Professional Documents
Culture Documents
PROLOG.
Pertama. Faktor individu. Terdiri dari aspek kepribadian, dan kecemasan atau
depresi. Termasuk dalam aspek kepribadian, karena pribadi yang ingin tahu,
mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk
kecemasan atau depresi, karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan
hidup, sehingga melarikan diri dalam penggunaan narkotika dan obat obat
terlarang.
Kedua. Faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh
pergaulan. Keluarga dimaksudkan sebagai faktor disharmonis seperti orang
tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang dirumah, serta
perekonomian keluarga yang serba kekurangan. Pengaruh pergaulan,
dimaksudkan karena ingin diterima dalam pergaulan kelompok narkotika.
Ketiga. Faktor lingkungan, yang tidak baik maupun tidak mendukung, dan
menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis
anak dan kurangnya perhatian terhadap anak untuk menjadi pemakai
narkotika. Keempat. Faktor narkotika. Karena mudahnya narkotika didapat
dan didukung dengan faktor-faktor tersebut, sehingga semakin mudah
timbulnya penyalahgunaan narkotika.
1
Hubungan timbal balik antara Narkotika dan kejahatan menciptakan suatu causa
verbal atas terjadinya suatu tindak pidana. Bahwa banyak pijakan teoritik mengenai
keterkaitan antara penyalahgunaan narkotika dengan perbuatan pidana.
Penggunaan narkotika dapat mengakibatkan beberapa kelumpuhan psikis yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan manusia berpresepsi terhadap suatu hal.
Hilangnya kemampuan yang demikian itu berpotensi menghilangkan kemampuan
konsentrasi dan mengambil keputusan. Pada hakikatnya perbuatan pidana
sesungguhnya perbuatan yang cenderung tidak akan dilakukan oleh manusia,
apabila kemampuan berpresepsi manusia tersebut dalam keadaan baik, oleh karena
itu penggunaan narkotika jelas mempunyai kaitan yang erat dalam menimbulkan
suatu kejahatan. Alasan ekonomis penggunaan narkotika menjadi titik yang pula
diamati bahwa sifat narkotika yang memabukkan dan adiktif menjadikan setiap
orang dapat melakukan kejahatan demi memenuhi kebutuhan atas zat adiktif yang
telah mengkontaminasi dirinya.
Negara Indonesia dalam mencapai cita hukumnya, sesuai pada Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,
"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Dengan begitu, bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan
penduduk (warga negara dan orang asing) harus berdasarkan dan sesuai dengan
hukum.
Membedakan antara hukum pidana dengan bidang hukum lain, ialah sanksi hukum
pidana, merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja. Pidana
adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja
ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
2
Hukum pidana terbagi menjadi dua (2), yaitu hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang
dapat dipidana, beserta sanksi pidananya, sedangkan hukum pidana formil
mengatur mengenai penegakan hukum pidana materiil. Hukum pidana dalam
usahanya mencapai tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan
menjatuhkan pidana, tetapi disamping itu juga dengan menggunakan tindakan
tindakan. Jadi disamping pidana ada pula tindakan. Tindakan inipun suatu sanksi
juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya. Penjatuhan suatu pidana maupun
tindakan, kepada pembuat delik, merupakan proses akhir dari suatu peradilan
pidana.
3
Dalam hukum acara pidana, dikenal, penegak hukum di dalamnya, yakni, hakim,
penuntut umum, penasehat hukum. Hakim memiliki peran yang besar, karena hakim
yang diberikan kewenangan oleh undang-undang utuk mengadili suatu perkara, hal
ini dipertegas dalam ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Pasal 1 butir 8, yang berbunyi, "hakim adalah pejabat peradilan negara
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili". Kewenangan
hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya berawal dari ketentuan
pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman,
yang menyatakan bahwa, "Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya, dipundak para hakim telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab
agar hukum dan keadilan ditegakkan itu, baik didasarkan hukum tertulis atau hukum
tidak tertulis tidak boleh satu pun yang bertentangan dengan asas dan sendi
peradilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini juga senada dengan
penjelasan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang menyatakan:
"Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan
datang kepadanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum
tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis, untuk memutus berdasarkan hukum
sebagai orang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang
Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan tanpa hak dan melawan hukum yang
dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati
pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, kurang teratur, dan berlangsung cukup lama,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental dan kehidupan sosial.
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri diatur dalam Pasal 127
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang bunyinya: (1) Setiap
Penyalah Guna: 1. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun; 2. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan, 3. Narkotika
Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,
4
dan Pasal 103. (2) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah
Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sanksi
pidana berupa pidana penjara yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Namun, hakim
juga diberikan kemungkinan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara, karena dalam
pasal-pasal yang berkaitan dengan Pasal 127, terdapat pula kemungkinan
penjatuhan sanksi tindakan rehabilitasi oleh hakim. Pasal yang dimaksud, yaitu pada
Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, yang menyatakan, "Pecandu
narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di pusat
rehabilitasi ketergantungan narkotika. Selanjutnya Pasal 103 Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 menyebutkan:
5
A. KEBIJAKAN LEGISLATIF TENTANG TINDAK PIDANA
NARKOTIKA
Hukum yang dilihat sebagai hasil dari suatu proses pertumbuhan yang dinamis.
Melihat hukum sebagai sesuatu yang bersifat dinamis didasarkan pada keyakinan,
bahwa hukum itu terjadi sebagau suatu perencanaan dari suatu situasi tertentu
menuju kepada suatu tujuan yang akan dicapai.Hukum bukan merupakan suatu
tujuan, melainkan hanya sebagai suatu alat, untuk mencapai tujuan yang tidak
yuridis. Finalitas dari hukum yang tidak yuridis, dan karenanya pula hukum
mendapat dorongan bertumbuhnya dari luar hukum. Faktor-faktor ekstra yuridislah
yang memelihara tetap berlangsungnya proses pertumbuhan dinamis dari hukum.
6
environment yang meliputi warga negara, penegak hukum semuanya bertujuan
untuk melindungi masyarakat dengan usaha penanggulangan kejahatan lewat
pembuatan undang-undang hukum pidana dan cara pelaksanaan peraturan
perundang-undangan pidana oleh sistem peradilan pidana.
1. Bahwa sebagian besar dari narapidana dan tahanan kasus narkoba, adalah
termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban, jika dilihat dari
aspek kesehatan, mereka sesungguhnya orang orang yang menderita sakit,
oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang
tepat, karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.
2. Kondisi lembaga pemasyarakatan (Lapas), pada saat ini tidak mendukung,
karena dampak negatif keterpengaruhi oleh perilaku kriminal lainnya, dapat
semakin memburuk kondisi jiwa, kesehatan yang diderita para narapidan
narkotika dan psikotrapika akan semakin berat. Oleh karena itu diharapkan
para hakim sedapat mungkin menerapkan pemidanaan sebagaimana
dimaksud ketentuan pasal 41 UU No. 5 Tahun 1987 tentang Psikotrapika;
yakni;
1. Pasal 41. Pengguna psikotrapika yang menderita sindrome
ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
psikotropika diperintahkan oleh Hakim yang memutus perkara tersebut
untuk menjalani pengobatan dan atau perawatan.
2. Pasal 47. UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, (1) Hakim yang
memeriksa perkara pecandu narkotika dapat; a. memutuskan untuk
memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau
perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah
melakukan tindak pidana narkotika; atau; b. Menetapkan untuk
memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau
perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut, tidak terbukti bersalah
melakukan tindak pidana narkotika. (2) Masa menjalani pengobatan dan
7
atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman;
3. Penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 UU No.
5 Tahun 1997 dan pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997, hanya dapat
dijatuhkan pada kalsifikasi tindak pidana sebagai berikut; yakni terdakwa
pada saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap tangan. Pada
saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti satu kali pakai. Berupa
heroin, kokain, morpin, ganja, ekstasy, shabu, dan lain lain termasuk
dalam narkotika golongan I samapai dengan III dan Psikotrapika golongan
I sampai dengan IV.
4. Dalam hal Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk
dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi ats diri trdakwa. Majelis
harus menunjuk secara jelas tempat rehabilitasi yang terdekat, dalam
amar putusannya tempat rehabilitasi dimaksud, adalah UPT. T&R BNN
Lido Bogor. Rumah Sakit Ketergantungan obat cibubur pos pos jakarta
dan di seluruh Indonesia (Depkes RI). Panti Rehabilitasi Depsos RI dan
UPTD. Rumah sakit jiwa seluruh Indonesia, atau tempat tempat rujukan
yang mendapatkan akredetasi dari departemen kesehatan RI atau
departemen sosial RI dengan biaya sendiri.
5. Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi. Hakim harus dengan
sungguh sungguh mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan
terdakwa, sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai
standar
Dalam proses terapi dan rehabilitasi, yakni detokfikasi lamanya satu
bulan. Primary program lamanya 6 bulan. Re-entry program lamanya 6
bulan.
8
mengadakan revisi, terhadap Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung
RI.No. 07 Tahun 2009, tanggal 17 Maret 2009, tentang Menempatkan
Pemakai Narkotika Ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
2. Bahwa penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 103
huruf a dan b UU No. 35 Tahun 2007 Tentang Narkotika, hanya dapatr
dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana; Kelompok matamphetamine
(shabu) 1 gram; MDMA (Eksetasi) 2,4 gram= 8 butir. Heroin, 1,8 gram.
Ganja, 5 gram; dam; meskalin 5 gram; psilosylin 3 gram koka, 5 gram;
LCD, 2 gram; PCP, 3 gram; Fentanil 1 gram; Metadon, 0,5 gram; Morfin,
1,8 gram; Petidin, 0,96 gram. Kodein, 72 gram; Bufrenorfin, 32 mg.
9
B.TUJUAN SOSIAL DALAM POLITIK HUKUM TENTANG NARKOTIKA
Ditengah hingar bingarnya isu globalisasi, kejahatan narkotika yang sejak lama
menjadi musuh bangsa kian menkhawatirkan. Geliat mafia seakan tak mampu
terbendung oleh gebrakan aparat penegak hukum, di berbagai belahan komitmen
bersama memberantas memberantas narkotika oleh seluruh dunia. Tak sedikit
badan-badan dunia yang terlibat, namun peredaran narkotika terus merajalela. Dari
berbagai indikasi menunjukkan bahwa kejahatan narkotika merupakan extra
orginary crime. Adapun pemaknaannya adalah sebagai suatu kejahatan yang
berdampak besar dan multi-dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan
politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan ini.
Untuk itu extraordinary punishment kiranya begitu menjadi relevan mengiringi
model kejahatan yang berkarakteristik luar biasa yang dewasa ini kian merambahi
ke se-antero bumi ini sebagai transnational crime.
Sejak merebaknya peredaran gelap narkotika, bangsa negeri ini pun tidak tinggal
diam. Komponen pemerintahan, praktisi, kalangan intelektual maupun kelompok
masyarakat telah gencar memberantasnya. Sayangnya kasus kejahatan narkotika
dari waktu ke waktu terus meningkat. Tengok saja prevalensi (penyebarluasan)
kasus peredaran narkotika menurut Badan Narkotika Nasional menunjukkan angka
10
sebesar 50 meninggal setiap hari karena Narkoba (Radar Karawang, jumat 21
November 2014 ). Dikaitkan dengan fenomena gunung es kejahatan narkotika,
menurut Dadang Hawari, bahwa muncul ke permukaan hanyalah 10% dari yang
berada di bawah permukaan. Dampak penggunaan narkotika adalah tumbuhnya
budaya malas, konsumtif, eforia, foya-foya, yang tak terarah. Aspek ekonomi,
mengahancurkan ekonomi, ratusan triliun rupiah hilang sia-sia dalam setahun
sekedar untuk mengejar barang haram. Aspek poltik, secara politis negara yang
menjadi konsumen narkotika akan dikendalikan oleh mafia narkotika dan akan
kurang prospektifnya dalam membangun kepercayaan dunia dalam berbagai aspek
kemajuan bangsanya.
Dalam upaya untuk menuangkan norma sosial yang diberlakukan menjadi norma
hukum, yang dituangkan dalam ketentuan undang-undang. Maka undang undang
mempunyai fungsi penciptaan, dengan membuat suatu norma perilaku menjadi
norma hukum, untuk seluruhnya atau sebahagian, yang terkandung dalam
maksudnya, adalah untuk memberikan perlindungan pada kepentingan umum yang
berhubungan dengan norma itu. Perlindungan itu tidak selamanya mutlak. Tetapi
dapat diharapkan, bahwa penentuan dapat dipidana itu, akan membantu ditepatinya
norma tersebut.
11
diintensifkan. Oleh karena itu, suatu kebijakan kriminal harus dapat
mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif non penal
ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan terpadu.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari politik sosial, yaitu kebijakan atau upaya untuk
mencapai kesejahteraan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan perlu di tempuh
dengan pendekatan kebijakan antara upaya penanggulangan kejahatan melalui
sarana "penal" dan "non penal".
12
Dengan demikian, maka, dapat diketahui dari sudut politik kriminal, masalah
strategis yang justru harus ditanggulangi, ialah menangani masalah-masalah atau
kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung, dapat
menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Ini berarti, penanganan atau
penggarapan masalah-masalah ini, justru merupakan posisi kunci yang strategis
dilihat dari sudut kriminal.
13
Program-program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan sesuai
dengan kenyataan-kenyataan lokal, regional dan nasional, hendaknya didasarkan
pada penelitian yang dapat diandalkan dan perkiraan/ ramalan akan perkembangan
atau kecenderungan kejahatan, pada saat ini, maupun di masa yang akan datang,
dan juga hendaknya di dasarkan pada studi/penelitian mengenai pengaruh dan
akibat-akibat sosial dari keputusan-keputusan serta investigasi-investigasi kebijakan.
Studi-studi kelayakan juga harus meliputi faktor-faktor sosial, dan dilengkapi dengan
penelitian mengenai kemungkinan timbulnya akibat-akibat kriminogen serta strategi
alternatif untuk menghindarinya"
Di samping perlunya memperhatikan berbagai aspek sosial, dan dampak negatif dari
pembangunan serta perkembangan/ kecenderungan kejahatan. Maka kebijakan
integral juga berarti perlunya memperhatikan korban kejahatan. Hak-hak korban
harus juga dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan kebijakan kriminal
14
B. TINDAK PIDANA NARKOTIKA dan KETERKAITANNYA DENGAN
TINDAK PIDANA LAINNYA
15
1. Ruang Lingkup Konvensi
16
c. keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh
dilakukannya kejahatan tersebut;
d. penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku;
e. kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan
dengan jabatannya;
f. menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak
untuk melakukan kejahatan;
g. kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga pemasyarakatan,
lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial, atau tempat-tempat lain
anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan
pendidikan, olahraga, dan kegiatan sosial;
h. sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan
serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang
kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing
Pihak.
i. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam Konvensi ini adalah jenis-jenis
kejahatan yang menurut sistem hukum nasional negara pihak dianggap
sebagai tindakan kejahatan yang dapat dituntut dan dipidana.
3. Yurisdiksi
17
4. Perampasan
Para Pihak akan saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan,
penuntutan, dan proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini. Bantuan hukum timbal balik dapat
diminta untuk keperluan:
18
7. mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan,
perlengkapan atau benda lain untuk keperluan pembuktian.
30
manusia tidak dapat lepas dari hukumnya hukum sebagai yang dimaknai yang baik,
karena teori yang benar bisa didasarkan secara normatif hanya dengan
19
menyebutkan secara tersirat tentang yang baik itu. Justru kegigihan atas saling
pengaruh antara ketiga bidang tersebut membuat kisah postmodern yang diuraikan
Drucilla menjadi istimewa dibandingkan dengan sudut pandang neo Kantianisme.
Perdebatan terkini dalam yurisprudensi Amerika mengenai kemungkinan
hermeneutika hukum menjawab atas pertanyaan, bisakah kita lepas dari Penal
Colony dalam sistem hukum modern ? jika hukum direduksi mkenjadi legitimasi
positif kekuasaan institusional melalui prosedur hukum yang mapan. Menurut
Levinas adalah yang baik, hukumnya hukum, sebagai tanggungjawab atas yang lain
yang menyeru kita pada keadilan.
C.
PENUTUP
Moral dalam lintasan Perkembangan teori-teori hukum sejatinya menempati
kedudukan yang fondasional dalam filsafat, teori maupun metode dalam berhukum.
Worldview dari ketiga paradigma sebagaimana diuraikan dalam pembahasan
sesungguhnya menempatkan moral sebagai institusi penting dalam berhukum,
hanya saja hegemony yang mendunia dari pemikiran positivist Descartes,
memarginalkan urgensi moral dalam mewujudkian keadilan dalam
Dalam tradisi kaum Aristotelian, kerangka berpikir yang dianut adalah idealisme,
dengan teori a priori menjadikan pangkal kebenaran terletak pada subyektivisasi
manusia. Suatu perbuatan benar-salahnya dilihat dari norma-norma moral dan sosial
masyarakat. Kebenaran dihasilkan oleh kesesuaian antara perbuatan dengan
patokan baik-buruknya dan atau benar-salahnya perbuatan. Berpangkal pada
paradigma Aristotelian ini, maka Moral adalah tolok ukur kemanusiaan dengan
kepribadian yang utuh dan bermartabat yang memberikan penilaian tentang baik-
buruk, benar-salah. Karena kehadiran manusia dalam semesta alam untuk sesuatu
yang pasti. Pertanyaan fundamental atas hidupnya, dari mana asalnya dan kemana
harus menuju menjadi latar kehidupannya.
20
21
22
23
31
berhukum. Paradigma Aristotelian, sejak awal telah menyiratkan tentang keadilan
sebagai hal penting dalam filsafat hukum. Demikian juga dalam Paradigma
Konstruktivisme yang mengusung Postmodernisme sebagai perlawanan dalam
filsafat hermeneutika ternyata memiliki lintasan dengan paradigma Aristotellian
tentang bagaimana hukumnya hukum, yang baik yang memberikan keadilan. Dalam
filsafat Postmodernisme, teoridan filsafat hermeneutika hukum dapat menyemai
keadilan, karena hermeneutika hukum mendasarkan pada kejujuran subyek sebagai
manusia, para ahli hukum, teolog dan para ilmuan kemanusiaan duduk bersama
bedialog dengan moral, hati nurani, agama dan ilmu social menemukan keadilan
yang dibuthkan oleh hukum. Wallhu alam Bishawab,
24
25
26
27