You are on page 1of 16

MAKALAH KAPITA SELEKTA HEWAN

ALZHEIMER

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kapita Selekta Hewan

Dosen Pengampu:
Dr. Lisdiana, M.Si.

Disusun oleh:

Susi Erlianti (0402518008)

PENDIDIKAN IPA KONSENTRASI BIOLOGI


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang penyakit
Alzheimer untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Hewan.
Dalam kesempatan ini tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, diantaranya: Dr. Lisdiana,
M.Si., selaku dosen pengampu Mata Kuliah Kapita Selekta Hewan.
Kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan
untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang terkait pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Semarang, 06 November 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL .............................................................................. 1


KATA PENGANTAR .............................................................................. 2
DAFTAR ISI ........................................................................................... 3
1. PENDAHULUAN .............................................................................. 4
A. Latar Belakang ............................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ......................................................................... 5

2. PEMBAHASAN ................................................................................... 6
A. Epidemiologi Alzheimer ............................................................. 6
B. Etiologi Alzheimer ...................................................................... 7
C. Patofisiologi Alzheimer .............................................................. 8
D. Gejala Dan Data Klinik Alzheimer ............................................. 11
E. Terapi Alzheimer ........................................................................ 13

3. PENUTUP ............................................................................................ 15

A. Kesimpulan ................................................................................. 15
B. Saran ........................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 16

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Definisi demensia menurut WHO adalah sindrom neurodegeneratif yang
timbul karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progesifitas disertai dengan
gangguan fungsi multiple seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil
keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif
biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan motivasi. Terdapat
tiga kategori utama dari demensia yaitu Penyakit Alzheimer (Alzheimer’s Disease),
Demensia Vaskular, dan demensia yang disebabkan oleh depresi, kurangnya asupan
nutrisi, hipotiroidisme, dan keracunan obat. Penyakit Alzheimer merupakan jenis
demensia yang paling umum, menyerang lebih dari 70% pasien penderita demensia.
Penyakit Alzheimer merupakan demensia progresif secara bertahap & bersifat
irreversible yang ditandai dengan penurunan memori, bahasa, pemecahan masalah
dan keterampilan kognitif lainnya yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
melakukan kegiatan sehari-hari (Paishal, 2017). Penurunan ini terjadi karena sel-sel
saraf (neuron) di bagian otak yang terlibat dalam fungsi kognitif telah rusak dan tidak
lagi berfungsi normal. Kerusakan saraf pada penyakit Alzheimer, akan mempengaruhi
bagian otak yang memungkinkan seseorang untuk melaksanakan fungsi tubuh dasar
seperti berjalan dan menelan (Alzheimer’s Association, 2015). Pada akhirnya
penderita dapat mengalami kematian setelah beberapa tahun karena kemampuan
motoriknya sudah tidak berfungsi. Penyakit Alzheimer merupakan sebuah kelainan
otak yang yang terkait dengan perubahan sel-sel saraf sehingga dapat menyebabkan
kematian sel otak.
Data Kemenkes menyebutkan, penyakit Alzheimer paling banyak diderita
oleh lansia berumur 65 tahun ke atas. Namun, penyakit ini juga rentan menyerang
individu berusia 40-an tahun. Estimasi jumlah penderita penyakit Alzheimer di
Indonesia pada tahun 2013 mencapai satu juta orang. Direktur Eksekutif Alzheimer
Indonesia, D.Y. Suharya, mengatakan bahwa memang masih banyak orang yang tidak
paham soal Alzheimer. Ketidak pahaman ini timbul karena kurangnya informasi soal
penyakit tersebut. Seperti yang telah diketahui, belum ada pengobatan yang dapat
menyembuhkan penyakit tersebut. Obat yang diberikan kepada penderita Alzheimer

4
hanya mengurangi gejala Alzheimer untuk sementara waktu, namun penyakit ini akan
berakibat fatal pada akhirnya.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah epidemiologi dari penyakit alzheimer?
2. Bagaimanakah etiologi dari penyakit alzheimer?
3. Bagaimanakah patofisiologi dari penyakit alzheimer?
4. Bagaimanakah gejala dan data klinik dari penyakit alzheimer?
5. Bagaimanakah terapi yang dapat diberikan kepada penderita alzheimer?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, maka diperoleh tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit alzheimer.
2. Untuk etiologi dari penyakit alzheimer.
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit alzheimer.
4. Untuk mengetahui gejala dan data klinik dari penyakit alzheimer.
5. Untuk mengetahui terapi yang dapat diberikan kepada penderita alzheimer.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Epidemiologi
Menurut Harsono (2009) penyakit Alzheimer merupakan penyakit
neurodegeneratif yang secara epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang
menderita pada usia kurang 58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok
yang menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset.
Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai
setelah berusia 40 tahun ke atas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan
insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada
usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada
kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada
usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita
penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjut berkisar,
18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum
diketahui dengan pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali
dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena refleksi dari usia harapan
hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada
perbedaan terhadap jenis kelamin. Faktor-faktor risiko lain dari berbagai penelitian
diketahui yang berhubungan dengan penyakit Alzheimer adalah hipertensi, diabetes
melitus, dislipidemia, serta berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan
gangguan sirkulasi pembuluh darah otak.
Mutasi beberapa gen familial penyakit Alzheimer pada kromosom 21,
koromosom 14, dan kromosom 1 ditemukan kurang dari 5% pada pasien dengan
penyakit Alzheimer. Sementara riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari
Apolipoprotein E pada lebih dari 30% pasien yang mengindikasikan adanya faktor
genetik yang berperan pada munculnya penyakit ini. Seseorang dengan riwayat
keluarga yang merupakan anggota keluarga tingkat pertama mempunyai risiko dua
sampai tiga kali lebih besar untuk menderita penyakit Alzheimer. Walaupun alel e4
Apolipoprotein E bukan penyebab timbulnya demensia namun munculnya alel ini

6
merupakan faktor utama yang mempermudah seseorang menderita penyakit
Alzheimer.

B. Etiologi
Etiologi dari penyakit alzheimer belum diketahui secara pasti. Meskipun
belum diketahui, sejumlah faktor yang saat ini berhasil diidentiifikasi yang berperan
besar dalam timbulnya penyakit ini (Mansjoer, 2000).

 Usia merupakan faktor terbesar untuk penyakit Alzheimer. Kebanyakan orang


dengan Penyakit Alzheimer didiagnosis pada usia 65 tahun atau lebih tua.
Orang yang berumur kurang dari 65 tahun juga dapat terkena penyakit ini,
meskipun kasus ini jarang terjadi.
 Faktor genetik berperan dalam timbulnya Alzheimer pada beberapa kasus,
seperti dibuktikan adanya kasus familial. Penelitian terhadap kasus familial
telah memberikan pemahaman signifikan tentang patogenesis alzheimer
familial. Berdasarkan keterkaitan antara trisomi 21 dan kelainan mirip AP di
otak yang sudah lama diketahui, mutasi pertama yang berhasil diidentifikasi
adalah suatu lokus di kromosom 21 yang sekarang diketahui mengkode sebuah
protein yang dikenal sebagai protein prekursor amiloid (APP). APP
merupakan sumber endapan amiloid yang ditemukan di berbagai tempat di
dalam otak pasien yang menderita Alzheimer disease. Mutasi dari dua gen
lain, yang disebut presenilin 1 dan presenilin 2, yang masing- masing terletak
di kromosom 14 dan 1 yang lebih berperan pada alzheimer familial terutama
kasus dengan onset dini.
 Pengendapan suatu bentuk amiloid, yang berasal dari penguraian APP
merupakan gambaran yang konsisten pada penyakit Alzheimer. Produk
penguraian tersebut yang dikenal sebagai β- amiloid (Aβ) adalah komponen
utama plak senilis yang ditemukan pada otak pasien penderita Alzheimer, dan
biasanya juga terdapat di dalam pembuluh darah otak.
 Hiperfosforilisasi protein tau merupakan keping lain teka-teki penyakit
Alzheimer. Tau adalah suatu protein intra sel yang terlibat dalam
pembentukan mikrotubulus intra akson. Selain pengendapan amiloid, kelainan
sitoskeleton merupakan gambaran yang selalu ditemukan pada penderita

7
Alzheimer. Kelainan ini berkaitan dengan penimbunan bentuk hiperfosforilasi
tau, yang keberadaanya menggaggu pemeliharaan mikrotubulus normal.
 Ekspresi alel spesifik apoprotein E (ApoE) dapat dibuktikan pada penderita
alzheimer sporadik. Diperkirakan ApoE mungkin berperan dalam penyaluran
dan pengolahan molekul APP. ApoE yang mengandung alel ε4 dilaporkan
mengikat Aβ lebih baik daripada bentuk lain ApoE, dan oleh karena itu,
bentuk ini mungkin ikut meningkatkan pembentukan fibril amiloid.
 Traumatic Brain Injury (TBI), meningkatkan risiko perkembangan penyakit
Alzheimer. Trauma Cedera Otak adalah gangguan fungsi otak yang normal yang
disebabkan oleh pukulan atau tersentak ke kepala atau penetrasi tengkorak oleh
benda asing, juga dapat didefinisikan sebagai cedera kepala yang mengakibatkan
hilangnya kesadaran. Trauma Cedera Otak dikaitkan dengan dua kali risiko
mengembangkan Alzheimer dan demensia lainnya dibandingkan dengan tidak ada
cedera kepala.

C. Patofisiologi
Penyakit alzheimer ditandai oleh kerusakan korteks neuron yang awalnya pada
lobus temporal, kemudian mengenai daerah korteks neuron lainnya dan area
sekitarnya. Kerusakan korteks neuron dapat terjadi di dalam dan luar neuron. Pada
Penyakit Alzheimer ditemukan karakteristik neuropatologikal seperti hilangnya
neuronal selektif dan sinap, adanya plak neuritis yang mengandung peptida Aβ dan
neurofibrillary tangles (NFTs) yang membentuk hiperfosforilasi dari protein tau. Plak
neuritik yang terjadi merupakan lesi ekstraseluler yang tersusun atas inti sentral dari
agregasi Aβ peptida yang dikelilingi oleh neurit distropi, mikroglial yang teraktivasi,
dan atrosit reaktif. Sementara itu, NFTs merupakan buntalan filamen di dalam
sitoplasma sel saraf yang mengelilingi sel saraf.
1. Plak Senilis

Merupakan agregasi ekstraseluler dari protein amyloid yang berkaitan erat


dengan neurit distropi, mikroglial yang teraktivasi, dan atrosit reaktif. Agregrasi
protein amyloid yang rendah dan merubah neurit dan glia yang dikenal dengan plak
difus dapat ditemukan dalam penuaan normal serta pada penyakit degeneratif lain
selain alzheimer. Komponen utama dari plak senilis ini adalah protein Beta-Amyloid

8
(Aβ). Protein ini sangat khas pada penyakit alzheimer dan secara struktur berbeda
dengan protein pembentuk amyloid yang ditemukan pada amiloidosis sistemik.
Deposisi Aβ pada otak merupakan salah satu implikasi dari patogenesis
penyakit Alzheimer. Akumulasi Aβ (khususnya Aβ42 peptida) pada otak merupakan
inisiasi terjadinya disfungsi neuron, neurodegenerasi, dan dementia. Mutasi gen APP
pada kromosom 21, PS1 pada kromosom 14, dan PS2 pada kromosom 1 mengarah
pada early onset penyakit Alzheimer tipe familial yang terjadi dalam produksi
berlebihan dan/atau peningkatan agregasi dari Aβ. Beta-Amyloid merupakan produk
fisiologi normal dari APP dan merupakan komponen soluble dari plasma dan cairan
cerebrospinal (Haryana & Radjiman, 1999).
Beta-Amyloid terkadang memulai aksi toksik sebelum terbentuknya fibril.
Peningkatan derajat Aβ soluble dan bukan plak Aβ berhubungan dengan disfungsi
kognitif pada penyakit Alzheimer. Adanya gangguan kognitif pada individu yang
menderita penyakit Alzheimer sangat dihubungkan dengan hilangnya sinap yang
melewati region kortikal otak. Self-agregation dari Aβ menjadi oligomer soluble low-
n merupakan penyebab utama sinaptoksisitas pada penyakit Alzheimer. Terdapat dua
varian terminal karboksil dari Aβ yaitu Aβ40 yang merupakan sekret spesies utama
dari sel kultur dan terdapat pada cairan cerebrospinal sedangkan Aβ42 merupakan
komponen utama amyloid yang berdeposit di otak pada penyakit Alzheimer.
Peningkatan Aβ42 lebih sering mengalami agregasi dan membentuk fibril.
Neurotoksik yang dihasilkan oleh agregasi Aβ menghasilkan beberapa mekanisme,
seperti adanya akumulasi radikal bebas, disregulasi dari homeostatis kalsium, respon
inflamasi, dan adanya aktivasi dari beberapa signaling pathway (Querfurth & LaFerla,
2011).
2. Neurofibrillary Tangles (NFTs)
NFTs merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen
abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat
pada neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe
dari inti batang otak. NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan
pada otak manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal,
supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia (Mas’ud,
2002).
Setelah terjadi akumulasi Aβ yang membentuk plak, terjadi perubahan
homeostatis neuron, dan terjadi oxidative injury yang mengakibatkan perubahan

9
aktivitas kinase ataupun fosfat. Perubahan aktivitas kinase ataupun fosfat
menyebabkan terjadinya hiperposporilasi dari protein tau yang akan membentuk
Neurofibrillary tangles. Disfungsi sinap atau neuron dan hilangnya neuron selektif
diikuti dengan adanya penurunan neurotransmitter merupakan perubahan yang terjadi
akibat Neurofibrillary tangles. Adanya Neurofibrillary tangles yang mengakibatkan
hilangnya sinap pada saraf dapat menyebabkan timbulnya dementia pada penyakit
Alzheimer.

10

Gambar 1. Perbandingan Neuron Pada Penderita Alzheimer Dengan Orang Normal


Gambar 2. Mekanisme Terjadinya Alzheimer

D. Gejala Dan Data Klinik Alzheimer


a. Keadaan Umum
Diagnosis penyakit Alzheimer bergantung pada pengujian status mental yang
menyeluruh dan tes neuropsikologi, riwayat medis dan psikiatris, neurologi ujian,
wawancara pengasuh dan keluarga anggota, serta laboratorium dan pencitraan data
untuk mendukung diagnosis dan menyingkirkan penyebab lainnya.
b. Tanda dan Gejalanya
 Kognitif: kehilangan memori, masalah dengan bahasa, disorientasi waktu dan tempat,
penilaian buruk atau menurun, masalah dengan belajar dan berpikir abstrak, lupa
tempat menyimpan sesuatu. Tahapan penurunan kognitif berdasarkan stadium
Alzheimer dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Tahapan penurunan kognitif menurut GDS (Chisholm-burns et al, 2008)

Stage Tipe Level Deskripsi


Stage 1 Normal Tidak ada perubahan fungsi
kognitif
Stage 2 Pelupa Mengeluh kehilangan sesuatu
atau lupa nama teman, tetapi
tidak mempengaruhi pekerjaan
dan fungsi soaial. Umumnya
merupakan bagian dari proses
penuaan yang normal.
Stage 3 Early confusion Ada penurunan kognisi yang

11
menyebabkan gangguan fungsi
Mild sosial & kerja. Anomia, kesulitan
mengingat kata yang tepat dalam
percakapan, dan sulit mengingat.
Pasien mulai sering bingung/
anxiety
Stage 4 Late confusion Pasien tidak bisa lagi mengatur
(early AD) keuangan dan aktivitas rumah
tangga, sulit mengingat peristiwa
yang baru terjadi, mulai
meninggalkan tugas yang sulit,
tetapi biasanya masih
menyangkal punya masalah
memori
Stage 5 Moderate Early dementia Pasien tidak bisa lagi bertahan
(moderate AD) tanpa bantuan orang lain. Sering
terjadi disorientasi (waktu dan
tempat), sulit memilih pakaian,
lupa kejadian masa lalu. Tetapi
pasien umumnya masih
menyangkal punya masalah
memori, hanya biasanya menjadi
curigaan dan mudah depresi
Stage 6 Middle Pasien butuh bantuan untuk
dementia kegiatan sehari-hari (mandi,
(moderately berpakaian, ke toilet), lupa nama
Severe severe AD) keluarga, sulit menghitung
mundur dari angka 10, mulai
muncul gejala agitasi, paranoid,
dan mengalami delusi
Stage 7 Late dementia Pasien tidak bisa bicara jelas
(bergumam dan berteriak), tidak
bisa jalan atau makan sendiri.

12
Inkontensi urin dan feses,
kesadaran bisa berkurang dan
akhirnya koma

 Non- kognitif: perubahan mood atau perilaku, perubahan kepribadian, atau


kehilangan inisiatif.
 Fungsional: kesulitan melakukan tugas yang familiar.
c. Tes Laboratorium
 Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau Computed Tomography (CT)
digunakan untuk mengukur perubahan dalam ukuran otak dan volume serta
menyingkirkan stroke, tumor otak, atau edema serebral.
 Tes untuk mengecualikan kemungkinan penyebab demensia meliputi depresi
layar, vitamin B12, fungsi tiroid tes (TSH dan triiodotironin bebas dan
tiroksin), jumlah sel darah lengkap, dan kimia panel.
 Tes diagnostik lain yang perlu dipertimbangkan untuk diagnostik diferensial:
tingkat sedimentasi eritrosit, urinalisis, toksikologi, dada x-ray, layar logam
berat, tes HIV, cairan serebrospinal (CSF), pemeriksaan
electroencephalography, dan neuropsikologi tes seperti Folstein Mini Mental
Status Exam.

E. Terapi Alzheimer
Penyakit Alzheimer hingga saat ini memang belum dapat disembuhkan, selain
itu belum adanya obat-obatan yang memiliki keefektivan hasil bagi pasien Alzheimer.
Obat-obatan tersebut hanya mengurangi progresifitas penyakit Alzheimer sehingga
hanya memberikan rasa tenang bagi pasien, sehingga mengurangi perubahan emosi
dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Terapi yang dapat diberikan untuk
pasien Alzheimer yaitu terapi farmakologis dengan penggunaan obat-obatan dan
terapi non farmakologis. Terapi farmakologis pada pasien Alzheimer difokuskan pada
tiga domain: mempertahankan fungsi kognitif, perilaku dan gejala kejiwaan.
Sedangkan terapi non farmakologi dilakukan untuk mempertahankan fungsi kognitif
yang masih ada dengan berbagai macam program kegiatan yang dapat diberikan,
antara lain terapi relaksasi dan latihan fisik untuk menyehatkan kerja otak, serta
senam otak (Wijayanti et al., 2017).

13
1. Terapi Non-Farmakologis
Merupakan cara terapi menggunakan pendekatan selain obat-obatan. Terapi
non-farmakologis sering digunakan dengan tujuan mempertahankan atau
meningkatkan fungsi kognitif, kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari,
atau kualitas hidup secara keseluruhan. Terapi ini juga dapat digunakan untuk
mengurangi gejala perilaku seperti depresi, apatis, mengembara, gangguan tidur.
Terapi non-farmakologis diperlukan untuk lebih mengevaluasi efektivitas mereka
dalam kehidupa sehari-hari (Alzheimer’s Association, 2015). Prinsip-prinsip dasar
dalam pengobatan pasien dengan Alzheimer meliputi: kegiatan yang mencakup
mengenai kegiatan dan lingkungan pasien rehabilitasi. Lingkungan yang dimaksud
adalah lingkungan keluarga dan masyarakat serta lingkungan alam. Dalam konteks
kegiatan pada pasien meliputi kegiatan kreatif seperti olahraga, kegiatan keseharian
secara konsisten. Dalam konteks lingkungan yang mencakup keluarga dan masyarakat
adalah menggunakan pendekatan halus pada pasien, berempati pada pasien, serta
dalam konteks lingkungan alam adalah memberikan lingkungan yang aman dan
nyaman.
2. Terapi Farmakologis
Perawatan farmakologis merupakan sebuah cara terapi dengan menggunakan
obat untuk memperlambat atau menghentikan suatu penyakit atau mengobati
gejalanya. Efektivitas obat ini bervariasi dari orang ke orang. Namun, tidak ada
perawatan yang tersedia saat ini untuk penyakit Alzheimer, hingga saat ini obat hanya
memperlambat atau menghentikan kerusakan neuron yang menyebabkan gejala
Alzheimer dan akhirnya membuat penyakit menjadi fatal.
Jenis obat-obatan yang biasanya diresepkan oleh dokter untuk penyakit
Alzheimer adalah rivastigmine, galantamine, donepezil, dan memantine. Keempat
obat ini mampu meredakan gejala demensia dengan cara meningkatkan kadar dan
aktivitas kimia di dalam otak (Bird & Miller, 2005).
Rivastigmine, galantamine, dan donepezil biasanya digunakan untuk
menangani penyakit Alzheimer dengan tingkat gejala awal hingga menengah.
Sedangkan memantine biasanya diresepkan bagi penderita Alzheimer dengan gejala
tahap menengah yang tidak dapat mengonsumsi obat-obatan lainnya. Memantine juga
dapat diresepkan pada penderita Alzheimer dengan gejala yang sudah memasuki
tahap akhir.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, diperoleh kesimpulan bahwa Penyakit
Alzheimer merupakan demensia progresif secara bertahap & bersifat irreversible
yang ditandai dengan penurunan memori, bahasa, pemecahan masalah dan
keterampilan kognitif lainnya. Faktor utama yang mempermudah seseorang menderita
penyakit Alzheimer meluputi usia, faktor genetik, pengendapan suatu bentuk amiloid,
hiperfosforilisasi protein tau, ekspresi alel spesifik apoprotein E, dan Traumatic
Brain Injury. Penyakit Alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berdasarkan gejala-
gejala klinik tanpa dikonfirmasi dengan pemeriksaan lainnya seperti MRI dan CT
Scan. Pengobatan pada saat ini belum mendapatkan hasil yang memuaskan, hanya
dilakukan secara empiris, simptomatik, dan suportif untuk menyenangkan penderita
atau keluarganya.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan penulis
adalah pentingnya kesadaran tentang gejala yang ditimbulkan dari penyakit
Alzheimer, agar penderita segera mendapatkan terapi Alzheimer meskipun
pengobatan belum mendapatkan hasil yang memuaskan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Bird T.D.,& B.L. Miller. 2005. Alzheimer's Disease and Other Dementias. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill Medical Publishing
Division: 1-22.

Chisholm-burns, M.A., B.G. Wells, T.L. Schwinghammer, P.M. Malone, J.M. Kolesar, J.C.
Rotschafer, & J.T. Dipiro. 2008. Pharmacotheraphy Principles And Practice.
USA: The Mc Graw-Hill Companies inc.P. 1372.

Harsono. 2009. Kapita Selekta Neurologi Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Haryana, S.M. & Rajiman. 1999. Histopatologik Dan Genetika Penyakit Alzheimer. Berkala
Neuro Sains. 1(1):77-80.

Querfurth, H.W. & LaFerla, F.M. 2011. Mechanisms of Disease : Alzheimer’s Disease.
NEJM. 1-16.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI.

Mas’ud, I. 2002. Fenomena Pikun Dan Pada Stres Psikologis & Alzheimer. Majalah
Kedokteran Universitas Brawijaya. 18(3): 154-158.
Paishal, M. 2017. Hubungan Hipertensi Dengan Gangguan Fungsi Kognitif Pada Lansia Di
Kecamatan Padang Timur. Thesis. Universitas Andalas.
Wijayanti, E. T., M. Mudzakir, M. Risnasari, & D.I. Prihananto. 2017. Gerakan 6 Pilar
Menuju Masyarakat Bebas Alzheimer Di Posyandu Lansia Sasana Ratna Kusuma
Kelurahan Mojoroto Kota Kediri. Jurnal Pengabdian Nusantara. 1(1):45-52.

16

You might also like