Professional Documents
Culture Documents
Abstrac:
Hadis as a historical text should be in keeping with any social changes across
times and situations of any kind. This is because Hadis is viewed as a sacred
text which is shalih li kulli zaman wa makan (i.e., valid anywhere and anytime),
despite ‘the impression’ that when being comprehended literally it seems at odd
with the present day context which in its journey, sometimes the content of the
content used as the basis there can not be found if applied in establishing the
law on the current events. Therefore emerged contemporary scholars who no
other served as a detail, critics, interpreters of the proposition or the basis of
which has not been found accuracy of the law.To interpret a hadith of different
scholars, this is because of the angle of the field, the background and the
method they use. in ancient times such as Imam Bukhari, Muslim, Tirmizi and
others. But from the hadiths that have been compiled by the previous hadith
narrators if applied in the problems that appear less precise and even no policy
in establishing Islamic law. Thus, in today's modern development, a method
emerges in the interpretati on of the hadith, hermeneutics, which some are
capable of establishing Islamic law in this modern, developing age. as an
example we will describe a new method of interpretation in understanding the
hadith in Abu Syuqqah's thought about the veil (niqab) for Muslim women.
Pendahuluan
Al-Qur’an dan hadits merupakan dasar umat Islam untuk melangkah
menuju kebaikan, ketentraman dalam menikmati hidup di dunia ini. Sebagai umat
Islam tidak terlepas dari dua dasar tersebut, meskipun ada beberapa golongan
yang tidak hanya menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai tolak ukur dalam
menjadikan, menetapkan sebagai hukum yang harus dijalankan. Namun dari
seluruh golongan tersebut tidak terlepas dari sumber utama dan sumber ke dua,
yakni al-Qur’an dan hadits.
Dalam perkembangan zaman, semakin banyaknya manusia dan berbaurnya
berbagai macam golongan yang berbeda-beda, khususnya di Negara Indonesia
semakin banyak pula masalah-masalah yang timbul dan berkembang di kalangan
umat Islam. Teks Al-Qur’an dan Hadist akan selamanya tetap, akan tetapi
manusia sebagai objek dari Al-Qur’an dan Hadist selalu berkembang dari suatu
zaman ke zaman.
Padahal, Al-Qur’an dan Hadits merupakan sebuah aturan yang berlaku bagi
segala zaman (solihun li kulli zaman wa makan) yang dalam perjalanannya
terkadang isi kandungan yang dijadikan dasar ada yang tidak dapat ditemukan
kalau diterapkan dalam menetapkan hukum pada kejadian-kejadian saat ini. Oleh
karena itu munculah ulama-ulama yang kontemporer yang tidak lain bertugas
sebagai perinci, pengkritik, penafsir dalil atau dasar yang belum dijumpai
ketepatan hukumnya.
Untuk menafsirkan sebuah hadits para ulama berbeda-beda, hal ini
dikarenakan sudut padang, latar belakang dan metode yang mereka gunakan. pada
zaman dahulu seperti Imam Bukhari, Muslim, Tirmizi dan lain sebagainya.
Namun dari hadits-hadits yang sudah disusun oleh para periwayat hadits terdahulu
kalau diaplikasikan dalam masalah yang muncul kurang begitu tepat dan bahkan
tidak ada kebijakan dalam menetapkan hukum Islam. Maka, pada perkembangan
modern saat ini, muncullah sebuah metode dalam pentafsiran hadis yaitu
hermeneutika, yang oleh sebagian orang mampu untuk menetapkan hukum islam
di era modern yang berkembang ini.
3. Pendekatan Hermeneutika
Apabila hermeneutika merupakan suatu metode atau cara untuk
menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan untuk
dicari arti dan maknanya, di mana metode hermeneutika mensyaratkan
adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami,
kemudian dibawa ke masa sekarang,7 Maka distansi waktu, tempat dan
suasana kultural antara audiens dengan teks perlu diperhatikan agar
pemahaman teks hermeneutika hadits dan konteks menjadi signifikan.
Di Dunia terdapat beberapa macam bentuk pemeluk agama Islam,
mereka masing masing memiliki dasar dan ajaran, Dasar yang dipakai tidak
jauh berbeda dengan dalil-dalil yang kita pakai. Khususnya di Negara
Indonesia, Realita Islam di kalangan muslim, semakin berkembangnya
zaman, budaya, tempat dan sejarah suatu problematika muncul hingga pada
ahirnya membingungan umat Islam itu sendiri. Dengan kata lain pemahaman
yang mereka peroleh berbeda-beda, khususnya dalam menafsirkan hadits
5
Abdullah Khozin Afandi, “Hermeneutika”, 4.
6
Muhyar Fanani, “ Ilmu ushul Fiqih Di Mata Filsafat Ilmu”. (Semarang: Wali Songo Press, 2009), 24.
7
Mushadi, “Hermeneutika Hadits-hadits …”, 128.
sebagai dasar ke dua. Upaya ini bisa diselesaikan melalui pendekatan-
pendekatan penafsiran hadits, diantaranya pendekatan hermeneutika. Dalam
mengartikan sebuah hadits kompenen yang perlu diperhatikan ialah teks,
konteks dan upaya kontekstualisasi. Tugas pokokhermeneutika ialah
bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali
menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat serta suasana kultural
yang berbeda.8
Proses dan pemahaman hermeneutika hadits menggunakan metode
alternative atau abduksi, yakni menjelaskan data berdasarkan asumsi dan
analogipenalaran serta hipotesa-hipotesa yang memiliki berbagai
kemungkinan kebenaran. Dari sini seoranag mufasir berperan dalam
keikutsertaan pengaktualisasikan hadits sehingga makna yang tertulis sesuai
dengan kehendak penafsir dan dapat diterima oleh kalangan awam dalam
berpijak menuju ridho Allah SWT.
4. Metode Hermeneutik
Dalam menyelami pemahaman sebuah teks, hermeneutika melalui tiga
proses (a tripartite hermeneutical process) yaitu:9
a. Pemahaman (exegesis) adalah penelitian terhadap makna asli teks
berdasarkan waktu dan tempat asalnya dan berdasarakan bahasa
aslinya.
b. Interpretasi (interoretation) adalah melacak makna kontemporer dari
makna asli tersebut yang berdasarkan waktu dan tempat asalnya,
kemudian diterjemahkan ke-makna yang sesuai dengan keadaan yang
berkembang pada masa sekarang.
c. Hermeneutika (hermeneutics), memforulasi aturan-aturan dan metode-
metode dari proses exegesis menuju interpretation, pergeseran makna
yang asli (exegesis) menuju makna kontemporer (interpretation).
8
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Yayasan Paramadina,
1996), 17.
9
http://ardi-makalah.blogspot.com/2011/04/hermeneutik.html diakses 26 Desember 2017
5. Prinsip Hermeneutika Hadits
Agar sebuah hadits dapat diterima dan memiliki makna-makna yang
releven dengan konteks historis kekinian sehingga dapat berfungsi dan
menjawab problem-problem hukum dan kemasyarakatan masa kini, maka
suatu penafsiran (hermeneutika) memperhatikan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a. Prinsip konfirmatif, yakni seorang mufasir harus selalu
mengkonfirmasikan makna hadits dengan petunjuk-petunjuk al-
Qur’an sebagai sumber tertinggi ajaran Islam.
b. Prinsip tematis komprehensif, yakni seorang mufasir
mempertimbangkan hadits-hadits lain yang memiliki tema yang
relevan sehingga makna yang dihasilkan lebih komprehensif.
c. Prinsip linguistik, Seorang penafsir memperhatikan prosedur-prosedur
gramatikal bahasa arab, karena hadits-hadit Nabi saw berupa bahasa
arab.
d. Prinsip historik, prinsip ini memperhatikan pemahaman terhadap latar
situasional masa lampau di mana hadits terlahir baik menyangkut latar
sosiologis masyarakat Arab secara umum maupun khusus yang
melatar belakangi munculnya hadits.
e. Prinsip realistik, seorang mufasir selain memahami latar situasi masa
lalu juga memahami latar situasional kekinian dengan melihat realitas
kaum muslimin yang menyangkut kehidupan, problem, krisis dan
kesengsaraan mereka.
f. Prinsip distingsi etis dan legis, seorang mufasir mampu menangkap
dengan jelas nilai-nilai etis yang hendak diwujudkan oleh sebuah teks
hadits dari nilai legisnya. Karena pada dasarnya Hadits-hadits Nabi
saw tidak bisa hanya dipahami sebagai kumpulan hukum saja,
melainkan mengandung nilai-nilai etis yang lebih dalam.
g. Prinsip distingsi instrumental (wasilah) dan intensional (ghayah),
Seorang mufasir mampu membedakan antara cara yang ditempuh
Nabi saw dalam menyelesaikan problematika hukum dan
kemasyarakatan pada masanya serta tujuan asasi yang hendak
diwujudkan Nabi ketika memunculkan haditsnya.10
10
Mushadi, “Hermeneutika Hadits-hadits …”, 135-136.
11
Haniefn Monady, “Heurmenetika Hadits Abu Syuqqah” (Jurnal Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora:
UIN Antasari Banjarmasin) Vol 14, 1 Juni 2014.
12
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah Fī ‘Ashr Al Risālah”, jilid. 4, PDF e-book, 215.
pakaian pada umumnya diserahkan oleh Syāri’ kepada umat Islam untuk
memilihnya dengan syarat sesuai dengan kondisi kehidupan mereka secara
geografis dan sosial. Juga yang paling penting, adalah mereka mematuhi adab-
adab yang telah ditetapkan, apapun model yang dipilihnya.13
Abū Syuqqah selanjutnya mengatakan bahwa Islam mengakui cadar dan
membolehkannya demi memberikan kelapangan kepada segolongan wanita
muslimah yang menjadikan cadar sebagai mode pakaiannya dari satu sisi, dan
dari sisi lain karena cadar tidak mengganggu satu kepentingan pun dari
kepentingan kaum muslim di dalam masyarakat kecil yang membiasakannya.14
Selanjutnya Abū Syuqqah melakukan kontekstualisasi cadar yang
dimaksud, dengan cadar pada masa kini. Abū Syuqqah mengatakan bahwa
terdapat beberapa karakteristik yang membedakan cadar dari beberapa model
pakaian masa kini yang di dalamnya kita lihat sesuatu yang patut diingkari,
karena menyebabkan kesempitan dan kesulitan. Karakteristik yang baik
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Cadar (kain yang diikatkan di atas hidung hingga leher) tidak menutup
wajah secara keseluruhan. Sehingga wanita tidak menyembunyikan
jati diri dan memberikan kesempatan untuk berkenalan, khususnya di
masyarakat kecil seperti masyarakat Badui Kuno. Hal ini dikarenakan
anggota masyarakatnya sedikit dan banyak terjadi interaksi sosial di
antara mereka, sehingga memudahkan untuk mengenali seorang
wanita, meskipun memakai cadar.
b. Oleh karena cadar mentolerir perkenalan, maka mendorong peran
serta wanita dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, menutup wajah
secara total akan mendorong wanita untuk menjauhkan diri dari
kehidupan sosial.
c. Karena cadar menampakkan kedua mata dan kedua kelopaknya, maka
memungkinkan lawan bicara wanita memahami perasaannya, seperti
senang atau susah, ridha atau terganggu, dan menerima atau menolak.
13
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 216.
14
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 219.
d. Karena cadar menampakkan kedua mata, maka membantu wanita
yang lemah untuk menjaga dari rasa malu, jika ia ingin memandang
orang yang berlalu lalang. Ini berbeda dengan penutup yang menutup
semua wajahnya.15
15
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 219.
sorban, atau dengan tarbus (ghutrah atau ‘iqāl) juga merupakan berhias.
Demikian pula bagi wanita, jika membukanya dengan diberi suatu
perhiasan seperti celak termasuk dalam berhias, maka menutup
sebagiannya dengan cadar juga termasuk dalam berhias. Apalagi terkadang
cadar itu dihiasi dengan semacam hiasan, maka akan bertambah lagi
berhias diri itu.
c. Sesungguhnya pakaian, sebagaimana berbeda-beda dari satu lingkungan
dengan lingkungan lain sesuai dengan iklimnya, juga berbeda-beda dalam
satu lingkungan sesuai dengan strata masyarakatnya. Ada sejenis pakaian
yang biasa dipakai oleh golongan elit, ada pula yang dipakai oleh
masyarakat umum, dan ada pula yang dipakai oleh pembantu dan bekas
budak. Hal ini juga terjadi di bangsa Arab pada zaman Jahiliyah.
Golongan elit lelaki biasa mengenakan selendang dan sarung, ditambah
dengan perhiasan, sedangkan golongan umum dan fakir cukup
mengenakan sarung (izār) saja. Demikian juga kaum wanita, wanita yang
terhormat dan merdeka biasanya memakai cadar bersama dengan pakaian
lain seperti jilbab, sedangkan wanita miskin atau budak biasanya memakai
pakaian minim dan membuka wajahnya. Bahkan terkadang membuka
kepalanya sebagai simbol kepapaan. Sebaliknya, bercadar sebagai simbol
kemewahan.
Setelah memaparkan argumentasi beliau yang berisikan pendapat ulama
sebelumnya, Abū Syuqqah menyimpulkan bahwa cadar adalah salah satu
model pakaian yang dipergunakan untuk berhias diri oleh sebagian wanita
merdeka pada zaman jahiliyah, dan hal itu terus berlangsung hingga sesudah
datangnya Islam, karena diakui oleh nabi Muhammad SAW, tetapi tanpa ada
dorongan dan anjuran. Seandainya cadar dijadikan sarana untuk menjaga diri
dan kesopanan serta sarana untuk memelihara rasa malu wanita, sebagaimana
yang didakwakan sebagian orang, maka sudah barang tentu Rasul SAW telah
memilih cadar untuk istri-istri beliau, sebab mereka lebih layak untuk diberikan
penjagaan diri, kesopanan, dan rasa malu. Namun, dipertegas sekali lagi oleh
Abū Syuqqah, bahwa Rasulullah SAW tidak memilih cadar untuk istri-istri
beliau. Sahabat-sahabat wanita nabi SAW juga tidak memilihnya untuk mereka
sendiri.16
Setelah membahas cadar dalam satu pembahasan yaitu cadar dalam
Syariat Islam, beliau kemudian menuliskan pembahasan selanjutnya yaitu
cadar dalam sejarah Islam. Hal ini beliau lakukan atas dasar untuk memberikan
sebagian gambaran praktik sejarah, yakni kajian sosial historis terhadap cadar
sebagai model pakaian. Abū Syuqqah berusaha untuk memberikan penjelasan
mengenai kekhususan pemakaian cadar, siapa yang biasa memakainya, banyak
atau sedikit yang memakai, mengapa cadar dipakai, kapan cadar dipakai, dan
kapan pula dilepas.17
Dengan pendekatan sosio-historis tersebut, Abū Syuqqah memaparkan
sejumlah riwayat, meskipun sanadnya lemah dan majhūl, sebagai sekadar bukti
sejarah yang diketahui petunjuk-petunjuknya untuk menentukan karakteristik
cadar dan adat-istiadat yang berhubungan dengannya. Abū Syuqqah
mengatakan bahwa beliau melakukannya dengan hati-hati dan dengan sadar
mengetahui bahwa bukti sejarah tidak menuntut adanya kekuatan sanad
sebagaimana yang dituntut oleh dalil-dalil syar’īyah.
Abū Syuqqah membagi pembahasan ini kepada tiga bagian. Bagian
pertama, adalah mengenai pemakaian cadar oleh Umm Al Mu`minīn sesudah
diwajibkannya Hijāb. Abū Syuqqah mengutarakan empat riwayat pada bagian
ini. Yaitu:
16
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 220.
17
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 224.
Kemudian beliau menjelaskan bahwa dari empat riwayat itu, ada tiga
petunjuk yang ditemukan. Pertama, istri-istri nabi Muhammad SAW sesudah
difardhukannya hijab, jika mereka keluar rumah, mereka tutup wajah mereka.
Ini merupakan hal yang pasti yang didasarkan pada riwayat selain empat
riwayat di atas yang tidak diketahui sejauh mana kesahihan sanadnya. Kedua,
bahwa memakai cadar itu jarang terjadi di masyarakat Muslim di Mekkah dan
di Madinah pada mana nabi Muhammad SAW. Karena itu di dalam hadis itu
berulang kali disebut lafal “tanakkur” (merasa heran, sembunyi-sembunyi)
yang berkaitan dengan pemakaian cadar. Ini berarti bahwa Umm Al Mu`minīn
menutup wajah mereka dalam umumnya keadaan mereka dengan penutup
selain cadar, seperti ujung jilbab. Tetapi apabila mereka hendak keluar rumah
dengan sembunyi-sembunyi, mereka memakai pakaian yang tidak biasa, dan
memakai cadar itu yang menyebabkan mereka bersembunyi, karena cadar
biasanya digunakan oleh sebagian wanita Arab pendatang dari luar Mekkah
dan Madinah, dan jumlah mereka sedikit. Ketiga, memakai cadar bisa
bedampak positif, bisa juga negatif. Meskipun dapat membantu
menyembunyikan jati diri si wanita dari lelaki asing, tetapi si wanita
memungkinkan orang-orang yang bergaul dengannya secara terus-menerus
untuk mengenalinya, yakni melalui kedua matanya yang tampak. Namun jika
di masyarakat kecil, memakai cadar tidak menimbulkan gangguan karena
sedikit dan jarangnya lelaki asing, maka apabila di masyarakat besar dan ramai,
memakai cadar dapat menjadi sumber gangguan yang bermacam-macam, yang
mana di masyarakat itu diperlukan kejelasan identitas dari setiap orang, baik
lelaki maupun wanita.18
18
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 225.
Bukhārī, yang mana menjelaskan bahwa Samūrah bin Jundub memperbolehkan
kesaksian wanita yang mengenakan cadar.
Pada hadis tersebut, ditunjukkan bahwa cadar itu merupakan hanya semata-
mata model pakaian yang dibiasakan sebagian wanita, bukan penutup yang
wajib dengan perintah dari pembuat syariat. Pelepasan cadar diperkuat
dengan keadaan yang menuntut untuk dijauhinya kemewahan (berhias),
19
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 226.
sebagai contoh, dalam mengutarakan belasungkawa di saat ada kematian
seseorang yang mulia, seperti yang tampak jelas dalam hadis tersebut. Abū
Syuqqah menambahkan bahwa hadis itu memiliki kualitas sanad yang
lemah, sehingga hadis itu tidak beliau jadikan dalil istinbāth syar’ī, namun
sebagai fakta sejarah. Lagi-lagi, beliau menggunakan pendekatan historis
pada analisa ini, dengan tambahan pendekatan psikologis untuk menganalisa
suasana kejadian dalam hadis itu.20
Kedua, melepaskan cadar untuk memperkenalkan diri. Pada bagian ini
Abū Syuqqah memaparkan hadis riwayat Ibnu Sa’ad tentang peristiwa di
saat Hindun binti ‘Utbah dan beberapa orang wanita lainnya masuk Islam:
20
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 226.
21
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 227.
secara bertahap melepaskan cadarnya untuk menghindarkan dirinya dari
para penduduk kampungnya yang mengganggunya karena memakai cadar.
Laila ingin tetap mengenakan cadar untuk menunjukkan kemewahan dan
berhias diri, tapi kemudian ia melepaskan cadar di saat bahaya mengancam.
Bunyi syairnya adalah: 22
Pada bagian terakhir dalam pembahasan mengenai cadar ini, Abū Syuqqah
memberikan beberapa komentar terkait dengan hal tersebut. Komentar beliau itu
dibagi ke dalam tiga bahasan. Tiga bahasan itu akan penulis paparkan secara
ringkas.
Bahasan yang pertama, adalah komentar Abū Syuqqah bahwa cadar adalah
model pakaian yang memiliki beberapa keistimewaan, yaitu antara lain:
a. Di dalam cadar (yang tidak menutup seluruh wajah) terkandung suatu
kelembutan wanita. Indera penglihatan tetap berfungsi sebagaimana
diciptakan oleh Allah SWT, tanpa penghalang, sehingga wanita dapat
melihat manusia dan mengenali segala keindahan ciptaan Allah SWT
dengan jelas dan terang.
b. Cadar menutup sebagian wajah, dan menampakkan sebagian yang lain,
menunjukkan kepada pemakainya hingga batas tertentu, dan membatasi
sebagian raut wajah, sehingga memungkinkan untuk mengenali
pemakainya jika dilihat berulang kali.
c. Jika pada cadar terdapat penutupan pada sebagian wajah, maka padanya
juga terdapat penampakan pada sebagian yang lain. Jika pada penutupan
terdapat kesopanan, maka pada yang terbuka ada sedikit penghiasan diri.
Terkadang pada yang tampak itu lebih indah dari yang tertutup, dan
terkadang pula yang tampak itu malah membangkitkan rasa ingin tahu
kaum lelaki untuk melihat yang tersembunyi.23
22
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 228.
23
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 229.
Bahasan yang kedua, adalah Syara’ itu berlaku dengan lemah lembut
terhadap Wanita. Abū Syuqqah mengatakan, bahwa aurat lelaki itu juga terbatas.
Oleh karena itu, ada bagian tubuh yang luas untuk menambah penutupan yang
lebih dari aurat untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin, atau untuk berhias
dan memperindah diri. Sedangkan wanita, maka seluruh badannya adalah aurat
kecuali wajah dan kedua telapak tangan serta kedua mata kakinya, sehingga
dengan demikian tidak perlu tambahan penutupan untuk kesempurnaan
pemeliharaan atau kesempurnaan keadaan. Bila terjadi penambahan maka akan
menimbulkan kesempitan dan kesulitan. 24
24
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 229.
25
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 229
pernapasan bagi wanita. Hal ini, beliau katakan, seharusnya diingkari jika
keadaannya malah menyulitkan dan mengganggu wanita. Tidak mungkin dapat
dikatakan bahwa yang demikian itu termasuk pakaian wanita yang ditetapkan
Nabi Muhammad SAW. Sebab, Rasulullah SAW hanya mengakui cadar yang
sudah dikenal pada zaman beliau, dan yang termasuk kemewahan dan berhias diri
bagi sebagian wanita. Seandainya Rasulullah SAW melihat penutup wajah masa
kini dan melihat kesulitan yang dialami wanita karena memakainya, niscaya
beliau akan mengharamkannya dan memilih yang lebih mudah untuk mereka. 41
Hal ini dikuatkan Abū Syuqqah dengan mengutip hadis riwayat Muslim dari
Ā`isyah ra.26
Kesimpulan
Demikian apa yang penulis temukan dan pandangan penulis mengenai
upaya menemukan metode hermeneutika pemahaman ‘Abd Al Ḥalīm Muḥammad
Abū Syuqqah terkait dengan pandangannya perihal kebebasan yang dimiliki oleh
wanita muslimah. Upaya yang dilakukan oleh Abū Syuqqah ini patut untuk
diapresiasi sebagai bentuk ijtihad beliau untuk membantu dan memudahkan kaum
wanita muslimah, yang dalam hal ini, adalah mereka yang hidup di Mesir pada
saat itu. Beliau memperhatikan perlu adanya pelurusan ajaran Islam yang
berkaitan dengan wanita, sehingga wanita muslim modern dapat mengikuti ajaran
agama Islam dengan lebih tentram.
Daftar Pustaka
26
Abū Syuqqah, “Taḥrīr Al Mar`ah …”, 230
‘Abd Al Ḥalīm Muḥammad Abū Syuqqah, Tahrirul Mar’ah fi Ashrir
Risalah, PDF e-book.
Afandi, Abdullah Khozin. “Hermeneutika”, (Surabaya: Alfha 2007).
Abdurrahman, Asjmuni. “Memahami Makna Tekstual, Kontekstual, dan
Liberal ; Koreksi Pemahaman atas Loncatan Pemikiran”, cet. ke-2, (Yogyakarta :
Suara Muhammadiyah, 2008).
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian
Hermeneutik, (Yayasan Paramadina, Jakarta:1996).
http://ardi-makalah.blogspot.com/2011/04/hermeneutik.html
Muhyar Fanani.. “Ilmu ushul Fiqih Di Mata Filsafat Ilmu”. (Semarang:
Wali Songo Press 2009).
Mushadi, “Hermeneutika Hadits-hadits Hukum Mempertimbangkan
Gagasan Fazlur Rahman”, Cet. I, (Semarang: Wali Songo Press 2009).
Soebahar, Erfan. “Aktualisasi Hadits Nabi di Era Teknologi Informasi”,
Cet. II, (Semarang: Rasail, 2010).