You are on page 1of 9

I.

PENYIAPAN SIMPLISIA

A. Metode Praktikum
1. Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum Pengelolaan Pasca Panen acara I Penyiapan Simplisia
dilaksanakan pada hari Rabu, 20 September 2018 bertempat di
Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Alat dan Bahan
a. Alat
1) Pisau
2) Talenan
3) Kertas koran
4) Keranjang
b. Bahan
1) Kunyit (Curcuma longa)
2) Sirih (Piper betle)
3) Melati (Jasminum sambac)
4) Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa)
3. Cara Kerja
a. Mengumpulkan simplisia obat yang akan dijadikan sebagai bahan
baku simplisia.
b. Melakukan sortasi basah untuk memisahkan bahan pengotor yang
masih menempel pada bahan.
c. Mencuci masing-masing bahan pada air mengalir hingga bersih.
d. Meletakkan bahan yang telah dicuci pada sebuah keranjang guna
meniriskan sisa-sisa air setelah pencucian.
e. Memotong bahan menjadi potongan kecil setelah bersih dan kering.
f. Meletakkan simplisia pada wadah yang terbuat dari kertas koran lalu
mengeringkannya.

2
3

4. Variabel Pengamatan
a. Berat bahan
b. Tekstur bahan
c. Warna bahan
B. Hasil Pengamatan dan Pembahasan
1. Hasil Pengamatan
Tabel 1.1 Penyiapan Simplisia pada Bahan Kunyit (Curcuma longa),
Sirih (Piper betle), Melati (Jasminum sambac) dan Mahkota
dewa (Phaleria macrocarpa)
Gambar
Keterangan
Sebelum Sesudah

Berat : 60,345
gram
Tekstur : keras
Warna : oranye

Gambar 1.1 Penimbangan Gambar 1.2 Kunyit telah


kunyit dipotong

Berat : 15,95
gram
Tekstur : halus
Warna : putih

Gambar 1.3 Penimbangan Gambar 1.4 Bunga melati


melati
4

Berat : 37,95
gram
Tekstur : keras
Warna : oranye

Gambar 1.5 Penimbangan Gambar 1.6 Mahkota dewa


mahkota yang telah
dewa dipotong

Berat : 2,65
gram
Tekstur : sedikit
kasar
Warna : hijau
tua

Gambar 1.7 Penimbangan Gambar 1.8 Daun sirih


daun sirih
Sumber: Logbook
2. Pembahasan
Bahan mentah untuk obat-obatan biasa disebut dengan simplisia.
Menurut Gunawan (2010), simplisia tergolong bahan alami yang
dipergunakan sebagai obat dimana belum mengalami pengolahan apapun
kecuali pengeringan. Simplisia terdiri dari 3 macam yaitu simplisia
nabati dimana bagian yang digunakan dapat berupa tanaman utuh, bagian
tanaman atau eksudat tanaman (isi sel yang secara spontan keluar dari
tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya) ataupun zat-
zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya
dan belum berupa zat kimia murni. Kedua yaitu simplisia hewani yang
dapat berasal dari hewan utuh, sebagian hewan atau zat-zat berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni sedangkan
simplisia pelikan atau mineral berasal dari bahan pelikan atau mineral
5

yang belum diolah dengan cara yang sederhana dan belum berupa zat
kimia murni.
Jenis-jenis simplisia nabati yang telah banyak diteliti, baik untuk
dijadikan bahan baku obat modern dalam bentuk kapsul atau tablet dan
untuk obat-obatan tradisional seperti jamu, dalam pemanfaatannya
menurut BPOM (2008), menjadi lima katagori, yaitu simplisia rimpang
atau empon-empon dimana bagian yang dimanfaatkan sebagai obat
adalah akar rimpang atau umbinya, contohnya dari jenis jahe-jahean
seperti jahe, kencur, lengkuas, kunyit, lempuyang, temulawak dan temu
putih. Kedua yaitu simplisia akar dimana bagian yang dimanfaatkan
sebagai obat adalah akarnya. Contohnya yaitu akar alang-alang, akar
wangi dan gandapura. Ketiga adalah simplisia biji dimana bagian yang
dimanfaatkan sebagai obat adalah bijinya. Contohnya yaitu biji kapulaga,
jintan, merica, kedawung, kecipir dan senggani. Keempat yaitu simplisia
daun dimana bagian yang dimanfaatkan sebagai obat adalah daunnya
contohnya yaitu daun kumis kucing, daun tabat barito, daun kemuning,
daun keji beling, dan daun alpokat. Kelima yaitu simplisia batang dimana
bagian yang dimanfaatkan sebagai obat adalah batangnya, contohnya
adalah cendana, pule dan pasak bumi.
Kunyit mempunyai berbagai nama daerah yang berbeda-beda
diantaranya yaitu hunik (Batak), kunyit (Lampung), kunyir (Sunda),
Kunir (Jawa Tengah) dan sebagainya. Menurut Hartati dan Balittro
(2013), kunyit memiliki habitus yaitu semak dengan tinggi ±70 cm,
memiliki batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang. Rimpang
kunyit bercabang-cabang sehingga membentuk rumpun. Rimpang
berbentuk bulat panjang dan membentuk cabang rimpang berupa batang
yang berada di dalam tanah. Menurut Partomuan (2009), rimpang kunyit
terdiri dari rimpang induk atau umbi kunyit dan tunas atau cabang
rimpang. Rimpang utama ini biasanya ditumbuhi tunas yang tumbuh ke
arah samping, mendatar atau melengkung. Tunas berbuku-buku pendek,
lurus atau melengkung. Tinggi anakan mencapai 10,85 cm. Warna kulit
6

rimpang jingga kecoklatan atau berwarna terang agak kuning kehitaman.


Warna daging rimpangnya jingga kekuningan dilengkapi dengan bau
khas yang rasanya agak pahit dan pedas. Rimpang cabang tanaman
kunyit akan berkembang secara terus menerus membentuk cabang-
cabang baru dan batang semu, sehingga berbentuk sebuah rumpun. Lebar
rumpun mencapai 24,10 cm. panjang rimpang dapat mencapai 22,5 cm,
tebal rimpang yang tua 4,06 cm dan rimpang muda 1,61 cm. Rimpang
kunyit yang sudah besar dan tua merupakan bagian yang dominan
sebagai obat. Penggunaan rimpang kunyit yang baik untuk bahan obat
yaitu rimpang tidak terkena hama ataupun penyakit tanaman, rimpang
yang dipanen antara 8-12 bulan, tidak memiliki kecacatan fisik,
mengeluarkan aroma khas kunyit dan diperoleh dari daerah yang
menghasilkan rimpang kunyit dengan senyawa aktif paling banyak.
Menurut Dalimartha (2008), sirih dikenal dengan beberapa nama
yaitu ranub (Aceh), canbai (Lampung), seureuh (Sunda), sedah, suruh
(Jawa) dan sere (Madura). Tanaman sirih tergolong tanaman yang
tumbuh memanjat dengan tinggi tanaman 5-15 cm. Menurut Dwivedi dan
Tripathi (2014), daun berbentuk bundar telur atau bundar telur lonjong
dimana bagian pangkalnya berbentuk jantung atau agak bundar, tulang
daun bagian bawah gundul atau berbulu sangat pendek, tebal berwarna
putih, panjang 5–18 cm, dan lebar 2,5–10,5 cm. Daun pelindung
berbentuk lingkaran, bundar telur sungsang, atau lonjong dengan panjang
kira-kira 1 mm. Syarat daun sirih sebagai bahan obat yaitu masih segar,
berwarna hijau, tidak terserang hama ataupun penyakit serta tidak
memiliki kecacatan fisik.
Menurut Novi dan Rizki (2014), bunga melati (Jasminum sambac)
memiliki kandungan kimia yaitu indol, benzyl, livalyacetat, dipercaya
dapat mengobati penyakit seperti, sakit kepala, sesak nafas, demam,
kelebihan ASI dan sakit mata. Tanaman melati tumbuh lebih dari setahun
(perennial), bersifat perdu dan merambat. Menurut Eren (2013), panjang
atau tinggi tanaman melati dapat mencapai 3 meter atau lebih, batangnya
7

berkayu, berbentuk bulat sampai segi empat, berbuku-buku dan


bercabang banyak seolah-olah merumpun. Bunga melati berwarna putih,
permukaan yang halus dan mengeluarkan aroma khas yang bermanfaat
sebagai terapi dalam kesehatan. Bunga melati merupakan bunga
majemuk dimana memilki ibu tangkai bunga yang keluar dari ketiak
daun. Bunga melati memiliki susunan bunga menyirip dan berhadapan
dan memilki 7 mahkota berlapis-lapis yang akan berbentuk datar
sehingga pada bunga jenis ini tidak ditemukan kelopak bunga. Syarat
bunga melati sebagai obat yaitu segar, mengeluarkan aroma khas melati
dan tidak memiliki kecacatan fisik.
Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff. Boerl.) berasal dari
Papua. Menurut Widowati (2015), di Jawa Barat tanaman ini disebut
buah simalakama, di Jawa disebut makutodewo. Seluruh bagian tanaman
mahkota dewa dapat digunakan antara lain untuk kanker, lever, diabetes,
asam urat, ginjal dan penurun kolesterol. Menurut Rohyami (2008),
tinggi tanaman mahkota dewa yaitu 1–2.5 meter dengan buah berbentuk
bulat, permukaan licin serta beralur, saat masih muda berwarna hijau dan
bila sudah masak bewarna merah dan daging buah bewarna putih,
berserat dan berair. Penggunaan buah mahkota dewa yang baik untuk
obat yaitu sudah masak, tidak terserang hama ataupun penyakit serta
tidak memiliki kecacatan fisik.
Berdasarkan tabel 1.1, berat rimpang kunyit sebelum dikeringkan
sebesar 60,345 gram dengan indra peraba dirasakan tekstur keras serta
dengan pengindraan mata terlihat warna oranye. Berat dari bunga melati
sebelum dilakukan pengeringan adalah sebesar 15,95 gram dengan
tekstur terasa halus dan memiliki warna putih pada bunganya. Bahan
mahkota dewa yang dipakai memunculkan berat 37,95 gram pada
timbangan analitik dengan tekstur keras saat dilakukan penekanan dan
berwarna putih pada daging buah. Bahan daun yang digunakan yaitu
daun sirih dengan berat 2,65 gram terasa sedikit kasar pada permukaan
daun serta berwarna hijau tua.
8

Tahap penyiapan simplisia diantaranya yaitu pengumpulan bahan


baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering,
pengepakan, penyimpanan dan pemeriksaan mutu (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Sortasi basah dilakukan untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing dari bahan yang
akan digunakan. Kotoran dan bahan asing tersebut dapat berupa tanah,
kerikil, bahan organik selain bagian bahan yang digunakan serta kotoran
lain yang harus dibuang. Tahap berikutnya yaitu pencucian. Tujuan dari
pencucian antara lain menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat
pada bahan tanaman, mengurangi kontaminan mikroba yang
menyebabkan pembusukan pada bahan tanaman serta menghilangkan
residu pestisida. Metode pencucian dibagi menjadi dua yaitu pencucian
manual dan pencucian modern. Pencucian manual diantaranya adalah
menggunakan air mengalir, perendaman berulang pada daun dan biji,
penyemprotan untuk kotoran yang kuat melekat pada batang, rimpang
ataupun umbi serta penyikatan-sikat halus bagian yang sulit dibersihkan
rimpang atau umbi, sedangkan untuk pencucian modern dapat
menggunakan mesin pencuci baik sistem bubble atau prinsip kerja rotor.
Menurut Wahyuni (2014), pencucian dilakukan sesingkat mungkin agar
tidak menghilangkan zat berkhasiat dari tumbuhan tersebut namun tetap
bersih dari kotoran. Langkah berikutnya adalah penirisan yang bertujuan
untuk membuang sisa air pencucian, memudahkan perajangan,
mempercepat pengeringan sehingga bahan tidak mudah ditumbuhi
bakteri dan jamur. Tahap setelah penirisan bahan yaitu perajangan.
Perajangan bertujuan untuk memudahkan proses pengeringan,
memudahkan proses pengemasan dan penyimpanan serta memudahkan
proses pengolahan selanjutnya (ekstraksi). Menurut Wahyuni (2014),
perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajang
khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang
dikehendaki.
9

Tahap setelah perajangan yaitu pengeringan. Pengeringan bertujuan


untuk mengurangi kadar air, menghambat pertumbuhan jamur, mikroba
serta patogen, menghambat terurainya zat aktif karena aktifitas enzim,
memperpanjang umur simpan serta meningkatkan kualitas simplisia.
Menurut Utomo (2009), pengeringan alamiah dapat dikelompokkan
menjadi pengeringan dengan sinar matahari langsung dan sinar matahari
tidak langsung, yaitu dengan menutup kain hitam diatas bahan yang akan
dikeringkan sedangkan pengeringan buatan dapat menggunakan lemari
pengering atau oven. Proses dilanjutkan dengan memisahkan kotoran,
bahan organik asing, pengotor fisik dan simplisia yang rusak akibat
proses penanganan sebelumnya. Langkah terakhir yaitu pengemasan dan
penyimpanan. Pengemasan bertujuan untuk mempermudah penyimpanan
dalam gudang, melindungi simplisia pada saat pengangkutan dan
distribusi, mengefisienkan proses pengiriman, melindungi simplisia dari
ganguan luar (suhu, kelembaban, sinar), melindungi simplisia dari
pencemaran mikroba, melindungi simplisia dari serangan berbagai jenis
serangga, melindungi simplisia dari kerusakan mekanik serta menarik
perhatian konsumen. Penyimpanan simplisia harus memenuhi standar
gudang penyimpanan yaitu bersih, tertutup, penerangan memadai,
sirkulasi udara bagus, tidak lembab (30-55%), tidak kena sinar matahari
langsung serta digunakan alas kayu untuk meletakkan simplisia. Menurut
Wahyuni (2014), penyimpanan simplisia kering biasanya dilakukan pada
suhu kamar (15ºC sampai 30ºC).
C. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum Pengelolaan Pasca Panen acara I Penyiapan
simplisia yaitu tahap penyiapan simplisia terdiri dari sortasi basah, pencucian,
penirisan, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengemasan dan
penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA

BPOM. 2008. Informatorium obat nasional indonesia. Jakarta: Badan Pengawas


Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Dalimartha S. 2009. Atlas tumbuhan obat jilid 6. Jakarta: PT Pustaka Bunda.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope herbal Indonesia.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dwivedi V dan Tripathi S. 2014. review study on potential activity of Piper betle
L. J of pharmacognosy and phytochemistry 3(4): 93-98.
Eren H. 2013. Daun ampuh pembasmi penyakit. Yogyakarta: Nusa Creativa.
Gunawan D dan Sri M. 2010. Ilmu obat alam (farmakognosi) jilid 1. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Hartati SY dan Balittro. 2013. Khasiat kunyit sebagai obat tradisional dan manfaat
lainnya. warta penelitian dan pengembangan tanaman industri. J Puslitbang
Perkebunan 1 (9): 5-9.
Novi dan Rizki. 2014. Induksi Pemekaran bunga (anthesis) tanaman melati putih
(Jasminum sambac L. W. Ait) dengan pemberian paclobutrazol pada
beberapa konsentrasi. J Pelangi 6 (1): 129-135.
Partomuan S. 2009. Studi kimia dan farmakologi tanaman kunyit sebagai
tumbuhan obat serbaguna. J Agrium. 1 (2): 103-107.
Rohyami Y. 2008. Penentuan kandungan flavonoid dari ekstrak metanol daging
buah mahkota dewa. J Logika 5 (1): 1-16.
Utomo AW, Wiranti SR dan Binar AD. 2009. Pengaruh beberapa metode
pengeringan terhadap kadar flavonoid total herba sambiloto (Andrographis
paniculata). J Pharmacy 6 (1): 98-104.
Wahyuni R, Guswandi dan Harrizul R. 2014. Pengaruh cara pengeringan dengan
oven, kering angin dan cahaya matahari langsung terhadap mutu simplisia
herba sambiloto. J Farmasi Higea 6 (2): 45-51.
Widowati L. 2015. Kajian hasil penelitian mahkota dewa. J Bahan Alam
Indonesia 4 (1): 223-230.

You might also like