You are on page 1of 15

A.

Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan bentuk dari otoritas Allah. Seorang muslim selalu
merujuk pada Al-Qur’an ketika menghadapi masalah pada kehidupannya. Ketika
masih hidup, Nabi Muhammad SAW diaggap sebagai orang yang memiliki hak
otoritatif, memiliki syarat dapat dipercaya, untuk menafsirkan semua kehendak dari
Allah. Wewenang tersebut tertulis dalam Al-Qur’an. Selain itu, wewenang itu juga
terlihat dalam perilaku dan moral dalam kehidupan sehari-harinya.
Namun setelah beliau wafat, pada generasi berikutnya terdapat berbagai
masalah yang mucul dalam menafsirkan teks, dengan melakukan penafsiran teks-teks
suci dan melegitimasi pemikirannya tanpa memperdulikan aspek moral dalam hukum.
banyak orang temasuk organisasi pemberi fatwa terjebak pada tindakan “otorianisme
interpretasi”. Hal ini, berdampak terhadap pemikiran dari generasi berikutnya dan
melahirkan sikap otoriter seakan-akan dialah yang paling tahu akan makna dibalik
teks seperti benar-benar dikehendaki Allah SWT.1
Khaled M. Abou El Fadhl yang merupakan salah satu dari tokoh Islam abad
XXI yang aktif dalam menyuarakan mengenai tindakan penafsiran teks secara
otoritatif.2 Seperti lembaga CRLO (Council for Scientific Reasearch and Legal
Opinion atau al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhus al-‘Imiyyah wa-al-Ifta’), merupakan
sebuah lembaga resmi di Arab Saudi yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan
fatwa-fatwa keagamaan yang oleh Khaled dianggap terjebak pada sikap
otoritarianisme.3 Melihat realita tersebut, Abou El-Fadl kemudian menawarkan
pendekatan hermeunetika teori otoritas dan otorianisme untuk menjawab
permasalahan-permasalahan hukum Islam yang terjadi selama ini.4 Penulis tertarik
untuk membahas lebih lanjut pemikiran dari Khaled M. Abou El Fadhl tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Khaled M. Abou El Fadl?
2. Bagaimana Konsep Otoritas dan Otoritarianisme menurut Khaled M. Abou El
Fadl?
3. Bagaimana Konsep Hermeneutika Khaled M. Abou El Fadl?

1
Syarifudin, Hermeneutika Khaled Abou El Fadl, dalam Jurnal Substantia, Vol. 17 No. 2 Oktober
2015, hlm. 233.
2
Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010) , hlm. 266.
3
Syarifudin, Hermeneutika,... hlm. 233.
4
Skripsi Ahmad Zayyadi, Teori Hermeneutika Khaled M. Abou el-Fadhl dan Nashr Hamid Abu-Zaid
dalam Intrepetasi Konsep Otoritas Hukum Islam, Fakutas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2007,
hlm 3-4.
4. Bagaiman contoh contoh pemikiran Khaled Abou Al-Fadl?

C. Biografi Khaled M. Abou El Fadl


Khaled M. Abou El Fadl adalah seorang Guru Besar di Fakultas Hukum,
University of California Los Angles (UCLA). Nama lengkapnya adalah Khaled
Medhat Abou El Fadl.5 Ia lahir tahun 1963 di Kuwait, besar di Kuwait dan mesir.
Ayahnya bernama Medhat Abou Al Fadl adalah seorang ahli hukum Islam dan
menjadi guru pertamanya untuk melawan segala penindasan. Ibunya Afaf El-Nirm,
memiliki kebiasaan mengaji setiap pagi membangunkannya dengan lantunan ayat-
ayat al-Qur’an.6 Sebagaimana masyarakat Arab Sejak kecil ia terdidik dengan ilmu-
ilmu keislaman seperti Alquran, Hadis,bahasa Arab, tafsir, dan tasawuf sejak dari
sekolah pendidikan dasar. Sejak umur enam tahun, ia telah belajar di Madrasah Al-
Azhar Mesir yang saat itu sedang mengalami masa transisidari paham moderat ke
paham Wahabi. Sehingga sampai pada usia remaja, Khaled Abou El Fadl sangat getol
menyebarkan dan membela paham yang lahir di Saudi Arabia ini, namun kemudian ia
berubah seratus delapan puluh derajat mengkritik paham ini karena dinilai telah
mengekang kebebasan berpikir dan bertindak sewenang-wenang.7
Gelar B.A diperoleh dari Universitas Yale pada tahun 1985. Ia kemudian
pindah ke Universitas Pensilvania dan meraih gelar J.D pada tahun 1989. Gelar Ph.D
diperoleh di Universitas Princeton dalam bidang studi Islam, dan secara bersamaan ia
menempuh kuliah studi hukum di Universitas California Los Angeles (UCLA) dan di
sanalah kemudian ia membangun dan mengembangkan karir akademiknya hingga
dianugerahi sebagai guru besar dalam hukum Islam, imigrasi, HAM dan hukum
keamanan Nasional dan Internasional.8
Selain penulis prolific dalam tema universal moralitas dan kemanusiaan,
Khaled juga dikenal sebagai pembicara publik terkemuka. Dia aktif dalam berbagai
organisasi HAM, seperti Human Rights Watch dan Lawyer’s Committee for Human
Rights. Di tengah-tengah kesibukannya ia diundang ke seminar, simposium, lokakarya

5
Nasrullah, Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el Fadl: Metode Kritik atas Penafsiran
Otorianisme dalam Pemikiran Islam, dalam Jurnal Hunafa, Vol.5 No.2, Agustus 2008, hlm.138.
6
Moh. Wardi, Hermeneutika Khaled Abou El Fadl: Sebuah Kontribusi Pemikiran dalam Studi Islam,
Al-Ulum, Vol. 1, No, 1, 2014, hlm. 2.
7
Yusriandi, Hermeneutika Hadis Abou El Fadl dalam Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis,ed. Sahiron
Syamsuddin, Cet.I, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2010), hlm. 413.
8
Abdul Majid, Hermeneutika Hadis Gender (Studi Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl dalam Buku
Speaking in God’s Name : Islamic Law, Authority and Women), Jurnal al-Ulum Vol.13 No.2 Desember 2013,
hlm. 296.
dan talk show di televisi dan radio, seperti CNN, NBC, PBS, NPR, dan VOA.
Belakangan ia banyak memberikan komentar tentang isu otoritas, terorisme, toleransi
dan hukum Islam.
Dalam dunia pemikiran Islam, ia menulis sejumlah buku antara lain: speaking
in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women (Oneword Press, Oxford, 2001),
Rebellion and Violence in Islamic Law (Cambridge University Press, 2001), and God
Knows the Soldierrs: The Authoritative and Aunthoritarian in Islamic Discoursees
(UPA/Rowman and Littlefield, 2001), Islam and the Challenge of Democracy
(Princenton University Press, 2004), The Place of Tolerance in Islam (Beacon Press,
2002), Conference of the Books: The Search for Beauty in Islam (University Press of
Amerika/Rowman and Littlefield, 2001), the Great Theft (New York : Harper
Sanfransisco, 2005).9
Pada masa remaja, Kaled masuk dalam anggota gerakan puritan Wahabi yang
tumbuh pesat di ligkungannya. Tetapi, keluarga Khaled termasuk keluarga yang
terbuka pemikirannya. Mereka menawarkan berbagai khazanah keilmuan Islam dari
berbagai aliran kepada Khaled. Hal itu, yang membuat Khaled terpacu untuk mencai
wawasan keilmuan yang lebih luas.
Kesadaran tentang pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin
berkembang ketika ia belajar di Madrasah Al-Azhar pada usia 6 tahun, sekitan tahun
1989 M. Tanda-tanda kemoderatan Khaled mulai terlihat seiring kedewasaanya.
Gurunya di Al-Azhar menganjurkan ia untuk belajar dan mengambil jalan moderat.
Pada saat itu, Ruang untuk berkembang di Mesir tidak terlalu sesak dibandingkan
Kuwait. Akhirnya, ia berfikiran bahwa kekuasaan yang represif dan otoriter tidak
akan pernah menghasilkan kemajuan untuk berfikir atau pencerahan intelektual
kepada masyarakatnya.10
D. Konsep Otoritas dan Otoritarianisme menurut Khaled M. Abou El Fadl
Khaled dalam bukunya Atas Nama Tuhan: Dari fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif yang merupakan terjemahan dari Speaking in God’s Name: Islamic Law,
Authorithy and Woman, ia menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk
membangun gagasan tentang otoritas otoritarian dalam Islam. Pembahasan otoritas
merupakan sesuatu yang penting bagi Khaled Abou El Fadl, karena tanpa otoritas

9
Mohammad Muslih, Membongkar Logika Penafsir Agama, dalam Jurnal Tsaqafah, Vol.5 No.2
Dhulqa’dah 1430, hlm.436-437.
10
Kurdi, dkk, Hermeneutika,... hlm. 267-268.
maka yang terjadi adalah beragama secara subjektif, relatif dan individual. Karena itu
perlu adalanya hal-hal yang baku dalam agama.
Sebelum mengkaji lebih mendalam tentang proses terbentuknya pemegang
otoritas menurut Khaled, ada baiknya kita mengetahui definisi dari otoritas. Secara
difinitif istilah otoritas sulit dijelaskan karena mengandung terdapat ambiguitad dan
kompleksitas penggunaan istilah yang ditujukan dalam berbagai aktivitas sosia yang
beragam. Secara umum, sifat dasar dari otoritas adalah menempatkan kemampuan
untuk membuat pihak lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai
dengan keinginan pihak yang memiliki otoritas.11
Khaled membagi otoritas menjadi 2 yaitu otoritas koersif dan otoritas
persuasif. Otoritas koersif merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang
lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam dan menghukum,
sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis
mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. Maksudnya kemampuan
untuk mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan.
Otoritas persuasif melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif. Ia merupakan
keahlian untuk mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar
kepercayaan.
Menurut Friedman, ia berpendapat “memangku otoritas” berbeda dengan
“memegang otoritas”. Memangku otoritas adalah menduduki jabatan resmi atau
struktural yang memberinya kekuasaan untuk mengeluarkan perintah dan arahan.
Menurut Khaled, seseorang bisa saja berbeda pendapat dengan orang yang memangku
otoritas namun ia tidak memiliki pilihan lain kecuali menaatinya. Kesadaran
pribadinya tidak terpengaruh dengan ketundukannya terhadap mereka yang
memangku otoritas. Alasannya yaitu bahwa kesadaran individu dipandang tidak
relevan karena adanya pengakuan bahwa mereka yang memangku otoritas harus
ditaati. Singkatnya, kita bisa berbeda pendapat dengan sebuah perintah, tapi
bagaimanapun juga kita harus taat terhadap perintah tersebut karena kita mengakui
otoritas orang tersebut.12
Sedangkan “pemegang otoritas” adalah suatu otoritas yang didapatkan tidak
karena jabatan struktural ataupun paksaan tetapi karena kapabilitas dan akseptabilitas

11
Kurdi, dkk, Hermeneutika,... hlm. 268-269.
12
Khaled M. Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Woman, terj. R.
Cecep Lukman Yasin, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2004), hlm. 37-38.
seseorang yang akhirmya memunculkan kesadaran orang lain untuk menerimanya.
Dalam hal ini, seseorang meninggalkan pendapat pribadinya karena tunduk pada
pemegang otoritas yang dipandang memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, atau
pemahaman yang lebih baik. Menguti perkataan Friedman, “Pengetahuan khusus
semacam itu yang menjadi alasan ketudukan orang awam terhadap ucapan-ucapan
pemegang otoritas, meskipun dia tidak memahami dasar argumen tersebut.13
Secara sintesis Khaled, menganggap “memangku otoritas” Friedman adalah
otoritas koersif, karena orang memiliki jabatan struktural ditaati karena mempunyai
kekuasaan yang bersifat memaksa. Sementara otoritas persuasif sejalan denga
ungkapan “memegang otoritas” dengan memegang otoritas atau menjadi otoritatif
melibatkan unsur kepercayaan dan setiap prilaku dapat memelihara kepercayaan
tersebut, termasuk memberikan argumen persuasif, akan melanggengkan dan
meningkatkan otoritas semacam ini.
Menurut Abou El-Fadl, otoritas persuasif atau “pemegang otoritas” tidak
melibatkan penyerahan secara total atau penyerahan otonomi tanpa adanya syarat.
Kenyataannya penyerahan otonomi secara total sering berubah menjadi otoritas
koersif contohnya orang yang dalam keadaan terhipnotis.14
Kemudian otoritarianisme menurut Khaled Abou El Fadl adalah tindakan
mengunci atau mengurung kehendak Tuhan, atau kehendak teks, dalam sebuah
penetapan tertentu dan kemudian menyajikan penetapan tersebut sebagai sesuatu yang
pasti, absolut, dan menentukan. Selain itu, otoritarianisme juga diartikan sebagai
tindakan melampaui kekuasaan yang dimandatkan sedemikian rupasehingga
menyelewengkan atau mengambil alih mandat tersebut.15
Dalam konteks Islam, otoritarianisme merupakan perilaku yang sama sekali
tidak berpegang para prasyarat pengendalian diri dan melibatkan klaim palsu yang
dampaknya adalah penyelewengan hak Tuhan. Otoritarianisme merupakan
pengabaian terhadap realitas ontologis Tuhan dan pengambil alihan kehendak Tuhan
oleh wakil Tuhan sehingga wakil tersebut secara efektif kemudian mengacu pada
dirinya sendiri. Dalam pergerakan sosok yang otoriter, perbedaan antara seorang
wakil dan kehendak Tuhannya menjadi tidak jelas dan kabur.16
E. Hermeneutika Khaled M. Abou El Fadl

13
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan,... hlm. 38.
14
Kurdi, dkk, Hermeneutika,... hlm. 43.
15
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan,... hlm. 138-139.
16
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan,... hlm. 204-205
Hermeneutika dalam studi keislaman tidak terlalu populer dan untuk sebagian
kalangan tertentu justru cenderung dihindari. Jangankan menggunakan dan
menerapkannya dalam kajian-kajian akademik tentang kehidupan sosial-keagamaan,
mendengar istilah hermenutik pun orang sudah antipati. Macam-macam konotasi yang
dilekatkan orang terhadap hermeneutik. Yang paling mudah diingat adalah predikat
relativisme atau istilah yang populer digunakan di tanah air adalah pendangkalan
akidah. Sebagian lain dikaitkan dengan pengaruh kajian Biblical Studies di
lingkungan Kristen yang hendak diterapkan dalam kajian al-Qur’an di lingkungan
Islam.
Kata “hermeneutika”, secara etimologi berasal dari istilah Yunani, dari kata
kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia,
“interpretasi. Kata Yunani hermeios mengacu pada seorang pendeta bijak, Delphic.
Kata hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda
hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal.17
Hermeneutika yang coba Khaled hadirkan bersifat inter dan multidisipliner,
lantaran melibatkan berbagai pendekatan: linguistik, interpretative social sciences,
literary criticism, selain ilmu-ilmu keislaman yang baku mulai dari musthalah al-
Hadits, Rijal al-Hadits, Fikih, Usul Fikih, Tafsir, Kalam, yang kemudian dipadukan
dengan humaniora kontemporer.18
Salah satu kajian penting hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi
yang pas antara nash (text), penulis atau pengarang (Author), dan pembaca (reader)
dalam dinamika pergumulan penafsiran/pemikiran nash termasuk dalam nash-nash
keagamaan dalam Islam. Perlu disadari, semestinya kekuasaan (otoritas) atas nash
adalah hanya mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhan sajalah (author) yang tahu
persis apa yang sebenarnya Dia kehendaki dan maui dengan firman-firman-Nya
sebagaimana tertuang dalam nash. Manusia sebagai penafsir (reader) hanya mampu
memposisikan dirinya sebagai penafsir atas nash yang diungkapkan Tuhan dengan
segala kekurangan dan keterbatasannya. Dengan demikian, penafsiran yang paling
relevan dan paling benar mestinya hanyalah keinginan dan kehendak si pengarang,
dan bukan terletak di tangan penafsir (reader).
17
Richard E. Palmer, Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, terj.
Mansur Hery & Damanhuri M, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), hlm. 14-15.
18
Lihat Amin Abdullah, Pendekatan Hermenutika dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan, Pengantar
pada Buku Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Cet. I, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2004), hlm. Xvii.
Metode interpretasi yang dikembangkan oleh Khaled adalah interpretasi
dinamis, yaitu proses menggali konteks kekinian dari makna asal sebuah teks, atau
dengan kata lain membahas dampak dan kedudukan penting dari makna asal sebuah
teks. Dalam hal ini mufasir tidak hanya memahami makna awal sebagaimana teks al-
Qur’an diturunkan dalam konteks sosiohistoris. Tetapi lebih dari sekedar itu, mufasir
juga menggali makna teks dalam konteks kekinian. Jadi, mufasir menempuh dua
tahapan yaitu mengenali teks awal dan dijadikan dasar rujukan untuk memaknai teks
dalam konteks kekinian.
Hal ini menjadi sangat prinsip, mengapa mengenali teks awal al-Qur’an harus
diikuti dengan penggalian makna dalam konteks kekinian. Karena dapat dipahami
bahwa al-Qur’an adalah teks historis yang diwahyukan karena kejadian tertentu yang
tidak bisa terlepas dari ruang dan waktu. Untuk mengkaji dinamika antara teks dan
konteks historisnya, idealnya teks harus dibaca dengan sebuah pemahaman yang
akurat tentang kaitannya antara teks dan konteks historisnya.
Dipahami bahwa, al-Qur’an berbicara untuk semua generasi. Maka sudah
barang tentu, bahwa teks al-Qur’an tidak dapat dipahami hanya sebatas konteks
historisnya saja. Hasil pemahaman dan iterpretasi pembaca/penafsir kepada dinamika
teks masa lalu selanjutnya digunakan untuk menganalisa dinamika teks masa yang
akan datang. Secara sederhana, perjalanan makna sepanjang sejarah dari masa lalu
hingga masa sekarang yang melewati beberapa generasi, tradisi dan komonitas
interpretasi merupakan hasil negosiasi antara pengarang, teks dan pembaca.19
Sebenarnya yang menjadi perhatian dalam studi Khaled Abou Al Fadl tidak
jauh berbeda dengan kajian Nasr Hamid Abu Zaid, yaitu tentang penafsiran nash-nash
keagamaan. Salah satu yang terkenal adalah fenoma otoritarianisme dalam tradisi
hukum Islam yang telah dijelaskan sebelumnya. Otoritarianisme yang dimaksud
adalah metodologi hertemenutika (tafsir) yang menaklukkan dan menundukkan
mekanisme memprduksi makna dari nash kepada bacaan yang selektif dan subjektif.
Maka dari itu Khaled membuat tiga syarat penting untuk diterapkan demi
menjaga dan membatasi sikap otoriter dan otoritarian dalam hukum Islam.20
1. Kompetensi
Pertama, kompetensi. Hal pertama yang harus dipertimbangkan terkait
otoritas hadis adalah mengenai kompetensi (kualifikasi) dari teks. Kompetensi

19
Moh. Wardi, Hermeneutika,... hlm. 5-6.
20
Khaled M Abou El Fadl, Atas Nama…, hlm. 50-51.
terkait dengan kualifikasi sumber rujukan, artinya bagaimana mengetahui bahwa
suatu perintah adalah benar-benar datang dari Tuhan dan Nabi-Nya. Teks-teks
yang memiliki kompetensi dinilai otoritatif, sedangkan yang tidak memiliki
kompetensi tidak dinilai sebagai otoritatif dan mewakili suara Tuhan dan Nabi.
Bagi kaum Muslim, sumber yang paling meyakinkan untuk mengetahui
kehendak Tuhan adalah al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai teks yang mengklaim
memuat kehendak Tuhan, maka perlu dilakukan uji kualifikasi atas al-Qur’an dan
Sunnah. Dalam uji kualifikasi ini, menurut Khaled seseorang harus membuat
asumsi-asumsi berbasis iman bahwa al-Qur’an bersifat abadi dan terpelihara
kemurniannya. Kompetensi al-Qur’an dengan demikian tidak bisa diganggu
gugat. Sejauh menyangkut al-Qur’an, pertanyaan yang relevan bukanlah apakah
al-Qur’an terpercaya, melainkan adalah bagaimana menentukan maknanaya.21
2. Penetapan Makna
Kedua, penetapan makna. Seperti yang telah dimaklumi Tuhan telah
menggunakan sarana teks untuk menyampaikan kehendak-Nya, sedangkan teks
tidak dapat berbicara sendiri, memerlukan manusia untuk berbicara. Tetapi,
ketika semua berhak berdialog dengan teks tanpa kewewenangan, tidak ada yang
dapat menjamin teks tersebut ditafsirkan sebebasbebasnya dan subjektifitas.
Untuk menghindari hal tersebut, Khaled berusaha obyektif mengasumsikan ketika
bahasa dijadikan media melalui teks maka perlu kehati-hatian dalam menentukan
makna teks tersebut. Khaled memberikan salah satu perumpamaan terkait
problem penggunaan simbol bahasa, dia menjelaskan jika dia menggambar
sebuah sketsa manusia. Beberapa orang mungkin akan mengaitkan itu dengan
kisah Adam dan Hawa, sementara itu ada juga yang menganggap itu gambar dua
orang yang jatuh cinta atau bisa jadi ada orang yang menganggap bahwa sang
penggambar sedang kebosanan dan kesepian mengharapkan pasangan.22
3. Perwakilan
Ketiga, Perwakilan, menurut Khaled ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh orang yang merasa diri sebagai wakil Tuhan. Syarat-syarat tersebut
adalah:

21
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan,... hlm. 128.
22
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan,... hlm. 133.
a. Kejujuran (honesty), yaitu sikap tidak berpura-pura memahami apa yang
sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terus terang tentang sejauh mana
ilmu dan kemampuannya dalam memahami kehendak Tuhan.
b. Kesungguhan (diligence), yaitu upaya keras dan hati-hati karena bersentuhan
dengan hak orang lain, harus dihindari sikap yang dapat merugikan hak orang
lain. Semakin besar pelanggaran terhadap orang lain, semakin besar pula
pertanggungjawaban di sisi Tuhan.
c. Keseluruhan (comprehensiveness), yaitu upaya untuk menyelidiki kehendak
Tuhan secara menyeluruh dan mempertimbangkan semua nash yang relevan.
d. Rasionalis (reasonableness), yaitu upaya penafsiran dan analisis terhadap nash
secara rasional.
e. Pengendalian diri (self-restraint), yaitu tingkat rendah hati dan pengendalian
diri yang layak dalam menjelaskan kehendak Tuhan.23

Selain lima hal di atas, Khaled Abou Al Fadl mengusulkan agar semua
wilayah tafsir Islam itu dilihat sebagai sebuah work in movement. Istilah itu
sebenarnya ia pinjam dari Umberto Eco. Yang dimaksud dengan istilah itu adalah
semua nash pada dasarnya terbuka untuk berbagai penafsiran dan pemahaman.
Dengan kata lain, nash selalu terbuka dari gerakan yang dinamis. Hukum Islam jika
ingin bertahan harus diperlakukan sebagai nash yang senantiasa terbuka.
Dalam posisi tersebut, nash akan berbicara dengan suara yang diperbaharui
kepada generasi pembaca yang baru karena maknanya tidak dipastikan dan selalu
berkembang. Seorang pembaca akan senantiasa kembali kepadanya karena dengan ini
dia akan mendapatkan masukan dan penafsiran yang baru dan segar. Jika nash
tertutup, tidak banyak gunanya untuk membaca nash. Penutupan nash seperti tersebut
di atas akan terjadi jika pembaca menganggap makna nash sudah dibatasi, final, tidak
bisa berubah dan stabil. Hal itu dirasa berbahaya oleh Khaled. Menurut Khaled,
menutup sebuah nash adalah sebuah arogansi. Dengan cara demikian, seorang
pembaca sedang mengklaim bahwa pengetahuan diri mereka telah sama dengan
pengetahuan Tuhan.24
F. Contoh Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl

23
Khaled M Abou El Fadl, Atas Nama…, hlm. 99-104.
24
Khaled M Abou El Fadl, Atas Nama…, hlm. 37.
Banyaknya monopoli kebenaran atau lebih sempit lagi monopoli tafsir yang
dicirikan dengan sikap menganggap tafsir kelompoknya sajalah yang paling benar,
sikap intoleran, penafsiran yang cenderung harfiah dan tidak memperhitungkan
Maqasid Asy-Syariah, anti rasional dan Barat mendorong Khaled untuk turun tangan
meluruskan berbagai penyimpangan sikap dan pendirian kelompok tersebut. Dalam
bukunya Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Woman, Khaled
melakukan sejumlah kritik dan keberatan terhadap fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh
CRLO (Council for Scientific Research and Legal Opinion/ Lajnah al-Da’imah li al-
Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’), yaitu sebuah lembaga pengkajian ilmiah dan fatwa
yang merupakan lembaga resmi di Arab Saudi yang fatwa-fatwanya ia menilai sering
bias gender dan merendahkan wanita.25 Penafsiran yang bias gender dirasakan janggal
dan mengganggu, khususnya bagi muslimah minoritas di AS dan Negara Eropa
lainnya.
Berikut ini pemikiran Khaled Abou Al Fadl atas fatwa CRLO:
1. Fatwa CRLO mengenai Larangan Bagi Perempuan yang Bepergian Sendiri
Beberapa orang meminta fatwa menanyakan mengenai apakah seorang
perempuan dibenarkan mengadakan perjalanan tanpa ditemani saudara laki-
lakinya (mahram), baik perjalanan tersebut untuk kepentingan pribadi atau untuk
menunaikan ibadah haji. Dalam konteks persoalan tersebut, seorang perempuan
bertamya, jika suaminya terluka akibat sebuah kecelakaan dan ia diminta untuk
menjenguknya, apakah ia diperbolehkan pergi sendirian tanpa ditemani saudara
laki-lakinya selama dalam perjalanan.
Jawaban dari anggota CRLO adalah bahwa dalam kondisi apapun seorang
perempuan tidak dibenarkan melakukan perjalanan lebih dari delapan puluh
kilometer tanpa ditemani seorang mahram. Para ahli hukum itu mengutip sebuah
hadits yang berbunyi, “tidak dibenarkan bagi seorang perempuan yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya untuk bepergian sejauh satu perjalanan (menurut
versi yang lain tiga hari perjalanan) tanpa ditemani seorang mahram”. Walaupun
sarana transportasi itu berupa jasa penerbangan nonstop, pesawat itu bisa saja
mengubah jalur penerbangannya karena kondisi darurat. Para ahli hukum di
CRLO kemudian menyatakan bahwa karena kemungkinan menimbulkan fitnah,
maka dari itu perempuan sebaiknya tidak bepergian jauh tanpa ditemani oleh

25
Amin Abdullah, Pendekatan,... hlm. ix.
mahramnya. Hal penting dalam persoalan ini adalah bahwa CRLO menyajikan
penetapan mereka sebagai ketentuan hukum Islam tanpa memberikan penjelasan
yang menyeluruh.
Mayoritas ahli hukum klasik, termasuk Sa’id ibn Jubayr (w. 95 H/714 M),
Malik ibn Anas (w. 179 H/796 M), al-Awza’I (w. 157 H/774 M), dan al-Syafi’i
(w. 204 H/820 M), mereka menyatakan bahwa masalahnya tidak mengenai ada
atau tidaknya seorang mahram yang menemani, tapi lebih berkaitan dengan soal
keamanan. Perempuan perlu melakukan perjalanan karena alasan bisnis, urusan
keluarga atau kepentingan keagamaan, seperti malakukan ibadah haji. Sebab
operatif (‘illah) dari keharusan adanya mahram adalah karena keamanan yang
tidak terjamin. Oleh karena itu, jika keamanan bisa dijamin melalui berbagai
sarana, seorang boleh bepergian sendirian atau bersama perempuan lain. Ahli
hukum lainnya membuat penetapan faktual bahwa pertimbangan risiko bepergian
hanya berlaku dalam pelaksanaan ibadah haji. Namun, sekelompok ahli hukum
lainnya mempertimbangkan risiko tersebut berdasarkan alasan yang berbeda.
Mereka menyatakan bahwa jika perempuan tersebut sudah berusia lanjut,
sehingga tidak dikhawatirkan akan diculik oleh orang jahat, ia boleh bepergian
sendiri. Tapi jika perempuan itu masih muda, sehingga risikonya sangat tinggi,
maka kehadiran seorang mahram diperlukan.26
Singkatnya, dengan menganalisis seluruh bukti, yang mencakup fakta
bahwa pada masa Nabi, perempuan biasa melakukan perjalanan sendirian ketika
situasi dan kondisinya dinilai aman. Hal penting dari persoalan ini adalah
menyatakan bahwa hukum Islam mewajibkan seorang perempuan untuk ditemani
mahramnya selama melakukan perjalanan dalam kondisi apapun adalah sebuah
sikap yang tidak cermat. Jika kita ditanya tentang perempuan yang ingin
mengunjungi suaminya yang terluka, atau seorang laki-laki yang ingin berjumpa
dengan isteri dan anaknya, apakah mereka merasa dikhianati oleh sikap para
wakil khusus yang menutup-nutupi ketentuan yang berbeda dalam tradisi hukum,
maka jawabannya pasti positif. Namun, selain reaksi dari para wakil umum
tersebut, kita bisa memastikan bahwa para wakil khusus itu telah melampaui
batas kewenangan otoritas yang mereka emban.27
2. Larangan Bagi Wanita Mengendarai Mobil

26
Khaled M Abou El Fadl, Atas Nama…, hlm. 271.
27
Khaled M Abou El Fadl, Atas Nama…, hlm. 272.
Pada himpunan fatwa yang dikeluarkan oleh Ibn Baz dan Ibn Fazwan dan
kemudian dijadikan sebagai hukum negara Arab Saudi, hukum Islam melarang
kaum perempuan untuk mengemudikan mobil. Larangan tersebut juga berlaku
terhadap perempuan yang membawa suaminya yang buta atau ayahnya yang
sudah lanjut usia untuk pergi berekendara, ibn Fawzan memutuskan bahawa
perempuan tersebut tetap dilarang mengemudikan mobil. Menurut CRLO,
seorang perempuan tidak dibenarkan naik mobil bersama orang asing, termasuk
sopirnya sendiri. Maka, prempuan harus memiliki mobil antar jemput langganan
atau ditemani seorang mahram.
Memang tidak ada ketentuan khusus dari tuhan mengenai perempuan
mengemudikan transportasi tapi banyak perempuan yang menunggang unta atau
kuda pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya. Kenyatan bahwa Ibn Baz dan
ahli hukum lainnya melupakan fakta sejarah. Jika tidak ada sumber tekstual
tentang persoalan tersebut, tetap fakta sejarah berlawanan dengan pendapat ibn
Baz. 28
Pendapat Ibn Baz bertumpu pada persoalan dikhawatirkan terjadi Ikhtilath
(Berbaurnya kaum laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya
dalam satu tempat) dan Khalwah (berkumpulnya seorang laki-laki dan perempuan
dalam satu tempat). Inti dari fatwa Ibn Baz yaitu kemandirian dan mobilitas
dalam berkendara akan menimbulkan kerugian bagi kehidupan moral dan sosial
perempuan.
Ibn Fawzan menambahkan penetapan faktual lain yaitu mobil yang
dikendarai perempuan bisa saja mengalami kerusakan atau kecelakaan, sehingga
akan mengancam jiwa perempuan. Dengan alasan bahwa perempuan berwatak
emosional dab memiliki kemampuan intelektual yang terbatas, sehingga bisa
membahayakan bagi dirinya dan orang lain. Dalam hal ini Ibn Fawzan memakai
kaidah sadd adz-dzari’ah yang artinya menutup jalan. Secara terminologi kita
dibenarkan mencegah sesuatu yang merugikan sebelum menimpa kita. Misalnya
kita diperbolehkan menggali lubang, tapi jika orang lain terperosok di dalamnya,
maka menggali lubang menjadi haram. Konsep sadd adz-dzari’ah merupakan sisi
lain konsep mashalih al-mursalah dalam tradisi hukum Islam. Menurut konsep
mashalih al-mursalah semua hal yang diperlukan untuk mencapai sebuah

28
Khaled M Abou El Fadl, Atas Nama…, hlm. 280-281.
kebaikan adalah hal yang baik dan benar. Kedua konsep tersebut dapat
dimanfaatkan untuk sebuah kepentingan seperti ahli hukum liberal menggunakan
konsep mashalih al-mursalah ketika mereka ingin membenarkan penetapan
apapun yang dipandang mereka baik, sementar konsep sadd adz-dzari’ah
digunakan oleh ahli hukum konservatif ketika mereka menolak perubahan sosial
dan politik yang mereka pandang tidak baik.
Oleh karena itu kebanyak ahli hukum madzhab Syafi’i dan Hanafi
menolak konep sadd adz-dzari’ah sebagai dasar hukum. Mereka berargumen
bahwa sebagai sebuah perangkat metodologis, konsep tersebut berbahaya karena
tidak memiliki landasan moral yang kuat. Para ahli hukum Maliki dan Hanbali
mengakui konsep tersebut dengan sejumlah syarat. Singkatnya tindakan yang
dipandang terlarang menurut konsep sadd adz-dzari’ah harus merupakan
tindakan yang dipastikan akan menimbulkan keburukan yang harus dihindari.
Harus ada sebuah asumsi yang kuat antara tindakan yang dilarang dan keburukan
yang hendak dihindari dan asumsi tersebut harus mencapai tingkat pasti atau
memiliki dugaan yang kuat.29
Menurut Khaled, perbedaan antara metodologi yang agak hati-hati dan
terkendali tersebut dan pendekan CRLO jelas sekali. Para ahli hukum CRLO
tampaknya berasumsi bahwa segala sesuatu yang diduga akan memunculkan hal
yang merugikan haruslah dilarang. Jika diterapkan secara jujur, metodologi yang
dituntun oleh kekhawatiran terhadap keburukan yang bersifat spekulatif akan
membuahkan hasil yang janggal. Menurut Khaled, ia mengakui dan percaya
bahwa fatwa-fatwa tersebut memperlihatkan sebuah kesan subjektif yang disusun
secara tiak sistematis, bersifat janggal dan bersidaft empiris dan fatwa-fatwa
tersebut memperlihatkan kecenderungan yang sangat kuat untuk menganggap
sepele penderitaan dan kesulitan yang dihadapi kaum perempuan. Menurutnya,
perempuan tidak seharusnya mengalami pengucilan dan pembatasan hanya
karena kekhawatiran bahwa laik-laki akan terjerumus pada godaan yang bersifat
sementara.30
G. Kesimpulan
1. Khalid Abou Al Fadl lahir pada tahun 1963 di Kuwait, tumbuh dan besar di
Kuwait dan mesir. Sejak kecil, Ia terdidik dengan ilmu-ilmu keislaman. Ia

29
Khaled M Abou El Fadl, Atas Nama…, hlm. 281-283.
30
Khaled M Abou El Fadl, Atas Nama…, hlm. 284-285.
merupakan seorang penulis prolific dalam tema universal moralitas dan
kemanusiaan, Khaled juga dikenal sebagai pembicara publik terkemuka. Dia
aktif dalam berbagai organisasi HAM, seperti Human Rights Watch dan
Lawyer’s Committee for Human Rights. Di tengah-tengah kesibukannya ia
diundang ke seminar, simposium, lokakarya dan talk show di televisi dan
radio, seperti CNN, NBC, PBS, NPR, dan VOA. Belakangan ia banyak
memberikan komentar tentang isu otoritas, terorisme, toleransi dan hukum
Islam.
2. Khaled membagi otoritas menjadi 2 yaitu otoritas koersif dan otoritas
persuasif. Otoritas koersif merupakan kemampuan untuk mengarahkan
perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan,
mengancam dan menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan
berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain
kecuali harus menurutinya. Sedangkan, Otoritas persuasif melibatkan
kekuasaan yang bersifat normatif yaitu suatu otoritas yang didapatkan tidak
karena jabatan struktural ataupun paksaan tetapi karena kapabilitas dan
akseptabilitas seseorang yang akhirmya memunculkan kesadaran orang lain
untuk menerimanya. Sedangkan, otoritarianisme menurut Khaled Abou El
Fadl adalah tindakan mengunci atau mengurung kehendak Tuhan, atau
kehendak teks, dalam sebuah penetapan tertentu dan kemudian menyajikan
penetapan tersebut sebagai sesuatu yang pasti, absolut, dan menentukan.
3. Pemikiran Hermeneutik Khaled Abou El Fadhl bertumpu dari permasalah
otoritarianisme. Ia merumuskan relasi antara nash (text), penulis atau
pengarang (Author), dan pembaca (reader). Untuk mencegah tindakan
otoritarianisme Khaled memberikan tiga syarat dalam hukum Islam yaitu
Kompetensi, Penetapan Makna, Perwakilan.
4. Kritik Khalid terhadap fatwa keagamaan CRLO adalah mengenai pelarangan
bagi seorang perempuan untuk melakukan perjalanan, CRLO meberikan fatwa
wajib agar perjalanan tersebut ditemani oleh mahramnya. Menurut Khalid,
perjalanan tersebut boleh dilakukan dalam keadaan sendirian ketika situasi dan
kondisinya dinilai aman. Khalid menyatakan bahwa hukum Islam mewajibkan
seorang perempuan untuk ditemani mahramnya selama melakukan perjalanan
dalam kondisi apapun adalah sebuah sikap yang tidak cermat sebagaimana
fatwa CRLO. Selain itu kritik yang lain terhadap CRLO yaitu mengenai
larangan wanita mengendarai mobil. CRLO berkata bahwa perempuan haram
mengendari mobil. Menurut Khaled, fatwa tersebut memiliki kecenderungan
yang sangat kuat untuk menganggap sepele penderitaan dan kesulitan yang
dihadapi kaum perempuan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Abdullah, Amin, Pendekatan Hermenutika dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan, Pengantar
pada Buku Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Cet. I, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2004)
E. Palmer, Richard, Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and
Gadamer, terj. Mansur Damanhuri M & Hery, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai
Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010)

El Fadl, Khaled M. Abou, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Woman,
terj. R. Cecep Lukman Yasin, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004)

Yusriandi, Hermeneutika Hadis Abou El Fadl dalam Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis,ed.
Sahiron Syamsuddin, Cet.I, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2010)

Jurnal:

Majid, Abdul, Hermeneutika Hadis Gender (Studi Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl dalam
Buku Speaking in God’s Name : Islamic Law, Authority and Women), Jurnal al-Ulum Vol.13
No.2 Desember 2013

Muslih, Mohammad, Membongkar Logika Penafsir Agama, dalam Jurnal Tsaqafah, Vol.5
No.2 Dhulqa’dah 1430

Nasrullah, Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el Fadl: Metode Kritik atas Penafsiran
Otorianisme dalam Pemikiran Islam, dalam Jurnal Hunafa, Vol.5 No.2, Agustus 2008

Syarifudin, Hermeneutika Khaled Abou El Fadl, dalam Jurnal Substantia, Vol. 17 No. 2
Oktober 2015

Wardi, Moh., Hermeneutika Khaled Abou El Fadl: Sebuah Kontribusi Pemikiran dalam Studi
Islam, Al-Ulum, Vol. 1, No, 1, 2014

Skripsi:

Skripsi Ahmad Zayyadi, Teori Hermeneutika Khaled M. Abou el-Fadhl dan Nashr Hamid
Abu-Zaid dalam Intrepetasi Konsep Otoritas Hukum Islam, Fakutas Syariah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta tahun 2007

You might also like