiliki kearifan tra­
di­sio­nal dan pengetahuan ekologi yang asli, hidup harmonis dengan
ling­kung­an­nya, dan dianggap memiliki bentuk pemerintahan sendiri
yang oto­nom berbasiskan tradisi (Eindhoven 2002)—seperti juga ter­
cer­min dalam Ranperda Laggai (Samaloisa 2007).
Terlihat di sini, titik berangkat gerakan adat adalah masyarakat

20 Direkam tahun 2009 dalam diskusi di Kantor YCM.


Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 367

yang me­wa­kili pola hidup “khas”. Bagi gerakan masyarakat adat, si­kap
men­dua antara upaya politik dan mencari “kekhasan” ini me­mun­cul­
kan dilema tersendiri. Pekerjaan untuk mengidentifikasi gerakan adat
dimulai dari pencarian adat Mentawai yang otentik. Adat yang oten­tik
inilah yang akan menjadi bahan bakar kampanye untuk me­nun­juk­
kan bahwa secara politik, orang Mentawai memiliki adat yang harus
dipromosikan karena mencirikan kelompok-kelompok yang men­ja­
lan­kan kehidupannya secara khas dan berbeda dengan kebudayaan
umum. Salah satu pengurus AMA-PM mengatakan, pada awal pem­
ben­tuk­an­nya, program-program kerja di lapangan dititikberatkan
pa­da pengorganisasian dan pendokumentasian cerita-cerita lisan,
atur­an-atur­an lokal baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
hu­bung­an­nya dengan sumber daya alam yang dianggap otentik (Puai­
lig­gou­bat 2005). Tuntutan akan adanya pengakuan hak-hak adat
yang di­la­ku­kan melalui kampanye, demontrasi, dan rapat-rapat harus
di­buk­ti­kan terlebih dahulu dengan adanya bukti-bukti masih ber­la­ku­
nya adat-adat tersebut.
Bagi masyarakat Siberut, definisi dan konsep mengenai adat dan
ge­rak­an pendukungnya tidak bersifat tunggal dan memiliki ba­nyak
in­ter­pre­tasi. Istilah masyarakat adat yang dikenalkan kepada me­re­
ka menjadi populer, tetapi mudah mengalami pembiasan makna dan
definisi. Elite-elite AMA-PM dan LSM tidak bisa memonopoli peng­gu­
na­an istilah adat atau masyarakat adat. Bahkan, secara ti­dak sengaja,
AMA-PM mendorong adanya variasi penafsiran ter­hadap adat dengan
se­bu­ah program kerja untuk mendata dan men­dokumentasikan hu­
kum adat. Hukum-hukum adat yang ada dicatat, diperiksa variasinya,
dan didiskusikan. Sebagian besar dari diskusi yang terjadi tidak ba­nyak
menemukan garis besar yang baku, dikarenakan begitu banyak variasi
me­ka­nis­me adat yang umumnya ditentukan oleh negosasi temporal
oleh ma­sing-masing uma dan individu di dalamnya. Kesulitan ini
mem­­bu­at beberapa dewan adat berusaha memformalkan dan meng­
ko­di­fik
­ a­si­kan hukum adat. Mereka menetapkan aturan adat sehari-
ha­ri, seperti jumlah mahar pernikahan dan pembayaran denda yang
se­ca­ra tradisional bersifat lentur—karena senantiasa berubah akibat
te­kan­an internal dan rangsangan dari luar.
Dewan adat diciptakan sebagai cara untuk mengatasi konflik an­
tar­uma yang menjadi salah satu hambatan orang Mentawai untuk ber­
sa­tu (Pualiggoubat 2002). Penengah konflik pada dasarnya me­ru­pa­
kan hal yang lazim dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan te­lah
368 Berebut Hutan Siberut

ada jauh sebelum dewan adat terbentuk. Fungsi ini bia­sa­nya diemban
oleh anggota uma yang bersifat netral dalam konflik (si­pa­ta­la­ga), yang
di­min­ta oleh pihak-pihak yang bertikai. Lazimnya fung­si pe­ne­ngah
da­lam riwayat panjang konflik antaruma inilah yang membuat ke­
ter­li­bat­an dewan adat yang ingin membantu menyelesaikan masalah
bi­sa diterima. Keterlibatan dewan adat dan formalisasi urusan se­
ha­ri-ha­ri, seperti penetapan standar biaya mahar pernikahan atau
den­da-men­den­da di satu sisi dianggap sebagai keuntungan. Banyak
ma­sya­ra­kat terbantu karena terdapat aturan yang lebih jelas. Hal ini
me­ngu­rangi persaingan antaruma karena ada pihak yang memfasilitasi
penyelesaian masalah yang dapat diterima keberadaannya oleh kedua
belah pihak.
Kehadiran dewan adat merangsang adanya formalisasi beberapa
po­sisi sosial masyarakat yang sudah ada dan berjalan sehari-hari se­
per­ti sibakkat laggai, sipatalaga, dan sikebbukat. Formalisasi ter­se­but
membuat posisi sosial itu menjadi semakin penting, namun di si­si lain
ber­pe­lu­ang untuk menjadikan posisi tersebut lebih kaku dan me­ngu­
rangi di­na­mi­ka­nya mengingat lembaga dan aturan adat merupakan
sesuatu yang dinamis dan terus dinegosiasikan, sehingga dengan ca­ra
itu terus akan bertahan. Akibatnya, reaksi terhadap kemunculan de­
wan adat juga beragam, tergantung konteks sosial di masing-masing
tem­pat. Di beberapa kawasan, masyarakat mendukung usaha dewan
adat un­tuk melakukan formalisasi praktik-praktik yang dianggap se­
ba­gai adat. Dewan adat juga mereka pandang sebagai lembaga yang
da­pat membantu menyelesaikan konflik sehari-hari dengan cara yang
ja­uh lebih baik. Tetapi di bagian lain Siberut, dewan adat dirasakan
se­ba­gai hal baru yang diciptakan ulang, muncul belakangan, dan tidak
ter­la­lu berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Struktur dewan adat dan AMA-PM yang diperkenalkan oleh LSM
me­mi­liki beberapa kesulitan untuk diterapkan dalam kehidupan se­ha­
ri-ha­ri. Usaha ini bukanlah bagian dari kesengajaan AMA-PM untuk
mem­bu­at organisasi ini lebih hierarkis dari birokrasi pemerintah. Ada­
nya per­wa­kil­an dari uma-uma menunjukkan struktur ini diharapkan
lebih demokratis dan merepresentasikan kepentingan setiap kelom­
pok sosial. Kesulitan terbesar dari AMA-PM adalah membuat struktur
yang le­bih cocok dengan dinamika masyarakat Mentawai yang secara
tra­disi tidak memiliki sistem representasi. Pertama, secara tradisional
masyarakat Mentawai tidak mengenal adanya sebuah lembaga yang
lebih tinggi di atas uma. Kedua, otonomi yang luas antaruma dan be­
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 369

ra­gam­nya jumlah anggota di masing-masing uma membuat dewan


adat ke­su­lit­an menentukan siapa yang merepresentasikan siapa.
Uma-uma yang memiliki jumlah anggota individu lebih banyak tidak
mau hanya direpresentasikan oleh satu orang dan sama dengan uma-
uma yang anggotanya lebih sedikit.
Adanya sistem representasi baru atas nama dewan adat ini mem­
bu­at sebagian masyarakat mengalami kebingungan. Tidak adanya
peng­a­lam­an memiliki sistem representasi ini menyebabkan posisi
de­wan adat mudah digunakan untuk kepentingan para pengurusnya.
Mes­ki­pun kepentingan ini tidak selalu dimulai dengan maksud jelek,
ba­nyak masyarakat melihat AMA-PM digunakan untuk meraih status
so­si­al atau memberi keuntungan uma yang menjadi pengurusnya. Mi­
sal­kan, sebagian warga Rogdok tidak menerima keputusan mahar ka­
win yang telah ditentukan oleh dewan adat dan merujuk penggunaan
ma­har kawin yang telah ditetapkan oleh pemerintah dusun. Sebagian
uma lain mengabaikan peran-peran penengah dari dewan adat ketika
akan memutuskan urusan-urusan penyelesaian konflik, kerja sama,
den­da-mendenda, dan tetap memilih bernegosiasi langsung dengan
uma yang terkait. Jika mereka mendapati kasus-kasus yang tidak da­
pat diselesaikan di tingkat uma, mereka lebih memilih pemerintah
yang di­akui oleh negara (desa atau dusun) sebagai pihak yang bisa
me­nye­le­sai­kan masalah, dan bukannya dewan adat. Di Maileppet,
untuk ka­sus-kasus yang berat seperti konflik tanah dan pembunuhan,
de­wan adat jarang diminta menjadi penengah.
Pada akhirnya, masyarakat melihat keberadaan dewan adat tum­
pang-tindih dengan birokrasi desa. Pandangan demikian dapat kita
lihat pada ungkapan Aman Tina dari Uma Sageileppak dari Rogdok
sendiri terhadap dewan adat berikut ini:
Sudah bertahun-tahun dewan adat terbentuk di desa ini. Tetapi
pem­bentukan dewan adat tidak memiliki arti banyak. Jika dewan
adat mengatur semuanya, apa fung­sinya pemerintah desa? Me­re­
ka akan mengatur semua aspek kehidupan kami, termasuk pem­
ba­yar­an mas kawin, denda, dan lain-lain. Kami sudah memiliki
atur­an itu sebelumnya ... kami sepakat dengan aturan-aturan
ter­se­but. Tetapi sekarang dewan adat me­ningkatkan biaya den­
da-men­denda. Kami hanya ingin dewan adat melanjutkan (cara)
yang sudah ada, bukan mengubahnya.21

21 Wawancara dengan Aman Tina dari Uma Sageileppak, Mei 2005.


370 Berebut Hutan Siberut

Meskipun keberadaan dewan adat tidak selalu ditolak oleh ma­


sya­ra­kat, representasi dewan adat menjadi masalah sehari-hari yang
su­kar dipecahkan. Pengambilan keputusan dalam dewan adat tidak
se­la­lu mewakili suara keseluruhan masyarakat dalam dusun atau wi­la­
yah tertentu. Beberapa uma yang memiliki kekuatan politik le­bih besar
dan sekaligus menjadi pemilik tanah lebih mudah un­tuk meng­gu­na­
kan dewan adat sebagai kendaraan politik untuk menggolkan ke­pen­
ting­an­nya. Sementara uma-uma di dusun atau desa, dengan otonomi
po­li­tik dan posisi egaliternya sering mengabaikan peran-peran yang
per­nah diharapkan ada oleh dewan adat dan aliansi pendukungnya.
War­ga akan terlibat dengan dewan adat dan bekerja sama jika ke­pen­
ting­an mereka bisa diakomodasi oleh dewan adat dan segera akan
men­ci­bir­nya jika keputusan dewan adat tidak merepresentasikan
ke­pen­ting­an umanya. Struktur dewan adat, pada akhirnya hanya di­
ja­lan­kan oleh beberapa orang yang memiliki hubungan langsung de­
ngan aliansi pendukungnya.

Konsolidasi Gerakan dan Minimnya Pengakuan


Di beberapa desa, dewan adat tetap kesulitan untuk mendapatkan
le­gi­ti­ma­si dari masyarakat dan pemerintah. Hal ini diakui oleh be­be­
ra­pa tokoh gerakan adat yang berpengalaman. Aman Letang, seorang
to­koh kunci gerakan adat yang berperan dalam Peristiwa Rogdok, me­
nge­luh soal masih kurangnya pengakuan AMA-PM dan dewan adat
da­ri pemerintah. Hal ini mengakibatkan anggota mereka kurang ter­
mo­ti­va­si untuk bekerja lebih keras menggerakkan AMA-PM. Beberapa
orang di Rogdok menyatakan, dewan adat di dusun mereka jarang
ber­ko­mu­ni­ka­si soal kegiatan mereka kepada masyarakat umum. Me­
re­ka menganggap pekerjaan dewan adat hanyalah melakukan per­te­
mu­an atau diskusi di antara mereka sendiri dengan bantuan dana da­ri
LSM.
Meskipun terdapat dinamika internal yang cukup kompleks dan
me­nu­run­nya antusiasme anggota, beberapa tokoh AMA-PM cukup
kon­sis­ten dengan perjuangan mereka soal adat. AMA-PM tetap me­
ma­in­kan peranan yang cukup signifikan dalam penyebarluasan wa­ca­
na adat dan kampanye konservasi keanekaragaman hayati Pulau Si­be­
rut. Mereka membangun struktur hierarkis dari tingkat dusun sampai
ting­kat kabupaten. Tiga tahun setelah pembentukan AMA-PM, 44 or­
ga­ni­sa­si masyarakat adat telah terbentuk di kampung-kampung. Me­
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 371

re­ka juga telah menetapkan empat sekretariat di tingkat kecamatan


yang meng­ko­or­di­nir lembaga adat di bawahnya. Pertumbuhan ini sa­
ngat didukung oleh YCM.
Sebagai sebuah gerakan politik AMA-PM juga memerlukan kon­
so­li­da­si konstituennya. Dengan alasan itulah pada 2006 AMA-PM me­
nye­leng­ga­ra­kan kongres pertama. Di bawah tajuk utama “Te­mu Rak­
yat Mentawai” yang diorganisir oleh YCM, kongres ini menghadirkan
seluruh anggota dewan adat di kampung-kampung dan pengurus
AMA-PM dari tingkat dusun hingga kabupaten. Selain itu, kongres ini
ju­ga dihadiri oleh wakil dari gerakan masyarakat adat nasional, seperti
Se­kre­ta­ris Jenderal AMAN dan beberapa aliansi LSM progerakan ma­
sya­ra­kat adat. Kongres ini secara resmi memformalkan AMA-PM da­
lam peta politik di Kepulauan Mentawai.
Di samping merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan ke­lem­
ba­gaan seperti anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, program
ker­ja, dan kepengurusan AMA-PM yang mendapat legitimasi penuh,
kong­res ini menjadi penting karena akan mendudukkan gagasan un­
tuk mem­ba­ngun organisasi yang menjadi basis gerakan sosial bagi
per­ubah­an Mentawai ke arah yang lebih baik (Siahaan 2006). Agenda-
agen­da yang ada dalam kongres tersebut membentang luas dari pe­ru­
mus­an ideologi, mekanisme rekruitmen anggota, dan penentuan kri­
te­ria pemimpin yang akan menjalankan AMA-PM dari tingkat du­sun
hingga kabupaten. Selain itu, kongres ini meminta kepada pe­me­rin­tah
(pusat, provinsi, maupun kabupaten) untuk mengakui hak-hak ma­sya­
ra­kat Mentawai sebagai sebuah suku bangsa yang sama de­ngan suku
bangsa lain. Hampir dalam setiap rumusan keputusan AMA-PM, se­la­
lu muncul secara eksplisit tuntutan pengembalian hak dan ke­dau­lat­an
masyarakat adat Mentawai terhadap pemerintah. Tuntutan se­ma­cam
ini sedikit agak rumit karena sepanjang Orde Baru tidak ada per­nya­
ta­an resmi bahwa orang Mentawai tidak diakui. Tuntutan terhadap
peng­aku­an ini lebih merupakan sebuah tuntutan untuk mendapatkan
oto­no­mi yang luas dan adanya kebijakan yang lebih menguntungkan
orang Mentawai, di mana pada masa Orde Baru, orang Mentawai me­
ra­sa dimarjinalkan.
Walaupun berulangkali menuntut pengakuan dari negara, namun
AMA-PM sangat sulit mendapatkannya, terutama dari Pemerintah
Dae­rah Kepulauan Mentawai. AMA-PM tidak banyak dilibatkan da­
lam kegiatan-kegiatan pemerintah, bahkan terkadang justru dilihat se­
372 Berebut Hutan Siberut

Gambar 17. Kongres AMA-PM di ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai


(Puailiggoubat).
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 373

ba­gai musuh pemerintah kabupaten.22 Demikian halnya, dewan adat


ju­ga sulit bekerja sama dengan pihak desa atau kecamatan. Mereka ti­
dak pernah diundang oleh pemerintah dalam menyelesaikan konflik-
kon­flik tanah atau perencanaan pembangunan. Oleh beberapa pihak,
AMA-PM dianggap sebagai mesin politik bagi pemimpin-pemimpin
LSM yang akan bertarung dan terlibat dalam pemilihan bupati atau
ang­go­ta legislatif. AMA-PM dilihat sebagai kendaraan politik bagi ke­
pen­ting­an sebagian kecil orang Mentawai yang mengatasnamakan
adat.23
Di media massa atau pada pertemuan resmi, para pejabat Pem­
da Kepulauan Mentawai sering menggunakan retorika yang me­nye­
nang­kan menyangkut gerakan masyarakat adat,24 namun, mereka te­
tap melihat AMA-PM sebagai usaha untuk menandingi pemerintah
se­hing­ga pemerintah cenderung mengabaikan keberadaan AMA-PM
da­lam setiap kebijakannya. Sikap abai inilah yang dianggap kalangan
ak­ti­vis gerakan masyarakat adat sebagai tidak adanya pengakuan ne­
ga­ra terhadap masyarakat adat, dan pada akhirnya melahirkan se­
rang­kai­an tuntutan. Dalam berbagai dokumen resmi organisasi, AMA-
PM selalu menuntut adanya pengakuan dari negara (Anonim 2006;
Puailiggoubat 2006). Mereka menuntut pemerintah kabupaten dan
DPRD untuk membuat kebijakan tentang pengakuan hak-hak ma­sya­
ra­kat adat di Mentawai dalam isu pendidikan, pengelolaan sumber
da­ya alam, pengembangan budaya, kesehatan, dan isu-isu ekonomi.
Kong­res AMA-PM yang pertama menghasilkan 30 rekomendasi yang
me­mu­at adanya tuntutan terhadap pihak eksternal dan internal. Dari
30 rekomenasi itu, 19 di antaranya ditujukan kepada pemerintah.25
Adanya tuntutan terhadap pemerintah ini bisa jadi merupakan
pa­ra­doks dari klaim kedaulatan masyarakat adat. Jika klaim bahwa
ma­sya­ra­kat adat adalah kelompok yang sudah berdaulat dan secara
on­to­lo­gis lebih dahulu ada daripada negara Indonesia (dan juga Ka­
bu­pa­ten Kepulauan Mentawai), patut dipertanyakan mengapa me­re­

22 Wawancara dengan SP, Kepala Dinas Kehutanan yang sering menjadi sasaran tembak AMA-PM.
Ke­te­rang­an didapatkan dalam diskusi Forum Mahasiswa Mentawai (Formma) di Padang, November
2006.
23 Tanggapan salah satu pejabat anonim Mentawai dalam Puailiggoubat (November 2008) ketika diminta
keterangan mengenai rencana kongres ke-2 AMA-PM.
24 Misalnya, sambutan bupati Kepulauan Mentawai pada pembukaan Kongres AMA-PM I (Puailiggoubat
2006). Bupati menyatakan, “Hendaknya masyarakat adat muncul sebagai kekuatan dalam mendorong
percepatan pembangunan, masyarakat adat memampukan dirinya dalam pembangunan ... masyarakat
adat harus mandiri dalam membangun daerahnya dan tidak hanya menunggu proyek pemerintah.”
25 Laporan khusus Puailiggoubat mengenai kongres AMA-PM I, Juni 2006.
374 Berebut Hutan Siberut

ka perlu menuntut pengakuan dari negara. Tuntutan mereka ke­pa­


da negara untuk memberikan otonomi yang luas, peranan yang le­bih
besar, dan penghargaan terhadap nilai-nilai adat yang asli dan me­mi­
liki nilai intrinsik tinggi, mengisyaratkan hubungan benci tapi bu­tuh
antara gerakan adat dan negara. Tuntutan kepada negara itu me­nun­
juk­kan pengakuan dewan adat atas kekuasaan pemerintah Kabupaten
Ke­pu­lau­an Mentawai sebagai kekuatan yang lebih menentukan di­
ban­ding­kan kekuatan adat Mentawai sendiri—karena pemerintahlah
yang menentukan apakah tuntutan itu dipenuhi atau tidak.

Masalah Representasi
Bagi penduduk desa, terjemahan sehari-hari tentang adat sa­ngat­
lah se­der­ha­na. Orang yang diakui beradat adalah mereka yang masih
me­wa­risi dan menjalankan aturan-aturan dan kebiasaan yang diwarisi
da­ri leluhur. Kesederhanaan ini sering menjadi lebih rumit ketika
mun­cul lembaga dewan adat. Siapa yang berhak memimpin dewan
adat yang dibentuk di tingkat dusun dan siapa yang berhak mewakili
pa­ra uma untuk menjadi ketua dewan adat, menjadi masalah yang se­
ring­ka­li, berlarut-larut. Permasalahan ini menjadi pelik karena secara
tra­di­sio­nal orang di Siberut tidak mengakui kepemimpinan politik
da­ri anggota uma lain dan bahkan kadang dari anggota umanya. Oto­
no­mi dan sistem egaliter yang diwarisi membuat mereka tidak akan
re­la kehidupan umanya atau keluarganya diatur oleh orang lain. Ini
me­nyu­lit­kan pemimpin lembaga dewan adat untuk menjalankan tu­
gas se­ba­gai­mana diamanatkan oleh organisasi.
Sebagian warga Siberut merasa bahwa dewan adat merupakan
lem­ba­ga yang dikenalkan dari luar kepada orang Mentawai dan tidak
ber­sum­ber dari budaya mereka sendiri. Pandangan ini lebih jauh
ke­mu­di­an mengundang kecurigaan bahwa dewan adat menyimpan
agen­da-agen­­da dari luar yang belum tentu sesuai dengan kepentingan
war­ga Si­be­rut. Contoh adanya masalah pengakuan dan keterwakilan
me­nyang­kut kepemimpinan AMA-PM tercermin dari keikutsertaan
se­o­rang Sikebbukat dari Uma Sanambaliu dari Dusun Ugai, Johannes
Teu­ta­loi. Uma Sanambaliu termasuk yang disegani di Ugai, di Lembah
Re­rei­ket. Teutaloi, demikian Johannes Teutaloi biasa dipanggil, sa­
ngat pandai dan berani berbicara di depan umum. Dia sering di­un­
dang menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan adat
sehari-hari seperti penentuan mahar perkawinan dan denda-men­
den­da. Reputasinya juga hebat dalam hal perburuan primata, suatu
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 375

ke­mam­pu­an yang tidak hanya mengandalkan kehebatan teknik dan


kekuatan fisik, tetapi juga dipercaya banyak orang sebagai kekuatan
un­tuk berpantang dan berhubungan dengan roh-roh leluhur. Pada
awal pem­ben­tuk­an dewan adat, Teutaloi terpilih sebagai ketua. Ke­
de­kat­an­nya dengan staf UNESCO, para turis, dan keberaniannya me­
nan­tang pejabat lokal membuat reputasinya semakin kuat sebagai re­
pre­sen­tasi masyarakat adat. Hal ini memberi kesempatan kepadanya
untuk diundang dalam pertemuan di Padang atau di Tuapejat.
Meskipun Teutaloi memiliki cukup syarat menjadi ketua dewan
adat, namun, yang menjadi masalah, Teutaloi tidak begitu lancar ber­
baha­sa Indonesia. Dia juga tidak bisa membaca dan menulis. Sementara
itu, ak­ti­vis AMA-PM memerlukan tokoh yang bisa mengartikulasikan
adat dalam bahasa Indonesia ke pendengar luar dan sekaligus mampu
menyerap isu-isu global seperti hak asasi manusia, kesetaraan perem­
puan, dll. Kemampuan bahasa Mentawai dialek Lembah Rereiket
yang di­mi­liki Teutaloi hanya menjangkau pendengar terbatas. Ar­ti­ku­
la­si­nya terhadap wacana internasional, undang-undang, dan aturan-
atur­an formal, juga sangat terbatas. Maka, seiring menguatnya AMA-
PM dan semakin intensifnya pertemuan-pertemuan regional, Teu­ta­loi
yang memulai kiprah di Dewan Adat Ugai sebagai ketua, ke­mu­di­an
tidak banyak dilibatkan lagi. Meskipun tidak ada aturan ter­tu­lis yang
menyebutkan kriteria tertentu dalam memimpin dewan adat di Ugai,
jelas keterbatasan Teutaloi menjangkau publik yang lu­as me­nye­bab­
kan dia se­ma­kin jarang terlibat dalam kegiatan dewan adat kalau ber­
lang­sung di ibukota kabupaten dan Padang. Meskipun sesekali ia tam­
pil menghadiri undangan ke kota, banyak pembicaraan dan diskusi
po­li­tik menggunakan bahasa Indonesia, bahasa yang kurang dikuasai
oleh Teutaloi.
Pada akhirnya, posisi Teutaloi digantikan oleh orang yang lebih
mu­da. Proses pergantian ini tidak melalui acara formal. Teutaloi me­
ra­sa bahwa dia tidak sanggup menjadi representasi dewan adat di Ugai
ka­re­na dia tidak sering dimintai pendapatnya dan bisa mengutarakan
ma­sa­lah-masalah orang Ugai dengan bahasa Indonesia. Dia juga me­
ra­sa dewan adat membutuhkan orang yang pandai membaca dan me­
nu­lis. Setelah terlibat bersemangat dalam waktu kurang 2 ta­hun, Teu­
ta­loi mengundurkan diri dan digantikan tokoh baru. Proses pergantian
diawali dengan adanya pendefinisian ulang mengenai kriteria ketua
dewan adat—meskipun tidak ditulis secara formal. Syarat membaca dan
menulis dalam bahasa Indonesia lebih mengemuka untuk disepakati.
376 Berebut Hutan Siberut

Pergantian ini memiliki tujuan yang jelas: pemimpin adat harus dapat
berkomunikasi dengan publik dan dunia luar. Setelah pergantian itu,
Teu­ta­loi tidak banyak lagi terlibat dalam kerja-kerja gerakan adat.
Dia le­bih memilih berladang nilam jauh dari kampungnya. Dia juga
se­ma­kin jarang terlihat di Ugai dan lebih banyak tinggal di ladang
yang ja­uh dari dusun, menarik diri dari ingar-bingar wacana adat.
Perjuangan memperoleh pengakuan terhadap hak adat seperti
yang ter­ja­di di Mentawai merupakan masalah tersendiri dan me­ru­pa­
kan masalah endemik bagi gerakan adat di Indonesia (Li 2001; 2000).
Me­re­ka yang menuntut hak-hak adat harus menggunakan bahasa-ba­
ha­sa yang dominan dan retorika yang seragam untuk mendapatkan
sua­ra yang lebih besar dalam wacana nasional maupun regional. Tun­
tut­an penghargaan terhadap hak adat juga tidak hanya melibatkan ne­
ga­ra. Sebagai bagian dari gerakan masyarakat adat secara nasional,
bah­kan global, AMA-PM harus berinteraksi dengan agenda dan ak­
tor-ak­tor dari kelompok lain—termasuk di dalamnya adalah LSM na­
sio­nal, politisi lokal, birokrat yang ingin meraih simpati, dan media
massa.
Penggantian Teutaloi oleh seorang yang bisa berbahasa In­do­ne­
sia mengindikasikan adanya kebutuhan pengakuan dari pergerakan
ma­sya­ra­kat adat di Mentawai dari pembaca yang lebih luas dan ka­
lang­an orang luar kepulauan. Dengan demikian, kriteria yang di­bu­
tuh­kan untuk menjadi representasi adat harus lebih luas dari se­ka­dar
kemampuan menguasai beberapa persoalan adat. Seorang pe­mim­pin
di AMA-PM harus mampu mengartikulasikan adat dengan bahasa
yang bisa dipahami publik yang luas. Dia juga harus bisa meng­hu­
bung­kan wacana adat di Mentawai dengan wacana yang lebih luas di
ting­kat nasional dan internasional, seperti wacana konservasi ke­ane­
ka­ra­gam­an hayati, hak asasi manusia, dan otonomi. Pada akhirnya,
kri­te­ria pemimpin adat lebih banyak ditentukan oleh pihak luar.
Ham­pir mirip dengan kriteria yang dikenakan untuk jabatan bupati,
kri­te­ria pemimpin adat yang dikehendaki oleh AMA-PM menekankan
pada politik pembedaan. Kriteria pemimpin adat dihubungkan dengan
identitas sebagai Kristen (Persoon 2002; Reeves 2004). Tak hanya itu,
seo­rang pemimpin adat juga harus memiliki kriteria tambahan, se­per­
ti dapat membaca dan bicara dalam bahasa Indonesia serta mam­pu
melayani wawancara dengan wartawan media massa yang ke­ba­nyak­
an tidak bisa berbahasa Mentawai.
Kriteria-kriteria macam itu tentu saja tidak ada presedennya dalam
perkembangan adat Mentawai dan tak memiliki keterkaitan dengan
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 377

nilai-nilai yang mengacu pada istilah ‘kepemimpinan’ yang merujuk


pa­da istilah sikebbukat. Masyarakat merasakan kesenjangan yang cu­
kup men­co­lok antara kriteria kepemimpinan dewan adat dengan kri­
te­ria kepemimpinan yang selama ini mereka kenal. Sikebbukat, da­
lam benak masyarakat Mentawai biasanya merujuk kepada laki-laki
yang ber­usia lanjut (sekurang-kurangnya telah berkeluarga) yang
me­mi­liki pengalaman. Tidak hanya memiliki kemampuan retorika,
te­ta­pi dia juga harus menguasai cerita-cerita lisan mengenai tanah,
mam­pu menyelesaikan konflik-konflik yang bersangkut-paut dengan
sumber daya alam dan masalah-masalah sosial, mampu melakukan
pantangan, memiliki kekayaan yang bisa dibanggakan berupa ladang
yang luas dan penghasilan di atas rata-rata warga lain, dan—yang
lebih penting—mampu memimpin upacara (lia) dan memiliki ke­
luarga. Menjadi sikebbukkat terjadi lewat proses sosial yang rumit,
tidak formal, dan hanya bisa terjadi jika ada pengakuan yang luas.
Menjadi sikebbukat uma juga seringkali berkaitan dengan perjanjian
atau sumpah yang tidak bisa dilanggar dengan komponen gaib yang
diperoleh melalui usaha yang terkait dengan kehidupan sehari-hari
dan dengan masyarakat luas (Schefold 1991; Sabeleake 2002).
Hal ini menjelaskan kenapa ada asak baga dari masyarakat ter­ha­
dap pemimpin-pemimpin dewan adat yang terpilih. Di Rogdok, ketua
de­wan adat sering dilihat sebagai perpanjangan tangan LSM. Banyak
orang yang tertarik menjadi anggota AMA-PM adalah orang-orang
mu­da yang dipandang kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan
mengenai adat. Mereka juga tidak dilihat memiliki kualitas untuk
men­ja­lan­kan adat-kebiasaan Mentawai yang “asli” dalam kehidupan
se­ha­ri-hari. Beberapa pemimpin AMA-PM bahkan dianggap ti­dak
men­cer­min­kan keaslian Mentawai. Oleh karena itu, orang-orang tua
di kampung tidak begitu tertarik mengikuti pandangan-pan­dang­an
pemimpin dewan adat. Akibatnya, pemimpin-pemimpin or­ga­ni­sa­si
adat yang dibentuk memiliki kesulitan untuk melakukan peng­or­ga­
ni­sa­si­an. Di Dusun Salappak, walaupun pendampingan LSM ter­ha­
dap gerakan adat dilakukan sangat intensif, ketua dewan adat ti­dak
mendapat legitimiasi dari warga setempat dan gagal menjadi pa­nut­
an. Ketika ketua dewan adat dan tokoh-tokoh yang berasal dari kam­
pung seperti Salappak berkunjung, hadir dalam rapat, atau ber­dis­kusi
dengan publik yang luas di kota, mereka kurang dikenal oleh ma­sya­
ra­kat pendatang yang berasal dari etnis lain. Masyarakat pendatang
cen­de­rung melihat mereka sebagai pengikut LSM.
378 Berebut Hutan Siberut

Kekuatan-kekuatan yang bekerja dalam gerakan AMA-PM me­


mang sangat kompleks. Ketua umum AMA-PM terpilih yang ber­ke­
du­duk­an di Kabupaten adalah seorang pendeta Protestan. Pilihan ini
sedikit mengejutkan, mengingat Protestan dikenal luas sebagai agama
yang paling gencar dan paling bersemangat untuk menghilangkan ciri-
ciri tradisi Mentawai—yang sering diklaim sebagai adat Mentawai—
untuk diganti dengan hal-hal yang bersifat modern (Sihombing 1979).
Meski dikenal luas di kalangan aktivis, pemimpin AMA-PM yang lain
bukanlah sosok yang dikenal luas. Sebagian besar penduduk Siberut
ti­dak pernah mendengar namanya atau, kalaupun tahu, mengetahui
dengan serba samar. Padahal tokoh tersebut sudah malang-melintang
dalam wacana masyarakat adat, dikirim mengikuti Kongres AMAN
1999 di Jakarta, dan sering diundang dalam forum-forum LSM ge­rak­
an adat. Bagi kebanyakan orang Mentawai, tokoh tersebut sama sekali
tidak mewakili mereka.
Representasi menjadi masalah yang sangat penting dan sukar
di­se­le­sai­kan dalam dinamika internal AMA-PM. Proses pemilihan
sia­pa yang menjadi pengurus AMA-PM bukanlah tidak demokratis.
Me­re­ka yang duduk menjadi pengurus umumnya dipilih melalui pro­
ses pemilihan langsung dalam suatu musyawarah. Jika berada di ting­
kat kampung, dewan adat akan mengadakan rapat dan begitu se­te­
rus­nya untuk tingkat kecamatan dan kabupaten. Masalahnya, sistem
pemilihan langsung ini tidak mewakili proses demokratisasi ala Siberut
yang sesungguhnya. Secara tradisional, dan hingga sekarang masih
di­ber­la­ku­kan, proses pengambilan keputusan apa pun dilakukan me­
la­lui musyawarah bersama. Keputusan ini baru disepakati apabila se­
lu­ruh laki-laki dewasa bersepakat. Seringkali kesepakatan terjadi se­
te­lah dilakukan musyawarah selama berkali-kali dalam waktu yang
ber­bu­lan-bulan (Schefold 1991: 57). Seringkali juga kesepakatan tidak
terjadi dan keputusan tidak pernah bisa diambil, dan masalah yang
akan diputuskan mengambang. Proses pengambilan keputusan ini ti­
dak hanya dijalankan di tingkat uma, antaruma di suatu kawasan ter­
ten­tu, namun juga berlaku untuk uma-uma di seluruh Siberut apabila
me­nyang­kut urusan adat.
AMA-PM tidak akan bisa bergerak dengan mekanisme peng­am­
bil­an keputusan ala tradisional tersebut. Dia mengadopsi sistem de­
mo­kra­si ‘modern’ yang diwujudkan dalam proses pemilihan umum
atau sua­ra terbanyak. Sementara efektif bagi AMA-PM maupun dewan
adat, sistem pemilihan umum menimbulkan banyak pertanyaan dan
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 379

ke­luh­an bagi masyarakat kebanyakan. Tidak semua anggota uma ter­


ta­rik dengan ide pemilihan sebagai sarana pengambilan keputusan.
Mereka beralasan, uma-uma besar yang memiliki jumlah individu le­
bih banyak akan mudah memenangkan pengambilan keputusan dan
hal ini dirasa tidak adil karena uma-uma kecil belum tentu sepakat.
Sis­tem pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dirasa
ada­lah sistem yang cocok untuk urusan pemerintahan (penentuan ke­
pa­la dusun) atau politik saat kampanye pemilihan umum namun hal
ini tidak bisa diberlakukan untuk mewakili urusan adat.
Masalah lain yang tidak kalah rumitnya adalah menentukan si­ap
­a
yang berhak diundang dalam pertemuan di kota. AMA-PM dan alian­
si pendukungnya tidak memiliki kekuatan finansial untuk meng­ha­
dir­kan seluruh anggota dewan adat di seluruh Kepulauan Mentawai.
Un­dang­an-undangan ke Jakarta atau ke luar Siberut dalam kerangka
per­te­mu­an gerakan, pelatihan, dan diskusi yang sering diberikan
AMAN dan LSM nasional sering menyisakan masalah kenapa yang di­
un­­dang si A atau si B. Dalam penentuan siapa yang berhak mengikuti
un­­dang­an tersebut, karena pintu undangan dipegang oleh YCM se­ba­
gai mitra AMA-PM, YCM-lah yang menentukan siapa yang pergi dan
siapa yang tidak. Dalam hal ini, YCM yang menentukan kriteria si­a­
pa yang layak dan yang tidak—meskipun hal ini tidak pernah di­je­las­
kan secara eksplisit. Hubungan representasi adat berpeluang men­ja­di
hubungan patron-klien antara elite-elite adat dan LSM yang men­du­
kung­nya. Proses memilih ini bagi YCM juga sangat dilematis. Di sa­tu
sisi mereka menginginkan proses demokratis tapi di sisi lain me­re­ka
juga tidak berani mengambil risiko untuk mengecewakan peng­un­
dang dengan memberikan nama-nama yang kurang dikenal, belum
ber­peng­a­lam­an, dan belum mengetahui kode-kode yang menjadi ke­
se­pa­kat­an gerakan sosial.
Ada beberapa keluhan yang kurang terungkap dari pengurus-
peng­urus yang tidak mendapat kesempatan untuk meraih peluang
un­tuk menjadi representasi gerakan adat Mentawai ke dunia luar. Ke­
ke­ce­wa­an ini pernah diungkap oleh pengurus dewan adat dari Dusun
Katurei. Menurut Aman Sinta Satairakrak, salah satu pengurus AMA-
PM, proses pemilihan sering tidak mewakili harapan orang Katurei.
Orang-orang yang dikirim menjadi wakil adat dari Mentawai menjadi
kepanjangan tangan dari kepentingan LSM dan elite-elite AMA-PM.
Bahkan dia, dengan agak berlebihan mengomentari salah satu tokoh
gerakan adat yang menjadi langganan undangan gerakan adat di ting­
380 Berebut Hutan Siberut

kat nasional berikut ini: “Ia hanya mewakili dirinya sendiri. Kami tidak
me­min­ta dia untuk pergi kemana-mana dan mengabarkan kondisi ka­
mi. Kami tidak tergantung sama dia.”

Ketidakpastian Gerakan di Masa Depan


Meskipun telah terbentuk secara formal dan memiliki banyak
ang­go­ta, pengurus AMA-PM kesulitan untuk menjelaskan masa de­
pan lem­ba­ga mereka. Isu tentang kemandirian lembaga menjadi isu
sentral ba­gi. Beberapa pengurusnya menyatakan bahwa AMA-PM
harusnya ber­diri setara dengan YCM dalam membentuk aliansi sen­
diri. Namun, sebagian pemimpin yang lain cukup tahu diri bahwa pe­
ranan YCM ma­sih akan tetap menentukan masa depan dan gerakan
AMA-PM. Se­mua orang yang menjadi pengurus AMA-PM menyadari
bahwa un­tuk mengusung isu gerakan adat mereka berharap banyak
dari peran YCM. Berikut pernyataan ketua umum AMA-PM dalam
sebuah acara penentuan rencana strategis AMA-PM dan YCM pada
2007:
AMA-PM sangat dibutuhkan untuk mengisi celah bagi perjuangan
rakyat Kepulauan Mentawai terhadap kesewenangan negara.
Na­mun jujur saja, kita ini masih diasuh oleh YCM. Kegiatan
AMA-PM masih banyak didukung oleh teman-teman (YCM),
ba­­ik dari segi program maupun juga pendanaan. Tahap yang
ki­ta jalani masih belajar, jadi, belum bisa mandiri. Melakukan
per­ju­ang­an seperti ini tidak gampang. AMA-PM masih butuh
ba­­nyak aspek perbaikan untuk dapat memenuhi tujuannya.26

Di tingkat pemimpin yang lain, terdapat pengakuan bahwa AMA-


PM kekurangan sumber daya manusia yang membawa mereka ke arah
yang lebih jelas. Mereka menyadari bahwa munculnya penyamaan
an­ta­ra YCM dan AMA-PM tidak sehat bagi organisasinya. AMA-PM
ada­lah organisasi yang bersifat massa, politis, dan merepresentasikan
ma­sya­ra­kat Mentawai; sementara YCM adalah sebuah yayasan yang
ter­ikat dengan aturan-aturan yayasan. Para pengurus ini juga ber­ha­
rap ada kerja sama yang luas di tingkat nasional—tidak hanya terbatas
dengan YCM. YCM telah berusaha keras merintis jaringan kerja untuk
AMA-PM dengan Jakarta dan dengan gerakan adat lain yang serupa
di tingkat nasional. Bila ada kegiatan-kegiatan AMAN, YCM mengirim
perwakilan dari AMA-PM.

26 Keterangan dari Ketua Umum AMA-PM, UT, Februari 2008.


Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 381

Meskipun tidak pernah diungkapkan secara terbuka, pemimpin


AMA-PM menyimpan kekhawatiran atas ketidakpastian gerakan ini di
masa depan. Keterbatasan kapasitas pengelolaan organisasi, lemahnya
re­ge­ne­rasi, dan masalah pendanaan menjadikan AMA-PM berada
da­lam po­si­si yang tidak selalu nyaman. Dengan kegamangan ini,
AMA-PM di­li­hat sebagai agenda dan pertaruhan terbesar dari YCM.
Ke­bi­ngung­an semacam itu tidak hanya dirasakan oleh pemimpin-pe­
mim­pin AMA-PM. Anggota dewan adat di kampung-kampung ter­
kadang bingung untuk melakukan kerja-kerja yang diagendakan AMA-
PM. Ketua dewan adat di Maileppet mengatakan, organisasi yang ia
pim­pin kurang banyak melakukan kegiatan secara mandiri dan hanya
me­nung­gu informasi dari YCM.27 Sebuah pernyataan dari Jakobus
Sa­kaliou, Koordinator Parurukat Siberikabaga Siberut Selatan (PS3),
AMA-PM untuk Kecamatan Siberut Selatan, yang mundur pada 2005,
menggambarkan ketergantungan tersebut:
Sampai sekarang, AMA-PM di Siberut tidak berkembang karena
kerja sama belum jelas. Setiap akan melakukan kegiatan, kami
tetap menunggu informasi dari fasilitator kecamatan atau YCM
untuk langkah berikutnya. Kami juga tidak memiliki dana sendiri
untuk membeli makanan, minuman, rokok untuk mengadakan
pertemuan. Kami tetap bingung!28

Sebagian orang tertarik dengan AMA-PM karena berharap lem­


ba­ga tersebut dapat segera memperbaiki kehidupan mereka. Pa­da
awalnya, sebagian anggota baru berharap adanya program-pro­gram
yang lebih menyentuh kebutuhan yang mendasar seperti isu-isu
peningkatan ekonomi melalui program-program pertanian, per­ikan­
an, atau perkebunan. Retorika kedaulatan dan kemandirian ma­sya­
ra­kat adat yang sering dilontarkan dalam pertemuan resmi di­ra­sa­
kan le­bih sebagai kampanye semata, karena program-program kerja
AMA-PM dirasa kurang meningkatkan kualitas ekonomi rumah tang­
ga anggotanya. Kepala Desa Maileppet yang mengaku menjadi sim­pa­
tis­an gerakan adat mengeluhkan terbatasnya kegiatan AMA-PM yang
bisa dirasakan secara langsung oleh warganya.29 Harapan besar ter­
ha­dap AMA-PM menyerupai harapan warga Siberut terhadap taman
na­sio­nal. Sebagai sebuah gerakan politik, AMA-PM tidak bekerja di
27 Keterangan Aman Piter, ketua Dewan Adat Maileppet (2006-2009), Februari 2009.
28 Puailiggoubat, Edisi 54, Agustus 2004. Laporan ini berjudul “Menghadapi IPK dan HPH dengan AMA-
PM”.
29 Aman Erli, Kepala Desa Maileppet (2001-2008).
382 Berebut Hutan Siberut

wi­la­yah-wilayah teknis seperti peningkatan ekonomi—meskipun


usaha ini pernah dilakukan. Tuntutan akan fungsi AMA-PM ini lebih
mencerminkan tingginya harapan terhadapnya dan merefleksikan
dinamika gerakan yang dibawanya.
Situasi ini bukannya tidak disadari oleh YCM. Pemimpin YCM
yang dimintai keterangan menyatakan, ketergantungan ini tidak bisa
di­hin­dari karena kapasitas AMA-PM untuk menggerakkan organisasi
dan men­ca­ri pendanaan sendiri masih sangat terbatas. Ini juga ha­
rus di­li­hat dari sejarah sosial politik regional yang menyebabkan le­
mah­nya gerakan sipil di Mentawai. Gerakan sipil di Mentawai belum
ber­umur panjang dan hampir sebagian sejarahnya sangat tergantung
wa­ca­na dari luar. Hampir semua LSM di Mentawai sangat tergantung
du­kung­an dana dari luar negeri dan jaringan kegiatan dengan LSM
na­sio­nal. Selain itu, sumber daya manusia yang tersedia dalam ge­
rak­an sipil juga relatif kurang. Elite-elite terdidik relatif masih jarang
dan le­bih banyak memilih untuk bekerja di birokrasi pemerintahan
ka­re­na menjanjikan jaminan keamanan pendapatan. Pengurus YCM
me­nye­but­kan:
Perjuangan AMA-PM masih panjang. AMA-PM harus memiliki
sumber daya manusia yang cukup, jaringan kerja di tingkat
regional dan nasional yang kuat serta kemandirian anggotanya.
Sejauh ini, AMA-PM belum bisa berdiri kokoh. YCM akan
membantu AMA-PM untuk menciptakan organisasi yang lebih
solid dan dipercaya masyarakat. Hal ini juga harus disadari oleh
anggota dan pengurus AMA-PM, bahwa mengurus organisasi
bukanlah hal yang mudah.30

Menurut pengurus YCM lain, kadang anggota baru tidak sabar


de­ngan arah perjuangan organisasi. AMA-PM, mula-mula, harus le­
bih banyak mengembangkan diskusi-diskusi yang lebih matang un­tuk
me­nen­tu­kan dasar dan arah perjuangan agar dipahami oleh ang­go­
ta­nya. Sebagai organisasi baru, AMA-PM harus lebih mem­pri­o­ri­tas­
kan pemahaman mengenai organisasi. Oleh karena itu, ke­ba­nyak­an
pelatihan dan pertemuan diisi dengan ceramah soal hak-hak ma­sya­
ra­kat adat. Mereka dikenalkan dengan banyak aturan internasional
dan nasional, undang-undang, dan juga contoh-contoh gerakan adat
di dunia.
Seperti yang pernah kami saksikan, banyak peserta pelatihan dan
30 Diskusi dengan Direktur YCM, SPS, Februari 2008.
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 383

per­te­mu­an justru bingung dengan wacana-wacana baru mengenai ge­


rak­an adat. Gerakan masyarakat adat sendiri sangatlah rumit dan ber­
ka­it­an dengan isu-isu lain seperti peran negara, demokratisasi, pe­nge­
lo­la­an sumber daya alam, dan agenda donor (Li 2002). Bagi se­ba­gi­an
besar peserta, pesan-pesan perjuangan gerakan adat harus me­re­ka
asimilasikan dengan pengalaman lokal. Banyak pesan yang di­sam­pai­
kan mengalami kekaburan makna dan artikulasi ketika didialogkan
de­ngan kenyataan lokal. Kekaburan tersebut, barangkali, lebih karena
ba­ha­sa-bahasa tersebut jauh dari jangkauan dan pengalaman lokal.
Per­te­mu­an-pertemuan semacam ini memiliki jarak dengan harapan
ma­sya­ra­kat. Kegiatan-kegiatan AMA-PM yang lebih ramai dan me­
na­rik ba­nyak anggota untuk terlibat adalah pertemuan-pertemuan
be­sar, kong­res, atau festival budaya yang menampilkan tari-tarian,
ba­zar, dan pameran.
Landasan organisasi AMA-PM sebenarnya tidak berwawasan
sempit atau sektarian. Sebagai sebuah gerakan, mereka cukup lihai
memetakan posisi. Mereka sangat terbuka kepada siapa saja yang
peduli terhadap perjuangan rakyat Mentawai untuk menuntut hak­
nya sebagai warga negara. AMA-PM bisa menjadi landasan yang
kom­prehensif untuk melakukan negosiasi ulang tentang arti warga
negara. Aktivis pendukungnya juga menyadari AMA-PM adalah alat
yang sangat efektif sebagai sarana perjuangan masyarakat sipil di
Men­tawai untuk menaikkan posisi tawar terhadap negara. Meskipun
tidak pernah diungkapkan secara eksplisit, AMA-PM dan wacana
gerakan masyarakat adat adalah alat yang strategis untuk menarik
perhatian dari donor internasional dan memobilisasi dukungan dari
aliansi nasional. YCM menjadikan pendampingan terhadap AMA-
PM sebagai agenda utama. Dalam sebuah pertemuan tahunan yang
diselenggarakan di dekat Maninjau pada awal 2008, seorang anggota
staf YCM menyatakan:
AMA-PM sangat strategis bagi perjuangan masyarakat adat. Ki­
ta bisa melakukan pelatihan politik dan pendidikan sipil, dan
mewacanakan adat Mentawai sebagai panduan hidup dan pe­
nge­lo­la­an sumber daya alam berkelanjutan dan lain-lain. AMA-
PM adalah sebuah gerakan rakyat yang menuntut hak dan ke­wa­
jib­an­nya terhadap negara.31

31 Keterangan dari Pemimpin YCM yang lain, FS, pada pertemuan penyusunan Strategic Planning YCM
yang mengundang wakil dari AMA-PM, di Maninjau, Sumatra Barat, Februari 2008.
384 Berebut Hutan Siberut

Sebagian peserta, yang memang belum berpengalaman dengan


ge­rak­an politik, lebih banyak diam dan mendengarkan paparan
LSM yang diundang dalam setiap pertemuan strategis. Terlihat da­
ri pengamatan langsung, pembicaraan mengenai masa depan AMA-
PM lebih banyak disuarakan aktivis LSM. Sedangkan, peserta per­
te­mu­an dari AMA-PM biasanya hanya merespons secara aktif isu
me­­ka­nis­me pendanaan yang berimbang dan lebih jelas antara LSM
pen­du­kung­nya dan AMA-PM. Dari dua hari diskusi, sebagian besar
wak­tu yang meriah terjadi ketika ada diskusi mengenai rencana-ren­
ca­na pembagian anggaran dalam mekanisme pendanaan dalam se­ti­
ap kegiatan di kampung-kampung. Anggota AMA-PM juga ter­ta­rik
ketika pembahasan mulai mengarah ke gagasan peningkatan eko­no­
mi. Anggota yang hadir merespons dengan antusias dan banyak mem­
bi­ca­ra­kan hal-hal praktis seperti pemenuhan kebutuhan pokok, uang
se­kolah, biaya kesehatan murah, dan membangun rumah.
Isu peningkatan ekonomi memang lebih banyak mendapatkan
tang­gap­an yang serius dari anggota. Antusiasme ini mulai diakomodasi
da­lam Kongres AMA-PM pada 2009. Wacana pembentukan koperasi
sim­pan-pinjam, peran sebagai perantara hasil bumi, dan adanya lem­
ba­ga yang menaruh perhatian terhadap masalah pertanian menjadi
isu yang banyak disuarakan oleh anggota AMA-PM. Dalam diskusi in­
for­mal, mereka menuntut adanya program ekonomi yang menjawab
ke­bu­tuh­an riil anggotanya. Selain dapat memandirikan organisasi,
pro­gram ekonomi ini juga dapat membantu anggotanya mendapatkan
peng­ha­sil­an tambahan. Dalam setiap pertemuan, keluhan “membeli
ma­hal dan menjual murah” terus bergaung. Kecuali beberapa elite,
ke­ba­nyak­an anggota-anggota AMA-PM selalu menunjuk, atau lebih
te­pat­nya memilih, konsekuensi-konsekuensi ekonomi sebagai narasi
uta­ma agenda perjuangan AMA-PM. Dalam laporan-laporan yang di­
mun­cul­kan secara teratur oleh Puailiggoubat, musyawarah di ting­kat
kampung, dusun, atau kecamatan beralih dari isu otonomi, peng­aku­­
an, maupun pengelolaan sumber daya alam ke isu perbaikan ekonomi
angggotanya (Puailiggoubat 2008)
Akan tetapi, menilai anggota AMA-PM hanya sebagai pihak yang
me­men­ting­kan hal-hal praktis dan ekonomis dibanding alat per­ju­
ang­an politik yang strategis juga tidak sepenuhnya tepat. Ba­nyak
dari mereka melihat organisasi ini juga memiliki potensi be­sar untuk
meningkatkan daya tawar terhadap pihak lain, seperti ne­ga­ra atau
perusahaan kayu. Terlibat dengan gerakan adat ju­ga da­pat me­ning­
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 385

kat­kan kekuatan sipil masyarakat Mentawai. Identitas, artikulasi, dan


po­si­si masyarakat, melalui perjuangan AMA-PM, mendapatkan pe­lu­
ang besar untuk dihargai. Masyarakat juga mendapatkan ruang un­
tuk mengartikulasikan pengalaman-pengalaman lokal mereka ke­pa­da
pihak luar melalui AMA-PM. Peluang ini dapat dimanfaatkan un­tuk
belajar dan melakukan pemaknaan atas kondisi sosio-politik yang ber­
kem­bang, informasi mengenai kebijakan negara dan produk undang-
un­dang, juga jaringan kerja dan aliansi yang lebih luas. Peluang-pe­lu­
ang ini adalah beberapa manfaat yang dapat meningkatkan kualitas
per­ju­ang­an hak-hak masyarakat.
Masalah serius yang dihadapi oleh AMA-PM adalah ketiadaan
da­na secara teratur yang digunakan untuk menjalankan organisasi.
Meng­an­dal­kan sumbangan anggota, hingga sekarang, masih belum
men­ja­di kebijakan organisasi. Situasi ini menciptakan ketergantungan
tinggi terhadap LSM pendukungnya. Hal ini di­rasakan dan dipahami
se­lu­ruh komponen gerakan adat di Mentawai. Dengan fakta bahwa
AMA-PM tergantung dari dukungan konseptual dan finansial dari LSM,
ma­sa depan organisasi dan keberlanjutan AMA-PM tidak menentu.
Ketergantungan terhadap dukungan luar akan menyebabkan kooptasi
agenda organisasi mudah terjadi (McAdam 1999). Dalam kasus AMA-
PM, YCM berusaha memasukkan agenda konservasi dalam rencana-
rencana kerja AMA-PM—meskipun dapat dilihat konservasi hanyalah
isu yang digunakan secara strategis. Memasukkan agenda konservasi
sangat bermasalah karena akan mengurangi dan membatasi dukung­
an orang Mentawai yang lebih luas terhadap AMA-PM.
Sebagian orang Mentawai menginginkan manfaat dari kehadiran
per­usahaan kayu. Bekas anggota AMA-PM Siberut Utara mengatakan,
war­ga Siberut enggan menjadi anggota karena melihat AMA-PM se­
ba­gai “boneka” YCM.32 AMA-PM lebih banyak digunakan sebagai alat
me­mo­bi­li­sa­si massa untuk menolak kehadiran perusahaan ka­yu. Da­
lam beberapa kasus, bahkan rumor menyatakan, AMA-PM di­ben­tuk
untuk menghalangi masyarakat mendapatkan uang dari per­u­sa­ha­
an kayu. Rumor ini tentu saja sukar dibuktikan. Meskipun de­mi­ki­
an, suasana hati orang Siberut terhadap AMA-PM—dapat dilihat da­ri
beberapa pandangan—negatif. Bagi beberapa bekas pengurus AMA-
PM, isu konservasi yang diusung AMA-PM membatasi minat ma­sya­
ra­kat dalam gerakan adat. Beberapa orang yang terlibat aktif da­lam
pembentukan dewan adat di Limu dan beberapa tempat la­in meng­
32 Keterangan dari BS, mantan Ketua AMA-PM Siberut Utara 2006 pada diskusi 14 Oktober 2007.
386 Berebut Hutan Siberut

un­dur­kan di­ri setelah uma mereka bekerja sama dengan per­u­sa­ha­an


kayu. Situasi ini juga dilakukan pengurus AMA-PM di Si­be­rut Utara.
Seluruh pengurus AMA-PM Siberut Utara dibekukan pa­da 2006
karena mereka terlibat kerja sama dengan perusahaan ka­yu, bah­kan
diduga kuat mendapatkan uang dari perusahaan kayu se­ca­ra rutin tiap
bulan. Hasil penyelidikan staf YCM membuktikan du­ga­an ter­se­but.
Perdebatan antara isu eksploitasi dan konservasi terus-menerus ter­ja­
di dan menjadi perdebatan yang sengit dalam pertemuan–pertemuan
AMA-PM.
Menjelang diadakannya kongres AMA-PM ke-2 pada 2009, isu
yang pa­ling banyak mencuat adalah adanya pengembangan ekonomi
bagi ang­gota AMA-PM. Isu ini mengalahkan isu-isu pengelolaan sumber
daya alam, gerakan antiperusahaan kayu, konservasi, atau tuntutan
pengakuan hak-hak masyarakat adat kepada pemerintah. Petisi-petisi
menuntut penolakan terhadap HPH juga relatif tidak banyak dimuat
di media massa sejak 2007, meskipun HPH masih beroperasi. Ini me­
re­flek­si­kan sebuah dorongan kuat untuk mewujudkan pengalaman-
pengalaman lokal, seperti kecukupan ekonomi dan kehendak untuk
menghapus kondisi “menjual murah, membeli mahal”, sebagai basis
ge­rak­an masyarakat adat. Isu ekonomi ini juga mencapai titik temu
de­ngan kebutuhan aktivis LSM yang tidak ingin AMA-PM menjadi
lem­ba­ga yang sangat tergantung secara finansial. Di internal YCM
sen­di­ri, mereka berusaha sangat keras mencari terobosan-terobosan
un­tuk memisahkan pendanaan YCM dan AMA-PM. Hal ini disadari
men­ja­di kebutuhan kedua belah pihak.
Akan tetapi, dengan keterbatasan kapasitas dan pengalaman,
ge­­rak­an adat di Mentawai belum dapat keluar dari masalah-masalah
men­da­sar—yang sering muncul dari keluhan anggota mengenai tidak
ada­nya manfaat yang nyata secara ekonomi dari organisasi. Hampir
se­mua warga yang aktif di dalam dewan adat di Katurei pada 2005
su­dah tidak aktif lagi pada 2008. Dua orang dari mereka menjelaskan
bah­wa rapat-rapat AMA-PM menyita waktu kegiatan sehari-hari.
Mes­­ki­pun mereka mengakui bahwa pendidikan politik sangat penting,
te­ta­pi mereka memiliki kewajiban untuk mencari uang bagi anak-
anak­nya yang sekolah. AMA-PM dipandang belum mau memberikan
ja­wab­an atas keinginan untuk menaikkan pendapatan mereka dan
me­re­ka lebih memilih untuk bekerja di ladang daripada secara in­ten­
sif meng­ha­diri rapat-rapat AMA-PM. Sekalipun demikian, jika ada
Adat, Tanah, dan Batas-batas Pengakuan 387

wak­tu luang, mereka tidak keberatan untuk menghadiri rapat atau


per­te­mu­an di sekitar dusun mereka.
Prinsip konservasi yang mereka jadikan landasan gerakan adat
da­pat membatasi kemampuan organisasi untuk meraih dukungan
yang lu­as dari kalangan yang bekerja sama dengan perusahaan kayu
dan men­ja­uh­kan diri dari hubungan dengan birokrasi pemerintah da­
e­rah yang lebih cenderung menginginkan eksploitasi hutan dan sum­
ber daya alam. Di sisi lain, landasan konservasi bagi AMA-PM mem­
be­ri­kan ruang bagi negara untuk membatasi hak-hak pe­nge­lo­la­an
sum­ber daya mereka, sebab negara hanya mengakui ke­gi­at­an-kegiatan
ma­sya­rakat adat yang bersifat “tradisional dan ber­ke­lan­jut­an” dan
me­ning­galkan jutaan rakyat petani yang tidak bisa memasuki ka­te­
go­ri tersebut (Li 2001). Mereka juga masih harus membangun aliansi
dengan LSM-LSM di Jakarta dan donor-donor pelestarian alam untuk
terus menggerakkan mesin-mesin perjuangan itu. Pemimpin AMA-
PM masih tampak canggung dan kebingungan ketika harus ber­ne­go­
siasi langsung dengan bidang-bidang kekuatan yang lebih luas dan
meng­global tersebut.
Bab 9
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik:
Agenda Lokal dan Dinamika Internal

Tetapi penyebab ketegangan yang paling umum dalam lingkungan kelompok


se-uma timbul karena adanya dilema antara tuntutan kesetiakawanan secara
mutlak dan keinginan meraih gengsi dan kekayaan pribadi ... sehingga tidak
bisa lagi dipertahankan kehidupan yang layak; hal belakangan ini oleh orang
Mentawai terlihat dari kenyataan bahwa bagian setiap orang dari hasil wajar
suatu perburuan—yang selalu harus dimakan bersama-sama oleh se­mua­
nya—sudah terlalu sedikit.
(Schefold 1991: 118)

Bisa dipastikan, kini, tidak ada lagi tempat di Siberut yang bisa me­
no­pang pola hidup subsisten atau tanpa menggunakan uang. Produk-
pro­duk industri global telah masuk ke pedalaman, lembah-lembah
ter­pen­cil, tempat-tempat yang paling sukar dijangkau sekalipun. Mi
ins­tan, gula, rokok dan tembakau, antena parabola, televisi, ra­dio,
batu baterai, handphone, barang-barang yang dihasilkan oleh in­dus­tri
kota-kota besar dapat ditemukan. Di tengah arus konsumsi men­du­
nia, semua orang Siberut menginginkan kehidupan yang lebih “baik”,
yang dalam persepsi paling sederhana dalam bentuk: makan beras
ber­lauk ikan, minum teh dan kopi bergula teratur. Sebagian lain ingin
me­miliki mesin speedboat, rumah berdinding beton, televisi, pemutar
DVD, sepeda motor, atau generator listrik. Orang-orang yang paling
susah menjangkau informasi secara teratur berhasrat anak-anaknya
da­pat sekolah tinggi di Padang, Jakarta, atau Medan. Setelah lulus
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 389

anak-anak itu diharapkan bisa menjadi pegawai pemerintahan atau


be­ker­ja di sektor industri serta jasa di kota-kota besar.
Teu Simpan Ogok, ayah enam anak di Limu pantai barat Siberut
yang terisolir, secara terbuka mengatakan tidak ingin anak-anaknya
menjalani gaya hidup yang kakek-nenek mereka dahulu pernah jalani.
Ia mengatakan, semacam harapan terutama terhadap anak laki-
lakinya, begini:
Semoga saja Mengget (anaknya), lebih baik dari saya. Sulit sekali
kehidupan di sini. Menjual kelapa murah. Kakao tidak banyak
berbuah. Untuk mendapat rokok saja harus mengumpulkan ro­
tan dari hutan atau menyalai kelapa. Sekarang lebih baik dari
du­lu. Waktu saya kecil, kakek saya harus mencari rotan dan
ber­ja­lan seharian untuk menjualnya ke pedagang. Saudara-sau­
da­ri­nya tidak ada yang bisa baca tulis. Meski sudah saya suruh
se­kolah, mungkin itu bukan rejeki saya. Kami belum tahu akan
jadi apa dia (Mengget). Yang penting ia sekolah dulu dan tamat.
Nanti dia bisa cari kerja di Padang atau Tuapejat. Kalau bisa jadi
pegawai.

Untuk mencapai cita-cita keluarga, Teu Simpan Ogok me­ngum­


pul­kan uang dari kebun kelapa dan kakaonya dan secara berkala
me­ngi­rim­kan­nya kepada Mengget yang sedang kuliah di Padang. Ia
sa­ngat rajin mengelola kakao, sekitar 500 batang yang diusahakan
de­ngan bantuan anak laki-lakinya. Orang seperti Teu Simpan Ogok
di­ang­gap sebagai contoh keluarga yang relatif maju—setidak-tidaknya
un­tuk ukuran di Limu. Ia sangat jarang terlihat merokok tembakau
pa­no­ra­ma dan selera rokoknya dianggap tinggi karena memilih rokok
filter lugga seharga Rp7.000/bungkus. Dia memiliki anak yang sedang
ku­li­ah di Padang dan mendapat uang secara teratur dari kebun kelapa
dan kakao untuk membeli gula, beras, dan sarden untuk menu makan
pa­da hari Minggu selepas kebaktian gereja. Ia memiliki gerobak yang
ha­nya ada 4 buah di dusun itu dan pompa angin—ini hanya dia se­
o­rang yang memiliki dan sering dibanggakannya. Di Limu, orang
yang berhasil lulus kuliah baru ada satu orang dan Mengget adalah
mahasiswa kedua yang tengah menempuh tahun pertamanya.
Bagi para pejabat, guru, pedagang, dan warga kebanyakan di Li­
mu, Teu Simpan Ogok termasuk kategori orang yang telah maju. Atau
da­lam bahasa sehari-hari disebut ‘terbuka pikirannya’. Kata-kata maju
ini tidak bisa disematkan kepada semua orang. Di Limu, hanya ada 4-5
390 Berebut Hutan Siberut

da­ri 72 keluarga yang masuk kategori ini. Karena sifat eksklusifnya, ka­
ta-ka­ta ini sangat ingin dicapai. Kata maju atau kemajuan dan pikiran
ter­bu­­ka adalah kata yang diucapkan hampir setiap hari di Siberut se­
la­in kata pembangunan (bandingkan Eindhoven 2007: 105).
Kemajuan mengisyaratkan suatu gerak maju yang menjauhi tem­
pat di mana seseorang berasal atau bertolak. Pemahaman Siberut me­
nge­nai kemajuan cukup sederhana, yaitu sesuatu yang lebih “he­bat”
dari masa lalu. Istilah maju digunakan dalam arti yang saling ter­kait
dengan masa kini dan di masa yang lalu. Bepergian dengan se­pe­da
motor dianggap lebih maju dibandingkan bersepeda, dan ber­se­pe­
da lebih maju daripada bersampan. Menggunakan generator lis­trik
lebih maju dari lampu minyak tanah, dan mengirimkan pesan sing­
kat melalui telepon seluler berarti lebih maju daripada menulis su­rat.
Dengan demikian, dalam persepsi orang Siberut, maju dan mem­ba­
ngun juga berarti orang harus meninggalkan cara-cara hidup lama
dan mu­lai mengikuti gaya hidup baru.
Orang Siberut sangat mengagumi gaya hidup modern yang kon­
sum­tif sebagaimana cara hidup orang-orang lain di kota. Ada beberapa
me­nya­ta­kan bahwa gaya hidup ‘tradisional’ memiliki keunggulan dan
le­bih cocok dengan imajinasi tentang apa yang seharusnya menjadi
orang Mentawai, namun pandangan ini minoritas. Kebanyakan orang
meng­aso­sia­si­kan kehidupan yang lebih baik adalah apa yang mereka
lihat dari para pendatang atau pegawai negara. Orang-orang itu dilihat
sebagai orang sukses karena dipersepsikan tidak pernah memiliki ke­
su­lit­an ekonomi, minum teh atau kopi dengan gula secara rutin, se­
ring bepergian ke kota-kota secara teratur atau memiliki barang yang
lang­ka di tempat itu seperti generator atau mesin tempel.
Untuk mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih baik itu,
orang Siberut berupaya menyiasati semua wacana dan jalan yang ter­
se­dia. Masyarakat Siberut taktis memanfaatkan setiap kesempatan
yang bi­sa meningkatkan akses dan kontrol terhadap hutan. Mereka
me­nya­dari bahwa hutan dapat memberikan kehidupan yang lebih ba­
ik. Untuk itu, sangat penting melihat mereka sebagai kelompok yang
sa­­ngat aktif dalam proses-proses perubahan. Masyarakat Mentawai di
Pu­lau Siberut bukanlah “korban atas nama pembangunan” yang me­
nye­rah begitu saja. Keliru bila memandang masyarakat Siberut se­per­
ti masyarakat pedalaman yang menjadi “korban yang berjuang—dan
seringkali bukan perjuangan yang ideal—dalam menghadapi per­u­sa­
kan dari luar (kapitalisme, konsesi kayu, kebijakan pemerintah)” (Li
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 391

2002b; 2002). Pandangan yang mengatakan bahwa semua orang Si­


be­rut di pedalaman telah diserbu dan terancam oleh kekuatan luar
ada­lah terlalu menyederhanakan kompleksitas persoalan. Di antara
ma­sya­rakat Siberut sendiri ada banyak orang yang ingin berpartisipasi
dan bekerja sama dengan kekuatan dari luar untuk memperoleh ke­hi­
dup­an yang lebih “baik”.

Gambar 18. Masyarakat Siberut yang dipandang makmur, ditunjukkan de­


ngan ru­mah dari beton dan kepemilikan parabola televisi (Puailiggoubat).

Merebut Kontrol de Facto atas Hutan


Masyarakat Siberut mulai merebut kontrol atas hutan dan ber­
upaya me­ngem­ba­li­kan­nya kepada uma-uma di era euforia penerapan
oto­no­mi daerah, yang berbarengan dengan menguatnya gerakan
masyarakat adat. Untuk pertama kalinya, setelah sekian puluh tahun,
para kong­lo­me­rat atau pihak-pihak dari luar tidak bebas menguras
isi hutan Si­be­rut dan bebas mengapalkan kayu gelondongan ke luar.
Meskipun te­lah mendapat izin pemerintah, para pengusaha kayu
masih harus mem­bayar uma-uma yang mengklaim sebagai pemilik
atas tanah dan hutan. Selain itu, perubahan rezim kayu memungkinkan
elite-elite lo­kal ikut terlibat menebangi kayu. Keterlibatan beberapa
elite lokal dalam jaringan penebangan kayu daerah dan juga kontrol
secara de facto atas hutan memperkuat posisi tawar orang Siberut.
Dengan demikian, pembagian keuntungan dapat merembes lebih
luas.
392 Berebut Hutan Siberut

Kebijakan desentralisasi menyediakan peluang bagi munculnya


ge­rak­an kolektif untuk mengklaim akses terhadap sumber daya alam.
Erb dkk (2005) mengatakan, desentralisasi dapat menguatkan ma­
sya­ra­kat lokal untuk memikirkan ulang dan menggali kembali mak­
na budaya dan komunitas bagi mereka. Dalam lingkungan po­li­tik
yang baru pascadesentralisasi, orang Siberut semakin terbuka dan
aktif menyampaikan keinginan mereka. Semua hak penduduk Si­
be­rut terhadap hutan, tanah dan segala isinya harus dikembalikan.
Se­te­lah hampir tiga dekade eksploitasi kayu yang hanya memberi se­
di­kit keuntungan dan tahun-tahun implementasi konservasi, me­re­ka
menginginkan partisipasi penuh. Desentralisasi memberikan ke­sem­
pat­an kepada warga Siberut untuk melakukan negosiasi ulang dengan
pihak luar.
Penduduk Siberut belajar menyatakan hak-hak mereka dan me­
ning­kat­kan aksi untuk menuntut akses dan kontrol terhadap hutan.
Mereka aktif membangun aliansi dengan komponen luar, baik dengan
aktivitas prokonservasi maupun aktivitas proeksploitasi. Aliansi de­
ngan LSM meningkatkan kapasitas mereka dalam mendapatkan in­
for­ma­si, strategi, dan taktik. Misalnya, dengan bekerja sama dengan
LSM yang mengusung wacana adat dan tradisi, mereka belajar un­tuk
memobilisasi dukungan, mengembangkan keterampilan, serta mem­
per­kuat posisi tawar dengan menggunakan identitas sebagai ma­sya­
ra­kat adat.
Proses ini membuat identitas adat menjadi isu krusial dan vital
bagi klaim terhadap hutan dan memungkinkan masyarakat lo­kal
mendapat dukungan politik dari aliansi yang jauh lebih luas—me­le­
wati batas-batas uma, etnis, bahkan negara. McDermott (2000) yang
melakukan kajian pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat di Fi­
li­pina meyakini bahwa identitas merupakan sumber daya untuk me­
ngu­at­kan ikatan dan kapasitas sosial dalam mempertahankan teritori
dan meraih kepentingan masyarakat. “Identitas dapat juga digunakan
un­tuk menarik perhatian pemilik sumber daya dan sekutu guna
men­da­pat­kan dukungan politik, peluang, dan tujuan-tujuan lokal”
(McDermott 2000: 38).
Orang di Siberut menyambut wacana adat dengan bersemangat.
Dengan kembali kepada adat, posisi politik identitas mereka sebagai
orang Mentawai menguat. Hal ini mendorong mereka untuk berani
meng­klaim kembali lahan dan hutan yang diwariskan oleh leluhur.
Me­re­ka lebih percaya diri ketika berbicara dengan pihak luar dengan
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 393

me­ne­kan­kan pentingnya aturan-aturan adat dan penghargaan ter­ha­


dap masyarakat dalam memanfaatkan dan mengakses sumber da­ya
alam. Mereka semakin gencar menyatakan tidak ada tanah dan hu­
tan yang dapat dimanfaatkan selain oleh anggota uma pemilik. Orang
di luar uma si pemilik tanah harus memberi kompensasi kalau mau
memungut hasil hutan atau menggunakan lahan itu. Pihak lain yang
akan membuka akses terhadap hutan di Siberut harus memberi tan­da
sewa atau ganti rugi (pulajuk). Sebuah kutipan pendek ini meng­gam­
bar­kan perihal klaim orang Siberut itu:
Kami sudah ada di Mentawai sebelum negara ini lahir. Nenek
mo­yang kami memiliki tanah ini jauh sebelum perusahaan kayu
da­tang atau taman nasional dibentuk. Dahulu kami bisa hidup
tan­pa ada perusahaan kayu maupun taman nasional. Jika ada
yang ingin memanfaatkan hutan kami, mereka harus minta ijin
dan membayarnya kepada kami, sibakkat laggai.1

Hampir semua orang yang ditemui menyatakan, orang Siberut


ter­la­lu lama takut terhadap kekuasaan negara dan tidak kuat mem­
per­ta­han­kan aturan adat. Ketakutan ini dilandasi oleh kurangnya
pe­nge­tahuan terhadap potensi dan pentingnya adat mereka dalam
meng­ha­dapi komponen dari luar. Saat Orde Baru, mereka bahkan
cen­de­rung malu bila menyatakan diri sebagai orang Mentawai karena
ta­kut dipandang sebagai terbelakang dan primitif. Mereka tidak ba­
nyak melawan ketika pejabat-pejabat negara menyebut mereka se­ba­
gai masyarakat terasing. Mereka menerima saat dipindahkan dari ta­
nah­nya. Meskipun sebagian orang lari dan menghindar ketika pejabat
se­tem­pat melarang penggunaan pakaian tradisional dan memaksa
me­re­ka me­me­luk salah satu agama resmi negara, sebagian besar
meng­i­kuti ke­bi­jak­an tersebut. Mereka juga tidak melakukan protes
se­ca­ra terbuka saat tanah dan hutan mereka dikuasai oleh perusahaan
kayu.
Mereka mengatakan, cap terbelakang dimanfaatkan untuk me­
re­but tanah-tanah mereka. Padahal, ketika kemudian mereka meng­
i­kuti kebijakan negara dalam rangka menghilangkan status ter­asing
tersebut, mereka justru dirugikan. Banyak penduduk Siberut meng­
ang­gap dengan mengikuti aturan negara, hutan yang mereka miliki
di­kua­sai oleh pihak-pihak lain. Namun, warga Siberut tidak kuasa

1 Wawancara dengan Teutaloi, Januari 2005.


394 Berebut Hutan Siberut

me­no­lak penguasaan atas hutan oleh perusahaan kayu, dengan tanpa


men­da­pat­kan kompensasi, selama periode 1971-1993. Masa setelah
kemerdekaan Indonesia hingga selama periode Orde Baru adalah ma­
sa di ma­na mereka merasa takut dengan kekuasaan dari luar.
Teu Robert, seorang Sikebbukat dari Uma Sarereake di Gotap
ber­­ce­rita di sebuah sore di beranda rumahnya tentang orang-orang
Men­ta­wai yang dirugikan kebijakan negara—ia pernah bekerja di per­
u­sa­ha­an kayu, berpindah-pindah mengikuti program pemukiman
kem­ba­li pemerintah, dan mengalami proses pemaksaan untuk me­me­
luk salah satu agama resmi. Dia menyesali kelemahan orang Siberut
se­ba­gai berikut:
Kalau saja kami sadar mengenai hak-hak adat kami, orang Men­
ta­wai sudah kaya sejak dulu. Sudah berapa juta kayu yang telah
di­am­bil oleh perusahaan kayu dari hutan kami tanpa memberi
gan­ti rugi kepada kami? Berapa ratus ribu hektar tanah kami
yang di­kua­sai oleh taman nasional? Jika kami menggunakan
adat ka­mi sejak dulu, kami akan mendapat banyak uang dari
peng­am­bil­an kayu yang cukup untuk membuat rumah, membeli
speed­boat, modal untuk kedai, dan lain-lain.2

Munculnya wacana mengenai gerakan masyarakat adat dan peng­


aku­an terhadap hak-hak adat di seluruh dunia memberi kepercayaan
di­ri kembali bagi orang Mentawai untuk berhadapan dengan pihak lu­
ar. Hal ini berkat kerja yang dilakukan LSM. Setidak-tidaknya, dalam
pan­dang­an Aman Robert, YCM adalah pihak kunci yang mengenalkan
wacana adat dan memulihkan integritas penduduk Siberut mengenai
hak ulayat mereka. Momentum kemenangan warga Dusun Rogdok
mem­bu­at masyarakat di Siberut mulai yakin atas pengakuan hak-hak
atas sum­ber daya alam yang mereka punyai. Pertemuan-pertemuan
dan pe­la­tih­an mengenai adat dan hak-hak masyarakat adat yang di­
du­kung oleh YCM dan LSM mitranya pada akhir dekade 1990-an dan
awal 2000-an menumbuhkan sikap yang kuat untuk menggunakan
wa­cana adat dalam menghadapi tekanan dari luar.

Aneka Kepala, Agenda, dan Strategi


Menguatnya wacana adat mulai mendorong identitas Mentawai se­ba­
gai identitas kolektif. Akan tetapi, identitas bersama itu tidak lan­tas

2 Keterangan dari warga Gotap, Desa Saliguma, Teu Robert Sarereake, November 2006.
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 395

berpengaruh langsung terhadap kepentingan bersama yang tung­gal.


Dengan corak sosial yang sangat egaliter dan otonom, orang-orang
Siberut memiliki kepentingan dan motivasi beragam dalam meng­
gu­na­kan istilah adat dan menafsirkannya sendiri, walaupun taf­sir
itu barangkali tidak sejalan dan cocok dengan tujuan aktivis LSM,
konservasionis, pejabat pemerintah, atau agen-agen yang me­nge­nal­
kan wacana tersebut. Di Siberut, orang-orang menggunakan adat
un­tuk mengatur kepentingan mereka terhadap hutan: dijual ke­pa­da
pengusaha kayu, dilindungi untuk pelestarian alam, atau di­ke­lo­la
sendiri. Pilihan-pilihan yang diambil oleh masyarakat tidak meng­i­
kuti alur cerita yang tunggal.
Setiap orang Siberut memiliki rumusan dan agenda sendiri-sendi­
ri dalam menggunakan wacana adat untuk meningkatkan akses dan
kon­trol terhadap hutan. Terdapat variasi yang beragam menyangkut
si­kap dan perilaku dari masing-masing uma maupun anggota di da­
lam uma itu sendiri. Dinamika internal tersebut merupakan sa­lah sa­
tu bentuk negosiasi ulang masyarakat terhadap hutan. Me­re­ka meng­
gu­na­kan wacana adat untuk berusaha meningkatkan ke­un­tung­an,
mes­ki­pun cara tersebut tidak sesuai dengan agenda dari pihak lain.
Pe­tik­an ungkapan salah seorang warga Madobak berikut ini akan
meng­gam­bar­kan situasinya:
Tanah Siberut adalah tanah kami. Tanah adat kami. Kami ber­
hak memanfaatkannya dengan cara apa pun. Orang luar tidak
ber­hak mencampuri urusan ini. Kami boleh menjualnya ke per­
u­sa­ha­an atau membiarkan atau menjadi kebun. Jika orang luar
me­lang­garnya, kami akan mendendanya (tulou) dengan berat
ber­da­sarkan adat. Sebenarnya kita bisa bekerja sama dengan
se­mua pihak... Sebagai warga negara, yang penting kami hidup
dan mendapatkan manfaat.3

Pernyataan di atas sangat menarik karena menujukkan adanya


kon­tra­diksi. Kalimat pertama sampai ke enam menyiratkan ketegas­
an dan penolakan terhadap intervensi apa pun terhadap hak mereka.
Re­torika itu menyiratkan adanya keinginan untuk membuat pilihan-
pilihan yang bersifat independen terhadap sumber daya dan tidak ter­
gantung pada agenda-agenda dari pihak luar. Tetapi, kalimat terakhir
da­lam kutipan di atas jelas bernada kompromis. Mereka mengambil

3 Pernyataan Boigot Pei-pei, salah satu warga Desa Madobak, dalam pertemuan Aliansi Masyarakat
Adat yang dihadiri oleh kalangan prokonservasi di kantor taman nasional di Maileppet, Juni 2004.
396 Berebut Hutan Siberut

po­si­si kompromi dan secara eksplisit mengakui adanya kekuasaan


dan kekuatan yang lebih besar, yakni negara. Kata “manfaat” di bagian
akhir kutipan tersebut memiliki penekanan khusus dan menunjukkan
tujuan dari sikap tanpa kompromi dalam pernyataan sebelumnya. Di
sana tersirat adanya harapan untuk mendapat keuntungan dari setiap
usaha pemanfaatan sumber daya alam.
Atas nama adat, sebagian orang Siberut aktif menyuarakan pen­
da­pat dan berdemonstrasi melawan aktivitas penebangan ka­yu. Me­
re­ka semakin banyak membubuhkan kata “adat” dalam petisi-petisi,
tulisan di media, dan retorika saat berunjuk rasa. Di Puailiggoubat,
dalam surat-surat penolakan terhadap perusahaan kayu yang ditulis
untuk menteri kehutanan melalui LSM di kota Padang, atau dalam
demonstrasi menuntut penutupan kebijakan IPK bupati, penggunaan
ka­ta masyarakat adat dan adat menjadi pemandangan yang rutin.
De­ngan menggunakan kata “adat”, mereka merepresentasikan di­ri
sebagai masyarakat penjaga hutan. Kata-kata adat ini mereka li­hat
sa­ngat sesuai dengan perkembangan di tingkat nasional dan in­ter­na­
sio­nal mengenai wacana yang lebih besar seperti demokratisasi dan
desentralisasi.
Melihat peluang yang ditawarkan wacana adat, maka dengan se­
ngaja mereka menyempurnakan identitas mereka sebagai masyarakat
yang memiliki nilai-nilai konservasi dan kearifan tradisional. Wacana
adat yang disempurnakan ini tidak hanya digunakan sebagai agenda
politik untuk menegaskan dan menguatkan akses terhadap hutan.
Lebih dari itu, wacana tersebut telah memproduksi subjek baru melalui
proses internalisasi dan pembentukan identitas bagi orang Mentawai.
Ada kesan kuat bahwa nilai-nilai konservasi secara inheren terdapat
dalam kepercayaan, budaya, dan praktik sehari-hari orang Mentawai.
Kesan ini semakin kuat karena banyak dikampanyekan melalui surat-
surat terbuka, media massa, dan juga brosur-brosur wisata. Retorika
mengenai penjaga lingkungan saling menguatkan dan melengkapi
de­ngan tuntutan hak-hak masyarakat pribumi. Misalnya saja, dalam
rang­ka menolak kehadiran perusahaan kayu, tokoh masyarakat dari
10 de­sa di Siberut menandatangani beberapa petisi, di antaranya ber­
bunyi demikian:
Menteri Kehutanan tidak punya hak untuk menjual tanah adat
ka­mi. Kami pemilik tanah yang (sebelumnya) dimiliki oleh le­lu­
hur kami. Kami hidup sangat harmonis dengan alam ka­mi se­
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 397

hing­ga jangan mengusiknya dengan memberikan ijin pe­ne­bang­


an hutan kepada perusahaan kayu.4

Menurut Walhi, yang secara rutin mengumpulkan surat-surat


pe­tisi dari masyarakat Mentawai sepanjang 2002-2005, terdapat se­
ki­tar 200 surat penolakan terhadap perusahaan kayu. Petisi-pe­ti­si
tersebut memiliki kesamaan, yaitu menggambarkan bahwa ma­sya­ra­
kat adat Mentawai memiliki ikatan spiritual dan material dengan hu­
tan dan alam. Mereka hidup sangat tergantung pada hutan dan alam.
Me­ru­sak alam dengan praktik penebangan kayu skala besar berarti
ju­ga merusak tatanan budaya dan adat istiadat. Isi surat itu banyak
meng­gu­na­kan asumsi dasar bahwa terdapat keterkaitan antara nilai-
nilai yang dimiliki oleh masyarakat Mentawai dengan tujuan kon­ser­
va­si keanekaragaman hayati. Nilai-nilai tersebut berbeda dan di­kon­
tras­kan dengan watak eksploitatif perusahaan kayu atau pemerintah.
Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam usaha mendukung kon­
ser­vasi keanekaragaman hayati ini dimungkinkan berkat dukungan
dari LSM dan lembaga prokonservasi seperti UNESCO. Kelompok-
ke­lom­pok prokonservasi ini sangat giat menanamkan ide tentang
per­lin­dung­an ekosistem Pulau Siberut dan hak-hak ulayat serta nilai-
nilai adat Mentawai.
Di sisi yang lain, kata “adat” bisa bermakna sebaliknya. Be­be­
ra­pa orang menggunakan klaim adat terhadap hutan untuk me­nen­
tang inisiatif konservasi dan mendukung perusahaan kayu. Adat,
ba­gi mereka, adalah kebebasan untuk mengolah hutannya tan­pa ha­
rus diikuti dengan tuntutan konservasi. Kembali ke adat ber­ar­ti hu­
tan-hu­tan tersebut kembali ke uma-uma mereka, dan me­re­ka be­bas
menggunakannya untuk apa saja—bahkan jika perlu meng­eks­ploi­ta­
si­nya. Dengan tuntutan otonomi penggunaan hutan, mereka bebas
bekerja sama dengan perusahaan kayu. Melalui kerja sama de­ngan
perusahaan kayu, mereka mendapat kesempatan kerja dan mem­
per­oleh manfaat ekonomi. Kelompok ini intensif berdemonstrasi,
mem­buat petisi, dan mengirim surat protes ke LSM, UNESCO, atau
Departemen Kehutanan untuk menuntut kebebasan dalam menebang
hutan atas nama adat. Mereka juga aktif membangun sekutu dengan
perusahaan kayu dan politisi proeksploitasi.
Uma-uma yang telah menyerahkan lahan dan hutan kepada per­
u­sa­ha­an kayu mengajak uma lain pemilik tanah dan hutan di kawasan

4 Petisi perwakilan masyarakat adat Siberut Utara 2003.


398 Berebut Hutan Siberut

TNS agar mendukung eksploitasi di taman nasional itu. Berikut ar­


gu­men­tasi Uma Samalinggai dalam sebuah petisi yang dipakai untuk
melawan inisiatif konservasi dan keterlibatan LSM prokonservasi:
Jangan ganggu investor yang akan melakukan penebangan ka­yu
di tanah ulayat kami. Kami memiliki hak ulayat untuk me­nge­
lo­la sumber daya hutan. Berikanlah kami pilihan untuk men­
da­pat­kan manfaat dari tanah kami, perbaikilah kondisi sosial
eko­no­mi kami sehingga kami dapat maju. Kami mohon LSM
ber­hen­ti membujuk masyarakat untuk melawan investor. Ini
ada­lah tanah leluhur kami. Korta, Sipayung, Simanjuntak tidak
dapat bicara atas nama uma kami dan tidak memiliki hak untuk
membatalkan investasi di lahan kami.5

Kutipan petisi di atas menyebutkan tentang adanya tuntutan oto­


no­mi uma sehingga mereka bisa menyerahkan hutan kepada peng­
u­sa­ha kayu. Mereka juga menolak pemikiran aktivis prokonservasi
dan mengecam agar tidak ikut mencampuri keputusan mereka atas
hu­tan. Retorika itu juga menyiratkan bahwa mereka tidak ingin pi­lih­
an-pilihan keputusan atas hutan ditentukan oleh tokoh LSM pro­kon­
ser­vasi atau orang-orang yang berada di luar uma mereka.
Sikap penduduk Siberut sendiri sulit dibaca. Ada yang secara
ter­bu­ka memberi reaksi negatif terhadap perusahaan kayu karena di­
ang­gap mengancam kelestarian lingkungan, membuat tanah-tanah
di per­bu­kit­an semakin tandus, dan merusak tanaman buah-buahan
me­re­ka. Namun di lain waktu, orang yang sama menyatakan rasa
se­nang dengan kehadiran perusahaan kayu. Mereka memuji bahwa
per­usahaan kayu itu telah memberi manfaat dengan membangunkan
jalan—sebenarnya jalan tersebut dibuat untuk pengangkutan kayu—,
beasiswa (meskipun sedikit), memberikan kompensasi, menyediakan
ke­sempatan kerja, dan mengalirkan uang. Pada waktu yang lain,
orang yang sama mengecam kegiatan konservasi yang dia anggap le­
bih menekankan perhatian kepada penyelamatan flora dan fauna di­
ban­dingkan memperbaiki kehidupan ekonomi masyarakat.
Meskipun semakin banyak uma dan individu yang secara ter­bu­ka

5 Korta, Sipayung, dan Simanjuntak adalah sebutan singkat untuk Kortanius Sabeleake, Jan Winen
Sipayung, dan Sandang Paruhum Simanjuntak. Mereka bertiga pernah menjadi pengurus YCM
yang aktif menolak HPH atau IPK. Surat ini juga menyatakan bahwa pengelolaan hutan milik Uma
Samalinggai tidak membutuhkan persetujuan LSM. Pernyataan ini senada dengan pernyataan Aman
Puput di Bab 7 yang mempermasalahkan representasi LSM dalam mengartikulasikan kepentingan
masyarakat Mentawai.
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 399

menyatakan dukungan terhadap upaya konservasi, mereka ju­ga secara


diam-diam aktif bernegosiasi dengan perusahaan kayu gu­na men­da­
pat­kan kesepakatan yang paling menguntungkan. Untuk mendapatkan
ce­lah bagi negosiasi ini, mereka menggunakan banyak cara. Koalisi
Ma­ha­siswa dan Pelajar Mentawai (Kapmen) misalnya, menggunakan
re­torika putra daerah untuk menuntut peningkatan keterlibatan orang
Siberut dalam distribusi keuntungan dari pembalakan hutan. Mereka
menyusun narasi tentang putra daerah dan digabungkan dengan Ki­
sah Saibi untuk mengancam perusahaan kayu agar memberikan ke­
sem­pat­an kerja bagi masyarakat Siberut. Sebagaimana dituturkan
oleh ketua Kapmen:
Perusahaan kayu harus melibatkan putra daerah dalam operasi
pe­ne­bang­an kayu berdasarkan kemampuannya. Jika tidak, in­si­
den pembakaran seperti yang terjadi di Saibi akan terjadi lagi.6

Isu putra daerah ini cukup berhasil memaksa perusahaan kayu


untuk mengakomodasi kepentingan elite-elite lokal, terutama mereka
yang memiliki hubungan dengan pejabat daerah. Perusahaan kayu
harus mengakomodasi elite-elite tersebut karena beberapa dari mereka
cukup berpengaruh di desa-desa yang menjadi area operasi perusahaan
kayu. Elite-elite ini kemudian bekerja sama dengan para pemodal
lokal membentuk koperasi atau badan usaha, yang hanya digunakan
for­ma­li­tasnya, untuk menghadapi perusahaan kayu. Semakin hari,
semakin banyak orang yang mengaku sebagai tokoh atau elite lokal
dengan tujuan untuk mengambil peluang dari pertentangan antara
eksploitasi dan kon­ser­vasi. Mereka gigih berupaya untuk mendapatkan
keuntungan da­ri aktivitas penebangan kayu atau kegiatan-kegiatan
konservasi. Pa­ra pengusaha mengeluhkan sikap orang Mentawai
yang selalu me­rong­rong perusahaan kayu. Kadangkala, sebelum ada
kesepakatan ter­tu­lis, masyarakat meminta perusahaan menyediakan
mesin perahu ce­pat, gergaji mesin, barang-barang elektronik, bantuan
beasiswa, bia­ya pengobatan, bahkan juga sumbangan untuk pesta.
Mereka juga ke­rap mengadu perusahaan kayu dengan kelompok pro-
konservasi un­tuk mendapatkan keuntungan dari kedua belah pihak.
Tidak jarang, ada keluarga yang telah menyerahkan lahan ke­
pa­da perusahaan kayu meminta dikirim ke luar daerah untuk ber­
wi­sata. Mereka menuntut fasilitas mewah seperti menginap di hotel
di Padang dan menuntut uang kompensasi. Mereka melakukan pro­
6 Wawancara Juni 2005.
400 Berebut Hutan Siberut

ses tawar-menawar dengan perusahaan kayu dengan mengajukan


syarat yang berat, misal pengukuran kubikasi kayu harus melibatkan
seluruh anggota uma. Mereka juga sering mendenda perusahaan kayu
apabila melewati ladang, merusak sungai, mengalihkan jalan setapak,
mematikan semak-belukar yang diklaim sebagai sumber tumbuhan
obat, atau merusak tanaman-tanaman yang ada di ladang. Denda-
denda tersebut sering diajukan dengan nilai yang sangat tinggi. Untuk
memperkuat argumentasi denda-denda tersebut, masyarakat Siberut
menggunakan argumentasi “adat”. Misalnya, jika perusahaan kayu
merusak durian, maka mereka mengklaim durian itu sebagai warisan
leluhur mereka yang digunakan sebagai alat tukar secara adat.
Strategi lain untuk meningkatkan keuntungan kompensasi da­ri
aktivitas penebangan kayu adalah meningkatkan konflik in­ter­nal di
dalam uma. Dalam sebuah negosiasi, masyarakat sering mem­per­
so­al­kan kesahihan kesepakatan antara perusahaan dengan pemilik
ta­nah. Sebagai contoh, mereka kerap mempersoalkan representasi
uma yang telah bersepakat dengan perusahaan kayu dengan alasan
ti­dak semua anggota uma menyetujui penjualan lahan tersebut. Pihak
yang sudah sepakat telah mendapatkan kompensasi dari perusahaan,
sementara anggota uma lain yang tidak sepakat dengan penyerahan
lahan mengajukan denda dan kompensasi yang lebih besar nilainya
dari yang diterima oleh anggota uma yang sepakat itu. Perusahaan
sering dipaksa menunda eksploitasi karena belum selesainya ke­se­
pa­katan penyerahan lahan. Salah seorang pekerja perusahaan kayu
meng­ungkapkan kekesalannya:
Berat kerja di Mentawai. Perusahaan tidak dapat untung. Mereka
setiap hari datang ke camp kami meminta banyak hal. Minyak,
mesin listrik, speedboat, ganti rugilah, dendalah, semuanya...
Mereka sering tidak me­naati perjanjian. Setelah sepakat dengan
kami, mereka membuat strategi kekacauan untuk merugikan
kami. Tetapi apa boleh buat, kadang-kadang kami harus tetap
berhubungan baik dengan mereka. Ini hutan mereka.7

Ini adalah sebuah dilema yang dihadapi oleh perusahaan kayu.


Di­le­ma seperti ini juga dirasakan oleh aktivis LSM yang prokonserva­
si. Semakin banyak warga yang berdemonstrasi mendukung usaha pe­
lestarian alam dan membuat petisi antiperusahaan kayu, aktivis pro­

7 Diskusi dengan salah satu pekerja PT KAM di kapal Sumber Rejeki dalam perjalanan pulang ke
Padang, Juli 2006.
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 401

konservasi biasanya akan lebih hati-hati. Tidak satu-dua orang yang


dulunya gencar menyuarakan perlunya pelestarian alam dan wacana
adat, belakangan menjual lahan dan bekerja sama dengan perusahaan
kayu.
Di Siberut Utara, beberapa elite lokal prokonservasi mengundur­
kan diri karena dicurigai mendapatkan uang bulanan dari perusahaan
kayu. Sebelumnya, elite-elite lokal ini berorasi dengan keras dalam per­
te­mu­an kampung, muncul di film dokumenter, dan berdiskusi panjang
ten­tang perlunya revitalisasi adat sebagai instrumen pengelolaan hu­
tan. Salah satu kasus yang terjadi begini: Seorang tokoh menjadi wakil
masyarakat Siberut Utara saat me­run­ding­kan pembatalan izin dengan
pemerintah provinsi dan meng­ik ­ uti pertemuan dengan menteri ke­
hu­tanan. Pada akhir 2005, dia ti­­ba-ti­ba mengundurkan diri dari ge­
rak­an masyarakat adat dan me­milih berkonsentrasi mengerjakan la­
dang­nya. Sebagian besar ak­ti­vis prokonservasi memandang alasan
mengerjakan ladang itu hanya se­ba­gai alasan untuk mencari alibi dari
kerja sama dengan perusahaan kayu. Tudingan itu menguat setelah
anaknya diterima oleh Universitas Andalas tanpa ujian masuk dan
mendapatkan beasiswa dari PT KAM.
Tokoh-tokoh masyarakat yang pernah terlibat dalam gerakan adat
dan prokonservasi cenderung lebih siap saat bernegosiasi dan bekerja
sama dengan perusahaan kayu. Mereka pintar menggunakan retorika
adat dan hak-hak terhadap hutan untuk mendapatkan keuntungan
yang lebih banyak dibandingkan dengan warga biasa. Mereka le­bih
mahir menggunakan berbagai strategi untuk mempertegas tun­tut­
an­nya, seperti bernegosiasi, orasi, atau menjalin hubungan dengan
media.
Beberapa elite di Siberut Selatan sangat sadar bahwa dengan
me­­­ngu­asai
­­ wacana adat, mereka bisa mendapatkan keuntungan
yang lebih besar saat berhadapan dengan perusahaan kayu. Be­be­
rapa tokoh dari Uma Sakaliou dan Uma Tatebburuk berhasil men­
da­pat­­kan uang tunai saat menyerahkan hutan mereka kepada PT
KAM. Padahal, sebelumnya tokoh-tokoh dari keluarga ini sangat ak­tif
menyuarakan konservasi dan menolak perusahaan kayu. Sikap dan
pan­dangan mereka yang menolak kehadiran perusahaan kayu ter­se­
bar luas melalui media massa lokal. Akan tetapi, pada 2005, mereka
jus­tru turut menyerahkan hutan mereka kepada PT KAM. Setelah
pe­nyerahan hutan tersebut, mereka menarik diri dari kegiatan pro­
kon­servasi. Ketika dikonfrontasi soal perubahan sikap ini, salah satu
402 Berebut Hutan Siberut

wa­kilnya menjawab:
Saya sebenarnya tidak setuju dengan perusahaan kayu. Mereka
merusak hutan kami. Akan tetapi, saya tidak ada uang untuk
mem­ba­yar sekolah anak. Lagi pula, saya sendiri tidak akan bisa
me­no­lak perusahaan kayu. Suku besar kami sepakat menjual hu­
tan. Mereka yang menjadi staf LSM dan bicara tentang kon­ser­
va­si saja tidak bisa mencegah sukunya menyerahkan hutannya
ke­pa­da perusahaan kayu. Apalagi orang seperti kami.8

Kutipan di atas mengisyaratkan adanya kesengajaan untuk meng­


alih­kan posisi dari seorang “tokoh” yang terlibat dalam gerakan pro­
kon­servasi menjadi warga biasa dengan cara menyebut “orang lain”
untuk “mereka yang sering ikut LSM”. Dia juga menyatakan bahwa
perjuangan untuk menolak perusahaan kayu tidak bisa dibebankan
kepada dirinya seorang. Sikap ini mencerminkan tuntutan dan ke­ah­
li­an untuk menjaga independensi dari kepentingan apa pun di luar
uma­nya. Apabila dicermati, isu dalam tuntutan untuk memperluas
ak­ses dan kontrol terhadap sumber daya alam bagi orang Mentawai
ada­lah keuntungan ekonomi. Kebutuhan-kebutuhan praktis—seperti
uang untuk sekolah anak—ditonjolkan sebagai dasar perubahan sikap
terhadap perusahaan kayu.
Penduduk Siberut selalu bersikap taktis dan praktis, yang bagi
kebanyakan orang luar membingungkan dan menjengkelkan. Selain
keluhan dari pekerja perusahaan kayu, dapat juga ditemukan keluhan
para aktivis yang menyatakan bahwa orang Mentawai tidak punya
komitmen kuat terhadap upaya konservasi. Kalangan aktivis sering
mengecam sikap mereka yang berubah-ubah dalam mendukung usaha
pelestarian alam. Mereka menyebut masyarakat Siberut “payah”,
“sulit dipegang kata-katanya”, dan “tidak berkomitmen”.
Para aktivis ini sering menuding bahwa sering berubahnya ko­
mit­men orang Siberut terhadap konservasi adalah sikap budaya.
Pa­da­hal, sikap ini seharusnya dibaca sebagai strategi mereka untuk
me­nem­pat­kan agenda yang khusus dan sehari-hari, di luar agenda
konservasi atau eksploitasi dari pihak luar. Dalam hal ini, tidak ada
perbedaan antara sikap kalangan aktivis dan pemerintah dalam me­li­
hat orang Siberut. Keduanya sering menyederhanakan masalah. Da­
ri­pada membahas isu konservasi sebagai isu ekonomi-politik, para
ak­ti­vis cenderung berkesimpulan adanya masalah “budaya” orang
8 Pembelaan Aman Deuiak dari Uma Sakaliou di Puro, Juli 2005.
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 403

Men­ta­wai. Dengan cara seperti ini, para aktivis melanggengkan citra


orang Mentawai yang harus cocok dengan serangkaian citra dan mi­
tos-mitos tentang masyarakat yang arif yang dikonstruksikan dari
pi­hak luar. Hal ini merefleksikan bahwa bukannya orang luar yang
ha­rus menerima realitas masyarakat yang terus berubah-ubah akibat
ketidakpastian kondisi hidup dan menerima kenyataan itu sebagai
dasar atau pengetahuan baru. Akan tetapi, masyarakatlah yang harus
sesuai dan dicocokkan dengan konstruksi dari luar, baik atas nama
konservasi maupun pembangunan.

Fragmentasi Sosial
Akses dan kontrol terhadap eksploitasi hutan di Pulau Siberut
cen­derung didominasi oleh kekuatan dari luar. Walaupun masyarakat
Siberut berjuang keras meningkatkan posisi tawar dengan berbagai
cara, misalnya dengan menggunakan wacana adat, posisi mereka te­tap
lemah. Mereka hanya menerima sedikit keuntungan dari eks­ploi­tasi
hutan. Ada dua faktor yang menyebabkan penghasilan dari penjualan
kayu ini tidak bersifat berkelanjutan. Pertama, kurangnya informasi
dan rendahnya kapasitas untuk bernegosiasi membuat me­re­ka mudah
ditipu makelar kayu dan pengusaha. Lebih dari itu, ak­ses terhadap
kekuasaan, kecukupan modal dan teknologi, serta posisi da­lam struk­
tur ekonomi-politik yang tidak demokratis menjadi fak­tor yang jauh
lebih menentukan dibandingkan sekadar informasi. Sebagian war­ga
Siberut berusaha terlibat secara aktif dalam industri kayu, akan te­
tapi, mereka kesulitan mendapatkan posisi yang setara. Elite-elite
ter­didik Mentawai yang dulunya tergabung dengan LSM, yang kemu­
dian bekerja di perusahaan kayu, menempati posisi yang kurang
strategis dan nampaknya sudah cukup puas dengan keterlibatannya
yang terbatas. Mereka seringkali hanya dimanfaatkan untuk menjadi
tameng bagi perusahaan untuk meredam konflik di masyarakat atau
men­citrakan bahwa perusahaannya telah mempekerjakan orang
Men­­ta­wai. Sebagian besar elite ini menjadi pekerja rendahan yang ti­
dak dapat melakukan banyak hal karena kontrol terhadap modal dan
teknologi masih dikuasai oleh pengusaha dari luar.
Selain bahwa rantai perdagangan kayu membuat mereka me­ne­
rima bagian yang kecil, faktor yang kedua adalah distribusi peng­ha­
sil­an tersebut. Uang dari perusahaan kayu harus dibagi secara merata
kepada seluruh laki-laki dewasa dalam anggota uma. Dalam suatu ka­
404 Berebut Hutan Siberut

sus Uma Sarereake yang menjual tanahnya kepada PT KAM di Bat Si­
ri­muri di Siberut bagian tengah, mereka mendapat uang 380 juta da­ri
peng­olahan hutannya seluas sekitar 200 ha. Pembayaran kompensasi
tersebut dilakukan selama tiga kali. Kompensasi ini terlihat cukup
besar dilihat secara sekilas. Akan tetapi, jumlah yang diterima itu
harus dikeluarkan untuk mengganti biaya pertemuan anggota uma
da­lam rangka penentuan hasil uang penjualan kayu. Uang tersebut
juga berkurang karena mereka terlibat konflik dengan uma lain dan
perlu membiayai rapat-rapat penyelesaian konflik tanah yang butuh
uang tidak sedikit. Pengurusan pembayaran membutuhkan ongkos
tersendiri, untuk bolak-balik dari dusun ke lokasi perusahaan kayu.
Ini belum termasuk biaya-biaya khusus untuk wakil uma mereka yang
bernegosiasi dengan perusahaan kayu. Ketika dibagi kepada seluruh
anggota, setiap keluarga menerima sekitar 10-20 juta. Uang yang
di­da­patkan setiap keluarga tidak cukup besar dan jumlahnya pun
bervariasi dari satu keluarga ke keluarga yang lain.
Proses mendapatkan uang kompensasi ini juga seringkali mem­
ba­wa efek lain, yakni terjadinya fragmentasi pada tingkat akar rumput.
Kehadiran perusahaan kayu merangsang penyingkapan kembali se­ja­
rah lisan asal-usul kepemilikan tanah dan hutan. Identitas adat me­
ning­katkan kesadaran lokal tentang hak atas hutan. Mereka melihat
pe­luang untuk bekerja sama dengan perusahaan kayu—meskipun
ti­dak seluruh pemilik tanah dan hutan akan bekerja sama. Maka,
pen­du­duk Siberut, yang hutannya termasuk dalam kategori hutan
pro­duk­si dan masuk wilayah konsesi perusahaan kayu, mulai meng­
in­ven­ta­risasi sejarah tanah dan lahan menurut sejarah asal-usul uma­
nya. Mereka juga mulai mengunjungi hutan-hutan mereka dan me­
li­hat tata batasnya. Kesadaran yang tinggi akan teritori tanah milik
umanya meningkatkan ketegangan antaruma.
Kehadiran perusahaan kayu menjadi faktor yang memicu mun­
cul­nya pembicaraan mengenai tanah dan hutan. Konflik biasanya
se­putar masalah siapa yang berhak menyerahkan lahan hutan, di
ma­na batas-batas tanah dan hutan yang akan diserahkan, siapa ang­
gota uma yang berhak mendapatkan hak atas tanah warisan leluhur,
hingga bagaimana leluhur mereka dulu mendapatkan tanah. Klaim-
klaim kepemilikan tanah dan hutan saling tumpang tindih. Proses jual
beli dan transaksi menyangkut tanah yang terjadi selama beberapa
generasi sangat kompleks sehingga penentuan siapa pemilik tanah
ha­rus melibatkan perbincangan-perbincangan antaruma yang me­ma­
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 405

kan waktu. Perbincangan ini menyangkut rivalitas, persaingan dan


konflik-konflik yang belum terselesaikan secara tuntas di masa lalu.
Oleh karena itu, hampir bisa dipastikan masuknya perusahaan kayu
untuk menebang hutan milik satu uma akan diwarnai dengan konflik-
konflik antaruma.9
Setiap anggota uma telah sepenuhnya mengerti bahwa kayu-ka­yu
di tanah mereka adalah kekayaan bernilai tinggi. Orang Siberut me­
nye­butnya, bulagat taikamanua, uang dari roh-roh langit. Pe­nyebutan
ini agak sedikit menarik karena orang Siberut tidak menyebut bulagat
taikaleleu meskipun pohon tersebut berada di dalam hutan. Klaim
ke­pemilikan terhadap tanah dan sejarah lisan sangat bernilai untuk
menentukan apakah “pohon uang” itu akan jatuh ke tangan umanya
atau ke uma lain. Kesadaran tentang nilai ekonomi itu semakin memicu
perselisihan. Beberapa individu yang sekian lama hidup bersama uma
lain, tiba-tiba datang dan mengklaim dirinya adalah keturunan uma
si pemilik hutan. Dan begitu sebaliknya, beberapa individu yang tidak
bisa membuktikan bahwa dirinya adalah anggota uma pemilik tanah
terlempar dari perebutan kesempatan ini.
Selain meningkatkan ketegangan dan fragmentasi antaruma, pe­
luang ekonomi dari perusahaan kayu juga merangsang munculnya
kon­flik internal di dalam uma. Dalam satu uma, para anggotanya se­
ring tidak satu suara saat membuat kesepakatan dengan perusahaan
kayu. Persaingan antaranggota uma untuk meningkatkan keuntungan
keluarga inti mereka sering terjadi pada saat negosiasi dengan per­u­
sahaan kayu. Anggota uma yang lihai bernegoisasi dengan perusahaan
kayu berpotensi mendapatkan keuntungan lebih besar. Akibatnya,
banyak yang bernegoisasi dengan perusahaan kayu tanpa melibatkan
persetujuan seluruh anggota uma. Biasanya anggota uma ini memiliki
pendidikan yang lebih baik, punya kapasitas kepemimpinan yang he­
bat, atau memiliki jaringan dan koneksi yang kuat dengan industri ka­
yu atau birokrasi. Strategi yang mereka gunakan adalah memalsukan
tan­da tangan sikebbukat uma dalam penyerahan lahan. Atau, mereka
mengaku sebagai representasi uma pemilik lahan.
Konflik internal akan semakin tajam apabila kompensasi dari

9 Di Siberut, konflik antaruma sering muncul setiap kali perusahaan kayu masuk ke hutan yang diklaim
oleh salah satu uma; misalnya, sengketa Uma Satoutou dan Uma Sarereake yang berebut tanah dan
hutan di Bat Sirimuri dekat Desa Saibi di Siberut Tengah yang dikelola oleh PT KAM. Kasus ini bisa
diselesaikan meskipun dari penelusuran berita Puailiggoubat ( 2003-2009), terdapat 47 berita konflik
antaruma dan antaranggota uma. Angka ini kemungkinan lebih besar karena beberapa konflik tidak
diberitakan.
406 Berebut Hutan Siberut

perusahaan kayu tidak transparan. Beberapa orang dapat me­man­fa­


at­­kan situasi ini untuk mendapatkan keuntungan jauh lebih tinggi di­
banding anggota uma yang lain. Perlu dipahami, masyarakat Menta­
wai juga mengenal adanya perbedaan hak menyangkut besaran setiap
pekerjaan. Terdapat pepatah klasik Mentawai, masua rere masua
lolokkat yang secara harfiah berarti “basah di kaki basah juga di leher”.
Maksudnya, siapa yang bekerja lebih banyak dia akan men­da­pat­kan
hasil yang lebih banyak juga. Perbedaan pembagian kom­pen­sa­si dirasa
cukup adil apabila semua anggota uma laki-la­ki de­wa­sa mendapatkan
pembayaran yang besarannya disepakati ber­sa­ma. Konflik internal
terjadi apabila salah satu anggota uma men­da­pat­kan keuntungan
yang tidak wajar dari proses negosiasi dengan perusahaan.
Konflik ini akan berpengaruh terhadap solidaritas dalam satu
uma. Per­ge­ser­an solidaritas uma memang tidak hanya ditentukan oleh
ha­dir­nya perusahaan kayu. Banyak faktor yang merangsang mun­cul­
nya konflik dan pergeseran solidaritas. Konflik internal uma bukanlah
hal yang baru bagi orang Mentawai dan sudah menjadi bagian sejarah
mereka sepanjang generasi. Akan tetapi, konflik dan menurunnya
so­lidaritas di dalam uma meningkat seiring pengeluaran HPH dari
pemerintah pusat ke perusahaan-perusahaan kayu pada fase kedua,
yaitu 1999 sampai saat ini.
Para aktivis, pegawai pemerintah, dan pihak luar cenderung
berpandangan negatif soal fragmentasi akar rumput, yang ditandai
dengan terjadinya perpecahan uma. Mereka menuding hal itu adalah
bagian dari ciri keterbelakangan orang Siberut. Dinamika internal
dan konflik-konflik horizontal yang terjadi, di mana masing-masing
individu atau uma mengagendakan kepentingannya sendiri-sendiri
secara otonom, sering dilihat sebagai ciri dari sikap tidak konsisten
dan oportunis.10 Padahal, perpecahan uma dapat dikatakan sebagai
strategi orang Siberut untuk meningkatkan keuntungan dari klaimnya
terhadap hutan. Alasan-alasan yang dapat diterima dari perpecahan
ini mengandung motif-motif ekonomi.
Hal ini memiliki landasan historis dan kultural. Meski uma di­
pan­dang sebagai mikrokosmos (Schefold 1991), tingkat keutuh­an uma
tidak bisa dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Perpecahan
uma bukanlah hal yang baru setelah datangnya perusahaan kayu.
Keutuh­an yang tercerai-berai tidak hanya terjadi setelah masuknya
per­u­sa­ha­an kayu semata. Di masa lalu, uma-uma hanya mampu mem­
per­ta­hankan keanggotaannya tidak lebih dari 10-15 keluarga (Persoon
10 Misalkan dalam tajuk rencana edisi pertama Puailiggoubat (2002)
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 407

1995). Seperti yang terjadi dalam setiap cerita genealogi uma-uma di


Siberut, konflik, rivalitas, dan perpecahan adalah tema sentral. Per­se­
bar­an penduduk Siberut melalui tiap-tiap uma sangat kuat diwarnai
tema-tema dasar tertentu yang serupa. Dalam setiap mitos, cerita li­
san, maupun sejarahnya, proses perpindahan selalu didahului dengan
sengketa (Schefold 1991: 29).
Perpecahan uma-uma biasanya karena alasan ekonomi dan
pro­­­­duk­si. Pada dasarnya keluarga inti merupakan kesatuan pro­duk­
si. Se­ti­ap rumah tangga, seorang suami, istri, dan juga anak-anak
me­­re­ka yang telah besar bekerja sama untuk menghasilkan ba­rang
dan ja­sa. Ke­sa­tu­an uma diperlukan sebagai unit sosial ka­re­na ke­
man­­di­ri­an di dalam keluarga inti memiliki batas-batasnya (ibid:
114). Uma ada­lah unit sosial yang menyediakan jaminan so­sial dan
pem­bagian tenaga kerja secara sukarela. Dalam keadaan sa­kit atau
berusia lanjut kemandirian keluarga inti sangat sukar di­per­ta­han­kan.
Dengan bergabung dalam uma, mereka bisa berbagi te­na­ga kerja dan
meningkatkan kemampuan produksi. Di masa yang la­lu, pe­nge­lom­
pok­an dalam uma sangat penting untuk menandai ba­tas-ba­tas iden­ti­
tas yang diperlukan pada saat konflik-konflik fisik seperti menghalau
se­rang­an atau peperangan terbuka dari uma lain (bandingkan ibid).
Ja­min­an sosial yang diberikan oleh uma kepada setiap keluarga inti
atau ang­go­ta­nya adalah perlindungan, ketenteraman, pembayaran
den­da, penyelenggaraan ritual, dan jaminan pembagian tenaga kerja.
Ji­ka ang­go­ta uma terlalu banyak, jaminan sosial dan pembagian tena­
ga kerja yang dikontribusikan akan terbatas dan tidak memungkinkan
ter­ca­pai­nya konsesus dalam waktu yang singkat. Kalaupun ada ke­se­
pa­kat­an bersama, seringkali keputusan itu hanya bisa dicapai untuk
kelompok yang kecil dengan meninggalkan rasa tidak adil (Meyer
2003: 38).
Di dalam setiap uma, bagaimana cara mendistribusikan makanan
akan menentukan tingkat solidaritas uma. Pembagian hasil perburuan
maupun daging dari hasil ternak yang diperuntukkan bagi perayaan
upacara adalah hal yang sangat penting. Daging buruan adalah sum­
ber protein yang penting, selain memiliki dimensi-dimensi lain se­per­
ti penegasan status sosial dan menunjukkan tingkat solidaritas dan
kapasitas setiap uma. Jika setiap anggota uma bertambah banyak, ha­
sil buruan dan juga persembahan dari hewan ternak mereka dalam se­
ti­ap ritual menjadi terlalu sedikit untuk dibagi. Dalam setiap uma, se­
ti­ap orang memiliki hak yang sama. Dalam corak egaliter ma­sya­ra­kat
408 Berebut Hutan Siberut

yang sangat kuat diwarnai hak sama rata, setiap orang berhak men­da­
pat­kan daging buruan atau daging perayaan yang sama. Akan tetapi,
un­tuk mendapatkan hak tersebut, tidak semua orang memberikan
kon­tribusi tenaga kerja dan sumbangan daging ternak yang sama. Di
dalam uma, anggotanya ada yang rajin, malas, mau berkorban atau
ber­tindak egois. Ini juga berkaitan dengan adanya corak otonomi
yang sangat besar pada masing-masing individu anggota uma. Tidak
semua orang pandai dan rajin berburu. Tidak semua anggota uma
rajin beternak. Akan tetapi, jika sudah menyangkut hak, semua orang
menuntut jatah daging buruan atau pembagian daging ritual yang
sama.
Seperti yang disebutkan Schefold (1991), hubungan di dalam uma
diwarnai oleh ketegangan terus-menerus. Ketegangan ini berakar da­
ri keinginan setiap keluarga inti untuk mandiri dan mendapatkan
gengsi serta kejayaan pribadi, padahal dia juga memiliki kewajiban-
kewajiban terhadap kelompok umanya. Di masa lalu, ketika produksi
subsisten belum menghasilkan surplus kekayaan dan kebutuhan te­
naga kerja harus dibagi secara merata, gengsi-gengsi pribadi ini hanya
dihasilkan melalui statusnya sebagai sikerei atau melalui kepemilikan
barang mewah dari luar (Schefold 1991: 118). Kehendak meraih gengsi
pribadi ini juga muncul karena rivalitas dengan individu dari uma
yang lain. Untuk menaikkan statusnya di hadapan orang lain atau ke­
lom­pok lain, seseorang harus memiliki banyak barang dari luar se­per­
ti kuali, periuk, gong, manik-manik dari kaca, dan kain tekstil. Ter­ka­
dang, keinginan memperoleh barang-barang dari luar ini dilakukan
dengan cara menghindari kewajiban menyumbang harta kepada uma.
Pada­hal, upaya mengejar cita-cita pribadi ini tidak boleh menyebabkan
terbengkalainya kepentingan uma.
Dalam banyak kasus, perpecahan uma sering muncul pada waktu
perayaan ritual, yaitu ketika keluarga yang kaya menolak memberikan
sumbangan dengan takaran yang menurut anggota lain pantas di­tun­
tut dari kekayaannya. Jika dirasa oleh anggota uma lain, cita-cita dan
gengsi pribadi salah satu anggotanya ini mulai mengalahkan solidaritas
uma, harmoni uma akan terganggu. Konflik pun pecah. Jika kemudian
penyelesaian konflik secara damai tidak terwujud, sebagian anggota
uma akan menyingkir ke lembah lain dan mendirikan uma baru.
Apabila anggota uma sudah semakin besar dan diskusi melalui
mu­sya­warah tidak lagi bisa menyelesaikan masalah internal, orang
Mentawai biasanya akan menyatakan bahwa pembagian hasil bu­ru­an
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 409

untuk masing-masing keluarga menjadi terlalu sedikit. Bila per­bin­


cang­an sudah mengarah mengenai daging buruan yang tidak cukup,
hal itu telah menjadi isyarat bagi perpisahan secara damai. Dapat di­ka­
ta­kan bahwa daging buruan adalah simbol bagi tersedianya kecukupan
ekonomi dan sistem produksi di dalam uma. Ketika sistem produksi
di uma masih memberikan keuntungan bagi setiap keluarga, uma itu
akan tetap bersatu. Situasi akan berubah jika keluarga-keluarga inti
semakin banyak dan tidak terjadi keseimbangan antara kewajiban
atau solidaritas terhadap uma, serta munculnya keinginan untuk
man­diri dan adanya gengsi pribadi, maka uma itu akan mengalami
per­pecahan.
Perpecahan kelompok adalah hal yang biasa terjadi di Mentawai
(Schefold 1991:4). Fragmentasi di dalam uma terkait pengelolaan hu­
tan juga memiliki akar sejarah yang panjang. Dalam penjualan hasil
hutan, tidak setiap anggota uma memainkan peranan dan kewajiban­
nya secara merata dan setara. Akan tetapi, setiap anggota uma me­
nuntut hak yang sama. Namun, pihak yang memainkan peranan besar
bia­sa­nya menginginkan pembagian yang lebih besar dibandingkan
ang­gota uma lainnya. Pembagian keuntungan itu terutama dalam
bentuk be­per­gian ke kota-kota besar (Padang, Jakarta), tidur di hotel
mewah, me­mi­liki barang-barang berharga seperti mesin perahu, se­
peda mo­tor, rumah besar, televisi.
Keuntungan material yang diperoleh oleh sedikit anggota uma
da­ri pengusaha kayu ini memunculkan masalah representasi dan ke­
cem­bu­ru­an sosial. Karena itu, agar keuntungan dari perusahaan ka­yu
itu dapat dinikmati secara merata, beberapa anggota uma yang me­
ra­sa hanya mendapat keuntungan sedikit akan memisahkan diri dan
membentuk uma baru. Dengan membentuk uma baru, mereka mem­
per­oleh kesempatan langsung untuk bernegosisasi dengan perusahaan
kayu dan mendapat keuntungan yang setara dengan keluarga yang
mendapatkan kekayaan dari hubungan yang mereka jaga dengan per­
usahaan kayu. Dalam hal ini, perpecahan uma dapat dilihat untuk
meningkatkan kesetaraan hak dalam memperoleh keuntungan dari
penjualan hutan yang mereka warisi dari leluhur yang sama.
Perpecahan uma ini biasanya menyebabkan perusahaan kayu
ke­­su­lit­an. Perusahaan kayu harus membayar lagi sejumlah uang de­
ngan besaran yang sama kepada uma-uma yang baru terbentuk itu.
Pengeluaran perusahaan kayu pun berlipat ganda. Namun, bagi orang
Siberut sendiri, hal ini dilihat sebagai cara untuk menciptakan ke­se­
410 Berebut Hutan Siberut

ta­ra­an keuntungan dari perusahaan kayu. Fragmentasi internal ti­


dak dipandang sebagai masalah moral, baik atau buruk. Konflik dan
rivalitas ini dipandang sebagai upaya untuk terus meraih agenda lokal
yang khusus seperti kekayaan yang ditunjukkan oleh kepemilikan ba­
rang-barang berharga. Perpecahan uma akibat datangnya perusahaan
kayu tidak dimaknai oleh orang Siberut sebagai masalah “kultural”,
tetapi lebih sebagai masalah ekonomi-politik.

Agenda Lokal, Praktik Politik, dan Masa Depan


Dinamika internal yang terjadi di dalam masyarakat Mentawai
pada era rezim kayu di daerah ini merefleksikan hal yang lebih
mendalam lagi, yakni bertahannya agenda masyarakat ketika berbagai
ke­pen­ting­an dari luar datang silih berganti. Masyarakat Siberut ter­
nyata sangat lentur. Mereka dengan lihai melakukan aliansi-aliansi
ter­ha­dap kelompok-kelompok yang berbeda, sembari menetapkan
agenda sendiri seperti rumah yang layak, barang-barang modern, dan
se­ko­lah yang baik untuk anak-anaknya. Agenda-agenda ini bukanlah
hal yang luar biasa karena semua orang di berbagai belahan dunia
juga menginginkannya.
Hanya saja, karena terbentuk oleh sejarah yang khas di Siberut,
agenda tersebut menjadi terkesan lebih unik. Karena jarak geografis
dan pemahaman yang dangkal, orang dari luar mudah memberi pe­
ni­laian moral tertentu atau memiliki persepsi tersendiri bagaimana
kehidupan orang marjinal harus berubah. Dengan segala keterbatasan
akses politik ekonomi, orang Siberut berusaha keras meraih agenda-
agenda itu. Karena itu, orang Siberut harus pandai menempatkan
po­si­si­nya untuk meraih agenda-agenda itu. Kadang mereka harus
meng­­ge­ser posisinya secara drastis. Bahkan, terkadang mereka harus
“berkhianat” terhadap orang lain atau melawan prinsip yang mereka
anut sebelumnya. Isu-isu yang praktis dan melekat dalam kehidupan
sehari-hari inilah yang langgeng dan menggerogoti isu besar yang di­
usung dari luar. Perubahan orientasi ekonomi merupakan pendorong
utama, melampau agenda konservasi, eksploitasi, gerakan adat, atau
pun otonomi.
Persinggungan antara agenda lokal dan kekuasaan dari luar ini
mem­pro­duk­si praktik politik yang khas di Siberut. Masuknya ke­
kua­sa­an dari luar—baik atas nama adat, konservasi, maupun pem­
ba­ngun­an—tetaplah sebuah proyek, bukan sebuah pencapaian yang
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 411

final. Wacana-wacana yang datang silih berganti ke Siberut, de­ngan


beragam teknik dan taktik, dapat dikenali oleh penduduk Si­be­rut
sebagai proses ekonomi politik—sebagai sebuah proses yang men­je­
las­kan ketimpangan posisi, perbedaan struktur kekuasaan, dan per­
ten­tang­an klaim terhadap sumber-sumber mata pencaharian. Wa­
ca­na-wacana tersebut akan diserap, diterima, dan dipraktikkan oleh
pen­du­duk Siberut jika menguntungkan secara ekonomi politik dan
akan dilawan, ditolak, dan dimuntahkan jika menghasilkan kerugian-
kerugian yang tidak dapat ditanggung.
Penduduk bukanlah korban yang pasrah. Mereka selalu ter­li­bat
dalam mendukung atau terlibat dengan agenda luar. Lebih te­pat­nya,
di an­ta­ra banyak agenda dari luar, mereka selalu mencari ke­mung­
kin­an un­tuk mendapatkan suatu cara—dalam istilah Hobsbawn—
me­mi­ni­mal­kan ke­ru­gi­an dari sistem yang lebih dominan. Dalam
pro­ses per­sing­gung­an itu, orang Siberut terus melakukan manuver
agar memiliki po­si­si dalam matrik kekuasaan politik dan ekonomi
dan meraih peluang untuk mendapat keuntungan di dalamnya. Me­
re­ka mengembangkan suatu ‘praktik politik’ (Li 2007: 14), dengan
menantang, melunakkan, menolak sekaligus pada waktu yang sama
menerima wacana dan praktik dari luar dalam konjungtur kekuasaan
ter­ten­tu melalui perkataan dan perbuatan. Praktik politik orang Si­
be­rut tidak selalu bersifat menentang atau melawan. Mereka ju­ga
mengembangkan praktik-praktik politik yang lebih beragam. Da­
lam proses itu, orang Siberut taktis dan praktis menggunakan se­mua
sumber dayanya. Mereka selalu bermain secara cerdik untuk me­
main­kan celah dan kontradiksi, dan juga inkonsistensi dari pihak luar
mau­pun dari mereka sendiri. Posisi mereka berubah-ubah tergantung
dari kepentingan yang mereka usung.
Siberut memberi pembelajaran bagaimana orang-orang yang ja­
uh dari pusat kekuasaan harus mengubah posisi di hadapan kekuasaan
yang lebih besar dari luar dan berusaha meraih keuntungan dari pel­
bagai keterbatasan, mengakomodasi kepentingan kekuasaan dari luar
sekaligus mengakomodasi kepentingan mereka sendiri. Ciri tindakan
politik mereka berangkat dari ketidakpuasan terhadap keadaan yang
mereka terima dan janji-janji kekuasaan dari luar yang mereka dengar
dan mereka hadapi. Praktik politik orang Siberut bersifat multibentuk,
yang bisa diakomodasi, dipadamkan, dan ditangani oleh kekuasaan
da­ri luar sekaligus juga ada yang berada di tepian dan tidak dapat di­
ringkus oleh matrik kekuasaan dominan. Reaksi-reaksi perusahaan
412 Berebut Hutan Siberut

kayu yang memberikan kompensasi setiap kubik kayu yang ditebang,


mengakomodasi pekerja lokal, dan menyiapkan segala uang peredam
protes masyarakat Siberut adalah respons dari praktik-praktik politik
orang Siberut yang menantang, mengubah, dan mengguncang ta­ta­
nan kekuasaan industri kayu. Begitu juga sebaliknya, tanda-tanda
penolakan, kekecewaan, dan ketidakpastian masa depan gerakan adat
di Siberut adalah bagian dari respons politik orang Siberut terhadap
wacana adat yang diusung oleh aktivis perkotaan.
Perubahan di Siberut tidak hanya melibatkan proses material,
te­tapi juga perubahan nilai-nilai sosial. Perubahan ini juga terkait de­
ngan identitas, aspirasi, dan bidang-bidang kekuasaan lain. Semua
yang datang dari luar (perusahaan kayu, wacana adat, konservasi)
akhir­nya hanya menjadi semacam gambar besar yang gampang goyah
dan kabur, dilunakkan dan dirongrong oleh kepentingan setempat.
Per­ubahan konsumsi, produksi, cara mendapatkan keuntungan atau
sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari telah menggerogoti nilai-
nilai lama dan membangkitkan aspirasi sosial baru. Bagi masyarakat
Siberut, dorongan untuk menjadi masyarakat konsumsi yang “membeli
murah, menjual mahal” telah mengalahkan abstraksi lain yang dibawa
oleh berbagai pihak dari luar—dan karenanya mereka terlihat bersifat
pragmatis, meskipun tindakan pragmatis tersebut adalah bagian dari
tindakan-tindakan politik.
Sejalan dengan perubahan sosial—di mana orang Siberut ter­
libat aktif di dalamnya—orang Siberut mendapatkan pengetahuan,
pengalaman, dan pemahaman baru. Pemahaman ini membawa cara
pandang terhadap apa yang disebut uma, komunitas, menjadi orang
Mentawai pada masa sekarang, dan memberi gambaran baru tentang
apa yang akan terjadi dan mereka inginkan di masa mendatang. Pe­
tunjuk untuk memahami apa yang mereka inginkan telah ditunjukkan
oleh cerita Teu Simpan Ogok dan anaknya pada awal bagian ini. Gaya
konsumsi dan prioritas serta harapan Teu Simpan Ogok memberi
gambaran konkret bagaimana orang Siberut harus bertindak.
Pada titik yang lain, perubahan kehidupan ideal yang dibayang­
kan di masa depan memaksa orang Siberut untuk surut dan meno­
leh ke belakang. Harapan-harapan ekonomi yang lebih baik yang
dijanjikan oleh ekstraksi hutan telah memunculkan kembali persoalan
laten. Se­mentara secara pelan-pelan mereka terikat dan menautkan
diri dengan pasar-pasar produk hasil hutan dengan lebih erat, mereka
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 413

mengingat apa yang telah tidak ingin mereka jalani tentang kehidupan
leluhur mereka.
Perubahan-perubahan yang dibayangkan ini tentu saja akan me­
merlukan perumusan ulang beberapa hal lama seperti rivalitas uma,
penyingkapan sejarah genealogi, konflik batas-batas wilayah yang be­
be­rapa waktu diabaikan. Perpecahan uma yang disimbolkan se­ba­gai
tidak cukupnya “daging buruan” adalah bentuk dari ekspresi lo­kal
terhadap perubahan itu. Jika dulu gengsi antaruma dan pribadi di­
sim­bolkan dari persaingan untuk mendapatkan daging buruan, da­
ging perayaan ritual, serta benda-benda dari logam, kini orang Siberut
me­man­dang kehidupan orang di kota-kota besar lebih bergengsi.
Per­saingan yang dulu diarahkan kepada uma atau anggota uma lain
sekarang beralih menjadi dorongan untuk hidup setara dengan orang-
orang di Jakarta, Medan, atau pusat-pusat dunia yang lain. Dalam ke­
lakar sehari-hari, berulang kali mereka menyatakan keinginan untuk
bisa naik mobil mewah yang diiklankan di televisi, menggunakan te­
le­pon seluler yang canggih, memiliki gaji yang dibayarkan secara ter­
atur, bisa menenteng laptop ke mana-mana, dan anak-anak mereka
bisa bepergian ke luar negeri.
Hasrat-hasrat tersebut tertanam pelan-pelan dan kemudian
men­­­­­jadi bahasa sehari-hari. Kini, hasrat itu sering muncul dalam
dia­log-dialog informal dan bahan bercanda di kedai-kedai, beranda
ru­­mah, atau bahkan di tempat ibadah. Setiap menonton televisi atau
me­­li­hat gambar-gambar di koran tentang kehidupan orang kota yang
dianggap lebih mewah, orang Siberut akan menertawakan atau mem­
pa­rodikan diri mereka sendiri sebagai pihak yang tertinggal atau
lebih miskin. Idiom yang sering terdengar dari orang Siberut, “Kunen
ita si Mentawai, si magebak, si tak bulagat.”11 Arti idiom ini kira-
kira, “Itulah kita, orang Mentawai yang miskin. Tidak punya uang.”
Namun kali lain, terdapat humor yang menyebut bahwa posisi mereka
sangat kuat, ‘kalau kiiita orang Mentawai’. Ucapan yang terakhir ini
sangat sering diucapkan untuk menunjukkan keunggulan-keunggul­
an orang Siberut terhadap orang luar. Misalkan ketika tema mengenai
tanah-tanah dan hutan yang luas, mereka akan menyombongkan diri
‘kalau kiiiita orang Mentawai’. Rasa bangga yang ditunjukkan dalam
kalimat tersebut bukanlah dengan nada yang menonjolkan diri, tetapi
sebagai letupan humor.

11 Kata miskin juga bisa dianggap setara dengan arti “tertinggal” atau “tidak berdaya”.
414 Berebut Hutan Siberut

Dua idiom yang dicontohkan tersebut tidak dinyatakan sebagai


ben­tuk ratapan, kekecewaan, atau rasa puas diri dan kesombongan
tetapi lebih sering mengiringi percakapan sebagai sebuah ironi bagi
harapan-harapan yang belum tercapai dan apa saja yang telah mereka
dapatkan. Ungkapan seperti ini adalah suatu cara yang sangat penting
bagi orang Siberut untuk melihat posisi mereka terhadap identitas
orang luar atau perubahan yang mereka inginkan. Mereka sangat ber­
hasrat menjadi seperti kebanyakan warga negara yang lain, yang hidup
di luar Siberut. Jika pun untuk mencapai kehidupan “lebih baik” dan
“setara” dengan orang-orang di kota adalah dengan memisahkan diri
dari uma, menjual hutan, bergabung dengan gerakan adat, mengikuti
kegiatan konservasi atau mengubah adat dan kebiasaan sehari-hari,
kira-kira sebagian besar orang Siberut akan tetap memilihnya dengan
sadar dan hati-hati.
Meskipun sebagian besar orang Siberut mengarahkan visinya
ke arah kemajuan, tidak ada model tunggal tentang perubahan ke­
hi­dupan yang harus dan akan dijalani. Banyak orang mengantisipasi
masa depan keluarganya dengan berinvestasi ke bidang pendidikan
untuk anak-anaknya. Ada yang mengakumulasikan kekayaan sebagai
modal untuk meraih posisi politis menjadi kepala desa atau politisi
tingkat lokal. Sementara yang lain memutar uang yang didapatkan
dari hutan atau perusahaan kayu secara mandiri dengan membuka
kedai atau berdagang hasil bumi. Yang memiliki koneksi dan jaringan
sosial mencoba peruntungan menjadi rekanan pemerintah melalui
perusahaan-perusahaan kecil, koperasi, atau pemegang proyek. Di
tempat yang berbeda, aspirasi tentang kemajuan ditunjukkan de­
ngan membangun rumah yang bagus dan membeli mesin tempel
un­tuk menjadi nelayan. Yang sudah memiliki modal sosial berupa
pen­di­dikan mengincar menjadi pegawai negeri dan tidak berhasrat
lagi menjalani gaya hidup tradisional. Ada juga yang membelanjakan
penghasilannya dengan membeli gergaji mesin sebagai investasi un­
tuk menjadi penyedia kayu olahan bagi pasar setempat. Sementara
orang yang tidak mendapatkan hasil dari hutannya barangkali akan
semakin bekerja keras menanam kakao dan berharap tanaman ini
membalikkan nasibnya.
Berbeda dengan asumsi para aktivis lingkungan dan pemuja
masyarakat pribumi, orang Siberut tidak memberi prioritas—bahkan
ingin segera meninggalkan—kehidupan subsisten. Mereka tidak meng­
angankan menjalani kehidupan yang selaras dengan alam, mengagumi
Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 415

kesederhanaan, hidup cukup dengan sagu atau pisang. Mereka tidak


mengidealkan hutannya lestari dan bisa mengambil hasil nonkayu
secara berkelanjutan. Mereka tidak menolak gaya hidup konsumtif—
bahkan sangat berhasrat untuk mendapatkannya—meski dengan
meng­gunduli hutan atau mengubah hutan menjadi ladang. Di atas
semuanya, orang Siberut adalah gabungan semuanya. Orang Siberut
memiliki keterikatan yang berbeda dengan pasar, negara, tanahnya,
migran dan terhadap tempat tinggalnya, sehingga komitmen mereka
terhadap hutan juga berbeda-beda.
Bab 10
Penutup: Narasi atas
Hutan dan Kekuasaan

Narasi Berganti: Hubungan Kekuasaan


Dengan mendedahkan persoalan aksi-reaksi orang Siberut ter­
ha­dap hutan, buku ini ingin mengatakan bahwa hubungan antara
ma­nu­sia dan hutan selalu dilandasi oleh masalah produksi dan ke­
kua­sa­an. Jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa penjelajah dan
pen­ja­jah maupun sebelum terikatnya masyarakat Siberut dengan pa­
sar secara lebih intensif, mereka telah terlibat relasi yang saling me­
ngu­a­sai dengan hutan. Dalam kepercayaan lokal, hubungan sim­bo­lik
manusia dengan hutan berarti juga bernegosiasi dengan roh-roh, yang
dipercayai memiliki kekuasaan atas hutan tersebut. Roh-roh hutan
ini dipercaya berasal dari manusia dan memiliki sifat pro­fan seperti
layaknya manusia. Selain itu kekuasaan roh atas hu­tan ber­si­fat ega­li­
ter, sehingga orang Siberut bisa mendapatkan ke­kua­sa­an atas hutan
melalui upacara atau ritual tertentu sebagai ben­tuk negosiasi. Orang
Siberut mempersonifikasikan kekuatan roh itu melalui sudut pan­
dang manusia, sehingga mereka bisa me­ma­ni­pu­la­si­nya. Jika pun ter­
dapat mistifikasi terhadap kekuasaan dan kekuatan roh-roh tersebut,
arahnya menuju di bawah kendali ma­nu­sia dan bukan sebaliknya.
Dalam corak produksi yang subsisten mau­pun nonsubsisten dan
struktur sosial yang egaliter, negosiasi ini ber­langsung terus-menerus
sehingga bersifat mendua.
Hutan merupakan sumber religiositas dan memiliki nilai spiri­tual.
Hutan adalah tempat banyak roh-roh, yang memberikan ancaman,
ke­ta­kut­an sekaligus petunjuk tentang keselamatan, kesejahteraan,
Penutup 417

dan per­lindungan. Hubungan-hubungan yang bercorak metafisik


de­­ngan hutan dan roh-roh di dalamnya harus dijaga dan dipelihara
un­tuk keseimbangan kehidupan manusia. Di sisi lain, hutan adalah
sesuatu yang mereka butuhkan untuk keberlanjutan hidup. Dapat di­
katakan, hampir tidak mungkin orang Siberut dapat bertahan hidup
bergenerasi-generasi tanpa mengandalkan dan memanfaatkan hutan.
Hutan tersebut harus dirusak dengan cara ditebangi pohon-pohon
terbaiknya, digunduli untuk dijadikan ladang, atau ditanami tanaman
komersial untuk meraih kekayaan dan gengsi sosial.
Ketegangan antara sisi simbolik dan material hutan ini secara
ber­­ke­sinambungan telah membentuk hutan Siberut menjadi lanskap
yang tidak homogen dan tidak bebas dari intervensi manusia. Hadir­nya
roh-roh di hutan berasosiasi dengan marabahaya, akan tetapi bahaya
ter­­sebut bisa dikelola untuk mencapai keuntungan manusia. Hutan
se­­ring dikaitkan dengan sikap religius, akan tetapi manusia dapat
me­ngon­trol, mengubah, meningkatkan manfaatnya, juga—dalam pel­
bagai tingkatan—menguasainya melalui tindakan praktis dan melalui
perantaraan ritual (puliajat). Bukannya tidak boleh disentuh, hutan
adalah objek sekaligus subjek yang terus-menerus berubah. Tema ten­
tang keselarasan dan rasa hormat terhadap roh-roh penghuni hutan
ma­sih diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi perbincangan
sehari-hari, akan tetapi, setiap saat hutan ditebang, dirusak, dan di­
gunduli untuk keperluan dan kebutuhan sehari-hari.
Secara sosial, kekuasaan terhadap hutan berada di tangan setiap
uma. Dengan corak sosial yang egaliter dan otonom, hubungan ke­
kua­saan antaruma terhadap hutan juga bersifat negosiatif. Klaim
kepemilikan dan kekuasaan atas hutan diwarnai dengan persaingan,
kompromi, konflik, atau perdamaian. Pola hubungan yang tidak stabil
ini berlangsung terus-menerus sepanjang sejarah. Kekuasaan atas
hu­tan ditentukan oleh kemampuan menguasai pengetahuan dalam
me­­lacak silsilah keluarga, riwayat keturunan, dan praktik-praktik
pinjam-beli, denda-mendenda mengenai tanah dan hutan. Hubungan
ke­­kuasaan terhadap hutan ini dicirikan oleh ketidakstabilan dan
am­bi­valensi, karena pengetahuan yang menjadi dasar legitimasi ke­
kuasaan atas hutan dan tanah bagi satu uma saling tumpang-tindih
dan bersaing dengan pengetahuan lain yang dimiliki oleh uma lain.
Dengan demikian, kekuasaan atas hutan di Siberut dipengaruhi
oleh transformasi yang berbasis sosial sekaligus material. Selain itu,
hal ini juga dipengaruhi oleh konsekuensi sosial dan ekonomi yang
418 Berebut Hutan Siberut

ter­ben­tuk karena hubungan produksi yang berkembang dalam ling­


kung­an tertentu. Hubungan orang Siberut dengan hutan bukanlah
hasil dari satu konsensus yang bersifat stabil, melainkan diwarnai
oleh negosiasi yang terus-menerus. Setiap orang atau setiap uma me­
mi­liki interpretasi yang berbeda-beda terhadap pola hubungan ter­
sebut. Oleh karena itu, hal tersebut tidak berurusan dengan konsep-
kon­sep mental yang berada di luar praktik sehari-hari, yang sering
di­mak­nai sebagai “kearifan tradisional”, “etika lingkungan”, dan
“kon­servasi berbasiskan adat”. Akan tetapi, kita berurusan dengan
ni­lai-ni­lai yang terus berubah yang melandasi dan dihasilkan oleh
ber­bagai hubungan material. Buat kami, orang Siberut tidaklah pasif
terhadap kondisi hutan, melainkan selalu membuat interpretasi ten­
tang kondisi-kondisi yang baru. Dalam hal ini, tidak ada idealisasi
dan romantisme pandangan mengenai pola hubungan masyarakat
Siberut terhadap hutan. Tidak ada sifat “penjaga hutan”, “orang liar
yang ramah”, dan “peduli lingkungan” yang bersifat esensial dan se­
cara intrinsik dimiliki orang Siberut. Sifat-sifat tersebut merupakan
konsep yang rapuh. Hubungan orang Siberut selalu dicirikan dengan
negosiasi dan ambivalensi yang senantiasa bergeser. Hubungan itu
akan bertransformasi jika terdapat perubahan dalam praktik hidup
se­hari-hari serta transformasi material dari hubungan itu.
Ketika negara mulai mengklaim kekuasaan atas hutan, hubungan
antara orang Siberut dengan hutannya bergeser. Kekuasaan negara
bu­kanlah sesuatu yang hanya ada di dalam undang-undang, peraturan
menteri kehutanan, atau pidato pejabat. Kekuasaan itu mewujud da­
lam bentuknya yang paling konkret, berupa para pendatang yang
menguasai konsesi penebangan dan penjualan hasil hutan. Ke­kua­
saan itu juga berbentuk orang-orang yang memiliki kuasa untuk
me­laksanakan aturan, pejabat rendah yang main perintah, para
me­nebang kayu, gergaji mesin, alat-alat berat, kapal-kapal ponton
pengangkut kayu, atau program-program pemukiman.
Kuasa negara juga memiliki kekuatan dengan membentuk citra
orang Siberut sebagai perusak hutan, peladang berpindah, masyara­
kat terasing, atau masyarakat primitif. Dengan cara ini, program
pem­ba­ngunan memiliki alasan untuk menata hubungan antara orang
Si­berut dengan hutan. Hal ini bukan saja mengimplikasikan orang Si­
berut harus bersaing untuk mendapatkan kekuasaan terhadap hutan,
tetapi juga meletakkan mereka pada ujung yang paling rendah dalam
kategori resmi negara mengenai hierarki kebudayaan. Munculnya ne­
Penutup 419

ga­ra dan kekuasaannya menggeser basis relasi dan dominasi orang


Si­be­rut atas hutannya. Kontrol orang Siberut terhadap hutan me­la­
lui kegiatan produksi yang bersifat subsisten dan kepercayaan-ke­
per­cayaan animistik telah didesak oleh hukum negara, pemaksaan,
sosialisasi pembangunan, kekuatan pasar, atau patronase politik yang
melekat dalam hadirnya kekuasaan negara.
Seiring dengan menguatnya negara, orang Siberut mendapati
di­ri mereka semakin tergantung terhadap barang-barang konsumsi,
ad­mi­nis­tr­asi negara, dan tanaman-tanaman komersial. Gagasan-ga­
gas­an tentang kehidupan “yang lebih baik” telah menggeser gagasan
lama tentang nilai-nilai dan hubungan simbolik terhadap hutan.
Me­re­ka meyakini, satu-satunya cara agar sukses bersaing dalam
ke­­hidupan yang terjalin secara global adalah mengekstraksi hasil
hutan (gaharu, rotan), mentransformasikan hutannya menjadi ke­
bun tanaman cengkeh, kakao, atau nilam, atau menjual kayunya ke­
pa­da perusahaan kayu. Pandangan mengenai hutan sebagai tempat
roh-roh, sumber tanaman obat, atau untuk memenuhi kebutuhan
subsisten berbenturan dengan pandangan baru. Hadirnya negara dan
pasar juga menyebabkan kekuasaan atas hutan tidak sepenuhnya lagi
berada di tangan orang Siberut.
Namun, negara sendiri bukanlah sebuah kekuatan yang kukuh.
Ne­ga­ra memiliki wajah yang paradoks ketika harus berhadapan de­
ngan ke­kua­saan dan kekuatan lain. Negara adalah agen dengan wa­jah
yang beragam dan dinamis yang memiliki banyak kepentingan, atur­
an, dan metode dominasi. Setelah mengeluarkan kebijakan eks­ploi­
tasi, negara juga mengakomodasi kebijakan konservasi. Per­lin­dung­
an keanekaragaman hayati dan pengakuan hak-hak pribumi ada­lah
tuntutan global yang harus diakomodasi oleh negara agar te­tap dapat
mengikuti narasi pembangunan. Penunjukan taman na­sio­nal tidak
hanya melibatkan wacana semata, tetapi juga menuntut pe­ne­rap­an
kekuasaan dengan legitimasi baru. Kekuasaan ini mewujud da­lam
proyek-proyek konservasi skala besar, bantuan program pem­ber­da­
ya­an dan keuangan, pelatihan dan pengembangan kapasitas ma­sya­
ra­kat, dan munculnya retorika baru pengelolaan hutan. Juga aspek
pen­tingnya, kekuasaan konservasi dan pengakuan hak-hak pribumi
me­mulihkan representasi tentang orang Siberut yang sebelumnya di­
anggap terbelakang, primitif, atau perusak lingkungan, menjadi pen­
jaga lingkungan.
420 Berebut Hutan Siberut

Akan tetapi, manfaat wacana konservasi tidak selalu mem­ba­


ha­giakan orang Siberut. Guna meraih tujuannya, wacana konservasi
memproduksi norma-norma baru tentang bagaimana orang Siberut
harus berhubungan dengan hutannya. Mengharapkan tertanamnya
norma-norma tersebut ke dalam praktik kehidupan sehari-hari orang
Siberut bukanlah hal yang mudah. Perspektif orang Siberut tentang
bagaimana hutan dan sumber daya alam dikelola dan dimanfaatkan
seringkali berbeda dengan persepsi kalangan konservasi terhadap
hutan. Tidak mengejutkan jika upaya konservasi menghadapi tan­
tang­an di tingkat lokal. Oleh karena itu, meski sudah ditunjuk se­ba­
gai taman nasional, banyak LSM dan organisasi multilateral mem­
pro­mosikan nilai-nilai keanekaragaman hayati, praktik-praktik lokal
seperti perburuan dan penebangan kayu, serta konversi hutan untuk
berladang di kawasan konservasi terus saja berlanjut.
Gerakan menuntut pengakuan terhadap hak-hak masyarakat pri­
bumi secara global, yang muncul bersamaan dengan wacana konserva­
si dan desentralisasi, turut memainkan peranan dalam konjungtur ke­
kuasaan di Siberut. Masyarakat Siberut tersulut dengan gerakan ini.
Mereka tersadar dan bangkit untuk menuntut pengembalian identitas,
adat mereka, serta pengakuan hak-hak mereka atas sumber daya
alam. Melalui wacana adat, mereka menuntut pengakuan hak akses
ter­ha­dap hutan. Orang Siberut secara aktif mengartikulasikan wacana
hak-hak adat untuk memperbesar peluang mereka membangun alian­
si yang lebih luas dan mendapat dukungan eksternal baik berupa pen­
da­na­an, jaringan komunikasi, pelatihan-pelatihan, dukungan media
dan politik. Hal ini meningkatkan kapasitas orang Siberut dalam
ber­negosiasi dengan kekuasaan dan kekuatan lain dan memobilisasi
dukungan politik dari aliansi yang lebih luas. Identitas adat digunakan
sebagai salah satu strategi politik untuk menuntut pengembalian ke­
kuasaan atas hutan.
Dengan wacana adat, mula-mula mereka mengartikulasikan pen­
deritaan yang dialami akibat kekuasaan dari luar. Perasaan tertindas
oleh kekuasaan dari luar dan posisi marjinal dalam kekuasaan negara
membentuk identitas kolektif. Solidaritas membuat orang Siberut me­
neguhkan diri mereka untuk merespons kekuatan dan kekuasaan luar
yang selama ini merugikan mereka. Salah satu bentuk penindasan
yang menurut mereka paling nyata adalah eksploitasi terhadap hu­tan.
Ada keterkaitan antara gerakan adat, perasaan tertindas, dan ba­yang­
Penutup 421

an masa depan tentang otonomi dengan bagaimana hubungan yang


mereka harapkan terhadap hutan.
Orang Siberut memiliki penafsiran terhadap makna adat yang
ber­beda dengan para konservasionis dan aktivis LSM. Mula-mula,
me­reka menjadikan narasi masyarakat adat untuk meraih kesempatan
merebut kekuasaan atas sumber daya. Identitas adat bukan hanya
ekspresi identitas kolektif tetapi juga membawa konsekuensi material
untuk memperoleh pengakuan resmi, mendapatkan akses terhadap
pengelolaan sumber daya, dan kontrol de facto atas sumber daya
alam. Atas nama adat, mereka membuka kesempatan lebih luas un­
tuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi dan politik. Representasi
sebagai masyarakat adat dapat digunakan untuk melawan kekuasaan
negara, perusahaan kayu, atau lembaga konservasi. Hal ini membuka
ke­­sem­patan bagi orang Siberut untuk menyusupkan agenda dan me­
raih tujuan-tujuan yang lebih spesifik.
Pengakuan terhadap hak adat memuncak pada saat kebijakan
desentralisasi dikeluarkan oleh pemerintah pusat di Jakarta. Kebijakan
desentralisasi mengubah relasi kekuasaan dan menambahkan ke­ku­
at­an baru terhadap masyarakat lokal melalui istilah “adat”, “putra
dae­rah”, atau “penduduk asli”. Tujuan kebijakan pengelolaan hutan
di era desentralisasi adalah mencegah tersingkirnya masyarakat lokal
da­ri pengelolaan sumber daya hutan. Kebijakan ini menyediakan
sum­ber daya kekuasaan baru bagi aktor-aktor lokal untuk melakukan
ne­gosiasi ulang terhadap klaim akses dan kontrol terhadap hutan.
Akan tetapi, kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari sum­
ber daya dan kekuasaan ini tidak terdistribusikan secara merata pa­da
semua aktor lokal. Hanya sedikit elite lokal yang mendapatkan ke­sem­
pat­an untuk meraih dan mengakses kekuasaan ini. Kekuasaan dari
luar seperti konglomerat kayu tetap mendapatkan keuntungan yang
paling banyak dari kebijakan desentralisasi di sektor kehutanan. Me­
re­ka menguasai akses terhadap modal, memelihara hubungan yang
dekat dengan birokrasi nasional, dan juga mengakomodasi ke­pen­
ting­an elite-elite lokal. Segelintir konglomerat kayu ini dapat memilih
kebijakan negara yang paling menguntungkan dan mampu bertahan
dalam rezim kekuasaan yang terus berganti karena kelihaian dalam
me­raih akses terhadap modal, menyediakan mesin-mesin dan alat be­
rat, serta memelihara relasi patron-klien dengan politisi dan elite lokal.
Jaringan penebangan kayu di Siberut semakin berkembang setelah
era desentralisasi karena mereka dapat mengawinkan ekstraksi ala
422 Berebut Hutan Siberut

ka­pitalisme dengan model klientilisme elite-elite setempat.


Dalam konteks perubahan kekuasaan dan wacana pengelolaan
hu­tan yang sangat dinamis, masyarakat Siberut hanya meraih sedikit
man­faat dari keterlibatan mereka. Relasi kekuasaan terhadap hutan di
Si­berut tidak ditentukan oleh kendali orang Siberut. Kekuasaan atas
hu­tan datang dari proses-proses yang jauh lebih besar seperti pem­
ben­tuk­an negara, jaringan industri kayu dan wacana global. Hal ini
menyebabkan orang Siberut merasa dimarjinalkan dan disingkirkan.
Kegagalan orang Siberut dalam mendapatkan keuntungan yang paling
banyak dari kontrol de facto atas hutan adalah karena mereka kalah
dalam persaingan untuk mendapatkan saluran kekuasaan-kekuasaan
itu. Nyatanya, tingkat kesuksesan orang Siberut dalam memelihara
akses dan kontrol terhadap hutan sangat ditentukan oleh kapasitas
mereka untuk mendapatkan akses jaringan politik dan sosial, modal,
otoritas politik dan teknologi, dan kapasitas untuk bersaing dengan
bidang-bidang yang lebih besar dan aktor-aktor lain yang lebih kuat.

Narasi Tetap: Agenda Lokal dan Perlawanan


Orang Siberut memiliki sejarah atau tradisi yang otonom dan
ega­li­ter. Sudah lama mereka terbiasa hidup dengan tidak tunduk pada
kekuasaan pihak lain. Bukan suatu kebetulan jika hubungan orang
Siberut dalam sejarahnya diwarnai oleh ketegangan untuk mem­per­
ta­han­kan corak egaliter ini di hadapan kekuasaan dari luar. Mereka
berhasil menemukan jalur negosiasi kekuasaan dengan roh-roh hutan
untuk mendapatkan atau menghasilkan basis material sehari-hari,
mi­sal­nya sumber makanan, obat-obatan, sumber penghasilan dan
pendapatan. Orang-orang Siberut berhubungan dengan hutan bukan
untuk mendapatkan cita-cita ideal dunia modern semacam: “hutan
lestari, rakyat sejahtera”. Tema-tema mengenai kehidupan yang se­
der­hana, seperti meraih kecukupan ekonomi, memiliki barang elek­
tro­nik, minum teh manis secara teratur—pendek kata, kehidupan
yang lebih baik—akan senantiasa mewarnai sejarah hutan di Siberut.
Akan tetapi, mengapa mereka tidak melakukan perlawanan kolektif
ketika menyadari ketidakadilan saat tanah leluhur mereka diambil
oleh kekuasaan dari luar? Tidakkah mereka ingin menentang rezim
penguasa yang memaksa dan menindas mereka?
Orang Siberut tidak menyandarkan diri pada dunia yang ideal.
Mereka tidak menyandarkan kehidupannya kepada konsep-konsep
Penutup 423

men­tal abstrak—seperti perlawanan, kolektivisme, resistensi—yang


jauh dari praktik kehidupan sehari-hari mereka. Orang Siberut men­
catat bahwa selama berabad-abad kebudayaan mereka telah terhindar
dari intervensi gelombang kebudayaan Hindu-Budha, penetrasi rezim
kolonial, negara otoriter ala rezim Orde Baru, dan kekuasaan dari
luar yang lain. Ketika kekuasaan dari luar merongrong, orang Siberut
berhitung dan berpegang pada apa yang sudah mereka miliki sambil
terus berusaha mengupayakan perbaikan perlahan, sabar, dan taktis.
Mereka juga diam-diam melakukan negosiasi terhadap kekuatan yang
mengontrol mereka tersebut.
Dalam menegosiasikan kekuasaan ini, mereka seringkali harus
ter­libat dengan jaringan kekuasaan dari luar yang rumit. Mereka ter­
libat aktif dalam ekonomi pasar dan terus bergerak melampauinya
de­ngan menanam tanaman komersial dan mengadopsi praktik per­
tanian baru. Mereka juga terus melihat situasi dan memanfaatkan
pe­luang untuk meningkatkan keuntungan dari apa yang dijanjikan
oleh tatanan baru seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, dan in­
fra­struk­tur permukiman baru. Orang Siberut berjuang untuk meraih
ak­ses terhadap kekuasaan, berbeda dengan citra romantis mengenai
per­la­wan­an masyarakat-masyarakat adat yang mendapatkan te­kan­
an da­ri luar. Mereka memiliki kesadaran untuk melihat posisi di­
ri da­lam meng­ha­dapi kehadiran kekuasaan dari luar atas hutan dan
men­cip­ta­kan pan­dang­an tersendiri dalam menilai sumber da­ya hu­
tan. Hal ini­lah yang memaksa mereka untuk terus-menerus me­mo­di­
fi­ka­si praktik-praktik pemanfaatan hutan dan lingkungan, ke­mu­di­an
mengonstruksi, menginterpretasi, dan mempersepsikan hu­bung­an
kekuasaaan itu berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan ke­bu­tuh­
an sehari-hari.
Strategi orang Siberut dalam menghadapi perubahan–perubah­
an tersebut seringkali kontradiktif. Mereka terkadang memainkan
wajah yang berbeda-beda. Strategi-strategi ini kerap membingungkan
ka­re­na terlihat dari luar seolah-olah penuh dengan kebimbangan dan
si­fat men­dua. Namun, relasi kekuasaan terkait dengan akses dan kon­
trol hutan di Siberut tidak bisa digambarkan secara sederhana dan
li­nier. Seperti yang diungkapkan Foucault (1980), kekuasaan ada dan
ter­ta­nam dalam setiap relasi seseorang dengan yang lain. Di mana ada
kekuasaan, pasti ada resistensi. Konsekuensinya, resistensi tersebut
tidak pernah berada di luar matriks kekuasaan, bahkan selalu ber­hu­
bung­an dengannya.
424 Berebut Hutan Siberut

Sikap orang Siberut yang menolak inisiatif konservasi dan in­ter­


ven­si pembangunan tidak dapat dipisahkan dengan keterlibatan me­
re­ka dalam berbagai aktivitas konservasi dan inisiatif pembangunan.
Nya­ta­nya, interaksi mereka dengan berbagai pemangku kepentingan
me­mun­cul­kan “praktik politik” (Li 2007: 122). Interaksi tersebut te­
lah me­ning­kat­kan kapasitas mereka untuk melakukan penolakan,
per­lawanan, sekaligus penerimaan, suatu aksi sosial yang berada di
te­ngah resistensi dan akomodasi. Namun, sikap resisten sekaligus
meng­­a­ko­mo­da­si tersebut selalu berada dalam bagian kekuasaan.
Orang Si­be­rut menolak beberapa praktik konservasi seperti berburu
pri­ma­ta asli, namun mendukung praktik konservasi lainnya seperti
pe­ngem­bang­an sumber pendapatan alternatif dan agroforestry. Me­
re­ka me­nentang program permukiman kembali, tetapi pada saat yang
sa­ma ingin dibimbing oleh negara untuk mencapai cita-cita men­ja­di
modern dan mendapatkan akses mudah atas pendidikan dan pe­la­yan­
an kesehatan.
Selain harus terperangkap dalam relasi kekuasaan yang ingin
me­­re­ka la­wan atau lebih tepatnya hindari, mereka juga memiliki
stra­te­gi yang bersumber dari kedalaman kultural mereka, yaitu me­
le­tak­kan otonomi yang besar pada setiap individu dan uma. Maka,
praktik politik mereka terhadap kekuasaan dari luar ini menghasilkan
dinamika internal yang sangat kompleks. Di waktu tertentu, mereka
mendukung perusahaan kayu karena memberikan akses terhadap
pekerjaan dan penghasilan yang lumayan. Tetapi, ketika mereka tidak
mendapatkan banyak keuntungan, segera beralih menolaknya. Di lain
waktu, mereka mendukung usaha pelestarian alam dan mendapatkan
man­faat dari program-program taman nasional. Namun, dengan di­
am-di­am, mereka terus berladang di dalam kawasan konservasi.
Oleh karena itu, strategi dan taktik orang Siberut dalam melaku­
kan negosiasi dengan kekuasaan dari luar seringkali membingungkan
dan mengejutkan kalangan pejabat, para aktivis, dan juga peneliti.
Be­berapa orang Siberut menggunakan gerakan masyarakat adat un­
tuk menguatkan posisi mereka dan menaikkan posisi tawar mereka
ter­hadap perusahaan kayu dan pemerintah. Beberapa orang sukses
mendapatkan keuntungan dengan menggunakan pemetaan partisipatif
dan retorika masyarakat adat, akan tetapi mereka juga menganggap
wa­ca­na adat belum mampu digunakan untuk bernegosiasi dengan
ke­kua­sa­an yang lebih besar. Sementara itu, dengan menerima ke­
un­tung­an-keuntungan dari perusahaan kayu dan meraih kehidupan
Penutup 425

yang lebih baik, aktor-aktor lokal yang berhasil mengartikulasikan


wa­ca­na adat dan bermain dalam konteks kekuasaan industri kayu
se­ring­kali membuat mereka harus kehilangan aliansi, dicurigai, dan
diasingkan dari elemen gerakan masyarakat adat yang dibebani ga­
gas­an pelestarian alam. Sebagian lain menggunakan gerakan adat
untuk membantu mereka membentuk aliansi dengan agen konservasi,
LSM dan donor, serta TNS. Mereka mendapatkan profil yang positif
se­ba­gai masyarakat adat dan sebagai agen yang melindungi sumber
da­ya alam. Untuk membangun aliansi ini mereka harus melawan
per­u­sa­ha­an kayu dan menutup celah keuntungan ekonomi yang da­
pat mereka peroleh. Dengan beraliansi dengan donor, LSM, dan ak­
ti­vis prokonservasi, mereka berharap akan mendapatkan bantuan
pem­ba­ngun­an ekonomi dan menjadikan kehidupan yang lebih baik,
memperoleh status sosial yang kuat di masyarakat yang egaliter. Akan
tetapi, harapan mereka sering patah di tengah jalan karena LSM, TNS,
atau gerakan masyarakat adat tidak mampu menjamin pembangunan
yang layak—seperti halnya perusahaan kayu.
Terpaksa harus dikatakan, yang tersisa dari antusiasme untuk
ber­gabung dengan gerakan adat dan lingkungan adalah kecurigaan
ada­nya oportunisme, korupsi, pembajakan agenda-agenda dan ke­
pen­ting­an masyarakat, munculnya masalah representasi, dan akun­
ta­bilitas lembaga-lembaga yang mendukung gerakan itu. Tidak sedikit
orang di Siberut memiliki persepsi negatif mengenai LSM dan lembaga
internasional yang hanya bekerja—dalam kalimat sarkastis ala Si­
be­rut—“menjual-jual nama Mentawai” untuk kepentingan mereka
sendiri. Tentu saja kecurigaan ini tidak pernah bisa dibuktikan, tetapi
nuansa yang terbangun dari kekecewaan masyarakat adalah bagian
da­ri agenda praktik politik. Anggapan bahwa agenda atas nama ma­
sya­rakat adat hanya dijadikan sebagai cara beberapa orang untuk
me­na­rik ke­un­tung­an kelompok dan perjuangan politik yang sarat
ke­pen­ting­an me­ru­pa­kan suatu reaksi masyarakat di batas kekuasaan
dari luar. Apalagi, ketika gerakan masyarakat adat di Ke­pu­lau­an Men­
ta­wai tidak mendapat dukungan dan pengakuan da­ri pemerintah
dae­rah sebagai negara, kekuatan gerakan adat tidak men­jadi proyek
ma­sa depan orang Siberut yang pada dasarnya lebih menyukai hidup
dengan keterikatan yang kuat dengan negara sebagai warga biasa.
Bagi pemerintah kabupaten yang baru terbentuk, gerakan sosial
atas nama adat dipersepsikan sebagai sebuah upaya untuk merongrong
pe­­kerjaan pemerintah dari orang-orang yang kecewa karena tidak
426 Berebut Hutan Siberut

men­­da­pat­kan keuntungan dari otonomi daerah. Tetapi, di tingkat


akar rum­put, beberapa aktivis dewan adat menggunakan gerakan
ini un­tuk mendapatkan keuntungan kecil dari “kue” pembangunan.
Caranya adalah mengajukan proposal pembangunan infrastruktur
yang didanai negara. Mereka bisa mendapat proyek-proyek kecil dari
pemerintah daerah seperti pembangunan jalan atau jembatan dengan
menggunakan kelembagaan adat.
Corak otonomi yang luas di tingkat uma dan individu me­nye­bab­
kan ideologi gerakan masyarakat adat yang mengambil jalur politik
mengalami kesulitan untuk diterjemahkan ke dalam praktik sehari-
hari di Siberut. Kepemimpinan, pemahaman mengenai adat, dan posisi
ideologi gerakan ini banyak mengalami pembiasan. Tapi ini tidak
berlangsung satu arah. Dari arah lain, konstruksi aktivis pejuang hak-
hak masyarakat adat atas masyarakat Siberut seringkali keliru ketika
mengasumsikan bahwa orang Siberut memiliki “nilai-nilai ideal” yang
mantap yang disebut “adat”. Adat dianggap sesuatu yang melintasi
ruang dan waktu serta sejarah dan terwujud dalam “pemimpin adat”.
Pandangan elite-elite Mentawai atau sebagian besar aktivis pendukung
gerakan adat dari luar sangat kuat dipengaruhi oleh adanya imajinasi
otonomi—baik subjek, teritori, maupun produksi—masyarakat hukum
adat yang memang telah disediakan dalam tubuh sosial di Kepulauan
Mentawai sebagai tempat asal-usul leluhur dan yang khas bagi orang
Mentawai. Kebanyakan para aktivis berfantasi mengenai adanya adat
se­ba­gai “aturan kolektif tertentu yang disepakati” yang bersifat meng­
ikat orang Mentawai dalam wilayah tertentu. Imajinasi tentang adat
me­rujuk pada kolektivitas hukum-hukum dan kebiasaan, adanya wi­
la­yah teritori tertentu bagi masyarakat dan adanya struktur politik
yang mantap dan stabil yang akan menyediakan seperangkat aturan
dan pemerintahan yang otonom bagi masyarakat dan sumber daya
alam di wilayah mereka.
Imajinasi tentang adat ini melupakan dua hal. Yang pertama, ke­
kua­saan terhadap hutan, tanah, dan sumber-sumber politik di Si­be­rut
hanya diakui pada tingkat uma dan pengakuan tersebut bersifat ti­­dak
stabil dan mencerminkan kondisi yang tidak permanen bagi pe­ngu­as­ a­
an sumber daya. Imajinasi teritorial bagi wilayah adat ini lebih me­ru­
pa­kan tradisi yang diciptakan oleh elite-elite dan bukan me­re­flek­si­kan
kenyataan sosial sehari-hari. Kekuasaan atau aturan di luar uma atau
su­pra­uma tidaklah mungkin terjadi. Hal ini terlalu gamblang di­tun­
juk­kan oleh dilema pemerintahan desa yang tetap tidak punya akses
Penutup 427

dan kon­trol terhadap kekuasaan uma. Yang kedua, orang Siberut te­
lah ber­ubah baik oleh dinamika internal, migrasi lokal, maupun pro­
ses-pro­ses produksi yang berlangsung ratusan tahun, yang sedikit
ba­nyak mengubah relasi-relasi produksi dan jalinan sosial di wilayah
ter­tentu. Hubungan-hubungan produksi ini bersifat lentur, mudah
berubah dan adaptif terhadap perubahan. Imajinasi tentang teritori
dan relasi produksi yang mantap dan stabil hanyalah fantasi aktivis
perkotaan yang mengharapkan adanya masyarakat yang masih murni
dan utuh dan karenanya, bersifat ahistoris.
Demikianlah, masyarakat Siberut bukanlah entitas yang tunggal.
Mereka memiliki pandangan yang bermacam-macam, motivasi yang
ber­an­ e­ka, dan kepentingan yang tumpang-tindih. Mereka dengan mu­
dah berganti-ganti posisi, berubah-ubah wajah dan masuk ke dalam
me­dan kekuasaan apa saja yang tersedia. Dan keikutsertaan dalam
wa­ca­na kekuasaan itu tidak harus sama dengan tujuan dan agenda
ke­kua­sa­an yang diikuti. Misalnya, dengan menggunakan wacana adat,
mereka dapat menjustifikasi klaim otonomi dan independensi me­re­
ka, serta mengkomersialisasikan hutan atau mengkonservasinya. Per­
ju­ang­an yang dilakukan oleh organisasi konservasi dan aktivis ling­
kung­an dalam mempromosikan hak-hak masyarakat atas sumber daya
alam sering tidak sesuai harapan yang diinginkan oleh masyarakat
sen­di­ri. Perjuangan itu membutuhkan banyak syarat dan sukar di­
pe­nuhi oleh masyarakat. Beberapa harapan yang tidak bisa dipenuhi
oleh perjuangan konservasi justru menghasilkan pukulan balik dari
masyarakat sendiri. Sementara itu, dalam skala yang lebih masif, telah
terjadi perubahan dan pergeseran internal di tingkat uma, di mana
generasi yang lebih muda mulai berpikir untuk menjual tanah-tanah
umanya. Ketiadaan ketrampilan, kecukupan modal dan akses dengan
pasar serta posisi marjinal memudahkan mereka untuk kehilangan
tanah-tanah leluhurnya. Mereka mulai mengakumulasikan kekayaan
dari penjualan tanah-tanah tersebut, setelah lebih dulu mengubah ke­
pemilikan tanah menjadi milik pribadi.
Klaim adat atas akses dan kontrol terhadap sumber daya hutan
te­tap­lah merupakan klaim yang rapuh dan sangat rentan terhadap ko­
op­tasi maupun pelanggaran dari kepentingan dan kekuasaan lain yang
lebih kuat. Meskipun orang Siberut telah secara jeli menginterpretasi
wacana adat untuk meningkatkan bobot klaim mereka terhadap hu­
tan, pada tingkatan tertentu, mereka masih butuh pengakuan dari
ne­ga­ra. Orang Siberut memerlukan alat untuk mengkomunikasikan
428 Berebut Hutan Siberut

klaim mereka agar bisa diterima oleh pihak lain. Pengakuan dari ne­
ga­ra bisa membantu memberi legitimasi dan mengamankan klaim
ter­sebut untuk jangka waktu yang panjang. Hal ini menjelaskan sikap
pragmatis orang Siberut yang senantiasa berusaha membangun aliansi
dengan pihak luar. Tujuan mereka adalah mendapatkan legitimasi dari
komponen yang jauh lebih kuat seperti negara. Namun, upaya mereka
tersebut seringkali menumbuhkan dilema dan efek tak terduga.
Orang Siberut selalu memperhitungkan risiko dan keuntungan
da­ri setiap usaha “praktik politik” mereka, tidak terkecuali klaim atas
hutan mereka. Secara hati-hati mereka menjajaki kemungkinan yang
didapat dan apa yang harus dikorbankan. Sebagian besar orang Si­
berut tidak harus selalu memverbalkan tuntutan otonomi dan pe­
ngem­ba­li­an kekuasaan karena tuntutan itu sudah menyatu di dalam
perilaku. Orang luar biasanya kesulitan memahami kerumitan dan
li­cin­nya perhitungan mereka. Perhitungan-perhitungan dalam meng­
ha­dapi perubahan medan ekonomi politik yang baru ini sering harus
mengorbankan solidaritas bersama dan menyebabkan fragmentasi di
ting­kat uma atau keluarga. Resiko dan keputusan-keputusan taktis
yang diambil orang Siberut untuk menghadapi situasi ketidaktentuan
eko­nomi politik baru pascaotonomi seringkali disalahartikan oleh
orang luar. Jika orang Siberut memilih untuk mendapatkan uang dari
perusahaan kayu, para aktivis konservasi menyebutnya kesadaran kon­
ser­vasi yang rendah, aktivis LSM menyebutnya tidak berkomitmen,
dan para pejabat menyebutnya oportunis, tidak mau maju, dan ter­be­
lakang. Jika mereka terlibat dalam proyek pembangunan, para bi­ro­
krat menetapkan syarat-syarat tertentu agar orang Siberut bisa terlibat
di dalamnya. Pendek kata, hampir semua orang memiliki rumusan
ba­gai­ma­na masyarakat Siberut dan bagaimana mereka harus berubah
dan di­u­bah. Tetapi, bagi orang Siberut, tidak demikian halnya. Pe­ri­
la­ku-perilaku mereka yang terkesan acak, tidak patuh, oportunis, dan
me­mentingkan diri sendiri adalah bagian dari semangat untuk tetap
mem­per­tahankan otonomi mereka, melalui hitung-hitungan yang
ma­suk akal dan rasional.
Kekuasaan atas hutan yang diperebutkan di Siberut memberi gam­
bar­an, sekuat apa pun kekuasaan tetap akan mengalami fragmentasi
di ting­kat lokal. Serinci apa pun rencana, perhitungan, serta strategi
yang dibangun oleh pihak-pihak luar untuk mendisiplinkan dan me­
ngon­trol orang Siberut, akan selalu ada ruang manuver untuk di­in­
terpretasi, diadopsi, atau pun dilawan di tingkat lokal. Kekuasaan
Penutup 429

tidak berwajah tunggal dan bisa muncul dalam pelbagai bentuk. Bagi
orang Siberut, kekuasaan ini tidak pernah dilawan dengan cara yang
tung­gal juga. Daripada memaksakan diri untuk melawan kekuasaan
itu, mereka melibatkan diri dalam kekuasaan yang tersebar itu. Da­
lam menghadapi kekuasaan tersebut mereka mengembangkan stra­
te­gi yang fragmentatif, tidak sistematis, terjadi secara individual atau
da­lam tiap uma (tergantung kadarnya), taktis dan licin, dan mem­per­
tim­bang­kan untung-rugi, mementingkan diri sendiri, dan meng­a­ko­
mo­dasi kekuasaan yang dominan. Hal ini memiliki konteks sosial dan
kultural.
Masyarakat Mentawai tidak mengenal sistem perwakilan ke­
pen­ting­an melalui pihak lain. Secara historis, masyarakat Mentawai
me­warisi struktur politik warisan neolitik yang tidak pernah me­mi­
liki atau membentuk unit politik di luar uma. Sebagai unit so­sial,
uma mewakili struktur sosial yang egaliter tanpa ada bentuk te­kan­
an dan hierarki politik atau pola kepemimpinan terorganisir. Me­
re­ka terbiasa, akibat dari struktur sosial dan corak produksi, be­bas
melakukan apa saja tanpa ada intervensi politik orang lain. De­ngan
lokasi permukiman yang tersebar, mereka juga kesulitan mem­ben­tuk
kepemimpinan yang lebih terstruktur untuk melawan ke­kua­sa­an da­ri
lu­ar. Yang paling cocok dengan model sosial seperti ini, da­lam me­
la­ku­kan negosiasi pihak luar, adalah dengan mengikuti se­ti­ap frag­
men­tasi kekuasaan itu sambil melanggengkan kepentingan me­re­ka
sen­di­ri. Masyarakat Siberut dengan sendirinya tidak memiliki alat
in­sti­tu­­sio­nal untuk berkonfrontasi langsung dengan kebijakan pe­me­
rin­tah dan negara yang jauh lebih kuat. Kekuatan negosiasi me­re­ka
ter­le­tak pada kemampuan mereka mengikuti kekuasaan yang ada,
meng­gu­na­kan bahasa-bahasa dominan, mengikuti pertemuan-per­te­
mu­an dengan penguasa, melakukan tarik-ulur, serta mengulang dan
mem­balikkan arti dan makna kekuasaan yang dominan itu. Jenis ne­
go­sia­si ini memang tidak akan mengubah sesuatu yang besar, m­isal­
nya menghapus kawasan taman nasional atau membatalkan izin per­
u­sa­ha­an kayu. Akan tetapi, tidak boleh dilupakan kenyataan bahwa
de­ngan cara itu masyarakat Siberut dapat mempertahankan corak
ega­li­ter dan struktur sosial mereka yang otonom.
Cara orang Siberut melawan kekuasaan akan dengan mudah
di­li­hat sebagai sebuah kelemahan. Namun, dengan cara-cara itulah
orang Siberut terus-menerus menemukan strategi yang tepat agar
da­pat mempertahankan kehidupan mereka di antara kekuasaan-ke­
430 Berebut Hutan Siberut

kua­saan yang tumpang-tindih, bertentangan, dan kadang-kadang sa­


ling menyilang. Mereka merumuskan agenda lokal sendiri, mem­per­
tahankan dan melanggengkannya dengan cara memanfaatkan ba­ha­sa
dan strategi kekuasaan dari luar yang disisipkan dalam tradisi dan
struktur sosial yang egaliter. Kekuasaan atas hutan dari luar di­ikuti,
dijalankan, dan ditantang melalui interpretasi kembali dan in­ter­pre­
ta­si yang seringkali berbeda. Dengan cara yang dianggap orang luar
se­ba­gai oportunis atau tidak berkomitmen, penduduk Siberut terus
mam­pu bertahan hidup dan sekaligus hadir secara politik. Melalui
per­hi­tung­an-perhitungan yang sering telat kita sadari, strategi yang di­
am­bil orang Siberut telah berhasil melindungi akses mereka terhadap
hu­tan sehari-hari. Cara inilah yang terbukti mempertahankan warisan
kebudayaan neolitik mereka.
Jika kita pergi berkeliling di Siberut, orang-orang yang berada
di da­lam kawasan TNS tetap bisa berladang atau memungut hasil
ro­tan. Mereka juga memperjualbelikan tanah meskipun seluruh da­
rat­an dikategorikan sebagai kawasan hutan, atau bisa juga men­da­pat
ke­un­tung­an dari perusahaan kayu. Mereka tetap hidup dan ber­in­ter­
ak­si dengan hutan sehari-hari, sementara puluhan per­u­sa­ha­an kayu
datang dan pergi—paling akhir PT KAM telah undur diri dari bis­nis
kayu Siberut dengan menyatakan bangkrut pada 2007. Seperti yang
kami dengar lamat-lamat, rongrongan terhadap PT SSS juga mu­
lai tersebar dari Sigapokna di utara. Sesaat sebelum buku ini se­le­sai
ditulis, Siberut terjangkiti demam kelapa sawit. Banyak orang me­no­
lak usulan bupati untuk menjadikan 40.000 ha hutan di Siberut se­ba­
gai per­ke­bun­an sawit meskipun, seperti biasa, banyak orang melihat
ske­ma perkebunan ini dapat menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
Di atas semuanya, sebagian besar daratan Siberut masih di­se­
li­muti hutan tropis dataran rendah. Meskipun ada kecenderungan
kua­li­tas dan kuantitasnya menurun, hutan-hutan itu tetap penting
bagi kehidupan sehari-hari orang Siberut. Sebagian besar hutan yang
masih utuh berada di dalam kawasan TNS—meskipun hutan itu juga
setiap hari dijarah, ditebangi, dan dijadikan ladang. Hasil pemindaian
citra satelit terakhir menunjukkan bahwa secara prinsip daratan Si­
be­rut masih berupa hutan. Meskipun tidak sepenuhnya karena faktor
perlawanan masyarakatnya, ini adalah ciri keberhasilan orang Siberut
dalam mempertahankan kontrol de facto atas hutan.
Negosiasi dan tuntutan atas kebutuhan sehari-hari orang Siberut
telah menciptakan semak, duri, dan hutannya sendiri. Jika “semak,
Penutup 431

duri dan hutan” itu tidak membuat sesat, menggoreskan luka, atau
menghentikan agen dan kekuasaan dari luar untuk menjarah dan
menguasai hutan Siberut, sesekali (meskipun akan sangat jarang dan
kemungkinannya kecil sekali) orang Siberut akan bertindak lebih
berani. Dengan meminta dukungan LSM, beraliansi dengan kelompok
lain, atau berjuang sendiri, mereka bisa meletupkan aksi-aksi yang
lebih keras seperti kisah dari Teluk Subelen di Saibi pada Mei yang
lengas dan berkabut itu, yang telah mengawali buku ini. Orang
Siberut seperti polip anthozoa yang sedang membangun karangnya
sendiri untuk, dalam jangka waktu yang lama, akan mengkandaskan
kapal-kapal yang mengangkut kekuasaan, ide-ide, pembaharuan dari
luar—sekaligus membangun masa depannya sendiri.
Daftar Pustaka

Abdullah, I. 1999. “Dari Bounded System ke Borderless Society:


Krisis Metode Antropologi dalam memahami Masyarakat Masa
Kini” dalam Jurnal Anthropologi Indonesia, 23 (60).
Abidin, M. H. 1997. Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai:
30 Tahun Perjalanan Da’wah Ila’allah Mentawai Menggapai
Cahaya Iman 1967-1997. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII).
Accaioli, G. 1985. “Culture as Art: From Practice to Spectacle in
Indonesia” dalam Canberra Anthropology, 8: 148-174.
ADB. 2001. Project Completion Report on Biodiversity
Conservation Project, dari www.asiandevbank.org, diunduh
pada Februari 2005.
Affif, S. 2004. LandReform or Customary Rights? Contemporary
Agrarian Struggles in South Tapanuli, Indonesia, Disertasi di
Universitas California, Berkeley. Tidak diterbitkan.
Agrawal, A. dan C. C. Gibson. 1999. “Enchantment and
Disenchantment: The Role of Community in Natural Resources
Conservation” dalam World Development, 30: 629-649.
Agrawal, A. dan E. Ostrom. 2001. “Collective Action, Property
Rights, and Decentralization in Resource Use in India and
Nepal” dalam Politics and Society, 294: 485-514.
Agrawal, A dan J. Ribot. 1999. “Accountability in Decentralization:
A Framework with South Asian and West African Cases” dalam
Daftar Pustaka 433

The Journal of Developing Areas, 33: 473-502.


Agrawal, B. 2001. “Participatory Exclusion, Community Forestry,
and Gender: An Analysis of South Asia and a Conceptual Work”
dalam World Development, 29: 1623-1648.
Alcorn, Janis B. 2001. “Good Governance, Indigenous Peoples, and
Biodiversity Conservation: Recommendations for Enhancing
Results Across Sectors” dalam WWF: 1-23.
Alrasjid, H. dan R. Effendi. 1979. Pengaruh Eksploitasi dengan
Traktor terhadap Kerusakan Tegakan Sisa di Kelompok Hutan
Hujan Tropis Pulau Pagai Selatan, Sumatra Barat, Laporan No.
293, Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.
Anderson, B. 1983. Imagined Communities: Reflection on the Origin
and Spread on Nationalism. London: Verso.
Anonim. 1974. The Sakuddei: Disappearing World. London:
Granada Film.
----. 1989. Seri Profil Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta:
Departemen Sosial.
----. 1990. Proposal kesekretariatan, Ippmen, Padang.
----. 1991. Siberut Report in Findings, March. Dokumen tidak
dipublikasikan.
----. 1993. Report of UNDP/UNESCO Consultancy and Study
Team for the Ecological Anthropological Development in the
Mentawai Society in Siberut Island, UNDP/UNESCO, Jakarta.
Draft.
----. 1995. Siberut National Park Integrated Conservation and
Development Management Plan 1995-2020, Volume II:
Action Plan for Conservation and Development, Chemonics
International bekerjasama dengan PT. Indeco Duta Utama dan
PT. Nadya Karsa Amerta untuk Dirjen Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan, Republik Indonesia,
Jakarta.
----. 1996. Pemberdayaan masyarakat terasing di Indonesia,
Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Departemen Sosial,
Jakarta.
----. 2001. Perhimpunan Peraturan Daerah Kepulauan Mentawai
Tahun 2004, Bagian Hukum, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Tidak dipublikasikan.
----. 2003. Studi Revitalisasi Koperasi, Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi (Deperindagkop) Pemerintah Daerah
434 Berebut Hutan Siberut

Kepulauan Mentawai. Tidak dipublikasikan.


----. 2004. Fakta Kerusakan Lingkungan dan Dampak Sosial
Akibat Aktivitas HPH KAM dan IPK di Siberut Utara, Laporan
Investigasi Bersama AMA-PM, Walhi dan YCM YCM. Tidak
dipublikasikan.
----. 2005a. Laporan Akhir Tim Terpadu dalam Rangka Pengkajian
Pengelolaan Hutan Produksi di Pulau Siberut, Kepulauan
Mentawai, Propinsi Sumatra Barat, Laporan disiapkan untuk
Departemen Kehutanan, Jakarta.
----. 2005b. Sosialisasi Peraturan Pertanahan di Kabupaten
Mentawai. Tidak dipublikasikan.
----. 2005c. Laporan Tahunan Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil (PKAT) Tahun 2005, Dinas Sosial Sumatra Barat.
----. 2005d. Laporan Pengelolaan Tata Batas Taman Nasional
Siberut, Laporan internal. Tidak dipublikasikan.
----. 2006. Dokumentasi Hasil Kongres AMA-PM I, Yayasan Citra
Mandiri, Padang.
----. 2007. Laporan Ko-Manajemen Siberut, Laporan Internal Tim
Kolaboratif Manajemen (Ko-Manajemen).
----. 2008. Laporan Pansus Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat
Terasing (PKMT) Dusun Puro, Desa Muara Siberut, Kecamatan
Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, DPRD
Kepulauan Mentawai.
Asnan, G. 2006. Pemerintahan Sumatra Barat: Dari VOC hingga
Reformasi. Yogyakarta: Citra Pustaka.
----. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra. Yogyakarta:
Ombak.
Atmosoedarjo, S. 1969. Survey Kelompok Hutan Teluk Sarabua,
Pulau Siberut, Propinsi Sumatera Barat, Laporan No. 75,
Direktorat Perencanaan, Departemen Kehutanan, Bogor.
----. 1970. Survey Kelompok Hutan Siberut Utara, Propinsi
Sumatera Barat, Laporan No. 136, Direktorat Perencanaan,
Departemen Kehutanan, Bogor.
Ave, W. dan S. Sunito. 1990. Medical Plants of Siberut. Gland: WWF
International.
Bachriadi, D dan A. Lucas. 2002. “Hutan Milik Siapa? Upaya-upaya
Mewujudkan Forestry Land Reform di Kabupaten Wonosobo,
Jawa Tengah” dalam A. Lounela dan Y. R. Zakaria (peny.),
Berebut Tanah. Yogyakarta: Insist Press.
Daftar Pustaka 435

Badan Pusat Statistik Daerah (BPSD) Kepulauan Mentawai. 2007.


Statistik Kepulauan Mentawai 2002-2007. Muara Siberut:
Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Bakker, L. 2001. Tiele! Turis! The Social and Ethnic Impact of
Tourism in Siberut Mentawai, Tesis Master di Universitas
Leiden. Tidak diterbitkan.
Bakker, L. 2002. “These are My Feet! Local Culture and
International (E)Valuation: Mentawaian Object as Art or
Invention” dalam Indonesia and The Malay World, 30 (88): 336-
356.
Bappeda Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2001. Rencana
Pembangunan Tahunan Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun
Anggaran 2001.
Bappeda. 1985. “Kebijakan Pembangunan Kepulauan Mentawai”
dalam G. A. Persoon dan R. Schefold (peny.), Pulau Siberut:
Pembangunan Sosio-ekonomi, Kebudayaan Tradisional dan
Lingkungan Hidup. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Barber, C. V., N. C. Johnson, dan E. Hafild. 1994. Breaking the
Logjam: Obstacles to Forest Policy Reform in Indonesia and the
United States. Washington, DC: World Resources Institute.
Barber, C. V., S. Afif, dan A. Purnomo. 1997. Meluruskan Arah
Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.
Barber, C.V. 1989. State, People and the Environment: The Case of
Forests in Java, Disertasi di Universitas California, Berkeley.
Tidak dipublikasikan.
Barr, C., E.Wolenberg, G. Limberg, N. Anau, R. Iwan, M.
Sudana, M.M. Moliono dan T. Djogo. 2001. The impact of
decentralization on forest management and forest-dependent
communities in kabupaten Malinau, East Kalimantan, CIFOR.
Kertas kerja.
Becker, L. C. 2001. “Seeing Green in Mali`s Woods: Colonial Legacy,
Forest Use Local Control” dalam Annals of the Association of
American Geographers, 91: 504-526.
Bellwood, P. 1985. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago.
Orlando: Academic Press.
Benda-Beckmann, V. F dan V. K. Benda-Beckmann. 1999.
“Community-based Tenurial Right: Emancipation or Indirect
Rule” dalam K. von Benda-Beckmann dan H. Finkler (peny.),
436 Berebut Hutan Siberut

Folk Law and Legal Pluralism: Societies in Transformation,


Papers of the XIth International Congress, hal 169-187. Ottawa:
Commission on Folk Law and Legal Pluralism.
Benda-Beckmann, V. F. dan V. K. Benda-Beckmann. 2007.
“Identitas-identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-
komunitas Politik Minangkabau” dalam H. S. Nordholt dan G.
van Klinken, Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Berkes, F. 2005. “Co-manajemen: Menjembatani Dua Hal Terpisah”,
dalam Suporaharjo (peny.), Manajemen Kolaborasi: Memahami
Pluralisme Membangun Konsensus. Jakarta: Pustaka Latin.
Berry, S. 1993. No Condition is Permanent: The Social Dynamic of
Agrarian Change in Sub-Saharan Africa. Madison: University of
Wisconsin Press.
Blaikie, P. 1985. The Political Economy of Soil Erosion in Developing
Countries. London: Longman.
----. 1995. “Changing Environmental or Changing View: A Political
Ecology for Developing Countries” dalam Geography, 80 (3):
203-2l4.
Blaikie, P. dan H. Brookfield. 1987. Land Degradation and Society.
London: Methuen.
Borrini-Feyerabend, G. 1996. Collaborative Management of
Protected Areas: Tailoring the Approach to the Context. Gland:
Issues in Social Policy, IUCN.
Bourchier, D 2007. Pancasila versi Orde Baru dan Asal Muasal
Negara Organis (Integralistik). Yogyakarta: Aditya Media.
Breman, J. 1980. The Village on Java and the Early-colonial State.
Rotterdam: Comparative Asian Studies Programme.
----. 1988. The Shattered Image: Construction and Deconstruction
of the Village in Colonial Asia. Dordrecht: Forish Publication.
Brosius, P. J. 1999. “Green Dots, Pink Heart: Displacing Politics from
the Malaysian Rain Forest” dalam American Anthropologist,
101: 36-57.
----. 2007. “Prior Transcript, Divergent Path: Resistance and
Acquiscence to Logging in Sarawak, East Malaysia” dalam
Peter Sercombedan B. Sellato (peny.), Beyond the Green
Myth: Borneos Hunter Gatherer in the Twenty-first Century.
Copenhagen: Nias Press.
Daftar Pustaka 437

Brosius, P. J., A. Tsing, dan C. Zerner. 1998. “Representing


Communities: History and Politics of Community-based
Resources Management” dalam Society and Natural Resources,
11: 157-168.
Brotoisworo, E. 1985. “Beberapa Aspek Ekologi Manusia di
Mentawai” dalam G. A. Persoon dan R. Schefold (peny.),
Pulau Siberut: Pembangunan Sosio-ekonomi, Kebudayaan
Tradisional, dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Bhratara Karya
Aksara.
Bruntland, G. (peny.). 1987. Our Common Future: The World
Commission on Environment and Development. Oxford: Oxford
University Press.
Bryant, R. L. 1998. “Power, Knowledge and Political Ecology in the
Third World: A Review” dalam Progress in Physical Geography,
22 (1): 79-94.
Burman, R. B. K. 1995. ‘Indigenous’ and ‘Tribal’ Peoples and the
U.N. and International Agencies, Paper No. 27, Rajiv Gandhi
Foundation, New Delhi.
Burns, P. 1989. “The Myth of Adat” dalam Journal of Legal
Pluralism, 28: 1-27.
----. 1999. The Leiden Legacy: Concept Law in Indonesia. Jakarta:
Pradnya Pramita.
Caldecott, J. 1996. Designing Conservation Projects. Cambridge:
Cambridge University Press.
Carniero, R. L. 1979. “Tree Felling with a Stone Ax: An Experiment
Carried Out among the Yanomano Indians of Southern
Venezuela” dalam J. Kramer (peny.), Ethnoarchaeology:
Implications of Ethnography for Archaeology. New York:
Columbia University Press.
Casson, A. 2001. Decentralisation of Policies Affecting Forest and
Estate Crops in Kutai Barat District, East Kalimantan, Center
for International Forest Research, Bogor.
Casson, A. dan K. Obidzinsky. 2002. “From New Order to Regional
Autonomy: Shifting Dynamic of ‘Illegal’ Logging in Kalimantan,
Indonesia” dalam World Development, 30: 2133-2151.
CEPF. 2006. Annual Report. Washington: CEPF.
Christanty, L., R. Atje, dan K. Roesad. 2004. Decentralization and
the Forestry Sector: Opportunities and Challenges, Economics
Working Paper Series. Jakarta: CSIS.
438 Berebut Hutan Siberut

Clapham, C. 2002. “The Challenge to the State in a Globalized


World” dalam Development and Change, 33 (5): 775-795.
Cohen, M. 1992. “An Island’s Grass Roots Try to Save a Rain Forest”
dalam Businesweek Edisi 28 Desember 1992.
Colchester, M. 1986. “Unity and Diversity: Indonesia’s Policy toward
Tribal Peoples” dalam The Ecologist, 16 (2-3): 89-110.
Conklin, B. dan L. Graham. 1995. “The Shifting Middle Ground:
Amazonian Indians and Eco-politics” dalam American
Anthropologist, 97: 695-710.
Conklin, H. C. 1967. Hanuonoo Agriculture: A Report on an Integral
System of Shifting Cultivation in the Philippines, FAO, Roma.
Conservation International Indonesia (CII). 2002. Conservation
Concession, a Case Study from Siberut Island, Technical Report,
Jakarta.
----. 2004. Proposal Kolaborasi Pengelolaan Konservasi di Siberut
Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera
Barat. Dokumen tidak dipublikasikan.
Coronese, S. 1985. “Penyadaran Etnis (Kesukuan) Orang Mentawai”
dalam G. A. Persoon dan R. Schefold (peny.), Pulau Siberut:
Pembangunan Sosio-ekonomi, Kebudayaan Tradisional, dan
Lingkungan Hidup. Jakarta: Bhratara Karya Aksara..
----. 1986. Kebudayaan Suku Mentawai. Jakarta: Grafidian Jaya.
Darmanto & Tim Ko-Manajemen. 2005. Membangun Kemitraan
Lokal: Studi Kasus 5 Dusun di Siberut Skema Kolaboratif
Manajemen, Ko-Manajemen Siberut, Policy Paper. Tidak
dipublikasikan.
Darmanto. 2004. Laporan Pengamatan dan Evaluasi 3 Bulan
Pertama Manajer Ko-Manajemen, Laporan internal. Tidak
dipublikasikan.
----. 2005. “Krisis Klaim Kepemilikan Hutan di Pulau Siberut”
dalam Wacana, VI (20): 157-182.
----. 2006. “Studi Ekologi Perladangan Hutan Tradisional
Masyarakat Mentawai (Pumonean) di Pulau Siberut, Sumatra
Barat” dalam H. Soedjito (peny.), Kearifan Tradisional dan
Cagar Biosfer di Indonesia: Prosiding MAB 2005 untuk Peneliti
Muda dan Praktisi Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Komite
Nasional MAB Indonesia-LIPI.
----. 2007. “Pandangan tentang Hutan, Tempat Keramat dan
Perubahan Sosial di Pulau Siberut, Sumatra Barat”, Paper
Daftar Pustaka 439

dipresentasikan dalam lokakarya Situs Keramat Alami: Peran


Budaya dalam Konservasi Kanekaragaman Hayati yang
diselenggarakan LIPI dan UNESCO di Cibodas, 29-31 Oktober.
----. 2008a. “Booming Coklat Siberut” dalam Puailiggoubat,
November–Desember: 158-161.
----. 2008b. Perubahan Sosial, Kontradiksi Kebijakan, dan Penilaian
Ulang Nilai Hutan: Transformasi Pengetahuan akan Hutan
Masyarakat Mentawai di Pulau Siberut, www.infosumatra.org.
----. 2009. “Pandangan tentang Hutan, Tempat Keramat dan
Perubahan Sosial di Pulau Siberut, Sumatra Barat” dalam H. Y.
Soedjito, Purwanto, dan E. Sukara (peny.), Situs Keramat Alami:
Peran Budaya dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Jakarta: Yayasan Obor.
----. 2010a. “Tuan Takur dan Tuan Tekor: Prospek Perubahan
Penguasaam dan Sistem Kepemilikan Tanah di Pulau Siberut,
Sumatra Barat” dalam International Workshop on Agrarian
Transition in Indonesia: Reformulating a Relevant Question and
Its Answer. Yogyakarta: University Club Hotel, 21-24 Juni.
----. 2010b. Resettlement, Masalah Tanah dan Negara:
Pembelajaran dari Proyek PKMT di Siberut, Indonesia. Paper
tidak dipublikasikan.
Dauvergne, P. 1998. “Environmental Insecurity, Forest Management,
and State Responses in South East Asia” dalam Environmental
Conservation, 25 (1): 30-36.
Davidson, J. 2010. “Budaya dan Hak dalam Kekerasan Etnis” dalam
Davidson, J., D. Henley, dan S. Moniaga (peny.), Adat dalam
Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.
Departemen Kehutanan. 1992. Kajian terhadap Pembangunan
dan Pengembangan Pulau Siberut, Sumatra Utara di Bidang
Kehutanan. Dokumen tidak dipublikasikan.
Djogo, T. dkk. 2006. Report of an Assessment of Collaborative
Management (Co-management) of Siberut National Park
(Taman Nasional Siberut). Dokumen tidak dipublikasikan
Dove, M. R. 1985. Sistem Perladangan di Indonesia: Suatu Studi
Kasus dari Kalimantan Barat. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
----. 1988. “Peranan Kebudayaan Tradisional dalam Pembangunan”
dalam M. R. Dove (peny.), Peranan Kebudayaan Tradisional
dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
440 Berebut Hutan Siberut

----. 1993. “A Revisionist View of Tropical Deforestation and


Development” dalam Environmental Conservation, 20: 17-24,
56.
DTE (Down to Earth). 1999a. “AMAN: Suara Baru Masyarakat Adat
Indonesia” dalam Down to Earth No. 41 (Mei). Versi elektronik,
diunduh melalui www.downtoearth-indonesia.or.id.
----. 1999b. “Logging and Palm Oil Treat to Siberut” dalam Down to
Earth No. 42 (Agustus). Versi elektronik, diunduh melalui www.
downtoearth-indonesia.or.id.
----. 2000. “Perusahaan Kayu Berebut Menggunduli Siberut” dalam
Down to Earth No. 44 (Februari). Versi elektronik, diunduh
melalui www.downtoearth-indonesia.or.id.
----. 2001. “Business as Usual in the Mentawai” dalam Down to
Earth No. 50 (Agustus). Versi elektronik, diunduh melalui www.
downtoearth-indonesia.or.id.
----. 2003. “Hentikan Penebangan Sekarang Juga” dalam Down to
Earth No. 56 (Februari). Versi elektronik, diunduh melalui www.
downtoearth-indonesia.or.id.
Eindhoven, M. 2002. “Translation and Authenticity in Mentawaian
Activism” dalam Indonesia and the Malay World, 30 (88): 356-
367.
----. 2007. “Penjajah Baru? Identitas, Representasi dan
Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde-Baru” dalam
H. S. Nordholt dan G. van Klinken (peny.), Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ellen, R. 2002. “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan:
Ketidakpastian Politik, Sejarah Ekologi dan Renegoisasi
terhadap Alam di Seram Tengah” dalam T. M. Li (peny.), Proses
Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan
obor Indonesia.
Ellen, R. dan K. Fukui (ed.). 1998. Redefining Culture: Ecology,
Culture and Domestication. Oxford: Berg.
Erb, M., P. Sulistiyanto, dan C. Faucher (peny.). 2005. Regionalism
in Post-Suharto Indonesia. London dan New York: Routledge
Curzon.
Erb, M., R. Beni, dan W. Anggal. 2005. “Creating Cultural Identity in
An Era Regional Autonomy, Reinventing Manggarai?” dalam M.
Erb, P. Sulistiyanto, dan C. Faucher (peny.), Regionalism in Post-
Suharto Indonesia. London dan New York: Routledge Curzon.
Daftar Pustaka 441

Escobar, A. 1996. “Constructing Nature: Element for a Poststructural


Political Ecology” dalam R. Peet dan M. Watts (peny.), Liberation
Ecologies: Environment, Development, Social Movement.
London: Routledge.
----. 1998. “Whose Knowledge, Whose Nature? Biodiversity,
Conservation and the Political Ecology of Social Movements”
dalam Journal of Political Ecology, 5: 53-82.
Evers, J. P. 1995. “Recognizing Traditional Land Right in Indonesia”
dalam Ekonesia, 3: 21-42.
Fay, C dan M. Sirait. 2003. “Mereformasi Para Reformis di Indonesia
Pasca-Soeharto” dalam I. A. P. Resosudarmo dan C. J. P. Colfer
(peny.), Ke Mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan
Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Finger-Stich, A dan M. Finger. 2003. State versus Participation:
Natural Resources Management in Europe, International
Institut for Environment and Development (IIED) dan Institute
for Development Studies (IDS), London & Brighton, UK.
Fitzpatrick, D. 2010. “Tanah, Adat, dan Negara Pasca-Soeharto:
Perspektif Seorang Ahli Hukum Asing” dalam J. Davidson, D. H,
dan S. Moniaga, Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor.
Forrestier, H., D. Driwantoro, T. Simanjuntak, dan D. Gauillaud.
2006. “Archaelogy of the Rainforest Siberut (Mentawai
Archipelago, West Sumatra): Paradox of Lithic and Vegetal
Technology of Past and Present Times” dalam T. I. H. E.
Simanjuntak, Pojoh, dan M Hisyam (peny.), Austronesian
Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian
Archipelago, Proceeding of the International Symposium.
Jakarta: LIPI Press.
Fortmann, L. 1995. “Talking Claims: Discursive Strategies in
Contesting Property” dalam World Development, 23 (6): 1053-
1063.
Foucault, M. 1980. Power/Knowledge: Selected Interview and Other
Writing (1972-1977). London: Harvester Press
Gautama, S dan B. Harsono. 1972. Agrarian Law and Legislation—
Indonesia. Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi Universitas Padjajaran.
Goeltenboth, F. dan K. H. Timotius. 1996. “Impact of Rainforest
442 Berebut Hutan Siberut

Destruction—the Siberut Island Case, Sumatra, Indonesia”


dalam D.S. Edwards (peny.), Tropical Rainforest Research—
Current Issues. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Gray, B. 2003a. “Framing in Environmental Dispute” dalam R.
J. Lewinski, B. Gray, dan M. Elliot (peny.), Making Sense of
Intractable Environmental Conflicts. Washington: Island Press.
----. 2003b. “Freeze Framing: the Timeless Dialogue of Intractability
Surrounding Voyageur National Park” dalam R. J. Lewinski,
B. Gray, dan M. Elliot (peny.), Making Sense of Intractable
Environmental Conflicts. Washington: Island Press.
Grifith, J. 1986. “What is Legal Pluralism” dalam Journal of Legal
Pluralism and Unofficial Law, 24: 1-56.
Guha, R. 1997. “The Authoritarian Biologist and the Arrogance of
Anti-humanism: Wildlife Conservation in the Third World”
dalam The Ecologist, 27:14-20.
Hanbury-Tenison, R. 1974. “Last Chance for the Handsome
Mentawaians” dalam Geography Magazine, Maret: 277-281.
----. 1975. A Pattern of Peoples: A Journey among Tribes of
Indonesia’s Outer Islands. London: Angus and Robertson.
Hardjono, J. (peny.). 1990. Indonesia: Resources, Ecology and
Environment. Singapore: Oxford University Press.
Hardjono, J. 1990. “The Dimension of Indonesia’s Environmental
Problems” dalam J. Hardjono (peny.), Indonesia: Resources,
Ecology and Environment. Singapore: Oxford University Press.
Hart, G., A. Turton, dan B. White. 1989. Agrarian Transformations:
Local Processes and the States in Southeast Asia. Berkeley:
University of California Press.
Hernawati, T. 2007. Uma: Fenomena Keterkaitan Manusia dengan
Alam. Padang: Yayasan Citra Mandiri.
Hobsbawm, E dan T. Ranger (peny.). 1992. The Invention of
Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.
Hunt, S., R. D. Benford, dan D. A. Snow. 1994. “Identity Fields:
Framing Processes and the Social Construction of Movement
Identities” dalam E. Larana, H. Johnston, dan J. R. Gusfield
(peny.), New Social Movement: From Ideology to Identity.
Philadelphia: Temple University Press.
ICW. 1999. Suharto Tak Punya Tanah dalam http://www.listserv.
dfn.de/cgi-bin/wa? diunduh pada 14 November 2005.
ILO. 1957. The Indigenous and Tribal Populations Convention No.
Daftar Pustaka 443

107, ILO.
----. 1989. The Indigenous and Tribal Peoples Convention No. 169,
ILO.
INFORM. 2004. Luka Hutan Siberut. Jakarta: INFORM.
Jepson, P. 2001. Biodiversity and Protected Area Policy: Why is
It Failing in Indonesia? Thesis di University of Oxford. Tidak
dipublikasikan.
Jepson, P. dan R. J. Whittaker. 2002. “Histories of Protected
Areas: Internationalization of Conservationist Values and
Their Adoption in the Netherlands Indies Indonesia” dalam
Environment and History, 8:129-172.
Kahn, J. S. 1993. Constituting the Minangkabau: Peasant, Culture
and Modernity in Colonial Indonesia. Berg: Providence.
----. 2002. “Membudayakan Daerah Pedalaman Indonesia” dalam
T. M. Li (peny.), Proses Transformasi Daerah Pedalaman di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kaimowitz, D., C. Vallejos, P. Pacheco, dan R. Lopez. 1998.
“Municipal Governments and Forest Management in Lowland
Bolivia” dalam Journal of Environment and Development, 71:
45-59.
KMSPM. 2005. Illegal Logging & Korupsi Berkedok Izin
Pemanfaatan Kayu (IPK) dari Bupati Kabupaten Kepulauan
Mentawai, Lembar Fakta dan Opini Hukum. Dokumen internal
tidak dipublikasikan.
Koentjaraningrat (peny.). 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
Kompas. 1981. “Status Baru untuk Siberut” dalam Kompas, 18
Desember.
----. 2001. “Menteri Terbitkan LGC untuk Unand” dalam Kompas, 27
April.
----. 2003. “Depdagri Menilai 7000 Perda Tidak Layak dalam
Kompas, 14 Agustus.
Kruyt, A. 1979. Suatu Kunjungan ke Kepulauan Mentawai. Jakarta:
Yayasan Idayu.
Larsen, S. C. 2003. “Promoting Aboriginal Territoriality through
Interethnic Alliance: The Case of the Cheslatta T`en in Northern
British Columbia” dalam Human Organization, 621: 74-84.
Larson. A.M. dan J. Ribot. 2007. “The Poverty of Forestry
Policy: Double Standards on an Uneven Playing Feld” dalam
444 Berebut Hutan Siberut

Sustainibility Science, 2 (2): 1-14.


Leach, M., R. Mearns, & I. Scoones. 1999. “Environmental
Entitlements: Dynamics and Institutions in Community-based
Natural Resources Management” dalam World Development, 27
(2): 225-247.
Lelievre, O. 1994. Mentawai: La Foret de Esprit. Paris: Anako
Publication.
Li, T. M. 1996. “Images of Community: Discourse and Strategy in
Property Relations” dalam Development and Change, 27 (3):
501-527.
----. 2000. “Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource
Politic and Tribal Slot” dalam Comparative Study of Society and
History, 42(1): 149-179.
----. 2001. “Masyarakat Adat, Difference, and the Limits of
Recognition in Indonesia’s Forest Zone” dalam Modern Asian
Studies, 35 (3): 645-676.
----. 2002a. “Engaging Simplification: Community-based Resource
Management, Market Processes and State Agendas in Upland
Southeast Asia” dalam World Development, 30: 265-283.
----. 2002b. “Keterpinggiran, Kekuasaan, dan Produksi: Analisis
terhadap Transformasi Daerah Pedalaman” dalam T. M. Li,
(peny.), Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
----. (peny.). 2002c. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
----. 2007. The Will to Improve: Governmentality, Development,
and the Practice of Politics. Durham: Duke University Press
----. 2010. “Adat di Sulawesi Tengah: Penerapan Kontemporer”
dalam J. Davidson, D. Henley, dan S. Moniaga. (peny.)., Adat
dalam Politik Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta.
Lindsay, C. 1992. Mentawai Shaman: Keeper of the Rainforest. New
York: Aperture.
LIPI. 1995. Laporan Akhir: Proyek Survey dan Pemetaan Sumber
Daya Alam Terpadu Pulau Siberut, Kerjasama Puslitbang
Biologi LIPI dengan PT. Citra Permata Eka Pratama.
Loeb, E. 1972. Sumatra: Its History and Peoples. Singapore: Oxford
University Press.
Lowry, K. 2002. Decentralized Coastal Management: Inter Coast
Network, Narragansett, Rhode Island. Rhode Island: Coastal
Daftar Pustaka 445

Resource Center, University of Rhode Island.


Lynch, O. J dan K. Talbott. 1995. Balancing Acts: Community Based
Forest Management and National Law in Asia and the Pacific.
Washington, DC: World Resources Institute.
MAIL. 2005. Illegal Logging dan Korupsi Berkedok IPK di Kab.
Kep. Mentawai, Lembar Fakta Laporan Investigasi Masyarakat
Anti Illegal Logging. Dokumen internal tidak dipublikasikan.
----. 2005. Telaah Historis Masalah Pulau Siberut: Perbandingan
Hasil Tim Terpadu Tahun 1992 dan Tahun 2004. Dokumen
internal tidak dipublikasikan.
Marsden, W. 1966. The History of Sumatra: Containing an Account
of the Government, Laws, Custom and Manners of the Native
Inhabitants. London: McCreery.
----. 2008. Sejarah Sumatera. Jakarta: Komunitas Bambu.
McAdam, D. 1999. Political Process and the Development of Black
Insurgency, 1930-1970. Chicago: University of Chicago Press.
McArthur, R.H dan Wilson. E.H. 1967. The Theory of Island
Biogeography. Princeton: Princeton University Press.
McCarthy, J. D dan M. N. Zald. 1987. “Professionalization and
Resource Mobilization” dalam Mayer N. Zald, John D. McCarthy,
Social Movements in an Organizational Society: Collected
Essays. New Jersey: Transaction Publishers.
McCarthy, J. F. 2000a. “The Changing Regime: Forest Property and
Reformasi in Indonesia.” dalam Development and Change, 31 (1):
91-129.
----. 2000b. “Wild Logging: The Rise and Fall of Logging Networks
and Biodiversity Conservation Projects on Sumatra`s Rainforest
Frontier” dalam Occasional Paper 31, CIFOR.
----. 2002. Turning in Cycles: District Governance, Illegal Logging
and Environmental Decline in Sumatra, Indonesia” dalam
Society and Natural Resources 15: 867-886.
----. 2004. “Changing to Gray: Decentralization and the Emergence
of Volatile Socio-legal Configurations in Central Kalimantan,
Indonesia” dalam World Development, 32 (7): 1199-1223.
----. 2007. “Dijual ke Hilir: Merundingkan Kembali Kekuasaan
Publik atas Alam di Kalimantan Tengah” dalam H. S. Nordholt
dan G. van Klinken (peny.), Politik Lokal di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
McCay, B. J dan S. Jentoft. 1998. “Market or Community Failure?
446 Berebut Hutan Siberut

Critical Perspectives on Common Property Research” dalam


Human Organization, 57 (1): 21-29.
McDermott, M. 2000. Boundaries and Pathways: Indigenous
Identities, Ancestral Domain, and Forest Use in Palawan, the
Philippines, Paper dipresentasikan dalam pertemuan IASCP,
Bloomington, IN, 31 Mei-4 Juni.
----. 2001. Boundaries and Pathways: Indigenous Identity,
Ancestral Domain, and Forest Use in Palawan, the
Philippines, Disertasi di Universitas California, Berkeley. Tidak
dipublikasikan.
McNeely, J. A. 1978. “Siberut, Conservation of Indonesia’s Island
Paradise” dalam Tiger Paper, 5 (2): 16-19.
----. 1979. “Siberut: Island Paradise for Wildlife and People” dalam
Oryx, V (2): 159-165.
Melucci, A. 1995. “The Process of Collective Identity” dalam
H. Johnston dan B. Kladermans (peny.), Social Movement
and Culture: Social Movements, Protests and Contention.
Minneapolis: University of Minnesota Press.
Meyers, K. J. M. 2001. “Local Customs as the Platform for
Sustainable Development” dalam Prosiding Lokakarya
Masyarakat Adat dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta:
Departemen Kehakiman dan HAM RI.
----. 2003a. The Changing of Cultural and Ecological Roles of
Siberut People in the Management and Conservation of Their
Natural Resources, Tesis di Faculty of Fine Art, the National
Higher Institute of Fine Arts in Antwerp, Antwerp. Tidak
Dipublikasikan.
----. 2003b. “Building Partnership with Local Community: An
Initiative Step torward Adaptive and Collaborative Management
of Siberut Biosphere Reserve (A Case Study of Five Sub-village
in South Siberut, Indonesia)”, dalam Building on Lessons
from the Field: Protected Area Management Experiences in
Southeast Asia: Proceedings of the IUCN [International Union
for the Conservation of Nature and Natural Resources] – World
Commission on Protected Areas, Department of Environment
and Natural Resources, Quezon City (Philippines).
Michon, G. 2005. Domesticating Forests: How Farmers Manage
Forest Resources. Bogor: IRD, CIFOR, dan ICRAFT.
Mimbar Minang, Edisi 20 Mei 2001.
Daftar Pustaka 447

Mimbar Minang, Edisi 23 Mei 2001.


Mimbar Minang, Edisi 26 Mei 2000.
Mitchell. 1982. Siberut Nature Conservation Area: Management
Plan 1983-1988. Bogor: WWF/IUCN.
Mittermeier, R. 2007. “Menemukan Kembali Galapagos Asia” dalam
Tropica, 10(1): 32-33.
Moeliono, M. 2002. “Adat and Globalization: Living Apart Together”,
Paper disampaikan dalam International Association for Study
of Common Property, 9th Biennial Conference, Victoria Falls,
Zimbabwe.
----. 2005. Draft: Decentralization and the Rise of a District Timber
Regime. Dokumen tidak dipublikasikan
Moniaga, S. 1993. “Toward Community Based Forestry and
Recognition of Adat Property Rights in the Outer Island of
Indonesia” dalam J. Fox (peny.), Legal Frameworks for Forest
Management in Asia: Case Studies of Community/State
Relation. Honolulu: East West Center.
Munawar, R. 2004. “Cagar Biosfer Pulau Siberut” dalam H. Soedjito
(peny.), Panduan Cagar Biosfer di Indonesia. Jakarta: Panitia
Nasional MAB Indonesia, LIPI.
Niezen, R. 2003. The Origin of Indigenism: Human Rights and the
Politic of Identity. California: University of California Press.
Nooy-Palm, H. 1968. “The Culture of the Pagai-Islands and Sipora,
Mentawei” dalam Tropical Man, 1: 152-241.
Nurhayanti, T. 1990. “Siberut in the Grip of Gaharu Fever” dalam
Voice of Nature, 78(2): 9-14.
Nurhayati, T. 1990. “What is Gaharu?” dalam Voice of Nature, 78(2):
8.
Obidzinsky, K. 2004. “Illegal Logging and the Fate of Indonesia`s
Forests in Times of Regional Autonomy”, Paper dipresentasikan
pada The International Association for the Study of Common
Property IASCP, Oaxaca, Mexico, 9-13 Agustus.
Peet, R dan M. Watt. 2004. Liberation Ecologies: Environment,
Development, Social Movement. London: Routledge.
Peluso, N. L dan M. Watts. 2001. Violent Environments. Ithaca:
Cornell University Press.
Peluso, N. L. 1992a. Rich Forest Poor People: Resources Control and
Resistance in Java. Berkeley: University of California Press.
----. 1992b. “The Political Ecology of Extraction and Extractive
448 Berebut Hutan Siberut

Reserve in East Kalimantan” dalam Development and Change,


23 (4): 49-74.
----. 1995. “Whose Woods are These? Countermapping Forest
Territories in Kalimantan, Indonesia” dalam Antipode, 27(4):
383-406.
----. 2005. “Seeing Property in Land Use: Local Territorialization
in West Kalimantan Indonesia” dalam Geografisk Tidsskrift,
Danish Journal of Geography, 105 (1): 1-15.
----. 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya
Alam dan Perlawanan di Jawa. Jakarta: KONPALHINDO.
Pemberton, J. 1994. The Subject of ‘Java’. New Jersey: Princeton
University Press.
Perbatakusuma, E., H. Rico, T. Kristiastomo, R.K. Taufik, dan S.A.
Proklamasi. 2002. Inventarisasi Cadangan Kayu Komersial
dan Potensi Dampak Sosio-biofisik Pembalakan Hutan pada
Areal Pencadangan HPHA PT Salaki Summa Sejahtera di Pulau
Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai, Laporan Final, Peace
Work.
Persoon, G. A dan H. H. van Beek. 1998. “Uninvited Guest:
Tourist and Environment on Siberut” dalam V. King (peny.),
Enviromental Challenge in Southeast Asia. London: Curzon.
Persoon, G. A dan M. Osseweijer. 2002. “Insularity as a Cultural
Variable? The Island Societies of the West Coast Sumatra” dalam
Indonesia and the Malay World, 30 (88): 225-237.
Persoon, G. A dan R. Schefold (peny.). 1985. Pulau Siberut:
Pembangunan Sosio-Ekonomi, Kebudayaan Tradisional dan
Lingkungan Hidup. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Persoon, G. A. 1987. “Pemimpin Lokal di Siberut: Sebuah Kreasi
yang Belum Sempurna” dalam P.Q. van Ufford (peny.), Pemimpin
Lokal dan Implementasi Program Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
----. 1995. Special Report Sociology/Anthropology Specialist in
Siberut Project Site, Dokumen untuk Departemen Kehutanan
Indonesia.
----. 1997. “Defining Wildness and Wilderness: Minangkabau Images
and Actions on Siberut West Sumatra” dalam APFT Working
Paper 3, November.
----. 2001. “The Management of Wild and Domesticated Forest
Resources in Siberut, West Sumatra” dalam Jurnal Antropologi
Daftar Pustaka 449

Indonesia, 64: 69-83.


----. 2002. “Isolated Islanders or Indigenous People: The Politic
Discourse and Its Effects on Siberut Mentawai Archipelago,
West-Sumatra” dalam Jurnal Anthropologi Indonesia, 68: 25-39.
----. 2003. “Conflict over Trees and Waves on Siberut Island” dalam
Geografiska Annales, 85: 253-264.
Persoon, G. A., T. Minter, B. Slee, dan C. van der Hammen. 2004.
The Position of Indigenous Peoples in the Management of
Tropical Forest. Wageningen: Tropenbos International.
Potter, L. M. 1997. “A Forest Product out of Control: Gutta Percha
in Indonesia and the Wider Malay World 1845-1915” dalam
P. Boomgaard, F. Colombijn, dan D. Henley (ed.), Paper
Landscapes: Exploration in the Environmental History of
Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Puailiggoubat. 2001. No. 2, diambil dari www.mentawai.org pada 12
September 2005.
Puailiggoubat. 2001. No. 3, diambil dari www.mentawai.org pada 12
September 2005.
Puailiggoubat. 2002. No. 10. Edisi September.
Puailiggoubat. 2002. No. 12. Edisi November.
Puailiggoubat. 2002. No. 2. Edisi Januari.
Puailiggoubat. 2002. No. 3. Edisi Februari.
Puailiggoubat. 2002. No. 4. Edisi Maret.
Puailiggoubat. 2002. No. 5. Edisi Maret.
Puailiggoubat. 2002. No. 6. Edisi Mei.
Puailiggoubat. 2002. No. 7. Edisi Juni.
Puailiggoubat. 2003. No. 15. Edisi 1-15 Januari.
Puailiggoubat. 2003. No. 16. Edisi 16-31 Januari.
Puailiggoubat. 2003. No. 19. Edisi 1-15 Maret.
Puailiggoubat. 2003. No. 27. Edisi 1-15 Juli.
Puailiggoubat. 2003. No. 29. Edisi 1-15 Agustus.
Puailiggoubat. 2003. No. 33. Edisi 1-15 Oktober.
Puailiggoubat. 2004. No. 40, Edisi 15-31 Januari.
Puailiggoubat. 2004. No. 42, Edisi 16-28 Februari.
Puailiggoubat. 2004. No. 43, Edisi 1-14 Maret.
Puailiggoubat. 2004. No. 47, Edisi 1-14 Mei.
Puailiggoubat. 2004. No. 50, Edisi 16-30 Juni.
Puailiggoubat. 2004. No. 53, Edisi 1-14 Agustus.
Puailiggoubat. 2004. No. 59, Edisi 1-14 Desember.
450 Berebut Hutan Siberut

Puailiggoubat. 2004. No. 60, Edisi 15-31 Desember.


Puailiggoubat. 2005. No. 69, Edisi 1-15 Mei.
Puailiggoubat. 2006. No. 92, Edisi 1-15 April.
Rahman, M. 1985. “Kemungkinan-kemungkinan Penelitian
yang Dapat Dilakukan oleh Universitas Andalas melalui
Dikembangkannya Suatu Cagar Biosfer dan Pusat Penelitian
MAB di Siberut” dalam Persoon, G. A dan R. Schefold (peny.),
Pulau Siberut: Pembangunan Sosio-ekonomi, Kebudayaan
Tradisional, dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Bhratara Karya
Aksara.
Ramirez, R. 2005. “Memahami Pendekatan-pendekatan Kolaborasi:
Usaha Mengakomodasi Kepentingan Multistakeholder” dalam
Suporaharjo (peny.), Manajemen Kolaborasi: Memahami
Pluralisme Membangun Konsensus. Jakarta: Pustaka Latin.
Rangan, H. 1995. “Contested Boundaries: State Policies, Forest
Classifications, and Deforestation in the Garhwal Himalaya”
dalam Antipode, 27(4): 343-362.
Redford, K. 1990. “The Ecologically Noble Savage” dalam Orion
Nature Quarterly, 9 (3): 25-29.
Reeves, G. 2004a. Historical Background: History and Prehistory
of the Mentawai Islands, diunduh dari http://www.mentawai.
org/otda.htm pada 4 Desember 2004.
----. 2004b. History and ‘Mentawai’: Colonialism Scholarship and
Identity in the Rereiket, West Indonesia, diunduh dari http://
www.mentawai.org/ pada 4 Desember 2004.
----. 2004c. Mentawai in Global Context 2: Globalization, Regional
Autonomy, and the Innervation of Local Political Process in the
Mentawai Islands, diunduh dari http://www.mentawai.org/
otda.htm pada 4 Desember 2004.
Resosudarmo, I. A. P dan C. J. P. Colfer (peny.). 2003. Ke Mana
Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan
Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Resosudarmo, I. A. P. 2002. Closer to People and Trees: Will
Decentralization Work for the People and the Forest in
Indonesia. Washington, DC: World Resources Institute.
Ribot, J. C. 1998. “Theorizing Access: Forest Profit along Senegal’s
Charcoal Commodity Chain” dalam Development and Change,
29: 307-341.
----. 2002. Democratic Decentralization of Natural Resource
Daftar Pustaka 451

Management: Institutionalizing Popular Participation.


Washington DC: World Resource Institute.
----. 2003. “Democratic Decentralization of Natural Resources:
Institutional Choice and Discretionary Power Transfers in Sub
Saharan Africa” dalam Public Administration and Development,
23: 53-65.
Ribot, J. C. dan N. L. Peluso. 2003. “A Theory of Access” dalam
Rural Sociological Society, 68: 153-181.
Ricklefs, M. 1981. A History of Modern Indonesia. London:
Macmillan.
Ross, M. S. 1984. Forestry in Land Use Policy for Indonesia,
Disertasi di Universitas Oxford, Oxford. Tidak dipublikasikan.
Ruddle, K. 1992. Report of a UNDP/UNESCO Consultancy and
Study Team for the Ecological Anthropological Development of
Mentawai Society in Siberut Island, UNESCO Jakarta Office,
Jakarta.
Rudito, B. 1993. “Masyarakat Mentawai di Sebelah Barat Sumatra”
dalam Koentjaraningrat (peny.), Masyarakat Terasing di
Indonesia. Jakarta: Gramedia.
----. 1999. Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai.
Padang: Laboratorium Anthropologi Mentawai.
Ruf, F dan Yoddang. 1999. “The Sulawesi Cocoa Boom and Its
Crises” dalam Plantations, Recherche, Developpement, Juli:
248-253
S.O.S. 1991. “Siberut up-dates” dalam Save Our Siberut, 16
September.
Sabeleake, K. 2002. “Sumpah Pemimpin Mentawai” dalam
Puailiggoubat, September.
Safitri, M. A. 1995. “Hak dan Akses Masyarakat Lokal pada Sumber
Daya Hutan: Kajian Peraturan Perundang-undangan Indonesia”
dalam Ekonesia, 3: 43-60.
----. 1999. Desa, Institusi Lokal dan Pengelolaan Hutan: Refleksi
Kebijakan dan Praktik. Jakarta: ELSAM.
Samaloisa. R. 2007. Kontroversi Politik Pemerintahan Terendah di
Mentawai, Tesis di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak
dipublikasikan.
Schefold, R. 1979. “Religious Involution: Internal Change and Its
Consequences in the Taboo System of the Mentawaians” dalam
Tropical Man, 5: 46-81.
452 Berebut Hutan Siberut

----. 1980a. “The Sacrifices of the Sakuddei Mentawai Archipelago,


Western Indonesia: An Attempt to Classification” dalam R.
Schefold, J.W. Schoorl, dan J. Tennekes (peny.), Man, Meaning,
and History: Essays in Honour of H.G. Schulte-Nordholt. Hague:
Martinus Nijhoff.
----. 1980b. “The Siberut Project” dalam Survival International, 5(1):
4-12.
----. 1988. “Keseimbangan Mentawai dan Dunia Modern” dalam
M. Dove (peny.), Peranan Kebudayaan Tradisional dalam
Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
----. 1991. Mainan bagi Roh: Kebudayaan Mentawai. Jakarta:
Pustaka Jaya
----. 2002. “Visions of the Wilderness on Siberut in a Comparative
Southeast Asia Perspective” dalam G. Benjamin dan C. Chou
(peny.), Tribal Community in the Malay World: Historical,
Cultural and Social Perspective. Singapore: ISEAS.
Schlager, E dan E. Ostrom. 1992. “Property Right Regime and
Natural Resources: A Conceptual Analysis” dalam Land
Economic, 68 (3): 249-262.
Schwartz, A. 1994. A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. St
Leonards: Allen and Unwin.
Scott, J. C. 1998. Seeing like a State; How Certain Schemes to
Improve Human Condition have Failed. New Haven: Yale
University Press.
Sekretaris Jenderal Kehutanan. 1985. “Pengakuan Masyarakat
Hukum Adat dalam Pelaksanaan Hak Pengusahaan Hutan,
Suatu Pandangan dalam Penyelesaian Masalah” dalam G. A.
Persoon dan R. Schefold (peny.), Pulau Siberut: Pembangunan
Sosio-ekonomi, Kebudayaan Tradisional, dan Lingkungan
Hidup. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Setyawati, S. 2006. Dari Pedalaman Minangkabau ke Pelosok
Mentawai: Perempuan, Politik, dan Pemberdayaan Masyarakat
Adat. Padang: Andalas University Press.
Setyawati, S. dkk. 2005. Laporan Penelitian Pengkajian Calon
Lokasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Dusun Gotap,
Kampung Siguluk-guluk Desa Saliguma, Dusun Sibudda Oinan
Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai,
Dinas Sosial Sumatra Barat.
Setyowati, A. 2005. Power and Interest over District Forest
Daftar Pustaka 453

Governance, Case Study: Siberut National Park, Mentawai


District, Indonesia, International Society for Tropical Foresters,
Yale School of Forestry and Environmental Studies.
Setyowati, A. 2006. Contested Terrains: Renegotiating Forest
Access and Use in Siberut National Park, Indonesia. Thesis MA
University of Hawaii di Manoa.
Setyowati, A. 2008. “Adat dan Kebangkitan Rejim Kehutanan
Kabupaten” dalam Suporahardjo dan Setyowati, A (peny.).
2008, Desentralisasi dan Tata Kelola Kehutanan di Indonesia:
Tantangan Menyiasati Politik Lokal. Bogor: Pustaka Latin.
Setyowati, A. 2009. Adat, Indigenous Movement and Biodiversity
Conservation in Siberut Island, Indonesia, Association of
American Geographers (AAG) Annual Meeting in Las Vegas.
Shield, R. 1991. Place on the Margin: Alternative Geographies of
Modernity. London: Routledge.
Siahaan, F. 2006. “Menjelang Kongres AMA-PM” dalam
Puailiggoubat, Maret.
Sihombing, H. 1960. Mentawai. Jakarta: Pradnya Paramitra.
Simon, H. 2001. “Pengelolaan Hutan Tingkat Distrik” dalam Simon
(peny.), Prosiding Pertemuan Rutin FKKM: Otonomi Setengah
Hati. Yogyakarta: Debut Press.
Simorangkir, D. 2006. Evaluation of Collaborative Management
Project of UNESCO Siberut Biosphere Reserve, Indonesia. Draft
1, dokumen tidak dipublikasikan.
Sinar Harapan. 1980. “Demi Kelestarian, Siberut Harus Bebas dari
Konsesi Penebangan Kayu” dalam Sinar Harapan, 11 September.
Singgalang. 1981. “Membangun Mentawai Bukan Urusan Ringan”
dalam Singgalang, 12 September.
----. 1997a. “Kanwil Depsos Sumbar Bersedia Musyawarah dengan
Malaikat dkk” dalam Singgalang, 26 April.
----. 1997b. “Malaikat dan Kawan-kawan Batal Tuntut Mensos”
dalam Singgalang, 26 Maret.
----. 1997c. “Malaikat dkk. Tetap Menuntut Mensos” dalam
Singgalang, 24 April.
----. 1999. “Pencabutan HPH di Mentawai Ditentang” dalam
Singgalang, 18 Juni.
Skephi dan R. Kiddel-More. 1993. “Indonesia: Land Rights and
Development” dalam M. Colchester dan L. Lohmann (peny.),
The Struggle for Land and the Fate of the Forest. Penang: World
454 Berebut Hutan Siberut

Rainforest Movement.
Skephi. 1992. Destruction of the World’s Heritage: Siberut
Vanishing Forest, People, and Culture. Jakarta: Skephi.
----. Tanpa Tahun (tt). Laporan Pemetaan Partisipatif 10 Dusun di
Siberut, Skephi, Jakarta. Dokumen tidak dipublikasikan.
Soedjito, H dan E. Sukara (peny.). 2006. Kearifan Tradisional dan
Cagar Biosfer di Indonesia: Prosiding MAB 2005 untuk Peneliti
Muda dan Praktisi Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Komite
Nasional MAB Indonesia-LIPI.
Soedjito, H. (peny.). 2004. Panduan Cagar Biosfer di Indonesia.
Jakarta: LIPI.
Soedjito, H., Y. Purwanto, dan E. Sukara (peny.). 2009.
Situs Keramat Alami: Peran Budaya dalam Konservasi
Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Spencer, J. H. 1995. “Public Forest and Private Paddies in the
Mekong Delta of Vietnam” dalam Tropical Resources Institute
Working Paper. No.90. New Haven: Yale University.
Spina, B. 1981. Mitos dan Legenda Suku Mentawai. Jakarta: Balai
Pustaka.
Suara Pembaruan. 1997. “4 Orang Kepala Suku di Siberut Selatan
Gugat Mensos dan Gubernur” dalam Suara Pembaruan, 16
Maret.
Subagio, G. 1972. Survei Kelompok Hutan Teluk Subeleng-
Saturatura, Propinsi Sumatra Barat, Laporan No. 307,
Direktorat Perencanaan, Departemen Pertanian, Bogor.
----. 1973. Survei Kelompok Hutan Siberut Barat, Propinsi Sumatra
Barat, Laporan No. 434, Direktorat Perencanaan, Departemen
Pertanian, Bogor.
Suhandi, A dan D. Anggraini. 2002. Economic Valuation of Natural
Resources in Siberut Island (An Additional Component of
Feasibility Study of Conservation Concession in Siberut Island),
Conservation International Indonesia Program.
Suparlan, P. 1995. Orang Sakai di Riau. Jakarta: Yayasan Obor.
Suporaharjo. 2005. “Strategi dan Praktek Kolaborasi: Sebuah
Tinjauan” dalam Suporaharjo (peny), Manajemen Kolaborasi:
Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Jakarta:
Pustaka Latin.
Susilaningtyas. 2002. “Surat pembaca” dalam Puailiggoubat, 2,
Edisi Maret.
Daftar Pustaka 455

Suzuki, P. 1958. “Critical Survei of Studies on The Anthropology on


Nias, Mentawei, and Enggano” dalam KITLV Bibliographical
Series 3. Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Swasono, M. 1997. “Indigenous Culture in the Development
of Indonesia” dalam B. Saraswati (peny.), Integration of
Endogenous Cultural Dimension into Development. New Delhi:
Print World. Diunduh melalui http://ignca.nic.in/cd_05008.htm
pada 5 Januari 2004.
Syaffruddin. 1985. “Pengaruh Hak Penggunaan Hutan terhadap
Penghidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Mentawai” dalam G. A.
Persoon dan R. Schefold (peny.), Pulau Siberut: Pembangunan
Sosio-ekonomi, Kebudayaan Tradisional, dan Lingkungan
Hidup. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Tambunan, M. 2000. “Indonesia’s New Challenges and
Opportunities: Blueprint from Reform after the Economic Crisis”
dalam East Asia: An International Quarterly, 182: 50.
Tempo. 2001. “Hentikan Eksploitasi Hutan Siberut” dalam Tempo,
Edisi 11 Juni.
Tenaza, R. 1976. “Songs, Choruses an Countersinging of Kloss
Gibbons (Hylobates Klossii) in Siberut Island, Indonesia” dalam
Z. Tierpsychology, 40: 37-52.
----. 1990. “Can Siberut be Saved?” dalam Cultural Survival
Quarterly, 14 (4): 74-76.
The Jakarta Post. 1996a. “Siberut Island likely to Have New
Settlement Areas” dalam The Jakarta Post, 14 Februari.
----. 1996b. “Skephi Opposes Siberut Resettlement” dalam The
Jakarta Post, 17 Pebruari.
Thorburn, C. 2002. “Regime Change: Prospect for Community-based
Resources Management in Post-New Order Indonesia” dalam
Society and Natural Resources, 15: 617-628.
Tilson, R. L. 1977. “Social Behaviour of Simakobu Monkeys and Its
Relation to Human Predation” dalam Journal of Mammalogy, 58
(2): 202-212.
Tjitrajaya, I. 1993. “Differential Access to Resources and Conflict
Resolution in a Forest Concession in Irian Jaya” dalam Ekonesia,
11: 58-69.
Tsing, A. L. 1998. Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses
Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
456 Berebut Hutan Siberut

----. 1999. “Becoming a Tribal Elder, and Other Freen Development


Fantasies” dalam Li, T. M. (peny.), Transforming the Indonesian
Uplands. Netherland: OPAN.V.
----. 2006. Friction: An Ethnography of Global Connection. New
Jersey: Princeton University Press.
UNESCO. 1996. Biosphere Reserves: the Seville Strategy and the
Statutory Framework of the World Network. Paris: UNESCO.
----. 2001a. Siberut Biosphere Reserve Project Proposal 2001-
2005, Sustainable Environmental Management through
Empowerment of Traditional Ecological Knowledge in Siberut
Biosphere Reserve. Jakarta: UNESCO Jakarta Office.
----. 2001b. Siberut Biosphere Reserve Project Proposal 2001-2005,
Empowerment of Customary Environmental Management in
Siberut Biosphere Reserve. Jakarta: UNESCO Jakarta Office.
Vandergeest, P dan N. L Peluso.1995. “Teritorialization and State
Power in Thailand” dalam Theory and Society, 24: 385-426.
Vandergeest, P. 1997. “Rethinking Property” dalam The Common
Property Digest, 41: 4-6.
Versteeg, A dan S. Rostain. 1997. The Ecology of Aruba. Aruba dan
Amsterdam: Publication of the Archeological Museums Aruba 8
and Publications of the Foundations for Scientific Research in the
Caribbean Region 141.
Volkman, T. 1985. Feats of Honour: Ritual and Change in the Toraja
Highland. Urbana: University of Illinois Press.
Wagner, W. 1985. “Kebijaksanaan Pemukiman Kembali di Mentawai:
Sebuah Tinjauan Sejarah” dalam G. A. Persoon dan R. Schefold
(peny.), Pulau Siberut: Pembangunan Ssosio-ekonomi,
Kebudayaan Tradisional, dan Lingkungan Hidup. Jakarta:
Bhratara Karya Aksara.
Wagner, W. 2002. “The Mentawaian Sense of Beauty: Perceived
through Western Eyes” dalam Indonesia and the Malay World,
31 (90): 199-220.
Wells, M., K. Brandon, dan L. Hannah. 1992. Peoples and Park:
Linking Protected Areas Management with Local Community.
Washington, DC: World Bank/WWF/USAID.
Wells, M., S. Guggenheim, A. Khan, W. Wardojo, dan P. Jepson.
2000. Investing in Biodiversity: A Review of Indonesia’s
Integrated Conservation and Development Projects.
Washington: Directions in Development.
Daftar Pustaka 457

White, R. 1991. The Middle Ground: Indians, Empires and Republics


in the Great Lakes Region, 1650-1815. New York: Cambridge
University Press.
Whitmore, T. C. 1984. Tropical Rain Forest for the Far East. Oxford:
Clarendon Press.
----. 1998. An Introduction to Tropical Rain Forest. Oxford:
Clarendon Press.
Whitten, A. J dan J. J. Whitten. 1985. “Tanaman Sagu dan
Pengolahannya di Siberut” dalam G. A Persoon dan R.
Schefold (peny.), Pulau Siberut: Pembangunan Sosio-ekonomi,
Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup. Jakarta:
Bhratara Karya Aksara.
Whitten, A. J. 1980. The Kloss Gibbons in Siberut Rainforest
Disertasi di Universitas Cambridge, Cambridge.
----. 1982. The Gibbons of Siberut. London: JM Dent and Sons Ltd.
Whitten, A. J., J. J. Whitten, dan A. P. N. House. 1979. “Solution for
Siberut” dalam Oryx, 15(2): 166-169.
Whitten, A. J., S. J. Damanik, J. Anwar, dan N. Hisyam. 1999. The
Ecology of Sumatra. Singapore: Periplus.
Wondolleck, J.M dan S. L Yaffe. 2000. Making Collaboration Work:
Lesson from Innovation in Natural Resources Management.
California: Island Press.
World Bank. 1994. Indonesia: Environment and Development,
Laporan World Bank.
----. 2001. Decentralization and Subnational Regional Economics:
What, Why and Where, diunduh dari http://www.worldbank.
org/publicsector/decentralization pada 14 November 2005.
WWF. 1996. Indigenous People and Conservation: WWF Statement
of Principles. Gland: WWF.
----. 1980. Saving Siberut: A Conservation Master Plan. Bogor:
WWF.
Yasumi. 1997. Laporan Pengerjaan Teknis Kegiatan CAMEP dan
Pemetaan Partisipatif, Laporan untuk Proyek PKAT, Yasumi.
Tidak dipublikasikan.
YCM. 2000a. Hasil Workshop Demokratisasi Pengelolaan Sumber
Daya Alam. Dokumen internal tidak dipublikasikan.
----. 2000b. Participatory Rural Appraisal (PRA) di Siberut.
Dokumen internal tidak dipublikasikan.
----. 2004a. Draft: Telaah Historis Masalah Pulau Siberut:
458 Berebut Hutan Siberut

Perbandingan Hasil Tim Terpadu Tahun 1992 dan Tahun 2004.


Dokumen internal tidak dipublikasikan.
----. 2004b. Investigasi KAM, Film dokumenter.
----. 2006. Illegal Logging Mentawai, Film dokumenter.
Zerner, C. 2000. “Toward a Broader Vision of Justice and Nature
Conservation” dalam C. Zerner (peny), People, Plants, and
Justice: The Politics of Nature Conservation. New York:
Columbia Univerisity Press.
Tentang Penulis

Darmanto, menetap dan bekerja di Siberut sejak 2004. Penelitiannya


tentang perladangan orang Mentawai (pumonean) (2003-2004) dan
hutan keramat (2008) di Lembah Rereiket dan Sabirut telah diterbitkan
dalam beberapa publikasi. Kini, dengan beasiswa dari Louwes Fund, ia
te­ngah menyiapkan studi doktoralnya di Universitas Leiden dan me­
nger­jakan penelitian tentang perubahan agraria di Siberut.

Abidah B. Setyowati, menyelesaikan master di Universitas Hawaii


pada 2006 dengan tesis tentang ekologi politik tata kelola hutan di Si­
be­rut. Abidah menerima beasiswa Fulbright untuk menempuh PhD
di Rutgers University dengan konsentrasi ekologi politik (2008-se­ka­
rang). Dengan dukungan NSF Dissertation Improvement Award dan
UNDP Asia Pacific Human Development Award, Abidah sedang me­nye­
le­sai­kan penelitian tentang politik dan proses produksi pengetahuan
dari Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation
(REDD+) di Indonesia.

You might also like