You are on page 1of 27

51 orang meninggal setiap hari karena

Narkoba (Radar Karawang , Jumat 21 Novemver 2014)


Badan Narkotika Nasional melalui direktur Diseminasi Informasi deputi bidang
pencegahannya gun gun siswandi mengungkapkan sedikitnya 50 nyawa melayang
setiap hari akibat penyalahgunaan narkoba............ baca selanjutnya

PROLOG.

Narkotika, merupakan permasalahan yang sudah sangat popular bagi masyarakat


mengingat begitu banyaknya, berita dari media cetak, maupun elektronik yang
memberitakan tentang penggunaan narkotika, pengedaran narkotika serta korban
dari narkoba tersebut yang berasal dari dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan
akibat penggunaannya. Berbagai penelitian mengemukakan bahwa faktor penyebab
timbulnya penyalahgunaan narkotika yakni;

 Pertama. Faktor individu. Terdiri dari aspek kepribadian, dan kecemasan atau
depresi. Termasuk dalam aspek kepribadian, karena pribadi yang ingin tahu,
mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk
kecemasan atau depresi, karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan
hidup, sehingga melarikan diri dalam penggunaan narkotika dan obat obat
terlarang.
 Kedua. Faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh
pergaulan. Keluarga dimaksudkan sebagai faktor disharmonis seperti orang
tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang dirumah, serta
perekonomian keluarga yang serba kekurangan. Pengaruh pergaulan,
dimaksudkan karena ingin diterima dalam pergaulan kelompok narkotika.
 Ketiga. Faktor lingkungan, yang tidak baik maupun tidak mendukung, dan
menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis
anak dan kurangnya perhatian terhadap anak untuk menjadi pemakai
narkotika. Keempat. Faktor narkotika. Karena mudahnya narkotika didapat
dan didukung dengan faktor-faktor tersebut, sehingga semakin mudah
timbulnya penyalahgunaan narkotika.

1
Hubungan timbal balik antara Narkotika dan kejahatan menciptakan suatu causa
verbal atas terjadinya suatu tindak pidana. Bahwa banyak pijakan teoritik mengenai
keterkaitan antara penyalahgunaan narkotika dengan perbuatan pidana.
Penggunaan narkotika dapat mengakibatkan beberapa kelumpuhan psikis yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan manusia berpresepsi terhadap suatu hal.
Hilangnya kemampuan yang demikian itu berpotensi menghilangkan kemampuan
konsentrasi dan mengambil keputusan. Pada hakikatnya perbuatan pidana
sesungguhnya perbuatan yang cenderung tidak akan dilakukan oleh manusia,
apabila kemampuan berpresepsi manusia tersebut dalam keadaan baik, oleh karena
itu penggunaan narkotika jelas mempunyai kaitan yang erat dalam menimbulkan
suatu kejahatan. Alasan ekonomis penggunaan narkotika menjadi titik yang pula
diamati bahwa sifat narkotika yang memabukkan dan adiktif menjadikan setiap
orang dapat melakukan kejahatan demi memenuhi kebutuhan atas zat adiktif yang
telah mengkontaminasi dirinya.

Kejahatan Narkotika dan Psikotrapika, merupakan kejahatan kemanusiaan yang


berat, yang mempunyai dampak luar biasa, terutama pada generasi muda suatu
bangsa yang beradab. Kejahatan narkotika merupakan kejahatan lintas negara,
karena penyebaran dan perdagangan gelapnya, dilakukan dalam lintas batas negara.
Dalam kaitannya dengan negara Indonesia, sebagai negara hukum. Negara hukum
yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan.

Negara Indonesia dalam mencapai cita hukumnya, sesuai pada Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,
"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Dengan begitu, bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan
penduduk (warga negara dan orang asing) harus berdasarkan dan sesuai dengan
hukum.

Membedakan antara hukum pidana dengan bidang hukum lain, ialah sanksi hukum
pidana, merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja. Pidana
adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja
ditimpakan negara pada pembuat delik itu.

2
Hukum pidana terbagi menjadi dua (2), yaitu hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang
dapat dipidana, beserta sanksi pidananya, sedangkan hukum pidana formil
mengatur mengenai penegakan hukum pidana materiil. Hukum pidana dalam
usahanya mencapai tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan
menjatuhkan pidana, tetapi disamping itu juga dengan menggunakan tindakan

tindakan. Jadi disamping pidana ada pula tindakan. Tindakan inipun suatu sanksi
juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya. Penjatuhan suatu pidana maupun
tindakan, kepada pembuat delik, merupakan proses akhir dari suatu peradilan
pidana.

Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menyatakan,


"Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan". Dalam
rumusan ini dikandung asas yang disebut asas legalitet. Inilah asas tentang
penentuan perbuatan apa sajakah yang dipandang sebagai perbuatan pidana. Asas
ini merupakan teori yang dikemukakan Von Feuerbach
yang terkenal dengan makna nullum delictum nulla poena sine praevia lege.
Dengan asas legalitet ini dimaksudkan, bahwa: Tidak ada perbuatan yang dilarang
yang diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam
suatu aturan undang-undang; Untuk menentukan adanya perbuatan tidak boleh
menggunakan analogi; Aturan aturan pidana tidak berlaku mundur. Perbuatan
pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang
dikehendaki oleh hukum, syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah
kenyataan bahwa ada aturan yang melarang". Sehingga untuk dapat dipidana,
perbuatan harus mencocoki rumusan delik dalam undang-undang.

Penjatuhkan pidana terhadap pelaku, harus melalui prosedur peradilan pidana


sebagaimana hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Hukum acara pidana
yakni dapat dirumuskan sebagai hukum yang menetapkan cara negara
mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana. Juga biasa disebut sebagai
hukum pidana In Concreto, karena mengandung peraturan bagaimana hukum
pidana materiel atau hukum pidana In Abstracto dituangkan dalam kenyataan.

3
Dalam hukum acara pidana, dikenal, penegak hukum di dalamnya, yakni, hakim,
penuntut umum, penasehat hukum. Hakim memiliki peran yang besar, karena hakim
yang diberikan kewenangan oleh undang-undang utuk mengadili suatu perkara, hal
ini dipertegas dalam ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Pasal 1 butir 8, yang berbunyi, "hakim adalah pejabat peradilan negara
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili". Kewenangan
hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya berawal dari ketentuan
pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman,
yang menyatakan bahwa, "Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya, dipundak para hakim telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab
agar hukum dan keadilan ditegakkan itu, baik didasarkan hukum tertulis atau hukum
tidak tertulis tidak boleh satu pun yang bertentangan dengan asas dan sendi
peradilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini juga senada dengan
penjelasan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang menyatakan:
"Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan
datang kepadanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum
tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis, untuk memutus berdasarkan hukum
sebagai orang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang

Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan tanpa hak dan melawan hukum yang
dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati
pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, kurang teratur, dan berlangsung cukup lama,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental dan kehidupan sosial.

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri diatur dalam Pasal 127
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang bunyinya: (1) Setiap
Penyalah Guna: 1. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun; 2. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan, 3. Narkotika
Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,

4
dan Pasal 103. (2) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah
Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sanksi
pidana berupa pidana penjara yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Namun, hakim
juga diberikan kemungkinan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara, karena dalam
pasal-pasal yang berkaitan dengan Pasal 127, terdapat pula kemungkinan
penjatuhan sanksi tindakan rehabilitasi oleh hakim. Pasal yang dimaksud, yaitu pada
Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, yang menyatakan, "Pecandu
narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di pusat
rehabilitasi ketergantungan narkotika. Selanjutnya Pasal 103 Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 menyebutkan:

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: :

a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan


dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika;
atau;
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika
tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman. Selalu yang menjadi perhatian dalam upaya, penerapan
hukum, adalah tentang penegakan hukum, yang sangat mendapatkan perhatian,
terutama peran Negara, dalam ikut serta bertanggungjawab, untuk memerangi
kejahatan narkotika. Peran negara melalui BNN, telah merefleksikan politik
hukum nasional dengan melalui sarana penal dan non penal, sebagai bagian
dari kebijakan kriminal yang sedang menggejala saat ini.

5
A. KEBIJAKAN LEGISLATIF TENTANG TINDAK PIDANA
NARKOTIKA

Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang


sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas. Proses pembentukan ini akan
memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini
digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai dua
fungsi yaitu pertama, fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai, dan kedua, fungsi
instrumental. Bertitik tolak pada kedua fungsi tersebut, maka sebaiknya politik
hukum pidana dijalankan tanpa mengingkari fungsi lainnya. Misalnya, sifat atau
pengaruh simbolis dari undang-undang tertentu.

Hukum yang dilihat sebagai hasil dari suatu proses pertumbuhan yang dinamis.
Melihat hukum sebagai sesuatu yang bersifat dinamis didasarkan pada keyakinan,
bahwa hukum itu terjadi sebagau suatu perencanaan dari suatu situasi tertentu
menuju kepada suatu tujuan yang akan dicapai.Hukum bukan merupakan suatu
tujuan, melainkan hanya sebagai suatu alat, untuk mencapai tujuan yang tidak
yuridis. Finalitas dari hukum yang tidak yuridis, dan karenanya pula hukum
mendapat dorongan bertumbuhnya dari luar hukum. Faktor-faktor ekstra yuridislah
yang memelihara tetap berlangsungnya proses pertumbuhan dinamis dari hukum.

Hukum yang terus berkembang seiring dengan perkembangan globalisasi, ikut


mendorong reformasi di berbagai bidang hukum. Masalah hukum dalam
pembangunan terdiri dari empat masalah mendasar dan mendesak yang harus
menjadi prioritas. Pertama, masalah reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral
dan berasal dari hukum lokal, ke dalam sistem hukum nasional yang berasal dan
bersumber dari perjanjian internasional. Kedua, penataan kelembagaan aparatur
hukum yang masih belum dibentuk secara komprehensif, sehingga melahirkan
berbagai ekses dan ego sektoral. Ketiga, pemberdayaan masyarakat, kesadaran yang
baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.

6
environment yang meliputi warga negara, penegak hukum semuanya bertujuan
untuk melindungi masyarakat dengan usaha penanggulangan kejahatan lewat
pembuatan undang-undang hukum pidana dan cara pelaksanaan peraturan
perundang-undangan pidana oleh sistem peradilan pidana.

Keterkaitan dengan kebijakan legislatif, Mahkamah Agung Republik Indonesia,


mengeluarkan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung No. 07 Tahun 2009 Tentang
Menempatkan Pemakai Narkoba Ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.

1. Bahwa sebagian besar dari narapidana dan tahanan kasus narkoba, adalah
termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban, jika dilihat dari
aspek kesehatan, mereka sesungguhnya orang orang yang menderita sakit,
oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang
tepat, karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.
2. Kondisi lembaga pemasyarakatan (Lapas), pada saat ini tidak mendukung,
karena dampak negatif keterpengaruhi oleh perilaku kriminal lainnya, dapat
semakin memburuk kondisi jiwa, kesehatan yang diderita para narapidan
narkotika dan psikotrapika akan semakin berat. Oleh karena itu diharapkan
para hakim sedapat mungkin menerapkan pemidanaan sebagaimana
dimaksud ketentuan pasal 41 UU No. 5 Tahun 1987 tentang Psikotrapika;
yakni;
1. Pasal 41. Pengguna psikotrapika yang menderita sindrome
ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
psikotropika diperintahkan oleh Hakim yang memutus perkara tersebut
untuk menjalani pengobatan dan atau perawatan.
2. Pasal 47. UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, (1) Hakim yang
memeriksa perkara pecandu narkotika dapat; a. memutuskan untuk
memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau
perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah
melakukan tindak pidana narkotika; atau; b. Menetapkan untuk
memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau
perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut, tidak terbukti bersalah
melakukan tindak pidana narkotika. (2) Masa menjalani pengobatan dan

7
atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman;
3. Penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 UU No.
5 Tahun 1997 dan pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997, hanya dapat
dijatuhkan pada kalsifikasi tindak pidana sebagai berikut; yakni terdakwa
pada saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap tangan. Pada
saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti satu kali pakai. Berupa
heroin, kokain, morpin, ganja, ekstasy, shabu, dan lain lain termasuk
dalam narkotika golongan I samapai dengan III dan Psikotrapika golongan
I sampai dengan IV.
4. Dalam hal Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk
dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi ats diri trdakwa. Majelis
harus menunjuk secara jelas tempat rehabilitasi yang terdekat, dalam
amar putusannya tempat rehabilitasi dimaksud, adalah UPT. T&R BNN
Lido Bogor. Rumah Sakit Ketergantungan obat cibubur pos pos jakarta
dan di seluruh Indonesia (Depkes RI). Panti Rehabilitasi Depsos RI dan
UPTD. Rumah sakit jiwa seluruh Indonesia, atau tempat tempat rujukan
yang mendapatkan akredetasi dari departemen kesehatan RI atau
departemen sosial RI dengan biaya sendiri.
5. Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi. Hakim harus dengan
sungguh sungguh mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan
terdakwa, sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai
standar
Dalam proses terapi dan rehabilitasi, yakni detokfikasi lamanya satu
bulan. Primary program lamanya 6 bulan. Re-entry program lamanya 6
bulan.

Selanjutnya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.


04 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban
Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi
Medis dan Rehabilitasi Sosial.

1. Bahwa dengan telah diterbitkannya UU No. 35 Tahun 2009, tanggal 12


Oktober 2009 Tentang Narkotika, maka dianggap perlu untuk

8
mengadakan revisi, terhadap Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung
RI.No. 07 Tahun 2009, tanggal 17 Maret 2009, tentang Menempatkan
Pemakai Narkotika Ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
2. Bahwa penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 103
huruf a dan b UU No. 35 Tahun 2007 Tentang Narkotika, hanya dapatr
dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana; Kelompok matamphetamine
(shabu) 1 gram; MDMA (Eksetasi) 2,4 gram= 8 butir. Heroin, 1,8 gram.
Ganja, 5 gram; dam; meskalin 5 gram; psilosylin 3 gram koka, 5 gram;
LCD, 2 gram; PCP, 3 gram; Fentanil 1 gram; Metadon, 0,5 gram; Morfin,
1,8 gram; Petidin, 0,96 gram. Kodein, 72 gram; Bufrenorfin, 32 mg.

Adanya uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan


permintaan penyidik. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa atau psikiater
pemerintah yang ditunjuk oleh Hakim. Tidak terdapat bukti bahwa yang
bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

3. Dalam hal Hakim menjatuhkan pemidanaan, berupaperitah untuk


dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi, untuk dilakukan tindakan
hukum. Majelis Hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat
rehabilitasi yang dimaksud.
4. Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi. Hakim harus dengan
sungguh sungguh, mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan
terdakwa, sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli, dan sebagai
standar, dalam proses terapi dan rehabilitasi, yakni. Program detoksifikasi
dan stabilisasi, lamanya 1 bulan. Program Primer, lamanhya 6 bulan.
Program Re-entry, lamanya 6 bulan.

9
B.TUJUAN SOSIAL DALAM POLITIK HUKUM TENTANG NARKOTIKA

Ditengah hingar bingarnya isu globalisasi, kejahatan narkotika yang sejak lama
menjadi musuh bangsa kian menkhawatirkan. Geliat mafia seakan tak mampu
terbendung oleh gebrakan aparat penegak hukum, di berbagai belahan komitmen
bersama memberantas memberantas narkotika oleh seluruh dunia. Tak sedikit
badan-badan dunia yang terlibat, namun peredaran narkotika terus merajalela. Dari
berbagai indikasi menunjukkan bahwa kejahatan narkotika merupakan extra
orginary crime. Adapun pemaknaannya adalah sebagai suatu kejahatan yang
berdampak besar dan multi-dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan
politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan ini.
Untuk itu extraordinary punishment kiranya begitu menjadi relevan mengiringi
model kejahatan yang berkarakteristik luar biasa yang dewasa ini kian merambahi
ke se-antero bumi ini sebagai transnational crime.

Berbagai kajian baik oleh lembaga-lembaga nasional maupun internasional, telah


menunjukkan kesepakatan untuk memberantas narkotika yang terus merambah
sendi-sendi kehidupan. Untuk itu kiranya extraordinary Punishment, menjadi salah
satu alternatif yang lebih pas demi menyelamatkan anak bangsa ini. Timbulnya pro
dan kontra pun akan terbuka. Entah dampak hembusan isu Hak Asasi Manusia atau
justru kepentingan bisnis ilegal pihak tertentu. Narkotika memang bisnis yang
menggiurkan. Lihat saja dengan satu kilogram shabu-shabu, bisa mengantongi satu
miliar rupiah.

Kini menjadi tantangan bersama yakni bagaimana membangun kinerja jaringan


yang profesional, bernurani, dan berkemanusiaan demi menyelamatkan anak bangsa
ini.

Sejak merebaknya peredaran gelap narkotika, bangsa negeri ini pun tidak tinggal
diam. Komponen pemerintahan, praktisi, kalangan intelektual maupun kelompok
masyarakat telah gencar memberantasnya. Sayangnya kasus kejahatan narkotika
dari waktu ke waktu terus meningkat. Tengok saja prevalensi (penyebarluasan)
kasus peredaran narkotika menurut Badan Narkotika Nasional menunjukkan angka

10
sebesar 50 meninggal setiap hari karena Narkoba (Radar Karawang, jumat 21
November 2014 ). Dikaitkan dengan fenomena gunung es kejahatan narkotika,
menurut Dadang Hawari, bahwa muncul ke permukaan hanyalah 10% dari yang
berada di bawah permukaan. Dampak penggunaan narkotika adalah tumbuhnya
budaya malas, konsumtif, eforia, foya-foya, yang tak terarah. Aspek ekonomi,
mengahancurkan ekonomi, ratusan triliun rupiah hilang sia-sia dalam setahun
sekedar untuk mengejar barang haram. Aspek poltik, secara politis negara yang
menjadi konsumen narkotika akan dikendalikan oleh mafia narkotika dan akan
kurang prospektifnya dalam membangun kepercayaan dunia dalam berbagai aspek
kemajuan bangsanya.

Dalam upaya untuk menuangkan norma sosial yang diberlakukan menjadi norma
hukum, yang dituangkan dalam ketentuan undang-undang. Maka undang undang
mempunyai fungsi penciptaan, dengan membuat suatu norma perilaku menjadi
norma hukum, untuk seluruhnya atau sebahagian, yang terkandung dalam
maksudnya, adalah untuk memberikan perlindungan pada kepentingan umum yang
berhubungan dengan norma itu. Perlindungan itu tidak selamanya mutlak. Tetapi
dapat diharapkan, bahwa penentuan dapat dipidana itu, akan membantu ditepatinya
norma tersebut.

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan


narkoba , tidak hanya menggunakan sarana penal semata, tetapi juga dapat
menggunakan sarana non penal. Usaha-usaha non penal ini meliputi :

1. penyantunan dan pendidikan sosial, dalam rangka mengembangkan tanggung


jawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat;
2. melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha
kesejahteraan anak dan remaja;
3. kegiatan pengawasan secara terus menerus oleh polisi, aparat keamanan dan
sebagainya.
Tujuan utama dari usaha-usaha non penal, adalah memperbaiki kondisi-kondisi
sosial tertentu. Namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif
terhadap kejahatan. Dengan demikian dapat dilihat, dari sudut politik kriminal,
keseluruhan kegiatan preventif yang non penal itu, sebenarnya mempunyai
kedudukan yang sangat strategis, dan mempunyai posisi kunci yang harus

11
diintensifkan. Oleh karena itu, suatu kebijakan kriminal harus dapat
mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif non penal
ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan terpadu.

Dapat dipahami, bahwa salah satu usaha penanggulangan kejahatan, ialah


menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun
demikian, usaha ini masih sering dipersoalkan. Pengunaan hukum pidana dalam
mengatasi kejahatan telah berlangsung beratus ratus tahun yang lalu. Tetapi usaha
pengendalian perbuatan anti sosial, dengan menggunakan pidana pada seseorang
yang bersalah, melanggar peraturan pidana, merupakan suatu problem sosial yang
mempunyai dimensi hukum yang penting.

Usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, meliputi


aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
aparat eksekusi pemidanaan. Tidaklah berdiri sendiri, melainkan berkaitan satu
sama lain, sesuai fungsinya masing-masing. Proses penegakkan hukum pidana
dalam penanggulangan kejahatan. Maka hukum pidana hendaknya dipertahankan,
sebagai salah satu sarana untuk perlindungan masyarakat, terhadap kejahatan,
dengan memperbaiki atau memulihkan kembali bagi penjahat, tanpa mengurangi
keseimbangan kepentingan perorangan pelaku kejahatan dan masyarakat. Maka
dengan itu kebijakan sosial dapat dipahami sebagai segala usaha yang rasional,
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari politik sosial, yaitu kebijakan atau upaya untuk
mencapai kesejahteraan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan perlu di tempuh
dengan pendekatan kebijakan antara upaya penanggulangan kejahatan melalui
sarana "penal" dan "non penal".

Penegasan perlunya upaya penanggulangan sosial dan perencanaan kejahatan


diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan
nasional. Bertolak dari konsepsi integral yang demikian itu, maka kebijakan
penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya, apabila kebijakan sosial atau
kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor kriminogen
dan victimogen.

12
Dengan demikian, maka, dapat diketahui dari sudut politik kriminal, masalah
strategis yang justru harus ditanggulangi, ialah menangani masalah-masalah atau
kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung, dapat
menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Ini berarti, penanganan atau
penggarapan masalah-masalah ini, justru merupakan posisi kunci yang strategis
dilihat dari sudut kriminal.

bahwa aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam


mencapai tujuan strategi penanggulangan kejahatan dan harus diberikan prioritas
paling utama; bahwa tujuan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan kerjasama
ekonomi internasional hendaknya ditujukan untuk menjamin hak-hak asasi manusia
untuk suatu kehidupan yang bebas dari kelaparan, kemiskinan, kebutahurufan,
kebodohan, penyakit dan ketakutan akan perang serta memberi kemungkinan bagi
manusia untuk hidup dalam lingkungan yang sehat. Mengendurnya ikatan sosial
dan keluarga; keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang
berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; rusaknya atau hancurnya
identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya racisme dan diskriminasi
menyebabkan kerugian/ kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan dalam
bidang/ lingkungan pekerjaan, meliputi;

1. menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong


peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi
tempat-tempat fasilitas lingkungan /bertetangga;
2. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di
lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan
sekolahnya;
3. penyalahgunaan alkohol, obat-bius dan lain-lain yang pemakainya juga diperluas
karena faktor-faktor yang di sebut di atas;
4. meluas aktifitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius
dan penadahan barang-barang curian;
5. dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-
sikap yang mengarah pada tingkatan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau
sikap-sikap toleransi;

13
Program-program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan sesuai
dengan kenyataan-kenyataan lokal, regional dan nasional, hendaknya didasarkan
pada penelitian yang dapat diandalkan dan perkiraan/ ramalan akan perkembangan
atau kecenderungan kejahatan, pada saat ini, maupun di masa yang akan datang,
dan juga hendaknya di dasarkan pada studi/penelitian mengenai pengaruh dan
akibat-akibat sosial dari keputusan-keputusan serta investigasi-investigasi kebijakan.
Studi-studi kelayakan juga harus meliputi faktor-faktor sosial, dan dilengkapi dengan
penelitian mengenai kemungkinan timbulnya akibat-akibat kriminogen serta strategi
alternatif untuk menghindarinya"

Di samping perlunya memperhatikan berbagai aspek sosial, dan dampak negatif dari
pembangunan serta perkembangan/ kecenderungan kejahatan. Maka kebijakan
integral juga berarti perlunya memperhatikan korban kejahatan. Hak-hak korban
harus juga dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan kebijakan kriminal

Politik hukum pidana, terhadap pencegahan perdagangan gelap narkotika, yang


sangat membahayakan umat manusia, dan melibatkan organisasi internasional,
yang teramat sulit pembuktiannya, dengan berbagai sel sel terputus. Karenanya
dalam undang undang narkotika, diberikan kewenangan kepada BNN, untuk
melakukan tindakan secara penal dan non penal, guna bekerja secara maksimal,
untuk melakukan tindakan hukum, guna memudahkan proses pembuktiannya,
melalui hal hal yang luar biasa, dengan penggunanaan kewenangan untuk
melakukan berbagai kemudahan dalam pembuktian. Juga upaya upaya pencapaian
kesadaran masyarakat, akan akibat bahaya narkotika, dengan berbagai upaya non
penal. Karena itu BNN, melakukan upaya hukum pidana dan non hukum pidana,
dalam pencapaian tujuannya, guna mencapai tujuan sosial yang lebih besar, yakni
pencapaian negara kesejahteraan.

14
B. TINDAK PIDANA NARKOTIKA dan KETERKAITANNYA DENGAN
TINDAK PIDANA LAINNYA

Didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi,


permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika serta
kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai pasar pemakai
narkotika dan psikotropika secara gelap, serta sebagai sasaran produksi, distribusi,
dan perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, telah mendorong lahirnya
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Gelap Narkotika
dan Psikotropika, 1988. Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok
pikiran, antara lain, sebagai berikut:

1. Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan


perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap
narkotika dan psikotropika.
2. Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan
masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula.
3. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961,
Protokol 1972 Tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan
Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai
sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika
dan psikotropika.
4. Perlunya memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif
dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal untuk memberantas
organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika
dan psikotropika.

15
1. Ruang Lingkup Konvensi

Konvensi tersebut pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kerjasama


internasional yang lebih efektif terhadap berbagai aspek peredaran gelap
narkotika dan psikotropika. Untuk tujuan tersebut, para pihak akan
menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan prosedur administrasi
masing-masing sesuai Konvensi ini dengan tidak mengabaikan asas kesamaan
kedaulatan, keutuhan wilayah negara, serta asas tidak mencampuri urusan
yang pada hakikatnya merupakan masalah dalam negeri masing-masing.

2. Kejahatan dan Sanksi

Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, Negara-negara


Pihak dari Konvensi akan mengambil tindakan yang perlu untuk menetapkan
sebagai kejahatan setiap peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Pengertian peredaran mencakup berbagai kegiatan dari awal sekali, yaitu mulai
dari penanaman, produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran, sampai ke
pemakaiannya, termasuk untuk pemakaian pribadi. Terhadap kejahatan
tersebut di atas, dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara atau bentuk
perampasan kemerdekaan, denda dan penyitaan aset sejauh dapat dibuktikan
sebagai hasil dari kejahatan. Di samping itu pelakunya dapat dikenakan
pembinaan, purnarawat, rehabilitasi, atau reintegrasi sosial. Para pihak
menjamin bahwa lembaga peradilan dan pejabat berwenang lainnya yang
mempunyai yurisdiksi dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang
menyebabkan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam konvensi tersebut
merupakan kejahatan serius, seperti:

a. keterlibatan di dalam kejahatan dari kelompok kejahatan terorganisasi yang


pelakunya sebagai anggota;
b. keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisasi
secara internasional;

16
c. keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh
dilakukannya kejahatan tersebut;
d. penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku;
e. kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan
dengan jabatannya;
f. menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak
untuk melakukan kejahatan;
g. kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga pemasyarakatan,
lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial, atau tempat-tempat lain
anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan
pendidikan, olahraga, dan kegiatan sosial;
h. sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan
serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang
kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing
Pihak.
i. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam Konvensi ini adalah jenis-jenis
kejahatan yang menurut sistem hukum nasional negara pihak dianggap
sebagai tindakan kejahatan yang dapat dituntut dan dipidana.

3. Yurisdiksi

Negara Pihak harus mengambil tindakan yurisdiksi terhadap berbagai kejahatan


yang dilakukan oleh pelaku atau tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) Konvensi, baik terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah, di atas
kapal atau di dalam pesawat udara Negara Pihak tersebut, baik yang dilakukan
oleh warga negaranya maupun oleh orang yang bertempat tinggal di wilayah
tersebut. Masing-masing Pihak harus mengambil juga tindakan apabila
diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1), jika tersangka pelaku kejahatan berada di dalam
wilayahnya dan tidak di ekstradisikan ke Pihak lain.

17
4. Perampasan

Para Pihak dapat merampas narkotika dan psikotropika, bahan-bahan serta


peralatan lainnya yang merupakan hasil dari kejahatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi. Lembaga peradilan atau pejabat yang
berwenang dari Negara Pihak berwenang untuk memeriksa atau menyita catatan
bank, keuangan atau perdagangan. Petugas atau badan yang diharuskan
menunjukkan catatan tersebut tidak dapat menolaknya dengan alasan
kerahasiaan bank. Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, seluruh kekayaan
sebagai hasil kejahatan dapat dirampas. Apabila hasil kejahatan telah bercampur
dengan kekayaan dari sumber yang sah, maka perampasan hanya dikenakan
sebatas nilai taksiran hasil kejahatan yang telah tercampur. Namun demikian,
perampasan tersebut baru dapat berlaku setelah diatur oleh hukum nasional
Negara Pihak.

1. Bantuan Hukum Timbal balik

Para Pihak akan saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan,
penuntutan, dan proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini. Bantuan hukum timbal balik dapat
diminta untuk keperluan:

1. mengambil alat bukti atau pernyataan dari orang;


2. memberikan pelayanan dokumen hukum;
3. melakukan penggeledahan dan penyitaan;
4. memeriksa benda dan lokasi;
5. memberikan informasi dan alat bukti;
6. memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan yang
disahkan dan catatannya, termasuk catatan-catatan bank, keuangan,
perusahaan, atau perdagangan; atau

18
7. mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan,
perlengkapan atau benda lain untuk keperluan pembuktian.

30
manusia tidak dapat lepas dari hukumnya hukum sebagai yang dimaknai yang baik,
karena teori yang benar bisa didasarkan secara normatif hanya dengan

19
menyebutkan secara tersirat tentang yang baik itu. Justru kegigihan atas saling
pengaruh antara ketiga bidang tersebut membuat kisah postmodern yang diuraikan
Drucilla menjadi istimewa dibandingkan dengan sudut pandang neo Kantianisme.
Perdebatan terkini dalam yurisprudensi Amerika mengenai kemungkinan
hermeneutika hukum menjawab atas pertanyaan, bisakah kita lepas dari Penal
Colony dalam sistem hukum modern ? jika hukum direduksi mkenjadi legitimasi
positif kekuasaan institusional melalui prosedur hukum yang mapan. Menurut
Levinas adalah yang baik, hukumnya hukum, sebagai tanggungjawab atas yang lain
yang menyeru kita pada keadilan.
C.

PENUTUP
Moral dalam lintasan Perkembangan teori-teori hukum sejatinya menempati
kedudukan yang fondasional dalam filsafat, teori maupun metode dalam berhukum.
Worldview dari ketiga paradigma sebagaimana diuraikan dalam pembahasan
sesungguhnya menempatkan moral sebagai institusi penting dalam berhukum,
hanya saja hegemony yang mendunia dari pemikiran positivist Descartes,
memarginalkan urgensi moral dalam mewujudkian keadilan dalam

Dalam tradisi kaum Aristotelian, kerangka berpikir yang dianut adalah idealisme,
dengan teori a priori menjadikan pangkal kebenaran terletak pada subyektivisasi
manusia. Suatu perbuatan benar-salahnya dilihat dari norma-norma moral dan sosial
masyarakat. Kebenaran dihasilkan oleh kesesuaian antara perbuatan dengan
patokan baik-buruknya dan atau benar-salahnya perbuatan. Berpangkal pada
paradigma Aristotelian ini, maka Moral adalah tolok ukur kemanusiaan dengan
kepribadian yang utuh dan bermartabat yang memberikan penilaian tentang baik-
buruk, benar-salah. Karena kehadiran manusia dalam semesta alam untuk sesuatu
yang pasti. Pertanyaan fundamental atas hidupnya, dari mana asalnya dan kemana
harus menuju menjadi latar kehidupannya.

20
21
22
23
31
berhukum. Paradigma Aristotelian, sejak awal telah menyiratkan tentang keadilan
sebagai hal penting dalam filsafat hukum. Demikian juga dalam Paradigma
Konstruktivisme yang mengusung Postmodernisme sebagai perlawanan dalam
filsafat hermeneutika ternyata memiliki lintasan dengan paradigma Aristotellian
tentang bagaimana hukumnya hukum, yang baik yang memberikan keadilan. Dalam
filsafat Postmodernisme, teoridan filsafat hermeneutika hukum dapat menyemai
keadilan, karena hermeneutika hukum mendasarkan pada kejujuran subyek sebagai
manusia, para ahli hukum, teolog dan para ilmuan kemanusiaan duduk bersama
bedialog dengan moral, hati nurani, agama dan ilmu social menemukan keadilan
yang dibuthkan oleh hukum. Wallhu alam Bishawab,

24
25
26
27

You might also like