You are on page 1of 152

HUBUNGAN ASUPAN ZAT GIZI (ENERGI, PROTEIN, BESI

DAN SENG), STUNTING DAN STIMULASI PSIKOSOSIAL DENGAN

STATUS MOTORIK ANAK USIA 3-6 TAHUN DI PAUD WILAYAH

BINAAN PUSKESMAS KECAMATAN KEBAYORAN LAMA TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH :

AMEILIA AMANDA

109101000071

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/2014 M
RIWAYAT HIDUP

Nama : Ameilia Amanda


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 6 Mei 1991
Alamat : Komp. Taman Mangu Indah Blok B1
No. 4 RT 001 / 006 Pondok Aren
Tangerang Selatan
Telepon/Hp : 081287553806
Email : aameilia@ymail.com

Tahun 1997 – 2003 : SDN 02 Pagi Pesanggrahan Jakarta


Tahun 2003 – 2006 : SMPN 177 Pesanggrahan Jakarta
Tahun 2006 – 2009 : SMAN 86 Bintaro Jakarta
Tahun 2009 – 2014 : Kesehatan Masyarakat FKIK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta

v
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada ALLAH SWT yang telah memberikan

limpahan rahmat dan nikmat yang tiada terkira kepada penulis, sehingga penulis

dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini dengan baik.

Shalawat serta salam teruntuk yang tersayang Nabi Muhammad SAW,

semoga kita semua termasuk golongan umat yang mendapat syafaatnya. Aamiin.

Skripsi yang berjudul “Hubungan Asupan Zat Gizi, Stunting dan Stimulasi

Psikososial dengan Status Motorik Anak Usia 3-6 tahun di PAUD Wilayah Binaan

Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014” ini dibuat sebagai tugas akhir

untuk menyelesaikan studi kesehatan masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik

tanpa bantuan, dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Pada kesempaatan ini

penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Allah SWT, yang selalu memberikan segalanya dalam proses pembuatan

skripsi hingga selesai.

2. Kedua orang tua, papa Syafei Arifin serta mama Mulyani Muchtar yang tanpa

lelah memberikan doa dan semangat. Juga untuk kakak-kakak tersayang

Marisa dan Silvi serta para sepupu yang selalu memberi semangat.

3. Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D, selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

vi
5. Ibu Febri, M. Si, selaku Pembimbing Akademik dan Pembimbing I skripsi.

Terima kasih atas bimbingan, arahan, dan sarannya yang sangat berharga

selama proses perkuliahan dan proses penyusunan laporan skripsi ini.

6. Ibu Riastuti Kusumawardani SKM, M.KM, selaku dosen pembimbing II

skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran yang berharga

dalam proses penyusunan laporan skripsi ini.

7. Kepala sekolah dan Guru PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan

kebayoran lama yang telah membantu selama proses penelitian berlangsung.

8. Teman – teman Kesmas 2009 yang telah memberikan semangat dan bantuan

selama masa perkuliahan dan saat proses penyusunan skripsi ini terutama

sahabat – sahabat terbaik yang selalu memberi semangat.

9. Teman – teman di luar kampus yang juga turut membantu dan memberi

semangat dalam proses penyelesaian laporan skripsi ini.

Penulis menyadari penulisan ini masih kurang dari sempurna, sehingga sangat

diharapkan saran dan masukkannya. Semoga laporan skripsi ini dapat

bemanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, Juli 2014

Penulis

vii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
GIZI KESEHATAN MASYARAKAT

Skripsi, 2014
AMEILIA AMANDA, NIM : 109101000071

Hubungan Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Zat Besi dan Seng), Stunting
Dan Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik Di PAUD Wilayah Binaan
Puskesmas Kecamatan kebayoran Lama Tahun 2014
xviii + 106 halaman, 24 tabel, 5 gambar, 5 lampiran

ABSTRAK

Hasil survei Departemen Kesehatan RI tahun 2008 diketahui 19% balita


mengalami gangguan perkembangan motorik, namun sebarannya di setiap
provinsi belum memiliki data yang pasti. Berdasarkan studi pendahuluan pada 30
anak secara acak di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama tahun 2014 stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak
diperoleh 36% kurang (11 anak) dan cukup (15 anak) sementara status gizi
berdasarkan TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori stunting.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi yaitu
energi, protein, zat besi (Fe), zat seng (Zn), stunting dan stimulasi psikososial
terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. Penelitian ini dilakukan dengan desain
cross sectional, dengan mengisi kuesioner. Penelitian ini dilakukan di PAUD
wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama dengan jumlah sampel
penelitian sebanyak 85 orang.
Sebanyak 30,6% responden memiliki status motorik halus yang terganggu
dan 42,4% memiliki status motorik kasar yang terganggu. 63,5% responden
memiliki asupan energi kurang, 60% memiliki asupan protein kurang, 38,8%
memiliki asupan zat besi kurang, 52,9% memiliki asupan seng kurang. Ada
57,6% responden yang memiliki tubuh pendek (stunting) sebanyak 9,4%
menerima stimulasi baik dan 22,4% menerima stimulasi kurang dari keluarga.
Dapat disimpulkan bahwa variabel yang berhubungan dengan status motorik
kasar dan halus adalah asupan (energi, protein dan besi), stunting dan stimulasi
psikososial sedangkan variabel yang tidak berhubungan dengan status motorik
kasar dan halus adalah asupan seng. Maka dari pihak Puskemas wilayah binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, PAUD dan orang tua atau pengasuh
sebaiknya dapat berkerjasama dengan baik dalam memperbaiki asupan, status gizi
serta mengoptimalkan pemberian stimulasi psikososial kepada anak.

Kata Kunci : motorik, stunting, zat gizi, stimulasi psikososial, siswa PAUD
Daftar Bacaan : (2000-2014)

viii
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY
MAJOR OF COMMUNITY HEALTH NUTRITION

UNDERGRADUATED THESIS, 2014


AMEILIA AMANDA, NIM : 109101000071

The Relationship of Nutrient Intake, Stunting and Psychosocial


Stimulation of Motoric Status In Early Childhood Education with the
Patronage Region Kebayoran Lama Sub-District Health Centers in 2014
xviii + 106 Pages, 24 Tables, 5 Pictures, 5 Attachments

ABSTRACT

The results of the Ministry of Health survey in 2008 approximately


19% of infants known to impaired motor development, but spreading in every
province does not yet have definitive data. And based on the preliminary
study of 30 children randomly assigned in early childhood target area of
Kebayoran Lama sub-district health centers in 2014 psychosocial stimulation
given to the child's parents earned 36% less (11 children) and sufficient (15
children) while nutritional status based on H/A obtained 40% (12 children)
with stunting category.
This study aims to determine the relationship of the nutrient intake of
energy, protein, iron (Fe), zinc (Zn), stunting and psychosocial stimulation of
the motor status of children aged 3-6 years in the early childhood area of
Kebayoran Lama sub-district health center built in 2014. The study was
conducted with cross-sectional design, data retrieval way to fill out a
questionnaire. This research was conducted in the early childhood area of
Kebayoran Lama sub-district health centers built by the number of samples
are 85 people.
A total of 30.6% of respondents have impaired fine motor status and
42.4% have impaired gross motor status, 63.5% less energy intake, 60% have
less protein intake, 38, 8% have less iron intake, 52.9% have less zinc intake.
A total of 57.6% respondents had a short stature (stunting) and 9.4% received
good stimulation and 22.4% received less stimulation from their family. We
can conclude variables related to the status of gross and fine motor include
intake (energy, protein and iron), stunting and psychosocial stimulation, while
variables not related to the status of gross and fine motor is the intake of zinc.
Therefore, from the health centers target area Kebayoran Lama sub-district
health centers, early childhood education and the parents or care giver should
be able to cooperate well in improving the intake and nutritional status of the

ix
child as well as to optimize the provision of psychosocial stimulation to the
child.

Refferences : (2000-2014)
Key Words : motoric, stunting, nutrient, psychosocial stimulation, early
childhood education.

x
DAFTAR ISI
Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP......................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................... 7
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................... 9
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................... 11
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 13
2.1 Perkembangan Anak Usia Dini ...................................................... 13
2.1.1 Pengertian Perkembangan Anak Usia Dini ............................ 13
2.2 Motorik ........................................................................................... 14
2.2.1 Pengertian dan Prinsip Motorik ............................................ 14
2.2.2 Pengertian Motorik Kasar ..................................................... 15
2.2.3 Kemampuan Motorik Kasar anak usia 3-6 Tahun ................ 16
2.2.4 Pengertian Motorik Halus ..................................................... 17
2.2.5 Kemampuan Motorik Halus anak usia 3-6 Tahun ................ 18
2.2.6 Kuesioner Pra Skrining Pra Perkembangan (KPSP) ............. 20
2.3 Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ..................... 22
2.3.1 Pengertian PAUD ................................................................. 22
2.3.2 Ruang Lingkup Lembaga PAUD ......................................... . 22
2.4 Pengaruh Status Gizi berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur
(TB/U) terhadap status motorik ......................................................... 24
2.4.1 Penilaian Status Gizi ............................................................. 24
2.4.2 Indeks Antropometri ............................................................. 24
2.4.3 Stunting ................................................................................. 25
2.5 Pengaruh Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Besi dan Seng) dengan
Status Motorik .................................................................................... 28

xi
2.5.1 Energi ................................................................................... 31
2.5.2 Protein ................................................................................... 31
2.5.3 Besi (Fe) ................................................................................ 32
2.5.4 Seng (Zn) .............................................................................. 34
2.5.5 Metode Food Recall 24 Jam ............................................... 35
2.6 Pengaruh Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik ................... 37
2.6.1 Mekanisme Kerja Stimulasi terhadap Motorik ................... 37
2.6.2 Pengertian Stimulasi Psikososial ........................................ 39
2.6.3 Home Observation for Measurement of the Environment
(HOME) ............................................................................... 39
2.7 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Anak .............. 41
2.7.1 Pengasuhan Anak ................................................................. 41
2.7.2 Gizi ...................................................................................... 41
2.7.3 Lingkungan Anak ............................................................... 42
2.8 Kerangka Teori ................................................................................... 42
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS ....................................................................................... 45
3.1 Kerangka Konsep .............................................................................. 45
3.2 Definisi Operasional .......................................................................... 49
3.3 Hipotesis ............................................................................................. 54
BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................. 56
4.1 Desain Penelitian ............................................................................... 56
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................. 56
4.3 Populasi dan Sampel .......................................................................... 57
4.3.1 Populasi .................................................................................... 57
4.3.2 Sampel dan Teknik Sampling ................................................... 57
4.4 Instrumen Penelitian ..................................................................... 60
4.5 Pengumpulan Data.............................................................................. 62
4.6 Pengolahan Data ................................................................................ 63
4.6 Analisis Data .................................................................................... 65
4.6.1 Analisis Univariat ................................................................... 65
4.6.2 Analisis Bivariat ..................................................................... 66
BAB V HASIL PENELITIAN.................................................................... 68
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................. 68
5.2 Analisis Univariat ............................................................................. 69
5.2.1 Gambaran Status Motorik Halus ..................................... 69
5.2.2 Gambaran Status Motorik Kasar ..................................... 70
5.2.3 Gambaran Asupan Energi ............................................... 70
5.2.4 Gambaran Asupan Protein .............................................. 71

xii
5.2.5 Gambaran Asupan Zat Besi ............................................ 71
5.2.6 Gambaran Asupan Seng .................................................. 72
5.2.7 Gambaran Stimulasi Psikososial ..................................... 73
5.2.8 Gambaran Stunting .......................................................... 73
5.3 Analisis Bivariat ............................................................................... 74
5.3.1 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Asupan Energi………………..………………… 74
5.3.2 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Asupan Protein.................................................... 75
5.3.3 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Asupan Zat Besi.................................................. 76
5.3.4 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Asupan Seng........................................................ 76
5.3.5 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Stunting................................................................ 77
5.3.6 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus
dengan Stimulasi Psikososial........................................... 78

5.3.7
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Asupan Energi………………………………….. 79
5.3.8 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Asupan Protein.................................................... 79
5.3.9 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Asupan Zat Besi.................................................. 80
5.3.10 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Asupan Seng........................................................ 81
5.3.11 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Stunting................................................................ 81
5.3.12 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar
dengan Stimulasi Psikososial............................................ 82
BAB VI PEMBAHASAN... .............................................................................. 84
6.1. Keterbatasan Penelitian ............................................................... 84
6.2 Gambaran Status Motorik Halus dan Kasar ................................ 84
6.3 Gambaran dan Hubungan Asupan Energi dengan Status
Motorik Kasar dan Halus ............................................................ 86
6.4 Gambaran dan Hubungan Asupan Protein dengan Status
Motorik Kasar dan Halus............................................................. 90
6.5 Gambaran dan Hubungan Asupan Zat Besi dengan Status
Motorik Kasar dan Halus ............................................................ 92

xiii
6.6 Gambaran dan Hubungan Asupan Seng dengan Status
Motorik Kasar dan Halus ............................................................ 95
6.7 Gambaran dan Hubungan Stunting dengan Status Motorik
Kasar dan Halus .......................................................................... 98
6.8 Gambaran dan Hubungan Asupan Protein dengan Status
Motorik Kasar dan Halus............................................................ 100
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 104
7.1 Kesimpulan ................................................................................... 104
7.2 Saran ............................................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiv
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
Tabel
2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
TB/U.............................................................................................................. 26
3.1 Definisi Operasional..................................................................................... 50
4.1 Data siswa PAUD di Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014......................................................................................... 58
4.2 Proporsi Jumlah Siswa PAUD DI Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014...................................................................... 61
5.1 Distribusi Berdasarkan Status Motorik Halus pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014...........…….. 70
5.2 Distribusi Berdasarkan Status Motorik Kasar pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014..................... 71
5.3 Distribusi Berdasarkan Berdasarkan Asupan Energi pada Siswa PAUD
Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014...... 71
5.4 Distribusi Berdasarkan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014..................... 72
5.5 Distribusi Berdasarkan Asupan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014..................... 73
5.6 Distribusi Berdasarkan Asupan Seng pada Siswa PAUD Wilayah Binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014................................. 73
5.7 Distribusi Berdasarkan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014……............. 74
5.8 Distribusi Berdasarkan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014................................. 75
5.9 Analisis Hubungan antara Status Motorik Haus dengan Asupan Energi
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014......................................................................................... 75
5.10 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014 ...................................................................................... 76
5.11 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Zat Besi pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014................................................................................................... 77
5.12 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Seng pada Siswa
PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun
2014................................................................... ....................................... 77
5.13 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014................................................................................................. 78

xv
5.14 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stimulasi
Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014....................................................................... 79
5.15 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014......................................................................................... 80
5.16 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014 ...................................................................................... 80
5.17 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Zat Besi pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014............................................................................................... 81
5.18 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Seng pada Siswa
PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun
2014........................................................................................................... 82
5.19 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014............................................................................................ 82
5.20 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi
Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014....................................................................... 83

xvi
DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

2.1 Jalur dan jenjang PAUD…….................................................. 24

2.2 Gambaran siklus neurotransmitter menghasilkan motorik .... 32

2.3 Gambaran mekanisme kerja stimulasi………………………. 40

2.4 Kerangka teori………………………………………………. 45

3.1 Kerangka konsep……………………………………………. 49

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Judul Lampiran

1 Formulir Food Recall 24 Jam

2 Kuesioner HOME Inventory

3 Kuesioner Pra Skrining Perkembangan

4 Analisis Univariat

5 Analisis Bivariat

xviii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hasil survei Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008 diketahui sekitar

19% balita mengalami gangguan perkembangan namun sebarannya di setiap

provinsi belum memiliki data yang pasti. Prevalensi tersebut apabila dibiarkan

akan memberikan dampak pada status perkembangan di wilayah tersebut tidak

optimal dan akan berpengaruh kepada keberhasilan pembangunan nasional suatu

bangsa yang ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) (Azwar,

2004). SDM yang berkualitas atau tidak berawal pada kualitas otak, khususnya

pada anak karena otak pada anak usia prasekolah bersifat plastis dengan kata lain

peka terhadap lingkungan sehingga untuk mempertahankan sekaligus

meningkatkan kualitasnya adalah dengan upaya kesehatan pada anak usia

prasekolah (0-6 tahun) berupa mendapatkan gizi yang baik dan stimulasi yang

memadai serta terjangkau (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Kekurangan akan kebutuhan gizi pada masa anak usia prasekolah selain

akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan jasmaninya juga akan

menyebabkan gangguan perkembangan anak, dalam hal ini adalah perkembangan

motorik (Sutarta, 2008).

Perkembangan motorik berkaitan erat dengan pengendalian gerakan

jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi

(Hurlock, 2000). Menurut Herawati (2009) terdapat tiga tahapan perkembangan

1
sel dan jaringan saraf dalam otak. Tahap pertama, pada periode pertama sekitar

masa kehamilan 32 minggu dan periode kedua sekitar berumur 15 bulan. Masa ini

disebut masa kritis karena merupakan fase pesat tumbuh kembang yang terjadi

pembelahan sel otak. Tahap kedua, usia 0-2 tahun dimana periode yang paling

krusial paska kelahiran terjadi dimana terjadi pembesaran sel otak yang amat

pesat. Tahap ketiga, usia 3-6 tahun juga merupakan masa kritis, pada usia ini

pertumbuhan dan perkembangan sel dan jaringan syaraf berlangsung pesat untuk

melanjutkan dan memantapkan potensi yang sudah dibangun pada usia

sebelumnya.

Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam pemantauan

tumbuh kembang anak adalah Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh

Kembang (SDIDTK). Berdasarkan data SDIDTK dimana Penyimpangan

perkembangan yang dideteksi melalui Kuesioner Pra Skrining Perkembangan

(KPSP) yang dilakukan oleh petugas Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama,

diperoleh motorik kasar sebanyak 41 anak, motorik halus sebanyak 17 anak,

kemampuan bahasa sebanyak 5 anak dan sosialisasi kemandirian sebanyak 5 anak

pada tahun 2012 sedangkan pada tahun 2013 diperoleh motorik kasar sebanyak

38 anak, motorik halus sebanyak 13 anak, kemampuan bahasa sebanyak 5 anak

dan sosialisasi kemandirian sebanyak 2 anak.

Menurut Rumini dan Sundari (2004) prinsip perkembangan motorik

adalah perkembangan motorik tidak akan terjadi sebelum matangnya sistem

syaraf dan otot yaitu pada periode prenatal dimana perkembangan motorik akan

terjadi sebelum periode prenatal dan berlangsung saat sistem syaraf mengalami

2
perkembangan yaitu anak pada usia 0-6 tahun. Namun Zaviera (2008)

menjelaskan semakin berkembangnya sistem saraf otak yang mengatur otot

memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak.

Variasi siswa di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama

juga pada usia 3-6 tahun sehingga populasi dan sampel dalam penelitian ini

adalah anak usia 3-6 tahun.

Terkait dengan kematangan sistem syaraf dan otot, hal ini berkaitan erat

dengan keadaan gizi anak pada masa lampau. Dimana ketidakmampuan untuk

mencapai perkembangan optimal atau stunting merupakan keadaan malnutrisi

kronik yang berkaitan dengan perkembangan otak anak. Hal ini disebabkan oleh

adanya keterlambatan kematangan sel-sel saraf terutama di bagian cerebellum

yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik sehingga koordinasi sel saraf

dengan otot menjadi kurang baik (Georgieff, 2001).

Pada penelitian Kartika et al (2002) didapatkan anak usia 3-6 tahun

mengalami kemampuan motorik kasar lebih rendah pada anak yang mengalami

stunting dibandingkan dengan anak yang tidak stunting, dimana anak yang

mengalami stunting mempunyai risiko 6 kali lebih besar mengalami gangguan

perkembangan motorik kasar dibandingkan dengan anak dengan status gizi

normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

stunting dengan motorik kasar pada anak usia 3-6 tahun. Hal yang serupa juga

dibuktikan pada penelitian Olney et al (2007) bahwa di daerah Zanzibar, Afrika

Timur, anak yang stunting memiliki skor Total Motor Activity (TMA) atau jumlah

3
aktivitas motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama dalam

melakukan gerakan-gerakan perpindahan.

Selain keadaan gizi masa lampau pada anak, pemberian asupan gizi yang

seimbang juga harus diperhatikan karena untuk mengembangkan kemampuan

saraf motoriknya (Zaviera, 2008). Menurut Gerorgieff (2001) asupan zat gizi

yang berperan dalam motorik diantaranya adalah energi, protein, besi (Fe) dan

seng (Zn). Dimana energi berperan dalam mempengaruhi zat kimia yang ada di

otak yang sering disebut neurotransmitter. Protein pada asam amino tirosin

berkaitan dengan neurotransmitter dan serotonin berperan dalam menstimulasi

tidur yang penting untuk perkembangan otak dalam memproses informasi

sedangkan catecholamine berkaitan dengan keadaan siaga yang membantu

menyerap informasi di otak. Besi (Fe) berperan dalam sintesis monoamine,

metabolisme energi di neuron serta mielinisasi dan seng (Zn) berperan dalam

pelepasan neurotransmitter.

Pada penelitian Susanty (2012) dengan uji korelasi menunjukkan adanya

hubungan asupan energi dan protein tehadap status motorik anak dengan p<0,05.

Pada penelitan Black et al (2005) bahwa terdapat dampak positif pada

suplementasi zat seng (Zn) yang diberikan terhadap status motorik anak. Pada

penelitian Black et al (2004) juga menunjukkan bahwa terdapat dampak positif

pada suplementasi zat besi yang diberikan terhadap status motorik anak.

Disamping pengaruh gizi, stimulasi juga berpengaruh terhadap status

motorik. Melakukan stimulasi yang memadai artinya merangsang otak balita

sehingga kemampuan gerak atau motorik anak berlangsung secara optimal sesuai

4
dengan umur anak (Depertemen Kesehatan RI, 2008). Menurut Soetjiningsih

(2002) stimulasi psikososial merupakan rangsangan dari peristiwa-peristiwa

sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak

sehingga dapat mempengaruhi kualitas perkembangan anak.

Pada penelitian Gustiana et al (2011) dipaparkan bahwa anak pada umur

3-5 tahun mengalami status motorik kasar kurang baik lebih banyak pada anak

yang jarang diberi stimulasi psikososial yaitu sebesar 56%, sedangkan pada anak

yang sering distimulasi psikososial yang mengalami gangguan motorik kasar

hanya sebesar 24%. Anak yang mengalami status motorik kasar mempunyai

risiko 4,03 kali mendapatkan stimulasi psikososial yang jarang dibandingkan

yang cukup, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi

psikososial dengan status motorik kasar. Pada penelitian Gardner et al (2007)

dengan uji anova juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara

stimulasi psikososial dengan status motorik pada p<0.01 dan dengan derajat

kepercayaan 95%.

Suyadi (2013) menjelaskan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan

pada peletakandasar ke arah perkembangan, yaitu koordinasi motorik (halus dan

kasar) sehingga lokasi penelitian adalah di PAUD. Berdasarkan wawancara dan

observasi dengan 3 kepala sekolah dan 5 guru dari 3 Pendidikan Anak Usia Dini

(PAUD) wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, ditemukan 12

anak mengalami gangguan status motorik seperti kesulitan menggambar dan

5
memegang suatu benda dan keterlambatan menulis dimana seharusnya sudah bisa

dilakukan sesuai dengan tahapan usia masing-masing anak.

Disamping itu, peneliti juga melakukan studi pendahuluan terhadap 30

anak yang dipilih secara acak di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama pada bulan Januari 2014. Dari hasil studi pendahuluan tersebut,

diperoleh 60% (18 anak) dengan asupan energi kurang, 43,3% (13 anak) dengan

asupan protein kurang, 76,6% (24 anak) dengan asupan zat besi kurang, 53,3%

(16 anak) dengan asupan zat seng kurang berdasarkan AKG (2012). Sedangkan

stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak diperoleh 36% kurang

(11 anak), 54,7% cukup (15 anak) dan 9,3% baik (4 anak), status gizi berdasarkan

TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori stunting dan diperoleh 43,4% (13

anak) memiliki status motorik halus dengan kategori normal dan 56,6% (17 anak)

dengan kategori terganggu dan 36,7% (11 anak) memiliki status motorik kasar

dengan kategori normal dan 63,3% (19 anak) dengan kategori terganggu. Maka

dari itu, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi, stunting dan

stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan wawancara dan observasi dengan 3 kepala sekolah dan 5

guru dari 3 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) wilayah binaan Puskesmas

Kecamatan Kebayoran Lama pada bulan Januari 2014, ditemukan 12 dari anak

mengalami gangguan status motorik seperti kesulitan menggambar dan

memegang suatu benda dan keterlambatan menulis. Disamping itu, peneliti juga

6
melakukan studi pendahuluan terhadap 30 anak yang dipilih secara acak di PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama. Dari hasil studi

pendahuluan tersebut, diperoleh 60% (18 anak) dengan asupan energi kurang,

43,3% (13 anak) dengan asupan protein kurang, 76,6% (24 anak) dengan asupan

zat besi kurang, 53,3% (16 anak) dengan asupan zat seng kurang berdasarkan

AKG (2012). Sedangkan stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada

anak diperoleh 36% kurang (11 anak), 54,7% cukup (15 anak) dan 9,3% baik (4

anak), status gizi berdasarkan TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori

stunting dan diperoleh 43,4% (13 anak) memiliki status motorik halus dengan

kategori normal dan 56,6% (17 anak) dengan kategori terganggu dan 36,7% (11

anak) memiliki status motorik kasar dengan kategori normal dan 63,3% (19 anak)

dengan kategori terganggu. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk mengetahui

hubungan asupan zat gizi, stunting dan stimulasi psikososial terhadap status

motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama tahun 2014.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran asupan energi anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah

binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

2. Bagaimana gambaran asupan protein anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah

binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

3. Bagaimana gambaran asupan zat besi (Fe) anak usia 3-6 tahun di PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

7
4. Bagaimana gambaran asupan zat seng (Zn) anak usia 3-6 tahun di PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

5. Bagaimana gambaran stimulasi psikososial anak usia 3-6 tahun di PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

6. Bagaimana gambaran stunting anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan

Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

7. Bagaimana gambaran status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

8. Bagaimana gambaran status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?

9. Bagaimana hubungan asupan energi dengan status motorik kasar dan halus

anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama tahun 2014?

10. Bagaimana hubungan asupan protein dengan status motorik kasar dan halus

anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama tahun 2014?

11. Bagaimana hubungan asupan zat besi (Fe) dengan status motorik kasar dan

halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama tahun 2014?

12. Bagaimana hubungan asupan zat seng (Zn) dengan status motorik kasar dan

halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama tahun 2014?

8
13. Bagaimana hubungan stimulasi psikososial dengan status motorik kasar dan

halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama tahun 2014?

14. Bagaimana hubungan stunting dengan status motorik kasar dan halus anak

usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama tahun 2014?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan asupan zat gizi yaitu energi, protein, besi

dan seng, stunting dan stimulasi psikososial dengan status motorik anak

usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama tahun 2014.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran asupan energi anak usia 3-6 tahun di PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

2. Diketahuinya gambaran asupan protein anak usia 3-6 tahun di PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

3. Diketahuinya gambaran asupan zat besi (Fe) anak usia 3-6 tahun di

PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun

2014.

4. Diketahuinya gambaran asupan zat seng (Zn) anak usia 3-6 tahun di

PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun

2014.

9
5. Diketahuinya gambaran stunting anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah

binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

6. Diketahuinya gambaran stimulasi psikososial anak usia 3-6 tahun di

PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun

2014.

7. Diketahuinya gambaran status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di

PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun

2014.

8. Diketahuinya gambaran status motorik halus anak usia 3-6 tahun di

PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun

2014.

9. Diketahuinya hubungan asupan energi dengan status motorik kasar dan

halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas

Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

10. Diketahuinya hubungan asupan protein dengan status motorik kasar

dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas

Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

11. Diketahuinya hubungan asupan zat besi (Fe) dengan status motorik

kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan

Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

12. Diketahuinya hubungan asupan zat seng (Zn) dengan status motorik

kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan

Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

10
13. Diketahuinya hubungan stimulasi psikososial dengan status motorik

kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan

Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

14. Diketahuinya hubungan stunting dengan status motorik kasar dan halus

anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama tahun 2014.

1.5 Manfaat penelitian

1.5.1 Bagi PAUD

1. Memberikan informasi bagi PAUD tentang hubungan asupan zat gizi

dan stimulasi psikososial dengan status motorik anak.

2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk kebijakan

selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan pemantauan asupan zat gizi,

stimulasi psikososial dan upaya peningkatan kemampuan motorik

anak.

1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan untuk penelitian

berikutnya dengan mengembangkan metode yang lebih luas ruang

lingkupnya.

2. Lembaga pendidikan dapat memperoleh tolak ukur proses belajar

mahasiswa dengan keadaan yang nyata.

3. Memberikan informasi kepada institusi yang terkait sehingga dapat

menjadi bahan masukan untuk membuat kebijakan selanjutnya.

11
1.5.3 Bagi Peneliti Lain

1. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya.

2. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk

penelitian berikutnya.

1.5.4 Bagi Penulis

1. Merupakan suatu kesempatan untuk menerapkan ilmu pengetahuan

dan keterampilan yang telah diperoleh selama di bangku kuliah.

2. Menambah pengalaman bagi penulis dalam melakukan penelitian

ilmiah di bidang gizi kesehatan masyarakat.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan studi cross

sectional dengan judul “Hubungan Asupan Zat Gizi, Stunting dan Stimulasi

Psikososial dengan Status Motorik Anak Usia 3-6 Tahun di PAUD wilayah

binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014”. Penelitian ini

dilakukan dengan cara pengisian kuesioner baik untuk mengetahui variabel

dependen maupun untuk mengetahui variabel independen penelitian. Penelitian

ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni tahun 2014 dan lokasi

penelitian dilakukan di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Anak Usia Dini

2.1.1 Pengertian Perkembangan Anak Usia Dini

Terdapat hubungan yang sangat erat sekaligus perbedaan yang

cukup signifikan antara pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan

lebih mengandung unsur kuantitatif, yaitu adanya penambahan ukuran fisik

pada struktur tubuh. Anak menjadi lebih besar secara fisik dan organ-organ

dalam juga meningkat seperti tangan, kaki, badan, otak, dan lain-lain

(Suyadi, 2013).

Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam

struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan

dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini

menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh,

organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga

masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan

emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan

lingkungannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan

mempunyai dampak terhadap aspek fisik sedangkan perkembangan

berkaitan dengan pematangan fungsi organ atau individu (Suyadi, 2013).

Usia dini yaitu 0-6 tahun merupakan masa perkembangan dan

perttumbuhan yang sangat menentukan bagi anak di masa depannya atau

13
disebut juga masa keemasan (the golden age) sekaligus periode yang

sangat kritis yang menentukan tahap pertumbuhan dan perkembangan

selanjutnya (Suyadi, 2013).

2.2 Motorik

2.2.1 Pengertian dan Prinsip Motorik

Perkembangan bentuk kegiatan motorik yang sejalan dengan

perkembangan daerah sistem syaraf. Karena perkembangan pusat syaraf

yang lebih rendah, yang bertempat dalam urat syaraf tulang belakang, pada

waktu lahir berkembangnya lebih baik ketimbang pusat syaraf yang lebih

tinggi yang berada dalam otak, maka gerak refleks pada waktu lahir lebih

baik dikembangkan dengan sengaja ketimbang dibiarkan berkembang

sendiri. Cerebellum atau otak yang lebih bawah yang mengendalikan

keseimbangan, berkembang dengan cepat selama tahun awal kehidupan dan

praktis mencapai ukuran kematangan pada waktu anak berusia 5 tahun.

Demikian juga otak yang lebih atas atau cerebrum, khususnya ruang masuk

depan yang mengendalikan gerakan terampil berkembang dalam beberapa

tahun permulaan. Gerakan terampil belum dapat dikuasai sebelum

mekanisme otot anak berkembang (Hurlock, 2000).

Maka, Hurlock (2000) menyimpulkan bahwa perkembangan motorik

merupakan perkembangan dari pengendalian gerakan jasmaniah melalui

kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi. Pengendalian

tersebut berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan masa yang ada

pada waktu lahir. Dan menurut Rumini dan Sundari (2004) juga menyatakan

14
bahwa pada perkembangan motorik bergantung pada kematangan otot dan

syaraf. Motorik kasar berkembang terlebih dahulu, selanjutnya diikuti

perkembangan motorik halus. Motorik kasar melibatkan sebagian besar

bagian tubuh dan biasanya memerlukan tenaga karena itu dilakukan oleh

otot-otot yang lebih besar sedangkan mototik halus hanya melibatkan

bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot kecil karena itu

tidak begitu memerlukan tenaga.

Menurut Rumini dan Sundari (2004) ada empat prinsip motorik,

diantaranya adalah pertama, keterampilan motorik tergantung pada

kematangan otot dan syaraf. Kedua, perkembangan motorik mengikuti pola

yang dapat diramalkan. Ketiga, berdasarkan umur rata-rata suatu awal

perkembangan motorik dimungkinkan untuk menentukan norma bentuk

kegiatan motorik lainnya. Keempat, perbedaan individu juga mempengaruhi

laju perkembangan motorik.

2.2.2 Pengertian Motorik Kasar

Menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik kasar adalah bagian dari

aktivitas motor yang melibatkan keterampilan otot-otot besar. Gerakan-

gerakan seperti tengkurap, duduk, merangkak dan mengangkat leher.

Sedangkan menurut Adriana (2011) motorik kasar adalah aspek yang

berhubungan dengan perkembangan pergerakan dan sikap tubuh. Aktivitas

motorik yang mencakup keterampilan otot-otot besar seperti merangkak,

berjalan, berlari, melompat atau berenang.

15
2.2.3 Kemampuan Motorik Kasar 3-6 Tahun

Kemampuan motorik kasar yang harus dicapai anak sesuai usianya

berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2009) adalah sebagai berikut:

a. Kelompok usia 36 bulan

- Dapat melempar bola lurus ke arah perut atau dada pengasuh

dari jarak 1,5 meter

- Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua

kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari

- Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter

b. Kelompok usia 42 bulan

- Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter

- Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau

lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan

- Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua

kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari

c. Kelompok usia 48 bulan

- Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter

- Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau

lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan

- Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua

kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari

16
d. Kelompok usia 54 bulan

- Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau

lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan

e. Kelompok usia 60 bulan

- Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau

lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan

- Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan

f. Kelompok usia 66 bulan

- Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan

- Dapat menangkap bola kecil (bola tenis) hanya dengan

menggunakan kedua tangannya

g. Kelompok usia 72 bulan

- Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan

- Dapat menangkap bola kecil (bola tenis) hanya dengan

menggunakan kedua tangannya

- Dapat berdiri satu kaki tanpa berpegangan dan mempertahankan

keseimbangan dalam waktu minimal 11 detik

2.2.4 Pengertian Motorik Halus

Menurut Adriana (2011) bahwa gerak atau motorik halus adalah

aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati

sesuatu serta dilakukan oleh otot-otot kecil. Sedangkan menurut

Soetjiningsih, dkk (2002) motorik halus merupakan aspek yang

berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu,

17
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan

dilakukan otot kecil tetapi memerlukan koordinasi yang cermat misalnya

kemampuan untuk menggambar dan memegang suatu benda.

2.2.5 Kemampuan Motorik Halus anak usia 3-6 Tahun

Kemampuan motorik halus yang harus dicapai anak sesuai usianya

berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2009) adalah sebagai berikut:

a. Kelompok usia 36 bulan

- Dapat mencoret-coret kertas tanpa petunjuk saat diberi pensil

- Dapat meletakkan 4 buah kubus satu persatu di atas kubus yang

lain tanpa menjatuhkan kubusnya

- Dapat membuat garis lurus ke bawah sepanjang sekurang-

kurangnya 2,5 cm

b. Kelompok usia 42 bulan

- Dapat menggambar lingkaran dengan memberikan contoh tanpa

membantu anak dan jangan menyebut lingkaran

- Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang

lain tanpa menjatuhkan kubusnya

c. Kelompok usia 48 bulan

- Dapat menggambar lingkaran dengan memberikan contoh tanpa

membantu anak dan jangan menyebut lingkaran

- Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang

lain tanpa menjatuhkan kubusnya

18
d. Kelompok usia 54 bulan

- Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang

lain tanpa menjatuhkan kubusnya

- Dapat menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak tiga kali

dengan benar

- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa

membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar

e. Kelompok usia 60 bulan

- Dapat menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak tiga kali

dengan benar

- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa

membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar

f. Kelompok usia 66 bulan

- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa

membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar

- Dapat menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh ketia

diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak

- Dapat menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh ketia

diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak

g. Kelompok usia 72 bulan

- Dapat menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh ketika

diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak

19
- Dapat menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh ketika

diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak

- Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa

membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar

2.2.6 Kuesioner Pra Skrining Pra Perkembangan (KPSP)

Departemen Kesehatan RI (2008) menjelaskan bahwa KPSP

(Kuesioner Pra Skrining Perkembangan) adalah alat atau instrumen yang

digunakan untuk mengetahui perkembangan anak normal atau ada

penyimpangan. Jadwal skrining atau pemeriksaan KPSP rutin adalah pada

umur 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60, 66 dan 72 bulan. Cara

penggunaan KPSP adalah sebagai berikut:

a. Pada waktu pemeriksaan anak harus dibawa.

b. Tentukan umur anak dengan menanyakan tanggal, bulan dan tahun

anak lahir. Bila umur ank lebih dari 16 hari dibulatkan menjadi 1

bulan, contoh : bayi umur 3 bulan 16 hari, dibulatkan menjadi 4

bulan. Bila umur bayi 3 bulan 15 hari, dibulatkan menjadi 3 bulan.

c. Setelah menentukan umur anak, pilih KPSP yang sesuai dengan

umur anak.

d. KPSP terdiri dari 2 macam pertanyaan, yaitu :

1. Pertanyaan yang dijawab oleh ibu/pengasuh anak. Contoh:

“Dapatkah bayi makan kue sendiri?”

20
2. Perintah kepada ibu/pengasuh anak atau petugas untuk

melaksanakan tugas yang tertulis pada KPSP. Contoh: “pada

posisi bayi anda terlentang, tariklah bayi pada pergelangan

tangannya secara perlahan-lahan ke posisi duduk”.

e. Baca dulu dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang ada. Bila tidak

jelas atau ragu-ragu tanyakan lebih lanjut agar mengerti sebelum

melaksanakan.

f. Pertanyaan dijawab berurutan satu persatu.

g. Setiap pertanyaan hanya mempunyai satu jawaban YA atau TIDAK.

h. Teliti kembali semua pertanyaan dan jawaban.

Dan setelah melakukan pemeriksaan petugas memulai penilaian

hasil yang diperoleh telah melakukan pemeriksaan dengan menggunakan

interpretasi hasil KPSP sebagai berikut:

1. Hitung jawaban Ya (bila dijawab bisa atau sering atau kadang-

kadang).

2. Hitung jawabab Tidak (bila jawaban belum pernah atau tidak

pernah).

3. Bila jawaban YA = 9-10, perkembangan anak sesuai dengan tahapan

perkembangan (S).

4. Bila jawaban YA = 7 atau 8, perkembangan anak meragukan (M).

5. Bila jawaban YA = 6 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan


(P).
6. Rincilah jawaban TIDAK pada nomor berapa saja.

21
2.3 Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

2.3.1 Pengertian PAUD

Secara yuridis, yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun

2003 bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya

pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia

enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan

untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar

anak memiliki kesiapam dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Suyadi,

2013).

Sedangkan secara institusional, PAUD juga dapat diartikan sebagai

salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada

peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan, baik koordinasi

motorik (halus dan kasar), kecerdasan emosi, kecerdasan jamak maupun

kecerdasan spiritual. Oleh karena itu penyelenggaraan PAUD disesuaikan

dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini itu

sendiri (Suyadi, 2013).

2.3.2 Ruang Lingkup Lembaga PAUD

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan bahwa ruang lingkup

lembaga-lembaga PAUD terbagi ke dalam tiga jalur, yakni formal, non

formal dan informal. Ketiganya merupakan jejaring pendidikan yang

diselenggarakan sebelum pendidikan dasar. Gambar berikut ini

mengilustrasikan bentuk penyelenggaraan lembaga PAUD tersebut.

22
Jalur Formal Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul
Athfal (RA), atau bentuk lain
sederajat
Jalur Non Formal Kelompok Bermain (KB)

Jalur Informal Tempat Penetipan Anak (TPA) atau


bentuk lain sederajat

Gambar 2.1
Jalur dan Jenjang PAUD

Gambar di atas menjelaskan bahwa PAUD jalur pendidikan formal

diselenggarakan pada Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal atau bentuk

lain yang sederajat dengan rantang usia anak 4-6 tahun. Selanjutnya,

pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal diselenggarakan

pada kelompok bermain dengan rentang usia 2-4 tahun. Terakhir,

pendidikan anak usia dini jalur pendidikan informal diselenggarakan pada

tempat penitipan anak dengan rentang usia anak 3 bulan sampai dengan 2

tahun atau bentuk lain yang sederajat (Satuan PAUD Sejenis/SPS) dengan

rentang usia anak 3-6 tahun. Berdasarkan penjelasan di atas, maka PAUD

di wilayahbinaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama termasuk

Satuan PAUD Sejenis. Dimana menurut Suyadi (2013) satuan PAUD

Sejenis (SPS) adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan diluar

Taman Kanak Kanak, Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak

dengan rentang usia anak 3-6 tahun. Contohnya: Bina Keluarga Balita

(BKB), Posyandu, Pos PAUD, Taman Pendidikan Al Qur’an, Taman

Pendidikan Anak Sholeh, Sekolah Minggu dan Bina Iman.

23
2.4 Pengaruh Status Gizi berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
terhadap Status Motorik
2.4.1 Penilaian Status Gizi

Menurut Supariasa (2002) status gizi merupakan ekspresi dari

keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan

dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu, dan dapat diartikan pula

sebagai keadaan tubuh berupa hasil akhir dari keseimbangan antara zat

gizi yang masuk ke dalam tubuh dan juga perwujudan manfaatnya.

Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi secara langsung

yaitu antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut

pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai

macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai

tingkat umur dan tingkat gizi.

Antropometri secara umum digunakan untuk melihat

ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan

ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh

seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002).

2.4.2 Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.

Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri.

Menurut WHO (2005) standar antropometri penilaian status gizi anak

berdasarkan TB/U dan ambang batasnya adalah sebagai berikut:

24
Tabel 2.1
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks TB/U

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

Sangat Pendek <-3 SD


Tinggi Badan/ Umur
Anak Pendek -3 SD s/d <-2 SD
Normal -2 SD s/d 2 SD
Sumber: Kemenkes RI, 2011

Indeks TB/U memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan sebagai

berikut (Supariasa, 2002):

a. Kelebihan

1. Baik untuk menilai status gizi masa lampau.

2. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.

b. Kekurangan

1. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun.

2. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak

sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya.

3. Ketepatan umur sulit didapat.

2.4.3 Stunting

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan

keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh

seiring dengan pertambahan umur. Berdasarkan karakteristik tersebut,

maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa, 2002).

Menurut penjelasan Hurlock (2000) status gizi lampau yaitu stunting

berkaitan erat dengan status motorik karena status motorik merupakan

25
perkembangan dari pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan

pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi sehingga pengendalian

tersebut berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan masa yang ada

pada waktu lahir.

Kaitan status motorik dengan status gizi lampau juga dijelaskan

oleh Georgieff (2001) dimana ketidakmampuan untuk mencapai

pertumbuhan dan perkembangan optimal merupakan keadaan malnutrisi

kronik juga berkaitan dengan perkembangan otak anak. Hal ini disebabkan

oleh adanya keterlambatan kematangan sel-sel saraf terutama di bagian

cerebellum yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik sehingga

koordinasi sel saraf dengan otot menjadi kurang baik.

Menurut Herawati (2009) tahapan perkembangan sel dan jaringan

saraf dalam otak dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah:

1. Periode pertama sekitar masa kehamilan 32 minggu dan periode

kedua sekitar anak berumur 15 bulan. Gizi yang cukup selama

kehamilan akan menghasilkan bayi dengan berat otak dan jumlah sel

otak yang optimal. Pada saat lahir 2/3 jumlah sel otak telah terbentuk

tapi berat otak baru mencapai sepertiganya. Hal ini memberikan

indikasi bahwa sebagian besar pembelahan sel otak terjadi pada saat

janin dalam kandungan. Dalam kandungan, sel-sel otak janin

bertambah banyak dengan kecepatan sekita 250 ribu sel setiap menit.

2. Periode kedua yang paling krusial paska kelahiran terjadi pada usia

dini khususnya pada usia 0-2 tahun. Pada masa ini selain terjadi

26
pembesaran sel otak yang amat pesat, juga masih terjadi pembelahan

sel otak untuk melanjutkan 2/3 jumlah sel otak yang telah ternbentuk

pada saat anak lahir.

3. Periode ketiga, Usia 3-6 tahun adalah masa kritis ketiga. Pada usia ini

pertumbuhan dan perkembangan juga berlangsung pesat untuk

melanjutkan dan memantapkan potensi yang sudah dibangun pada

usia sebelumnya.

Menurut Rumini dan Sundari (2004) prinsip perkembangan

motorik adalah perkembangan motorik tidak akan terjadi sebelum

matangnya sistem syaraf dan otot yaitu pada periode prenatal dimana

perkembangan motorik akan terjadi sebelum periode prenatal dan

berlangsung saat sistem syaraf mengalami perkembangan yaitu anak

pada usia 0-6 tahun. Namun Zaviera (2008) menjelaskan semakin

berkembangnya sistem saraf otak yang mengatur otot memungkinkan

berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak. variasi

siswa di PAUD wilayah Kecamatan Kebayoran Lama juga pada usia 3-

6 tahun sehingga populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah anak

usia 3-6 tahun.

Pada penelitian Kartika et al (2002) didapatkan anak usia 3-5

tahun mengalami perkembangan motorik kasar lebih rendah pada anak

yang mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang tidak

stunting, dimana anak yang mengalami stunting mempunyai risiko 6

kali lebih besar mengalami gangguan perkembangan motorik kasar

27
dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal. Hal ini

menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stunting

dengan perkembangan motorik kasar pada anak usia 3-5 tahun.

Hal yang serupa juga dibuktikan pada penelitian Olney et al

(2007) bahwa anak di daerah Zanzibari, Afrika Timur yang stunting

memiliki skor Total Motor Activity (TMA) atau jumlah aktivitas

motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama dalam

melakukan gerakan-gerakan perpindahan. Sedangkan pada penelitian

Susanty (2012) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

derajat stunting dengan perkembangan motorik halus dan kasar anak

balita.

2.5 Pengaruh Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Besi dan Seng) dengan Status
Motorik
Asupan gizi merupakan kebutuhaan anak yang berperan dalam proses

tumbuh kembang terutama dalam perkembangan otak. Kemampuan anak untuk

dapat mengembangkan kemampuan saraf motoriknya adalah melalui pemberian

asupan gizi yang seimbang. Pemberian asupan gizi seimbang ini sangat

berperan dalam tumbuh kembang anak mulai dari janin dalam kandungan,

balita, anak usia sekolah, remaja bahkan sampai dewasa (Zaviera, 2008).

Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap

kebutuhan tubuh dan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan

tubuh, dalam hal ini untuk perkembangan motorik, di dalam suatu susunan

hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Dikatakan konsumsi

atau asupan gizi adekuat dimana tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan

28
gizi yang baik, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Sebaliknya

konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi

kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000).

Kecukupan gizi anak meningkat seiring dengan pertambahan usia.

Menurut Angka Kecukupan Gizi (2013) kecukupan anak dibedakan menjadi

kelompok usia, untuk anak usia 3 tahun kecukupan energinya sebesar 1125

kkal, 26 gram untuk protein, 8 mg untuk kecukupan besi, sedangkan seng 4 mg.

Pada usia 4-6 tahun kecukupan energinya sebesar 1600 kkal, 35 gram untuk

protein, 9 mg untuk kecukupan besi, sedangkan seng 5 mg.

Namun dalam mengonsumsi makanan tidak hanya jumlah dan kualitas

makanan yang harus diperhatikan akan tetapi harus diperhatikan juga cara

mengonsumsinya. Selain untuk memenuhi kebutuhan gizi juga untuk

menghindari interaksi yang terjadi antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh.

Interaksi antar zat gizi bisa berdampak positif dan negatif. Interaksi zat gizi

dapat terjadi pada tiga tempat. Pertama, dalam bahan makanan (produk pangan).

Kedua, dalam saluran pencernaan dan ketiga, dalam jaringan, sistem transpor

dan jalur ekskresi tubuh. Masing-masing interaksi dapat bersifat positif, negatif

dan kombinasi antara keduanya (Sulistyoningsih, 2011).

1. Interaksi dalam produk pangan

Zat gizi tertentu, terutama mineral dapat berinteraksi negatif dengan zat non

gizi yang terdapat dalam bahan makanan. Asam fitat dalam sayuran, serealia

atau umbi-umbian dapat mengikat mineral besi, seng atau magnesium.

Akibatnya, mineral-mineral itu tidak dapat diserap oleh tubuh.

29
2. Interaksi dalam saluran pencernaan

Sebagian besar interaksi zat gizi terjadi di dalam saluran pencernaan.

Interaksi itu dapat menguntungkan atau merugikan. Contoh yang

menguntungkan adalah interaksi atara vitamin C dengan Fe. Vitamin C

dapat meningkatkan kelarutan Fe sehingga Fe lebih mudah diserap tubuh.

Peningkatan penyerapan Fe juga dapat dibantu vitamin A dan vitamin B12.

Konsumsi protein yang relatif tinggi dapat meningkatkan penyerapan Ca

dan Zn, meskipun ekskresi Zn dalam urine menjadi meningkat.

3. Interaksi dalam metabolisme

Interaksi antara beberapa mineral dapat merugikan tubuh. Khususnya untuk

mineral, terdapat dua tipe interaksi yang terjadi, yaitu kompetisi dan

koadaptasi. Interaksi yang bersifat kompetisi ditentukan oleh kemiripan sifat

fisik dan kimia mineral itu satu sama lain, contohnya adalah Fe dengan Zn,

Fe dengan Cr, dan Zn dengan Cu. Mekanisme kompetisi terjadi karena satu

mineral yang dikonsumsi dalam jumlah berlebihan akan menggunakan alat

ranspor mineral lain sehingga akan terjadi kekurang salah satu mineral itu.

Misalnya transferrin merupakan alat transpor bagi Fe, ternyata dapat

digunakan oleh Zn, Ca dan Cr. Sedangkan koadaptasi merupakan upaya

adaptasi yang dilakukan usus dalam menyerap mineral tertentu. Koadaptasi

dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, bila suplai atau persediaan mineral

tubuh rendah, maka usus akan beradaptasi untuk meningkatkan efisiensi dan

transfer satu mineral. Kedua, apabila persediaan mineral dalam tubuh

30
berlebihan, usus akan beradaptasi untuk mengurangi penyerapan mineral

tersebut.

2.5.1 Energi

Energi berfungsi mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang

disebut neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari

satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik

(Georgieff, 2001). Westermack et al (2000) menjelaskan neurotransmitter

merupakan pelepasan senyawa melalui sinaps dari akson ke dendrit yang

berfungsi memicu rangsangan, yang berjalan menuruni dendrit ke badan

sel dan keluar melalui akson, seperti yang tertera pada gambar di bawah

ini:

Gambar 2.2

Gambaran Siklus Neurotransmitter Menghasilkan Motorik

Hasil penelitian Susanty et al (2012) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik

kasar dan halus. Demikian juga penelitian Kartika (2002) menunjukkan

ada hubungan antara energi dengan status motorik. Semakin rendah

asupan energi maka semakin rendah kemampuan motoriknya.

31
2.5.2 Protein

Georgieff (2001) menjelaskan protein merupakan prekursor untuk

neurotransmitter yang mendukung perkembangan otak. Dimana protein

disusun oleh asam amino yang terdiri dari esensial dan non esensial. Asam

amino tirosin merupakan jenis asam amino yang berhubungan dengan

mekanisme gerak motorik yang berfungsi sebagai neurotransmitter.

Westermack et al (2000) menjelaskan neurotransmitter bertugas dalam

menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga

menghasilkan gerak motorik (lihat gambar 2.1).

Georgieff (2001) juga menjelaskan fungsi otak yang baik

tergantung pada kapasitas menyerap dan memproses informasi.

Neurotransmitter catecholamies dibentuk dari asam amino dan Tyrosine

dan neurotransmitter serotonin dibentuk dari Tryptophan. Serotonin

menstimulasi tidur yang penting untuk perkembangan otak dalam

memproses informasi, sedangkan catecholamine berkaitan dengan

keadaan siaga yang membantu menyerap informasi di otak.

Hasil penelitian Susanty et al (2012) membuktikan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna secara statistik antara asupan protein dengan

status motorik, baik motorik kasar maupun motorik halus. Demikian juga

penelitian Herwan (2005) menunjukkan bahwa adanya hubungan asupan

protein dengan perkembangan motorik di Bengkulu pada bayi usia 6-12

bulan.

32
2.5.3 Besi (Fe)

Mineral besi merupakan zat gizi esensial yang berperan dalam

fungsi motorik. Fungsi yang pertama adalah besi (Fe) berperan dalam

sintesis monoamine (Georgieff, 2001). Monoamine merupakan enzim

mitokondria yang terdapat di semua bagian berhubungan dengan

metabolisme aerobik dari makanan yang menghasilkan energi, dengan kata

lain sebagai pusat pembangkit energi (Sadikin, 2002). Westermack et al

(2000) menjelaskan bahwa energi dapat mempengaruhi zat kimia yang ada

di otak yang sering disebut neurotransmitter yang bertugas dalam

menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga

menghasilkan gerak motorik (lihat gambar 2.1).

Kedua, besi berfungsi sebagai metabolisme energi di neuron

(Georgieff, 2001). Tambayong (2001) menjelaskan neuron adalah satuan

fungsional susunan saraf atau biasa disebut sel saraf. Neuron berfungsi

membawa pesan dari satu bagian tubuh ke bagian lain. Neuron terdiri dua

jenis yaitu neuron sensoris dan neuron motoris. Neuron sensoris berfungsi

membawa rangsangan dari organ sensoris, yaitu kulit, otot dan organ dalam

ke medulla spinalis atau otak. Sedangkan neuron motoris adalah neuron

yang membawa respons dari interneuron ke otot, kelenjar dan organ dalam

tubuh.

Ketiga, besi berfungsi sebagai mielinisasi (Georgieff, 2001).

Mielinisasi merupakan proses pembalutan neuron, yang berfungsi

33
mempercepat rangsangan ke otot, kelenjar dan organ dalam tubuh

(Tambayong, 2001).

Keempat, besi berfungsi sebagai sistem neurotransmitter, yang

bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya

sehingga menghasilkan gerak motorik (Westermack et al, 2000).

Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Olney et al (2007) yang

menunjukkan bahwa ada hubungan asupan zat besi dengan perkembangan

motorik, dimana anak yang kekurangan zat besi memiliki skor kemampuan

kasar lebih rendah. Hal yang sama juga dibuktikan pada penelitan Black et

al (2004) bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat besi yang

diberikan terhadap perkembangan motorik anak.

2.5.4 Seng

Asupan zat gizi merupakan kebutuhan anak yang berperan dalam

proses tumbuh kembang terutama tumbuh kembang otak. Dimana zat seng

(Zn) berperan dalam pelepasan neurotransmitter (Georgieff, 2001).

Seperti yang telah dijelaskan oleh Westermack et al (2000) bahwa

neurotransmitter bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke

saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (lihat gambar

2.1).

Dan Black (1998) menyatakan bahwa kekurangan zat seng akan

berakibat fatal terutama pada pembentukan struktur otak, fungsi otak dan

mengganggu respon tingkah laku dan emosi, yang artinya akan berakibat

fatalpada perkembangan motorik juga. Demikian pada penelitian Black

34
(2003) yang menunjukkan bahwa ada hubungan asupan zat seng dengan

perkembangan motorik. Hal yang sama juga dibuktikan pada penelitan

Black et al (2005) bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat

seng yang diberikan terhadap perkembangan motorik anak.

2.5.5 Metode Food Recall 24 Jam

Salah satu cara untuk survei konsumsi adalah dengan recall 24

jam. Recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan

makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu, pencatatan di

deskripsikan secara mendetail oleh pewawancara, meliputi semua

makanan dan minuman yang dikonsumsi serta cara pengolahannya, tetapi

terkadang responden lupa akan apa yang telah dikonsumsinya, maka dari

itu perlu dibantu dengan penjelasan waktu kegiatannya dan sebaiknya

dilakukan berulang pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut),

tergantung dari variasi menu keluarga dari hari ke hari (Gibson, 2005).

Menurut Gibson (2005) metode untuk menilai asupan makanan

atau zat gizi dapat dilakukan berdasarkan pada tujuan dari penelitian.

Metode tersebut dibagi dalam empat tingkat, diantaranya adalah:

1. Tingkat 1

Tingkat satu adalah tingkat paling sederhana. Tujuannya adalah

untuk menentukan rata-rata asupan suatu kelompok yang dilakukan

pengambilan recall 24 jamsebanyak 1 kali.Dimana semua hari dalam

seminggu harus terepresentasi secara keseluruhan dan besar sampel

ditentukan oleh tingkat presisi yang dibutuhkan.

35
2. Tingkat 2

Tujuannya adalah untuk menentukan proporsi suatu populasi yang

beresiko ketidakcukupan asupan gizinya sehingga membutuhkan

pengukuran lebih dari satu hari yaitu dilakukan selama 2 hari secara

tidak berurutan.

3. Tingkat 3

Tujuannya adalah untuk menentukan peringkat asupan gizi pada

individu dalam suatu kelompok dan juga digunakan untuk

menguhubungkan asupan makanan dengan resiko dari penyakit

kronis sehingga membutuhkan pengukuran lebih dari dua hari secara

tidak berurutan.

4. Tingkat 4

Tujuannya adalah untuk menentukan asupan makanan atau gizi pada

individu untuk konseling atau analisis korelasi dan regresi dengan

pengukuran biokimia tiap individu sehingga membutuhkan

pengukuran lebih dari dua hari secara tidak berurutan.

Metode recall 24 jam memiliki beberapa kelebihan dan

kekurangan sebagai berikut (Supariasa, 2002):

a. Kelebihan :

1. Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden.

2. Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus

dan tempat yang luas untuk wawancara.

36
3. Cepat. Sehingga dapat mencakup banyak responden.

4. Dapat digunakan pada responden yang buta huruf.

5. Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi

individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.

b. Kekurangan :

1. Tidak dapat menggambarkan asupan sehari-hari bila hanya

dilakukan recall satu hari.

2. Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden.

3. The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang

kurus untuk melaporkan lebih banyak dan bagi responden yang

gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit.

4. Membutuhkan tenaga atau petugas yang terampil dan terlatih

dalam menggunakan alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang

dipakai menurut kebiasaan masyarakat.

5. Untuk mendapatkan gambaran konsumsi sehari-hari jangan

dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari pekan, dll.

2.6 Pengaruh Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik

2.6.1 Mekanisme Kerja Stimulasi terhadap Motorik

Status motorik sangat berkaitan erat dengan stimulasi yang diberikan

oleh pengasuh kepada anak. Kesempatan untuk menggerakkan semua

anggota tubuh perlu mendapat stimulasi sehingga akan mempercepat

tercapainya kemampuan motorik (Departemen Kesehatan RI, 2009). Hal ini

dapat disimpulkan bahwa stimulasi berperan terhadap perkembangan

37
motorik dimana Hurlock (2000) menjelaskan stimulasi sangat penting untuk

mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan perkembangan

otak. Dimana perkembangan motorik merupakan perkembangan dari

pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan

otot yang terkoordinasi.

Pada penelitian Gustiana et al (2011) dipaparkan bahwa anak pada

umur 3-5 tahun mengalami status motorik kasar kurang baik lebih banyak

pada anak yang jarang diberi stimulasi yaitu sebesar 56%, sedangkan pada

anak yang sering distimulasi yang mengalami gangguan motorik kasar

hanya sebesar 24%. Anak yang mengalami status motorik kasar mempunyai

risiko 4,03 kali mendapatkan stimulasi yang jarang dibandingkan yang

cukup, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi

dengan status motorik kasar, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang

signifikan antara stimulasi dengan status motorik kasar. Dan pada penelitian

Gardner et al (2007) dengan uji anova juga menunjukkan adanya hubungan

yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan perkembangan motorik

pada p<0.01 dan derajat kepercayaan 95%.

Mekanisme kerja stimulasi hingga terjadinya kontraksi atau sebuah

motorik atau gerakan yaitu seperti yang dijelaskan oleh Tambayong (2001)

yaitu bahwa stimulasi yang diterima dan diteruskan melalui saraf ke otak

dan medulla spinalis, tempat pesan-pesan itu dianalisis, digabungkan,

dibanding-bandingkan dan dikoordinasikan oleh proses yang disebut

integrasi. Setelah dipilih, pesan-pesan itu diteruskan oleh saraf ke otot dan

38
kelenjar tubuh, menyebabkan otot berkontraksi atau relaksasi, dan kelenjar

bersekresi atau tidak menyekresi produknya.

Gambar 2.3

Gambaran Mekanisme Kerja Stimulasi

2.6.2 Pengertian Stimulasi Psikososial

Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi adalah sebuah rangsangan

dari luar atau dari lingkungan yang merupakan hal penting dalam tumbuh

kembang anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur

akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau

tidak mendapatkan stimulasi. Dan psikososial menurut Supartini (2002)

adalah peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari

lingkungan luar diri seseorang atau anak yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka dapat disimpulkan bahwa

stimulasi psikososial adalah rangsangan dari peristiwa-peristiwa sosial

atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak

yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

39
2.6.3 Home Observation for Measurement of the Environment (HOME)

Latifah (2007) menjelaskan salah satu metode untuk mengukur

stimulasi orang tua terhadap anaknya menggunakan kuesioner HOME

(Home Observation for Measurement of the Environment) dari Bettye M.

Caldwell dan Robert H. Bradley (1983). Chandriyani (2009) menjelaskan

kualitas lingkungan anak dilihat dari apakah orangtua memberikan reaksi

emosi yang tepat, apakah orangtua mambu memberikan dorongan positif

kepada anak, apakah orangtua memberikan suasana yang nyaman kepada

anak, menunjukkan kasih sayang, menyediakan sarana tumbuh kembang

dan belajar bagi anak, turut berpartisipasi dan ikut serta dalam kegiatan

positif bersama anak, terlibat aktif dalam kegiatan bersama anak, dan juga

apakah orangtua memberikan lingkungan fisik yang nyaman di rumah

serta mengikuti kegiatan belajar.

Kuesioner ini dirancang untuk mengukur kuantitas dan kualitas

stimulasi dan penyediaan dukungan untuk anak di lingkungan rumah.

Fokusnya adalah pada anak di dalam lingkungan, anak sebagai penerima

masukan dari objek, peristiwa dan interaksi yang terjadi dalam

hubungan dengan lingkungan. Kuesioner ini dirancang untuk

penggunaan selama masa kanak-kanak (3-6 tahun). Kuesioner ini terdiri

dari 55 buah pertanyaan yang dilakukan dengan wawancara dan

observasi dan terbagi menjadi 8 sub skala yaitu: stimulasi belajar,

stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan,

40
stimulasi akademik, modelling, variasi stimulasi kepada anak, dan

hukuman positif (Latifah, 2007).

2.7 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Anak

2.7.1 Pengasuhan Anak

Pengasuhan anak didefinisikan sebagai perilaku yang dipraktikan

oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek atau orang lain) dalam memberikan

makanan, pemeliharaan kesehatan, stimulasi serta dukungan emosional

yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang, juga termasuk di dalamnya

tentang kasih sayang dan tanggung jawab orang tua (Rumini dan Sundari,

2004).

Caldwell dan Bradley (1983) dalam Latifah (2007) menjelaskan

bagian dari cara pengasuhan terhadap anak yang menentukan kualitas

motorik anak adalah stimulasi psikososial. Stimulasi psikososial tidak

hanya terdiri dari stimulasi sensorik namun juga meliputi stimulasi afektif.

Stimulasi sensorik yaitu berperan untuk merangsang aktivitas otot

sedangkan stimulasi afektif meliputi aspek sosial dan kognitif yang

berperan untuk terwujudnya perkembangan motorik secara

optimal.Stimulasi psikososial merupakan stimulasi yang diberikan orang

tua dan keluarga yang terdiri dari memberikan kehangatan, suasana

penerimaan, pemberian teladan atau contoh, pemberian pengalaman,

dorongan belajar dan berbahasa serta dorongan bagi kemampuan akademik

anak.

41
2.7.2 Gizi

Anak yang mengalami kekurangan gizi dapat menyebabkan isolasi

diri, yaitu mempertahankan untuk tidak mengeluarkan energi yang banyak

dengan mengurangi kegiatan interaksi sosial, aktivitas, perilaku

eksploratori, perhatian dan motivasi. Pada keadaan ini, anak menjadi tidak

aktif, apatis, pasif dan tidak mampu bekonsentrasi. Akibatnya anak dalam

melakukan kegiatan eksplorasi terhadap lingkungan fisik di sekitarnya

hanya mampu sebentar saja. Hal ini jika dibiarkan berlanjut akan

menghambat perkembangan motoriknya (Rumini dan Sundari, 2004).

Keadaan kurang gizi juga berhubugan dengan keterlambatan

perkembangan motorik, dalam hal ini panjang badan atau tinggi badan

terhadap umur. Apabila keadaan kurang gizi diperbaiki dengan pemberian

asupan makanan yang adekuat maka perkembangan motorik bertambah

baik. Sebaliknya apabila keadaan kurang gizi diperparah dengan pemberian

asupan makanan yag tidak adekuat maka perkembangan motorik

bertambah buruk. Keadaan ini dapat disimpulkan bahwa perkembangan

motorik berhubungan erat dengan keadaan gizi (Husaini, 2002).

2.7.3 Lingkungan anak

Lingkungan anak adalah tempat dimana pengasuh mempraktikkan

pengetahuan yang dipunyainya dalam kehidupan sehari-hari serta

hubungan emosional anggota keluarga lainnya, tetangga dan masyarakat,

semuanya berakumulasi dalam membentuk kualitas tumbuh kembang anak

(Rumini dan Sundari, 2004).

42
2.8 Kerangka Teori

Berdasarkan penjelasan teori di atas, Rumini dan Sundari (2004)

menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik

anak meliputi pengasuhan anak, gizi dan lingkungan anak. Penjelasan lebih lanjut

oleh Georgieff (2001) mengenai hubugan asupan makanan yang cukup yaitu

terdiri dari energi, protein, lemak, seng (Zn) dan zat besi (Fe), dan stunting

terhadap perkembangan motorik. Dan Caldwell dan Bradley (1983) dalam Latifah

(2007) menjelaskan stimulasi psikososial merupakan bagian dari cara pengasuhan

anak. Dan juga dijelaskan lebih lanjut mengenai stimulasi psikososial oleh

Depkes RI (2009) dan Hurlock (2000). Namun menurut Soetjiningsih, dkk (2002)

perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, yang merupakan

bawaan anak yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri khasnya seperti kerdil.

Pengaruh dari faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada bagan dibawah ini:

43
Gambar 2.4

Kerangka Teori

Genetik

Pengasuhan Anak Stimulasi Perkembangan


Psikososial Motorik Anak
a. Motorik
Gizi Kasar
(Impuls
1. Status GiziTB/U Syaraf dan
(stunting) Otot)
2. Asupan gizi b. Motorik
a. Energi Halus
b. Protein (Impuls
c. Seng (Zn) Syaraf dan
d. Besi (Fe) Otot)

LingkunganAnak

Sumber : Modifikasi Rumini dan Sundari (2004), Soetjiningsih, dkk (2002), Caldwell

dan Bradley (2003) dalam Latifah (2007), Hurlock (2000) dan Georgieff

(2001).

44
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan zat

gizi, stunting dan stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6

tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun

2014. Berdasarkan teori, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

motorik terdiri dari genetik, pengasuhan anak, gizi yang terdiri dari satus gizi

berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U), asupan gizi (energi, protein, besi

dan seng) dan lingkungan anak.

Dalam penelitian ini ada dua variabel yang tidak diteliti, diantaranya

adalah variabel genetik dan lingkungan anak. Alasannya variabel genetik tidak

diteliti namun dikontrol karena keterbatasan peneliti untuk melakukan test genetik

dan keterbatasan orang tua atau pengasuh dalam mengingat kejadian masa lalu

yang berhubungan dengan perkembangan. Dan variabel lingkungan anak tidak

diteliti karena lingkungan anak menurut Rumini dan Sundari (2004) adalah

tempat dimana pengasuh mempraktikkan pengetahuan yang dipunyainya dalam

kehidupan sehari-hari serta hubungan emosional anggota keluarga lainnya,

tetangga dan masyarakat, dimana variabel tersebut sudah terwakili dengan

variabel stimulasi psikososial yang mencakup pemberian kehangatan, suasana

penerimaan, teladan atau contoh, pengalaman, dorongan belajar dan berbahasa

serta dorongan bagi kemampuan akademik anak.

45
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah status motorik. Sedangkan

variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu :

a. Energi

Energi mempengaruhi status motorik karena energi berperan dalam

mempengaruhi neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls

dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik.

b. Protein

Asupan protein mempengaruhi status motorik karena asam amino tirosin

berfungsi sebagai neurotransmitter yangmenghantarkan impuls dari satu saraf

ke saraf yang lainnya sedangkan serotonin berperan penting untuk

perkembangan otak dalam memproses informasi dan catecholamine berperan

dalam mebantu menyerap informasi di otak.

c. Seng (Zn)

Asupan zat seng dapat mempengaruhi status motorik karena zat seng berperan

dalam pelepasan neurotransmitter dan kekurangan zat seng akan berakibat

fatal terutama pada pembentukan struktur otak, fungsi otak dan mengganggu

respon tingkah laku dan emosi yang akan mempengaruhi status motorik juga.

d. Besi (Fe)

Asupan zat besi dapat mempengaruhi status motorik karena zat besi berperan

sebagai sintesis monoamine yang menghasilkan energi yang dapat

mempengaruhi neurotransmitter, metabolisme energi di neuron dan

mielinisasi.

e. Stimulasi psikososial

46
Stimulasi psikososial adalah rangsangan yang diberikan oleh pengasuh kepada

anak yang berfungsi mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan

rangsangan perkembangan otak sehingga semakin sering anak mendapat

stimulasi psikososial semakin mempercepat tercapainya kemampuan motorik.

f. Stunting

Keadaan stunting mempengaruhi status motorik karenaterjadi keterlambatan

kematangan sel-sel saraf terutama di bagian cerebellum yang merupakan pusat

koordinasi gerak motorik sehingga koordinasi sel saraf dengan otot menjadi

kurang baik.

Gambar 3.1
Kerangka Konsep

Asupan Energi

Asupan Protein

Asupan zat besi (Fe) Status Motorik


(Kasar dan Halus)

Asupan zat seng (Zn)

Stimulasi Psikososial

Stunting

47
3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Dependen

1. Status Motorik Tingkat kemampuan anak Wawancara Kuesioner Pra Jika skor jawaban : Ordinal

Kasar dalam melakukan pergerakan Skrining a. Kode 1 (Normal)

yang melibatkan otot-otot Perkembangan Jika skor perkembangan anak sesuai

besar seperti seperti (KPSP) dengan tahap usia perkembanganya

berjalan, berlari, menendang, (Depkes RI, = ≥ median

melempar dan melompat . 2008). b. Kode 2 (Terganggu)

Jika skor perkembangan anak terlambat

tidak sesuai dengan tahap usia

perkembangannya = < median

2. Status Motorik Tingkat kemampuan anak Wawancara Kuesioner Pra Jika skor jawaban : Ordinal

Halus dalam melakukan pergerakan Skrining a. Kode 1 (Normal)

yang melibatkan otot-otot Perkembangan Jika skor perkembangan anak sesuai

48
kecil seperti menggambar (KPSP) dengan tahap usia perkembanganya

dan memegang suatu benda. (Depkes RI, = ≥ median

2008). b. Kode 2 (Teganggu)

Jika skor perkembangan anak terlambat

tidak sesuai dengan tahap usia

perkembangannya = < median

Independen

1. Asupan Energi Jumlah rata-rata kalori dari Wawancara Food Recall Jika skor jawaban : Ordinal

makanan yang dikonsumsi 3 x 24 a. Kode 1 (Kurang)

anak selama tiga hari secara Jam(Gibson, Jika skor asupan energi <EAR

tidak berurutan. 2005). b. Kode 2 (Cukup)

Jika skor asupan energi ≥ EAR

2. Asupan Protein Jumlah rata-rata makanan Wawancara Food Recall Jika skor jawaban : Ordinal

yang dikonsumsi anak yang 3 x 24 Jam a. Kode 1 (Kurang)

mengandung protein selama (Gibson, Jika skor asupan protein < distribusi

49
tiga hari secara tidak 2005). presentase energi dari protein

berurutan. b. Kode 2 (Cukup)

Jika skor asupan protein ≥ distribusi

presentase energi dari protein

3. Asupan Zat Jumlah rata-rata makanan Wawancara Food Recall Jika skor jawaban : Ordinal

Besi (Fe) yang dikonsumsi anak yang 3 x 24 Jam a. Kode 1 (Kurang)

mengandung zat besi selama (Gibson, Jika skor asupan zat besi <AKG

tiga hari secara tidak 2005). b. Kode 2 (Cukup)

berurutan. Jika skor asupan zat besi ≥ AKG

4. Asupan Zat Jumlah rata-rata makanan Wawancara Food Recall Jika skor jawaban : Ordinal

Seng (Zn) yang dikonsumsi anak yang 3 x 24 Jam a. Kode 1 (Kurang)

mengandung zat seng selama (Gibson, Jika skor asupan zat seng <AKG

tiga hari secara tidak 2005). b. Kode 2 (Cukup)

berurutan. Jika skor asupan zat seng ≥ AKG

5. Stimulasi Rangsangan dari peristiwa- Wawancara Kuesioner Jika skor jawaban : Ordinal

50
Psikososial peristiwa sosial atau HOME a. Kode 0 (Stimulasi psikososial kurang)

psikologis yang diberikan inventory Jika skor 0-29

pengasuh berupa (Latifah, b. Kode 1 (Stimulasi psikososial cukup)

memberikan kehangatan, 2007). Jika Skor 30-45

suasana penerimaan, c. Kode 2 (Stimulasi psikososial baik)

pemberian teladan atau Jika skor 46-55

contoh, pemberian

pengalaman, dorongan

belajar dan berbahasa serta

dorongan bagi kemampuan

akademik anak.

6. Stunting Hasil status gizi anak pada Mengukur Microtoisedan Jika skor jawaban : Ordinal
a. Kode 1 (Ya)
masa lalu dengan tinggi badan menanyakan
Jika Z score -2 SD sd 2 SD
pengukuran tinggi badan dan umur anak
b. Kode 2 (Tidak)
anak pada masa sekarang menanyakan (Supariasa,
Jika Z score <-2 SD

51
dimana kurang dari indikator umur anak. 2002).

yang telah ditentukan oleh

WHO (2005).

52
3.3 Hipotesis

1. Ada hubungan antara asupan energi dengan status motorik kasar anak usia

3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama

tahun 2014.

2. Ada hubungan antara asupan energi dengan status motorik halus anak usia

3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama

tahun 2014

3. Ada hubungan antara asupan protein dengan status motorik kasar anak usia

3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama

tahun 2014.

4. Ada hubungan antara asupan protein dengan status motorik halus anak usia

3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama

tahun 2014.

5. Ada hubungan antara asupan zat besi (Fe) dengan status motorik kasar anak

usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama tahun 2014.

6. Ada hubungan antara asupan zat besi (Fe) dengan status motorik halus anak

usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama tahun 2014.

7. Ada hubungan antara asupan zat seng (Zn) dengan status motorik kasar anak

usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama tahun 2014.

53
8. Ada hubungan antara asupan zat seng (Zn) dengan status motorik halus anak

usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama tahun 2014.

9. Ada hubungan antara stimulasi psikososial dengan status motorik kasar anak

usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama tahun 2014.

10. Ada hubungan antara stimulasi psikososial dengan status motorik halus anak

usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama tahun 2014.

11. Ada hubungan antara stunting dengan status motorik kasar anak usia 3-6

tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama

tahun 2014.

12. Ada hubungan antara stunting dengan status motorik halus anak usia 3-6

tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama

tahun 2014.

54
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain

cross sectional, dimana pengumpulan data dan pengukuran variabel

independen dan variabel dependen dilakukan pada waktu yang bersamaan

(Hastono, 2010). Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan asupan zat

gizi yaitu energi, protein, besi dan seng, stunting dan stimulasi psikososial

dengan status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan

Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di PAUD yang termasuk ke dalam

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan,

yaitu PAUD Anyelir I dan II, Cempaka, Seruni Ceria dan Nusa Indah.

Waktu penelitian dilaksanakan selama bulan April sampai dengan Juni

2014.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan dari unit di dalam

pengamatan yang akan kita lakukan (Hastono, 2010). Populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh anak atau siswa yang berusia

55
3-6 tahun yang ada di PAUD wilayah binaan Puskesmas

Kecamatan Kebayoran Lama pada tahun 2014 yaitu:

Tabel 4.1
Data siswa PAUD di wilayah binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014

No. Nama PAUD Jumlah Siswa


1. Anyelir I 24
2. Anyelir II 30
3. Cempaka 35
4. Seruni Ceria 36
5. Nusa Indah 31
Jumlah Populasi 156
Sumber : Data Base PAUD

4.3.2 Sampel dan Teknik Sampling

Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik

yang dimiliki oleh populasi (Hastono, 2010). Penelitian ini

dilakukan di PAUD yang termasuk dalam kelompok PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada tahun

2014.

Jumlah sampel (n) pada penelitian ini diperoleh dengan

menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi (Ariawan,

1998) sebagai berikut :

n = 1-α/2√ ( ) + Z 1-β √P1(1-P1)+P2(1-P2) ]2

(P1-P2)2

Keterangan :

56
- n = Besar sampel.

- α = Tingkat kemaknaan, nilainya 5%.

- β = Kekuatan uji, nilainya 95%.

- Z1-α/2= Nilai Z pada derajat kepercayaan 1- α/2 atau derajat

kepercayaan α pada uji dua sisi (two tail), yaitu sebesar

95%= 1,96.

- Z 1-β = Nilai Z pada kekuatan uji 1- β, yaitu sebesar 80% = 0,84.

- P1 = Proporsi yang diadaptasi untuk anak dengan faktor resiko

stimulasi psikososial sebesar 0.56 (56%) pada penelitian

sebelumnya (Gustiana, 2011).

- P2 = Proporsi yang diadaptasi untuk anak tanpa faktor resiko

resiko stimulasi psikososial sebesar 0.24 (24%) pada

penelitian sebelumnya (Gustiana, 2011).

Maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah:

n= 1-α/2√ ( ) + Z 1-β √P1(1-P1)+P2(1-P2)]2

(P1-P2) 2

n=[1,96 √ ( )( ) + 0,84 √ ( ) ( )]2

(0,56-0,24)2

n = 38

Karena memakai rumus uji beda dua proporsi maka sampel

yang diperlukan adalah 76 anak, untuk menghindari terjadinya

57
sampel yang drop out dan sebagai cadangan maka sampel minimal

yang dibutuhkan sebesar 85 anak.

Pengambilan sampel dilakukan dengan acak sederhana

(proportional random sampling) yaitu pengambilan sampel dari

tiap-tiap PAUD diambil secara proporsional sesuai dengan jumlah

siswa pada tiap-tiap PAUD dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

ni = Ni/N x n

Keterangan :

ni : Ukuran tiap proporsi sampel

Ni : Jumlah populasi setiap kelompok PAUD

N : Jumlah populasi kelompok PAUD wilayah binaan Puskesmas

Kecamatan Kebayoran Lama

n : Jumlah sampel yang diinginkan

Tabel 4.2
Proporsi Jumlah Siswa PAUD di Wilayah Binaan Puskesmas
Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014
No. Nama PAUD Jumlah Siswa Jumlah Sampel (n)

1. Anyelir I 24 n=24/156 x 85 = 13

2. Anyelir II 30 n=30/156 x 85 = 16
3. Cempaka 35 n=35/156 x 85 = 20
4. Seruni Ceria 36 n=36/156 x 85 = 20
5. Nusa Indah 31 n=31/156 x 85 = 17
Jumlah 156 85
Sumber : Hasil Analisis Perhitungan Sampel Penelitian

58
4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Food Recall 3 x 24 jam digunakan untuk mengetahui asupan energi,

protein, zat besi (Fe) dan zat seng (Zn).

b. Kuesioner instrumen HOME inventory digunakan untuk menilai

stimulasi psikososial yang diberikan oleh keluarga kepada anaknya.

c. Untuk mengetahui status gizi kategori stunting dengan menggunakan

indeks TB/U kemudian menyesuaikan hasil pengukuran indeks

dengan pengklasifikasian z-score menurut WHO (2005). Untuk

rumus perhitungan z score adalah sebagai berikut:

Z score = Nilai individu Subjek – Nilai Median Baku Rujuk

Nilai Simpang Baku Rujukan

Dan alat pengukur tinggi badan anak yaitu microtoise. Syarat-

syarat posisi sewaktu mengukur anak, yaitu:

1. Posisi Anak sewaktu diukur, anak tidak boleh memakai alas

kaki dan penutup kepala

2. Posisi anak berdiri membelakangi dinding dengan microtoise

berada di tengah bagian kepala.

3. Posisi anak tegak bebas

4. Tangan dibiarkan tergantung bebas menempel ke badan

5. Tumit rapat, tetapi ibu jari kaki tidak rapat

6. Kepala, tulang belikat, pinggul dan tumit menempel ke dinding

59
7. Anak menghadap dengan pandangan lurus ke depan

Sedangkan cara penggunaan microtoise dan membaca angkanya

adalah sebagai berikut (Supariasa, 2002):

1. Segitiga siku-siku diletakkan di atas kepala.

2. Satu sisi menempel di bagian tengah kepala anak dan satu sisi

lainnya menempel ke pita meteran di dinding

3. Hasil pengukuran dibaca sebelum segitiga siku-siku yang

menempel di kepala anak digerakkan

4. Pembacaan angka dilakukan setelah anak selesai diukur pada

skala yang ditunjuk oleh sudut segitiga siku-siku

d. Kuesioner yang digunakan untuk menilai kemampuan

Perkembangan anak adalah KPSP (Kuesioner Pra Skrining

Perkembangan). KPSP merupakan kuesioner denver II yang telah

dimodifikasi. Instrumen ini digunakan untuk mengetahui

perkembangan anak normal atau ada penyimpangan. Alat dan

bahan yang diperlukan adalah:

1. Kubus berukuran 2-2.5 cm

2. Bola plastik berdiameter 5 cm

3. Pensil

4. Kertas kosong atau buku

4.5 Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data

primer dikumpulkan untuk mengetahui asupan zat gizi anak dengan

60
mengisi formulir food recall, untuk mengetahui stunting pada anak

dengan mengukur tinggi badan anak dengan microtoise dan untuk

mengetahui stimulasi psikososial yang diberikan oleh keluarga yang

dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner HOME inventory

sedangkan untuk mengetahui perkembangan motorik anak menggunakan

kuesioner Pra Skrining Perkembangan yang telah dimodifikasi. Data

sekunder dikumpulkan untuk melihat data umum anak dari PAUD dan

data umum lokasi penelitian.

4.6 Pengolahan Data

Pengolahan data yang telah dikumpulkan, dilakukan dengan proses

komputerisasi, melalui beberapa langkah sebagai berikut:

1) Editing

Data yang telah dikumpulkan diperiksa kelengkapannya terlebih

dahulu.

2) Coding

Sebelum dimasukkan ke komputer, dilakukan proses pemberian kode

pada setiap jawaban yang terdiri variabel asupan zat gizi, stimulasi

psikososial dan status motorik anak.

a. Status Motorik

1. Kode 1

Skor ≥ median = status motorik anak sesuai dengan tahap

usia anak (Normal)

61
2. Kode 2

Skor < median = status motorik anak sesuai dengan tahap

usia anak (Terganggu)

b. Asupan Energi

1. Kode 1

Skor ≥ EAR = Asupan energi baik (Cukup)

2. Kode 2

Skor <EAR = Asupan energi kurang (Kurang)

c. Asupan Protein

1. Kode 1

Skor ≥ distribusi presentase energi dari protein = Asupan

protein baik (Cukup)

2. Kode 2

Skor < distribusi presentase energi dari protein = Asupan

protein kurang (Kurang)

d. Asupan Zat Besi (Fe)

1. Kode 1

Skor ≥ Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat besi baik

(Cukup)

2. Kode 2

Skor < Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat besi kurang

(Kurang)

62
e. Asupan Zat Seng (Zn)

1. Kode 1

Skor ≥ Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat seng baik

(Cukup)

2. Kode 2

Skor < Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat seng kurang

(Kurang)

f. Stimulasi Psikososial

1. Kode 1

Skor 0-29 = Stimulasi Pikososial kurang (Kurang)

2. Kode 2

Skor 30-45 = Stimulasi Pikososial cukup (Cukup)

3. Kode 3

Skor 46-55 = Stimulasi psikososial baik (Baik)

g. Stunting

1. Kode 1

Jika Z score -2 SD s/d 2 SD (Normal)

2. Kode 2

Jika Z score <-2 SD (stunting / pendek)

3) Entry

Memasukkan data dengan menggunakan komputer untuk analisa lebih

lanjut.

4) Cleaning

63
Pengecekkan kembali, untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan

pada data yang sudah dimasukkan, baik dalam pengkodean maupun

kesalahan dalan membaca kode. Dengan demikian data telah siap

dianalisis program software analisa data komputer.

4.7 Analisis Data

4.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menyajikan dan

menggambarkan distribusi frekuensi dari setiap variabel yang diteliti

dalam bentuk presentase dan disajikan dalam bentuk tabel dan

grafik. Analisis univariat dalam penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui gambaran variabel independennya, yaitu asupan zat gizi,

stunting dan stimulasi psikososial. Selain itu juga dilakukan untuk

mengetahui gambaran variabel dependennya yaitu status motorik.

4.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menguji hipotesis yang ada

antara variable dependen dengan variabel independen. Analisis

bivariat yang dilakukan menggunakan uji Chi-Square untuk melihat

hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen,

dengan tingkat kemaknaan sebesar 0,05. Uji Chi-Square dapat

menggunakan rumus sebagai berikut :

X2Σ = (O – E)2

DF = (k-1) (b-1)

64
Keterangan :

X2 = Chi Square

O = Nilai observasi

E = Nilai ekspektasi

k = Jumlah kolom

b = Jumlah baris

Melalui uji statistik chi-square akan diperoleh nilai P,

dimana dalam penelitian ini digunakan tingkat kemaknaan sebesar

0,05. Penelitian antara dua variabel dikatakan berhubungan jika

mempunyai nilai p<0,05 dan dikatakan tidak berhubungan jika

p>0,05.

Pada uji chi-square ini merupakan tabel lebih dari 2x2, maka

digunakan uji “Pearson Chi Square”. Namun jika tidak memenuhi

kriteria uji Chi Square, maka dilakukan pengurangan cells dengan

cara collaps.

65
BAB V

HASIL

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama dalam melakukan kinerjanya

selain mengkoordinasikan kinerja atau program di seluruh puskesmas kelurahan,

puskesmas kecamatan kebayoran lama juga memiliki wilayah binaan yaitu

wilayah RW 01, 08, 09, 10 dan 11. Wilayah yang termasuk ke dalam Puskesmas

Kecamatan Kebayoran Lama memili PAUD. Lokasi penelitian dilaksanakan di

PAUD yang termasuk ke dalam wilayah binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama Jakarta Selatan, yaitu PAUD Nusa Indah, Anyelir I dan II,

Cempaka dan Seruni Ceria. PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama adalah PAUD yang berada dibawah Kementerian Kesehatan

dalam melaksanakan program tumbuh kembang anak (SDIDTK) yang

bekerjasama dengan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama.

Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di PAUD

sebanyak tiga kali dalam seminggu selama 2 jam per hari. Jumlah keseluruhan

siswa di PAUD binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada tahun

ajaran 2013/2014 adalah 156 anak dimana masing-masing PAUD memiliki

jumlah siswa yang berbeda, yaitu Anyelir I (24 anak), Anyelir I (30 anak),

Cempaka (35 anak), Seruni ceria (36 anak) dan Nusa indah (31 anak). Pembagian

kelas setiap PAUD binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama terdiri dari

66
kelas A yang diikuti oleh anak usia 3-4 tahun dan kelas B yang diikuti oleh anak

usia 4-6 tahun.

5.2 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi variabel

dependen, yaitu status motorik halus dan kasar dan variabel independen terdiri

dari

asupan energi, protein, besi dan seng, stunting dan stimulasi psikososial.

5.2.1 Gambaran Status Motorik Halus

Dalam penelitian ini status motorik halus dibagi menjadi 2 (dua)

kategori yaitu normal dan terganggu. Seperti yang terlihat pada tabel 5.1

berikut ini:

Tabel 5.1
Distribusi Berdasarkan Status Motorik Halus pada Siswa PAUD
Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014
Status Motorik Halus Jumlah (n) Persen (%)
Normal 59 69.4
Terganggu 26 30.6
Total 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui paling banyak responden yang

memiliki status motorik halus yang normal yaitu 59 orang (69.4%)

dibandingkan dengan responden yang memiliki status motorik halus yang

terganggu yaitu 26 orang (30.6%).

67
5.2.2 Gambaran Status Motorik Kasar

Dalam penelitian ini status motorik kasar dibagi menjadi 2 (dua)

kategori yaitu normal dan terganggu. Seperti yang terlihat pada tabel 5.2

berikut ini:

Tabel 5.2
Distribusi Berdasarkan Status Motorik Kasar pada Siswa PAUD
Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun
2014
Status Motorik Kasar Jumlah (n) Persen (%)
Normal 49 57.6
Terganggu 36 42.4
Total 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui paling banyak responden yang

memiliki status motorik kasar yang normal yaitu 49 orang (57.6%)

dibandingkan dengan responden yang memiliki status motorik kasar yang

terganggu yaitu 36 orang (42.4%).

5.2.3 Gambaran Asupan Energi

Dalam penelitian ini asupan energi dibagi menjadi 2 (dua) kategori

yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.3 berikut ini:

Tabel 5.3
Distribusi Berdasarkan Asupan Energi pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014
Asupan Energi Jumlah (n) Persen (%)
Cukup 31 36.5
Kurang 54 63.5
Total 85 100
Sumber: Data Primer

68
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui paling banyak responden yang

memiliki asupan energi kurang yaitu 54 orang (63.5%) dibandingkan

dengan responden yang memiliki asupan energi cukup yaitu 31 orang

(36.5%).

5.2.4 Gambaran Asupan Protein

Dalam penelitian ini asupan protein dibagi menjadi 2 (dua)

kategori yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.4

berikut ini:

Tabel 5.4
Distribusi Berdasarkan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014
Asupan Protein Jumlah (n) Persen (%)
Cukup 34 40
Kurang 51 60
Total 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui paling banyak responden yang

memiliki asupan protein kurang yaitu 51 orang (60%) dibandingkan

dengan responden yang memiliki asupan protein cukup yaitu 34 orang

(40%).

5.2.5 Gambaran Asupan Zat Besi

Dalam penelitian ini asupan zat besi dibagi menjadi 2 (dua)

kategori yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.5

berikut ini:

69
Tabel 5.5
Distribusi Berdasarkan Asupan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014
Asupan Zat Besi Jumlah (n) Persen (%)
Cukup 52 61.2
Kurang 33 38.8
Jumlah 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.5 diketahui paling banyak responden yang

memiliki asupan zat besi cukup yaitu 52 orang (61.2%) dibandingkan

dengan responden yang memiliki asupan zat besi kurang yaitu 36 orang

(38.8%).

5.2.6 Gambaran Asupan Seng

Dalam penelitian ini asupan zat seng dibagi menjadi 2 (dua)

kategori yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.6

berikut ini:

Tabel 5.6
Distribusi Berdasarkan Asupan Zat Seng pada Siswa PAUD Wilayah
Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014
Asupan Zat Seng Jumlah (n) Persen (%)
Cukup 40 47.1
Kurang 45 52.9
Jumlah 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.6 diketahui paling banyak responden yang

memiliki asupan zat seng kurang yaitu 45 orang (52.9%) dibandingkan

dengan responden yang memiliki asupan zat seng cukup yaitu 40 orang

(47.1%).

70
5.2.7 Gambaran Stimulasi Psikososial

Dalam penelitian ini stimulasi psikososial dibagi menjadi 3 (tiga)

kategori yaitu kurang, cukup dan baik. Seperti yang terlihat pada tabel 5.7

berikut ini:

Tabel 5.7
Distribusi Berdasarkan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD
Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada
Tahun 2014
Stimulasi Psikososial Jumlah (n) Persen (%)
Kurang 19 22.4
Cukup 58 68.2
Baik 8 9.4
Total 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.7 diketahui lebih banyak responden yang

menerima stimulasi psikososial cukup yaitu 58 orang (68,2%)

dibandingkan dengan responden yang menerima stimulasi psikososial baik

yaitu 8 orang (9.4%) dan responden yang menerima stimulasi psikososial

kurang yaitu 19 orang (22.4%).

5.2.8 Gambaran Stunting

Dalam penelitian ini stunting dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu

ya dan tidak. Seperti yang terlihat pada tabel 5.8 berikut ini:

Tabel 5.8
Distribusi Berdasarkan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan
Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014
Stunting Jumlah (n) Persen (%)
Ya 49 57.6
Tidak 36 42.4
Total 85 100
Sumber: Data Primer

71
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui paling banyak responden yang

memiliki status gizi pendek (stunting) yaitu 49 orang (57.6%)

dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki status gizi pendek

(stunting) yaitu 36 orang (42.4%).

5.3 Analisis Bivariat

Pada analisis bivariat, peneliti akan menghubungkan antara faktor

independen terdiri dari asupan energi, protein, zat besi dan zat seng, stunting,

stimulasi psikososial dengan faktor dependen yaitu status motorik pada anak 3-6

tahun.

5.3.1 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan


Energi
Tabel 5.9
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan
Energi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014
Status Motorik Halus
Asupan Total
Normal Terganggu P-value
Energi
N % N % N %
Kurang 29 53.7 25 46.3 54 100
Cukup 30 96.8 1 3.2 31 100 0.000
Total 59 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.9 diketahui dari 54 anak dengan asupan energi

kurang sebanyak 29 anak (53.7%) memiliki status motorik halus normal.

Sedangkan dari 31 anak dengan asupan energi cukup sebanyak 30 anak (96.8%)

memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value

sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik halus.

72
5.3.2 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein

Tabel 5.10
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
LamaTahun 2014
Status Motorik Halus
Asupan Total
Normal Terganggu P-value
Protein
N % N % n %
Kurang 26 51 25 49 51 100
Cukup 33 97.1 1 2.9 34 100 0.000
Total 59 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.10 diketahui dari 51 anak dengan asupan protein

kurang sebanyak 26 anak (51%) memiliki status motorik halus normal.

Sedangkan dari 34 anak dengan asupan protein cukup sebanyak 33 anak

(97.1%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh

p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik halus.

5.3.3 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Besi
Tabel 5.11
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Besi
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
LamaTahun 2014
Status Motorik Halus
Asupan Total
Normal Terganggu P-value
Zat Besi
N % N % n %
Kurang 9 27.3 24 72.7 33 100
Cukup 50 96.2 2 3.8 52 100 0.000
Total 59 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.11 diketahui dari 33 anak dengan asupan zat besi

kurang sebanyak 9 anak (27.3%) memiliki status motorik halus normal.

73
Sedangkan dari 52 anak dengan asupan zat besi cukup sebanyak 50 anak

(96.2%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh

p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara asupan zat besi dengan status motorik halus.

5.3.4 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Seng
Tabel 5.12
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Seng
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014
Status Motorik Halus
Asupan Total
Normal Terganggu P-value
Zat Seng
N % N % n %
Kurang 28 62.2 17 37.8 45 100
Cukup 31 77.5 9 22.5 40 100 0.16
Total 59 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.12 diketahui dari 45 anak dengan asupan zat seng

kurang sebanyak 28 anak (62.2%) memiliki status motorik halus normal.

Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 31 anak

(77.5%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh

p-value sebesar 0.16, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan yang bermakna antara asupan zat seng dengan status motorik halus.

74
5.3.5 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting
Tabel 5.13
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014
Status Motorik Halus
Total
Stunting Normal Terganggu P-value
N % N % n %
Ya 34 94.4 2 5.6 36 100
Tidak 25 51 24 49 49 100 0.000
Total 54 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.13 diketahui dari 36 anak dengan status gizi

pendek (stunting) sebanyak 34 anak (94.4%) memiliki status motorik halus

normal. Sedangkan dari 49 anak tidak dengan status gizi pendek (stunting)

sebanyak 25 anak (77.5%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji

statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stunting dengan

status motorik halus.

5.3.6 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stimulasi


Psikososial
Tabel 5.14

Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stimulasi


Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014
Status Motorik Halus
Stimulasi Total
Normal Terganggu P-value
Psikososial
N % N % n %
Kurang 8 42.1 11 57.9 19 100
Cukup 44 75.9 14 24.1 58 100
0.011
Baik 7 87.5 1 12.5 8 100
Total 54 69.4 26 30.6 85 100
Sumber: Data Primer

75
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui dari 19 anak yang menerima stimulasi

psikososial kurang sebanyak 8 anak (42.1%) memiliki status motorik halus

normal dan dari 58 anak yang menerima stimulasi psiksososial cukup sebanyak

44 anak (75.9%) memiliki status motorik halus normal. Sedangkan dari 8 anak

yang menerima stimulasi psikososial baik sebanyak 7 anak (77.5%) memiliki

status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar

0.011, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara stimulasi psikososial dengan status motorik halus.

5.3.7 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi

Tabel 5.15
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama
Tahun 2014
Status Motorik Kasar
Asupan Total
Normal Terganggu P-value
Energi
N % N % n %
Kurang 19 35.2 35 64.8 54 100
Cukup 30 96.8 1 3.2 31 100 0.000
Total 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.14 diketahui dari 54 anak dengan asupan energi

kurang sebanyak 19 anak (35.2%) memiliki status motorik kasar normal.

Sedangkan dari 31 anak dengan asupan energi cukup sebanyak 30 anak

(96.8%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh

p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik halus.

76
5.3.8 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein

Tabel 5.16
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014
Status Motorik Halus
Asupan Total
Normal Terganggu P-value
Protein
N % N % n %
Kurang 17 33.3 34 66.7 51 100
Cukup 32 94.1 2 5.9 34 100 0.000
Total 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.15 diketahui dari 51 anak dengan asupan protein

kurang sebanyak 17 anak (33.3%) memiliki status motorik kasar normal.

Sedangkan dari 34 anak dengan asupan protein cukup sebanyak 32 anak

(94.1%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh

p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan status motorik kasar.

5.3.9 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi
Tabel 5.17
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
LamaTahun 2014
Status Motorik Kasar
Asupan Total
Normal Terganggu P-value
Zat Besi
N % N % n %
Kurang 1 3 32 97 33 100
Cukup 48 92.3 4 7.7 52 100 0.000
Total 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.16 diketahui dari 33 anak dengan asupan zat besi

kurang sebesar 1 anak (3%) yang memiliki status motorik kasar normal.

77
Sedangkan dari 52 anak dengan asupan zat besi cukup sebanyak 48 anak

(92.3%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh

p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara asupan zat besi dengan status motorik kasar.

5.3.10 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Seng

Tabel 5.18
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Seng
pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran
Lama Tahun 2014
Status Motorik Kasar
Asupan Total
Normal Terganggu P-value
Zat Seng
N % N % N %
Kurang 21 46.7 24 53.3 45 100
Cukup 28 70 12 30 40 100 0.25
Total 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.17 diketahui dari 45 anak dengan asupan zat seng

kurang sebanyak 21 anak (46.7%) memiliki status motorik kasar normal.

Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 28 anak

(70%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh

p-value sebesar 0.25, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan yang bermakna antara asupan zat seng dengan status motorik kasar.

78
5.3.11 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting

Tabel 5.19
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting pada
Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama
Tahun 2014
Status Motorik Halus
Total
Stunting Normal Terganggu P-value
N % N % N %
Ya 34 94.4 2 5.6 36 100
Tidak 15 30.6 34 69.4 49 100 0.000
Total 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 5.18 diketahui dari 36 anak dengan status gizi

pendek (stunting) sebanyak 34 anak (94.4%) memiliki status motorik kasar

normal. Sedangkan dari 49 anak tidak dengan status gizi pendek (stunting)

sebanyak 15 anak (30.6%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji

statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stunting dengan

status motorik kasar.

5.3.12 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi


Psikososial
Tabel 5.20
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi
Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan
Kebayoran Lama Tahun 2014
Status Motorik Halus
Stimulasi Total P-value
Normal Terganggu
Psikososial
N % N % n %
Kurang 5 26.3 14 73.7 19 100
Cukup 4 37 63.8 21 36.2 58 100 0.003
Baik 7 7 87.5 1 12.5 8 100
Total 5 49 57.6 36 42.4 85 100
Sumber: Data Primer

79
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui dari 19 anak yang menerima stimulasi

psikososial kurang sebanyak 5 anak (26.3%) memiliki status motorik kasar

normal dan dari 58 anak yang menerima stimulasi psikososial cukup sebanyak

37 anak (63.8%) memiliki status motorik kasar normal. Sedangkan dari 8 anak

yang menerima stimulasi psikososial baik sebanyak 7 anak (87.5%) memiliki

status motorik kasar sesuai. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar

0.003, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara stunting dengan status motorik halus.

80
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan teori untuk menggunakan kuesioner KPSP seharusnya

didampingi dengan dokter anak namun dikarenakan waktu penelitian yang tidak

sama dengan jadwal dokter maka digantikan dengan petugas puskesmas yang

sudah terlatih. Selain itu di dalam kuesioner HOME Inventory ada beberapa

pertanyaan yang menanyakan bagaimana kondisi fisik lingkungan responden

namun dikarenakan keterbatasan waktu maka peneliti tidak mendatangi semua

rumah responden sehingga pada saat responden mengisi kuesioner peneliti

menanyakan langsung bagaimana kondisi fisik lingkungan responden. Dan pada

penelitian ini pengumpulan data konsumsi makanan terkait konsumsi energi,

protein, zat besi dan seng dilakukan dengan menggunakan metode recall 3x24

jam. Metode tersebut dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan

makanan yang dikonsumsi pada periode 3 x 24 jam yang menggunakan teknik

wawancara dan hanya mengandalkan ingatan responden.

6.2 Gambaran Status Motorik Halus dan Kasar

Menurut Adriana (2011) bahwa gerak atau motorik halus adalah aspek

yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu serta

dilakukan oleh otot-otot kecil. Sedangkan menurut Soetjiningsih, dkk (2002)

motorik halus merupakan aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak

untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian

81
tubuh tertentu saja dan dilakukan otot kecil tetapi memerlukan koordinasi yang

cermat misalnya kemampuan untuk menggambar dan memegang suatu benda.

Dari hasil analisis univariat didapatkan bawa paling banyak responden

yang memiliki status motorik halus yang normal yaitu 59 orang (69.4%)

dibandingkan dengan responden yang memiliki status motorik halus yang

terganggu yaitu 26 orang (30.6%).

Pada penelitian ini, responden yang paling banyak memiliki status motorik

kasar yang terganggu adalah usia tiga hingga lima tahun dibandingkan dengan

responden yang berusia lima hingga enam tahun. Menurut Zaviera (2008)

semakin berkembangnya sistem saraf otak yang mengatur otot memungkinkan

berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak.

Hal ini sejalan dengan penelitian Mumtahanah (2004) yang menyatakan

bahwa responden balita cenderung memiliki status motorik halus terganggu

dibandingkan dengan balita berusia di atas lima tahun.

Akibat dari anak yang memiliki motorik halus terganggu adalah

ketidakmampuan mengatur keseimbangan. Anak-anak yang mengalami kesulitan

dalam mengatur keseimbangan tubuhnya biasanya juga memiliki kesulitan dalam

mengontrol gerakan anggota tubuh. Masalah pengaturan keseimbangan tubuh ini

berhubungan dengan sistem vestibular yang akan berdampak pada kemampuan

anak dalam membaca dan menulis (Rumini dan Sundari, 2004).

Menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik kasar adalah bagian dari

aktivitas motor yang melibatkan keterampilan otot-otot besar. Gerakan-gerakan

seperti tengkurap, duduk, merangkak dan mengangkat leher. Berdasarkan hasil

82
analisis univariat bahwa paling banyak responden yang memiliki status motorik

kasar yang normal yaitu 49 orang (57.6%) dibandingkan dengan responden yang

memiliki status motorik kasar yang terganggu yaitu 36 orang (42.4%). Hal ini

sejalan dengan penelitian Dewi dan Kartika (2010) yang menyatakan bahwa

responden yang berusia lima tahun kebawah cenderung memiliki status motorik

kasar terganggu dibandingkan dengan responden berusia di atas lima tahun.

Menurut Adriana (2011) gangguan pada motorik kasar adalah yang

berhubungan dengan perkembangan pergerakan dan sikap tubuh yaitu

keterlambatan dalam keterampilan otot-otot besar seperti merangkak, berjalan,

berlari, melompat atau berenang. Apabila dibandingkan dengan target program

SDIDTK tingkat puskesmas yaitu presentase kasus perkembangan anak yang

ditemukan sebesar 90% maka dapat disimpulkan bahwa status motorik kasar dan

halus di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama masih

belum merupakan masalah serius namun jika kasus motorik dibiarkan akan terus

meningkat dan akan berdampak pada perkembangan anak yang lainnya seperti

perkembangan kognitif, sosial dan bahasa. Oleh karena itu dari pihak Puskesmas

wilayah Kecamatan Kebayoran Lama mewajibkan setiap PAUD wilayah

binaannya untuk mengikuti program SDIDTK setiap tahunnya untuk memantau

perkembangan anak khususnya perkembangan motorik.

6.3 Gambaran dan Hubungan Asupan Energi dengan Status Motorik Kasar dan
Halus

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan

lemak. Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan

83
protein (Kemenkes RI, 2014). Konsumsi energi berasal dari makanan yang

diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai

ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan

kesehatan jangka panjang (Mustika, 2011 dalam Kemenkes RI , 2014).

Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak atau gajih dan

minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan

kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah (kacang tanah

dan kacang kedele) dan aneka pangan produk turunannya. Pangan sumber energi

yang kaya kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat, serealia lainnya, umbi-

umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang dan kurma)

dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein antara

lain daging, ikan telur, susu dan aneka produk turunannya (Kemenkes RI, 2014).

Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa paling

banyak responden yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal yaitu

54 orang (63.5%) sedangkan responden yang mengkonsumsi energi di atas

kebutuhan minimal yaitu 31 orang (36.5%). Konsumsi energi yang masih kurang

tersebut dimungkinkan karena kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi.

Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh

dan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh, di dalam suatu

susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Dikatakan

konsumsi atau asupan gizi adekuat dimana tubuh akan mendapatkan kondisi

kesehatan gizi yang baik, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Sebaliknya

84
konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi

kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000).

Hal ini sejalan dengan penelitian Hendrawan (2003) yang menyatakan

bahwa ada hubungan anatara asupan energi dengan kualitas pangan yang

dikonsumsi. Pada Penelitian Suhardjo (2007) juga menyatakan bahwa kualitas

serta kuantitas pangan berperan besar dalam asupan kalori seseorang.

Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang

dari energi yang dikeluarkan, sehingga tubuh akan mengalami keseimbangan

energi. Akibatnya berat badan kurang dari berat badan seharusnya. Bila terjadi

pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan.

Gejala yang ditimbulkan pada anak-anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah,

kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi

(Mustika, 2011 dalam Kemenkes RI, 2014).

Dari hasil uji Chi-square, didapat bahwa status asupan energi secara

signifikan berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue

0,000). Hal tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan

kasar yang terganggu cenderung karena menurut pengamatan peneliti

berdasarkan data recall 3 x 24 jam responden, rendahnya asupan energi pada

siswa PAUD dikarenakan umumnya jenis makanan yang dikonsumsinya tidak

bervariasi dan kebanyakan makanan yang dikonsumsi oleh responden bukan

makanan yang mengandung sumber energi yang adekuat tetapi jenis makanan

yang bersumber dari karbohidrat, baik dari makanan utama maupun kudapannya

85
seperti biskuit, ciki, kue bolu dan permen sehingga dapat mempengaruhi status

motorik halus dan kasar siswa. Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik,

didapatkan bahwa 46,3% siswa yang memiliki status motorik halus terganggu

juga mempunyai asupan energi yang kurang.

Menurut Adriana (2011) gerak atau motorik halus adalah aspek yang

berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu serta dilakukan

oleh otot-otot kecil. Sedangkan menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik kasar

adalah bagian dari aktivitas motor yang melibatkan keterampilan otot-otot besar.

Otot tersebut dikendalikan oleh neurotransmitter yang dipengaruhi oleh energi

sehingga menghasilkan gerak motorik. Energi berfungsi mempengaruhi zat

kimia yang ada di otak yang disebut neurotransmitter yang bertugas dalam

menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga

menghasilkan gerak motorik (Georgieff, 2001). Hal tersebut didukung oleh

penelitian Susanty et al (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara asupan energi dengan status motorik kasar dan halus. Demikian

juga penelitian Kartika (2002) menunjukkan ada hubungan antara energi dengan

status motorik kasar dan halus. Semakin rendah asupan energi maka semakin

rendah kemampuan motorik kasar dan halusnya.

Disimpulkan bahwa kondisi asupan energi pada siswa PAUD wilayah

binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang

serius yaitu terdapat 54 orang (63.5%) jika dibandingkan dengan kebijakan dan

strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah

tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat

86
menujukkan bahwa asupan energi secara signifikan berhubungan dengan status

motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). Oleh

karena itu pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua

atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang

mengandung energi yang adekuat dan memberikan simulasi kepada orang tua

tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan energi dalam sehari dengan tepat

yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak.

6.4 Gambaran Asupan Protein dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar
dan Halus

Protein adalah salah satu makronutrien yang memiliki peranan penting

dalam pembentukan biomolekul. Protein merupakan makromolekul yang

menyusun lebih dari separuh bagian sel. Protein menentukan ukuran dan struktur

sel, komponen utama dari enzim yaitu biokatalisator berbagai reaksi

metabolisme dalam tubuh (Kemenkes RI, 2014).

Pangan sumber protein hewani meliputi daging, telur, susu, ikan, seafood

dan hasil olahannya. Pangan sumber protein nabati meliputi kedele, kacang-

kacangan dan hasil olahannya seperti tempe, tahu dan susu kedele. Secara umum

mutu protein hewani lebih baik dibanding protein nabati (Kemenkes RI, 2014).

Mutu protein makanan ditentukan salah satunya oleh komposisi dan jumlah asam

amino esensial. Pangan hewani mengandung asam amino lebih lengkap dan

banyak dibanding pangan nabati, karena itu pangan hewani mempunyai mutu

protein yang lebih baik dibandingkan pangan nabati (Gibney, 2002).

87
Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa paling

banyak responden yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal

yaitu 51 orang (60%) sedangkan responden yang mengkonsumsi protein di atas

kebutuhan minimal yaitu 34 orang (40%).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermina dan

Prihatini (2010) konsumsi protein pada anak balita umur 24-59 bulan di

Indonesia masih dibawah standar angka kecukupan gizi dengan hasil rata-rata

menggunakan pengukuran recall 1 x 24 jam sebesar 111,5%.

Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor

pada anak-anak di bawah lima tahun. Kekurangan protein ditemukan secara

bersamaan dengan keurangan energi yang menyebabkan kondisi yang

dinamakan marasmus. Sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan ini

dinamakan KEP (Kurang Energi Protein) (Almatsier, 2001).

Georgieff (2001) menjelaskan protein merupakan perkursor untuk

neurotransmitter yang mendukung perkembangan otak. Dimana Asam amino

tirosin merupakan jenis asam amino yang berhubungan dengan mekanisme gerak

motorik yang berfungsi sebagai neurotransmitter. Westermack et al (2000)

menjelaskan neurotransmitter bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu

saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik.

Dari hasil uji Chi-square, didapat bahwa asupan protein secara signifikan

berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD wilayah

binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue 0,000). Hal

tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan kasar yang

88
terganggu cenderung karena asupan protein yang kurang yang disebabkan oleh

mutu protein. Mutu protein adalah protein dengan nilai biologi tinggi atau

bermutu tinggi dimana protein yang mengandung semua jenis asam amino

esensial dalam proporsi yang ses uai. Mutu protein beberapa bahan makanan

diantaranya adalah telur, susu sapi, ikan, daging sapi, beras tumbuk, kacang

tanah, beras giling, gandum utuh, jagung, kacang kedelai dan biji-bijian

(Almatsier, 2001). Sedangkan bahan makanan yang dikonsumsi responden

cenderung bahan makanan seperti sayuran hijau, daging ayam, mie, tahu dan

tempe sehingga dapat mempengaruhi status motorik halus dan kasar siswa.

Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik, didapatkan bahwa 49% siswa

yang memiliki status motorik halus terganggu juga mempunyai asupan protein

yang kurang. Dan didapatkan bahwa 66,7% siswa yang memiliki status motorik

kasar terganggu juga mempunyai asupan protein yang kurang. Hal tersebut

didukung dengan hasil penelitian Susanty et al (2012) yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara asupan protein dengan

status motorik halus dan kasar.

Dan pada penelitian Antoni (2005) juga menunjukkan proporsi bayi yang

mengalami keterlambatan perkembangan motorik sebagian besar pada bayi

dengan asupan kurang dari AKG yaitu sebesar 85% dengan menggunakan

analisis statistik dengan uji Chi-square yang menunjukkan adanya hubungan

antara asupan protein dengan perkembangan motorik bayi (p <0.05).

Disimpulkan bahwa kondisi asupan protein pada siswa PAUD wilayah

binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang

89
serius yaitu terdapat 50 orang (61%) jika dibandingkan dengan kebijakan dan

strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah

tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat

menujukkan bahwa asupan protein secara signifikan berhubungan dengan status

motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). Oleh

karena itu pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua

atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang

mengandung protein yang adekuat dan memberikan simulasi kepada orang tua

tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan protein dalam sehari dengan tepat

yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak.

6.5 Gambaran Asupan Zat Besi dan Hubungannya dengan Status Motorik
Kasar dan Halus

Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam

tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia

dewasa. Meskipun luas, namun masih mengalami kekurangan zat besi yang

sangat berpengaruh terhadap produktifitas kerja, penampilan kognitif dan sistem

kekebalan tubuh (Almatsier, 2001).

Sumber besi dalam makanan hewani adalah daging, hati, unggas dan ikan

sedangkan dalam makanan nabati adalah kacang-kacangan dan hasil olahannya,

sayuran hijau dan rumput laut. Besi dalam makanan hewani terdapat dalam

bentuk hem, sedangkan yang terdapat di dalam nabati dalam bentuk non-hem.

Ketersediaan biologis besi dalam bentuk hem lebih tinggi daripada besi non-hem

(Soetardjo dkk, 2011).

90
Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa

diketahui paling banyak responden yang mengkonsumsi zat besi di atas

kebutuhan minimal yaitu 52 orang (61.2%) dibandingkan dengan responden

yang mengkonsumsi besi di bawah kebutuhan minimal yaitu 33 orang (38.8%).

Hal ini sejalan dengan penelitian Dewi, dkk (2012) yang menyatakan

bahwa terdapat 29,16% atau 14 siswa prasekolah yang mengalami defisiensi zat

besi dengan menggunakan wawancara berpedoman Semi Qualitative Food

Frequency Qustionaire ( SQ-FFQ).

Kekurangan besi akan menyebabkan anemia gizi besi yang ditandai

dengan kulit pucat, letih dan nafasnya pendek akibat kekurangan oksigen.

Kekurangan zat besi juga sangat berpengaruh terhadap produktifitas kerja,

penampilan kognitif dan sistem kekebalan tubuh (Mustika, 2011 dalam

Kemenkes RI, 2014).

Mineral besi merupakan zat gizi esensial yang berperan dalam fungsi

motorik. Fungsi yang pertama adalah besi (Fe) berperan dalam sintesis

monoamine (Georgieff, 2001). Monoamine merupakan enzim mitokondria yang

terdapat di semua bagian berhubungan dengan metabolisme aerobik dari

makanan yang menghasilkan energi, dengan kata lain sebagai pusat pembangkit

energi (Sadikin, 2002). Westermack et al (2000) menjelaskan bahwa energi

dapat mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang sering disebut

neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke

saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik. Kedua, besi berfungsi

sebagai metabolisme energi di neuron (Georgieff, 2001). Tambayong (2001)

91
menjelaskan neuron adalah satuan fungsional susunan saraf atau biasa disebut

sel saraf. Neuron berfungsi membawa pesan dari satu bagian tubuh ke bagian

lain. Neuron terdiri dua jenis yaitu neuron sensoris dan neuron motoris. Neuron

sensoris berfungsi membawa rangsangan dari organ sensoris, yaitu kulit, otot dan

organ dalam ke medulla spinalis atau otak. Sedangkan neuron motoris adalah

neuron yang membawa respons dari interneuron ke otot, kelenjar dan organ

dalam tubuh. Ketiga, besi berfungsi sebagai mielinisasi (Georgieff, 2001).

Mielinisasi merupakan proses pembalutan neuron, yang berfungsi mempercepat

rangsangan ke otot, kelenjar dan organ dalam tubuh (Tambayong, 2001).

Keempat, besi berfungsi sebagai sistem neurotransmitter, yang bertugas dalam

menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga

menghasilkan gerak motorik (Westermack et al, 2000).

Dari hasil uji Chi-square didapatkan bahwa status asupan besi secara

signifikan berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue

0,000). Hal tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus yang

terganggu cenderung karena asupan besi yang kurang yang disebabkan oleh

interaksi antara zat besi dengan zat gizi lainnya. Menurut (Soetardjo dkk, 2011)

sumber besi dalam makanan hewani adalah daging, hati, unggas dan ikan

sedangkan dalam makanan nabati yaitu kacang-kacangan dan hasil olahannya,

sayuran hijau dan rumput laut. Konsumsi makanan yang kaya dengan vitamin C,

seperti sayur dan buah dapat membantu penyerapan besi sedangkan penyerapan

besi menurun karena adanya antacid, teh dan serat kasar. Hal ini terbukti pada

92
konsumsi responden yang cenderung jarang menkonsumsi makan sumber zat

besi yang disebutkan di atas dan cenderung mengkonsumsi daging dan diiringi

dengan mengkonsumsi teh, hal ini yang meyebabkan kurangnya konsumsi zat

besi kurang dan penyerapan besi terhambat.

Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa 72,7% siswa

yang memiliki status motorik halus terganggu juga mempunyai asupan besi yang

kurang. Dan didapatkan bahwa 97% siswa yang memiliki status motorik kasar

terganggu juga mempunyai asupan besi yang kurang. Hal tersebut diperkuat

dengan penelitian Olney et al (2007) yang menunjukkan bahwa ada hubungan

asupan zat besi dengan perkembangan motorik, dimana anak yang kekurangan

zat besi memiliki skor kemampuan kasar lebih rendah. Hal yang sama juga

dibuktikan pada penelitan Black et al (2004) bahwa terdapat dampak positif pada

suplementasi zat besi yang diberikan terhadap perkembangan motorik anak.

Disimpulkan bahwa kondisi asupan zat besi pada siswa PAUD wilayah

binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang

serius yaitu terdapat 33 orang (38,8%) jika dibandingkan dengan kebijakan dan

strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah

tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat

menujukkan bahwa asupan besi secara signifikan berhubungan dengan status

motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). Oleh

karena itu pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua

atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang

mengandung zat besi yang adekuat dan memberikan simulasi kepada orang tua

93
tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan besi dalam sehari dengan tepat

yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak.

6.6 Gambaran Asupan Seng dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar
dan Halus
Seng adalah mineral mikro esensial baik pada manusia. Mineral ini

diperlukan dalam pembentukan jaringan mata sehingga dapat tetap melihat di

kegelapan, pembentukan sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh, fungsi

lambung, kesehatan kulit, pertumbuhan dan fungsi sistem reproduksi,

pertumbuhan janin dan sistem pusat saraf (Kemenkes RI, 2014). Pangan sumber

seng diantaranya adalah ikan terutama kerang dan daging sedangkan dari

tumbuhan adalah serealia. Seng dari sumber nabati umumnya rendah dibanding

sumber hewani (Hotz, 2004 dalam Kemenkes RI, 2014).

Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa

diketahui paling banyak responden yang mengkonsumsi seng di bawah

kebutuhan minimal yaitu 45 orang (52,9%) dibandingkan dengan responden

yang mengkonsumsi seng di atas kebutuhan minimal yaitu 40 orang (47,1%).

Hal ini sejalan dengan penelitian Ferdiansyah, dkk (2009) yang

menyatakan bahwa masih tinggi defisiensi seng dimana terdapat 62% balita usia

37-60 bulan yang mengalami defisiensi seng dengan menggunakan pengukuran

recall 2 x 24 jam.

Defisiensi seng dikarenakan kurangnya asupan seng, atatu kurangnya

absorsi seng ke dalam tubuh. Tanda-tanda defisiensi seng meliputi rambut

rontok, luka pada kulit, diare, kehilangan jaringan tubuh dan akhirnya kematian.

94
Defisiensi seng dapat menyebabkan rusaknya organ dan fungsi penglihatan,

pengecap, bau dan ingatan, gangguan pertumbuhan, luka kulit dan

perkembangan jenis kelamin yang tidak normal pada remaja laki-laki. Selain itu

defisiensi seng juga dapat menyebabkan anemia, rendahnya daya tahan terhadap

infeksi, sintesis kolagen tidak normal, menurunya fungsi pencernaan dan

pengecapan serta gangguan sitem otak saraf yang dapat menyebabkan

kemunduran mental (Soetardjo dkk, 2011).

Bedasarkan hasil analisis bivariat diketahui dari 45 anak dengan asupan

zat seng kurang sebanyak 28 anak (62,2%) memiliki status motorik halus

normal. Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 31

anak (77,5%) memiliki status motorik halus normal. Pada hasil uji Chi-square

didapatkan bahwa status asupan besi tidak berhubungan dengan status motorik

halus pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama tahun 2014 (Pvalue 0,16).

Dan berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui dari 45 anak dengan

asupan zat seng kurang sebanyak 21 anak (46.7%) memiliki status motorik kasar

normal. Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 28

anak (70%) memiliki status motorik kasar normal. Pada hasil uji Chi-square

didapatkan bahwa status asupan seng tidak berhubungan dengan status motorik

kasar pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran

Lama tahun 2014 (Pvalue 0,25).

Hal ini Hal ini tidak sesuai dengan teori Georgieff (2001) dimana seng

berperan dalam proses tumbuh kembang terutama tumbuh kembang otak dalam

95
pelepasan neurotransmitter dimana neurotransmitter merupakan zat kimia yang

ada di otak yang dipengaruhi oleh energi yang bertugas menghantarkan impuls

dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik.

Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan pada responden yang rendah asupan

seng memiliki asupan energi yang rendah juga. Soetardjo (2011) menjelaskan

bahwa seng berperan dalam reaksi yang berkaitan dengan karbohidrat, protein,

lipida, dan asam nukleat. Dalam hal ini seng berperan sebagai katalisator energi

dalam sistem neurotransmitter untuk menghasilkan gerak motorik sehingga

semakin besar asupan energi maka semakin besar pula asupan seng yang

diperlukan untuk mepercepat sistem neurotransmitter.

Dapat disimpulkan bahwa kondisi asupan zat seng pada siswa PAUD

wilayah binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi

yang serius yaitu terdapat 45 orang (52,9%) jika dibandingkan dengan kebijakan

dan strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah

tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan seng

dengan status motorik kasar p=0,25 (p>0,05) dan dengan status motorik halus

p=0,16 (p>0,05). Namun dari pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi

kepada orang tua atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan

pangan apa saja yang mengandung zat seng yang adekuat dan memberikan

simulasi kepada orang tua tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan zat seng

dalam sehari dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing

anak.

96
6.7 Gambaran Stunting dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar dan
Halus
Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk

variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu,

dan dapat diartikan pula sebagai keadaan tubuh berupa hasil akhir dari

keseimbangan antara zat gizi yang msuk ke dalam tubuh dan juga perwujudan

manfaatnya. Penilaian status gizi secara langsung yaitu antropometri adalah

ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi

tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2002).

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan

pertambahan umur. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini

menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa, 2002). Menurut Gibson (2005)

stunting merupakan hasil dari jangka panjang pada ketidakcukupan asupan

makanan, kualitas diet yang buruk, angka kematian yang meningkat atau

kombinasi dari ketiganya.

Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa

paling banyak responden yang memiliki status gizi pendek (stunting) yaitu 49

orang (57.6%) dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki status gizi

pendek (stunting) yaitu 36 orang (42.4%).

97
Hal ini sejalan dengan penelitian Muljati, dkk (2010) bahwa prevalensi

stunting masih tinggi dimana angka kejadian stunting pada anak usia 3-6 tahun

di DKI Jakarta adalah sebesar 27,4%.

Dari hasil uji Chi-square, didapatkan bahwa stunting secara signifikan

berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD wilayah

binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue 0,000). Hal

tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan kasar yang

terganggu cenderung karena stunting yang disebabkan oleh keadaan gizi masa

lalu sehingga dapat mempengaruhi status motorik halus. Stunting adalah akibat

dari ketidakcukupan asupan makanan dalam jangka waktu yang lama, kualitas

asupan makanan yang buruk, meningkatnya angka kematian atau kombinasi dari

ketiganya (Gibson, 2005). Hal ini terbukti dari banyaknya responden yang

memiliki asupan energi kurang yaitu 54 orang (63,5%), asupan protein kurang

yaitu 51 orang (60%), asupan zat besi cukup yaitu 52 orang (61,2%) dan asupan

zat seng kurang yaitu 45 orang (52,9%) dari 85 responden.

Status motorik berkaitan dengan status gizi lampau dimana

ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal

merupakan keadaan malnutrisi kronik juga berkaitan dengan perkembangan otak

anak yang disebabkan oleh adanya keterlambatan kematangan sel-sel saraf

terutama di bagian cerebellum yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik

sehingga koordinasi sel saraf dengan otot menjadi kurang baik (Georgieff, 2001).

Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa 49% siswa yang

stunting memiliki status motorik halus terganggu dan didapatkan bahwa 30,6%

98
siswa yang tidak stunting sebanyak 15 anak (30.6%) memiliki status motorik

kasar normal.

Hal ini sejalan dengan penelitian Kartika, dkk (2011) didapatkan anak usia

3-5 tahun mengalami perkembangan motorik kasar lebih rendah pada anak yang

mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang tidak stunting, dimana anak

yang mengalami stunting mempunyai risiko 6 kali lebih besar mengalami

gangguan perkembangan motorik kasar dibandingkan dengan anak dengan status

gizi normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

stunting dengan perkembangan motorik kasar pada anak usia 3-5 tahun. Hal yang

serupa juga dibuktikan pada penelitian Olney et al (2007) bahwa anak di daerah

Zanzibari, Afrika Timur yang stunting memiliki skor Total Motor Activity (TMA)

atau jumlah aktivitas motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama

dalam melakukan gerakan-gerakan perpindahan.

Disimpulkan bahwa kondisi stunting pada siswa PAUD wilayah binaan

puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang serius

terdapat 36 orang (42,4%) jika dibandingkan Rencana Strategi Kementerian

Kesehatan tahun 2010-2014 yaitu target menurunnya prevalensi anak yang

pendek (stunting) adalah kurang dari 32% dan dari hasil uji bivariat menunjukkan

bahwa ada hubungan yang bermakna antara stunting dengan status motorik kasar

p=0,00 (p>0,05) dan dengan status motorik halus p=0,00 (p>0,05). Oleh karena

itu dari pihak PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama

menyediakan alat ukur tinggi badan dan orang tua atau pengasuh sebaiknya rutin

99
mengukur tinggi badan anak yaitu setiap satu bulan sekali dan diarsipkan dalam

buku perkembangan siswa.

6.8 Gambaran Stimulasi Psikososial dan Hubungannya dengan Status Motorik


Kasar dan Halus
Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi adalah sebuah rangsangan dari

luar atau dari lingkungan yang merupakan hal penting dalam tumbuh kembang

anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat

berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan

stimulasi. Dan psikososial menurut Supartini (2002) adalah peristiwa-peristiwa

sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak

yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka dapat

disimpulkan bahwa stimulasi psikososial adalah rangsangan dari peristiwa-

peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang

atau anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa

diketahui lebih banyak responden yang menerima stimulasi psikososial cukup

yaitu 58 orang (52,9%) dibandingkan dengan responden yang menerima stimulasi

psikososial baik yaitu 8 orang (9,4%) dan responden yang menerima stimulasi

psikososial kurang yaitu 19 orang (22,4%).

Hal ini sejalan dengan penelitian Salimar, dkk (2009) bahwa anak usia 3-6

tahun pada keluarga miskin di kabupaten Bogor yang kurang menerima stimulasi

psikososial dari orang tua sebesar 49,3%, cukup sebesar 26% dan baik sebesar

24,7% dengan menggunakan kuesioner HOME Inventory.

100
Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi adalah sebuah rangsangan dari

luar atau dari lingkungan yang merupakan hal penting dalam tumbuh kembang

anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat

berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan

stimulasi.

Dari hasil uji Chi-square, didapatkan bahwa stimulasi psikososial secara

signifikan berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD

wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue

0,011). Hal tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan

kasar yang terganggu cenderung karena stimulasi psikososial yang diberikan

keluarga kurang disebabkan oleh kurangnya keluarga menyediakan alat bermain

sebagai penunjang kegiatan stimulasi seperti bola, buku-buku, boneka, alat musik

dan kurangnya perhatian orang tua terhadap anak sehingga dapat mempengaruhi

status motorik halus.

Menurut Supartini dan Soetjiningsih (2002) Stimulasi psikososial adalah

rangsangan dari peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari

lingkungan luar diri seseorang atau anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan anak. Status motorik sangat berkaitan erat dengan stimulasi

yang diberikan oleh pengasuh kepada anak. Kesempatan untuk menggerakkan

semua anggota tubuh perlu mendapat stimulasi sehingga akan mempercepat

tercapainya kemampuan motorik (Departemen Kesehatan RI, 2009). Hal ini dapat

disimpulkan bahwa stimulasi berperan terhadap perkembangan motorik dimana

Hurlock (2000) menjelaskan stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan

101
fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan perkembangan otak. Dimana

perkembangan motorik merupakan perkembangan dari pengendalian gerakan

jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi. Hal

ini terbukti dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa 49% siswa yang

menerima stimulasi psikososial kurang (57,9%) dan cukup (24,1%) dari keluarga

memiliki status motorik halus terganggu.

Hal ini sejalan dengan penelitian Gustiana et al (2011) bahwa anak pada

umur 3-5 tahun mengalami status motorik halus dan kasar kurang baik lebih

banyak pada anak yang jarang diberi stimulasi psikososial yaitu sebesar 56%,

sedangkan pada anak yang sering distimulasi psikososial yang mengalami

gangguan motorik halus hanya sebesar 24%. Anak yang mengalami status

motorik halus mempunyai risiko 4,03 kali mendapatkan stimulasi psikososial

yang jarang dibandingkan yang cukup, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang

signifikan antara stimulasi psikososial dengan status motorik halus, hasil ini

menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan

status motorik halus. Pada penelitian Gardner et al (2007) dengan uji anova juga

menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial

dengan perkembangan motorik halus pada p<0.01 dan derajat kepercayaan 95%.

Disimpulkan bahwa dari hasil uji bivariat menunjukkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara stimulasi psikososial dengan status motorik

kasar p=0,003 (p<0,05) dan dengan status motorik halus p=0,011 (p<0,05) pada

siswa PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama. Oleh

102
karena itu dari Pihak PAUD sebaiknya memberikan saran kepada orang tua agar

lebih rajin mengenalkan macam bentuk kepada anak melalui waktu makan.

103
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan asupan zat gizi (energi,

protein, zat besi dan seng), stunting, dan stimulasi psikososial dengan status

motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan

Kebayoran Lama tahun 2014 maka didapatkan :

1. Dari analisis univariat yang telah dilakukan, responden yang memiliki status

motorik kasar yang normal (69,4%) dan terganggu (30,6%), motorik halus

yang normal (69,4%) dan terganggu (30,6%), asupan energi kurang (63,5%)

dan cukup (36.5%), asupan protein kurang (60%) dan cukup (40%), asupan

besi cukup (61,2%) dan kurang (38,8%), asupan seng kurang (52,9%) dan

cukup (47,1%), stunting (57,6%) dan tidak stunting (42,4%), stimulasi

psikososial cukup dari keluarga (68,2%) yang menerima stimulasi psikososial

baik dari keluarga (9,4%) dan yang menerima stimulasi psikososial kurang

dari keluarga yaitu 22,4%.

2. Dari analisis bivariat yang telah dilakukan, determinan yang berhubungan

dengan status motorik kasar dan halus diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Asupan energi dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan

status motorik halus p=0,00 (p<0,05).

b. Asupan protein dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan

status motorik halus p=0,00 (p<0,05).

104
c. Asupan zat besi dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan

status motorik halus p=0,00 (p<0,05).

d. Stunting dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan status

motorik halus p=0,00 (p<0,05).

e. Stimulasi psikososial dengan status motorik kasar p=0,003 (p<0,05) dan

dengan status motorik halus p=0,011 (p<0,05).

Sedangkan determinan yang tidak berhubungan dengan status motorik

kasar dan halus adalah asupan seng, tidak ada hubungan yang bermakna antara

asupan seng dengan status motorik kasar p=0,25 (p>0,05) dan dengan status

motorik halus p=0,16 (p>0,05).

7.2 Saran

1. Puskesmas wilayah Kecamatan Kebayoran Lama mewajibkan setiap PAUD

wilayah binaannya untuk mengikuti program SDIDTK setiap tahunnya untuk

memantau perkembangan anak khususnya perkembangan motorik.

2. Pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua atau

pengasuh siswa PAUD berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja

yang mengandung sumber zat gizi (energi, protein, besi dan seng) dan

memberikan simulasi kepada orang tua tentang bagaimana cara memenuhi

kebutuhan energi dalam sehari dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai

umur masing-masing anak serta memberikan konseling kepada orang tua

apabila memiliki kesulitan dalam memberikan makanan pada anak.

105
3. Pihak PAUD sebaiknya menyediakan mewajibkan orang tua atau pengasuh

agar mengukur tinggi badan anak yaitu setiap satu bulan sekali dan diarsipkan

dalam buku perkembangan siswa.

4. Pihak PAUD sebaiknya memberikan saran kepada orang tua agar lebih rajin

mengenalkan macam bentuk kepada anak melalui waktu makan.

106
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Djaeni, Sediaoetama. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I.
Jakarta: Dian Rakyat

Adriana, Dian. 2011. Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta:
Salemba Medika

AKG. Angka Kecukupan Gizi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi WNPG X.
https://docs.google.com/file/d/0B_8e76vgfxWLUlhvOWRkX3JGQk0/edit?pli
=1 diakses tanggal 20 September 2013.

Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ariawan, I. 1998. Besar dan Metoda Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok:
Jurusan Biostatistik dan Kependudukan FKM-UI

Azwar, Saifuddin. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Black, M. 1998. Zinc Deficiency and Child Development. American Journal of


Clinical Nutrition. Diakses pada tanggal 13 Spetember 2013 dari
http://ajcn.nutrition.org

Caldwell & Bradley. 2003. Home Observation and Measurment of Environment


(HOME). Arkansas.

Depkes RI. 2008. Instrumen Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang
Anak.

Depkes RI. 2009. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi Dini Tumbuh Kembang
Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar.

Georgieff, MK. 2001. Nutrition and Developing Brain: Nutrient Priorities and
Measurement. American Journal of Clinical Nutrition. Diakses pada tanggal
15 Spetember 2013 dari http://ajcn.nutrition.org

Gibson, R.S., 2005. Principle of Nutritional and Assessment. Oxford University


Press. Newyork :625.

Gustiana,et al. 2011. Hubungan Stunting dan stimulasi dengan perkembangan


motorik kasar pada Anak Taman Kanak-Kanak Usia 3-5 Tahun di Banda
Aceh. Nutrition department of Health Politechnic of Aceh. Diakses pada
tanggal 19 September 2013 dari http://www.nasuwakes.poltekkes-
aceh.ac.id/download/GUSTIANA%20S.SiT,M.Kes(2).pdf

Hastono, SP. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: UI Press

Henningham, et al. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC

Hurlock, Elizabeth. 2000. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga

Husaini. 2002. Pernan Gizi Dan Pola Asuh Dalam Meningkatkan Kualitas Tumbuh
Kembang. Jakarta: Dian Rakyat

Kartika, Latinulu S. 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Motorik


Anak Usia 3-6 Tahun Di Keluarga Miskin Dan Tidak Miskin. Jurnal penelitian
gizi dan makanna. 25, 38-48.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-
2015. Diakses pada tanggal 3 april 2014 dari
http://www.bappenas.go.id/files/2013/5228/1645/4-konsep-paparan-ran-pg-
2011-2015revisi-28-feb__20110301150611__1.pdf

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Prosiding: Angka Kecukupan Gizi yang


Dianjurkan Bagi Bangsa Idonesia.

Latifah, M. 2007. Stimulasi Perkembangan Anak serta Pengukurannya. Institut


Pertanian Bogor

Mansyur, Herawati. 2009. Psikologi Ibu dan Anak untuk Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika

Nursalam.2005. Asupan Keperawatan Bayi dan anak. Jakarta: Salemba Medika

Olney, K. et al. 2007. Young Zanzibari Children with Iron Deficiency, Iron
Deficiency Anemia, Stunting, or Malaria have Lower Motor Activity Scores
and Spend Less Time in Locomotion. The Journal of Nutrition. Diakses pada
tanggal 14 September 2013 dari
http://jn.nutrition.org/content/suppl/2007/11/20/137.12.2756.DC1.html

Papalia, et al. 1998. Human Development. Boston: McGraw-Hill

Pudjadji. 2005. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, Edisi Keempat. Depok: Balai Penerbit
FKUI
Riyanto, Agus. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha
Medika

Rosmana. 2003. Hubungan Pola Gizi dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 bulan di
Kabupaten Serang Propinsi Banten Tahun 2004, Tesis, Program Pasca
Sarjana FKM UI, Depok.
Rumini, Sundari. 2004. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta

Sadikin, Moh. 2004. Biokimia Enzim. Jakarta: Widya Medika

Sally, et al. 2005. Zinc supplementation and Psychosocial Stimulation: Effects on the
Development ofUndernourished Jamaican Children. American Journal of
Clinical Nutrition. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2013 dari
http://ajcn.nutrition.org/content/82/2/399.full.pdf+html?sid=51c20296-851c-
4920-aa72-7bebd71a516a

Schmidt, et al. 2004. Mental and Psychomotor Development in Indonesian Infants of


Mothers Supplemented with Vitamin A in Addition to Iron During Pregnancy.
British Journal of Nutrition. Diakses pada tanggal 20 September 2013 dari
http://journals.cambridge.org/action/displayFulltext?type=1&pdftype=1&fid=
912440&jid=BJN&volumeId=91&issueId=02&aid=912428

Soenardi, T. 2000. Makanan untuk Bayi. Jakarta: Gramendia Pustaka Utama

Soetardjo,dkk. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : Gramedia

Soetjiningsih, dkk. 2002. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC

Sulistyoningsih, Hariyani. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak.

Sumantri, Arif. 2011. Yogyakarta: Graha Ilmu. Metodologi Penelitian Kesehatan.


Jakarta: Prenada Media

Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Susanty, M dan Margawati, A. 2012. Hubungan Derajat Stunting, Asupan Zat Gizi
dan Sosial Ekonomi Rumah Tangga dengan Perkembangan Motorik Anak
Usia 24-36 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Bugangan Semarang. Journal
of Nutrition College. Vol. 1, No. 1, diakses pada 13 September 2013 dari
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnc

Sutarta, 2008. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta: UI Press

Suyadi, M dan Ulfah M. 2013. Konsep Dasar PAUD. Bandung: Remaja Rosdakarya

Tambayong, Jan. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Westermack T, Antila E. 2000. Diet in Relation to the Nervous System. Human
Nutrition and Dietetik. New York: Churchill Living Stone.

Zaviera, Ferdinand. 2008. Mengenali dan Memahami Tumbuh Kembang Anak.


Yogyakarta: KATAHATI
LAMPIRAN 1

1FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM

Tanggal :
Hari ke :
Banyaknya
Waktu Makan Menu Makanan Berat
URT
(gram)

PAGI

SIANG

MALAM
LAMPIRAN 2

Koesioner HOME Inventory


A. STIMULASI PSIKOSOSIAL (Jika “Ya” beri tanda checklist)
E1. STIMULASI PEMBELAJARAN
Anak mempunyai mainan yang mengajarkan warna
Anak mempunyai mainan yang mengajarkan ukuran (kecil sampai besar)
Anak mempunyai tiga buah atau lebih puzzle
Anak mempunyai permainan rekaman, sedikitnya ada lima rekaman anak-anak
Anak mempunyai mainan yang memungkinkan berekspresi bebas (dokter,
polisi, masak-masakan dll)
Anak mempunyai mainan yang membantu mengajarkan angka
Anak mempunyai sedikitya 10 buku anak-anak
Sedikitnya ada 10 buku anak-anak tersedia di rumah
Keluarga membeli dan membaca koran setiap hari
Keluarga berlangganan sedikitnya satu majalah
Anak mempunyai mainan yang membantu mengajarkan nama-nama binatang
Subtotal
E2. STIMULASI BAHASA
Anak didiorong untuk belajar bentuk (bola, kubus, tabung dll)
Anak didorong untuk mempelajari alfabet/huruf (A sampai Z)
Orang tua mengajarkan anak cara bebrbicara sederhana (misal: silahkan,
terimakasih, ucapakan salam).
Ibu menggunakan tata bahasa dan pengucapan yang benar
Orang tua mendorong anak untuk berbicara dan meluangkan waktu untuk
mendengar
Suara orang tua dengan penyampaian perasaan positif pada anak (lembut dan
ramah).
Anak diizinkan untuk memilih menu sarapan atau makan siang
Subtotal
E3. LINGKUNGAN FISIK
Bangunan rumah aman dan baik
Lingkungan bermain di luar rumah aman
Kondisi rumah tidak gelap dan membuat anak jenuh
Tetangga menyenangkan dan ramah
Luas rumah cukup dan sesuai untuk penghuni (tidak sempit)
Ruangan tidak terlalu penuh dengan perabotan
Rumah bersih dan jauh dari kekacauan/gangguan
Subtotal
E4. KEHANGATAN DAN PERHATIAN
Orang tua memeluk anak 10-15 menit perhari
Orang tua berbicara dengan anak sedikitnya 3 kali setiap sehari
Orangtua menjawab pertanyaan anak secara verbal/bicara
Orangtua merespon setiap ucapan atau permintaan anak
Orang tua memuji kemampuan dan kualitas yang dimiliki anak
Orangtua mencium, memeluk dan menggendong anak setiap hari
Orangtua mengajarkan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan
Subtotal
E5. STIMULASI AKADEMIK
Anak didorong untuk belajar warna
Anak didorong untuk belajar pola bicara (menyanyi, bercerita dll)
Anak didorong untuk belajar komunikasi dengan temannya
Anak didorong untuk belajar angka
Anak didorong untuk belajar beberapa kata baru (misal: belajar kosa kata
bahasa Inggris).
Subtotal
E6. MODELING
Anak tidak memiliki masalah kurang nafsu makan
Anak menonton acara anak di TV
Orang tua memperkenalkan orang lain kepada anak
Anak selalu mengungkapkan perasaan negatif/masalah pada orangtua
Anak dapat memukul orangtua tanpa ada balasan yang kasar dari orang tua
Subtotal
E7. VARIETAS DAN PENGALAMAN
Anak memiliki alat musik mainan atau sungguhan
Anak di bawa keluar oleh anggota keluarga sedikitnya 2 kali dalam seminggu
(misal: jalan-jalan atau piknik)
Anak pernah melakukan perjalanan jauh
Anak pernah diajak ke museum
Anak diajak untuk membereskan mainannya tanpa bantuan
Orang tua selalu menambahakan dan mengajarkan kata-kata baru pada anak
(misalkan mulai mengajarkan kosa kata Bahasa Inggris)
Anak dapat memperlihatkan hasil karya seni yang telah dibuatnya
Anak makan bersama ayah dan ibu sedikitnya sekali dalam sehari
Orang tua membiarkan anak memilih beberapa makanan di toko
Subtotal
E8. PENERIMAAN
Orang tua tidak menhina atau mengejek anak lebih dari satu kali
Orang tua tidak menghukum anak dengan hukuman fisik
Orangtua tidak memukul atau menampar anak saat anak nakal.
Tidak lebih dari satu kali melakukan hukuman fisik dalam seminggu terakhir
Subtotal
Total Skor
LAMPIRAN 3
No. Motorik Halus Ya Tidak
1. Bila diberi pensil, apakah anak mencoret-coret kertas tanpa bantuan/ petunjuk? (O)
2. Dapatkah anak meletakkan 4 buah kubus satu persatu di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubus itu?
Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O)
3. Buat garis lurus ke bawah sepanjang sekurang – kurangnya 2.5 cm.
Suruh anak menggambar garis lain di samping garis ini. (O)
Jawab YA bila ia menggambar garis seperti ini :

Jawab TIDAK bila ia menggambar garis seperti ini :

No. Motorik Kasar


1. Dapatkah anak melempar bola lurus kea rah perut atau dada dari jarak 1.5 meter (O)
2. Letakkan selembar kertas seukuran buku ini di lantai. Apakah anak dapat melompati bagian lebar kertas dengan
mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari? (O)
3. Dapatkah anak mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? (W)
Umur 42-47 bulan
No. Motorik Halus Ya Tidak
1. Jangan membantu anak dan jangan menyebut lingkaran. Suruh anak menggambar seperti contoh ini di kertas
kosong yang tersedia. Dapatkah anak menggambar lingkaran? (O)

Jawab : YA

Jawab : TIDAK
2. Dapatkah anak meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut?
Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O)
No. Motorik Kasar
1. Dapatkah anak mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? (W)
2. Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan
melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih? (O)
3 Letakkan selembar kertas seukuran buku ini di lantai. Apakah anak dapat melompati bagian lebar kertas dengan
mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari? (O)
Umur 48-53 bulan
No. Motorik Halus Ya Tidak
1. Jangan membantu anak dan jangan menyebut lingkaran. Suruh anak menggambar seperti contoh ini di kertas
kosong yang tersedia. Dapatkah anak menggambar lingkaran? (O)

Jawab : YA

Jawab : TIDAK

2. Dapatkah anak meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut?
Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O)
Motorik Kasar
1. Dapatkah anak mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? (O)
2. Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan
melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih? (O)
3 Letakkan selembar kertas seukuran buku ini di lantai. Apakah anak dapat melompati bagian lebar kertas dengan
mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari? (O)
Umur 54-59 bulan
No. Motorik Halus Ya Tidak
1. Dapatkah anak meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut?
Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O)
2. Jangan mengoreksi/membantu anak. Jangan menyebut kata “lebih panjang”.
Perlihatkan gambar kedua garis ini pada anak. (O)
Tanyakan: “Mana garis yang lebih panjang?”
Minta anak menunjuk, putar lembar ini
dan ulangi pertanyaan tersebut.
Setelah anak menunjuk, putar lembar ini lagi
dan ulangi pertanyaan tadi.
Apakah anak dapat menunjuk garis yang
lebih panjang sebanyak 3 kali dengan benar?
3. Jangan membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar ini, suruh anak menggambar seperti contoh ini
di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali kesempatan. (O)
Apakah anak dapat menggambar seperti contoh ini?

Jawablah : YA

Jawablah: TIDAK
Motorik Kasar Ya Tidak
1. Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan
melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau lebih? (O)
Umur 60 bulan
No. Motorik Halus Ya Tidak
1. Jangan mengoreksi/membantu anak. Jangan menyebut kata “lebih panjang”.
Perlihatkan gambar kedua garis ini pada anak. (O)
Tanyakan: “Mana garis yang lebih panjang?”
Minta anak menunjuk, putar lembar ini
dan ulangi pertanyaan tersebut.
Setelah anak menunjuk, putar lembar ini lagi
dan ulangi pertanyaan tadi.
Apakah anak dapat menunjuk garis yang
lebih panjang sebanyak 3 kali dengan benar?
2. Jangan membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar ini, suruh anak menggambar seperti contoh ini
di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali kesempatan. (O)
Apakah anak dapat menggambar seperti contoh ini?

Jawablah : YA

Jawablah : TIDAK
Motorik Kasar
1. Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan
melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau lebih? (O)
2. Suruh anak melompat dengan satu kaki beberapa kali tanpa berpegangan (lompatan dengan dua kaki tidak ikut
dinilai). Apakah ia dapat melompat 2-3 kali dengan satu kali? (O)
LAMPIRAN 4. ANALISIS UNIVARIAT

1. Status Motorik Halus


motorik_halus

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid sesuai 59 48.4 69.4 69.4

terlambat 26 21.3 30.6 100.0

Total 85 69.7 100.0

Missing System 37 30.3

Total 122 100.0

2. Status Motorik Kasar


motorik_kasar

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid sesuai 49 40.2 57.6 57.6

terlambat 36 29.5 42.4 100.0

Total 85 69.7 100.0

Missing System 37 30.3

Total 122 100.0

3. Asupan Energi
asupan_energi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid kurang 54 44.3 63.5 63.5

cukup 31 25.4 36.5 100.0

Total 85 69.7 100.0

Missing System 37 30.3

Total 122 100.0


4. Asupan Protein

asupan_protein

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid kurang 54 44.3 63.5 63.5

cukup 31 25.4 36.5 100.0

Total 85 69.7 100.0

Missing System 37 30.3

Total 122 100.0

5. Asupan Zat Besi


asupan_besi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid kurang 33 27.0 38.8 38.8

cukup 52 42.6 61.2 100.0

Total 85 69.7 100.0

Missing System 37 30.3

Total 122 100.0

6. Asupan Seng
asupan_seng

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 45 36.9 52.9 52.9

Cukup 40 32.8 47.1 100.0

Total 85 69.7 100.0

Missing System 37 30.3

Total 122 100.0


7. Stunting
stunting

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid normal 36 29.5 42.4 42.4

stunting 49 40.2 57.6 100.0

Total 85 69.7 100.0

Missing System 37 30.3

Total 122 100.0

8. Stimulasi Psikososial
stimulasi_PsiKlp

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Stimulasi psikososial kurang


19 15.6 22.4 22.4
Jika skor 0-29

Stimulasi psikososial cukup


58 47.5 68.2 90.6
Jika skor 30-45

Stimulasi psikososial baik


8 6.6 9.4 100.0
Jika skor 46-55

Total 85 69.7 100.0

Missing System 37 30.3

Total 122 100.0


LAMPIRAN 5. ANALISIS BIVARIAT
1. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Energi
asupan_energi * motorik_halus Crosstabulation

motorik_halus

sesuai terlambat Total

asupan_energi kurang Count 29 25 54

% within asupan_energi 53.7% 46.3% 100.0%

cukup Count 30 1 31

% within asupan_energi 96.8% 3.2% 100.0%

Total Count 59 26 85

% within asupan_energi 69.4% 30.6% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 17.207 1 .000
b
Continuity Correction 15.238 1 .000

Likelihood Ratio 21.282 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 17.005 1 .000


b
N of Valid Cases 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.48.

b. Computed only for a 2x2 table

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


asupan_energi (kurang / .039 .005 .304
cukup)

For cohort motorik_halus =


.555 .430 .717
sesuai

For cohort motorik_halus =


14.352 2.043 100.812
terlambat
95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


asupan_energi (kurang / .039 .005 .304
cukup)

For cohort motorik_halus =


.555 .430 .717
sesuai

For cohort motorik_halus =


14.352 2.043 100.812
terlambat

N of Valid Cases 85

2. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Protein


asupan_protein * motorik_halus Crosstabulation

motorik_halus

sesuai terlambat Total

asupan_protein kurang Count 26 25 51

% within asupan_protein 51.0% 49.0% 100.0%

cukup Count 33 1 34

% within asupan_protein 97.1% 2.9% 100.0%

Total Count 59 26 85

% within asupan_protein 69.4% 30.6% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 20.400 1 .000
b
Continuity Correction 18.288 1 .000

Likelihood Ratio 24.976 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 20.160 1 .000


b
N of Valid Cases 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.40.

b. Computed only for a 2x2 table


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


asupan_protein (kurang / .032 .004 .248
cukup)

For cohort motorik_halus =


.525 .399 .692
sesuai

For cohort motorik_halus =


16.667 2.369 117.274
terlambat

N of Valid Cases 85

3. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Besi


asupan_besi * motorik_halus Crosstabulation

motorik_halus

sesuai terlambat Total

asupan_besi kurang Count 9 24 33

% within asupan_besi 27.3% 72.7% 100.0%

cukup Count 50 2 52

% within asupan_besi 96.2% 3.8% 100.0%

Total Count 59 26 85

% within asupan_besi 69.4% 30.6% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 45.114 1 .000
b
Continuity Correction 41.928 1 .000

Likelihood Ratio 49.053 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 44.583 1 .000


b
N of Valid Cases 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.09.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for asupan_besi


.015 .003 .075
(kurang / cukup)

For cohort motorik_halus =


.284 .162 .496
sesuai

For cohort motorik_halus =


18.909 4.781 74.784
terlambat

N of Valid Cases 85

4. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Seng


asupan_protein * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

sesuai terlambat Total

asupan_protein kurang Count 17 34 51

% within asupan_protein 33.3% 66.7% 100.0%

cukup Count 32 2 34

% within asupan_protein 94.1% 5.9% 100.0%

Total Count 49 36 85

% within asupan_protein 57.6% 42.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 30.871 1 .000
b
Continuity Correction 28.432 1 .000

Likelihood Ratio 35.702 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 30.508 1 .000


b
N of Valid Cases 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.40.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


asupan_protein (kurang / .031 .007 .146
cukup)

For cohort motorik_kasar =


.354 .238 .527
sesuai

For cohort motorik_kasar =


11.333 2.913 44.089
terlambat

N of Valid Cases 85

5. Hubungan Status Motorik Halus dengan Stunting


stunting * motorik_halus Crosstabulation

motorik_halus

sesuai terlambat Total

Stunting normal Count 34 2 36

% within stunting 94.4% 5.6% 100.0%

stunting Count 25 24 49

% within stunting 51.0% 49.0% 100.0%

Total Count 59 26 85

% within stunting 69.4% 30.6% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 18.431 1 .000
b
Continuity Correction 16.443 1 .000

Likelihood Ratio 21.324 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 18.214 1 .000


b
N of Valid Cases 85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.01.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for stunting


16.320 3.526 75.530
(normal / stunting)

For cohort motorik_halus =


1.851 1.391 2.463
sesuai

For cohort motorik_halus =


.113 .029 .449
terlambat

N of Valid Cases 85

6. Hubungan Status Motorik Halus dengan Stimulai Psikososial

stimulasi_PsiKlp * motorik_halus Crosstabulation

motorik_halus

sesuai terlambat Total

stimulasi_PsiKlp Stimulasi psikososial kurang Count 8 11 19


Jika skor 0-29
% within stimulasi_PsiKlp 42.1% 57.9% 100.0%

Stimulasi psikososial cukup Count 44 14 58


Jika skor 30-45
% within stimulasi_PsiKlp 75.9% 24.1% 100.0%

Stimulasi psikososial baik Count 7 1 8


Jika skor 46-55
% within stimulasi_PsiKlp 87.5% 12.5% 100.0%

Total Count 59 26 85

% within stimulasi_PsiKlp 69.4% 30.6% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2-


Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 9.042 2 .011

Likelihood Ratio 8.679 2 .013

Linear-by-Linear Association 8.012 1 .005


Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2-


Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 9.042 2 .011

Likelihood Ratio 8.679 2 .013

Linear-by-Linear Association 8.012 1 .005

N of Valid Cases 85

a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is 2.45.

Risk Estimate

Value

Odds Ratio for


stimulasi_PsiKlp (Stimulasi
a
psikososial kurang Jika skor
0-29 / Stimulasi psikososial
cukup Jika skor 30-45)

a. Risk Estimate statistics cannot be


computed. They are only computed for a
2*2 table without empty cells.

7. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi


asupan_energi * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

sesuai terlambat Total

asupan_energi kurang Count 19 35 54

% within asupan_energi 35.2% 64.8% 100.0%

cukup Count 30 1 31

% within asupan_energi 96.8% 3.2% 100.0%

Total Count 49 36 85

% within asupan_energi 57.6% 42.4% 100.0%


Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 30.597 1 .000
b
Continuity Correction 28.127 1 .000

Likelihood Ratio 36.956 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 30.237 1 .000


b
N of Valid Cases 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.13.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


asupan_energi (kurang / .018 .002 .143
cukup)

For cohort motorik_kasar =


.364 .252 .525
sesuai

For cohort motorik_kasar =


20.093 2.893 139.551
terlambat

N of Valid Cases 85

8. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein

asupan_protein * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

sesuai terlambat Total

asupan_protein kurang Count 32 22 54

% within asupan_protein 59.3% 40.7% 100.0%

cukup Count 17 14 31

% within asupan_protein 54.8% 45.2% 100.0%

Total Count 49 36 85
asupan_protein * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

sesuai terlambat Total

asupan_protein kurang Count 32 22 54

% within asupan_protein 59.3% 40.7% 100.0%

cukup Count 17 14 31

% within asupan_protein 54.8% 45.2% 100.0%

Total Count 49 36 85

% within asupan_protein 57.6% 42.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square .158 1 .691
b
Continuity Correction .029 1 .866

Likelihood Ratio .157 1 .692

Fisher's Exact Test .820 .432

Linear-by-Linear Association .156 1 .693


b
N of Valid Cases 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.13.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


asupan_protein (kurang / 1.198 .491 2.922
cukup)

For cohort motorik_kasar =


1.081 .733 1.594
sesuai

For cohort motorik_kasar =


.902 .545 1.493
terlambat

N of Valid Cases 85
9. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi

asupan_besi * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

sesuai terlambat Total

asupan_besi kurang Count 1 32 33

% within asupan_besi 3.0% 97.0% 100.0%

cukup Count 48 4 52

% within asupan_besi 92.3% 7.7% 100.0%

Total Count 49 36 85

% within asupan_besi 57.6% 42.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 65.905 1 .000
b
Continuity Correction 62.299 1 .000

Likelihood Ratio 78.673 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 65.130 1 .000


b
N of Valid Cases 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.98.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for asupan_besi


.003 .000 .024
(kurang / cukup)

For cohort motorik_kasar =


.033 .005 .227
sesuai

For cohort motorik_kasar =


12.606 4.907 32.383
terlambat

N of Valid Cases 85
10. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Seng
asupan_seng * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

sesuai terlambat Total

asupan_seng kurang Count 21 24 45

% within asupan_seng 46.7% 53.3% 100.0%

cukup Count 28 12 40

% within asupan_seng 70.0% 30.0% 100.0%

Total Count 49 36 85

% within asupan_seng 57.6% 42.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 4.722 1 .030
b
Continuity Correction 3.815 1 .051

Likelihood Ratio 4.787 1 .029

Fisher's Exact Test .047 .025

Linear-by-Linear Association 4.667 1 .031


b
N of Valid Cases 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.94.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for asupan_seng


.375 .153 .917
(kurang / cukup)

For cohort motorik_kasar =


.667 .459 .968
sesuai

For cohort motorik_kasar =


1.778 1.029 3.071
terlambat

N of Valid Cases 85

11. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Stunting


stunting * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

sesuai terlambat Total

Stunting normal Count 34 2 36

% within stunting 94.4% 5.6% 100.0%

stunting Count 15 34 49

% within stunting 30.6% 69.4% 100.0%

Total Count 49 36 85

% within stunting 57.6% 42.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 34.634 1 .000
b
Continuity Correction 32.069 1 .000

Likelihood Ratio 40.026 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 34.226 1 .000


b
N of Valid Cases 85

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.25.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for stunting


38.533 8.178 181.566
(normal / stunting)

For cohort motorik_kasar =


3.085 2.009 4.738
sesuai

For cohort motorik_kasar =


.080 .021 .312
terlambat

N of Valid Cases 85
12. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Stimulasi Psikososial
stimulasi_PsiKlp * motorik_kasar Crosstabulation

motorik_kasar

sesuai terlambat Total

stimulasi_PsiKlp Stimulasi psikososial kurang Count 5 14 19


Jika skor 0-29
% within stimulasi_PsiKlp 26.3% 73.7% 100.0%

Stimulasi psikososial cukup Count 37 21 58


Jika skor 30-45
% within stimulasi_PsiKlp 63.8% 36.2% 100.0%

Stimulasi psikososial baik Count 7 1 8


Jika skor 46-55
% within stimulasi_PsiKlp 87.5% 12.5% 100.0%

Total Count 49 36 85

% within stimulasi_PsiKlp 57.6% 42.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2-


Value df sided)
a
Pearson Chi-Square 11.457 2 .003

Likelihood Ratio 11.976 2 .003

Linear-by-Linear Association 11.011 1 .001

N of Valid Cases 85

a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is 3.39.

Risk Estimate

Value

Odds Ratio for


stimulasi_PsiKlp (Stimulasi
a
psikososial kurang Jika skor
0-29 / Stimulasi psikososial
cukup Jika skor 30-45)

a. Risk Estimate statistics cannot be


computed. They are only computed for a
2*2 table without empty cells.

You might also like