You are on page 1of 18

ACARA I

PENGERINGAN
A. Tujuan
Tujuan Praktikum pengeringan yaitu :
1. Untuk mengetahui kurva karakteristik pengeringan suatu bahan
2. Menentukan waktu pengeringan suatu bahan
3. Menghitung efisiensi pengeringan

B. Tinjauan Pustaka
Pengeringan merupakan perpindahan massa air dari bahan yang
dikeringkan ke media pengering. Transfer massa ini ditandai dengan
pengurangan massa bahan dan perubahan bentuk fisiknya (tekstur, warna,
fasa). Proses perpindahan massa ini dipengaruhi oleh transfer panas dan
transfer momentum. Transfer panas dipengaruhi oleh perubahan suhu
pengering, sedangkan transfer momentum dipengaruhi oleh perubahan laju
alir udara pengering (Dwika, 2012).
Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air
tersebut dengan menggunakan energi panas. Tujuan dari pengeringan adalah
mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana mikroorganisme dan
kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan akan terhenti, dengan
demikian bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama
(Riansyah dkk., 2013). Tujuan pengeringan adalah untuk mengurangi kadar
air pada bahan sampai pada batas tertentu dimana perkembangan
mikroorganisme seperti bakteri, khamir atau kapang yang dapat menyebabkan
pembusukan dapat dihentikan sehingga bahan dapat disimpan lebih lama
(Matunis, 2012).
Prinsip pengeringan adalah menguapkan air karena ada perbedaan
kandungan uap air diantara udara dan bahan yang dikeringkan. Udara panas
mempunyai kandungan uap air yang lebih kecil dari pada bahan sehingga
dapat mengurangi uap air dari bahan yang dikeringkan (Hani, 2012).
Proses pengeringan terbagi dalam tiga kategori menurut Earle (1969)
yaitu:
1. Pengeringan udara dan pengeringan berhubungan langsung dibawah
pengaruh tekanan atmosfir. Dalam hal ini panas dipindahkan menembus
bahan pangan, baik dari udara maupun dari permukaan yang dipanaskan.
Uap air dipindahkan dengan udara.
2. Pengeringa hampa udara. Keuntungan dalam pengeringan hampa udara
didasarkan pada kenyataan bahwa penguapan aiar terjadi lenih cepat pada
tekanan rendah daripada tekanan tinggi. Panas yang dipindahkan dalam
pengeringan hampa udara pada umumnya secara konduksi, kadang-kadang
secara pemancaran.
3. Pengeringan beku. Pada pengeringan beku, uap air disublimasikan keluar
dari bahan pangan beku. Struktur bahan pangan tetap dipertahankan
dengan baik pada kondisi ini.
Pengeringan adiabatis ialah pengeringan dimana panas dibawa ke dalam
pengering oleh suatu gas yang panas. Gas memberikan panas kepada air di
dalam bahan pangan dan membawa ke luar uap air yang dihasilkan. Contoh
pengeringan adiabatis adalah pengering kabinet. Pengeringan cabinet terdiri
dari suatu ruangan dimana rigen-rigen untuk produk yang dikeringkan dapat
diletakkan didalamnya. Dalam unit yang berukuran kecil, rigen-rigen
pengering dapat disusun diatas suatu penyangga yang tetap di dalam
pengering tersebut. Udara dihembuskan dengan menggunakan kipas angin
melalui suatu pemanas kemudian menembus rigen-rigen pengering yang
berisi bahan-bahan yang akan dikeringkan (Desrosier, 2008).
Pengeringan kabinet merupakan pengeringan dengan meletakkan bahan
pada tray dengan tumpukan yang tipis dan biasanya bahan yang dikeringkan
dengan pengeringan ini adalah bahan padat. Udara segar memasuki kabinet
dan didorong oleh kipas melewati heater coils dan kemudian dihembuskan
melewati bahan pada tray. Laju pengeringan bergantung pada ukuran chip,
massa jenis bahan dan kelembaban (Udoro, 2008).
Ketika suatu produk basah mengalami proses pengeringan, maka pada
produk akan terjadi dua proses secara simultan, yaitu perpindahan panas
dari lingkungan untuk menguapkan air pada permukaan produk.
Perpindahan massa berupa uap air dari permukaan produk tergantung
pada temperatur udara lingkungan, kelembaban, kecepatan aliran udara, luas
bidang kontak, tekanan udara dan sifat fisik produk. Yang kedua terjadi
perpindahan air dari dalam produk ke permukaan produk dan selanjutnya
mengalami proses penguapan seperti pada proses pertama. Perpindahan air
dari dalam produk dipengaruhi oleh sifat fisik produk, temperatur dan
distribusi kandungan air di dalam produk (Yani, 2009).
Panas spesifik (Cp) bahan pangan adalah jumlah panas yang dibutuhkan
untuk meningkatkan temperatur satu satuan kuantitas bahan pangan sebesar
satu derajat dikali bobot produk dikali perubahan temperatur yang diinginkan.
Informasi tentang panas spesifik sangat penting, apabila wujud dari bahan
pangan mengalami perubahan, maka nilai dari variable panas spesifik harus
dimasukan dalam penghitungan beban panas. Selain dengan pengukuran,
konduktivitas termal bahan juga dapat diprediksi dengan menggunakan model
empiris. Hubungan teoritis dan empiris yang digunakan dalam merancang
proses panas menggunakan sifat-sifat thermal dari bahan yang digunakan
harus diketahui, namun informasi sifat-sifat ini masih terbatas, dan yang
tersedia diperoleh dengan berbagai teknik yang berbeda, serta nilai ini tidak
selalu tersedia (Jassin, 2012).
Selama pengeringan, transfer panas dan massa terjadi antar udara dan
bahan. Dan akibatnya, suhu udara menurun sedangkan kelembabannya
meningkat. Sifat udara dapat diukur dalam ruang untuk mengestimasi laju
pengeringan bahan, jumlah penguapan air dan suhu maksimal produk pada
tingkatan yang berbeda di dalam ruang pengering (Gianfrancesco, 2008).
Rasio kelembaban, moisture content dan laju pengeringan menurun
perlahan dengan bertambahnya waktu pengeringan. Pada periode penurunan
laju pengeringan, pergerakan kelembaban ke permukaan dipengaruhi oleh
difusi selama bahan jenuh dengan air. Selama pengeringan, senyawa asam
akan menguap dengan proses penurunan kelembaban (Chinenye, 2010).
C. Metodologi

1. Alat
a. 1 set cabinet dryer
b. Termometer bola basah dan bola kering
c. Timbangan analitik
d. Timbangan biasa
e. Mesin pemotong (slicer)
f. Baskom
g. Pisau
h. Karet gelang
i. Kompor listrik
j. Panci

2. Bahan
a. Singkong basah
b. Air
3. Cara Kerja

1 set alat pengering lengkap dan disiapkan peralatannya

500 g singkong

Dicuci bersih, dikupas, dirajang berbentuk dadu

Diblansing selama 2 menit

Ditimbang berat bahan sebelum dikeringkan

Dibuat 5 sampel bahan yang nantinya akan diletakkan ditempat yang


berbeda selama pengeringan

Diberi tanda pada kelima sampel tersebut

Sampel ditata pada rak cabinet kemudian dimasukkan ke dalam


kabinet

Dicatat waktu pengeringan yaitu saat menyalakan dan mematikan


alat

Diukur suhu, RH, dan tekanan setiap 30 menit selama 3 jam

Pengamatan berat bahan dapat dilakukan dengan menimbang 5


sampel setiap 30 menit selama 3 jam
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 1.1 Daftar Pengamatan Tekanan, RH, dan Suhu
Menit P RH Suhu
Perlakuan ke - (atm) (%) 1 2 3 4 5
Potong Dadu dan
29,5 30,5
Blanching 1
Dadu Tanpa Blanching 0 1 44 33 49 28 29
Rajang Blanching 1 29 31
Rajang Tanpa Blanching 1 29 29
Potong Dadu dan
33 30
Blanching 1
Dadu Tanpa Blanching 30 1 48 34 54 34 31
Rajang Blanching 1 29 31
Rajang Tanpa Blanching 1 31 31
Potong Dadu dan
33 35
Blanching 1
Dadu Tanpa Blanching 60 30 33
1 51 38 60
Rajang Blanching 1 33 33
Rajang Tanpa Blanching 1 30 30
Potong Dadu dan
37 36
Blanching 1
Dadu Tanpa Blanching 90 1 46 36 60 34 34
Rajang Blanching 1 33 31
Rajang Tanpa Blanching 1 34 32
Potong Dadu dan
33 31
Blanching 1
Dadu Tanpa Blanching 120 1 33 32
50 31 70,5
Rajang Blanching 1 32 31
Rajang Tanpa Blanching 1 36 30
Potong Dadu dan
38 35
Blanching 1
Dadu Tanpa Blanching 150 1 50 35 62 33 33
Rajang Blanching 1 32 30
Rajang Tanpa Blanching 1 37 35
Potong Dadu dan
36 36
Blanching 1
Dadu Tanpa Blanching 180 1 48 31 68,5 37 36
Rajang Blanching 1 32 30
Rajang Tanpa Blanching 1 31 31
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan : 1. Suhu bola kering lingkungan
2. Suhu bola basah lingkungan
3. Suhu ruang pengering
4. Suhu keluar bahan bola kering
5. Suhu keluar bahan bola basah

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan


sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan
menggunakan energi panas. Tujuan dari pengeringan adalah mengurangi kadar air
bahan sampai batas dimana mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat
menyebabkan pembusukan akan terhenti, dengan demikian bahan yang
dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama (Riansyah dkk., 2013).
Tujuan pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air pada bahan sampai pada
batas tertentu dimana perkembangan mikroorganisme seperti bakteri, khamir atau
kapang yang dapat menyebabkan pembusukan dapat dihentikan sehingga bahan
dapat disimpan lebih lama (Matunis, 2012).
Prinsip pengeringan adalah menguapkan air karena ada perbedaan
kandungan uap air diantara udara dan bahan yang dikeringkan. Udara panas
mempunyai kandungan uap air yang lebih kecil dari pada bahan sehingga dapat
mengurangi uap air dari bahan yang dikeringkan (Hani, 2012).
Proses pengeringan terbagi dalam tiga kategori menurut Earle (1969) yaitu:
1. Pengeringan udara dan pengeringan berhubungan langsung dibawah pengaruh
tekanan atmosfir. Dalam hal ini panas dipindahkan menembus bahan pangan,
baik dari udara maupun dari permukaan yang dipanaskan. Uap air dipindahkan
dengan udara.
2. Pengeringa hampa udara. Keuntungan dalam pengeringan hampa udara
didasarkan pada kenyataan bahwa penguapan aiar terjadi lenih cepat pada
tekanan rendah daripada tekanan tinggi. Panas yang dipindahkan dalam
pengeringan hampa udara pada umumnya secara konduksi, kadang-kadang
secara pemancaran.
3. Pengeringan beku. Pada pengeringan beku, uap air disublimasikan keluar dari
bahan pangan beku. Struktur bahan pangan tetap dipertahankan dengan baik
pada kondisi ini.
Termometer yang digunakan untuk mengukur suhu dijaga dalam kondisi
kering maka termometernya disebut sebagai termometer bola kering. Hasil
pengukuran suhu dengan alat ini disebut sebagai suhu bolakering. Bila sensor
panas (bulb) termometer yang digunakan sengaja dikondisikan menjadi basah,
yaitu sengaja ditutup oleh kain yang higroskopis maka ukuran suhu yang
diperoleh disebut sebagai ukuran suhu bola basah (Munir, 2011). Temperatur udara
kering yang disebut temperatur bola kering, temperatur udara basah (campuran udara –
air – uap) yang disebut temperatur bola basah (Walujodjati, 2005). Suhu keseimbangan
permukaan disebut suhu bola basah dan suhu ini tergantung pada suhu udara dan
kelembaban. Untuk penggunaan praktek, suhu yang mendekati suhu ini diberikan oleh
suatu thermometer bola ditutupi kain isap basah diletakkan pada aliran udara.
Termometer bola tanpa kain isap yang basah mencatat suhu udara dalam hubungan ini
thermometer ini disebut thermometer bola kering (Earle, 1969).
Menurut Desrosier (2008), perbedaan suhu bola basah dan suhu bola kering
(depresi bola basah) dapat menentukan kecepatan pengeringan pada suatu
kecepatan udara tertentu. Makin besar depresi bola basah, maka semakin besar
pula laju pengeringan. Aversa et al. (2007) menyatakan, jika suhu makanan awal lebih
rendah dari suhu bola basah, pengeringan lambat. Sebaliknya, ketika makanan memiliki
suhu awal sudah lebih tinggi dari suhu bola basah, maka pengeringan lebih cepat.
Dengan mengetahui suhu bola basah dan suhu bola kering, kecepatan pengering
yang dibutuhkan suatu bahan juga dapat diketahui sehingga bahan yang
dikeringkan mendapatkan hasil yang baik.
Pada Tabel 1.1 Daftar Pengamatan Tekanan, RH, dan Suhu, dapat diketahui
dengan Suhu bola kering lingkungan, suhu bola basah lingkungan, Suhu ruang
pengering yang sama untuk keempat perlakuan pada satu waktu namun seiring
dengan lamanya waktu pengeringan, ketiga suhu tersebut mengalami kenaikan
walaupun diantaranya mengalamin penurunan. Selain itu, perlakuan berbeda yang
diberikan terhadap bahan sebelum dilakukan pengeringan memberikan dampak
yang berbeda pula terhadap suhu keluar bola kering dan suhu keluar bola basah
untuk tiap bahan selama proses pengeringan berlangsung. Suhu keluar bola kering
untuk tiap perlakuan berbeda tiap menitnya. Perlakuan Rajang dengan blanching
suhu keluar baik bola basah maupun bola kering lebih rendah dibanding ketiga
perlakuan lainnya. Suhu keluar bola kering untuk singkong yang dipotong ddu
dengan blanching suhunya semakin meningkat tiap waktu namun terjadi
penurunan pada menitke 120 dan menit ke 180. Singkong dadu tanpa blanching

Tabel 1.2 Berat Sampel Selama Proses Pengeringan


Menit Berat Sampel (gr) Rata-rata
Perlakuan
ke - A B C D E
Potong Dadu dan Blanching 6,6 7,8 6,5 8,6 7,6 7,46
Dadu Tanpa Blanching 0 6,4 6,8 6,2 6,9 6,4 6,54
Rajang Blanching 2,9 2,8 2,4 3,2 2,3 2,72
Rajang Tanpa Blanching 3,5 2,7 3,5 2,9 3 3,02
Potong Dadu dan Blanching 6 7,1 5,6 8,1 6,7 6,7
Dadu Tanpa Blanching 5,8 6,3 5,8 6,3 5,9 6,02
30
Rajang Blanching 1,5 1,7 1,6 2 1,5 1,66
Rajang Tanpa Blanching 2,8 1,7 2,6 1,5 2,1 2,14
Potong Dadu dan Blanching 5,5 6,4 5 7,5 6,1 6,1
Dadu Tanpa Blanching 60 5,1 5,6 5,3 5,7 5,4 5,42
Rajang Blanching 1,2 1 1,1 1,2 0,9 1,08
Rajang Tanpa Blanching 2,2 1,1 2,1 1,1 1,6 1,62
Potong Dadu dan Blanching 5,1 5,9 4,6 6,9 5,6 5,62
Dadu Tanpa Blanching 4,7 5,2 4,7 5,2 5 4,96
90
Rajang Blanching 1,2 0,9 1 1,1 0,9 1,02
Rajang Tanpa Blanching 1,7 1 1,6 1,1 1,3 1,34
Potong Dadu dan Blanching 4,5 5,4 4,3 6,3 5,1 5,12
Dadu Tanpa Blanching 120 4,48
4,3 4,7 4,3 4,7 4,4
Rajang Blanching 1,2 0,9 1 1,1 0,9 1,02
Rajang Tanpa Blanching 1,5 1 1,5 1,1 1,3 1,28
Potong Dadu dan Blanching 4,2 5 3,9 5,9 4,7 4,74
Dadu Tanpa Blanching 4 4,3 3,9 4,3 4,1 4,12
150
Rajang Blanching 1,2 1 1 1,1 0,9 1,04
Rajang Tanpa Blanching 1,5 1 1,5 1 1,3 1,26
Potong Dadu dan Blanching 3,9 4,8 3,7 5,6 4,4 4,48
Dadu Tanpa Blanching 3,7 4 3,6 4 3,8 3,82
180
Rajang Blanching 1,2 1 1 1,1 0,9 1,04
Rajang Tanpa Blanching 1,5 1,1 1,6 1,1 1,4 1,34
Sumber: Laporan Sementara
Pada Tabel 1.2 Berat Sampel Selama Proses Pengeringan, bahan diberikan
perlakuan yang berbeda, yaitu potong dadu dengan blanching, potong dadu tanpa
blanching, rajang dengan blanching dan rajang tanpa blanching. Dari perlakuan
tersebut dan data tabel 1.2, berat Rajang dengan blanching lebih kecil dibanding
Rajang tanpa blanching. Sementara untuk singkong yang dipotong dadu dengan
blanching mempunyai berat lebih besar dibanding potong dadu tanpa blanching.
Hal terebut terjadi pada setiap penambahan waktu. Hal ini dikarenakan bahan
yang diblanching jaringan yang mengikat air pada bahan rusak sehingga saat
dikeringkan air akan lebih mudah keluar sehingga berat yang dihasilkan pun lebih
sedikit. Selain itu, pada perlakuan pemotongan yaitu potong dadu dan rajang juga
mempengaruhi, semakin tipis bahan seperti bahan yang dirajang maka
pengeringan juga semakin cepat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Muchlisun dkk. (2015) bahwa blanching menyebabkan jaringan menjadi rusak
sehingga air lebih mudah keluar dan pengeringan menjadi lebih cepat. Semakin
tipis bahan yang dikeringkan, semakin cepat penguapan air yang dikandung,
sehingga mempercepat waktu pengeringan (Sudrajad, 2004). Dari pernyataan
keduanya dapat disimpulkan pula bahwa bahan yang tipis dan diberikan perlakuan
blanching laju pengeringan semakin cepat sehinga berat yang dihasilkan pun lebih
sedikit.
Tabel 1.3 Hasil Pengamatan Laju Pengeringan
Jumlah air
Menit yang Laju
Perlakuan
ke - teruapkan (gr/menit)
(gr)
Potong Dadu dan Blanching 0,76 0,0253
Dadu Tanpa Blanching 30 0,52 0,0173
Rajang Blanching 1,06 0,0353
Rajang Tanpa Blanching 0,88 0,0293
Potong Dadu dan Blanching 60 0,6 0,01
Dadu Tanpa Blanching 0,6 0,01
Rajang Blanching 0,64 0,0106
Rajang Tanpa Blanching 0,52 0,0086
Potong Dadu dan Blanching 0,48 0,0053
Dadu Tanpa Blanching 90 0,46 0,0051
Rajang Blanching 0,06 0,00066
Rajang Tanpa Blanching 0,28 0,0031
Potong Dadu dan Blanching 0,5 0,00417
Dadu Tanpa Blanching 0,48 0,004
120
Rajang Blanching 0 0
Rajang Tanpa Blanching 0,06 0,0004
Potong Dadu dan Blanching 0,38 0,00253
Dadu Tanpa Blanching 150 0,36 0,0024
Rajang Blanching -0,02 -0,00013
Rajang Tanpa Blanching 0,02 0,00013
Potong Dadu dan Blanching 0,26 0,0014
Dadu Tanpa Blanching 0,3 0,00167
180
Rajang Blanching 0 0
Rajang Tanpa Blanching -0,08 -0,0004

Dari Tabel 1.3 Hasil Pengamatan Laju Pengeringan, jumlah uap air yang
teruapkan lebih besar bahan yang dipotong dadu dan diblanching dibandingkan
dengan bahan yang tidak diberikan perlakuan blanching. Namun berbeda
dengan Rajang, pada menit ke 30, 60 dan 180 memang jumlah uap yang
teruapkan memang lebih besar yang diberikan perlakuan blanching namun
menit ke 90 sampai 150, lebih besar Rajang tanpa diberikan blanching. Pada
menit ke 30 dan 60 jumlah air yang teruapkan lebih besar pada Rajang namun
menit ke 90 sampai 180 jumlah air yang teruapkan lebih besar pada potongan
dadu. Laju pengeringan untuk potongan dadu, lebih cepat bila dilakukan
perlakuan blanching terlebih dahulu namun berkebalikan pada menit ke 180.
Sementara untuk Rajang, seperti halnya jumlah air yang diuapkan, laju
pengeringan cepat atau memiliki nilai laju pengeringan besar untuk Rajang
yang diblanching hanya pada mneit ke 30, 60 dan 180. Hasil tersebut dapat
terjadi karna laju pengeringan potongan dadu masih termasuk dalam laju
pengeringan konstan. Sementara untuk Rajang, pada menit ke 60 sudah
mencapai kadar air kritis sehingga laju pengeringannya rendah atau kecil.
Seperti pernyataan Taufiq (2004). Laju pengeringan akan menurun seiring
dengan penurunan kadar air selama pengeringan. Jumlah air terikat makin lama
semakin berkurang. Perubahan dari laju pengeringan tetap menjadi laju
pengeringan menurun untuk bahan yang berbeda akan terjadi pada kadar air yang
berbeda pula Pada awal pengeringan dimana kadar air dan laju pengeringannya
masih tinggi, kadar air turun dengan cepat kemudian melandai dan sangat
lambat saat menuju kadar air keseimbangan. Proses pengeringan mempunyai
tiga periode utama yaitu periode pengeringan dengan laju pengeringan tetap,
periode pengeringan menurun cepat (pertama), dan laju pengeringan menurun
lambat (kedua). Periode laju pengeringan akan tetap terjadi sampai air bebas
pada permukaan bahan telah hilang. Suatu kondisi dimana kadar air saat laju
pengeringan berakhir menjadi tetap, yang dikenal sebagai kadar air kritis.
(Hawa, 2009).
Nurba (2010) dalam Hani (2012). Dalam suatu proses pengeringan, dikenal
adanya suatu laju pengeringan yang dibedakan menjadi dua tahap utama, yaitu laju
pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Laju pengeringan konstan
terjadi pada lapisan air bebas yang terdapat pada permukaan. Laju pengeringan ini
terjadi sangat singkat selama proses pengeringan berlangsung, kecepatan
penguapan air pada tahap ini dapat disamakan dengan kecepatan penguapan air
bebas. Sedangkan laju pengeringan menurun terjadi setelah periode pengeringan
konstan selesai. Pada tahap ini kecepatan aliran air bebas dari dalam biji ke
permukaan lebih kecil dari kecepatan pengambilan uap air maksimum dari biji.
Kadar air kritis (critical moisture content) menjadi batas antara laju pengeringan
konstan dan laju pengeringan menurun.
Menurut Atmaka dan Kawiji (2003) dalam Silvia dan Yuwana (2012),
faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan, yaitu luas
permukaan, suhu udara, kecepatan aliran udara dan kelembaban udara. Luas
pengeringan sangat berpengaruh terhadap kecepatan pengeringan, yaitu
semakin luas permukaan bahan maka akan semakin besar kecepatan
pengeringannya sehingga proses penguapan kadar air yang terjadi juga
semakin besar. Karena dengan luas permukaan yang sangat besar, proses
konveksi atau proses pemanasan terhadap bahan akan dengan cepat menyebar
sehingga panas yang bersentuhan dengan bahan semakin menyebar dan
akibatnya proses penguapan air akan semakin cepat terjadi. Menurut Buckle
(2013), faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dari suatu bahan
panga adalah :
1. Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi dan
kadar air)
2. Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat
atau media perantara pemindahan panas (seperti nampan untuk
pengering).
3. Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban dan
kecepatan udara).
4. Karakteristik alat pengering.
Sementara volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah
dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat bahan menjadi
berkurang sehingga mempermudah transport, dengan demikian diharapkan
biaya produksi lebih murah (Matunis, 2012).
E. Kesimpulan
Dari Penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahan yang diberikan perlakuan blanching berpengaruh terhadap
kecepatan laju pengeringan dan berdampak pada berat bahan yang
dikeringkan. Penaruh tersebut yaitu laju pengeringan semakin cepat dan
berat bahan semakin sedikit.
2. Bahan yang dipotong tipis atau dirajang juga memiliki pengaruh pada laju
pengeringan dan juga berat bahan. Penaruh tersebut yaitu laju pengeringan
semakin cepat dan berat bahan semakin sedikit.
DAFTAR PUSTAKA

Aversa, Maria, Stefano Curcio, Vincenza Calabro`, Gabriele Iorio. 2007. An analysis
of the transport phenomena occurring during food drying process. Journal
of Food Engineering 78 (2007) 922–932.
Buckle K.A., R. A Edwards, G.H. Fleet, M. Wootton. 2013. Ilmu Pangan.
Penerjemah Hadi Purnomo dan Adiono. UI-Press : Jakarta.
Chinenye, Ndukwu MacManus. 2010. Cocoa Bean (Theobroma cacao L.) Drying
Kinetics. Chilean Journal of Agricultural Research. Vol. 70. No. 4. Hal
633.
Desrosier, Norman W. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah Muchji
Miljohardjo. UI-Press : Jakarta.
Dwika, Ruben Tinosa, Trisna Ceningsih Dan Setia Budi Sasongko. 2012.
Pengaruh Suhu Dan Laju Alir Udara Pengering Pada Pengeringan
Karaginan Menggunakan Teknologi Spray Dryer. Jurnal Teknologi Kimia
Dan Industri, Vol. 1, No.1 Tahun 2012 Halaman 293-304.
Earle, R.L. 1969. Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan. Sastra Hudaya.
Bogor.
Gianfrancesco, et al. 2008. Powder Agglomeration During the Spray-drying
Process: Measurements of Air Properties. Jurnal Dairy Science
Tecnology. Vol. 88. Hal. 53-54.
Hani, Afus M. 2012. Pengeringan Lapisan Tipis Kentang ( Solanum Tuberosum.
L) Varietas Granol. Universitas Hasanudin.
Hawa, La Choviya,Sumardi H.S Sumardi H.S Sumardi H.S., Elfira Puspita Sari.
2009. PENENTUAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPI
PENENTUAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPI TIK
PENGERINGAN LAPISAN TIPIS IKAN SAN TIPIS IKAN KEMBUNG
KEMBUNG(Rastrelliger sp.). Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 10 No. 3
(Desember 2009) 153-161
Jassin, Ernawati. 2012. Kajian Eksperimental Nilai Konduktivitas Thermal dan
Panas Spesifik Beberapa Jenis Ikan. Jurnal Dirjen PT.
Matunis. 2012. Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Kuantitas Dan
Kualitas Pati Kentang Varietas Granola. Jurnal Teknologi dan Industri
Pertanian Indonesia Vol. (4) No.3, 2012
Muchlisun, Anang, Yhulia Praptiningsih S., Miftahul Choiron. 2015. Karakteristik
Apel Manalagi Celup Yang Dibuat Dengan Variasi Lama Blanching Dan
Suhu Pengeringan. berkala Ilmiah PERTANIAN. Volume x, Nomor x,
Bulan xxxx, hlm x-x.
Munir, Misabkul. 2011. Pengaruh Suhu Terhadap Laju Perpindahan Massa Pada
Proses Pengeringan Dengan Metode Temperatur Rendah (Low
Temperature Drying). Universitas Negeri Semarang.
Riansyah, Angga, Agus Supriadi, Rodiana Nopianti. 2013. Pengaruh Perbedaan
Suhu Dan Waktu Pengeringan Terhadap Karakteristik Ikan Asin Sepat
Siam (Trichogaster Pectoralis) Dengan Menggunakan Oven.Fishtech Vol
II No. 01 November 2013.
Sudrajad, Heru. 2004. Pengaruh Ketebalan Irisan dan Lama Perebusan
(Blanching) Terhadap Gambaran Makroskopis dan Kadar Minyak Atsiri
Simplisia Dringo (Acorus calamus L.) Media Litbang Kesehatan Vol. XIV
No. 4 Tahun 2004.
Taufiq, Muchamad. 2004. PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP
LAJU PENGERINGAN JAGUNG PADA PENGERING
KONVENSIONAL DAN FLUIDIZED BED. Skripsi. FAKULTAS
TEKNIKUNIVERSITAS SEBELAS MARET
Udoro, Elohor O., Olasunkanmi S. Gbadamosi dan Kehinde A. Taiwo PhD. 2008.
Studies on the Production and Utilization of Dried Cassava Chips as
Human Food. International Union of Food Science & Technology.
Walujodjati, A. 2005. Pengaruh Kecepatan Udara Terhadap Temperatur Bola
Basah, Temperatur Bola Kering Pada Menara Pendingin. Momentum,
Vol. 1, No. 2, Oktober 2005 : 5 – 9.
Yani, Endri. 2002. Analisis Efisiensi Pengeringan Ikan Nila pada Pengering
Surya Aktif Tidak Langsung. No. 31 Vol.2 Thn. XVI April 2009 ISSN:
0854-8471.
LAMPIRAN

Gambar 1.1 Singkong yang dirajang Gambar 1.2 Penataan Pada Tray

Gambar 1.3 Pengukuran suhu bola basah Gambar 1.4 Penimbangan bahan

You might also like