You are on page 1of 18

Bab 7 KEWAJIBAN

Pengertian
FASB mendefinisi kewajiban dalam rerangka konseptualnya sebagai berikut (SFAC No.
6,prg. 35):

(Kewajiban adalah pengorbanan manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang
timbul dari keharusan sekarang suatu kesatuan usaha untuk mentransfer aset atau
menyediakan/menyerahkan jasa kepada kesatuan lain di masa datang sebagai akibat transaksi atau
kejadian masa lalu.)
Dengan makna yang sama, IASC mendefinisi kewajiban sebagai berikut:
A liability is a present obligation of the enterprise arising from past events, the settlement of
which is expected to result in an outflow from the enterprise resources embodying economic benefit.

Dalam Statement of Accounting Concepts No. 4, Australian Accounting Standards Board


(AASB) mendefinisi kewajiban sebagai berikut (prg. 12):
Liabilities are the future sacrifices of service potential or future economic benefits that the
entity is presently obliged to make to other entities as a result of past transaction or other past
events.

Definisi FASB digunakan sebagai basis pembahasan dalam bab ini karena definisi tersebut
cukup lengkap secara semantik. Artinya definisi tersebut telah mencakupi berbagai gagasan atau kata
kunci yang terkandung dalam beberapa definisi kewajiban oleh sumber-sumber yang lain. Definisi
IASC dan AASB secara substantif tidak berbeda dengan definisi FASB.

Dengan berbagai variasi di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa kewajiban mempunyai
tiga karakteristik utama yaitu:
(a) pengorbanan manfaat ekonomik masa datang
(b) keharusan sekarang untuk mentransfer aset
(c) timbul akibat transaksi masa lalu.

Seperti aset, karakteristik (a) merupakan kriteria utama dan lebih memuat aspek semantik
sedangkan kriteria (b) dan (c) lebih memuat aspek struktural pengakuan.

Pengorbanan Manfaat Ekonomik


Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu objek harus memuat suatu tugas (duty) atau
tanggungjawab (responsibility) kepada pihak lain yang mengharuskan kesatuan usaha untuk
melunasi, menunaikan, atau melaksanakannya dengan cara mengorbankan manfaat ekonomik yang
cukup pasti di masa datang. Diwujudkan dalam bentuk transfer atau penggunaan aset kesatuan usaha.
Cukup pasti di masa datang mengandung makna bahwa jumlah rupiah pengorbanan dapat ditentukan
dengan layak. Demikian juga, saat pengorbanan manfaat ekonomik dapat ditentukan atas dasar
kejadian tertentu atau atas permintaan pihak lain (on demand).

1
Keharusan Sekarang
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu pengorbanan ekonomik masa datang harus
timbul akibat keharusan (obligations atau duties) sekarang. Pengertian “sekarang” (present) dalam
hal ini mengacu pada dua hal: waktu dan adanya. Waktu yang dimaksud adalah tanggal pelaporan
(neraca). Artinya, pada tanggal neraca kalau perlu atau kalau dipaksakan (secara yuridis, etis, atau
rasional) pengorbanan sumber ekonomik harus dipenuhi karena keharusan untuk itu telah ada.

Keharusan kontraktual adalah keharusan yang timbul akibat perjanjian atau peraturan
hukum yang di dalamnya kewajiban bagi suatu kesatuan usaha dinyatakan secara eksplisit atau
implisit dan mengikat. Kewajiban ini muncul karena aspek hukum sebagai lingkungan eksternal
yang tidak dapat dihindari (unavoidable) dan yang dapat memaksakan secara hukum untuk
memenuhinya (legally enforceable). Penghindaran kewajiban dari keharusan kontraktual
menimbulkan sanksi atau hukuman (penalty).

Keharusan konstruktif adalah keharusan yang timbul akibat kebijakan kesatuan usaha
dalam rangka menjalankan dan memajukan usahanya untuk memenuhi apa yang disebut praktik
usaha yang baik (best business practices) atau etika bisnis (business ethics) dan bukan untuk
memenuhi kewajiban yuridis. Menimbulkan kewajiban karena kesatuan usaha sengaja memberi,
mengkonstruksi, atau membentuk hak bagi pihak lain (misalnya, pemasok, pegawai, atau perusahaan
lain) tanpa harus melalui perjanjian tertulis yang disepakati kedua pihak.

Keharusan demi keadilan adalah keharusan yang ada sekarang yang menimbulkan
kewajiban bagi perusahaan semata-mata karena panggilan etis atau moral daripada karena peraturan
hukum atau praktik bisnis yang sehat. Keharusan ini muncul dari tugas (duties) kepada pihak lain
untuk melaksakan sesuatu yang dipandang wajar, adil, dan benar menurut hati nurani (conscience)
dan rasa keadilan (sense of justice). Tidak ada sanksi hukum untuk tidak memenuhi keharusan ini
tetapi kewajiban ini mengikat lantaran sanksi sosial atau moral.

Keharusan bergantung atau bersyarat adalah keharusan yang pemenuhannya (jumlah


rupiahnya atau jadi-tidaknya dipenuhi) tidak pasti karena bergantung pada kejadian masa datang atau
terpenuhinya syarat-syarat tertentu di masa datang.

Kebergantungan (contingency) adalah suatu kondisi, situasi, atau serangkaian keadaan yang
melibatkan ketidakpastian (uncertainty) yang menyangkut laba (gain contingency) atau rugi (loss
contingency) yang mungkin terjadi. Munculan (outcome) yang harus dikonfirmasi dengan kejadian
atau syarat masa datang untuk kedua kebergantungan tersebut adalah:
(a) Yang berkaitan dengan kebergantungan laba: pemerolehan aset versus tidak atau
pengurangan suatu kewajiban versus tidak, atau
(b) Yang berkaitan dengan kebergantungan rugi: hilangnya atau turunnya nilai suatu aset
versus tidak atau timbulnya suatu kewajiban versus tidak.

Keharusan bergantung merupakan salah satu bentuk kebergantungan yang berkaitan dengan
rugi (loss contingency). Selanjutnya FASB menjelaskan bahwa bila terdapat kebergantungan rugi,
kemungkinan atau kebolehjadian (likelihood) bahwa suatu atau beberapa kejadian masa datang akan

2
mematikan munculan (b) di atas dapat berkisar dari cukup pasti (probable) sampai jauh dari pasti
(remote) dengan agak pasti (reasonable possible) di antara keduanya yang didefinisi sebagai
berikut:

(a) Cukup pasti. Suatu atau beberapa kejadian masa datang boleh jadi (likely) terjadi.
(b) Agak pasti. Kemungkinan bahwa suatu atau beberapa kejadian masa datang terjadi adalah
lebih dari jauh dari pasti tetapi kurang dari cukup pasti.
(c) Jauh dari pasti. Kemungkinan bahwa suatu atau beberapa kejadian masa datang terjadi
adalah kecil atau tipis.

Akibat Transaksi atau Kejadian Masa Lalu


Kriteria ini sebenarnya menyempurnakan kriteria keharusan sekarang (present obligations)
dan sekaligus sebagai tes pertama (first-test) pengakuan suatu pos sebagai kewajiban tetapi tidak
cukup untuk mengakui secara resmi dalam sistem pembukuan. Untuk mengakui sebagai kewajiban,
selain definisi, kriteria yang lain atau (keterukuran, keberpautan, dan keterandalan) juga harus
dipenuhi. Transaksi atau kejadian masa lalu adalah kriteria untuk memenuhi definisi tetapi bukan
kriteria untuk pengakuan. Jadi, adanya pengorbanan manfaat ekonomik masa datang tidak cukup
untuk mengakui suatu objek ke dalam kewajiban kesatuan usaha untuk dilaporkan via statemen
keuangan.

Transaksi masa lalu yang dimaksud disini adalah transaksi yang menimbulkan keharusan
sekarang telah terjadi. Sebagai contoh, karena perusahaan mendapat pinjaman bank (dengan
kontrak), keharusan sekarang berupa keharusan kontraktual timbul pada akhir periode akuntansi
(berupa pokok pinjaman dan bunga) yang menuntut pengorbanan sumber ekonomik masa datang
(suatu saat setelah akhir dari periode tersebut).

Hak-Kewajiban Takbersyarat
Konsep hak-kewajiban takbersyarat (unconditional right of offset) yang umumnya melekat
pada kontrak. Konsep ini menyatakan bahwa walaupun kontrak telah ditandatangani, salah satu
pihak tidak mempunyai kewajiban apapun sebelum pihak lain memenuhi apa yang menjadi hak
pihak lain. Suatu pihak tidak mempunyai kewajiban apapun kalau dia tidak mendapatkan hak atas
sesuatu yang nyata dari pihak lain (misalnya penguasaan aset). Jadi, konsep hak-kewajiban
takbersyarat menyatakan “tidak ada hak tanpa kewajiban dan sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa
hak.” Secara teknis, konsep ini diartikan bahwa hak atau kewajiban timbul bila salah satu pihak telah
berbuat sesuatu (to perform). Kontrak-kontrak semacam ini dikenal dengan nama kontrak saling-
mengimbangi takbersyarat (unconditionally offsetting contracts) atau kontrak eksekutori (executory
contracts).

Bila seorang pembeli menandatangani order pembelian, pada saat itu pembeli tidak
mempunyai kewajiban apapun sampai barang yang dipesan datang dan dikuasai pembeli walaupun
jenis, kuantitas, harga, waktu pengiriman barang sudah jelas. Dalam hal ini, transaksi atau kejadian
masa lalu bukanlah penandatanganan order pembelian tetapi datangnya dan penerimaan barang.
Sebelum barang datang atau diserahkan, order pembelian bersifat eksekutori.

3
Masalah timbul dalam hal kontrak pembelian yang tidak dapat dibatalkan (purchase
commitment). Ada dua pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama tetap memperlakukan
kontrak tersebut sebagai eksekutori sehingga kewajiban tidak perlu diakui. Alasannya, aset atau
manfaat ekonomik masa datang belum dikuasai secara nyata. Pendapat kedua menganjurkan bahwa
kewajiban diakui pada saat penandatanganan kontrak bersamaan dengan aset (sediaan) yang terlibat.
Alasannya pada saat itu, pada dasarnya ketiga kriteria kewajiban telah dipenuhi.

Untuk dapat menentukan apakah penandatanganan kontrak dengan sendirinya menciptakan


kewajiban yang harus diakui, perlu dipelajari karakteristik dari kontrak tersebut. Penandatanganan
sewaguna dapat menjadi transaksi masa lalu karena pada umunya begitu kontrak ditandatangani
tersewaguna (lessee) dapat menguasai langsung aset yang disewaguna. Dapat tidaknya kewajiban
diakui dalam beberapa kontrak seperti kontrak bonus, kontrak pembekerjaan pegawai, dan
penciptaan dana pension tidak selalu mudah ditentukan.

Transaksi atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menandai saat, titik, atau tanggal
pengakuan hak dan kewajiban dalam suatu kontrak memang sangat pelik. Mengikatnya kontrak tidak
selalu bersamaan dnegan tanggal penandatanganan kontrak. Hukum perikatan atau kontrak juga
cukup kompleks untuk menentukan timbulnya hak dan kewajiban yuridis. Dalam hal kontrak, Most
(1982, hlm.352) menunjukkan bahwa titik atau saat tersebut dapat berupa:
1. Tanggal kontrak ditandatangani.
2. Tanggal objek kontrak telah diperoleh salah satu pihak.
3. Tanggal objek kontrak telah siap digunakan oleh salah satu pihak.
4. Tanggal objek kontrak telah dipisahkan untuk digunakan oleh pihak lain.
5. Tanggal objek kontrak telah diserahkan.
6. Tanggal telah diterima/dibayarnya uang muka, kalau ada.
7. Dalam kasus kontrak konstruksi jangka panjang:
a. Suatu titik selama konstruksi berjalan.
b. Pada saat konstruksi dimulai.

Jadi, saat penentuan transaksi masa lampau perlu dipertimbangkan dengan saksama dengan
memperhatikan kondisi yang melingkupi suatu kontrak. Namum demikian, secara konseptual
diperlukan pedoman atau kriteria untuk memilih saat yang tepat. Selanjutnya, Most mengemukakan
hal yang harus dipertimbangkan untuk memilih saat yang tepat yaitu:
a. Pemenuhan definisi aset dan kewajiban.
b. Kekuatan mengikat (firmness of the commitment) yaitu seberapa kuat bahwa pelaksanaan
kontrak tidak dapat dibatalkan.
c. Kebermanfaatan bagi keputusan.

Karakteristik Pendukung
Selain ketiga karakteristik di atas, FASB menyebutkan beberapa karakteristik pendukung
yaitu keharusan membayar kas, identitas terbayar jelas, dan terpaksakan secara atau berkekuatan
hukum (legally enforceable). Karakteristik pendukung hanya menegaskan adanya kewajiban tetapi
tidak membatalkan suatu objek untuk disebut sebagai kewajiban.

4
Keharusan membayar kas. Pelunasan kewajiban pada umumnya dilakukan dengan
pembayaran kas. Keharusan membayar kas pada waktu dan jumlah rupiah tertentu di masa datang
merupakan petunjuk yang kuat atau jelas mengenai adanya kewajiban. Akan tetapi, untuk menjadi
kewajiban, penyerahan aset (kas) bukan satu-satunya kriteria tetapi meliputi pula penyerahan jasa.
Esensi kewajiban lebih terletak pada pengorbanan manfaat ekonomik masa datang daripada pada
terjadinya pengeluaran kas. Meskipun demikian, adanya pengeluaran kas merupakan hal penting
untuk mengaplikasi definisi kewajiban karena dua hal yaitu: (1) sebagai bukti adanya suatu
kewajiban dan (2) sebagai pengukur atribut atau besanya kewajiban yang cukup objektif.

Identitas terbayar jelas. Bila identitas terbayar sudah jelas, hal tersebut hanya menguatkan
bahwa kewajiban memang ada tetapi untuk menjadi kewajiban identitas terbayar tidak harus dapat
ditentukan pada saat keharusan terjadi. Artinya, untuk menjadi kewajiban pada akhir tahun, pada saat
itu identitas terbayar tidak harus diketahui. Misalnya perusahaan menjanjikan hadiah yang akan
diundi pada awal tahun berikutnya. Pada akhir tahun ini, perusahaan sudah mempunyai kewajiban
meskipun pemenangnya belum tahu. Pengorbanan sumber ekonomik masa datang sudah cukup pasti
dan tidak dapat dihindari tetapi siapa yang dibayar tidak diketahui. Misalnya perusahaan menjanjikan
hadiah yang akan diundi pada awal tahun berikutnya. Pada akhir tahun ini, perusahaan sudah
mempunyai kewajiban meskipun pemenangnya belum tahu. Pengorbanan sumber ekonomik masa
datang sudah cukup pasti dan tidak dapat dihindari tetapi siapa yang dibayar tidak diketahui. Dengan
demikian kewajiban dapat dikatakan telah timbul.

Jadi, yang penting adalah bahwa keharusan sekarang pengorbanan sumber ekonomik di masa
datang telah ada dan bukan siapa yang harus dilunasi atau dibayar. Akan tetapi, pada saat pelunasan
kewajiban, terbayar dengan sendirinya harus teridentifikasi.

Berkekuatan hukum. Memang pada umumnya, keharusan suatu entitas untuk mengorbankan
manfaat ekonomik timbul akibat klaim yuridis (legal claims) yang mempunyai kekuatan memaksa.
Adanya daya paksa yuridis hanya menunjukkan bahwa kewajiban tersebut memang ada dan dapat
dibuktikan secara yuridis material. Meskipun demikian, daya paksa yang melekat pada klaim-klaim
hukum bukan merupakan syarat mutlak untuk mengakui adanya kewajiban. Keharusan melakukan
pengorbanan manfaat ekonomik masa datang tidak harus timbul dari desakan pihak eksternal tetapi
dari minat atau kebijakan internal manajemen. Itulah sebabnya kewajiban mencakupi pengorbanan
sumber ekonomik masa depan yang timbul akibat keharusan konstruktif dan demi keadilan. Klaim
pihak lain seperti utang usaha tidak harus didukung oleh dokumen yang berkekuatan hukum atau
mempunyai daya paksa secara hukum (legally enforceable) untuk memenuhi definisi kewajiban.
Akan tetapi, demi keadilan dan kewajaran, perusahaan harus membayar utang usaha tersebut.
Pendapatan sewa takterhak (unearned rent revenues), laba kotor tangguhan (deferred gross profit),
dan beberapa pos lain yang timbul dalam penyesuaian akhir tahun memenuhi kriteria sebagai
kewajiban meskipun meretia tidak dilandasi oleh daya paksa secara hukum dan bahkan bukan
merupakan keharusan pengorbanan sumber ekonomik.11 Itulah sebabnya, definisi kewajiban APB
memasukkan beberapa pos kredit tangguhan (deferred credits) yang nonkeharusan (nonobligations)
sebagai kewajiban. Laba kotor tangguhan adalah contoh kredit tangguhan yang bukan keharusan. Pos
kredit tangguhan yang merupakan keharusan misalnya adalah kredit pajak tangguhan (deferred tax
credit atau deferred tax liabilities).

5
Pengakuan, Pengukuran, dan Penilaian Pengakuan
Kewajiban diakui pada saat keharusan telah mengikat akibat transaksi yang sebelumnya telah
terjadi. Mengikatnya suatu keharusan harus dievaluasi atas dasar kaidah pengakuan (recognition
rules). Kriteria pengakuan lebih berkaitan dengan pedoman umum dalam rangka memenuhi
karakteristik kualitatif informasi sehingga elemen statemen keuangan hanya dapat diakui bila kriteria
definisi, keberpautan, keterandalan, dan keterukuran dipenuhi. Kriteria umum ini tidak operasioanl
sehingga diperlukan kaidah pengakuan merupakan prosedur aplikasi untuk menandai adanya elemen
dan saat dipenuhinya kriteria pengakuan umum. Kaidah pengakuan berkaitan dengan saat atau apa
yang menandai bahwa kewajiban telah mengikat sehingga suatu kewajiban dapat diakui (dibukukan).
Empat kaidah pengakuan untuk menandai pengakuan kewajiban:
1. Ketersediaan dasar hukum
2. Keterterapan konsep dasar konservatisma
3. Ketertentuan substansi ekonomik transaksi
4. Keterukuran nilai kewajiban

Memicu pencatatan atau pengakuan kewajiban. Dengan kata lain, meretia memberi petunjuk
tentang adanya bukti teknis (technical evidence) untuk mengakui kewajiban.
1. Ketersediaan dasar hukum. Kalau terdapat bukti yuridis yang kuat tentang adanya daya
paksa untuk memenuhi keharusan, jelas tidak dapat disangkal bahwa suatu kewajiban
memang ada. Kaidah ini terkait dengan kualitas keterandalan dan keberpautan informasi.
2. Keterterapan konsep dasar konservatisma. Kaidah ini merupakan penjabaran teknis
kriteria keterandalan. Keadaan-keadaan tertentu yang menjadikan konsep konservatisma
terterapkan dapat memicu pengakuan kewajiban.
3. Ketertentuan substansi ekonomik transaksi. Substansi suatu transaksi dapat memicu
pencatatan seluruh kewajiban yang timbul ketika transaksi terjadi meskipun secara
yuridis/kontraktual kewajiban baru akan mengikat secara berkala pada saat keharusan
sekarang timbul. Kaidah ini berkaitan dengan masalah relevansi informasi.
4. Keterukuran nilai kewajiban. Keterukuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai
kualitas keterandalan informasi. Definisi kewajiban mengandung kata cukup pasti (probable)
yang mengacu tidak hanya pada terjadinya pengorbanan sumber ekonomik masa datang
tetapi juga pada jumlah rupiahnya.

Saat-saat untuk mengakui kewajiban:


a. Pada saat penandatanganan kontrak bila pada saat itu hak dan kewajiban telah mengikat.
Dalam hal kontrak eksekutori, pengakuan menunggu sampai salah satu pihak
memanfaatkan/menguasai manfaat yang diperjanjikan atau memenuhi kewajibannya (to
perform).
b. Bersamaan dengan pengakuan biaya bila barang dan jasa yang menjadi biaya belum dicatat
sebagai aset sebelumnya.
c. Bersamaan dengan pengakuan aset. Kewajiban timbul ketika hak untuk menggunakan barang
dan jasa diperoleh.
d. Pada akhir perioda karena penggunaan asas akrual melalui proses penyesuaian. Pengakuan
ini menimbulkan pos utang atau kewajiban akruan (accrued liabilities).

6
Pengakuan Kewajiban Bergantung
Untuk keharusan bergantung (khususnya rugi bergantung yang menimbulkan kewajiban),
kaidah pengakuan keempat (keterukuran nilai kewajiban) dan pasti tidaknya pengorbanan sumber
ekonomik masa datang akan terjadi menimbulkan masalah pengakuan. Kewajiban kontraktual,
konstruktif, dan demi keadilan dalam beberapa kasus juga bersifat bergantung terutama bila
kewajiban tersebut melibatkan penaksiran jumlah masa datang yang meragukan. FASB memberi
contoh keadaan-keadaan kebergantungan rugi (loss sontingencies) yang berpotensi memicu
pengakuan kewajiban sebagai berikut:
a. Ketertagihan piutang usaha.
b. Keharusan berkaitan dengan jaminan produk dan kerusakan produk.
c. Risiko rugi atau kerusakan properitas (fasilitas) kesatuan usaha akibat kebakaran, ledakan,
dan bahaya lainnya.
d. Ancaman pengambilalihan aset oleh pemerintah.
e. Persengketaan yang memberatkan atau menunggu keputusan.
f. Klaim atau pungutan yang telah diajukan/dikenakan atau yang mungkin (possible) terjadi.
g. Risiko rugi akibat bencana yang ditanggung oleh perusahaan asuransi kerugian dan
kecelakaan dan perusahaan reasuransi.
h. Jaminan terhadap utang pihak lain.
i. Keharusan bank komersial dalam ikatan stanby letters of credits.
j. Perjanjian untuk membeli kembali piutang atau aset yang terkait yang telah dijual.

Rugi potensial yang dapat ditimbulkan oleh keadaan kebergantungan di atas dapat diakui
(dibebankan ke pendapatan) sebelum terlaksananya kejadian yang menjadi syarat terjadinya rugi atau
hanya diakui pada saat diperoleh kepastian tentang status kejadian yang menjadi syarat. FASB
menetapkan bahwa rugi taksiran yang dapat terjadi dari kebergantungan rugi harus diakru (to be
accrued) dengan membebankannya ke pendapatan (sebagai biaya atau rugi) bila kedua kondisi
berikut dipenuhi (SFAS No. 5, prg. 8):
a. Informasi yang tersedia sebelum penerbitan statemen keuangan menunjukkan bahwa suatu
aset cukup pasti telah turun nilainya (impaired). Pada tanggal statemen keuangan harus sudah
dapat disimpulkan bahwa kejadian atau beberapa kejadian, yang menegaskan adanya rugi,
cukup pasti (probable) akan terjadi.
b. Jumlah rupiah rugi dapat diestimasi dengan cukup tepat (reasonably estimated).

Bila kondisi di atas tidak dipenuhi, jumlah rupiah rugi potensial harus tetap diungkapkan
dengan menjelaskan sifat dan implikasi kebergantungan tersebut. Ketentuan tentang dapat diakrunya
rugi potensial sebelum kejadian yang menegaskan terjadi dilandasi oleh interpretasi tentang makna
kewajiban dan aset serta konsep dasar penandingan (matching) dan konservatisma.

FASB berargumen bahwa makna kewajiban relevan untuk mengakui rugi bersyarat. Pertama,
utang adalah keharusan sekarang (present) sehingga kondisi (a) di atas dimaksudkan untuk
mewajibkan pengakuan rugi yang berkaitan perioda-perioda masa datang tetapi memerlukan
pengakruan rugi yang berkaitan dengan perioda sekarang karena rugi tersebut sebenarnya berkaitan
dengan transaksi atau kejadian masa lalu yang telah terjadi (misalnya terjadi gugatan ganti rugi).
Kedua, keharusan sekarang kepada pihak lain (other entities) berupa pengorbanan sumber ekonomik

7
yang cukup pasti (probable) jumlah dan saatnya. Dengan demikian, kondisi (b) konsisten dengan
dan mendukung konsep atau makna kewajiban.

Kondisi (a) dan (b) merupakan argumen atau dasar pikiran untuk mengakui adanya penurunan
kemampuan (impairment) aset. Rugi harus diakui apabila aset telah turun nilainya dan jumlah rugi
dapat ditaksir dengan cukup tepat.

Pengakuan rugi bergantung juga konsisten dengan konsep penandingan. Rugi potensial harus
dikaitkan dengan perioda terjadinya peristiwa yang menimbulkan rugi tersebut. Misalnya, rugi
piutang tak tertagih harus diasosiasi dengan piutang yang menimbulkan rugi tersebut. Rugi akibat
gugatan harus dikaitkan dengan perioda terjadinya gugatan yang mungkin disebabkan oleh transaksi
atau kejadian yang telah terjadi di masa lalu.

Rugi bergantung dapat diakui dengan landasan konsep dasar konservatisma. Tanpa
memperhatikan probabilitas terjadinya hal-hal yang menjadi syarat timbulnya rugi, dalam kondisi
ketidakpastian akuntansi dapat mengambil keputusan atas dasar munculan yang tidak
menguntungkan. Rugi merupakan salah satu munculan dalam kondisi ketidaskpastian sehingga
pengakuan rugi sebelum terjadi dapat dijustifikasi.

Jadi, pengakuan rugi sebelum terjadi dapat dijustifikasi asal kondisi (a) dan (b) di atas
dipenuhi. Argumen yang diajukan di atas lebih difokuskan pada dapat tidaknya rugi potensial diakui
daripada pada timbul tidaknya kewajiban. Pengakuan rugi bergantung tidak selalu disertai dengan
timbulnya kewajiban. Kondisi atau kriteria pengakuan kewajiban bergantung paralel dengan kondisi
pengakuan rugi bergantung.

Pengukuran
Pengukur yang paling objektif untuk menentukan kos kewajiban pada saat terjadinya adalah
penghargaan sepakatan (measured considerations) dalam transaksi-transaksi tersebut dan bukan
jumlah rupiah pengorbanan ekonomik masa datang. Jadi, konsep dasar penghargaan berlaku baik
untuk aset maupun untuk kewajiban. Hal ini berlaku khususnya untuk kewajiban jangka panjang.

Untuk kewajiban jangka pendek, kos penundaan dianggap tidak cukup material sehingga
jumlah rupiah kewajiban yang diakui akan sama dengan jumlah rupiah pengorbanan sumber
ekonomik (kas) masa datang. Dengan kata lain, untuk kewajiban jangka pendek, kos pendanaan
(financing cost) atau kos penundaan (bunga sebagai nilai waktu uang) dianggap tidak material.

Penghargaan sepakatan suatu kewajiban merefleksi nilai setara tunai atau nilai sekarang
(current value) kewajiban yaitu jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonomik seandainya kewajiban
dilunasi pada saat terjadinya. Dengan demikian, basis pencatatan kewajiban adalah nilai setara tunai
bukan nilai nominal utang.

8
Kewajiban Dalam Pembelian Kredit
Dasar pengukuran aset yang paling objektif adalah kos tunai (cash cost) atau kos tunai
implisit (implied cash cost). Karena kewajiban merupakan bayangan cermin aset, pengukurannya
juga mengikuti pengukuran aset.

Diskun dan Premium Utang Obligasi


Nilai normal atau jatuh tempo utang obligasi sering dianggap sebagai jumlah rupiah
kesepakatan pada saat penerbitan obligasi baik bagi penerbit maupun kreditor. Dasar pengukuran
demikian sebenarnya tidak tepat. Untuk suatu kontrak utang dengan ketentuan pembayaran bunga
periodik dan pokok pinjaman pada akhir jangka kontrak, pengukuran jumlah rupiah (kos) utang dan
asset untuk dasar pencatatan pertama kali yang tepat adalah kos tunai implisit.

Dalam hal obligasi jangka panjang, jumlah rupiah uang yang diterima oleh penerbit dan yang
dibayarkan oleh kreditor pada saat penerbitan hanyalah merupakan bagian kecil dari jumlah rupiah
total yang terlibat dalam kontrak obligasi. Jumlah rupiah total ini adalah seluruh jumlah rupiah
pembayaran masa datang (bunga periodik dan nominal obligasi). Pembayaran masa datang ini
sebenarnya terdiri atas dua unsur yaitu (1) nilai sekarang pembayaran bunga periodik dan nilai
sekarang nominal obligasi dan (2) bunga efektif yang terlibat dalam penentuan harga obligasi
tersebut.

Makna Harga Efektif Obligasi


Segera setelah transaksi terjadi maka “kesepakatan” dalam hubungannya dengan obligasi tersebut
mulai menunjukkan makna yang sebenarnya. Dengan telah mulai berjalannya kesepakatan dalam
transaksi obligasi diatas, bunga Rp 100.000 tiap tahun mulai terhimpun dan dibayar secara
periodik sampai jatuh tempo. Bersamaan dengan itu, jumlah rupiah utang obligasi yang mula –
mula tercatat akan berangsur – angsur berubah (bertambah) menuju jumlah rupiah nilai jatuh
tempo atau nominal. Kalau kos utang dan asset dicatat sebesar nominal pada saat terjadinya, jelas
kos tersebut tersaji lebih (overstated). Dalam hal ini, selisih nominal dengan penghargaan sepakat
merupakan diskon obligasi. Bagi penerbit obligasi, perhitungan biaya bunga menjadi tidak
lengkap (tepat) apabila tidak memperhatikan kedua proses di atas (perhitungan bunga periodik
dan akumulasi diskon).

Diskun Obligasi
Diskon utang obligasi pada waktu penerbitan adalah suatu jumlah rupiah debit yang
menunjukkan biaya bunga yang harus dibayar pada tanggal jatuh tempo. Diskon tersebut harus
dilaporkan dalam neraca sebagai pengurang nilai nominal (jatuh tempo) utang obligasi. Jadi, akun
diskon obligasi merupakan akun penilaian (valuation account) terhadap akun utang obligasi yang
memuat nominal utang. Diskon obligasi sebenarnya merupakan bunga yang “belum dibayar”, yaitu
bagian bunga efektif total yang baru akan dibayar pada saat utang obligasi jatuh tempo.

Premium Obligasi
Premium yang dibayarkan investor untuk obligasi merupakan unsur dari jumlah rupiah utang
perusahaan. Bersaman dengan berjalannya waktu mendekati jatuh tempo, jumlah rupiah bagian
utang yang merupakan premium harus diamortisasi secara sistematik dengan cara memisahkan dari

9
penghargaan sepakatan bagian yang diperhitungkan sebagai pembayaran “bunga” periodik. Atas
dasar konsep kontinuitas usaha, premium obligasi yang belum diamortisasi adalah benar-benar
merupakan utang dan jumlah amortisasi periodic adalah merupakan penyesuai (pengurang) terhadap
biaya bunga dan bukannya merupakan elemen pendapatan. Tanpa penyesuaian ini biaya bunga
periodic akan menjadi tersaji lebih (overstated).
Penghargaan kesepakatan sebagai pengukur keharusan sekarang pada saat terjadinya
kewajiban lebih didasarkan pada aspek substansi daripada yuridis. Dari segi yuridis, utang memang
harus diukur sebesar nialai nominalnya karena kalau terjadi likuidasi hak menerima pelunasan yang
melekat pada investor adalah sebesar nominal. Untuk ini telah ditegaskan sebelumnya bahwa
pandagan akutansi tidak harus sejalan dengan pandangan yuridis karena tujuan pengukuran yang
berbeda. Akuntansi mendasarkan diri pada anggapan bahwa perusahaan akan berlangsung terus
(konsep kontinuitas usaha) sehingga pengukuran tidak didasarkan pada keadaan perusahaan
dilikuidasi. Padangan yuridis yang tidak memperhatikan diskun dilandasi konsep pengukuran dengan
asumsi perusahaan dilikuidasi. Dalam keadaan tidak normal seperti likuidasi atau reorganisasi
memang dapat di justifikasi pengukuran dengan menggunakan konsep yang berbeda dengan
akuntansi. Akan tetapi, secara umum akuntansi tidak harus mendasarkan diri pada konsep tersebut.

Kewajiban Moneter dan Nonmoneter


Kewajiban dapat bersifat moneter maupun nonmoneter. Kewajiban moneter adalah kewajiban
yang pengorbanan sumber ekonomik masa datangnya berupa kas dengan jumlah Rupiah dan saat
yang pasti (baik jumlah tunggal maupun beberapa pembayaran secara berkala). Secara konseptual,
pada saat terjadinya, kewajiban moneter diukur atas dasar nilai diskunan pembayaran kas masa
datang (discounted future cash outflows). Hal ini berlaku khususnya untuk kewajiban moneter jangka
panjang. Untuk kewajiban moneter jangka pendek, kewajiban dapat diukur atas dasar nilai nominal
(face value) berdasarkan konsep dasar materialitas. Termasuk dalam pengertian kewajiban moneter
adalah penerimaan dimuka (advances) yang akan dikompensasi dengan pembelian barang dan jasa di
masa datang. Disebut kewajiban moneter karena kalau pembelian barang dan jasa batal, uang muka
tersebut harus dikembalikan.

Kewajiban nonmoneter adalah keharusan untuk menyediakan barang dan jasa dengan jumlah
dan saat yang cukup pasti yang biasanya timbul karena penerimaan pembayaran di muka untuk
barang dan jasa tersebut . Bila pembayaran di muka penuh, kewajiban nonmoneter diukur atas dasar
pembayaran tersebut yang menunjukkan harga yang disepakati untuk barang dan jasa. Pembayaran
penuh dimuka tersebut sebenarnya merepresentasi jumlah untuk menutup kos barang dan jasa yang
akan diserahkan dan laba. Jumlah yang digunakan untuk menutup kos itulah yang murni merupakan
kewajiban sedangkan jumlah untuk menutup laba merupakan laba tangguhan (deferred income) yang
tidak dapat disebut kewajiban karena tidak memenuhi definisi kewajiban.

Bila kos barang dan jasa merupakan unsur yang dominan, pembayaran dimuka dapat
dianggap seluruhnya menimbulkan kewajiban (sebagai kewajiban lancar). Akan tetapi, kalau kos
merupakan unsur yang kecil dari seluruh harga jual barang dan jasa, pembayaran dimuka dapat
dianggap seluruhnya menimbulkan kredit atau pendapatan tangguhan atau pendapatan takterhak
(unearned revenues) yang merupakan kewajiban non keharusan. Keduanya masih memenuhi definisi
kewajiban karena adanya keharusan untuk menyerahkan barang dan jasa. Perlakuan ini secara

10
konseptual lebih didukung daripada pemisahan uang muka menjadi komponen kos (merepresentasi
kewajiban) dan laba. Berikut argument-argumen yang mendukung :
a) Keharusan menyerahkan barang dan jasa merupakan bagian dari operasi perusahaan secara
keseluruhan sehingga barang dan jasa dinyatakan dalam harga jual dari kacamata kedua pihak
yang bertransaksi. Dengan demikian, pembayaran dimuka merupakan pendapatan tangguhan
yang menunggu penyeraahan barang bukan jumlah untuk menutup kos barang dan jasa.
b) Sebagai bagian dari operasi perusahaan secara keseluruhan, penerimaan uang muka lebih
tepat bila diperlakukan seluruhnya sebagai kewajiban. Ini merupakan konsekuensi argumen
a) diatas.
c) Laba secara otomatis tercipta pada saat pendapatan telah diakui sehingga pemisahan antara
kewajiban dan laba tangguhan tidak ada manfaatnya karena keduanya sama-sama akan
dilaporkan di sisi kredit da bersifat kewajiban yang keduanya terselesaikan pada saat barang
atau jasa telah diserahkan.
d) Kas yang diterima tidak dapat dikaitka dengan kos penyediaan barang dan jasa yang diberi
uang mka karena beberapa komponen barang atau jasa pada umumnya sudah diperoleh
perusahaan (misalnya depresiasi) bahkan beberapa komponen mungkin belum diperoleh
perusahaan pada saat penerimaan uang muka.Tidak ada basis intik menghubungkan secara
rasional uang muka dengan kos barang dan jasa yang harus diserahkan. Ini memperkuat
argumen b) diatas.
e) Penyerahan barang merupakan saat yang kritis untuk mengakui pendapatan daripada saat
penerimaan kas sehingga laba (baik sekarang atau tangguhan) tidak dapat diakui pada saat
penerimaan kas. Jadi, percuma saja untuk memisahkan uang muka untuk merepresentasikan
kos dan laba.

Penilaian
Kalau pengukuran mengacu pada penentuan nilai keharusan sekarang (the value of current
obligation) pada saat terjadinya, penilaian mengacu pada penentuan nilai keharusan sekarang pada
setiap saat antara terjadinya kewajiban sampai dilunasinya kewajiban. Makin mendekati saat jatuh
tempo, nilai kewajiban akan makin mendekati nilai nominal (face value) kewajiban.

Jadi, penilaian kewajiban pada saat tertentu adalah penentuan jumlah Rupiah yang harus
dikorbankan seandainya pada saat tersebut kewajiban harus dilunasi. Dengan kata lain, penilaian
adalah penentuan nilai sekarang kewajiban. Dalam hal obligasi, nilai sekarang tersebut disebut nilai
bawaan (carrying value) atau nilai pelunasan sekarang (current settlement value). Nilai pelunasan
sekarang pada umumnya bergantung pada nilai pasar obligasi.

Pelunasan
Pelunasan adalah tindakan atau upaya yang sengaja dilakukan oleh kesatuan usaha untuk
memenuhi (to satisfy) kewajiban pada saatnya dan dalam kondisi normal usaha (in due course of
business) sehingga tidak bebas dari kewajiban tersebut. Pelunasan biasanya merupakan pemenuhan
secara langsung kepada pihak yang berpiutang. {pelunasan menjadikan kewajiban tersebut hapus,
tiada, atau lenyap (extinguished) secara langsung ( kewajiban langsung didebet). Kebanyakan
kewajiban dipenuhi secara langsung dengan pembayaran tunai. Beberapa kewajiban dipenuhi dengan
pentransferan asset atau penyediaan jasa oleh kesatuan usaha kepada kesatuan usaha lainnya.

11
Beberapa kewajiban menjadi batal atau kesatuan usaha menjadi bebas dari kewajiban lantaran
pengampunan (forgiveness) sebagian / seluruhnya, kompromi, penimbulan/pengakuan kewajiban
baru /pengganti, pengambil-alihan kewajiban oleh pihak lain, atau keadaan khusus misalnya dalam
kasus restrukturisasi utang.

Pelunasan secara langsung disebut juga pelunasan secara yuridis karena kewajiban kepada
pihak yang berpiutang secara yuridis hapus melalui transaksi langsung yang benar-benar terjadi
(misalnya pembayaran tunai secara langsung). Pada saat pembayaran, debitor secara yuridis bebas
dari kewajiban dan secara teknis/administrative dan tuntas dapat mendebit utangnya. Pelunasan
secara tidak langsung terjadi apabila kesatuan usaha melakukan tindakan yang mengarah ke
pelunasan misalnya dengan pembentukan dana khusus untuk pelunasan (sinking fund) baik dikelola
sendiri atau melalui wali amanat (trust agency). Pembentukan atau penyisihan dana semacam ini
menjadikan kesatuan usaha secara substantif menempati keadaan yang disebut pembatalan atau
pembebasan (kewajiban) secara substantif (in-substance defeasance).

Masalah akuntansi yang berkaitan dengan pelunasan langsung maupun tidak langsung adalah
penentuan kapan (timing) kewajiban telah dapat dikatakan hapus atau lenyap sehingga jumlah
rupiahnya dapat diakui (derecognized) dari sistem pembukuan.

FASB menentukan criteria lenyapnya suatu kewajiban dalam SFAC No. 76 sebagai berikut :
a. Debitor membayar / melunasi kreditor dan bebas dari semua keharusan yang berkaitan
dengan utang. Pelunasan ini meliputi perolehan kembali sekuritas utang yang beredar di pasar
modal, tanpa memperhatikan apakah sekuritas utang tersebut dibatalkan (cancelled) atau
ditahan sementara sebagai obligasi treasuri (treasury bonds).
b. Debitor telah dibebaskan secara hokum dari statusnya sebagai penanggung utang utama baik
oleh keputusan pengadilan maupun oleh kreditor dan dapat dipastikan bahwa debitor tidak
akan diharuskan untuk melakukan pembayaran di masa datang yang berkaitan denagan utang
dngan penjaminan dalam bentuk apapun (debt under any guarantees).
c. Debitor menaruh kas atau asset lainnya yang tidak dapat ditarik kembali dalam suatu
perwalian yang semata-mata digunakan untuk pekunasan pembayran bunga serta pokok suatu
pinjaman tertentu dan sangat kecil kemungkinan bagi debitor untuk diharuskan lagi
melakukan pembayaran di masa datang yang berkaitan dengan pinjaman tersebut. Dalam
keadaan ini, utang dapat dinyatakan hapus/lenyap meskipun debitor secara yuridis tidak
bebas dari statusnya sebagai obligor utama dalam perjanjian utang semula.

Ketentuan diatas telah diganti oleh ketentuan dalam SFAS No. 125 karena ketentuan diatas
didasarkan ata pedekatan bahwa dalam serangkaian transaksi, tiap asset atau kewajiban merupakan
komponen yang tidak dapat dipecah-pecah (indivisible-component aapproach). Pendekatan ini
menjadi basis utama ketentuan c diatas yang disebut pembebasan kewajiban secara substantive atau
pembebasan substantif (in-substance defeasance). FASB mengganti ketentuan diatas dengan
menghapus ketentuan c dan merevisi ketentuan b melalui SFAS No. 125. Didalamnya FASB
menetapkan bahwa suatu kewajiban dapat dikatakan lenyap kalu salah satu dari kondisi berikut
dipenuhi :

12
a. Debitor membayar kreditor dan terbebaskan dari keharusan yang melekat pada kewajiban.
Membayar kreditor mencakupi penyerahan kas, asset financial lain, barang, atau jasa atau
penebusan sekuritas utang oleh debitor untuk menghapus hutang atau untuk menahannya
sebagai utang obligasi treasuri.
b. Debitor telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang utama baik
oleh keputusan pengadilan maupun oleh kreditor.
Atas dasar ketentuan b, jika kreditor membebaskan debitor dari kewajibannya larena pihak ke
3 mengambil alih / menanggung kewajiban tersebut dan debitor semula (original debtor) hanya
menjadi penanggung sekunder, pembebasan tersebut dengan sendirinya melenyapkan kewajiban
debitor semula. Penanggung sekunder berfungsi sebagai penjamin(guarantor).

Dengan ketentuan a , kewajiban dapat dikatakan lenyap bila debitor menyerahkan atau
mentransfer kas atau asset financial lain. Aset financial merupakan salah satu jenis dari apa yang
disebut instrument financial. FASB mendefinisi instrument financial sebagai berkut :
Instrumen financial adalah kas, bukti pemilikan dalam suatu entitas, atau suatu kontrak yang memuat
2 ketentuan berikut :
a. Mengenakan atas suatu entitas keharusan kontrkatual untuk (1) menyerahkan kas atau
instrument financial lainnya kepada entitas kedua atau (2) menukar instrument financial yang
dipegang entitas kedua dengan instrument financial lain atas keuntungan entitas kedua.
b. Mengalihkan / memberi kepada entitas kedua diatas suatu hak kontraktual untuk (1)
menerima kas atau instrument financial lainnya dari entitas pertama atau (2) menukarkan
instrument financial yang dipegangnya dengan instrument financial lain dari entitas pertama
atas keuntungan entitas kedua.

Transfer Asset Finansial


Untuk melunasi kewajiban, suatu entitas dapat mentransfer asset financial (termasuk kas),
barang, atau jasa. Pada umumnya, bila kewajiban telah dilunasi dengan mentransfer secara penuh
kas, barang, atau jasa ke debitor, maka pada saat itu pelunasan dianggap tuntas. Debitor tidak lagi
terlibat dengan asset atau kreditor secara financial. Pelunasan kewajiban dengan asset financial juga
dapat bersifat tuntas bila penyerahan asset financial bersifat tak bersyarat dan dianggap sebagai
penjualan. Artinya, asset financial dianggap sebagai dijual secara tunai dan kas yang diterima
seketika itu pula dianggap untuk melunasi kewajiban.

Lain halnya kalau pelunasan kewajiban dilakukan dengan transfer asset financial yang
menimbulkan keterlibatan berlanjut pentransfer dengan asset transferan atau tertransfer. Dalam hal
ini, kewajiban tidak lenyap secara tuntas atau ada kewajiban baru yang berkaitan dengan asset
transferan.

Pelunasan Sebelum Jatuh Tempo


Bila kewajiban dilunasi pada saat jatuh tempo, nilai jatuh tempo (nominal) dengan sendirinya
merefleksi nilai sekarang (saat pelunasan) kewajiban sehingga tidak ada selisih antara jumlah rupiah
yang dibayar dan nilai nominal. Nilai jatuh tempo juga akan sama dengan nilai buku atau nilai
bawaan kewajiban karena proses amortisasi selisih antara nominal dan nilai pasar pada saat
penerbitan utang (misalnya obligasi). Selama beredar, nilai pasar atau nilai sekarang kewajiban

13
berfluktuasi mengikuti tingkat bunga yang berlaku tetapi pada umumnya fluktuasi tersebut tidak
diakui dalam pembukuan debitor.

Penarikan kembali obligasi yang beredar adalah suatu transaksi yang mempengaruhi kontrak
antara debitor dan kreditor tetapi transaksi ini sangat berbeda dengan transaksi aliran kegiatan
operasi dan transaksi penggunaan asset (investasi). Dengan demikian, terdapat pandangan bahwa
untung atau rugi yang berasal dari transaksi tersebut harus dilaporkan sebagai suatu penyesuai
modal.

Bergantung pada sifatnya, untung atau rugi dapat dilaporkan sebagai pos ordiner atau pos
ekstraordiner. Kriteria untuk menentukan hal ini adalah apakah pos tersebut merupakan akibat dari
transaksi atau kejadian yang mempunyai sifat sebagai berikut :
a. Sangat berbeda dengan kegiatan operasi rutin kesatuan usaha.
b. Tidak diharapkan akan sering terjadi
c. Berpengaruh material terhadap operasi perusahaan secara keseluruhan

Ketentuan APB dan FASB diatas berlaku baik untuk penarikan kembali utang dengan atau
tanpa pendanaan (refunding atau nonrefunding extinguishment). APB beragumen bahwa sifat semua
pelunasan utang sebelum jatuh tempo pada dasarnya sama. Untuk pelunasan dengan pendanaan
sebenarnya terdapat tiga perlakuan alternatif untuk selisih yaitu :
(a) Selisih diamortisasi selama sisa umur semula utang yang ditarik kembali
(b) Selisi diamortisasi selama umur utang baru yang diterbitkan
(c) Selisih diakui pada saat penarikan dan dilaporkan di statement laba-rugi tahun bersangkutan.

Utang Terkonversi
Utang terkonversi atau konvertibel (convertible debt) merupakan salah satu instrument
financial tersebut. Sekuritas utang semacam ini biasanya mempunyai status sebagai kewajiban dan
ekuitas sekaligus. Artinya, pemegang instrument mempunyai hak istimewa untuk mengubah status
utang menjadi ekuitas setiap saat selama hak tersebut masih berlaku. Instrumen semacam ini
merupakan salah satu bentuk dari apa yang disebut sekuritas hibrida (hybrid securities).

Hendriksen dan van Breda menunjukkan bahwa obligasi terkonversi biasanya mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
1. Tingkat bunga nominal jauh di bawah tingkat bunga pasar untuk obligasi biasa yang setara.
2. Harga konversi yang ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar saham biasa.
3. Harga konversi tidak pernah menurun selama masa hak konversi kecuali karena penyesuaian
yang diperlukan akibat pengambilan hak yang melekat pada saham biasa seperti dalam hal
terjadi pemecahan saham atau dividen saham.

Karena bersifat kewajiban dan ekuitas, ,masalah pada saat pengakuan adalah apakah harga
penerbitan (kos) obligasi harus dipecah menjadi porsi yang merepresentasi utang obligasi (masuk
kewajiban) dan porsi yang merepresentasi hak konversi (masuk ekuitas sebagai modal setoran/paid-
in capital) atau harga penerbitan tidak dipecah dan utang terkonversi dianggap utang semata-mata
(solely as debt).

14
Pendukung alokasi berargumen bahwa karena utang terkonversi mengandung sifat utang dan
ekuitas, kedua komponen harus diakui secara terpisah. Pandangan ini didasarkan atas pemikiran
sebagai berikut:
a. Hak konversi mempunyai nilai ekonomik sehingga tidak berbeda dengan sifat hak opsi atau
waran. Oleh karena itu, nilai tersebut harus dilaporkan secara terpisah dengan nilai utang
sejalan dengan perlakuan hak opsi atau waran. Analogi dengan goodwill, nilai hak konversi
secara logis juga harus dipisahkan. Bila tidak dipisahkan, akan terjadi inkonsistensi perlakuan
akuntansi.
b. Pada saat penerbitan hak konversi atau nilai utang obligasi biasa (tanpa hak konversi) dapat
diukur secara cukup andal sehingga tidak ada kesulitan teknis untuk mengimplementasi
pemisahan tersebut. Nilai informasional pemisahan jauh lebih penting dari masalah
kepraktisan sehingga kepraktisan tidak relevan sebagai basis penolakan pemisahan.
c. Tujuan penerbitan utang terkonversi yang sebenarnya adalah pendanaan dengan ekuitas. Sifat
utang semata-mata untuk melindungi investor dari keadaan jelek yang menimpa perusahaan
( dalam likuidasi, utang diprioritaskan). Oleh karena itu, pelunasan utang bukan merupakan
hal yang diharpkan oleh penerbit. Penerbit bahkan lebih mengharapkan konversi di masa
datang pada saatharga saham menaik dan melebihi harga konversi. Bukti empiris
menunjukkan bahwa dalam keadaan harga saham melebihi harga konversi, banyak
perusahaan melakukan konversi paksaan (forced conversion) dengan cara menarik obligasi
terkonversi tersebut. Jadi, obligasi terkonversi lebih diarahkan sebagai pendanaan dengan
ekuitas daripada dengan uang. Oleh karena itu, tidak tepatlah memperlakukan utang
terkonversi semata-mata sebagai uang.

Dasar pemikiran yang melandasi perlakuan sebagai utang semata-mata dapat dikemukakan
sebagai berikut :
a. Utang obligasi terkonversi merupakan sekuritas hibrida sehingga sehingga harus dipandang
sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (inseparability of the debt and the
conversion option). Hak konversi tidak independen terhadap utang obligasi.
b. Penilaian hak konversi akan bersifat subjektif karena ketidakterpisahan kedua komponen
(utang dan hak konversi). Alasannya adalah adanya ketidakpastiaan dalam hal saat
pengambilan hak konversi dan nilai saham pada saat konversi.

Ketidakpastian (inseparability) dan kepraktisan (practicality) menjadi landasan pikiran untuk


memperlakukan utang terkonversi semata-mata sebagai utang. Hal inilah yang menjadi basis opini
APB yang memandang nilai obligasi dan hak konversi sebagai satu kesatuan.

Pembebasan Substantif
Telah disebutkan bahwa kewajiban dapat dinyatakan terlunasi dan lenyap apabila telah
dilakukan pembayaran atau telah terjadi pembebasan secara hukum oleh pihak kreditor atau
pengadilan. Pada mulanya FASB (melalui SFAS No. 76) menetapkan bahwa kewajiban dapat
dianggap lenyap bila debitor menaruh kas atau asset lainnya (misalnya obligasi pemerintah) yang
tidak dapat ditarik kembali dalm suatu perwalian (trust) dan aliran kas dari asset tersebut akan cukup
untuk pelunasan pembayaran bunga serta pokok pinjaman.

15
Bila telah dicapai saat sehingga debitor tidak perlu lagi melakukan pembayaran dimasa
datang yang berkaitan dengan pinjaman tersebut, maka pada saat tersebut secara substantif debitor
sudah bebas dari kewajiban sehingga dapat mengakui kewajiban dan asset dalam perwalian
meskipun utang belum jatuh waktu. Demikian juga, bila debitor membentuk dana pelunasan utang
obligasi, pada saat debitor sudah tidak perlu lagi membayar atau menyetor kaske dana tersebut
karena kas yang telah disetor dan pendapatan (aliran kas) dari dana tersebut sudah pasti cukup untuk
menutup utang pada saat jatuh tempo, maka pada saat itu kewajiban debitor secara substantif
dianggap lenyap meskipun kewajiban belum jatuh tempo. Jadi, pada saat tidak ada lagi keharusan
membayar, telah terjadi pembebasan substantif (in-substanse defeasance).

FASB menegaskan bahwa pada saat terjadi pembebasan substantive, kewajiban tidak dapat
dihapus karena kejadian tersebut tidak memenuhi karakteristik atau kriteria kritis sebagai berikut :
a. Debitor tidak dengan sendirinya menjadi bebas dari kewajiban secara hukum hanya lantaran
perusahaan menempatkan asset ke dalam suatu perwalian.
b. Untuk pelunasan kewajiban, su,ber dana tidak dibatasi hanya dari dana yang ditempatkan
dalam perwalian.
c. Kreditor tidak mempunyai kekuasaan untuk menggunakan secara bebas asset dalam
perwalian dan juga tidak dapat menghentikan atau membatalkan perwalian tersebut.
d. Kalau ternyata asset dalam perwalian melebihi apa yang diperlukan untuk membayar pokok
dan bunga pinjaman, debitor dapat menggunakan kelebihan tersebut.
e. Kreditor ataupun agennya bukan merupakan pihak yang terikat dalam kontrak pembentukan
dana pembebasan utang.
f. Debitor tidak menyerahkan kendali atas manfaat asset karena manfaat asset tersebut masih
melekat pada debitor meskipun debitor telah mengakuinya sementaraitu kreditor juga tidak
mengakuinya sebagai asset sehingga praktis asset tersebut masih dikuasai oleh debitor.

Alasan lain yang sering dikemukakan adalah pengakuan kewajiban pada saat tercapainya
pembebasan substantif sama saja dengan mengkompensasi kewajiban dengan asset. Kritk lain adalah
pengakuan kewajiban pada saat terjadinya pembebasan substantif dapat dimanfaatkan oleh debitor
untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dan peningkatan kinerja secara kosmetik
(window dressing). Hal ini dapat dilakukan karena keuntungan bagi debitor sebagai berikut :
a. Kewajiban dihapus dari neraca sehingga rasio kewajiban – ekuitas membaik.
b. Laba tahun berjalan akan meningkat dengan jumlah untung yang terjadi dalam pengakuan
kewajiban. Hal ini terjadi bila selisih antara nilai tunai dana (asset) dan nomilnal utang dicatat
sebagai untung.
c. Untung pengakuan kewajiban tidak dikenai pajak (di Amerika) karena untung tersebut
sebanarnya belu terealisasi sehingga perusahaan dapat menghemat atau menunda pajak dan
meningkatkan profitabilitas secara cukup berarti pada saat pembebasan substantif.
d. Bila asset berupa oblgasi pemerintah, perusahaan dapat menghemat pajak karena untuk
menghitung pajak pendapatan bunga obligasi pemerintah dapat dikompensasi oleh biaya
bunga utang.
e. Pembebasan substantive memungkinkan perusahaan untuk memperlakukan kewajiban jangka
panjang seperti mengelola surat-surat berharga (marketable securities) di sisi asset. Artinya,

16
perusahaan seakan-akan bebas melunasi hutang jangka panjang setiap saat di kehendaki
hanya dengan menyisihkan asset tertentu.

Penolakan FASB terhadap pengakuan kewajiban pada saat pembebasan substantive seakan-
akan bertentangan dengan konsep substansi mengungguli bentuk. Substansi ekonomi juga harus
menggambarkan realitas ekonomik. Pengakuan pembebasan substantive tidak menggambarkan
realitas ekonomik karena kejadian tersebut merupakan kejadian sepihak. Bila pembebasan substantif
diakui , statement keuangan tidak akan menyimbolkan realitas dengan tepat.

Penyajian
Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca atas dasar urutan kelancarannya sejalan
dengan penyajian asset. Kewajiban jangka pendek disajikan lebih dahulu daripada kewajiban jangka
panjang. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca untuk mengevaluasi likuiditas
perusahaan. Dari segi urutan pelindungan dan jaminan, utang yang dijamin pada umumnnya
disajikan lebih dahulu untuk menunjukan bahwa dalam hal terjadi likuidasi utang ini harus dibayar
lebih dahulu. Dari sudut perlindungan, kewajiban disajikan lebih dahulu daripada ekuitas.

PSAK No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi criteria sebagai
kewajiban jangka pendek harus diklasifikasi sebagai kewajiban jangka panjang. Suatu kewajiban di
klasifikasi sebagai kewajiban jangka pendek bila :
a. Diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi perusahaan ;
atau
b. Jatuh tempo dalam jangka waktu 12 bulan dari tanggal neraca.

Kewajiban berbunga jangka panjang tetap diklasifikasi sebagai kewajiban jangka panjang,
walaupun kewajiban tersebut akn jatuh tempodalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal neraca,
apabila :
a. Kesepakatan awal perjanjian pinjama untuk jangka waktu lebih dari 12 bulan ;
b. Perusahaan bermaksud membiayai kembali kewajibannya dengn pendanaan jangka panjang ;
dan
c. Maksud tersebut pada huruf b didukung dengan perjanjian pembiayaan kembali atau
penjadwalan kembali pembayaran yang resmi disepakati sebelum laporan keuangan
disetujui.

Penyajian utang jangka panjang yang jatuh tempo dalam kewajiban lancar akan
mempengaruhi likuiditas. Oleh karena itu, syarat diatas diperlukan agar kewajiban jangka pendek
tidak diklasifikasi sebagai utang jangka panjang.

Hak Mengkompensasi
Telah disinggung sebelumnya bahwa kewajiban tidak selayaknya disajikan di neraca dengan
mengkompensasinya atau mengontrkanya dengan asset yang dianggap berkaitan.
Ada kalanya hak mengontrak diperbolehkan bila kondisi tertentu dipenuhi. Kondisi ini
berkaitan dengan apa yang disebut sebagai kontrak bersyarat dan kontrak pertukaran. Kontrak
bersyarat adalah kontrak yang hak dan kewajibannya bergantung pada timbulnya kejadian masa

17
datang tertentu yang belum tentu terjadi dan dapat mengubah saat peneriman, penyerahan, atau
pertukaran jumlah rupiah atau instrument keuangan.Kontrak pertukaran adalah kontrak yang
mewajibkan adanya pertukaran asset dan kewajiban di masa datang dan bukan hanya transfer asset
hanya dari 1 pihak saja.
Secara umum pengkompensasian asset dan kewajiban dalam neraca adalah tidak layak
kecuali terdapat hak mengontrak. Hak semacam ini banyak terdapat dalam jenis kontrak-kontrak
yang disebut diatas.

Hak mengontrak adalah hak yuridis debitor, lataran kontrak atau lainnya, untuk menghapus
semua atau sebagian utangkepada pihak lain dengan cara mengkompensasi utang tersebut dengan
jumlah yang pihak lain berutang kepada debitor. Hak mengontrak dikatakan ada bilamana semua
kondisi berikut dipenuhi :
a. Tiap pihak dari 2 pihak yang berkontrak utang kepada yang lain suatu jumlah rupiah tertentu.
b. Pihak pelapor mempunyai hak mengontrak jumlah yang diutangnya dengan jumlah yang
diutang pihak lain.
c. Pihak pelapor memang berniat untuk mengontrak.
d. Hak mengontrak terpaksakan secara hukum.

18

You might also like