You are on page 1of 17

ACARA 1.

1
KADAR AMILOSA SEREALIA

A. Tujuan
Tujuan diadakannya praktikum ini adalah untuk mengetahui kadar
amilosa tiap sampel yang digunakan yaitu tepung tapioka, tepung
beras,tepung terigu dan tepung maizena.

B. Tinjauan Pustaka
Amilum yang terdapat di dalam butir beras berbentuk biji yang
mempunyai struktur tertentu. Di bawah mikroskop dapat diketahui biji
amilum dari berbagaijenis biji-bijian, misalnya butir amilum dari beras,
dari terigu, dari jagung, dan sebagainya. Pengenalan bentuk bijih amilum
ini dapat dipergunakan untuk mengetahui apakah suatu tepung murni
ataukah dicampur, misalnya dengan maksud pemalsuan. Buti-butir kristal
amilum di dalam endosperm bercampur dengan kristal protein. Kristal-
kristal protein lebih banyak terdapat di dalam sel-sel lapisan luar dari biji
dan semakin ke arah dalam biji amilumsemakin banyak dibandingkan
dengan kristal protein (Winarno, 1992).
Pati yang juga merupakan simpanan energi di dalam sel-sel tumbuhan
ini berbentuk butiran-butirankecil mikroskopik dengan berdiameter
berkisar antara 5-50 nm. Dan di alam, pati akan banyak terkandungdalam
beras, gandum, jagung, biji-bijian seperti kacang merah atau kacang hijau
dan banyak juga terkandungdi dalam berbagai jenis umbi-umbian seperti
singkong, kentang atau ubi.Di dalam berbagai produk pangan, pati
umumnya akan terbentuk dari dua polimer molekul glukosayaitu amilosa
(amylose) dan amilopektin (amylopectin). Amilosa merupakan polimer
glukosa rantai panjangyang tidak bercabang sedangkan amilopektin
merupakan polimer glukosa dengan susunan yang bercabang-
cabang.Komposisi kandungan amilosa dan amilopektin ini akan bervariasi
dalam produk pangan dimana produk pangan yang memiliki kandungan
amilopektin tinggi akan semakin mudah untuk dicerna (Triyati, 1985).
Perbandingan jumlah amilosa dan amilopektin dalam beras
menentukan tingkat kepulenannya. Pada prinsipnya semakin tinggi
kandungan amilopektinnya, maka beras tersebut semakin pulen atau
lekat/lengket. Komponen kedua terbesar dari beras adalah protein.
Kandungan protein pada beras adalah 8% pada beras pecah kulit dan 7%
pada beras giling.Ada perbedaan antara beras biasa dengan beras ketan
dalam penampakannya. Beras biasa mempunyai tekstur yang keras dan
transparan, sedangkan beras ketan lebih rapuh, butirnya lebih besar dan
warnanya putih opak (tidak transparan). Perbedaan lainnya adalah dalam
hal bahan yang menyusun pati. Komponen utama pati beras ketan adalah
amilopektin, sedangkan kadar amilosanya hanya berkisar antara 1 – 2%
dari kadar pati seluruhnya. Beras yang mengandung amilosa lebih besar
dari 2% disebut beras biasa atau bukan beras ketan. Pemasakan akan
mengubah sifat beras ketan menjadi sangat lengket, dan mengkilat. Sifat
ini tidak berubah dalam penyimpanan beberapa jam atau bahkan beberapa
hari. Ketan digunakan sebagai bahan utama kue basah dalam bentuk
tepung ketan atau ketan utuh (Koswara, 2006).
Pati adalah cadangan makanan utama pada makanan. Senyawa ini
sebenarnya campuran dua polisakarida:
a. Amilosa
Molekul amilosa terdiri dari 70 hingga 350 unitglukosa
yang berikatan membentuk rantai lurus. Kira-kira 20% dari
pati adalah amilosa
b. Amilopektin
Molekul ini terdiri hingga 100.000 unit glukosa yang
berikatan membentuk struktur rantai bercabang
(Gaman dan Sherrington, 1992).
Menurut Thomas dan Atwell (1999), amilosa merupakan suatu
polimer lurus yang tersusun hampir seluruhnya dari D-glukopiranosa
yangdisambung dengan ikatan α-1,4. Bila dalam bentuk pilinan, maka
amilosadapat membentuk kompleks chlatrate dengan asam bebas,
komponen asamlemak gliserida, beberapa alkohol, dan iodin karena
sebagian dalam dari pilinan tersebut bersifat hidrofobik. Sedangkan
amilopektin tersusun atassegmen-segmen glukosa yang berikatan α-1,4
dan bagian-bagian tersebutdihubungkan oleh titik-titik percabangan β-1,6.
Tepung adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus
atausangat halus tergantung pemakaiannya. Biasanya digunakan untuk
keperluan penelitian, rumah tangga dan bahan baku industri. Tepung bisa
berasal dari bahan nabati misalnya tepung terigu dari gandum, tapioka
darisingkong, maizena dari jagung atau hewani misalnya tepung tulang
dantepung ikan(Koswara, 2006).
Tepung beras adalah salah satu yang paling sederhana.
Isinyasebagian besar adalah pati. Protein, vitamin dan mineral semua
terdapat di kulitnya (rice bran) dan bukan di biji beras yng putih itu. Rice
bran inilahyang bergizi tinggi. Dalam tepung beras (yang dibuat dari biji
beras tanpakulit) mengandung protein yang jauh lebih sedikit daripada
tepung terigu,misalnya pati yang terdapat di beras (dan tepungnya) justru
lebih sederhanalagi. Pati adalah rangkaian gula (tech speaks glucose) yang
sambung-menyambung menjadi sebuah rantai (Koswara, 2006).
Menurut Koswara (2006), beras biasa mempunyai tekstur yang
kerasdan transparan, sedangkan beras ketan lebih rapuh, butirnya lebih
besar danwarnanya putih opak (tidak transparan). Perbedaan lainnya
adalah dalam hal bahan yang menyusun pati. Komponen utama pati beras
ketan adalahamilopektin, sedangkan kadar amilosanya hanya berkisar
antara 1 – 2% darikadar pati seluruhnya. Beras yang mengandung amilosa
lebih besar dari 2%disebut beras biasa atau bukan beras ketan. Pemasakan
akan mengubah sifat beras ketan menjadi sangat lengket, dan mengkilat.
Sifat ini tidak berubahdalam penyimpanan beberapa jam atau bahkan
beberapa hari. Ketandigunakan sebagai bahan utama kue basah dalam
bentuk tepung ketan atauketan utuh.
Tepung terigu merupakan tepung/ bubuk halus yang berasal dari
bijigandum dan digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mie dan
roti.Tepung terigu banyak mengandung zat pati, yaitu karbohidrat
kompleksyang tidak larut dalam air. Tepung terigu banyak mengandung
proteindalam bentuk gluten, yang berpern dalam menentukan kekenyalan
makananyng terbuat dari bahan terigu (Koswara, 2006).
Tepung terigu kaya akan kandungan protein. Protein tepung
terigumemiliki struktur yang unik. Seperti yang disebutkan dalam
Desrosier (1988), bila tepung terigu dicampur dengan air dalam
perbandingan tertentu,maka protein akan membentuk suatu massa atau
adonan koloidal yang plastis yang dapat menahan gas dan akan
membentuk suatu struktur spons bila dipanggang. Karakteristik tepung
terigu ini, yang memungkinkan pembuatan roti tawar yang lunak tidak
dijumpai dalam butir serealia lain.
Tepung maizena atau cornflour/cornstarch berwarna putih
yangterbuat dari sari pati jagung. Biasanya digunakan untuk mengentalkan
supatau membuat cookies atau makanan lain menjadi lebih lembut
(Triyati, 1985).
Menurut Setyowati (2006), tepung maizena atau pati jagung yang
tersusun atas 25% amilosa dan 75% amilopektin. Amilosa mendorong
proses mekar sehingga produk yang berasal dari pati-patian
beramilopektintinggi bersifat porous, ringan, gating, dan mudah patah.
C. Metodologi
1. Alat
a. Labu takar 100 ml,
b. pipet 1 ml,
c. pipet 10 ml,
d. neraca analitik,
e. spektrofotometer,
f. tabung reaksi,
g. kompor listrik,
h. timbangan,
i. waterbath.
2. Bahan
a. Tepung tapioka,
b. tepung beras,
c. tepung terigu,
d. tepung maizena,
e. etanol 95%,
f. larutan NaOH,
g. asam asetat,
h. larutan iod
3. Cara kerja
a. Pembuatan Kurva Standar Amilosa
40 mg amilosa
murni

Pemasukan dalam tabung reaksi

1 ml etanol 95% dan


Penambahan
9 ml NaOH 1N

Pemanasan dalam air mendidih 5-10 menit


sampai semua bahan terlarut

Pendinginan

Pemindahan dalam labu takar 100 ml


masing-masing berisi 1, 2, 3, 4, dan 5 ml
2 ml larutan iod + asam
asetat 1N Penambahan pada masing-masing labu takar
0,2;0,4;0,6'0,8; dan 1 ml

Aquades Penambahan sampai tanda tera

Penggojogan dan pendiaman selama


20 menit

Pengukuran absorbansi pada λ 625 nm

Pembuatan kurva standar hubungan antara


kadar amilosa dan absorbansi

Gambar 1.1.1 Diagram Alir Pembuatan Kurva Standar Amilosa


b. Penentuan Kadar Amilosa Sampel

100 mg tepung

Penimbangan

Pemasukan dalam tabung

1 ml etanol 95% + 9 ml NaOH


Penambahan
1N

Pemanasan 5-10 menit sampai larut

Pendinginan

Pemindahan ke labu takar 100 ml

Aquades Penambahan hingga tanda tera

Pengambilan 5 ml

Pemasukan ke labu takar

1 ml asam asetat+ 2 ml
Penambahan
iod + aquades hingga
tanda tera

Penggojogan

Pendiaman 20 menit

Peneraan dengan spektrofotometer pada panjang


gelombang 625 nm

Gambar 1.1.2 Diagram Alir Penentuan Kadar Amilosa Sampel


D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 1.1.1 Kurva Standar Amilosa
ml amilosa Konsentrasi Absorbansi (Å)
1 0,4 0,099
2 0,8 0,187
3 1,2 0,241
4 1,6 0,356
5 2,0 0,468
Sumber : Laporan Sementara

Tabel 1.1.2 Kadar Amilosa pada Tepung


Berat
Absorbansi Amilosa
Kel Sampel Sampel x
(y) (%)
(mg)
1,3 Terigu 109 0,142 0,6346 11,644
2,4 Tapioka 107,6 0,134 0,599 11,133
5 Maizena 108 0,283 1,684 31,185
6 Beras 103,9 0,380 1,256 24,177
7,11 Terigu 105 0,210 0,537 10,228
8,12 Tapioka 108,7 0,253 1,124 20,680
9 Maizena 109 0,113 0,506 9,284
10 Beras 106,5 0,220 1,014 19,042
Sumber: Laporan Sementara

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.


Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai
karbonnya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati
terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi
terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa
mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan
amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa
sebanyak 4-5% dari berat total. Semakin kecil kandungan amilosa atau
semakin tinggi kandungan amilopektinnya, semakin lekat nasi tersebut
(Winarno, 1992).
Molekul amilosa terdiri dari 70 hingga 350 unit glukosa yang
berikatan membentuk rantai lurus. Kira-kira 20% dari pati adalah amilosa.
Sedangkan molekul amilopektin terdiri hingga 100.000 unit glukosa yang
berikatan membentuk struktur rantai bercabang. Sementara itu, kadar
amilosa merupakan suatu teknik atau cara pengujian untuk mengetahui
seberapa banyak kandungan amilosa pada suatu bahan
(Gaman dan Sherrington, 1981).
Menurut Utomo (2005), Prinsip spektrofotometri adalah
berdasarkan absorbansi cahaha pada panjang gelombang tertentu melalui
suatu larutan yang mengandung kontaminan yang akan ditentukan
konsentrasinya. Proses ini disebut “absorbansi spektrofotometri” dan jika
panjang gelombangnya yang digunakan adalah gelombang cahaha tampak
maka disebut “kolorimetri” karena memberikan warna. Selain gelombang
cahaha tampak sepektrofotometri juga mengunakan panjang gelombang
pada gelombang ultraviolet dan infra merah. Prinsip kerja dari metode ini
adalah jumlah cahaya yang diabsorbansi oleh larutan sebanding dengan
konsentrasi kontaminan dalam larutan. Prinsip ini dijabarkan dalam
hokum Beer-Lambert yang menghubungkan antara absorbansi cahaya
dengan konsentrasi suatu bahan yang mengabsorbansi. Mekanisme
penggunaannya adalah isi kuvet sekitar ¾ penuh dengan larutan blanko
tekan auto zero lalu isi kuvet yang lain dengan sample yang akan di uji
sebanyak ¾ penuh masukkan kuvet sample kedalam alat dan tekan maka
di layar akan muncul nilai absorbansinya ualngi sebanyak 8 kali dengan
cara menekan enter.
Menurut Lukman dkk (2013) penetapan kadar amilosa berdasarkan
reaksi antara amilosa dengan senyawa iod yang menghasilkan warna biru.
Sebelumnya dilakukan pembuatan kurva standar amilosa yang
menunjukkan hubungan antara nilai penyerapan cahaya dengan
penyerapan amilosa. Kurva standar dibuat dengan cara pati kentang
sebanyak 40 mg dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian
ditambahkan dengan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan
dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100° C selama 7 menit. Larutan
selanjutnya dipipet ke dalam labu ukur 100 mL masing-masing sebanyak
1; 2; 3; 4 dan 5 mL. Masing-masing larutan kemudian ditambahkan
dengan 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod
2%, larutan diencerkan sampai volume 100 mL, larutan dikocok dan
didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Zat uji
sebanyak 100 mg ditempatkan dalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan dengan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Campuran
dipanaskan dalam air mendidih hingga terbentuk gel dan selanjutnya
seluruh gel dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Gel ditambahkan
dengan air lalu dikocok, kemudian dicukupkan hingga 100 mL dengan air.
Sebanyak 10 mL larutan dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL yang
berisi 60 mL air dan ditambah dengan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL
larutan iod 2%, larutan diencerkan sampai volume 100 mL, larutan
dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang
terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625
nm. Kadar amilosa dihitung berdasarkan persamaan kurva standar amilosa.
Pada peneraan sampel dengan spektrofotometer digunakan panjang
gelombang (𝝺) 625 nm karena hal tersebut sesuai dengan warna yang
dapat diserap oleh reagen yaitu biru, pengamatan tersebut menggunakan
jenis spektrofotometri visible, pada spektrofotometri ini yang digunakan
sebagai sumber sinar/energi adalah cahaya tampak (visible). Cahaya
visible termasuk spektrum elektromagnetik yang dapat ditangkap oleh
mata manusia. Panjang gelombang sinar tampak adalah 400 sampai 750
nm. Sehingga semua sinar yang dapat dilihat oleh kita, seperti putih,
merah, biru, hijau, atau apapun. Selama dapat dilihat oleh mata, maka
sinar tersebut termasuk ke dalam sinar tampak (Triyati, 1985).
Kelebihan metode spektrofotometer yaitu : Kepekaan lebih tinggi,
sistemnya relatif mudah, dapat memilih temperatur yang dikehendaki.
Sedangkan kekurangannya yaitu : Hanya dapat digunakan untuk larutan
dengan konsentrasi rendah, memerlukan jumlah larutan yang cukup relatif
besar (10-15 ml), efisiensi nebulizer untuk membentuk aerosol rendah,
sistem atomisasi tidak mampu mengatomkan secara langsung sampel
padat (Triyati, 1985).
Kadar pati dari suatu bahan pangan dapat diketahui dengan
menggunakan metode Luff Schoorl. Prinsip dari penetapan kadar pati
dengan metode Luff Schoorl adalah gula pereduksi (glukosa dan matosa)
dapat mereduksi Cu2+ menjadi Cu+. Kemudian sisa Cu2+ yang tidak
tereduksi dititer secara iodometrik. Jumlah Cu2+ asli ditentukan dalam
suatu percobaan blanko dan dari penetapannya dapat ditentukan jumlah
gula dalam suatu bahan pangan yang dianalisis. Oleh karena itu, dilakukan
analisis kadar pati untuk mengetahui kadar pati dari suatu bahan pangan
(Koswara, 2006).
Kandungan pati dalam bahan pangan dapat ditentukan secara
volumetrik/titrimetri atau kolorimetri. Penentuan total pati adalah dengan
cara menghidrolisis pati secara sempurna menjadi glukosa. Hidrolisis pati
menjadi gula dapat terjadi saat ada perlakuan asam yaitu memecah ikatan
glikosidik yang menghubungkan antar glukosa. Dapat juga terjadi secara
enzimatis (enzim α-amilase dan glukoamilase) yang memecah molekul-
molekul amilosa dan amilopektinn menjadi gula sederhana
(Koswara, 2006).
Fungsi penambahan larutan iod pada saat pengujian kadar amilosa
yaitu pati akan bereaksi dengan iod dengan adanya iodida yang akan
membentuk suatu kompleks yang berwarna biru kuat, yang akan terlihat
pada konsentrasi-konsentrasi iod yang sangat rendah. Kepekaan reaksi
warna ini adalah sedemikian sehingga warna biru akan terlihat bila
konsentrasi iod adalah 2x10-5 M dan konsentrasi iodida lebih besar
daripada 4x10-4 M pada 20oC. Kepekaan warna berkurang dengan
naiknya temperatur larutan. Pada suhu 50oC yaitu kira-kira sepuluh kali
kurang peka dibandingkan pada suhu 25oC. Kepekaan berkurang pada
penambahan pelarut-pelarut seperti etanol. Tidak akan dapat diperoleh
warna dalam larutan yang mengandung etanol 50% atau lebih. Amilosa
akan memberikan warna biru dengan penambahan iod sedangkan
amilopektin membentuk suatu produk yang berwarna ungumerah
(Bassett et al, 1994).
Fungsi penambahan NaOH adalah untuk memberikan suasana basa
pada uji iodin. Pada pengujian larutan amilum dan iod‚ NaOH
menghalangi terjadinya reaksi antara amilum dengan iod. Hal ini
disebabkan karena iod bereaksi dengan basa sehingga tidak mengalami
reaksi dengan amilum. Keadaan ini terjadi sebab NaOH yang sudah ada
dalam larutan lebih dulu bereaksi dengan iod membentuk senyawa NaI
dan NaOI‚ sehingga pada uji dengan penambahan NaOH tidak terjadi
perubahan pada larutan amilum. Penambahan etanol adalah untuk
melarutkan NaOH (Bassett et al, 1994).
Aquades adalah air hasil destilasi atau penyulingan sama dengan
air murni atau H20, kerena H20 hampir tidak mengandung mineral.
Sedangkan air mineral merupakan pelarut yang universal. Penambahan
akuades pada penetapan karbohidrat metode iodin adalah sebagai larutan
netral (Bassett et al, 1994).
Perbandingan kadar amilosa dan amilopektin dari masing-masing
sampel bila dibandingkan dengan hasil praktikum adalah sebagai berikut :
berdasarkan langkah-langkah seperti yang dijelaskan diatas setelah
dilakukan pengukuran absorbansi pada tepung ubi, tepung singkong dan
tepung beras seperti pada Tabel 1.1.2 diperoleh nilai absorbansi dan kadar
amilosa sebagai berikut : Pada kelompok 1 dan 3 dengan menggunakan
tepung terigu nilai absorbansi rata-ratanya sebesar 0,142 sehingga kadar
amilosanya sebesar 11,644% sedangkan pada shift 2 pada kelompok 7 dan
11 dengan menggunakan tepung terigu nilai absorbansi rata-ratanya
sebesar 0, 210 sehingga kadar amilosanya sebesar 11,644%. Hasil tersebut
sudah sesuai dengan teori menurut Utomo (2005) dimana kadar amilosa
pada tepung terigu kurang dari 25%, sedangkan kadar amilopektinnya
sekitar 75%. Pada kelompok 2 dan 4 dengan menggunakan tepung tapioka
nilai absorbansi rata-ratanya sebesar 0,134 sehingga kadar amilosanya
sebesar 11,133% sedangkan pada shift 2 pada kelompok 8 dan 12 dengan
menggunakan tepung tapioka nilai absorbansi rata-ratanya sebesar 0, 253
sehingga kadar amilosanya sebesar 20,68%. Hasil pada praktikum tersebut
juga tidak sesuai dengan teori menurut Ben dkk (2006) dimana kadar
amilosa yang menyusun pati singkong sebesar 17-21%, sedangkan kadar
amilopektin dalam tepung singkong yaitu sekitar 75-85%. Pada kelompok
5 dengan menggunakan tepung maizena nilai absorbansinya sebesar 0,283
sehingga kadar amilosanya sebesar 31,185% sedangkan pada shift 2 pada
kelompok 9 dengan menggunakan tepung maizena nilai absorbansinya
sebesar 0,113 sehingga kadar amilosanya sebesar 9,284%. Hasil pada
kelompok 5 sudah sesuai dengan teori sedangkan pada kelompok 9 belum
sesuai denga teori. Pati jagung tersusun atas 25% amilosa dan 75%
amilopektin. Amilosa mendorong proses mekar sehingga produk yang
berasal dari pati-patian beramilopektin tinggi bersifat porous, ringan,
gating, dan mudah patah (Setyowati, 2006). Untuk kelompok 6 dengan
menggunakan tepung beras nilai absorbansinya sebesar 0,380 dan kadar
amilosanya sebesar 24,177% sedangkan pada shift 2 pada kelompok 10
dengan menggunakan tepung beras nilai absorbansinya sebesar 0, 220
sehingga kadar amilosanya sebesar 19,042%. Hasil tersebut sudah sesuai
dengan teori menurut Utomo (2005) dimana kadar amilosa pada beras
kurang dari 25%, sedangkan kadar amilopektinnya sekitar 75%. Semakin
panjang rantai α 1,4 D-glikosida yang terkandung didalam pati, maka
semakin tinggi kadar amilosa yang terkandung didalamnya
(Susilawati dkk, 2008).
Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dan terjadi penyimpangan.
Faktor-fakor yang menyebabkan penyimpangan tersebut diantaranya yaitu
kurang telitinya praktikan dalam menambahkan aquadest, dimana
seharusnya penambahan aquadest sampai tanda tera tapi ditambahkan
melebihi atau kurang dari tanda tera tersebut, sehingga saat dilakukan
pengukuran absorbansi tidak didapatkan data yang valid, praktikan yang
kurang mahir dalam menggunakan spektrofotometer juga dapat
menyebabkan kurang akuratnya dalam pengukuran absorbansi. Selain itu,
kadar amilosa menurun seiring dengan bertambahnya umur panen pada
produk. Penurunan kadar amilosa disebabkan amilosa yang terkandung
didalam pati tersebut mengalami titik jenuh (Susilowati dkk, 2008).
Kadar amilosa yang berbeda-beda pada masing-masing tepung
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur panen
produk. Kadar amilosa menurun seiring dengan bertambahnya umur panen
pada produk. Penurunan kadar amilosa disebabkan amilosa yang
terkandung didalam pati tersebut mengalami titik jenuh. Tingginya kadar
amilosa pada tepung karena tepung memiliki kandungan pati tinggi dan
diduga pati tersebut memiliki rantai α 1,4 D-glikosida yang lebih panjang
dibandingkan dengan tepung lainnya. Semakin panjang rantai α 1,4 D-
glikosida yang terkandung didalam pati, maka semakin tinggi kadar
amilosa yang terkandung didalamnya. Selain itu perbedaan kadar amilosa
pada tepung juga tergantung pada bahan yang digunakan dalam
pembuatan tepung dan lokasi penanaman atau pertumbuhannya
(Susilawati dkk, 2008).
Contoh aplikasi acara 1.1 dalam industri pangan adalah dalam
penentuan grade tepung yang baik dan yang kurang baik dalam industri
pangan hal ini sangat mempengaruhi karena kwalitas beras yang
dibutuhkan tiap industri berbeda dan ini dapat berpengaruh pada harga
penjualan yang akan di terima oleh produsen sehingga produsen dapat
menentukan harga yang akan mereka gunakan untuk penjualan beras
tersebut (Masniawati dkk, 2012).
Amilosa merupakan hal yang paling banyak diteliti dalam
memperkirakan karakter pati dari beras. Kadar amilosa mempengaruhi
sifat fisikokimia beras dan dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat
kepulenan serta kelengketan nasi yang dihasilkan. Kandungan amilosa
mempunyai korelasi positif dengan jumlah penyerapan air dan
pengembangan volume nasi selama pemasakan. Jadi, apabila kandungan
amilosa di dalam beras banyak maka beras tersebut apabila dimasak
mudah mengembang (Masniawati dkk, 2012).

E. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum Acara 1.1 “ Kadar Amilosa
Serealia” adalah :
1. Kadar amilosa tepung terigu adalah 11,633% dan 10,288%.
2. Kadar amilosa tepung tapioka adalah 11,133% dan 20,680%.
3. Kadar amilosa tepung maizena adalah 31,185% dan 9,284%.
4. Kadar amilosa tepung beras adalah 24,177% dan 19,042%.
DAFTAR PUSTAKA

Bassett, J., et al. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit


Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Ben, Elfi Sahlan dkk. Studi Awal Pemisahan Amilosa dan
Amilopektin Pati Singkong dengan Fraksinasi Butanol Air. Jurnal
Sains dan Teknologi Farmasi Vol. 11 (2).
Gaman, P.M dan K.B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Lukman, Anita dkk. 2013. Pembuatan dan Uji Sifat Fisikokimia Pati
Beras Ketan Kampar yang Dipragelatinasi. Jurnal Penelitian
Farmasi Indonesia Vol.1 (2).
Masniawati, A. dkk. 2012. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Beras
Merah pada Beberapa Sentra Produksi Beras Di Sulawesi
Selatan. Jurnal Biologi Vol. 1 (1).
Susilawati, dkk. 2008. Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Ubi Kayu
(Manihot esculenta) Berdasarkan Lokasi Penanaman dan Umur
Panen Berbeda. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian Vol.
13 (2).
Utomo, Hendra. 2005. Resep Eksklusif Jajan Pasar. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Triyati, Etty. 1985. Spektrofotometer Ultra-Violet dan Sinar Tampak
Serta Aplikasinya dalam Oseanologi. Oseana. Vol. 10. (1).
Desrosier W Norman. 1988.Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press.
Jakarta.
Koswara, Sutrisno. 2006. Lebih Akrab Dengan Kue Basah
.http://www.ebookpangan.com/.pdf .
Setyowati, V.A: Hastuti; dan Supriyadi. 2006. Pembuatan Bawang
Merah Goreng: Penggunaan Kalsium Klorida dan Tepung Jagung
serta Perkiraan Umur Simpannya. Jurnal Agrosains Vol. 19(3) hal
295-308.
Thomas, D.J dan Atwell, W.A., 1999.Starches. American Association
of CerealChemists, Inc., Minnesota.
LAMPIRAN

You might also like