You are on page 1of 7

Nama : Bagus Utomo

NPM : 18082010059
Sistem Informasi ’18 kelas B

AWAL MULA AGAMA KONGHUCU MASUK DI


INDONESIA

1. Sejarah Agama Konghucu di Indonesia

Kabar Indonesia-Sabtu, 27 Januari 1979 seperti hari kelam bagi umat Konghucu. Sebuah
kabar buruk muncul pada sidang kabinet yang berlangsung hari itu, Konghucu bukan agama.
Siar ini,diterima atau tidak ketika itu, telah menempatkan status Konghucu di Indonesia ke
posisi abu-abu. Tak jelas, Padahal secara de jure,saat itu masih ada sejumlah peraturan
perundang-undangan yang saling bertentangan menyangkut nasib Konghucu.
Kisah kelam selama lebih dari 3 dasawarsa ini baru berakhir di masa pemerintahan
Abdurrachman Wahid. Di era kekusaannya, presiden Gus Dur membuat terobosan dengan
mencabut Intruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 yang melarang segala aktivitas berbau
Tionghoa dan SE Menteri Dalam Negeri. Tindakan ini memberi pesan bahwa “tidak ada lagi
istilah agama yang diakui dan tidak diakui pemerintah. Termasuk MATAKIN yang langsung
berbenah diri memulihkan eksistensinya untuk berdiri sejajar dengan agama lainnya di
Indonesia,”terang UUNG.

2. Pro Kontra Agama Konghucu

Pihak yang pro agar Konghucu diakui sebagai agama, menuduh bahwa para
penentangnya mempunyai motif tertentu, seputar pengikut (umat) dan materi semata-mata.
Semakin banyak pengikut, maka akan semakin banyak pula dana yang dapat dihimpun.
Mereka melihatnya dari kenyataan di lapangan, di mana banyak tokoh- tokoh agama tertentu
yang agresif dalam “menyelamatkan” umat manusia; khususnya orang Tionghoa, dari “kuasa
kegelapan”. Untuk mudahnya sebut saja agama XY, agama X dari sekte Y.
Sebaliknya pihak yang kontra juga mengemukakan berbagai argumentasi. Pertama adalah
argumentasi yang berkembang dari ajaran monotheisme yang menyatakan, bahwa agama
adalah wahyu dari Tuhan yang diturunkan melalui Nabinya yang tercatat di Kitab Suci
masing-masing. Sedangkan Nabi adalah utusan Tuhan. Karena Konghucu orang biasa, bukan
Nabi yang tercatat dalam Kitab Suci ajaran monotheisme, maka Konghucu tidak bisa diakui
sebagai agama.
Argumentasi ini pada dasarnya pertentangan antara ajaran monotheisme dengan
polytheisme. Argumentasi ini juga dapat mengundang perdebatan yang tiada berakhir, karena
kenyatannya ada Nabi dari agama monotheisme yang satu yang tidak diakui oleh agama lain,
bahkan lebih jauh lagi ada agama yang secara internal tidak mengakui agama lain.Diyakini
oleh berbagai pihak, pertentangan terhadap pengakuan Konghucu pada dasarnya adalah
argumentasi di atas, namun banyak orang yang tidak mau secara terbuka mengemukakan
argumentasi tersebut.
Padahal kalau argumentasi ini yang dipakai, maka agama Buddha yang diakui sebagai
agama resmi di Indonesia juga akan terkena dampaknya.

3. Dasar Hukum Pengakuan agama Konghucu

Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada manusia sejak lahir yang
merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada seorangpun, bahkan negara
boleh mencabut atau melanggar hak asasi manusia. Salah satu hak yang paling mendasar
adalah hak seseorang untuk beragama. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-
masing sesuai dengan kepercayaannya. Hal tersebut bahkan dijamin dalam konstitusi
Indonesia yaitu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E ayat (1) yang menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas
memeluk dan beribadat menurut agamanya”. Jelaslahh sudah hak untuk memeluk agama dan
kebebasan untuk beribadah menjadi hak konstitusional bagi Warga Negara Indonesia.
Indonesia sebagai negara yang majemuk dan terdiri dari berbagai macam kultur dan
budaya, sangat menghormati perbedaan. Perbedaan tidak seharusnya dipandang sebagai
pemicu konflik namun harus dipandang sebagai suatu aset kekayaan budaya. Wilayah
Indonesia yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke dengan kondisi geografis yang
beragam dengan bentuk negara kepulauan, membuat Indonesia kaya akan budaya. Setiap
daerah memiliki budayanya masing-masing. Sama halnya dengan berkembangnya
kepercayaan di Indonesia. Masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu dikenal sebagai
masyarakat yang agamis. Hal ini ditandai dengan berkembangnya kepercayaan animisme dan
dinamisme dalam masyarakat Indonesia bahkan sebelum berkembangnya agama. Dengan
kultur masyarakat Indonesia yang demikian religius, perlindungan kebebasan memeluk
agama menjadi sangat penting di Indonesia.
Perkembangan etnis tionghoa yang sebelumnya amat dibatasi di Indonesia setelah masa
reformasi ini menjadi bebas. Berbagai macam kebudayaan dan upacara adat china pun mulai
berkembang di Indonesia. Barong Sai, Naga Liong, dan kebudayaan china lain yang
sebelumnya dikembangkan dengan diam-diam sudah mulai dapat dipentaskan secara bebas.
Bahkan perayaan Imlek pun mulai diperingati di Indonesia. Hal ini menunjukkan penerimaan
Indonesia atas etnis tionghoa dan agamanya yaitu agama Khonghucu.
Pengakuan agama Khonghucu di Indonesia sebenarnya sudah diakui sejak jauh sebelum
masa reformasi di mulai yaitu dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang
mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha,
dan Khonghucu. Pengaturan dalam Undang-Undang ini sama dengan Penetapan Presiden
Nomor 1. Pn. Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama.
Diskriminasi umat Konghuchu mulai dirasakan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden
Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Selain itu
terbut Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang berisi bahwa pemerintah hanya mengakui
lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Artinya bahwa Khonghucu yang
berdasarkan sensus 1976 dianut oleh sejuta orang bukanlah agama yang diakui oleh
pemerintah. Kebijakan tersebut membuat hak-hak sipil penganut Khonghucu dibatasi.
Perayaan keagamaan di gedung dan fasilitas publik dilarang. Hari raya Imlek tidak
dimasukkan dalam hari besar di Indonesia, Dari segi pendidikan, sekolah di bawah yayasan
Khonghucu tidak boleh mengajarkan pelajaran agama Khonghucu. Pernikahan di antara umat
Khonghucu tidak dicatat oleh Kantor Catatan Sipil.
(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2000/01/03/AG/mbm.20000103
.AG110812.id.html).
Instruksi tersebut memang tidak secara eksplisit mencabut pengakuan atas agama
Khonghucu di Indonesia. Namun akibat yang ditimbulkan antara lain beberapa pelanggaran
Hak Asasi Manusia terhadap umat Konghuchu sebagaimana dituliskan di atas.
Banyak hak-hak sipil yang dilanggar melalui Instruksi Presiden ini. Perlakuan diskriminatif
ini diperkuat dengan adanya Surat Edaran(SE) Menteri Dalam Negeri Nomor
477/740554/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 Nopember 1978 yang pada intinya menyatakan
agama yang diakui pemerintah adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.
Diskriminasi bagi umat Khonghucu tidak berhenti sampai di situ. Sedikitnya ada 50 peraturan
perundang-undangan yang mendiskriminasikan etnis tionghoa yang kebanyakan menganut
agama Khonghucu. Peraturan tersebut contohnya antara lain: Keputusan Presidium Kabinet
Nomor 127 Tahun 1966 tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang menggunakan nama
Tionghoa, Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978 tentang
larangan mengimpor, memperdagangkan, dan mengedarkan segala jenis barang cetakan
dalam huruf, aksara, dan bahasa Tionghoa (http://www.wikipedia.org). Selain itu hak
kependudukan penganut agama Khonghucu juga dilanggar. Penganut agama Khonghucu
sebelum reformasi tidak bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan agama
Khonghucu. Mereka boleh meminta KTP asalkan agama yang tertulis dalam kolom
agamanya bukan agama Khonghucu, pemeluk Khonghucu biasanya memilih Budha atau
Kristen dalam KTP mereka
(http://www.gusdur.net/Berita/Detail/?id=67/hl=id/KTP_Khonghucu_Pertama_Diterbitkan_
Di_Surabaya).
Peraturan lain yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa antara lain seperti Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 77/2535/POUD tanggal 25 Juli 1990, Surat Kepala
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur No. 683/95 pada 28 November
1995 yang pada intinya menyatakan bahwa agama yang diakui Indonesia adalah Islam,
Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha
(http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&dn=20080124154656).
Setelah rezim orde baru berakhir, kebebasan beragama di Indonesia mengalami
kemajuan yang sangat berarti. Presiden Indonesia pada waktu itu K.H. Abdurrahman Wahid
atau yang biasa disapa Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000
tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan,
dan Adat Istiadat Cina. Dalam diktum menimbang, disebutkan bahwa selama ini pelaksanaan
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina
dirasa oleh Warga Negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam
menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, Adat Istiadatnya. Selain itu disebutkan
bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat pada hakikatnya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dengan adanya Keppres
ini, Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaa, dan Adat Istiadat
Cina dicabut dan penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina
dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung sebelumnya.
Keputusan Tersebut berlaku sejak 17 Januari 2000.
Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan,
dan Adat Istiadat Cina mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan
kebebasan beragama maupun kebebasan untuk berekspresi. Perkembangan budaya juga
berkembang pesat setelah keluarnya Keppres pencabutan Instruksi Presiden yang
diskriminatif tersebut. Agama Konghuchu sekarang ini bebas untuk dianut oleh Warga
Negara Indonesia. Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi
kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa. Pada tahun 2001, Presiden K.H.
Abdurrahman Wahid menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif bagi etnis
tionghoa. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh pengganti Gus Dur Presiden Megawati dengan
menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun
2002 tentang Tahun Baru Imlek pada 9 April 2002.
Di Indonesia, umat Khonghucu berada di bawah naungan Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Selama masa orde baru, organisasi ini mengalami
kondisi yang tidak jelas. Pemerintah tidak pernah membubarkan MATAKIN yang sudah
berdiri sejak tahun 1954. Pada era reformasi MATAKIN diberi kesempatan oleh Menteri
Agama kabinet reformasi untuk mengadakan Musyawarah Nasional XIII yang bertempat di
Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada tanggal 22-23 Agustus 1998 yang dihadiri
perwakilan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu
Indonesia (KAKIN) dan Wadah Umat Agama Khonghucu lainnya dari berbagai penjuru
tanah air Indonesia. Hampir 20 tahun umat Khonghucu di Indonesia harus hidup dalam
tekanan dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan diskriminatif terhadap umat
Khonghucu. Hal ini membawa dampak negatif bagi perkembangan kelembagaan umat
Khonghucu.( http://www.matakin-indonesia.org/index_indo.htm)
Bentuk pengakuan agama Khonghucu yang lain pasca reformasi adalah dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan. PP ini salah satuisinya mengamanatkan mata pelajaran agama
Konghuchu dapat diselenggarakan di jalur pendidikan formal. Sebenarnya hal tersebut
bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya pada masa Presiden Soekarno
pendidikan Agama Konghucu pernah diterapkan. Hanya saja, pada masa Presiden Soeharto
menjabat, agama Konghucu kemudian seakan-akan menghilang karena tidak diakui oleh
pemerintah. Adanya Peraturan Pemerintah ini semakin membuka lebar pengakuan negara
Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia. Hak Asasi yang dijamin dalam PP ini adalah hak
untuk mendapatkan pendidikan bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Konghuchu.
(http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080205144637)
Upaya penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa juga tertuang dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai kependudukan. Yang pertama adalah Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Dalam Pasal 2 dan penjelasan
undang-Undang ini didefinisikan bahwa orang Tionghoa adalah orang Indonesia Asli.
Peraturan lain yang menjamin hak-hak kependudukan bagi etnis Tionghoa adalah Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan. Dalam Pasal 106 Undang-
Undang tersebut, terdapat usaha untuk mencabut sejumlah peraturan pencatatan sipil zaman
kolonial belanda. Dan dicatatnya perkawinan agama Konghucu di Kantor Catatan Sipil.
Sebelumnya Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat pernikahan agama
Konghucu.(http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com)
Diakuinya keberadaan etnis tionghoa dan agama Konghucu di Indonesia juga berpengaruh
pada perkembangan kebudayaan di Indonesia. Sekarang ini, bahasa Mandarin dapat dipelajari
secara luas oleh masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini sering kali bahasa Mandarin digunakan
sebagai bahasa bisnis. Kebudayaan Cina juga sudah mulai secara bebas dipertunjukkan di
Indonesia. Kebudayaa seperti Barong Sai, Naga Liong, Perayaan Cap Gomeh, perayaan
Imlek, saat ini sangat mudah ditemui di Indonesia. Pengakuan agama Khonghucu dan etnis
Tionghoa di Indonesia cukup menggambarkan bahwa perkembangan Hak Asasi Manusia di
Indonesia Pasca reformasi mengalami peningkatan yang sangat signifikan terutama di bidang
kebebasan beragama dan pengakuan hak-hak sipil bagi kaum minoritas seperti penganu
Khonghucu di Indonesia dibandingkan dengan pada masa orde baru di bawah pimpinan
Presiden Soeharto.
Masa orde baru adalah catatan sejarah terburuk bagi perkembangan Hak Asasi
Manusia di Indonesia. Pada masa itu terjadi diskriminasi bagi penganut agama Khonghucu di
Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang pada
intinya mengungkapkan bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Hindu dan Budha. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang
mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha,
dan Khonghucu. Pengaturan dalam Undang-Undang ini sama dengan Penetapan Presiden
Nomor 1. Pn. Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama. Dengan dikeluarkannya Instruksi
Presiden tersebut, secara tidak langsung telah menyingkirkan agama Khonghucu yang pada
sensus tahun 1976 penganutnya mencapai jumlah satu juta orang. Hal tersebut di atas telah
membuat beberapa hak asasi dari penganut agama Khonghucu telah dilanggar. Kebebasan
untuk memeluk agama, beribadah, hak-hak sipil, banyak dilanggar dengan adanya Instruksi
Presiden Nomor 1470/1978. Instruksi Presiden ini seakan telah menyingkirkan umat
Khonghucu.Hal ini masih diikuti beberapa pengaturan lain yang makin mediskriminasikan
umat Khonghucu.
Selama lebih dari 20 tahun umat Khonghucu terombang-ambing dengan
ketidakpastian. Akhirnya, pada masa reformasi, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi
Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Dengan adanya Keppres ini, umat Khonghucu dapat menjalankan segala sesuatu yang
berkaitan dengan agamnya tanpa rasa takut lagi.
Pengakuan Khonghucu sebagai agama membawa dampak yang amat banyak dalam
perkembangan Hak Asasi Mansia di Indonesia. Tidak hanya berhenti pada pengakuan agama
saja namun juga diperbolehkannya budaya Cina untuk dipelajari dan dipertunjukkan di
Indonesia. Berbagai pengakuan seperti pemberian hak-hak sipil dan erpolitik, serta ekonomi
sosial dan budaya yang pada masa sebelumnya tidak pernah didapatkan oleh etnis Tionghoa,
mulai didapatkan pada era reformasi ini.
Selama hampir 20 tahun hak-hak masyarakat minoritas agama Khonghucu dan etnis
Tionghoa telah dikebiri. Sekarang ini zaman telah beralih. Demokrasi dan Pengakuan Hak
asasi Manusia menjadi sangat penting dalam perkembangan negara di dunia. Termasuk juga
dengan Indonesia. Berbagai catatan kelam Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak boleh
terulang dan diskriminasi seperti yang terjadi pasa masa orde baru harus diminimalisir. Hak
masyarakat akan Hak Asasi Manusia sudah tidak dapat ditawar lagi dan harus dipenuhi oleh
negara. Harus ada komitmen yang lebih dari pemerintah untuk menjamin hal tersebut.
Pengakuan agama Khonghucu di Indonesia saat ini baru berlangsung sekitar sepuluh tahun.
Kemungkinan masih ada kebijakan-kebijakan pemerintah orde baru, yang dirasa merugikan
dan tidak adil bagi kaum minoritas seperti kaum Khonghucu dan etnis Tionghoa. Peraturan
yang demikian haruslah segera dicabut ataupun direvisi untuk memberikan hak-hak
masyarakat pada umumnya, dan Warga Negara Indonesia pada khususnya.

Selama lebih dari 20 tahun umat Konghucu terombang-ambing dengan ketidakpastian.


Akhirnya, pada masa reformasi, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14
Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dengan adanya Keppres
ini, umat Khonghucu dapat menjalankan segala sesuatu yang berkaitan dengan agamnya
tanpa rasa takut lagi.

You might also like